1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang majemuk. Hal ini dibuktikan dengan
wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari
kumpulan beribu – ribu pulau, sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara
kepulauan. Mengingat Indonesia terdiri dari beribu – ribu pulau, suku, bangsa,
maka kebudayaan yang dimiliki setiap suku maupun wilayahpun berbeda – beda.
Menurut Ranjabar Jacobus ( 2013 : 41) budaya pada hakikatnya adalah hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan cipta
(akal) manusia menghasilkan suatu ilmu pengetahuan. Kemampuan rasa manusia
melalui alat–alat indranya, menghasilkan beragam seni dan bentuk-bentuk
kesenian. Karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan
kebahagiaan, sehingga menghasilkan berbagai aktivitas hidup manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Hasil cipta atau karya sendiri terbagi menjadi dua macam
yakni, berupa karya seni dan karya sastra.
Karya seni dan karya sastra yang ada saat ini, tidak hanya hasil pemikiran
masyarakat masa kini saja, akan tetapi ada pula yang merupakan warisan
kebudayaan zaman terdahulu. Hal ini juga sebagai bukti kejayaan bangsa Indonesia
zaman dahulu. Bentuk konkrit karya seni dan sastra yang masih bisa dinikmati
hingga saat ini antara lain candi, artefak, bangunan-bangunan kuna, ragam pola
batik, lagu daerah, tarian daerah, bahasa daerah dan aksara daerah.
2
Berbagai materiil masa lampau seperti yang telah disebutkan di atas, dapat
memberikan informasi mengenai suatu keadaan dan budaya yang hidup dan
berkembang pada masa lampau di suatu wilayah tertentu. Dahulu masyarakat
Indonesia berkomunikasi menggunakan simbol, bahasa, dan istilah. Seperti yang
terukir pada dinding-dinding candi, atau bangunan kuno lainnya. Pahatan tidak
hanya sebagai hiasan untuk menciptakan nilai estetika saja, akan tetapi juga memuat
makna yang tersimpan di dalamnya. Hal ini dapat terungkap melalui penerapan
ilmu-ilmu dalam bidang khusus. Misalnya paleografi, antropologi, sosiologi, dan
filologi.
Masyarakat lebih mengenal candi, prasasti, artefak dalam mengkatagorikan
karya peninggalan zaman terdahulu, padahal ada peninggalan masa lampau yang
mampu memberikan informasi yang lebih lengkap dan lebih jelas yaitu naskah atau
manuskrip/handskrip. Naskah adalah sebuah dokumen masa lampau yang ditulis
menggunakan tulisan tangan, isinya berupa pemikiran orang-orang terdahulu.
Naskah merupakan karya sastra hasil dari pemikiran nenek moyang terdahulu yang
kemudian dituang dan terekam dalam bentuk tulisan tangan menggunakan bahasa
dan aksara kuna. Pembuatan naskah sesuai dengan kebudayaan suatu wilayah
tertentu. Di wilayah Jawa, mayoritas naskah ditulis dalam aksara Jawa.
Kekayaan intelektual nenek moyang berupa naskah ini, biasanya ditulis
pada media yang beragam misalnya, daun lontar (rontal ‘daun tal’ atau ‘daun
siwalan’), dluwang, yaitu kertas Jawa yang terbuat dari kulit kayu, bambu, hingga
kertas Eropa. Pada abad ke-18 dan ke-19, kertas Eropa yang didatangkan dari Eropa
menggantikan peran dluwang, rontal, dan bambu karena kualitasnya dianggap lebih
baik sebagai bahan pembuatan naskah di Indonesia (Siti Baroroh Baried,dkk,1994).
3
Kertas Eropa memiliki kualitas yang lebih baik untuk pembuatan naskah, akan
tetapi untuk keawetan kertas ditentukan oleh masa. Kertas akan bertahan kurang
lebih seratus tahun dan selebihnya akan mengalami kerusakan seiring keberjalanan
waktu. Kerusakan naskah dapat mengakibatkan bacaan korup dan sulit dibaca.
Naskah – naskah kuna yang kini sudah berumur puluhan bahkan ratusan
tahun sebagian besar sudah mengalami kerusakan baik fisik maupun tulisannya.
Naskah – naskah warisan nenek moyang terdahulu seperti ini, tidak lagi tersebar
secara umum, akan tetapi disimpan menjadi koleksi perpustakaan atau museum.
Contohnya di wilayah Surakarta, yaitu Perpustakaan Sana Pustaka yang ada di
Keraton Kasunanan Surakarta, Perpustakaan Reksa Pustaka yang bertempat di Pura
Mangkunegara, Perpustakaan Museum Radya Pustaka, Yayasan Sastra,
Perpustakaan Institut Seni Indonesia di Surakarta, juga disimpan sebagai koleksi
pribadi seseorang.
Isi naskah bermacam-macam, menurut Nancy K. Florida (2000:5)
klasifikasi naskah kuna dikelompokkan menjadi 17 jenis, yaitu:
1. Sejarah : Jawa, Eropa, Islam 2. Religi: Islam, kejawen
3. Roman Islam 4. Piwulang
5. Roman Sejarah 6. Roman Sejarah China 7. Wayang
8. Lakon Wayang 9. Sastra
10. Linguistik dan sastra 11. Syair puisi 12. Sains Jawa
13. Keris dan Mpu-nya 14. Musik dan tari
15. Upacara adat, hukum, adat, dan lainnya 16. Hukum 17. Keraton, Mangkunegaran: arsip dan administrasi
4
Klasifikasi naskah di atas berfungsi untuk memberikan informasi kepada
peneliti mengenai jenis naskah yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian. Dari
informasi itu, kemudian peneliti tertarik untuk mengkaji naskah jenis Sains Jawa
berjudul Buku Makripating Kapal, yang kemudian disingkat dengan naskah BMK.
Sebelum melakukan pengkajian naskah, peneliti melakukan inventarisasi naskah
untuk mengetahui kedudukan naskah BMK dalam peta pernaskahan dengan cara
melakukan penelusuran dengan bantuan berbagai katalog, yaitu :
1. Descriptive Catalogue of the Javanese manuscripts and Printed Book in the
Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta (Girardet – Sutanto, 1983).
2. Javanese Literature in Surakarta Manuscrips Volume 2 Manuscripts of The
Mangkunegaran Palace (Nancy K. florida, 2000).
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo
Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990).
4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A dan B Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (T.E. Behrend dan Titik Pujiastuti,1997).
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta
(Jennifer Lindsay, R.M. Soetanto, dan Alan Feinstein,1994).
6. Katalog Lokal Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran.
Informasi dari katalog-katalog tersebut, naskah berjudul BMK ini hanya
terdapat satu buah, yaitu terdapat pada katalog Girardet – Sutanto (1983:384)
dengan nomor kodek 25565. Naskah BMK juga terdapat pada katalog Nancy K.
Florida (2000:388) dengan nomor kodek MN 579. Adapun pada katalog lokal
Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran katagori fauna flora halaman 23,
dengan nomor kodek N6.
5
Langkah kedua untuk menentukan naskah BMK merupakan jenis naskah
jamak atau tunggal, peneliti kembali melakukan inventarisasi lanjutan yaitu dengan
cara melacak naskah dengan judul yang unsurnya hampir sama. Ditemukan
sebanyak lima buah naskah, mulai dari Katurangganing Kapal, Katuranggan Kuda,
Layang Katuranggan, Primbon, Lakon Kuda. Dari berbagai judul, isi, maupun
bentuk teks, penulis menemukan banyak manuskrip yang berisi ilmu pengetahuan
tentang kuda. Akan tetapi, tidak ada yang sama dengan isi naskah BMK. Dapat
disimpulkan bahwa, naskah BMK merupakan naskah tunggal.
Klasifikasi naskah BMK menurut sistem katalogus hampir sama. Pada
katalog Girardet – Sutanto (1983) termasuk ke dalam jenis ensiklopedi tentang
hewan. Sementara itu, pada katalog Nancy K. Florida (2000) termasuk pada
katagori Sains Jawa. Adapun dalam katalog lokal termasuk ke dalam naskah fauna
dan flora.
Penentuan jenis naskah dilanjutkan dengan pembacaan uraian singkat yang
tertulis dalam katalog Nancy K. Florida (2000) yang telah menyebutkan bahwa
naskah ini berisi petunjuk bergambar untuk menentukan umur, kualitas, dan sifat
kuda dengan cara mengamati giginya. Bentuk teks adalah prosa, dan penjelasan
menggunakan istilah mistik Islam.
Uraian tersebut di atas memberikan gambaran secara umum mengenai isi
naskah BMK. Dalam penindaklanjuti jenis naskah, dilanjutkan pembacaan teks
BMK secara keseluruhan, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa naskah BMK
membahas tentang pertumbuhan dan perkembangan kuda dari lahir hingga tua dan
6
tenaganya tidak dapat dimanfaatkan lagi. Dalam penjabaran isinya, teks ditulis
dengan istilah – istilah mistik Islam.
Secara harfiah, kata makripat atau makrifat berasal dari kata arafa, yaitu
ya’rifu, irfan, makrifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dapat berarti
pengetahuan tantang suatu hal, yaitu ilmu tertinggi yang tidak bisa dirasakan oleh
semua orang. Makrifat adalah pengetahuan yang objeknya bersifat abstrak, dan
hanya dapat dikethui dengan pemikiran yang lebih mendalam, tidak hanya sekedar
wujud yang menampilkan pesan tersurat akan tetapi juga paham makna yang
tersirat. Pemikiran yang seperti ini, disebutkan dalam konsep mistisme dan
merupakan pemikiran yang paling tinggi. Dimulai dari pemikiran secara syariat,
tarekat, hakikat, dan makrifat.
Istilah kapal sendiri dalam kamus Bausastra Jawa memiliki dua arti yaitu,
kapal yang merupakan perahu besar dan kapal yang mempunyai arti kuda. Dalam
naskah BMK, kapal yang dimaksud adalah kuda. Akan tetapi mengingat BMK
merupakan naskah mistik dan piwulang, maka peneliti dituntut cermat terhadap
amanat maupun makna tersirah yang ada di dalam naskah. Jadi Makripating kapal
dapat disimpulkan suatu ilmu yang membahas secara mendalam mengenai kuda.
Ilmu yang membahas perkembanan kehidupan kuda, dan dapat dihubungkan
dengan perkembangan hidup manusia menyatu dengan Tuhannya.
7
Gambar 1: Judul Naskah Buku Makripating Kapal
“Buku makripating kapal”
Gambar 2: Judul naskah terdapat dalam teks (Naskah BMK hlm.1)
“punika makripat dhateng kapal, pambuka katrangan …”
Terjemahan: ini makrifat tentang kuda, keterangan awal …
Naskah BMK adalah koleksi dari Perpustakaan Reksa Pustaka Pura
Mangkunegaran. Kondisi naskah secara umum masih baik, hanya ada beberapa
tulisan dengan tinta tebal yang sudah mulai luntur dan membayang di belakang
halaman, menyebabkan pembacaan naskah sedikit terganggu.
Gambar 3: Tinta mulai luntur dan membayang di belakang halaman
(Naskah BMK hlm.27)
8
Naskah BMK disajikan dalam bentuk prosa, dengan beberapa bagian teks
dilengkapi gambar ilustrasi. Akan tetapi, walaupun berbentuk prosa, setiap paragraf
pertama pembahasan selalu diawali dengan penanda bait pada.
.
Gambar 4: Penanda bait pada diawal paragraph (Naskah BMK hlm.1)
Ditemukan penggunaan tanda koma pada lingsa ( ) dan tanda titik ( )
pada lungsi yang disamping digunakan sebagaimana mestinya, pada lingsa ( )
juga digunakan untuk penanda angka. Contohnya seperti penggalan paragraf seperti
di bawah ini:
9
… ,punika tanpa mawi cêmêng saha lêkok. tuwin warni alit-alit pêthak.
manawi sampun kalampahan umur ,1000, dintên. dados kirang langkung kapal bêlo umur ,3, taun. punika wiwit poèl. têgêsipun awit angrêntahakên
untu bêlo, amung sajodho kang têngah, ngantos dumugi umur ,2000, dintên. dados kirang langkung kapal bêlo umur ,6, taun. … (hml. 3)
Terjemahan: … Gigi-gigi ini tidak berwarna hitam dan berlekuk-lekuk, akan tetapi berbentuk kecil-kecil berwarna putih. Apabila kuda sudah
memasuki umur 1000 hari, jadi kurang lebih anak kuda telah berumur 3 tahun ini mulai poèl. Poèl artinya merontokan gigi anak kuda dimulai dari sepasang gigi yang berada di tengah, hal ini terjadi sampai umur 2000 hari.
Jadi kurang lebih anak kuda telah berusia 6 tahun ini… (hlm. 3)
Gambar 5: Penggunaan tanda koma pada lingsa dan tanda titik pada lungsi
(Naskah BMK hlm.3)
10
Naskah BMK tidak memiliki nomor halaman, tetapi ada penambahan
penulisan angka arab oleh tangan ketiga menggunakan pensil di pojok setiap
halaman. Setelah dicermati penomoran ini pun ada yang terlewatkan sehingga ada
penomoran halaman yang tidak sesuai dengan urutan halaman yang seharusnya.
Gambar 6: Catatan tangan ketiga berupa sistem penomoran halaman naskah
(Naskah BMK hlm.4)
Pemberian nomer halaman yang tidak urut ini, tidak disebabkan oleh
kesalah penulisan. Akan tetapi, karena adanya satu lembar teks yang rapuh, terlepas
dari jilidannya dan hilang. Hal ini menyebabkan penomoran seakan tidak runtut
karena tidak adanya halaman 5 dan 6. Hilangnya teks ini, dibuktikan dengan
lanjutan kalimat yang tidak sesuai. Kemudian ketika dilakukan pengecekan melalui
bantuan ketiga katalog yang memuat keterangan tentang naskah BMK,
menyebutkan jumlah halaman adalah 31. Padahal ketika naskah diperoleh oleh
peneliti, hanya mempunyai 29 halaman.
Pengarang dalam menjaga kerapian penulisan dengan menggunakan garis
bantu pensil tipis untuk membuat margin kanan dan kiri teks. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Jawa Baru ragam bahasa krama, dan juga terdapat
beberapa kata serapan dari Bahasa Arab. Berikut terdapat istilah bahasa Arab yang
digunakan dalam teks BMK :
11
Gambar 7: Sisipan kata Berbahasa Arab, dengan penulisan aksara rekan
( Naskah BMK hlm.23)
“… kadunungan wiradad ing dzad awon”
Adanya kreatifitas penulis dalam menulis suatu kata. Misalnya dalam
penulisan manusa yang berarti manusia, dan penulisan santasa yang berarti santosa.
Gambar 8: Penulisan manusa dan santasa
(Naskah BMK hlm.24 dan hlm.18)
Penulisan pasangan ha, sa, pa yang selalu ditarik memanjang
Gambar 9: Penulisan pasangan ha, sa, dan pa
(Naskah BMK hlm.1 dan hlm.3)
12
Sejalan dengan keunikan yang terdapat pada naskah tersebut, maka peneliti
ingin melakukan mengkajian. Naskah BMK dipilih sebagai objek penelitian karena
dilatarbelakangi oleh dua alasan yaitu :
1. Segi Filologis
Terdapat varian – varian penulisan pada naskah BMK. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengkajian secara filologis untuk mendapatkan suntingan teks yang
bersih dari kesalahan. Varian penulisan berupa lacuna, adisi, dan hypercorrect,
a. Lacuna adalah huruf, suku kata, kata, kelompok kata atau kalimat, bait yang
terlewati.
Gambar 10: Lakuna a (Naskah BMK hlm.18)
… bilih katupakan tansah …
Terjemahan: … apabila ditunggangi akan selalu …
Kekurangan huruf “m” pada kata “katumpakan”, mengalami pembetulan
kata berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi “katumpakan”. Berasal dari kata
dasar tumpak yang telah mendapat panambang (konfiks) yaitu, imbuhan yang
terjadi pada suatu kata secara bersamaan. Imbuhan ka- -an. ka + tumpak + an yang
artinya ditunggani.
13
Gambar 11: Lakuna b (Naskah BMK hlm. 20)
… mung sumangga ing pagalih
Terjemahan: … hanya mempersilahkan berfikir ulang …
Kekurangan “ng” pada kata “pagalih”, mengalami pembetulan
berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi “panggalih”. Berasal dari kata
“galih” yang telah mendapat awalan (prefik) berupa ater-ater anuswara “pa”. pa +
galih. Kadang kala awalan “pa” ini diganti “pe”. Artinya pikiran.
b. Adisi yaitu bagian dari kata, suku kata, maupun kelompok kata yang
kelebihan.
Gambar 12. Adisi a (Naskah BMK hlm.13)
...sêpuh lungseng boten kangge… Terjemah: … tua lungse tidak berguna …
Kelebihan “ng” pada kata “lungseng”, mengalami pembetulan berdasarkan
pertimbangan linguistik menjadi “lungse”. Artinya sangat tua.
14
Gambar 13: Adisi b (Naskah BMK hlm. 24)
… bilih dangweg ing … Terjemhan : … apabila sudah cukup pada …
Kelebihan “ng” pada kata “lungseng”, mengalami pembetulan berdasarkan
pertimbangan linguistik menjadi “lungse”. Artinya sudah cukup.
c. Hypercorrect merupakan perubahan ejaan karena pergeseran lafal.
Gambar 14: Hypercorrect a (Naskah BMK hlm.18)
… kapal wau manawi têgsih …
Terjemahan: … kuda tadi apabila masih … Tertulis kata “têgsih”. Mengalami pembetulan yang disesuaikan
berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi “ taksih”. Artinya masih.
Gambar 15. Hypercorrect b (Naskah BMK hlm.16)
… manah, lantib dhatêng pangajaran, mila wau …
Terjemahan: … pikiran cerdas pada pelajaran, sehingga tadi …
15
Tertulis kata “lantib”. Mengalami pembetulan yang disesuaikan berdasarkan
pertimbangan linguistik menjadi “ lantip”. Artinya cerdas.
Penjelasan di atas adalah beberapa kesalahan tulis yang terdapat dalam
naskah BMK. Berdasarkan kesalahan tulis yang ditemukan, maka BMK perlu
diadakan suntingan teks dengan mengkritisi naskah secara ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Segi isi
Naskah BMK merupakan jenis naskah sains Jawa. Dilihat dari judul naskah
sudah memiliki daya tarik untuk dikupas isinya lebih mendalam.
Istilah makrifat dalam mistisme Jawa selalu dihubungkan dengan perjalanan
mistik dalam upaya individual menyatu dengan Tuhan. Perjalan mistik acap kali
dianggap mesti melakukan empat tahap, mulai dari sarengat atau syari’ah, tarekat,
hakekat, dan makripat atau makrifat (Neils Mulder 2007). Akan tetapi untuk
mengetahui ilmu maupun pesan tersirat dari pengarang, seharusnya terlebih dahulu
paham pesan tersurat dalam naskah BMK tersebut. Pesan tersurat dalam naskah
adalah memahami tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan kuda melalui
giginya. Secara garis besar BMK memuat pedoman yang dapat digunakan dalam
menentukan umur kuda melalui giginya. Keadaan gigi dari lahir, menjadi anak
kuda, hingga kuda tua dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Kuda dalam kehidupan masyarakat Jawa merupakan salah satu hewan
klangenan. Bahkan masyarakat Jawa dianggap sempurna apabila memiliki lima hal
yang salah satunya yaitu turangga atau kuda. Selain itu, banyaknya penggunaan
kata majemuk yang berunsur kuda membuktikan bahwa kuda merupakan hewan
16
yang istimewa. Istilah menggunakan unsur kata kuda misalnya kuda lumping
(properti yang digunakan pada tari tradisional jaranan maupun jathilan), jaranan
(tarian tradisional Jawa Timur), dokar (kereta kuda), kavaleri (prajurit berkendara
kuda), pegasus (kuda terbang dalam mitologi Yunani kuno), hour per horse (satuan
daya pada bidang otomotif) dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan sehari – hari, kuda memegang peranan yang sangat
penting. Mulai dari hewan piaraan, hewan ternak, dan juga sebagai alat transportasi.
Beberapa sejarah juga menyebutkan begitu pentingnya kuda pada zaman
penjajahan Belanda. Salah satu bukti adalah, penjajah Belanda sadar bahwa kuda
merupakan sarana yang efektif untuk menumpas lawan – lawannya, hingga merasa
perlu membentuk pasukan kavaleri yang berarti suatu pasukan berkuda yang
mampu mendukung logistik di medan pertempuran bagi tentaranya (Teuku
Nusyirwan Jacoeb 1994). Salah satu ide tersebut kemudian diterapkan pada tradisi
kemiliteran Pura Mangkunegara yang biasa disebut Legiun Mangkunegara. Secara
resmi, gubernur Jenderal Deandels mengeluarkan surat keputusan (besluit) pada
hari Jumat tanggal 29 Juli 1808 yang menetapkan keberadaan Legiun
Mangkunegara dalam pasukan gabungan Perancis-Belanda-Jawa dalam perang
melawan Inggris. Pasukan kavaleri (berkuda) dan pasukan artileri (meriam)
Mangkunegara umumnya terdiri masing – masing atas 44 orang. Terdapat pula
perempuan dalam tentara Mangkunegara (Korps Prajurit Estri) yaitu kavaleri estri
yang pertama kali dipimpin oleh Bandara Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril
Ngasarati atau yang biasa dikenal sebagai Gusti Nurul (Iwan Santosa 2011).
Pengembangan pemanfaatan tenaga kuda tidak hanya sebagai alat angkut
atau transportasi dalam jarak jauh saja yang biasa disebut dengan kuda tarik, bahkan
17
dewasa ini di daerah perkotaan kuda dimanfaatkan sebagai hobi dan olahraga atau
yang biasa disebut dengan kuda pacu. Semakin banyak orang – orang yang tertarik
untuk memelihara kuda sehingga, sangat penting untuk mengerti bagaimana cara
merawat kuda dengan baik dan benar. Lebih – lebih seseorang yang memelihara
kuda harus memiliki kepahaman dalam hal keadaan fisik dan sifat kuda sesuai
dengan umurnya.
Isi naskah BMK mendiskripsikan fisik dan sifat kuda sesuai dengan
umurnya. Fisik kuda yang dibahas dalam naskah ini tidak secara keseluruhan, tetapi
hanya khusus pada bagian gigi kuda. Mulai kuda lahir dari induknya, hingga kuda
tua dan tenaganya tidak dapat dimanfaatkan lagi. Melalui perkembangan gigi kuda,
orang dapat mengetahui usia kuda dan dari usia kuda tersebut, orang akan mampu
mengetahui bagaimana keadaan sifat kuda. Dengan mengetahui keadaan dan sifat
kuda sesuai dengan umurnya, maka orang akan bisa merawat kuda dengan baik dan
benar. Berikut adalah kutipan bagian dari teks naskah BMK tentang gigi kuda.
punika untu kapal bêlo umur 4 taun tumindak. Wiwit angrêntahakên untu bêlo sajodho ingkang têngah, ngantos dumugi umur 2000 dintên. Dados kirang langkung kapal umur 6 taun. Punika anggènipun angrêntahakên
untu bêlo têlas… (hlm. 15-16)
Terjemahan: ini gigi anak kuda berumur 4 tahun. Anak kuda ini mulai merontokkan gigi-giginya dimulai dari sepasang gigi yang berada di tengah,
sampai berumur 2000 hari. Jadi kurang lebih kuda berumur 6 tahun, peristiwa gigi lepas semua … (hlm. 15-16)
Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa gigi kuda juga mengalami
perkembangan. Mulai dari anak-anak hingga menjadi kuda dewasa. Pada umur
tertentu gigi anak kuda akan mulai rontok secara berangsur – angsur dan digantikan
dengan gigi-gigi yang baru yang permanen.
18
Kuda merupakan hewan yang mempunyai sifat unik. Kuda bisa menjadi
jinak, akan tetapi kadang kala juga bisa berubah galak. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi perubahan sifat kuda yaitu, faktor eksternal berupa keadaan
lingkungan dan cara perawatan, juga keadaan internal kuda yakni sifat kuda sesuai
dengan umurnya. Berikut adalah kutipan teks BMK yang menjelaskan tentang
keadaan internal kuda sesuai dengan umurnya.
punika untu kapal umur 7 taun ngantos dumugi umur 3000 dintên. Dados
kirang langkung kapal umur 9 taun. Punika kadunungan wiradat ing dzat birahi. Ingkang anjalari nuwuhakên kawontênanipun manah, sura tanpa duga, mangkrak murkangkara, nir baya wiweka, tan langgêng lana.
Ingkang makatên ing saèstonipun wau kapal tansah awon.
Amila sami sumêrêpa, sadaya putra wayah kula ingkang sami rêmên ngingah kapal, tuwin rêmên nitih jaran, manawi kapal dawêg wanci umur
sumantên, tamtu kadunungan ingkang makatên. Punika ing panggalih sampun ngantos gêla tuwin cuwa, bilih ngantos gêla cuwa, mangka kapal kalampahan ngantos kabucal. (hlm. 21– 22)
Terjemahan: ini adalah gigi kuda berumur 7 tahun hingga berumur 3000
hari. Jadi kurang lebih kuda berumur 9 tahun ini, ketepatan masa kuda dalam sifat birahi. Yang menyebabkan keadaan sifat dan sifatini adalah serba tanpa
dugaan, hanya teriak-teriak, tanpa bisa berhati-hati tidak lestari selamanya. Keadaan seperti ini sebenarnya ketika kondisi kuda senantiasa galak. Sehingga ketahuilah anak cucu saya semua yang menyukai memelihara
kuda, juga menyukai menunggang kuda, apabila kuda genap umur sekian ini, pasti dalam keadaan seperti ini. Sehingga jangan sampai kecewa dan
menyesal karena apabila sampai kecewa maka kuda bisa-bisa akan kalian buang. (hlm. 21 – 22)
Cuplikan teks diatas telah menjelaskan keadaan watak kuda. Orang akan
mengetahui keadaan kuda dengan cara melihat tingkah laku dan sifatnya. Jika orang
tidak paham tentang fase–fase perkembangan kuda, ditakutkan akan merasa kecewa
bahkan mengakibatkan kemungkinan terburuk kuda dibuang oleh pemiliknya.
Akan tetapi jika pemiliknya paham, maka diharapkan kuda bisa mendapatkan
perhatian yang baik dan benar.
19
Dari uraian di atas, maka naskah BMK penting untuk diteliti baik secara
filologis maupun secara isi. Tinjauan filologis digunakan untuk membahas
permasalahan filologis yang ada dalam naskah, sedangkan kajian isi digunakan
untuk mengungkap kandungan isi naskah.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian naskah BMK adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana suntingan teks BMK yang bersih dari kesalahan setelah melalui cara
kerja filologi?
2. Bagaimana kandungan isi dan ajaran mistik dalam BMK?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menyajikan suntingan teks BMK yang bersih dari kesalahan setelah melalui
cara kerja filologi.
2. Mengungkapkan kandungan isi dan ajaran mistik dalam BMK.
D. Pembatasan Masalah
Adanya berbagai bentuk permasalahan dalam naskah BMK memungkinkan
naskah tersebut untuk diteliti dari berbagai sudut pandang. Sehingga, diperlukan
pembatasan masalah lebih ditekankan pada dua analisis, yaitu tinjauan filologis dan
kajian isi. Tinjauan filologis digunakan untuk mengupas permasalahan yakni
uraian-uraian di dalam naskah sesuai dengan langkah kerja filologis, mulai dari
deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks, dan terjemahan. Adapun kajian isi
20
digunakan untuk mengungkap kandungan isi naskah yang berhubungan dengan
bentuk gigi dan sifatkuda sebagai penunjuk umur kuda dalam naskah serta
menafsirkan makna tersirat yang terkandung dalam naskah BMK.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Filologi
Filologi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani philologia yang
berupa gabungan kata dari philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’.
Filologi dapat diartikan sebagai ‘cinta kata’ atau ‘ senang bertutur’, yang kemudian
berkembang menjadi ‘senang belajar’, ‘senang ilmu’, dan ‘senang kesastraan’ atau
‘senang kebudayaan’ (Baried, 1983:1).
Filologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari tentang tata
cara, dan bagaimana menangani suatu dokumen kuna dan penting warisan nenek
moyang terdahulu. Filologi hampir sama dengan antropologi. Perbedaan antara
filologi dan antropologi terletak pada objek fisik kajian. Objek fisik antropologi
adalah artefak, candi, patung, arca atau bahan yang terbuat dari bahan batuan atau
logam. Sementara itu, filologi memiliki objek fisik kajian yang lebih khusus yaitu
naskah atau manuskrip yang terbuat dari bahan lontar, dluwang, bambu, atau kertas.
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai pada kira-kira abad ke 3 SM
oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah, yaitu untuk menyebut keahlian yang
diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun berates-
ratus tahun sebelumnya. Ahli dari Iskandariyah yang pertama kali melontarkan
istilah ‘filologi’ bernama Eratosthenes. Pada waktu itu, mereka harus berhadapan
dengan sejumlah peninggalan tulisan yang menyimpan suatu informasi dengan
21
bentuk yang bermacam-macam: dalam pada itu, pada fisik peninggalan tulisan itu
terdapat sejumlah bacaan yang rusak atau korup (Siti Baroroh Baried, 1994).
2. Objek Penelitian Filologi
Suatu penelitian tentu mempunyai metode dan objek. Dari sejarah lahirnya
filologi sebagai istilah, dapat diketahui bahwa filologi mempunyai sasaran kerja
atau objek penelitian yang berupa naskah atau manuskrip.
Ilmu yang berkaitan dengan naskah dan pernaskahan disebut kodikologi,
yaitu ilmu tentang kodeks (kata lain untuk naskah). Dalam itu, objek kajian filologi
berupa teks, yaitu informasi yang terkandung dalam naskah, yang sering disebut
juga muatan naskah (Siti Baroroh Baried, 1994). Menurut Hartini (2012:10), objek
penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan
pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau. Semua bahan tulisan
tangan tersebut adalah naskah. Dalam filologi istilah naskah merujuk pada wujud
fisik sementara teks adalah wujud abstrak atau ilmu yang dikandung dalam naskah
tersebut.
3. Pengertian Naskah dan Teks
Naskah yang biasa disebut manuskrip/handskrip merupakan hasil karya
pemikiran nenek moyang yang dituang ke dalam tulisan tangan. Menurut Siti
Baroroh Baried (1994), naskah merupakan ungkapan perasaan sebagai hasil budaya
bangsa masa lampau.
Ketika peneliti dihadapkan pada proses membaca naskah, maka sebenarnya
peneliti dihadapkan pada dua hal yang saling berhubungan yaitu naskah dan teks.
Naskah merupakan bentuk fisik dari karya itu sendiri, mulai dari bahan atau media
22
penulisan, bentuk tulisan, hingga keadaan naskah secara kasat mata. Sementara itu
hal yang lain adalah teks. Teks merupakan bentuk abstrak yang terdapat di dalam
naskah itu. Bentuk abstraksi bisa juga merupakan ilmu yang terkandung, amanat,
pesan, dan suatu ajaran yang terkandung di dalamnya. Menurut Hartini (2012;19),
teks itu sendiri adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang
hanya dapat dibayangkan saja. Dalam menemukan teks, dan memahaminya,
seorang peneliti tidak bisa hanya melihat, melainkan harus membaca dan menelaah
terlebih dahulu.
Naskah dan teks merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan. Di dalam naskah pasti terdapat teks, sedangkan teks pasti berada di
dalam naskah.
4. Langkah Kerja Filologi
Secara umum, penelitian akan selalu memiliki langkah kerja secara
terperinci. Langkah kerja filologi mulai dari pencarian data berupa naskah atau
manuskrip, pengolahan dan penggarapan data, hingga penyajian hasil penelitian
dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu meliputi invetarisasi naskah, deskripsi naskah,
singkatan naskah, kritik teks, suntingan teks yang dilengkapi dengan aparat kritik,
dan terjemahan.
Naskah yang dikaji dalam penelitian ini adalah naskah tunggal. Cara kerja
penelitian filologi sesuai dengan metode edisi naskah tunggal. Metode edisi naskah
tunggal meliputi dua metode yaitu edisi diplomatik dan edisi standar. Edisi
diplomatik adalah menyajikan hasil alih aksara apa adanya. Edisi standar
menyajikan hasil alih aksara yang telah melalui edisi kritik teks. Artinya
23
memberikan atau membetulkan yang dianggap tidak memiliki keteraturan dalam
kata, kumpulan kata, frase ataupun kalimat. Penelitian ini menggunakan metode
kritik edisi standar dengan pendekatan kritik teks. Cara kerja filologi dalam
naskah tunggal ini mengacu pada teori filologi dan cara kerja filologi
Menurut Edwar Djamaris (2002:9), langkah kerja filologi meliputi
pengumpulan data (inventarisasi naskah), deskripsi naskah, pertimbangan dan
pengguguran naskah (recentio dan elimination), dasar-dasar penentuan naskah yang
asli (autograf), mendekati asli (arkhetip), atau naskah autoritatif, ringkasan isi
cerita, transliterasi naskah, suntingan teks, glosari, dan komentar teks.
Penanganan naskah BMK ini mengacu pada tahapan langkah kerja
penelitian filologi menurut Edwar Djamaris. Akan tetapi mengingat bahwa naskah
ini merupakan naskah tunggal, sehingga tidak menyertakan langkah pertimbangan
dan pengguguran naskah (recentio dan elimination), dasar-dasar penentuan naskah
yang asli (autograf), mendekati asli (arkhetip), atau naskah autoritatif, di dalam
penggarapannya.
Secara terperinci, langkah kerja penelitian filologi yang diterapkan dalam
penggarapan naskah BMK adalah sebagai berikut
a. Inventarisasi Naskah
Iventarisasi naskah adalah langkah peneliti dalam mencari informasi,
sumber data, dan data yang akan dijadikan sebagai objek kajian, yang pada
penelitian ini berupa naskah atau manuskrip. Inventarisasi merupakan langkah awal
untuk mendapatkan data secara menyeluruh.
24
Inventarisasi naskah dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendata
dan mengumpulkan naskah yang berjudul sama dan sejenis melalui katalog-katalog
umum. Setelah di dapatkan informasi judul, dan tempat penyimpanan naskah maka
dilakukan inventarisasi lanjutan berupa pendataan naskah melalui katalog lokal.
Setelah inventarisasi dengan bantuan katalog selesai, dilakukan mengecek data
secara langsung ke tempat penyimpanan naskah sesuai dengan informasi yang
diperoleh. Setelah mendapatkan data yang dicari, kemudian dilanjutkan dengan
deskripsi atau identifikasi naskah.
Menurut Edwar Djamaris (2006: 11), apabila peneliti ingin meneliti suatu
cerita berdasarkan naskah menurut cara kerja filologi, pertama-tama hendaklah
didaftarkan semua naskah yang terdapat diberbagai perpustakaan universitas atau
museum yang biasa menyimpan naskah melalui katalogus naskah yang tersedia.
Langkah tersebut dilakukan mengetahui jumlah naskah, tempat penyimpanan,
maupun penjelasan lain mengenai keadaan naskah yang akan dijadikan objek
penelitian.
b. Deskripsi Naskah
Objek penelitian, ketika sudah didapatkan langkah penggarapan pertama
adalah membuat deskripsi. Deskripsi naskah ialah uraian ringkasan naskah secara
terperinci, yang terdiri dari poin-poin khusus guna pengetahuan awal sebelum orang
melihat naskahnya. Deskripsi naskah diperlukan untuk mengetahui kondisi naskah
dan sejauh mana isi dan kondisi mengenai naskah yang akan diteliti.
Adapun sebelum melakukan tindakan deskripsi atau identifikasi naskah,
biasanya terlebih dulu peneliti melakukan alih media bahan penelitian ke dalam
25
bentuk foto atau digital. Hal ini dilakukan untuk mengurangi sedikit mungkin
kontak langsung peneliti terhadap bahan penelitian yang asli. Sebagai salah satu
cara menjaga kelestarian dan menghindari kerusakan setelah dilakukan penelitian.
Pengambilan gambar menggunakan kamera hendaknya juga
memperhatikan dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku pada intansi maupun
yayasan terkait. Biasanya suatu intansi maupun yayasan pengelola naskah,
melarang pemotretan naskah menggunakan blitz yaitu kilatan cahaya yang
dihasilkan kamera pada saat proses pemotretan. Efek cahaya dan panas yang
ditimbulkan, ditakutkan akan lebih cepat merusak tinta dan kertas naskah.
Emuch Herman Sumantri (1986:2) menguraikan bahwa deskripsi naskah
merupakan sarana untuk memberikan informasi atau data mengenai: judul naskah,
nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah , keadaan naskah, ukuran
naskah, tebal naskah, jumlah baris tiap halaman, huruf, aksara, tulisan, cara
penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau
penyalin, asal-usul naskah, fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks.
c. Transliterasi Naskah
Transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari
abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam proses transliterasi ini sebaiknya peneliti
tetap menjaga kemurnian bahasa dalam naskah, khususnya penulisan kata (Edwar
Djamaris, 2002:19).
Transliterasi biasanya juga disebut dengan alih aksara. Kegiatan ini tidak
hanya serta merta mengubah huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain,
yang dalam penelitian ini berarti mengubah huruf Jawa ke dalam tulisan Latin, akan
26
tetapi seorang peneliti juga harus mempunyai bekal pengetahuan memahami
konvensi maupun aturan yang ada dalam abjad atau huruf yang menjadi sasaran.
Konvensi tranliterasi atau proses alih aksara pada naskah Jawa harus
mencermati konvensi linguistik dan ketentuan dalam paramasastra Jawa.
Adakalanya pada huruf Jawa sebuah kata ditulis dengan pasangan atau huruf
konsonan dobel, akan tetapi pada saat kata itu diubah dalam huruf latin, konsonan
hanya satu.
d. Kritik Teks
Kritik teks menurut Siti Baroroh Barried (1983:97), kata kritik berasal dari
bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, krinein berarti menghakimi,
kriterian berarti dasar penghakiman. Kritik teks memberikan evaluasi terhadap
teks, meneliti dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik
teks bertujuan untuk mengembalikan teks ke bentuk aslinya (constutio textus)
sebagaimana diciptakan oleh penciptanya.
Kritik teks ini dilakukan dengan mengacu pada konvensi-konvensi tertentu.
Dalam penelitian ini, kritik teks mengacu pada konvensi linguistic, dan konteks
kalimat dalam naskah.
e. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya, yang bersih
dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.
Suntingan teks ini berasal dari hasil alih aksara yang telah dikritik. Adapun bentuk
suntingan teks biasanya bait untuk naskah jenis tembang, dan paragraf untuk naskah
prosa.
27
Adapun dalam penelitian ini, suntingan teks dilengkapi dengan aparat kritik.
Aparat kritik ini berwujud catatan kaki yang ada pada luar teks. Hal ini merupakan
suatu pertanggungjawaban dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks
dan merupakan kelengkapan kritik teks. Dalam aparat kritik juga ditampilkan
kelainan bacaan yang merupakan kata-kata atau bacaan salah di dalam naskah
(Edwar jamaris, 2006:8).
f. Terjemahan
Terjemahan adalah pemindahan bahasa dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Pemindahan bahasa ini tidak bisa terlepas dari unsur makna. Makna yang
ada dalam bahasa sumber seharusnya juga sama dengan makna dalam bahasa
sasaran. Hasil terjemahan yang baik adalah kesesuaian makna dari bahasa sumber
ke bahasa sasarannya.
Proses terjemahan tidak hanya mengubah atau memindahkan sebuah teks
dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, akan tetapi juga memindahkan kandungan
isi, pengetahuan sesuai dengan makna dalam bahasa asalnya. Secara garis besar,
Catford (1974) membagi terjemahan menjadi tiga jenis :
1. Terjemahan kata per kata : terjemahan yang tiap-tiap kata teks bahasa
sumber diikuti oleh kata-kata yang sepadan dalam bahasa sasaran. Jenis
terjemahan ini terikat oleh bentuk. Kata kerja dalam bahasa sumber juga
harus diikuti kata kerja dalam bahasa sasaran, jika dalam bahasa sumber
berupa kata benda terjemahannya juga kata benda, dan semacamnya.
2. Terjemahan harfiah : terjemahan antara terjemahan kata per kata dan
terjemahan bebas, berada di antara terjemahan kata per kata dan
28
terjemahan bebas. Menerjemahkan secara harfiah dimulai dari
menerjemahkan kata per kata kemudian gramatikanya disesuaikan
dengan bahasa sasaran
3. Terjemahan bebas : terjemahan yang tidak terikat oleh bentuk satuan-
satuan kebahasaan. Satuan kata dalam teks sumber terjemahannya tidak
harus berupa kata, tetapi boleh berupa frase atau kalimat.
Dari ketiga jenis terjemahan di atas, untuk memperoleh interpretasi isi yang
terkandung dalam naskah, maka digunakan jenis terjemahan bebas. Dalam
penelitian naskah Jawa, hasil alih aksara akan diterjemahkan ke dalam bahasa
nasional atau Bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memperluas sasaran
pembaca. Diharapkan hasil penelitian ini, tidak hanya bisa dinikmati oleh
masyarakat yang menguasai Bahasa Jawa saja, akan tetapi juga masyarakat yang
menguasai Bahasa Indonesia.
5. Pengetian Mistik
Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio,
pengetahuan yang irasional. Maksudnya, hubungan sebab akibat yang terjadi tidak
dapat dipahami rasio. Rasio adalah pemikiran manusia yang didasarkan pada
pemikiran akal sehat yang biasa disebut nalar. Pengetahuan ini kadang-kadang
mempunyai bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Pengetahuan mistis ini bersifat mistik.
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang
artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen),
gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Mistik
29
jika dihubungkan dengan spiritualitas yaitu pengetahuan (ajaran atau keyakinan)
tentang Tuhan yang diperoleh melalui latihan meditasi atau latihan spiritual, bebas
dari ketergantungan indera atau rasio. Pada dasarnya, mistik selalu ada pada suatu
agama dalam bentuk kerohanian. Kerohanian ini bersifat subjektif, yang paling tahu
penggunaannya adalah pemiliknya. Adapun di kalagan sufi, kegunaan mistik yaitu
dapat menentramkan jiwa mereka (Ahmad Tafsir: 2006)
Mistisme dalam Islam biasa disebut dengan Tasawuf. Tasawuf adalah
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Adapun dalam perkembangannya, tasawuf terbagi menjadi 4 tahap yaitu syariat,
hakekat, tarekat, makrifat.
Tujuan Tasawuf adalah sampai kepada Dzat yang Haqq atau Mutlak, atau
bahkan bersatu dengan Dia (Simuh 2002: 32). Para sufi tidak akan sampai kepada
tujuannya kecuali dengan laku dan usaha berupa mujahadah yang membutuhkan
waktu lama untuk memusatkan perhatian dan mematikan keinginan keduniawian.
Bersatunya jiwa manusia dengan Zat yang Haqq merupakan tingkatan yang paling
tinggi di dalam ilmu Tasawuf yang disebut dengan makrifat.
Syariat merupakan tahapan paling rendah dari tasawuf. Hal ini biasa
dilakukan dengan cara mengindahkan dan hidup menurut pranata hukum agama.
Pada agama Islam, syariat ditunjukan pada ketaatan seseorang dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam pencapaian kemakrifatan, tidak
hanya mencari ridla Allah dengan ibadah dan taqwa seperti yang dianjurkan pada
30
tahapan syariat. Dengan demikian, maka perlu menciptakan langkah baru yang
disebut dengan tarekat.
Tarekat menurut ijtihad para sufi bermacam-macam. Akan tetapi, pada
dasarnya menurut Al- Ghazali dalam kitab al-Mungidz min al Dlalal terdiri dari
tiga jenjang, yaitu penyucian hati (mawas diri dan penguasaan terhadap nafsu),
konsentrasi dalam berzikir, dan fana’ fil’lah alu mukasyafah (pemikiran alam gaib).
Dengan menjalankan tiga jenjang ini, para sufi merujuk pada satu tujuan yaitu
kesadaran leburnya diri dalam samudera ilahi.
Tahap ketiga dalam tasawuf adalah hakekat, yaitu perjumaan dengan
kebenaran. Seseorang yang berada pada tingkatan hakekat ini, memiliki
pemahaman mendalam dalam mengabdikan diri kepada Dzat yang Maha Kuasa.
Kemudian dilanjutkan dengan tahap terakhir berupa makrifat.
Secara harfiah, kata makrifat berasal dari kata arafa, yaitu ya’rifu, irfan,
makrifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dapat berarti pengetahuan
tantang suatu hal, yaitu ilmu tertinggi yang tidak bisa dirasakan oleh semua orang.
Makrifat adalah pengetahuan yang objeknya bersifat abstrak, dan hanya dapat
diketahui dengan pemikiran yang lebih mendalam, tidak hanya sekedar wujud yang
menampilkan pesan tersurat akan tetapi juga paham makna yang tersirat. Pemikiran
yang seperti ini, disebutkan dalam konsep mistisme dan merupakan pemikiran yang
paling tinggi. Dimulai dari pemikiran secara syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Dalam konsep mistisme kontemporer atau kebatinan, makrifat merupakan
salah satu tingkatan laku menyatukan diri dengan Tuhan. Pada dasarnya, praktek
mistisme adalah upaya yang dilakukan secara individual. Dalam mitologi Jawa,
31
perjalanan mistik banyak disimbolkan melalui penggambaran dalam kisah
pewayangan misalnya lakon Dewa Ruci, Begawan Ciptoning, dan Arjunawiwaha
(Niels Mulder, 2007;67-68).
6. Struktur Gigi Kuda
Menurut bentuknya, gigi terbagi menjadi dua jenis yaitu Homodontal dan
Heterodontal. Homodontal merupakan bentuk gigi geligi yang sama dalam satu
rongga mulut. Bentuk gigi tersebut terdapat pada makhluk hidup seperti ikan dan
burung. Sedangkan gigi geligi manusia termasuk jenis Heterodontal, karena
memiliki gigi geligi dengan berbagai bentuk dan fungsi (Donna Pratiwi:2009).
Kuda mempunyai geligi Homodontal. Berbeda dengan gigi pada manusia,
selain tumbuh dan bertambah panjang, gigi kuda juga menjadi aus seiring
pertambahan umur kuda. Hal tersebut menjadi petunjuk dalam penentuan umur
kuda.
Umur kuda dapat diketahui dari gigi seri yang terdiri dari dua jenis yaitu
gigi sementara dan gigi permanen. Gigi sementara berukuran kecil dan berwarna
putih. Sementara itu gigi permanen ukurannya lebih besar dan kuat, warnanya lebih
kuning dan panjang.
Secara garis besar, gigi kuda terbagi menjadi dua jenis yaitu gigi seri dan
geraham. Gigi seri terletak di depan berfungsi untuk memotong rerumputan,
sementara gigi geraham terletak di bagian belakang berfungsi untuk mengunyah
makanan. Kuda dikatakan mempunyai gigi lengkap ketika mulut telah dipenuhi
oleh enam gigi pada rahang atas dan enam gigi pada harang bawah, yang kemudian
dapat dibedakan menjadi dua central, dua lateral, dan dua croner.
32
Gambar 16: Bentuk dan jumlah gigi kuda sesuai umurnya (penampang atas)
Sumber : upperegypt.com
1 year, 2 years, 3 years, 4 years, 5 years, 6 years, 8 years, 10 years, 12 years, 15
years, 19-20 years, 20-25 years
Terjemahan : 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, 8 tahun, 10
tahun, 12 tahun, 15 tahun, 19-20 tahun, 20-25 tahun
Berikut adalah fase pertumbuhan gigi:
Pertumbuhan gigi ternak dibagi menjadi 3 fase yaitu : fase tumbuh gigi (gigi
susu), fase pergantian gigi dan fase keausan gigi.
a) Fase gigi susu : Terjadi pada ternak mulai lahir sampai dengan gigi seri bertukar
dengan yang baru.
b) Pergantian gigi : masa awal dari pergantian gigi sampai dengan selesai
c) Keausan gigi : gigi sudah tidak berganti-ganti lagi, melainkan sedikit demi sedikit
aus.
33
Gambar 17: Perubahan gigi kuda sesuai dengan umurnya (penampang depan dan
samping) Sumber : horsegroomingsupplies.com
Canine teeth, may urupt in the space between the incisors and molars in, teeth of a
one year old horse, teeth of a two year old horse, teeth of a six year old horse, teeth of a six year old horse showing beginning of seven year horse, teeth of a eight year old horse clearly showing seven year hook, teeth of a fifteen year old horse
Terjemahan: gigi taring, mungkin meletus di ruang antara gigi seri dan geraham,
gigi kuda berumur satu tahun, gigi kuda berusia dua tahun, gigi kuda berusia enam tahun, gigi kuda berusia enam tahun menunjukkan awal tujuh tahun kuda, gigi kuda
berusia delapan tahun menunjukan dengan jelas gigi pemauk saat kuda berumur tujuh tahun, gigi kuda berusia lima belas tahun.
34
F. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data dan Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan lokasi,
tempat, atau keberadaan sehingga peneliti bisa mendapatkan data. Sumber data dari
penelitian ini adalah Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, Rumah Bapak
Mujiono di Laweyan Surakarta, dan lapangan stadion Bantul Jogyakarta.
Setelah mendapatkan sumber data, peneliti akan mendapatkan data. Data
adalah sesuatu yang diperoleh atau dihasilkan dari sumber data itu sendiri. Dalam
penetitian ini, data berupa naskah, suntingan teks naskah BMK yang bersih dari
kesalahan dan hasil wawancara.
Data pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data utama yang dibutuhkan dalam penelitian.
Pada penelitian ini, data primer adalah naskah BMK dengan nomor kodek 25565 di
katalog (Girardet – Sutanto, 1983), MN 579 pada (Nancy K. florida, 1996), dan
nomor N6 Katalog lokal Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegara. data kedua
berupa suntingan teks naskah BMK yang bersih dari kesalahan dan hasil
wawancara. Kemudian data sekunder adalah data pendukung yang mampu
menunjang penelitian. Dalam hal ini, data sekunder berupa bahan pustaka tentang
kuda, buku tasawuf dan sumber informasi penunjang lainnya yang dapat membantu
memberikan informasi penelitian.
2. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian filologi, yang objek kajian
mendasarkan pada menuskrip atau naskah yang menggunakan bahasa dan aksara
35
Jawa yang masih ditulis tangan. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang
artinya penelitian dilaksanakan melalui pendekatan kualitatif yang bersifat
deskriptif.
Pada dasarnya penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu
pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Data yang dibutuhkan pada
metode kualitatif adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dengan
demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data sebagai gambaran
penyajian laporan (Lexy J.Moleong, 2013)
Jenis penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka atau library research
dan penelitian lapangan atau field research. Library research yaitu penelitian yang
dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perpustakaan, yaitu tempat peneliti
memperoleh data dan informasi tentang objek penelitiannya lewat buku-buku atau
alat-alat audiovisual lainnya (Attar Semi, 1990:8). Kemudian, field research yaitu
penelitian yang berangkat dari hasil observasi lapangan untuk mengadakan
pengamatan tentang suatu fenomena dalam suatu keadaan ilmiah (Lexy J.Moleong,
2013).
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah secara
bertahap,yaitu:
1. Mencari informasi dengan bantuan katalog Girardet-Soetanto1964
yang merangkum seluruh judul dan gambaran umum naskah-naskah
yang dikoleksi perpustakaan atau intansi yang ada di wilayah Surakarta
dan Yogyakarta. Kemudian dari pencarian itu ditemukan naskah
36
berjudul Buku Makripating Kapal yang disimpan di Perpustakaan
Reksapustaka Pura Mangkunegara Surakarta.
2. Pengumpulan data dilanjutkan dengan mencari informasi melalui
bantuan katalog-katalog lainnya, yaitu Javanese Language Manuscrips
of Surakarta Central Java A Preliminary Descriptive Catalogus Level
II (Nancy K. florida, 1996), Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara
Jilid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta (T.E. Behrend, 1990), Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A dan B Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (T.E. Behrend dan Titik Pujiastuti,1997), Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta (Jennifer
Lindsay, R.M. Soetanto, dan Alan Feinstein,1994), dan Katalog Lokal
Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran. Dari berbagai
katalog di atas, ditemukan satu judul naskah dengan tiga nomor kodek
pada tiga katalog yang berbeda, akan tetapi dari ketiganya hanya
mengarah pada satu naskah dan satu tempat penyimpanan naskah, yaitu
Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran.
3. Mengunjungi dan memastikan secara langsung keberadaan naskah pada
tempat penyimpanannya yaitu Perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran.
4. Mengambil dan meminjam naskah BMK.
5. Untuk mempermudah penggarapan penelitian, juga demi mengurangi
kontak langsung terhadap naskah yang dapat mempercepat kerusakan
naskah, maka dilakukan pemotretan sesuai dengan syarat yang
ditentukan oleh intansi terkait.
37
6. Setelah data yang didapatkan cukup, dilanjutkan penelitian sesuai
dengan langkah- langkah filologis.
7. Setelah pelaksanaan penelitian, diperoleh suntingan teks yang bersih
dari kesalahan. Hal ini, menjadi data dalam pengkajian isi.
8. Melakukan wawancara terhadap narasumber yang berkompeten dalam
bidang pemeliharaan dan perawatan kuda, yaitu Bapak Mujiono
peternak kuda tarik, Bapak Wempi pelatih kuda balap, dan Mas Nur joki
kuda balap.
9. Melalui data berupa suntingan teks BMK yang bersih dari kesalahan dan
hasil wawancara tersebut, kemudian dilakukan pengkajian isi terhadap
naskah BMK.
Pencaraian data sekunder dapat diperoleh melalui jurnal, buku-buku umum,
makalah, serta transkip hasil wawancara dan hasil diskusi.
4. Teknik Analisis Data
Analis data adalah mengolah data sesuai dengan cara kerja filologi. Proses
analisis data diolah sesuai dengan teori langkah kerja penelitian filologi. Dalam
penelitian ini digunakan analisis filologis dan analisis isi. Analisis isi dilakukan
setelah terjemahan, karena isi dan kandungan naskah dapat diketahui secara lebih
jelas setelah langkah kerja filologi diselesaikan, maka analisis yang digunakan
adalah metode kritik teks naskah tunggal yaitu edisi standar. Menurut Edwar
Djamaris, metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam penyuntingan
teks naskah tunggal. Metode standar digunakan pada naskah yang dianggap sebagai
cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting (2002:24).
38
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain:
a. Mentranliterasikan teks.
b. Membetulkan kesalahan teks.
c. Membuat catatan perbaikan/perubahan.
d. Memberi komentar, tafsiran.
e. Membagi teks dalam beberapa bagian.
Tahap kedua dari analisis data adalah pengungkapan isi yang terkandung
dalam teks dengan menggunakan metode content analisys atau analisis isi. Analisis
isi adalah suatu metode yang bisa digunakan pada penelitian kualitatif maupun
kuantitatif. Pengertian analisis isi adalah pembahasan secara mendalam terhadap isi
yang ada pada sutau informasi, baik berupa lisan maupun tertulis yang tedapat pada
objek penelitian.
G. Sistematika Penyajian
Sistematika yang akan disajikan dalam laporan hasil penelitian ini
dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai laporan hasil
penelitian. Sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Bab pendahuluan ini didahului oleh latar belakang, perumusan masalah, tujuan
pembahasan, pembatasan masalah, teori, metode penelitian, sistematika penyajian.
BAB II Tinjauan Filologis
Pembahasan pada bab ini, dibatasi mengenai tinjauan filologis. Isi pembahasan
yaitu, deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks, dan terjemahan.
39
BAB III Kajian Isi
Pembahasan pada bab ini dibatasi mengenai kajian isi, yaitu bentuk dan sifat kuda
sesuai umurnya dalam naskah BMK, serta ajaran mistik yang terkandung dalam
naskah BMK
BAB IV Penutup
Berisi simpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar pustaka, dan
lampiran naskah BMK
Daftar Pustaka
Lampiran