1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam tradisi pernikahan India, salah satu komponen pentingnya adalah
dowry atau mahar. Mahar merupakan harta pengantin wanita yang ia bawa kepada
suami dan keluarga semenjak pernikahan dan permintaan mahar tersebut terus
berlanjut hingga setelah menikah. Mahar bisa berbentuk uang, perhiasan, peralatan
rumah tangga, dan sebagainya (Rastogi dan Therly 67). Awalnya, mahar adalah
milik pengantin wanita, yang berfungsi sebagai posisi tawar keuangan karena ia
akan menjadi pendatang baru di rumah suaminya. Selain itu, mahar juga menjadi
jaring pengaman yang mampu memberi perlindungan terhadap rumah tangga yang
baru dibangun tersebut, terutama bila ada situasi tak terduga dalam pernikahan
(Rastogi dan Therly 68; Badruddoja 403).
Saat ini telah terjadi pergeseran terhadap definisi dan fungsi mahar di India.
Mahar yang tadinya diperuntukkan bagi mempelai wanita sebagai jaring pengaman,
kini diberikan dan menjadi milik suami dan keluarganya. Perubahan kepemilikan
mahar ini didorong oleh peningkatan kesejahteraan dan modernisasi di India
(Mandal 217). Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India memang
meningkat sangat pesat, hingga 4 kali lipat (Syed dan Walsh, 2012). Kesejahteraan
ekonomi tersebut berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat, termasuk terhadap
tradisi pemberian mahar. Masyarakat cenderung menjadi konsumtif, yang
cenderung menjadikan barang sebagai tolak ukur penentu status sosial (Williams,
2003).
Jenis barang yang diminta untuk mahar juga berubah seiring waktu. Dulu
wanita biasanya hanya membawa perhiasan, emas, dan perlengkapan pakaian
pengantin sebagai mahar. Benda-benda ini merupakan benda yang bisa disimpan
dan dimiliki oleh wanita. Namun, perubahan gaya hidup membuat masyarakat India
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
meminta mahar dalam bentuk barang-barang seperti televisi, lemari pendingin,
mobil, motor, hingga tanah dan apartemen. Barang-barang seperti itu tidak bisa
disimpan oleh wanita sehingga mudah dikuasai oleh keluarga suami.
Sistem kasta yang telah melekat pada masyarakat India juga mendorong
munculnya mahar. Untuk meningkatkan status keluarga wanita, perempuan di India
didorong untuk menikah dengan lelaki yang kastanya lebih tinggi. Pernikahan
seperti ini disebut hipergami. Akan menjadi hal tabu bila wanita menikah dengan
pria dari kasta yang lebih rendah (Lakshmi 189-190).
Peningkatan kesejahteraan di India menjadikan pria India menjadi lebih
mapan dan berpendidikan. Hal ini membentuk hipergami jenis baru (Mullati 19),
dimana pria dilihat bukan hanya dari kasta, tapi juga pendidikan dan pekerjaan yang
menjanjikan. Para pria seperti ini dianggap memberi penghidupan yang baik
sehingga wanita yang menjadi istrinya pasti terjamin kehidupannya. Padahal
semakin tinggi tingkat pendidikan dan pekerjaan pria, semakin tinggi pula tuntutan
maharnya (Iglitzin & Ross, 1986 dalam Rastogi dan Therly 68). Mahar yang tinggi
dianggap wajar karena mahar adalah kompensasi terhadap biaya pendidikan pria
tersebut serta sebagai pengganti biaya hidup wanita yang akan menjadi istrinya
kelak (Rastogi dan Therly 68). Wanita di India memang dianggap sebagai beban
keuangan baru karena menurut tradisi wanita-lah yang harus pindah ke rumah
suami bila menikah.
Konsekuensi dari pergeseran kepemilikan mahar ini membuat para pria
menggunakan mahar sebagai cara baru untuk menjadi kaya dengan cara instan, dan
untuk tujuan itu, mereka meminta sejumlah besar mahar hingga melampaui
kapasitas keluarga wanita. Para pengantin pria meminta tanah, mobil, emas, uang
tunai, dan hal-hal mewah lain sebagai syarat utama untuk membangun pernikahan.
Bahkan setelah upacara pernikahan, pengantin pria dan keluarganya masih meminta
mahar tambahan, dengan alasan untuk menunjang rumah tangga baru tersebut.
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
Permintaan terhadap mahar ini dapat memicu kekerasan dan bahkan
pembunuhan, terutama ketika sang istri tidak mampu memenuhi keinginan suami
dan keluarganya. Kekerasan secara terus-menerus tersebut dapat memicu sang istri
untuk bunuh diri atau bahkan sang istri dibunuh oleh suami dan keluarganya,
kemudian pembunuhan tersebut disamarkan sebagai bunuh diri. Pembunuhan
dilakukan agar pelaku bisa lolos dari hukuman sehingga sang suami bisa menikah
lagi untuk mendapat mahar baru (Oldenburg xi; Rastogi dan Therly 67; Badruddoja
403; Banerjee 34; Mullati 19). Mahar dan kaitannya dengan kekerasan terhadap
wanita inilah yang kemudian memunculkan terminologi ‘dowry murder’, ‘dowry
deaths’, atau ‘bride-burning’. Istilah terakhir muncul karena kebanyakan wanita
dibunuh oleh suami dan atau keluarganya dengan cara dibakar.
Dengan demikian, dowry deaths/ dowry murder adalah kekerasan terhadap
mempelai wanita oleh mempelai pria dan atau keluarganya, sebagai hukuman
karena pengantin wanita tidak mampu menyediakan mahar yang cukup, atau gagal
memenuhi permintaan mahar tambahan setelah menikah, yang berakibat pada
kematian sang pengantin wanita (Diamond-Smith, Luke, dan McGarvey (2008)
dalam Banerjee 36). Dowry deaths adalah salah satu kejahatan terhadap perempuan
di India yang mendapat perhatian besar, terutama karena jumlah korbannya yang
masih sangat tinggi.
The National Crime Records Bureau (NCRB)—bagian dari Ministry of
Home Affairs India yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis data kejahatan
di India—menunjukkan bahwa pada tahun 2008, sebaran kasus dowry deaths terjadi
hampir di seluruh India. Secara nasional, NCRB melaporkan 8.618 perempuan
dibunuh, dan 3.239 wanita melakukan bunuh diri pada tahun 2011 karena masalah
mahar. The Asian Women’s Human Rights Council bahkan memperkirakan angka
kematian yang jauh lebih tinggi, yakni hingga 25.000 orang, termasuk bunuh diri
dan pembunuhan terkait mahar di tahun 2009 (Banerjee 34; Jagori 6). Tujuh negara
bagian India yang memiliki kasus dowry deaths tertinggi adalah Uttar Pradesh
(2.237 kasus), disusul oleh Bihar (1.210), Madhya Pradesh (805), Andra Pradesh
(556), Odisha (461), West Bengal (451), dan Maharashtra (390) (Resen 114-5).
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Data tersebut menunjukkan bahwa korban dowry deaths bukan hanya dari
penganut Hindu, tapi juga terjadi pada budaya dan agama lainnya. India sendiri
adalah negara yang sangat beragam dalam hal budaya, agama, ras, dan bahasa.
Sekitar lebih dari 80% adalah Hindu, sisanya adalah Islam (12%), Kristen (2.5%),
dan Jainism (2%). Karena Hindu merupakan mayoritas, maka masyarakat pada
dasarnya mengikuti Hindu sebagai kepercayaan dalam hidup bermasyarakat (as
socio-religious beliefs). Oleh karena itulah, kasus dowry deaths dan kekerasan yang
terkait dengan mahar bisa terjadi pada agama dan budaya lain di India (Mullati 11;
Jagori 6).
Mengingat praktik memberi atau menerima mahar merupakan tradisi yang
melekat di masyarakat India, kekerasan yang terkait dengan mahar ini tentu tidak
mudah untuk dihilangkan. Namun demikian, pemerintah India berkewajiban
melindungi perempuan dan melakukan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk
mengatasi masalah dowry deaths yang menelan begitu banyak korban jiwa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memformulasikan rumusan
masalah sebagai berikut: Bagaimana kebijakan pemerintah India untuk menangani
masalah dowry deaths? Mengapa kebijakan tersebut kurang efektif dalam
menanggulangi masalah dowry deaths?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai
kebijakan yang dilakukan untuk menangani masalah ‘dowry deaths’ oleh
pemerintah India. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pengetahuan yang berguna bagi pengembangan studi
hubungan internasional. Hal ini juga menjadi masukan atau informasi tambahan
untuk mahasiswa, sarjana, dan akademisi, yang tertarik pada masalah penegakan
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
hak asasi manusia, khususnya dalam masalah kekerasan terhadap perempuan di
India.
D. Kerangka Teori
Kebijakan Publik/ Public Policy
Ide mengenai kebijakan publik muncul saat masyarakat sadar ada suatu
ruang atau wilayah yang tidak bisa bersifat privat atau milik pribadi, namun
merupakan milik bersama dalam masyarakat atau umum. Yang dimaksud dengan
publik itu sendiri merupakan aktivitas manusia yang dirasa perlu untuk diatur atau
diintervensi, baik oleh pemerintah, aturan sosial, atau tindakan bersama.
Menurut Dewey (1927) dalam Wayne (xi) menjelaskan bahwa kebijakan
publik lebih menitikberatkan kepada bagaimana publik dan persoalannya.
Kebijakan publik akan membahas bagaimana isu-isu serta berbagai persoalan milik
umum tersebut disusun, didefinisikan, dan diletakkan dalam agenda kebijakan dan
agenda politik. Berdasarkan pendapat Dye (1976) seperti dikutip dalam Wayne (xi),
kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah,
mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan
tersebut.”
Menurut Schneider dan Ingram (“Social Construction”), kebijakan publik
merupakan salah satu institusi yang mampu menjadi solusi terhadap masalah-
masalah yang ada di masyarakat.
...Through public policy, collective choice are made with significant
consequences to how and whether problems are resolved, how benefits and
costs are distributed, how target groups are viewed by themselves and
others, and how such groups regard--and participate in--politics. Public
policy is a complex combination of elements, including goals and objectives,
agents and implementation structures, targets, tools, rules, and rationales
(443-4).
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Sementara Heidenheimer et al (1990) mengemukakan bahwa kebijakan
publik adalah studi mengenai “bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan
aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah.” Pendapat Heidenheimer ini senada
dengan pendapat Kraft dan Furlong (6), namun Kraft dan Furlong menekankan
bahwa tindakan pemerintah tersebut ada kaitannya dengan berbagai faktor, yaitu:
tujuan dari kebijakan, cara yang digunakan, aturan-aturan yang berlaku, dan
bagaimana praktik dari badan-badan pemerintah tersebut mengimplementasikan
program-program.
Dengan demikian kebijakan publik tidak hanya mengenai pernyataan resmi
pemerintah, namun justru lebih kepada tindakan nyata yang dilakukan oleh
pemerintah dan badan yang dinaunginya. Jadi, kebijakan publik dilihat dalam
kerangka pemerintah sebagai aktor utama, dan bagaimana pemerintah menyediakan
solusi, dengan mengatur, merespons atau memecahkan persoalan yang terjadi pada
masyarakat. Persoalan yang perlu diintervensi oleh pemerintah atau tidak, dilihat
dari persepsi publik terhadap masalah tersebut. Jika ada suatu kondisi dimana
publik secara luas tidak bisa menerima kondisi itu, maka pemerintah perlu campur
tangan untuk mengatasinya.
Menurut Kraft dan Furlong, ada tiga alasan mengapa pemerintah campur
tangan dalam suatu persoalan masyarakat, yakni: politis, moral, dan ekonomi.
Untuk kasus dowry deaths yang terjadi di India, alasan pemerintah India adalah
alasan politis, dimana pemerintah mengambil tindakan tertentu karena ada
pergeseran terhadap opini publik atau bangkitnya gerakan sosial yang menekan
pemerintah untuk mengambil tindakan. Dalam kasus dowry deaths, pemerintah
India akhirnya melibatkan diri dalam isu-isu mahar dan kekerasan yang terkait
dengannya, karena adanya perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan
terhadap wanita yang diakibatkan oleh mahar ini (16).
Setelah pemerintah memutuskan untuk ikut menyelesaikan suatu persoalan
di masyarakat dengan alasan tersebut di atas, maka hal berikutnya yang penting
diperhatikan adalah kebijakan publik seperti apa yang bisa dilakukan oleh
pemerintah agar kebijakan itu efektif dan dipatuhi oleh masyarakat? Untuk melihat
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
bagaimana masyarakat berperilaku atau bereaksi terhadap suatu kebijakan, maka
dibutuhkan suatu model atau instrumen kebijakan publik. Ada beberapa pendapat
mengenai alat kebijakan publik ini. Misalnya Bardach (1979) dalam Schneider dan
Ingram (“Behavioral Assumptions”) mengusulkan empat teknik: prescription,
enabling, positive incentives dan deterrence (513).
Selain itu, Kraft dan Furlong (139) mengatakan bahwa pemerintah bisa
melakukan desain kebijakan seperti:
a) regulate (memberikan izin, menerapkan standar, menerapkan sanksi);
b) subsidize (memberi pinjaman, subsidi, bunga rendah, dll);
c) ration (memberikan batas terhadap sumber daya yang terbatas);
d) tax and spend (menggunakan pajak sebagai alat untuk mendukung atau
membatasi serta menyediakan anggaran untuk kepentingan tertentu) ;
e) contract out (kontrak atau pembelian produk dari pihak lain untuk
kepentingan pemerintahan);
f) use market incentives (termasuk kategori pajak namun pajak digunakan
untuk mengubah perilaku masyarakat demi tercapainya kepentingan
tertentu);
g) privatize (layanan publik yang dimiliki pemerintah diberikan kepada pihak
swasta);
h) charge fees (dikenakannya biaya-biaya untuk layanan publik tertentu);
i) educate (memberikan informasi pada publik);
j) create public trust (pengelolaan properti publik oleh pemerintah);
k) conduct research (dukungan terhadap penelitian dan pengembangan).
Salah satu instrumen desain kebijakan dikembangkan oleh Anne Schneider dan
Helen Ingram. Model yang dikembangkan Schneider dan Ingram menekankan pada
reaksi masyarakat terhadap usaha yang dilakukan pemerintah. Untuk melihat
permasalahan dowry deaths, instrumen Schneider dan Ingram ini bisa digunakan
untuk menjelaskan kebijakan seperti apa yang digunakan pemerintah India, agar
masyarakat mau melakukan seperti apa yang diharapkan pemerintah.
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
a) Authority tools
Pemerintah menggunakan kekuasaan mereka untuk menyarankan atau
meminta masyarakat agar berprilaku dalam cara tertentu, bisa berupa pemberian
izin, pelarangan, atau meminta untuk melakukan suatu tindakan. Instrumen
kekuasaan berasumsi bahwa masyarakat pada dasarnya patuh pada regulasi dan
hukum meski tanpa hadiah atau imbalan. Sebagai warga negara, pemerintah
yakin kepatuhan merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat dalam
kehidupan bernegara (Schneider dan Ingram “Behavioral Assumptions” 514).
Penggunaan kekuasaan sebagai alat mengontrol masyarakat memang tidak
selalu efektif dan terkadang tidak dianggap demokratis, tergantung dari
legitimasi pemerintah. Menurut Schneider dan Ingram (1997), instrumen
kekuasaan bisa digunakan untuk masa krisis, ketika reaksi masyarakat terhadap
kebijakan tersebut kemungkinan besar akan dilakukan sesuai harapan
pemerintah (dalam Kraft dan Furlong 142).
b) Incentive Tools
Pemerintah menggunakan imbalan atau dorongan secara positif dan negatif
agar pemerintah bisa mengarahkan masyarakat untuk pencapaian
kepentingannya. Secara positif berarti pemerintah memberikan insentif yang
mendorong orang untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara sanksi bersifat
negatif ditujukan untuk membuat orang tidak melakukan tindakan yang
menghalangi kepentingan pemerintah (Schneider dan Ingram, 1997 dalam Kraft
dan Furlong 142).
Instrumen ini digunakan dengan asumsi bahwa masyarakat tidak akan patuh
begitu saja kecuali mereka dipengaruhi, didorong, atau dipaksa dengan uang
atau imbalan lainnya. Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions” 515-6)
membagi alat ini menjadi empat, yakni: inducement/bujukan, charge/biaya,
sanction/sanksi, dan force/kekuatan. Sanksi dan paksaan digunakan oleh
pemerintah untuk memberikan label pada tindakan yang dicela pemerintah.
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Sementara bujukan dan biaya diasosiasikan untuk perilaku yang diterima secara
sosial.
Bujukan (inducement) merupakan imbalan positif untuk mendorong
partisipasi masyarakat. Bujukan digunakan atas dasar pemikiran bahwa
individu merespon insentif positif dan biasanya akan memilih alternatif dengan
nilai yang lebih tinggi atau lebih menguntungkan untuk dirinya. Misalnya akan
dapat fasilitas yang lebih baik bila mau direlokasi, atau adanya penghargaan
dalam institusi pendidikan.
Biaya (charge) diasosiasikan dengan standar atau petunjuk sejauhmana
individu boleh menggunakan sesuatu dalam batas yang diizinkan. Bila ingin
menambah jumlah atau tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka akan
dikenakan biaya. Instrumen ini memang bertujuan untuk mengontrol dan
membatasi barang-barang atau aktivitas masyarakat. Namun berbeda dengan
sanksi, biaya tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau menolak suatu
aktivitas. Tujuannya hanyalah untuk mengontrol penggunaannya. Misalnya
kebijakan kontrol polusi yang mengenakan biaya tambahan untuk polusi
tambahan yang dihasilkan.
Sanksi (sanction), merupakan standar atau aturan yang melarang atau
mensyaratkan aktivitas tertentu. Sanksi merupakan alat utama yang digunakan
untuk menegakkan hukum. Tujuannya adalah untuk menghilangkan perilaku
tertentu dengan cara membebankan sesuatu yang nilainya jauh lebih tinggi atau
lebih besar dari perilaku itu sendiri. Misalnya dengan memberikan denda,
mencabut kebebasan atau nyawa seseorang, atau dengan hukuman percobaan
dan pembebasan bersyarat. Alat ini digunakan dengan asumsi bahwa manusia
pada dasarnya bereaksi pada tingkat beratnya hukuman.
Penggunaan kekuatan atau paksaan (force) secara fisik memang bisa
menghasilkan tindakan yang diharapkan. Asumsi dari instrumen ini adalah
beberapa orang tidak akan bisa dipengaruhi untuk melakukan apa yang
diinginkan pemerintah, atau akan memakan biaya yang terlalu mahal untuk
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Alat ini berdampak bukan hanya
pada individu yang menerima secara langsung, tapi juga pada masyarakat lain
untuk memberikan efek jera atau sebagai tindakan pencegahan. Contohnya
adalah memenjarakan penjahat atau lawan politik, mengambil alih properti
dengan bantuan tentara, dan lain-lain.
Incentive tools memanipulasi keuntungan yang dianggap oleh pembuat
kebijakan relevan dengan situasi masa itu. Alat ini digunakan dengan keyakinan
bahwa individu bisa memilih, mengenali kesempatan-kesempatan yang
dimilikinya, dan punya informasi cukup serta kemampuan pengambilan
keputusan yang baik. Kecakapan dalam memilih sesuai dengan keinginan di
antara alternatif yang ada sangat diperlukan dalam instrumen insentif ini.
c) Capacity-building tools
Pemerintah berperan sebagai pihak yang meningkatkan kapasitas
masyarakatnya, misalnya dengan memberikan pelatihan, pendidikan, informasi,
dan berbagai bantuan lainnya. Tujuannya adalah agar masyarakat bisa
mendapat informasi dan bisa memberdayakan diri mereka sendiri. Alat ini
meyakini bahwa masalahnya adalah bukan pada adanya insentif atau tidak,
melainkan karena adanya penghalang, misalnya kurangnya informasi,
kemampuan, dan sebagainya yang diperlukan untuk melakukan tindakan yang
bisa berkontribusi terhadap tujuan pemerintah. Dalam Schneider dan Ingram
(“1990 Behavioral Assumptions” 517-8) dijelaskan lebih lanjut mengenai
penghalang yang dimaksud:
A. Kelompok sasaran atau lembaga pemerintah tidak tahu ada
alternatif kebijakan lainnya yang lebih efektif. Bisa juga mereka
mengetahui namun mereka tidak menyadari pentingnya
mengubah perilaku mereka sesuai keinginan pemerintah tersebut.
B. Kelompok sasaran atau lembaga pemerintah tahu mengenai
alternatif kebijakan, dan tahu perlunya mengubah perilaku
mereka, namun mereka tidak mengetahui informasi akurat
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
mengenai karakteristik kebijakan tersebut, sehingga tidak bisa
melakukan evaluasi terhadap manfaat, biaya, dan
kemungkinannya. Dalam kondisi ini, diperlukan program
informasi yang berupa tulisan, pendidikan, pelatihan, konferensi
dan bantuan teknis.
C. Individu bisa saja hanya mengandalkan keputusannya sendiri
(heuristics) yang menghasilkan tindakan yang justru
mengganggu pencapaian tujuan kebijakan. Diperlukan pelatihan
dalam hal pengambilan keputusan, penaksiran resiko, dan
semacamnya agar meningkatkan rasionalitas dalam mengambil
keputusan.
D. Individu mungkin memahami pentingnya suatu kebijakan, namun
kekurangan sumber daya atau dukungan yang cukup (misalnya
keuangan, organisasi, sosial, politik) untuk melaksanakan
kebijakan tersebut dengan baik. Situasi ini membutuhkan sumber
daya dalam bentuk hibah, subsidi langsung, pinjaman, dan lain-
lain.
Instrumen ini didasarkan pemikiran bahwa kelompok sasaran akan
berpartisipasi dalam aktivitas atau mengubah perilakunya selama mereka mendapat
informasi yang tepat dan memiliki sumber daya yang diperlukan. Program-program
yang berkaitan dengan instrumen ini didasarkan atas keyakinan bahwa tiap individu
bebas memilih dan tidak perlu dipaksa melalui jalur hukum. Contohnya adalah
kebijakan pemerintah berbagai negara yang masih melegalkan rokok. Meski
merokok tidak dilarang dan rokok juga masih diperjualbelikan secara bebas, namun
individu telah disediakan informasi yang cukup agar menjauhi atau mengurangi
rokok.
d) Symbolic and Hortatory tools
Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions” 519) menjelaskan bahwa
instrumen ini digunakan dengan pemikiran bahwa masyarakat pada dasarnya
dimotivasi dari dalam diri dan memutuskan untuk melakukan sesuatu berdasarkan
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
nilai-nilai yang mereka percaya. Pengambilan keputusan didasari oleh kepercayaan
kultural mengenai benar, salah, keadilan, persamaan, kewajiban, dan lain-lain.
Berkebalikan dari capacity tools, instrumen simbol dan bujukan sangat
menekankan pada keputusan dari dalam diri daripada mencari cara untuk
mempengaruhi individu.
Instrumen ini percaya bahwa individu akan melaksanakan tindakan yang
mendukung kebijakan didasari oleh tiga asumsi dasar (Schneider dan Ingram “
Behavioral Assumptions” 520), yakni: (1) diperkenalkan oleh pemerintah sebagai
masalah yang sangat penting; (2) konsisten dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang
dianut; (3) diasosiasikan dengan simbol, label, dan citra yang positif.
Orang-orang yang mengambil keputusan seperti ini tidak bisa didekati melalui
pendekatan insentif. Instrumen ini digunakan dengan asumsi bahwa Kelompok
sasaran akan lebih patuh pada kebijakan apabila kebijakan tersebut konsisten
dengan nilai yang dianut oleh Kelompok sasaran. Instrumen simbol dan bujukan
bisa dimanfaatkan untuk mendorong kepatuhan tanpa penggunaan paksaan atau
imbalan. Kebijakan bisa dilakukan dengan program-program komunikasi persuasif
yang mencoba mengubah persepsi melalui nilai-nilai atau menggunakan gambar,
simbol, dan label.
e) Learning tools
Alat ini digunakan dengan asumsi bahwa masalah sosial diketahui atau
teridentifikasi, namun belum bisa dipahami atau tidak ada kesepakatan mengenai
tindak-lanjut yang harus dilakukan. Karakteristik instrumen ini adalah pemerintah
meyakini bahwa masyarakat bisa belajar dan memilih kebijakan mana yang paling
efektif dari berbagai alternatif kebijakan yang ada. Pemerintah didorong atau
diminta untuk mengambil pelajaran dari pengalaman melalui evaluasi, dengar-
pendapat, dan perencanaan yang mampu mendukung interaksi antara pemerintah
dan kelompok sasaran.
Kebijakan yang menggunakan learning tools biasanya sangat terbuka dengan
tujuan dan sasaran yang dicapai, pemerintah hanya memberikan garis besar atau
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
tujuan yang masih sangat umum. Sisanya akan diserahkan pada pemerintah tingkat
lokal untuk memilih tujuan dan kebijakan yang tepat. Jika tidak ada persetujuan
atau kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, program mediasi atau
arbitrasi bisa memfasilitasi masalah ketidaksepahaman tersebut.
Dalam situasi dimana pemerintah tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh
masyarakat, maka instrumen partisipasi bisa digunakan seperti dengar-pendapat,
dewan penasehat, panel warga, dan sebagainya. Ketika perilaku masyarakat sangat
beragam dan tergantung pada konteks, kebijakan dapat diserahkan pada pemerintah
lokal. Ini akan memungkinkan pemerintah lokal untuk memilih alternatif kebijakan
yang bisa mendorong partisipasi masyarakat.
Terkait dengan permasalahan dowry deaths di India, meski praktik ini telah
berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun-temurun di India, namun aksi
dan gerakan massa yang mendorong pemerintah untuk ikut campur dalam masalah
dowry deaths baru muncul sekitar tahun 1960-an. Di masa itulah, masyarakat
mengalami pergeseran sudut pandang, dimana mereka menuntut agar tradisi mahar
ini berhenti dilakukan dan dilarang di seluruh negeri, mengingat korban dari pihak
wanita terus berjatuhan. Ketika akhirnya pemerintah terlibat untuk mengatasi
persoalan yang terjadi di masyarakat, saat itulah pemerintah melakukan berbagai
desain kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
1) Dowry Murder: The Imperial Origins of a Cultural Crime oleh Veena
Talwar Oldenburg (2002)
Meningkatnya perhatian terhadap isu hak asasi manusia membuat India
menjadi salah satu negara yang seringkali dikritik karena pelanggaran hak asasi
manusia terhadap perempuan, khususnya masalah dowry deaths. Tradisi Hindu
sering dituding sebagai penyebab utama kematian terkait mahar. Istilah 'dowry
murder' dan 'bride-burning' semakin menyudutkan kebudayaan Hindu sebagai
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
kebudayaan yang 'barbar' dan 'kejam'. Dalam bukunya, Oldenburg ingin mengubah
pola pikir tersebut dan mempertanyakan apakah pembunuhan terkait mahar ini
memang merupakan suatu produk budaya Hindu seperti yang diklaim oleh Barat.
Oldenburg melakukan penelitian dengan menelusuri dan menafsirkan kembali
melalui tulisan-tulisan para penjajah Inggris ketika melakukan penelitian di India,
dan dampak penjajahan Inggris terhadap masyarakat sipil India.
Oldenburg menguraikan bahwa kolonisasi Inggris yang membawa budaya
konsumerisme dan materialisme juga berkontribusi terhadap pergeseran nilai-nilai
budaya tradisional, termasuk mahar yang dulunya adalah jaring pengaman, kini
berubah seperti jerat (73). Selain itu, Oldenburg menjelaskan hal-hal dasar tentang
budaya India yang berkaitan dengan mahar ini, untuk menunjukkan adanya
pergeseran nilai dari dulu hingga sekarang.
Penulis menggunakan buku ini sebagai tinjauan pustaka karena buku ini
mampu menjelaskan fenomena dowry dan dowry murder secara lengkap, sehingga
buku ini bisa menjadi referensi penulis untuk penelitian ini. Penulis menyetujui
bahwa ‘dowry deaths’ sebenarnya adalah fenomena yang kompleks, karena
memiliki hubungan dengan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat India—
sistem kasta, aborsi terhadap anak perempuan, sex ratio India, sistem patriarki,
preferensi terhadap anak, hak pria dan wanita atas properti, dan lain-lain—serta
pengaruh dari luar India seperti kolonialisme Inggris dan modernisasi.
2) Dowry Murder Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Wanita di India oleh
Putu Titah Kawitri Resen (2011)
Resen menunjukkan bahwa penyebab dowry murders di India dipengaruhi
oleh perubahan sistem internasional yakni globalisasi. Kasus dowry murder
meningkat pesat hingga 15 kali lipat, dimana pada tahun 1980-an, ada 400 kasus,
sementara tahun 1990, menjadi 6.000 kasus per tahun (4). Penyebab peningkatan
ini sebagian karena pasar India semakin terbuka untuk budaya global, sehingga
terjadilah proses globalisasi yang malah memperburuk sistem mahar ini.
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
Globalisasi dan kemajuan ekonomi India membuat masyarakat India menjadi lebih
serakah dan konsumtif. Keluarga mempelai pria membutuhkan uang dan barang
untuk memuaskan hasrat konsumtifnya tersebut. Meminta mahar dianggap sebagai
cara tercepat untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Sebagai hasilnya,
komodifikasi pernikahan terjadi dimana laki-laki mengeksploitasi perempuan
melalui mahar.
Resen mengungkapkan bahwa dengan dilarangnya mahar, tidak akan
banyak membantu berkurangnya korban akibat mahar. Perubahan sistem ekonomi
India yang lebih terbuka tidak akan secara otomatis mengubah nilai-nilai patriarki
yang sudah mengakar, karena nilai-nilai patriarki tersebut ada di berbagai bidang.
Oleh karenanya majunya India sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia malah
memunculkan cara untuk eksploitasi perempuan dan keluarganya.
Penulis menggunakan tulisan ini sebagai salah satu referensi karena selain
kesamaan topik, juga karena penelitian ini termasuk penelitian baru (ditulis tahun
2011), sehingga data-data di dalamnya dianggap relevan untuk menunjang
penulisan tesis ini.
3) Failing Gender Justice in Anti-Dowry Law oleh Vineeta Palkar (2003)
Tulisan ini didasarkan pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2000
oleh sebuah sekolah hukum di Pune, yang berjudul ‘Implementation and Impact of
Section 498-A of the Indian Penal Code’. Proyek ini meneliti berbagai efek dari
reformasi hukum selama 1980-an dan mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam
membuktikan pelanggaran dan membawa para pelaku kekerasan dalam rumah
tangga ke peradilan. Dari studi tersebut, Palkar kemudian berusaha menganalisa
bagaimana dan mengapa, untuk sebagian besar, korban yang rata-rata perempuan
gagal untuk mendapatkan keadilan.
Palkar menggunakan sudut pandang hukum, dimana Palkar menunjukkan
kurang efektifnya perundang-undangan yang telah dibuat dalam menanggulangi
kekerasan rumah tangga di India. Tulisan ini menekankan bahwa hukum yang
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
melarang mahar dan hukum yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah
tangga tidak tidak melindungi perempuan secara memadai terhadap segala bentuk
kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan yang terkait mahar, karena
ketimpangan struktural terus hadir dalam lingkup kehidupan pribadi dan sosial.
Penulis menjadikan tulisan Palkar sebagai salah satu kajian pustaka karena
terdapat kemiripan antara tesis ini dengan tulisan Palkar, terutama karena dowry
deaths merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Penulis
menjadikan tulisan Palkar sebagai referensi untuk melihat bagaimana pemerintah
India menerapkan hukum untuk kasus-kasus dalam kekerasan rumah tangga.
Namun yang membedakan dengan tesis ini adalah cakupan penelitian Palkar lebih
luas, yakni penerapan dan penegakan hukum untuk kasus kekerasan dalam rumah
tangga secara umum di India.
F. Argumen Utama
Kekerasan akibat dowry deaths merupakan fenomena yang kompleks,
sehingga kebijakan Pemerintah India untuk mengatasi masalah dowry deaths
menggunakan berbagai instrumen/ tools, seperti authority tools, incentive tools,
capacity-building tools, symbolic and hortatory tools dan learning tools. Hal
tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah yang menyeluruh dan bervariasi, bukan
hanya mengeluarkan aturan-aturan yang melarang mahar seperti The Dowry
Prohibiton Act dan amandemen hukum adat Hindu Code Bill; tapi juga peningkatan
kualitas serta kapasitas wanita melalui program-program pendidikan dan kesehatan,
serta penanggulangan dampak dari ‘dowry deaths’ seperti pelarangan aborsi,
pelarangan Skema Sumangali, dan menyelenggarakan program-program lain yang
berusaha menghilangkan diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan.
Bila melihat jumlah pembunuhan terhadap istri karena dowry deaths yang
setiap tahunnya yang tidak mengalami perubahan berarti—yakni 8.618 korban
(2011) dan 8.233 pada tahun 2012—maka kebijakan yang dilakukan pemerintah
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
India masih kurang efektif dalam mencegah jatuhnya korban jiwa. Hal tersebut
disebabkan oleh lemahnya penegakan aturan oleh institusi hukum seperti kepolisian
dan kehakiman, terutama di tingkat lokal, karena masih kuatnya budaya patriarki
yang mengakar di India, sehingga diskriminasi terhadap wanita dan anak
perempuan masih terus terjadi.
G. Metode Penelitian
Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Lexy J.
Moleong penelitian kualitatif yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (6).
Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan documentary
analysis atau analisis dokumen karena metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini berbentuk dokumentasi, baik untuk memahami isinya secara
substansi atau untuk menjelaskan makna yang lebih dalam dari dokumen-dokumen
tersebut. Bahan dokumenter berbentuk buku atau catatan harian, laporan dari
media, surat resmi, otobiografi, surat-surat pribadi, memorial, kliping, dokumen
pemerintah atau swasta, data di website, dan seterusnya (Hammersley dan Atkinson
(1995) dalam Ritchie 35; Rahmat 7).
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis
atau analisis isi, yang berusaha mengkaji dokumen-dokumen berupa kategori
umum dari makna. Gubrium et.al., menyatakan bahwa dalam analisis isi, peneliti
dapat menganalisis aneka ragam dokumen, dari mulai kertas pribadi hingga sejarah
kepentingan manusia (dikutip dalam Somantri 60).
Terdapat lima fase atau tahapan dalam melakukan analisis terhadap
penelitian ini, yakni: (1) Compiling, atau mengumpulkan dan menyusun data; (2)
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Disassembling, menyusun sekaligus mengkategorisasi kembali data tersebut ke
dalam topik-topik yang lebih sempit; (3) Reassembling (and Arraying), menyusun
ulang kembali data yang telah dikategorisasi melalui tahap disassembling; (4)
Interpreting, melakukan interpretasi terhadap data yang telah tersusun ke dalam
narasi baru atau bentuk baru dan (5) Concluding, mengambil kesimpulan yang
telah didapat dari tahap sebelumnya (Yin 177-9).
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari empat bab, yang terdiri atas:
Bab pertama berisi pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka
Teori, Tinjauan Pustaka, Argumen Utama, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab kedua membahas tentang fenomena ‘dowry deaths’ di India, yang
membahas lebih dalam hubungan antara kasta, institusi pernikahan dan mahar di
India, serta mengenai fenomena ‘dowry deaths’ itu sendiri.
Bab ketiga menguraikan tentang analisis terhadap kebijakan yang dilakukan
oleh Pemerintah India dalam menanggulangi masalah ‘dowry deaths’ dan juga
alasan mengapa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah tersebut kurang efektif
untuk mengatasi masalah ‘dowry deaths’ tersebut.
Bab keempat merupakan bab terakhir mengenai kesimpulan dari penelitian
ini.
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/