13
BAB II
PENDETA GKJ (GEREJA KRISTEN JAWA)
2.1 PENDETA
2.1.1 SIAPA ITU PENDETA?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendeta adalah : (1) orang
pandai; (2) pertapa (dalam cerita-cerita lama); (3) pemuka atau pemimpin
agama atau jemaah (dalam agama Hindu atau Protestan), rohaniawan, guru
agama.1 Oleh sebab itu, pendeta-pendeta gereja adalah orang-orang yang
kepada mereka, Allah telah menempatkan kewenangan dalam gereja.2
Hal itu disebabkan karena pendeta merupakan seorang hamba Tuhan dan
pengikut Kristus.3 Selain itu juga, pendeta merupakan seorang pemimpin
jemaat, pelayan firman sekaligus juga penilik. Ia merupakan pekerja yang
diupah namun juga “pekerja mandiri”. Sebagai pelayan Firman yang
terpanggil dan sudah terdidik secara teologis, pendeta melakukan banyak
tugas yang diketahui sebagai fungsi-fungsi pastoral.4
Itulah sebabnya, pendeta disebut sebagai tokoh spiritual yang matang
imannya dan sempurna perilakunya sehingga dalam kehidupan sehari-hari
tidak banyak menghadapi masalah seperti yang dihadapi oleh warga jemaat,
sehingga pendeta menjadi teladan dan panutan, dimana ia dtempatkan untuk
selalu rela menderita. Sebab itu ia tidak boleh mengeluh atau memasang
tuntutan menyangkut kesejahteraan dirinya. Ia harus menerima apa adanya.5
Dari pengertian-pengertian di atas, penulis ingin mendefinisikan pendeta
adalah seseorang yang telah menerima jabatan dari suatu lembaga gereja
1 Pusat Bahasa.
2 Wollebius, Johannes, Compendium Theologiae Christianae, dalam Reformed Dogamtics, Edited
and translated by John W. Beardslee III, 26-262, (Grand Rapids : Baker House, 1977), 471. 3 Pdt. G. D. Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu?, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2002), 25.
4 Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2006), 7.
5 L. J. Oosterom, Siapa Memendetai Pendeta? Tentang Perlunya Penggembalaan kepada Pendeta
Beserta Keluarganya, Ed. Dr. Andar Ismail, dalam buku Mulai dari Musa dan Segala Nabi
(Beginning With Moses and All The Prophets), (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia), 162.
14
dengan cara ditahbiskan setelah melewati masa vikariat pada gereja tertentu
untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan
gereja.
2.1.2 PENDETA DALAM JABATAN GEREJA
Jabatan kependetaan telah ditetapkan oleh Allah untuk menjalankan
pekerjaan Kristus sendiri. Jabatan kependetaan itu boleh menempati beberapa
bentuk atau struktur, misalnya, bishop, praeses, pastor, pendeta, imam, tetapi
tugas dan kuasa tetap sesama, yaitu memberitakan Firman Allah,
menggembalakan kawanan domba Allah dan melayankan Sakramen sesuai
dengan pesan Kristus. Gereja dapat menetapkan bentuk pelayanan yang lain
untuk mendukung pelayanan Firman tersebut. Tetapi pelayanan-pelayanan
yang lain itu hanyalah jabatan gerejawi yang ditetapkan oleh gereja menurut
keadaan dan kebutuhan setempat, sedangkan jabatan pelayanan Firman dan
Sakramen (jabatan kependetaan) telah ditetapkan oleh Kristus.6
Oleh sebab itu, ada beberapa peranan pendeta di dalam gereja, sebagai
berikut : (a) Seorang pendeta adalah pengajar umum di jemaat; (b) Seorang
pendeta juga sebagai pengajar khusus; (c) Seorang pendeta dalam pelayanan
pendidikan agama Kristen di jemaat melibatkan dia dalam kerjasama dengan
majelis jemaat agar dilaksanakanlah kesempatan belajar untuk warga dari
semua golongan umur; (d) Peranan pedagogis seorang pendeta dipenuhi
dengan jalan mengklaim identitasnya sebagai seorang pelajar seumur hidup;
(e) Peranan pendeta sebagai seorang pembayang atau penglihat masa depan.7
2.1.3 KARAKTERISTIK PENDETA
a. Mempunyai Visi dan Misi
Pendeta biasa disebut sebagai pemimpin8 Kristen. J. Robert Clinton
memberikan definisi berikut, “Seorang pemimpin Kristen adalah seorang
6 Pdt. G. D. Dahlenburg, op.cit., 17.
7 Prof. Dr. Robert R. Boehlke, Pendeta dan Peranan Pedagogisnya, dalam buku Tabah Melangkah
(Ulang Tahun ke-50 STT Jakarta), (Jakarta : Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1984), 146-155. 8 “Pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor , pembina, panutan, pembimbing,
pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua -tua , dan sebagainya. Prof. Dr. H.
Veithzal Rivai, S.E., M. M., MBA, Mayjen TNI Bachtiar, S. IP., Brigadir Jenderal Pol. Drs. Boy Rafli
15
yang mendapat kapasitas dan tanggung jawab dari Allah untuk memberi
pengaruh kepada kelompok umat Allah tertentu untuk menjalankan
kehendak Allah bagi kelompok tersebut”.9 Definisi ini menaruh perhatian
pada inisiatif Allah dalam panggilan kepemimpinan, sesuatu yang sangat
ditekankan oleh Kitab Suci. Para pemimpin di Gereja harus
'mencerminkan kehambaan Tuhan Yesus‟ untuk mewakili otoritas yang
sah di gereja.10
(That leaders in the church must „reflect the servanthood of the Lord Jesus‟ in order to represent a legitimate authority in the church).
Jika suatu gereja ingin mengalami pertumbuhan dan pengembangan,
maka harus didasarkan dengan pola kepemimpinan alkitabiah; kesadaran
yang lebih besar dari karunia rohani dari semua orang percaya;
ketergantungan individu pada pendeta sebagai spiritual utama pemimpin di
gereja.11
(Several factors contributed to this development: a renewed sensitivity to the biblical pattern of multiple leadership; greater awareness of the spiritual giftedness of all believers; caution about reliance upon individual pastors as the primary spiritual leaders in the church.
Oleh sebab itu seorang Pendeta harus memiliki karakteristik sebagai
seorang pemimpin. Pemimpin (leader) berbeda dengan manager. Sebuah
organisasi tidak bisa maju jika dipimpin dengan gaya manager.
Sebaliknya, organisasi tidak bisa sukses jika dipimpin dengan gaya
pemimpin (leader) karena tidak ada yang mengelola sistem organisasi.
Adapun perbedaan gaya pemimpin (leader) dengan gaya manager, yaitu :
Amar, Pemimpin dan Kepemimpinan Dalam Organisasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 1. 9 J. Robert Clinton, Leadership Emergence Theory, Pasadena, Calif. : Barnabas.
10http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=a9h&AN=108334754&lang=id&site=e
host-live, download tanggal 9 Oktober 2015, Heidebrecht, Doug, Preacher, Teacher, Pastor, and Elder as Authorities in the Church: McClendon's Portrayal of God's Authority and Canadian
Mennonite Brethren, Baptistic Theologies. Autumn2015, p.31. 11
Bruce Guenther and Doug Heidebrecht, ‘The Elusive Biblical Model of Leadership’, Direction
28,no. 2 (1999), pp. 161-162; Toews, ‘The Church Growth Theory and Mennonite Brethren Polity’,p.106; and Toews, A Pilgrimage of Faith, pp. 225-226. Cf. Herbert Neufeld, ‘The Theology and Practical Model of Eldership in Church Governance’ (paper presented to the General
Conference Board of Reference and Counsel, December 1, 1988), Vol. 3, Fld. 8, CMBS, Winnipeg; and John E. Toews, ‘A Response to Herb Neufeld Paper on Eldership’ (paper presented to the General Conference Board of Reference and Counsel, November 27 , 1989), Vol. 3, Fld. 10, CMBS,
Winnipeg.
16
(1) Berdasarkan perbedaan fungsi : gaya pemimpin (leader) lebih
berpandangan jauh ke depan dan dengan perencanaan yang lebih bersifat
jangka panjang, sedangkan gaya manager lebih memfokuskan
perhatiannya pada hal-hal yang bersifat jangka pendek; (2) Berdasarkan
perbedaan perilaku : seorang pemimpin (leader) dalam bekerja ingin
berbuat sesuatu melebihi dari harapan yang ditetapkan dan mencari
terobosan demi berbuat melebihi ekspektasi, sedangkan gaya manager
hanya mengerjakan tugas yang sudah ditetapkan, lalu bekerja sesuai
dengan ketentuan dan prosedur yang sudah digariskan; (3) Berdasarkan
perbedaan minat : gaya pemimpin (leader) melihat peraturan sebagai alat
pengatur kebebasan untuk berani melakukan terobosan dengan
membengkokkan aturan (bending the rules) demi pencapaian tujuan
organisasi (tidak harus kaku karena fungsi peraturan adalah memfasilitasi
pelaksanaan tugas agar tujuan organisasi tercapai), sedangkan gaya
manager dalam melaksanakan tugasnya lebih berfokus pada kondisi
internal organisasi, lebih memperhatikan penyelesaian masalah jangka
pendek daripada memikirkan masa depan, sehingga ketika berhadapan
dengan konflik lebih memilih menghindari konflik daripada
menyelesaikan konflik yang terjadi; (4) Berdasarkan perbedaan dalam
melihat kekuasaan (power) : gaya pemimpin (leader) menempatkan
sumber kekuasaannya bukan pada posisi jabatan sebagai pemimpin tetapi
pada keahlian dan intelektualitas yang dimilikinya dimana kekuasaan yang
dimilikinya digunakan secara fleksibel untuk memajukan organisasi,
sedangkan gaya manager melihat dirinya sebagai pemegang kekuasaan
dimana memperlakukan karyawan sebagai bawahan yang harus mengikuti
perintah; (5) Berdasarkan perbedaan dalam pola pikir (mindset) : gaya
pemimpin (leader) lebih menekankan pada aspek intuisi dalam
menghadapi pekerjaannya sebagai pemimpin, sedangkan gaya manager
lebih berfokus pada tugas analitis dan mencari sebuah solusi yang terbaik
dimana perhatiannya hanya pada sebuah keputusan dari segi benar dan
17
salah.12
Karakteristik pemimpin paling penting yang membedakannya dengan
non pemimpin adalah kejelasan tujuan/visi. Visi adalah sikap mental
seorang pemimpin yang melihat bagaimana organisasi di masa mendatang.
Hasil dari visi adalah penetapan sasaran dan pengembangan strategi.13
Sedangkan misi muncul dari hati Allah itu sendiri, dan
dikomunikasikan dari hati-Nya kepada hati kita.14 Hal ini dimaksudkan
bahwa Allah sendiri yang mempunyai sebuah misi. Allah mempunyai
sebuah maksud dan sasaran bagi seluruh ciptaan-Nya. Semua misi kita
mengalir dari misi Allah yang ada sebelumnya.15 Ada banyak karakteristik
lain, namun visi adalah prasyarat utama yang harus ada. Seseorang bisa
saja memiliki 50 karakteristik kepemimpinan. Namun, tanpa visi, ia tetap
tidak dapat disebut sebagai seorang pemimpin. Oleh sebab itu, seorang
pemimpin haruslah pertama kali mengembangkan semangat dan mental
yang positif untuk mencapai harapan yang dikehendaki. Mental positif ini
yang disebut visi, mungkin mirip mimpi yang kadang juga disebut sebagai
tujuan atau misi.16 Celakanya banyak orang yang mengaku sebagai
pemimpin namun tidak memiliki arah yang jelas.17
b. Memiliki Keteladanan yang Dapat Dipercaya
Keteladanan adalah salah satu yang menentukan keberhasilan pelayan.
Pelayan yang baik akan didengar dan diikuti warga Gereja. Pelayan selalu
dianggap panutan. Dalam keteladanan pendeta, jemaat memiliki tokoh
untuk mengidentifikasi diri dan akan memperkuat keterikatan warga
jemaat pada gerejanya. Seorang hamba tidak pernah memikirkan hal-hal
lain yang muluk. Seorang hamba selalu memikirkan pekerjaannya;
bagaimana semua dikerjakan dengan tepat. Yesus adalah model pelayanan
12
Djamaludin Ancok, Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi, (Jakarta : Erlangga, 2012), 122-126. 13
Alan E. Nelson, Spirituality & Leadership, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2002), 214-215. 14
John Stott, The Contemporary Christian : An Urgent Plea for Double Listening, (Leicester : IVP, 1992), 335. 15
Christopher J. H. Wright, ed. Jonathan Lunde, Misi Umat Allah, (Jakarta : Literatur Perkantas, 2010), 26-27. 16
Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan yang Melayani (Tinjauan Teoritis dan Contoh Penerapan), (Salatiga : Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, 2004), 9. 17
Sendjaya, Kepemimpinan Konsep Karakter Kompetensi Kristen , (Yogyakarta : Kairos Books,
2004), 36.
18
yang bersedia taat sampai mati dan oleh karena itu Ia ditinggikan di atas
segala nama.
Pendeta/pelayan mesti terus-menerus mengembangkan pelayanannya
atau melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Apabila ia mengabaikan
tugas sebagai hamba yang patut diteladani, orang akan mengabaikan dia
atau yang sangat mungkin, orang lain tampil sebagai pelayan menggeser
peranannya. Oleh karena itu, pendeta/pelayan diharapkan menjaga dirinya
agar tetap dapat diandalkan oleh umat.18
c. Membangun Persahabatan
Seringkali seorang pendeta menuntun kita untuk menceritakan kabar
baik pada setiap orang setiap saat, terlepas apakah kita mengenal orang
tersebut dengan baik atau tidak dan apakah percakapan rohani yang
terjalin cocok atau tidak. Kita harus membangun persahabatan, berbicara
pada orang asing, mempelajari Alkitab dengan orang yang belum percaya,
membagi berita Injil, mengundang mereka menerima Yesus melakukan
upaya tindak lanjut. Bagaimana jika kita melihat diri kita sebagai
kolaborator daripada sebagai aktifis; mencari petunjuk dimanakah Allah
telah bekerja, mengharapkan Allah untuk mendorong kita selalu berada
dalam sikap doa kapanpun ketika kita sedang bersama dengan orang-orang
lain di luar kekristenan? Penginjilan dapat menjadi petualangan untuk
menemukan sesuatu daripada sebuah beban.19
d. Membangun kekeluargaan
Seorang pendeta ketika sedang mengkabarkan Injil, biasanya bermodel
salesman mengarahkan kita untuk berpikir sebagai salesman-salesman
yang secara individual berkeliling dari rumah ke rumah dari dari orang ke
orang. Hal yang lebih penting daripada setiap kita melakukan hal yang
sama dalam bersaksi kepada orang lain adalah masing-masing kita
melakukan bagian kita yang unik dalam komunitas. Menjadi bagian yang
unik dalam komunitas, berarti kita menganggap komunitas itu sebagai
bagian keluarga kita sendiri.
18
Ibid, 145. 19
Rick Richardson, Reimagining Evangelism (Merombak Citra Penginjilan), (Surabaya : Literatur
Perkantas Jawa Timur, 2006), 28-32.
19
e. Mau Berkunjung
Seorang pendeta biasanya berfokus pada agenda dan menyampaikan
semua materi yang dimiliki dan memperoleh suatu kesepakatan. Seringkali
dengan mudahnya kita mengasumsikan bahwa jika kita belum
membagikan seluruh materi dan menantang orang untuk berkomitmen,
maka kita belum menginjili. Namun, dengan percakapan rohani dengan
teman memperindah persahabatan itu sendiri dan memberi kesukaan
dalam tiap percakapan spiritual. Jadi, kita mempelajari seni persahabatan
spiritual dan percakapan yang alami. Percakapan spiritual akan terwujud
jika seorang pendeta mau berkunjung.
f. Menjadi Teladan
Seorang pendeta biasanya memusatkan perhatian pada kebenaran-
kebenaran atau keyakinan tertentu yang hendak dikomunikasikan. Orang-
orang pada masa kini lebih memperhatikan kenyataan bersifat pengalaman
dengan Allah daripada dogma-dogma ataupun keyakinan-keyakinan.
g. Mengalami Perjumpaan Secara Pribadi dengan Tuhan
Biasanya seorang pendeta menempatkan Yesus dalam sebuah kotak
dan berbicara tentang Yesus dalam cara yang sangat tidak menarik,
dimana mengulas topik tentang Yesus dan keuntungan memperoleh-Nya
setiap kali memungkinkan. Sehingga penerimaan kabar dari pendekatan
salesman ini tidak tahu kapan Yesus akan muncul. Mungkin saja setiap
saat, namun mereka selalu seakan-akan tahu seperti apa Yesus. Ia baik,
menyelamatkanmu, mencukupkanmu, dan menjadi sumber jawaban atas
segala pertanyaan. Akan tetapi, model yang baik adalah membahas Yesus
secara alami dan dengan cara yang tidak klise. Yesus mengejutkan orang
bukan karena kemunculannya yang tiba-tiba, namun dengan menjadi
berbeda dari apa yang diharapkan orang atas kemunculannya.20
h. Menjadi Saksi Kristus
Kebanyakan pendeta yang menekankan bagaimana kita diampuni dari
dosa-dosa kita dan menuju ke surga setelah kita meninggal. Namun
20
Ibid, 28-32.
20
sebenarnya, bukan itu yang menjadi fokus Yesus, walaupun itu adalah
bagian dari pesannya. Pesan Yesus yang terutama adalah kerajaan dan
pemerintahan Allah sedang terjadi. Pemerintahan Allah adalah aksi Allah
untuk mengatur segala sesuatu menjadi benar dan membuat orang serta
dunia bekerja sebagaimana mereka dimaksudkan untuk bekerja.
i. Mengajak jemaat mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui ziarah
hidupnya
Kebanyakan pendeta menggunakan model lama dimana berbicara
tentang perubahan keyakinan telah memaksa kita untuk menarik garis
dalam rangka mengetahui siapa yang di dalam dan siapa yang di luar; dan
kita mencari sebuah peristiwa, sebuah keputusan, yang membedakan
orang-orang yang berada di luar dengan orang-orang yang berada di
dalam. Sedangkan model yang baru, sebuah model yang berdasarkan citra
sebuah perjalanan, memeriksa kita semua sebagaimana kita sedang
bergerak entah menuju tujuan ataukah justru menjauhi tujuan tersebut.
2.1.4 TIPE KEPEMIMPINAN PENDETA
Yang dimaksud dengan tipe kepemimpinan pendeta di sini, yakni gaya
atau corak tindakan memimpin yang ditempuh oleh pendeta dalam
menjalankan tugas pelayanannya di jemaat. Tipe kepemimpinan yang dipakai
dalam penelitian didasarkan atas pembagian tipe kepemimpinan, yang terdiri
dari enam tipe kepemimpinan sebagai berikut :
a. Tipe kepemimpinan otokratis (autocratic leadership)
Tipe kepemimpinan ini dimana setiap langkah aktivitas dan teknis
diperintahkan oleh pemimpin satu persatu. Pemimpin biasanya
mendiktekan tugas dan kerja lainnya untuk setiap anggota, semua aktifitas
bawahan harus dengan petunjuk pemimpin.21 Di sini pemimpin
digambarkan sebagai seorang ahli yang acuh tak acuh, dimana pemimpin
bertindak berdasarkan pada kekuasaan mutlak dalam memimpin tingkah
laku anggota kelompok mengarah ke tujuan yang ditetapkan oleh si
21
H. Alwi Wahyudi, S. H., M.Hum., Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara , (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2014), 101.
21
pemimpin. Segala keputusan berada di tangan satu orang, yakni si
pemimpin sekaligus menganggap diri lebih mengetahui daripada yang lain
dalam kelompok.22
b. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistic leadership)
Tipe kepemimpinan ini yang memberikan pemeliharaan kepada kita, jika
kita mau menerima saja kontrol yang ramah. Pemimpin paternal akan
menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut bagi kelompok, namun
hanya bila sesuai dengan gagasan pemimpin tentang apa yang yang
terbaik, dan hanya sejauh kelompok mengakui dan menerima
ketidakberdayaan sendiri. Dalam tipe kepemimpinan seperti ini tidak ada
kebersamaan.23
c. Tipe kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership)
Kepemimpinan ini berdasarkan pada ketaatan (kepercayaan) pada
anugerah ilahi (devine power) sebagai suatu kekuatan secara luar biasa
yang hanya dimiliki oleh si pemimpin di luar kemampuan orang-orang
biasa.24 Pemimpin diyakini memiliki kekuatan mistis, sehingga mampu
untuk menguasai massa dan kekuatan untuk membuat massa taat dan
memperhatikannya secara membuta. Max Weber menggunakan istilah
“kharisma” untuk menjelaskan perkembangan kekuasaan di sekitar
kepribadian yang bersifat kepahlawanan. Jadi para pengikut menganggap
pemimpinnya sebagai pembawa misi khusus dengan dibekali kemampuan
dan identitas yang hampir menyerupai Tuhan.25
Tipe kepemimpinan ini dilaksanakan dalam hubungan dengan rakyat,
dimana memilik empat ciri, yaitu : (1) pemimpin diakui memiliki kualitas
istimewa, kadang-kadang dianggap superhuman; (2) pengikut secara tidak
kritis menerima pendapat pemimpin sebagai kebenaran; (3) pengikut
memberi ketaatan mutlak kepada pemimpin; (4) pengikut memperlihatkan
22
Albert A. Branos, Ph. D., Psychology, The Science of Behavior, (Boston, Atlanta, Rockleigh NY, Dallas, Chicago, Belmont Calif. Allyn and Bacon, Inc., 1965), 317. 23
Michael A. Cowan, Kepemimpinan Dalam Jemaah, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), 53. 24
Will iam Albig, Modern Public Opinion, (New York, Toroato, London, McCraw-Hill Book Company, Inc., 1956), 120. 25
James V. Daunton, Jr., Lebel Leadership, (New York, London : The Free Press, Collier-Macmillan
Publishers, 1973), 1.
22
komitmen emosional terhadap pemimpin dan misinya.26
d. Tipe kepemimpinan demokratis (democratic leadership)
Dalam tipe kepemimpinan ini, sang pemimpin bertindak sebagai seorang
anggota kelompok dalam menetapkan tujuan, memilih cara melakukan,
dan membagi-bagi tugas kepada para pegawai. Bersama-sama anggota
kelompok pemimpin bertanggung jawab untuk mencapai sukses
organisasi. Di dalam corak kepemimpinan ini, semua anggota dalam
kelompok boleh turut berperanserta waktu mengambil keputusan
penting.27
e. Tipe kepemimpinan bebas (laisses faire leadership)
Tipe kepemimpinan ini menyatakan peranan seorang pemimpin berkisar
pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar
dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang
yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi,
sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan
oleh masing-maing anggota dan seorang pimpinan tidak perlu terlalu
sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.28
f. Tipe kepemimpinan ideologis – Pemimpin eksemplaris
Pemimpin jenis ini barangkali tidak ahli dalam menyusun rencana kerja
dan pelaksanaannya. Pemimpin tipe ini penuh dengan gagasan-gagasan
yang baik, kaya dengan visi yang tinggi, dan mampu merumuskan semua
gagasan serta visi itu secara tepat.29
g. Tipe kepemimpinan kreatif dan eksekutif
Tipe kepemimpinan kreatif digunakan untuk menangani keadaan-
keadaan baru yang tidak dikenal, sehingga pemimpin seperti ini dapat
melihat masalah dengan perspektif baru, yang dipersiapkan untuk
melakukan eksperimen dan mengambil resiko. Sedangkan tipe
kepemimpinan eksekutif digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan 26
Pdt. Dr. Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2011), 72-73. 27
Emil H. Tambunan, M.A., Kunci Menuju Sukses dalam Managemen dan Kepemimpinan ,
(Bandung : Indonesia Publishing House, 1991), 67. 28
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, M. P. A., Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), 38. 29
A. M. Mangunhardjana, S. J., Kepemimpinan, (Yogyakarta : Kanisius, 1976), 16.
23
yang prinsipil. Keahliannya terletak pada kemampuan untuk melihat
gambaran yang besar-kemampuan membedakan elemen-elemen krusial
dan mengevaluasi semua pilihan yang ada.30
Pemimpin yang bertipe kreatif dan eksekutif akan mengandalkan
individu-individu dengan keahlian manajerial yang berorientasi pada
tugas. Para pemimpin berorientasi pada tugas perlu dibantu oleh para
pemimpin dengan keterampilan interpersonal, yang akan berperan sebagai
tim pembangun (team builder), mengonsolidasi, menyelesaikan konflik,
dan memulihkan moral kelompok. Individu yang demikian akan memberi
semangat dan ketenteraman sehingga setiap orang merasa dihargai.31
h. Tipe kepemimpinan simbol
Tipe kepemimpinan ini menempatkan seseorang pemimpin sekedar
sebagai lambing atau symbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan
yang sebenarnya. Pemimpin ini pada dasarnya tidak menjalankan fungsi
kepemimpinan, namun kedudukannya itu tidak dapat dan tidak boleh
digantikan orang lain.32
i. Tipe kepemimpinan Pengayom (Headmanship)
Tipe kepemimpinan ini menempatkan seseorang sebagai kepala.
Pemimpin tipe ini memiliki kesediaan dan kesungguhan dalam
mengayomi anggotanya, dengan berbuat segala sesuatu yang layak dan
diperlukan organisasinya. Kepemimpinan dijalankan dengan melakukan
kegiatan kepeloporan, kesediaan berkurban, pengabdian, melindungi, dan
selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan
atau kelompok.33
j. Tipe kepemimpinan Organisatoris dan Administrator
Tipe ini dijalankan oleh para pemimpin yang senang dan memiliki
kemampuan mewujudkan dan membina kerja sama, yang pelaksanaanya
30
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Datang, (Jakarta : Gunung Mulia, 2010), 27-28. 31
Peter M. Senge, “Leading Learning Organizations : The Bold, the Powerful, and the Invisible”, dalam The Leader of Future, ed. Frances Hesselbein, Marshall Goldsmith, dan Richard Beckhard (San Fransico : Jossey-Bass, 1996), 46-56; dan Bab 7 dari Bil l Hybels, Courageous Leadership
(Grand Rapids : Zondervan, 2002). 32
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Kepemimpinan yang Efektif, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2000), 104. 33
Ibid, 105.
24
berlangsung secara sistematis dan terarah pada tujuan yang jelas.
Pemimpin bekerja secara berencana, bertahap dan tertib.34
k. Tipe kepemimpinan Permisif
Pemimpin tipe ini, tidak mempunyai pendirian yang kuat, terlalu banyak
mengambil muka dengan dalih untuk mengenakan individu yang
dihadapinya.35
l. Tipe kepemimpinan Transformatif
Kepemimpinan ini didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para
pemimpin menggunakan kharimsa mereka untuk melakukan transformasi
dan merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang transformatif lebih
mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara
menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-instruksi yang bersifat top
down. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka
sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya.
Pemimpin yang transformatif lebih menekankan pada bagaimana
merevitalisasi institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara.
Secara lebih detil, para pemimpin yang transformatif memiliki ciri-ciri
berikut : (1) seperti yang disebutkan di atas, mereka memiliki charisma;
(2) mereka senantiasa menghadirkan stimulasi intelektual. Artinya, mereka
selalu membantu dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali
ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya; (3) pemimpin yang
transformatif memiliki perhatian dan kepedulian terhadap setiap individu
pengikutnya. Mereka memberikan dorongan, perhatian, dukungan kepada
pengikutnya untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan
komunitasnya; (4) pemimpin transformatif senantiasa memberikan
motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara
melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-
simbol, tidak hanya menggunakan bahasa verbal; (5) mereka berupaya
meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak
selamanya tergantung pada sang pemimpin; (6) para pemimpin
34
Ibid, 107. 35
Prof. Dr. Sudarwan Danim, Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, (Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2004), 76-77.
25
transformatif lebih banyak memberikan contoh ketimbang banyak
berbicara. Artinya ada sisi keteladanan yang dihadirkan kepada para
pengikutnya dengan lebih banyak bekerja ketimbang banyak berpidato
yang berapi-api tanpa disertai tindakan yang konkrit.36
2.1.5 FUNGSI UTAMA DAN TANGGUNG JAWAB PENDETA
a. Fungsi Utama Pendeta
Yang dimaksudkan dengan fungsi utama disini, yakni peranan yang
ditampilkan oleh seorang pendeta sebagai pemimpin jemaat dalam
menjalankan tugas pelayanannya. Fungsi pendeta yang dipakai dalam
penelitian, terdiri dari lima macam, yakni :37
(1) sebagai wakil Allah (symbolic roles)
Pendeta yang ditahbiskan adalah seorang pemimpin jemaat yang
melayani sebagai “gembala dari Gembala Yang Agung” dalam hal
memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga jemaat dalam kehidupan
rohani. Pendeta dipandang sebagai seorang nabi ketika ia membawa
pesan-pesan Allah kepada warga jemaat. Jadi di sini dia sebagai “alat
bicara Allah”. Dalam menjalankan sakramen gereja dan upacara lain,
seperti kebaktian pernikahan, kebaktian penguburan, berdoa mewakili
jemaat, menyampaikan berkat Tuhan, maka pendeta dipandang sebagai
perantara antara Allah dengan manusia berdosa;
(2) sebagai pengkhotbah (preacher)
Khotbah merupakan bagian penting dari liturgi kebaktian dan sebagai
aktivitas gereja yang banyak dihadiri oleh warga jemaat, warga jemaat
banyak mendasari alasan kehadirannya mengunjungi kebaktian yakni
untuk mendengar khotbah. Khotbah dianggap sebagai sumber
pedoman utama dalam kehidupan dan sekaligus bersifat menolong
jemaat yang hadir memecahkan persoalan pribadi. Berkhotbah adalah
salah satu tugas utama bagi para pendeta dalam gereja Protestan.
Khotbah dalam dirinya didasarkan pada hal-hal normatif,karena
36
m.kompasiana.com/audiendro/kepemimpinan-transformatif_55006e4fa33311926f5110e3. 37
David O. Moberg, The Church as a Social Institution, The Sociology of American Religion,
(Prentice-Hall of Canada. Ltd., 1962), 488-492.
26
penekanannya sering memaksa para pengkhotbah untuk berdogmatika,
dengan tujuan memberikan “jawaban yang dianggap tepat” pada setiap
persoalan. Akibatnya, isi khotbah sering bersifat kaku sehingga kurang
mampu mengikuti perkembangan sosial yang berubah-ubah. Khotbah
yang baik muncul dari persiapan-persiapan sebelumnya yang cukup
matang. Oleh kesibukan sehari-hari, para pendeta sulit menyediakan
waktu yang baik untuk mempersiapkan khotbah. Hal ini
mengakibatkan khotbah mereka menjadi kurang menarik;
(3) sebagai pendidik (Educostor)
Jalur pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen dalam gereja melalui
khotbah, perkunjungan, bimbingan, pekerjaan-pekerjaan yang
berhubungan dengan sekolah gereja, training keterampilan dalam
gereja, katekisasi, kelompok Pemahaman Alkitab (PA), pertemuan-
pertemuan dalam jemaat yang bersifat kelompok atau individu, dan
kegiatan edukasi lainnya. Pendeta dituntut juga mendidik warga jemaat
melalui teladan-teladan kehidupan religius serta pimpinan-pimpinan
pribadi dalam kehidupan keluarganya di tengah jemaat;
(4) sebagai tokoh jemaat (institutional representative)
Pendeta diharapkan menjadi wakil gerejanya dalam hubungan
dengan masyarakat luas. Dia bisa bertindak sebagai penghubung
publik, sebagai saluran informasi dari luar gereja setempat yang
dilayani ataupun dari dalam. Pendeta juga melindungi atau
mempertahankan eksistensi gerejanya terhadap pengaruh dari luar.
Tugas-tugas kependetaan akan terasa berat jika pendeta kurang
memiliki dedikasi terhadap tugas pelayanan yang dipikulnya atau
kurang menghayati doktrin yang berlaku dalam gereja.
Dalam suatu jemaat yang luas lingkup kegiatan pelayanannya,
pendeta diharapkan untuk aktif dalam kehidupan masyarakat luas.
Dalam jemaat pedesaan, pendeta bisa jadi pemimpin yang melampaui
batas keanggotaan jemaatnya. Di desa, pendeta mempunyai hubungan
yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya. Sedangkan di
kota besar, pendeta biasanya kurang dikenal sebagai pemimpin dalam
27
kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan pengaruh gereja
kurang menentukan dalam pembuatan keputusan-keputusan untuk
masyarakat luas. Namun sering juga, pendeta di jemaat kota
mempunyai peranan penting di tengah-tengah masyarakat. Dia
diharapkan menjadi pengurus sosial, sebab mereka dinilai sebagai
saluran komunikasi yang efektif;
(5) sebagai penasihat (counselor)
Pendeta sebagai pelayan jemaat Tuhan tidak bisa dipisahkan dari
fungsinya sebagai penasihat. Tugas ini kebanyakan berhubungan
langsung dengan krisis keluarga di dalam jemaat dan kesulitan hidup,
baik secara persekutuan ataupun secara pribadi.
Bimbingan pendeta, didasarkan dari kesaksian Alkitab yang
sekaligus membedakannya dengan bentuk bimbingan lain non-
gerejawi. Pendeta menempatkan dirinya sebagai saudara seiman yang
akrab, seperti sudah mengetahui tentang orang yang dibimbingnya,
serta mengetahui kesulitan-kesulitan dasar yang dihadapi orang yang
dibimbing. Dia diterima sebagai wakil Allah, berlandaskan wibawa
Injil yang menjadi dasar penempatan dirinya sebagai pendeta. Ia
mencoba memimpin orang yang dibimbing pada ketentuan norma
gereja. Semua dijalankan beralas kasih sayang, sejalan dengan hukum
kasih Tuhan. Keberhasilan pendeta dalam menjalankan peranannya,
sangat bergantung dengan citra warga jemaat terhadap penampilan
terhadap pendeta itu sendiri. Bimbingan melalui kelompok-kelompok
orang-orang yang memikul persoalan-persoalan yang sama dengan
tujuan untuk menghasilkan pandangan dan pemilihan kepincangan
yang tengah dihadapi juga sering digunakan oleh para pendeta. Sering
juga para pendeta bekerjasama dengan ahli hukum, para dokter, guru,
penasihat pernikahan, pekerja social, psikiater dalam melaksanakan
peranannya sebagai penasihat.
(6) sebagai ahli administrasi (administrator)
Sebagian besar gereja menjalankan fungsi kelembagaannya dalam hal
mengelola usaha dana, harta milik, anggaran belanja serta
28
perencanaan/pelaksanaan program kerja. Ada juga gereja secara
khusus mempekerjakan ahli ekonomi dalam lembaga gereja untuk
menangani bidang ekonomi. Tapi kebanyakan para pendeta berperanan
langsung dalam kegiatan-kegiatan tersebut dalam menjalankan
kegiatan administrasi ataupun di bidang pengawasan;
(7) sebagai pemimpin kelompok (group leader)
Yang dimaksud pendeta sebagai pemimpin kelompok, yaitu pemimpin
dan menjadi yang dipimpin adalah dua realitas yang terjadi dalam
hidup ini, sekaligus gabungan antara kedua hal tersebut, yakni
pemimpin dan sekaligus sebagai pribadi yang dipimpinnya. Pemimpin
dimanapun dia berada dan apapun kelompok yang dipimpinnya harus
memiliki visi dan juga misi yang jelas demi mengatur laju pergerakan
sebuah kelompok.
b. Tanggung Jawab Pendeta
Tanggung jawab seorang pendeta sebagai pemimpin gereja, yaitu :
(1) Melayani
Adalah definisi kepemimpinan yang dipakai oleh Yesus, dan ini
memang benar, apakah di bidang sekuler atau di bidang rohani.
Seorang pemimpin yang sejati lebih mengutamakan kesejahteraan
orang lain daripada kenikmatan dan martabat dirinya sendiri. Ia
menunjukkan simpati dan perhatian terhadap mereka yang
dipimpinnya berkenaan dengan masalah, kesukaran dan kekuatiran
mereka, tetapi haruslah simpati yang menguatkan dan memberi
dorongan, bukan yang melemahkan.38
Apabila seorang pendeta mengasihi jemaat dalam nama Yesus,
banyak kesalahpahaman muncul. Perubahan yang sangat diperlukan
oleh gereja adalah transformasi hati yang keras dan pemberdayaan
kemauan yang lemah. Jika Anda tetapi memandang pada Juru Selamat,
Anda akan memiliki kekuatan untuk mengubah apa yang harus diubah,
kebebasan untuk menghasilkan perubahan apabila diperlukan dan
38
J. Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1979), 125-129.
29
hikmat untuk mengetahui apa yang seharusnya tidak pernah berubah.39
Allah akan menolong kita bertumbuh-kembang di tempat Ia telah
menanam kita. Ia menyerahkan tugas kepada kita saat ini sehingga kita
dapat menjadi seorang pengubah kehidupan di sana.40
(2) Mendisiplin
Merupakan tanggung jawab lain seorang pemimpin, yaitu satu
tanggung jawab yang berat dan seringkali tidak disukai. Di dalam
setiap gereja atau lembaga keagamaan perlu adanya disiplin yang
berdasarkan hidup saleh dan kasih, jika ukuran-ukuran dari Allah ingin
dipertahankan, terutama dalam hal kemurnian iman, moral dan sikap
Kristen.
Dalam menyelesaikan suatu persoalan yang nampaknya
memerlukan tindakan disiplin, maka harus diingat kelima hal berikut
ini : (a) tindakan itu hanya boleh diambil setelah diadakan
penyelidikan yang saksama dan tidak memihak; (b) tindakan ini hanya
boleh diambil demi kebaikan seluruh pekerjaan dan pribadi yang
bersangkutan; (c) tindakan ini harus selalu didasarkan kasih yang
murni dan dilakukan dengan mengingat kepentingan pihak lain; (d)
tindakan ini harus selalu disertai maksud untuk memberikan
pertolongan rohani kepada pihak yang bersalah dan memberikan
pertolongan rohani kepada pihak yang bersalah dan memulihkan dia;
(e) tindakan ini harus dilakukan dengan disertai banyak doa.41
(3) Membimbing
Seorang pemimpin rohani harus tahu ke mana ia pergi dan seperti
seorang gembala, berjalan di depan kawanan dombanya. Hal ini bukan
merupakan satu tugas yang mudah untuk membimbing orang lain,
meskipun saleh, mempunyai pendirian sendiri yang kuat. Seorang
pemimpin tidak boleh menurut kemauan sendiri secara sewenang-
wenang.
39
H. B. London dan Neil B. Wiseman, Bagaimana Mengasihi Orang-Orang yang Anda
Gembalakan, (Yogyakarta : ANDI, 2003), 24. 40
H. B. London dan Neil B. Wiseman, Menikmati Panggilan di Ladang-Nya, (Yogyakarta : ANDI, 2003), 9. 41
J. Oswald Sanders, op.cit., 125-129.
30
(4) Memprakarsai
Merupakan satu fungsi yang penting dalam jabatan seorang pemimpin.
Beberapa orang mempunyai lebih banyak karunia untuk memelihara
hasil yang telah dicapai daripada memprakarsai usaha-usaha yang
baru. Seorang pemimpin yang sejati harus mempunyai keberanian
maupun penglihatan. Ia harus menjadi seorang perintis dan buka hanya
orang memelihara.
(5) Memikul Tanggung Jawab
Memikul tanggung jawab dan melakukannya dengan rela merupakan
ciri yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Jika ia belum siap
melakukan hal ini, maka ia tidak memenuhi syarat untuk memegang
jabatan ini.
2.1.6 TUGAS DAN PELAYANAN PENDETA
Menjadi pendeta di sebagian gereja di Indonesia bukan hanya memimpin
ibadah. Pendeta juga menjalankan pelayanan pastoral, mengajar, dan
mengurusi hal-hal yang bersangkut paut dengan masalah administrasi dan
organisasi gereja. Pendidikan teologi hanya membekali pendeta dengan
pengetahuan teologi dan keterampilan. Tetapi, memelihara daya juang dalam
tugas, dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan; apakah kita
terdorong mencapainya atau tidak merupakan soal kesadaran diri sendiri.
Karena itu, spiritualitas adalah sebuah proses yang mesti berlangsung terus.
Spiritualitas adalah suatu upaya mengembangkan kapasitas manusiawi, agar
kita meraih keselarasan yang lebih luas, yang mengatasi pengalaman biasa
sehingga kita dapat mempengaruhi sekitar dan melakukan kegiatan-kegiatan
kreatif. Relasi dengan Tuhan adalah sumber kekuatan untuk menjalankan
kegiatan/pelayanan. Melalui pemeliharaan hubungan dengan Tuhan, kita
dimampukan untuk tampil secara segar dan kreatif. Memiliki hubungan
intensif dengan Tuhan, kemudian tampil di masyarakat, ditunjukkan secara
konkret oleh Tuhan Yesus.42
42
Einar M. Sitompul, Perjalanan Sarat Muatan, (Jakarta : UPI STT Jakarta, 2014), 47-48.
31
2.1.7 Pegangan Pemimpin
Beberapa hal yang harus diperhatikan pemimpin : (a) Tidak menggunakan
kekuasaan untuk kehormatan dan keagungan pribadi; (b) Tidak memanipulasi
kepentingan rakyat/yang dipimpin untuk memenuhi tujuannya; (c) Memiliki
dan memupuk nilai-nilai kejujuran, ketulusan dan berhati mulia. Memiliki
kredibilitas, intelektual dan integritas moral secara kuat serta demokratis; (d)
Memiliki visi dan misi yang sejalan dengan lingkungan atau kultur yang ada
di sekitarnya (memperhatikan kearifan lokal); (e) Komitmen terhadap visi dan
misi tersebut; (f) Memiliki spiritualitas yang kuat.43
2.2 PEMIMPIN JAWA
2.2.1 BUDAYA JAWA
Di dalam budaya Jawa ada beberapa hal yang melekat dalam diri
masyarakat Jawa, yaitu :
a. Sistem Kekerabatan Orang Jawa
Sistem kekerabatan orang Jawa itu berdasarkan prinsip keturunan
bilateral. Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang Jawa, orang masih
membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri
dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik
seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya, di samping
keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam
kerangka susunan masyarakat ini, secara bertingkat kaum priyayi dan
bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan
masyarakat bawah.44
Selain itu, orang Jawa sangat patriakhal, dimana kepemimpinan tidak
bisa dipegang oleh seorang wanita. Cukup banyak perempuan yang
menjadi korban langsung dari ketidakadilan diskriminatif akibat berbagai
43
Pdt. Dr. Retnowati, M.Si., Teologi, Kepemimpinan, dan Manajemen, (Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2009), 6. 44
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , (Percetakan Sapdodadi, 1975), 323.
32
perubahan yang direkayasakan dalam masyarakat modern.45
b. Bahasa
Bahasa adalah kesatuan perkataan dan sistem penggunaannya yang
umum dalam pergaulan antar anggota suatu masyarakat atau bangsa
dengan kesamaan letak geografi atau kesamaan budaya dan tradisi.
Dengan demikian, selain memiliki fungsi utama sebagai wahana
berkomunikasi, bahasa juga memiliki peran sebagai alat ekspresi budaya
yang mencerminkan bangsa penggunanya. Kecakapan berbahasa suatu
bangsa mencerminkan budaya bangsa yang terwujud dalam sikap
berbahasa itu sendiri. Sikap berbahasa yang dilandasi oleh kesadaran
berbahasa akan membangun rasa cinta, bangga, dan setia terhadap bahasa
dan terhadap bangsa”.46
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosial sehari-hari
mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini,
seseorang harus memperhatikan dan membedakan keadaan orang yang
diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun
status sosialnya.
Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila
ditinjau dari criteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.
Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan
terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajatnya atau
status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan
Ngoko Andap. Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk
bicara dengan yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur
maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta
status sosialnya.47
Ada unen-unen/peribahasa Jawa yang cukup mengena, yaitu : „Samar
kalingan padhang, kesandhung rata, ketatab suwung, lan kebenthus ing
tawang‟ yang artinya „pandangan terasa samar-samar karena terhalang
45
Dr. Budi Susanto, Dr. Sudiarja, Drs. Praptadiharja, Dra. Rika Pratiwi (Ed.), Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa), (Yogyakarta : Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992), 13-16. 46
Tim Perumus Kurikulum Bahasa Indonesia untuk SMK, (Dikmenjur-Diknas, 2003). 47
Koentjaraningrat, op.cit., 322-323.
33
terang, tersandung jalan yang rata, menabrak kekosongan, dan kepala
terantuk angkasa‟. Makna dari unen-unen tersebut menggambarkan
„kebingungan‟ orang Jawa masa kini dalam memahami nilai-nilai budaya
dan peradabannya sendiri.48
2.2.2 BUDI PEKERTI PEMIMPIN JAWA
Orang Jawa juga memiliki pandangan yang sangat berpengaruh terhadap
tata hidup dan perilaku, atau budi pekerti mereka, yaitu :
a. Relativisme
Yaitu pandangan yang memahami kebenaran bukanlah sesuatu yang
mutlak. Kebenaran lebih bersifat nisbi, kecuali kebenaran mengenai
Tuhan. Selebihnya, nilai-nilai kebenaran tersebut sangat dipengaruhi oleh
sudut pandang tertentu. Sangat bergantung pada pengetahuan seseorang
yang terbatas, akal budi yang serba terbatas, serta cara mengetahui yang
juga terbatas. Sehingga tidak mengherankan jika benar menurut seseorang
belum tentu benar menurut orang lain.
Salah satu bukti nyata, betapa relativisme demikian berakar dalam hati
sanubari orang Jawa, tercermin dari adanya ungkapan yang berbunyi :
“bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa
kuwalik”, artinya : benar belum tentu tepat, salah belum tentu kalah, baik
dapat terbalik. Penjabaran ringkasnya adalah setiap kebenaran belum tentu
tepat ketika digunakan pada konteks yang berbeda. Misalnya, sopan
santun orang Jawa belum tentu tepat ketika diterapkan menghadapi orang
Belanda.49
Demikian pula halnya ketika menilai kesalahan. Kendati di Jawa ada
peribahasa : sapa salah bakal seleh (Siapa yang salah akhirnya akan
berhenti/berakhir, dlam arti menyerah), namun pada kenyataannya belum
tentu yang salah bakal kalah. Sebab, antara salah dan kalah memiliki ranah
yang berbeda. Salah dan benar berpedoman pada nilai, sedangkan kalah
dan menang lebih ditentukan oleh strategi dan kekuatan yang dimiliki.
48
Ki Sondong Mandali, Ngelmu Urip Bawarasa Kawruh Kejawen, (Semarang : Yayasan Sekar Jagad, 2010), 267. 49
Ibid, 18-23.
34
Contohnya, mengedarkan narkoba jelas merupakan perbuatan salah dan
melanggar hukum. Namun, kenyataannya banyak pengedar narkoba
sukses melakukan kegiatannya bertahun-tahun. Artinya, dia tidak kalah
meskipun salah. Sebab, dia berhasil memenangkan “pertarungannya”
dengan penegak hukum dan masyarakat, karena memiliki strategi dan
kekuatan yang cukup untuk menyelamatkan diri dari kekalahan yang
menghadang kegiatannya selama itu.
Sedangkan becik bisa kuwalik, artinya, kebaikan yang diberikan atau
diterima oleh orang lain belum tentu berbuah kebaikan yang setara, artinya
sesuatu yang baik dapat saja dianggap buruk, merusak, dan mungkin
sekali tidak bermanfaat bagi orang lain, seperti ungkapan welas temahan
lalis (belas kasihan membuat sengsara).
Paham relativisme ini pula yang membuat orang Jawa (khususnya
kalangan rakyat) jadi terkesan sering bersikap kompromis. Melakukan
semacam persetujuan atau persesuain sebagai bentuk “jalan damai” untuk
menyelamatkan diri dengan cara mengeliminasi tuntutan-tuntutan ekstrim
dari berbagai pihak.
b. Pluralisme
Relativisme yang telah berkembang dan berurat akar di Jawa, diam-
diam telah menstimulir tumbuhnya kesadaran mengenai pluralisme, yaitu
padangan atau paham yang meyakini adanya perbedaan-perbedaan nilai
dalam kehidupan. Pandangan dan sikap pluralistik juga tercermin dalam
kehidupan beragama. Antar pemeluknya pun terjalin kerukunan dan saling
menghormati, tanpa adanya intervensi dan gangguan yang berarti.
2.2.3 SIKAP HIDUP ORANG JAWA
Sikap hidup orang Jawa diatur di dalam Serat Sasangka Jati yang terdapat
tentang Hasta Sila atau Delapan Sikap Dasar, yang terdiri dari dua pedoman
yakni Tri-Sila dan Panca-Sila. Tri-Sila merupakan pedoman pokok yang
harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia dan merupakan tiga hal yang
harus dituju oleh budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan, yaitu
eling atau sadar, pracaya atau percaya dan mituhu atau setia melaksanakan
35
perintah.50
Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan
nenek moyangnya, seperti :
a. Mawas Diri (Aja Dumeh untuk menghindari Aji Mumpung)
Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi semua orang Jawa yang
sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan YME. Aja Dumeh
adalah suatu peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Aji
mumpung adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat
serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah
kesempatan untuk hidup “di atas”. Orang Jawa percaya bahwa hidup
manusia di dunia ini telah diatur oleh-Nya sedemikian rupa, sehingga
putaran hidup manusia itu seperti halnya “roda kereta” yang berputar.
Salah satu bagian dari roda itu kadang-kadang di bawah dan pada suatu
saat akan berada di atas.51
b. Memiliki empati/berbelas kasih (Laku Hambeging Kisma)
Pemimpin harus selalu berbelas kasih dengan siapa saja. Kisma artinya
tanah. Tanah tak mempedulikan siapa yang menginjaknya, semua
dikasihani. Tanah selalu memperlihatkan jasadnya. Meski dicangkul,
diinjak, dipupuk, dibajak, namun malah memberikan subur dan
menumbuhkan tanam-tanaman. Air tuba dibalas air susu, artinya
keburukan dibalas kebaikan dan keluhuran.52
c. Harus Adil (Laku Hambeging Tirta)
Pemimpin harus adil seperti air yang selalu rata permukaannya. Keadilan
yang ditegakkan bisa memberikan kecerahan ibarat air yang
membersihkan kotoran. Air tidak pernah emban oyot emban cindhe, „pilih
kasih‟.
d. Harus Tegas (Laku Hambeging Dahana)
Pemimpin harus bisa bersikap tegas seperti api yang sedang membakar.
Akan tetapi pertimbangannya harus berdasarkan akal sehat yang bisa
50
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta : Ombak, 2008), 125-126. 51
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta : PT. Hanindita, 1984), 81-83. 52
Asep Rachmatullah, Filsafat Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta : Siasat Pustaka, 2011), 127.
36
dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di muka
bumi.53
e. Teliti (Laku Hambeging Samirana)
Pemimpin harus berjiwa teliti dimana saja berada. Baik atau buruknya
rakyat harus diketahui oleh matanya sendiri, tanpa menggantungkan
laporan bawahan saja. Sebab bawahan cenderung selektif dalam memberi
informasi untuk dapat menyenangkan pimpinan.
f. Pemaaf (Laku Hambeging Samodra)
Pemimpin harus memiliki sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang
siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Jiwa samudra
mencerminkan pendukung keanekaragaman dalam hidup bermasyarakat
yang majemuk.54
g. Memberi Inspirasi (Laku Hambeging Surya)
Pemimpin harus bisa memberi inspirasi kepada bawahannya, seperti
matahari yang selalu menyinari bumi dan memberi energi pada setiap
makhluk.
h. Menghadirkan damai sejahtera (Laku Hambeging Candra)
Pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan
yang bersinar terang benderang namun tak panas. Dan bahkan terang
bulan nampak indah sekali. Orang desa menyebutnya purnama sidi.
i. Percaya Diri (Laku Hambeging Kartika)
Pemimpin harus tetap percaya diri meski dalam dirinya ada kekurangan.
Ibarat bintang-bintang di angkasa, walaupun ia sangat kecil, tapi dengan
optimis bisa memancarkan cahayanya sebagai sumbangan bagi kehidupan.
j. Mempunyai Jiwa Satria
Menjadi seorang satria adalah idola dari masyarakat Jawa.55 Jiwa satria
ini bahkan lebih diidolakan di atas jiwa Brahmana, sementara Brahmana
adalah tataran kasta yang lebih tinggi dari satria.56 Menjadi seorang satria
53
Ibid. 54
Ibid, 128. 55
Prapto Yuwono, Sang Pamomong Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Luhur Manusia Jawa, (Yogyakarta : Adiwacana, 2012), 49-. 56
Notohamidjojo, O. Kreativitas yang Bertanggung Jawab, (Salatiga : Universitas Kristen Satya
Wacana, 2011), 572.
37
dapat dilihat dari isi tembang Dhandhanggula yang berbunyi sebagai
berikut :
Lir sarkara wasitaning jalmi
Ambudiya budining satriya
Memayu yu buwanane
Ing reh hardening kawruh
Wruhing karsa kang ambeg asih
Sih pigunane karya
Mbrasta ambeg dudu
Mangenep nenging cipta
Wruh unggyaning tindak kang ala lan becik
Memuji tyas raharja
Tembang itu bermakna sebagai berikut :
Bak matahari menyinari insan
Berupayalah berbudi satria
Memayu yu buwanane
Dalam kendali pengetahuan
Mengetahui kehendak mengasihi
Kasih sayang berguna untuk bekerja
Memberantas kehendak buruk
Mengendapkan nalar budi
Untuk melihat segala tindak buruk dan baik
Berharap hati sejahtera
Tembang di atas mengingatkan bahwa manusia ditugaskan oleh Tuhan
untuk dua tugas. Pertama, sebagai “matahari” yang harus memberikan
terang kepada dunia ini. Tugas ini bukan pilihan yang boleh dilakukan
atau bisa juga tidak dilakukan, tetapi tugas ini menyatu dalam pribadi
orang Jawa, karena kesadaran bahwa manusia merupakan citra Tuhan.
Sebagai citra Tuhan, orang Jawa harus menjadi terang dunia. Tugas
menjadi terang dunia itu dilakukan bukan untuk menerangi dirinya sendiri,
tetapi agar menerangi ciptaan lain pancaran sinar Tuhan.Terang itu
berwujud perbuatan baik untuk memelihara dan mengembangkan ciptaan
38
lain seperti Tuhan merawat dan mengembangkan ciptaan-Nya, sehingga
dengan demikian nama Tuhan dimuliakan.
Selain itu, tembang di atas juga mengingatkan bahwa agar manusia
dapat menjadi terang dunia, ia harus berupaya memiliki jiwa satria.
Kehidupan ideal masyarakat Jawa dimanifestasikan dalam bentuk wayang.
Kata wayang bermakna bayang-bayang, menggambarkan bayang-bayang
di dalam kehidupan ini. Itu sebabnya wayang bukan hanya sekedar
tontonan, tetapi juga tuntutan bagi masyarakat Jawa tentang kehidupan
yang ideal untuk masyarakat Jawa.57 Di dalam pewayangan, tokoh wayang
dibedakan menjadi satria dan raksasa. Satria adalah gambaran pribadi yang
berperangai dan berperilaku baik, sedangkan raksasa adalah gambaran
pribadi yang berperangai dan berperilaku buruk.
Tetapi siapa saja yang menjadi pemimpin akan terlihat dari tingkah
lakunya yang kelihatan ketika akan melakukan tugas sebagai seorang
pemimpin sebagai berikut :58
1. Jangan serakah/sewenang-wenang
Jika jadi pemimpin hanya karena akan mencari penghidupan, artinya
mencari harta, cari uang, akhirnya dalam bekerja hanya akan didasari
sikap serakah, merasa berkuasa, siapa saya siapa kamu (mentang-
mentang), adigang, adigung, adiguna59, yang hanya menekankan suara
yang keras atau lantang, keras suaranya karena merasa sebagai penguasa
dan mempunyai kuasa, lalu bertindak tidak hormat pada sesama serta
sewenang-wenang. Pemimpin yang seperti itu menurut filsafat Jawa tidak
benar, tidak baik sebab tidak Njawani.
Memang tidak mudah menemukan pimpinan yang bebas dari
57
Ali Mustofa, Antara Filsafat Jawa dan Moral, http://wayangprabu.com/2011/03/31, 2011. 58
Prof. Dr. Soetomo Siswokartono, W.E., M.Pd., Filsafat Jawa, (Semarang : Yayasan Studi Bahasa Jawa (YSBJ) “KANTHIL”, 2010), 30-31. 59
Disebut adigang, adigung, adiguna artinya orang Jawa dilarang sombong dan membanggakan
apa pun yang menjadi miliknya, entah itu kekuasaan, kebesaran, hingga kepandaian. Perilaku yang seperti itu akan merugikan diri sendiri dan membawa kehancuran. Orang yang berperilaku adigang, adigung, adiguna, umumnya akan menyalahgunakan kekuasaan, membeli hal -hal yang tidak bisa dibeli, dan memanipulasi segala hal untuk kepentingan pribadinya. Mereka akan
menggunakan segala kesempatan untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka tidak lagi menghargai orang lain dan melupakan hati nurani. Prof. Gunawan Sumodiningrat Ari Wulandari, S.S., M.A., PituturLuhur Budaya Jawa 1001 Pitutur Luhur untuk Menjaga Martabat dan
Kehormatan Bangsa dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal, (Yogyakarta : Narasi, 2014), 3.
39
kebutuhan pribadi, tampaknya jarang ada. Sejak era kerajaan, pimpinan di
Jawa selalu ada keserakahan. Oleh sebab itu pemimpin Jawa perlu
menerapkan strategi pokok untuk mencapai memayu hayuning bawana
pada tataran kehidupan, yaitu : (1) strategi mengolah diri pribadi, olah
batin dan olah rasa; dan (2) strategi interaksi social; (3) strategi
berinteraksi dengan Tuhan.Ketiga strategi ini, hendaknya dinalar, dirasa,
dan dihayati sebagai sebuah perjuangan mencapai kedamaian dunia.60
2. Membawa damai sejahtera
Jika jadi pemimpin/penguasa itu untuk kehidupan bersama artinya guna
kesejahteraan keluarga, kesejahteraan rakyat, pemimpin ini dalam
melakukan kekuasaanya dengan cinta kasih artinya dengan kasih sayang,
sopan santun, hormat menghormati kepada siapapun. Pemimpin yang
seperti ini pasti penuh dengan tanggung jawab bukan saja
“tanggungjawab”, inilah pemimpin yang sejati yang selalu dicintai oleh
masyarakat. Pemimpin seperti ini perlu dicontoh dan bisa menjadi teladan.
3. Bertanggung Jawab
Nasehat selanjutnya, kalau semua orang sudah merasa sampai, artinya
kalau sudah merasa mampu mengemban tugas dan tanggung jawab
sebagai seorang pemimpin yang telah diserahkan kepadanya, maka
jangan takut menjadi seorang pemimpin;
4. Tidak Menepati Janji
Jika sudah jadi pemimpin kadang lupa dengan janjinya, dan tidak mau
kehilangan kedudukan. Tidak mau diganti karena merasa sudah nyaman,
berada dalam posisi yang basah dll. Nasehat yang ada, sebaiknya kamu
jangan meniru tingkah laku dan tindakan yang seperti itu, sebab manusia
harus mengakui bahwa kedudukan bisa hilang, jabatan bisa lepas, yang
lestari hanya nama dan pelayananan yang baik.
Ananging sapa bae kang dadi pemimpin bakal kadulu saka pakartine budi kang katon nalika wong mau wiwit ngecakaken panguwasane : (a) Yen dadi pemimpin/panguwasa amarga arep goleh panguripan, tegese golek banda, golek dhuwit, cak-cakane nggone mimpin bakal kadulu srakah angah-angah, rumangsa dupeh kuwasa, sapa sira sapa ingsun, adigang, adigung, adiguna, kang kerep
60
Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Memayu Hayuning Bawana Laku Menuju Keselamatan dan
Kebahagiaan Hidup Orang Jawa, (Jakarta : Narasi, 2013), 25.
40
andel sora-seru utawa banter swarane, lan andel rosa = dupeh dadi panguwasa, duwe panguwasa, duwe panguwasa, banjur dak siya lan sewenang-wenang. Pemimpin kaya ngono manut filsafat Jawa iku ora bener, sabab ora njawani; (b) Yen dadi pemimpin/panguwasa iku kanggo kahuripan, tegese kanggo mulyane bebrayan, kanggo mulyaning kawula, pemimpin wau anggone ngecakake panguwasa mesthi ambeg darma, tegese kebak welas asih, tepa salira, menehi pakormatan menyang sepada-pada. Pemimpin kang kaya ngono mesti kebak tanggung jawab, dudu mung “tanggung menjawab”. Ya pemimpin kang kaya ngene iki sejatine kang tansah digandrungi deneng kawula. Mula patut tinulada lan dadiya kaca benggala; (c) Pitutur sabanjure, yen sira kabeh wis rumangsa gadug, tegese wis rumangsa sembada ngemban pakaryan kang dipasrahake, aja wedi dadi panguwasa; (d) Mung ya kuwi kang akeh, yen wis dadi pemimpin iku sok lali, lan emoh kelangan kalungguhan. Emoh yen diganti, amarga rumangsa wis mapan, ana papan teles, lan liya-liyane. Pitutur kang ana, becike sira ora kena niru pakarti lan tumindak kang kaya ngono, sabab manungsa kudu rumangsa yen drajat bisa oncat, pangkat bisa minggat, kang langgeng mung jeneng lan lelabuhan.
Kehidupan orang Jawa boleh dikatakan penuh dengan angger-angger dan
wewaler, aturan dan larangan, yang tujuan utamanya tiada lain adalah untuk
mengatur perilaku individu dan masyarakat agar memperoleh, ketenteraman
dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Tiga nilai dominan yang menjadi
acuan hidup orang Jawa, yaitu : 1) kolektivisme (kebersamaan); 2)
spiritualisme (kerohanian); dan 3) rasa kemanusiaan (tenggang rasa). Contoh
mengenai keberadaan dan kemenyatuan kolektivisme, spiritualisme, dan
kemanusiaan dalam adat tradisi Jawa yang pernah benar-benar mengikat
individu dan masyarakat, harus dipatuhi dan diamalkan, antara lain tampak
dalam peristiwa :61
(a) Memiliki rasa empati dengan ikut melayat (Tradisi kematian)
Jika terjadi sripah (kematian) di Jawa, tetangga dalam satu kampung
punya kewajiban moral dan sosial untuk melayat. Artinya, ikut
belasungkawa dengan secepatnya datang ke rumah keluarga yang berduka
(tanpa diundang), membantu meringankan beban penderitaan keluarganya.
(b) Persaudaraan yang tinggi (Rukun Tetangga)
Dalam pandangan tradisional, kampung halaman (lingkungan tempat
tinggal) di Jawa senantiasa dipahami sebagai milik bersama. Termasuk
sarana prasarana yang sengaja dibangun untuk kepentingan umum (jalan,
61
Iman Budhi Santosa, Spiritualisme Jawa Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran , (Yogyakarta :
Memayu Publishing, 2012), 13-18.
41
rumah ibadah, saluran irigasi). Kecenderungan tersebut bukan hanya
berhenti pada hal-hal yang bersifat material, namun juga sampai pada
aspek-aspek non-material, seperti kesejahteraan, keamanan, dan
kerukunan.
Dalam struktur kehidupan di Jawa, masyarakat suatu kampung nyaris
terikat dalam semangat persaudaraan yang tinggi. Dan karena terikat
dalam semangat persaudaraan itulah, mereka wajib menjaga kenyamanan
dan kerukunan secara bersama-sama.
(c) Tenggang Rasa (Pembagian Kerja)
Sejak masa lalu, komunitas agraris di tanah Jawa telah mengenal semacam
“pembagian kerja tidak kentara” yang mengisyaratkan adanya semangat
kolektivisme, spiritualisme, dan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan semangat patembayatan (kebersamaan) dan tenggang rasa
yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa selama ini.
(d) Spiritualitas (Selamatan)
Selamatan merupakan salah satu tradisi yang menonjol dalam masyarakat
Jawa. Hampir dalam setiap peristiwa “besar” atau penting selalu diadakan
ritual selamatan. Seperti kelahiran anak, pernikahan, kematian, mendirikan
rumah, panen padi, dan lain-lain. Lepas dari wujud ritual yang dilakukan,
selamatan di Jawa jelas merupakan manifestasi spiritualisme yang dimiliki
oleh mereka.
2.2.4 MOTIVASI PEMIMPIN JAWA
Untuk meningkatkan produktivitas tidak cukup hanya kualitas sumber
daya manusia saja, pada dasarnya orang Jawa cukup mempunyai motivasi
kerja, namun tidak cukup mampu berorganisasi, sehingga banyak yang gagal
menjadi entrepreneur. Karenanya, patut segera diupayakan pengembangan
kemampuan berorganisasi ini, manajemen ini, agar tujuan pengembangan
sumberdaya manusia baik secara makro maupun mikro, secara nasional
maupun individual bisa dilaksanakan.62
62
Darmanto Jatman, Solah Tingkah Orang-Orang Indonesia Esai-Esai Tentang Transformasi
Budaya, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1995), 5.
42
Selain itu untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan di dalam jemaat
mengenai pendeta, maka ada beberapa motivasi pendeta, sebagai berikut : (a)
Selaku manusia “biasa” dan warga gereja, seorang pendeta juga membutuhkan
dan berhak menerima pendampingan dan pelayanan pastoral63; (b)
Pendampingan pastoral kepada para pendeta akan meningkatkan mutu
pelayanan pendeta dan sumber daya manusia gereja, yang akan berdampak
positif bagi pengembangan gereja kita di masa depan; (c) Pendeta itu tidak
boleh dijadikan sekadar objek yang perlu dikasihani, dimana pendeta adalah
subjek bagi kehidupannya sendiri dan juga memiliki tanggung jawab sendiri.
Sebab itu, instansi pastoral yang kami usahakan tidak boleh dipandang sebagai
sekadar lembaga pelengkap atau penghiburan. Mengikuti pola pelayanan
Tuhan Yesus, kami justru memandang perlu bahwa tanggung jawab dan ke-
subjek-an pendeta dipulihkan dalam pelayanan pastoral. Hal ini tidak berarti
pelayanan pastoral itu sama dengan teguran atau peringatan resmi dari
atasan.64
2.2.5 PEDOMAN HIDUP PEMIMPIN JAWA
Pedoman hidup orang Jawa dalam mencari dan menemukan kebeningan
hati yang didambakan seperti kisah-kisah wayang sebagai berikut :
1. Resi Wisrawa-Dewi Sukesi (Bijak Menimbang Perkara yang Baik dan
Tidak Baik)65
Banyak orang menilai, memahami, dan menyimpulkan masalah
tertentu hanya berlandaskan benar-salah belaka. Padahal, di samping
benar-salah, terdapat juga : baik-buruk, menang-kalah, tepat-tidak tepat,
63
Isti lah pastoral dalam tulisan ini dipakai dalam arti positif dan menyeluruh, yaitu :
mendampingi untuk bertumbuh, dan bukan dalam arti sempit, yaitu pamerdi atau siasat gereja. 64
Dr. Andar Ismail, 163. 65
Kisah ini berawal ketika Prabu Danapati (Wisrana), putra da ri Resi Wisrawa ingin mengikuti sayembara yang dibuat Dewi Sukesi, dimana sayembara itu berisi siapa yang dapat mengubah
wujud Dewi Sukesi dari raseksi (raksasa perempuan) menjadi putri, akan dijadikan suami, dan dibekteni (dihormati, disujudi) seumur hidup. Menurut penilaian Resi Wisrawa, Danapati belum memiliki kesaktian yang mumpuni (menguasai dengan baik dan sempurna) untuk nyembadani (mewujudkan dengan kemampuan diri sendiri) syarat yang diajukan Dewi Sukesi. Maka
diputuskan, dirinya saja yang mengikuti sayembara atas nama sang anak. Nanti jika berhasil Dewi Sukesi akan diberikan pada Danapati. Akan tetapi, Dewi Sukesi menolak mentah-mentah karena dulu sumpahnya hanya akan mengabdi kepada orang yang dapat mengubah dirinya jadi
perempuan biasa. Dan orang itu adalah Resi Wisrawa, bukan Danapati.
43
untung-rugi, pantas-tidak pantas, jujur-tidak jujur, dan masih banyak tolok
ukur lainnya.
2. Testimoni Drupadi (Berbuat dan Berkata Jujur)
Drupadi merupakan istri Yudhistira, sulung Pandawa, dimana ia belajar
dari Yudhistira, suaminya, yang telah mengajarinya berbuat dan berkata
jujur. Dengan kejujuran itu aku mampu menemukan dan mewujudkan
kekuatan perempuan yang selama ini tidak pernah dibayangkannya.
3. Guru Drona (Menjadi Guru Teladan)
Dalam jagad pewayangan, nama Pendeta Drona, atau menurut lidah
Jawa lazim disebut Dahyang Durna, sudah cukup dikenal dan terkenal.
Gara-gara menjadi penasihat Kurawa dan banyak menentukan gerak
langkah mereka yang dinilai salah, serakah, dan angkara murka, maka
Durna benar-benar dicap sebagai tokoh jelek di mata orang Jawa.
Demikian bencinya orang Jawa dengan Durna, sampai-sampai ketika
terjadi peristiwa sosial yang dinilai buruk, masyarakat sering berucap :
“Mesthi ana Durnane …” artinya, ada dalang semacam Durna yang
menganjurkan perbuatan buruk tersebut dilakukan.
Padahal, realitasnya Resi Durna adalah satu-satunya guru besar yang
diakui oleh Pandawa dan Kurawa karena telah mengajarkan berbagai ilmu
jaya kawijayan (ilmu kesaktian) saat mereka muda dulu. Guru artinya
adalah sosok yang digugu lan ditiru (diikuti/dipercaya dan ditiru). Dalam
pandangan yang lebih modern, seperti Ki Hajar Dewantara, seorang guru
haruslah bisa mewujudkan sikap : ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani artinya, guru dituntut pula untuk
mampu menjadi pemimpin yang baik. Di depan menjadi teladan, di tengah
membangun semangat, di belakang tidak tinggal diam dan selalu
membangkitkan kepercayaan diri.66
4. Fenomena Semar (Tidak Pamrih)
Semar adalah pamomong Pandawa yang jempolan. Namun sesungguhnya,
Semar adalah „pesakitan‟, atau narapidana. Sebagai dewa, Ismaya menjadi
66
Iman Budhi Santoso, Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati Menuju Tata Hidup-Tata Krama
Tata Prilaku, (Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media, 2013), 2-47.
44
Semar karena harus menebus dosa. Menjalani hukuman Sanghyang
Tunggal gara-gara rebutan tua dengan Tejamaya agar dapat mewarisi
kekuasaan kahyangan serta jagad Tribuwana. Dengan kata lain, Ismaya
(Semar) dan Tejamaya (Togog) adalah sosok yang semula „haus
kekuasaan‟, akhirnya dapat terjungkal menjadi batur (Abdi) akibat punya
pamrih berlebihan, dimana Semar mengabdi pada Pandawa karena pamrih.
5. Durmuka-Drestakesti (Jujur dan Ikhlas)
Baik dalam kasunyatan hingga kisah wayang, jujur dan ikhlas benar-benar
sifat yang terpuji, langka, mahal; namun sering tidak popular. Dalam kisah
Mahabharata, ada empat tokoh Kurawa yang banyak sedikitnya telah
menunjukkan sifat jujur dan ikhlas, yaitu Dewi Dursilawati, Yuyutsu,
Durmuka, dan Drestaketi. Empat orang inilah yang lolos dari maut yang
sengaja diciptakan trah Bharata di Tegal Kurusetra, sehingga empat orang
ini menerima gelar karena keempat orang ini memiliki „kesaktian‟
melebihi saudara-saudaranya yang lain.
6. Tragedi Kumbakarna (Memiliki Hati yang Baik)
Kumbakarana adalah adinda dari Prabu Rahwana, meskipun berwujud
raksasa, namun hatinya baik, dan tidak menyetujui polah-tingkah sang
kakak yang ugal-ugalan sampai mencuri istri orang.
7. Sukasrana-Kalabendana (Cinta yang Tulus)
Sukasrana adalah seorang raksasa bungkik yang adik dari Sumantri
seorang ksatria. Sebagai wujud cintanya yang tulus kepada Sumantri,
kakaknya, Sukasrana telah berjasa besar memindahkan taman Sriwedari ke
keraton Maespati sehingga Sumantri berhasil sinengkakake ngaluhur
(dinobatkan) jadi patih oleh Prabu Arjunawijaya.
Sedangkan Ditya Kalabendana adalah seorang raksasa kerdil,
wajahnya tenang, jujur, dan bicaranya agak celat (gagu), paman dari
Gatotkaca. Paman Ditya Kalabendana sangat mencintai Gatotkaca,
keponakannya sehingga mau membantu Gatotkaca menjaga ksatrian
Plangkawati sekalian menemani Dewi Siti Sendari.
8. Sugriwa-Subali (Jangan Khawatir)
Potret kecil dari dunia ini layak dipetik sebagai gegebengan
45
(pegangan, pedoman) bagai siapa pun yang fungsi perannya sering disebut
dengan ungkapan satiris sebagai „ban serep‟. Persoalannya, mereka yang
kebetulan berada pada posisi ini seringkali sesambat, mengeluh dalam hati
: “Kaningaya temen. Urip sepisan mung dadi ban serep, dadi tambel
butuh. Paribasan menang melu surak, kalah melu kepidak… (sia-sia benar.
Hidup sekali hanya menjadi cadangan, untuk menambal kebutuhan. Ibarat
menang ikut bersorak, kalah ikut terinjak)”.
Posisi serep belum tentu lebih asor (kalah) dibandingkan mereka yang
dipercaya sebagai garu laku, pinitaya dadi cucuk lampah (alat pembajak
sawah, dipercaya jadi pemimpin perjalanan) atau pun jadi manggala yuda
(senapati perang). Sebab, masing-massing memiliki fungsi peran berbeda.
Jika disanepakan dalam proses mengasah benda tajam, yang pertama
ibarat wungkal kasar (batu asah kasar), yang kedua adalah wungkal alus
(batu asah halus). Yang pertama untuk mbladhah gaman (menghilangkan
bekas kikiran dan menghaluskan benda tajam), yang kedua untuk
menghaluskan serta menajamkan. Semuanya perlu, sehingga orang yang
diposisikan seperti itu tidak harus merasa lebih rendah dan merasa
katiyasan nya (kesaktian atau kemampuannya) kalah disbanding yang
difungsikan sejak awal.
Contoh nyata bahwa orang yang menjadi serep dapat lebih sukses
dalam menyelesaikan kisah kehidupan, tampak pada kasus Subali dan
Sugriwa. Sejak kecil, Subali memang punya kelebihan dalam segala hal
dibanding adiknya.
Tanpa tedheng aling-aling (ditutup-tutupi lagi), awalnya yang jadi
peran utama adalah Subali. Karena dialah yang lebih sakti, sementara
Sugriwa nyaris hanya jadi ndherek wonten wingking (ikut serta tetapi
posisinya di belakang/bukan menjadi inti, tetapi semacam pelengkap).
Alias, jadi ban serep atau pelengkap, atau sekadar rewang-kadang
(membantu saudara).
Namun, apa yang terpampang dalam kasunyatan selanjutnya ternyata
meleset dari impian Subali. Gara-gara salah tafsir terhadap apa yang
dipesankan kakaknya perihal darah merah dan darah putih yang mengalir
46
dari gua, justru sang adiklah yang memperoleh anugerah dewata. Sungguh
di luar dugaan memang, karena Sugriwa yang fungsi perannya dalam
kasus Gua Kiskenda hanya jadi ban serep, ternyata malah berhasil
menyunting Dewi Tara dan sinengkakake ngaluhur (derajatnya dinaikkan)
oleh dewata serta mukti wibawa (hidup senang) jadi raja Gua Kiskenda.
Karena itulah, kita tidak perlu was-was. Siapa pun, kapan pun, dapat
saja berfungsi sebagai orang pertama, atau orang kedua. Namun, karena
jasa pemain cadangan, atau ban serep, atau bibit sulaman itulah seringkali
gancaring lelakon (lancarnya suatu proses kejadian) dapat sukses terwujud
hingga tancep kayon (akhir pertunjukkan wayang kulit di pagi hari yang
ditandai dengan kayong/gunungan ditancapkan oleh dalang di tengah-
tengah kelir) nanti.
9. Anggada Duta hingga Pandawa Dadu (Mempunyai Pendirian Teguh)
Ungkapan ela-elu, katut-keplurut, kegandheng-kegeret, kegendeng-
keceneng67, menggambarkan perbuatan seseorang atau banyak orang yang
posisinya mirip gerbong kereta api. Dalam wujud yang lebih hidup, sikap
perbuatannya dapat juga disamakan dengan rombongan itik atau kambing
yang tengah digembalakan. Artinya, apa yang diperbuat bukannya murni
atas pendapat pribadi yang kokoh teruji, melainkan hanya karena ditarik
atau tertarik sikap pendapat orang lain yang dianggap benar.
Di Jawa, sikap perbuatan ela-elu dianggap buruk dan banyak dicela
oleh masyarakat sekelilingnya. Karena ela-elu dapat dijabarkan melu-
melu, ikutan, mrana melu mrana-mrene melu mrene (ke sana ikut ke sana,
ke sini ikut ke sini). Sekali waktu ikut si A dan menolak si B, namun lain
waktu justru berbelok ikut si B dan menyalahkan si A. Keadaan tersebut,
mungkin karena dia tidak memiliki „daya tawar‟ yang cukup untuk
menolak ajakan si A, sehingga terpaksa mengikutinya. Tetapi, bisa juga
lantaran si B memberikan iming-iming yang menggiurkan. Dan ketika apa
yang didambakan pada si A tidak tercapai, segera saja dia putar haluan
mengikuti ajakan lain yang dirasa lebih menguntungkan. Inilah sikap yang
67
Ikut ketarik ke sana – ke mari. Gambaran orang yang tidak mempunyai pendirian kokoh
sehingga mudah terpengaruh oleh sikap pendapat orang lain.
47
dimiliki oleh Anggada Duta68 dan Pandawa Dadu69.
10. Gandarwa70 Hutan Kamiyaka (Berpegang pada Prinsip)
Konon, dalam kisah wayang, Amartapura dulunya adalah hutan
Kamiyaka yang juga gudang memedi. Namun, Pandawa berhasil
menaklukkan para jin penunggunya dan mengubah hutan seram itu
menjadi negeri yang gemah ripah tata tentrem kertaraharja (makmur,
tertata, tenteram, aman, selamat dan sejahtera). Maka, jika para memedi
berhasil melakukan inkarnasi ke dalam dunia kebudayaan modern, apakah
kita harus mengalah dan kalah oleh mereka? Sebab, seperti nasihat para
sesepuh, mengalahkan memedi itu sebenarnya mudah. Bekal utamanya
adalah „tatag-teteg-teguh-tanggon‟ (watak atau sifat yang kuat selalu
berpegang pada prinsip). Artinya, melawan memedi harus dengan cara
memedi, bukan dengan cara manusia biasa (melawan kejahatan harus
dengan cara mengenali kejahatan itu sendiri).
11. Sapa Sira Sapa Ingsung (Menciptakan Kerukunan dan Menghargai
Orang Lain)
Hampir semua wulang-wuruk mengenai tata hidup, tata laku, dan tata
karma di Jawa bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman hidup lahir
batin, dunia akhirat. Sedangkan salah satu upaya mewujudkan
ketenteraman tersebut adalah dengan menciptakan kerukunan. Di mana
inti dari kerukunan dalam filosofi Jawa adalah ngajeni liyan (menghormati
orang lain). Menghargai dan menghormati orang lain dengan cara
68
Ketika Anggada diutus Sri Rama mengukur kekuatan Alengkadiraja, dia ketemu Rahwana. Dalam pertemuan tersebut Rahwana menghasut Anggada dengan memberitahu bahwa yang
membunuh ayahnya, Resi Subali adalah Sri Rama karena bel um pernah mendengar sama sekali kisah tadi, Anggada terkejut dan langsung naik pitam. Ia kembali ke pesanggrahan, dan mengamuk mau membunuh Sri Rama. Untunglah Anoman da pat menaklukkan dan menyadarkan
saudara sepupunya itu. Setelah insyaf, Anggada kembali ke Alengka untuk menebus kesalahannya. Dari perjalanannya yang kedua ia berhasil mencuri mahkota Rahwana dipersembahkan kepada Sri Rama. Dalam kisah ini, ela-elu-nya Anggada berakhir dengan positif. Ia berhasil mengubah ela-elu yang dilakukan dengan sikap pil ihan yang tepat sebagai seorang
prajurit. 69
Dalam Pandawa Dadu, nasib Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Drupadi juga jadi ikut buram karena kegandheng-kegeret atau kegendeng-keceneng sikap Yudhistira, sang kakak, yang nekat melayani Kurawa bermain dadu. Meskipun kalah, demi etos ksa tria yang dibelanya, Yudhistira
tidak mau berhenti sampai l incin tandas modal dan kehormatannya, hingga tega menjadikan istrinya, Drupadi, sebagai taruhan di meja judi. Akibat kekalahan tadi, mereka menerima hukuman pembuangan selama tiga belas tahun. 70
Nama-nama hantu di Jawa.
48
meletakkan nilai atau derajat orang lain lebih tinggi daripada diri sendiri.
Maka, seluruh tatanan hidup di Jawa selalu mengandung dua aspek
tersebut : rukun dan ngajeni liyan. Dan percaya tidak percaya, semangat
hidup orang Jawa yang masih ngenggoni Jawane (menempatkan diri pada
adat tradisi budaya Jawa) adalah menciptakan patembayatan
(persaudaraan), bukan menumbuhkembangkan sikap perilaku : sapa sira-
sapa ingsun; siapa kamu, siapa aku.
Apabila dicermati, ungkapan sapa sira-sapa ingsun setara dengan
vonis yang menyatakan : status atau nilai kamu lebih rendah dari diriku,
sedangkan aku lebih tinggi segala-galanya daripada kamu. Dari bahasa
saja sudah tampak, bagaimana orang lain dipanggil sira (kamu) dalam
posisi rendah, dan aku disebut sun (ingsun) yang berarti lebih tinggi
sehingga ungkapan ini sering digunakan raja ketika menyebut dirinya.
Apabila yang bersangkutan masih menghargai orang yang dituju tentu
kesetaraan derajatnya tetap dijaga. Dengan demikian, dia akan
menggunakan penyebutan aku dan sira, atau ingsun dan panjenengan
(kamu dalam bahasa karma inggil/bahasa halus di Jawa).
Maka, tidak mengherankan jika unen-unen ini sering dipakai dalam
dialog pewayangan sebagai awal mula terjadinya perang (konflik), di
mana orang lain sudah dianggap buruk, salah, menjadi musuh, dan harus
diletakkan di bawah. Mengenai kerukunan dan rasa hormat, orang Jawa
sering mengaca pada kisah Pandawa-Kurawa dalam Mahabharata.71
Ketika terjadi pertikaian atau konflik, akal pikiran waras selalu tidak
digunakan lagi. Padahal, yang merasa benar belum tentu pilihannya tepat,
yang salah belum tentu kalah, yang baik bisa saja mengalami jungkir balik.
Dan manakala semua itu terjadi, nasihat di Jawa sudah menyatakan : bener
during mesthi pener, salah during mesthi kalah, becik bisa kuwalik. Ketika
terjadi congkrah (permusuhan), orang Jawa diharapkan untuk ingat pada
unen-unen : rukun agawe santosa crah agawe bubrah (rukun membuat
71
Meskipun bersaudara karena sama-sama trah Bharata, namun anak-turun Pandu dan Destarata
ini tidak pernah rukun. Senantiasa crah, congkrah (percekcokan, permusuhan), dan tidak saling menghormati secara akut. Puncaknya, Kurawa cures (mati semua/tidak ada yang hidup) dan Pandawa sukses menobatkan Parikesit menjadi raja Hastina. Namun, setelah Bharatayuda pun
kebesaran Pandawa juga musnah, dan akhirnya muks a : mati satu demi satu.
49
sentosa, bertengkar membuat rusak semuanya), Terlebih ketika pada
relung hatinya yang paling dalam masih tersisa nilai-nilai tepa salira,
lembah manah, momor momot nggendhong nyunggi (tenggang rasa,
bersikap merendah/tidak tinggi hati, bercampur-lebur menyatu
menggendong-menyunggi), agaknya sikap perilaku menghargai dan
menghormati orang lain juga akan bertunas kembali kelak kemudian hari.
2.2.6 KEPEMIMPINAN JAWA
Kepemimpinan Jawa, meliputi :
a. Psikologi Kepemimpinan Jawa : Mawas Diri
Meniti perjalanan kepemimpinan kita, memang menggoda. Mulai dari
tuding-menuding, lengser-melengser, jegal-menjegal, dan akhirnya jatuh
pada persoalan puas dan tak puas.
Lima pegangan utama seorang pemimpin, yaitu :
1. pimpinan harus menyingkirkan nafsu pancadriya, seperti sifat : (a) cengil
(upaya menyengsarakan pihak lain); (b) panasten (hati mudah terbakar
jika orang lain mendapat kenikmatan); (c) kemeren (iri hati); (d) dahwen
(senang mencampuri urusan orang lain); (e) gething (kebencian), dan
sebagainya.72
2. pemimpin harus patuh kepada raja yang ada dalam dirinya, yaitu hati
Hati adalah raja tubuh manusia yang amat menentukan segalanya. Hati
adalah penentu segalanya. Karena itu, seorang pemimpin perlu
memperhatikan penyakit hati yang mungkin timbul. Di antara penyakit
hati tersebut antara lain, nafsu ingin berkuasa terus-menerus, kumingsun
(sombong diri), dan ingin menang sendiri. Tindakan semacam ini, bukan
dilandasi hati yang terdalam (nurani).
3. Pemimpin selalu bertindak dengan laku hening (kejernihan pikir, batin),
heneng (penuh pertimbangan), hawas (waspada), eling (ingat kepada
Tuhan), dan wicaksana (bijaksana).
4. pimpinan harus taat pada nasehat guru
Maksudnya, pimpinan perlu memiliki penasihat yang handal. Hanya saja,
72
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta : Cakrawala, 2006), 171-173.
50
seringkali nasehat tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal. Atau,
bahkan seringkali nasihat tersebut ada yang memiliki tendensi tertentu,
yang hanya menguntungkan suatu kelompok – ini jelas berbahaya.
5. Pimpinan harus mengasihi terhadap sesama
Kasih sayang adalah sangat mahal bagi seorang pimpinan. Kasih sayang
tak hanya diwujudkan dalam bantuan material, melainkan pemberian
keadilan dan kepercayaan pada rakyat. Rakyat menginginkan bahwa
keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman adalah milik bersama.
Dari lima hal tersebut, seorang pimpinan dapat melakukan refleksi diri.
Hal ini menegaskan bahwa mawas diri adalah kunci keberhasilan seorang
pimpinan. Pimpinan hendaknya mampu mengolah hati dengan cara mawas
diri (mulat sarira). Dalam kaitan ini orang Jawa mengenal tiga falsafah
psikologis mawas diri, yaitu sikap rumangsa handarbeni, wani
hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani artinya, merasa memiliki,
berani membela demi keadilan dan kebenaran, serta mau mawas diri.
Pemimpin yang mampu berbuat demikian, akan bisa rumangsa (mampu
merasakan) penderitaan rakyat, dan bukan sebaliknya rumangsa bisa
(ingin disanjung, sombong, dan sok tahu).73
Tepa selira adalah bagian dari mawas diri. Secara psikologis, tepa
selira akan memberikan tuntunan kebijaksanaan seorang pemimpin.
Namun demikian, tepa selira tak berarti harus meninggalkan aspek lain.
Karenanya, pimpinan dituntut benar-benar jeli dalam menerapkan prinsip
ini. Maksudnya, pimpinan memang tak dibenarkan berjiwa balas dendam,
karena sifat satu ini hanya akan menyulut permusuhan.
b. Ideologi Pemimpin Jawa
Ideologi kepemimpinan Jawa yang selalu dipegang teguh tak lain
seperti diterakan dalam Serat Adigama, meliputi : (1) sihsamastabuwana,
artinya memiliki sifat kasih sayang pada dunia sekelilingnya, (2)
dwiyacitra, artinya mampu mengantisipasi segala situasi, (3) ginong
pratidina, tiap saat menciptakan harmoni dalam kehidupan yang mapan,
(4) dirotsaha, membela hak-hak yang lemah.
73
Ibid, 174-175.
51
Hal senada juga dikemukakan dalam Serat Suryaraja, bahwa seorang
pemimpin Jawa hendaknya menguasai empat hal, yaitu : (a) amulacantra,
artinya senantiasa memperhatikan perubahan dunia sekelilingnya, (b)
pandamprana, artinya bersikap transparan dalam olah intelektual dan
mengambil langkah-langkah positif dalam pemerintahan, (c) sundaracitra,
artinya agung dan lembut dalam menjatuhkan hukuman pada yang
bersalah, (d) dayakuwera, artinya bersedia berkorban dengan
melimpahkan kepada kawula alit yang membutuhkan bantuan.
Oleh sebab itu, Ki Hajar Dewantara memberikan ideologi
kepemimpinan Jawa : ing ngarso sung tulodo, memberikan contoh
sedemikian sehingga orang akan mengikuti atas dasar keyakinan, ing
madya mangun karso, mendorong kemauan dan kreativitas mereka sendiri,
sementara tut wuri handayani, membantu perkembangan inisiatif dan
tanggung jawab. Dengan demikian, seorang pemimpin harus memiliki
kualitas sebagai penunjuk jalan, atau pengasuh, yang mendorong,
memimpin dan membimbing mereka yang harus dididik (asuhannya).74
c. Pemimpin Jawa Ideal
1. Memiliki Lima Belas Sifat
Dalam Serat Negarakertagama, terdapat 15 sifat Patih Gadjah Mada
yang patut diteladani oleh pemimpin bangsa. Namun, dari 15 sifat tersebut
ada yang masih relevan dengan kondisi kepemimpinan termaksud adalah :
(a) wignya, artinya bijaksana dalam memerintah. Ia penuh hikmah dalam
menghadapi berbagai kesukaran. Akhirnya bisa berhasil menciptakan
ketenteraman; (b) mantriwira, pembela yang berani karena benar; (c)
wicaksaneng naya, bijaksana dalam sikap dan tindakan. Kebijaksanaannya
selalu terpancar dalam setiap perhitungan dan tindakan, baik ketika
menghadapi lawan maupun kawan, bangsawan maupun rakyat jelata; (d)
matangwan, memperoleh kepercayaan karena tanggung jawabnya yang
besar sekali dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan
di atas kepalanya; (e) satya bhakti aprabu, bersikap setia dengan hati yang
74
Niels Mulder, Ideologi Kepemimpinan Jawa, dalam Hans Antlov, Sven Cederroth, P. Soemitro (terj.), Kepemimpinan Jawa : Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, (Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2001), 84.
52
tulus ikhlas; (f) wagmi wak, pandai berpidato dan berdiplomasi
mempertahankan atau meyakinkan sesuatu; (g) sarjjawopasama, berwatak
rendah hati, berbudi pekerti baik, berhati emas, bermuka manis dan
penyabar; (h) dhirotsaha, terus menerus bekerja rajin dan sungguh-
sungguh; (i) tan lalana, selalu tampak gembira meskipun di dalamnya
sedang gundah gulana; (j) diwyacitta, mau mendengarkan pendapat orang
lain dan bermusyawarah; (k) tan satrisna, tidak memiliki pamrih pribadi
untuk menikmati kesenangan yang berisi girang dan birahi; (l) sih-
samasta-bhuwana, menyayangi seluruh dunia sesuai dengan falsafah
hidup bahwa segala yang ada di dunia sesuai dengan falsafah hidup bahwa
segala yang ada di dunia ini adalah fana, bersifat sementara; (m) ginong
pratidina, selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk; (n)
sumantri, menjadi abdi yang senonoh dan sempurna kelakuannya; (o)
anayaken musuh, bertindak memusnahkan musuh, meskipun sebenarnya
selalu menjalin kasih sayang kepada sesama.75
2. Menjadi Sumber 3 K
Kewajiban seorang pemimpin ada enam yang harus ditaati, yakni, (a)
nut wiradat, artinya mengikuti upaya dan usaha manusia dengan penuh
tanggung jawab; (b) nyangkul sagawene, artinya menjalankan tugas
sepenuh hati, tak banyak menolak dan berkomentar. Kritis boleh saja
asalkan benar, namun sikap setia justru lebih baik apabila pekerjaan itu
mulia. Karena itu, pemimpin perlu menjalankan tugas dengan wekel (rajin
dan sungguh-sungguh) dan tawakal (berserah diri kepada Tuhan); (c)
mbiyantu Negara sakadare, artinya mau membantu kesejahteraan dan
ketenteraman rakyat menurut kemampuannya. Bantuan diberikan dengan
ikhlas dan tanpa pamrih; (d) ngowel ing kapitunan, artinya lebih hati-hati
menjalankan tugas; (e) milu rumeksa pakewuh, artinya ikut menjaga dan
mempertahankan dengan sepenu hati. Jika ada masalah, tak saling
melempar, tapi harus bertanggung jawab; (6) murinani rusake praja,
artinya selalu mengetahui kesulitan rakyat banyak. Tentunya, lalu ingin
mencari jalan keluar. Termasuk di dalamnya selalu memperhatikan suara
75
Suwardi Endraswara, op.cit, 177-182.
53
rakyat.76
Adapun larangan bagi seorang pemimpin, ada lima hal, yaitu : (1) aja
akarya giyuh, artinya jangan sampai seorang pemimpin justru membuat
kerusuhan atau masalah. Termasuk jangan menjadi dalang kerusuhan dan
masalah; (2) aja karya isin, artinya pemimpin jangan sampai membuat
malu diri sendiri dan kroninya. Pemimpin harus bersih dan berwibawa; (3)
aja rusuh ing pangrengkuh, artinya pemimpin diharapkan mampu
melindungi warga, jangan sampai membuat rasa khawatir rakyat; (4) aja
mrih pihala, artinya seorang pemimpin jangan sampai berbuat yang tak
terpuji. Pemimpin adalah tauladan rakyat. Jika sekali berbuat salah,
apalagi menyalahgunakan jabatan dan wewenang akan dinilai jelek oleh
rakyat; (5) aja kardi nepsu, artinya jangan sampai seorang pemimpin
mudah marah, tanpa alasan yang jelas. Pemimpin sebaiknya banyak
senyum kedamaian.
Pemimpin yang baik, sebaiknya menjadi sumber tiga hal (tiga K) yang
selalu didambakan rakyat, yaitu :
a. kasenengan (kesenangan)
Pemimpin harus mampu menciptakan kesenangan, dengan cara
menghargai pendapat rakyat, dan bersikap demokratis. Karena itu,
pemimpin yang otokratik, biasanya tidak disukai rakyat. Itulah
sebabnya, diharapkan ada pemimpin yang bisa manjing ajur-ajer,
artinya bisa menyatu dengan hati rakyat. Kesenangan pemimpin juga
kesenangan rakyat, bukan sepihak.
b. kasugihan (kekayaan)
Yakni, pemimpin yang mampu menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan sangat diharapkan.
c. ketenteraman, yaitu pemimpin yang berwatak sabda pandhita ratu
Artinya, pemimpin yang taat pada janji dan sumpah. Jabatan sebagai
amanat yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Karenanya, dalam segala sikap dan tindakannya dapat menenteramkan
hati rakyat.
76
Ibid. loc.cit.
54
3. Falsafah kepemimpinan ideal, yang memiliki ciri-ciri : (a) orang-orang
yang suci dan ikhlas memberikan ajaran dan bimbingan hidup sejahtera
lahir dan batin kepada rakyat, seperti para pendeta dan pembantu-
pembantunya serta seperti kyai dn santri-santrinya; (b) orang-orang dari
keturunan baik-baik, berkedudukan pantas, yang ahli, yang rajin
menambah pengetahuan, yang hidup berkecukupan dan yang jujur. Itulah
persyaratan guru yang berkecukupan dan yang jujur; (c) orang-orang yang
paham akan hukum-hukum agama, yang beribadah dan tak ragu-ragu akan
kebenaran Tuhan, yang suka bertapa, yang tekun mengabdi masyarakat
dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain; (d) pemimpin harus
patuh kepada raja yang ada dalam dirinya, yaitu hati Hati adalah raja tubuh
manusia yang amat menentukan segalanya. Hati adalah penentu segalanya.
Karena itu, seorang pemimpin perlu memperhatikan penyakit hati yang
mungkin timbul. Di antara penyakit hati tersebut antara lain, nafsu ingin
berkuasa terus-menerus, kumingsun (sombong diri), dan ingin menang
sendiri. Tindakan semacam ini, bukan dilandasi hati yang terdalam
(nurani).77
d. Pegangan Pemimpin Jawa : Sastra Jendra
1. Menguasai Ngelmu Tuwa
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu mengajarkan
pemimpin sejati, pinilih, yakni, pemimpin yang kewahyon (menerima
wahyu), bukan pemimpin yang sekedar tergoda nafsu berkuasa.
Sastra tersebut ingin menggambarkan bahwa kepemimpinan ada
hubungannya dengan faktor keturunan. Keturunan orang baik, boleh jadi
akan menurunkan pemimpin baik pula. Begitu pula sebaliknya, pemimpin
yang jelek, akan memunculkan figur pemimpin yang serakah. Berarti,
pemimpin memang terkait dengan konsep tradisi bibit-bobot-bebet,
artinya, keturunan, kedudukan, kewibawaan (kepandaian) akan
mempengaruhi pemimpin berikutnya.
Sastra berarti tulisan (ilmu) rahasia dan Jendra berarti raja
(pemimpin), Hayuningrat berarti keselamatan dunia. Negara akan
77
Ibid. loc.cit.
55
tenteram, manakala seorang pemimpin mampu menjalankan Pangruwating
Diyu, artinya ilmu untuk menghancurkan nafsu angkara (diyu). Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bermakna jika pemimpin
berpegang pada ilmu rahasia, yakni mampu menumpas angkara murka,
maka Negara akan selamat. Tentu saja, pemberantasan angkara murka
harus bersikap bijak.
2. Memimpin dengan akal budi
Belajar dari kisah Sastra Jendra tersebut, kini saat pemimpin bangsa
mulai harus menata diri, artinya memimpin bangsa ini dengan akal budi
dan bukan lagi dengan nafsu. Pemimpin yang memanfaatkan akal budi,
tentu tak akan segampang memberikan ampunan pada orang yang belum
jelas bersalah.
e. Tiga Kategori Pemimpin Jawa
Menurut Babad Tanah Jawa, ada tiga kriteria seorang pemimpin
bangsa dan Negara, yakni, mereka yang tergolong pemimpin nistha,
madya, utama.78
1. pemimpin yang tergolong nistha, adalah mereka gila terhadap harta
kekayaan (melikan arta).
Pemimpin semacam ini, biasanya ingin menyunat hak-hak kekayaan
rakyat dengan aneka dalih dan cara. Harta kekayaan rakyat diatur
sedemikian rupa, sehingga tampak legal, kemudian dikuasai semaunya
sendiri. Biasanya, pemimpin nistha tersebut banyak dalih (julig) dan alibi
bertubi-tubi. Dia pandai bersilat lidah, seakan-akan bisa merebut hati
rakyat, padahal ada pamrih. Pemimpin tipe ini hanya akan
menyengsarakan rakyat terus-menerus.
2. Pemimpin tergolong madya
Bercirikan dua hal, yakni, (a) pemimpin yang mau memberikan sebagian
rejekinya kepada rakyat. Pemberian disertai niat tulus dan keikhlasan.
Apalagi, kalau ada rakyat yang minta. Pemimpin madya, tak berusaha
menggemukkan badan sendiri sementara rakyat di kanan kiri jatuh miskin
tujuh turunan. Pemimpin madya, mau memberi sebagian harta tetapi tidak
78
Ibid, 188-191.
56
boros; (b) pemimpin yang mampu menghukum rakyat yang berbuat dosa
dengan sikap adil.
3. Pemimpin yang tergolong utama memiliki ciri bersikap berbudi
bawaleksana
Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara ikhlas lahir
batin. Mereka juga tidak mengharapkan apa-apa dari rakyat, kecuali hanya
pengabdian yang sesuai kewajibannya. Kecuali itu, mereka juga memiliki
sikap teguh janji. Apa yang dijanjikan harus ditepati. Terlebih lagi janji
kepada Tuhan, melalui sumpah jabatan.
Pemimpin utama (sejati) harus berjiwa asih asah asuh. Maksudnya,
kata asih berarti cinta terhadap orang lain (bawahan, rakyat), kata asah
berarti menggosok agar yang dipimpin semakin tajam pemikirannya, dan
kata asuh berate ngemong (mengayomi).79
2.3 PENDETA GKJ (Gereja Kristen Jawa)
2.3.1 PENDETA DALAM GKJ
a. Menurut Pokok-Pokok Ajaran GKJ
Pokok-pokok Ajaran GKJ, Minggu ke-11, Tanya/jawab 103, dibicarakan
Tata Kehidupan Gereja. Gereja dipahami sebagai religius, yang dipimpin
oleh Majelis Gereja (T/J 111) yang disusun atas dasar prinsip bahwa setiap
orang percaya jabatan imamat am, sehingga bentuk kepemimpinan yang
tepat adalah dewan. Majelis Gereja dibentuk melalui pemilihan dari dan
oleh anggota gereja setempat (T/J 113). Sifat kepemimpinan adalah
pelayanan (T/J 114), yang diwujudkan dalam tugas mengatur oleh penatua,
tugas mengajar oleh pendeta, dan tugas pelayanan oleh diaken. Jadi
pendeta adalah pelayan gereja yang tugas utamanya adalah mengajar.
Pendeta bersama-sama dengan Penatua dan Diaken, mengemban tugas
menyelenggarakan kepemimpinan gereja yang bersifat pelayanan dan
bukan penguasaan.
79
Ibid. loc.cit.
57
b. Dalam Tata Gereja/Tata Laksana
Tata Gereja GKJ dalam penjelasan (Bab 1, butir 15) menyebut bahwa
pendeta adalah pejabat gerejawi yang dipilih, dipanggil, dan
ditahbiskan/diteguhkan oleh jemaat secara khusus untuk melayani jemaat
Tuhan dengan penuh waktu, yang tugas utama mengajar.80 Tentang status
kependetaan antara lain disebutkan bahwa pendeta GKJ pada hakikatnya
adalah pelayan penuh waktu, dan tidak dapat merangkap sebagai tenaga
penuh waktu di lembaga lain (Pasal 7.3).
2.3.2 Pandangan GKJ Terhadap Suku dan Bahasa Seorang Pendeta
Berkebudayaan Jawa, terbuka bagi segala etnis. Komunitas jemaat Kristen
berkebudayaan Jawa ini terbentuk berawal dari adanya orang-orang Jawa yang
memeluk agama Kristen, lalu terbentuklah Pasamuan Kristen Jawi. Dari
situlah kemudian terbentuk GKJ yang mempunyai latar belakang budaya
Jawa. Gereja yang berkebudayaan Jawa inilah harus terus diperjuangkan
untuk bertahan.
GKJ awalnya merupakan gereja kesukuan yang berkebudayaan Jawa. Hal
itulah rupanya yang menjadikan keharusan bagi pendeta GKJ untuk
menguasai bahasa Jawa. Namun, Pdt. Widyatmo81 menyatakan selama
menjalani pendidikan calon pendeta tidak ada mata kuliah tentang bahasa
Jawa. Hanya saja memang ada pelajaran khusus bahasa Jawa untuk
mahasiswa asal GKJ atas inisiatif dosen-dosen Jawa. Namun demikian,
pendeta GKJ tidak harus berasal dari etnis Jawa. Dari suku apapun bisa
menjadi pendeta GKJ asal menguasai budaya Jawa. Memang tidak
sembarangan karena sebagai saringan, dia harus hidup dulu di tengah
komunitas jemaat Jawa.
Awalnya GKJ adalah salah satu gereja terbesar di Indonesia, merupakan
gereja suku atau hanya beranggotakan jemaat etnis Jawa. Namun, seiring
berjalannya waktu, sama seperti gereja-gereja di seluruh dunia, mengakui
tentang gereja yang am atau bersifat umum bagi semua orang, seperti yang
80
Sinode GKJ, op.cit., 6. 81
Pdt. Widyatmo merupakan Pendeta Emeritus dari GKJ Semarang Barat.
58
tertuang dalam pengakuan iman atau syahadat. Dengan demikian GKJ tidak
hanya berjemaat orang Jawa.82
2.3.3 Pandangan GKJ Terhadap Gender Seorang Pendeta
Kebanyakan warga jemaat yang merasa yang menjadi pendeta itu hanyalah
laki-laki karena laki-laki dipandang lebih tangguh di dalam menghadapi
persoalan di dalam jemaat, laki-laki lebih kuat di dalam melayani, laki-laki
lebih tegas di dalam mengambil keputusan. Hal demikian yang menyebabkan
banyak pendeta perempuan GKJ yang memerlukan jawaban tentang apa,
siapa, mengapa dan bagaimana dirinya dipandang dari perspektif laki-laki dan
perempuan, sehingga menjadi pergumulan serius di dalam diri para pendeta
perempuan GKJ saat ini berkenaan dengan identitas dirinya.
Menanggapi pergumulan yang dialami oleh kebanyakan pendeta
perempuan GKJ ini, maka Pdt. Andreas Untung Wiyono mengemukakan
bahwa ada tiga penyebab munculnya masalah, yaitu : 1) dasar pijakan warga
jemaat/masyarakat pada umumnya tidak/belum cukup kuat; 2) pemahaman
jati diri tidak sesuai dengan persepsi dan harapan umat; 3) kesalahan atau
kekurangan pada desain awal di dalam persepsi kependetaan yang
berpengaruh pada deskripsi fungsi dan peran; 4) faktor internal dan/atau
eksternal.83
2.3.4 ASAS KEPEMIMPINAN GKJ
Kekhasan asas kepemimpinan di Gereja Kristen Jawa (GKJ) mempunyai
dua sisi yaitu : pertama, sisi Ilahi, sebagai buah penyelamatan Allah, gereja
dengan kehidupannya dipimpin oleh Allah, melalui bekerjanya Roh Kudus di
dalam gereja dengan Alkitab sebagai alat-Nya; kedua, sisi manusiawi, sebagai
kehidupan religius yang diciptakan dan diselenggarakan oleh orang-orang
percaya yang adalah manusia, gereja dengan kehidupannya dipimpin oleh
manusia, atas kehendak Allah dalam kebijaksanaan-Nya.84
82
googleweblight.com/?lite_url=http://thomasatmojo.blogspot.com 83
Pendapat ini diungkapkan oleh Pdt. Andreas Untung Wiyono di dalam Seminar Sehari BPK
Bapelsin XXVI GKJ, pada tanggal 8 Juni 2015 di LPP Sinode Yogyakarta dengan topic Pendeta Perempuan GKJ dalam perspektif Laki -Laki dan Perempuan. 84
Sinode GKJ, Peraturan Kesejahteraan Pendeta dan Karyawan Gereja-Gereja Kristen Jawa,
(Salatiga : Sinode GKJ, 2004).
59
Gereja Kristen Jawa (GKJ) memahami asas kepemimpinan gereja itu
dilaksanakan dengan pedoman bahwa apa yang diputuskan dan atau dilakukan
oleh manusia dalam kepemimpinan gereja harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada Allah. Pemimpin gereja tidak mungkin
mempertanggungjawabkan keputusannya atau tindakannya kepada Allah
secara langsung. Oleh karena itu, untuk menentukan suatu keputusan atau
tindakan pemimpin gereja dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah atau
tidak, dipakai tiga tolok ukur yang berjenjang.
Tolok ukur yang tertinggi ialah Alkitab adalah ajaran gereja yang dibuat
berdasarkan Alkitab untuk menjadi pegangan bagi gereja di dalam
kehidupannya dan di dalam pelaksanaan fungsinya, dan yang terakhir ialah
peraturan gereja yang dibuat berdasarkan Alkitab sesuai dengan yang
dirumuskan di dalam ajaran gereja.
Bentuk kepemimpinan GKJ yaitu berdasarkan watak gereja sebagai
kehidupan bersama religius yang didalamnya setiap orang percaya memiliki
jabatan imamat am, yaitu bahwa setiap orang percaya adalah imam di hadapan
Tuhan, maka yang paling tepat bagi kepemimpinan gereja ialah bentuk dewan.
Dalam bentuk dewan lahirlah kepemimpinan gereja yang lazim disebut
Majelis Jemaat. Bertolak dari kedudukan imamat am bagi setiap orang
percaya lahirlah dua asas, yaitu : Pertama, setiap orang percaya mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan Allah, itu berarti sama juga kedudukannya
di dalam gereja Allah, oleh karena itu kepemimpinan gereja tidak
menempatkan seseorang di atas sesama orang percaya dan atas dasar itu
kepemimpinan gereja yang paling tepat ialah kepemimpinan yang terdiri dari
beberapa orang percaya yang mempunyai kedudukan sama atau sederajat yang
merupakan suatu dewan. Kedua, setiap orang percaya berhak menjadi anggota
dewan pimpinan gereja, oleh karena itu, keanggotaan di dalam dewan
kepemimpinan gereja dibatasi untuk jangka waktu tertentu, untuk memberi
kesempatan kepada sebanyak mungkin orang percaya ikut serta di dalam
kepemimpinan gereja.
Majelis gereja sebagai dewan pimpinan gereja dibentuk terdiri dari orang-
orang percaya anggota gereja yang dipilih dari dan oleh anggota-anggota
60
gereja. Karena keberadaan gereja adalah keberadaan dalam lingkup pekerjaan
penyelamatan Allah, maka pada hakikatnya isi kepemimpinan gereja adalah
justru pelayanan, tepatnya pelayanan di dalam pekerjaan penyelamatan Allah.
Oleh karena itu, mereka yang duduk di dalam majelis gereja adalah hamba-
hamba Allah. Secara asasi isi kepemimpinan gereja yang merupakan
pelayanan adalah memerintah atau mengatur, yang kemudian melahirkan
jabatan gerejawi yang disebut pendeta, dan memelihara yang kemudian
melahirkan jabatan gerejawi yang disebut diaken.
Pandangan Warga Terhadap Kepemimpinan GKJ : (a) Corak
kepemimpinan utama yang dirasakan menonjol adalah yang demokratis di
samping corak kepemimpinan yang progesif dan hierarkhis; (b) Corak
kepemimpinan bukan utama di dalam gereja adalah yang kharismatis dan atau
kebapaan/paternalistis. Kedua corak ini memperlihatkan pandangan Jawa
terhadap pemimpinnya; (c) Corak kepemimpinan menyimpang di dalam
gereja rupa-rupanya kurang diminati, yaitu yang tradisional, pasif, birokratis,
otoriter, tunggal, dan feudal; (d) Corak kepemimpinan modern adalah menjadi
dambaan warga gereja, walaupun belum menjamin restu segenap warga
terhadap corak kepemimpinan modern ini, sebab bagi warga gereja angkatan
lama masih tidak rela adanya perubahan terhadap hal-hal yang telah mapan
dalam tata kekristenan Jawa, semua yang baru walaupun mungkin baik karena
merupakan bukti dari kemampuan gereja mengaktualisasikan diri, itu dilihat
dari kemodernan pemimpin gereja yang dalam hal tersebut dipandang terlalu
permisif. Sebaliknya, bagi kaum muda, sebutan modern bagi kepemimpinan
gereja, bagi pendeta dan majelis misalnya terasa positif. Sehubungan dengan
itu hidup kegerejaan tidak kaku dan tidak kolot. Jika toh kenyataannya
demikian ini, maka ini ada di dalam gereja-gereja yang pemimpin-
pemimpinnya telah sedikit banyak mengalami peremajaan.85
2.3.5 KEWAJIBAN PENDETA GKJ
Adapun kewajiban pendeta GKJ, yaitu (1) menjaga dan menjunjung tinggi
85
Tim Benih yang Tumbuh Sinode XVII -GKJ, GKJ Gereja-Gereja Kristen Jawa Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, Yogyakarta : Taman Pustaka Kristen (TPK) Gunung Mulia, 1988,
63-64.
61
nama baik gereja atau lembaga gereja (2) melaksanakan tugas sesuai dengan
tanggung jawab yang dibebankan gereja atau lembaga gereja.86
2.3.6 ATURAN GKJ TERHADAP PROSES PEMANGGILAN
PENDETA
Pendeta sebagaimana dimaksud dalam Tata Gereja GKJ Pasal 10, Ayat 2
dipilih dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Syarat-syaratnya, meliputi : (1) Warga dewasa GKJ atau gereja lain yang
seasas, tidak sedang dalam penggembalaan khusus dan dipandang layak
untuk menjadi seorang Pendeta; (2) Telah menamatkan studi teologi
sekurang-kurangnya pada jenjang S1 dari pendidikan teologi yang
didukung oleh Sinode GKJ; (3) Bersedia menerima Pokok-pokok Ajaran
GKJ serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ; (4) Memiliki kemampuan
dan bersedia untuk menjadi Pendeta sebagai panggilan spiritual; (5) Syarat
tambahan dapat ditentukan Majelis Gereja sesuai dengan konteks
kebutuhan setempat sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa syarat-
syarat di atas.87
b. Proses Pemanggilan, Pemilihan dan Penahbisan/Peneguhan, meliputi :
(1) Proses pemanggilan, pemilihan dan penahbisan/peneguhan Pendeta
melibatkan Klasis dan Sinode GKJ; (2) Pemanggilan Pendeta dari seorang
yang belum berjabatan Pendeta dilakukan melalui proses pencalonan,
pemilihan, pemanggilan, pembimbingan, pendampingan, ujian calon
Pendeta, vikariat dan penahbisan sesuai peraturan Sinode GKJ; (3)
Pemanggilan Pendeta dari seorang yang sudah berjabatan Pendeta dari
GKJ lain dilakukan melalui proses pencalonan, pemilihan, pemanggilan
dan peneguhan sesuai peraturan Sinode GKJ; (4) Pemanggilan Pendeta
dari seorang yang sudah berjabatan Pendeta dari gereja lain yang seasas
dilakukan melalui proses pencalonan, pemilihan, pemanggilan,
pembimbingan, pendampingan, percakapan gerejawi dan peneguhan
86
Sinode GKJ, Peraturan Pembimbingan dan Ujian Calon Pendeta Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, (Salatiga : Sinode GKJ, 2003). 87
Sinode GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa , (Salatiga : Sinode GKJ, 2015),
111-113.
62
sesuai peraturan Sinode GKJ.88
88
Sinode GKJ, 111-113.