BAB II
KERANGKA TEORI
A. Perencanaan Kurikulum
1. Pengertian Perencanaan Kurikulum
Perencanaan kurikulum istilah yang terdiri dari dua kata yaitu
“perencanaan” dan “kurikulum”. Perencanaan (plan) merupakan bagian dari
unsure manajemen yang berarti proses, cara, perbuatan merencanakan atau
merancangkan (http://kbbi.web.id/rencana). Sedangkan Kurikulum berasal
dari bahasa latin “curriculum”, semula berarti “arunning course, specialy a
chariot race course” dan terdapat pula dalam bahasa perancis “courir”
artinya “to run” artinya “berlari” istilah ini digunakan untuk sejumlah
“course” atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai gelar
atau ijazah.
Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah untuk kenaikan kelas (mendapat ijazah). Sedangkan
menurut pandangan modern, kurikulum merupakan keseluruhan usaha
sekolah untuk mempengaruhi belajar baik berlangsung di kelas, di halaman
maupun di luar sekolah (Soetopo dan Soemarto, 1986:12-13). Dalam
pengertian konvensional, kurikulum sering dimaksud sebagai perangkat
mata pelajaran yang harus ditempuh atau diterima peserta didik untuk
memperoleh ijazah (Makin, 2010:56).
11
Beberapa ahli memberikan definisi kurikulum yang berbeda-beda,
namun pada hakikatnya memiliki inti yang hampir sama. Berikut penuturan
para ahli tentang kurikulum :
a. Suryosubroto (2004:32) menjelaskan bahwa, Kurikulum adalah segala
pengalaman pendidikan yang diberikan oleh sekolah kepada seluruh
anak didiknya, baik dilakukan di dalam maupun di luar sekolah.
b. S. Nasution (1995:5) mendifinisikan kurikulum adalah Suatu rencana
yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah
bimbingan dan tanggung-jawab sekolah atau lembaga pendidikan
beserta staf pengajarnya.
c. Sedangkan menurut Michael W. Apple (1990:64) kurikulum bukanlah
suatu aktivitas tetapi lebih dari itu, meliputi perencanaan, pelatihan,
evaluasi yang tersusun secara sistematis dan berkesinambungan.
d. Subandiyah (1996:2) mendefinisikan kurikulum, bahwa kurikulum
merupakan aktivitas dan kegiatan belajar mengajar yang direncanakan,
diprogramkan bagi peserta didik dibawah bimbingan sekolah, baik di
dalam maupun di luar sekolah. Lebih lanjut ia mengemukakan secara
operasional kurikulum dapat didefinisikan sebagai :
1) Suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program pendidikan
suatu sekolah yang dilaksanakan dari tahun ke tahun.
2) Bahan tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh guru dalam
melaksanakan pengajaran untuk siswa-siswanya.
12
3) Suatu usaha untuk menyampaikan sedemikian rupa sehingga dapat
dilaksanakan guru di sekolah.
4) Tujuan-tujuan pengajaran, pengalaman belajar, alat-alat belajar dan
caracara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam
pendidikan.
5) Suatu program penilaian yang direncanakan dan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sedangkan menurut UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa perencanaan
kurikulum adalah kegiatan merencanakan serangkaian aktifitas yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Senada dengan definisi yang
disampaikan oleh Rusman (2012:21) bahwa perencanaan kurikulum adalah
perencanaan kesempatan -kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk
membina siswa kearah perubahan tingkah laku yang di inginkan dan menilai
sampai mana perubahan-perubahan telah terjadi pada diri siswa. Sedangkan
menurut Oemar Hamalik (2007:152) Perencanaan kurikulum adalah suatu
proses sosial yang kompleks yang menuntut berbagai jenis dan tingkat
pembuatan keputusan.
13
Di dalam perencanaan kurikulum minimal ada lima hal yang
mempengaruhi perencanaan dan pembuatan keputusan, yaitu filosofis,
konten/materi, manajemen pembelajaran, pelatihan guru, dan sistem
pembelajaran. Perencanaan kurikulum ini berfungsi sebagai pedoman atau
manajemen yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber individu yang
diperlukan, media pembelajaran yang digunakan, tindakan-tindakan yang
perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga, dan sarana yang diperlukan sistem
monitoring dan evaluasi, peran unsur-unsur ketenagaan untuk mencapai
tujuan manajemen lembaga pendidikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
perencanaan kurikulum adalah kegiatan merencanakan atau merumuskan
tujuan kurikulum, isi kurikulum, pola-pola/pengalaman belajar dan
penentuan pencapaian tujuan.
2. Perumusan Tujuan Kurikulum
Ada tiga tujuan yang perlu dirumuskan dalam kurikulum yaitu aims,
goals, dan objectives.
a. Kurikulum aims merupakan gambaran outcomes yang diharapkan
berdasarkan beberapa skema nilai diambil dari kaidah-kaidah filosofis.
Tujuan kurikulum dalam kategori aims ini tidak berhubungan secara
langsung terhadap tujuan sekolah dan tujuan pembelajaran. Aims lebih
14
menunjukkan pada pola nilai, organisasi social, peran social dan gaya
hidup.
b. Kurikulum goals merupakan rumusan gambaran outcame yang
didapatkan setelah melampaui jenjang pendidikan atau sekolah pada
sebuah institusi. Goals dirumuskan dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar.
c. Kurikulum objective merupakan rumusan gambaran outcomes yang
diharapkan setelah proses pembelajaran selesai. Objective dirumuskan
dalam indicator pada pembelajaran. Kurikulum goals maupun objective
dapat dirumuskan dalam tiga domain tujuan pendidikan yaitu kognitif,
psikomotorik dan afektif. (Rusman, 2012 : 22).
Tujuan kurikulum hendaknya dirumuskan berdasarkan beberapa
sumber. Paling tidak ada 3 sumber yang dapat mendasari perumusan tujuan
kurikulum, yaitu :
a. Sumber empiris. Sumber ini berkaitan dengan tuntutan kehidupan masa
kini agar para siswa dapat hidup sukses setelah melaksanakan
pembelajaran di sekolah. Selain itu, karakteristik siswa sebagai individu
yang sedang berkembang secara dinamis dan memiliki kebutuhan
fisiologis, sosial dan keutuhan pribadi.
b. Sumber filosofis. Sumber ini menjadi acuan dalam mencari jawaban
tentang apa yang harus dilakukan sehingga pendidikan dapat
menjembatani keberhasilan siswa.
15
c. Sumber bahan pembelajaran. Sumber ini terkait dengan pelibatan ahli
disiplin ilmu atau ilmu pengetahuan tertentu dalam merumuskan tujuan.
(Rusman, 2012 : 22).
3. Landasan Perencanaan Kurikulum
Perencanaan kurikulum yang dirumuskan oleh lembaga pendidikan
baik formal maupun non formal harus mengasimilasi dan mengorganisasi
informasi dan data secara intensif yang berhubungan dengan pengembangan
program lembaga pendidikan. Berikut ini informasi dan data yang menjadi
area utama adalah :
a. Kekuatan sosial
Sistem pendidikan di Indonesia sangatlah dinamis, sehingga
selalu menyesuaikan dengan perubahan dan dinamika social yang
terjadi di masyarakat, baik yang berhubungan dengan system politik,
ekonomi, social dan kebudayaan. Proses pendidikan merupakan sebuah
perjalanan sejarah di dalam suatu Negara yang selalu menerapkan
mekanisme adaptasi untuk perubahan kea rah yang lebih baik. Kekuatan
yang lain pada satuan pendidikan dan perencanaan kurikulum adalah
perubahan nilai struktur dari masyarakat itu sendiri.
b. Perlakuan pengetahuan
Pertimbangan yang diambil oleh perencana kurikulum dalam
merancang kurikulum yang disesuakan dengan perkembangan ilmu
16
pengetahuan adalah di mana individu belajar aktif untuk
mengumpulkan dan mengolah informasi, mencari fakta dan data,
berusaha belajar tentang sikap, emosi, perasahaan terhadap
pembelajaran, proses informasi, memanipulasi, menyimpan dan
mengambil informasi tersebut untuk dikembangkan dan digunakan.
c. Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menjadi salah
satu informasi dan data yang mendasar dalam merancang kurikulum.
Karena dengan informasi tersebut, perancang kurikulum merencanakan
kurikulum yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
mereka.
4. Perumusan Isi Kurikulum
Saylor dan Alexander (1966) mendefenisikan isi kurikulum
sebagai “fakta, observasi, persepsi, ketajaman, sensibilitas, desain, dan
solusi yang tergambarkan dari apa yang dipikirkan oleh seseorang yang
secara keseluruhan diperoleh dari pengalaman dan semua itu merupakan
komponen yang menyusun pikiran yang mereorganisasi dan menyusn
kembali hasil pengalaman tersebut ke dalam adat dan pengetahuan, ide,
konsep, generalisasi, prinsip, rencana dan solusi”. (sebagaimana dikutip
oleh Rusman, 2012:26).
17
Konsep isi kurikulum juga didefinisikan oleh Hyman (1973)
sebagaimana yang dikutip oleh Rusman, 2012 : 26) bahwa isi kurikulum
adalah pengetahuan (yaitu fakta, penjelasan, prinsip, definisi), skill dan
proses (membaca, menulis, menghitung, dansa, membuat keputusan
berlandaskan cara berpikir kritis, mengomunikasikan), dan nilai (percaya
terhadap hal-hal baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek).
Selanjutnya John Dewey (1996) mengungkapkan bahwa isi
kurikulum lebih dari sekadar informasi yang dipelajari ketika dua kondisi
muncul. Pertama, isi harus memiliki hubungan dengan pertanyaan yang
menjadi perhatian siswa. Kedua, isi harus secara langsung masuk ke
dalam tingkah laku sebagai upaya meningkatkan makna dan kedalaman
arti.
Kemudian isi kurikulum diorganisasikan dengan
mempertimbangkan dua hal yaitu ; berguna bagi siswa dan siap untuk
dipelajari siswa. Isi kurikulum dapat berupa data, konsep, generalisasi,
dan materi pelajaran sekolah. Sedangkan ruang lingkup kurikulum
meliputi isi yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Isi yang bersifat umum berlaku untuk semua siswa yang berguna
dalam proses interaksi dan pengembangan tingkat berpikir, mengasah
perasaan dan berbagai pendekatan untuk dapat saling memahami satu
sama lain. Sedangkan isi yang bersifat khusus berlaku untuk program-
18
program tertentu, siswa yang mempunyai kebutuhan atau kemampuan
yang berbeda.
Menurut Zais (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Rusman
(2012:29) menyebutkan bahwa criteria mendasar yang digunakan untuk
menyeleksi isi kurikulum adalah rumusan aims, goals, dan objective
kurikulum. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan oleh pengembangan
kuriklum adalah bagaimana aims tersebut dapat dibawakan secara efektif
dan efisien. Untuk itu, perlu adanya pertimbangan prioritas terhadap isi
kurikulum yang didasari oleh empat hal, yaitu signifikansi, kegunaan
(utility), ketertarikan (interest), dan pengembangan manusia.
Isi kurikulum terdiri atas bahan-bahan pengajaran dan berbagai
pengalaman yang diperlukan dalam tercapainya tujuan pendidikan.
Materi kurikulum pada hakikatnya adalah isi kurikulum yang
dikembangkan dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip:
1. Materi kurikulum berupa bahan pelajaran yang terdiri dari bahan
kajian atau topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam
proses belajar dan pembelajaran.
2. Mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pendidikan.
3. Diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Isi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan
pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa. Isi kurikulum itu
menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan pengetahuan
19
atau materi pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap mata
pelajaran yang diberikan maupun kreativitas dan kegiatan siswa. Baik
materi maupun aktivitas itu seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan
yang ditentukan (Sukiyadi, Nurhasanah, & Al Rasjid, 2006).
Suatu kurikulum diharapkan memberikan landasan, isi, dan
menjadi pedoman bagi pengembangan kemampuan siswa scara optimal
sesuai dengan tuntutatan dan tantangan perkembangan masyarakat.
Pengembangan isi kurikulum berupa bahan-bahan pelajaran yang akan
dipelajari siswa harus memerlukan dasar pertimbangan yang teliti. Hal
yang paling utama adalah sekolah sebagai lembaga yang akan
mengantarkan siswa menuju kearah kematangan dalam arti luas.
Kematangan ini mencakup berbagai segi, baik kematangan fisik,
kematangan kognitif, kematangan mental maupun kematangan sosial.
Kematangan fisik pada umumnya ditandai oleh kematangan
dalam segi biologis, hal ini dapat dicapai bila individu telah memasuki
usia tetrtentu. Berbeda halnya dengan kematangan kognitif, mental dan
sosial. Ketiga jenis kematangan ini tidak dapat dicapai begitu saja tanpa
melalui bimbingan yang berati. Karena kematangan kognitif menunjukan
kepada kematangan intelektual, pola berpikir dan pengambilan keputusan
individu, lalu kematangan mental menunjukan kepada kematangan
emosional, dan tercapainya perwujudan pribadi secara integral.
20
Sedangkan kematangan sosial ditandai oleh adanya kemampuan untuk
hidup secara mandiri.
Mengantarkan siswa menuju jenjang tersebut yang menjadi tugas
lembaga pendidikan sungguh merupakan tugas yang berat. Karena untuk
mencapai tujuan tersebut individu perlu memperoleh bekal-bekal
pengalaman belajar yang berarti. Apabila lama waktu pendidikan cukup
memadai untuk memberikan bekal-bekal pengalaman belajar kepada
siswa, masalah yang dihadapi tidak sebesar itu. Namun kenyataan yang
dihadapi menunjakan betapa banyak tuntutan yang harus dipenuhi oleh
lembaga pendidikan, sedangkan waktu yang tesedia tidak memadai. Oleh
karenanya perlu dilakukan seleksi tentang isi kurikulum, sehingga proses
pendidikan di sekolah dapat mencapai sasaran.
5. Model Perencanaan/Desain Kurikulum
Desain kurikulum dapat dirumuskan menjadi tiga jenis,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Wina Sanjaya (2008: 45-47) sebagai
hasil kajian beberapa sumber dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran
dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu desain
kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, desain kurikulum yang
berorientasi pada masyarakat, dan desain kurikulum yang berorientasi
pada siswa. Berikut penjelasannya.
21
a. Desain Kurikulum Berorientasi pada Disiplin Ilmu
1) Subject Centered Curriculum
Bentuk desain kurikulum ini merupakan bentuk desain yang
paling populer dan paling tua serta paling sering digunakan. Dalam
hal ini, kurikulum ditekankan pada isi atau materi bahan ajar yang
akan dipelajari oleh siswa. Kurikulum pun tersusun atas sejumlah
mata pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa secara teprisah-
pisah. Karena terpisah inilah maka desain kurikulum ini disebut
pula dengan separated subject curriculum.
Kurikulum mata pelajaran dapat menetapkan syarat-syarat
minimum yag harus dikuasai siswa sehingga siswa bisa naik kelas.
Biasanya alat dan sumber utama pelajaran adalah bahan pelajaran
itu sendiri dan textbook. Kurikulum mata pelajaran atau subject
curriculum terdiri dari mata pelajaran (subject) yang terpisah-pisah,
dan subject itu merupakan himpunan pengalaman dan pengetahuan
yang diorganisasikan secara logis dan matematis oleh para ahli
kurikulum. (Abdullah Idi, 2013 : 164-165)
2) Correlated Curriculum
Kurikulum jenis ini mengandung makna bahwa sejumlah
mata pelajaran dihubungkan antara yang satu dengan yang lain
sehingga ruang lignkup bahan yang tercakup semakin luas,
22
contohnya seperti pada mata pelajaran fiqh dapat dihubungkan
dengan mata pelajaran Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat anak didik
mempelajari shalat, dapat dihubungkan dengan pelajaran Al-
Qur’an (surat Al-Fatihah dan surat lainnya) dan hadits yang
berhubungan dengan shalat, dan sebagainya.
Terdapat tipe korelasi utnuk menghubungkan pelajaran
dalam kegiatan kurikulum. Pertama, Korelasi okasional/insidental,
maksudnya korelasi didasarkan secara tiba-tiba atau insidental,
contohnya pada pelajaran sejarah dapat dibicarakan tentang
geografi dan tumbuh-tumbuhan. Kedua, korelasi etis, yang
bertujuan mendidik budi pekerti sehingga konsentrasi-konsentrasi
pelajarannya dipilih pendidikan agama. Contohnya pada
pendidikan agama itu dibicarakan cara-cara menghormati guru,
orang tua, tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ketiga, korelasi
sistematis, yaitu yang biasanya direncanakan oleh guru. Misalnya
bercocok tanam padi dibahas dalam geografi dan ilmu tumbuh-
tumbuhan. (Abdullah Idi, 2013 : 166)
3) Integrated Curriculum
Integrated curriculum merupakan konsep desain kurikulum
yang menggunakan model integrated, yakni tidak lagi
menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidang studi.
Belajar dari suatu pokok permasalahan yang harus diselesaikan,
23
masalah tersebut kemudian dinamakan unit. Belajar berdasarkan
unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, tetapi juga mencari
dan menganalisis fakta-fakta sebagai bahan materi dalam
memecahkan masalah. Belajar melalui pemecahan masalah itu
diharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada segi
intelektual saja, tetapi seluruh aspek seperti sikap, emosi, dan
keterampilan. (Wina Sanjaya, 2008 : 41)
b. Desain Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat
Bentuk rancangan kurikulum ini didasarkan pada tujuan
sekolah yang melayani kebutuhan masyarakat, maka kebutuhan
masyarakat harus dijadikan dasar dalam menentukan isi kurikulum.
Beberapa ahli kurikulum merumuskan bahwa kurikulum sebagai
sebuah desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar
anak di dalam sekolah. Artinya, permasalahan yang dihadapi dan
dibutuhkan oleh suatu kelompok sosial harus menjadi bahan kajian
anak didik di sekolah.
Ada beberapa perspektif desain kurikulum yang berorientasi
pada kehidupan masyarakat, yaitu: perspektif status quo (the status
quo perspective); perspektif reformis (the reformist perspective); dan
perspektif masa depan (the futurist perspective).
1) Perspektif Status Quo (Status Quo Perspective)
24
Kurikulum ini dirancang dan diarahkan untuk melestarikan
nilai-nilai budaya masyarakat, dalam hal ini merencanakan untuk
memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik
sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang dibutuhkan dalam
kehidupan masyarakat. Maka aspek-aspek penting dalam
kehidupan masyarakat dijadikan sebagai dasar kurikulum oleh para
perancangnya.
Franklin Bobbit mengkaji secara ilmiah berbagai kebutuhan
masyarakat yang harus menjadi isi kurikulum. Ia berpendapat
bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal harus
mendidik anak agar menjadi manusia dewasa dalam
masyarakatnya. Kemudian ia menemukan kegiatan-kegiatan utama
dalam kehidupan masyarakat yang disarankan untuk menjadi isi
kurikulum, diantaranya:
Kegiatan berbahasa atau komunikasi sosial.
Kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan.
Kegiatan dalam kehidupan sosial seperti bergaul dan
berkelompok dengan orang lain.
Kegiatan menggunakan waktu senggang dan menikmati
rekreasi.
Usaha menjaga kesegaran jasmani dan rohani.
Kegiatan yang berhubungan dengan religius.
25
Kegiatan yang berhubungan dengan peran orang tua seperti
membesarkan anak, memelihara kehidupan keluarga yang
harmonis.
Kegiatan praktis yang bersifat vokasi atau keterampilan
tertentu.
Melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat seseorang.
2) Perspektif Pembaharuan (The Reformist Perspective)
Kurikulum dalam perspektif ini dikembangkan untuk lebih
meningkatkan kualitas masyarakat pada daerah tersebut,
disebabkan karena hal tersebut merupakan menghendaki peran
serta masyarakat total dalam proses pendidikan. Menurut
pandangan beberapa ahli yang menganut perspektif ini, dalam
proses pembangunan pendidikan sering digunakan untuk menindas
masyarakat miskin untuk kepentingan elit yang berkuasa atau
untuk mempertahankan struktur sosial yang sudah ada. Dengan
demikian, masyarakat lemah akan tetap berada dalam
ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, menurut aliran reformis,
pendidikan harus mampu mengubah keadaan masyarakat tersebut,
baik pendidikan formal maupun non-formal harus mengabdikan
diri semi tercapainya orde sosial baru berdasarkan pembagian
kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata.
26
Paulo Friere dan Ivan Illich, tokoh dalam perspektif ini
berpendapat bahwa kurikulum yang sekedar mencari pemecahan
masalah sosial tidak akan memadai. Kurikulum sebagai rancangan
pendidikan seharusnya mampu meormbak tata sosial dan lembaga-
lembaga sosial yang sudah ada dan membangun struktur sosial
baru. Mereka berpendapat bahwa sekolah yang dikembangkan
negara bersifat opresif dan tidak humanistik serta digunakan
sebagai alat golongan elit untuk mempertahankan status quo.
3) Perspektif Masa Depan (The futurist Perspective)
Perspektif ini sering dikaitkan dengan kurikulum
rekontruksi sosial, yang menekankan pada proses mengembangkan
hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih mengutamakan
kepentingan sosial daripada kepentingan individu. Setiap individu
harus mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di
masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan yang sangat
cepat.
Tujuan utama dalam perspektif ini adalah mempertemukan
siswa dengan masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Para
ahli rekontruksi sosial, Harold Rug, percaya bahwa masalah-
masalah yang dihadapi masyarakat bukan hanya dapat dipecahkan
melalui “Bidang Studi Sosial” saja tetapi juga oleh setiap disiplin
27
ilmu termasuk ekonomi, estetika, kimia, dan matematika. Berbagai
macam krisis yang dialami masyarakat harus menjadi bagian dari
isi kurikulum.
Terdapat 3 kriteria yang harus diperhatikan dalam proses
mengimplementasikan kurikulum ini. Ketiganya menuntut
pembelajaran nyata (real), berdasarkan pada tindakan (action), dan
mengandung nilai (values). Ketiga kriteria tersebut adalah:
1) Siswa harus memfokuskan pada salah satu aspek yang ada di
masyarakat yang dianggapnya perlu diubah.
2) Siswa harus melakukan tindakan terhadap masalah yang
dihadapi masyarakat itu.
3) Tindakan siswa harus didasarkan kepada nilai (values), apakah
tindakan itu patut dilaksanakan atau tidak, apakah memerlukan
kerja individual atau kelompok atau bahkan keduanya. (Ani
Sanjaya, 2008:40-41)
c. Desain Kurikulum Berorientasi pada Siswa
Asumsi landasan kurikulum ini yaitu bahwa pendidikan
diselenggarakan untuk membantu anak didik. Oleh karena itu,
pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan anak didik. Kurikulum
yang berorientasi pada siswa menekankan kepada siswa sebagai isi
kurikulum. Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum tidak boleh
terlepas dari kehidupan siswa sebagai peserta didik.
28
Dalam mendesain kurikulum yang berorientasi pada siswa,
Alice Crow menyarankan hal-hal berikut:
1) Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak.
2) Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan
sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang
akan datang.
3) Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha
untuk belajar sendiri. Artinya, siswa harus didorong untuk
melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan hanya sekedar
menerima informasi dari guru.
4) Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat,
dan tingkat perkembangan mereka. Artinya, apa yang seharusnya
dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru
atau dari sudut orang lain akan tetapi ditentukan dari sudut anak itu
sendiri.
Terdapat dua perspektif yang berkaitan dengan desain
kurikulum yang berorientasi pada siswa, yakni perspektif kehidupan
anak di masyarakat (The child-in-society perspective) dan perspektif
psikologi (The psychological curriculum perspective).
1) Perspektif Kehidupan Anak di Masyarakat
Francis Parker menganjurkan siswa sebagai sumber kurikulum
percaya bahwa hakikat belajar bagi siswa adalah apabila siswa
29
belajar secara nyata dari kehidupan mereka di masyarakat,
sebagaimana dimulai dari apa yang pernah dialami siswa seperti
pengalaman dalam keluarga, lingkungan fisik dan lingkungan
sosial mereka, serta dari hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
Parker juga mengemukakan bahwa desain dalam perspektif ini
berbeda dengan kurikulum yang konvensional, yang mana proses
pembelajarannya menghafal dan menguasai materi yang ada di
buku cetak, tetapi siswa harus belajar mengetahui secara sadar
bagaimana kehidupan nyata di masyarakat. Contohnya seperti
belajar Geografi, siswa tidak hanya dituntut untuk membaca dan
menghafal sejumlah data, tetapi siswa juga harus memahami data-
data Geografi melalui karya wisata. Demikian pula dengan belajar
tata bahasa, siswa tidak perlu menghafal aturan bahasa, tetapi
bagaimana aturan tata bahasa diterapkan dalam percakapan sehari-
hari.
2) Perspektif Psikologi
Perspektif psikologi dalam desain kurikulum yang berorientasi
pada siswa sering diartikan sebagai kurikulum yang bersifat
humanistik, yang muncul sebagai reaksi terhadap proses
pendidikan yang hanya mengutamakan segi intelektual. Menurut
para ahli dalam perspektif ini, tugas dan tanggung jawab
pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan segi
30
intelektual, tetapi mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga
dapat membentuk manusia yang utuh.
Aliran humanis pun percaya bahwa fungsi kurikulum adalah
menyediakan berbagai pengalaman belajar yang menyenangkan
untuk setiap siswa sehingga dapat membantu pengembangan
pribadi siswa secara utuh dan menyeluruh. Tujuannya adalah
mengembangkan proses pertumbuhan yang ideal, integritas, dan
otonomi pribadi, sehingga tujuan intinya yaitu aktualisasi diri.
Terdapat tiga hal yang dilakukan oleh guru dalam
mengimplementasikan kurikulum ini:
Dengarkan secara menyeluruh berbagai ungkapan siswa;
Bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap siswa;
dan
Bersikap wajar dan alami terhadap siswa serta jangan
berpura-pura.
Kriteria keberhasilan dalam kurikulum ini ditentukan oleh
perkembangan anak supaya menjadi manusia terbuka dan berdiri
sendiri, dan mengevaluasi berbagai kegiatan yang telah
dilaksanakan, apakah kegiatan tersebut mampu memberikan nilai
untuk kehidupan masa yang akan datang. Maka proses
pembelajaran menurut kurikulum ini ialah ketika memberikan
31
kesempatan kepada siswa untuk tumbuh berkembang sesuai
dnegan potensi yang dimilikinya. (Wina Sanjaya, 2008 : 45-47)
6. Langkah-langkah Perencanaan Kurikulum
Ada beberapa model perencanaan yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk membuat perencanaan yang baik di lembaga pendidikan
termasuk pesantren. Prim Masrokan Mutohar (2013 : 142-151). Model
perencanaan yang dimaksud adalah :
a. Model Louis dan Allen
Kegiatan perencanaan yang dilaksanakan dalam menjalan
fungsi perencanaan pada model yang ditawarkan Louis dan Allen
adalah ; Forecasting, (meramalkan), Establising objectives (penetapan
tujuan), programming (pemrogaman), scheduling (penjadwalan),
budgeting (penganggaran), developing procedure (pengembangan
prosedur) dan establishing and interpreting policies (penetapan dan
penafsiran kebijakan)
b. Model Chesswas
Proses perencanaan yang dikembang Chesswas menggunakan
langkah-langkah berikut ; memilih kebutuhan akan pendidikan,
merumuskan tujuan dan sasaran pendidikan, merumuskan kebijakan
dan menentukan prioritas, merumuskan proyek dan program, menguji
32
kelayakan, menerapkan rencana, menilai dan merevisi untuk rencana
yang akan datang.
c. Model Banghart dan Trull
Menurut Banghart dan Trull proses perencanaan pendidikan
dilaksanakan dengan langkah-langkah : a) pendahuluan, b)
mengidentifikasi permasalahan, c)analisis area masalah perencanaan,
d)menyusun konsep dan rencana, e) mengevaluasi rencana, f)
menentukan rencana, g) penerapan rencana, dan h) rencana umpan
balik.
Model perencanaan di atas masih bersifat umum yang berkaitan
dengan perencanaan pendidikan. Sehingga berlum bias mewakili dalam
perencanaan kurikulum. Berikut ini ada beberapa langkah-langkah
dilakukan dalam melaksanakan perencanaan kurikulum yang
dikemukakan oleh para ahli:
Menurut Fondation of Education Planning, Unesco (1976)
sebagaimana yang dikutip oleh Dakir (2004:117), langkah perencanaan
kurikulum yaitu :
1) tahap perencanaan
- diagnosis sitem
- formulasi tujuan
- perkiraan sumber
- perkiraan target
33
- Constraints
2) Formulasi rencana
3) Elaborasi rencana
4) Evaluasi/revisi
Langkah-langkah perencanaan kurikulum menurut Model Ralph
Tyler (1950) yang dikutip oleh Dakir (2004:117) adalah :
1. Menentukan tujuan
2. Memilih pengalaman-pengalaman pendidikan
3. Mengorganisir pengalaman pendidikan
4. mengevaluasi
Sedangkan langkah-langkah perencanaan Model. D. K. Wheller
(1967) yang dikutip oleh Dakir (2004:118) adalah :
1. Menentukan tujuan
2. Memilih pengalaman pendidikan (belajar)
3. Menentukan materi pelajaran
4. Organisasi dan intergrasi antara pengalaman belajar dan materi
pelajaran
5. Evaluasi terhadap efektifitas
7. Tahfidz al-Qur’an
a. Pengertian Tahfidz al-Qur’an
34
Tahfidz Al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu tahfidz dan Al-
Qur’an. Kata tahfidz berasal dari bahasa Arab merupakan bentuk masdar
ghoiru mim dari kata تحفیظا -یحفّظ –حفّظ yang mempunyai arti
menghafalkan, hafal. (Mahmud Yunus, 190: 105).
Menurut Abdul Aziz Abdul Rauf (2004 : 49) definisi tahfidz atau
menghafal adalah proses mengulang sesuatu, baik dengan membaca atau
mendengar. Pekerjaan apapun jika sering diulang, pasti menjadi hafal.
Pengertian al-Qur’an secara etimologi berasal dari bahasa Arab,
yaitu qoraa – yaqrau – qor’an yang berarti bacaan. Hal itu dijelaskan
sendiri oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18.
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilahmengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Makaikutilah bacaannya itu.
Sedangkan secara terminology, banyak ulama yang mendefinisikan
pengertian pengertian al- Qur’an :
a. Menurut Manna’ Khalil al-Khattan (2011; 15), Al-Qur’an adalah:
د بتالوتھبكالم هللا المنزل على محمد صلى هللا علیھ وسلم المتع
Artinya: kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhmmad SAW
dan orang yang membacanya memperoleh pahala.
35
b. Menurut kalangan pakar ushul fiqh, Abdul Wahhab Khalaf (1972:30)
al-Qur’an didefinisikan :
م المعجز المتعبد بتالوتھ المنقول بالتواتر المكتب في.منزل على نبیھ محمد صلكالم هللا ا
حف من اول سورة الفاتحة الى سورة الناسالمصا
Artinya: kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya,
Muhammad. Lahfadzya mengandung mukjizat, membacanya
mempunyai ibadah, diturunkan secara mutawattir, dan ditulis pada
mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai surat An-Nass.
Dari pengertian di atas, ada beberapa bagian yang unsure penting, yaitu:
a. Al-Qur’an adalah firman Allah
Artinya: ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). Qs. An-Najm.
Ayat ini menunjukkan bahwa Al Qur’an adalah wahyu (bisikan dalam
sukma dan isyarat yang cepat yang bersifat rahasia disampaikan oleh
Allah kepada Nabi dan Rasul) yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad SAW,
b. Al- Qur’an adalah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tidak satupun jin dan manusia yang dapat menandinginya,
meskipun mereka berkerjasama.
36
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jinberkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscayamereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia,Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yanglain". (Al-Israa: 88).
c. Al-Qur’an disampaikan secara mutawatir.
Artinya:Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran,dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(Qs.Al-Hijr:9).
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian
Al Quran selama-lamanya.
d. Membaca Al- Qur’an bernilai ibadah.
Nabi bersabda: “Aku tidak mengatakan alif laam miim satu
huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, miim satu huruf dan satu
kebaikan nilainya 10 kali lipat”. (Al Hadist).
e. Al- Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat
Jibril.
37
Artinya: Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkanAl Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan(hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk sertakabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepadaAllah)". (QS. An-Nahl: 102).
Dari definisi tahfidz dan al-Qur’an di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa tahfidz al-Qur’an adalah proses belajar al-Qur’an
dengan cara menghafal al-Qur’an 30 juz secara berangsur dengan
bimbingan para ustadz dan dengan metode tertentu.
b. Persiapan Sebelum Menghafal Al-Qur’an
Bagi ummat Islam yang hendak menghafalkan al-Qur’an,
seyogyanya memiliki persiapan-persiapan, di antaranya sebagai berikut :
a. Tekad yang kuat
Menghafal Al-Qur’an merupakan tugas yang sangat agung dan
besar. Tidak ada yang sanggup kecuali orang yang memiliki semangat
dan tekad yang kuat serta keinginan yang membaca. Allah berfirman
dalam QS. Al Isro’ 19.
“Dan Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusahake arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Makamereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”(Qur’an in word S. Al-Isro’ ayat 19).
38
b. Menentukan tujuan
Agar tujuan dapat terwujud, maka di dalam menghafalkan al-Qur’an
harus memenuhi tiga hal:
1). Tidak pernah mengeluh dalam menghafal Al-Qur’an.
2). Mempunyai seseorang sebagai teladan dalam hal menghafal Al-
Qur’an dan teladan dalam segala hal
3). Mencatat segala apa yang terjadi jika telah hafal Al- Qur’an.
c. Pentingnya tempat representatif
Orang yang menghafalkan al-Qur’an hendaknya memilih tempat
yang baik dan representatif, agar mudah proses hafalannya. Seperti
tempat yang jauh dari keramaian, berada pada tempat yang mempunyai
dinding yang putih bersih, seakan-akan mengambil tempat duduk
dibagian masjid paling depan dan menghadap dengan pandangan
mengarah ke depan.
d. Memilih waktu yang tepat
Memilih waktu yang tepat untuk Tahfidz (menghafal) adalah
salah satu metode pendidikan penting yang sangat membantu
terciptanya rasa cinta anak terhadap Al-Qur’an. Pendidik janganlah
berkeyakinan bahwa anak didik itu seperti sebuah alat yang bisa di
bolak-balik kapan saja sehingga ia melupakan kebutuhan dan tujuan
pribadinya sendiri, dengan alasan bahwa pengajaran Al-Qur’an itu di
39
atas segalanya. Berikut ini waktu yang tepat untuk menghafalkan al-
Qur’an :
1). Sepertiga malam terakhir
2). Ketika hati sedang bersemangat
3). Waktu-waktu senggang. (Bahirul Amali Herry, 2012: 38-39)
Sedangkan waktu yang perlu dihindari dalam menghafalkan al-Qur’an
adalah berikut ini:
1). Waktu sehabis begadang dan sedikit tidur
2). Sehabis olah raga atau aktifitas badan
3). Sehabis makan-makan berminyak
4). Sehabis seharian belajar intensif
5). Pada waktu-waktu sempit atau terbatas
6). Ketika psikologi anak sedang tidak baik
7). Di tengah tegangnya hubungan anak dengan orang tua.(Bahirul
Amali Herry, 2012: 34)
e. Berdo’a
Doa merupakan usaha batiniyah untuk mendapatkan pertolongan dari
Allah swt. agar upaya yang dikerjakan mendapatkan bantuan dan
kemudahan. Lebih-lebih usaha untuk menghafalkan al-Qur’an yang
terdiri dari 30 juz, 114 surat. Bagi orang yang senantiasa berdoa pada
Allah, maka akan selalu dikabulkan oleh-Nya. Firman Allah dalam
surat Al- Mu’min ayat 60 :
40
..........
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akanKuperkenankan bagimu.
f. Memiliki kekuatan motivasi dan kebenaran keinginan untuk
menghafal Al-Qur’an.
Motivasi merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu,
termasuk menghafalkan al-Qur’an. Motivasi terbagi menjadi dua
yaitu internal (dari dalam peserta didik/santri yang berupa bakat,
minat dan perhatian), dan external (motivasi dari luar peserta
didik/santri, berupa dorongan dari lingkungan keluarga, social,
metode yang digunakan guru dan fasilitas).
c. Etika Menghafal Al-Qur’an
Orang yang menghafalkan al-Qur’an mempunyai tanggung jawab
yang besar terhadap agama dan sosial, karena dirinya berproses untuk
menjaga keutuhan dan kemurnian sumber agama Islam yang pertama.
Oleh karena itu, seseorang yang menghafal Al-Qur’an hendaknya
mempunyai etika sebagai berikut :
1). Harus bertingkah laku terpuji dan mulia, yakni berakhlak Al- Qur’an
2). Melepaskan jiwanya dari segala yang merendahkan dirinya terhadap
orang-orang yang ahli keduniaan
3). Khusyu’, sakinah dan waqar
4). Memperbanyak shalat malam
41
5). Memperbanyak membaca Al-Qur’an pada malam hari, sebagaimana
banyak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW. (Ahsin W. Al
Hafidz, 48-55
d. Metode Menghafal Al-Qur’an
Menurut Ahsin W. Al-Hafidz (2005: 63-66) ada beberapa metode
yang mungkin bisa dikembangkan dalam rangka mencari alternatif terbaik
untuk menghafal Al-Qur’an, dan bisa memberikan bantuan kepada para
penghafal dalam mengurangi kepayahan dalam menghafal Al-Qur’an.
Metode itu di antaranya:
a. Metode wahdah
Yaitu menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak
dihafalnya. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca
sebanyak sepuluh kali, atau dua puluh kali atau lebih sehingga proses
ini mampu membentuk pola dalam bayangannya. Dengan demikian
penghafal akan mampu mengkondisikan ayat-ayat yang dihafalkannya
bukan saja dalam bayangannya, akan tetapi hingga benar-benar
membentuk gerak refleks pada lisannya. Setelah benar- benar hafal
barulah dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama,
demikian seterusnya hingga mencapai satu muka.
b. Metode kitabah
42
Kitabah artinya menulis. Metode ini memberikan alternatif lain
daripada metode yang pertama. Pada metode ini, orang yang hendak
menghafalkan al-Qur’an terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan
dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya.
Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya hingga lancar dan benar
bacaannya, lalu dihafalkannya.
c. Metode sima’i
Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah
mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya. Metode ini akan
sangat efektif bagi penghafal yang punya daya ingat ekstra, terutama
bagi penghafal tunanetra, atau anak-anak yang masih di bawah umur
yang belum mengenal tulis baca Al-Qur’an. Metode ini dapat dilakukan
dengan dua alternatif:
1) Mendengar dari guru pembimbingnya, terutama bagi para
penghafal tunanetra, atau anak-anak
2) Merekam terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dihafalkannya
kedalam pita kaset sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Kemudian kaset diputar dan didengar secara seksama sambil
mengikuti secara perlahan
d. Metode gabungan
Metode ini merupakan metode gabungan antara metode pertama dan
metode kedua, yakni metode wahdah dan metode kitabah. Hanya saja
43
kitabah (menulis) disini lebih memiliki fungsional sebagai uji coba
terhadap ayatayat yang telah dihafalnya.
e. Metode jama’
Yang dimaksud dengan metode ini, ialah cara menghafal yang
dilakukan secara kolektif, yakni ayat-ayat yang dihafal dibaca secara
kolektif, atau bersama-sama, dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama,
instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa
menirukan secara bersama-sama. Kedua, instruktur membimbingnya
dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan siswa mengikutinya.
Setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan baik dan benar,
selanjutnya mereka mengikuti bacaan dengan sedikit demi sedikit
mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf) dan demikian
seterusnya sehingga ayat-ayat yang sedang dihafalnya itu benar-benar
sepenuhnya masuk dalam bayangannya.
Selain metode menghafal al-Qur’an di atas, Bahirul Amali Herry,
(2012: 83-90) juga mengemukakan beberapa metode dalam menghafal al-
Qur’an, metode tersebut adalah :
a. Metode klasik
1) Talqin
Yaitu cara pengajaran hafalan yang dilakukan oleh seorang guru
dengan membaca satu ayat, lalu ditirukan sang murid secara
berulang-ulang sehingga nancap di hatinya.
44
2) Talaqqi
Yaitu proses hafalan al-Qur’an dengan cara presentasi hafalan dari
murid kepada gurunya.
3) Mu’aradhah
Yaitu proses hafalan al-Qur’an dengan cara saling membaca secara
bergantian.
Di dalam praktiknya, tidak ada perbedaan di antara ketiga cara
tersebut. Tergantung instruksi sang guru yang biasanya lebih dominan
menentukan metode. Barangkali, teknik mengajar dengan metode talqin
lebih cocok untuk anak-anak. Adapun talaqqi dan mu’aradhah, lebih
cepat untuk orang dewasa (sudah benar dan lancar membaca).
b. Metode modern
1) Mendengar kaset murattal melalui tape recorder, MP3/4, handphone.
Komputer dan sebagainya.
2) Merekam suara dan mengulangnya dengan bantuan alat-alat modern
3) Menggunakan program software Al-Qur’an penghafal
4) Membaca buku-buku Qur’anic Puzzle (semacam teka teki yang
diformat untuk menguatkan daya hafalan).
Di dalam mengaplikasikan metode-metode menghafal al-Qur’an
tersebut di atas, hendaknya memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Prinsip pertama adalah persiapan (Isti’dad) Persiapan ini mewajibkan
penghafal Al-Qur’an agar menghafalkan satu halaman Al-Qur’an setiap
45
harinya, dengan tepat dan benar serta memilih waktu yang tepat untuk
menghafal.
b. Prinsip kedua adalah pengesahan (Taskhih atau setor) Setelah
melakukan persiapan sebaik mungkin, dengan selalu mengingat-ingat
satu halaman tersebut, langkah berikutnya adalah di-taskhih-kan
(setorkan) hafalan tersebut kepada ustadz atau ustadzah.
c. Prinsip ketiga adalah pengulangan Pengulangan (muraja’ah atau
penjagaan). Prinsip ini dilakukan setelah para santri menyetor hafalan
kepada ustadz atau ustadzah. Setelah para santri menyetor, tidak
diperbolehkan untuk meninggalkan kelas (majlis tahfidz) sebelum
hafalan yang telah disetorkan diulang beberapa kali (sesuai dengan
anjuran ustadz atau ustadzah). (Yahya Abdul Fatah Az-Zamawi, 2010:
94-95)