1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Melitus merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif yang
bersifat kronis, tidak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan (Dinkes
Jateng, 2006). Diabetes melitus atau dikenal oleh masyarakat dengan kencing
manis menurut PERKENI (2011), kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah akibat
kekurangan insulin, baik tidak sama sekali dihasilkan atau kadar insulin yang
sedikit dihasilkan.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 Indonesia
menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes melitus terbesar
di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat dengan prevalensi 8,6 %
dari seluruh penduduk Indonesia. Jumlah penduduk dunia sendiri yang
menderita diabetes melitus berjumlah 171 juta jiwa pada tahun 2000 dan
diperkirakan pada tahun 2030 menjadi 366 juta penderita. Total penderita
diabetes melitus Indonesia menurut Depkes RI tahun 2008 mencapai
8.246.000 jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 21.257.000 jiwa
penderita pada tahun 2030. Didapatkan data dari Kementerian Kesehatan RI
2
tahun 2011 jumlah penderita diabetes melitus di Propinsi Jawa Tengah
sebanyak 509.319 orang dan prevalensi pada tahun 2007 penderita diabetes
melitus tipe 1 sebesar 0,09%, sedangkan kasus diabetes melitus tipe 2
mengalami peningkatan sebesar 0,74% pada tahun 2005; 0,83% pada tahun
2006 dan 0,96% pada tahun 2007. Penderita diabetes melitus di Kabupaten
Banyumas pada tahun 2008 sebesar 3.232 orang. Berdasarkan data diatas
tersebut prevalensi diabetes melitus tiap tahun ke tahun memang semakin
meningkat.
Peningkatan pasien diabetes melitus menurut Waspadji (2005) dilihat
secara epidemiologi dikarenakan empat faktor. Faktor yang pertama adalah
faktor demografi, jumlah penduduk yang bertambah, penduduk usia lanjut
yang bertambah banyak, serta urbanisasi yang tak terkendali. Faktor kedua
gaya hidup yang kebarat-baratan, penghasilan yang tinggi, restoran siap
santap, teknologi canggih menimbulkan sendentary life (kurang gerak badan).
Faktor ketiga berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi, dan faktor yang
keempat meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes
menjadi lebih panjang.
Diabetes Mellitus akan mengakibatkan timbulnya komplikasi akut dan
kronis apabila tidak ditangani dengan baik (Syafei, 2006). Menurut Smeltzer
dan Bare (2002), terdapat tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan
berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka
pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia, ketoasidosis
3
diabetic dan sindrom HHNK (hiperosmolar nonketotik) atau HONK
(hiperosmoler nonketotik). Komplikasi jangka panjang diabetes dapat
menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis
diabetes yang lazim digunakan adalah, penyakit makrovaskuler,penyakit
mikrovaskuler, dan neuropati. Komplikasi yang bersifat akut maupun kronis
dapat menyebabkan gangguan kualitas hidup dari penderita diabetes melitus
dan penurunan kualitas diabetes melitus akibat komplikasi yang menahun.
Sehingga kualitas hidup penderita diabetes melitus perlu ditangani dengan
penanganan yang tepat.
Penanganan yang tepat untuk menangani faktor penyebab serta
komplikasi tersebut dapat dikendalikan dengan adanya kemauan merubah
gaya hidup sehat dari penderita diabetes mellitus (Hendra, 2007). Pasien
diabetes mellitus dalam hal gaya hidup, perlu perencanaan makan (diet),
latihan (olahraga), pemantauan glukosa darah, terapi (bila diperlukan) dan
pendidikan kesehatan. Oleh karena itu, peran dan dukungan kelompok
keluarga, saudara dan penyuluhan gizi yang berkelanjutan sangat dianjurkan
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Pada penelitian Goz et al (2007), pasien diabetes melitus diperlukan
pengontrolan terhadap metabolik yang dapat mempengaruhi gaya hidup
pasien (dalam menggunakan terapi insulin dan obat antidiabetik oral),
makanan, pengukuran gula darah, dan latihan. Hal ini dapat dicapai dengan
partisipasi atau keterlibatan keluarga. Adanya pengalaman kesulitan bagi
4
pasien, keluarga, dan komplikasi yang mungkin muncul pada saat pasien
beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi akan berdampak terhadap
kualitas serta kemandirian keluarga dalam menghadapi permasalahan
kesehatan pasien diabetes melitus.
Terapi dan perawatan diabetes melitus memerlukan waktu yang
panjang tentunya menimbulkan kebosanan dan kejenuhan pada pasien
diabetes melitus. Oleh sebab itu selain memperhatikan masalah fisik maka
perlu juga diperhatikan faktor psikologis pasien dalam penyelesaian masalah
diabetes melitus. Keikutsertaan anggota keluarga dalam memandu
pengobatan, diet, latihan jasmani, dan pengisian waktu luang yang positif bagi
kesehatan keluarga merupakan bentuk peran aktif bagi keberhasilan
penatalaksanaan diabetes melitus. Pembinaan terhadap anggota keluarga
lainnya untuk bekerja sama menyelesaikan masalah diabetes melitus dalam
keluarganya, hanya dapat dilakukan bila sudah terjalin hubungan yang erat
antara tenaga kesehatan dengan pihak pasien dan keluarganya (Rifki, 2009).
Penelitian yang dilakukan Robinson (2010), terhadap 19 pasien
diabetes melitus, menyimpulkan bahwa dukungan keluarga merupakan faktor
yang paling utama untuk mempertahankan metabolik kontrol yang akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Sementara pada penelitian
Konradsdottir dan Erla (2011), pemberian pendidikan dan intervensi
dukungan terhadap keluarga menghasilkan hubungan positif terhadap
5
kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan anggota keluarga
penderita diabetes melitus.
Setiawan (2010) melakukan penelitian terhadap pasien skizofrenia
beserta keluarganya yang diberikan terapi keluarga, didapatkan hasil bahwa
terapi keluarga efektif terhadap penurunan angka kekambuhan pada pasien
skozofrenia. Sementara penelitian Sutanto (2010) pemberian terapi keluarga
berupa pendidikan kesehatan, pendampingan dan konseling dalam
pengembangan keterampilan, serta pengembangan keterampilan keluarga
dalam berkomunikasi efektif terhadap peningkatan tingkat kemandirian
keluarga dengan permasalahan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Sjattar, Elly, Burhanuddin, dan Sitti
(2011), membuktikan bahwa penerapan model keluarga untuk keluarga yang
merupakan integrasi dari konsep model dan teori keperawatan Self Care dan
Family Centered Nursing dengan cara edukasi suportif pada keluarga yang
dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan selama tiga minggu sangat
berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga
yang menderita tuberkulosis yang ditandai dengan adanya peningkatan
pengetahuan dan kemandirian pada saat post test.
Sudiharto (2007) menyatakan, keluarga merupakan unit pelayanan
kesehatan yang terdepan dalam meningkatkan derajat kesehatan komunitas.
Apabila tercipta keluarga yang sehat, maka akan tercipta komunitas yang
sehat pula. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu anggota keluarga,
6
mengakibatkan berpengaruh terhadap sistem keluarga tersebut. Dan secara
tidak langsung turut mempengaruhi komunitas, bahkan komunitas yang lebih
luas (global). Oleh karena itu keluarga menjadi salah satu bagian terpenting
dalam mencapai suatu keberhasilan kemandirian keluarga.
Hasil studi pendahuluan penelitian di Puskesmas Purwokerto Utara II
yang wilayah kerjanya berada di Kelurahan Sumampir, Kelurahan Gerendeng,
Kelurahan Karangwangkal, dan Kelurahan Pabuaran menunjukkan angka
penderita diabetes melitus sejak bulan Agustus hingga September sejumlah
62 orang dengan kunjungan sebanyak 91 kali terhitung sejak bulan Juni
hingga September. Berdasarkan hasil wawancara oleh petugas Puskesmas
Purwokerto Utara II penderita diabetes melitus datang hampir tiap bulan atau
dua bulan sekali untuk melakukan pengecekan gula darah, pengobatan, dan
cek laboratorium. Pelayanan yang biasanya diberikan hanyalah kepada
penderita diabetes melitus saja tanpa mengikutsertakan keluarga di dalamnya.
Karakteristik pasien diabetes melitus berdasarkan wawancara oleh petugas
puskesmas adalah pasien dengan sosial ekonomi yang rendah, komplikasi
yang telah banyak menyertai pasien diabetes melitus, serta usia yang telah
lanjut.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan di
Puskesmas Purwokerto Utara II periode Desember 2012 – Januari 2012.
Penelitian ini menggambarkan bagaimana tingkat kemandirian keluarga yang
memiliki anggota keluarga berpenderita penyakit kronis, yang dalam
7
penelitian ini adalah penyakit diabetes melitus serta pengaruh setelah
dilakukan terapi keluarga, apakah terjadi perubahan pada tingkat kemandirian
keluarganya.
B. Perumusan Masalah Penelitian
Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang
menimbulkan komplikasi akut maupun kronis. Komplikasi yang ditimbulkan
menyebabkan kualitas hidup pasien menurun yang juga berdampak pada
gangguan di dalam sistem keluarga. Gangguan di dalam sistem keluarga akan
mempengaruhi pada tingkat kemandirian keluarga dalam melaksankaan
perawatan kesehatan komunitas. Tingkat kemandirian keluarga bisa
diintervensi dengan terapi keluarga. Latar belakang yang dijabarkan menjadi
rumusan masalah penelitian, yaitu: “Adakah pengaruh terapi keluarga
terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus
Puskesmas Purwokerto Utara II?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian
keluarga pada penderita diabetes melitus .
8
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik keluarga penderita diabetes melitus
umur, jenis kelamin, riwayat pendidikan, pendapatan perbulan, dan
tahap perkembangan keluarga.
b. Mengidentifikasi tingkat kemandirian keluarga sebelum dilakukan
terapi keluarga pada penderita diabetes melitus.
c. Mengidentifkasi tingkat kemandirian keluarga sesudah dilakukan
terapi keluarga pada penderita diabetes melitus.
d. Mengidentifikasi perbedaan tingkat kemandirian keluarga pada
penderita diabetes melitus sebelum dan sesudah dilakukan terapi
keluarga.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penelitian
Sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang
berpengaruh terhadap terapi keluarga dalam upaya meningkatkan tingkat
keluarga mandiri pada penderita diabetes melitus melalui penggalian
faktor yang lebih luas jangkauan populasi yang lebih besar dan
pendekatan metodologi yang lebih akurat.
2. Bagi Masyarakat
Terapi keluarga digunakan sebagai acuan peningkatan tingkat keluarga
mandiri melalui peningkatan serta pengetahuan tentang penanganan yang
9
tepat dan mandiri terhadap anggota keluarga yang menderita diabetes
melitus.
3. Bagi Institusi
Penelitian ini sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas keluarga dengan
anggota keluarga yang menderita diabetes melitus.
4. Bagi Pendidikan
Memberikan sumbangsih dalam peningkatan keterampilan terapi keluarga
dalam usaha peningkatan penanganan yang tepat dan mandiri pada
keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita diabetes melitus dan
menambah referensi bagi pendidikan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian
keluarga pada penderita diabetes melitus belum pernah dilakukan sebelumnya.
Penelitian yang berkaitan dengan terapi keluarga dan tingkat kemandirian
keluarga antara lain:
1. Susanto (2010) dengan judul Pengaruh Terapi Keperawatan Keluarga
Terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga dengan Permasalahan Kesehatan
Reproduksi pada Remaja di Kelurahan Ratujaya Kecamatan Pancoran
Mas Kota Depok. Variabel bebas pada penelitian ini adalah terapi
keperawatan keluarga dan variabel terikatnya tingkat kemandirian
keluarga. Metode di dalam penelitian ini menggunakan deskriptif analitik
10
dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk
mengaplikasikan terapi keperawatan keluarga terhadap tingkat
kemandirian keluarga dengan permasalahan kesehatan reproduksi remaja.
Sampel pada penelitian ini menggunakan 10 keluarga dengan tahap
perkembangan remaja yang beresiko mengalami permasalahan kesehatan
reproduksi remaja. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pemberian pendidikan kesehatan (KIE: komunikasi, informasi, dan
edukasi), coaching dan conseling dalam pengembangan dan keterampilan
hidup remaja (tanggung jawab, kepercayaan diri, dan penolakan ajakan
pergaulan bebas secara asertif), dan pengembangan keterampilan orang
tua dalam komunikasi secara efektif dengan remaja. Hasil penelitian ini
didapati tingkat kemandirian keluarga dalam mengatasi permasalahan
kesehatan reproduksi dikaitkan dengan 5 tugas keluarga dalam mengatasi
masalah kesehatan keluarga. Lima keluarga dengan kemandirian tingkat
III, empat keluarga dengan tingkat kemandirian II, dan satu keluarga
dengan tingkat kemandirian satu. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian saya adalah pada variabel bebas, namun perbedaannya terletak
pada variabel terikatnya apabila penelitian Susanto meneliti tentang
tingkat kemandirian keluarga dengan permasalahan kesehatan repsoduksi
pada remaja, pada penelitian saya meneliti tingkat kemandirian keluarga
pada penderita diabetes melitus dan pada penelitian Susanto hanya
11
menggunakan 10 sampel keluarga sedangkan pada penelitian saya
menggunakan 33 keluarga.
2. Wiyati, Dyah Wahyuningsih, dan Esti Dwi Widayanti (2010) dengan
judul Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga
dalam Merawat Klien Isolasi Sosial. Penelitian ini dilakukan di RSUD
Banyumas di bangsal keperawatan jiwa. Variabel bebas pada peneltian ini
adalah pengaruh psikoedukasi keluarga dan variabel terikatnya
kemampuan keluarga dalam merawat. Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dengan desain penelitian eksperimen semu (quasi experiment
pre dan post with kontrol group). Besar sampel penelitian ditetapkan
dengan purposive sample yaitu 24 kelompok intervensi yang diberikan
terapi psikoedukasi keluarga dengan 24 keluarga sebagai kelompok
kontrol yang diberikan terapi generalis. Responden dengan rentang rata-
rata usia 43, 81 yang berjenis kelamin wanita dengan pendidikan dasar
dan perawatan selama lebih dari satu tahun. Kemampuan kognitif pada
kelompok intervensi yang belum diberikan terapi mendapatkan nilai
sebesar 47,5 dan setelah dilakukan terapi mendapatkan nilai 77,5.
Kemampuan kognitif pada kelompok kontrol sebelum terapi 51, 25 dan
setelah terapi 64,17. Kemampuan psikomotor pada kemompok intervensi
sebelum dilakukan terapi mendapatkan nilai 48,75 dan setelah dilakukan
terapi 75,83. Kemampuan psikomotor pada kelompok kontrol sebelum
dilakukan terapi 52,5 dan setelah terapi 65. Hasil penelitian
12
memperlihatkan adanya kenaikan yang berarti pada kemampuan keluarga
dalam merawat klien setelah keluarga dilakukan psikoedukasi. Persamaan
penelitian ini dengan penelitin saya terletak pada teknik sampling.
Sedangkan perbedaan dengan penelitian saya adalah terletak pada:
variabel bebas pada penelitian ini adalah pengaruh psikoedukasi
sedangkan pada penelitian saya pengaruh terapi keluarga, variabel terikat
pada penelitian ini kemampuan keluarga dalam merawat klien serta
sedangkan pada penelitian saya tingkat kemandirian keluarga, dan desain
penelitian pada penelitian ini adalah pre post test with kontrol sedangkan
pada penelitian saya pre post without kontrol.
3. Setiawan (2010) dengan judul Keefektifan terapi keluarga terhadap
penurunan angka kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit khusus
jiwa dan saraf Puri Waluyo Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk
menurunkan angka kekambuhan pasien skizofreni. Rancangan penelitian
yang digunakan adalah penelitian kuasi eksperimental pre post kontrol
group design. Teknik pengambilan sampel menggunakan cara purposive
random sampling. Subyek penelitian ini sebanyak 40 orang. 20 orang pada
kelompok perlakukan dan 20 orang pada kelompok kontrol. Kesimpulan
pada penelitian ini adalah terapi keluarga pada kelompok perlakukan
efektif dalam menurunkan angka kekambuhan pasien skizofrenia di
Rumah Sakit Khusus Jiwa dan Saraf Puri Waluyo Surakarta. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian saya terletak pada teknik pengambilan
13
sampel dan variabel bebas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
saya adalah pada variabel terikat yaitu pada penelitian ini ppenurunan
angka kekambuhan sedangkan pada penelitian saya adalah tingkat
kemandirian keluarga dan rancangan penelitian ini menggunakan kuasi
eksperimen pre post with kontrol sedangkan pada penelitian saya
menggunakan pre post without kontrol.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Diabetes mellitus
a. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok kelainan
heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah
tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang
dikonsumsi (Smeltzer dan Bare, 2002).
Pereira, Berg-Cross, Almeida, dan Machado (2008)
menyatakan, diabetes bukanlah satu-satunya penyakit yang termasuk
kedalam penyakit gangguan pada sistem metabolik yang secara umum
penyakit ini disebabkan oleh ketidakmampuan atau ketidakcukupan
pankreas dalam menghasilkan insulin. Diabetes melitus adalah
penyakit kronis yang memerlukan perawatan medis dan penyuluhan
untuk self management yang berkesinambungan untuk mencegah
komplikasi akut maupun kronis. Diabetes mellitus, yakni suatu
penyakit heterogen dan merupakan penyakit tersering yang berkaitan
15
dengan gangguan sekresi hormone pankreas endokrin (Mc Phee dan
Ganong, 2011).
b. Klasifikasi Diabetes Melitus
Beberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan,
berdasarkan metode presentasi klinis, umur awitan, dan riwayat
penyakit. Klasifikasi yang dikeluarkan oleh ADA (American Diabetes
Association) didasarkan atas pengetahuan mutakhir mengenai
pathogenesis sindrom diabetes dan gangguan tolerasi glukosa.
Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO)
dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan
toleransi glukosa:
1) Diabetes melitus tipe 1
Dahulu dikenal sebagai tipe juvenileonset dan tipe dependen
insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia.
Insidensi diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap
tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtype: (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b)
idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui
sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan
Afrika-Amerika dan Asia (Price dan Wilson, 2006).
16
2) Diabetes melitus tipe 2
Dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe
nondependent insulin. Insiden diabetes tipe 2 sebesar 650.000
kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikatkan dengan
penyakit ini (Price dan Wilson, 2006).
3) Diabetes gestasional (GDM)
Dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi
4% dari semua kehamilan. Faktor-faktor terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan
riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan
sekresi berbagai hormone yang mempunyai efek metabolik
terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan
diabetogenik (Price dan Wilson, 2006).
4) Diabetes tipe khusus lain
Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada
MODY, kelainan genetik pada kerja insulin yang menyebabkan
sindrom resistensi insulin berat dan akantosis negrikans, penyakit
pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronis, penyakit
endokrin seperti syndrome Chusing dan akromegali, obat-obatan
bersifat toksik terhadap sel-sel beta, dan infeksi (Price dan Wilson,
2006).
17
c. Etiologi Diabetes Melitus
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes
Melitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β
pulau Langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan Non Insulin
Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTT) disebabakan kegagalan relatif sel β dan
resisten insulin. Resistensi insulin adalah turunannya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu
mengimbangi resisten insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi
relative insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan
glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β
pankreas mengalami desentisasi terhadap glukosa (Mansjoer; Kuspuji;
Rakhmi; Wahyu; Wiwiek, 2008).
d. Gejala Diabetes Melitus
Mansjoer; Kuspuji; Rakhmi; Wahyu; Wiwiek (2008)
mengatakan, diabetes melitus memiliki gejala khas awal berupa
polifagia (banyak makan), poliuria (banyak kencing), polidipsi
(banyak minum), lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang
mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan
impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Menurut
18
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), gejala khas
diabetes melitus terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi, dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala yang tidak
khas diabetes melitus diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva
(wanita).
e. Komplikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien
diabetes melitus terdapat dua jenis, yaitu :
1) Komplikasi akut diabetes
Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan
berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah
jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia,
ketoasidosis diabetic dan sindrom HHNK (juga disebut koma
hiperglikemik hiperosmoler nonketotik atau HONK [hiperosmoler
nonketotik]).
2) Komplikasi Jangka Panjang Diabetes
Angka kematian yang berkaitan dengan ketoasidosis dan infeksi
pada pasien-pasien diabetes tampak terus menurun, tetapi kematian
akibat komplikasi kardiovaskuler dan renal mengalami kenaikan
yang mengkhawatirkan. Komplikasi jangka panjang atau
komplikasi kronis semakin tampak pada penderita diabetes yang
19
berumur panjang. Komplikasi jangka panjang diabetes dapat
menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Kategori komplikasi
kronis diabetes yang lazim digunakan adalah, penyakit
makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler, dan neuropati (Smeltzer
dan Bare, 2002).
Diabetes melitus dengan berbagai perubahan fisik yang
mengharuskan kepatuhan penderita untuk pengontrolan penyakit dapat
menjadi sumber stress yang mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Adaptasi psikologis disebut juga dengan mekanisme koping.
Mekanisme koping ini dapat berorientasi pada tugas, yang mencakup
penggunaak teknik penyelesaian masalah secara langsung untuk
menghadapi ancaman, atau dpat juga mekanisme pertahanan ego, yang
tujuannya untuk mengatur distress emosional. Reaksi pasien diabetes
melitus mungkin dapat memperlihatkan hal-hal seperti sikap
menyangkal, obsesif, marah, frustasi, takut, dan depresi (Semiardji,
2006).
Penyakit diabetes melitus dapat memberikan efek psikososial
seperti depresi, dimana pasien menunjukkan sikap yang negatif dalam
pengendalian diabetes melitus seperti tidak mengikuti diet yang telah
diproframkan, kurang aktivitas fisik, merokok, dan kurangnya
kepatuhan terhadap pengobatan (Riley et al, 2009). Penyakit yang
diderita, pengobatan yang dijalankan dapat mempengaruhi kapasitas
20
fungsional pasien, psikologis, dan kesehatan sosial serta kesejahteraan
pasien diabetes melitus yang didefinisikan sebagai kualitas hidup (Isa
dan Baiyewu, 2008).
f. Upaya pencegahan Diabetes Melitus
Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarya
biaya perawatan pasien penderita diabetes melitus yang terutama
disebabkan oleh karena komplikasi, maka upaya yang paling baik
adalah pencegahan. Menurut PERKENI (2011), upaya pencegahan
pada penderita diabetes melitus ada tiga tahap yaitu:
1) Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada
orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka
yang belum menderita diabetes melitus, tetapi berpotensi untuk
menderita diabetes melitus. Pencegahan ini merupakan suatu cara
yang sangat sulit karena menjadi sasarannya adalah orang-orang
yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya
menjadi sangat luas.
Tanggung jawab ini bukan hanya pada profesi kesehatan tetapi
juga semua pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan
menghindari pola hidup beresiko, serta: kampanye makanan sehat
dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola
makan seimbang, menjaga berat badan agar tidak gemuk dengan
21
olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif terbaik
dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman
kanak-kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan
primer yang sangat murah dan efektif.
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau
menghambat timbulnya komplikasi dengan deteksi dini dan
memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini
dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko
tinggi. Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku
terhadap sehat seperti pada pencegahan primer harus dilakukan
ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di
pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga diperlukan
penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal
mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
3) Pencegahan tersier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang
diakibatkannya terdiri dari tiga tahap antara lain:
a) Mencegah timbulnya komplikasi.
b) Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi
kegagalan organ.
22
c) Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ
atau jaringan.
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien
dan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-
dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran
penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi
pasien unutk mengendalikan diabetesnya.
j. Pengelolaan Diabetes Melitus
Tujuan pengelolaan diabetes melitus dibagi atas tujuan jangka
pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah
hilangnya berbagai keluhan/gejala diabetes melitus sehingga penderita
dapat menikmati hidup sehat dan nyaman. Sedangkan tujuan jangka
panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada pembuluh
darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan angka
morbiditas dan mortalitas (PERKENI, 2011).
1) Edukasi / Penyuluhan
Edukasi diabetes melitus adalah pendidikan dan latihan
mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan
diabetes melitus yang diberikan kepada setiap penderita diabetes
melitus. Di samping kepada penderita, edukasi juga diberikan
kepada anggota keluarga penderita dan kelompok masyarakat yang
23
beresiko tinggi. Tim kesehatan harus senantiasa mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Makanya dibutuhkan
edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan
motivasi (PERKENI, 2011).
Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada penderita diabetes
melitus adalah apa penyakit diabetes melitus itu, cara perencanaan
makanan yang benar (jumlah kalori, jadwal makan, dan
sejenisnya), kesehatan mulut (tidak boleh ada sisa makan dalam
mulut, selalu berkumur setiap habis makan), latihan ringan,
sedang, teratur setiap hari dan tidak boleh latihan berat, menjaga
baik bagian bawah ankle joint (daerah berbahaya) seperti: sepatu,
potong kuku, tersandung, hindari trauma dan luka (PERKENI,
2011).
2) Diet diabetes melitus
Tujuan utama terapi diet pada penderita diabetes melitus
adalah menurunkan atau mengendalikan kadar gula atau kolesterol.
Semua ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
dan mencegah paling tidak menunda terjadinya komplikasi akut
maupun kronis. Penurunan berat badan pasien diabetes melitus
yang mengalami obesitas umumnya akan menurunkan resitensi
insulin. Dengan demikian, penurunan berat badan akan
24
meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel dan memperbaiki
pengendalian glukosa darah (PERKENI, 2011).
3) Latihan Fisik
Diabetes melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat
keseimbangan antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari
dan kerja insulin. Latihan juga dapat membuang kelebihan kalori,
sehingga dapat mencegah kegemukan juga bermanfaat untuk
mengatasi adanya resistensi insulin pada obesitas (PERKENI,
2011).
Meskipun latihan teratur itu baik untuk penderita diabetes
melitus, tetapi syarat yang harus dipenuhi adalah persediaan
insulin di dalam tubuh harus cukup. Apabila latihan dikerjakan
oleh penderita diabetes melitus yang tidak cukup persediaan
insulinnya, maka latihan akan memperburuk bagi penderita
tersebut. Beberapa kegunaan dari latihan teratur setiap hari pada
penderita diabetes melitus antara laian:
a) Meningkatkan kepekaan insulin apabila dikerjakan setiap 1,5
jam sesudah makan dapat mengurangi resistensi insulin dan
meningkatkan sensitivitas insulin pada reseptornya.
b) Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore.
c) Meningkatkan kadar kolesterol HDL yang merupakan faktor
protektif untuk penyakit jantung koroner.
25
d) Glikogen otot dan hati menjadi kurang, maka selama latihan
akan dirangsang pembentukan glikogen baru.
e) Menurunkan total kolesterol dan trigliserida dalam darah,
karena terjadi pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
4) Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa
darah normal belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
fisik. Dalam pengelolaan diabetes melitus yang memakai obat
hipoglikemia ini ada dua macam obat yang diberikan yaitu
pemberian secara oral dan secara injeksi. Obat yang diberikan
secara oral/hipoglikemia yang umum dipakai adalah Sulfomilurea
dan Binguanid. Sedangkan yang diberikan secara injeksi adalah
insulin (PERKENI, 2011).
2. Kemandirian Keluarga
a. Definisi Kemandirian Keluarga
Kemandirian anggota keluarga berpengaruh terhadap pola-pola
yang digunakan di dalam keluarga tersebut, tingkat kematangan
(maturitas) dan perkembangan individu, pendidikan, kesehatan, tingkat
ekonomi dan budaya lingkungan tempat tinggal.Pola-pola tersebut juga
mempengaruhi kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas kesehatan
keluarga. Setiap keluarga memiliki cara masing-masing dalam
melaksanakan tugas kesehatan keluarga, khususnya dalam mengatasi
26
masalah kesehatan pada anggota keluarga. Kemampuan dalam mengatasi
anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan merupakan salah satu
aktualisasi dari keluarga atas kemandirian keluarganya (Sudiharto, 2005).
Kemandirian sebuah keluarga dapat dinilai ketika di dalam
sebuah keluarga terdapat anggota keluarga yang mengalami permasalahan.
Sebuah keluarga dengan atau tanpa anak (anggota keluarga) yang
menderita penyakit kronis selalu memiliki masalah yang muncul dalam
kehidupan berkeluarga. Oleh sebab itu, ketika terdapat anak (anggota
keluarga) yang menderita penyakit kronis, tugas dan tanggung jawab yang
secara normal dihadapi oleh keluarga akan bertambah dan kemungkinan
semakin menyulitkan untuk keluarga menghadapinya secara normal
(Hughes, 2008).
Tingkat kemandirian keluarga menurut Departemen Kesehatan
RI (2006), kemandirian keluarga dalam program Perawatan Kesehatan
Komunitas dibagi menjadi empat tingkatan dari keluarga mandiri tingkat
satu (paling rendah) sampai keluarga mandiri tingkat empat (paling
tinggi).
1) Keluarga mandiri tingkat satu (KM-I)
a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
27
2) Keluarga mandiri tingkat dua (KM-II)
a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara
benar.
d) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.
3) Keluarga mandiri tingkat tiga (KM-III)
a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara
benar.
d) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.
e) Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.
4) Keluarga mandiri tingkat empat (KM-IV)
a) Menerima petugas Perawatan Kesehatan Komunitas.
b) Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
rencana keperawatan.
28
c) Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatannya secara
benar.
d) Melakukan perawatan sederhana sesuai yang dianjurkan.
e) Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif.
f) Melaksanakan tindakan promotif secara aktif.
Berikut ini adalah Indikator Dampak Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kemandirian Keluarga (Efendi
&Makhfudli, 2009)
29
Tabel 2.1 Tingkat Kemandirian Keluarga
No. Kriteria Tingkat Kemandirian Keluarga
I II III IV
1. Menerima petugas
(Perkesmas)
V V V V
2. Menerima pelayanan
kesehatan sesuai
rencana keperawatan
V V V V
3. Tahu dan dapat
mengungkapkan
masalah
kesehatannya secara
benar
V V V
4. Memanfaatkan
fasilitas pelayanan
kesehatan sesuai
anjuran
V V V
5. Melakukan tindakan
keperawatan
sederhana sesuai
anjuran
V V V
6. Melakukan tindakan
pencegahan secara
aktif
V V
7. Melakukan tindakan
peningkatan
kesehatan (promotif)
secara aktif
V
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian
1) Tahap kematangan atau perkembangan keluarga
30
Tahapan perkembangan bukan hanya dimiliki oleh seorang
individu namun juga dimiliki oleh sebuah keluarga dengan tugas
perkembangan yang harus diselesaikan sesuai dengan tahap
perkembangannya (Suprajitno, 2004). Menurut Duval (1997), daur
atau siklus kehidupan keluarga terdiri dari delapan tahap
perkembangan yang mempunyai tugas dan risiko tertentu pada tiap
tahap perkembangannya. Tahap 1 adalah pasangan baru menikah
(keluarga baru), tahap 2 menanti kelahiran atau anak tertua adalah bayi
berusia kurang dari 1 bulan, tahap 3 keluarga dengan anak prasekolah
atau anak tertua 2,5 tahun sampai dengan 6 tahun, tahap 4 keluarga
dengan anak sekolah atau anak tertua berusia 7 sampai 12 tahun, tahap
5 keluarga dengan remaja atau dengan anak tertua berusia 13 sampai
20 tahun, tahap 6 keluarga dengan anak dewasa (pelepasan), tahap 7
keluarga usia pertengahan, dan yang terakhir tahap 8 keluarga usia
lanjut. Tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak tertua
dari keluarga inti (Setyowati & Arita, 2008).
2) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat
dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin
mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya
makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. Latar belakang
31
pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur
pendidikan formal tertinggi. Dalam menempuh pendidikan formal
tersebut seseorang akan mengalami fase percobaan dimana proses
menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dimulai di dalam
keluarga lalu dilanjutkan ke komunitas (Sudiharto, 2007).
3) Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung
maupun secara tidak langsung (Parker, 2005).
4) Pendapatan atau ekonomi
Pendapatan atau tingkat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dan tempat mengembangkan kemampuan individu untuk
meningkatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan keluarga seperti
makan, pakaian, dan rumah (Efendi & Makhfudli, 2009).
5) Kesehatan fisik dan jiwa
Kesehatan yang baik akan mempengaruhi kebahagiaan
seseorang secara umum. Keadaan sehat akan menciptakan energi di
dalam tubuh yang bersifat positif sehingga dianggap dapat
meningkatkan sikap dan motifasi seseorang (Parker, 2005).
6) Pengalaman sebelumnya
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh
individu baik dari dalam dirinya ataupun lingkungannya. Pada
32
dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak
menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada
individu secara subjektif (Efendi & Makhfudli, 2009).
7) Emosional
Akal yang sehat berkembang melalui pengalaman yang praktis
dan relevan. Seseorang yang memiliki kemandirian akan memahami
diantaranya mampu mengambil keputusan rasional dalam hidup sesuai
kebutuhan, bukan keinginan (Parker, 2005).
8) Otonomi
Kemampuan untuk menentukan arah sendiri (self
determination) yang berarti mampu mengendalikan atau
mempengaruhi apa yang terjadi pada dirinya (Sudiharto, 2007).
9) Budaya
Menurut Sudiharto tahun 2007, hal-hal yang berkaitan dengan
nilai-nilai budaya dan gaya hidup adalah posisi atau jabatan, misalnya
ketua adat atau direktur, bahasa yang digunakan, bahasa nonverbal
yang sering ditunjukkan klien, kebiasaan membersihkan diri,
kebiasaan makan, pantang terhadap makanan tertentu berkaitan
dengan kondisi tubuh yang sakit, sarana hiburan yang biasa
dimanfaatkan, dan persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari, misalnya klien menganggap dirinya sakit apabila sudah tergeletak
dan tidak dapat pergi ke sekolah atau ke kantor.
33
3. Terapi Keluarga
a. Pengertian terapi keluarga
Terapi merupakan cara untuk mengatur kembali masalah
hubungan antar manusia. Terapi keluarga merupakan sebuah kegiatan
yang bertujuan untuk menemukan masalah yang timbul, kemudian
dibahas dan diselesaikan bersama dengan anggota keluarga. Terapi ini
dimaksudkan untuk mengubah pola atau bentuk interaksi dalam
sebuah keluarga agar lebih baik lagi dari sebelumnya sehingga dapat
menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam suatu keluarga,
karena pola interaksi antara orang tua dan anak mempengaruhi
perilaku maladaptif di dalam sebuah keluarga. Setiap anggota keluarga
memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada. Terapi keluarga merupakan kompetensi
perawat keluarga yang harus dikuasai (Spradley, 2005).
Dirgagunarsa (2008) menyatakan, terapi keluarga pertama kali
diperkenalkan pada awal tahun 50-an, merupakan metode yang
diperkenalkan oleh para ahli psikoterapi yang bertujuan untuk
mengubah serta memodifikasi tingkah laku seseorang agar tercapai
kualitas hidup yang lebih baik. Keseimbangan keluarga atau istilah yg
dikemukakan oleh Jackson sebagai “family homeostasis” dapat
tercapai dengan bantuan dari anggota-anggota keluarga yang
menciptakan hubungan-hubungan yang harmonis dan saling
34
menghormati satu sama lain. Masalah yang timbul dalam suatu
keluarga tentu akan mengganggu sistem di dalam keluarga dan
permasalahan yang timbul biasanya di karenakan terdapat salah
seorang “penderita”, penderita yang menjadi sumber permasalahan
dalam istilah keluarga dikenal dengan “Identified Patient”.
Terapi keluarga telah dijalankan oleh berbagai bidang ilmu
kesehatan dengan kerangka teori dan praktik yang telah dibentuk dan
dikembangkan sesuai dengan bidang kesehatan yang ditekuni.
Meskipun telah disesuaikan dan dimodifikasi oleh masing-masing
bidang namun pada dasarnya bagaimana menempatkan diri dalam
melakukan wawancara, bagaimana melibatkan diri di dalam keluarga,
bagaimana mengatur kesulitan dan terapeutik yang kompleks pada
saat itu dan dari pertemuan ke pertemuan yang berikutnya ( agar
keluarga tidak keluar dari terapi), bagaimana mengatur perasaan dan
ekspresinya, bagaimana mempertahankan keseimbangan antara jarak
dengan keterlibatan emosional, serta menentukan permasalahan pada
keluarga tersebut, atau permasalahan yang spesifik tertentu dalam
keluarga, finansial atau konteks sosial, lalu permasalahn tersebut besar
atau kecil (Scher & Kasia, 2012).
b. Teori terapi keluarga
Teori terapi ini dikembangkan untuk menangani keluarga-keluarga
yang bermasalah dan arena itu sebagian besar terapi ini berorientasi
35
pada patologi. Para ahli terapi keluarga memfokuskan perubahan pola
keluarga yang malfungsi (Whall, A.L. 1983). Bahwa masalah-masalah
di dalam keluarga sering kali diperburuk oleh malfungsi di dalam
keluarga yang tidak diberi terapi. Petterson (1988) merumuskan
sebuah krisis keluarga sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara
permintaan dan sumber-sumber atau upaya-upaya koping (di dalam
Setyiohadi dan Kushariyadi, 2011).
Teori tersebut bersifat deskriptif menyangkut keluarga-keluarga
fungsional, disfungsional, dan preskriptif (menyarankan straregi-
strategi penanganan). Kebanyakan teori terapi keluarga pada beberapa
tingkat berasal dari atau dipengaruhi oleh teori sistem umum. Teori
intervensi krisis keluarga atau teori krisis merupakan perspektif
teoretis lain yang merupakan tipe model terapi keluarga. Model ini
bersifat jangka pendek, lebih berfokus pada praktik bila dibandingkan
dengan model-model terapi lain. Pendekatan teoretis ini telah terbukti
sangat berguna dalam keperawatan untuk menangani keluarga dalam
krisis yang sedang menderita stress akut (Setyohadi dan Kushariyadi,
2011).
Pada terapi keluarga, seluruh anggota keluarga diikutsertakan
sebagai unit penanganan. Semua masalah dalam keluarga dipandang
dari sudut yang mengungkapkan bagaimana masing-masing anggota
keluarga berkontribusi terhadap masalah yang dialami. Permasalahan
36
karena adanya perbedaan generasi dan keberadaan batasan antar
generasi didokumentasikan. Perawat menentukan apakah orangtua
berindak sebagai orangtua dan anak bertindak sebagai anak (Setyohadi
dan Kushariyadi, 2011).
Menurut ahli teori keluarga, gejala pada setiap anggota keluarga
merupakan cerminan dari perilaku dan hubungan disfungsional serta
pola komunikasi yang tidak sehat. Perilaku ekstrem yang dapat dilihat
misalnya keterlibatan anggota keluarga yang berlebihan dan
komunikasi antar anggota keluarga yang berlebihan. Kebalikan yang
ekstrem, keluarga mungkin tidak terlibat atau kurang terlibat sehingga
komunikasi sangat terbatas atau hampir tidak ada. Perawat melalui tiga
fase hubungan terapeutik dalam bekerja sama dengan keluarga. Tiga
fase tersebut adalah sebagai berikut:
1) Fase periode kesepakatan oleh perawat keluarga
Ditandai dengan terbentuknya hubungan antara anggota keluarga
dan perawat. Pada fase ini, masalah diidentifikasikan dan tujuan
ditetapkan.
2) Fase kerja
Terdiri dari pengubahan pola interaksi, peningkatan kemampuan
individu, dan penggalian cara-cara baru dalam perilaku. Anggota
keluarga diikutsertakan dalam mengklarifikasi batasan, peraturan,
dan harapan.
37
3) Fase terminasi
Keluarga melihat kembali proses yang dibuat dalam mencapai
tujuan, cara-cara untuk mengatasi permasalahan yang timbul
kembali, dan mempertahankan asuhan yang berkesinambungan.
(Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).
c. Macam-macam terapi keluarga
1) Terapi Keluarga Struktural
Terapi keluarga struktural dicetuskan pertama kali oleh
Salvador Minuchin (Broderick & Schrader, 1991). Munichin
(1974) melihat setiap keluarga mempunyai struktur yang
mencerminkan fungsi setiap anggotanya. Struktural ini juga
memperlihatkan bagaimana transaksi yang terjadi antara satu
anggota dengan anggota lainnya di dalam keluarga. Keluarga yang
mengeluh mempunyai masalah adalah keluarga yang strukturnya
tidak berfungsi dengan baik dan sehat. Oleh karena itu, secara
umum tujuan terapi keluarga struktural adalah mengubah struktur
keluarga agar dapat berfungsi dengan baik yang memudahkan
setiap individu berkembang dan saling mendukung satu terhadap
yang lain (Limansubroto, 1996).
Menurut Munichin (1974), masalah yang ada di dalam
keluarga disebabkan karena adanya pola-pola transaksi tertentu
yang menyebabakan struktur yang disfungsi. Transaksi yang
38
berulang ini menetapkan pola akan bagaimana, kapan, dan kepada
siapa seorang anggota keluarga itu berhubungan. Setelah suatu
jangka waktu tertentu pola ini akan membentuk bagaimana sistem
keluarga itu berfungsi. Sebagai contoh, seorang ibu yang beberapa
kali berkata pada anaknya untuk minum susu dan anak itu
menurut. Interaksi ini memperlihatkan siapa ibu tersebut dalam
relasinya dengan anak itu dan siapa anak itu dalam relasinya
dengan ibu tersebut, dalam konteks waktu itu. Pola transaksi
semacam ini mengatur tingkahlaku anggota keluarga. Jika ada
masalah, terapi keluarga struktural menantang keluarga yang
selama ini berlangsung untuk berubah agar keluarga dapat
memecahkan masalah yang dihadapi. Walaupun setiap keluarga
adalah unik, pada dasarnya ada masalah dan tujuan terapi yang
dapat disimpulkan secara umum. Pada umumnya tujuan yang ingin
dicapai oleh terapi keluarga struktural adalah terciptanya struktur
hierarki yang efektif.
Orang tua diharapkan menjadi penanggung jawab dan
pemimpin yang tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak-
anak mereka. Dengan demikian terapi harus dapat membantu
orang tua agar bersama-sama dapat menjadi subsistem eksekutif
yang kompak antara bapak dan ibu. Pada keluarga yang
hubungannya terlau dekat satu sama lain (enmeshed), mereka
39
dibantu agar setiap individu lebih mandiri dan membangun batas
yang sehat di antara mereka. Pada keluarga yang hubungan antar
anggotanya terlalu jauh satu sama lain (disenganged), tujuan terapi
adalah membuat batas yang lebih lunak atau lebih lentur antara
satu anggota keluarga yang lain (Limansubroto, 1993).
2) Terapi Keluarga Strategis
Terapi keluarga strategis didasarkan pada terapi
strategis ala Milton Erickson (Haley, 1976). Dalam
perkembangannya ada beberapa pendekatan, seperti problem
solving therapy dari Jay Haley dan Cloe Madanes, serta dari
kelompok Mental Reaserach Institute dan kelompok Milan dari
Italia. Semua jenis terapi ini mempunyai kesamaan dalam beberapa
karakteristik yang umum (Limansusbtroto, 1993). Patokan yang
umum dari terapi keluarga strategis adalah bahwa tanggung jawab
untuk merencanakan strategis dalam memecahkan masalah yang
tersaji (the presenting problem). Penekanan terapi strategis
bukanlah pada metode yang dapat diterapkan pada semua kasus,
melainkan pada perencanaan strategi untuk setiap masalah yang
spesifik. Intervensi yang dilakukan harus di dalam situasi sosial
klien karena terapi ini memfokuskan pada dilema-dilema manusia
dalam konteks sosialnya (Haley, 1973).
40
Terapi keluarga strategis mendefinisikan masalah
sebagai suatu bentuk tingkah laku yang merupakan bagian dari
urutan tingkah laku dari beberapa orang (Haley, 1976). Secara
analog, pendekatan terapi strategis mengasumsikan bahwa masalah
pada seorang anak atau simtom pada seorang dewasa adalah cara
orang tersebut berkomunikasi dengan orang lain (Madanes, 1981).
Sebagai contoh, pada kasus seorang pria yang mengalami depresi,
tidak mau bekerja, dapat diasumsikan sebagai cara orang tersebut
berkomunikasi dengan istrinya dalam masalah-masalah tertentu.
Beberapa pertanyaan yang dapat dipikirkan dalam kasus tersebut
adalah misalnya, apakah selama ini istrinya menghargai suaminya
dalam pekerjaannya, atau apakah sang suami harus selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan istrinya, dan sebagainya.
Dapat terjadi bahwa pasangan itu menjadi tidak stabil dalam relasi
mereka sehubungan dengan masalah tersebut dan anak mereka
mulai mengembangkan simtom yang membuat sang ayah sibuk
dengan anak daripada ia hanya depresi dan tampak tidak
kompeten. Jadi, simtom secara analog seringkali merupakan
metaphor dari ekspresi adanya masalah dan ternyata masalahnya
adalah solusi yang tidak memuaskan bagi keluarga tersebut (the
problem is the solution). Dengan demikian tujuan terapi seringkali
41
adalah mengubah analog dan metaphor yang selama ini ada dalam
keluarga (Madanes, 1981).
d. Tujuan terapi keluarga
Tujuan pertama adalah menemukan bahwa masalah yang ada
berhubungan dengan keluarganya, kemudian dengan jalan apa dan
bagaimana anggota keluarga tersebut ikut berpartisipasi. Hal ini
dibutuhkan untuk menemukan siapa yang sebenarnya terlibat, karena
anggota keluarga perlu bergabung dalam sesi keluarga dalam terapi
ini, dan jika memungkinkan dapat diikutsertakan tetangga, nenek serta
kakek, atau keluarga dekat yang berpengaruh (Triyanto, 2011).
Tujuan utama terapi keluarga adalah untuk mengidentifikasi
masalah yang akan dihadapi pasien pada masa yang akan datang dan
membuat rencana supaya permasalahan tersebut dapat dihadapi atau
dihindari. Penelitian yang pernah dilakukan membuktikan bahwa
mengajarkan keterampilan-keterampilan memecahkan masalah kepada
pasien dan keluarga mereka adalah lebih efektif untuk mencapai tujuan
dibandingkan dengan hanya memberikan terapi individual pada
penderita.Terapi ini juga terbukti efektif pada penurunan dosis obat
pada penderita skizofrenia yang melakukan terapi bersama
keluarganya, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup serta sistem
keluarga menjadi optimal (Semiun, 2006).
42
Tujuan jangka panjang bergantung pada bagian terapis
keluarga, apakah sebagian besar yang dilakukan untuk
mengembangkan status mengenali pasien, klarifikasi pola komunikasi
keluarga. Dalam survey, responden diminta menyebut tujuan primer
dan sekunder mereka, untuk seluruh keluarga, ke dalam delapan
kemungkinan tujuan. Tujuan yang disebut sebagai tujuan primer
mengembangkan komunikasi untuk seluruh keluarga ternyata lebih
dipilih mengembangkan otonomi dan individu. Sebagian memilih
pengembangan simptom individu dan mengembangkan kinerja
individu. Memfasilitasi fungsi individu adalah tujuan utama dari terapi
individual, tetapi para terapis keluarga melihat hal tersebut sebagai
bukan hal utama dalam proses perubahan keluarga yang menghormati
anggota lainnya (Triyanto, 2011).
Tujuan terapi keluarga menurut Setyohadi dan Kushariyadi
(2011) adalah:
1) Meningkatkan fungsi keluarga.
2) Memperbaiki ketidakadekuatan interaksi dan komunikasi
interpersonal yang terlibat dari perbaikan pada klien yang
teridentifikasi.
3) Mengenali dan menyatakan pola yang sering tersembunyi dalam
mempertahankan keseimbangan di dalam keluarga. Membantu
keluarga mengenali bahwa pada kenyataannya gejala klien yang
43
diidentifikasi memiliki fungsi penting dalam mempertahankan
homeostasis keluarga.
4) Membantu keluarga mengerti arti dan tujuan pola tersebut. Proses
terapi keluarga membantu mengungkapkan pengulangan dan
akhirnya dapat meramalkan pola komunikasi keluarga yang
tertanam dan mencerminkan perilaku klien tertentu.
5) Memecahkan atau menurunkan konflik dan kecemasan patogenik
di dalam matriks hubungan interpersonal.
6) Meningkatkan persepsi dan pemenuhan kebutuhan anggota
keluarga lain oleh anggota keluarga.
7) Meningkatkan hubungan peran yang sesuai antargender dan
antargenerasi.
8) Memperkuat kemampuan anggota individu serta keluarga sebagai
kesatuan untuk mengatasi tenaga destruktif di dalam dan di luar
lingkungan sekitarnya.
9) Mempengaruhi identitas dan nilai-nilai keluarga sehingga anggota
keluarga terorientasi kepada kesehatan dan pertumbuhan.
10) Memahami bagaimana dinamika keluarga mepengaruhi
psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptive, serta menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga.
44
11) Mengubah satu bagian sistem sehingga sistem tersebut berfungsi
dengan cara yang lebih sehat, dengan demikian sisa sistem ikut
berubah.
12) Melakukan perubahan yang bermanfaat pada setiap anggota
dengan berfokus pada keluarga sebagai suatu keseluruhan.
13) Menggunakan kekuatan keluarga untuk membantu keluarga
mengidentifikasikan masalah, menetapkan tujuan untuk perubahan
dan pemecahan masalah.
14) Mendorong komunikasi terbuka antar anggota keluarga.
15) Membantu satu atau lebih anggota keluarga untuk melakukan
diferensiasi.
16) Menggunakan pandangan historis dan fungsi keluarga tersebut dari
generasi ke generasi untuk memahami masalah yang dihadapi saat
ini, seperti:
a) Mencari data riwayat keluarga.
b) Menyusun genogram keluarga, yang merupakan gambaran
keluarga tersebut dari waktu ke waktu dan mencakup
kelahiran, kematian, pernikahan, dan peristiwa-peristiwa
penting lainnya.
17) Membantu anggota keluarga menentukan batasan-batasan yang
tepat, mengurangi perilaku, mengandalikan, dan membantu klien
45
meningkatkan tanggung jawab diri (penyuluhan klien dan
keluarga).
18) Membantu keluarga mendapatkan keterampilan dan bantuan yang
diperlukan untuk membuat perubahan yang dapat meningkatkan
fungsi semua anggota keluarga.
19) Membantu memutus siklus penganiayaan.
20) Menganjurkan anggota keluarga dari seorang penyalahgunaan zat
untuk mendefinisikan dan mempertahankan fungsi diri yang
bertanggung jawab sehingga dapat mengurangi perilaku
kodependen.
21) Deskriptif dan preskriptif (model praktik) yaitu menjelaskan
disfungsi keluarga dan menurun tindakan-tindakan terapeutik.
Tujuan akhir terapi keluarga adalah untuk mengintegrasikan
keluarga ke dalam sistem yang besar di dalam masyarakat, termasuk
keluarga besar (extended family), masyarakat (seperti sekolah, fasilitas
medis, badan sosial, rekreasional, dan kesejahteraan) sehingga tidak
terisolasi (Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).
e. Indikasi terapi keluarga
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
908/MENKES/SK/VII/2010, sasaran pelayanan keperawatan keluarga
adalah:
1) Keluarga sehat
46
Jika seluruh anggota keluarga dalam kondisi sehat tetapi
memerlukan antisipasi terkait dengan siklus perkembangan
manusia dan tahapan tumbuh kembang keluarga. Fokus intervensi
keperawatan terutama pada promosi kesehatan dan pencegahan
penyakit.
2) Keluarga risiko tinggi dan rawan kesehatan
Jika satu atau lebih anggota keluarga memerlukan perhatian
khusus. Keluarga risiko tinggi termasuk keluarga yang memiliki
kebutuhan untuk menyesuaikan diri terkait siklus perkembangan
anggota keluarga, keluarga dengan faktor risiko penurunan status
kesehatan misalnya: bayi BBLR, balita gizi buruk / gizi kurang,
bayi / balita yang belum diimunisasi, bumil anemia, bumil
multipara (bumil dengan skor 6-10, resiko tinggi dengan skor ≥ 12)
atau usia lebih dari 36 tahun, lansia lebih dari 70 tahun atau
dengan masalah kesehatan, remaja penyalahgunaan narkoba.
3) Keluarga yang memerlukan tindak lanjut
Keluarga yang anggotanya mempunyai masalah kesehatan dan
memerlukan tindak lanjut pelayanan keperawatan / kesehatan
misalnya: klien pascahospitalisasi penyakit kronik, penyakit
degenerative, tindakan pembedahan, penyakit terminal.
Indikasi keluarga yang memerlukan terapi keluarga menurut
Triyanto (2011), adalah sebagai berikut:
47
1) Konflik perkawinan, konflik sibling, konflik beberapa generasi.
2) Konflik antara orangtua dan anak.
3) Konflik pada masa transisi dalam keluarga seperti pasangan yang
baru menikah, kelahiran anak pertama dan masalah remaja.
4) Terapi individu yang memerlukan melibatkan anggota keluarga
lain.
5) Proses terapi individu yang tak kunjung mengalami kemajuan.
f. Teknik wawancara terapi keluarga
Faktor yang mempengaruhi kualitas wawancara berasal:
1) Keluarga ke terapi dengan riwayat dan dinamikanya yang melekat
kuat.
2) Anggota keluarga biasanya tinggal bersama-sama dan dengan
suatu tingkat, tergantung satu sama lainnya untuk kesehatan fisik
dan emosionalnya.
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ahli terapi
mengenai masalah yang dihadapi keluarga:
1) Kepada pasangan
a) Tanyakan mengenai bagaimana mereka bertemu.
b) Kapan mereka memutuskan untuk menikah.
c) Tanyakan mengenai kehidupan perkawinan awal.
d) Komentar mengenai pengaruh masa lalu.
48
2) Kepada istri dan suami
a) Tanyakan bagaimana klien memandang orangtua, anggota
keluarga yang lain, dan kehidupan keluarga.
b) Bawalah kronologi kembali ke saat klien bertemu dengan
suami atau istri.
c) Tanyakan mengenai harapan tentang perkawinan.
3) Kepada pasangan orangtua
a) Tanyakan mengenai harapan mereka tentang menjadi orangtua.
b) Komentar mengenai pengaruh masa lalu.
4) Kepada anak
a) Tanyakan mengenai pandangan pada orangtua.
b) Bagaimana mereka bergembira.
c) Bagaimana mereka berbeda pendapat.
5) Kepada keluarga secara keseluruhan
a) Yakinkan keluarga bahwa aman untuk mengungkapkan
komentar.
b) Tekankan kebutuhan komunikasi yang jelas.
c) Lakukan terminasi.
d) Berikan harapan.
(Setyohadi dan Kushariyadi, 2011)
49
g. Frekuensi dan lama terapi keluarga
Tahapan dalam terapi keluarga biasanya dilakukan tidak lebih
dari satu kali dalam seminggu (kecuali jika terjadi kegawatdaruratan).
Masing-masing tahapan memerlukan waktu paling lama dua jam.
Lama terapi tergantung dari sifat masalah dan model terapeutik
(Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).
Kriteria untuk mengakhiri terapi adalah sebagai berikut:
1) Jika anggota keluarga dapat menyelesaikan perjanjian,
pemeriksaan, dan pertanyaan.
2) Jika anggota keluarga dapat menginterpretasikan permusuhan.
3) Jika anggota keluarga dapat mengetahui bagaimana mereka
melihat diri mereka sendiri.
4) Jika salah satu anggota keluarga dapat mengatakan kepada yang
lain tentang bagaimana memanifestasikan dirinya sendiri.
5) Jika salah satu anggota keluarga dapat mengatakan kepada yang
lain apa yang diharapkan, ditakutkan, dan diinginkan dari
keluarganya.
6) Jika anggota keluarga mampu mengungkapkan ketidaksetujuan.
7) Jika anggota keluarga dapat membuat pilihan.
8) Jika anggota keluarga dapat belajar melalui praktik.
9) Jika anggota keluarga dapat membebaskan diri mereka sendiri dari
efek yang membahayakan dari model di masa lalu.
50
10) Jika anggota keluarga dapat memberikan pesan yang jelas (yaitu
sejalan dengan perilaku keluarga) dengan perbedaan minimal
antara perasaan dan komunikasi dan dengan pesan tidak langsung
yang minimal.
(Menurut Satir (1967) dalam Setyohadi dan Kushariyadi, 2011).
h. Proses terapi keluarga
Terapi keluarga meletakkan terapis dalam hubungan yang
berbeda dengan kliennya dibandingkan dengan terapi kelompok atau
individu. Ia harus belajar kultur keluarga, bahasa, dan aturan. Terapis
harus sampai pada sistem keluarga, dan memahaminya. Terapi dimulai
dari usaha menemukan hal yang sedang mengganggu keluarga dan apa
yang mereka harapkan melalui terapi ini. Terapis berfokus kepada
masalah yang dialami keluarga dan kemudian anggota keluarga
menyampaikan / memberikan kontribusi masing-masing. Terapis
bertugas mendorong seluruh anggota keluarga untuk terlibat dalam
masalah yang ada bersama-sama. Terapis keluarga biasa dibutuhkan
ketika terjadi krisis keluarga yang mempengaruhi seluruh anggota
keluarga, ketidakharmonisan seksual atau perkawinan, atau konflik
keluarga. Tanpa adanya kesadaran pentingnya menyelesaikan masalah
pada setiap anggota inti keluarga, maka terapi keluarga sulit
dilaksanakan (Triyanto, 2011).
51
B. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber yaitu
Spradley (2005), Setyohadi dan Kushariyadi (2011), Dirgagunarsa (2008),
Semiun (2006), Scher & Kozia (2012), Departemen Kesehatan RI (2006),
Triyanto (2011), Smeltzer dan Bare (2002), Price dan Wilson (2006), Manjoer
(2008), Suyono (2009), Mc Phee dan Ganong (2011), Brunner dan Suddarth
(2002), Pereira, Berg-Cross, Almeida, dan Machado (2008) Efendi &
Makhfudli (2009). Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Penderita DIABETES
MELITUS:
1. Penurunan
Produktifitas
2. Perubahan
tanggung jawab
3. Perubahan Peran
Tingkat
Kemandirian
Keluarga
Kualitas Hidup ↓
Gangguan Fungsi dan
Sistem Keluarga
Terapi Keluarga
Memperbaiki
komunikasi
Memecahkan /
menurunkan
konflik
Meningkatkan
persepsi dan
pemenuhan
penderita
DIABETES
MELITUS
Fungsi keluarga
optimal
Gambar 2.1 Kerangka Teori
52
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja dalam
melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Keterangan:
a : diteliti
: tidak diteliti
Variabel terikat
Tingkat kemandirian
keluarga sebelum
dilakukan intervensi
Variabel bebas
Terapi keluarga
Variabel terikat
Tingkat kemandirian
keluarga sesudah
dilakukan intervensi
Faktor pengganggu
1. Emosional
2. Pengalaman
sebelumya
3. Kesehatan fisik
dan jiwa
4. Otonomi
5. Budaya
Gambar 2.2 Kerangka konsep
1. Tahap
perkembangan
keluarga
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
4. Pendapatan
53
D. Hipotesis
Hipotesis penelitian menerjemahkan tujuan penelitian ke dalam dugaan
yang jelas merupakan prediksi dari hasil penelitian yaitu hubungan yang
diharapkan antar variabel yang dipelajari. Hipotesis dari hasil penelitian yang
diharapkan. Hipotesis penelitian harus dinyatakan secara jelas, tepat, dapat
diukur, dan dalam kalimat sekarang (Saryono, 2011).
Hipotesis penelitian diambil berdasarkan kerangka teori dan kerangka
konsep tersebut, maka peneliti menggunakan rumusan hipotesis kerja (Ha)
dalam penelitian yaitu : ada pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat
kemandirian keluarga pada penderita diabetes mellitus di Puskesmas
Purwokerto Utara II.
54
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian pre
eksperimental dengan rancangan one group pre and posttest design
without control group. One group pre and pots test design merupakan
hubungan sebab akibat yang melibatkan satu kelompok subjek.
Rancangan penelitian yang dilakukan hanya menggunakan satu kelompok
subyek, tanpa menggunakan kelompok kontrol. Pengukuran variabel
penelitian dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Pengaruh intervensi
penelitian didapatkan dari perbedaan kedua hasil pengukuran (Saryono,
2011). Desain penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian yang
sederhana.
Penelitian yang dilakukan meneliti berapa besar pengaruh terapi
keluarga terhadap tingkat keluarga mandiri dengan membandingkan
tingkat kemandirian keluarga sebelum intervensi dan setelah dilakukan
intervensi.
Gambaran skema penelitian yang akan dilakukan (Nazir, 2005):
0 (X) 01
55
Keterangan:
X : Intervensi, terapi keluarga
0 : Hasil pengukuran tingkat keluarga mandiri sebelum diberikan
perlakuan (terapi keluarga)
01
: Hasil pengukuran tingkat keluarga mandiri setelah diberikan
perlakukan (terapi keluarga)
2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian yaitu posisi geografis dimana responden berada
sehingga proses penelitian dapat dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan di
kediaman keluarga dengan diabetes melitus yang merupakan pasien di
Puskesmas Purwokerto Utara II dengan cakupan wilayah kerja di
Kelurahan Sumampir, Kelurahan Pabuaran, Kelurahan Karangwangkal,
dan Kelurahan Gerendeng. Adapun peneliti memilih pasien diabetes
melitus di kawasan kerja Puskesmas Purwokerto Utara II karena
penderita diabetes melitus yang jumlahnya cukup banyak selain itu
karakteristik keluarga yang beragam dari latar belakang budaya, agama,
dan kehidupan sosial, dan lokasi yang dekat dengan peneliti menjadikan
lebih efisien dari segi tenaga, waktu, dan finansial.
56
3. Waktu penelitian
Waktu penelitian merupakan rentang waktu yang dibutuhkan
untuk dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan selama empat bulan,
terhitung sejak bulan Bulan November 2012 sampai Februari 2013.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Santjaka (2009) mendefinisikan populasi yaitu keseluruhan subjek
dimana sebagian daripadanya akan diambil untuk dilakukan pengukuran.
Hasil pengukuran menjadi dasar untuk generalisasi penelitian. Populasi
dalam penelitian yang dilakukan merupakan pasien diabetes melitus
beserta keluarganya sebanyak 62 keluarga.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil dengan
menggunakan teknik sampling. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini digunakan
berdasarkan pertimbangan atas biaya, waktu, tenaga, sehingga tidak dapat
mengambil sampel dalam jumlah yang banyak (Saryono, 2011).
Adapun pemilihan sampel didasarkan pada kriteris inklusi dan
eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi
a. Keluarga dengan anggota keluarganya menderita diabetes mellitus.
57
b. Dapat diajak berkomunikasi.
c. Bersedia mengikuti penelitian dan telah menandatangani formulir
kesediaan (informed consent).
b. Kriteria eksklusi
a. Mengalami gangguan jiwa.
b. Tidak dapat berkomunikasi.
Penentuan besar sampel menggunakan berbagai pertimbangan
meliputi pertimbangan praktis, pertimbangan metodologis, dan
pertimbangan lain (Saryono, 2011). Populasi < 100 sebaiknya
diambil sampel 50% dari populasi. Populasi yang tersedia pada
penelitian ini di Puskesmas Purwokerto Utara II adalah 62.
Perhitungan besar sampelnya sebagai berikut:
( )
Keterangan:
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi
Z : nilai standarnormal untuk α = (1,64)
p : proprsi kejadian, jika belum diketahui, dianggap 50%
q : proporsi selain kejadian yang diteliti, q=1-p
d : tingkat kesalahan yang dipilih (d=0,1)
(Santjaka, 2009).
58
n = 62.(1,64)2.0,5.0,5
0,12(62-1)+(1,64)
2. 0,5.0,5
n = 41,6888
1,2824
n = 32,5
n = 33
Jumlah sampel yang diberi intervensi sebanyak 33 responden.
C. Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu
kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain
(Notoatmodjo, 2010). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Variabel bebas (independent) merupakan variabel yang menstimulasi
target (Saryono, 2011). Variabel bebas dalam penelitian yang dilakukan
yaitu terapi keluarga.
2. Variabel terikat (dependent) merupakan variabel yang dipengaruhi dan
menjadi akibat dari variabel bebas (Hidayat, 2003). Variabel terikat dalam
penelitian yang akan dilakukan yaitu tingkat kemandirian keluarga.
59
D. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan
menghindari perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variable
(Saryono, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
.
Variable Definisi
operasional
Cara ukur Parameter Jenis
data
1. Terapi
keluarga
Terapi yang
diberikan pada
keluarga yang
memiliki anggota
keluarga
penderita diabetes
mellitus dengan
metode
wawancara dan
ceramah.
Standar
operasional
prosedur
Nominal
2. Kemandi
rian
keluarga
Tingkat
kemandirian
keluarga atas pola
dan perilaku yang
diberikan
terhadap keadaan
kesehatan anggota
keluarga yang
mengalami
gangguan
kesehatan.
Mengguna
kan
kuesioner
Indikator
Dampak
Kemandiri
an
Keluarga
untuk
diabetes
melitus
Dikategorikan
berdasarkan
tingkatan
keluarga
mandiri yang
dibagi menjadi
(KM-I), (KM-
II), (KM-III),
dan (KM-IV).
Ordinal
60
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Instrumen penelitian ini
menggunakan Indikator Dampak Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Berdasarkan Tingkat Kemandirian Keluarga yang telah ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) dengan dilakukan
modifikasi. Pengukuran tingkat kemandirian keluarga berupa rentang tingkat
kemandirian keluara I – IV berdasarkan kemampuan keluarga terhadap
program perawatan kesehatan komunitas, dimana I merupakan tingkat
kemandirian terendah dan IV merupakan tingkat kemandirian tertinggi.
F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Uji Validitas
Agar data yang diperoleh mencapai derajat akurasi yang signifikan,
maka validitas dan reliabilitas perlu diuji terlebih dahulu sebelum
digunakan (Fathoni, 2006). Dalam hal ini kuesioner.
Validitas adalah indeks yang menunjukkan alat ukur tersebut benar-
benar mengukur apa yang diukur, pengukuran validitas kuesioner
dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan alat ukur
untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Notoatmondjo, 2010).
61
Adapun validitas yang telah diuji pada instrumen ini adalah internal,
berupa validitas untuk angket yang menggunakan rumus pearson product
moment (Arikunto, 2006). Uji coba instrumen yang telah dilakukan dalam
penelitian ini adalah dengan memberikan kuesioner pada 23 orang
responden yang berada di luar kelurahan yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Purwokerto Utara II yaitu pada Desa Rempoah yang memiliki
karakteristik sama dengan lingkungan responden pada penelitian. Setelah
hasil uji coba diperoleh, hasil dihitung dengan rumus pearson product
moment sebagai berikut:
Keterangan:
r : Koefisien korelasi
∑X : Jumlah skor pertanyaan
∑Y : Jumlah skor total
n : Jumlah responden
Kriteria pengujian :
Apabila r hitung > r tabel, maka item pertanyaan valid
Apabila r hitung < r tabel, maka item pertanyaan adalah tidak valid
62
Validitas pada penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rempoah dengan
23 responden, peneliti melakukan modifikasi agar kuesioner Tingkat
Kemandirian Keluarga lebih spesifik terhadap Tingkat Kemandirian
Keluarga dengan diabetes melitus. Selanjutnya dilakukan validitas dengan
pertanyaan terbuka artinya peneliti menuntun responden agar lebih
memahami maksud dari pertanyaan yang diberikan. Hasilnya terdapat 13
pertanyaan yang valid.
2. Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat di
percaya dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok
subjek yang sama diperoleh hasil yang relative sama. Pengukuran yang
memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliable.
Walaupun reliabilitas mempunyai berbagai makna lain seperti
keterpercayaan, keterandalan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya,
namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh
mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2006).
Pengujian reliabilitas instrumen dalam penelitian ini telah
menggunakan uji Alpha Cronbach sebagai berikut:
63
Keterangan:
Hasilnya setelah dilakukan validitas peneliti selanjutnya melakukan
reliabilitas pada kuesioner. Kuesioner tingkat kemandirian keluarga
untuk penderita diabetes melitus mendapatkan reliabilitas 0,713.
G. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Persiapan materi melalui studi dokumentasi dan studi pustaka yang
mendukung penelitian.
2. Pembuatan proposal penelitian yang dilanjutkan dengan pengujian
proposal penelitian.
3. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada skala pengukuran Indikator
Dampak Keperawatan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Tingkat
Kemandirian Keluarga yang telah dilakukan modifikasi.
4. Pengajuan surat rekomendasi dari kampus untuk melakukan penelitian di
Puskesmas Purwokerto Utara II.
64
5. Sosialisasi rencana penelitian dan pengumpulan data sekunder berupa
nama serta alamat pasien diabetes melitus dibantu oleh karyawan yang
berada di Puskesmas Purwokerto Utara II.
6. Mengunjungi rumah calon responden dengan meminta persetujuan untuk
menjadi sampel penelitian.
7. Apabila responden memenuhi kriteria inklusi penelitian dilakukan
pencatatan pada lembar observasi dan melakukan kontrak waktu untuk
melakukan terapi keluarga.
8. Melakukan persamaan persepsi dengan asisten penelitian dan membagi
keluarga yang akan menerima terapi keluarga.
9. Minggu pertama terapi dilakukan pengumpulan data tingkat kemandirian
keluarga dengan skala pengukuran Indikator Dampak Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kemandirian Keluarga
Diabetes Melitus dan pengkajian dan identifikasi masalah yang sedang
keluarga alami dan dilakukan terapi keluarga dengan penyelesaian
masalah yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga.
10. Minggu kedua dilakukan terapi keluarga dengan pendidikan kesehatan
mengenai penyakit diabetes melitus, perawatan dan penanganan yang
tepat, pemberian informasi mengenai tindakan pencegahan.
11. Minggu ketiga dilakukan evaluasi, terminasi, dan diukur kembali tingkat
kemandirian keluarganya dengan menggunakan Indikator Dampak
65
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kemandirian
Keluarga Diabetes Melitus.
12. Setelah dilakukan terapi keluarga kemudian penelitian selesai setelah
target sampel kelompok intervensi telah terpenuhi.
13. Semua data direkap, dihitung kemudian dilakukan analisa statistik dengan
menggunakan komputer.
14. Setelah analisa statistik selesai kemudian dibuat pembahasan dan
kesimpulan yang disusun ke dalam laporan hasil penelitian.
H. Analisis Data
Adapun langkah-langkah dalam memproses data adalah sebagai berikut:
1. Editing, yaitu kegiatan penyusunan data yang telah terkumpul dan
melakukan pengecekan kelengkapan data untuk mengoreksi kesalahan
Data yang tidak lengkap dan salah tidak dipakai dalam penelitian.
2. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode untuk setiap variabel untuk
memudahkan dalam pengolahan data yang masuk dan memudahkan
analisis data. Kode yang digunakan berupa angka yang disesuaikan
dengan jenis variabel.
3. Entry, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam program computer untuk
diolah menggunakan komputer.
4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti
untuk keperluan analisis.
66
5. Pengolahan data menggunakan program statistik dan dianalisis dengan uji
statistik yaitu Wilcoxon test.
6. Cara analisis
Setelah dilakukan pengumpulan data maka komponen variabel penelitian
yang dapat dilakukan analisis merupakan:
a. Analisis univariat
Analisis univariat merupakan pengumpulan data yang disajikan
dalam bentuk tabel frekuensi, ukuran tendensi sentral, dan grafik.
Skala data nominal atau ordinal dapat dilakukan analisis menggunakan
frekuensi dan prosentase. Variabel yang berupa data demografi pasien
(umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan) dan
tingkat kemandirian keluarga dianalisis secara dekskriptif dengan
menghitung persentase keadaan demografi pasien berupa berupa jenis
kelamin, pekerjaan, pendidikan dan penghasilan serta tingkat
kemandirian keluarga disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Data
usia menggunakan ukuran tendensi sentral yang disajikan dalam
rerata dan standar deviasi (Saryono, 2011).
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk
mengetahui interaksi dua variabel. Variabel yang dianalisis meliputi
variabel bebas dan terikat. Analisis bivariat dalam penelitian yang
akan dilakukan digunakan `untuk menganalisis pengaruh antara terapi
67
keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga digunakan Uji
Wilcoxon. Uji ini menguji perbedaan sebelum dan sesudah perlakukan
(Santjaka, 2009).
Keterangan:
Z = Nilai Z- hitung
T = Selisih terkecil
N = jumlah sampel
I. Etika Penelitian
Etika merupakan prinsip moral yang mempengaruhi tindakan. Penelitian
yang melibatkan manusia sebagai objek penelitiannya harus menerapkan etika
penelitian (Saryono, 2011). Penelitian yang dilakukan juga menggunakan
objek manusia yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, maka
peneliti harus memahami hak dasar manusia (Hidayat, 2003). Penelitian yang
dilakukan menjunjung tinggi prinsip etika penelitian yang merupakan standar
etika dalam melakukan penelitian (Polit dan Beck, 2006). Prinsip etika
penelitian yang dikemukakan Saryono (2011) sebagai berikut :
68
1. Prinsip manfaat (beneficience)
Prinsip manfaat dalam penelitian mengharuskan peneliti untuk
memperkecil risiko dan memaksimalkan manfaat. Penelitian terhadap
manusia diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
manusia baik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Prinsip benefience meliputi hak mendapatkan perlindungan dari
penderitaan dan hak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi (Saryono,
2011).
Bebas dari penderitaan, yaitu perlakuan penelitian yang dilaksanakan
tanpa mengakibatkan penderitaan pada responden (Saryono, 2011).
Perlakuan terapi keluarga dilakukan dalam pengawasan peneliti. Perlakuan
terapi keluarga dilakukan berdasarkan prosedur sehingga responden bebas
dari penderitaan dan bebas dari eksploitasi.
2. Prinsip menghormati martabat manusia (non-malefience)
a) Hak untuk menentukan pilihan, yaitu hak untuk memutuskan dengan
sukarela apakah responden tersebut berkenan atau tidak dalam
penelitian terapi keluarga tanpa risiko yang merugikan. Hak non –
malefience meliputi hak untuk mendapat pertanyaan, mengungkapkan
keberatan, dan menarik diri (Saryono, 2011). Peneliti
menginformasikan informed consent. Informed consent diberikan
69
sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan
untuk menjadi responden.
b) Hak mendapatkan data yang lengkap, yaitu menghormati martabat
manusia meliputi hak – hak masyarakat untuk memberi informasi
tentang terapi keluarga, keputusan sukarela tentang keikutsertaan
penelitian yang memerlukan ungkapan data lengkap (Saryono, 2011).
3. Prinsip keadilan (Justice)
Hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil. Subyek harus
diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah
keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila
ternyata mereka tidak bersedia atau dropped out sebagai responden.
4. Kerahasiaan (Confidentiality)
Prinsip kerahasiaan menjamin semua informasi yang dikumpulkan
dalam penelitian tidak dibuka didepan publik. Data ilmiah yang dijadikan
variabel dalam penelitian hanya ditampilkan untuk keperluan penelitian dan
disajikan tanpa mendeskripsikan identitas responden. Semua informasi yang
telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya sehingga perlu adanya
kerahasiaan nama (anonymity) dan identitas reponden. Responden terapi
keluarga berhak meminta untuk digunakan inisial nama dalam memasukan
nama di penelitian.
70
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Penelitian
Penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh terapi keluarga terhadap
tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus telah peneliti
lakukan pada bulan Januari dan Februari 2013 di wilayah kerja Puskesmas
Purwokerto Utara II yang meliputi Kelurahan Karangwangkal, Kelurahan
Gerendeng, Kelurahan Sumampir, dan Kelurahan Pabuaran Kabupaten
Banyumas. Pada periode tersebut, peneliti memperoleh 33 responden yang
sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan.
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu
pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu seperti waktu, biaya, dan
tenaga berdasarkan pertimbangan atau tujuan tertentu.
2. Karakteristik Responden Diabetes Melitus di Puskesmas Purwokerto Utara II
a. Karakteristik Umur Responden
Karakteristik umur responden menggunakan umur kepala keluarga
yang anggota keluarganya menderita diabetes melitus dan berada di
71
wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II. Karakteristik umur
responden dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakterisitk umur responden diabetes melitus di wilayah kerja
Puskesmas Purwokerto Utara II
Variabel
n Minimal Maksimal Rerata
Std.
Deviasi
Usia (bulan) 14 29 75 56,242 12,111
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui rata-rata umur responden 56,24 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan usia responden yang tertinggi 75 tahun dan
terendah 29 tahun dengan standar deviasi 12,11.
b. Karakteristik Jenis Kelamin Responden
Karakteristik jenis kelamin responden adalah laki-laki dan wanita yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II. Karakteristik jenis
kelamin responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
kelamin kepala keluarga yang anggota keluarganya menderita diabetes
melius. Karakteristik jenis kelamin responden dapat dilihat di tabel 4.2.
Tabel 4.2 Karakteristik jenis kelamin responden diabetes melitus di
wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II.
Jenis Kelamin Frekuensi (%)
Laki-laki 27 81,8
Perempuan 5 15,2
Total 33 100
72
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui karakteristik jenis kelamin responden
pada kelompok intervensi sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yatu 27
responden (81,8%). Sedangkan untuk responden berjenis kelamin
perempuan sebanyak 5 responden (15,2%).
c. Karakteristik Pendidikan Responden
Karakteristik pendidikan responden yang anggota keluarganya
menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas
Purwokerto Utara II dibagi menjadi 5 kategori.
Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Karaketristik pendidikan responden diabetes melitus di wilayah
kerja Puskesmas Purwokerto Utara II
Pendidikan Frekuensi (%)
Tidak sekolah 1 3
Lulus SD 9 27,3
Lulus SMP 7 21,2
Lulus SMA 11 33,3
Lulus Akademi/PT 5 15,2
Total 33 100
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui karakteristik pendidikan responden
sebagian besar lulus SMA yaitu 11 responden (33,3%) dan responden yang
paling sedikit yaitu tidak sekolah hanya 1 responden (3%).
d. Karakteristik Pekerjaan Responden
Karakteristik pekerjaan responden yang anggota keluarganya
menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas
73
Purwokerto Utara II terdiri dari 6 jenis pekerjaan yaitu ibu rumah tangga,
petani, buruh, wiraswasta, PNS, dan pensiunan. Karakteristik pekerjaan
responden yang dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Karaktersitik pekerjaan responden diabetes melitus di wilayah
kerja Puskesmas Purwokerto Utara II
Pekerjaan Frekuensi (%)
Ibu rumah tangga 4 12,1
Buruh 8 24,2
Wiraswasta 8 24,2
PNS 4 12,1
Pensiunan 9 27,3
Total 33 100
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui karakteristik pekerjaan responden
yang didapatkan dalam penelitian antara lain ibu rumah tangga, buruh,
wiraswasta, PNS, dan pensiunan. Terdapat dua jenis pekerjaan yang
memiliki jumlah sama dan menjadi pekerjaan yang banyak di miliki oleh
responden yaitu buruh sebanyak 8 responden (24,2%) dan pensiunan
sebanyak 9 responden (27,3%).
e. Karakteristik Pendapatan Perbulan Responden
Karakteristik pendapatan perbulan yang anggota keluarganya
menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas
Purwokerto Utara II di bagi menjadi 3 kategori Karakteristik pendapatan
perbulan responden yang dapat dilihat pada tabel 4.5.
74
Tabel 4.5 Karaktersitik pendapatan perbulan responden diabetes melitus di
wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II
Pendapatan perbulan Frekuensi (%)
< Rp 1.000.000 13 39,4
Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 9 27,3
>Rp 2.000.000 11 33,3
Total 33 100
Berdasarkan tabel 4.4 pendapatan perbulan responden dengan anggota
keluarga penderita diabetes melitus mayoritas memiliki pendapatan per
bulan < Rp 1.000.000 sebanyak 13 reponden (39,4%).
f. Karakteristik Tahap Perkembangan Keluarga Responden
Karakteristik tahap perkembangan keluarga yang anggota keluarganya
menderita diabetes melitus dan mendapatkan pelayanan di Puskesmas
Purwokerto Utara II di bagi menjadi 8 kategori perkembangan keluarga.
Tabel 4.6 Karaktersitik tahap perkembangan keluarga responden diabetes
melitus di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II
Tahap perkembangan Frekuensi (%)
Anak prasekolah / anak tertua
berusia 2,5 tahun – 6 tahun
2 6,1
Anak sekolah / anak tertua berusia
7 tahun – 12 tahun
4 12,1
Remaja / anak tertua berusia 13
tahun – 20 tahun
4 12,1
Dewasa (pelepasan) 13 39,4
Pertengahan 6 18,2
Usia lanjut 4 12,1
Total 33 100
75
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui karakteristik tahap perkembangan
keluarga yang didapatkan dalam penelitian antara lain anak prasekolah /
anak tertua berusia 2,5 tahun – 6 tahun, anak sekolah / anak tertua berusia 7
tahun – 12 tahun, remaja / anak tertua berusia 13 tahun – 20 tahun, dewasa
(pelepasan), pertengahan, usia lanju. Sebagian besar berada pada fase
dewasa (pelepasan) sebanyak 13 responden (39,4%).
3. Gambaran Tingkat Kemandirian Keluarga pada Penderita Diabetes Melitus
Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi Keluarga
Tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus diukur
dengan menggunakan Skala Pengukuran Tingkat Kemandirian Keluarga
untuk Penderita Diabetes Melitus. Tabel yang disajikan akan memperlihatkan
tingkat kemandirian keluarga sebelum diberikan terapi keluarga dan setelah
dilakukan terapi keluarga. Gambaran tingkat kemandirian responden dapat
dilihat pada tabel 4.7.
76
Tabel 4.7 Gambaran tingkat kemandirian keluarga pada penderita
diabetes melitus Puskesmas Purwokerto Utara II
Tingkat
Kemandirian
Terapi keluarga
Sebelum Sesudah
Frekuensi (%) Frekuensi (%)
TK I 24 72,7 8 24,2
TK II 7 21,2 9 27,3
TK III 1 3 12 36,4
TK IV 1 3 4 12,1
Total 33 100 33 100
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui tingkat kemandirian keluarga
responden sebelum dilakukan terapi keluarga terbanyak berada di Tingkat
Kemandirian I (TK I) dengan jumlah 24 responden (72,7%) dan setelah
dilakukan terapi keluarga tingkat kemandirian keluarga responden paling
banyak berada pada tingkat III dengan jumlah responden sebanyak 12
responden (36,4%).
4. Perbedaan Tingkat Kemandirian Keluarga pada Penderita Diabetes Melitus
Sebelum dan Setelah di Lakukan Terapi Keluarga
Untuk melihat pengaruh terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga
pada penderita diabetes melitus dilakukan dengan Uji Wilcoxon.
77
Tabel 4.8 Hasil analisa statistik Wilcoxon
Variabel Mean Rank Sum of
Ranks
Z Asymp. Sig
(2 tailed)
Terapi
keluarga
sebelum dan
sesudah
12 276 -4,350 0.000
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dapat melalui perbandingan Z
hitung dengan Z tabel. Nilai Z hitung dihasilkan -4,350 dengan Z tabel tabel
(α=0,05) yaitu -1,96, sehingga Z hitung > Z tabel. Dengan demikian Ha
diterima dan Ho ditolak. Berarti dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
terapi keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes
melitus Puskesmas Purwokerto Utara II.
Penilaian juga dapat menggunakan nilai Asymp. Sig yaitu 0,000 yang
artinya p < α(0.000<0,05) yang berarti terdapat pengaruh terapi keluarga
terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus
Puskesmas Purwokerto Utara II secara signifikan.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden Diabetes Melitus di Puskesmas Purwokerto Utara II
a. Karakteristik Umur Responden
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui umur responden termuda
berumur 29 tahun dan yang tertua berumur 75 tahun. Hasil perhitungan
78
statistika dapat disimpulkan bahwa rata-rata umur responden yang di
penelitian ini adalah kepala keluarga berumur 56,24 tahun.
Rata-rata umur pada penelitian ini di dapatkan responden pada rentang
umur pra lansia (45-59) tahun. Menurut penelitian Rimajunita (2010),
tidak ada hubungan umur dengan tingkat kemandirian seseorang. Berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009), bahwa terdapat
hubungan antara umur dengan kemandirian seseorang dalam hal ini
khususnya lansia, dimana semakin meningkatnya umur maka semakin
berkurangnya kemampuan lansia dalam beraktifitas sehari-hari. Menurut
Komnaslansia (2010) dan Papalia (2008) dengan meningkatnya umur
maka secara alamiah akan terjadi penurunan kemampuan fungsi untuk
merawat diri sendiri maupun berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya,
dan bergantung pada orang lain.
Penelitian ini menemukan bahwa semakin tua umur yang merawat
penderita diabetes penerimaan terhadap informasiyang disampaikan oleh
terapi juga semakin sulit. Contohnya seperti sulitnya mengingat
penjelasan tentang penyakit diabetes dan sulitnya memecahkan
permasalahan dalam keluarga. Namun hambatan usia tersebut dapat di
atasi dengan anggota keluarga lain yang berusia cukup muda dan sehat
secara fisik.
79
b. Karakteristik Jenis Kelamin Responden
Hasil analisis menunjukkan jumlah responden laki-laki sebanyak 27
responden (81,8%) dan responden wanita sebanyak 5 responden (15,2%).
Jumlah responden laki-laki dapat dilihat jumlahnya lebih banyak
dibandingkan responden perempuan. Menurut penelitian Rimajunita
(2010) berdasarkan hasil perhitungan statistik tidak terdapat hubungan
jenis kelamin dengan tingkat kemandirian (p>0,05).
Hasil penelitian ini cukup berbeda dengan pendapat Darmojo (2004),
bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat
kemandirian. Jenis kelamin laki-laki memiliki tingkat ketergantungan
lebih besar dibandingkan wanita, dan ini akan terus meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Kehidupan dalam susunan keluarga (family
living arrangement) dapat dilihat bahwa wanita lebih banyak yang
mandiri.
Perbedaan tingkat kemandirian ini dipengaruhi oleh tradisi daerah
tempat tinggal, dimana laki-laki hanya bertugas mencari uang sedangkan
wanita untuk pekerjaan yang menyangkut mengurus rumah dan keluarga
adalah tanggung jawab wanita (Rimajunita, 2010). Pada penelitian yang
dilakukan di Islandia oleh Konradsdottir dan Erla tahun 2011 dikatakan
bahwa adaptasi seorang laki-laki yang disini berperan sebagai ayah lebih
baik dibandingkan seorang wanita, adapatasi disini adalah berupa adaptasi
80
atas penerimaan pendidikan jangka pendek dan dukungan intervensi pada
keluarga yang anggota keluarganya menderita diabetes melitus tipe 1.
Kejadian yang peneliti temui ketika dilakukannya terapi keluarga
terhadap keluarga dengan anggota keluarga berpenderita diabetes melitus
adalah peran laki-laki dalam keluarga yang biasanya sebagai pasangan
penderita diabetes melitus cukup tanggap dan perhatian. Salah satu
contohnya adalah ikut mengatur waktu makan, minum obat, dan turut
serta dalam mengantarkan pasangan atau anggota keluarga menuju tempat
pelayanan kesehatan baik rumah sakit maupun puskesmas. Peran kepala
keluarga yang berjenis kelamin laki-laki juga lebih cepat dalam
mengambil keputusan ketika terjadi diskusi untuk memecahkan masalah
yang terjadi di dalam keluarga yang berhubungan dengan anggota
keluarga berpenderita diabetes melitus. Contohnya ketika terjadi
permasalahan dalam ketidaktersediannya dana untuk memenuhi
kebutuhan sebulan sekali untuk pengecekan gula darah, lalu di ambil
kesimpulan untuk menyisihkan uang setiap hari untuk dana pengecekan
gula, selain itu ketika dimintanya penderita diabetes untuk mengurangi
konsumsigula, maka peran laki-laki untuk menginfromasikan hal tersebut
ke seluruh anggota keluarga dengan dimulainya pengurangan kadar gula
dalam makanan dan minuman dalam keluarga tersebut.
81
c. Karakteristik Pendidikan Responden
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pendidikan responden
sebagian besar yaitu lulus SMA 11 responden (33,3%) dan yang paling
kecil yaitu tidak sekolah yang hanya 1 responden (3%). Sejumlah 16
responden termasuk dalam golongan pendidikan tinggi yaitu yang
mendapatkan pendidikan di SMA dan perguruan tinggi. Responden yang
mendapatkan pendidikan dasar berjumlah 16 responden mencakup
responden yang mendapatkan pendidikan SD dan SMP.
Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus diabetes dapat
terjadi pada orang dengan pendidikan tinggi maupun dasar. Meskipun di
dalam tinjauan teori tidak dijelaskan antara keterkaitan pendidikan dengan
penyakit diabetes melitus. Namun peneliti beasumsi bahwa makin tinggi
pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk
menyerap sumber informasi maka tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam mempertahankan atau
memperbaiki kondisi kesehatannya.
Sesuai dengan pendapat Yusra (2011), tingkat pendidikan
mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencari perawatan dan
pengobatan penyakit yang dideritanya, serta memilih dan memutuskan
tindakan atau terapi yang akan dijalani untuk mengatasi masalah
kesehatannya. Pendapat ini juga dikuatkan oleh pendapat dari
Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan merupakan tolak ukur seseorang
82
telah mampu menempuh jenjang pendidikan formal pada suatu bidang,
tetapi bukan berarti menjadi tolak ukur seseorang telah menguasai
beberapa bidang ilmu. Seseorang dengan pendidikan yang baik, lebih
matang terhadap proses perubahan pada dirinya, sehingga akan lebih
mudah menerima informasi luar yang bernilai positif, obyektif, dan
terbuka terhadap berbagai informasi dalam bidang kesehatan.
d. Karakteristik Pekerjaan Responden
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dengan jumlah 9
responden (27,3%) sebagai pensiunan, pekerjaan buruh dan wiraswasta
masing-masing 8 responden (24,2%), dan ibu rumah tangga dan PNS
masing-masing 4 responden (12,1%). Karakteristik pekerjaan responden
dilihat berdasarkan pekerjaan kepala keluarga yang terdapat di Kartu
Keluarga.
Pekerjaan dengan jumlah terbanyak pada penelitian ini sebagai
pensiunan kemungkinan terdapat hubungan dengan usia responden pada
penelitian ini yang memang berusia tua. Pernyataan ini di dukung oleh
pernyataan Nugroho (2000) bahwa kondisi lanjut usia menyebabkan
kemunduran di bidang ekonomi. Masa pensiun akan berakibat turunnya
pendapatan, hilangnya fasilitas-fasilitas, kekuasaan, wewenang, dan
penghasilan.
83
e. Karakteristik Pendapatan Perbulan Responden
Penghasilan perbulan responden pada penelitian ini merupakan
penjumlahan responden dengan pasangan hidupnya atau anak yang tinggal
bersama dan membiayai biaya hidup atau responden itu sendiri jika
pasangannya tidak bekerja atau sudah meninggal dunia. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa jumlah responden yang berpenghasilan <Rp
1.000.000 sebanyak 13 responden (39,4%) tidak jauh berbeda dengan
yang berpenghasilan >Rp 2.000.000 sebanyak 11 responden (33,3%), dan
sisanya dengan responden sejumlah 9 berpenghasilan dari rentang Rp
1.000.000 – Rp 2.000.000.
Penelitian ini menunjukkan sejumlah 20 responden berada pada
pendapatan yang cukup dan 13 responden berpendapatan rendah. Menurut
Gautam et al (2009), terdapat hubungan antara kualitas hidup pasien
diabetes melitus dengan keadaan sosial ekonomi pada keluarga tersebut.
Apabila kualitas hidup pasien diabetes melitus rendah maka terdapat
hubungan pada rendahnya tingkat sosial ekonomi pada keluarga tersebut.
Namun menurut Yusra (2011), walaupun sosial ekonomi rendah, namun
yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan dan manajemen perawatan
diri dari pasien diabetes melitus dalam mengatasi permasalah dari
penyakitnya.
Temuan pada penelitian ini, bahwa penghasilan perbulan >Rp
1.000.000 memiliki perilaku kesehatan lebih baik dibandingkan dengan
84
yang berpenghasilan <Rp 1.000.000 dalam sebulan. Dimungkinkan
dengan penghasilan >Rp 1.000.000 keluarga dan penderita diabetes
melitus lebih mudah dan leluasa untuk melakukan kunjungan ke
pelayanan kesehatan serta memenuhi kebutuhan penderita diabetes melitus
dan keluarga.
f. Karakteristik Tahap Perkembangan Keluarga Responden
Tahap perkembangan keluarga pada penelitian ini dilihat berdasarkan
tingkat perkembangan anak tertua dari kepala keluarga tersebut. Tahap
perkembangan yang ditemukan pada penelitian ini yang memiliki angka
terbesar berada pada tingkat perkembangan keluarga dewasa (pelepasan)
sebanyak 13 responden (39,4%) sedangkan tahap perkembangan dengan
nilai terkecil adalah tahap perkembangan tahap anak prasekolah atau anak
tertua berusia 2,5 tahun – 6 tahun sebanyak 2 responden (6,1%).
Tahap perkembangan keluarga merupakan berbagai tugas
perkembangan yang harus diselesaikan pada tahap perkembangan sebuah
keluarga. Apabila sebuah keluarga belum dapat menyelesaikan tahap
perkembangan yang seharusnya sudah dapat dilakukan kemungkinan
terdapat kesalahan dalam sistem keluarga tersebut. Sehingga dapat
menyebabkan ketidakbahagiaan, merasa tidak diakui oleh masyarakat, dan
kesulitan dalam mencapai keselarasan dan aktualisasi diri. Tugas-tugas
keluarga mencakup tanggung jawab untuk memuaskan biologis, cultural,
85
dan personal dan peran serta dari anggota keluarga pada setiap tahap
perkembangan keluarga (Christensen & Jannet, 2009).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa nilai terbesar pada tahap
perkembangan keluarga berada pada tahap dewasa (pelepasan). Pada tahap
ini menurut Suprajitno (2004) keluarga memiliki tugas untuk
menyelesaikan beberapa tugas seperti, mempertahankan kesehatan
individu dan pasangan usia pertengahan, mempertahankan hubungan yang
serasi dan memuaskan dengan anak-anaknya dan sebaya, serta
meningkatkan keakraban pasangan.
2. Gambaran Tingkat Kemandirian Keluarga Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Terapi Keluarga
Tingkat kemandirian keluarga di Kelurahan Karangwangkal,
Kelurahan Gerendeng, Kelurahan Sumampir, dan Kelurahan Pabuaran
sebelum diberikan terapi keluarga terdapat 24 responden (72,7%) berada
ada Tingkat Kemandirian Keluarga I, 7 responden (21,2%) berada pada
Tingkat Kemandirian Keluarga II, 1 responden (3%) berada pada Tingkat
Kemandirian Keluarga III, dan 1 responden (3%) berada pada Tingkat
Kemandirian Keluarga IV.
Setelah dilakukan terapi keluarga sebagian besar Tingkat Kemandirian
Keluarga responden mengalami kenaikan dan berada di Tingkat
Kemandirian Keluarga IV sebanyak 4 responden (12,1%). Peningkatan
Tingkat Kemandirian Keluarga III sebanyak 12 responden (36,4%),
86
Peningkatan Tingkat Kemandirian Keluarga II sebanyak 9 responden
(27,3%), sedangkan terdapat 8 responden (24,2%) berada di Tingkat
Kemandirian Keluarga I. Pada penelitian ini terdapat 10 keluarga yang
tidak mengalami kenaikan pada Tingkat Kemandirian Keluarga atau
hanya berada pada Tingkat Kemandirian Keluarga yang sama.
Tingkat Kemandirian Keluarga merupakan gambaran kemampuan
sebuah keluarga dalam melakukan tindakan dalam mencapai status
kesehatan. Pemberdayaan keluarga memiliki makna bagaimana keluarga
memampukan dirinya sendiri dengan fasilitasi orang lain untuk
meningkatkan atau mengontrol status kesehatan keluarga (Nurhaeni,
2011).
Pada Tingkat Kemandirian Keluarga I terdapat dua aspek yang telah
mampu dilakukan oleh keluarga. Kedua hal ini dinilai berdasarkan
penerimaan keluarga terhadap petugas kesehatan dan penerimaan terhadap
pelayanan kesehatan sesuai rencana keperawatan. Pada penelitian ini
penerimaan petugas kesehatan dinilai dari penerimaan keluarga terhadap
terapis sejak awal kedatangan terapis di dalam keluarga tersebut. Aspek
yang dinilai berikutnya didasarkan atas kesesuaian keluarga dalam
menerima rencana keperawatan yang diberikan, dalam aspek ini dilihat
berdasarkan frekuensi penderita diabetes melitus melakukan pengecekan
kadar gula darah salam satu bulan. Dikatakan mampu menjalankan
rencana keperawatan apabila penderita diabetes melakukan pemeriksaan
87
gula darah minimal satu bulan sekali. Pada Tingkat Kemandirian Keluarga
I, keluarga baru mampu melakukan kedua aspek dari tujuh aspek pada
Tingkat Kemandirian Keluarga.
Pada Tingkat Kemandirian Keluarga II, terdapat lima aspek yang telah
mampu dipenuhi oleh keluarga. Dua aspek pertama merupakan dua aspek
yang terdapat di Tingkat Kemandirian Kelurahan I, sedangkan aspek
ketiga adalah keluarga telah dapat mengetahui serta dapat mengungkapkan
masalah kesehatan keluarganya secara benar pada hal ini mengenai
penyakit diabetes melitus. Di dalam aspek ini keluarga diharapkan telah
mampu menjelaskan definisi atau pengertian dari penyakit diabetes
melitus, penyebab penyakit diabetes melitus, dampak kesehatan yang
timbul apabila terkena diabetes melitus, serta mengetahui latihan fisik
ringan yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes melitus. Aspek
keempat adalah keluarga telah mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan sesuai anjuran, seperti mengunjungi dokter atau perawat
praktik, puskesmas, atau rumah sakit. Aspek kelima dinilai berdasarkan
kemampuan keluarga dalam melakukan tindakan keperawatan sederhana
sesuai anjuran tenaga kesehatan seperti melakukakan perencanaan
makanan yang benar pada pasien diabetes melitus dilihat berdasarkan
kesesuain jadwal makan dan jenis makanan yang disediakan oleh keluarga
pada penderita diabetes melitus.
88
Kemandirian Keluarga tingkat III dinilai berdasarkan kemampuan
keluarga melakukan enam aspek yang telah ditentukan. Lima aspek
pertama merupakan lima aspek yang terdapat di Tingkat Kemandirian
Keluarga II. Aspek keenam pada Kemandirian Keluarga Tingkat III
adalah keluarga telah melakukan tindakan pencegahan secara aktif.
Tindakan pencegahan ini dilakukan agar tidak terdapat anggota keluarga
lain yang menderita diabetes melitus. Pada penelitian ini tindakan
pencegahan yang dilakukan oleh keluarga dinilai berdasarkan kemampuan
keluarga menjaga berat badan anggota keluarga yang tidak terkena
diabetes melitus. Menjaga berat badan dilihat berdasarkan kegiatan
aktifitas keluarga seperti olahraga secara teratur, pola makan teratur dan
seimbang sesuai dengan kebutuhan gizi.
Tingkat kemandirian keluarga yang terakhir yang juga dinilai sebagai
tingkat kemandirian keluarga yang terbaik adalah Tingkat Kemandirian
Keluarga IV. Pada Tingkat Kemandirian Keluarga IV ini terdapat tujuh
aspek yang telah mampu dilakukan oleh keluarga. Keenam aspek pertama
merupakan semua aspek yang terdapat di Tingkat Kemandirian Keluarga
III. Aspek ketujuh merupakan tindakan keluarga yang telah mampu
melakukan tindakan peningkatan kesehatan (promotif) secara aktif. Pada
aspek ini keluarga telah mampu melakukan tindakan peningkatan
kesehatan secara mandiri dan telah memiliki kesadaran akan kegunaan
dari tindakan peningkatan kesehatan. Tindakan yang dinilai pada aspek
89
peningkatan kesehatan pada penelitian ini adalah kemampuan seluruh
anggota keluarga untuk melakukan olahraga secara teratur, menjaga berat
badan, dan mengikuti penyuluhan tentang diabetes melitus yang diadakan
oleh sebuah instansi.
Penelitian ini terdapat 10 keluarga yang tidak mengalami kenaikan
atau hanya berada pada Tingkat Kemandirian Keluarga yang sama.
Terdapat delapan keluarga yang tetap berada di Tingkat Kemandirian
Keluarga I, satu keluarga tetap berada di Tingkat Kemandirian Keluarga
III, dan satu keluarga berada di Tingkat Kemandirian Keluarga IV.
Peneliti memperkirakan ketidakberubahan Tingkat Kemandirian Keluarga
disebabkan karena kurangnya dukungan anggota keluarga yang baik serta
lingkungan, keadaan ekonomi yang kurang memadai, budaya, serta
pengalaman sakit sebelumnya yang diderita oleh anggota keluarga.
Sejalan dengan Stuart dan Laraia (2005), yang mengatakan
memberikan pendidikan pada keluarga dapat meningkatkan kemampuan
kognitif karena mendapatkan pengetahuan baru tentang sebuah penyakit,
mendapatkan pengajaran keterampilan teknik yang dapat membantu
keluarga untuk mengetahui gejala-gejala penyimpangan perilaku, serta
secara tidak langsung keluarga mendapatkan dukungan dari pihak luar.
Konseling pada terapi keluarga juga diterapkan pada penelitian ini.
Konseling dialakukan agar terjalinnya komunikasi yang baik antar
keluarga dan tercapainya penyelesaian masalah yang diselesaikan secara
90
bersama-sama. Sehingga hasilnya diharapkan dapat memuaskan seluruh
anggota keluarga. Selain itu dengan adanya konseling keluarga, keluarga
akan merasa lebih bahagia dan merasa diperhatikan. Sehingga motivasi
keluarga dalam meningkatkan kesehatan menjadi semakin meningkat.
Sehingga yang diharapkan keluarga menjadi mampu meningkatkan
pencapaian pengetahuan tentang penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga, keluarga mampu melindungi keluarga dengan mengetahui
gejala-gejala yang membahayakan anggota keluarga, mampu mengambil
tindakan yang tepat dalam penanganan anggota keluarga yang sakit, serta
keluarga merasa bahagia karena merasa mendapatkan dukungan dari pihak
luar.
3. Perbedaan Tingkat Kemandirian Keluarga pada Penderita Diabetes
Melitus Sebelum dan Setelah di Lakukan Terapi Keluarga
Hasil penelitian menemukan nilai Z hitung -4,350 < Z tabel -1,96
(α=0,05). Selain itu, hasil penelitian ini menemukan nilap p value 0,000 <
0,05. Kedua hasil ini menunjukkan adanya pengaruh terapi keluarga
terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus
Puskesmas Purwokerto Utara II secara signifikan.
Hasil uji ini diperkuat dengan adanya peningkatan kemampuan
keluarga dalam melakukan tindakan untuk meningkatkan kualitas
kesehatan anggota keluarga. Pada hasil penelitian sebanyak 23 keluarga
mengalami peningkatan Tingkat Kemandirian Keluarga sedangkan 10
91
keluarga tidak mengalami kenaikan atau berada pada Tingkat
Kemandirian Keluarga yang sama meskipun telah dilakukan terapi
keluarga. Peningkatan Tingkat Kemandirian Keluarga pada 23 keluarga
ini bervariasi, terdapat keluarga yang mengalami peningkatan di Tingkat
Kemandirian Keluarga II, Tingkat Kemandirian III, serta terdapat pula
yang berada di tahap Tingkat Kemandirian Keluarga IV.
Peningkatan terjadi setelah dilakukan terapi keluarga yang di
dalamnya diberikan pendidikan serta keterampilan dalam merawat
anggota keluarga yang mengalami diabetes melitus secara benar dan tepat
dan konseling untuk memecahkan permasalahan yang terdapat di dalam
keluarga. Peningkatan terjadi pada aspek pengetahuan keluarga mengenai
penyakit diabetes melitus, awalnya keluarga hanya mengetahui bahwa
diabetes melitus merupakan penyakit gula darah yang tinggi. Setelah
dilakukan terapi keluarga, keluarga jadi memahami penyebab dari
penyakit diabetes melitus, dampak kesehatan apabila terkena diabetes
melitus, tanda-tanda secara umum apabila terkena diabetes, serta jenis
olahraga untuk penderita diabetes melitus.
Peningkatan bukan hanya terjadi pada aspek pengetahuan
keluarga mengenai penyakit diabetes melitus lebih jauh namun juga pada
cara keluarga dalam menyelesaikan permasalahan di dalam keluarga yang
berkaitan dengan adanya anggota keluarga yang menderita diabetes
melitus. Konseling pada terapi keluarga juga dilakukan untuk
92
memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga. Contoh permasalahan
yang timbul di dalam keluarga dengan anggota keluarga berpenderita
diabetes melitus adalah kurangnya ketenggang rasaan antar keluarga
dalam hal pengaturan makanan dan minuman. Misalnya makanan dan
minuman seorang berpenderita diabetes melitus sudah selayaknya kadar
gula tidak banyak, namun karena dalam sebuah keluarga hampir sebagian
besar anggota keluarga menyukai manis dan tidak berpenderita diabetes
melitus maka makanan atau minuman juga dibuat seperti kesukaan
anggota keluarga yang tidak berpenderita diabetes melitus. Dari hal ini
lah dijelaskan perlunya ada ketenggang rasaan antar keluarga terhadap
anggota keluarga yang sakit dengan membuat makanan atau minuman
dengan gula yang minimum dan ditambahkan apabila terasa kurang manis
bagi anggota keluarga yang tisak sakit. Komunikasi yang baik sangat di
butuhkan untuk mendapatkan hasil saling pengertian antar keluarga. Pada
sesi konseling juga di jelaskan agar keluarga mampu dan berani
mengeluarkan pendapat kepada anggota keluarga lain dengan baik dan
bertanggung jawab.
Penerimaan pelayanan kesehatan oleh keluarga juga termasuk ke
dalam aspek Tingkat Kemandirian Keluarga. Pada aspek ini keluarga jadi
memahami bahwa pentingnya kontrol gula darah minimal satu bulan
sekali untuk memantau kadar gula darah anggota keluarga yang
menderita diabetes melitus. Selain itu keluarga memahami pola makan
93
yang benar dan kandungan makanan yang dibutuhkan oleh penderita
diabetes melitus. Mengetahui pentingnya merawat dan menjaga tubuh
penderita diabetes melitus dari luka khususnya ekstremitas bawah.
Selain diberikan pendidikan dan keterampilan dalam melakukan
peawatan dan penanganan pada penderita diabetes melitus, keluarga juga
diberikan pengetahuan mengenai pentingnya dilakukan pencegahan dan
peningkatan kesehatan. Keluarga telah memahami pentingnya mencegah
anggota keluarga lain agar tidak terkena diabetes melitus dengan
melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan peningkatan kesehatan
seperti makan makanan sehat secara teratur, olahraga teratur, menjaga
berat badan agar tidak kurang maupun berlebih, serta mengikuti kegiatan
seperti seminar tentang diabetes melitus.
Berbagai fakta ini menunjukkan pengaruh terapi keluarga yang
diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga penderita diabetes
melitus. Kegiatan terapi keluarga dilaksanakan dengan metode pemberian
pendidikan kesehatan dan pengembangan keterampilan penderita diabetes
melitus serta keluarga dalam merawat pasien dengan diabetes melitus.
Metode tersebut mampu meningkatkan pengetahuan serta keterampilan
penderita diabetes melitus beserta keluarga. Kegiatan tersebut dilakukan
secara rutin sebanyak 2 kali kunjungan selama 2 minggu.
Susanto (2010) membuktikan bahwa terapi keluarga dengan
metode pemberian pendidikan kesehatan, coaching dan conseling.
94
Mampu mengembangan dan meningkatkan keterampilan hidup remaja
dan mengembangan keterampilan orangtua dalam berkomunikasi secara
efektif dengan remaja. Peningkatan hal-hal tersebut secara langsung
mempengaruhi tingkat kemandirian keluarga. Sehingga dengan
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan, meningkat pula tingkat
kemandirian keluarga tersebut.
Pendapat di atas diperkuat berdasarkan pendapat (Palestin, 2002
dalam Nugraini 2009) yang menyimpulkan bahwa pemberian komunikasi
terapeutik pada pasien diabetes dengan keluarga ternyata mempengaruhi
secara signifikan terhadap meningkatnya pengetahuan tentang penyakit
yang diderita. (Redhead et al, 1993) mengatakan bahwa pendidikan
kesehatan yang efektif pada pasien diabetes melitus merupakan dasar
kontrol metabolisme yang baik dimana dapat meningkatkan hasil klinis
dengan jalan meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan
penyakit secara mandiri.
Dukungan keluarga berupa kehangatan dan keramahan, dukungan
emosional terkait monitoring glukosa, diet, dan latihan dapat
meningkatkan efikasi diri pasien sehingga mendukung keberhasilan
dalam perawatan sendiri. Sehingga perawatan diri yang baik akan
menciptakan kualitas hidup yang baik bagi keluarga dan penderita
diabetes melitus dan terciptanya peningkatan kemandirian keluarga
(Allen, 2006).
95
Mills (2008) menyatakan ada beberapa hal penting yang dapat
dilakukan untuk mendukung anggota keluarga yang menderita diabetes
tipe II yaitu dengan meningkatkan kesadaran dirinya unutk mengenali
penyakit diabetes melitus tipe II, bahwa penyakit tersebut tidak dapat
disembuhkan, sehingga pasien memiliki kesadaran yang tinggi untuk
mengelola penyakitnya. Selain itu tinggal bersama dengan anggota
keluarga yang sakit dan memberikan bantuan, menyediakan waktu,
mendorong untuk terus belajar dan mencari tambahan pengetahuan
tentang diabetes melitus merupakan bentuk-bentuk kegiatan yang bisa
dilakukan keluarga dalam rangka memberi dukungan pada anggota
keluarga yang sakit.
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti masih memiliki keterbatasan.
Adapun beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Karakterisitik responden yang diteliti masih terbatas pada usia, jenis kelamin,
riwayat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan perbulan, dan tahap
perkembangan keluarga, sementara masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi Tingkat Kemandirian Keluarga seperti pengalaman sakit
sebelumnya dan budaya.
2. Data pasien diabetes melitus belum teradministrasi secara baik di Puskesmas
Purwokerto Utara II.
96
3. Waktu pemberian terapi keluarga yang tidak sesuai dengan jadwal
kesepakatan, dikarenakan jadwal aktifitas keluarga yang tidak dapat
diperkirakan.
97
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Beradasarkan pada analsis hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan karakteristik responden, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Usia responden memilki rata-rata 56,24 tahun. Usia termuda yaitu 29
tahun dan tertua yaitu 75 tahun.
b. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 27
responden (81,8%).
c. Mayoritas pendidikan responden adalah lulusan Sekolah Menengah Atas
(SMA) yaitu sebanyak 11 responden (33,3%).
d. Pekerjaan responden didominasi oleh 3 jenis pekerjaan yaitu pensiunan
sebanyak 9 responden (27,3%), buruh sebanyak 8 responden (24,2%), dan
wiraswasta sebanyak 8 responden (24,2%).
e. Mayoritas pendapatan perbulan berada di < Rp 1.000.000 yaitu sebanyak
13 responden (39,4%).
f. Mayoritas tahap perkembangan keluarga pada responden adalah pada
tahap dewasa (pelepasan) yaitu sebanyak 13 responden (39,4%).
98
2. Sebelum dilakukan terapi keluarga sebagian besar Tingkat Kemandirian
Keluarga berada di Tingkat Kemandirian Keluarga I dengan jumlah 24
(72,7%).
3. Setelah dilakukan terapi keluarga mayoritas Tingkat Kemandirian Keluarga
responden berada di Tingkat Kemandirian Keluarga III yaitu sebanyak 12
responden (36,4%).
4. Terdapat perbedaan Tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah
dilakukan terapi keluarga.
5. Ada pengaruh terapi keluarga terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga pada
penderita diabetes melitus Puskesmas Purwokerto Utara II secara signifikan
(p=0,000).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diberikan saran
sebagai berikut:
1. Bagi Penelitian
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengidentifikasi
karakteristik lain seperti pengalam sakit sebelumnya dan budaya terhadap
tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus.
2. Bagi Masyarakat
Masyarakat dengan anggota keluarga berpenderita diabetes melitus
dapat melakukan dan memanfaatkan anjuran yang disampaikan ketika terapi
keluarga untuk keluarga dengan penderita diabetes melitus secara rutin dan
99
benar, dengan melakukan peningkatan kesehatan dengan menjaga berat
badan, olahraga secara rutin, serta mengikuti penyuluhan tentang penyakit
diabetes melitus.
3. Bagi Institusi
Terapi keluarga hendaknya dijadikan program tetap yang dapat
dilakukan oleh petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup
penderita diabetes melitus dan keluarga.
4. Bagi Pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi bahan kajian untuk
menjadi bahan ajar keperawatan komunitas dan keluarga, khususnya stimulasi
peningkatan tingkat kemandirian keluarga pada penderita diabetes melitus
dengan menggunakan terapi keluarga.
100
DAFTAR PUSTAKA
Allen. (2006). Support of diabetic from the family. Diakses dari http://
www.huzzle.com/ editorials pada tanggal 12 Maret 2013.
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian (suatu pendekatan praktik). Jakarta:
Rineka Cipta.
Azwar, A. (2006). Pedoman pembinaan kesehatan lanjut usia bagi petugas.
Jawa Timur: Kesehatan. Depkes.
Chritensen. P.J., Janet, K.W. (2009).Proses keperawatan aplikasi model
konseptual. Jakarta: EGC.
Darmojo, R.B., Marinono, H.H. (2004). Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut)
edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI.
Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2006). Profil kesehatan
Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 rakyat sehat negara kuat. Jawa
Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Departemen Kesehatan RI. (2008). Jumlah penderita diabetes indonesia
rangking ke-4 di dunia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 1 hal.
Departemen Kesehatan RI. (2011). Profil data kesehatan Indonesia tahun
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dirgagunarsa, S., Yulia. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
101
Efendi, F., Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas dalam
praktik dan teori keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Fathoni, A. (2006). Mentodologi penelitian dan teknik penyususnan skripsi
cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta.
Gautam, Y., Sharma, A.K., Bhatnajar, M.K., & Trehan, R.R. (2009). A cross
sectional study of QOL of diabetic patient at tertiary care hospital in
Delhi. India: Indian Journal Community Medicine, 34 (4), 346-350.
Goz, F., Karaoz, S., Goz, M., Ekiz, S., & Cetin, I. (2007). Effect of the
diabetic patient’s perceived social support in their quality of life.
Journal of Clinical Nursing, 16, 1353-1360.
Haley, J. (1973). Uncommon therapy: the psychiatric techniques of Milton
H. Erickson. New York: Norton.
Haley, J. (1976). Problem solving therapy. San Fransisco: Jossey Bass.
Hendra. (2007). Faktor-faktor penyebab peningkatan kadar glukosa dalam
darah pada penderita diabetes melitus Tipe 2. www.scribd.com.
Hidayat, A. A. (2003). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah.
Jakarta: Salemba Medika.
Hughes, H. (2008). Family connections offers help to the parents of children
with special needs.Mc. Clatchy: Tribune Bussiness News.
102
Isa B. A., & Mohammad, A.A. (2008). Effect of education on emprovement
of quality of life by SF-20 in type 2 diabetic patient. Middle-East J. Sci.
Res., 3 (2): 67-72.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Kesehatan. (2010). Pedoman
penyelenggaraan pelayanan keperawatan keluarga. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
Komisi Nasional Lanjut Lansia. (2010). Profil penduduk lanjut usia 2009.
Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia.
Konradsdottir, Elisabet & Erla, K.S. (2011). How effective is a short-term
education and support intervention for families of an adolescent with
type 1 diabetes?. Iceland: Journal for specialist in pediatric nursing 16
(2011) 295-304.
Limansubroto, C.D.M. (1993). The compilation and organization of a family
therapy teaching curriculum for indonesian university student tesis
master. Purdue University.
Limansubroto, Cathrine D.M. (1996). Penerapan terapi keluarga struktural
dan terapi keluarga strategis di indonesia: suatu pandangan lintas
budaya. Jakarta: Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya.
Madanes, C. (1981). Strategic family therapy.San Fransisco: Jossey-Bass
103
Mansjoer, A., Kuspuji, T., Rakhmi. S., Wahyu, I.W., Wiwiek, S. (2008).
Kapita selekta kedokteran jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran UI.
McPhee., Stephen J., William F. Ganong. (2011). Patofisiologi penyakit
pengantar menuju kedokteran klinis. Jakarta: EKG.
Mills, L. (2008). Diabetes: Self-esteem and family. Diakses dari
www.americanchronicle.com pada tanggal 12 Maret 2012.
Munichin, S. (1974). Families and family therapy. Cambridge, MA: Harvard
University Press
Munichin, S., Fishman, H.C. (1981). Family therapy techniques. Cambridge:
Harvard University Press.
Nazir, M. (2005). Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nugroho, W. (2000). Keperawatan gerontik. Jakarta: Gramedia.
Nugraini, R. (2009). Ganbaran peran keluarga terhadap pengendalian
kondisi penderita diabetes melitus di Desa Rejasari Kecamatan
Purwokerto Barat Kabupaten Banyuma. Purwokerto: Universitas
Jenderal Soedirman.
Nurhean, N., Sutadi, H., Rustina Y., & SUpriyatno, B. (2011). Pemberdayaan
keluarga pada anak balita pneumonia di rumah sakit: persepsi perawat,
anak, dan keluarga. Makara kesehatan, 15 (2), 58-64
Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
104
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Papalia, D.E., Old, W.S., Feldman R.D. 2009. Human development
(psikologi perkembangan) edisi kesembilan. Jakrta: Kencana Prenada
Media Group.
Parker, Deborah K. (2005). Menumbuhkan kemandirian dan harga diri anak.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Pereira, M. Graca., Linda, B.C., Paulo, A., J. Cunha, M. (2008). Impact of
family envirenment and suport on adherence, metabolik kontrol, and
quality of life in adolescent with diabetes.Portugis: International
Journal of Behavioral Medicine, 15: 187-193, 2008.
PERKENI. (2011). Konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes
mellitus tipe 2 di indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia.
Polit, D. F. & Beck, C. T. (2006). Essential of nursing research : methods
appraisal and utilization, sixt edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. (2006). Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyaki vol 2. Jakarta: EGC.
Redhead, J., Husain A., Gedling P., Mc Culloch A.J. (1993). The effect of
primary-care based education service. Diabetic Medicine, Vol. 10: p.
672-675.
105
Rifki, N.N. (2009). Penatalaksanaan diabetes denan pendekatan keluarga,
dalam SIdartawan, S, Pradana, S., & Imam, S, Penatalaksanaan
diabetes terpadu (hal 217-229). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Riley, McEmtee M.L., Gerson, L., & Deninison C.R. (2009). Depression as a
comorbidity to diabetes: implication for management. Journal for
Nursing Practitioner, 5 (7), 523-535.
Rimanjunita. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemandirian
lansia di wilayah kerja Puskesmas Lampasari Kecamatan Payakumnuh
Utara tahun 2010. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Robinson, V.M. (2010). The relative roles of family and peer support in
metabolic control and quality of life for adolescents with type 1
diabetes. The University of Edinburg: www.mendelev.com/research.
Santjaka, A. (2009). Biostatistik. Purwokerto: Global Internusa.
Sari, I.M. (2009). Hubungan antara karakteristik personal dengan
kemandirian dalam activity of daily living (ADL) pada lansia di Panti
Wredha Dharma Bhakti Pajang Surakarta tahun 2009. Surakarta:
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah.
Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto: UPT
Percetakan dan Penerbitan Unsoed.
Scher, Stephen., Kasia, K. (2012). Thinking, doing, and the ethnics of family
therapy.USA: The American Journal of Family Theraphy: 40:97-144.
106
Semiardji, G. (2006). Stres emosional pada penyandang diabetes, dalam
Sidartawan, S, Pradana, S., & Imam, S, Penatalaksanaan diabetes
terpadu (hal 337-342). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3.Yogyakarta: Kanisius.
Setiawan, N.A. (2010). Keefektifan terapi keluarga terhadap penurunan
angka kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit khusus jiwa dan
saraf puri waluyo surakarta. Solo: digilib.uns.ac.id.
Setyoadi., Kushariadi. (2011). Terapi modalitas keperawatan pada klien
psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Setyowati, S., Arita, M. (2008). Asuhan keperawatan keluarga konsep dan
aplikasi kasus. Jakarta: EGC.
Sjattar, E.L., Elly, N., Burhanudddin, B., & Sitti, W. (2011). Pengaruh
penerapan model keluarga untuk keluarga terhadap kemandirian
keluarga merawat penderita TB paru peserta DOTS di Makasar
(integrasi konsep keperawatan self care dan family-centered nursing.
Makassar. www.googlescholar.com.
Smeltzer, S.C., Brenda G. Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-
bedah vol 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Brenda G. Bare. (2007). Buku ajar keperawatan medikal-
bedah vol 2. Jakarta: EGC.
107
Spradley, B.M. (2005). Community health nursing: concept and practice 2nd
ed. Boston: Little, Brown, and Company.
Stuart, G., and Laraia, M.S. (2005). The principle and practice of psychiatric
nursing. St, Louis Missouri: Elsevier Morby
Sudiharto. (2005). Asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan
keperawatan transkultural.Jakarta:EGC.
Sudiharto. (2007). Asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan
keperawatan transkultural. Jakarta: EGC.
Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga aplikasi dalam praktik.
Jakarta: EGC.
Susanto, T. (2010). Pengaruh terapi keperawatan keluarga terhadap tingkat
kemndirian keluarga dengan permasalahan kesehatan repsoduksi pada
remaja di kelurahan ratujaya kecamatan pancoran mas kota depok.
malang : Jurnal Keperawatan ejournal.umm.ac.id.
Syafei. (2006). Peran keluarga dan perawatan penderita diabetes melitus
secara mandiri di rumah. Jakarta: Jurnal Mutiara Medika
Triyanto, E. (2011). Keperawatan keluarga 1. Purwokerto: Universitas
Jenderal Soedirman.
Waspadji. (2005). Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang Rasional.
Dalam Penatalaksanaannya Diabetes Terpadu. Ed. 5. Jakarta: Balai
Pustaka FK UI.
108
Wiyati, R., Dyah, W., & Esti, D.W. (2010). Pengaruh psikoedukasi keluarga
terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial.
Purwokerto: Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal
of Nursing), Volume 5, No. 2.
World Health Organization. (2007). Prevalence of diabetes worlwide (on-
line). www.who.com.
Yusra, A. (2011). Hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas
hidup pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia.
Recommended