9
BAB II
STUDI LITERATUR
II.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasional
Pembangunan industri adalah bagian dari pembangunan nasional, sehingga derap
pembangunan industri harus mampu memberikan sumbangan yang berarti
terhadap pembangunan ekonomi maupun sosial politik. Oleh karenanya, dalam
penentuan tujuan pembangunan sektor industri di masa depan, baik jangka
menengah maupun jangka panjang, bukan hanya ditujukan untuk mengatasi
permasalahan dan kelemahan di sektor industri saja yang disebabkan oleh
melemahnya daya saing, tetapi juga harus mampu turut mengatasi permasalahan
nasional (KPIN, 2005). Permasalahan nasional tersebut adalah:
- Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan
- Rendahnya pertumbuhan ekonomi
- Melambatnya perkembangan ekspor Indonesia
- Lemahnya sektor infrastruktur
- Tertinggalnya kemampuan nasional di bidang teknologi
Sementara itu berbagai permasalahan pokok yang sedang dihadapi oleh sektor
industri, yaitu: pertama, ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa
bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen. Kedua,
keterkaitan antara sektor industri dan sektor industri dengan ekonomi lainnya
relatif masih lemah. Ketiga, struktur industri hanya didominasi oleh beberapa
cabang industri yang tahapan proses industrinya pendek. Keempat, ekspor produk
industri dikuasai oleh hanya beberapa cabang industri. Kelima, lebih dari 60%
sektor industri terletak di Pulau Jawa. Keenam, masih lemahnya kemampuan
kelompok industri kecil dan menengah (KPIN, 2005).
Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi,
berdampak sangat ketatnya persaingan dan cepatnya terjadi perubahan lingkungan
usaha. Produk-produk hasil manufaktur di dalam negeri saat ini begitu keluar dari
pabrik langsung berkompetisi dengan produk luar, dunia usaha pun harus
10
menerima kenyataan bahwa pesatnya perkembangan teknologi telah
mengakibatkan cepat usangnya fasilitas produksi, semakin singkatnya masa edar
produk, serta semakin rendahnya margin keuntungan. Dalam melaksanakan
proses pembangunan industri, keadaan tersebut merupakan kenyataan yang harus
dihadapi serta harus menjadi pertimbangan yang menentukan dalam setiap
kebijakan yang akan dikeluarkan, sekaligus merupakan paradigma baru yang
harus dihadapi oleh negara manapun dalam melaksanakan proses industrialisasi
negaranya.
Untuk menjawab dan mengantisipasi berbagai masalah, isu, serta tantangan di
atas, Departemen Perindustrian telah menyusun Kebijakan Pembangunan Industri
Nasional (KPIN) yang telah disepakati oleh berbagai pihak terkait, dimana
pendekatan pembangunan industri dilakukan melalui Konsep Klaster Industri
dalam konteks membangun daya saing industri yang berkelanjutan. Pada dasarnya
klaster industri adalah upaya pengelompokan industri inti yang saling
berhubungan, baik dengan industri pendukung (supporting industries), industri
terkait (related industries), jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, dan lembaga
terkait. Manfaat klaster ini selain untuk mengurangi biaya transportasi dan
transaksi, juga untuk meningkatkan efisiensi, menciptakan asset secara kolektif,
dan mendorong terciptanya inovasi.
Pembangunan industri nasional diarahkan pada penguatan daya saing, pendalaman
rantai pengolahan di dalam negeri serta dengan mendorong tumbuhnya pola
jejaring (networking) industri dalam format klaster yang sesuai baik pada
kelompok industri prioritas masa depan, yaitu: industri agro, industri alat angkut,
industri telematika, maupun penguatan basis industri manufaktur, serta IKM
tertentu (KPIN, 2005). Dalam jangka menengah (2004-2009), fokus pembangunan
industri adalah penguatan dan penumbuhan klaster-klaster industri inti yang
berjumlah sepuluh kelompok industri, yaitu: industri makanan dan minuman,
industri pengolahan hasil laut, industri tekstil dan produk tekstil, industri alas
kaki, industri kelapa sawit, industri barang kayu (termasuk rotan), industri karet
11
dan barang karet, industri pulp dan kertas, industri mesin listrik dan peralatannya,
serta industri petrokimia (KPIN, 2005).
Di sisi lain, IKM mempunyai peran yang strategis dalam perekonomian nasional,
terutama dalam penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat
serta menumbuhkan aktivitas perekonomian di daerah. Di samping itu,
pengembangan IKM merupakan bagian integral dari upaya pengembangan
ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan. Adapun tujuan pengembangan
IKM adalah (1) Meningkatkan kesempatan berusaha, lapangan kerja dan
pendapatan; (2) Memperkuat struktur industri; (3) Meningkatkan IKM berbasis
hasil karya intelektual (knowledge-based); (4) Meningkatkan persebaran industri;
dan (5) Melestarikan seni budaya kegiatan produktif yang ekonomis.
Bagi IKM, peningkatan kemitraan, baik dalam bidang pemasaran, teknologi
maupun permodalan perlu segera dilakukan. Fasilitasi pemerintah masih tetap
sangat diperlukan dan dalam intensitas yang tinggi. Pengembangan IKM perlu
dilakukan secara terintegrasi dan sinergi dengan pengembangan industri berskala
menengah dan besar, karena kebijakan pengembangan sektoral tidak bisa
mengkotak-kotakkan kebijakan menurut skala usaha. Untuk itu strategi
pengembangan IKM dilaksanakan melalui (1) Pemberdayaan IKM yang sudah
ada; (2) Pembinaan IKM secara terpadu; dan (3) Meningkatkan keterkaitan IKM
dengan industri besar dan sektor ekonomi lainnya.
II.2 Klaster Industri
II.2.1 Definisi Klaster Industri
Definisi klaster industri berkembang dari definisi yang sempit (sederhana) sampai
dengan definisi luas dan kompleks (Untari, 2004). Definisi ini berkembang seiring
perkembangan penelitian tentang klaster dan perkembangan kehidupan klaster itu
sendiri.
Definisi klaster secara sederhana adalah kumpulan perusahaan-perusahaan secara
sektoral dan spasial yang didominasi oleh satu sektor. Definisi ini banyak
12
digunakan oleh peneliti-peneliti klaster yang melakukan penelitian di negara-
negara berkembang (Schmitz dan Nadvi, 1999). Perkembangan definisi klaster
diawali dari penelitian terhadap kisah sukses Italia Utara pada tahun 1980-an.
Berdasarkan fenomena kisah sukses Italia Utara tersebut dirumuskan karakteristik
kunci klaster atau industrial district (Schmitz dan Musyck, 1994) sebagai berikut :
1. Didominasi oleh usaha kecil yang beraktivitas pada sektor yang sama
(spesialisasi pada sektor) atau sektor yang berhubungan.
2. Kolaborasi antar usaha yang berdekatan dengan berbagai peralatan,
informasi, tenaga kerja terampil, dan lain sebagainya.
3. Perusahaan-perusahaan tersebut saling bersaing dengan lebih berdasarkan
pada kualitas produk daripada menurunkan ongkos produksi termasuk
upah.
4. Pengusaha dan pekerja memiliki sejarah panjang pada lokasi tersebut. Hal
ini memudahkan saling percaya dalam berhubungan baik antara usaha
kecil, antara pekerja, dan tenaga kerja terampil.
5. Pengusaha diorganisir dengan baik dan berpartisipasi aktif dalam
organisasi mandiri.
6. Ada pemerintah lokal dan regional yang aktif mendukung pengembangan
klaster industri lokal atau daerah.
Humphrey dan Schmitz (1995) membedakan definisi klaster dan industrial
district yaitu klaster didefinisikan sebagai berkumpulnya perusahaan secara
geografis maupun sektoral, sehingga mendapatkan manfaat dari external
economics, yaitu munculnya supplier yang menyediakan bahan baku dan
komponen, mesin-mesin baru atau bekas dengan suku cadangnya; tersedianya
tenaga kerja terampil. Klaster juga akan menarik agen yang akan menjual hasil
produksi klaster ke pasar yang jauh (bukan pasar lokal), dan munculnya berbagai
penyedia jasa teknik, keuangan dan akunting. Sedangkan industrial district, akan
muncul jika klaster berkembang lebih dari sekedar adanya spesialisasi dan
pembagian kerja antar perusahaan dengan munculnya kolaborasi antara agen
ekonomi lokal di dalam suatu wilayah, dan meningkatnya kapasitas produksi lokal
13
dan kadang-kadang kapasitas inovasi juga meningkat, serta munculnya asosiasi
sektoral yang kuat.
Selanjutnya definisi klaster berkembang menjadi lebih luas dan kompleks.
Definisi klaster yang diusulkan oleh Porter (1998) menyatakan bahwa klaster
sebagai suatu kelompok perusahaan yang saling terhubung berdekatan secara
geografis dengan institusi-institusi yang terkait dalam suatu bidang khusus;
mereka terhubung karena kebersamaan dan saling melengkapi. Dengan definisi
tersebut, suatu klaster industri dapat termasuk pemasok bahan baku dan input
yang spesifik, sampai ke hilir (pasar atau para eksportir), termasuk juga lembaga
pemerintah, asosiasi bisnis, penyedia jasa, dan lembaga lain (universitas, lembaga
pelatihan) yang mendukung perusahaan-perusahaan dalam klaster.
Lingkup geografis klaster dapat sangat bervariasi, terentang dari satu desa saja
atau salah satu jalan di suatu kota, sampai mencakup kecamatan atau provinsi.
Klaster yang didefinisikan Porter (1998) menggambarkan bentuk klaster yang
paling maju dan sebagian ditemukan di negara maju. Klaster negara maju berbeda
dengan klaster-klaster di negara berkembang yang dijumpai pada klaster sepatu
Brazil, India, dan Mexico; peralatan bedah di Pakistan; garmen di Peru, dan mebel
di Indonesia (Schmits dan Nadvi, 1999).
Sebagai dasar penelitian ini digunakan definisi sederhana yang dikemukakan oleh
Schmits dan Nadvi (1999). Definisi tersebut sesuai dengan industri kecil di negara
berkembang dan sesuai dengan kondisi klaster Indonesia. Dimana klaster industri
kecil memiliki kriteria: terdapat lebih dari satu usaha kecil, terdapat satu sektor
usaha yang dominan, dan di dalam suatu wilayah geografis tertentu. Klaster
industri terdiri dari :
1. Industri inti
Industri inti adalah industri yang dijadikan titik masuk kajian, dapat
merupakan sentra industri. Industri yang maju dicirikan dengan adanya
inovasi.
14
2. Industri Pemasok
Industri pemasok adalah industri yang memasok dengan produk khusus.
Pemasok yang khusus (spesialis) merupakan pendukung kemajuan klaster.
Produk khusus industri pemasok berupa bahan baku, bahan tambahan, dan
aksesoris).
3. Pembeli/Konsumen
Pembeli/konsumen dapat berupa distributor, pengecer atau pemakai
langsung. Pembeli yang sangat penuntut merupakan pendukung kemajuan
klaster.
4. Industri Pendukung
Industri pendukung meliputi industri jasa dan barang (infrastruktur,
peralatan, kemasan), termasuk layanan pembiayaan (Bank, Venture
Capital), dan layanan pengembangan bisnis.
5. Industri Terkait
Istilah terkait di sini agak berbeda dengan yang dipakai sehari-hari.
Industri terkait tidak berhubungan bisnis secara langsung. Industri terkait
adalah industri yang mengggunakan infrastruktur dan sumber daya yang
sama (misalnya kelompok tenaga ahli).
6. Lembaga/Institusi Pendukung
Lembaga/institusi pendukung dapat berupa lembaga pemerintah sebagai
penentu kebijakan, asosiasi profesi yang bekerja untuk kepentingan
anggota, dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja pada bidang
khusus yang mendukung (Lembaga pendukung : Pemerintah, Asosisasi,
LSM).
Skema generik yang dapat menjelaskan hubungan di dalam klaster industri dapat
dilihat pada gambar 2.1.
15
Gambar 2.1 Skema Generik Klaster Industri (Disperindag, 2006)
II.2.2 Model-model Analisis Klaster Industri
Beberapa model dalam menganalisis klaster telah dikembangkan akhir-akhir ini.
Model-model yang ada tersebut adalah menganalisis tentang faktor-faktor yang
menentukan suatu klaster dapat hidup dan tumbuh. Empat model utama yang
digunakan untuk menjelaskan fenomena klaster industri kecil yaitu External
Economies, Flexible Specialization, Collective Efficiency, Diamond Porter Model.
II.2.2.1 External Economies
Perkembangan model tentang klaster industri diawali dari kesuksesan klaster yang
terjadi di Italia Utara. Fenomena kesuksesan tersebut berusaha dijelaskan
menggunakan konsep External Economies yang dikemukakan oleh Marshall
(1920, dalam Untari, 2004). Konsep ini menjelaskan (1) mengapa dan bagaimana
terjadinya lokasi industri, dan (2) mengapa dan bagaimana usaha kecil dapat
efisien dan kompetitif. External Economies merupakan penghematan yang timbul
dari kenaikan skala produksi yang tergantung pada pembangunan industri secara
umum. Beberapa contoh External Economies tersebut yaitu:
- Peningkatan pengetahuan tentang pasar dan teknologi yang mendampingi
ekspansi output industri.
- Kreasi pasar bagi tenaga kerja terampil, dan jasa pelayanan khusus.
16
- Kemungkinan untuk membagi proses produksi ke dalam tahap-tahap yang
khusus.
- Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan jaringan kereta api.
Pembahasan mengenai external economies dapat dilakukan dalam kerangka
analisis yang statis dan dinamis. Dalam kerangka statis kumpulan usaha kecil
pada suatu lokasi juga cenderung menurunkan biaya transaksi melalui aktor-aktor
perekonomian yang beroperasi. Berdasarkan konsep ini usaha kecil yang hidup
mengumpul di dalam klaster akan mendapatkan external economies sehingga
menimbulkan keuntungan efisiensi yang menyebabkan mereka dapat tumbuh.
Sedangkan external economies yang dinamis merupakan akumulasi keterampilan,
know-how, dan pengetahuan yang didapat secara spontan dengan sosialisasi di
dalam distrik.
Kritik utama terhadap analisis external economies adalah penghematan yang
secara tidak sengaja diperoleh karena perusahaan yang lokasinya berdekatan.
Ketidaksengajaan ini menjadi keterbatasan teori external economies (Mishan
(1971), dalam Untari, 2004).
II.2.2.2 The Flexible Specialization Framework
Di tahun 1984 Piore dan Sabel mengemukakan suatu kerangka analisis industri
yang lebih dikenal dengan flexible specialization. Model ini menjelaskan
pengalaman industri kecil dan menengah di Italia dan Jerman Selatan yang
mengalami pertumbuhan dan keberhasilan. Piore dan Sabel berpendapat bahwa
flexible specialization adalah konsekuensi dari krisis produksi massal dimana
pasar massal sudah jenuh dan konsumen menginginkan produk yang spesial dan
berbeda (spesialized and differentiated goods) yang tidak dapat dipenuhi sistem
produksi massal (Amin dan Robin (1990) dalam Untari, 2004).
Ide utama dari kerangka flexible specialization, bahwa IKM dapat tumbuh lebih
cepat dari pada industri skala besar dalam hal proses pengembangan (Piore dan
Sabel (1984), dalam Untari, 2004). Di negara-negara Eropa Barat, Jepang, Swedia
17
dan Amerika Serikat, IKM di beberapa subsektor seperti elektronik dan automotif,
ditemukan hal-hal signifikan sebagai sumber invention, inovasi, dan efisiensi.
Industri-industri tersebut telah menemukan kemampuan untuk bersaing dengan
industri besar, bahkan memperbaiki posisi relatif mereka dalam beberapa aspek
persaingan.
Kritik terhadap teori flexible specialization (Schmitz (1990), dalam Untari, 2004)
adalah sebagai berikut :
1. Flexible specialization tidak didefinisikan, sehingga teori tersebut sering
didefinisikan secara sempit maupun luas. Hal ini menyulitkan
pengadopsian teori tersebut ke dalam beberapa kasus.
2. Di dalam produksi masal sebenarnya juga terdapat fleksibilitas. Hal ini
karena muncul teknologi proses produksi baru yang dapat diprogram
secara otomatis sehingga memungkinkan produksi masal cepat bereaksi
dan merevisi proses produksi. Artinya perbedaan antara mass production
dan Flexible specialization menjadi kabur dan kurang dapat diaplikasikan.
3. Pasar tidak pernah jenuh karena akan selalu muncul pasar baru.
4. Adanya rasa tidak aman pekerja karena dipekerjakan tidak reguler atau
tidak mempunyai hubungan formal dengan perusahaan.
5. Pendekatan mikro yang digunakan oleh flexible specialization tidak dapat
digunakan untuk menjadi dasar bagi kebijakan makro.
6. Belum mengikutsertakan peranan pemerintah lokal.
II.2.2.3 The Collective Efficiency Model
Kerangka ”collective efficiency” digagas oleh Hubert Shmitz setelah melakukan
sejumlah observasi dan studi kasus di banyak industri, terutama Eropa Barat
(seperti Italia) dan Brazil. Konsep ”collective efficiency” tersebut
mengungkapkan bagaimana industri kecil dapat tumbuh dan bersaing, baik di
pasar nasional dan internasional. Dengan konsep ini juga, Hubert Schmitz
menganalisa prospek pertumbuhan industri kecil di banyak negara. Skope analisa
dengan kerangka ”collective efficiency” fokus pada kosentrasi industri yang
berdekatan dalam suatu wilayah, yang memproduksi barang atau jasa sejenis.
18
Menurut Schmitz (1995), pengelompokan industri dalam wilayah yang sama
memberikan banyak manfaat bagi pengembangan di masa datang, diantaranya
adalah :
• Pengelompokan tenaga kerja sesuai dengan keahlian masing-masing.
• Adanya produk dengan spesialisasi khusus
• Munculnya supplier yang menyediakan bahan baku atau komponen, baik
mesin-mesin baru maupun bekas.
• Munculnya agen-agen yang menjual produk ke pasar nasional maupun
internasional.
• Munculnya lembaga-lembaga penyedia jasa teknik, permodalan, dan
akuntan.
• Munculnya pengelompokan gaji tenaga kerja sesuai dengan keahlian.
• Terbentuknya secara bersama-sama lembaga yang menjadi penghubung
atau mediator antar pelaku industri, seperti asosiasi industri dan
sebagainya.
Schmitz (1995) menyebutkan bahwa timbulnya collective efficiency karena
adanya external economies dan joint action. Teori tentang external economies
dianggap tidak cukup untuk menjelaskan pengembangan klaster. Hal ini
dikarenakan external economies merupakan sesuatu yang didapatkan secara tidak
sengaja (Mishan (1971) dalam Untari, 2004). Sedangkan untuk dapat menjelaskan
pertumbuhan klaster dengan sesuatu yang sengaja dilakukan dengan joint action.
Schmitz (1995) menyatakan bahwa joint action memiliki dua dimensi, yaitu
jumlah partisipasi dana dan kerjasamanya. Jumlah partisipasi joint action dapat
dibedakan menjadi:
1. Individual Enterprise Cooperation (sebagai contoh sharing equipment
atau mengembangkan produk baru) disebut sebagai bilateral.
2. Sekelompok perusahaan bersama-sama membentuk bisnis asosiasi,
konsorsium prosedur dan sejenisnya, disebut sebagai joint action
multilateral.
19
Sedangkan arah kerjasama dapat dibedakan dalam:
1. Kerjasama horizontal (diantara kompetitor)
2. Kejasana vertikal (antara produser dan supplier input atau antara produser
dan penjual output)
Bentuk dari joint action tersebut terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Bentuk Joint Action
Bilateral Multirateral
Horizontal Seperti sharing peralatan atau mesin-mesin
Asosiasi industri
Vertikal
Seperti produsen dan konsumen saling berbagi informasi untuk memperbaiki kualitas
Aliansi dalam penciptaan rantai nilai tambah
Collective efficiency merupakan dasar bahwa industri kecil akan kuat, tumbuh,
dan berkembang jika berkumpul dalam klaster. Industri kecil bahkan dapat
menjadi pemain dalam pasar dunia jika usaha kecil yang berdekatan tersebut
memiliki spesialisasi antar usaha kecil tinggi dan saling berfungsi menjadi
komplementer (Untari, 2004).
Teori Collective efficiency oleh Schmitz dan Nadvi (1999) sendiri dianggap masih
mempunyai beberapa kekurangan, yaitu belum mencakup external linkage.
Keterbatasan ini terjadi karena pendekatan pada level meso yang digunakannya.
Keterbatasan selanjutnya adalah memandang klaster sebagai sesuatu yang statis
(Neven dan Droge (2001), dalam Untari, 2004).
II.2.2.4 Diamond Porter Model
Model Diamond memberikan 4 (empat) hal yang saling berhubungan, yang
menggambarkan determinan keunggulan regional seperti tercantum pada gambar
2.2. Keempat determinan itu yaitu:
1. Strategi, struktur, dan pesaing perusahaan (firm and strategy rivalry),
kondisi bagaimana usaha terbentuk, terorganisir, dan membentuk struktur
persaingan yang sehat.
20
2. Kondisi faktor (factor conditions), kemampuan produksi, tenaga kerja,
infrastruktur, dan kondisi lainnya.
3. Kondisi permintaan (demand conditions), permintaan dalam negeri atau
hasil produksi perusahaan dalam negeri yang dapat menyaingi produk
impor.
4. Industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industries),
industri-industri pendukung (termasuk IKM), kemampuan pemasok,
keterkaitan/jaringan kerja antar usaha yang dapat meningkatkan
persaingan internasional.
Selain itu, terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap keempat determinan
tersebut yaitu peluang (chance) dan peranan pemerintah (goverment), akan tetapi
kedua faktor tersebut bukan merupakan determinan itu sendiri. Teori diamond
menjelaskan bahwa tiap-tiap determinan dipengaruhi oleh ketiga determinan
lainnya (Porter, 1990).
Gambar 2.2. Model diamond Porter
Dalam suatu negara, faktor penentu keunggulan nasional tidak seluruhnya
tersedia sejak awal. Biasanya industri-industri muncul dengan keunggulan pada
salah satu determinan saja. Ketika proses berlanjut, kompetitor tertarik,
determinan lain menjadi signifikan dan keunggulan pun terakumulasi.
21
Industri-industri cenderung mengelompok secara geografis. Konsentrasi pesaing
domestik secara bertahap akan dikelilingi oleh pamasok-pemasok dan industri
terkait. Kota-kota atau wilayah tertentu kemudian menjadi lokasi industri yang
unik dengan jenis industri yang berbeda-beda. Konsentrasi geografis ini terjadi
karena pengaruh determinan dalam “diamond” dan efek penguatan masing-
masing yang didukung dengan kedekatan geografis. Hal ini berkaitan dengan
efisiensi dan spesialisasi. Dalam rangka mendorong peningkatan dan inovasi,
sejumlah pesaing dalam lokasi yang sama akan cenderung menjadi perusahaan
yang “pencemburu” dan emosional, sehingga akan mendorong peningkatan dan
inovasi. Konsentrasi geografis menjadi magnet yang kuat untuk menarik potensi
dan faktor-faktor lain masuk ke wilayah tersebut (Porter,1990).
2.2.3 Pembentukan Klaster Industri Kecil
LPM-ITB (2001) menyatakan bahwa dilihat dari proses munculnya, klaster
industri kecil dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Klaster yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan swadaya
masyarakat
2. Klaster yang khusus diciptakan oleh pemerintah, misalnya PIK
(Perkumpulan Industri Kecil) dan LIK (Lokasi Industri Kecil)
Klaster industri kecil terbentuk karena adanya permintaan (demand) yang tidak
layak dipenuhi oleh industri menengah maupun besar, dan di sisi lain permintaan
tersebut sulit untuk dipenuhi hanya oleh satu atau sejumlah kecil perusahaan
industri kecil (LPM-ITB, 2001). Karena lebih menguntungkan, antara perusahaan-
perusahaan industri kecil tersebut terjadi kerjasama, baik berupa kerjasama antara
perusahaan industri kecil sejenis maupun kerjasama antara perusahaan industri
kecil dengan perusahaan lain yang bersifat pendukung. Perusahaan industri kecil
yang termasuk dalam suatu klaster dapat berkumpul dalam suatu lokasi, maupun
tidak terintegrasi (lokasi tersebar) tetapi masih memiliki suatu keterkaitan (LPM-
ITB, 2001).
22
Motivasi berkumpulnya perusahaan industri kecil dalam klaster adalah karena
adanya keuntungan (advantage), misalnya membuat akses industri kecil terhadap
informasi mengenai ketersediaan bahan baku, proses transformasi dan peluang
pasar menjadi lebih mudah, atau pola kerjasama dimana sebagian perusahaan
menjadi industri inti dan sebagian menjadi industri pendukung, sehingga akhirnya
dapat meningkatkan efisiensi usaha masing-masing perusahaan industri kecil yang
menjadi anggota klaster (LPM-ITB, 2001).
Untari (2004) menyatakan klaster industri kecil terbentuk dari usaha kecil yang
disebut sebagai usaha pelopor. Tumbuhnya usaha pelopor memiliki pemicu
bermacam-macam seperti:
- Keterampilan yang dimiliki penduduk di suatu lokasi seperti penduduk
Bugangan Semarang memiliki keterampilan di bidang pengolahan logam,
sehingga memicu munculnya usaha kompor. Penduduk Pasirsari memiliki
keterampilan membatik, sehingga muncul usaha batik.
- Tersedianya bahan baku. Bahan baku ikan yang melimpah telah
mendorong penduduk Bandarharjo untuk mengolahnya menjadi ikan
panggang.
- Tersedianya fasilitas kerja. Usaha kerajinan ATMB di Medono berawal
dari adanya mesin-mesin tenun yang menganggur setelah usaha tenun
handuk hancur. Tersedianya fasilitas ini juga didukung oleh adanya
keterampilan di bidang pertenunan yang dimiliki oleh penduduk Medono.
- Berkembangnya industri inti. Usaha konveksi di Medono dan Canting Cap
di Landungsari dipicu oleh adanya perkembangan industri batik di wilayah
Pekalongan.
Pembentukan klaster industri kecil perlu diawali dari identifikasi terhadap pasar,
identifikasi terhadap produk dan proses produksi yang dilakukan industri kecil
(Untari, 2004). Adapun langkah-langkah tersebut adalah:
- Identifikasi karakteristik pasar industri kecil diperlukan untuk mengetahui
kondisi permintaan dibandingkan dengan Supply dan hambatan yang
dialami industri kecil karena adanya karakteristik pasar.
23
- Identifikasi karakteristik produk yang dibuat industri kecil akan
menentukan apakah produk tersebut hanya cocok dikerjakan oleh industri
kecil atau industri besar. Untuk dapat berkembang menjadi klaster, produk
yang dihasilkan industri kecil harus mempunyai kecenderungan
berkembang menjadi produk yang terdiferensiasi.
- Identifikasi proses produksi dilakukan untuk menentukan kemampuan
industri kecil dalam melakukan proses produksi dan hambatan dalam
menambahkan kapasitas produksi yang disebabkan oleh karakteristik
proses produksi.
- Identifikasi bahan baku dan bahan penolong dilakukan untuk melihat
apakah bahan dapat mendukung kelancaran proses produksi. Selain itu
juga dapat digunakan untuk menentukan hambatan yang dihadapi industri
kecil dalam meningkatkan proses produksi.
Purwaningsih (2003) menyatakan bahwa pembentukan klaster industri sangat
dipengaruhi oleh kondisi yang mempengaruhinya, namun secara umum akan
melibatkan beberapa elemen kegiatan yang dapat terjadi secara berurutan atau
secara simultan seperti:
- Mengidentifikasi pemeran utama serta mitra terkait (stakeholder) di dalam
klaster.
- Perlunya suatu proses agar terjaminnya seluruh pihak yang terlibat mampu
melaksanakan dialog yang konstruktif.
- Mengembangkan dan merumuskan visi dari klaster.
- Pengumpulan dan analisis data untuk memperoleh pengertian bersama
terhadap lingkungan persaingan yang sedang dan akan dihadapi.
- Menentukan prioritas dari berbagai masalah sebagai kunci dalam
memperkuat daya saing dari klaster.
- Membentuk kelompok kerja untuk memecahkan berbagai masalah serta
manfaat peluang yang telah diidentifikasi.
- Melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan secara berkelanjutan dan terfokus
pada program aksi jangka pendek dan jangka panjang dalam rangka
meningkatkan daya saing klaster.
24
II.2.4 Keberhasilan Klaster Industri Kecil
Menurut Purwaningsih (2003) ada beberapa hal yang dapat menolong
keberhasilan pembentukan suatu klaster industri, yaitu:
- Keterlibatan aktif dari aparat pemerintah yang senior, pelaku bisnis, serikat
pekerja, dan tokoh masyarakat yang memiliki peran dalam pengambilan
keputusan serta memiliki komitmen waktu pada seluruh proses
pembentukan klaster.
- Memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara terfokus
terhadap hal-hal yang spesifik.
- Pengumpulan dan analisis data yang relevan akan menimbulkan dialog
yang konstruktif dari seluruh partisipasi.
- Beritikad untuk memberikan data kepada anggota klaster dengan catatan
beberapa informasi yang sensitif dapat dirundingkan dengan pihak
fasilitator yang netral.
- Memiliki niat untuk belajar, terbuka terhadap gagasan baru dan mampu
berbeda pendapat.
- Memiliki kemampuan dan kemauan untuk menterjemahkan prakarsa-
prakarsa strategis ke dalam kegiatan-kegiatan yang praktis.
- Tercapainya sudut netral yang bertindak sebagai fasilitator dan koordinator.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan klaster
industri, harus dilakukan suatu diagnosis klaster industri kecil. Dengan diagnosis
ini akan dapat dipahami dan dijelaskan kondisi klaster seperti permasalahan,
tantangan, dan interaksi antar anggota dengan lingkungannya. LPM-ITB (2001)
menyatakan diagnosis klaster industri kecil mengacu kepada mekanisme kegiatan
klaster sebagai suatu kesatuan (entity), yang merupakan resultan dari interaksi
yang terjadi antara perusahaan-perusahaan industri kecil individual anggota
klaster, dan juga dengan berbagai aspek eksternal lainnya. Performasi klaster
industri kecil merupakan resultan dari performansi perusahaan-perusahaan
industri kecil individual yang terdapat dalam klaster. Karena itu, dalam
melakukan diagnosis terhadap klaster industri kecil perlu mempertimbangkan
bahwa klaster industri kecil beranggotakan perusahaan-perusahaan individual
25
dengan performansi yang beraneka ragam. Performansi yang berbeda-beda
tersebut kemungkinan oleh perbedaan berbagai aspek internal masing-masing
perusahaan industri kecil, seperti motivasi, kewirausahaan, kepemimpinan, dan
kemampuan pimpinan dan karyawan (LPM-ITB, 2001).
Performansi yang berbeda-beda itu akan menentukan peran setiap perusahaan
industri kecil dalam klaster. Perusahaan dengan performansi yang baik (misalnya
karena memiliki pimpinan dengan motivasi, kewirausahaan, kepemimpinan, dan
kemampuan yang baik) akan lebih berkembang yang akan berperan sebagai
perusahaan inti, dan kemudian bekerjasama dengan perusahaan yang kurang
berkembang yang berperan sebagai perusahaan pendukung. Sehingga proses
saling penyesuaian yang dalam jangka panjang ini akan membuat klaster seakan-
akan suatu kesatuan. Apabila kondisi ini telah tercapai maka pengaruh berbagai
jenis aspek internal industri kecil tidak lagi terlalu menentukan, dan performansi
klaster akan lebih dipengaruhi oleh corak aspek-aspek eksternal (seperti kondisi
pasar, tingkat persaingan, jalur distribusi), dan kesesuaian berbagai aspek klaster
industri kecil tersebut sebagai kesatuan terhadap kondisi lingkungannya.
LPM-ITB (2001) menjelaskan bahwa mekanisme sukses klaster industri kecil
dirumuskan berdasarkan sukses perusahaan industri kecil individual, dan
kelengkapan komponen klaster yang telah diidentifikasi. Komponen-komponen
klaster tersebut adalah (LPM-ITB, 2001):
1. Bahan baku
Bahan baku merupakan faktor yang sangat penting dalam proses produksi,
karena bahan baku merupakan input proses produksi. Tanpa adanya
ketersediaan bahan baku dengan kuantitas, kualitas, dan harga yang
diharapkan pada waktu yang dibutuhkan, maka kegiatan produksi tidak
dapat berjalan. Atomsa (1997) menyatakan bahwa bahan baku merupakan
faktor yang dominan dalam keberhasilan industri kecil.
26
2. Peralatan
Peralatan adalah segala perangkat keras (hardware) yang digunakan dalam
proses produksi. Peralatan menyangkut teknologi peralatan, kondisi
peralatan.
3. Proses produksi
Proses produksi adalah segala aktivitas yang dilakukan dalam proses
perwujudan produk. Dimulai dari penanganan bahan baku, perencanaan, dan
pengendalian produksi, perencanaan tata letak fasilitas produksi dan lain-
lain (Trindira, 2002). Unsur yang menyangkut proses produksi meliputi
sumber dan perkembangan teknologi.
4. Keuangan
Keuangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pembiayaan
aktivitas perusahaan dan pengelolaannya. Unsur yang tercakup dalam aspek
ini meliputi manajemen (pengelolaan) dan perencanaan keuangan.
5. Energi
Yang dimaksud dengan energi adalah sumber tenaga yang digunakan untuk
menjalankan peralatan produksi. Aspek ini meliputi teknologi penggunaan
energi dalam meningkatkan daya saing.
6. Tenaga kerja
Tenaga kerja adalah segala sumber daya manusia yang terlibat dalam proses
produksi. Unsur yang tercakup dalam aspek ini meliputi kemudahan dalam
memperoleh tenaga kerja, ketersediaan tenaga kerja, kemampuan tenaga
kerja, dan lain sebagainya.
7. Produk
Produk adalah komoditas yang dihasilkan setelah melalui proses
transformasi. Unsur yang termasuk dalam produk meliputi kualitas produk
yang dihasilkan, image konsumen, muatan teknologi yang terkandung, dan
tingkat keuntungan yang diperoleh.
8. Pemasaran
Pemasaran adalah strategi yang dijalankan dalam memasarkan produk
sehingga proses transaksi dapat terwujud.
27
9. Modal
Modal adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pembiayaan
pendirian usaha dan aktivitas perusahaan.
10. Kemampuan Pengusaha
Kemampuan pengusahaan adalah tingkat pengetahuan atau wawasan,
pendidikan, serta manajerial dari orang yang memiliki dan menjalankan
perusahaan industri kecil.
11. Kultur Industri
Kultur industri adalah sistem nilai yang dianut oleh suatu komunitas
(termasuk pengusaha) dalam hal ini komunitas lingkungan klaster yang
memberikan iklim kondusif terhadap pertumbuhan dan berkembangnya
industri.
Trindira (2002) menambah komponen-komponen di atas dengan komponen
lingkungan usaha yaitu kondisi eksternal klster yang mempengaruhi performansi
klaster. Sedangkan Atomsa (1997), dan Siregar (1998) menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan industri kecil yaitu: bahan baku, sumber daya
manusia, teknologi, keuangan, pemasaran, kemampuan pengusaha, dan program
pembinaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keberhasilan Industri Kecil
No Atomsa (1997),
Siregar (1998)
LPM-ITB (2001) Trindira (2002)
1 Bahan baku Bahan baku Bahan baku
2 Sumber daya manusia Tenaga kerja Tenaga kerja
3 Teknologi Peralatan Peralatan
4 - Proses produksi Proses produksi
5 - Energi Energi
6 Keuangan Keuangan Keuangan
7 - Modal Modal
8 Pemasaran Pemasaran Pemasaran
9 - Produk Produk
10 Kemampuan pengusaha
Kemampuan pengusaha
Kemampuan pengusaha
11 - Kultur Industri Kultur Industri
12 Program Pembinaan - Lingkungan usaha
28
Berikut ini adalah beberapa contoh keberhasilan pembentukan atau
pengembangan klaster industri di negara lain, antara lain:
- Di Italia khususnya Italia bagian Tengah-Utara sebagai pusat pergerakan
jejaring klaster IKM. Hasil studi yang dilakukan menunjukkan
pertumbuhan yang pesat di daerah klaster terjadi karena kerjasama yang
kuat antar asosiasi bisnis, dukungan teknologi, dan keinginan belajar dari
pengalaman kerjasama dalam jejaring melalui klaster IKM yang telah
mendukung keberhasilan tersebut (Dipta, 2004).
- Keberhasilan pengembangan klaster IKM di Denmark dengan adanya
peran dari The Danish Technological Institute. Dengan menggunakan
jejaring bisnis secara transparan melalui media (cetak dan elektronik).
Adanya peran pemerintah dalam bentuk grant untuk pengembangan
jejaring produk baru untuk memasuki pasar baru dan program pelatihan
bagi pialang jejaring bisnis untuk mendorong kerjasama diantara IKM
(Dipta, 2004).
- Keberhasilan klaster IKM di bagian Utara kota dan desa di India dengan
membentuk jejaring yang efektif antara IKM dengan melibatkan pialang
bisnis, Business Development Services (BDS), dan bantuan dana untuk
memacu percobaan produk dan pasar baru (Dipta, 2004). Dalam hal ini
kepercayaan antar perusahaan menjadi kunci penting bagi suksesnya
pengembangan klaster IKM.
- Menurut Zhang, et.al (2004) keberhasilan pengembangan klaster industri
tekstil dan produk tekstil di Shengze China ditentukan oleh sejarah dan
keadaan alam, kebijakan pemerintah daerah, kemampuan pengusaha,
pengembangan industri pendukung, dan pasokan tenaga kerja. Dimana
terjadi perkebangan dari segi kuantitas (jumlah dan skala perusahaan), dan
kualitas (peralatan, produk, desain, pemasaran, dan manajemen). Dimulai
dari usaha keluarga yang kemudian menjadi usaha yang profesional
dengan manajemen lulusan perguruan tinggi dengan gelar MBA, dan PhD.
Dari perusahaan tradisional menjadi perusahaan modern dengan
memanfaatkan teknologi informasi untuk pemasaran dan pengembangan
produk.
29
II.3 Industri Kecil dan Menengah (IKM)
II.3.1 Definisi IKM
IKM didefinisikan secara berbeda-beda dalam berbagai pengertian tergantung
wilayah atau lembaga yang berkepentingan. Hingga saat ini di Indonesia, belum
ada batasan mutlak tentang IKM yang dapat dijadikan sebagai pedoman umum.
Dari beberapa referensi terdapat beberapa definisi industri, yaitu:
a. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (2002)
Industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau
rumah-tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang
ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai
kekayaan bersih paling banyak Rp.200 juta, dan mempunyai nilai penjualan
per tahun sebesar Rp.1 milyar atau kurang.
Industri Menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
perseorangan atau badan bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa
untuk diperniagakan secara komersial yaitu mempunyai nilai penjualan per
tahun lebih besar dari 1 milyar namun kurang dari 50 milyar rupiah.
Menurut Inpres No. 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah,
industri menengah didefinisikan sebagai perusahaan industri yang memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp. 20 juta sampai dengan Rp. 10 Milyar tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (Prawironingrum, 2003).
b. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 pasal 5 ayat 1 tentang Usaha Kecil
– Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
– Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah).
– Milik Warga Negara Indonesia.
– Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak
langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar.
– Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
30
c. Inpres Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
– Memiliki kekayaan bersih lebih besar dan Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
– Milik warga negara Indonesia.
– Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai dan berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha besar.
– Berbentuk usaha orang perseorangan. Badan usaha yang tidak berbadan
hukum dan atau badan usaha yang berbadan hukum.
d. Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor
257/MPP/Kep/7/1997 tentang Penyusunan Laporan Perkembangan Industri
Kecil Menengah), disebutkan bahwa Indsutri Kecil Menengah (IKM) adalah
semua perusahaan industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya
sampai dengan Rp. 5.000.000,00 (lima milyar rupiah) tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha.
e. BPS mendefinisikan skala industri berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja,
yaitu:
– Industri Mikro : 1-4 orang
– Industri Kecil : 5-19 orang
– Industri Menengah : 20-99 orang
– Industri Besar : 100 orang ke atas
II.2.2 Kekuatan dan Kelemahan IKM
Masalah industri kecil dan menengah berbeda dari industri besar. Masalah
utamanya adalah tingkat spesialisasi yang rendah dalam pengelolaan, susahnya
memperoleh dukungan keuangan karena kurangnya pengetahuan dan kepercayaan
oleh instansi keuangan. Kesulitan lain dalam pembinaan adalah karena jumlahnya
banyak dan tersebar.
Industri kecil dan menengah muncul karena permintaan atau potensi yang ada,
seperti bahan baku, tenaga kerja, dan lain-lain. Berbeda dengan usaha berskala
31
besar, industri kecil dan menengah tidak memiliki kapasitas untuk mengatasi
semua kekurangan yang dihadapinya. Oleh karena itu pemerintah harus
mengembangkan pembinaan yang terkoordinasi untuk mengatasi masalahnya.
Studi tentang kelemahan dan keterbatasan industri kecil dan menengah
dibutuhkan untuk menyediakan dukungan pembinaan yang sesuai. Meskipun ada
beberapa kelemahan, industri kecil memiliki beberapa kekuatan dibandingan
dengan industri-industri lainnya.
Menurut Staley dan Morse (1965) ada 10 hal yang dapat menjadi competitive
advantage bagi industri kecil, yaitu:
1. Hubungan antara aspek fisik dan rekayasa
Faktor ini ditandai dengan adanya keselarasan hubungan antara aspek fisik
dan aspek rekayasa dalam proses produksi. Keselarasan hubungan antara
aspek fisik dan aspek rekayasa akan menarik produk-produk tertentu menjadi
menguntungkan jika dibuat oleh industri kecil. Seperti produk yang ringan,
kecil, syarat presisinya moderat seringkali dapat dibuat pada peralatan yang
ringan. Produk tersebut dibuat dengan operasi perakitan yang sederhana
dengan skala ekonomis (titik impas) yang dapat dicapai pada volume produk
yang kecil.
2. Produk yang memerlukan tingkat keterampilan/ketelitian tinggi
Faktor ini merupakan faktor penting yang kritis. Jika produk yang dibuat
memerlukan ketelitian yang tinggi sekali, maka hanya dapat dibuat oleh
tenaga kerja yang sangat terampil, sehingga akan lebih menguntungkan bila
dikerjakan oleh industri kecil.
3. Produksi massal komponen atau produk akhir yang bersifat khusus
Usaha kecil dapat berkonsentrasi untuk membuat komponen khusus yang
diperlukan industri besar. Bagi industri besar membuat komponen khusus
akan merugikan karena jumlah yang diperlukan tidak cukup untuk melewati
titik pulang pokok. Oleh karena itu, diperlukan industri kecil yang membuat
komponen khusus ini bagi beberapa industri besar.
32
4. Produk yang dibuat dalam jumlah kecil dan tidak baku
Beberapa jenis produk tertentu tidak mempunyai bentuk yang baku dan harus
bervariasi sesuai dengan permintaan konsumen. Oleh karena itu, setiap jenis
dibuat hanya dengan jumlah kecil, dimana titik pulang pokok hanya bisa
dicapai oleh industri kecil. Selain itu, faktor ini ditandai dengan kecilnya
potensi pasar sehingga tidak ekonomis jika dikerjakan industri besar.
5. Produk yang dipengaruhi lokasi dan ongkos transportasi
Tingginya biaya transportasi, lokasi sumber bahan baku yang tersebar dan
sifat industri yang sulit dipindahkan merupakan hambatan bagi masuknya
industri besar. Sebagian besar pasar yang dilayani bersifat lokal dengan
permintaan yang relatif kecil sangat ekonomis jika dilakukan oleh industri
kecil.
6. Produk dengan desain khusus atau memerlukan inovasi tinggi
Produk-produk dengan disain khusus dan unik, sesuai dengan keinginan
konsumen. Produk-produk dengan disain khusus ini tidak memungkinkan
untuk dibuat secara massal, sehingga hanya sesuai dikerjakan oleh industri
kecil.
7. Hubungan dekat antara personil dalam industri kecil
Ukuran usaha kecil membuat komunikasi secara lisan dimungkinkan.
Hubungan yang relatif erat antara pekerja dengan pimpinan maupun antara
sesama pekerja membuat produktivitas kerja makin tinggi, pola kerjasama
lebih efektif, dan jarang terjadi pemutusan kerja. Antar pimpinan industri kecil
pada umumnya juga terjadi hubungan yang erat, sehingga kerjasama antar
perusahaan jadi lebih efektif.
8. Fleksibilitas operasi dan ongkos tidak langsung yang rendah
Pada industri berukuran kecil, prosedur operasi dan birokrasi menjadi lebih
sederhana. Oleh karena itu biaya overhead pada industri kecil menjadi rendah.
9. Pelayanan yang lebih baik
Adanya perhatian khusus kepada konsumen dan kecepatan pelayanan yang
lebih tinggi menjadi keunggulan tersendiri bagi usaha kecil. Perhatian
perusahaan dapat dipusatkan pada pesanan yang penting ataupun pada
kesempatan yang menarik, tidak seperti pada industri besar
33
10. Respon yang lebih cepat terhadap perkembangan
Kecepatan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya pada usaha
kecil memungkinkan bagi usaha kecil untuk lebih cepat bereaksi terhadap
perubahan yang terjadi. Selain itu kedekatan usaha kecil dengan konsumen
menjadikan usaha kecil peka terhadap perubahan dan mampu merasakan
adanya kesempatan.
Enam yang pertama dari faktor-faktor yang tersebut di atas merupakan
karakteristik produk yag sesuai bagi industri kecil. Keenam faktor tersebut
merupakan entry barrier bagi industri besar untuk memasuki lapangan industri
kecil. Sedangkan empat faktor yang lainnya berhubungan dengan kondisi dinamis
organisasi dan manajemen.
LPM-ITB (2001) mengemukakan bahwa suatu industri kecil akan tumbuh
tergantung pasarnya, jika pasarnya sangat lemah, maka industri kecil tersebut
akan tumbuh menjadi industri sangat kecil yang hopeless. Kondisi ini dapat
menjadi lebih buruk jika produk yang dibuatnya tidak sesuai dengan karakteristik
produk industri kecil-nya Stanley & Morse (1965), sehingga dapat terjadi usaha
tersebut hidup sebentar kemudian mati. Sedangkan pada idustri kecil yang
melayani pasar dengan produk yang sesuai dengan karakteristik produk industri
kecil akan ada dua kemungkinan pertumbuhannya (LPM-ITB, 2001), yaitu:
– Pasarnya lemah menjadikan industri kecil yang individual.
– Pasarnya agak kuat akan berkembang menjadi klaster karena jika pasar
tersebut dilayani oleh satu usaha kecil saja (industri kecil yang individual)
akan tidak mampu, sementara industri besar/menengah tidak berminat
melayani karena masih jauh di bawah Break Even Point. Sehingga pasar
tersebut akan dilayani secara bersama-sama oleh beberapa industri kecil.
II.4. IKM Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
II.4.1. Gambaran Umum dan Kinerja Industri TPT Indonesia
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah salah satu industri prioritas dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tertuang dalam
34
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005. Alasan industri TPT menjadi industri
prioritas karena industri ini mampu menghasilkan devisa ekspor dan merupakan
industri yang padat tenaga kerja. Potensi ekspor Indonesia di sektor ini dari tahun
ke tahun terus mengalami perkembangan. Tabel 2.3 memperlihatkan net ekspor
industri TPT (BPS, API, 2006). Selain itu juga industri TPT di Indonesia telah
berkembang secara terintegrasi dari hulu (serat), intermediate (staple, filament,
tenun dan rajut) sampai dengan produk akhir (garmen dan barang jadi tekstil).
Total investasi dan unit usaha pada industri TPT pada tahun 2005 cukup besar.
Angka investasi mencapai Rp. 132,38 Trilyun dan 2.656 unit usaha. Tambahan
investasi ini berasal dari luar negeri yang melonjak sebesar 252% dari US$ 165,5
juta menjadi US$ 418,1 juta. Sebagian besar investasi berasal dari luar negeri
yaitu India dan Korea, untuk India terkonsentrasi di sektor hulu, sedangkan Korea
di Sektor hilir (Garmen). Sedangkan tambahan investasi dari dalam negeri masih
stagnan pada angka Rp. 75 Miliar.
Tabel 2.3 Net Ekspor Industri Tekstil dan Produk Tekstil
No
Tahun Ekspor
(USD
Milyar)
Pertumbuhan
Terhadap
Tahun
Sebelumnya
Impor
(USD
Milyar)
Surplus
(USD
Milyar)
1 1996 6,57 - 2,58 4,00
2 1997 7,44 13,24 2,24 5,20
3 1998 7,43 -0,13 2,04 5,40
4 1999 7,28 -2,01 1,73 5,55
5 2000 8,28 15,11 2,28 6,09
6 2001 7,68 -8,35 2,44 5,24
7 2002 6,89 -10,28 1,83 5,06
8 2003 7,03 2,03 1,67 5,36
9 2004 7,75 10,24 1,72 6,03
10 2005 8,59 10,83 1,60 6,99
Di sisi penyerapan tenaga kerja, industri TPT pada tahun 2005 mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 1,18 juta orang, belum termasuk tenaga kerja pada IKM
dan Rumah Tangga sebanyak 600.000 orang (API, 2006). Tabel 2.4 menunjukan
jumlah penyerapan tenaga kerja industri TPT.
35
Tabel 2.4 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil
Tenaga Kerja 2002 2003 2004 2005 2006
Industri Besar 1.182.212 1.182.871 1.184.079 1.176.183 1.174.532
Industri Kecil dan Menengah
635.210 584.786 668.372 665.337 665.337
Tenaga Kerja Tidak Langsung
3.634.844 3.535.314 3.704.902 3.683.040 3.679.738
Total 5.452.266 5.302.971 5.557.353 5.524.560 5.519.607
Beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan industri TPT mengalami perlambatan
yang disebabkan berbagai faktor baik internal maupun eksternal terutama
munculnya pesaing baru seperti Bangladesh, Vietnam, dan Srilangka) dan
berbagai isu perdagangan global (seperti isu lingkungan, social accountability)
yang mempegaruhi daya saing. Faktor internal yang dihadapi industri TPT
nasional antara lain transhipment, impor ilegal, dan kondisi permesinan yang
sudah tua. Namun secara umum industri TPT Indonesia saat ini masih dalam masa
perbaikan dan pengembangan. Kenaikan nilai ekspor tahun 2005 sebenarnya
sempat menjadi pemicu bergairahnya industri TPT nasional. Namun keadaan ini
kurang direspon pemerintah dengan baik. Iklim investasi yang seharusnya bisa
menjadi syarat utama, mengalami stagnasi, hal ini berimbas kepada semua lini di
industri TPT.
Tabel 2.5 Profil Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia
Tahun Deskripsi Unit
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Jumlah Perusahaan Unit 2.665 2.646 2.654 2.662 - -
Nilai Investasi Milyar Rp. 130.823 132.101 132.355 132.362 - -
Tenaga Kerja Orang 1.219.325 1.182.212 1.182.870 1.184.079 - -
Nilai Juta US$ 7.645 6.888 7.033 7.647 8.603 9.470 Ekspor
Volume Ribu ton 1.727 1.758 1.773 .626 1.794
Nilai Juta US$ 2.440 1.824 1,673 1.720 1.606 2.540 Impor
Volume Ribu ton 1.265 1.048 962 880 851
Net Ekspor
Nilai Juta US$ 5.205 5.064 5.360 5.929 6.997 6.930
Volume Ribu ton 462 710 811 764 943
36
Tabel 2.5 memperlihatkan perkembangan industri TPT dalam dua tahun terakhir
ini tidak menunjukkan perkembangan yang menonjol, baik dari penyerapan
tenaga kerja, jumlah investasi, jumlah perusahaan maupun nilai ekspor impor.
II.4.2 Gambaran Umum dan Kinerja Industri TPT Jawa Barat
Jenis industri TPT Jawa Barat sangat beragam jenisnya, yang secara umum dapat
diklasifikasikan ke dalam :
- Industri Serat Buatan (Benang/filamen buatan, serat/stopel buatan)
- Industri kapuk
- Industri pemintalan, pertenunan, pengolaan akhir tekstil (persiapan serat
tekstil, pemintalan benang, pertenunan, kain tenun ikat, penyempurnaan
benang, penyempurnaan kain, percetakan kain, serta batik).
- Industri Perajutan (Kain rajut, pakaian jadi rajutan, rajutan kaos kaki,
barang jadi rajutan)
- Industri barang jadi tekstil dan permadani (untuk kesehatan, kosmetik,
karung, permadani babut, tali, kain pita, kain industri, kain bordir/sulaman,
kain ban, dan non woven)
- Industri pakaian jadi (pakaian jadi berbulu dan pakaian jadi tidak berbulu).
Dengan beragam jenis output ini, Jawa Barat merupakan propinsi yang memiliki
unit industri TPT yang terbesar di Indonesia yaitu sekitar 40,67% industri TPT
terkonsentrasi di Jawa Barat. Keragaman ini mengindikasikan bahwa industri TPT
Jawa Barat terdiri atas pelaku bisnis yang beragam juga. Komponen-komponen
industri TPT hampir seluruhnya tersedia (lengkap) yang berada pada ikatan rantai
pasok dari industri hulu hingga industri hilir (keterkaitan vertikal), demikian juga
dengan keterkaitan horisontal. Selain itu juga selama ini diketahui terdapat
beberapa sentra industri TPT di Jawa Barat, seperti yang terdapat di Soreang,
Majalaya, Tasikmalaya, Cirebon, Majalengka, Garut dan daerah Rancaekek.
Selain daerah-daerah tersebut di atas terdapat juga sentra industri produk tekstil
yang berpotensi sangat besar sebagai daya ungkit perekonomian Jawa Barat, yaitu
Sentra Industri Kaos Surapati yang berada di Kota Bandung. Letak sentra yang
37
berada di dekat pusat perdagangan Kota Bandung berimplikasi pada mudahnya
akses transportasi dan akses teknologi lainnya dibandingkan dengan sentra lainnya.
Dalam konteks klaster industri, keterkaitan industri yang terjadi melalui titik
masuk sentra industri kaos Surapati diharapkan dapat menggambarkan peta
potensi industri TPT Jawa Barat.
Tabel 2.6 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Jawa Barat
(Berdasarkan Pengelompokan Komoditi )
JENIS / KELOMPOK Tahun 2005 Pangsa Tahun 2006 Pangsa ∆
No KOMODITI (Jan - Des) % (Jan - Des) (%) (%)
(USS) (USS)
1 Tekstil/Produk Tekstil 1,391,340,814.40 44,19 1,420,948,457.52 45,13 2,13
2 Sepatu/Alas Kaki 20,338,965.37 0,90 21,018,456.29 0,67 3,34
3 Meubel/Kerajinan Rotan 173,787,520.09 5,85 181,667,242.62 5,77 4,53
4 T e h 50,204,372.39 1,59 42,713,648.52 1,36 (14,92)
5 Kayu Olahan/ Kerajinan Gergajian
5,070,646.54 0,16 19,845,268.35 0,63 (16,24)
6 Elektronik 412,391,760.17 13,10 428,462,168.52 13,61 3,92
7 Coklat/Produk Coklat 26,012,184.14 0,83 21,944,503.84 0,70 (15,64)
8 Udang Beku/Makanan Laut
4,459,250.21 0,14 3,847,251.85 0,12 (13,72)
9 Karet/Produk Karet 16,273,308.46 0,52 18,193,298.51 0,58 11,80
10 Marmer/Prod. Marmer 4,725,752.31 0,15 7,154,864.32 0,23 51,40
11 Peralatan Masak 8,004,080.46 0,25 9,418,735.82 0,30 17,67
12 Makanan Olahan 59,847,872.67 1,90 51,768,429.53 1,64 (13,50)
13 Perlengkapan Olah Raga 17,559,156.45 0,56 14,081,947.52 0,45 (19,80)
14 Kertas/Produk Kertas 48,613,446.46 1,54 61,332,542.65 1,95 26,16
15 Lain lain 891,220,549.10 28,31 1,061,323,045.83 33,71 19,09
T o t a l 3,148,371,267.03 100,00 3,363,719,861.69 100,00 6,84
Tabel 2.6 meperlihatkan bahwa ekspor TPT Jawa Barat pada tahun 2006
mencapai US $ 1.420.948.457,52 menyumbang 45,13 % terhadap total ekspor non
Migas Jawa Barat dan merupakan ekspor terbesar. Sedangkan untuk ekspor non
migas Kota Bandung dari subsektor pakaian jadi sebesar 34,97% dan merupakan
peringkat kedua setelah ekspor tekstil sebesar 57,56% (Bandung dalam angka,
2003). Untuk penyerapan tenaga kerja sektor pakaian jadi Kota Bandung
menyerap tenaga kerja sebanyak 21.790 orang dari 847.077 angkatan kerja yang
ada.
Di bidang pariwisata Kota Bandung merupakan Kota wisata belanja untuk tekstil
dan produk tekstil. Akhir-akhir ini di Kota Bandung marak bermunculan factory
38
outlet (FO), Cloting Company (CC), dan bisnis Distro (Distribution Store).
Sehingga setiap akhir pekan Kota Bandung dikunjungi oleh para wisatawan
khususnya dari Jakarta dan sekitarnya.
II.5 Penelitian Terdahulu Mengenai IKM dan Pengembangan Klaster
Industri
Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pengembangan klaster industri.
Di bawah ini akan diuraikan secara garis besar beberapa penelitian yang
berhubungan dengan pengembangan klaster industri.
1. Atomsa (1997)
Penelitian ini menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
industri kecil yaitu bahan baku, sumber daya manusia, teknologi, keuangan,
pemasaran, pemasaran, kemampuan pengusaha, dan program pembinaan.
Setiap faktor-faktor tersebut di atas dibagi lagi menjadi variabel-variabel
penelitian. Metoda yang digunakan adalah analisis multivariat yang terdiri dari
analisis kluster untuk mengelompokkan industri kecil berdasarkan
performasinya dan analisis diskriminan, dan analisis diskriminan untuk
menghasilkan variabel-variabel yang paling berpengaruh terhadap
keberhasilan industri kecil elektronik di Kuningan.
2. Hany (2000)
Penelitian ini bertujuan membentuk model keterkaitan kemampuan teknologi
yang diukur dengan komponen-kompoen teknologi (ESCAP, 1989), yaitu
technoware, humanware, infoware, dan orgaware dengan strategi bersaing
yang diukur melalui beberapa variabel bersaing manufaktur dan pengaruhnya
terhadap performasi bisnis industri kecil. Penelitian ini dilakukan pada industri
kecil sektor logam di Bandung dengan menggunakan metode analisis regresi.
Penelitian ini mengatakan bahwa untuk memperbaiki performasi bisnis
industri kecil adalah dengan meningkatkan komponen-komponen teknologi
terutama informasi (infoware), dan manajemen organisasi (orgaware).
39
3. Trindira (2002)
Penelitian ini mengambil studi kasus pada klaster industri kecil karet di Kota
Bandung. Tujuan penelitian untuk menentukan prioritas variabel-variabel
unsur klaster industri kecil. Metoda yang digunakan untuk pengembangan
adalah dengan Analytic Hierarchy Process (AHP). Penelitian ini
menghasilkan variabel-variabel yang diperhatikan dalam mencari permasalah
pada klaster industri kecil yaitu kemampuan pengusaha, pemasaran, produk,
proses produksi, tenaga kerja, bahan baku, peralatan, modal, keuangan,
lingkungan usaha, kultur industri, dan energi.
4. Handayani (2002)
Penelitian ini bertujuan menyusun metodologi dalam perumusan strategi
pengembangan klaster industri dengan studi kasus industri Tekstil dan Produk
Tekstil Indonesia (Makro). Penelitian ini menghasilkan metodologi
pengklasteran industri dengan empat tahapan yaitu: (1) tahap penyusunan
konsep klaster industri, (2) tahap pemasyarakatan (sosialisasi konsep), (3)
tahap pelaksanaan (implementasi), dan (4) tahap pematangan.
5. Djohar dan Tanjung (2003)
Penelitian ini bertujuan membangun memformulasikan supply chain
management dalam sebuah model dan melakukan analisis sistem. Model yang
dibangun terdiri dari model startegis yang terdiri dari submodel supply
forcasting, supply chain, dan supply cost, dan model taktis yang terdiri dari
submodel manajemen pasokan, manajemen tangki, dan manajemen biaya
perjam. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa permasalahan supply chain
dalammenghasilkan keunggulan kompetitif terletak pada permasalahan
keunggulan nilai dan keunggulan produktivitas.
6. Purwaningsih (2003)
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi pengembangan industri kulit
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan klaster dengan model Diamond Porter. Sedangkan metode yang
digunakan untuk menyusun strategi pengembangan adalah Analisis SWOT
dan Analytic Hierarchy Process (AHP). Penelitian ini menghasilkan lima
urutan strategi pengembangan indsutri kulit, yaitu (1) pengembangan
40
teknologi dan produksi, (2) peningkatan kualitas dan kuantitas bahan baku
kulit mentah, (3) pengembangan sumber daya manusia, (4) pengembangan
pasar, dan (5) pengembangan industri pendukung.
7. Setiawan dan Santosa (2003)
Penelitian ini memfokuskan pada pengintegrasian Supply Chain Management
pada perusahaan tekstil di Jawa Tengah dan Jawa Timur dari segi eksternal
yang meliputi pelanggan (customer) dan pemasok (supplier). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan perusahaan yang melakukan integrasi yang luas
mempunyai performa yang tinggi.
8. Mayer (2003)
Penelitian ini performasi klaster industri pada kota Portland-Vancouver
terhadap performansi ekonomi kota tersebut, dan bagaimana hubungan antara
perusahaan dengan kebijakannya, serta daya saingnya. Langkah-langkah yang
dilakukan adalah (1) Menentukan daerah klaster, (2) Mengidentifikasi pola
hubungan (key partners), (3) Menganalisis secara kuantitatif, (4) Analisis
Kualitatif dan Analisis daya saing,dan (5) Mengidentifikasi Kebijakan
Pengembangan Ekonomi dan Pelaksanaannya.
9. Untari (2004)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana terbentuknya klaster
sampai terbentuknya pola pertumbuhan klaster. Analisis yang digunakan
adalah dengan mekanisme kehidupan klaster yang melibatkan empat unsur
pembentuk klaster yaitu industri inti, supplier, subkontrak, dan pemasar.
Metoda yang digunakan adalah metoda kualitiatif dengan mengekplosasi dari
teori-teori yang ada dan melihat kondisi aktual.
10. Permadi (2006)
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah metode pemodelan
untuk kolaborasi knowledge pada sebuah klaster industri. Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan konsep holon yang dijadikan acuan dalam
memodelkan kolaborasi knowledge. Dimana klaster dianggap sebagai holon
dan perusahaan-perusahaan di dalamnya sebagai sub-holon. Metoda
pemodelan ini menghasilkan domain knowledge dan media untuk
mengorganisasikan domain knowledge, dengan cara mengkonversi aktivitas
41
dan panah sebagai knowledge/work/stance dalam fungsi, context,
occasion ,mode dan action.
11. DeWitt (2006)
Penelitian ini menganalisis hubungan antara teori klaster dan teori supply
chain management. Klaster mempunyai kekuatan terkonsentrasinya pada
suatu wilayah, serta jaringan supply chain. Pada klaster, perusahaan
mempunyai keuntungan dari adanya persaingan, mudahnya akses kepada
tenaga kerja dan supplier, akses kepada informasi, akses kepada institusi dan
pemerintah, motivasi yang tinggi, serta inovasi dan formasi usaha yang baru.
Pada penelitian ini dilakuan studi kasus pada industri furniture Amish, Ohio,
Amerika Serikat.
12. Wu, Yue, and Sim (2006)
Penelitian ini menganalisis bagaimana keberhasilan supply clusters di China.
Metoda yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan ekplorasi
terhadap integrasi supply chain, sehingga menghasilkan biaya yang rendah
dalam keuntungan kompetitifnya. Dengan mengelaborasi empat performasi
supply chain yaitu fasilitas, transportasi, inventori, dan informasi.
42
Gambar 2.3 Posisi Penelitian