40
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PONDOK PESANTREN
DAN KEWIRAUSAHAAN
A. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Istilah pesantren biasanya tidak terlepas dengan kata paduannya
yaitu kata pondok, sehingga sering disebut sebagai pondok pesantren.
Menurut Muhibbuddin, kata pondok sendiri berasal dari kata funduq dari
bahasa arab yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok
memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang
jauh dari tempat asalnya. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri
yang diambil awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukan tempat,
maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai
gabungan kata sant artinya manusia baik dengan suku kata tra atau suka
menolong. Selain itu ada pula yang mengatakan, bahwa kata santri berasal
dari cantrik yaitu orang-orang yang ikut belajar dan mengembara bersama-
sama empu-empu ternama.1 Ketika diadopsi oleh Islam, kata cantrik yang
kemudian menjadi santri adalah orang yang belajar kepada guru-guru
1Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I), 18.
41
agama, pada masa itu adalah para wali khususnya yang ada di tanah
jawa.2
Pesantren dalam penyelenggaraan pendidikannya berbentuk asrama
merupakan komunitas khusus di bawah pimpinan kiai dan dibantu oleh
ustadz yang berdomisili bersama-sama santri dengan masjid sebagai pusat
aktivitas belajar mengajar, serta pondok atau asrama sebagai tempat
tinggal para santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu keluarga.3
Ada statemen yang sinonim dengan pesantren, antara lain : pondok, surau,
dayah dan lainnya. Tepatnya istilah Surau terdapat di Minangkabau,
Penyantren di Madura, Pondok di Jawa Barat dan Rangkang di Aceh.4
Pondok pesantren merupakan satu bentuk pendidikan keislaman yang
melembaga di Indonesia. Kata pondok (kamar, gubug, rumah kecil)
dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan pada kesederhanaan
bangunan.5
Dalam perkembangannya, pesantren menampakan keberadaan
sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, di dalamnya didirikan
sekolah, baik secara formal maupun nonformal, bahkan sekarang
pesantren mempunyai trend baru dalam rangka memperbaharui sistem
yang selama ini digunakan yaitu : (a) mulai akrab dengan metodologi
2Muhibuddin, “Pasang Surut Pesantren di Panggung Sejarah”, Mozaik Pesantren, Tahun I (2005), 7-12. 3 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 6. 4Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), 17. 5 Soedjoko Prasodjo, Profil Pesantren, ( Jakarta: LP3ES, 1974), 11.
42
kegiatan modern. (b) semakin berorientasi pada pendidikan fungsional,
artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. (c) diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolut
dengan kiai sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai
pengetahuan di luar mata pelajaran agama, maupun ketrampilan yang
diperlukan di lapangan kerja. (d) dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat.6
Dari pengertian di atas, pesantren merupakan lembaga pendidikan
agama Islam, dengan sistem asrama yang di dalamnya berisikan sekurang-
kurangnya tiga unsur pokok yaitu : kiai, sebagai pengasuh sekaligus
pengajar, santri yang belajar dan masjid sebagai tempat beribadah dan
sentral kegiatan.
2. Dinamika Pesantren di Indonesia
a. Metamorfosis Pesantren dari Lembaga Tradisional menjadi Lembaga
Pendidikan Modern
Pesantren sebagai salah satu elemen penting dari bentuk dan
sistem pendidikan Islam di Indonesia telah berdiri sejalan dengan
pertumbuhan dan perkembangan Islam di nusantara.7 Pesantren dari
6Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Transformasi Sosial Budaya (Editor: Muslih Musa) , Hasbullah , Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1999), 58. 7Untuk melihat sejarah pesantren secara lebih lengkap, lihat misalnya Taufik Abdullah & Sharon Siddique, Islam and society in Southeast Asia, Institute of Southeast Asian Studies, 1986. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti), 1980. Lihat juga Mastuki dan M. Ishem El-Saha (ed), Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka), 2003, Seri I, Cet. 1. Karya lain yang senada misalnya Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan),
43
bentuknya yang paling sederhana8 telah mengalami metamorfosa
menjadi suatu lembaga modern.9 Perubahan-perubahan tersebut dapat
dilacak secara historis dari masa permulaan perkembangan Islam,
zaman kolonial hingga zaman setelah kemerdekaan.10
Pada zaman kolonial, pesantren tidak mengalami perkembangan
berarti diakibatkan politik pendidikan kolonial yang tidak berpihak
pada pendidikan Islam.11 Karel Steenbrink dalam karyanya, Pesantren
Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,
mengungkapkan bahwa pendidikan pesantren di mata pemerintah
kolonial adalah pendidikan terbelakang, kumuh, dan sulit
diadaptasikan dengan keilmuan modern. Bahkan inspeksi pendidikan
kolonial tidak memasukkan pendidikan pesantren ke dalam laporan
resmi pemerintah.12 Dalam pandangan Suminto politik pendidikan
kolonial ini sengaja dipropagandakan dengan tujuan untuk
kelangsungan dan kelanggengan kekuasaan penjajah di Indonesia.13
2001. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS), 1994. 8 Bentuk paling sederhana dari pesantren berupa pengajian sederhana di masjid atau di rumah kyai, lihat Abdurrahman Mas’ud dalam Badrus Sholeh (ed), Budaya Damai Komunitas Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2007), XIX-XX. 9 Pesantren dikatakan modern apabila di dalamnya selain mengajarkan kitab-kitab kuning juga mengajarkan ilmi-ilmu umum. Selain itu dalam komplek pesantren terdapat madrasah atau sekolah bahkan universitas. Lihat Zamakhsyari Dhofer, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES, 1982), Cet. 1, 41. 10 Fase-fase perkembangan sejarah pesantren ini misalnya dapat dilihat dalam Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), 55. 11 Lihat Karel A, Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES), 1994, Cet. 2. Lihat juga H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985), 46-50. 12 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, 9. 13 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, . 49.
44
Arah baru bagi pendidikan Islam khususnya pesantren dalam
menghadapi perubahan mulai terlihat setelah adanya ide pembaharuan
pendidikan di awal abad ke-20. Pembaharuan ini didasari pemikiran
bahwa tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang
menantang dari pihak kolonialisme Belanda dan penetrasi Kristen juga
terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam
menegakkan Islam.14 Berdasarkan pemikiran seperti ini pendidikan
Islam mulai merubah paradigma perjuangan, yang semula sangat anti
dengan sistem pendidikan kolonial dan sama sekali menafikan aspek-
aspek positifnya, kemudian melakukan adaptasi dan akomodasi dengan
mulai memasukan pelajaran-pelajaran umum ke dalam sistem
pembelajaran. Bahkan ormas-ormas Islam mendirikan sekolah-sekolah
yang bercorak modern.15 Tidak mau ketinggalan pesantren pun mulai
melakukan pembaharuan. Respon pesantren yang bersifat akomodatif
pertama kali ditunjukkan oleh pesantren Mambaul Ulum di Surakarta.
Pesantren ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata
pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Sikap pesantren
Mambaul Ulum ini kemudian diikuti beberapa pesantren lain.16 Pada
tahun 1916 berdirilah madrasah salafiyah dengan sistem klasikal di
14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1982), 37. 15Di Sumatera Barat misalnya berdiri sekolah Madrasah Diniyah dan Sumatera Thawalib, sedangkan Muhammadiyah mendirikan sekolah gubememen. Begitu juta Komunitas Arab mendirikan madrasah bercorak modern yaitu Jami’at Khair dan Al-Irsyad semua sekolah-sekolah tersebut menyelenggarakan mata pelajaran umum selain ilmu-ilmu agama. 16Azra, Azyumardi, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,(Jakarta: ) xiv.
45
pesantren Tebuireng. Moh Ilyas, sang pendiri, dengan persetujuan
K.H. Hasyim Asy’ari, memasukan mata pelajaran umum seperti
membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa
melayu. Semenjak itu surat kabar berbahasa Melayu diizinkan masuk
ke pesantren. Moh. Ilyas juga memodifikasi sistem pengajaran bahasa
Arab, dengan mengadopsi sistem pengajaran bahasa Belanda yang
pernah dipelajarinya di HIS. Walaupun K.H. Hasyim Asy’ari dianggap
cukup konservatif, namun pembaharuan dalam pesantren sempat
menimbulkan reaksi yang cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua
memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Tebuireng sudah
dianggap terlalu modern waktu itu.17
Transformasi pesantren dari sistem tradisional ke sistem modern
ini terus berlanjut hingga pasca kemerdekaan, bahkan mungkin sampai
sekarang. Di zaman orde lama, ketradisionalan pesantren mendapat
kritikan tajam dari Presiden Soekarno. Menurutnya pesantren harus
segera melakukan perubahan dengan cara meninggalkan word of life
pesantren, naik di dalam word of mind.18Sebagai respon dari kritikan
tersebut, pada tahun 1965 diselenggarakan seminar pesantren seluruh
Indonesia di Yogyakarta. Dalam seminar ini para ulama dan pengasuh
pesantren untuk pertama kalinya membicarakan hakikat pesantren
secara lebih terbuka. Seminar ini juga telah menimbulkan kesadaran
17 Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta:LP3ES,1986 ), 70-71. 18 Saridjo,Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982 ), 61.
46
dari dalam untuk memperbaharui sistem pendidikan dan pengajaran
pesantren.
Modernisasi pesantren yang begitu eksplisit dapat dilihat
sewaktu pemerintah orde baru menghendaki pesantren menjadi salah
satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat.19 Melalu proyek
Pelita, pemerintah memberikan bantuan untuk pembinaan pesantren di
seluruh Indonesia. Proyek ini, walaupun menuai kritikan, namun telah
memungkinkan pesantren untuk berkembang lebih maju tidak hanya
dalam modernisasi kurikulum, tetapi juga pengembangan ekonomi dan
sarana dan prasarana fisik.20
Modernisasi pesantren zaman orde baru memungkinkan
pesantren melakukan penyesuaian, adaptasi dan akomodasi, pesantren
kemudian mampu mengembangkan diri dan kembali menempatkan
posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.
Pesantren mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
beragam mulai dari visi dan misi pesantren, pengembangan
kelembagaan, pola kepemimpinan, manajemen, pola pembelajaran,
strategi adaptasi dan pengembangan ekonomi. Dalam konteks yang
terlahir, kita menyaksikan banyak pesantren kemudian memiliki
berbagai unit usaha dan kegiatan produksi dan memberlakukan
kurikulum yang memuat pelajaran keterampilan. Potret pertumbuhan 19 Rahardjo, Dawam, (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta:LP3ES, 1974), 11. 20 Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, 81.
47
pesantren yang sangat dinamis ini, dalam pandangan Kuntowijoyo,
membuktikan bahwa pesantren responsif terhadap perubahan dengan
mengembangkan kegiatan-kegiatan baru.21
Dampak positif dari perkembangan ini, pesantren yang dulu
dikenal sebagai lembaga tradisional, terbelakang dan rural based
institution, sekarang tidak sulit kita temukan pesantren yang memiliki
gedung dan fasilitas fisik yang cukup megah dan mentereng. Pesantren
juga mengalami metamorphosis dari gejala rural menjadi lembaga
pendidikan urban. Banyak bermunculan pesantren kota, seperti di
Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Palembang, Yogyakarta,
Malang, Semarang, Ujung Pandang atau wilayah sub-urban Jakarta
seperti Parung dan Cilangkap.22 Seperti dikemukakan Zamakhsyari
Dohofier, diantara pesantren perkotaan yang muncul pada 1980-an
adalah pesantren Darun Najah dan Ashidiqiyah di Jakarta, pesantren
Nurul Hakim, Al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, dan Darul Hikmah
di Pekanbaru.23
Seiring perkembangan zaman pesantren terus melakukan inovasi
sesuai dengan tuntutan zaman. Disamping tetap mempertahankan ciri
khasnya pesantren terus melakukan ekspansi dengan melaksanakan
21 Kuntowijoyo, Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika, dalam Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1988), Cet. 8,246. 22 Azra, Azyumardi, dalam Norcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. xxiii. 23 Dhoefier, Zamakhsyari, Peran Pesantren dan Pengembangan Pendidikan dan Pendewasaan Masyarakat, makalah, Direktori Agribisnis Melalui Pondok Pesantren 1994/1996, (Jakarta: Departemen Pertanian RI, 1996) 12.
48
reformasi dan modernisasi sistem pendidikannya. Walaupun ada
sebagian pesantren yang tetap bertahan pada pola tradisionalnya, akan
tetapi tidak sedikit pesantren yang kemudian mengadopsi sistem
pendidikan modern dengan menerima lembaga pendidikan formal
berupa madrasah dan sekolah-sekolah umum. Kebanyakan pesantren
sekarang memiliki madrasah mulai dari MI, MTs, MA. Banyak juga
pesantren yang mendirikan SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi.
Dalam perkembangan mutakhir, pesantren tumbuh berkembang
menjadi lembaga yang multidimensional yang bukan hanya dikenal
sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi pesantren yang tumbuh
berkembang di tengah masyarakat juga memerankan fungsinya sebagai
pusat aktivitas masyarakat, mulai dari belajar agama, beladiri,
pengembangan ketrampilan, mengobati orang sakit, konsultasi jodoh,
konsultasi keluarga, problem masyarakat bahkan
penyembuhan/rehabilitasi korban narkoba dan sebagian pesantren juga
tidak luput dari aktivitas politik.
b. Transformasi Tradisi Pembelajaran di Pesantren
Sistem pendidikan pesantren didasari, diarahkan dan digerakan
oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam yang
kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mastuhu
menggolongkan nilai-nilai yang menjadi ruh pesantren ini menjadi dua
bagian yaitu nilai-nilai Islam yang bersumber pada kebenaran mutlak
49
dan berorientasi ukhra<wi dan nilai-nilai agama yang memiliki
kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan
berbagai masalah kehidupan sehari-hari sesuai dengan kaidah hukum
agama.24 Sedangkan prinsip-prinsip yang dianut pendidikan pesantren
meliputi theocentric, sukarela dan mengabdi, kearifan, kesederhanaan,
kolektivitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin,
mandiri, tempat mengabdi, tempat mengamalkan ajaran agama dan
restu kiai.25
Nilai-nilai yang juga menjadi ciri-ciri pesantren adalah; 1)
adanya hubungan yang akrab antara kiai dan santri. Hal ini
dimungkinkan karena mereka tinggal dalam suatu komplek pesantren
sehingga kiai dapat dengan mudah memantau segala aktifitas
keseharian para santri. 2) kepatuhan santri terhadap kiai sehingga
mereka tidak berani menentangnya karena disamping tidak sopan juga
dilarang agama bahkan tidak mendapat berkah karena durhaka kepada
guru. 3) hidup hemat, sederhana dan mandiri benar-benar diterapkan
dalam kehidupan keseharian, 4) jiwa tolong-menolong dan suasana
persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren. 5) disiplin yang
sangat ketat. 6) keprihatinan untuk mencapai tujuan yang mulia.26
Menurut Agil Siradj, bahwa dalam sistem kehidupan pesantren
24 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, 25 Martin van Brunessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1994), 18. 26 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,
50
terdapat spirit yang menjiwai setiap derap langkah warganya berupa
keikhlasan, kesederhanaan, sabar, tawakkal, tawadhu’, jujur, ukhuwah
Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.27
Prinsip dan nilai yang ada dalam perikehidupan pesantren ini
juga tercermin dari tradisi pembelajaran sebagai proses transmisi
keilmuan pesantren. Martin Van Bruinessen menggambarkan bahwa
unsur kunci dalam lembaga pesantren adalah peranan dan kepribadian
kiai yang sangat menentukan dan karismatik. Sikap hormat, takzim,
dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang
ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga
mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan ulama
yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya.28 Kepatuhan ini bagi
pengamat luar, menurut Martin, tampak lebih penting daripada usaha
menguasai ilmu tetapi bagi kiai hal itu merupakan bagian integral dari
ilmu yang akan dikuasai.
Meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks tertulis, namun
penyampaian secara lisan oleh para kiai adalah penting. Kitab
dibacakan oleh kiai di depan sekelompok santri, sementara para santri
yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana
bacaan sang kiai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi
maupun ma’nawi. Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi 27 Siradj,Agil, Said, dkk, Pesantren Masa Depan, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), 215-216. 28 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, h. 18.
51
biasanya terbatas pada konteks sempit isi kitab. Jarang sekali ada
usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal konkret,
atau situasi kontemporer.29 Kiai jarang menanyakan apakah santri
benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada
tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat pengantar
sering dihafalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja
dari awal sampai akhir.
Pada masa lalu, menurut Dhofier, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham
Syafi’iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan
dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini adalah
untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang tinggal di
pesantren untuk jangka waktu pendek dan tidak bercita-cita menjadi
ulama, mempunyai tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal
pendalaman perasaan keagamaan. Para santri yang bercita-cita ingin
menjadi ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa Arab
melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum mereka pergi ke
pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.30
Sistem pengajaran seperti tergambar di atas adalah cara-cara
yang lazim dilakukan oleh pesantren-pesantren salafi (tradisional).
29Ibid 30 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1982), Cet. 1, 50.
52
Seiring terjadinya modernisasi dalam sistem pembelajaran dan
kurikulum pesantren, maka pola pembelajaran tidak hanya sorogan dan
bandongan, tapi sudah menganut sistem klasikal. Materi pelajaranpun
menjadi beragam, tidak hanya mengaji kitab kuning. Namun demikian,
menurut Dhofier, meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan
pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam
pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap
diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren,
mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam
tradisional.31
Dalam perkembangan selanjutnya, tampaknya sistem
pembelajaran pesantren menghadapi berbagai tantangan yang
menghendaki ekspektasi pendidikan tidak hanya menjadi pusat
pengembangan kognitif keilmuan semata, tetapi hal yang juga urgen
adalah bagaimana sebuah lembaga pendidikan bisa mengarahkan anak
didik untuk mandiri dalam kehidupannya setelah menuntaskan proses
belajar di pesantren.32
Menghadapi tantangan seperti ini, mengharuskan pesantren
melakukan transformasi dan pembaharuan dalam sistem pembelajaran
dan orientasi pendidikannya. Pembaharuan yang cukup menarik
31Ibid., 50 32 A. Halim. “ Pesantren Menggali Potensi Ekonomi Pondok”, dalam A. Halim et al, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2005), 219.
53
diamati adalah adanya keinginan mengembangkan sisi ekonomi
(kewirausahaan) yang integrated dalam kurikulum yang dijalankan
dalam sistem pendidikan berbasis pesantren. Usaha-usaha ini dalam
konteks pembaharuan telah dilakukan berbagai tokoh dan lembaga
yang mencoba mengaplikasikan model pendidikan yang mengambil
corak spesifik pengembangan kewirausahaan selain pengembangan
ilmu-ilmu keislaman.33
3. Reformulasi Tipe Ideal Pendidikan Pesantren
Seperti telah disinggung terdahulu, pada masa-masa awal
pesantren sudah memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan
pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca
huruf Arab dan al-Qur’an. Sementara pesantren yang agak tinggi
adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah,
dan kadang-kadang amalan sufi, disamping tata bahasa Arab (nahwu
sharaf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang
maupun waktu dulu ditentukan oleh tiga serangkai mata pelajaran
yang terdiri dari fiqh menurut madzhab Syafi’i, akidah menurut
madzhab Asy’ari dan amalan-amalan sufi dan karya-karya Imam Al-
33 Contoh paling eksplisit pertama kali tokoh yang memperkenalkan dan menganjurkan pendidikan kewirausahaan ini adalah KH Abdul Halim di Majalengka dengan mendirikan Santi Asrama. Dalam lembaga ini mengajarkan berbagai keterampilan selain pengembangan ilmu agama. Dalam periode selanjutnya perkembangan kewirausahaan mengambil bentuk dengan bemunculan pondok karya pembangunan yang mengedepankan aspek keterampilan. Selain itu berdiri beberapa pesantren yang secara spesifik mengembangkan bidang keilmuan tertentu yang sangat erat dengan pengembangan keterampilan dan kewirausahaan, seperti pesantren Darul Fallah dan PKP Uswatun Hasanah.
54
Ghazali.34 Sedangkan ciri umum dari pesantren yang dapat diketahui
adalah pesantren ini disebut Gus Dur sebagai sebuah sub-kultur35,
Taufik Abdullah menyebut dengan komunitas alternatif36, sedangkan
Djohan Effendi menyebutkan sebagai kampung peradaban37.
Seiring perkembangan zaman, memasuki era 1970-an pesantren
mengalami pertumbuhan yang luar biasa secara kuantitas, baik di
wilayah rural (pedesaan), sub urban (pinggiran kota) maupun urban
(perkotaan). Perkembangan kuantitas ini meliputi pesantren salafiyah
(tradisional) dan khala<fiyah (modern). Pertumbuhan secara kuantitas
ini, menurut Sulthon Masyhud memperkuat argumentasi bahwa
pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri
dan sejatinya merupakan praktek pendidikan berbasis masyarakat
(community based education).38Hampir 100% pendidikan yang berada
atau dilaksanakan di pesantren adalah milik masyarakat dan berstatus
swasta.
34 Sulthon Mashud, Manajemen Pondok Pesantren, Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, h. (Jakarta : Diva Pustaka,2003), Cet. I, 2-3,22. 35 Wahid, Abdurrahman. Pesantren Sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Rahardho, (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), 19. 36 Taufik Abdullah, Dialog dan Integrasi : Pesantren dalam Perspektif Sejarah, dalam Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1987), Cet. I, 124. 37 Djohan Effendi, Pesantren dan Kampung Peradaban, sebuah Pengantar, dalam Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta : Penamadani, 2005),Cet 2, xvii-xx. 38 Lebih jelas mengenai community based education, baca Stephen May. Indigenous Community-Based Education, Multilingual Matters, 1999, Ervin L. Harlacher & James F. Gollattscheck, Implementing Community-Based Education, Jossey-Bass, 1978. Susan L. Deutsch & John Noble, Community-Based Teaching : a Guide to Developing Education Programs for Medical Students and Resident in Practitioner’s Office, (ACP Press,1997), 1.
55
Selain perkembangan kuantitas, perkembangan pesantren juga
menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an
bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah
sangat bervariasi. Bentuk-bentuk pendidikan dapat diklasifikasikan
menjadi empat tipe, yakni: 1) pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang
hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan Perguruan
Tinggi Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,
SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren
Tebuireng Jombang, pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren
Syafi’iyah Jakarta; 2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu
umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren
Gontor Ponorogo, pesantren Sidogiri Pasuruan dan Darul Rahman
Jakarta; 3) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam
bentuk madrasah diniyah (MD), seperti pesantren Ploso Kediri dan
pesantren Tegalrejo Magelang, dan 4) pesantren yang hanya sekedar
menjadi tempat pengajian.39
Pada pesantren tipe pertama dan kedua, sistem pembelajaran
tradisional seperti sorogan dan bandongan ataupun balaghan dan
39 Qodri Azizy, Memberdayakan Pesantren dan Madrasah, dalam Ismail SM (ed). Dinamika Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002. Cet I. Sulthon Masyhud. Manajemen Pondok Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet I, 5.
56
halaqah mulai diseimbangkan dengan sistem pembelajaran modern.
Dalam aspek kurikulum, misalnya, pesantren tidak lagi hanya
memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-
ilmu umum yang diakomodasi dari kurikulum pemerintah, seperti
matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris dan sejarah. Sistem
pengajaran yang berpusat pada kiai mulai bergeser.
Ditilik dari sisi kelembagaan, sekarang ini beberapa pesantren
muncul menjadi sebuah institusi atau ‘kampus’ yang memiliki
berbagai kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi
santri, tidak hanya segi akhlak, nilai, intelek, dan spiritualitas, tapi juga
atribut-atribut fisik dan material seperti munculnya pesantren-
pesantren yang sudah terkemas rapi dengan peralatan-peralatan
modern semisal laboratorium bahasa, teknologi komputer dan internet,
dan lain sebagainya.
Berbagai jenis program ketrampilan juga diperkenalkan oleh
pesantren semisal agro industri, industri rumah tangga, pertanian,
perikanan, dan kelautan. Di samping itu, pelayanan terhadap
masyarakat sekitar terus ditingkatkan, misalnya dengan menggerakkan
ekonomi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang dapat
57
memberikan keuntungan ekonomi atau pelatihan-pelatihan ketrampilan
dasar.40
Perkembangan positif dari pesantren ini baik dari segi kualitas
maupun kuantitas, telah menarik animo masyarakat untuk menjadikan
pesantren sebagai pendidikan alternatif. Terlebih lagi dengan berbagai
inovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan
mengadopsi corak pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin
kompetitif untuk menawarkan pendidikan ke khalayak masyarakat.
Berangkat dari persepsi seperti ini, dalam rangka menghadapi
tantangan zaman di era globalisasi, pesantren diharapkan dapat
merumuskan atau mereformulasi diri sehingga sesuai dengan tuntutan
zaman.41
Dalam kritiknya, Affan Gafar menuturkan bahwa peran penting
pesantren dalam proses pelaksanaan pembangunan sosial di sektor
pendidikan secara khusus tidaklah senantiasa berada pada titik
konstan, tetapi juga mengalami pasang surut. Seperti contoh, ketika
pesantren masih menjadi satu-satunya kiblat pendidikan, peran
lembaga pendidikan dengan kiai sebagai figur tokoh informalnya
memiliki posisi dan peran yang menentukan. Tetapi, ketika dunia
40 Manfred Oepen. The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia, International Seminar vy Technical University Berlin and Friederich-Naumann-Stiftung, Fredrich-Naumann Stiftung. Indonesian Society for Pesantren and Community Development (P3M) : (Berlin: Technical University Berlin, 1988), 16. 41 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, h. 12.
58
pendidikan semakin dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan
modern yang menawarkan keunggulan sistem pendidikan, kurikulum
yang terprogram secara sistematis, SDM tenaga pengajar yang handal,
dan pengelolaan yang profesional, semakin menggeser keberadaan
pesantren. Peran pesantren juga semakin teredukasi dengan semakin
tingginya tingkat campur tangan pemerintah dalam menggarap sektor
pembangunan dalam berbagai aspeknya sebagaimana pengalaman
peran pemerintahan pada era Orde Baru dengan sistem pemerintahan
yang sentralistik dengan menekankan pemantapan stabilitas politik,
pendekatan keamanan yang ketat, dan prioritas pada pembangunan
pada sektor ekonomi.42
Sementara itu munculnya percepatan kemajuan dalam bidang
sains dan teknologi, perkembangan ekonomi-pasar bebas dan
munculnya berbagai institusi non-pemerintah (LSM) selain pesantren
yang aktif menggarap persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan,
keberadaan elemen-elemen tersebut menjelma menjadi kekuatan yang
sangat berpengaruh dalam perkembangan kehidupan sosial
kontemporer. Keberadaan institusi informal yang cukup heterogen
semacam ini telah menjadi pilar yang cukup fungsional bagi
pemberdayaan masyarakat secara umum, dan proses transformasi
sosial. Biasanya institusi informal tersebut memiliki kepedulian yang
42 Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Demokrasi menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 5.
59
cukup besar untuk turut melakukan penguatan masyarakat sipil (civil
society) terutama melalui pemberdayaan di bidang pendidikan.43
Pesantren sebagai satu potret LSM terkenal mampu memainkan
berbagai peranan dalam proses pembangunan. Menurut Noeloen
Heyzer, sebagaimana dikutip Affan Gaffar, terdapat tiga jenis peranan
yang dapat dimainkan oleh berbagai LSM secara umum, termasuk
pesantren, yaitu : 1) mendukung dan memberdayakan masyarakat pada
tingkat “grassroot” yang sangat esensial dalam rangka menciptakan
pembangunan yang berkelanjutan, 2) meningkatkan pengaruh politik
secara meluas, melalui jaringan kerjasama, baik dalam suatu negara
maupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya; 3) ikut
mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda
pembangunan.44
Dalam pandangan Fuadudin, kalau saja potensi pesantren dapat
memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan IPTEK,45 maka negeri ini akan
menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan
kompetitif untuk mengejar ketertinggalan bangsanya, SDM yang
mempunyai akar sosial dan kultur Indonesia, bukan SDM yang
43 Sulthon Masyhud, Manajemen …,13. 44 Affan Gafar, Politik Indonesia Transisi Demokrasi menuju Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 12. 45 Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan Iptek adalah pendidikan yang seimbang dan terpadu antara dimensi keimanan, moral dan intelektual, atau pendidikan yang seimbang dan terpadu antara penguasaan ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan penguasaan sains dan teknologi yang didasari oleh nilai-nilai moral agama (imtak).
60
berorientasi ideologi dan nilai-nilai kultur yang diimpor dari luar baik
yang fundamentalis radikal maupun yang liberal sekularistik.46
Sebaliknya bila pesantren gagal atau tidak mampu memberikan
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat dan
perkembangan IPTEK/modernitas, maka alumni pesantren
kemungkinan tidak siap menghadapi realitas kehidupan yang semakin
kompetitif dan bisa jadi akan termarginalkan secara sosial, politik,
ekonomi maupun kultural. Akibatnya mobilitas sosial dan intelektual
umat akan mandeg, tetap berada pada lapisan bawah.
Bagaimana sebaiknya dunia pesantren merespon
perkembangan Iptek dan tuntutan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Transformasi sistem pendidikan pesantren yang gradual
bahkan incremental ternyata belum sepenuhnya mampu merespon
perubahan masyarakat dan perkembangan Iptek yang berubah dengan
cepat. Bahkan yang terjadi, akibat dari adaptasi yang gradual dan
incremental yang dilakukan pesantren terhadap sistem pendidikan dan
luar sedikit banyaknya mempengaruhi pemikiran dan pemahaman
keagamaan yang pada gilirannya memberikan warna tersendiri
terhadap pandangan hidup santri. Oleh karena itulah dalam pandangan
46 Fuaduddin TM, Diversivikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Kegamaan. Volume 5, Nomor 4, Oktober-Desember 2007, (Jakarta: Departemen Agama, 2007), 15.
61
Fuaduddin, pesantren perlu melakukan diverivikasi pada sistem
pendidikannya.47
Zamaksyari Dhofier misalnya mengelompokan pesantren
menjadi pesantren salafi (tradisional) dan pesantren khalafi (modern).
Pesantren salafi adalah pesantren yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di
pesantren, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
Sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang telah memasukan
pelajaran-pelajaran umum dan memiliki lembaga pendidikan formal
seperti madrasah atau sekolah-sekolah umum bahkan universitas di
lingkungan pesantren.48 Dalam kerangka Amin Haedari, tentang
pondok pesantren khalafi (modern) menurutnya memiliki ciri-ciri
selain kurikulum terdiri dari pelajaran agama dan umum dan di dalam
pesantren ada madrasah dan sekolah umum, ada kalanya kitab kuning
sudah tidak diajarkan lagi. 49 Untuk konteks zaman sekarang tipe
pesantren yang digolongkan menjadi dua bagian seperti itu, salafi dan
khalafi, menurut beberapa peneliti sudah tidak sesuai lagi, mengingat
sudah sangat beragamnya pesantren yang ada.
47 Fuaduddin TM. Diverivikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, 16 48Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Pembagian tipologi pesantren menjadi dua salafi dan khalafi kemudian menjadi standar acuan Depag dalam mengklasifikasikan model pesantren., (Jakarta : LP3ES, 1982), Cet. I, 41-42. 49 Haedari, Amin, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, (Jakarta : Diva Pustaka, 2004), 24-45.
62
Fuaduddin mencatat paling tidak ada lima model pesantren
yang sedang berkembang saat ini. Kelima model tersebut yaitu:
Pertama, pesantren “salafiyah tradisional”, pesantren yang terbatas
hanya mengajarkan ilmu agama yang bersumber pada literatur Islam
klasik (kitab kuning), dengan metode bandongan/wetonan, sorogan
dan bahtsul masa<il untuk kelas-kelas takhassus. Kedua, pesantren
“salafiyah modern”, yaitu pesantren salafiyah yang sudah mengadopsi
sistem pembelajaran klasikal, dengan memasukkan kurikulum mata
pelajaran umum dan keterampilan. Ketiga, pesantren modern yang
mengadopsi sistem pendidikan modern bukan saja dalam sistem
pembelajaran dan kurikulumnya, namun juga dalam pemikiran yang
memberikan kebebasan santrinya untuk tidak terikat dengan
pemahaman keagamaan (mazhab) tertentu. Keempat, pesantren yang
selain mengajarkan ilmu agama, juga melengkapi sistem
pendidikannya dengan berbagai ketrampilan seperti: pertanian,
perikanan, pertukangan, otomotif, berbagai kerajinan tangan, dsb.
Kelima, pesantren “salafi-haraki”, yaitu pesantren yang mendasarkan
khittoh pendidikannya pada faham keagamaan salafi (haraki) yang
berusaha melakukan gerakan pemurnian ajaran Islam berdasarkan al-
Qur’an dan as-sunnah s{a<h{ubah dan berupaya melaksanakannya
sebagaimana yang dilakukan oleh “tradisi salafi”.50
50 Fuaduddin TM, Diverivikasi Pendidikan Pesantren : Tantangan dan Solusi, h. 20-22.
63
Sulthon Masyhud menawarkan tipe integrasi antara sistem
pendidikan klasik dan sistem pendidikan modern selain tipologi yang
sudah ada. Menurutnya tipe ini adalah tipe ideal model pendidikan
pesantren yang dapat dikembangkan saat ini.51 Pengembangan tipe
ideal ini, menurutnya, tidak akan merubah total wajah dan keunikan
sistem pendidikan pesantren menjadi sebuah model pendidikan umum
yang cenderung reduksionistik terhadap nilai-nilai yang terkandung
dalam sistem pendidikan pondok pesantren.
B. Internalisasi Nilai-nilai Kewirausahaan
1. Pengertian dan Konsep Dasar Kewirausahaan
Istilah entrepreneurship atau kewirausahaan sudah lama menjadi
wacana di Indonesia, baik pada tingkat formal di perguruan tinggi dan
pemerintahan ataupun pada tingkat nonformal pada kehidupan ekonomi di
masyarakat. Dilihat dari terminologi, dulu dikenal adanya istilah
wiraswasta dan kewirausahaan. Sekarang tampaknya sudah ada semacam
konvensi sehingga istilah tersebut menjadi wirausaha (entrepreneur) dan
kewirausahaan (entrepeneurship).
Entrepreneur berasal dari bahasa Prancis yaitu entreprendre yang
artinya memulai atau melaksanakan. Wiraswasta berasal dari kata : Wira :
utama, gagah berani, luhur; swa: sendiri; sta : berdiri. Dari kata tersebut,
51 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, h. 14.
64
wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang dapat berdiri
sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai orang-orang
yang tidak bekerja pada sektor pemerintahan, yaitu: para pedagang,
pengusaha, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan swasta,
sedangkan wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai usaha
sendiri. Wirausahawan adalah orang yang berani membuka kegiatan
produktif yang mandiri.
Istilah kewirausahaan, kata dasarnya berasal dari terjemahan
entrepreneur, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan between taker
atau go between. Pada abad pertengahan istilah entrepreneur digunakan
untuk menggambarkan seseorang aktor yang memimpin proyek produksi.
Konsep wirausaha secara lengkap dikemukakan oleh Josep Schumpeter,
yaitu sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan
memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk
organisasi baru atau mengolah bahan baku baru. Orang tersebut
melakukan kegiatannya melalui organisasi bisnis yang baru atau pun yang
telah ada. Dalam definisi tersebut ditekankan bahwa wirausaha adalah
orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah
organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut.52
Menurut beberapa ahli dalam Suryana ada 6 hakekat penting
kewirausahaan sebagai berikut, yaitu : (1) Entrepreneurship adalah suatu 52Suryana, Kewirausahaan, Pedoman Kiat Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses,(Jakarta: Salemba Empat, 2008), 13.
65
nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya,
tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis. (2)
Entrepreneurship adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda (ability to create the new and different) (3)
Entrepreneurship adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi
dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk
memperbaiki kehidupan.53 (4) Entrepreneurship adalah suatu nilai yang
diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan
usaha (venture growth). (5) Entrepreneurship adalah suatu proses dalam
mengerjakan sesuatu yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda
(inovative) yang bermanfaat memberi nilai lebih. (6) Entrepreneurship
adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan
sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan
persaingan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan dengan cara
mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru,
menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang
lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada dan
menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.54
Dahulu orang beranggapan bahwa kewirausahaan adalah bakat
bawaan sejak lahir (entrepeneurship are born not made) dan hanya
53 Zimmerer, Thomas W., Norman Scarborough, Entrepreneurship The New Venture Formation, (Prentice- Hall International , Inc. 1996.), 29 54 Suryana, Ibid. 17
66
diperoleh dari hasil praktek di tingkat lapangan dan tidak dapat dipelajari
dan diajari, tetapi sekarang kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu
yang dapat dipelajari dan diajarkan. Ilmu kewirausahaan adalah disiplin
ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku
seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang
dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya.
Dalam konteks bisnis, menurut Zimmerer dalam Suryana,
entrepreneurship adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis
penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan
peluang di pasar. Wirausaha sejak diperkenalkan oleh Richard Castillon
pada tahun 1755. Di luar negeri, istilah kewirausahaan telah dikenal sejak
abad 16, sedangkan di Indonesia baru dikenal pada akhir abad 20.
Beberapa istlah wirausaha seperti di Belanda dikenal dengan ondernemer,
di Jerman dikenal dengan unternehmer.55
Pendidikan entrepreneurship mulai dirintis sejak 1950-an di
beberapa Negara seperti di eropa, Amerika dan Canada. Bahkan sejak
1970-an banyak universitas yang mengajarkan entrepeneurship atau small
business management. Pada tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di
Amerika Serikat memberikan pendidikan entrepreneurship. Di Indonesia,
entrepreneurship dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau
perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan 55Ibid., 23.
67
tantangan seperti adanya krisis ekonomi pemahaman entrepreneurship
baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan pelatihan di segala
lapisan masyarakat, maka entrepreneurship menjadi berkembang.56
Ada tiga jenis wirausaha, yaitu : (1) Necessity Entrepreneur yaitu
menjadi wirausaha karena terpaksa dan desakan kebutuhan hidup. (2)
Replicative Entrepreneur, yaitu wirausaha yang cenderung meniru-niru
bisnis yang sedang ngetren sehingga rawan terhadap persaingan dan
kejatuhan. (3) Innovative Entrepreneur, yaitu wirausaha inovatif yang
terus berpikir kreatif dalam melihat peluang dan meningkatkannya.
Perdebatan yang sangat klasik adalah perdebatan mengenai apakah
entreprenurship itu dilahirkan (is born) yang menyebabkan seseorang
mempunyai bakat lahiriah untuk menjadi entrepreneur atau sebaliknya
entreprenurship itu dibentuk atau dicetak (is made). Sebagian pakar
berpendapat bahwa entrepreneur itu dilahirkan sebagian pendapat
mengatakan bahwa entrepreneur itu dapat dibentuk dengan berbagai
contoh dan argumentasinya. Misalnya Mr. X tidak mengenyam pendidikan
tinggi tetapi kini dia menjadi pengusaha besar nasional. Di lain pihak kini
banyak pemilik perusahaan yang berpendidikan tinggi tetapi reputasinya
belum melebihi Mr. X tersebut.
56Ibid., 24.
68
Pendapat lain adalah entreprenur itu dapat dibentuk melalui suatu
pendidikan atau pelatihan kewirausahaan. Contohnya, setelah Perang
Dunia ke-2 beberapa veteran perang di Amerika belajar berwirausaha.
Mereka belajar berwirausaha melalui suatu pendidikan atau pelatihan baik
pendidikan/pelatihan singkat maupun pendidikan/pelatihan yang
berjenjang. Dengan model pengetahuan dan fasilitas lainnya mereka
berwirausaha. Samuel Whalton pendiri Wallmart yang kini menjadi
retailer terbesar di dunia adalah veteran yang memulai usahanya pada usia
47 tahun. Ross Perot pendiri Texas Instrument yang pernah mencalonkan
diri sebagai Presiden Amerika dari partai Independen juga seorang veteran
yang berhasil dibentuk menjadi entrepreneur.
Ada yang mengatakan bahwa seseorang menjadi wirausahawan itu
karena lingkungan. Misalnya, banyak orang WNI keturunan menjadi
wirausahawan yang sukses karena mereka hidup di lingkungan para
wirausahawan atau pelaku usaha.57
Pendapat yang sangat moderat adalah tidak mempertentangkan
antara apakah wirausahawan itu dilahirkan, dibentuk, atau karena
lingkungan. Pendapat tersebut menyatakan bahwa untuk menjadi
wirausahawan tidak cukup hanya karena bakat (dilahirkan) atau hanya
karena dibentuk. Wirausahawan yang akan berhasil adalah wirausahawan
yang memiliki bakat yang selanjutnya dibentuk melalui suatu pendidikan 57Rusdayanto, F. 2009. Wirausaha, Dilahirkan atau Dididik? ( Jakarta: Harian Pikiran Rakyat.,Selasa, 09 Juni 2009), 1.
69
atau pelatihan, dan hidup di lingkungan yang berhubungan dengan dunia
usaha.
Seseorang yang meskipun berbakat tetapi tidak dibentuk dalam suatu
pendidikan/pelatihan tidaklah akan mudah untuk berwirausaha pada masa
kini. Hal ini disebabkan dunia usaha pada era ini menghadapi
permasalahan permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
era sebelumnya. Sebaliknya orang yang bakatnya belum terlihat atau
mungkin masih terpendam jika ia memiliki minat dengan motivasi yang
kuat akan lebih mudah untuk dibentuk menjadi wirausahawan. Bagi yang
ingin mempelajari kewirausahaan janganlah berpedoman pada berbakat
atau tidak. Yang penting memiliki minat dan motivasi yang kuat untuk
belajar berwirausaha.
Seorang dikatakan sebagai wirausahawan apabila memiliki segenap
ciri-ciri wirausaha tangguh, dan wirausahawan unggul, Sedangkan dilihat
dari jenisnya terbagi kedalam tiga kelompok yaitu Administrative
Entrepeneur, Innovative Entrepeneur, dan Catalist Entrepeneur.58
58Suryana, Kewirausahaan, Pedoman Kiat Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses ,(Jakarta: Salemba Empat, 2008), 18.
70
Menurut Suryana bahwa seorang entrepreneur yang sukses adalah
mereka yang memiliki kompetensi entrepreneurship sebagaimana
terdiskripsikan pada tabel berikut ini:59
Tabel 2.1:
Nilai-nilai dan Deskripsi Nilai Entrepreneurship
No Nilai Deskripsi
1 Mandiri Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
2 Kreatif Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil berbeda dari produk/jasa yang telah ada.
3 Berani mengambil risiko
Kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang menantang, berani dan mampu mengambil risiko kerja.
4 Berorientasi pada tindakan
Mengambil inisiatif untuk bertindak dan bukan menunggu, sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi
5 Kepemimpinan Sikap dan prilaku seseorang selalu terbuka terhadap saran dan kritik, mudah bergaul, bekerjasama, dan mengarahkan orang lain.
6 Kerja Keras Prilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguhdalam menyelesaikan tugas dan mengatasi berbagai hambatan.
7 Jujur Prilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
8 Disiplin Tindakan yang menunjukkan prilaku tertib dan patuh pada berbagai
59 Ibid. 70
71
ketentuan dan peraturan.
9 Inovatif Kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan peroalan-persoalan dan peluang untuk meningkatkan dan memperkaya kehidupan.
10 Tanggung Jawab Sikap dan prilaku seseorang yang mau dan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya.
11 Kerja sama Prilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya mampu menjalin hubungan dengan orang lain dalam melaksanakan tindakan dan pekerjaan.
12 Pantang Menyerah (ulet)
Sikap dan prilaku seseorang yang tidak mudah menyerah untuk mencapi suatu tujuan dengan berbagai alternative.
13 Komitmen Kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
14 Realistis Kemampuan menggunakan fakta/realita sebagai landasan berfikir yang rasionil dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan/perbuatannya.
15 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui secara mendalam dan luas dari apa yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
16 Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
17 Motivasi Kuat untuk Sukses
Sikap dan tindakan selalu mencari solusi terbaik.
72
2. Konsep Islam tentang Entrepreneurship
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait
konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship),60 namun di antara
keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat: memiliki roh atau jiwa yang
sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam
Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak
cengeng.61 Setidaknya terdapat beberapa ayat Al-Quran maupun Hadis
yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan
kemandirian ini, seperti:
ه الس د علي إن نبي الله داو ده و ن عمل ي أكل م ن أن ي ا م ر ا قط خيـ ام ا أكل أحد طع ان الم ك مده ن عمل ي أكل م )البخارى رواه (ي
Artinya: Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari pada hasil pekerjaan tangannya sendiri, karena sesungguhnya nabi Dawud as. makan makanan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri. (HR. Bukhari).62
Dengan bahasa yang simbolik ini nabi mendorong umatnya untuk
kerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan
sesuatu pada orang lain. Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras
agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat karena zakat
60 Kajian tentang konsep Islam mengenai entrepreneurship, lihat Omar Aidit Ghazali, Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics, (Pelanduk, Publications), 1989, Misbah Oreibi, Contribution of Islamic Thonght to Modern Economics : Proceedings of the Economics, Seminar Held Jointly by Al Azhar University and the International Institute of Islamic Thought, Cairo, 1988/1409, (Cairo : International Institute of Islamic Thought, 1997), 214. 61 Subur, Islam dan Mental Kewirausahaan, studi tentang Konsep dan Pendidikannya, dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Insania, Vol. 12, No. 3, Sep-Des (2007), 3-4. 62 Bukhari, Imam, Shohih Bukhari, Jilid 3, (bairut: 2007), 78
73
merupakan kewajiban bagi para muzakki< dan dengan zakat itu manusia
dapat memberikan manfaat bagi orang lain Sebagaimana firman Allah
dalam surat An-Nisa’ : 77
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"63
Dalam Al-Qur’an Surat At Taubah: 105, Allah berfirman:
Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. .64
Demikian juga dalam surat Al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman:
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.65
63 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Duta Surya, (Surabaya, 2012), 117 64 Ibid., 809 65 Ibid, 273
74
Dalam hadits yang lain Rasulallah saw juga bersabda:
م (رواه الطبرانى) سل اجب على كل م طلب الحالل و Artinya: Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardhu.66
جل فى بيته واهله وولده وخدمه فـهو له فق الر ا أنـ )رواه الطبرانى( صدقة مArtinya: Segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang dalam rumah tangganya, keluarganya, anaknya dan pembantunya baginya adalah shadaqah. (HR. Thabrani).67
Nash ini jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan
mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja
keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat
menghasilkan kesuksesan (rezki), tetapi harus melalui proses yang penuh
tantangan (resiko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko
akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rezki memiliki makna
bersayap, rezki sekaligus reziko (baca: resiko).68
Dalam sejarah nabi Muhammad, istri dan sebagian besar
sahabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara yang
piawai. Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat.
Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental
entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukanlah
66 Thabrani, Sunan Thabrani, Jilid 2, (Bairut: Da<rul al kutub, 2009), 102 67 Ibid, 133 68 Dialog Interaktif Pagi RCTI, (5 Maret 2007)
75
Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia
setidaknya sampai abad ke 13 M, oleh para pedagang muslim.69
Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, nabi dan sebagian besar
sahabat telah merubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang
bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang
tinggi atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan.70
Oleh karena itu, nabi juga bersabda dalam saduran Toto Tasmaran,
bahwa “sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk
mendapatkan penghasilan.” 71 Umar Ibnu Khattab mengatakan hal senada
dengan menggunakan kalimat negatif, “Aku benci salah seorang di antara
kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.72
Dalam konteks Indonesia, keberadaan Islam di Indonesia juga
disebarkan oleh para pedagang. Di samping menyebarkan ilmu agama,
para pedagang ini juga mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada
masyarakat pesisir.73 Di wilayah pantura, misalnya sebagian besar
masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan
69 Lihat Taufik Abdullah (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI dan Yayasan Pustaka Umat, 2003), Cet. II hal. 5-15. 70 Lihat Karen Armstrong, Muhammad Prophet of our Time (London: Harper Collins Publisher, 2006), 23. 71 Lebih jelas mengenai etika kerja muslim, baca Sheila McDonough, Muslim ethics and modernity : a comparative study of the ethical thought of Sayyid Ahmad Khan and Mawlana Mawdudi (Wlfrid, Laurier Univ. Press) 1984. Toto Tasmara, Membudayakan etos Kerja Islami (Jakarta : Gema Insani, 2002), 109. 72 Syihab, Quraisy, Tafsir al Misbah, jilid 7, (Jakarta : Lentera hati, 2005), 365 73 Van Leur, Indonesia, Trade and Society (The Hague/Bandung W. van Hoeve), 1955.
76
berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu
sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang).74
Sejarah juga mencatat sejumlah tokoh Islam terkenal yang juga
sebagai pengusaha tangguh, seperti Abdul Gani Aziz, Djohan Soetan,
Johan Soelaiman, H. Samanhudi, H. Abdul Halim, H.Syamsuddin,
Rahman Tamin, dan seterusnya.75
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata
bahwa etos bisnis yang dimiliki umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan
kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang.
Benarlah apa yang disabdakan oleh nabi, “Hendaklah kamu berdagang
karena di dalamnya terapat 90 persen pintu rizki.76
3. Nilai dan Sistem Nilai
a. Pengertian dan Nilai Dasar
Nilai merupakan keyakinan dasar bahwa suatu modus (cara)
perilaku atau keadaan akhir dari eksistensi yang khas lebih dapat
disukai secara pribadi atau sosial dari pada suatu modus prilaku atau
keadaan akhir eksistensi yang berlawanan atau kebalikannya.77 Nilai
juga dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran atau konsep mengenai
74Subur, Islam dan Mental Kewirausahaan, studi tentang Konsep dan Pendidikannya, dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, (Jakarta: Insania, Vol. 12 No. 3 Sep-Des 2007), 3-4. 75Secara lengkap melihat perkembangan kelas menengah muslim dalam mobilisasi vertikal baik secara ekonomi maupun politik, lihat Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung, Mizan, 1999), Cet. 4, 23. 76 HR. Ahmad 77 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, (New Jersey, Printice Hall Inc. 1996), 42
77
apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya, bisa
juga diartikan sebagai kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia
dalam tindakannya, manusia menyeleksi aktivitasnya berdasarkan
nilai yang dipercayainya. Dalam kacamata psikologi, nilai diartikan
sejumlah energi psikis yang tertanam dalam salah satu unsur
kepribadian.78
Berdasarkan beberapa pengertian itu tampak nilai merupakan
sesuatu yang diyakini paling benar dan memberikan manfaat bagi diri
individu maupun kelompok dan akan dijadikan landasan dalam
kehidupan keseharian baik sebagai seorang individu maupun angota
kelompok. Sebuah nilai dapat beupa sebuah keyakinan relegius,
kebebasan, kesenangan, ketekunan (etos), kejujuran, kesederhanaan,
keterikatan dan sebagainya. Nilai juga mencakup komponen-
komponen memilih, menghargai dan bertindak. Manusia memahami
suatu nilai ketika ia memulai mewujudkan nilai itu dalam
perbuatannya, dengan demikian nilai-nilai akan makin dipahami
bersamaan dengan ia melaksanakannya.
Produk pendidikan haruslah melahirkan lulusan dengan
kepribadian yang matang, baik pada sisi intelektual (akademis),
spiritual, emosional maupun keterampilan tertentu, dan kemampuan
inilah yang akan memberikan efek berantai pada kemampuan
78 Ekosusilo.M, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di SMA Negeri I, SMA Regina Pacis dan SMA Al-Islam I Surakarta, (Sukoharjo, Univet Bantara Press, 2003), 77
78
seseorang untuk belajar secara terus menerus melalui berbagai
tantangan di lingkungannya sehingga mereka dapat menolong dirinya
sendiri termasuk memberikan manfaat bagi yang lain. Komponen
esensial dari suatu kepribadian manusia menurut Mulyana adalah nilai
(value) dan kebajikan (virtues).79
Berkaitan dengan pembangunan pendidikan yang efektif,
UNESCO telah mengingatkan pentingnya martabat manusia (human
dignity) sebagai nilai tertinggi, penghargaan terhadap martabat
manusia dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan dapat
mendorong manusia untuk memilih nilai-nilai dasar yang berkisar di
sekelilingnya, nilai ini menurut UNESCO meliputi nilai kesehatan,
nilai kebenaran, nilai kasih sayang, nilai tanggung jawab sosial, nilai
solidaritas global, nilai nasionalisme dan nilai efisiensi ekonomi.80
Nilai-nilai tersebut akan dapat membawa martabat manusia menjadi
mahluk yang bermartabat.
Nilai kesehatan; nilai dasar ini berimplikasi pada kebersihan
dan kebugaran fisik. Pada dasarnya, hakekat fisik manusia diciptakan
Tuhan dengan struktur yang paling sempurna. Hakekat fisik itu
merupakan pemahaman keindahan bentuk dan ukuran alam, serta
benda-benda hasil ciptaan manusia. Karena manusia dikaruniai rasa
79 Mulyana, R, Pengartikulasi Pendidikan Nilai, (Bandung, Alfabeta, 2004), 54 80 UNESCO,1991, Value and Ethics the Science and Technology Curriculum, (Bangkok, Pincipal Regional Office Asia and the Pasific. 1991). 96
79
keindahan (sense of aesthetic), maka ia harus mengembangkan
apresiasinya terhadap seni dan keindahan. Untuk itu, pendidikan harus
mampu menumbuhkan rasa keindahan peserta didik melalui
keserasian segala materi yang ada dalam lingkungan pendidikan.
Nilai Kebenaran; kebenaran berimplikasi pada upaya
memperoleh pengetahuan secra terus menerus dalam segala hal.
Peserta didik tidak cukup menemukan kebenaran hanya sampai pada
penemuan data dan mengetahui fakta. Mereka harus mengembangkan
berfikir kritis dan kreatif agar mampu menghadapi tantangan dunia
modern di masa mendatang.
Nilai Kasih Sayang; hakekat moral manusia berada pada
tempat yang paling utama yanitu dalam nilai kasih sayang. Nilai
tersebut berimplikasi pada kebutuhan untuk memperoleh integritas
pribadi, harga diri, kepercayaan diri, kejujuran dan disiplin diri pada
peserta didik. Kemampuan mereka dalam mengintegrasikan nilai
kasih sayang akan tampak dari kematangan pribadi dan perasaan
mereka dalam menjalin hubungan interpersonal yang saling
memahami.
Nilai Spiritual; keberadaan peserta didik dipengaruhi oleh
dimensi-dimensi transedental yang tingkat pemaknaannya tergantung
pada pengalaman dan kesadaran diri masing-masing. Pada seseorang
tertentu, mereka mampu menjangkau kesadaran suprarasional.
80
Perwujudan dimensi spiritual ini adalah keimanan, sedangkan
semangat keimanan itu disebut spiritualitas.
Nilai Tanggung Jawab Sosial; dalam kehidupannya, peserta
didik tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan sosial. Ia melakukan
interaksi secara individual maupun kelompok. Interaksi yang
dilakukan ditandai oleh adanya kepedulian terhadap orang lain,
kebaikan antar sesama, kasih saayang, kebebasan, persamaan dan
penghargaan atas hak asasi sesamanya. Karena itu, penanaman rasa
keadilan dan kedamaian merupakan hal penting dalam menumbuhkan
aspirasi peseta didik terhadap kehidupan sosial.
Nilai nasionalisme; nilai dasar ini berarti cinta kepada negara
dan bangsa. Rasa mencintai negara dan bangsa diwujudkan oleh setiap
warga negara dari setiap unsur politik yang berbeda untuk mencapai
suatu tujuan, yaitu membangun harga diri dan citra bangsa. Nilai
nasionalisme ini membentuk suatu komitmen kolektif untuk
melakukan suatu upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi bangsa. Pada
gilirannya, komitmen kolektif berimpliksi pada perlunya pendidikan
untuk menanamkan kesadaran bernegara (civic consciousnees),
sehingga tumbuh kepedulian peserta didik atas hak dan kewajibannya.
Nilai solidaritas gelobal; adalah nilai yang dapat dimiliki
apabila pendidik dan peserta didik memiliki pemahaman yang cukup
tentang dunia internasional. Dengan nilai dasar ini, generasi yang
81
memiliki wawasan luas tentang kehidupan gelobal dapat disiapkan
melalui pendidikan. Nialai dasar solidaritas global ini penting
mengingat tatanan kehidupan tidak lagi ditentukan oleh keadaan suatu
bangsa. Kehidupan dewasa ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
kepentingan lintas negara dan kesadaran antar negara. Dengan
demikian, generasi di masa mendatang diharapkan mampu melakukan
kerjasama untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan.
Nilai Efesiensi Ekonomi; adalah nilai dasar yang berkaitan
dengan upaya menumbuhkan kepribadian peserta didik untuk mau
bekerja keras serta mampu memanfaatkan sumber daya alam secara
kreatif dan imajinatif. Nilai dasar ini menekankan bahwa tujuan
pendidikan harus diarahkan agar peserta didik mampu berkreasi
menghasilkan barang yang berharga dan bermanfaat bagi
kehidupannya. Karena itu, elemen pendidikan dalam menanamkan
nilai dasar efesiensi ekonomi adalah upaya menciptakan semangat
untuk berusaha.
Nilai memiliki makna penting dalam memahami sikap dan
motivasi termasuk karena perannya dalam mempengaruhi sikap
individu. Apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana
proses-proses pencapaian tujuan hidupnya itu dipengaruhi pula oleh
nilai-nilai yang diyakini. Karenanya menurut Robbin nilai akan
mempengaruhi sikap dan prilaku seseorang. Suatu nilai akan menjadi
82
pegangan seseorang, suatu norma prinsip hidup seseorang, nilai yang
dipilih bebas akan diinternalisasikan, dipelihara dan menjadi pegangan
hidup seseorang. Nilai akan membantu dalam perkembangan pribadi,
kalau seseorang memenuhi semua persyaratan terpenuhinya suatu
nilai, tentunya nilai itu juga akan dengan sendirinya membantu
perkembangan pribadinya, merupakan pengikat kepribadiannya.81
Manusia menurut Max Sceler dalam Hadiwardoyo memahami
nilai dengan hatinya, bukan dengan akal budinya. Manusia
berhubungan dengan dunia nilai melalui keterbukaan dan kepekaan
hatinya, karenanya memahami nilai bukan dengan berfikir tentang
nilai tetapi melalui pengalaman dan mewujudkannya sendiri,
karenanya kemampuan seseorang memahami nilai-nilai konstruktif
akan memperkuat seseorang sebagai anggota ataupun komonitas
masyarakat itu sendiri. Apabila seseorang menempatkan nilai tinggi
pada suatu ide atau perasaan tertentu, maka ide atau perasaan itu
memainkan peranan penting dalam mencetuskan dan mengarahkan
tingkah lakunya.82
b. Tipe dan Cara Memahami Nilai
Robbins melalukan pengelompokan nilai berdasar pada tiga
pendekatan berdasarkan pemikiran Allport dan rekan-rekan. Nilai
81 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, New Jersey, (Printice Hall Inc. 1996), 54 82 Hadiwardoyo.P, Ambroise, Pendidikan Nilai, Nilai Kemanusiaan, Hikmat Bagi Pendidikan, Kaswardi,Eds, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta, PT.Grasindo, 1993), 78
83
dapat diidentifikasikan kedalam enam tipe nilai yaitu: (1) teoritis:
menganggap sangat penting penemuan kebenaran lewat suatu
pendekatan kritis dan rasional, (2) ekonomis: menekankan kegunaan
dan praktis, (3) estetis: menaruh nilai tertinggi pada bentuk dan
keserasian (harmoni), (4) sosial: memberikan nilai tertinggi pada
kecintaan akan orang-orang, (5) politik: menaruh tekanan pada
diperolehnya kekuasaan dan pengaruh dan (6) relegius: peduli akan
kesatuan pengalaman dan pemahaman mengenai kosmos sebagai
keseluruhan.83
Max Scheler dalam Hadiwardoyo mengungkapkan bahwa
nilai-nilai yang ada tidak sama luhur dan sama tingginya, tetapi antar
nilai memiliki tingkatan yang berbeda, tingkatan dimaksud meliputi:
(1) nilai terkait dengan kenikmatan, dalam tingkat ini, terdapatlah
deretan nilai-nilai yang mengenakan dan tidak mengenakan yang
menyebabkan seseorang menjadi senang atau sebaliknya, (2) nilai-
nilai terkait dengan kehidupan, dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai
yang penting bagi kehidupan seperti kesehatan, kesegaran badan,
kesejahteraan umum, (3) nilai-nilai terkait dengan kejiwaan, dalam
tingkat ini terdapat nilai-nilai tidak terkait dengan fisik maupun
lingkungan, seperti keindahan, kebenaran, kebanggaan dan (4) nilai-
83 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, New Jersey, (Printice Hall Inc. 1996), 57
84
nilai terkait dengan kerokhanian, dalam tingkatan ini terkait dengan
nilai-nilai yang menyangkut keyakinan kepada Tuhan.84
Dengan memperhatikan berbagai tipe dan tingkatan nilai itu,
tampak bahwa seorang individu akan memiliki abstraksi-abstraksi
yang berbeda yang melekat pada dirinya yang hal itu menjadi daya
dorong utama dalam aktivitas pikir dan fisiknya yang pada gilirannya
juga sebagai alat penentu prestasi yang diraihnya termasuk cara
menikmati prestasi itu sendiri. Memang tidak ada satu cara terbaik
untuk memahami nilai yang diyakini seseorang, akan tetapi dengan
melakukan pengamatan dari dekat selama periode waktu tertentu
untuk melihat apa yang dikerjakannya dapat memberikan suatu
gambaran yang cukup baik tentang nilai-nilai relatifnya.
Milton Rokeach dalam Robbin menciptakan RVS (Rokeceach
Value Survey) model ini terdiri atas dua perangkat nilai, tiap perangkat
berisi 18 butir nilai individu, satu perangkat disebut nilai terminal
yang merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat diinginkan, hal
ini yang menggambarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai seorang
selama hidupnya. Perangkat kedua disebut dengan nilai instrumental,
yang merujuk ke modus prilaku yang lebih disukai, atau cara
mencapai nilai-nilai terminal, tabel berikut sebagai ilustrasi dimana
perbedaan antara perangkat nilai sebagai keadaan akhir yang
84 Hadiwardoyo.P, Ambroise, Pendidikan Nilai, Nilai Kemanusiaan, Hikmat Bagi Pendidikan, Kaswardi,Eds, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta, PT.Grasindo, 1993), 52
85
diinginkan (nilai terminal) dengan perangkat nilai yang merujuk
kepada perilaku yang lebih disukai (nilai instrumental).85
Tabel: 2.2
Nilai Terminal dan Instrumental dalam Survey Nilai Rokeach (dalam Robbins, 2000)
NO NILAI TERMINAL NILAI INSTRUMENTAL 1 Suatu hidup nyaman
(hidup makmur) Ambisius (kerja keras, bercita-cita tinggi)
2 Suatu hidup menggairahkan (hidup aktif, merangsang)
Berpikiran luas (berpikir terbuka)
3 Rasa berprestasi (kontribusi tahan lama)
Kapabel (mampu efektif)
4 Satu dunia damai (bebas dari perang dan konflik)
Riang (senang, gembira)
5 Satu dunia yang indah (keindahan alam dan seni)
Bersih (rapi teratur)
6 Kesamaan (Persaudaraan, kesempatan yang sama untuk semua)
Berani ( tegak mempertahankan keyakinan)
7 Keamanan keluarga (merawat orang-orang yang dicintai)
Memaafkan (bersedia mengampuni orang lain)
8 Kemerdekaan (ketak bergantungan pilihan bebas)
Membantu (bekerja untuk kesejahteraan orang-orang lain)
9 Kebahagiaan (kepuasan)
Jujur (tulus tidak bohong)
10 Harmoni batin (kebebasan dari konflik batin)
Imaginatif (berani, kreatif)
11 Cinta dewasa (kekariban seksual dan
Bebas (berdikari, mencukupi diri)
85 Robbins, S.P., Organizational Behavior, Sixth Edition, Englowood Cliffs, New Jersey, (Printice Hall Inc. 1996), 61
86
spiritual) 12 Keamanan nasional
(perlindungan) Intelektual (cerdas terhadap serangan reflektif, penuh renungan)
13 Kesenangan (hidup santai dan dapat dinikmati)
Logis (konsisten, rasional)
14 Keselamat (hidup abadi dan terselamatkan)
Mencintai (penuh kasih sayang, lembut)
c. Letak dan Pembentukan Nilai
Nilai berada dalam benak orang (people’s mind), keyakinan
(beliefs), kehendak (desires) perasaan atau pengindraan (sensations)
dan pemikiran (thoughts) berada dalam struktur kerja benak (mind).
nilai merupakan tujuan terpisah yang terjadi secara luar biasa dan di
sekelilingnya terdapat pola-pola tingkah laku yang diorganisasi, dan
memberikan gambaran hubungan tertentu antara drive, motif, sikap
dan nilai.86
Pandangan lain yang lebih sederhana dan pragmatis
sebagaimana dikemukakan oleh UNESCO. Nilai dipersepsikan
sebagai kualitas tingkah laku, pemikiran, perasaan dan sikap manusia
yang diterima dan dihargai masyarakat. Nilai tertanam dalam kondisi
sosial, ekonomi, politik dan keagamaan dalam kehidupan dalam
bentuk yang riil berupa pola-pola bertindak, kode etik dan norma yang
dipertahankan dalam waktu yang relatif lama.
86 Mulyana, R, Pengartikulasi Pendidikan Nilai, (Bandung, Alfabeta, 2004), 57
87
UNESCO juga memandang bahwa nilai bukan merupakan
realitas tertutup dan berada sendirian. Nilai terikat bersama-sama
dalam ikatan logis dan membentuk satu kesatuan. Bila terdapat nilai
sistem seperti itu, maka tedapat pula nilai utama yang menjadi acuan
dari nilai-nilai lain. Karena itu menurut UNESCO adalah bermanfaat
untuk menemukan nilai domain, manakala kita terlibat dalam proses
perubahan sosial atau perubahan nilai-nilai. Kita dapat melakukan
perubahan besar pada sejumlah nilai dengan mengubah nilai domain.87
Fraenkel dalam Ekososilo mengatakan bahwa nilai sebagai
sebuah pikiran atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi
seseorang dalam kehidupannya. Nilai juga sebagai kepercayaan yang
dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya, maka sebenarnya
sebuah nilai bisa jadi dapat berupa suatu keyakinan relegius,
kebebasan, kesenangan, ketekunan (etos), kejujuran, kesederhanaan,
keterikatan dan sebagainya. Dengan pemahaman nilai yang demikian
maka proses penyadaran nilai (pembentukan nilai) merupakan
aktivitas yang komplek karena berlangsung secara integral dalam
keseluruhan kegiatan pembelajaran seseorang. Dengan kata lain
pembentukan nilai dapat terjadi mulai dari pembelajaran di keluarga,
di lingkungan pergaulan maupun di lingkungan pembelajaran sekolah
87 UNESCO,1991, Value and Ethics the Science and Technology Curriculum, Bangkok, Pincipal Regional Office Asia and the Pasific. 1991
88
termasuk di dalamnya berbagai kegiatan ekstra dan intra sekolah
termasuk budaya sekolah yang berkembang.88
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan ranah dalam
sasaran pendidikan, maka masalah pendidikan yang berkait dengan
nilai, adalah termasuk dalam kelompok ranah afektif (affective), lebih
lanjut sebagaimana diungkapkan Benyamin Bloom ranah pendidikan
dimaksud dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ranah kognitif
(cognitive domain) yakni tujuan khusus yang berkaitan dengan proses
intelektual dalam diri siswa, (2) ranah afektif (affective domain) yakni
tujuan khusus yang berkaitan dengan pembentukan sikap, emosi dan
nilai-nilai dan (3) ranah psikomomor (psychomotor domain) yakni
tujuan khusus terkait dengan proses manipulatif dan mekanik atau
keterampilan.89
4. Proses dan Strategi Internalisasi Nilai-nilai Kewirausahaan dalam
Pesantren
a. Pembelajaran yang Menumbuhkan Kompetensi dan Spirit
Kewirausahaan
Menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan ‘pintu gerbang’
dalam membentuk dan menumbuhkan pribadi ulet, tanggung jawab,
88 Ekosusilo.M, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di SMA Negeri I, SMA Regina Pacis dan SMA Al-Islam I Surakarta, (Sukoharjo, Univet Bantara Press, 2003), 96 89 Bloom,B S, Human Characteristic an School Learning, ( New York:Megraw-Hill, 1976), 34
89
dan berkualitas yang bermuara pada terwujudnya kompetensi kerja.90
Untuk tujuan tersebut diperlukan suatu pendidikan yang mengarahkan
peserta didik untuk sadar akan pentingnya kewirausahaan.91 Oleh
karena itu mencermati dinamika kehidupan yang kian kompetitif,
praktisi pendidikan dituntut untuk cerdas dalam menciptakan ruang
yang kondusif bagi tumbuhnya spirit kewirausahaan.92 Sementara itu,
memperkuat mental dan mempertajam minat serta kemampuan
kewirausahaan perlu dilakukan melalui proses pembelajaran. Oleh
karena terkait dengan pembangunan mental, maka perlu adanya
revolusi cara belajar yang mengutamakan belajar siswa secara aktif dan
praktis.93 Artinya, bahwa dalam proses pembelajaran yang memiliki
peran aktif adalah siswa, atau dalam preferensi yang sedang ramai
diwacanakan adalah pembelajaran individual, individual learning.
Terkait dengan proses pembelajaran mental entrepreneurship,
sebenarnya tidak ada kunci yang bersifat deterministic bagi aktivitas
pendidik dalam mendesain proses pembelajaran ini.
Suatu hal penting dalam pendidikan seperti ini, dalam setiap
proses pembelajaran hendaknya lebih banyak menekankan dan
90 Harian Wawasan, 10 Juni 2007,. Lebih jelas mengenai orientasi kerja dalam pendidikan, lihat Wim Hoppers, Searching for Relevance : the Development of Work Orientation in Basic Education, (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization), ( Jakarta: 1996 (terj). 11 91 Untuk lebih jelas mengenai pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship education), lihat misalnya karya Calvin Adalah Kent. Entrepreneurship Education, Current Development Future Directions, (Greenwood Publishing, Group), 1999. Lihat juga Robert H Brockhaus Entrepreneurship Education; Adalah Global View, (Ashgate, 2001), 47. 92 Subur, Islam dan Mental Kewirausahaan dalam Jurnal INSANIA. Vol 12 No, 3, Sep-Des 2007. 93 Steve Mariotti, The Young Entrepreneur’s Guide to Starting and Running a Business, (Times Business, 2000. Second Edition), 49.
90
membiasakan kepada proses belajar yang dapat menumbuhkan ide,
kreativitas berpikir, kemandirian (menekankan model latihan, tugas
mandiri dengan bobot tanggung jawab yang lebih besar) kepercayaan
diri, pemecahan masalah, mengambil keputusan, menemukan peluang,
dan seterusnya. Model pembelajaran dengan pendekatan active
learning94 yang diterapkan oleh beberapa lembaga pendidikan di
Indonesia belakangan ini sebenarnya mengadopsi dari strategi
pembelajaran alternatif yang sering digunakan pada lembaga-lembaga
pendidikan profesi yang menyelenggarakan program kewirausahaan di
Amerika. Tentu saja penggunaan pendekatan active learning yang telah
berjalan itu harus terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan lagi, baik
dari segi kualitas, kuantitas, maupun intensitasnya.
Secara jujur, adopsi terhadap berbagai strategi pembelajaran aktif
dari luar yang mampu menumbuhkan jiwa mandiri harus terus
diupayakan, meskipun model active learning ini banyak menghadapi
hambatan jika diterapkan pada pendidikan dengan model sistem
klasikal seperti yang ada di Indonesia. Dalam situasi seperti ini
diperlukan pendekatan yang memungkinkan suasana pendidikan bisa
diarahkan sesuai tujuan pembelajaran. Misalnya Wim Hoppers
menawarkan pendekatan pendidikan kerja dan pendekatan pendidikan
94 Tentang active learning, lihat Joel A. Michael. Active learning in secondary and college science classrooms: a working for helping the learner to learn, (Lawrence Erlbaum Associates), 2003. David W. Johnson, et. Al, Active Learning : Cooperation in the College Classroom, (Interaction Book Co), (1991).
91
praktis, yang menekankan teori teraplikasi dalam situasi kerja yang
menstimulir. Pendekatan ini juga dapat meningkatkan relevansi dengan
memberikan kecenderungan praktis yang jelas pada kurikulum.95
Pendidikan kewirausahaan juga suatu proses yang menanamkan
sikap dan perilaku jujur sebagai hal yang penting dalam konteks
membangun mental wirausaha. Sikap jujur akan mengundang banyak
simpati, senang, dan relasi, serta membuat orang lain dengan senang
hati untuk menaruh dan memberikan kepercayaan. Kejujuran akan
menjadi modal utama dan kunci sukses dalam kegiatan wiraswasta,
mengingat orang bekerja itu dengan hati dan jiwa.96
Selain itu pendidikan kewirausahaan juga menekankan
pembinaan mental entrepreneurship. Toto Tasmara menyatakan bahwa
jiwa (mental) kewirausahaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Commitment (niat yang sangat kuat dan bulat), Confident (rasa percaya
yang total pada kemampuan yang ada pada dirinya), Cooperative
(terbuka untuk bekerjasama dengan siapapun), Care (perhatian terhadap
hal yang sangat kecil sekalipun), Creative (tidak pernah merasa puas
dengan apa yang telah dicapai dan selalu berusaha keras untuk terus
berkembang, seperti diasumsikan oleh Ralph Stacey, kreativitas
cenderung meningkat jika situasi semakin parah/terdesak), Challenge
95 Wim Hoppers, Searching for Relevance : the Development of Work Orientation in Basic-Educatuin, (United nation Educational, Scientific and Cultural Organization, 1996 (terj)), 28-29 96 Rafik Issa Beekun. Leadership : An Islamic Perspective, (Amana Publication, 1999), 17.
92
(melihat kesulitan sebagai tantangan dan pelajaran untuk lebih maju),
Calculaty (dalam melangkah selalu didasarkan pada perhitungan yang
matang), Communication (pandai berkomunikasi dan mempengaruhi
orang lain), Competitiveness (senang berhadapan dengan pesaing yang
lain) dan Change (selalu mendambakan adanya perubahan yang lebih
baik dan maju). Oleh karena itu, jiwa/mental tersebut sebenarnya dapat
dikembangkan secara fungsional maupun intensional dalam setiap
kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pembelajaran di setiap
lembaga pendidikan manapun.97
Dalam pendidikan model ini dikembangkan juga sikap
membangun relasi (ta’a<ruf). Dianjurkan membina hubungan yang
penuh friendship, persahabatan dan kesejajaran, menggunakan kata
yang cukup mengundang simpati, seperti ungkapan terima kasih dan
ungkapan selalu kata maaf dan tolong, ketika berjabat tangan gunakan
dua tangan dan ketika mulai pekerjaan buatlah perencanaan. Kebiasaan
tersebut akan memiliki efek psikis yang sangat positif bagi orang yang
akan menekuni kegiatan wirausaha.98
Fenomena yang berkembang di sebagian pondok pesantren di
tanah air sebenarnya telah memberikan warna tersendiri dalam konteks
pengembangan kewirausahaan ini. Mungkin masih banyak pesantren
97Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), 67. 98Armando Salvatore, Muslim Traditions and Modern Techniques of Power, (LIT Verlag Berlin-Hamburg: Munster, 2001), 32.
93
tidak memiliki program kewirausahaan, tetapi dalam praktiknya banyak
pondok pesantren yang secara spontanitas mengembangkan kegiatan
kewirausahaan. Pada waktu sore dan malam hari para santri mengaji,
tetapi di waktu siang mereka menggunakan kesempatan yang baik
untuk melakukan berbagai kegiatan pengembangan keterampilan
(bengkel, bata, home industri, dll).99 Kegiatan ini terjadi di pesantren
yang berada baik di pelosok maupun daerah perkotaan. Mereka belajar
sambil bekerja, learning by doing, dengan suatu harapan kelak menjadi
bidang keahliannya selesai dari pondok. Pengembangan mental
kemandirian di sini sangat ditekankan. Oleh karena itu, Pondok
pesantren tidak membekali santrinya dengan formalitas ijasah setelah
mereka keluar dari pondok. Model pengembangan keterampilan seperti
ini sebenarnya telah banyak ditiru oleh lembaga pendidikan formal,
meskipun dengan modifikasi baru yang disebut dengan istilah life
school skill life.100
Secara umum, selain pengelola pesantren, para praktisi
pendidikan juga perlu sharing dan memberi support atas komitmen
pendidikan mental entrepreneurship ini kepada lembaga-lembaga
terkait dengan pelayanan bidang usaha yang muncul di masyarakat agar
benar-benar berfungsi dan benar-benar menyiapkan kebijakan untuk
99Haedari, Amin, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), Cet.I h. 211. 100 Mengenai life skill education selengkapnya lihat Laura Gadberry, Motivating Life Skill Modules for Individuals with Spinal Cord Injury, (American Occupational Therapy Association, 1996), 32.
94
mempermudah dan melayani masyarakat. Praktisi pendidikan penting
juga menjalin hubungan erat dengan dunia usaha agar benar-benar
terjadi proses learning by doing. 101Dalam konteks pesantren, yang
sudah melakukan pelayanan bidang usaha dengan menjalin hubungan
business dengan pihak lain misalnya dilakukan oleh pesantren al-Ittifaq
Bandung. Pesantren menjalin mitra bisnis mereka dengan pasar
swalayan dalam memasarkan produk pertanahannya. Selain itu sebagai
pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat sekitar, pondok
melakukan pembinaan dan memberikan kesempatan partisipasi dalam
berbagai usaha pertanian yang dikembangkan pondok pesantren
tersebut.102
Dalam konteks kehidupan manusia yang sedang berikhtiar
menuju sukses, tidak dilupakan pula faktor yang bersifat non-teknis,
yang dimaksudkan adalah meningkatkan intensitas dan kualitas
spiritual.103 Dorongan untuk melakukan upaya yang bersifat spiritual ini
tercermin dalam firman Allah. “Barang siapa yang bertakwa dan
bertawakkal kepada Allah, maka akan diberi jalan keluar, kemudahan,
dan diberi rizki dengan jalan yang tiada disangka-sangka”104 sementara
dalam ayat yang lain juga dijelaskan, “Barang siapa yang bertakwa 101 Harian Wawasan, (10 Juni 2007), 11. 102 Achmad Syahid, H.M. Annas Mahduri, Pesantren dan pengembangan ekonomi umat: Pesantren Al-Ittifaq dalam perbandingan. (Jakarta : Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren. Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama dengan Indonesian Institute for Civil Society, 2002), 2. 103 Kajian mengenai intensitas dan kualitas spiritual yang mendorong spirit untuk sukses misalnya R.C. Douglas, Spiritual Evolution or Regeneration, (Kessinger Publishing), 1998. Tobin Hart, The Secret spiritual world of children, (New World Library, 2003), 34. 104 QS Attaalaq:4
95
pada Allah, niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam
segala urusan.”105
Dengan kualitas takwa dan tawakkal yang ada pada dirinya,
manusia tidak gampang stress. Demikian juga dalam sebuah Hadist,
Nabi bersabda, “Lau tatawakkalun ‘alalla<h h}aqqat tawakkul
larazaqakumulla<hu kama< ruziqa attairu yaru<hu himashanwa ya’u<du
bithanan” (Jika kalian bertawakal pada Allah dengan sungguh-sungguh,
niscaya Allah akan memberi kalian rizki sebagaimana Allah memberi
rizki pada burung, dimana pagi-pagi burung pergi perut dalam keadaan
kosong dan pulang dalam keadaan kenyang).106
Strategi dalam rangka menanamkan nilai-nilai dan semangat
pendidikan kewirausahaan ini bisa melalui berbagai cara, Meredith
mengemukakan penjelasan nilai hakiki penting dari wirausaha ini
dengan menekankan salah satunya percaya diri (self confidence).107
Menurutnya sikap tersebut merupakan paduan sikap dan keyakinan
seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan, yang bersifat
internal, sangat relatif dan dinamis dan banyak ditentukan oleh
kemampuannya untuk memulai, melaksanakan dan menyelesaikan
suatu pekerjaan.
105 HR. Imam Turmuzi 106 HR. Ahmad Turmudzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari Abu Hurairah 107 Geoffrey G. Meredith. Kewirausahaan : Teori dan Praktek, Jakarta : PPM, 2000 lihat juga Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung : Alfabeta, 2003), 11.
96
Kepercayaan diri akan mempengaruhi gagasan, karsa, inisiatif,
kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja, kegairahan
berkarya. Kunci keberhasilan dalam bisnis adalah untuk memahami diri
sendiri. Oleh karena itu wirausaha yang sukses adalah wirausaha yang
mandiri dan percaya diri. Kemudian ia menjelaskan pentingnya
orientasi terhadap tugas dan hasil. Dalam pandangannya seseorang yang
selalu mengutamakan tugas dan hasil, adalah orang yang selalu
mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba,
ketekunan dan kerja keras. Dalam kewirausahaan peluang hanya
diperoleh apabila ada inisiatif. Perilaku inisiatif biasanya diperoleh
melalui pelatihan dan pengalaman bertahun-tahun dan
pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis,
tanggap, bergairah dan semangat berprestasi.108
Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah keberanian
mengambil risiko. Wirausaha adalah orang yang lebih menyukai usaha-
usaha yang lebih menantang untuk mencapai kesuksesan atau
kegagalan dari pada usaha yang kurang menantang. Wirausaha
menghindari situasi risiko yang rendah karena tidak ada tantangan dan
menjauhi situasi risiko yang tinggi karena ingin berhasil.109 Pada situasi
108 Geoffrey G. Meredith, Kewirausahaan : Teori dan Praktek, (Jakarta : PPM), 2000 lihat juga Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung : Alfabeta, 2003), 15. 109Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa), 1995. Lihat juga Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses., (Jakarta : Salemba Empat, 2003), 12.
97
ini ada dua alternatif yang harus dipilih yaitu alternatif yang
mengandung risiko dan alternatif yang konservatif.
Pilihan terhadap risiko tergantung pada daya tarik setiap
alternatif, kesediaan untuk rugi. Kemungkinan relatif untuk sukses atau
gagal. Selanjutnya kemampuan untuk mengambil risiko tergantung dari
keyakinan pada diri sendiri, kesediaan untuk menggunakan kemampuan
dalam mencari peluang dan kemungkinan untuk memperoleh
keuntungan, kemampuan untuk menilai situasi risiko secara realitis.110
Faktor significant yang tak bisa diabaikan adalah jiwa
kepemimpinan.111 Seorang wirausaha harus memiliki sifat
kepemimpinan, kepeloporan, keteladanan. Ia selalu menampilkan
produk dan jasa-jasa baru dan berbeda sehingga ia menjadi pelopor baik
dalam proses produksi maupun pemasaran. Dan selalu memanfaatkan
perbedaan sebagai suatu yang menambah nilai.
Seorang entrepreneur dituntut pula untuk selalu berorientasi ke
masa depan. Wirausaha harus memiliki perspektif dan pandangan ke
masa depan, kuncinya adalah dengan kemampuan untuk menciptakan
110 Geoffrey G. Meredith, Kewirausahaan: Teori dan Praktek, (Jakarta: PPM, 2000), lihat juga Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung: Alfabeta, 2003), 7. 111 Joseph Murphy, Preparing School Leader Defining A Research and Action Agenda, (USA : Rowman & Littlefield Education, 2006), 20-21
98
sesuatu yang baru dan berbeda dari yang ada sekarang. Selain itu perlu
juga menjaga keorisinilan kreativitas dan inovasi.112
Kewirausahaan adalah berpikir dan bertindak sesuatu yang baru
atau berpikir sesuatu yang lama dengan cara-cara baru. Menurut Everett
E.Hagen ciri-cirinya antara lain openness to experience (terbuka
terhadap pengalaman), creative imagination (memiliki kemampuan
untuk bekerja dengan penuh imajinasi), confidence and content in one’s
own evaluation (memiliki keyakinan atas penilaian dirinya dan teguh
pendirian), satisfaction in facing and attacking problems and in
resolving confusion or inconsistency (selalu memiliki kepuasan dalam
menghadapi dan memecahkan persoalan), has duty or responsibility to
achieve (memiliki tugas dan rasa tanggung jawab untuk berprestasi),
intelligence and energetic (memiliki kecerdasan dan energik).113
Menurut Suryana wirausaha yang sukses pada umumnya adalah
mereka yang memiliki kompetensi yaitu: seseorang yang memiliki ilmu
pengetahuan, keterampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap,
motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan/kegiatan.114
112 Marian Jones & Pavlos Dimitratos, Emerging Paradigms in International entrepreneurship, (Edward Elgar Publishing, 2004), 361. 113 Justin G. Longenecker, et al, Kewirausahaan : Manajemen Usaha Kecil, (Jakarta : Salemba Empat, 2000), 32. 114 Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses. (Jakarta : Salemba Empat, 2003), 34.
99
b. Pembelajaran yang Dapat Membangun Etos Kerja Kewirausahaan
Salah satu sumber laba yang menimbulkan bencana nasional
akhir-akhir ini adalah karena tidak dimilikinya etos kerja yang
memadai bagi bangsa kita. Belajar dari negara lain, Jerman dan Jepang
yang luluh lantak di PD II. Tetapi kini, lima puluh tahun kemudian,
mereka menjadi bangsa termaju di Eropa dan Asia. Mengapa? Karena
etos kerja mereka tidak ikut hancur. Yang hancur hanya gedung-
gedung, jalan dan infrastruktur fisik.115
Max Weber116 menyatakan intisari etos kerja orang Jerman
adalah: rasional, disiplin tinggi, kerja keras, berorientasi pada
kesuksesan material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar
kesenangan, menabung dan investasi. Di timur, orang Jepang
menghayati “bushido” (etos para samurai) perpaduan Shintoisme dan
Zen Budhism. Inilah yang disebut oleh Jansen H. Sunamo sebagai
“karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang”. Ada 7 prinsip dalam
bushido, ialah (1) Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar
berdasarkan kebenaran, jika harus mati demi keputusan itu, matilah
dengan gagah, terhormat, (2) Yu : berani, ksatria, (3) Jin : murah hati,
mencintai dan bersikap baik terhadap sesama, (4) Re : bersikap santun,
bertindak benar, (5) Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh-
115Joko Sutrisno, “Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Usia Dini”, makalah pengantar ke Falsafah Sains (S3) PPS Institut Pertanian Bogor, (Bogor: IPB, Desember 2003), 12. 116Pembahasan secara komprehensif mengenai etos dan etika kerja hasil penelitian Max Weber, lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (Courier Dover Publications, 2003), 4.
100
sesungguh-sungguhnya, tanpa pamrih, (6) Melyo : menjaga
kehormatan martabat, kemuliaan, dan (7) Chugo : mengabdi, loyal,
jelas bahwa kemajuan Jepang karena mereka komit dalam penerapan
bushido, konsisten, inten dan berkualitas.117
Pandangan tentang kesuksesan etos kerja orang Jepang dengan
menghayati ‘bushido’ ini juga mendapat perhatian dari para ahli
sosiologi. Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade
belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara
etos kerja manusia (atau komunitas) dengan keberhasilannya: bahwa
keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap,
perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di
dalam komunitas atau konteks sosialnya. Melalui pengamatan terhadap
karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang
unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang
penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting
dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia.118
Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan
manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan
manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam
lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya
117 Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses. (Jakarta: Salemba Empat, 2003), 16. 118 Kusmayanto Kadiman, Etos Kerja….untuk Siapa?. Pidato Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, (Jakarta: 2002), 2.
101
dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar,
tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas
penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun
kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.119
Indonesia mempunyai falsafah Pancasila, tetapi gagal menjadi
etos kerja bangsa kita karena masyarakat tidak komit, tidak inten, dan
tidak bersungguh-sungguh dalam menerapkan prinsip-prinsip
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. “Ketuhanan Yang Maha Esa”
misalnya, sering ditampilkan sebagai “Keuangan yang maha kuasa”.
Kemanusiaan yang adil dan beradab”, “Persatuan Indonesia”
prakteknya menjadi “persatuan pejabat dan konglomerat” dsb. Inilah
bukti dari ramalan Ronggowarsito dan inilah zaman edan. Dampak
kondisi ini etos kerja yang berkembang adalah etos kerja asal-
asalan.120
Beberapa pernyataan berikut adalah gambaran ungkapan yang
sering muncul ke permukaan yang menggambarkan etos kerja asal-
asalan, atau istilah Sinamo sebagai “etos kerja edan”, ialah (a)
bekerjalah sesuai keinginan penguasa, (2) bekerja sebisanya saja, (3)
bekerja jangan sok suci, kerja adalah demi uang, (4) bekerja seadanya
saja ngak usah ngoyo, tak lari gunung dikejar, (5) bekerja harus pinter-
119 Kusmayanto Kadiman. Etos kerja….untuk siapa? 120 Joko Sutrisno, “Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Usia Dini”, makalah pengantar ke Falsafah Sains (S3) PPS Institut Pertanian Bogor, (Bandung: IPB, Desember 2003), 3.
102
pinter, yang penting aman, (6) bekerja santai saja mengapa harus
ngotot, (7) bekerja asal-asalan saja, wajar-wajar saja, kan gajinya kecil,
(8) bekerja semau gue, kan di sini saya yang berkuasa. Ungkapan-
ungkapan seperti tersebut di atas menggambarkan tidak adanya etos
kerja yang pantas untuk dikembangkan apalagi menghadapi persaingan
global. Maka dari itu wajarlah jika bangsa ini harus menerima pil pahit
bencana nasional krisis yang berkepanjangan yang tak kunjung usai.
Untuk mencapai kualifikasi wirausaha unggul maka SDM perusahaan
harus memiliki etos kerja unggul.121
Suatu penelitian yang cukup komprehensif mengenai spirit of
work atau etos kerja misalnya Jack Hawley dalam karyanya
reawakeneing the spirit in work, menjelaskan penting menghayati
dimensi spiritual dalam menjaga spirit dan etos kerja yang sungguh-
sungguh.122 Dalam karyanya tersebut ia mengeksplorasi isu
manajemen dalam paradigma baru kepada metode berpikir hidup
menjadi seorang pemimpin atau manajer. Ia menekankan begitu
pentingnya dimensi spiritual dalam menjaga etos kerja. Menurutnya
kesadaran spiritual secara konstan akan membangkitkan semangat
kerja (spirit of work) dengan penuh energi.123 Senada dengan hal
121 Salim Siagian dan Asfahani. Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat 17.8.45, (Kloang Klede Jaya PT Putra Timur bekerjasama dengan Puslatkop dan PK Depkop dan PPK. Jakarta, 1995), 2. 122 Jack Hawley, Reawakening the Spirit in Work, (Berrett-Koehler Publisher, 1993), 1-2 123 Hack Hawley, Reawakening the Spirit in Work, (Berrett-Koehler Publishers, 1993), 19-32, Senada dengan pernyataan Jack Hawley, dapat disebut disini misalnya Jay Alden Conger, Spirit at work Discovering the Spirituality in Leadership (Jossey-Bass, 1994), 12.
103
tersebut, misalnya Ted Andrews menyatakan spirit of work
dipengaruhi juga oleh interaksi-dialogs yang harmoni antara manusia
dan alam. Keseimbangan yang terjaga tersebut akan menimbulkan
semangat dan etos kerja yang selaras dan tidak mudah terdistorsi
dengan berbagai pengaruh yang ia sebut dengan distorsi akibat
modernisasi (moderns distortion).124
Dalam rangka menumbuhkan etos kerja unggul, misalnya
Jansen H. Sinamo mengembangkan 8 etos kerja unggul, yang ia
rincikan menjadi kerja itu suci, kerja itu sehat, kerja itu rahmat, kerja
itu amanah, kerja itu seni, kerja itu ibadah, kerja itu mulia, dan kerja
itu kehormatan.125
Dalam konteks dunia pendidikan, etos kerja dapat ditumbuhkan
melalui pengelolaan manajemen pendidikan yang efektif, sehingga
mampu menggerakkan dan memberi motivasi positif kepada peserta
didik dalam menumbuhkan semangat dan etos kerja yang lebih serius
dalam aplikasi-aplikasi praktis yang disediakan oleh lembaga
pendidikan sebagai wahana pelatihan bagi para peserta didik
tersebut.126
124 Ted Andrews. How to Meet and Work with Spirit guides (Liewellyn Worldwide, 1992), 2-3. 125 Jansen H. SInamo, Dari the hidden prosperity, M.P. Tumanggor, 2003, lihat juga Jansen H. Sinamo, Ethos 21 : etos kerja profesional di era digital, (Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2002), 3. 126 E. Mark Hanson, Educational Administration and Organizational Behavior, (New York: Pearson Education, 2003, Fifth Edition), 206-208.
104
Sebagai contoh tak terbantahkan hingga sekarang semangat etos
kerja yang didasarkan pada ajaran suatu doktrin agama terjadi pada
masyarakat Kristen Protestan. Melalui karya fenomenal Max Wiber,
The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, diyakini telah
memberikan semangat pencerahan kepada umat Kristen Protestan
untuk memperbaharui cara hidup mereka dalam memaknai dan
menciptakan kebahagiaan di atas nilai-nilai ekonomi yang didasarkan
pada semangat kerja keras. Mereka meyakini bahwa kerja keras adalah
ibadah.127
Keterlibatan siswa atau santri dalam proses kegiatan usaha yang
dimiliki oleh sekolah atau pesantren akan bermakna positif pada
peningkatan etos kerja peserta didik. Untuk konteks pesantren, etos
kerja dicerminkan pada proses pendidikan yang dilaksanakan secara
kontinuitas mulai dari terbit fajar hingga tiba waktu istirahat tidur.
Dalam proses itu para santri dituntut untuk bertanggung jawab secara
mandiri dalam menjalani program-program pesantren dimana ia
menuntut ilmu. Dengan demikian santri, lambat laun secara otomatis
mengetahui tugas dan kewajiban masing-masing dalam tanggung
jawab yang diberikan oleh pesantren kepada mereka. Etos kerja tidak
hanya tercermin saat mereka belajar secara teoritis, namun juga
127 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Courier Dover Publications, 2003. (terj. Oleh Talcott Parsons). Lihat juga Adrian Furnham, The Protestant work ethic: the psychology of work-related beliefs and behaviours. (Routledge, 1990), 17-30.
105
ditanamkan pada kegiatan-kegiatan praktis di berbagai layanan atau
unit usaha yang dimiliki pesantren.128
5. Menggalakan Kurikulum Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life
skill)
Pengembangan kurikulum pesantren pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari visi pembangunan nasional yang berupaya
menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan nasional yang tertera
dalam Garis-garis besar Haluan Negara. Oleh karena itu
pengembangan kurikulum pesantren biasanya mengakomodasi
tuntutan-tuntutan sistematik dan lebih dari itu tuntutan-tuntutan
sosiologis masyarakat Indonesia. Visi tersebut secara rinci mencakup
terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,
berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia
yang sehat, mandiri beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah
air, berkesadaran hukum dalam lingkungan, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta
berdisiplin.129
Secara konseptual, sebenarnya lembaga pesantren optimis akan
mampu memenuhi tuntutan reformasi pembangunan nasional di atas,
128 Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren; Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), Cet. 2, 3. 129 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 73.
106
karena fleksibilitas dan keterbukaan sistemik yang melekat padanya.
Dengan kata lain, perwujudan masyarakat berkualitas tersebut dapat
dibangun melalui perubahan kurikulum pesantren yang berusaha
membekali peserta didik untuk menjadi subyek pembangunan yang
mampu menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif dan
profesional pada bidangnya masing-masing. Namun perlu diingat
bahwa kurikulum hanya merupakan salah satu subsistem lembaga
pesantren, proses pengembangannya tidak boleh bertentangan dengan
kerangka penyelenggaraan pesantren yang di kenal khas, baik dalam
isi dan pendekatan yang digunakan.130
Dalam konteks pendidikan kewirausahaan pengembangan
kurikulum didasarkan pada pembekalan kecakapan hidup santri.
Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat
membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life
competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan
santri. Respons pondok pesantren terhadap perkembangan tersebut
salah satunya dengan diterapkannya pendidikan berbasis kompetensi,
dengan semakin banyak memasukkan keterampilan dan praktek
keterampilan secara nyata dengan dasar pendidikan wirausaha atau
entrepreneurship, yang diharapkan bisa membekali santri dengan
130 Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok …., 73
107
berbagai kemampuan sesuai dengan tuntutan zaman. Terutama
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.131
Menyadari hal tersebut maka pengembangan model pendidikan
yang harus yang dikembangkan di pesantren adalah sebuah model
pendidikan yang berbasis kompetensi.132 Pendidikan yang dikelola
oleh pesantren mempunyai tugas untuk mengembangkan skill,
knowledge dan ability terhadap santri, dengan mengembangkan
komponen-komponen pendidikan yang ada baik dari segi metode,
media, materi maupun tenaga edukatifnya.
Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas mensyaratkan pesantren
harus meningkatkan mutu sekaligus memperbaharui model
pendidikannya, sebab model pendidikan pesantren yang mendasarkan
diri pada sistem konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup
membantu dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama,
pengetahuan umum dan kecakapan teknologis. Padahal ketiga elemen
131 Lihat Muhammad Tholhah Hasan, Pondok Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabra Press, 2005, Cet. 6. Lihat juga Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), Cet. I, 185. 132 Mengenai pendidikan berbasis kompetensi, baca misalnya Terry Hyland, Competence, Education and NVQs : Dessenting Perspectives, Cassell, 1994. Lihat juga Richard Winter & Maire Maisch, Profesional Competence and Higher Education : the ASSET programe, (Routledge, 1996), 5.
108
ini merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks
perubahan sosial akibat modernisasi.133
Pengembangan model pendidikan ini tidak akan merubah total
wajah dan keunikan sistem pendidikan pesantren menjadi sebuah
model pendidikan umum yang cenderung reduksionistik terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan pondok
pesantren. Untuk melahirkan generasi yang mempunyai kompetensi
unggul tidak cukup dengan memberikan bekal pengetahuan, namun
harus dibarengi dengan kemampuan ketrampilan dengan
memanfaatkan potensi dari masyarakat sekitar untuk itu perlu
dikembangkan pesantren sebagai basis pencetak santri-santri yang
mempunyai jiwa mandiri dengan mengembangkan potensi alam yang
ada dan jiwa wirausaha yang tinggi, sehingga lahir santri yang mampu
berkiprah baik kemampuan agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.134
Pengelolaan pesantren diharapkan melakukan upaya-upaya
untuk mengembangkan kemampuan santri untuk mendalami sebuah
ketrampilan khusus sesuai yang diminati oleh santri. Kemampuan
tersebut meliputi berbagai bidang sesuai jenis kegiatan usaha yang
dijalankan oleh pesantren, bidang usaha itu bisa meliputi pertanian,
133 Lihat Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren : Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), Cet. 2, 65. 134 Zakiah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islaml, (Bumi Aksara, Cet-6, 2006), hal. 28. Lihat HJ. Zurinal Z, Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, Cet. I, 2006).
109
pengembangan industri pengolahan, dan peternakan. semua jenis usaha
yang dimiliki oleh pesantren tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan bagi para santri untuk menerapkan pengalaman dan
keahlian yang telah dimiliki.135
Konsep ‘life skill’ dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang
baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad based curriculum yang
diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas.136
Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh
masyarakat. Pengertian life skill sebenarnya lebih luas dari sekedar
untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekedar
ketrampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang
betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya
sendiri.
Namun penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi
pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik,
seperti fisika, kimia, dan biologi. Program ini memang baik, tetapi
sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa
yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu
135 Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), Cet, I, 23. 136 Secara mendalam lihat Susan M. Drake, Creating standards-based integrated curriculum : aligning curriculum, content, assessment, and instruction, (Corwin Press), 2007, Second Edition. Carol Jean Peterson, Competency-based curriculum and instruction, National League for Nursing, 1979, John W. Burke, Competency Based Education and Training, (Routledge, 1989), 23.
110
seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan
kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup.137
Untuk mengadopsi life skill ke dalam kurikulum pendidikan,
sekarang harus disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan daerah
dimana sekolah atau pesantren itu berada. Misalnya, anak yang hidup
di Jakarta, tentu akan berbeda life skill yang dibutuhkan dengan
mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam
perekonomian modern, misalnya pertukangan tidak banyak
mendapatkan tempat.
Pembekalan pendidikan life skill,138 selain memberi berbagai
ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani.
Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para santri antara lain, jahit
menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut
kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe,
pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan
meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin dan
otomotif.139
Melalui kegiatan yang positif, membangun, dan beraneka ragam
tersebut, para santri bisa terbekali tidak hanya sebatas pada
137 Kosasih, Pendidikan Life Skills Efektif Atasi Pengangguran, artikel, 10 Maret 2009. http://www.Jugaguru.com 138 Lebih komprehensif mengenai Life skills in school and society, (the Association for supervision and Curriculum Development), 1969, Laura Gadberry, Motivating Life Skill Modules for Individuals with Spinal Cord Injury, (American: Occupational Therapy Association, 1996), 5. 139 Kosasih. Pendidikan Life Skills Efektif Atasi Penganggura..http://www.Jugagguru.com /article
111
pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan dan sikap kepribadian yang
baik dan luhur. Kegiatan ini juga membuktikan tanggung jawab moral
dari pesantren.
6. Pemberdayaan Potensi Ekonomi di Pesantren
Menurut Yusuf Qardhawi, banyak orang memiliki persepsi yang
salah terhadap Islam dalam masalah ekonomi. Menurut mereka Islam
sama sekali tidak memperhatikan masalah ekonomi, agama dan
ekonomi adalah sesuatu yang sangat bertentangan. Anggapan yang
demikian sangatlah keliru karena Islam sangat memperhatikan masalah
ekonomi.140 Baik al-Qur’an maupun Hadist sangat menganjurkan umat
Islam supaya tidak meninggalkan dunia atau masalah ekonomi.141 Al-
Qur’an menganggap harta sebagai penopang kehidupan142dan
kenikmatan yang diberikan Allah SWT. kepada hamba-hambanya.143
Nabi sendiri juga sangat mengkhawatirkan kemiskinan dan
menganjurkan umat Islam supaya bersungguh-sungguh mencari rizki.
Kondisi kemiskinan menurut Qardhawi bisa mempengaruhi keimanan
seseorang (ka<dal faqru an yaku<na kufran).
140 Lihat Yusuf Qardhawi, al Hill al Islami Faridhah Islamiah,(Kairo : Bank al-Taqwa, tt), 64. 141 Lihat Omar Aidit Ghazali, Readings in the Concept and Methodology of Islamic Economics, Pelanduk Publication, 1989. Misbah Oreibi, Contribution of Islamic Tgought to Modern Economics : Proceedings of the Economics, Seminar Held Jointly by Al-Ashar University and the Internasional Institute of Islamic Thought, Cairo, 1988/1409, (Cairo : International Institute of Islamic Thought, 1997), 214. 142al-Qur`an, 4: 5. 143Ibid., 93: 7.
112
Pesantren sebagai sebuah “institusi budaya” yang lahir atas
prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak
awal berdirinya merupakan potensi strategi yang ada di tengah
kehidupan masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren memposisikan
dirinya (hanya) sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun
sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berupaya melakukan
reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat, seperti
ekonomi, sosial, dan politik. Berikut ini unsur-unsur yang dapat
diberdayakan di dalam lingkungan pesantren.
Potensi pesantren yang pertama adalah kiai yang merupakan
elemen paling esensial di dalam pesantren. Kiai adalah orang yang
memimpin pesantren dalam kharisma tinggi, ibadah yang tekun serta
pengetahuan keagamaan yang luas dan mendalam. Oleh sebab itu,
pada kiai, di samping memberikan pelajaran agama dan menjadi
pemimpin spiritual pada santrinya, tidak jarang juga menjadi “dokter-
dokter psikosomatis” bagi masyarakat.144 Sebagaimana telah
disinggung, keunikan sekaligus sebagai magnet pesantren adalah figur
kiai pemimpin pesantren. Andaikata dalam lingkungan pesantren
tersebut terdapat beberapa kiai, maka keberadaan mereka haruslah
tetap mengikuti ritme kiai sepuh di lingkungan pesantren tersebut.
144 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia, (Jakarta: IAIN, 2002), 771.
113
Dalam masalah ini, muncul faktor yang sangat penting sekaligus
sebagai syarat dalam tradisi Islam, yaitu seorang kiai adalah pemegang
ilmu-ilmu agama doktrinal. Tugas ini tidak dapat dilimpahkan kepada
masyarakat umum karena berhubungan dengan kepercayaan bahwa
ulama merupakan pewaris Nabi, seperti disebutkan dalam sebuah
Hadits.145 Bila demikian, bagaimana keunikan kepemimpinan kiai
pesantren ini dapat dipandang sebagai potensi pesantren yang bernilai
ekonomis?
Setidaknya ada tiga jawaban yang dapat diberikan. 146Pertama,
dengan “menjual” figur kiai karena kedalaman ilmunya. Artinya figur
seorang kiai pesantren merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa
bagi calon santri, wali santri, dan masyarakat untuk berburu ilmu.
Kedalaman ilmu sang kiai inilah sesungguhnya awal potensi ekonomi
itu terbangun. Ini tidak berarti komersialisasi ilmu, tetapi sudah
seharusnya orang-orang yang berilmu itu memperoleh penghargaan
meski tidak selalu berupa materi. Meski potensi berasal dari figur
seorang atau beberapa kiai pesantren, tetapi karena institusi pesantren
biasanya melekat dengan figur sang kiai, maka pemanfaatan potensi
tersebut juga untuk kemaslahatan pesantren. Kedua, pada umumnya
seorang kiai adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah.
145Wahid, Abdurrahman “Prolog” dalam Marzuki Wahid, et al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001), 15. 146 A. Halim. “Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren”, dalam A. Halim et al, Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), 224.
114
Ketokohan seorang kiai ini memunculkan sebuah kepercayaan,
dan dari ke percayaan melahirkan akses. Dari sinilah jalur-jalur
komunikasi, baik dalam kerangka ekonomis, politis, maupun yang
lainnya terbangun dengan sendirinya. Persoalan bagaimana mengemas
kepercayaan yang telah menjadi aset itu dengan moralitas agama?
Dalam konteks inilah kiai pesantren diuji. Ketiga, pada umumnya,
seorang kiai, sebelum membangun sebuah pesantren, telah mandiri
secara ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya.
Pada beberapa pesantren para santri bahkan belajar bertani dan
berdagang kepada sang kiai. Kiai pesantren semacam ini sering
menjadi tumpuan keuangan pesantren. Ini berarti sejak awal kiai telah
mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari aspek
mental, tetapi juga sosial dan ekonomi. Jiwa dan semangat
entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perekonomian
pesantren. Apabila aset dan jiwa kewirausahaan ini dipadukan, maka
hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pesantren.
Potensi ekonomi kedua yang melekat pada pesantren adalah
santri, atau murid atau siswa.147 Analisis potensi diri ini harus
dipahami, bahwa para santri tersebut sering mempunyai potensi/bakat
bawaan, seperti kemampuan membaca al-Qur’an, kaligrafi,
147 Istilah “santri” biasanya dipakai untuk seseorang yang hanya belajar atau mengaji di Ponpes, sedangkan murid atau siswa biasanya dipakai untuk seseorang yang belajar di sekolah formal. Adapun yang belajar di sekolah yang belajar di sekolah formal milik pesantren, meski bisa disebut sebagai murid atau siswa, tetapi sebutan umum yang lazim dipakai adalah santri.
115
pertukangan, dan sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya
selalu dipupuk dan dikembangkan. Karena itulah, ada baiknya bila
dalam pesantren diterapkan penelusuran potensi/bakat dan minat
santri, kemudian dibina dan dilatih. Dengan demikian, dalam pesantren
tersebut perlu juga dikembangkan Wadah Apresiasi Potensi Santri
(WAPOSI) wadah semacam ini, mungkin sudah ada di beberapa
pesantren, tinggal bagaimana mengaturnya supaya produktif. Perlu
juga ditambahkan, penggalian potensi diri santri murid ini menambah
pada potensi-potensi, semisal politisi, advokasi, jurnalistik, dan
seterusnya. Karenanya, untuk ke depan wajah pesantren menjadi
semakin kaya ragam dan warna.148
Seperti telah disinggung di atas, salah satu keunikan pesantren
terletak pada sistem pendidikannya yang integral. Artinya, model
pendidikan khas pesantren, seperti sorogan149 non klasikal dipadukan
dengan model pendidikan modern yang klasikal. Disamping itu, juga
disiplin ilmu yang ditekuninya, tidak hanya ilmu agama, melainkan
sekaligus pelajaran umum lainnya, seperti bahasa Inggris, matematika, 148 A. Halim “Menggali”, 227 149 Sistem sorogan adalah sistem pendidikan Islam tradisional individual. Umpama seorang murid mendatangi seorang guru yang akan membacakan beberapa baris al-Qur’an atau kata-kata yang berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa. Pada gilirannya murid mengulang dan menerjemahkan kata demi kata persis seperti yang dilakukan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa sehingga para murid diharapkan mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu kalimat bahas Arab. Dengan demikian, para murid dapat belajar tata bahasa Arab langsung dari kitab-kitab tersebut. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan tersebut secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajaran yang baru bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Para guru pengajian dalam taraf ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai murid lebih dari 3 atau 4 orang. Jika dalam seluruh hidup guru tersebut ia berhasil menelurkan sekitar 10 murid yang dapat menyelesaikan pelajaran di pesantren, ia akan dianggap sebagai seorang guru yang berhasil. Lihat Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta : LP3ES, 1994), 28-363.
116
sosiologi, antropologi dan sebagainya. Untuk yang terakhir ini,
biasanya dapat dijumpai pada pesantren yang sekaligus mengelola
lembaga pendidikan formal, baik dengan nama madrasah seperti MTs
dan MA, maupun sekolah seperti SMP dan SMA. Pesantren-pesantren
yang sudah menerapkan pendidikan seperti ini diantaranya pesantren
Gontor Ponorogo, pesantren al-Fallah Ciampea Bogor, pesantren
Darun Najah Jakarta, pesantren al-Muthfawiyah Tapanuli Selatan, dan
pesantren lainnya.150 Di sinilah letak keunikan pendidikan
pesantren.151
Bagaimana halnya dengan potensi ekonomi dari pendidikan
pesantren ini? Sebagaimana lazimnya pendidikan, didalamnya pasti
ada murid-siswa, guru, sarana, dan prasarana. Dari sisi murid-siswa
misalnya, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar
shahriah.152 Untuk kelancaran proses pembelajaran, diperlukan
seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa
dikembangkan salah satu unit usaha pesantren yang menyediakan
sarana belajar tersebut, semisal toko buku atau kitab, alat tulis, dan
foto copy, belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari seperti makan
minum, air, telepon, asrama, pakaian, dan sebagainya.
150 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia, 771. 151 A. Halim “Menggali”, 229. 152 Syahriah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan kata syahr yang berarti bulan. Di Ponpes Syahriah berarti kewajiban membayar uang SPP bagi santri-murid setiap bulan.
117
Potensi ekonomi dari sektor pendidikan ini tentu semakin
sempurna bila digabungkan dengan potensi diri santri-murid seperti
telah dijelaskan dalam point dua. Persoalannya tinggal bagaimana
semua potensi ini dikelola secara profesional, tetapi tetap
menampilkan karakteristik pesantren. Inilah salah satu tantangan
pesantren dan lembaga pendidikan yang ada dalam pesantren. Karena
potensi ekonomi santri murid itulah diperlukan keberanian manajerial
dari para pengasuh untuk mewarnai manajemen pesantren secara lebih
profesional dan modern, tetapi khas pesantren.
Dalam konteks ini, kekarismatikan seorang kiai, tidak hanya
dilihat dari aspek agama, tetapi juga aspek yang lain, seperti wawasan
dan manajerial kiai. Apabila ketiga pilar utama ini terpenuhi. Pesantren
telah memenuhi tiga fungsi utamanya, yaitu: Pertama, sebagai pusat
pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua,
sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human
resource). Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan
pada masyarakat (agent of development).153
7. Memperkuat Kerjasama
Kerja sama menjadi sebuah keharusan dalam sebuah dinamika
kehidupan sosial. Mustahil sebuah peran sosial kemasyarakatan dapat
153 Akhmad Faozan, “Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi”, dalam Ibda’; Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 4 No. 1 Jan-Jun 2006, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 3.
118
dikembangkan tanpa adanya jalinan kerjasama antara satu dengan
lainnya. Begitu juga dengan pesantren. Tidak seperti pada awal
berdirinya, kesendirian pesantren justru berpotensi memperlemah
eksistensinya, baik sebagai lembaga tafaqquh fi al di<n, lembaga
dakwah, lembaga pendidikan, apalagi lembaga sosial. Terlebih lagi
apabila kesendirian itu dibarengi dengan sikap ekslusifisme dan
mengisolir diri, tentunya hal itu akan menjadi boomerang bagi
perkembangan pesantren.154
Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari watak
keterbukaan untuk melakukan kerjasama, khususnya dengan
masyarakat pesantren. Perluasan peran pesantren hingga memasuki
ranah sosial kemasyarakatan. Menurut Amin Haedari tidak terbatas
pada lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam sebagaimana
pada awal perkembangannya, tentunya menuntut adanya perluasan
wilayah kerjasama. Terkait dengan hal itu, menurut Suyata, setidaknya
ada tiga wilayah kerjasama yang bisa dibangun dan diperkokoh, yaitu
1) kerja sama antar instansi pesantren, 2) kerjasama antar pesantren
dan pemerintah, 3) kerjasama antara pesantren dan swasta.155
154Haedari, Amin, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial.(Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006), 184. 155 Suyata. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Hidup, dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, (Jakarta: Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat, 1985), 23.
119
a. Kerjasama Antar Instansi Pesantren
Peran sosial kemasyarakatan akan lebih mudah dimainkan
manakala dilakukan secara kompak melalui sinergi antar pesantren.
Melalui sinergi ini, sangat dimungkinkan akan ditemukannya
ragam kebutuhan dan persoalan bersama, sekaligus alternatif yang
bisa dilakukan untuk memecahkannya. Sebagai contoh persoalan
yang terkait dengan anggapan bahwa agama dan pesantren
menghambat kemajuan dan pembangunan. Hal ini jelas sebuah
hambatan bagi pesantren dalam mengembangkan peran sosial.
Bagaimana pesantren mau berperan dalam dunia kemasyarakatan,
sedang keberadaannya dinilai sebagai penghambat kemajuan dan
pembangunan.156 Demikian juga dengan isu terorisme yang
belakangan marak dituduhkan ke masyarakat pesantren. Sebuah isu
yang juga berpotensi mempersempit ruang gerak pesantren dalam
mengembangkan peran sosial kemasyarakatan.
Menghadapi persoalan semacam ini secara apriori tentu
bukan sebuah pemecahan apalagi hanya mengandalkan pada
kekuatan sendiri dan mendasarkan pada dalil dan argumentasi yang
bersifat apologetic. Sudah semestinya pesantren melakukan sinergi
antar lembaga untuk memikirkan pemecahan bersama dengan
156Ibid., 24.
120
tekad, semangat, dan usaha bersama untuk memperbaiki kehidupan
pesantren.
Terkait dengan hal ini, sinergi antar pesantren sejatinya
menjadi solusi cerdas dalam kancah sosial kemasyarakatan.
Optimalisasi RMI atau organisasi pesantren lainnya, menjadi
sebuah kebutuhan dalam menyikapi peran sosial, juga dalam
mengembangkan peran kemasyarakatan pesantren itu sendiri.
Kerjasama antar pesantren juga bisa dibangun dalam
konteks melakukan proyek bersama seperti : pengumpulan zakat
dan pemanfaatannya, pekan olahraga pesantren, perkemahan
pesantren, perbaikan pembelajaran bahasa Arab, dan kegiatan-
kegiatan sosial lainnya.
b. Kerjasama Antara Pesantren dan Pemerintah
Hubungan kerjasama antara pesantren dan pemerintah
sudah terjalin sejak lama, sejak sebelum Indonesia merdeka.
Bahkan pasang surut dinamika pesantren di kancah nasional juga
dipengaruhi dengan pasang surut kerjasama di antara pesantren dan
pemerintah.
Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa setelah melewati tiga
sampai empat dasawarsa kelam tanpa perhatian, perbincangan
tentang pesantren mulai menghangat lagi pada pertengahan
121
dasawarsa 70-an. Hal ini disebabkan kepentingan pemerintah untuk
melibatkan dunia pesantren dalam pembangunan157
Alasan melibatkan pesantren dalam pembangunan itu antara
lain. Pertama pembangunan memerlukan dukungan dari pesantren
yang dinilai mempunyai pengaruh yang mengakar di lingkungan
masyarakat. Saat itu, tidak penting apakah pesantren mendukung
rezim pemerintah atau tidak. Yang penting, masyarakat pesantren
mendukung program pembangunan yang dicanangkan.158Kedua
pembangunan akan berjalan efektif manakala disadari sebagai
kegiatan masyarakat. Sedang pemerintah hanya mendorong,
memafasilitasi, melindungi, dan membina. Ketiga, dalam proses
pembangunan yang berjalan cepat, terdapat kemungkinan besar
bahwa lembaga tradisional semacam pesantren, tidak saja akan
ketinggalan dalam perkembangan dan perubahan, tetapi juga bisa
terancam eksistensinya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan responsi secara positif dan kreatif.159
c. Kerjasama Antara Pesantren dan Swasta
Sejalan dengan menghangatnya kembali perbincangan
tentang pesantren yang dibarengi dengan munculnya gagasan
partisipasi pesantren dalam program pemerintah, sejak dekade 157Rahardjo, Dawam, ed. Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES), 1995), 1-38. 158Azra, Azyumardi, Kata Pengantar, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. 1, xix. 159 Suyata, Pesantren sebagai Lembaga Sosial Hidup….24
122
tujuh puluhan hingga sekarang, sudah banyak pesantren yang
dinilai berhasil membuka jaringan (network) dan melakukan aliansi
dengan pihak-pihak di luar pesantren, seperti LSM dan lembaga
asing, guna merealisasikan program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.160
Kenyataan tersebut menunjukkan bagaimana sinergi
pesantren dengan pihak luar menjadi sebuah kekuatan dalam
mengembangkan peran sosial kemasyarakatan pesantren itu
sendiri. Melalui sinergi dengan pihak luar, pesantren dapat mencari
kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi
atau tempat dan usaha lain untuk latihan dan pendidikan kejuruan.
Dalam hal ini, pengembangan kompontren, Baitul Mal wa Tamwil
(BMT), pertanian, peternakan, dan kegiatan lainnya menjadi salah
satu alternatif bagi perluasan peran sosial pesantren.161
Sebagai sebuah lembaga, pesantren merupakan wadah yang
mampu menampung beragam persoalan sosial yang melingkupi
masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pesantren bisa melakukan
kajian terhadap beragam persoalan yang ada. Juga penyuluhan
dalam upaya penyadaran masyarakat menuju kehidupan yang lebih
tertata. Pada tahap aplikasinya, semua itu bisa dilakukan dengan
160Haedari, Amin, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan dan Sosial, (Jakarta: LKIS, 2005), 190. 161Ibid. 191.
123
menjalin kerjasama dengan pihak swasta atau lembaga lain yang
concern dalam permasalahan sosial. Di sinilah kemudian pesantren
dapat memperteguh keberadaannya sebagai lembaga sosial
kemasyarakatan.
C. Peran Kiai, Pengurus dan Ustadz dalam Proses Internalisasi Nilai-nilai
Kewirausahaan
1. Peran Kiai
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja
karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur,
metode dan jaringan yang ditetapkan oleh pesantren tersebut. Karena
keunikannya menurut C. Geertz menyebut pesantren sebagai sub kultur
masyarakat Indonesia (khususnya Jawa).162 Pesantren sebagai pendidikan
keagamaan memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya
menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain
belum berjalan secara fungsional, maka pesantren menjadi pusat kegiatan
sosial masyarakat, mulai orang belajar agama, bela diri, mengobati orang
sakit, konsultasi pertanian, mencari jodoh sampai pada menyusun
162Clifford Geertz, “The Javanese Kiyai: The Changing Role of A Cultural Broker”, dalam Comparative Studies in Society and History, vol 2 (1959-1960)
124
perlawanan terhadap kaum penjajah, semua dilakukan di pesantren yang
dipimpin oleh seorang kiai.163
Figur kiai tidak saja menjadi pemimpin agama tetapi sekaligus juga
pemimpin gerakan sosial politik masyarakat. Karena posisinya yang
menyatu dengan rakyat, maka pesantren memiliki akar yang kuat untuk
menjadi basis perjuangan rakyat. Di samping memiliki jaringan sosial
yang kuat dengan masyarakat, pesantren juga memiliki jaringan yang kuat
antar pesantren, karena sebagian besar pengaruh pesantren tidak saja
terkait dengan persamaan pola pikir, paham keagamaan, tetapi juga
memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat.164 Hal lain yang
menyebabkan hubungan dunia pesantren menjadi sangat kuat adalah
adanya kesamaan ideologi. Hampir semua pesantren di Indonesia memiliki
kesamaan referensi dengan metode pengajaran dan pemahaman
keagamaan yang sama pula. Kesamaan referensi kitab kuning dalam dunia
pesantren ini terjadi karena adanya seleksi yang cukup ketat di kalangan
pesantren, misalnya ada kategori kitab mu’tabar, dimana hanya kitab-kitab
mu’tabar yang boleh dipelajari di pesantren.165
Karena posisi kiai semakin penting dalam sistem kehidupan dan
tradisi pesantren maka jaringan pesantren identik dengan jaringan kiai.
163Rahardjo, Dawam, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, dalam Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta : LP3ES, 1995), Cet. 5, 8. 164Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta : LP3ES, 1982), 62. 165 Martin van Brunessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 37.
125
Dalam masyarakat lingkungannya, seorang kiai mempunyai kekuasaan
dalam arti memiliki komponen-komponen kekuasaan, seperti pertama,
kewibawaan dengan sifat-sifat berkelana dan bertani, terampil berpidato,
mahir berdiplomasi dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita
masyarakat (murah hati dan sebagainya). Kedua, memiliki wewenang
kemampuan melaksanakan upacara intensifikasi. Ketiga, mempunyai
karisma atau memiliki kekuatan saleh, dan keempat, mempunyai
kekuasaan dalam arti khusus, seperti mampu mengarahkan kekuatan fisik
dan mengorganisasi orang banyak atau dasar suatu sistem sanksi.166
Dalam situasi masyarakat Indonesia yang masih diwarnai oleh para
kepemimpinan patrialis, kepemimpinan pesantren yang masih memiliki
watak karismatik ini sangat berpengaruh. Oleh karena itu, komunitas
pesantren sebagai salah satu komunitas dalam masyarakat Indonesia,
memiliki posisi strategis dalam masyarakat muslim di Indonesia. Belum
lagi kalau dilihat dari perkembangan belakangan, dimana para alumni
pesantren atau kelompok masyarakat santri semakin memiliki peran yang
baik di masyarakat perkotaan, maka pengaruh pesantren dalam
kepemimpinannya yang lebih luas semakin menemukan
momentumnya.167
166 Ahmad Susilo, Strategi Pondok Pesantren (Jakarta: KUcica, 2003),167. 167Haedari, Amin, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta : IRD Press, 2004), Cet. 1, 215.
126
Dalam posisi pesantren yang semakin diperhitungkan di tengah
masyarakat memungkinkan pesantren atau lebih tepatnya kiai meluaskan
jaringannya dalam rangka adaptasi mempertahankan keberlangsungan
eksistensi pesantren. Kita menyaksikan dalam membina jaringan,
pesantren tidak hanya menjalin relasi dengan masyarakat sekitar, tetapi
juga dengan masyarakat yang lebih luas seperti pemerintah, perguruan
tinggi, pelaku dunia usaha, jaringan domestik maupun internasional dan
seterusnya.168
Secara substansial, jaringan pesantren atau jaringan sosial kiai
terletak pada getaran jiwa atau semangat untuk melaksanakannya dengan
mengharap keberhasilan di bawah ridho-Nya. Getaran jiwa atau semangat
ini adalah dasar utama suatu kegiatan agar berhasil sesuai dengan cita-cita.
Seorang kiai apabila sudah pasang niat untuk berusaha menjalankan suatu
kegiatan yang baik (dakwah) yaitu menyebarkan ajaran agama Islam,
pantang mundur selangkah pun, sekalipun mungkin dihadapannya akan
terbentang rintangan untuk menggagalkannya. Justru rintangan tersebut
tantangan yang harus dihadapi dan harus ditaklukan, meskipun harus
dihadapi dengan harta dan jiwa.
Kesediaan untuk mengorbankan harta dan jiwa tersebut merupakan
manivestasi atas ajaran-ajaran agama Islam yang sudah mendalam. Dalam
menentang tantangan-tantangan yang dihadapinya, bisa dikerjakan sendiri
168Ibid., 192.
127
tanpa bantuan dari pihak luar. Bantuan dari pihak luar dianggap perlu bila
mereka sudah mencoba untuk melawan tantangan tersebut dan dirasakan
belum cukup tenaga untuk melawannya. Biasanya bantuan tersebut
diambilkan dari tenaga-tenaga temannya dahulu yang pernah satu
pesantren waktu mencari ilmu di suatu pesantren tertentu. Ajakan tersebut
akan dipenuhi oleh mereka. Hal tersebut bahwa dirasakan satu perjuangan,
satu nasib, dan satu agama, yang satu dengan yang lainnya harus saling
tolong-menolong dalam kebaikan dan dalam ridho-Nya, serta tidak tolong-
menolong dalam kejahatan dan kemungkaran.
Menurut Endang Turmudi ada dua tipe kiai di pesantren
berdasarkan latar belakang pendidikan mereka, yakni kiai tradisional yang
mengambil pendidikan Islam di pesantren tradisional dan kiai modern yang
pengetahuan Islamnya diperoleh dari lembaga pendidikan Islam modern.
Kiai modern, di sisi lain mempunyai metodologi pengajaran Islam yang
lebih baik dari pada kiai tradisional. Namun perbedaan ini hanyalah
perbedaan generasi, dalam arti bahwa kebanyakan kiai tradisional berasal
dari generasi awal yang tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh
pendidikan modern.169
Meskipun kategorisasi ini mungkin agak kabur dalam pengertian
bahwa baik kiai tradisional maupun kiai modern dapat memiliki kualitas
yang sama dalam mengajar. Namun perbedaan dalam latar belakang
169 Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, (Yogjakarta, LKIS, 2004), 120
128
pendidikan mereka telah menciptakan citra yang berbeda di kalngan santri.
Bahkan kepemimpinan seorang kiai modern berbeda dengan
kepemimpinan kiai tradisional. Ikatan emosional antara kiai tradisional
dengan para santrinya lebih kuat dibanding dengan kiai modern.170
Penelitian yang dilakukan oleh Abu Choir meneliti tentang
pembaharuan manajemen pesantren di PPS Pasuruan, menemukan bukti
bahwa pembaharuan manajemen PPS dilatarbelakangi oleh adanya
kemauan kiai, tersedianya SDM, dan adanya tuntutan kondisi
perkembangan PPS yang berubah. Pembaharuan manajemen ini tentu tidak
akan berjalan tanpa kemauan dari kiai. Penelitian ini juga menemukan
bukti bahwa kiai selaku pengasuh pesantren melakukan langkah-langkah:
Pemberian wewenang, sosialisasi pembagian wewenang, pembentukan
lembaga kolektif, dan pengembangan fungsi manajemen. Hasil
pembaharuan meliputi pembaharuan wewenang dengan pembagian
wewenang makro dan wewenang mikro serta pengasuh memegang
wewenang yang makro atau garis-garis besar program pesantren,
Sedangkan pengurus memegang wewenang mikro yakni kewenangan
operasional dan kiai juga melakukan pembaharuan mengenai
kepemimpinan dengan menggunakan manajemen terbuka.171
170 Ibid. 121 171Choir, Abu, “Manajemen Pondok Pesantren di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Studi Kasus Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan”, (Tesis--Universitas Islam Negeri Malang, Malang, 2002)
129
Dalam hal ini kiai memiliki peran yang strategis dalam proses
internalisasi nilai-nilai kewirausahaan baik dari sisi ketokohan kiai,
pendidikan maupun manajemen yang diterapkannya.
2. Peran Pengurus
Dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan di pesantren
dibutuhkan peran dan dukungan dari berbagai pihak, baik pihak internal
pesantren maupun pihak eksternal pesantren. Pihak internal pesantren
adalah anggota komunitas pesantren seperti kiai, pengurus, ustadz dan
santri. Sedangkan dari pihak eksternal adalah masyarakat, dunia usaha,
mitra kerja dan pemerintah. Pihak internal pesantren memiliki peran lebih
penting dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan.
Bedasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan, pengurus
memiliki peran di pesantren dalam proses internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan. Dalam penelitian Sujianto menemukan hasil yang
memberikan penguatan tentang peran pengurus dalam kemajuan koperasi
di pondok pesantren. Studi ini menemukan bahwa kinerja pengurus dapat
memotivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dalam koperasi pesantren.
Pengurus yang memliki kecakapan dan dapat dipercaya mampu
meningkatkan loyalitas anggota.172 Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Abu Choir bahwa upaya pembaharuan manajemen yang
172Sujianto, Agus Eko, Pengaruh Pembinaan Anggota, Modernitas Kyai, Kinerja Pengurus dan Partisipasi Anggota Terhadap Kinerja Koperasi Pondok Pesantren di Kabupaten Tulungagung, (Disertasi: Program Studi Pendidikan Ekonomi: Program Pasca Sarjana , Universitas Negeri Malang, Malang, 2009)
130
dilakukan oleh pondok pesantren Sidogiri tidak akan berjalan tanpa
kemauan pengurus untuk melaksanakannya.173
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengelola
program-program pendidikan memerlukan manajemen guna mendukung
pencapaian tujuan institusinya, menjaga keseimbangan serta untuk
mencapai efisiensi dan keefektifan. Keberhasilan pendidikan di pesantren
sangat dipengaruhi sejauh mana pihak pengelola atau pengurus
mengaktualisasikan fungsi-manajemen baik proses perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pengaktifan atau pengimplementasian
(directing), dan pengawasan (controlling) atau pengendalian yang efektif
dalam mengelola resources yang dimiliki.174
Dengan demikian pengurus sebagai pelaksana utama manajemen
pesantren memiliki peran yang signifikan terhadap proses internalisasi
nilai-nilai kewirausahaan di pesantren. Hal ini mengingat pengurus adalah
sebagai pelaku utama dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen
pesantren dan fungsi-fungsi manajemen pesantren diperlukan agar
keseluruhan sumberdaya organisasi atau pesantren dapat dikelola dan
dipergunakan secara efektif dan efisien sehingga tujuan pesantren dapat
tercapai. Gambar: 2.1 secara diagramatis, jika dikaitkan antara tujuan
organisasi atau pesantren yaitu yang harus dicapai secara efektif dan
173 Ibid, Choir, Abu. 174 Sule, Erni, Tisnawati, Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, 2006) 8
131
efisien, dan sumber-sumber daya organisasi atau pesantren dengan fungsi-
fungsi manajemen.175
Gambar: 2.1 Sumberdaya organisasi, tujuan organisasi dan
Fungsi-fungsi organisasi
3. Peran Ustadz
Ditinjau dari sisi bahasa bahwa istilah ustadz identik dengan istilah
guru. Dalam hazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki beberapa
pedoman istilah seperti “ustadz”, “mu’alim”, “muaddib” dan “murabbi”.
Beberapa istilah untuk sebutan ustadz itu berkaitan dengan bebrapa istilah
untuk pendidikan yaitu ”ta’lim” dan “tarbiyah”. Istilah mualim lebih
menekankan ustadz sebagai pengajar, penyampai pengetahuan (knowledge)
dan ilmu (science). Sedangkan istilah mu’addib lebih menekankan pada
ustadz sebagai pembina moralitas dan akhlak peserta didik dengan
keteladanan, dan istilah murabbi< lebih menekankan pengembangan dan
175 Ibid, 10
132
pemeliharaan baik aspek jasmaniah maupun rahaniah dengan kasih sayang.
Sedangkan istilah yang umum dipakai dan memiliki cakupan makna yang
luas dan netral adalah ustadz yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
“guru”.176
Proses pembelajaran di pesantren ustadz merupakan sumberdaya
edukatif dan sekaligus aktor proses pembelajaran yang utama. Karena itu
upaya pemberdayaan ustadz merupakan keniscayaan karena peran ustadz
sebagai sumber edukatif yang utama tak akan pernah tergantikan walaupun
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama tehnologi
pembelajaran mengalami perkembangan sangat pesat dan karena perubahan
sosial yang diikuti dengan perubahan tuntutan masyarakat terhadap
kopentensi lulusan pendidikan khususnya pesantren.177
Dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan di pesantren,
ustadz memiliki peran penting baik melalui lembaga pendidikan maupun
lembaga ekonomi pesantren. Hal ini dikarenakan peran ustadz sebagai
aktor utama dalam proses pembelajaran tidak tergantikan oleh siapapun,
hanya saja efektifitas dalam mencapai tujuan sangat bergantung pada
sistem dan faktor pendukung proses pembelajaran tersebut.
176 Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiitualitas, (Malang, UPT. UMM Pres, Malang, 2008), 107 177 Ibid, 116