BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Putus Obat
Menurut WHO, (2013) bahwa putus obat adalah pasien TB paru BTA (+) selama
dua bulan atau lebih putus pengobatan secara berturut-turut. Hal ini diperkuat dengan
hasil penelitian Chen, dkk, (2013) di China bahwa kasus putus obat menurut jenis
kelamin laki sebanyak 1.448 orang atau (62,8%), perempuan dengan jumlah 857
orang atau (37,2%). Hasil penelitian di India menurut Gopi, dkk (2006) bahwa kasus
putus obat untuk kelompok laki sebanyak 88 orang atau (81,5%), untuk kelompok
perempuan sebanyak 20 orang atau (18,5%).
Kasus putus obat juga didapat di Brazil menurut Maruza, dkk, (2011) dengan jumlah
85 orang atau (25,1%). Berdasarkan hasil penelitian Finlay, dkk, (2012) di South Africa,
didapatkan tanpa pengawasan lansung terhadap DOTS 77/148 orang (52%) OR=0.9
(95%CI 0.6-1.3). Menurut Muniarsih & Livana, (2007), bahwa bila pasien TB paru BTA
(+) melaksanakan pengobatan dengan baik atau pengobatan dengan pengawasan minum
obat secara lansung sehingga mampu mempertahankan diri terhadap penyakit, mencegah
masuknya kuman dari luar dan dapat menekkan angka kematian yang disebabkan oleh
TB Paru.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kasus TB, di Timor-Leste menurut Martins,
dkk. (2008) antara lain: (a) Pengetahuan pasien dan keluarga tentang TB masih terbatas,
(b) Penggunaan obat tradisional, (c) Tingkat ekonomi yang masih rendah, terutama di
daerah rural, berkesimpulan bahwa, praktek budaya lokal, pengetahuan, dan faktor sosial
ekonomi sangat berkontribusi terhadap kurangnya kepatuhan pasien terhadap pengobatan
tuberkulosis. Direkomendasikan agar segera memperluas wilayah program DOTS, di
seluruh daerah Timor-Leste.
2.2 Hasil Penelitian Dari Beberapa Negara
Menurut Dooley, dkk. (2011) di Morocco didapatkan, jumlah 291 pasien yang
mengikuti ulang pengobatan tercatat: gagal pengobatan (48%), putus obat (41%), faktor
risiko menurut jenis kelamin (laki), OR= 2.29 (95% CI 1.10-4.77),pengobatan sebelum
tiga bulan OR= 7.14 (95% CI 4.04-13.2), rawat nginap OR= 2.09 (95% CI 1.01-4.34).
Hasil penelitian Sendagire, dkk. (2011) di Uganda bahwa didapatkan 270 pasien TB paru
dengan gagal pengobatan 10 orang (3.7%), kasus putus obat 54 orang atau (20.0%).
Menurut Marx, dkk. (2012) di Paris France, didapatkan putus obat 92 orang (Rate per
100 PY) 6.86 (95% CI 5.59-8.41), p = 0.001. Hasil penelitian Garrido, dkk. (2012) di
Brasil didapatkan: putus obat 1.059 orang (16.0%), sembuh 5.657 orang (84.0%)
OR=1.45 (95% CI 1.29-1.62). Jha M.U., dkk. (2006) di India didapatkan putus obat (laki)
907 orang (79.5%), non default (laki), 853 orang (71.7%) OR =1.56 (95% CI 1.28-1.89).
Hasil penelitian Vijay, dkk. (2010) di India menemukan tiga faktor yang dapat
memicu putus obat, antara lain : (1) Suport keluarga sebanyak 377 orang dengan nilai p=
0.22 dan OR= 0.59 (95% CI 0.23-1.49); (2) Suport tenaga kesehatan yang kurang
sejumlah 34 orang atau nilai p value = 0.000, nilai OR= 8.52 (95% CI 3.40-22.83).
Menurut Muture, dkk. (2011) di Kenya didapatkan pengobatan tradisional sebagai faktor
risiko jumlah 32 orang (26.7%) OR=10.76 (95% CI 4.0-28.63), pengalaman dengan efek
samping obat sebanyak 72 orang (59,6%) OR=1.28 (95% CI 0.78-2.09), faktor lamanya
tinggal di daerah pengobatan kurang lebih 2 tahun sebanyak 73 orang (60.8%) dengan
OR=2.78 (95% CI 1.57-4.98)
2.3 Cara Penularan Tuberkulosis
Penyakit tuberculosis biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang
memiliki daya tahan yang luar biasa, dan infeksi terjadi melalui penderita TB yang
menular. Penderita TB yang menular adalah penderita dengan basil TB di dalam
dahaknya, dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batuk-batuk, bersin, ketawa
keras, dsb akan menghembuskan keluar percikan-percikan dahak halus (droplet nuclei),
yang berukuran dari 5 mikron dan akan berada di udara berupa droplet nuclei yang
mengandung basil TB.
Bilamana hinggap di saluran pernapasan bagian trakea dan bronkus, droplet nuclei
ini akan segera dikeluarkan oleh gerakan cilia selaput lendir saluran pernapasan. Namun,
bilamana berhasil masuk sampai ke dalam alveoli ataupun menempel pada mukosa
bronkeolus, droplet nuclei ini akan menetap dan basil-basil ini akan mendapatkan
kesempatan untuk berkembang biak. Ada beberapa faktor, yang dapat mempengaruhi
transmisi dengan jumlah basil dan virulensinya. Dapat dimengerti bahwa semakin banyak
basil, terdapat di dalam dahak seorang penderita, makin besar bahaya penularan
(Danusantoso, dkk. 2002)
2.4 Mendiagnosa Penyakit Tuberkulosis
Untuk memastikan apakah seseorang menderita penyakit tuberkulosis perlu
dilakukan pemeriksaan dahak untuk dipastikan adanya kuman TB dalam sputum, sangat
dibutuhkan bantuan mikroskop. Dahak yang diambil adalah dahak sewaktu: pasien
pertama kali datang untuk diperiksa. Dahaknya diambil pada pagi hari segera setelah
bangun tidur yang disebut dahak pagi, dan pengambilan dahak kedua di unit pelayanan
kesehatan pada saat penyerahan dahak pagi (Hanafi, 2010)
2.5 Patogensis Tuberkulosis
Infeksi primer terjadi pada orang yang tidak punya paparan sebelumnya basil
tuberkel. Droplet nuklei yang dihirup ke dalam paru-paru begitu kecil sehingga mereka
menghindari pertahanan mukosiliar dari bronki, dan tinggal di alveoli terminal paru-paru.
Infeksi dimulai dengan bertambahnya basil tuberkulosis yang banyak di dalam lesi, yang
dihasilkan paru-paru. Limfatik menguras basil dari kelenjar getah bening hilus maka
limfadenopati hilus akan membentuk kompleks primer (Anthony, 2004)
Basil TB dapat menyebar dalam darah, mulai dari kompleks primer ke seluruh
tubuh. Respon imun berkembang sekitar 4-6 minggu setelah infeksi. Kekuatan untuk
menginfeksi tergantung daya respon imun, dansangat ditentukan masalah yang akan
terjadi selanjutnya. Ada beberapa kasus tentang, multiplikasi basil terhambat karena
respon imun, di lain pihak masih ada beberapa basil dorman tetap bertahan. Dengan cara
tes tuberkulin bisa membuktikan, adanya infeksi bila hasil pemeriksaan (+). Dalam
beberapa kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk mencegah multiplikasi basil, akan
mempermudah jatuhnya sakit dalam waktu beberapa bulan (Anthony, 2004)
2.6 Distribusi Penyakit
Negara industri pada awalnya, penyakit tuberkulosis cenderung untuk menurun, baik
mortalitas maupun morbiditas selama beberapa tahun. Kemudian pada akhir tahun 1980
an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar. Setelah itu meningkat di
daerah dengan prevalensi populasi HIV-nya tinggi. Daerah yang dihuni oleh penduduk
yang datang dari daerah dengan prevalence TB tinggi. Kasus TBC menurut mortalitas
dan morbiditas meningkat, sesuai umur pada orang dewasa pria lebih tinggi,
dibandingkan dengan wanita. Angka kematian TB lebih tinggi pada penduduk miskin,
terutama di daerah pedesaan bila dibandingkan dengan penduduk perkotaan.
Di Amerika Serikat insiden TBC menurun sejak tahun 1994 dengan angka penderita
yang dilaporkan, 9,4 per 100.000 (lebih dari 24.000 kasus). Masih terdapat banyak kasus
TB dengan infeksi primer, walaupun angka insiden rendah. Di beberapa daerah yang
dianggap urban masih terdapat kasus infeksi baru. Berdasarkan lama waktu
pajanan penyakit tuberkulosis menempati rangking yang terendah diantara penyakit
menular yang lain. Tetapi pajanan dalam waktu lama dalam lingkungan keluarga
menyebabkan risiko terjadinya infeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada anak-anak,
maka risiko menjadi sakit selama hidupnya berkisar 10%. Bila terjadi koinfeksi dengan
kasus HIV risiko pertahun menjadi 2-7% ,dan risiko kumulatif sebesar 60-80%. Kasus
KLB, dilaporkan terjadi pada kelompok orang yang tinggal dengan keluarga yang
tertutup, seperti di panti asuhan penampungan tuna wisma, rumah sakit, sekolah, penjara
dan gedung perkantoran. Sejak tahun 1989 sampai pada awal tahun 1990, ada laporan
bahwa, terjadi KLB-MDR yang cukup ekstensif terutama terhadap Rifampicin dan INH
ditempat dimana banyak penderita HIV yang dirawat. Kasus KLB ini menimbulkan
angka kematian yang tinggi, kemudian terjadi penularan kepada petugas kesehatan
(Chin, 2009)
2.7 Profil Pasien Tuberkulosis
Profil pasien tuberkulosis merupakan output daripada Program Nasional
Tuberkulosis Kontrol, yang terdiri dari: (1) Pengobatan lengkap (3) Kambuh (4) Putus
obat (5) Gagal pengobatan. Selain hal tersebut diatas masalah karakteristik pasien TB
dalam hal umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status keluarga, pendapatan, dan
pekerjaan. Program Nasional Tuberkulosis Kontrol didirikan pada awal tahun 2000
dengan tujuan: (a) Untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian penyakit
tuberkulosis (b) Untuk enyelenggarakan program DOTS yang accessibility and
sustainability yang terintegrasi dalam Basic Service Package (Kemenkes, TL., 2008).
Menurut Septia, dkk. tt, bahwa usia yang sering terkena TB paru adalah usia produktif
(15-40 tahun), sehingga dampak efek kerugian secara ekonomi bagi kesehatan
masyarakat cukup besar, salah satunya adalah berkurangnya kwalitas hidup dan
produktifitas SDM.
2.8 Strategi Pemerintah Terhadap Program DOTS
Adalah suatu strategi yang dimanfaatkan Pemerintah Timor-Leste karena
program tersebut sudah direkomendasikan WHO, dan diakui secara internasional.
Program DOTS memiliki lima komponen antara lain (a) Kebijakan yang berkomitmen
untuk menambah anggaran yang berkelanjutan (b) Deteksi kasus yang berkualitas
dengan jaminan bakteriologis (c) Tindakan pengobatan yang standar dan dukungan
supervisi (d)Suplai obat-obatan dan sistem manajemen yang efektif (e) Sistem monitor
dan evaluasi yang adekuat (Kemenkes,TL., 2008)
2.9 Determinan Perilaku Manusia
Menurut Lawrence Green, perilaku manusia dibentuk dari tiga faktor antara
lain : (a) Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilainya, (b) Faktor pendukung (enabling factors)
yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana
prasarana kesehatan, puskesmas, obat-obatan dan sebagainya (c) Faktor pendorong
(reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo,
2003)
Seorang ahli psikolog yang bernama Skiner (1938) mengemukakan bahwa perilaku
itu adalah respon dari organisme terhadap ransangan dari luar. Menurut Setiadi, (2011)
bahwa perilaku adalah sifat atau cara manusia untuk mencapai titik tujuan (kepuasan)
tersendiri dan digolongkan menjadi dua macam, yaitu (1) tindakan yang sesuai dengan
norma-norma yang diterima oleh masyarakat banyak tindakan ini disebut konformis, (2)
tindakan yang berlawanan dengan norma yang berlaku di masyarakat disebut
(delinqueen).Pengetahuan (Knowledge), merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
responden melakukan penginderaan terhadap suatu obyek melalui penginderaan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni pengelihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba.
Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan pengetahuan. Sikap
merupakan suatu reaksi atau respon seseorang terhadap ransanganatau objek tertentuyang
sudah melibatkan faktor pendapat, dan emosi yang bersangkutan senang tidak senang,
setuju tidak setuju, baik tidak baik dan sebagainya. Menurut Gampbell, (1950)
mengemukakan bahwa, sikap itu adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam
merespons ransangan atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan,
perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Praktek atau tindakan adalah kecenderungan
untuk bertindak. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan
tindakan perlu faktor lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana (Notoatmodjo, 2010)
2.10 Perubahan Perilaku
Menurut seorang ahli psikologi yang bernama Skiner (1938) yang dikutip
Notoatmodjo sumber buku yang berjudul Ilmu Perilaku Kesehatan bahwa: kehidupan
manusia dalam era perkembangan, perilakunya dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal dengan responsnya seperti: (a) perhatian, (b) pengamatan, (c)
persepsi, (d) motivasi, (e) fantasi, dan (f) sugesti. Kemudian untuk faktor eksternal
sebagai faktor social yang tercakup dalam struktur social, faktor budaya yang terdiri dari;
(a) nilai-nilai, (b) adat stiadat, (c) kepercayaan, (d) kebiasaan, dan (e) tradisi.
2.11 Jangkauan Pelayanan Kesehatan
Pada tahun 2003 kebijakan Kementerian Kesehatan Timor-Leste, untuk diadakan
tenaga kuda dalam hal pelayanan kesehatan khususnya di daerah yang sulit akses
transportasi roda dua maupun roda empat. Kemudian dengan kriteria membangun
fasilitas pelayanan kesehatan harus berdasarkan dengan dua jam lebih perjalanan kaki.
Tahun 2015, Kemenkes TL mulai dengan program baru (home visit) artinya semua
pusat pelayanan kesehatan harus meluangkan waktu untuk kunjungan rumah penduduk,
dengan tujuan untuk mendeteksi masalah kesehatan yang dialami masyarakat. Menurut
laporan Asian Development Bank (ADB) 2005, bahwa terdapat tiga perempat atau 75%
dari penduduk Timor-Leste masih tinggal di daerah rural, dan akses pelayanan kesehatan
masih merupakan tantangan bagi penduduk dan pemerintah Timor-Leste. Sejak
proklamasi restaurasi kemerdekaan ada peningkatan yang cukup berarti, namun masih
ada sejumlah besar penduduk pedesaan, masalah jangkauan pelayanan kesehatan masih
menjadi hambatan. Menurut Wild, dkk. (2007) tentang Waiting Homes and Access to
Birthing Facilities in Rural Timor-Leste; Bahwa untuk analisa data, mereka
mempergunakan kategori jarak, kemudian dikembangkan menjadi data dasar yang cukup
masuk akal secara biologis. Contoh antara rumah tinggal pasien dengan fasilitas
pelayanan kesehatan: 0-5 km, 6-26 km, 26-50 km dan > dari 50 km (50 kilometer adalah
jauh dalam konteks terpencil)
Menurut WHO (2011), bahwa hambatan untuk menangani kasus TBC, antara lain:
(a) Kolaborasi antara intersektoral masih lemah, (b) Kerjasama antara swasta dan
pemerintah belum maksimal, (c) Peran Rumah Sakit untuk pemberian resep dengan
standar internasional belum maksimal, (d) Supervisi dan monitoring tidak adekuat, (e)
Kesadaran masyarakat dalam hal keterlibatan TB kontrol belum maksimal. Didukung
data sensus tahun 2009-2010, jumlah penduduk tercatat 1.066.409, dan secara geografis
daerah tersebut terdiri dari perbukitan dan daratan, sehingga terjadi hambatan untuk
akses transportasi roda empat maupun roda dua .
2.12 Ketersediaan Obat Tuberkulosis
Merupakan kewajiban Kementerian Kesehatan untuk mengadakan obat-obatan di
seluruh pusat pelayanan kesehatan yang tersebar di seluruh wilayah Timor-Leste. Hal ini
diperkuat oleh teori “PRECED-PROCEED” (1991) yang dikembangkan L.Green (1980)
bahwa: Enabling factors yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, termasuk obat-obatan (Notoatmodjo,
2010). Program pengendalian dan penanggulangan tuberkulosis, dapat
diimplementasikan melalui paket dasar yang disampaikan melalui kunjungan SISCa.
Karena tujuan SISCa untuk melayani masyarakat yang tinggal di daerah yang sulit akses
pelayanan kesehatan.
Masalah manajemen obat-obatan dan peralatan medis masih merupakan suatu
kewajiban Kemenkes tingkat pusat untuk menyelesaikan secara bertahap, dan masalah
tersebut antara lain: (a) Sumber daya manusia masih terbatas, (b) Koordinasi lintas
program belum adekuat, (c) Gudang obat di SAMES belum memadai, (d) Suplai obat dari
SAMES ke setiap Distrik belum adekuat, (e) Procuremen obat TB dari SAMES belum
maksimal, (f) Penyimpanan obat di tingkat Distrik masih dibawah tanggungjawab DTC,
(g) manajemen pembagian obat dari Distrik ke Subdistrik masih lemah
(Kemenkes,TL.,2011)
Menurut Wibowo, (2011) bahwa karena semakin banyak kompetensi, semakin
meningkatnya budaya organisasi, dan kompetensi itu sendiri adalah suatu kemampuan
(skill & knowledge) untuk melakukan aktifitas dalam tugasnya masing-masing. Selain hal
diatas ada juga lima karakteristik kompetensi antara lain, (a) Motif, (b) Sifat, (c ) Konsep
diri, (d) Pengetahuan, (e) Keterampilan (Torang, 2013). Menurut Laura (2010)
berpendapat bahwa kehadiran orang lain sangat menyentuh hati kita dan bisa
menghasilkan tenaga untuk menfasilitasi kinerja dalam kelompok.
2.13 Peran Keluarga
Peran keluarga adalah suatu kewajiban untuk membantu pasien pergi berobat,
mencari obat bila pusat pelayanan kesehatan tutup karena libur, memberi support mental
untuk minum obat secara teratur. Hal diatas sangat diperkuat oleh pendapat Setiadi &
Kolip, (2011), bahwa keluarga merupakan kelompok primer yang selalu bertatap muka,
antara keluarga sampai mudah untuk mengikuti perkembangan. Menurut penelitian
Vijaya, dkk. (2010) di India didapatkan family support 377 orang OR=0.59 (95% CI
0.23-1.49), poor support from health staff 34 orang OR=8.52 (95% CI 3.40-22.83)
2.14 Pengawasan DOTS
Adalah seorang petugas TB (Pengelola Program TB) dengan tugas utama untuk
lansung mengawasi pasien tuberkulosis, pada saat pasien minum obat dan setiap kali
pasien mau meminum obat harus didepan seorang petugas. Tujuanya untuk mencegah
terjadinya penularan, resisten obat, putus obat dan segera mengatasi bila ada efek
samping (CDC Timor-Leste, 2008) Menurut Soekarno (1982), pengawasan (controlling)
adalah suatu pengendalian yang dimaksudkan untuk: (a) Mengetahui kesesuaian
kompetensi yang dimiliki dengan tugasnya (the right man on the right place), (2)
Mengetahui kesesuaian waktu yang diberikan dengan hasil pekerjaan. Apabila dalam
tugas pengawasan, menemukan suatu kesalahan, segera dilakukan perbaikan agar tujuan
dapat tercapai dengan efektif, efesien dan rasional (Torang, 2013).Menurut penelitian
Finlay, dkk. (2011) di South Africa didapatkan tanpa pengawasan DOTS 77/148 orang
OR=0.9 (95% CI 0.6-1.3)
2.15 Pengobatan Tradisional
Banyak faktor yang berperan dalam penggunaan obat tradisional di Indonesia
diantaranya: (1) Pengobatan tradisional merupakan bagian dari social budaya masyarakat;
(2) Tingkat pendidikan, social ekonomi dan latar belakang budaya masyarakat
menguntungkan pengobatan tradisional; (3) Terbatasnya akses dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan modern; (4) Keterbatasan dan kegagalan pengobatan modern dalam
mengatasi beberapa penyakit tertentu; (5) Meningkatnya minat masyarakat terhadap
pemanfaatan baha-bahan yang berasal dari alam; (6) Meningkatnya minat profesi
kesehatan mempelajari pengobatan tradisional; (7) Meningkatnya modernisasi
pengobatan tradisional; (8) Meningkatnya publikasi dan promosi pengobatan tradisional;
(9) Meningkatnya globalisasi pelayanan kesehatan tradisional; dan (10) Meningkatnya
minat mendirikan sarana dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional
Maulana, 2014). Merupakan salah satu upaya pengobatan dengan cara lain diluar ilmu
kedokteran, kemudian dengan mempergunakan bahan, atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, hewani, mineral, sediaan cairan atau campuran dari bahan tersebut
(POM, 2005). Hasil Survei Social Ekonomi Nasional (2001) ditemukan 57,7% penduduk
Indonesia melakukan pengobatan sendiri, 31,7% menggunakan obat tradisional serta
sekitar 9,8% menggunakan cara pengobatan. Hal ini sangat diperkuat hasil penelitian
dari Martins dkk. (2008) di Timor-Leste, bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kasus
TB antara lain: (a) Pengobatan tradisional, (b) Tingkat ekonomi yang rendah, dan (c)
Pengetahuan masyarakat yang masih rendah. Menurut hasil penelitian Finlay, dkk. (2002)
di Africa didapatkan faktor traditional healer 30/159 orang (19%) OR= 3.2 (95% CI 1.8-
5.3) . Menurut Reis, (2016), di Timor-Leste bahwa perbandingan antara kelompok pasien
TB yang berkunjung ke traditional healer dengan kelompok yang tidak berkunjung ke
traditional healer dengan nilai OR=0,93 p< 0,0001.
2.16 Kejenuhan
Kejenuhan adalah suatu perasaan yang dialami oleh pasien TB, tentang masa
pengobatan yang sangat panjang, dan harus pergi ke pusat pelayanan kesehatan selalu tiap
hari selama berbulan bulan untuk minum obat. Adapula masalah letaknya pusat
pelayanan kesehatan yang jauh, serta dampak efek samping obat. Hal ini diperkuat oleh
seorang sosiolog yang bernama Roucek & Warren bahwa: Kepribadian sebagai
organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku
seorang individu (Setiadi, 2011)
Alasan tidak tuntas pengobatan TB antara lain: (1) Pasien TB merasa jenuh atau
bosan karena setiap hari minum obat selama enam bulan. Banyak pasien TB yang
mengalami kejenuhan meminum obat karena jangka waktu pengobatan yang lama,
jumlah obat cukup banyak. Belum lagi efek samping yang muncul setelah minum obat.
Pusing, mual, muntah, terkadang timbul gatal-gatal (2) Pasien merasa sudah sembuh
(tidak batuk, badan terasa segar, berat badan sudah naik) padahal belum menyelesaikan
pengobatan yang minimal 6 bulan) (www.http://bkpm-kota-pekalongan.
blogspot.co.id/2014/08/malas-minum-obat-penyebab-kambuh-dan-tb)
Tabel: 2.1 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis
Gejala Obat Tindakan yang perlu diambil
Gastrointestinal Obat oral Yakinkan pasien Berikan obat dengan sedikit air Berikan obat periode yang lebih lama (misalnya 20 menit)
Jangan memberikan obat pada perut kosong Jika di atas gagal, memberikan antiemetik / antasida jika diperlukan
Rasa gatal Isoniazid (H) dan obat lain
Yakinkan pasien, berikan antihistamin Jika parah, menghentikan semua obat-obatan dan merujuk pasien ke MO
Rasa terbakar di kaki dan tangan
Isoniazid (H) Berikan pyridoxine 100 mg / hari sampai gejala mereda
Nyeri sendi Pyrazinamide (Z) Berikan analgesik, jika berat, rujuk pasien untuk dievaluasi
Gangguan pengelihatan
Ethambutol (E) Hentikan ethambutol, rujuk pasien untuk dievaluasi
Telinga berdering
Streptomycin (S) Hentikan ethambutol, rujuk pasien untuk dievaluasi
Kehilangan pendengaran
Streptomycin (S) Hentikan streptomicin, rujuk pasien untuk dievaluasi
Pusing dan hilang keseimbangan
Streptomycin (S) Hentikan streptomicin, rujuk pasien untuk dievaluasi
Jaundice Isoniazid (H) Rifampicin ( R ) Pyrazinamid (Z )
Hentikan streptomicin, rujuk pasien untuk dievaluasi
Sumber: (Kemenkes,TL., 2008)
2.17 Efek Samping Obat Tuberkulosis
Menurut Kemenkes (2008) bahwa, OAT biasanya aman, direkomendasikan untuk
mengobati TBC. Berdasarkan pengalaman pasien, bahwa masalah yang dialami setelah
minum obat TB antara lain: (a) hepatitis, (b) gangguan syaraf, (c) penyakit kulit, (d)
fatigue, (e) malaise, (f) nyeri tulang, (g) gastritis, (h) gangguan nafas (i) gangguan
pengelihatan, (j) sakit kepala, (k) mual muntah, (l) gangguan vertibulae. Menurut
Xiangin, dkk. (2010) di China bahwa faktor efek samping obat (keras) 54 orang (85%)
OR=4.47 (95% CI 2,46-8,12) (sedang) 41 orang (6.4%) OR= 2.32 (95% CI 1.15-4.66),
(ringan ) 183 orang (28.6%) OR=0.74 (95% CI 0.45-1.21)
2.18 Faktor yang Berasosiasi Dengan Kepatuhan Pengobatan TB
Menurut Franks, dkk. di Charles P. Felton National Tuberculosis Center, bahwa:
Faktor-faktor yang berasosiasi dengan kepatuhan pasien dalam pengobatan TB antara
lain: (1) Faktor pasien sendiri, hal-hal yang menyangkut umur, ras, gender, tingkat
pendidikan, dan status sosial ekonomi yang tidak menentu, (2) Faktor pelaksana
perawatan,masalah ini sangat serius mempengaruhi hubungan antara pasien dengan
pelaksanaan pelayanan kesehatan, sehingga dampak efeknya terhadap perilaku pasien.
Secara khusus seperti:(a) Skil keperibadian seorang dokter bisa mempengaruhi pasien
terhadap tindakan pengobatan TB, (b) Hasil yang memuaskan bila dokter - dokter
berusaha semaksimal mungkin untuk menjelaskan kepada pasien tentang cara pengobatan
yang benar; (c) Masalah insentif dokter bila tidak diperhatikan atau diabaikan kasus tidak
patuh pengobatan kemungkinan bisa meningkat, (3) Fasilitas Klinik juga ada dampak
efek terhadap kepatuhan pengobatan. Faktor lain yang perlu diperhatikan: (a) Pasien lama
menunggu, (b) Jam kerja di klinik tidak adekuat, (c) Pelayanan sangat lambat, (d) Travell
Cost, (4) Regimen Pengobatan, Faktor kepatuhan pasien minum obat tergantung juga
pada: (a) Jumlah tablet, frekuensi, dan regimen yang kompleks; (b) Lamanya regimen
pengobatan, (c) Efek samping obat, (d) Perubahan menu makanan, (5) Kondisi Penyakit
sendiri. Masalah penyakit ini juga memberi dampak pada kepatuhan pasien dalam
pengobatan. Umumnya pasien dengan penyakit kronik dan disability.
2.19 Tidak Patuh Terhadap Pengobatan TB
Berdasarkan panduan yang berjudul Managing Tuberculosis Patients and Improving
Adherence yang dikeluarkan oleh US.Departmen of Health and Human Services di
Atlanta Georgia, (2014) bahwa tiap pasien adalah unik, karena memeliki berbagai alasan
untuk tidak patuh terhadap pengobatan TB, kemudian ada banyak tenagga kesehatan
mengira mereka menguasai semua pasien mana yang tidak patuh pengobatan
tuberkulossis, tetapi masih sulit untuk memperdiksi apakah obat TB diminum secara
benar atau tidak. Berikut ini ada alasan-alasan pasien menjadi tidak patuh minum obat:
(1) Merasa sudah sembuh; Biasanya pasien pada fase awal (initial phase) dalam tindakan
pengobatan (8 mingggu pertama) merasa ada perubahan gejala secara dramatis sehingga
pasien merasa sudah sembuh dan akhirnya sampai tidak mau minum obat lagi, (2)
Pengetahuan pasien kurang. Pada umumnya pengetahuan pasien tentang regimen
pengobatan tuberkulosis, bagaimana cara minum obat, memerlukan waktu yang cukup
lama untuk pengobatan tuberkulosis. Oleh karena pengetahuan yang terbatas akan
motivasinya juga ikut menurun; (3) Budaya kepercayaan (Cultur beliefs), Ada beberapa
pasien masih memeliki budaya kepercayaan tentang penyakit tuberkulosis (munculnya
penyakit TB, ketularan penyakit, kepada siapa yang harus mereka pergi untuk minta
pertolongan), (4) Hambatan bahasa. Ada beberapa pasien yang memeliki bahasa
daerahnya sendiri sehingga tenaga kesehatan yang tidak menguasai atau tidak mengerti
bahasa tersebut menjadi suatu hambatan dalam komunikasi, (5) Akses pelayanan
kesehatan, (6) Relationship antara pasien dengan tenaga kesehatan, (7) Stigma, misalnya
pasien takut kehilangan pekerjaan, (8) Gangguan mental, (9) Kompetisi prioritas.
2.20 Strategi Rencana Nasional Sektor Kesehatan
Pemerintah Timor-Leste melalui Kementerian Kesehatan, tetap mengakaui
bahwapenyakit tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di Timor-Leste.
Kejadian kasus baru TB dengan BTA positif 145 per 100.000 penduduk per tahun,dan
tertinggi kedua di Wilayah Asia Tenggara. Berdasarkan laporan WHO, (2010) bahwa
prevalensi semua bentuk TB tercatat 378 per 100.000 penduduk. (NHSSP 2011-2030).
Strategi pelaksanaan untuk menurungkan angka kematian dan kesakitan penyakit
tuberkulosis antara lain: (1) Meningkatkan akses pelayanan diagnostik dan pengobatan
TB yang bertanggungjawab, berdasarkan hak asasi manusia, (2) Tingkatkan waspada
terhadap masalah HIV-TB dan kasus putus obat, (3) Memperkuat sistim kualitas
pelayanan kesehatan (4) Tingkatkan promosi pelaksanaan pelayanan kesehatan, setara
dengan Internasional (5) Prakarsa stakeholder lokal dan internasional dalam program TB,
(6)Lakukan penelitian untuk
mengumpulkan data dasar yang relevan, dan berlaku untuk evidence base dalam
mengevaluasi program TB (NHSSP 2011-2030)
2.21 Peran Dan Fungsi Pimpinan Program Nasional Tuberkulosis
Program Nasional Tuberkulosis dibagi tiga bagian wilayah dan memeliki peran dan
fungsi yang berbeda.Wilayah Nasional. Managemen CMU dibawah pengedalian
Departemen CDC dan dipimpin oleh seorang Direktur Pelayanan Kesehatan. Selain
Direktur seorang Manajer yang ditugaskan untuk menangani program nasional TB, dan
Manajer tersebut berkewajiban untuk berkolaborasi dengan INS, SAME, LABNAS, dan
Departemen lain yang terkait.
Wilayah Municipio: Pelayanan Kesehatan dikepalai oleh seorang Manajer dan
bertanggungjawab atas seluruh program kesehatan termasuk program tuberkulosis. Ada
pula yang dinamakan DTC, tugasnyauntuk membantu Manajer turut bertangungjawab
atas kegiatan pengendalian TB. Setiap Municipio diwajibkan untuk memeliki program
DOTS, dan tim tersebut lansung dipimpin oleh Manajer lokal. Anggota komite terdiri
dari Kepala Puskesmas, Camat, koordinator TB Posto Administrativo, NGO serta
Departemen lain yang terkait, kemudian setiap bulan mengadakan pertemuan untuk
menevaluasi kinerja PNT (Program Nasional Tuberkulosis).
Wilayah Posto Administrativo: Seluruh program pelayanan kesehatan lansung
dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas. Fungsi utama adalah mengimplementasi
program, monitoring dan mengevaluasi terhadap kegiatan pengedalian TB di wilayah
tersebut. Pelayanan kesehatan khususnya Program TB dilaksanakan berdasarkan Panduan
Program Nasional TB (CDC TL, 2008).
2.22 Keadaan Demografis
Hasil sensus penduduk tahun 2009-2010, jumlah penduduk mencapai1.066.409
Kepadatan penduduk Timor-Leste dari tahun ke tahun terus meningkat.Tahun 2009 per
kilometer persegi 74 orang, tahun 2010 per km², 76 orang serta tahun 2011 per km², 79
orang (Anonim, tt). Menurut Asante, dkk (2005), bahwa: Kepadatan tenaga perawat
dan tenaga bidan dari tahun 2000 sampai 2007 tercatat 22 per 10.000 orang; sedangkan
kepadatan tenaga medis dari tahun 2000 sampai 2007 tercatat 4 per 10.000 orang. Data
tentang situasi sumber daya manusia (SDM) yang dilaporkan Kementerian Kesehatan
Timor-Leste (2010), antara lain: Tenaga dokter specialis 0,29%, tenaga dokter umum
0
te
te
,99%, tenag
enaga farma
enaga health
a perawat 0
asi 4.54%, t
h managers a
,33%, tenag
tenaga radio
and administ
ga bidan 14.2
ologi 0.56%
trators 36.40
25%, tenaga
%, tenaga ke
0%.
a teknisi labo
esehatan ma
oratorium 4.
asyarakat 5.
24%,
43%,
2
A
B
3
Piramid
.23 Kasus K
Kasus r
Afghanistan,
Brazil, kambu
1.784 orang
da Penduduk Sumber: D
Kambuh
relapse terca
kambuh 1.
uh 3.867 ora
g (76%), D.R
BerdasarkanDirec�ão N
atat di 22 n
049 orang
ang (34%), C
R.Congo, ka
Gambar.2n Household
Nacional Esta
negara yang
(84%): Ban
Cambodia, k
ambuh 3.977
2.1 d, Sex and Agatística Timo
dianggap h
ngladesh, ka
kambuh 446
7 (53%) , Et
ge di Timor-or-Leste 201
high burden
ambuh 3.06
orang (86%)
thiopia, kam
-Leste 201010
n TB antara
65 orang (3
), China, kam
mbuh 1.820 o
lain:
38%),
mbuh
orang
(45%), India, kambuh 106.463 orang (37%), Indonesia, kambuh 5.942 orang (70%),
Kenya, kambuh 3.419 orang (36%), Mozambique, kambuh 1.451 orang (32%);
Myanmar, kambuh 4.558 orang (40%), Nigeria, kambuh 2.513 orang (33%), Pakistan,
kambuh 6.095 orang (52%), Philippines, kambuh 4.080 orang (17%), Afrika Selatan,
kambuh 26.668 orang (51%), Thailand, kambuh 1.887 orang (68%), Uganda, kambuh
1.334 orang (34%), U.R.Tanzania, kambuh 1.052 orang (38%), Vietnam, kambuh 7.259
69 orang (32%) (WHO, 2013)
Afrika Selatan 119.898 orang
orang (80%) , Zimbabwe, kambuh 1.3
2.24 Kasus Baru TB Smear Positif
Beberapa diantara 22 negara yang tercatat high burden TB dengan New Case Smear
(+), yang memeliki nilai persentase teratas adalah: Bangladesh 106.790 orang (66%),
Brazil 40.152 orang (56%), D.R.Congo 71.124 orang (68%), India 629.589 orang (53%),
Indonesia 202.319 orang (63%), Nigeria 52.901 orang (59%), Thailand 30.998 orang
(54%), Uganda 24.916 orang (58%), Vietnam 51.033 orang (54%), Mozambique 20.951
orang (45%), Afghanistan 13.319 orang (47%), Kenya 36.937 orang (41%), Pakistan
110.545 orang (42%), Philippines 93.586 orang (44%),
(40%), U.R.Tanzania 25.138 orang (41%) (WHO, 2013)
2.25 Hubungan Harmonis Antara Pasien Dengan Tenaga Kesehatan
Berdasarkan Modul 6 Self Study Modulus on TuberculosisUS. Department of
Health And Human Services di Atlanta Georgia. Bahwa kesuksesan kepatuhan
pengobatan TB sangat dibutuhkan hal-hal sebagai berikut: (1) Memperlakukan pasien
dengan penuh hormat dan dignity, (2) Fokus perhatian untuk mendengar pasien (3)
Komunikasi yang jelas (4) Berbicara secara terbuka, jujur, dan memberi waktu untuk
pasien bertanya (5) Selalu menikut sertakan pasien dalam perencanaan pengobatan,
pertemuan-pertemuan yang diperluhkan. (6) Mendengar dan mencoba mengerti
pengetahuan, kepercayaan, perasaan pasien tentang masalah pengobatan. (7) Budaya
kepercayaan pasien menjadi terbuka (8) Menghargai ketakutan pasien tentang
penyakitnya (9) Bila perlu beri masukan harapan pasien tentang pengobatan TB (10)
Menghindari kritik tajam yang lansung ditujukan kepada pasien (11) Harus konsisten
n apa yang kita janjikan.
ent of Health and Human Services, Centers for Disease Control
terhadap pasien apa kita lakukan da
2.26 Komunikasi yang Efektif
Hal mendidik pasien, bagi tenaga kesehatan dapat menggunakan komunikasi yang
efektif sebagai berikut: (1) Hindari menggunakan istilah-istilah yang berbau medis (2)
Dapat digunakan tingkat bahasa yang sesuai (3) Membatasi informasi yang berlebihan (4)
Topik diskusi yang dianggap penting saja (5) Dapat mengulang informasi yang dianggap
penting (6) Mendengar untuk berikan feedback (7) Dapat menggunakan contoh-contoh
yang konkrit dan jangan membuat pasien bosan dan binggung (8) Adakan interaksi
dengan pasien secara positif (9) Mengarahkan kepada pasien hal-hal yang dianggap
mendidik (US. Departm
and Prevention, 2014)
2.27 Faktor yang Mempengaruhi Konseling
Konseling adalah suatu kegiatan bertemu dan berdiskusinya seseorang yang
membutuhkan dan seseorang yang memberikan konselling dukungan dan dorongan
sedemikian rupa sehingga klien mempunyai keyakinan akan kemampuan dalam
pemecahan masalah. Hambatan yang sering dijumlah oleh konselor antara lain: (1) Klien
tidak mau bicara terbuka; (2) Klien mengalami kejenuhan dan kesulitan dalam mengatur
pola minum obat sesuai dengan aturan; (3) Klien mengeluh efek samping yang
ditimbulkan oleh OAT; (4) Klien tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
mendengarkan nasehat; (5) Klien berbicara terus yang sering tidak sesuai topic
pembicaraan; (6) Ruang dan suasana konsultasi tidak mendukung jalanya proses
konsultasi(www.http://bkpm-kotapekalongan.blogspot.co.id/2014/08/malas-minum -obat-
angat berpengaruh perilaku
asyarakat (Notoatmodjo, 2010)
positif terhadap kesehatan melalui hugunganya
dengan dukungan social (King, 2012)
penyebab-kambuh-dan-tb.html)
2.28 Pemikiran dan Perasaan
Menurut WHO (1984) bahwa seseorang berperilaku tertentu karena ada alasan
pokok dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, penilaian-
penilaian terhadap objek. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau
pengalaman dari orang lain. Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek atau
nenek dan seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Sikap mengambarkan suka atau tidak suka seseorang
terhadap objek. Orang penting sebagai referensi; seseorang bisa melakukan sesuatu
karena apa yang dilakukan orang lain yang dianggap penting. Sumber daya: Hal ini
mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga. Aspek tersebut s
seseorang, atau kelompok m
2.29 Keyakinan Religius
Menurut Taylor tahun 2007, mengemukakan bahwa, partisipasi religius juga
dapat memberikan kontribusi yang