10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
dengan naiknya kadar glukosa darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002).
Sedangkan menurut WHO (2008), diabetes melitus merupakan keadaan
hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun keturunan
secara bersama-sama dan mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis yang
tidak dapat disembuhkan namun dapat dikontrol.
Diabetes melitus adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh sekresi insulin, defek kerja
insulin, atau keduanya (Sudoyo, 2002). Diabetes melitus merupakan suatu
penyakit dengan gejala konsentrasi glukosa dalam darah yang meningkat
(hiperglikemia) dan lama kelamaan dapat menimbulkan terjadinya komplikasi
kronis pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Soegondo, 2011).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis dengan manifestasi hilangnya toleransi karbohidrat. Seseorang dapat
dikatakan menderita diabetes melitus apabila kadar glukosa darah puasa antara
110-126 mg/dl, glukosa darah sewaktu bernilai ≥ 200 mg/dl, atau glukosa darah
dua jam post prandial bernilai 140-200 mg/dl (Price & Wilson, 2006).
Jadi dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus adalah gangguan
metabolik yang secara genetis dan klinis dengan manifestasi hilangnya toleransi
11
karbohidrat ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh sekresi
insulin, defek kerja insulin yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun
keturunan secara bersama-sama dan mempunyai karakteristik hiperglikemi kronis
yang tidak dapat disembuhkan namun dapat dikontrol.
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Diabetes melitus dibagi menjadi beberapa tipe yang berbeda, klasifikasi
diabetes melitus dibagi berdasarkan penyebab, perjalanan klinis dan terapinya.
Menurut Smeltzer & Bare (2002) adapun klasifikasi yang paling utama diabetes
melitus dibagi menjadi diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus tipe 1
terjadi jika pankreas hanya menghasilkan sedikit atau sama sekali tidak
menghasilkan insulin, sehingga penderita selamanya tergantung insulin dari luar,
umumnya terjadi pada penderita yang berusia kurang dari 30 tahun. Menurut Price
& Wilson (2006) diabetes melitus tipe 1 dikenal sebagai juvenile-onset dan tipe
dependen insulin yang dapat muncul pada berbagai usia. Insiden diabetes melitus
tipe 1 ini sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi menjadi
dua subtipe yaitu akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta dan
idiopatik.
Diabetes melitUS tipe 2 terjadi pada keadaan pankreas tetap menghasilkan
insulin, terkadang lebih tinggi dari normal, tetapi tubuh membentuk kekebalan
terhadap efeknya. Biasanya terjadi pada usia diatas 30 tahun karena kadar gula
darah meningkat secara ringan namun progresif setelah usia 50 tahun terutama
pada orang yang tidak aktif dan mengalami obesitas (Smeltzer & Bare 2002).
Dalam Price & Wilson (2006) juga disebutkan diabetes melitus tipe 2 dikenal
12
sebagai tipe dewasa (onset maturitas) dan tipe nondependen insulin. insiden
diabetes melitus tipe 2 ini sekitar 650.000 kasus baru setiap tahunnya.
2.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus
Gangguan baik pada produksi maupun aksi insulin akan menyebabkan
gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkan.
Mekanisme yang mendasarinya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa
yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa. Secara klinis gejala yang
timbul ini disebut dengan gejala diabetes. Pada diabetes melitus tipe 2 gangguan
metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yaitu defisiensi insulin
dan resistensi insulin, disetrai oleh faktor lingkungan. sedangkan pada diabetes
meliTUS tipe 1 gangguan tersebut murni terjadi disebabkan oleh defisiensi insulin
secara absolut (Sudoyo, 2002).
Pada diabetes melitus tipe 2 ada dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu terjadinya resistensi insulin dan gangguan pada sekresi
insulin. Pada keadaan normal insulin berikatan dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. setelah insulin berikatan dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada penderita
diabetes melitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi sel yang terjadi
mengakibatkan insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan (Smeltzer & Bare, 2002). Pada diabetes melitus tipe 2,
jumlah insulin normal atau mungkin jumlahnya banyak, tetapi jumlah reseptor
insulin yang terdapat dalam permukaan sel berkurang. Akibatnya glukosa yang
13
masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat
(Sudoyo, 2002).
Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme
karbohidrat, yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel dan digunakan
sebagai bahan bakar. Insulin diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka
pintu masuknya glukosa ke dalam sel, yang kemudian di dalam sel tersebut
glukosa akan dimetabolisme menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa
tidak dapat masuk ke sel, yang mengakibatkan glukosa tetap berada di dalam
pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat (Sudoyo,
2002).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, akan tejadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada
diabetes melitus toleransi glukosa terganggu, keadaan ini diakibatkan oleh sekresi
insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes melitus (Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.4 Komplikasi Diabetes Melitus
Keadaan hiperglkemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes
melitus maupun hiperglikemia akut post prandial yang terjadi berulang kali
memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang
menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes melitus. Tingginya kadar glukosa
darah yang diikuti juga dengan dislipidemia bertanggung jawab terhadap
14
kerusakan jaringan secara langsung melaui stres oksidatif, dan proses glikolisasi
yang meluas (Sudoyo, 2002).
Pada tahap awal diabetes melitus tipe 2 meskipun dengan kadar insulin
serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan
jaringan yang terjadi terutama mikrovaskular meningkat secara tajam pada
diabetes melitus. sedangkan gannguan makrovaskuler telah muncul sejak
prediabetes (Sudoyo, 2002).
Diabetes melitus dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai sistem
tubuh. Komplikasi diabetes melitus bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Komplikasi jangka pendek meliputi hipoglikemia dan ketoasidosis, sedangkan
komplikasi jangka panjang dapat berupa kerusakan makroangiopati dan
mikroangiopati. Kerusakan makroangiopati meliputi penyakit arteri koroner,
kerusakan pembuluh darah serebral dan kerusakan pembuluh darah perifer.
Adapun komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati dan neuropati
(Smeltzer & Bare, 2008).
Menurut Price & Wilson (2006) komplikasi jangka pendek (akut) pada
diabetes melitus disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma. Komplikasi akut pada diabetes melitus terdiri dari :
a. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis metabolik merupakan komplikasi yang paling serius pada
diabetes melitus. Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami
hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipopisis
dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton.
15
Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis
metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat mengakibatkan diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien jatuh pada keadaan dehidrasi dan kehilangan elektrolit yang
dapat mengakibatkan terjadinya hopetensi dan syok.
b. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
HHNK adalah merupakan komlikasi akut lain dari diabetes melitus yang
sering terjadi pada diabetes melitus tipe 2 yang lebih tua. Hal ini terjadi bukan
karena difisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa
ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan
dehidrasi berat. Pasien bisa meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani.
c. Hipoglikemia
Komplikasi lain yang sering dari diabetes melitus adalah hipoglikemia
(reaksi insulin, syok insulin). Pada diabetes melitus suatu saat akan menerima
insulin yang lebih banyak daripada yang dibutuhkan yang mngakibatkan
terjadinya hipoglikemia. Gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan
epinefrin, juga akibat kekurangan glukosa pada otak. Serangkaian gejala
hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang
lama akan menyebabkan kerusakan otak tang permanen atau kematian.
Menurut Price & Wilson (2006) komplikasi kronik jangka panjang pada
diabetes melitus adalah komplikasi komplikasi vaskular yang melibatkan
pembuluh darah kecil (mikroangiopati), pembuluh darah besar (makroangiopati).
a. Retinopati
16
Retinopati merupakan kelainan patologis yang ada di mata yang
disebabkan oleh perubahan pembuluh darah kecil di retina mata. Retina
merupakan bagian mata yang berfungsi menerima bayangan dan
menginformasikannya ke otak. Pada retina banyak mengandung pembuluh darah
arteri dan vena yang kecil, arteriol, venula dan kapier (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Nefropati
Nefropati adalah komplikasi yang terjadi pada ginjal yang disebabkan oleh
kadar glukosa darah yang tinggi yang akan menyebabkan filtrasi dari ginjal
mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein ke dalam urin. Sebagai
akibatnya, tekanan darah dan pembuluh darah di ginjal meningkat. Peningkatan
tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjdi nefropati (Smeltzer &
Bare, 2008).
c. Neuropati
Neuropati dalam diabetes melitus mengacu pada sekumpulan penyakit
yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer, otonom dan spinal. Pada
jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar
mionositol yang akan mengakibatkan neuropati. Kelainan tersebut beragam
secara klinis dan tergantung pada lokasi sel saraf yang terserang (Smeltzer &
Bare, 2002).
d. Makroangiopati Diabetik
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
arterosklerosis. Gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin.
Gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima vaskular,
17
hiperlipoproteinnemia dan kelainan pembekuan darah hingga pada akhirnya
kelainan ini akan menyebabkan penyubatan pada vaskuler (Price & Wilson,
2006).
2.2 Kelembaban Kulit Pada Pasien Diabetes Melitus
2.2.1 Pengertian Kelembaban Kulit
Kulit merupakan lapisan terluar penutup tubuh yang mempunyai fungsi
sebagai barier terhadap segala bentuk trauma dari luar baik fisik, mekanik maupun
kimiawi. Di samping itu pula sebagai penutup tubuh yang bernilai estetika dengan
tampilan yang nampak halus, lembut dan berkilat. Pada keadaan tertentu kulit
tampak kasar kering dan bersisik (Baumann, 2002)
Kelembaban kulit didefinisikan untuk menggambarkan kadar kelembaban
stratum corneum (SC). Kulit tampak dan terasa sehat apabila lapisan luarnya
mengandung 10% air (Hidayat, 1995). Peningkatan tran epidermal water loss
(TEWL) yang menyebabkan kelembaban kulit menurun dikarenakan adanya
gangguan pada kulit yang menyebabkan banyaknya air yang menguap ke
atmosfer. Pada lansia penurunan kelembaban kulit disebabkan oleh perubahan
struktur lapisan kulit berupa perubahan komposisi lipid SC dan perubahan
differensiasi epidermal (Black, 1998).
Proses kelembaban kulit yang penting adalah keseimbangan antara
penguapan air dengan kemampuan kulit menahan air, fungsi barier kulit juga
berperan. Oleh karena itu penting untuk mempertahankan kulit yang sehat dan
memperbaiki kulit kering untuk menjaga agar kulit terlihat sehat dan lembab
(Cholis, 2001).
18
Jadi dapat disimpulkan kelembaban kulit adalah keadaan kadar
kelembaban SC dan keseimbangan antara penguapan air dengan kemampuan kulit
menahan air, fungsi barier kulit juga berperan.
2.2.2 Patofisiologi Kelembaban Kulit
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
dengan naiknya kadar glukosa darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2002).
Sedangkan menurut WHO (2008), diabetes melitus merupakan keadaan
hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun keturunan
secara bersama-sama dan mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis yang
tidak dapat disembuhkan namun dapat dikontrol.
Diabetes melitus dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai sistem
tubuh. Komplikasi diabetes melitus bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Komplikasi jangka pendek meliputi hipoglikemia dan ketoasidosis, sedangkan
komplikasi jangka panjang dapat berupa kerusakan makroangiopati dan
mikroangiopati. Kerusakan makroangiopati meliputi penyakit arteri koroner,
kerusakan pembuluh darah serebral dan kerusakan pembuluh darah perifer.
Adapun komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati dan neuropati
(Smeltzer & Bare, 2008).
Penyebab spesifik dan patogenesis setiap komplikasi masih terus
diselidiki. Namun, peningkatan kadar glukosa darah berperan dalam proses
terjadinya kelainan. Komplikasi jangka panjang tampak pada penderita diabetes
melitus biasanya terjadi dalam 5 sampai 10 tahun pertama setelah diagnosis
diabetes melitus ditegakkan (Smeltzer & Bare, 2002).
19
Neuropati dalam diabetes melitus mengacu pada sekumpulan penyakit
yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer, otonom dan spinal.
Kelainan tersebut beragam secara klinis dan tergantung pada lokasi sel saraf yang
terserang (Smeltzer & Bare, 2002).
Prevalensi ND meningkat seiring dengan pertambahan usia penderita dan
lamanya menderita diabetes melitus. Angka prevalensi mencapai 50% pada
penderita yang yang sudah mengalami diabetes melitus selama 25 tahun.
Kenaikan kadar glukosa darah selama bertahun-tahun membawa implikasi pada
penyebab ND (Smeltzer & Bare, 2002).
Proses terjanya ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang
berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advace
glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi
protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada
berkurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mionositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan
bahwa kejadian ND berhubungan kuat dengan lama serta beratnya diabetes
melitus (Sudoyo, 2009).
Patogenesis ND pada diabetes melitus dapat dikaitkan dengan mekanisme
vaskuler atau metabolik atau keduanya. Penebalan pada membran basalis kapiler
dan penutupan kapiler dapat dijumpai. Disamping itu terdapat demielinasi saraf
yang diperkirakan berhubungan dengan hiperglikemia. Hantaran saraf akan
terganggu apabila terjadi kelainan pada serabut mielin (Smeltzer & Bare, 2002).
20
Hipotesis mengenai beberapa etiologi ND termasuk permasalahan
metabolisme untuk serabut saraf, neurovaskular insufisiensi, kerusakan autoimun,
dan defisiensi faktor pertumbuhan neurohormonal. Beberapa faktor yang berbeda
telah terlibat dalam proses patogenik ini. Aktivasi hiperglikemia yang mengarah
ke akumulasi sorbitol dan perubahan potensial dalam ND yang dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada saraf dan atau penurunan saraf, aliran
darah. Aktivasi PKC menginduksi vasokonstriksi dan mengurangi aliran darah
saraf. Peningkatan stres oksidatif, dengan peningkatan produksi radikal bebas,
yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah endotelium dan mengurangi nitrat
oksida bioavailabilitas. Selain itu, kelebihan produksi oksida nitrat dapat
menyebabkan dalam pembentukan peroxynitrite dan kerusakan endotelium dan
neuron, proses yang disebut stres sebagai nitrosative. Pengurangan pertumbuhan
faktor neurotropik, defisiensi asam lemak esensial, dan pembentukan produk
glikosilasi akhir (terlokalisasi pada pembuluh darah endoneurial) juga
mengakibatkan berkurangnya endoneurial aliran darah dan hipoksia saraf (Vinik,
2003)
Ada dua tipe ND yang paling sering dijumpai adalah neuropati sensorik
dan neuropati otonom. Neuropati pada sistem saraf otonom mengakibatkan
berbagai disfungsi yang menegenai hampir seluruh sistem organ di dalam tubuh.
Ada enam akibat utama dari neuropati otonom yaitu kardiovaskuler,
gastrointestinal, urinalisis, kelenjar adrenal, disfungsi seksual, dan neuropati
sudomotorik (Smeltzer & Bare, 2002).
21
Neuropati otonom sudomotorik yaitu keadaan dimana tidak adanya atau
berkuranganya pengeluaran keringat atau anhidrosis pada ekstremitas yang
disertai dengan peningkatan kompensatorik perspirasi di bagian tubuh yang lain
(Smeltzer & Bare, 2002). Neuropati otonom sudomotorik menyebabkan
berkurangnya keringat dan minyak kelenjar fungsionalitas. Akibatnya, kaki
kehilangan kemampuan alami untuk melembabkan kulit di atasnya dan menjadi
kering dan semakin rentan terhadap infeksi (Clayton & Elasy, 2009).
Kekeringan atau penurunan kelembaban pada kaki membawa risiko
timbulnya ulkus kaki. Rangkaian kejadian yang khas dalam proses terjadinya
ulkus kaki diabetik dimulai dari cedera pada jaringan lunak kaki, pembentukan
fisura antara jari-jari kaki atau daerah kulit yang kering, atau pembentukan sebuah
kalus (Smeltzer & Bare, 2002). Kulit yang mengalami penurunan kelembaban
bisa menyebabkan retak, membiarkan kuman yang dapat menyebabkan infeksi
masuk ke dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi juga resistensi yang lebih
rendah terhadap infeksi dan memperlambat penyembuhan (Canadian Diabetes
Association, 2012).
Sebanyak sepertiga dari penderita diabetes melitus akan mengalami
gangguan kulit yang disebabkan atau dipengaruhi oleh diabetes di beberapa waktu
dalam kehidupan mereka. Kulit kasar, penurunan kelembaban atau kering dan
bersisik mempengaruhi setidaknya 75 persen orang yang menderita diabetes
melitus (Canadian Diabetes Association, 2012). Pernyataan diatas juga didukung
oleh hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Markendeya et al. (2004) dengan
judul “Sweat function in the diabetic foot”, menunjukkan hasil dari 30 pasien 18
22
diantaranya (60%) pasien mengalami penurunan produksi keringat atau tidak
menghasilkan keringat pada kaki dan 28 pasien mengalami pecah-pecah pada
kaki. Juga disebutkan dalam penelitian “Prevalence of Skin Manifestations in
Diabetes Mellitus at King Abdulaziz University Hospital” yang dilakukan oleh
Sameer (2012) di Saudi Arabia didapatkan sebanyak 74,7 % dari 558 orang
mengalami kulit kering pada penderita diabetes melitus.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelembaban Kulit
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi Kelembaban kulit
adalah : (American Skin Association, 2007; Bristow, 2013).
a. Usia
Penurunan kelembaban kulit atau kering pada umumnya terjadi pada
lansia, yaitu pada usia 65 tahun keatas. Penurunan kelembaban kulit pada lansia
disebabkan oleh perubahan struktur lapisan kulit berupa perubahan komposisi
lipid pada stratum corneum dan perubahan differensiasi epidermal yang
menyebabkan kulit kehilangan kemampuan untuk melembabkan secara alami
(Black, 1998).
b. Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal dapat menyebabkan perubahan pada kelenjar keringat dan
kelenjar minyak yang menyebabkan kulit menjadi kehilangan kemampuan alami
untuk melembabkan diri. Kondisi ini dapat juga disebabkan dari perubahan
metabolisme pada gagal ginjal kronik, yang saling berkaitan dengan perubahan
volume cairan dari pasien yang menjalani dialisis. Selain itu penurunan
kelembaban kulit pada penderita gagal ginjal juga disebabkan oleh kadar ureum
23
yang tinggi, sehingga terjadi penimbunan kristal urea di bawah permukaan kulit
(Alam & Hadibroto, 2008).
c. Menopause
Pada wanita yang mengalami menopause terjadi ketidakseimbangan
hormon, termasuk hormon esterogen. Pada wanita yang mengalami menopause
hormon esterogen dapat menyebabkan penurunan aktivasi kelenjar sebasea pada
kulit yang menyebabkan penurunkan jumlah dan ukuran sebasea. Selain itu
esterogen juga menurunkan produksi dari sebum. Hal ini menyebabkan kulit
kehilangan kemampuan untuk melembabkan secara alami. Selain itu juga terjadi
proses fisiologis penuaan kulit (keratinosit bergerak perlahan dari lapisan basal
epidermis ke stratum corneum) dan berkurangnya kandungan air di dalam kulit
yang dapat menyebabkan kulit kehilangan kemampuan untuk melembabkan diri
(Sawitri, 2009).
2.2.4 Komplikasi Penurunan Kelembaban Kaki
Mengurangi fleksibilitas dari SC mengarah pada pembentukan
microfractures yang menyediakan titik masuk untuk agen infeksius. Penurunan
kelembaban kulit juga dapat memperburuk pruritus yang mempengaruhi pasien
diabetes (Uhoda, 2005). Penurunan kelembaban pada kaki membawa risiko
timbulnya ulkus kaki. Rangkaian kejadian yang khas dalam proses terjadinya
ulkus kaki diabetikum dimulai dari cedera pada jaringan lunak kaki, pembentukan
fisura antara jari-jari kaki atau daerah kulit yang mengalami penurunan
kelembaban atau kering, atau pembentukan sebuah kalus (Smeltzer & Bare,
2002). Clayton & Elasy (2009) juga mengatakan pada kaki yang kehilangan
24
kemampuan alami untuk melembabkan kulit di atasnya akan menjadi kering dan
semakin rentan terhadap infeksi termasuk ulkus diabetikum.
Berdasarkan penelitian Purwanti (2012) “Hubungan Antara Neuropati
Otonom Dengan Kejadian Ulkus Kaki Pada Responden Diabetes Melitus di
RSUD Dr. Moewardi” menunjukkan hasil bahwa 76,5% (n=34) responden yang
denga ulkus kaki mengalami neuropati otonom yang menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara neuropati otonom dengan kejadian ulkus. Data diperoleh
nilai OR: 2,889, yang berarti pasien yang mengalami neuropati otonom
mempunyai kemungkinan 2,889 kali terjadi ulkus dibandingkan pasien yang tidak
mengalami neuropati otonom.
Prevalensi penderita ulkus diabetikum di Amerika Serikat sebesar 15-20%,
risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita non
diabetes melitus. Sedangkan prevalensi penderita ulkus diabetikum di Indonesia
sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika
merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk
diabetes melitus. Penderita ulkus diabetikum di Indonesia memerlukan biaya yang
tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5 juta per tahun
untuk seorang penderita (Rini, 2008).
2.2.5 Penatalaksanaan Penurunan Kelembaban kulit
Untuk mempertahankan kelembaban kulit, harus mengurangi hilangnya air
lewat epidermis (TEWL) dengan jalan memberikan bahan yang bersifat hidrasi
25
(moisturizer) yang larut dalam air atau pelumas (lumbricating) dan penutup
(oclution) yang tidak larut dalam air (Partogi , 2008).
Penanganan yang dapat dilakukan pada kulit yang mengalami penurunan
kelembaban atau kering yaitu dengan melembabkan kaki dengan pelembab. Istilah
pelembab menggambarkan terjadinya penambahan air ke kulit, sehingga
menurunkan kekasaran kulit atau peningkatan kadar air secara aktif ke kulit.
Pengertian pelembab adalah bahan oklusif yang membantu hidrasi kulit dengan
cara melembabkan permukaan kulit dan menahan air di stratum corneum
(Purwandhani, 2000).
Pelembab berfungsi sebagai okulsif atau membentuk lapisan yang
mempunyai kemampuan untuk mengganti lapisan hidrofilik alamiah, sehingga
mengurangi TEWL. Pelembab dapat bekerja pada kulit normal maupun yang
mengalami kelainan, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kelainanan kulit
pada umumnya. Efek dari pelembab adalah melembabkan kulit, anti inflamasi,
antimitotik dan antripruritus. Komponen terpenting pada pelembab adalah lipid.
Jacobi menyatakan bahwa kemampuan kulit untuk menyimpan kelembaban
berhubungan dengan adanya bahan yang larut dalam air, dimanakan faktor X atau
faktor pelembab alami (natural moistrurizing factor/NMF) (Partogi, 2008).
2.2.6 Area Pengukuran Kelembaban Kulit
Ada empat area (10 titik) yang akan dilakukan pengukuran. 10 titik pada
masing-masing kaki dibagi menjadi empat area pengukuran yaitu dorsum kaki (1
titik), ujung-ujung jari kaki (3 titik), metatarsal plantar pedis (5 titik), dan tumit (1
titik). Nilai keempat area pengukuran tersebut akan dijumlahkan dan kemudian
26
dicari rata-rata dari nilai kelembaban kulit kaki tersebut. Empat area pada masing-
masing kaki yang dilakukan pengukuran tersebut merupakan area yang rentan
terjadi ulkus diabetikum. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
pada tahun 2006, dari 3830 penderita diabetes melitus didapatkan 23,6%
mengalami DF dan lokasi DF cenderung terjadi pada 10 titik pemeriksaan di
masing-masing kaki. Lokasi DF 50% berada pada ujung jari kaki, 30-40% pada
metatarsal plantar pedis, 10-15% pada dorsum kaki, 5-10% pada tumit, dan 10%
adalah ulkus multipel (Suwandewi, 2012).
Gambar 1. Area Pengukuran Nilai Kelembaban Kulit Kaki Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus
di RSUD Wangaya
2.3 Virgin Coconut Oil
2.3.1 Pengertian Virgin Coconut Oil
Virgin coconut oil adalah minyak kelapa murni yang dibuat tanpa
pemanasan atau dengan pemanasan minimal. Penggunaan virgin coconut oil
27
sebagai bahan perawatan kulit dan rambut telah dilakukan oleh masyarakat
Indonesia secara turun temurun. Kelapa merupakan tanaman buah yang banyak
terdapat di Indonesia dan umumnya digunakan sebagai salah satu bahan masakan
baik dalam bentuk olahan daging buah kelapa segar maupun dibuat minyak untuk
keperluan memasak maupun merawat tubuh. Olahan minyak dari daging buah
kelapa terdiri dari 2 jenis yaitu minyak yang diolah dari bahan baku kopra (daging
kelapa kering) dan minyak yang diolah dari bahan baku kelapa segar atau santan.
Pengolahan dari bahan baku buah kelapa segar ini yang menghasilkan minyak
kelapa murni (virgin coconut oil). Pemanfaatan virgin coconut oil dalam bidang
kesehatan terus diteliti berkaitan dengan sifat-sifat baik yang dimiliki virgin
coconut oil yang diduga dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan (Amin,
2009).
Virgin coconut oil adalah minyak kelapa yang diperoleh dari dari daging
kelapa segar melalui proses alamiah, tanpa pemurnian, pemutihan, dan
penghilangan bau (Setiaji & Prayugo, 2004). Komponen utama virgin coconut oil
adalah asam lemak rantai sedang, terutama asam laurat sekitar 50% (Enig, 2002).
Berbeda dengan minyak kelapa tradisional, proses pembuatan virgin coconut oil
tidak menggunakan pemanasan suhu tinggi sehingga tidak terbentuk radikal bebas
asam lemak tidak jenuhnya dan kandungan antioksidan alaminya tidak hilang
(Setiaji & Prayugo, 2004).
2.3.2 Cara Pembuatan Virgin Coconut Oil
Virgin coconut oil diolah dengan minimal pemanasan atau tanpa
pemanasan sama sekali. Masyarakat Indonesia sejak dahulu mengolah santan
28
kelapa menjadi minyak goreng melalui pemanasan. Amin (2009) menyatakan
pengolahan daging buah kelapa menjadi virgin coconut oil dapat dilakukan
dengan berbagai cara yaitu :
a. Dengan Proses Mekanis
Pada pengolahan cara ini, daging kelapa dikeringkan dengan cepat lalu
dipres hingga keluar minyaknya. Melalui cara ini akan diperoleh 90% minyak dan
10% air. Air yang terpiah dengan minyak dipisahkan sedangkan air yang
terkandung dalam minyak dipanaskan dengan cepat agar menguap.
b. Dengan Fermentasi
Metode pembuatan virgin coconut oil dengan fermentasi menggunakan
ragi tape (Saccharomyces Cereviceae) atau ragi roti. Santan di fermentasi selama
12-24 jam. Dengan cara ini akan diperoleh virgin coconut oil dengan kualitas dan
kemurnian yang terjamin demikian juga warnanya bening dan mempertahankan
aroma khas buah kelapa.
2.3.3 Pengaruh Virgin Coconut Oil Terhadap Kelembaban Kulit
Virgin coconut oil sudah sejak lama digunakan untuk kulit agar tetap
halus, lembut dan mulus. Susunan molekular dari virgin coconut oil memberikan
tekstur lembut dan halus pada kulit. Minyak yang dioleskan pada kulit akan
mempengaruhi jaringan tubuh, terutama jaringan konektif. Bersatunya jaringan
konektif membuat kulit menjadi kuat (Rindengan dan Novarianto, 2004). Virgin
coconut oil memiliki banyak manfaat di bidang farmasi dan kesehatan. Virgin
coconut oil juga memiliki kandungan antioksidan dan pelembab yang sangat
tinggi dimana antioksidan ini berfungsi untuk mencegah penuaan dini dan
29
menjaga vitalitas tubuh (Nilamsari, 2006). Kandungan antioksidan dari virgin
coconut oil tidak mengalami kerusakan dan masih lengkap dalam jumlah yang
seimbang dengan pemanasan pada suhu 60-75⁰C ( Setiaji dan Prayugo, 2004).
Virgin coconut oil adalah minyak kelapa yang dihasilkan dari pengolahan
daging buah kelapa tanpa melakukan pemanasan atau dengan pemanasan suhu
rendah sehingga menghasilkan minyak dengan warna yang jernih, tidak tengik
dan terbebas dari radikal bebas akibat pemanasan. Lucida et al. (2008)
menyatakan virgin coconut oil mengandung 92% asam lemak jenuh yang terdiri
dari 48-53 % asam laurat, 1,5-2,5 % asam oleat, asam lemak lainnya seperti 8%
asam kaprilat, dan 7% asam kaprat. Kandungan asam lemak terutama asam laurat
dan oleat dalam virgin coconut oil bersifat melembutkan kulit.
Virgin coconut oil dapat diberikan sebagai bahan topical yang berfungsi
menjadi pelembab untuk mencegah kulit kering. Virgin coconut oil juga
memberikan nutrisi melalui proses penyerapan oleh kulit an sebagai pelumas
untuk mengurangi efek gesekan dan shear. Menurut Price (2003), dalam virgin
coconut oil mempunyai unsur antioksidan dan vitamin E masih dapat
dipertahankan sehingga jika digunakan sebagai pelindung kulit akan mampu
melembutkan kulit.
Menurut penelitian Prince (2004) virgin coconut oil mengandung medium
fatty chain acid, asam lemak pada virgin coconut oil seperti semua minyak dieter
lainnya digabungkan sebagai trigliserida. Edahwati (2005) juga menyebutkan
virgin coconut oil mengandung banyak asam lemak rantai menengah MCFA.
MCFA yang paling banyak terkandung dalam virgin coconut oil adalah asam
30
laurat (Edahwati, 2011). Dengan demikian trigliserida mempunyai aksi anti
mikrobial langsung. Namun bakteri yang ada di atas kulit merubah trigliserida
menjadi asam lemak bebas. Sehingga terjadi penambahan asam lemak anti
mikrobial pada kulit dan perlindungan dari infeksi (Price, 2004).
Pemanfaatan virgin coconut oil sebagai bahan dasar pembuatan krim
pelembab dibuktikan oleh Nilamsari (2006) melalui penelitiannya dengan
kesimpulan bahwa emulsi pelembab dengan kandungan virgin coconut oil 38,04%
mampu menghasilkan emulsi krim yang relatif stabil dan pH mendekati nilai yang
diinginkan sebagai bahan pelembab kulit yaitu 5-8. Price (2003) menyatakan
dipakai secara topikal atau dipakai ke dalam, minyak kelapa membantu kulit tetap
muda, sehat dan bebas dari penyakit. Asam lemak antiseptik pada virgin coconut
oil membantu mencegah infeksi jamur dan bakteri. Ketika dipakaikan langsung
pada kulit, asam lemak yang dikandung minyak kelapa tidak langsung berfungsi
sebagai antimikroba namun akan bereaksi dengan bakteri-bakteri kulit menjadi
bentuk asam lemak bebas seperti yang terkandung dalam sebum (sebum
mengandung uric acid dan asam laktat).
Pernyataan diatas juga didukung oleh penelitian “The effect of virgin
coconut oil loaded solid lipid particles (VCO-SLPs) on skin hydration and skin
elasticity” yang dilakukan oleh Mohamed (2013) di Malaysia didapatkan hasil
pelembab lotion sarat dengan VCO-SLPs yang mengandung virgin coconut oil
sebesar 20% ditemukan efektif dalam meningkatkan kelembaban kulit dan
meningkatkan elastisitas kulit. Ada 24,8 % peningkatan kelembaban kulit untuk
lotion dengan VCO-SLPs dibandingkan dengan 12,7% peningkatan kelembaban
31
kulit dalam penggunaan lotion kosong untuk durasi pemakaian 2 kali sehari
selama 28 hari. Penelitian yang dilakukan Haak et al (2012) yang berjudul
“Change in Moisture and Fat Content of Skin Under The Application Of Callusan
Extra Cream Mousse” juga menyatakan bahwa rata-rata nilai kelembaban kulit
kaki yang diukur dengan moisture meter sebelum diberikan pelembab 32,2% dan
setelah durasi aplikasi 3 minggu meningkat menjadi 44,89% yang menyatakan
pelembab mempunyai pengaruh terhadap meningkatkan nilai kelembaban kulit
dan mengatasi kekeringan pada kulit.
Virgin coconut oil mengandung pelembab alamiah dan membantu menjaga
kelembaban kulit serta baik digunakan untuk kulit yang kering, kasar dan bersisik.
Virgin coconut oil mengandung MCFA yang mudah masuk ke lapisan kulit dalam
dan mempertahankan kelenturan serta kekenyalan kulit. Molekul MCFA relatif
lebih kecil sehingga mudah larut dalam air. MCFA pada virgin coconut oil
ketika diterapkan secara langsung pada kulit untuk mencegah infeksi jamur dan
bakteri di kulit dengan cara untuk mendapatkan masuk ke dalam tubuh adalah
dengan menembus kulit. Ketika pertahanan kulit rusak seperti pada kulit yang
mengalami penurunan kelembaban atau kering, infeksi dapat terjadi. Kulit yang
sehat memiliki pH sekitar 5, sehingga sedikit asam. Keringat dan minyak tubuh
mempertahankann keadaan asam ini. Minyak tubuh kita memproduksi disebut
sebum (Vinik, 2003).
Kelenjar sebasea mensekresi minyak tubuh yang disebut sebum yang
menjaga kulit dari kekeringan. Sebum disekresi oleh kelenjar minyak. Fungsi dari
minyak tubuh Ini melembutkan dan melumasi kulit dan mencegah kulit kering
32
dan retak. (Tranggonno, 2007). Seperti sebum, virgin coconut oil mengandung
Medium Chain Triglycerides (MCT ). Virgin coconut oil juga diyakini baik untuk
kesehatan kulit. Sebab minyak ini mudah diserap oleh kulit dan mengandung
vitamin E. Minyak ini juga membantu menjaga kulit agar tetap lembut dan halus
(Edahwati, 2011). Seperti minyak tubuh, virgin coconut oil berfungsi sebagai
pelembab dengan berikatan dengan keringat dengan cara melapisi permukaan
kulit dan menahan air di stratum corneum. Kelenjar keringat ditemukan bersama
dengan kelenjar minyak di kulit. Minyak berfungsi sebagai pelembab dengan
berikatan dengan keringat dengan cara melapisi permukaan kulit dan menahan air
di stratum corneum. Kelenjar keringat ditemukan bersama dengan kelenjar
minyak di kulit. Keringat melembabkan kulit. Namun, tanpa campuran apapun,
keringat akan mudah menguap, mengakibatkan pengeringan kulit yang lebih
parah. Untuk mencegahnya, zat lain dibutuhkan (Eurell & Frappier, 2006).
2.3.4 Pemberian Virgin Coconut Oil
Pemberian virgin coconut oil dilakukan pada kedua kaki, dengan cara
dioleskan pada punggung dan telapak kaki pasien. Pemberian virgin coconut oil
dilakukan 2 kali sehari setelah mandi dimana setelah mandi keadaan kulit telah
bersih. Ketika mandi, sabun akan menghilangkan keringat, minyak dan zat-zat
asam pelindung kulit oleh karena itu sebelum keringat dan minyak dikeluarkan
kembali oleh kulit, kulit akan kering dan peka terhadap mikroba-mikroba
berbahaya. Memberikan pelembab setelah mandi akan membuat kulit kembali
segar. Dengan demikian memakai virgin coconut oil setelah mandi akan
bermanfaat bagi kesehatan kulit dengan meningkatkan atau mempertahankan
33
toleransi jaringan yang diharapkan. Durasi dari pemberian virgin coconut oil ini
selama 28 hari sesuai proses pembaruan kulit yang membutuhkan waktu sekitar
28 hari (Bristow, 2013; Cholis, 2001; Mohamed, 2013; Nilamsari, 2006).