9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pembelajaran Matematika
2.1.1.1. Belajar dan Pembelajaran
“Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar
merupakan kegiatan paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami
oleh siswa sebagai anak didik” (Slameto 2010: 1). Belajar adalah suatu kata yang
sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi siswa kata "belajar"
merupakan kata yang tidak asing, bahkan sudah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga
pendidikan formal.
Belajar merupakan suatu kegiatan mental yang tidak dapat diamati dari
luar. Apa yang terjadi dalam diri seseorang tidak dapat diketahui secara langsung
hanya dengan mengamati orang tersebut. Hasil belajar hanya dapat diamati, jika
seseorang menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar.
Karenanya, berdasarkan perilaku yang ditampilkan, dapat ditarik kesimpulan
bahwa seseorang telah belajar.
Belajar banyak diartikan dan didefinisikan oleh para ahli dengan rumusan
dan kalimat yang berbeda, namun pada hakikatnya prinsip dan tujuannya sama.
Ada beberapa pandangan tentang belajar diantaranya menurut Sudjana (2009: 28)
bahwa:
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan padadiri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkandalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya,sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dankemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspekyang ada pada individu.
Selanjutnya Slameto (2003: 2) berpendapat bahwa “belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
10
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya”. Kemudian Hamalik (2009: 45)
mengemukakan bahwa “belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan
dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru
berkat pengalaman dan latihan”.
Selanjutnya Biggs (Syah, 2007: 67-68) mendefinisikan belajar dalam tiga
macam rumusan, yaitu:
(a)Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatanpengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyakmateri yang dikuasai siswa. (b)Secara institusional (tinjauan kelembagaan),belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadappenguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. (c)Secarakualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti danpemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekelilingsiswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikirdan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yangkini dan nanti dihadapi siswa.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah suatu tahapan aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku. Perubahan
perilaku yang dimaksudkan dapat berupa perubahan pengetahuan, sikap,
keterampilan, pemahaman, dan aspek-aspek lain yang ada pada diri individu yang
belajar. Hal ini memberikan penekanan bahwa orientasi belajar tidaklah semata-
mata pada "hasil", akan tetapi juga pada proses yang dilakukan untuk memperoleh
hasil tersebut.
Agus Suprijono (2009: 4) memaparkan beberapa prinsip belajar yaitu
sebagai berikut.
Pertama, prinsip belajar adalah perubahan perilaku. Perubahan perilakusebagai hasil belajar memiliki ciri-ciri. (a) sebagai hasil tindakan rasionalinstrumental yaitu perubahan yang disadari; (b) kontinu atauberkesinambungan dengan perilaku lainnya; (c) fungsional atau bermanfaatsebagai bekal hidup; (d) positif atau berakumulasi; (e) aktif atau sebagaiusaha yang direncanakan dan dilakukan; (f) permanen atau tetap; (g)bertujuan dan terarah; (h) mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan.Kedua, belajar merupakan proses. Belajar terjadi kerena didorongkebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Belajar adalah proses sistemikyang dinamis, kontruktif, dan organik. Belajar merupakan kesatuan
11
fungsional dari berbagai komponen belajar. Ketiga, belajar merupakanbentuk pengalaman. Pengalaman pada dasarnya adalah hasil dari interaksiantara siswa dengan lingkungannya.
Jadi, pada prinsipnya belajar adalah kegiatan yang melalui atau memiliki
proses dan tidak hanya semata-mata merujuk kepada hasil. Proses yang
dilaksanakan tersebut tentu saja memiliki goal atau tujuan berupa hasil, yaitu
berupa perubahan tingkah laku yang terjadi, baik secara langsung maupun secara
signifikan. Belajar tersebut menghasilkan perubahan yang bersifat tetap, baik
secara kognitif maupun secara afektif dan psikomotorik sehingga untuk satu
kegiatan belajar yang menghasilkan perubahan tingkah laku saja maka akan
berdampak berkelanjutan terhadap orang yang belajar.
Belajar merupakan seuatu kegiatan yang melalui proses tertentu, hal
tersebut sesuai dengan pengertian dan prinsip dari belajar itu sendiri. sebagai
suatu kegiatan atau aktifitas, maka belajar tentu saja memiliki tujuan atau goal.
Agus Suprijono (2009: 5) berpendapat bahwa:
Tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakaninstruksional, lazim dinamakan instructional affects, yang biasa berbentukpengetahuan dan keterampilan. Sementara, tujuan belajar sebagai hasilyang menyertai tujuan belajar instruksional lazim disebut nurturant effects.Bentuknya berupa, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikapterbuka dan demokratis, menerima orang lain, dan sebagainya. Tujuanini merupakan konsekuensi logis dari siswa “menghidupi” (live in) suatusistem lingkungan belajar tertentu.
Sebagai kegiatan yang melalui proses, maka tujuan dari kegiatan belajar
adalah untuk menghasilkan suatu perubahan bagi si pebelajar. Perubahan yang
terjadi pada pebelajar merupakan perubahan yang bersifat permanen dan
berkelanjutan serta bersifat positif.
Belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang saling berkaitan erat dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. “Pembelajaran sesungguhnya merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan
agar siswa belajar” (Sugihartono 2007: 73). Meskipun berkaitan satu dengan yang
lain, akan tetapi belajar dan pembelajaran pada dasarnya memiliki perbedaan
yang terletak pada penekanannya. Jika belajar lebih menekankan pada siswa dan
proses yang menyertainya, maka pembelajaran lebih menekankan pada guru
12
beserta upaya yang dilakukan oleh guru untuk membuat siswa bisa belajar.
Gulo (dalam Sugihartono 2007: 80) mendefinisikan pembelajaran sebagai
“usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan
belajar”. Sedangkan Nasution (dalam Sugihartono 2007: 80) berpendapat bahwa
“pembelajaran sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi
proses belajar. Jika kedua pendapat tersebut dicermati, maka akan didapat suatu
simpulan bahwa pembelajaran tersebut merupakan suatu keadaan yang diciptakan
atau dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya proses atau
kegiatan belajar dimana siswa sebagai subjek dari proses belajar tersebut dapat
melaksanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan rancangan dari guru.
Pembelajaran pada prinsipnya dapat dibagi ke dalam tiga ranah pengertian.
Seperti yang diungkapkan oleh Biggs pembelajaran dapat dibedakan menjadi
pembelajaran dalam pengertian kuantitatif, institusional, dan kualitatif. Dalam
pengertian kuantitatif, pembelajaran merupakan penularan pengetahuan dari guru
kepada murid. Dalam pengertian secara institusional pembelajaran merupakan
penataan segala kemampuan mengajar sehingga dapat berjalan efisien. Sedangkan
secara kualitatif pembelajaran berarti upaya guru untuk memudahkan kegiatan
belajar siswa. Melihat dari ciri khas yang ada, maka dapat dikatakan bahwa
pembelajaran pada dasarnya melibatkan guru sebagai subjek aktif yang
melakukan rencana dan membuat rancangan sehingga siswa sebagai subjek dapat
berada dalam kondisi belajar. Pembelajaran juga erat kaitannya dengan berbagai
model dan metode pembelajaran. Hal ini disebabkan pembelajaran tersebut
merupakan sebuah rancangan, sehingga rancangan tersebut dapat dilaksanakan
dengan adanya media. Jadi, metode atau model pembelajaran merupakan media
untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran.
2.1.1.2. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian- pengertian,
sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne, hasil belajar
berupa informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam
13
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik
terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi
simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan. Keterampilan intelektual,
yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Kemampuan
intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintesis
fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan
intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.
Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah
dalam memecahkan masalah. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan
melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga
terwujud otomatisme gerak jasmani. Sikap, yaitu kemampuan menerima atau
menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa
kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Bloom secara garis besar m e m b u a t klasifikasi hasil belajar terbagi
menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah
kognitif berhubungan dengan satuan pelajaran. Ranah kognitif memegang
peranan paling utama. Tujuan pengajaran di SD, SLTP dan SMA pada umumnya
adalah peningkatan kemampuan peserta didik dalam aspek kognitif. Ranah
kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek,
yakni pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Pengetahuan (knowledge), adalah aspek yang paling dasar dalam
taksonomi Bloom. Sering kali disebut juga aspek ingatan (recall). Pemahaman
(comprehension), merupakan jenjang kemampuan yang umumnya mendapat
penekanan dalam proses belajar mengajar. Penerapan (application), yaitu jenjang
kemampuan yang menuntut kesanggupan ide-ide umum, tata cara, ataupun
metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret.
Analisis (Analysis), merupakan jenjang kemampuan yang menuntut seseorang
untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-
unsur atau komponen-komponen pembentuknya. Sintesis (synthesis), adalah
14
jenjang kemampuan dimana seseorang dituntut untuk dapat menghasilkan
sesuatu yang baru dengan jalan menggabungkan berbagai faktor yang ada. Hasil
yang diperoleh dari penggabungan ini dapat berupa tulisan dan rencana atau
mekanisme. Penilaian (evaluation), merupakan jenjang kemampuan yang
menuntut seseorang untuk dapat mengevaluasi situasi, keadaan, pernyataan, atau
konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek,
yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
Menerima (receiving), merupakan jenjang yang berhubungan dengan kesediaan
atau kemauan siswa untuk ikut dalam fenomena atau stimuli khusus (kegiatan
dalam kelas, musik, baca buku, dan sebagainya). Menjawab (responding),
merupakan kemampuan yang bertalian dengan partisipasi siswa. Pada tingkat ini,
siswa tidak hanya menghindari suatu fenomena tertentu tetapi juga mereaksi
terhadapnya dengan salah satu cara. Menilai (valuing), adalah jenjang
kemampuan yang bertalian dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu
objek, fenomena, atau tingkah laku tertentu. Organisasi (organization),
merupakan jenjang kemampuan yang berhubungan dengan aktifitas menyatukan
nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan atau memecahkan konflik diantara nilai-
nilai itu, dan mulai membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal.
Karakteristik dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization by a
value or value complex). Pada jenjang ini individu memiliki sistem nilai yang
mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga
membentuk karakteristik “pola hidup”. Jadi, tingkah lakunya menetap, konsisten,
dan dapat diramalkan.
Ranah Psikomotorik, merupakan ranah yang berkenaan dengan hasil
belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah
psikomotorik, yakni gerakan reflek, keterampilan gerakan dasar, kemampuan
perceptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan
gerakan ekspresif dan interpretative. Walaupun ranah psikomotor meliputi enam
jenjang kemampuan, namun masih dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok
utama, yaitu keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, dan koordinasi
15
neuromuscular. Kata-kata kerja operasional yang dapat dipakai adalah
keterampilan motorik (muscular or motor skills) misalnya memperlihatkan
gerak, menunjukkan hasil (pekerjaan tangan), menggerakkan, menampilkan,
melompat, dan sebagainya. Manipulasi benda-benda (manipulation of materials
or objects) misalnya menyusun, membentuk, memindahkan, menggeser,
mereparasi, dan sebagainya. Koordinasi neuromuscular, misalnya
menghubungkan, mengamati, memotong, dan sebagainya.
Dari ketiga ranah tersebut, maka ranah kognitiflah yang paling banyak
dinilai oleh guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam
menguasai isi bahan pengajaran.
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan hasil belajar, yaitu sesuatu yang diperoleh setelah seseorang mengalami
suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang
menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor berupa pemahaman dan
pengetahuan terhadap berbagai hal. Hasil belajar dapat diartikan juga sebagai nilai
yang diperoleh melalui tes akhir yang dapat dilihat dari skor yang dicapai oleh
setiap siswa. Peningkatan hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini
ditekankan pada peningkatan hasil belajar pada ranah kognitif.
Domain hasil belajar adalah perilaku-perilaku kejiwaan yang akan diubah
dalam proses pendidikan. Perilaku kejiwaan itu dibagi dalam tiga domain, yaitu
domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Usaha untuk memudahkan memahami
dan mengukur perubahan perilaku maka perilaku kejiwaan manusia dibagi
menjadi tiga domain atau ranah, yakni ranah kognitif, efektif dan psikomotorik.
Apa bila belajar merupakan aktifitas yang menimbulkan perubahan perilaku,
maka hasil belajar merupakan hasil perubahan perilakunya. Oleh karena
perubahan perilaku menunjukkan perubahan perilaku kejiwaan dan perilaku
kejiwaan meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor maka hasil belajar
yang mencerminkan perubahan perilaku meliputi hasil belajar kognitif, afektif
dan psikomotorik. Selanjutnya untuk kepentingan pengukuran perubahan perilaku
akibat belajar akan mencakup pengukuran atas domain kognitif, afektif dan
16
psikomotorik sebagai hasil belajarnya. Domain mana yang menjadi area untuk
diukur sangat tergantung pada tujuan pendidikannya.
2.1.1.3. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Istilah matematika berasal dari bahasa Yunani “Mathematikos” berarti
secara ilmu pasti, atau “Mathesis” yang berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan
deduktif, dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keindraan,
tetapi atas kesimpulan yang ditarik dari kaidah-kaidah tertentu melalui deduksi
(Ensiklopedia Indonesia). Matematika adalah suatu mata pelajaran yang
mempelajari tentang kemampuan berhitung yang memiliki ciri-ciri yang abstrak,
berpola pikir deduktif dan konsisten.
“Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
memajukan daya pikir manusia” (Ibrahim 2012: 35). Dapat dipahami bahwa
dengan penguasaan ilmu matematika secara universal, maka akan dapat
dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam berbagai bidang keilmuan. Kecenderungan
inilah yang mendasari dipelajarinya ilmu matematika secara lebih luas dan dan
mendalam. Pada dasarnya matematika tidak semata-mata hanya merupakan ilmu
tentang berhitung saja, melainkan merupakan bidang keilmuan yang lebih
kompleks, sedangkan ilmu berhitung atau hanyalah merupakan bagian dari
matematika itu sendiri.
Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 menjelaskan bahwa
pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsepdan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasimatematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, ataumenjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkansolusi yang diperoleh.
17
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, ataumedialain untuk memperjelas keadaan atau masalah
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajarimatematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, 2008).
Menurut Russefendi (1992) menjelaskan bahwa matematika sebagai suatu
mata pelajaran disekolah dinilai cukup memegang peran penting untuk di ajarkan
di sekolah karena beberapa alasan antara lain sebagai berikut:
a. Dengan belajar matematika dapat menyelesaikan persoalan yang adadalam masyarakat yaitu berkomunikasi sehari-hari seperti dapatberhitung, menghitung luas, menghitung berat, dan sebagainya.
b. Matematika dapat membantu bidang studi lain seperti fisika, kimia,geografi, dan sebagainya.
c. Dengan mempelajari geometri ruang, siswa dapat meningkatkanpemahaman ruang. Dengan mempelajari aljabar dapat meningkatkankemampuan berpikir kritis, logis, dan sistematis dalam merumuskanasumsi, definisi, generalisasi, dan lain-lain.
d. Matematika sebagai alat ramal/ perkiraan seperti prakiraan cuaca,pertumbuhan penduduk, keberhasilan belajar, dan lain-lain.
e. Matematika berguna sebagai penunjang pemakaian alat-alat canggihseperti kalkulator dan komputer.
Ruang lingkup Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang dipelajari
dalam Matematika dalam rangka untuk mencapai tujuan pembelajaran itu dapat
dicapai melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar. Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) telah melakukan penyusunan Standar Isi (SI), yang
kemudian dituangkan kedalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) nomor 22 tahun 2006, yang mencakup komponen:
a. Standar Kompetensi (SK), merupakan ukuran kemampuan minimal yangmencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai,diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatandari suatu materi yang diajarkan.
b. Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta didik yangcakupan materinya lebih sempit dibanding dengan SK peserta didik.
Pencapaian SK dan KD Kelas 4 Semester 2 didasarkan pada pemberdayaan
siswa untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri
yang difasilitasi oleh guru.
18
Dalam Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) terdapat istilah
matematika sekolah yang dimaksudkan untuk memberi penekanan bahwa materi
atau pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP merupakan materi atau pokok
bahasan yang diajarkan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembanganteknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin danmemajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologiinformasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembanganmatematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang danmatematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masadepan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. (PusatKurikulum, 2008).
Dari beberapa defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika
merupakan ilmu pasti dan konsisten yang memiliki peranan penting dalam
meningkatkan daya pikir manusia yang menunjang berbagai disiplin ilmu
pengetahuan lainnya serta aspek-aspek perkembangan kehidupan seperti
penguasaan berbagai perkembangan teknologi dan komunikasi. Oleh karena itu
mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari
sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi
tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-
aspek bilangan, geometri dan pengukuran, serta pengolahan data. Ketiga
kelompok besar tersebut tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, sehingga
senantiasa saling berkaitan.
Proses belajar yang dialami oleh siswa menghasilkan perubahan-perubahan
dibidang pemahaman pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Adanya
perubahan tersebut tampak dalam prestasi belajar siswa, tes atau tugas yang
diberikan oleh guru. Bercermin kepada prestasi belajar siswa, guru harus selalu
mengadakan perbaikan-perbaikan mengajarnya, baik metode maupun penguasaan
bahan pelajaran yang akan diajarkan. Hasil yang diperoleh dari penilaian hasil
19
belajar siswa baik individual maupun kelompok di dalam kelasnya, akan
menggambarkan kemajuan yang telah dicapainya selama periode tertentu.
Hasil belajar matematika adalah prestasi yang dicapai oleh siswa setelah
mengikuti proses belajar mengajar yang berkenaan dengan materi pada mata
pelajaran matematika. Hasil belajar tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu intelegensi dan penguasaan siswa tentang materi yang akan dipelajari,
motivasi, serta usaha yang dilakukan oleh siswa. Hasil belajar ini dapat diukur
dengan menggunakan tes hasil belajar. Belajar merupakan suatu proses yang
diarahkan kepada pencapaian suatu tujuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kualitas belajar matematika adalah mutu atau tingkat prestasi yang dicapai siswa
setelah mengikuti proses belajar matematika.
Keberhasilan seseorang mempelajari matematika tidak hanya dipengaruhi
minat, kesadaran, kemauan, tetapi juga bergantung pada kemampuannya terhadap
matematika serta diperlukan keterampilan intelektual, misalnya keterampilan
berhitung. Hasil yang dimaksud adalah tingkat penguasaan untuk mengukur hasil
belajar sesuai dengan tujuan pencapaian kognitif disesuaikan dengan taraf kognitif
siswa.
2.1.2. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang
menganut paham konstruktivisme yang di dalamnya mengkondisikan para siswa
bekerja bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu
sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif di dasarkan pada gagasan atau
pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung
jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka
sendiri. Dimana siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang
sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja
dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang
kompleks. Jadi, hakikat sosial dan menggunakan kelompok sejawat menjadi aspek
utama dalam pembelajaran kooperatif.
20
Pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative learning yang
artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu
sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Lie (dalam Isjoni 2010: 16)
menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah “pembelajaran gotong royong,
yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur”. Kemudian
menurut Johnson & Johnson (Isjoni, 2010: 17) cooperative learning adalah
“mengelompokkan siswa di dalam kelas dalam suatu kelompok kecil agar siswa
dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan
mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut”.
“Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar
menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan
hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa” Nurhadi dan Senduk (dalam
Wena, 2009: 189). Menurut Lie (dalam Wena 2009: 189) “pembelajaran
kooperatif adalah sistem pembelajaran yamg memberi kesempatan kepada siswa
untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur, dan
dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator”. Sedangkan Abdurrahman dan
Bintaro (dalam Wena 2009: 190) mengatakan bahwa “pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi
yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup
di dalam masyarakat nyata".
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Slavin (dalam Isjoni 2010: 15)
menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok- kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan struktur kelompok heterogen”.
Sedangkan menurut Sunal dan Hans (dalam Isjoni 2010: 15) mengemukakan
bahwa “pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau
serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada
siswa agar bekerja sama selama proses pembelajaran”. Selanjutnya Stahl (dalam
21
Isjoni 2010: 15) menyatakan “pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap saling tolong-menolong dalam
perilaku sosial”.
“Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang berfokus
pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar” (Sugiyanto
2010: 37. Selanjutnya Johnson (dalam Lie 2007: 30) mengemukakan bahwa
“dalam model pembelajaran kooperatif ada lima unsur yaitu: saling
ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi
antar anggota, dan evaluasi proses kelompok”. “Pembelajaran kooperatif
(Cooperative learning) adalah model pembelajaran yang menekankan pada saling
ketergantungan positif antar individu siswa, adanya tanggung jawab
perseorangan, tatap muka, komunikasi intensif antar siswa, dan evaluasi
proses kelompok” (Rohman 2009: 186).
Cooperative learning menurut Slavin (2005: 4) merujuk pendapat bahwa:
Berbagai macam model pembelajaran di mana para siswa bekerja samadalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari berbagai tingkat prestasi,jenis kelamin, dan latar belakang etnik yang berbeda untuk salingmembantu satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelaskooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, salingmendiskusikan, dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yangmereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahamanmasing-masing. Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompokkarena dalam model pembelajaran ini harus ada struktur dorongan dantugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadi interaksisecara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensiefektif antara anggota kelompok.
Suprijono (2009: 54) mengemukakan bahwa “pembelajaran kooperatif
adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok
termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru”.
Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, di
mana guru menetapkan tugas dan pertanyaan- pertanyaan serta menyediakan
bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu siswa
menyelesaikan masalah yang dimaksudkan. Guru biasanya menetapkan bentuk
ujian tertentu pada akhir tugas.
22
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran
yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya
bersifat heterogen, terdiri dari siswa dengan prestasi tinggi, sedang, dan rendah,
perempuan dan laki-laki dengan latar belakang etnik yang berbeda untuk
saling membantu dan bekerja sama mempelajari materi pelajaran agar belajar
semua anggota maksimal. Pembelajaran kooperatif membutuhkan siswa yang
banyak, sehingga dapat dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil yang
beranggotakan siswa dengan memiliki berbagai latar belakang etnis, jenis
kelamin, dan kemampuan yang berbeda-beda. Secara sepintas pembelajaran
kooperatif mirip dengan diskusi biasa, akan tetapi jika dicermati dengan baik
maka akan terlihat berbagai perbedaan yang mendasar sehingga model
pembelajaran kooperatif menjadi model pembelajaran yang efektif untuk memacu
aktifitas dan hasil belajar siswa di kelas.
2.1.3. Model Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI)
Model Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization)
ini dikembangkan oleh Slavin. Menurut Slavin (2005: 15) tipe ini
mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran
individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara
individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan
untuk pemecahan masalah, ciri khas pada model pembelajaran TAI ini adalah
setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok
untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua
anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung
jawab bersama.
Model pembelajaran TAI dimana siswa dikelompokkan ke dalam
kelompok kecil (4 – 5 siswa) secara heterogen yang dipimpin oleh seorang ketua
kelompok yang mempunyai kemampuan lebih dibandingkan anggotanya. Selain
itu guru mempunyai fleksibilitas untuk berpindah dari kelompok ke kelompok
23
atau dari individu ke individu, kemudian para siswa dapat saling memeriksa hasil
kerja mereka, mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam kelompok
dapat ditangani sendiri maupun dengan bantuan guru apabila diperlukan.
Miftahul (2011) mengemukakan bahwa dalam model pembelajaran TAI,
siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuannya yang beragam. Masing-
masing kelompok terdiri dari 5 siswa dan ditugaskan untuk menyelesaikan materi
pembelajaran atau pekerjaan rumah. Dalam model pembelajaran TAI, setiap
kelompok diberikan serangkaian tugas tertentu untuk dikerjakan bersama-sama.
Poin-poin dalam tugas dibagikan secara berurutan kepada setiap anggota
(misalnya, untuk materi IPA yang terdiri dari 8 soal, berarti empat anggota
dalam setiap kelompok harus saling bergantian menjawab soal-soal tersebut).
Semua anggota harus saling mengecek jawaban teman- teman satu kelompoknya
dan saling memberi bantuan jika memang dibutuhkan. Setiap kelompok harus
memastikan bahwa semua anggotanya paham dengan materi yang telah
didiskusikan.
Masing-masing anggota diberi tes individu tanpa bantuan dari anggota
yang lain. Selama menjalani tes individu ini, guru harus memperhatikan
setiap siswa. Skor tidak hanya dinilai oleh sejauh mana siswa mampu menjalani
tes itu, tetapi juga sejauh mana mereka mampu bekerja secara mandiri (tidak
mencontek).
Penghargaan (reward) diberikan kepada kelompok yang mampu menjawab
soal-soal dengan benar lebih banyak dan mampu menyelesaikan PR dengan
baik. Guru memberikan poin tambahan (extra point) kepada siswa yang mampu
memperoleh nilai rata-rata yang melebihi KKM pada ujian final. Karena dalam
model pembelajaran TAI siswa harus saling mengecek pekerjaannya satu sama
lain dan mengerjakan tugas berdasarkan rangkaian soal tertentu, guru sambil lalu
bisa memberi penjelasan seputar soal-soal yang kebanyakan dianggap rumit oleh
siswa. Pada model pembelajaran TAI ini, akuntabilitas individu, kesempatan yang
sama untuk sukses, dan dinamika motivasional menjadi unsur-unsur utama yang
harus ditekankan oleh guru.
24
2.1.3.1. Komponen Model Pembelajaran TAI
Nur Asma (2006) mengemukakan bahwa kegiatan pembelajaran dengan
model pembelajaran TAI tidak sama dengan kegiatan pembelajaran pada model
pembelajaran STAD dan TGT, TAI terikat pada serangkaian materi pelajaran yang
khas dan memiliki petunjuk pelaksanaan sendiri. Menurut Slavin (dalam Nur
Asma 2006: 56) model pembelajaran TAI terdiri dari delapan komponen, yaitu:
a. Tahap 1 mempelajari materi pelajaran. Siswa mempelajari materi pelajaran
yang telah disiapkan oleh guru.
b. Tahap 2 tes penempatan (Placement test). Pada awal program pembelajaran
diberikan pretest, dimaksudkan untuk menempatkan siswa pada program
individual yang didasarkan pada hasil tes mereka.
c. Tahap 3 membagi siswa ke dalam kelompok. Siswa dalam model pembelajaran
TAI ditempatkan dalam kelompok- kelompok heterogen terdiri dari 4 sampai 5
siswa.
d. Tahap 4 belajar kelompok (study teams). Setelah ujian penempatan, masing-
masing individu menempatkan diri sesuai dengan kelompoknya. Setiap
kelompok mendiskusikan materi yang sudah dipelajari oleh masing-masing
individu. Setiap kelompok harus memastikan bahwa setiap anggotanya paham
tentang materi yang sudah dipelajari.
e. Tahap 5 skor dan penghargaan kelompok. Guru memberikan skor dan
penghargaan terhadap kelompok yang hasil dari diskusi kelompoknya bagus.
Skor ini didasarkan pada jumlah rata- rata unit yang tercakup oleh anggota
kelompok dan akurasi dari tes-tes unit. Kriteria ditetapkan untuk penampilan
(hasil) kelompok.
f. Tahap 6 refleksi. Guru menberikan penegasan terhadap materi yang sudah
dipelajari. Guru menerangkan materi yang sudah dipelajari agar siswa lebih
yakin dan mantap terhadap materi yang dipelajari, sehingga jika
mendapatkan soal siswa bisa menyelesaikannya.
g. Tahap 7 tes akhir. Pada akhir pembelajaran guru memberikan posttest yang
dikerjakan secara individu untuk mengukur seberapa pemahaman siswa
terhadap materi yang sudah dipelajari.
25
h. Tahap 8 unit keseluruhan. Setiap akhir pembelajaran guru mengevaluasi
pembelajaran yang dilihat dari hasil belajar yang diperoleh siswa.
Dari tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam pembelajaran kooperatif
tipe TAI tersebut terlihat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TAI memiliki
keunggulan untuk membantu siswa yang lemah atau memiliki kemampuan
kurang. Disamping menguntungkan siswa yang lemah, siswa yang pandai juga
akan lebih diuntungkan, karena para siswa dapat mempelajari materi sesuai
dengan kemampuannya masing-masing. Dalam pelaksanaannya model
pembelajaran TAI membuat beban pekerjaan guru menjadi berkurang, karena
dalam satu kelompok siswa, siswa yang memiliki kemampuan lebih akan
membantu siswa yang berkemampuan kurang.
2.1.3.2. Karakteristik Model Pembelajaran TAI
Sebagai model pembelajaran kooperatif, maka TAI memiliki beberapa
karakteristik khusus, yaitu:
a. Team; pembentukan kelompok secara heterogen yang terdiri dari 4-5 siswa.
b. Placement test; pemberian pretest kepada siswa /melihat rata-rata nilai harian
siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tersebut.
c. Student Creative; melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan
menciptakan dimana keberhasilan individu ditentukan oleh keberhasilan
kelompok.
d. Team Study; tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok
dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang
membutuhkan.
e. Team Score and Team Recognition; pemberian score terhadap hasil kerja
kelompok dan memberikan kriteria penghargaan terhadap kelompok yang
berhasil secara cemerlang dan kelompok yang dipandang kurang berhasil
dalam menyelesaikan tugas.
f. Teaching Group; pemberian materi secara singkat dari guru menjelang
pemberian tugas kelompok.
g. Fact Test; pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa.
26
h. Whole-Class Units; pemberian materi oleh guru kembali diakhiri waktu
pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
2.1.3.3. Langkah-Langkah Model Pembelajaran TAI
Pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization atau
Team Accelerated Instruction (TAI) memiliki sintagmatik atau langkah-langkah
dalam pelaksanaannya. Berikut adalah langkah-langkah dalam kegiatan
pembelajaran dengan model TAI:
a. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi
pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru;
b. Guru memberikan kuis (pretest) secara individual kepada siswa untuk
mendapatkan skor dasar atau skor awal;
c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa
dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi,
sedang dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya,
suku yang berbeda serta kesetaraan jender;
d. Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam
diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman
satu kelompok;
e. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan
memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari;
f. Guru memberikan kuis (posttest) kepada siswa secara individual;
g. Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya
(terkini).
2.1.3.4. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran TAI
Kelebihan dari pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut:
a. Siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalahnya;
b. Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya;
c. Adanya tanggung jawab dalam kelompok dalam menyelesaikan
27
permasalahannya;
d. Siswa diajarkan bagaimana bekerjasama dalam suatu kelompok.
Sedangkan kekurangan dari pembelajaran kooperatif tipe TAI yaitu:
a. Tidak ada persaingan antar kelompok;
b. Siswa yang lemah dimungkinkan menggantungkan pada siswa yang pandai.
2.1.4. Media Pembelajaran Realistik
“Media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium.
Batasan mengenai pengertian media sangat luas. Secara harfiah kata media
memiliki arti perantara atau pengantar”. (Ibrahim 2012: 111). Jika melihat dari
asal katanya, maka kata media itu sendiri sangatlah luas pengertiannya. Akan
tetapi, dalam beberapa konteks yang digunakan di Indonesia khususnya dalam
dunia pendidikan, maka pengertian media dapat dipersempit menjadi pengantar
saja.
Sedangkan National Education Assosiation (NEA) mendefinisikan sebagaibenda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca ataudibicarakan beserta instrument yang dipergunakan dengan baik dalamkegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas programpembelajaran. (Ibrahim 2012: 111).
Dari berbagai pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa media merupakan
benda atau objek penghantar atau pengantara yang digunakan untuk memudahkan
seseorang dalam menyampaikan pesan atau amanatnya dengan menggunakan
benda tersebut.
Realistik berasal dari kata real atau riil yang dapat diartikan nyata. Yang
dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati
atau dipahami peserta didik dengan cara membayangkan, sedangkan yang
dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta
didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
Media realistik berarti benda atau perantara yang nyata atau real dan dapat
dipindah-pindahkan atau dimanipulasi. Dalam kegiatan pembelajaran di SD
media realistik sangat diperlukan, terutama untuk menyampaikan materi pelajaran
28
yang rumit dan sulit untuk dibayangkan oleh siswa. Mata pelajaran yang sangat
membutuhkan media realistik dalam penyampaian materinya misalnya mata
pelajaran matematika. seperti diketahui bahwa matematika adalah pemecahan
masalah, oleh karena itu untuk memecahkan masalah tersebut dapat digunakan
alat bantu berupa media realistik.
“Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang penting sebagai pengantar
ilmu-ilmu pengetahuan yang lain dan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-
hari” (Ibrahim 2012: 116). Oleh Karena fungsinya yang banyak digunakan dalam
pemecahan masalah sehari-hari, maka penggunaan media, alat bantu dan alat
peraga yang berasal dari benda-benda nyata yang dekat dengan lingkungan siswa
sangat diperlukan. Hal ini mengingat bahwa matematika tersebut bukan hanya
sekedar menghitung dan menghafal. Sering kali media disebut juga dengan alat
peraga, atau bahkan kedua istilah ini sering kali digunakan secara bergantian.
Menurut Ibrahim (2012: 111):
Perbedaan penggunaan istilah tersebut terletak pada fungsi bukansubstansinya. Sumber belajar dikatakan sebagai alat peraga jika hal tersebutfungsinya hanya sebagai alat bantu saja. Artinya guru tetap memegangperan sentral. Dikatakan media jika sumber belajar tersebut merupakanbagian yang integral dari seluruh kegiatan pembelajaran.
Jadi sudah jelas bawa perbedaan antara alat peraga dan media hanya terletak pada
fungsinya saja.
2.1.5. Contoh Penerapan Model Pembelajaran TAI dengan Media Realistik
dalam Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Teams Assisted Individualization (TAI) dengan media realistik merupakan
kegiatan pembelajaran yang mengkolaborasikan dua unsur pembelajaran yang
berbeda. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa model pembelajaran TAI
mengkondisikan siswa untuk belajar dalam kelompok-kelompok kecil heterogen,
baik dalam hal jenis kelamin, kemampuan, bahkan sukunya. Dalam pembelajaran
matematika siswa sering mengalami kendala ketika sudah berhadapan dengan
objek yang sulit dibayangkan. Oleh karena itu dengan media realsitik diharapkan
29
siswa mampu memanipulasi objeknya serta dapat memahami konsep-konsep
pembelajaran matematika yang disampaikan.
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran matematika menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan media realistik adalah seperti berikut
ini:
a. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi
pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru secara individual.
b. Guru memberikan kuis (pretest) secara individual kepada siswa untuk
mendapatkan skor dasar atau skor awal, hal ini untuk memudahkan guru untuk
mengelompokkan siswa berdasarkan pada kemampuannya.
c. Berdasarkan hasil pretest tersebut kemudian guru mengkondisikan siswa ke
dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa dengan
kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan
rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang
berbeda serta kesetaraan jender.
d. Setiap kelompok dibagikan media realistik (alat peraga) yang berguna untuk
memudahkan siswa dalam diskusinya. Media yang digunakan berhubungan
dengan materi pretest. Dalam diskusi kelompok setiap anggota kelompok
saling memeriksa jawaban teman satu kelompok. Selanjutnya setiap kelompok
maju kedepan kelas untuk melakukan presentasi tentang hasil diskusinya.
e. Guru memberikan nilai kepada tiap kelompok berdasarkan hasil presentasi
kelompoknya, kemudian memberikan nama kepada tiap kelompok berdasarkan
nilai kelompoknya.
f. Guru membimbing dan memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman,
mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang
telah dipelajari. Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk menanyakan
hal-hal yang masih belum dimengerti.
g. Tahap evaluasi, yaitu guru memberikan kuis (posttest) kepada siswa secara
individual untuk mengetahui sampai sejauh mana siswa mampu memahami
materi yang telah didiskusikan.
h. Evaluasi secara keseluruhan, yaitu guru memberi penghargaan pada tiap
30
kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual
dari skor dasar (pretest) ke skor kuis terakhir(posttest).
2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini juga didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh
beberapa peneliti dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI
dan media pembelajaran realistik untuk memecahkan masalah pembelajaran
matematika di Sekolah Dasar. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut dijadikan
sebagai salah satu sumber dan acuan untuk merancang dan mengembangkan
penelitian. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan
dan menjadi dasar dari penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Agus Budiharto pada tahun (2007) yang
berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Kelas VIII A SMP
Negeri 23 Semarang Pada Pokok Bahasan Lingkaran Dengan Model
Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Team Assisted Individualization
(TAI). Dari serangkaian tindakan mulai siklus I sampai siklus II hasilnya adalah
pada siklus I, persentase keaktifan siswa berhasil ditingkatkan yaitu rata-rata
84,21%, namun hasil tes akhir siklus I gagal khususnya pada aspek pemahaman
konsep ketuntasan secara klasikal adalah 60% dan aspek pemecahan masalah
ketuntasan secara klasikal adalah 40% (batas ketuntasan secara klasikal minimal
75 %). Pada akhir siklus II keaktifan siswa berhasil ditingkatkan yaitu rata-rata
90,90% dan hasil tes akhir siklus II prosentase ketuntasan secara klasikal pada
aspek pemahaman konsep adalah 100%, ketuntasan secara klasikal aspek
penalaran dan komunikasi adalah 75,56 % dan ketuntasan secara klasikal aspek
pemecahan masalah adalah 86,67%. Simpulan yang dapat diambil peneliti dari
PTK ini adalah dengan implementasi model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization pada pokok bahasan lingkaran di kelas VIII A SMP
Negeri 23 Semarang tahun pelajaran 2006/2007, dapat meningkatkan keaktifan
dan hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aripiyah yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas III SD Negeri Bulakpacing 02
31
Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal dalam Materi Pecahan Melalui
Bantuan Alat Peraga Benda Konkret”. Hasil penelitiannya yaitu Pada siklus I
siswa yang tuntas belajar sejumlah 14 siswa (58,3%) dan yang tidak tuntas belajar
sejumlah 10 siswa (41,7%) dengan nilai rata-rata kelas 6,2 dan daya serap 61,7%.
Hasil pada siklus II siswa yang tuntas belajar sejumlah 17 siswa (70,8%) dan yang
tidak tuntas belajar sejumlah 7 siswa (29,2%) dengan nilai rata-rata kelas 7,3 dan
daya serap 73,3%. Sedangkan hasil pada siklus III jumlah siswa yang tuntas
belajar 21 siswa (87,5%) dan yang tidak tuntas belajar sejumlah 3 (12,5%) siswa
dengan nilai rata-rata kelas 8,8 dengan daya serap 87,9%. Karena
sudah memenuhi indikator keberhasilan bahkan sampai melebihi dari nilai yang
peneliti targetkan. Simpulan yang dapat diambil adalah bahwa melalui alat peraga
benda konkret dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi pecahan pada
kelas III SD Negeri Bulakpacing 02 semester I Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten
Tegal tahun pelajaran 2005/2006 dengan tingkat partisipasi siswa yang cukup
menggembirakan serta memacu guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan model pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2012) yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Penggunaan Media Lidi
Pada Penjumlahan Bilangan Bulat Pada Siswa Kelas IV Di SD Negeri Banaran
Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil tes awal menunjukan rata-rata hasil
belajar 51,76 dengan prosentase ketuntasan 29,41%. Hasil penelitian ini
menunjukkan rata-rata hasil belajar yang diperoleh pada pembelajaran
matematika menggunakan media lidi yakni siklus I 65,58 dan siklus II 75,29.
Sedangkan persentase ketuntasan individual yang diperoleh pada setiap siklus
adalah siklus I 76,47% dan siklus II 94.11%. Secara keseluruhan pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan media lidi, mulai tindakan I dan II
menunjukkan peningkatan baik hasil belajar, maupun pemahaman subjek
penelitian terhadap penjumlahan bilangan bulat. Simpulan dari penelitian ini
adalah bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
menggunakan media lidi dengan desain Penelitian Tindakan Kelas dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Banaran Kecamatan
32
Banyuputih Kabupaten Batang semester 2 tahun ajaran 2011/2012.
Penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas Sekar Dewi (2012) dengan
judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Model
Pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) Siswa Kelas V SDN Bantir
Candiroto Temanggung Semester 2 Tahun 2011/2012”. Hasil penelitian
menunjukan peningkatan hasil belajar matematika dengan kompetensi dasar
mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dan mengidentifikasi sifat-sifat bangun
ruang melalui model pembelajaran TAI. Hasil perbandingan antar siklus yakni
ketuntasan belajar klasikal pada kondisi pra siklus 12%, skor rata-rata sebesar
69,12, skor maksimal 90 dan skor minimal 50. Pada siklus I ketuntasan belajar
klasikal 60%, dengan skor rata-rata naik menjadi 87,8, skor maksimal 96,1 dan
skor minimal 68,6. Selanjutnya ketuntasan belajar klasikal pada siklus II sebesar
92%, dengan skor rata-rata 90,3, skor maksimal 96,1 dan skor minimal 70,3.
Hasil penelitian ini disarankan untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika
SD dan dikembangkan dalam penelitian yang terkait dengan pendekatan
pembelajaran dan penilaian hasil belajar siswa.
2.3. Kerangka Berpikir
Sudah bukan rahasia lagi bahwa mata pelajaran matematika merupakan
mata pelajaran yang dianggap sulit dan menakutkan. Akhir-akhir ini keluhan
banyak muncul bahwa tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai
suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, menakutkan
bahkan menjengkelkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran
tersebut. Hal ini jelas berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika
yang telah berlangsung selama ini, sehingga berdampak langsung pada hasil
belajar berupa nilai yang masih banyak berada di bawah KKM. Oleh karena itu,
perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi
prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan yang
merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika
sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.
Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu digunakan suatu strategi
33
pembelajaran yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang
menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi
sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Pada
dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah, karena itu matematika
sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan
memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa. Selain itu
untuk menyampaikan materi tersebut perlu juga menggunakan bantuan media
nyata atau realistik, sehingga kesan matematika sebagai mata pelajaran yang sulit
dapat dihilangkan, sehingga memudahkan siswa untuk membayangkan materi
pelajaran.
Konsep matematika merupakan konsep yang banyak dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pembelajarannya di sekolah harus relevan
dengan dunia riil siswa sehari-hari. Matematika diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-
masalah yang dapat diidentifikasikan.
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen dalam pembelajaran
yang mempunyai arti kegiatan-kegiatan guru selama proses pembelajaran
berlangsung. Semakin tepat memilih metode pembelajaran diharapkan makin
efektif dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu guru perlu memperhatikan dalam
memilih model pembelajaran sehingga jangan sampai keliru dalam menentukan
model pembelajaran yang berakibat kurang efektifnya pembelajaran di kelas.
Pembelajaran kooperatif model TAI merupakan model pembelajaran yang
mempunyai strategi pembelajaran penerapan bimbingan antar teman. Melalui
model ini siswa diajak belajar mandiri, dilatih untuk mengoptimalkan
kemampuannya dalam menganalisis informasi yang dicari, dilatih menjelaskan
hasil kerja kelomponya kepada pihak lain dan dilatih untuk memecahkan
masalah. Melalui model pembelajaran ini siswa diajak berpikir dan memahami
materi pelajaran, tidak hanya mendengar, menerima dan mengingat-ingat saja.
Namun dengan model pembelajaran ini keaktifan, kemandirian dan ketrampilan
siswa dapat dikembangkan, minat siswa dalam menjalani pembelajaran juga
diharapkan dapat meningkat. Sehingga pemahaman materi diharapkan dapat
34
dikembangkan dan pada akhirnya akan berdampak langsung pada peningkatan
hasil belajar siswa secara signifikan. Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa
model pembelajaran kooperatif tipe Teams Assisted Individualization (TAI) dengan
menggunakan media realistik dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas 4 khususnya untuk materi sifat-sifat bangun ruang
sederhana dan jaring-jaring bangun ruang sederhana.
2.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah model
pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) dengan media
realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas 4 SD Negeri
Sidorejo Kidul 02 Salatiga.