11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Teori keagenan
Teori keagenan menjelaskan bahwa perusahaan dapat dilihat sebagai suatu
hubungan kontrak antar pemegang sumber daya. Suatu hubungan keagenan muncul
ketika satu atau lebih individu yang disebut principal memperkerjakan satu atau
lebih individu lain yang disebut sebagai agent untuk melakukan layanan tertentu
dan kemudian mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agent.
Principal merupakan pihak yang tidak secara langsung berhubungan dengan
kegiatan operasional perusahaan seperti pemilik, kreditor, pemegang saham,
pemerintah dan lainnya, sedangkan agent adalah pihak yang diberikan kepercayaan
dan tanggung jawab oleh principal untuk mengelola perusahaan, yaitu manajer.
Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-
mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antara principal dan agent. Principal menginginkan pengembalian
yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang salah satunya
dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden dari tiap saham yang dimiliki,
sedangkan agent menginginkan kepentingannya diakomodir dengan pemberian
kompensasi yang memadai dan sebesar-besarnya atas kinerjanya (Gradiyanto,
2012). Selain itu, adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dengan
pengendalian oleh agent dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik
keagenan antara principal dan agent (Herawaty, 2008). Kepemilikan berhubungan
12
dengan dana yang dimiliki oleh perusahaan, sedangkan pengendalian terkait dengan
pengelolaan perusahaan oleh manajer
Menurut Fatmawati (2013) sampai saat ini telah diketahui ada lima macam
hubungan keagenan, yaitu:
1) Manajer vs kreditor, yaitu manajer memainkan angka-angka pada laporan
keuangan agar terlihat bagus sehingga diberi pinjaman oleh kreditor.
2) Manajer vs pemegang saham (Jensen & Meckling, 1976), yaitu pemegang
saham menginginkan kenaikan keuntungan, tetapi manajer memiliki
kepentingannya sendiri.
3) Manajer vs pemerintah, yaitu perusahaan yang besar cenderung diawasi
oleh pemerintah.
4) Pemegang saham vs pemegang hutang, yaitu manajer diasumsikan
bertindak atas nama pemegang saham sehingga manajer bertindak sebagai
agen dan pemegang hutang sebagai prinsipal (Jensen & Meckling, 1976).
5) Pemegang saham mayoritas vs pemegang saham minoritas, yaitu
pemegang saham mayoritas cenderung mementingkan kepentingannya
sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham minoritas
(Ding et al., 2007).
Ketika hubungan keagenan terjadi akan cenderung timbul biaya keagenan,
yaitu biaya yang dikeluarkan dalam rangka mempertahankan hubungan keagenan
yang efektif, misalnya menawarkan bonus kinerja manajemen untuk mendorong
manajer bertindak untuk kepentingan pemegang saham. Macam biaya keagenan
ada tiga (Jensen & Meckling, 1976), yaitu:
13
1) Biaya monitoring yang dikeluarkan oleh principal, yaitu biaya untuk
memonitor perilaku para agent, contohnya adalah biaya untuk mengaudit
laporan keuangan.
2) Biaya bonding yang dikeluarkan oleh agent, yaitu biaya-biaya untuk
menjamin bahwa agent tidak akan melakukan tindakan tertentu yang akan
merugikan principal, contohnya adalah mempersiapkan laporan keuangan.
3) Kerugian residual, yaitu jumlah kerugian yang dialami oleh principal yang
dikarenakan penyimpangan perilaku dan terlalu mahal untuk
menghilangkan semua perilaku oportunistik.
2.1.2 Manajemen laba
Teori keagenan menyebutkan pihak agent sebagai pengelola perusahaan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan principal. Kondisi ini dikenal sebagai asimetri informasi.
Asimetri informasi yang terjadi antara manajer (agent) dan pemilik (principal)
memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunistik, yaitu
memperoleh keuntungan pribadi. Apabila perusahaan berada dalam kinerja buruk,
manajer dapat bertindak oportunistik dengan menaikkan laba akuntansi guna
menyembunyikan kinerja yang buruk, sebaliknya bila perusahaan dalam kinerja
baik manajer bertindak oportunis dengan menurunkan laba akuntansinya untuk
menunda kinerja yang baik (Suyudi, 2009).
Perilaku oportunistik manajemen dengan memainkan angka-angka akuntansi
yang disajikan dalam laporan keuangan guna mempengaruhi informasi keuangan
dengan tujuan tertentu merupakan tindakan manajemen laba (Amertha, 2013).
14
Menurut Healy dan Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer
menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan penyusunan
transaksi untuk mengubah laporan keuangan. Hal tersebut terkesan
mengelabui stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk
mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada
angka akuntansi.
Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang
merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi
laba. Manajemen laba lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode
akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu.
Manajemen laba dilakukan tetap dalam koridor standar akuntansi keuangan,
sementara manipulasi laba mengandung pengertian menyimpang dari standar
akuntansi. Sugiri (1998) dalam Aryati dan Walansendouw (2013) membagi definisi
manajemen laba menjadi dua, yaitu:
1) Manajemen laba dalam definisi sempit, yaitu hanya berkaitan dengan
pemilihan metode akuntansi dengan menggunakan komponen
diskresionari akrual dalam menentukan besarnya laba yang akan disajikan.
2) Manajemen laba dalam definisi luas, yaitu tindakan manajer untuk
meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit
di mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan
maupun penurunan profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.
Positif accounting theory menjelaskan tiga hipotesis yang melatarbelakangi
terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
15
1) Bonus plan hypothesis, dilakukan para manajer yang bekerja pada
perusahaan yang menerapkan sistem bonus. Manajer akan berusaha
mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan dapat memaksimalkan
jumlah bonus yang akan diterimanya. Cara yang umum dilakukan adalah
dengan memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa
depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba saat ini.
2) Debt covenant hypothesis, dilakukan untuk menjaga reputasi perusahaan
dalam pandangan pihak eksternal khususnya kreditur. Jika perusahaan
semakin dekat dengan waktu pelanggaran perjanjian hutang, manajer akan
cenderung memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba saat ini
dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
pelanggaran kontrak hutang. Hal tersebut bertujuan agar perusahaan tidak
kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditur.
3) Political cost hypothesis, dilakukan dengan menurunkan laba guna
mengurangi tingkat visibilitasnya saat periode kemakmuran yang tinggi.
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut
bertujuan memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah yang
biasanya akan mengambil tindakan seperti menaikkan pajak saat laba
perusahaan tinggi. Biaya politik muncul karena profitabilitas perusahaan
yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen.
Scot (2003:377) juga menyebutkan beberapa motivasi manajemen untuk
melakukan manajemen laba, yaitu:
16
1) Motivasi bonus merupakan salah satu dorongan bagi manajer dalam
melaporkan laba perusahan, jika perusahaan tersebut mempunyai
kebijakan dalam pencapaian laba tertentu. Manajer yang rasional, akan
memilih kebijakan akuntansi yang sesuai dengan kepentingannya, yaitu
memilih kebijakan yang dapat memaksimalkan expected utility-nya.
2) Motivasi kontrak berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer
menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami technical default. Manajer perusahaan yang melakukan
pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang
memiliki dampak meningkatkan laba untuk menjaga reputasi mereka
dalam pandangan pihak eksternal (Dimitrov and Tice, 2006).
3) Motivasi politik sangat berpengaruh, terutama pada perusahaan besar dan
industri yang mengusai hajat hidup orang banyak. Perusahaan dengan
tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian luas dari kalangan
konsumen dan media yang nantinya juga akan menarik perhatian pihak
pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis.
4) Motivasi pajak merupakan salah satu alasan dalam pengurangan laba yang
dilaporkan. Hal tersebut dikarenakan dengan laba perusahaan yang tinggi,
pemerintah akan segera mengambil tindakan seperti mengenakan
peraturan antitrust ataupun menaikkan pajak pendapatan perusahaan.
5) Pergantian chief executive officer (CEO) yang akan pensiun biasanya akan
berusaha untuk meninggikan laba untuk mendapat bonus yang lebih tinggi.
Meninggikan laba juga terjadi pada CEO yang memiliki kinerja buruk
17
guna menghindari pemecatan. CEO baru terbukti melakukan praktik
manajemen laba yang menurunkan laba (income decreasing) untuk
memperbesar kemungkinan memperoleh laba yang lebih tinggi pada
periode berikutnya (Erawan dan Ulupui, 2013).
6) Penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) merupakan
celah manajer perusahaan go public melakukan manajemen laba untuk
memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan
mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba sebagai
sinyal dari nilai perusahaan.
Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya motivasi lain dalam
melakukan manajemen laba, seperti yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen
(1999), yaitu:
1) Motivasi pasar modal, berkaitan dengan anggapan bahwa angka-angka
akuntansi khususnya laba merupakan salah satu sumber informasi penting
yang digunakan oleh investor dalam menilai harga saham. Sehingga tidak
mengherankan kalau ada manajer yang berusaha membuat laporan
keuangannya tampak baik dengan maksud untuk mempengaruhi kinerja
saham dalam jangka pendek. Manajemen cenderung melaporkan laba
lebih tinggi (overstate) ketika melakukan penawaran saham ke publik.
2) Motivasi kontrak, dikaitkan dengan penggunaan data akuntansi dalam
memonitor dan meregulasi kontrak atas perusahaan dan pihak-pihak lain
yang berkepentingan (stakeholders). Alasan yang menyebabkan
manajemen laba terjadi dalam konteks kontrak adalah kreditor maupun
18
komite kompensasi yaitu komite yang menyiapkan berkas kontrak antara
manajer perusahaan, merasa bahwa upaya mengungkapkan ada tidaknya
manajemen laba adalah upaya yang mahal dan membutuhkan waktu.
Kondisi ini seakan menjadi pendorong bagi manajer untuk
melakukan manajemen laba.
3) Motivasi regulasi, berkaitan degan peraturan perundang-undangan
ataupun standar yang berlaku umum. Bagi para penetap standar, perhatian
terhadap manajemen laba menjadi penting karena manajemen laba apapun
alasannya dapat mengarah kepada penyajian pelaporan keuangan yang
tidak benar dan akhirnya dapat mempengaruhi alokasi sumber daya yang
ada. Manajer dapat memanipulasi laba dengan berbagai cara, baik yang
secara langsung berpengaruh terhadap keputusan operasi, pembiayaan,
investasi maupun dalam bentuk pemilihan prosedur akuntansi yang
diperbolehkan dalam prinsip akuntansi berterima umum.
Menurut Scot (2003:383) berbagai pola sering dilakukan manajer dalam
manajemen laba, yaitu:
1) Taking a bath merupakan pola yang terjadi pada saat reorganisasi
termasuk pengangkatan Chief Executive Officer (CEO) baru dengan
melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat
meningkatkan laba di masa yang akan datang.
2) Income minimization yaitu pola yang dilakukan dengan mempercepat
penghapusan aktiva tetap dan aktiva tak berwujud dan mengakui
pengeluaran sebagai biaya untuk mendapatkan laba tinggi. Pada saat
19
profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak
mendapat perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat berupa
penghapusan atas barang modal dan aktiva tidak berwujud, biaya iklan dan
pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, hasil akuntansi untuk
biaya eksplorasi.
3) Income maximation bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi
untuk tujuan bonus yang lebih besar. Perencanaan bonus yang didasarkan
pada data akuntansi mendorong manajer untuk memanipulasi data
akuntansi tersebut guna menaikkan laba untuk meningkatkan pembayaran
bonus tahunan. Tindakan ini dilakukan pada saat laba perusahan menurun.
4) Income smoothing dilakukan dengan meratakan laba yang dilaporkan
dengan tujuan untuk pelaporan eksternal, terutama bagi investor, karena
pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Teknik melakukan manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000)
dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu:
1) Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi melalui
perkiraan akuntansi seperti estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi
kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud,
estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
2) Mengubah metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu
transaksi, seperti merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode
depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
20
3) Menggeser periode biaya atau pendapatan seperti dengan mempercepat
atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai
pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda
pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau
menunda pengiriman produk ke pelanggan, dan mengatur saat penjualan
aktiva tetap yang sudah tak dipakai.
2.1.3 Diversifikasi operasi
Kondisi pasar dewasa ini mengharuskan perusahaan untuk mendapat pangsa
pasar yang baru dan memperluas pangsa pasar yang ada dengan memberikan
peluang-peluang yang lebih baik sehingga perusahaan tetap memiliki keunggulan
bersaing dibandingkan dengan perusahaan lainnya (Hill dan Horkisson, 1987).
Salah satunya dengan melakukan diversifikasi operasi. Segmen operasi adalah
komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam menghasilkan produk atau jasa
(baik produk atau jasa individual maupun kelompok produk atau jasa terkait) dan
komponen itu memiliki risiko dan imbalan yang berbeda dengan risiko dan imbalan
segmen lain. Menurut PSAK No. 5 Revisi 2009 faktor-faktor yang dipertimbangkan
dalam menentukan terkait atau tidaknya produk atau jasa, meliputi:
1) Karakteristik produk atau jasa.
2) Karakteristik proses produksi.
3) Jenis atau golongan pelanggan (produk atau jasa).
4) Metode pendistibusian produk atau penyediaan jasa.
5) Jika praktis, karakteristik iklim regulasi, misalnya dalam perbankan,
asuransi, atau public utilities.
21
Bagi perusahaan yang melakukan diversifikasi operasi (multioperasional),
pelaporan masing-masing segmen operasinya tercantum dalam segment reporting.
Segment reporting merupakan standar pengungkapan yang terutama dan secara
khusus relevan bagi perusahaan berukuran besar dalam lokasi geografis yang
berbeda dan atau bermacam-macam bisnis. Menurut Radebaugh dan Street (2003)
dalam Indraswari (2010) tujuan dari standar tersebut adalah untuk memberikan
informasi mengenai perbedaan jenis aktivitas bisnis perusahaan dalam membantu
pengguna laporan keuangan untuk memahami kinerja perusahaan dengan lebih
baik, menilai lebih baik kemungkinan aliran kas masa depan, dan membuat
pertimbangan lebih informatif mengenai perusahaan secara keseluruhan.
PSAK No. 5 Revisi 2009 tentang Segmen Operasi menyebutkan bahwa
segmen operasi adalah suatu komponen dari entitas:
1) Yang terikat dalam aktivitas bisnis dalam menghasilkan pendapatan dan
menimbulkan beban.
2) Hasil operasi yang secara reguler dievaluasi oleh pembuat keputusan
operasi untuk menilai segmen individual dan membuat keputusan
mengenai sumber daya yang akan dialokasikan ke dalam segmen.
3) Ketika informasi keuangan terpisah tersedia yang dihasilkan oleh atau
berdasarkan sistem pelaporan internal.
Kriteria segmen yang akan dilaporkan harus memenuhi syarat kualitatif, yaitu
telah teridentifikasi sebagai segmen operasi atau hasil dari dua agregasi atau lebih
dan memenuhi satu dari batasan kuantitatif berikut (PSAK 05 Revisi 2009):
22
1) Pendapatan yang dilaporkan adalah 10% atau lebih dari pendapatan total
dari semua segmen yang dapat dilaporkan.
2) Jumlah absolut dari laba atau rugi yang dilaporkan adalah 10% atau lebih
dari gabungan laba atau rugi yang dari semua segmen operasi.
3) Jika aset adalah 10% atau lebih dari aset gabungan semua operasi.
2.1.4 Diversifikasi geografis
Perusahaan yang terdiversifikasi geografis biasa disebut perusahaan
multinasional. Menurut PSAK No. 5 Revisi 2000 diversifikasi geografis atau
segmen geografis adalah komponen perusahaan yang dapat dibedakan dalam
menghasilkan produk atau jasa pada lingkungan atau wilayah ekonomi tertentu dan
komponen tersebut memiliki risiko dan imbalan yang berbeda dengan risiko dan
imbalan pada komponen yang beroperasi pada lingkungan atau wilayah ekonomi
lain. Segmen geografis dapat merupakan suatu negara, sekelompok negara, atau
wilayah dalam suatu negara. Selanjutnya operasi dalam lingkungan atau wilayah
ekonomi dengan risiko dan imbalan yang berbeda secara signifikan tidak boleh
dikelompokkan ke dalam segmen geografis yang sama. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam mengidentifikasi segmen geografis mencakup kondisi
ekonomi dan politik, hubungan antar operasi dalam wilayah geografis, kedekatan
geografis operasi, dan risiko mata uang (Verawati, 2012).
Strategi diversifikasi geografis dalam konteks internasional selain dapat
menghasilkan keuntungan juga dapat menghadapkan perusahaan pada risiko. Dua
risiko yang di hadapi oleh perusahaan ketika memutuskan untuk menerapkan
strategi diversifikasi geografis dalam konteks internasional dapat berupa risiko
23
finansial dan risiko politik. Risiko finansial dapat terjadi karena fluktuasi mata uang
yang dapat mempengaruhi investasi perusahaan. Fluktuasi ini dapat mengakibatkan
keuntungan tambahan bagi investasi maupun kerugian karena penurunan nilai
investasi. Selain itu perbedaan tingkat bunga inflasi mengharuskan perusahaan
untuk menerapkan praktik-praktik pendekatan manajerial yang kompleks, strategi
bisnis, dan praktik akuntansi yang kompleks. Sedangkan risiko politik yang
dihadapi oleh perusahaan adalah keadaan politik dari negara tujuan yang dapat
mempengaruhi nilai investasi perusahaan, baik secara makro maupun mikro.
2.1.5 Good corporate governance (GCG)
Perusahaan-perusahaan yang kini tercatat di Bursa Efek Indonesia telah
diwajibkan menerapkan suatu konsep yang menitikberatkan pada prinsip
pengelolaan entitas bisnis yang sehat atau lebih dikenal dengan istilah corporate
governance (CG). CG adalah serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan
mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai
dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholders). Selanjutnya CG
mengalami perkembangan menjadi good corporate governance (GCG) sebagai
suatu tatanan pengelolaan perusahaan, penting dilakukan untuk memperjelas batas
hak dan kewajiban masing-masing pemilik dan pihak manajemen sehingga dapat
mengurangi adanya konflik dan asimetri informasi yang terjadi antara pemilik dan
manajemen. Menurut Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG), GCG
adalah struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai
upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam
24
jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya
berdasarkan norma, etika, budaya dan aturan yang berlaku.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2006 dalam Utama
(2013) mendefinisikan lima prinsip utama penting yang ada dalam CG, yaitu:
1) Transparency (keterbukaan) adalah bentuk keterbukaan perusahaan dalam
kegiatan mulai dari proses pengambilan keputusan sampai dengan
keterbukaan dalam mengungkapkan informasi materil yang ada di dalam
perusahaan.
2) Accountability (akuntabilitas) adalah kejelasan sebuah fungsi dan
pertanggungjawaban seluruh organ yang ada di dalam perusahaan
sehingga dalam pengelolaan kegiatan perusahaan dapat berjalan efektif.
3) Responsibility (pertanggungjawaban) memberikan kewajiban perusahaan
untuk mematuhi semua hukum dan undang-undang, termasuk hukum
korporasi.
4) Indepedency (kemandirian) adalah keadaan dimana perusahaan dalam
pengelolaannya dijalankan secara professional tanpa adanya kepentingan
dan tekanan dari suatu pihak yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5) Fairness (kewajaran) merupakan bentuk sikap adil dan kesetaraan yang
dibentuk untuk memenuhi dan melindungi hak-hak stakeholder yang
timbul berdasarkan perjanjian di dalam peraturan perundangan yang
berlaku.
25
Selain Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), salah satu lembaga
independen yang berfokus pada penilaian penerapan konsep CG di perusahaan,
yang telah melakukan riset mengenai penerapan CG di Indonesia adalah Indonesian
Institute of Corporate Governance (IICG). IICG merupakan salah satu lembaga
independen yang melakukan pemeringkatan penerapan CG pada perusahaan-
perusahaan di Indonesia melalui riset yang dirancang guna memacu perusahaan
dalam peningkatan kualitas penerapan konsep CG. Pemeringkatan yang dilakukan
oleh IICG berupa indeks, yaitu Corporate Governance Perception Index (CGPI).
CGPI yang diselenggarakan oleh IICG bekerja sama dengan Majalah SWA
merupakan program tahunan sejak 2001 sebagai bentuk penghargaan terhadap
inisiatif dan hasil upaya perusahaan dalam mewujudkan bisnis yang etikal dan
bermartabat. Sejak tahun 2001 CGPI telah diikuti oleh perusahaan publik (emiten),
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
Perbankan dan Perusahaan Swasta (BUMS).
Menurut IICG, penerapan GCG memiliki beberapa manfaat bagi perusahaan,
diantaranya menjaga sustainability perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan dan
kepercayaan pasar, mengurangi agency cost dan cost of capital, meningkatkan
kinerja, efisiensi dan pelayanan kepada stakeholders, melindungi organ dari
intervensi politik dan tuntutan hukum, dan membantu terwujudnya good corporate
citizen. GCG juga dipercaya dapat meningkatkan kepercayaan investor dan
perusahaan yang menerapkan GCG memiliki kinerja operasi yang lebih efisien.
26
2.1.6 Pembahasan penelitian terdahulu
Tabel 2.1 berikut menyajikan ringkasan penelitian terdahulu yang dapat
dijadikan referensi dan berhubungan dengan penelitian ini.
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. Judul
Penelitian
Peneliti dan
Tahun
Penelitian
Alat Analisis
dan Variabel Hasil Penelitian
1. Corporate
Diversification
and Earnings
Management
El Mehdi dan
Seboui (2011)
Regresi Cross-
Sectional
Variabel
Independen:
- Diversifikasi
perusahaan
Variabel
Dependen:
- Akrual
diskresioner
Diversifikasi
geografis
berpengaruh
positif,
sedangkan
diversifikasi
industri
berpengaruh
negatif terhadap
manajemen laba.
2. Pengaruh
Diversifikasi
Operasi,
Diversifikasi
Geografis,
Leverage, dan
Struktur
Kepemilikan
terhadap
Manajemen
Laba
Diana
Verawati dan
Dul Muid
(2012)
Regresi Berganda
Variabel
Independen:
- Diversifikasi
operasi
- Diversifikasi
geografis
- Leverage
- Kepemilikan
terkonsentrasi
- Kepemilikan
asing
- Kepemilikan
institusional
- Kepemilikan
manajerial
Variabel
Dependen:
- Manajemen
laba
Diversifikasi
geografis,
leverage,
kepemilikan
terkonsentrasi
dan kepemilikan
institusional
berpengaruh
signifikan pada
manajemen laba,
sedangkan
diversifikasi
operasi,
kepemilikan
asing, dan
kepemilikan
manajerial tidak
berpengaruh
pada manajemen
laba.
27
Lanjutan Tabel 2.1
No. Judul
Penelitian
Peneliti dan
Tahun
Penelitian
Alat Analisis
dan Variabel Hasil Penelitian
3. Pengaruh Status
Internasional,
Diversifikasi
Operasi, dan
Legal Origin
terhadap
Manajemen
Laba (Studi
Perusahaan Asia
yang Terdaftar
di NYSE)
Ratih
Indraswari
(2010)
Regresi Berganda
Variabel
Independen:
- Status
internasional
- Diversifikasi
operasi
- Legal origin
Variabel
Dependen:
- Manajemen
laba
Status
internasional dan
diversifikasi
operasi
berpengaruh
positif terhadap
manajemen laba,
sedangkan legal
origin tidak
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.
4. Pengaruh
Diversifikasi
Geografis,
Diversifikasi
Industri,
Konsentrasi
Kepemilikan
Perusahaan, dan
Masa Perikatan
Audit terhadap
Manajemen
Laba
Dewi
Fatmawati
(2013)
Regresi Berganda
Variabel
Independen:
- Diversifikasi
geografis
- Diversifikasi
industri
- Konsentrasi
kepemilikan
perusahaan
- Masa perikatan
audit
Variabel
Dependen:
- Manajemen
laba
Diversifikasi
geografis dan
masa perikatan
audit
berpengaruh
terhadap
manajemen laba,
sedangkan
diversifikasi
industri dan
konsentrasi
kepemilikan
perusahaan tidak
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.
5. Analisis
Pengaruh
Diversifikasi
Perusahaan
terhadap
Manajemen
Laba
Titik Aryati
dan Yoel
Charisma
Walansendouw
(2013)
Regresi Berganda
Variabel
Independen:
- Diversifikasi
industrial
Variabel
Dependen:
- Manajemen
laba
Diversifikasi
perusahaan
(industrial) tidak
berpengaruh
terhadap
manajemen laba.
28
Lanjutan Tabel 2.1
No. Judul
Penelitian
Peneliti dan
Tahun
Penelitian
Alat Analisis
dan Variabel Hasil Penelitian
6. Pengaruh
Return On Asset
pada Praktik
Manajemen
Laba dengan
Moderasi
Corporate
Governance
Indra Satya
Prasavita
Amertha
(2013)
Moderated
Regression
Analysis
Variabel
Independen:
- Return On
Asset
Variabel
Dependen:
- Manajemen
laba
Variabel
Moderasi:
- Corporate
Governance
Return on asset
Berpengaruh
positif,
corporate
governance
berpengaruh
negatif dan
corporate
governance
dapat
memoderasi
(memperlemah)
hubungan return
on asset pada
manajemen laba.
7. Pengaruh Tata
Kelola
Perusahaan serta
Peringkat CGPI
Terhadap
Manajemen
Laba pada
Perusahaan
yang Terdaftar
di Bursa Efek
Indonesia
Lia Agustin
(2012)
Regresi Berganda
Variabel
Independen:
- Ukuran dewan
komisaris
- Proporsi dewan
komisaris
- Ukuran komite
audit
- Corporate
Governance
Perception
Index
Variabel
Dependen:
- Manajemen
laba
Ukuran dewan
komisaris,
proporsi dewan
komisaris, dan
kuran komite
audit tidak
berpengaruh,
sedangkan
corporate
governance
perception index
berpengaruh
pada manajemen
laba.
Sumber: Penelitian terdahulu yang diringkas, 2015
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh diversifikasi operasi pada manajemen laba
Perusahaan yang terdiversifikasi industri beroperasi pada segmen-segmen
bisnis yang berbeda. Kemudian bila dikaitkan dengan pelaporan kinerja kepada
29
investor, manajemen perusahaan dengan segmen bisnis yang beragam diduga pula
memiliki peluang untuk melakukan manajemen laba (Indraswari, 2010). Hal ini
dikaitkan dengan kompleksitas organisasi yang meningkatkan asimetri informasi
antara manajer dan investor (Satoto, 2009). Manajer memiliki peluang untuk
mengambil keputusan yang memaksimalkan dirinya sendiri. Hal tersebut
dibuktikan oleh Carnes dan Guffey (2000) yang meneliti hubungan antara
diversifikasi operasi perusahaan dengan rencana bonus manajer. Dikatakan bahwa
perusahaan dengan multioperasional memiliki kesempatan lebih besar untuk
mengambil keuntungan pajak melalui penggunaan perencanaan pajak (manipulasi
transfer pricing) yang dapat menyajikan beban pajak lebih rendah. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa perusahaan yang beroperasi pada segmen tunggal memiliki
kecenderungan yang lebih rendah untuk melakukan manajemen laba. Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Diversifikasi operasi berpengaruh positif pada manajemen laba.
2.2.2 Pengaruh diversifikasi geografis pada manajemen laba
Semakin menyebarnya aset perusahaan dalam lingkup geografis maka tingkat
atau struktur organisasi perusahaan akan menjadi lebih kompleks dan menambah
tingkat asimetri informasi antara agent dan principal atau manajer dengan investor.
Penelitian El Mehdi dan Seboui (2011) memberikan hasil yaitu diversifikasi
geografis dapat menimbulkan praktik manajemen laba dengan metode peningkatan
laba pada perusahaan. Hasil ini sesuai dengan hipotesis konflik keagenan. Pada
perusahaan terdiversifikasi geografis, masing-masing anak perusahaan terletak di
berbagai negara sehingga menyebabkan pemilik perusahaan kesulitan mengawasi
30
perilaku agent atau manajemen (El Mehdi & Seboui, 2011). Lupitasari dan
Marsono (2012), Verawati dan Muid (2012), serta Fatmawati (2013) menyatakan
bahwa diversifikasi geografis berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Hasil-
hasil penelitian tersebut mendukung argumen bahwa munculnya konflik keagenan
akibat terdiversifikasinya perusahaan secara geografis dapat berujung pada
kemungkinan adanya manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
hipotesis yang diajukan adalah:
H2: Diversifikasi geografis berpengaruh positif pada manajemen laba.
2.2.3 Pengaruh diversifikasi operasi pada manajemen laba yang dimoderasi
oleh good corporate governance
Perusahaan yang terdiversifikasi secara operasional akan memiliki strukur
organisasi yang lebih kompleks, tingkat transparansi yang kurang sehingga investor
mengalami kesulitan dalam menganalisis perusahaan. Diversifikasi tidak hanya
memotivasi manajer untuk melakukan manipulasi akuntansi tetapi juga membuat
kondisi yang mendukung untuk membuat manajemen laba sulit dideteksi (El Mehdi
dan Seboui, 2011). Good corporate governance (GCG) dipercaya dapat menekan
munculnya masalah asimetri. Chtourou et al. (2001) dalam Dewantari dan Badera
(2015) mengungkapkan penerapan GCG dapat menghambat rekayasa kinerja yang
dilakukan perusahaan, mengatasi masalah keagenan dan mencegah manajemen laba
yang berlebihan. Agustin (2012) dan Amertha (2013) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa GCG dapat mempengaruhi manajemen laba pada suatu
perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H3: Diversifikasi operasi yang tinggi akan meningkatkan manajemen laba
terutama pada perusahaan dengan good corporate governance yang rendah.
31
2.2.4 Pengaruh diversifikasi geografis pada manajemen laba yang dimoderasi
oleh good corporate governance
Perusahaan yang terdiversifikasi geografis memberikan kondisi yang lebih
menguntungkan untuk manajemen laba. Perusahaan yang terdiversifikasi geografis
memiliki anak-anak perusahaan yang berada di luar negeri. Hal ini dapat
meningkatkan asimetri informasi serta masalah atau konflik keagenan. Manajer
pada anak-anak perusahaan di luar negeri dapat melakukan praktik manajemen laba
tanpa diketahui oleh pemilik perusahaan karena minimnya pengawasan (Fatmawati,
2013). Teori keagenan memberikan pandangan bahwa masalah manajemen laba
dapat diminimumkan dengan pengawasan sendiri melalui good corporate
governance (GCG). GCG sebagai suatu sistem tata kelola perusahaan diduga
mampu mengendalikan perusahaan yang terdiversifikasi secara geografis untuk
mengurangi praktik manajemen laba oleh manajemen (Dinuka dan Zulaikha, 2014).
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Agustin (2012) dan Amertha (2013).
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H4: Diversifikasi geografis yang tinggi akan meningkatkan manajemen laba
terutama pada perusahaan dengan good corporate governance yang rendah.