BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Prososial
2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial
Menurut Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah
suatu perilaku prososial yang menguntungkan dimana terdapat unsur-unsur
kebersamaan, kerjasama, kooperatif, dan altruisme. Sedangkan Watson
(dalam Asih, 2010) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu
tindakan yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, tindakan
menolong yang semua dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa
mengaharapkan sesuatu untuk diri sendiri. Baron & Byrne (2005)
mengatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin
bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Sedangkan menurut Gerungan (2000) menyatakan bahwa perilaku
prososial mencakup perilaku yang menguntungkan orang lain yang
mempunyai konsekuensi sosial yang positif sehingga akan menambah
kebaikan fisik maupun psikis. Perilaku prososial meliputi segala bentuk
tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain
tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears, Freedman & Peplau,
2004). William (dalam Dayakisni, 2006) membatasi perilaku prososial
secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah
keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi
lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.
Menurut Myers (dalam Sarwono, 2002), menyatakan bahwa perilaku
prososial atau altruisme adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa
memikirkan kepentingan-kepentingan sendiri. Bringham (dalam Dayakisni,
2006), menyatakan pula bahwa perilaku sosial mempunyai maksud untuk
meyokong kesejahteraan orang lain. Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan menolong
sesama tanpa mementingkan kepentingan sendiri demi mendukung
kesejahteraan orang lain.
2.1.2 Aspek-aspek Perilaku Prososial
Terdapat beberapa macam aspek-aspek perilaku prososial. Menurut
Mussen dkk (dalam Dayakisni, 2006) aspek-aspek perilaku prososial antara
lain :
1. Berbagi (sharing) yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan
orang lain dalam suasana suka maupun duka.
2. Kerjasama (cooperative) yaitu kesediaan untuk kerjasama dengan
orang lain demi tercapai suatu tujuan kooperatif dan biasa saling
menguntungkan, saling memberi, saling menolong, dan
menenangkan.
3. Menyumbang (donating) yaitu kesediaan untuk memberikan secara
sukarela sebagian barang yang dimiliki kepada orang yang
membutuhkan.
4. Menolong (helping) yaitu kesediaan menolong orang lain yang
sedang dalam kesulitan meliputi membantu orang lain atau
menawarkan sesuatu yang menunjang kegiatan orang lain.
5. Kejujuran (honesty) yaitu kesediaan untuk berkata jujur dan tidak
berbuat curang terhadap orang lain.
6. Kedermawanan (generosity) yaitu kesediaan memberi secara
sukarela untuk orang yang membutuhkan.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mendasari Perilaku Prososial
Setiap perilaku yang muncul pada diri individu selalu ada yang
melatarbelakangi, begitu juga bila seseorang melakukan perilaku prososial.
Menurut Staub (dalam Dayakisni, 2006) faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku prososial yaitu :
a. Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari
kehilangan sesuatu, misal ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau
takut dikucilkan.
b. Personal values and norms: ada nilai-nilai dan norma sosial yang
diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan
sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan
prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan
serta ada norma timbal balik.
c. Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain.
Sedangkan Sears (dalam Dahriani, 2007) menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku prososial dengan lebih spesifik, antara lain :
a. Faktor Situasional, meliputi :
1) Kehadiran Orang Lain
Individu yang sendirian lebih cenderung memberikan reaksi
jika terdapat situasi darurat ketimbang bila ada orang lain yang
mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak orang yang hadir,
semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar
memberikan pertolongan. Faktor ini sering disebut dengan efek
penonton (bystander effect). Individu yang sendirian menyaksikan
orang lain mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai
tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi terhadap situasi
tersebut.
2) Kondisi Lingkungan
Keadaan fisik lingkungan juga mempengaruhi kesediaan
untuk membantu. Pengaruh kondisi lingkungan ini seperti cuaca,
ukuran kota, dan derajat kebisingan.
3) Tekanan Waktu
Tekanan waktu menimbulkan dampak yang kuat terhadap
pemberian bantuan. Individu yang tergesa-gesa karena waktu
sering mengabaikan pertolongan yang ada di depan.
b. Faktor Penolong, meliputi :
1) Faktor Kepribadian
Adanya ciri kepribadian tertentu yang mendorong individu
untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan
tidak dalam situasi yang lain. Misal, individu yang mempunyai
tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih
cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi
hanya bila orang lain menyaksikan. Individu tersebut dimotivasi
oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga
berperilaku lebih prososial hanya bila tindakan itu diperhatikan.
2) Suasana Hati
Individu lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila
berada dalam suasana hati yang baik, dengan kata lain, suasana
perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk
melakukan perilaku prososial.
3) Rasa Bersalah
Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah bisa
menyebabkan individu menolong orang yang dirugikan, atau
berusaha menghilangkan dengan melakukan tindakan yang baik.
c. Orang yang membutuhkan pertolongan, meliputi :
1) Menolong orang yang disukai
Rasa suka awal individu terhadap orang lain dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan.
Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan
pada orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang
memiliki daya tarik fisik mempunyai kemungkinan yang lebih
besar untuk menerima bantuan. Perilaku prososial juga
dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti yang terlihat
dalam kehidupan sehari-hari. Misal, individu lebih suka
menolong teman dekat daripada orang asing.
2) Menolong orang yang pantas ditolong
Individu membuat penilaian sejauh mana kelayakan
kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah orang tersebut
layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut
dengan cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbul
kebutuhan orang tersebut. Individu lebih cenderung menolong
orang lain bila yakin bahwa penyebab timbul masalah berada di
luar kendali orang tersebut.
2.1.4 Karakteristik Kepribadian yang Mendorong Perilaku Prososial
Adapun karakteristik kepribadian yang mendorong seseorang perilaku
prososial (dalam Marisa, 2010), antara lain :
1. Empati, individu yang menolong memiliki rasa empati yang lebih
tinggi daripada mereka yang tidak menolong.
2. Komponen kognitif
3. Kebutuhan untuk disetujui
4. Kepercayaan interpersonal, individu yang memiliki kepercayaan
interpersonal yang tinggi akan terlibat dalam lebih banyak tingkah
laku prososial daripada individu yang tidak mempercayai orang lain.
5. Emosi yang positif
6. Sosialibilitas dan keramahan
7. Tidak agresif
8. Percaya akan dunia yang adil, individu yang menolong
mempersepsikan dunia sebagai tempat yang adil dan percaya
bahwa tingkah laku yang baik akan mendapat pahala dan tingkah
laku yang buruk mendapat hukuman
9. Tanggung jawab sosial, individu yang menolong mengekspresikan
kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk
melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang membutuhkan.
10. Locus of Control Internal, kepercayaan individual dimana individu
dapat memilih untuk bertingkah laku dalam cara yang
memaksimalkan hasil akhir yang baik dan meminimalkan yang
buruk. Orang yang menolong mempunyai locus of control internal
yang tinggi.
11. Tidak adanya egosentris, individu yang menolong memiliki sifat
egosentris yang rendah.
12. Generativitas atau komitmen pada diri sendiri
13. Bukan Machiavellian, dimana individu tidak merujuk pada orang-
orang yang dikarakteristikan oleh ketidakpercayaan, sinisme,
egosentris, dan kecendrungan untuk memanipulasi orang lain.
14. Kesediaan untuk bertindak.
2.1.5 Motivasi Untuk Bertindak Prososial
Terdapat konsep teori yang berusaha menjelaskan motivasi seseorang
untuk bertindak prososial (dalam Dayakisni, 2006):
1. Empathy-Altruism Hypothesis
Dikemukakan Fultz, Batson, Fortenbach, dan McCarthy (1986)
yang menyatakan bahwa tindakan prososial semata-mata
dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si
penolong). Tanpa ada empati, orang yang melihat kejadian darurat
tidak akan melakukan pertolongan, jika individu dapat mudah
melepaskan diri dari tanggungjawab untuk memberikan
pertolongan.
2. Negative State Relief Hypothesis
Perilaku prososial dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi
perasaan negatif yang ada dalam diri calon si penolong, bukan
karena ingin menyokong kesejahteraan orang lain
3. Empathy Joy Hypothesis
Tindakan prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika
seseorang menolong. Ini terjadi jika seseorang belajar tentang
dampak dari tindakan pososial itu. Sebagaimana pendapat Bandura
(1977) bahwa orang dapat belajar melakukan tindakan menolong
dapat memberi hadiah bagi diri sendiri, yaitu merasa bahwa diri
sendiri baik.
2.2 Internal Locus Of Control
2.2.1 Pengertian Internal Locus Of Control
Konsep locus of control pertama kali dikembangkan JB Rotter pada
tahun 1966 yang memberikan gambaran pada keyakinan seseorang
mengenai sumber penentu perilaku. Dalam hal ini Rotter menegaskan
tentang konsep locus of control, bahwa locus of control bukanlah sebuah
typology atau proposition, karena locus of control adalah pengharapan
umum yang akan memprediksi perilaku seseorang dari berbagai keadaan.
Rotter mendefinisikan locus of control sebagai :
Locus of control refers to the extent to which individuals believe that
they can control events that affect them.
Locus of control mengacu pada sejauh mana individu percaya bahwa
individu dapat mengontrol peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi.
Individu yang memiliki locus of control eksternal menyakini bahwa
perilaku individu tidak akan membuat perbedaan apapun dalam penguatan
yang diterima, tidak akan melihat nilai dalam melakukan usaha untuk
memperbaiki situasi. Individu memiliki kepercayaan kecil tentang
kemungkinan pengontrolan kehidupan diri sendiri di masa kini dan akan
datang.
Sedangkan individu yang terorientasi secara internal percaya bahwa
individu memiliki kontrol yang kuat atas kehidupan sendiri, dan individu
berperilaku menurut hal itu. Rotter (1966) riset menunjukkan bahwa
individu melakukan usaha pada tingkat tinggi dalam hal tugas-tugas
laboratorium, dan tidak begitu rentan terhadap beberapa usaha untuk
mempengaruhi, menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam skill dan
prestasi personalnya, dan lebih waspada dengan petunjuk-petunjuk
lingkungan yang dapat individu gunakan untuk memedomani perilaku.
Selain itu, individu yang memiliki internal locus of control lebih siap untuk
mengambil tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan daripada individu
orientasi-eksternal. Terdapat juga beberapa bukti yang secara tentatif
menunjukkan bahwa individu orientasi-internal bisa jadi memperoleh
kesehatan mental yang lebih baik.
Dalam mengungkap kecenderungan pusat kendali (locus of control)
seseorang itu termasuk dalam internal atau external maka Rotter
menciptakan skala yang dinamakan skala Internal-External (Skala I-E).
Levenson (1972) memperbaiki skala I-E kemudian skala I-E di susun
kembali dan di beri nama skala Internal, Powerful Others and Chance
(Skala IPC-Locus of control).
Levenson (dalam Azwar, 1999) membagi pusat pengendali (locus of
control) dalam skala IPC ke dalam tiga faktor yaitu : 1) Internal (I) Internal
merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian dalam hidup
ditentukan terutama oleh kemampuan diri sendiri. 2) Powerful Other (P)
Powerful Other merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian
dalam hidup ditentukan terutama oleh orang lain yang lebih berkuasa, dan
3) Chance (C) Chance merupakan keyakinan seseorang bahwa kejadian-
kejadian dalam hidup ditentukan terutama oleh nasib, peluang, dan
keberuntungan.
2.2.2 Apek-Aspek Locus Of Control
Konsep tentang locus of control yang dikembangkan JB Rotter
1966 (dalam Tanuwijaya, 2010) memiliki konsep dasar, antara lain :
1. Potensi Perilaku (Behaviour Potential)
Potensi perilaku mengacu pada kemungkinan bahwa perilaku
tertentu akan terjadi dalam situasi tertentu. Kemungkinan itu ditentukan
dengan refrensi pada penguatan atau rangkaian penguatan yang bisa
mengikuti perilaku tersebut.
2. Pengharapan (Expectancy)
Pengharapan merupakan kepercayaan individu bahwa
berperilaku secara khusus pada situasi yang diberikan akan diikuti oleh
penguatan telah diprediksikan. Kepercayaan ini berdasarkan pada
probabilitas atau kemungkinan penguatan yang akan terjadi.
3. Nilai Penguatan (Reinforcement Value)
Merupakan penjelasan mengenai tingkat pilihan untuk satu
penguatan (reinforcement) sebagai penganti lain. setiap orang
menemukan penguat yang berbeda nilai pada aktivitas yang berbeda-
beda. Pemilihan penguatan ini berasal dari pengalaman yang
menghubungkan penguatan masa lalu dengan yang terjadi saat ini.
Berdasarkan hubungan ini, berkembang pengharapan untuk masa depan.
Oleh karena itu, terdapat hubungan antara konsep pengharapan
(expectancy) dengan nilai pengharapan (reinforcement value).
4. Situasi Psikologi (Psychological Situation)
Merupakan hal yang pening dalam menetukan perilaku. Rotter
percaya secara terus menerus seseorang akan memberikan reaksi pada
lingkungan internal maupun eksternal. Seseorang tidak hanya merespon
stimulus eksternal saja tetapi juga kedua lingkungan. Penggabungan ini
yang disebut situasi psikologis, dimana situasi dipertimbangkan secara
psikologis karena seseorang mereaksi lingkungan berdasarkan pola-
pola persepsi terhadap stimulus eksternal.
2.2.3 Karakteristik Pribadi Dalam Locus Of Control
Perbedaan karakterstik pribadi yang memiliki internal locus of control
dengan eksternal locus of control menurut Crider (dalam Wulandari, 2006),
yaitu :
1. Internal Locus Of Control
a. Suka bekerja keras
b. Memiliki inisiatif yang tinggi
c. Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah
d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin
e.Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika
ingin berhasil
2. Eksternal Locus Of Control
a. Kurang memiliki inisiatif
b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha
dan kesuksesan.
c. Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor
luarlah yang mengontrol
d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.
2.3 Hubungan Antara Internal Locus Of Control Dengan Perilaku Prososial
Salah satu karakteristik kepribadian penolong yang mendorong
tingkah laku prososial adalah internal locus of control (Baron & Bryne,
2005). Seseorang yang memiliki internal locus of control meyakini bahwa
individu mampu mengontrol hal-hal yang terjadi dalam kehidupan.
Sedangkan, individu yang memiliki eksternal locus of control yakin bahwa
orang lain atau faktor-faktor dari luar seperti nasib, keberuntungan,
menentukan apa yang akan terjadi pada diri sendiri. Jika internal locus of
control dikaitkan dengan perilaku prososial pada siswa, maka siswa yang
meempuyai internal locus of control cenderung yakin bahwa mampu
memberikan pertolongan kepada yang sedang memerlukan bantuan.
Sedangkan pada siswa yang mempuyai eksternal locus of control
berkeyakinan bahwa apapun yang terjadi di luar diri sendiri lebih ditentukan
faktor-faktor dari luar. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ervina (2010) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara internal locus
of control dengan perilaku prososial. Selain itu, sebuah studi yang dilakukan
oleh Midlarsky dan Midlarsky (1973) telah menunjukkan bahwa internal
locus of control memfasilitasi perilaku menolong
2.4 Penelitian yang Relevan
Penelitian Marisa (2010) antara kecerdasan emosi, internal locus of
control, dan gender dengan perilaku prososial siswa SMA N 1 Kupang,
menemukan signifikasi 0,124 lebih dari 0,05 ( ρ < 0,05). Temuan tersebut
diartikan bahwa tidak ada hubungan yang signfikan antara internal locus of
control dengan perilaku prososial (signifikansi 0,124 ρ > 0,05). Sedangkan
dari penelitian Ervina (2010) yang berjudul hubungan antara locus of control
internal dengan perilaku prososial pada remaja Panti Asuhan Muhammadiyah
Kediri menemukan nilai signifikasi 0,001 kurang dari 0,05 ( ρ < 0,05), yang
berarti ada hubungan yang signifikan antara locus of control internal dengan
perilaku prososial. Selain itu, penelitian Rif’atul (2012) hubungan antara
locus of control dengan perilaku prososial pada mahasiswa Fakultas Psikologi
menemukan signifikasi 0,000 kurang dari 0,05 ( ρ < 0,05), yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan
perilaku prososial.
2.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara internal locus of
control dengan perilaku prososial pada siswa kelas XI IPS di
SMA Kristen 1 Salatiga.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara internal locus of control
dengan perilaku prososial pada siswa kelas XI IPS di SMA
Kristen 1 Salatiga.