17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan Pengadilan
Terdapat berbagai definisi mengenai putusan pengadilan, dalam hal
ini untuk menelaah dan mempelajari lebih lanjut terkait dengan definisi
putusan pengadilan, maka penulis akan menjabarkan definisi putusan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan pendapat para
ahli.
a. Pengertian Putusan Pengadilan Menurut Ketentuan Kitab Undang –
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 1 angka 11
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)19
menyatakan bahwa “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang –
undang ini”. Hal ini berdasarkan pada ketentuan yang termuat dalam
Pasal 195 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : "Semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan di sidang terbuka untuk umum."20
19 Lihat pada Pasal 1 angka 11 KUHAP 20 Lihat pada Pasal 195 KUHAP
18
b. Pengertian Putusan Pengadilan Menurut Pendapat Para Ahli
Menurut pendapat dari Prof. Sudikno Mertukusomo, S.H,
“Putusan pengadilan merupakan suatu pernyataan yang
dibuat oleh hakim selaku pejabat yang berwenang untuk itu,
yang diucapkan dalam persidangan dengan maksud untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
antara kedua belah pihak”.21
Menurut pendapat dari Leden Marpaung, “Putusan
pengadilan merupakan suatu kesimpulan atau hasil dari
sesuatu hal melalui pertimbangan – pertimbangan dan
penilaian yang sematang – matangnya yang kemudian
dikeluarkan dalam bentuk tertulis atau lisan”22
Jadi setelah mengetahui pengertian putusan baik berdasarkan
ketentuan peraturan perundang – undangan maupun pendapat para
ahli, penulis menyimpulkan bahwa putusan pengadilan adalah
suatu pernyataan yang dibuat oleh hakim yang diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan dimuat dalam bentuk tertulis
dengan maksud dan tujuan untuk mengakhiri suatu perkara.
Mengenai layanan Informasi di Pengadilan telah diatur dalam
ketentuan yang termuat pada lampiran I (satu) angka II (dua) Keputusan
21 Soedikno Mertukusomo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,
Hal 202 22 Leden Marpaung. 1985, Peristiwa Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Kejaksaan Agung RI,
Hal 221
19
Mahkamah Agung (MA) Nomor 1-144/KMA/I/2011 tentang Pedoman
Pelayanan Informasi di Pengadilan yang mana menyatakan bahwa
terdapat 3 (tiga) kategori informasi dalam pelayanan Pengadilan, yaitu
sebagai berikut:23
1) Informasi yang wajib diumumkan secara berkala.
2) Informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh
publik.
3) Informasi yang dikecualikan seluruh putusan dan penetapan
pengadilan, baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang
belum berkekuatan hukum tetap (dalam bentuk fotokopi atau naskah
elektronik, bukan salinan resmi), merupakan informasi yang wajib
tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik.
Sehingga dalam hal ini adanya lampiran I angka II Keputusan
Mahkamah Agung No 1-144/KMA/I/2011 yang mengatur tentang
pedoman pelayanan informasi di pengadilan menyebabkan informasi
berupa putusan dapat diketahui dan diakses dengan mudah oleh publik
kecuali informasi yang dikecualikan.
2. Macam – Macam Putusan Akhir
Kemudian putusan akhir dalam KUHAP terbagi menjadi tiga
macam putusan yaitu sebagai berikut:
a) Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP)
Adapun bunyi dari Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah sebagai
berikut : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
23 Lihat pada Keputusan Mahkamah Agung No. 1-144/KMA/I/2011 tentang Pedoman
Pelayanan Informasi di Pengadilan
20
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas”.24
Melihat dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
putusan bebas adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada
terdakwa karena berdasarkan pada hasil pemeriksaan sidang telah
diketahui bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan
kepada terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan.
Selanjutnya melihat bunyi Pasal 191 ayat (1) KUHAP dalam
kalimat sebagai berikut: “Perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.25 Jadi apabila berdasarkan
penilaian hakim tidak cukup terbukti atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti yang termuat dalam ketentuan hukum acara
pidana.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan bebas ditinjau
dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak
memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif,
artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak
memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya
24 Lihat pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP 25 Ibid.
21
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh
satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP,
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.26
b) Putusan lepas dari segala tuntutan
Putusan lepas adalah putusan yang telah dijatuhkan kepada
terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut
pendapat pengadilan bahwa berdasarkan pada Pasal 191 ayat (2)
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.27
c) Putusan yang mengandung pemidanaan
Merupakan putusan yang membebankan suatu pidana kepada
terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan itu. Dasar putusan ini dapat dilihat pada ketentuan yang
termuat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai
berikut : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
26 Lihat pada Pasal 183 KUHAP 27 Lihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP
22
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana”.28
Sehingga melihat dari macam – macam putusan yang telah
penulis jabarkan diatas, dalam hal ini jenis putusan yang menjadi
objek dalam penelitian penulis adalah jenis putusan yang mengandung
pemidanaan karena penulis akan mengkaji terkait pembacaan putusan
pidana anak yang bersifat terbuka untuk umum dalam sistem peradilan
pidana anak di Indonesia
3. Isi Putusan
Isi putusan pengadilan telah diatur dalam Pasal 50 Undang – Undang
Nomor 48 Tahun 2009, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang – undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar umtuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta
hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.29
Sehingga menurut hemat penulis, isi dari suatu putusan pengadilan
haruslah memuat alasan dan dasar pertimbangan hukum untuk
menjatuhkan putusan yang didasarkan pada alasan serta memuat pasal –
pasal dari peraturan perundang – undangan atau sumber hukum tidak
tertulis yang tepat dan benar yang menjadi dasar Hakim dalam
mengadili dan menjatuhkan putusan.
28 Lihat pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP 29 Lihat pada Pasal 50 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
23
B. Tinjauan Umum tentang Prinsip Persidangan
Prinsip persidangan di Indonesia dibagi menjadi dua macam prinsip
yaitu, prinsip persidangan terbuka untuk umum dan prinsip persidangan
tertutup untuk umum. Berikut penjelasan terkait dengan prinsip persidangan
terbuka dan tertutup untuk umum.
1. Prinsip Persidangan Terbuka Untuk Umum
Pada Pasal 64 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa : “Terdakwa berhak
untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.”30
Kemudian dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP, juga menjelaskan
terkait dengan prinsip persidangan yang terbuka untuk umum, ayat (3)
berbunyi sebagai berikut : “..Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua
sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak –
anak.”31
Sedangkan ayat (4) berbunyi sebagai berikut : “..tidak dipenuhinya
ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum”.32 Menurut Yahya Harahap, hal ini dimaksudkan agar
semua persidangan jelas, terlihat. Tidak bisa persidangan gelap dan
bisik-bisik.33 Prinsip persidangan terbuka untuk umum tidak hanya diatur
30 Lihat pada Pasal 64 KUHAP 31 Lihat pada Pasal 153 ayat (3) KUHAP 32 Lihat pada Pasal 153 ayat (4) KUHAP 33 Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika,
Hal. 110
24
dalam KUHAP melainkan juga telah diatur dalam Pasal 13 Undang –
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
berbunyi sebagai berikut :34
1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali Undang – Undang menentukan lain.
2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan
ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Jadi menurut hemat penulis, semua persidangan pada dasarnya terbuka
untuk umum kecuali dalam ranah keluarga, anak dan hal lainnya yang
ditentukan oleh Undang – Undang dan terkait dengan putusan
pengadilan pada dasarnya diucapkan dalam sidang yang bersifat
terbuka untuk umum karena mengingat ketentuan yang diatur dalam
Pasal 195 KUHAP serta Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) Undang –
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.35
2. Prinsip Persidangan Tertutup Untuk Umum
Persidangan tertutup untuk umum ini hanya ditujukan pada perkara
– perkara tertentu, seperti perkara dalam ranah hukum keluarga, perkara
anak, perkara kesusilaan dan beberapa perkara khusus dalam ketentuan
sebagai berikut :
Pasal 70 ayat (2) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1985
sebagaimana telah dirubah menjadi Undang – Undang Nomor 51
34 Lihat pada Pasal 13 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. 35 Lihat pada Pasal 195 KUHAP dan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
25
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi
sebagai berikut : "Apabila Majelis Hakim memandang bahwa
sengketa yang sedang disidangkan menyangkut ketertiban umum
atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup
untuk umum."36
Pasal 80 ayat (2) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah dirubah menjadi Undang – Undang 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi sebagai berikut :
“Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.”37
Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) Undang – Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer, yang berbunyi sebagai berikut :
“Perkara yang berhubungan dengan kesusilaan, secara umum dan
/ atau rahasia negara disidangkan secara tertutup”.38
Pasal 17 ayat (1) huruf C Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana telah dirubah dengan Undang – Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan :
“Membela dari dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
36 Lihat pada Pasal 70 ayat (2) Undang – Undang 5 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah
menjadi Undang – Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 37 Lihat pada Pasal 80 ayat (2) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah
dirubah menjadi Undang – Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 38 Lihat pada Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer.
26
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum”.39
Pasal 64 huruf H Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas
perubahan dari Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang berbunyi sebagai berikut : “..pemberian
keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak,
dan dalam sidang yang tertutup untuk umum”.40
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang berbunyi sebagai berikut : "..Hakim
memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup
untuk umum, kecuali pembacaan putusan.41
Jadi dalam hal ini penulis memberikan kesimpulan bahwa semua
persidangan pada dasarnya bersifat terbuka untuk umum, kecuali yang
ditentukan lain oleh undang-undang, dan persidangan yang bersifat
tertutup untuk umum hanya ditujukan hanya untuk perkara – perkara
tertentu. Meskipun demikian, untuk semua proses persidangan baik
yang bersifat terbuka atau tertutup untuk umum tetap diberlakukan
ketentuan Pasal 195 KUHAP, yang berbunyi bahwa “Semua putusan
39 Lihat pada 17 ayat (1) huruf C Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. 40 Lihat pada Pasal 64 Huruf H Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. 41 Lihat pada Pasl 54 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
27
pengadilan hanya berlaku dan umum untuk sidang terbuka untuk
umum”.42
Sehingga menurut hemat penulis, persidangan yang tertutup untuk
umum ini hanya ditujukan pada perkara – perkara tertentu yang mana salah
satunya adalah perkara anak yang dalam proses pemeriksaan
persidangannya dilakukan secara tertutup untuk umum dan hanya pihak –
pihak yang berkepentingan yang telah ditentukan oleh Undang – Undang
yang dapat masuk pada saat proses persidangan berlangsung.
C. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Anak
1. Pengertian Anak Berdasarkan Peraturan Perundang – Undangan
Berbagai definisi tentang anak yang diberikan oleh Undang –
Undang memiliki perbedaan sesuai dengan Undang – Undang tersebut,
berbagai definisi tersebut ialah sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi sebagai berikut : “Anak
adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingan”.43
b. Berdasarkan Konvensi Hak – Hak Anak yang menyatakan bahwa
“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan
42 Lihat pada Pasal 195 KUHAP 43 Lihat pada Pasal 1 angka 5 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
28
belas) tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.44
c. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, berbunyi
sebagai berikut : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.45
d. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi sebagai berikut :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.46
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak memberikan pengertian secara tegas tentang pengertian anak, menurut
Undang-undang tentang SPPA ada beberapa kriteria tentang anak itu sendiri,
yaitu sebagai berikut :47
(1) Pasal 1 angka 3
“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
44 Lihat pada Konvensi Hak Anak. 45 Lihat pada Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. 46 Lihat pada Pasal 1 angka (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 47 Lihat pada Pasal 1 angka (3), angka (4), dan angka (5) UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
29
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana”.
(2) Pasal 1 angka 4
“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana”.
(3) Pasal 1 angka 5
“Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/ atau dialaminya sendiri”.
Jadi setelah mengetahui berbagai definisi anak berdasarkan
ketentuan peraturan perundang – undangan, penulis menyimpulkan
bahwa dari semua peraturan perundang – undangan terdapat adanya
tumpang tindih atau perbedaan definisi yaitu terkait pada usia
kedewasaan anak, bahwa dilihat dari Undang – Undang Nomor 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan “Anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin”. Sedangkan pada ketentuan peraturan perundang – undangan
lainnya “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan
belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
30
Walaupun terdapat perbedaan terkait dengan definisi anak, ini tidak
menjadi masalah karena dalam hal ini penggunaan definisi tersebut
sesuai dengan kondisi dan keadaan yang berhubungan misalnya seperi
dalam konteks anak sebagai pelaku tindak pidana atau anak yang
berkonflik dengan hukum maka ketentuan peraturan perundang –
undangan yang digunakan adalah Undang – Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang – Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sehingga dalam hal ini definisi anak yang menjadi landasan utama
objek penelitian penulis adalah definisi anak berdasarkan Undang –
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA), karena berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis,
Undang – Undang SPPA merupakan Undang – Undang yang secara
khusus mengatur mengenai sistem peradilan pidana anak yang
mengesempingkan ketentuan mengenai anak dalam KUHP sehingga
sekarang tidak dapat diberlakukan lagi.
2. Pengertian Anak Menurut Para Ahli
R.A. Kosnan menyatakan bahwa “Anak merupakan seseorang yang
masih berjiwa dan berumur muda yang mana pada saat pertumbuhan
mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan disekitarnya.48 Oleh karena
48 R.A. Koesnan. 2005. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia. Bandung.
Sumur. Hal. 113
31
itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh – sungguh. Akan tetapi,
sebagai makhluk sosial yang paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak
justru sering kali di tempatkan dalam posisi yang paling di rugikan, tidak
memiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering menjadi korban
tindak kekerasa dan pelanggaran terhadap hak-haknya.49
Menurut Bisma Siregar, dalam bukunya menyatakan bahwa :
“Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis diterapkan
batasan umur yaitu 16 (enam belas) tahun atau 18 (delapan belas) tahun
ataupun usia tertentu yang mana pada usia tersebut anak tidak lagi
dikategorikan sebagai anak akan tetapi sudah sebagai orang dewasa.50
Prof. Hilman Hadikusuma meberikan pernyataan terkait dengan
kedewasaan anak, yaitu “Untuk menentukan batasan seseorang tersebut
sudah dewasa atau belum maka dapat dilihat dari perbuatan hukum yang
dilakukan oleh orang tersebut, contohnya anak yang belum dewasa telah
melakukan jual beli, berdagang, dam sebagainya, walaupun ia belum
pernah kawin”.51
Jadi setelah mengetahui berbagai definisi anak baik berdasarkan
pendapat para ahli, penulis menyimpulkan bahwa dalam hal ini terdapat
perbedaan definisi anak dari ketentuan peraturan perundang – undangan
dan pendapat para ahli, jika pada ketentuan peraturan perundang –
undangan definisi anak lebih menitikberatkan pada usia, maka menurut
49 Arif Gosita, 1992, Masalah perlindungan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 28 50 Bisma Siregar, 1986, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta,
Rajawali, Hal. 105 51 Ibid.
32
pendapat para ahli definisi anak lebih menitikberatkan pada proses
pertumbuhan dan perkembangan anak serta menyatakan bahwa anak
sebagai makhluk sosial yang rentan dan lemah sehingga perlu untuk
dilindungi. Untuk tingkat kedewasaan, sebagian para ahli berpacu pada
usia dan sebagian berpacu pada perbuatan hukum yang dapat dilakukan
walaupun ia belum pernah kawin.
D. Tinjauan Umum Tentang Hak – Hak Anak.
1. Deklarasi Hak – hak Anak
Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa
– Bangsa pada tahun 1924. Deklarasi ini juga disebut sebagai “Deklarasi
Jenewa”. Kemudian pada tahun 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa
– Bangsa (PBB) kembali mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak
yang merupakan deklarasi internasional kedua. Tahun 1989, rancangan
Konvensi Hak Anak diselesaikan, dan pada tanggal 20 November 1989
naskah akhir tersebut disahkan oleh Majelis Umum PBB dalam Sidang
Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB).52
Dalam mukaddimah Deklarasi tentang Hak – Hak Anak memuat 10
(sepuluh) asas tentang hak – hak anak, yaitu sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak untuk menikmati seluruh hak yang tercantum
dalam Deklarasi ini (Seluruh hak yang dimaksud adalah bahwa
setiap anak harus dijamin dan dipenuhi hak – haknya tanpa
membedakan ras, suku bangsa, agama, bahasa dan hal lainnya,
jaminan dan pemenuhan hak anak harus dilakukan karena
merupakan kewajiban negara).
52 Ima Susilowati, Desti Murdijana, Falasifatul Falah, 1999, Konvensi Hak Anak, Jakarta,
Sahabat Remaja, Hal 9 -10.
33
2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dan
memperoleh kesempatan serta fasilitas yang dijamin oleh hukum
sehingga dapat berkembang dan tumbuh dengan baik (maksudnya
adalah dapat mengembangkan diri baik secara fisik, jasmani dan
rohani dalam keadaan bebas dan bermartabat).
3. Sejak dilahirkan anak sudah mempunyai ha katas nama dan
kebangsaannya.
4. Anak berhak atas jaminan sosial untuk tumbuh dan berkembang
secara sehat.
5. Setiap anak yang dalam kondisi atau keadaan cacat fisik, mental atau
berkondisi lemah akibat suatu keadaan tertentu, maka anak tersebut
harus mendapatkan Pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.
6. Setiap anak memerlukan kasih sayang dan pengertian agar
kepribadian anak tummbuh dan berkembang secara maksimal dan
harmonis.
7. Setiap anak berhak untuk mendapatkan Pendidikan wajib secara
Cuma – Cuma sekurnag – kurangnya ditingkat sekolah dasar.
8. Dalam keadaan apapun anak harus di prioritaskan dalam menerima
perlindungan dan pertolongan.
9. Setiap anak harus dilindungi dari segala bentuk (kealpaan,
kekerasan, dan penindasan).
10. Setiap anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah kedalam
bentuk diskriminasi sosial, agama, atau bentuk diskriminasi
lainnya.53
Jadi berdasarkan pernyataan dari 10 (sepuluh) asas yang tercantum
dalam Deklarasi Hak – Hak Anak yang di sah kan pada tahun 1989 oleh
Majelis Umum PBB dapat ditarik kesimpulan bahwa hak – hak anak yang
dijamin dan harus dipenuhi oleh negara sudah sangat kompleks karena
selain menjamin hak – hak anak, Deklarasi Hak – Hak Anak juga sudah
mencakup terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak. Selain itu
setelah peratifikasian Deklarasi Hak -Hak Anak tersebut menjadi awal
mula dari perkembangan hukum pidana anak di Indonesia.
53 Lihat Deklarasi tentang Hak – Hak Anak yang disahkan pada tanggal 20 November 1989
oleh Majelis Umum PBB
34
Sebab beberapa Undang – Undang lahir setelahnya sebagai wujud
perlindungan hukum terhadap hak – hak anak yang diwujudkan dalam
bentuk lahirnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana
telah dirubah menjadi Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak namun dalam Undang – Undang ini telah tidak berlaku
lagi dan diganti dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Walaupun dari semua Undang – Undang diatas yang telah penulis
sebutkan telah mengatur dan menjamin terkait dengan hak – hak anak, akan
tetapi tetap saja Pemerintah harus meningkatkan lagi baik dari segi kualitas
Undang – Undangnya maupun dari segi pengawasan dan pelaksanaan dari
Undang – Undang tersbut agar semua hak – hak yang melekat pada anak
dapat terpenuhi dan tidak ada lagi anak yang menjadi korban dari tidak
dipenuhinya hak – hak fundamental yang telah dijamin oleh Konstitusi
Negara.
2. Konvensi Hak Anak
Perlindungan anak meliputi pula perlindungan terhadap pelaksanaan
hak dan kewajiban anak secara seimbang dan manusiawi. Perlindungan
anak pada hakikatnya menyangkut tentang kebijaksanaan, usaha, dan
kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak – hak anak, yang
didasarkan atas pertimbangan bahwa anak – anak merupakan golongan
35
yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak – anak
yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya
baik secara fisik, mental, dan sosial54.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa pada tanggal 20
November 1989 telah menyetujui Konvensi Hak – Hak Anak yang
diratifikasi oleh bangsa Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36
Tahun 1960. Dalam konvensi itu ditentukan antara lain : larangan
penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara
seumur hidup, dan penahanan semena – mena atau perampasan kebebasan
anak (Pasal 37); Hak anak yang didakwa ataupun diputuskan telah
melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya
untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum
lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi
hukum dan institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40);55
Segingga berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Konvensi Hak
Anak, penulis menyimpulkan bahwa Konvensi Hak Anak juga telah
mengatur mengenai aturang dasar – dasar terkait dengan anak, hak anak,
serta jaminan atas perlinungan hukum terhadap hak – hak anak. Isi yang
termuat dalam Konvensi Hak Anak lebih menitikberatkan kepada upaya
yang digunakan untuk menjamin terwujudnya perlindungan hak – hak anak
yang didasarkan atas pertimbangan bahwa anak merupakan golongan yang
54 Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, Cetakan Kedua, Hal. 35 55 Ibid, Hal 56 - 57
36
rawan sehingga perlu dijamin perlindungan atas hak – haknya agar bisa
terpenuhi.
3. Hak – Hak Anak Berdasarkan Ketentuan Hukum Positif di Indonesia.
Sebagai wujud nyata dari amanah Deklarasi Hak Anak Tahun 1924
dan Konvensi Hak – hak Anak Tahun 1989, Pemerintah sebenarnya telah
mengatur dengan jelas terkait dengan perlindungan dan hak anak yang
termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD RI 1945, yang berbunyi sebagai
berikut :”Fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh
negara”.56 Dari bunyi pasal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar
perlindungan hukum atas hak – hak anak yang harus dipenuhi oleh
pemerintah sebagai kewajiban negara.57
Dalam rangka untuk mewujudkan bentuk perlindungan hukum
terhadap hak – hak anak maka dengan itu Pemerintah Indonesia membuat
beberapa Undang – Undang untuk digunakan dalam rangka mewujudkan
perlindungan hukum terhadap hak – hak anak. Maka dari itu lahirlah
Undang – Undang tentang Kesejahteraan Anak, Undang – Undang tentang
Perlindungan Anak dan Undang – Undang tentang Pengadilan Anak yang
telah diganti menjadi Undang – Undang tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Dalam hal anak yang terlibat dengan tindak pidana atau anak yang
berkonflik dengan hukum maka Undang – Undang yang menaunginya
56 Lihat pada Pasal 34 UUD NRI 1945 57 Maidin Gultom, Op.cit, Hal. 57
37
adalah Undang – Undang tentang Perlindungan Anak dan Undang –
Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada dasarnya walaupun
anak tersebut melakukan tindak pidana, anak tetap memiliki hak – hak yang
melekat terhadap dirinya dan tetap tidak boleh di hilangkan, sebab
bagaimanapun juga ia adalah anak yang tidak boleh disamakan dengan
orang dewasa dalam undang-undang tentang sistem peradilan pidana anak,
terdapat beberapa hal yang menjadi hak seorang anak (pasal 3 dan pasal 4
UU SPPA) baik dalam tingkat pemeriksaan penyidikan,penuntutan, di
persidangan hingga ketika menjalani masa pidana (bagi pelaku), baik ia
sebagai pelaku, saksi, maupun korban dari tindak pidana tersebut.58
Adapun bunyi dari Pasal 3 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa “Setiap anak
dalam proses peradilan berhak untuk” :59
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang keja,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat harkat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampinganorang tua atau wali dan orang yang
dipercaya oleh anak;
k. Memperoleh advokasi sosial;
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
58 Lihat pada Pasal 3 dan Pasal 4 UU SPPA 59 Lihat pada Pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
38
m. Memperoleh aksesibilitas terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayanan kesehatan;
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan.
Selanjutnya bunyi dari Pasal 4 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa :
(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak :
a. Mendapat pengurangan masa pidana;
b. Memperoleh asimilasi;
c. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
d. Memperoleh pembebasan bersayarat;
e. Memperoleh cuti menjelang bebas;
f. Memperoleh cuti bersyarat; dan
g. Memproleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada anak
yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang – undangan.
Bahwa seorang anak yang terlibat dalam tindak pidana harus
diperlakukan secara manusiawi, harus dipisahkan dari orang dewasa,
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya yang dibutuhkan,
melakukan kegiatan rekreasional, bebas dari penyiksaan, penghukuman
atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan derajat dan
martabatnya. selain itu anak juga tidak boleh dijatuhi pidana mati atau
pidana seumur hidup. Juga anak tidak ditangkap ditahan, atau dipenjara
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.60
60 Ibid.
39
Seorang anak yang terlibat tindak pidana juga berhak memperoleh
keadilan didepan pengadilan anak yang objektif, tidak memihak dan dalam
sidang yang tertutup untuk umum. Hal lain yang membedakan dengan
tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan orang dewasa ialah bahwa
untuk tindak pidana anak tidak boleh dipublikasikan identitasnya,
memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh
anak, berhak memperoleh advokasi sosial, memperoleh kehidupan pribadi,
memperoleh akselibitas terutama bagi anak cacat, memperoleh pendidikan,
memperoleh pelayanan kesehatan.61
Demikian pula halnya ketika seorang anak dalam masa menjalani
masa pidana, berhak mendapatkan pengurangan masa pidana, memperoleh
asimilasi, memperoleh cuti mengunjungi keluarga, memperoleh
pembebasan bersyarat, memperoleh cuti menjelang bebas, memperoleh
cuti bersyarat dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.62
Jadi menurut hemat penulis dalam hal ini pemerintah sudah
mewujudkan secara nyata jaminan dan pemenuhan atas hak – hak anak baik
sebagai anak normal atau pada umumnya, anak sebagai korban dan anak
sebagai pelaku tindak pidana, serta melaksanakan perlindungan hukum
terhadap anak hal ini dapat dilihat dari lahir dan adanya Undang – Undang
Kesejahteraan Anak, Undang – Undang Perlindungan Anak dan Undang –
61 Ibid. 62 Ibid.
40
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang membuktikan bentuk
nyata kepedulian negara terhadap anak.
E. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan pengayoman yang diberikan
kepada setiap orang yang dirugikan oleh orang lain dengan maksud
perlindungan yang diberikan tersebut ditujukan agar setiap individu dapat
menikmati semua hak – hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata
lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus
diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik
secar fisik, psikis dan gangguan atau ancaman orang lain.63
Sedangkan menurut pendapat Setiono, “Perlindungan hukum
merupakan suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk melindungi rakyat
dari tindakan penguasa yang sewenang – wenang dan telah melamapaui
batas kewenangannya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan hukum atau
bahkan melanggar aturan hukum yang ada, perlindungan hukum ini
dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
rakyat dapat menikmati harkat dan martabatnya”.64
Jadi berdasarkan pendapat para ahli diatas mengenai perlindungan
hukum, penulis menyimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan
63 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, Hal.
53 64 Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Hal 3
41
upaya yang dilakukan dengan tujuan untuk melindungi setiap individu
warga negara dari tindakan penguasa yang sewenang – wenang atau
berbuat diluar kewenanngannya agar terwujudnya ketentraman, ketertiban
dan kesejahteraan rakyat.
2. Pengertian Perlindungan Anak
Masalah perlindungan hukum dan hak – haknya bagi anak- anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak – anak di
Indonesia. Agar perlindungan hak – hak anak dapat dilakukan secara
teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum
yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai
sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 Pasca
Amandemen.65
Perlindungan terhadap anak merupakan upaya yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan terhadap anak adalah wujud
nyata adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian
perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Adanya kegiatan atau tindakan terkait
dengan pelaksanaan perlindungan terhadap anak akan menimbulkan akibat
65 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT Refika Aditama, Hal 67.
42
hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis.66
Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif
Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan
yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
perlindungan anak.67
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak – haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.68
Perlindungan anak juga dapat diartikan sebagai segala upaya yang
ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak
yangmengalami tindak perlakuan salah (shild abused), eksploitasi dan
penelantaran, agar dapat menjamin pertumbuhan, perkembangan, dan
kelangsungan hidup anak dengan baik dan anak dapat tumbuh kembang
seperti anak – anak pada umumnya baik secara mental, fisik maupun sosial
di lingkungan sekitar anak.69
66 Maidin Gultom, Op.cit, Hal. 40 67 Arif Gosita, Op.cit, Hal 19. 68 Lihat pada Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak 69 Konvensi, 1998, Media Advokasi dan Penegakan Hak – Hak Anak. Volume II No. 2
Lembaga Advokat Anak Indonesia (LLAI) Medan, Hal. 3.
43
Arif Gosita memberikan definisi terkait dengan perlindungan anak
yaitu : “Perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya”.70 Perlindungan hak anak pada
dasarnya berkaitan langsung dengan peraturan perundang – undangan.
Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya
perlindungan hak – hak anak, pertama – tama didasarkan atas atas
pertimbangan bahwa anak – anak merupakan golongan yang rawan dan
dependent, disamping karena adanya golongan anak yang mengalami
hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani,
jasmani, maupun sosial.71 Pengertian perlindungan anak juga dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a. Merupakan wujud nyata adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Keadilan sangat berperan penting dan menjadi dasar utama dalam hal
perlindungan anak;
b. Suatu usaha bersama melindungi anak untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya secara manusiawi dan positif;
c. Merupakan suatu permasalahan sosial dalam masyarakat. Menurut
proporsi yang sebenarnya, secara dimensional perlindungan anak
beraspek mental,fisik, dan sosial, hal ini berarti bahwa pemahaman,
pendekatan, dan penanganan anak dilakukan secara integrative,
interdisipliner, intersectoral, dan interdepertamental;
70 Arif Gosita, Op.cit, Hal. 52 71 Maidin Gultom, Op.cit, Hal. 42
44
d. Suatu hasil interaksi antara pihak – pihak tertentu, akibat adanya suatu
interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhinya.
Jadi perlu diteliti, dipahami, dan dihayati siapa saja (objek dan
subjekhukum) yang terlibat sebagai komponen pada adanya
(eksistensi) perlindungan anak tersebut. Selain itu perlu juga diteliti,
dipahami dan dihayati gejala mana saja mempengaruhi adanya
perlindungan anak. Perlindungan anak merupakan permasalahan yang
rumit dan sulit sehingga penanggulangannya harus dilakukan secara
simultan dan bersama – sama;
e. Suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh unsur -unsur sosial
tertentu atau masyarakat tertentu, seperti kepentingan yang dapat
menjadi motivasi, Lembaga – Lembaga sosial (keluarga, sekolah,
pesantren, pemerintah, dan sebagainya), nilai – nilai sosial, norma
(hukum), status, peran dan sebagainya. Agar dapat memahami dan
menghayati secara tepat sebab – sebab orang melakukan perlindungan
anak sebagai suatu tindakan individu (sendiri – sendiri atau bersama
– sama), maka dipahami unsur – unsur struktur sosial yang terkait;
f. Dapat merupakan suatu tindakan hukum (yuridis) yang dapat
mempunyai akibat hukum yang harus diselesaikan dengan
berpedoman dan berdasarkan hukum. Perlu adanya pengaturan
berdasarkan hukum untuk mencegah dan menindak pelaksanaan
perlindungan anak yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan
sosial pada anak yang bersangkutan;
45
g. Harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Taraf
perlindungan anak pada suatu masyarakat atau bangsa merupakan
tolak ukur taraf peradaban masyarakat dan bangsa tersebut;
h. Merupakan suatu bidang pembangunan hukum nasional.
Mengabaikan masalah perlindungan anak akan mengganggu
pembangunan nasional serta kesejahteraan rakyat maupun anak. Ikut
serta dalam pembangunan nasional adalah hak dan kewajiban setiap
warga negara;
i. Merupakan bidang pelayanan sukarela (voluntarisme) yang luas
lingkupnya dengan gaya baru (inovatif, inkonvensional).72
Jadi berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam UU Perlindungan
Anak serta berdasarkan pendapat para ahli maka penulis menyimpulkan
bahwa adanya perlindungan anak didasarkan pada kondisi atau keadaan
anak yang rentan baik menjadi korban dalam kekerasan, tidak
terpenuhinya hak – hak yang ia miliki, atau bahkan menjadi pelaku tindak
pidana karena pengaruh lingkungan yang mana anak sangat rentan untuk
meniru dan terpengaruh pada apa yang ia lihat dan ia saksikan.
Maka dari itu adanya perlindungan anak yang telah diatur secara
khusus dalam Undang – Undang Perlindungan Anak karena pada dasarnya
perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan
72 Arif Gosita, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak – Hak Anak, Era
Hukum, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum. No.4/Th.V/April 1999. Fakultas Hukum Taruma Negara
Jakarta. Hal. 264 – 265.
46
anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak – haknya
tanpa perlakuan diskriminatip agar kelak anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial sehingga
berguna bagi bangsa dan negara.
3. Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Ditinjau dari Hukum Nasional
Dalam hal ini terdapat dua peraturan perundang – undangan yang
mengatur tentang perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana atau
anak yang berhadapan dengan hukum yaitu Undang – Undang Nomor 35
Tahun 2014 atas Perubahan Kedua Undang – Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selanjutnya pada Pasal 59 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002
menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dan kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi
secar ekonomi dan atau seksual, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.73
73 Lihat pada Pasal 59 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
47
Pasal 64 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002
menyatakan bahwa “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak
korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggungjawab
pemerintah dan masyarakat”.74
Pasal 64 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa
“Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan ha – hak anak;
penyediaan petugas pendamping anak sejak dini; penyediaan sarana dan
prasarana khusus; penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak; pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; pemberian jaminan
untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.75
Berdasarkan dari bunyi beberapa Pasal diatas maka dapat diketahui
bahwa dalam hal ini pemerintah telah memberikan aturan mengenai
perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum atau
anak yang melakukan perbuatan tindak pidana. Pemerintah juga telah
mengatur terkait dengan hak – hak anak yang berhadapan dengan hukum,
74 Lihat pada Pasal 64 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 75 Ibid,
48
dengan maksud supaya anak tersebut tetap bisa mendapatkan hak – haknya
walaupun ia sedang dalam masa tahanan. Tujuannya adalah agar anak
dapat tumbuh kembang dengan baik seperti anak normal lainnya.
4. Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Ditinjau dari Instrument Internasional
Terdapat tiga (3) Instrumen Internasional terkait dengan
Perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum. Ketiga Instrumen
tersebut sangat penting dalam melaksanakan perlindungan terhadap hak
anak yang berhadapan dengan hukum (Children in conflict with the law).
Instrumen Internasional tersebut ialah The United Nation Guidelines for
the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines); The
United Nation Rules For the Protection of Juvenile Deprived of Their
Liberty; and The United Nation Standart Minimum Rules for
Administration of Juvenile Justice the Beijing Rules.76
a. UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidelines)77
UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidelines) adalah suatu pedoman untuk pencegahan youth
crimes dan juvenile delinquency. Ketentuan yang dimuat dalam
Instrument tersebut ialah : pencegahan delinkuensi pada anak
merupakan bagian yang penting dalam pencegahan kejahatan yang
76 Maidin Gultom, Op.cit, Hal. 61 77 The United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency – the Riyadh
Guidelines (Panduan PBB untuk Pencegahan Kenakalan Anak – Panduan Riyadh), disahkan dan
dinyatakan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990.
49
terjadi biasanya dimasyarakat. Pendayagunaan sarana peraturan
perundang – undangan, melakukan aktivitas sosial yang berguna serta
bermanfaat, melaksanakan pendekatan manusiawi dengan segala
aspek dalam kehidupan bermasyarakat dan memberikan perhatian
terhadap kehidupan anak, akan berguna untuk mengembangkan sikap
non kriminogen.
Prinsip yang penting dan perlu untuk diingat ialah bahwa anak
yang telah berbuat pelanggaran ringan maka tidak harus di lebeling
dengan penghukuman atau pengkriminalisasian atas perbuatan anak
tersebut (Rule 1.1 – 1.5); Dalam hal penanggulangan dan pencegahan
delinkuensi anak, pemerintah seharusnya merumuskan serta
menerapkan perundang – undangan secara khusus dan prosedur
khusus guna perlindungan terhadap hak anak serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak.
Peraturan perundang – undangan khusus tersebut, diarahkan
terhadap upaya pencegahan viktimisasi, perederan atau mengedarkan
obat bius, penyalah gunaan obat – obatan, selain itu juga mengatur
mengenai kriteria terhadap penempatan anak yang berada dalam
penjara, hukuman disekolah, hukuman rumah dan hukuman lainnya.
dalam rangka untuk mewujudkan pencegahan viktimisasi,
stigmatisasi, dan kriminalisasi yang berkelanjutan pada anak,
peraturan perundang – undangan hendaknya memberikan jaminan
bahwa setiap perilaku dilakukan orang dewasa tidak dapat
50
dikategorikan suatu kejahatan atau bahkan tindak pidana, maka
perbuatan tersebut bukan sebuah kejahatan atau perbuatan melanggar
hukum yang bisa dipidana apabila dilakukan oleh remaja atau anak –
anak.
b. United Nation Rules For the Protection of Juvenile Deprived of
Their Liberty78
United Nation Rules For the Protection of Juvenile Deprived of
Their Liberty, Pada Konvensi ini memuat ketentuan bahwa :
Perampasan kemerdekaan terhadap diri anak merupakan usaha
terakhir, dan hanya dilakukan dengan jangka waktu yang pendek
(minimal), serta hanya berlaku pada kasus tertentu saja. Pihak
berwenang wajib dengan teratur serta konsisten berusaha untuk
meningkatkan keasadaran masyarakat atau publik bahwa memberikan
perhatian pada anak itu penting serta mempersiapkan anak untuk
kembali pada masyarakat ialah suatu bentuk pelayanan masyarakat
(sosial) sangat penting, maka dari itu perlu dilakukan tahapan guna
membuka hubungan diantara anak dengan lingkungan sekitar
(masyarakat).
78 The United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty
(Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya), disahkan melalui
Resolusi Majelis PBB No. 45/133 Tanggal 14 November 1990.
51
c. The United Nation Standart Minimum Rules for Administration of
Juvenile Justice the Beijing Rules.79
United Nation Rules For the Protection of Juvenile Deprived of
Their Liberty (Beijing Rules), secara umum memuat tentang perlu
adanya kebijakan sosial komprehensif dengan tujuan untuk
mendukung terwujudnya kesejahteraan anak, mengurangi adanya
campur tangan dalam sistem peradilan anak, karena dengan
kurangnya campur tangan dalam sistem ini, maka kerugian pada anak
yang diakibatkan dari campur tangan bisa dicegah; bahwa adanya
sistem peradilan pidana untuk anak merupakan suatu upaya untuk
mencapai kesejahteraan anak yang dilaksanakan berdasarkan pada
asas proporsionalitas.
Jadi berdasarkan dari beberapa ketentuan yang dimuat dalam
Instrumen Internasional yang telah penulis jabarkan diatas sebelumnya
maka dapat diketahui bahwa begitu pentingnya perlindungan terhadap
anak guna mewujududkan kesejahteraan anak, yang mana pada khususnya
perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, terdapat
beberapa Instrumen Internasional yang menjadi acuan atau pedoman yang
mengatur dari awal proses penangkapan, proses penahanan, proses
79 The United Nation Standart Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice - the
Beijing Rules. (Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak – Peraturan
Beijinga), disahkan melalui Resolusi Majelis PBB No. 40/33 Tanggal 29 November 1985.
52
penuntutan hingga sampai proses akhir tahap putusan dan ditempatkannya
anak dalam lembaga yang menghargai dan menghormatai hak asasi anak.80
Perlindungan hukum pada anak wajib sesuai Konvensi Hak Anak
(convention the Right of the Child) sebagaimana yang mana sudah
dilakukan ratifikasi oleh pemerintah dengan Kepres No. 36 Tahun 1990
tentang pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi
tentang Hak Anak).81
Salah satu prinsip dasar yang dimuat pada Konvensi Hak Anak ialah
tindakan atau perbuatan yang berdasarkan atas kepentingan terbaik pada
anak (best interest of the child). Ketentuan yang termuat pada Pasal 3 ayat
(1) menyatakan bahwa ”Dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan oleh lembaga – lembaga kesejahteraan sosial pemerintah
maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan
legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan
utama”.
80 Muhammad Husein Reza, Nur Rochaeti, Endah Sri A, 2016. Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
Jurnal Ilmiah Hukum Legality, Vol 5. No. 4, Jurnal Hukum Universitas Diponegoro, Hal 6 81 Ibid.
53
5. Tanggung Jawab Perlindungan Anak
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 UU Nomor 23
Tahun 2002 menentukan bahwa :82 ”Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak”.
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:83
a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan
kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak
dengan memerhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau
orang lain yang secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan
mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan
anak (Pasal 24);
82 Lihat pada Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 83 Ibid.
54
Sehingga menurut hemat penulis negara harus bertanggungjawab
terhadap perlindungan anak baik dalam segi pelaksanaan maupun
pengawasan terhadap orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam
menjalankan perlindungan hukum atas pemenuhan hak – hak anak, karena
pada faktanya walaupun sudah ada aturan yang secara khusus mengatur
terkait dengan perlindungan anak, namun tetap saja ada pelanggaran
terhadap hak – hak anak dan kekerasan pada anak yang dilakukan oleh
orang tua. Sehingga tanggungjawab terhadap perlindungan anak
merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin terwujudnya
perlindungan anak dengan baik serta terpenuhinya hak – hak anak.
6. Prinsip – Prinsip Perlindungan Anak
a. Anak tidak dapat berjuang sendiri
Salah satu prinsip yang menjadi dasar dalam perlindungan
anak, yaitu : Anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia,
bangsa, dan keluarga, untuk itu hak – haknya harus dilindungi. Anak
pada dasarnya tidak mampu untuk melindungi haknya sendiri karena
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kehidupannya. Orang tua,
keluarga, masyarakat dan Negara berkewajiban untuk
mengupayakan dan melaksanakan perlindungan hak – hak anak.84
b. Kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child)
Agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik,
dianut prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak
84 Maidin Gultom, Op.cit, Hal 47
55
harus dipandang sebagai of paramount importance (memperoleh
prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak.85
c. Ancangan daur kehidupan (life circle approach)
Perlindungan terhadap anak berpedoman pada pemahaman
bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan seterusnya. Janin
yang berada dalam kandungan dilindungi dengan gizi, termasuk
yodium dan kalsium yang baik melalui ibunya. Anak pada saat
memasuki usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), ataupun pada
saat masuk sekolah dasar dan seterusnya perlu lembaga Pendidikan,
dan lembaga sosial atau lembaga keagamaan yang bermutu serta
keluarga yang damai. Anak memperoleh kesempatan belajar yang
baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan
nasibnya sendiri.86
d. Lintas Sektoral
Nasib anak tergantung dari berbagai faktor yang makro
maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan,
perencanaan kota dan segala penggusuran, sistem Pendidikan yang
menekankan hapalan dan bahan – bahan yang tidak relevan,
komunitas yang penuh dengan ketidakadilan dan sebagainya tidak
dapat ditangani oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri.
85 Ibid. 86 Ibid. Hal 48.
56
Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan
sumbangan seua orang di semua tingkatan.87
Melihat dari prinsip – prinsip perlindungan anak yang telah
penulis sebutkan diatas, maka dalam hal ini penulis menarik
kesimpulan bahwa adanya perlindungan anak didasarkan pada
prinip – prinsip yang menyatakan bahwa anak tidak dapat berjuang
sendiri, kepentingan terbaik bagi anak (maksudnya adalah bahwa
dalam melakukan perlindungan terhadap anak harus didasarkan
pada kepentingan terbaik bagi anak agar perlindungan anak dapat
dilaksanakan dengan baik), ancangan daur kehidupan (maksudnya
adalah bahwa perlindungan terhadap anak sudah dimulai dari bayi
bahkan sejak anak dalam kandungan seperti harus terpenuhinya gizi
dan asupan yang baik buat anak agar anak dapat lahir dengan sehat
dan normal, kemudian perlindungan yang dimulai walaupun anak
masih sangat kecil hal ini ditujukan agar anak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik secara fisik, mental, dan lainnya.
F. Tinjauan Umum Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses
penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
87 Ibid.
57
pidana UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak pasal (1) angka 1. Undang-Undang SPPA menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak tersebut digantikan karena
belum memperhatikan dan menjamin kepentingan si anak, baik anak
pelaku, anak saksi, dan anak korban. Dalam Undang – Undang
Perlindungan Anak hanya melindungi anak sebagai korban, sedangkan
anak sebagai pelaku terkadang diposisikan sama dengan seperti pelaku
orang dewasa.88
Undang-Undang SPPA ini menekankan kepada proses diversi
dimana dalam proses peradilan ini sangat memperhatikan kepentingan
anak, dan kesejahteraan anak. Pada setiap tahapan yaitu penyidikan di
kepolisisan, penuntutan di kejaksaan, dan pemeriksaan perkara di
pengadilan wajib mengupayakan diversi berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang SPPA. Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan
terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah
yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung
dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan
penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak,
dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.89
88 Anonim, Jurnal Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam http://repository.umy.ac.id, akses
26 Oktober 2018 89 Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing, Hal. 35
58
Sistem Peradilan Pidana Anak ini menjadikan para aparat penegak
hukum untuk terlibat aktif dalam proses menyelesaikan kasus tanpa harus
melalui proses pidana sehingga menghasilkan putusan pidana. Penyidik
kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang
dimaksudkan dalam Undang-Undang SPPA ini, selain itu ada penuntut
umum atau jaksa, dan ada hakim. Dalam Undang-Undang SPPA ini juga
mengatur lembaga yang terkait dalam proses diluar peradilan anak
misalnya ada Bapas, Pekerja Sosial Profesional, Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS),
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Keluarga atau
Wali Pendamping, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
yang ikut berperan di dalamnya.90
Jadi berdasarkan penjelasan yang telah penulis jabarkan diatas
terkait dengan pengertian sistem peradilan pidana anak penulis menarik
kesimpulan bahwa sistem peradilan pidana anak merupakan sistem
peradilan yang khusus dan berbeda dengan sistem peradilan pada orang
dewasa yang telah diatur dalam KUHAP, sistem peradilan pidana pada
anak diatur secara khusus dalam Undang – Undnag Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimulai dari tahap
penyidikan hingga tahap akhir proses persidangan, selain itu proses
persidangan pada anak dengan orang dewasa juga berbeda yaitu terkait
dengan pemeriksaan dipersidangan dilaksanakan secara tertutup berbeda
90 Anonim, Loc.cit, Jurnal Sistem Peradilan Pidana Anak
59
dengan orang dewasa yang mana pada tahap pemeriksaannya dilakukan
secara terbuka untuk umum.
2. Prinsip – Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak
Prinsip sistem peradilan pidana anak yang dijelaskan dengan kata
asas, karena kata prinsip dan asas memiliki makna yang sama, keduanya
dimaknai sebagai suatu dasar hal tertentu. Berdasarkan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Non Diskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pembinaan sebagai upaya terakhir;
dan
j. Penghindaran pembalasan keadilan restoratif dan diversi
diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak untuk menjaga agar
prinsip – prinsip sistem peradilan pidana anak dapat berjalan dan
terjaga.
Pedoman pelaksanaan keadilan Restoratif atau Restorative Justice
di Indonesia terdapat dalam United Nations Standard Minimum Rules For
the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), dalam resolusi
PBB 40/30 tanggal 29 November 1985, mengatur:91
“Memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum
mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau
menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan
91 Endri Nurindra. 2014. Implementasi Atas Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disampaikan dalam Sarasehan Proses Penyelesaian
Kasus Kekerasan terhadap Anak. Hal. 4
60
formal antara lain mengentikan atau tidak meneruskan atau melepaskan
dari proses peradilan pidana atau mengembalikan atau
menyerahkankepada masyarakan dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan
sosial lainnya.”
Penjelasan diatas merupakan penjelasan mengenai keadilan
restoratif, dimana keterangannya ada dalam Undang-Undang SPPA Pasal
1 ayat (6) yaitu Keadilan Restoratif yang berbunyi sebagai berikut
“Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Penyelesaian terbaik
yaitu dengan mempertemukan para pihak untuk menyelesaikan perkara
dengan jalan musyawarah, cara ini dianggap kooperatif dikarenakan
dengan cara musyawarah dapat menyelesaikan masalah tersebut.92
Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention of the Rights of the
Child) mengatur tentang prinsip perlindungan hukum terhadap anak yang
mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum. Prinsip perlindungan hukum
terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention
of the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
92 Ibid.
61
tentang pengesahan Convention of the Rights of the Child (Konvensi
tentang Hak-hak Anak.93
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
belum mengatur lebih lengkap terkait anak sebagai pelaku tindak pidana
yang diatur hanya anak sebagai korban maka dari itu seiring dengan
perkembangan zaman undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum masyarakat, yang mana Undang – Undang
tersebut belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada
anak yang berkonflik dengan hukum sehingga Undang – Undang tersebut
tidak dapat diberlakukan lagi dan diganti dengan Undang – Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pada dasarnya sistem peradilan pidana anak dilaksanakan
berdasarkan atas prinsip – prinsip perlindungan, keadilan, non
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap
pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak,
pembinaan dan pembimbingan pada anak, proporsional, perampasan
kemerdekaan dan pembinaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran
pembalasan keadilan restoratif dan diversi yang diterapkan dalam sistem
peradilan pidana anak untuk menjaga agar prinsip – prinsip sistem
peradilan pidana anak.
93 Mohammad Taufik, Weny Bukamo, dan Sayiful Azri, 2013, Hukum Perlindungan Anak
dan Perlindungan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, Rineka Cipta, Hal.62
62
3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan
individual yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang
dihadapi pelaku, bukan pada perbuatan atau kerugian yang diakibatkan.
Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma
pembinaan individual adalah tidak relevan, incidental, dan secara umum
tak layak. Tujuan diadakannya peradilan pidana anak tidak hanya
mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa
depan anak dari aspek psikologi dengan memberikan pengayoman,
bimbingan, dan Pendidikan.94
Tujuan penting dalam peradilan anak adalah memajukan
kesejahteraan anak (penghindaran sanksi-sanksi yang sekadar
menghukum semata) dan menekankan pada prinsip proposionalitas (tidak
hanya didasarkan pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi
juga pada pertimbangan keadaan – keadaan pribadinya, seperti status
sosial, keadaan keluarga, kerugian yang ditimbulkan atau faktor lain yang
berkaitan dengan keadaan pribadi yang akan mempengaruhi kesepadanan
reaksi – reaksinya.95
Jadi menurut hemat penulis tujuan diadakannya sistem peradilan
pidana yang khusus pada anak adalah untuk memajukan kesejahteraan
anak, menjamin terpenuhinya hak – hak anak, serta agar anak dapat
94 Maidin Gultom, 2014, Op.cit, Hal. 93. 95 Setya Wahyudi, Op.cit, Hal. 41
63
tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik atau mental. Serta dalam
menjatuhkan putusan pada anak hakim dapat mempertimbangkan keadaan
atau kondisi anak dan memberikan putusan yang berdasarkan pada
kepentingan terbaik bagi anak.