29
BAB III
LUDRUK DAN KEBERADAANNYA DI DALAM MASYARAKAT
SURABAYA TAHUN 1933 – 1980
Dalam bab ini diuraikan tentang pengertian ludruk, sejarah kelahiran ludruk,
dari bentuk yang paling sederhana bandan sampai pada bentuk ludruk yang ada
pada saat sekarang. Kemudian diuraikan juga unsur-unsur dalam ludruk dan
keberadaan ludruk saat ini. Berikut uraiannya.
A. Pengertian Ludruk
Ludruk adalah salah satu kesenian tradisional yang berbentuk drama
(Surjadi, 1992:6). Ludruk merupakan kesenian asli dari Jawa Timur. Pertunjukan
ludruk ini diawali dengan adanya tari Ngrema30, kemudian dilanjutkan dengan
kidungan, dan yang terakhir adalah drama yang membawakan sebuah lakon cerita.
Kata ludruk berasal dari bahasa Jawa tingkat ngoko di daerah Jawa Timur
yang berarti badut.31 Ludruk memiliki makna etimologis yang diperoleh dari
berbagai informasi yang relevan. Istilah ludruk diperoleh dari tokoh- tokoh seniman
dan budayawan ludruk. Secara etimologis, kata ludruk berasal dari kata molo- molo
dan gedrak- gedruk. Molo- molo berate mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan
kata “molo”, adalah suatu kegiatan pada saat berbicara masih ada tembakau sugi
30 Tari Ngrema merupakan tarian asli Jawa Timur. Tari Ngrema juga
menjadi tarian penyambutan tamu kenegaraan dan pada festival-festival kesenian
daerah(http://id. wikipedia.org/wiki/Tari Remo diakses pada tanggal 14 April 2015)
31 Suripan Hadi Hutomo. (Anelusur Asal lan Tegese Tembung Ludruk,
dalam Kamus Javanach Nederduitsch Woordenboek oleh J.F. G Gencke dan T
Roorda 1847), dikutip Supriyanto, 2001)., hlm.9.
30
didalam mulut pembicara), kegiatan tersebut seolah- olah hendak ingin
dimuntahkan, dan setelah itu keluarlah kata- kata kidungan dan berdialog.
Sedangkan gedrak- gedruk berarti kakinya menghentak – hentak pada saat menari
dipentas.
Pendapat lain mengatakan bahwa ludruk berasal dari kata- kata gela- gelo
dan gedrak- gedruk. Gela- gelo berarti menghentakkan kaki di pentas pada saat
menari. Unsur bahasa dalam ludruk terdiri atas dua macam bentuk verbal, yaitu (1)
nyanyian (kidungan); dan (2) dialog (narasi). Menurut data statistik Van Grisse Van
1822 dikatakan bahwa ludruk adalah tari- tarian yang dilengkapi dengan cerita lucu
yang diperankan oleh pelawak dan travesty atau lelaki yang merias diri sebagi
wanita. Ludruk mempunyai unsure tarian, cerita lucu, pelawak dan pemain yang
terdiri dari pria semua, meskipun yang diperankan ada peran wanitanya. Seiring
berkembangnya ludruk, masuk juga pemain wanita.
Purwantiri mengatakan bahwa ludruk sebagai tontonan yang berasal dari
kalangan masyarakat bawah.32 Sumber lain W.J.S Poerwadarminta menyatakan
ludruk mengandung arti penari wanita (teledhek) yang suka meledek/ menggoda
lelaki atau badhut yang artinya adalah pelawak yang lucu.33 Mengenai asal usul kata
ludruk terdapat beberapa pendapat. Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI
Surabaya mengatakan bahwa ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk.
32 Edi Sugiri. Fungsi Bentuk, dan makna Kidungan Seni Ludruk pada Era
Reformasi: Suatu Kajian Etnolinguistik. (Surabaya: Universitas Airlangga,2003).,
hlm.4.
33 Aji Jawoto. Mengenal Kesenian nasional 4, Ludruk. (Semarang:
Bengawan Ilmu, 2008)., hlm.7.
31
Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo)
dan kakinya gedrak-gedruk (menghentak lantai) seperti penari Ngrema. Sedangkan
menurut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan bahwa ludruk itu berasal dari kata molo-
molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan
kidungan dan kakinya menghentak lantai gedrak - gedruk.
Menurut Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe,
ludruk berasal dari bahasa Belanda. Pada masa itu banyak anak-anak Belanda muda
yang senang menonton. Mereka berkata kepada teman-temanya,“Mari kita leuk en
druk.” Artinya yang penting enjoy, happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya
luar biasa ini, begitu kira-kira maksudnya. Kalau demikian halnya, kesenian itu
sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama “baku”. Lalu lahirlah ucapan
bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi
bahasa sini ludruk.
Kidungan adalah kidung yang sudah diiramakan. Kidung berarti nyanyian;
syair yang dinyanyikan, sedangkan kidungan adalah nyanyian dengan lirik yang
melukiskan perasaan. Secara singkat kidung mempunyai makna yang lebih luas,
yaitu berupa tulisan yang belum mendapatkan tambahan notasi.34 Pada pertunjukan
ludruk, kidungan biasanya dibawakan oleh satu atau dua orang. Apabila satu orang,
maka orang yang sedang ngidung tidak ada bedanya dengan orang yang sedang
34 Yulia Indarti. Tesis: Metafora dalam Ludruk, (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada,2008)., hlm.11
32
menyanyi. Namun, apabila dua orang maka mereka bersahut-sahutan kidung, dan
seperti terjadi dialog di antara keduanya.
Bahasa yang digunakan pada pertunjukan ludruk ini adalah bahasa Jawa
dialek Surabaya, akan tetapi tidak jarang pula terdapat bahasa Indonesia pada lirik-
lirik kidung dan juga dialog dramanya. Pada setiap dialog atau monolog dalam
pertunjukan ludruk, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lugas dan
sederhana. Pilihan kata yang lugas dan sederhana ini membuat setiap dialog,
monolog dan kidung dalam ludruk ini mudah dimengerti, dipahami, dan dinikmati
semua lapisan masyarakat.
Ludruk menyajikan sebuah bentuk kesenian yang sarat dengan adat tradisi
masyarakat Surabaya dan sekitarnya, dan seperti karya sastra pada umumnya,
ludruk bercerita tentang segala aspek hidup dan kehidupan masyarakat Surabaya
dan sekitarnya.35 Cerita yang dimainkan di dalam pertunjukan ludruk mengambil
kisah dari kehidupan sehari-hari, cerita perjuangan, dan juga cerita legenda.
Walaupun mengambil cerita dari kehidupan sehari-hari, cerita perjuangan ataupun
legenda, tetap saja dialog dan monolog yang ada pada pertunjukan ini disampaikan
dalam bentuk bahasa yang jenaka.
35 Surjadi. Cerita Kepahlawanan dalam drama Tradisional Ludruk.Skripsi.
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1992)., .hlm.5.
33
B. Sejarah Timbulnya Ludruk
Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan yang berangkat
dari suatu keadaan yang berkembang di dalam lingkungan etnik yang berbeda satu
dengan yang lain. Perubahan – perubahan dan pengaruh dari luar adat bisa
membawa suatu pertunjukan tradisi mengalami perubahn – perubahan bentuk
maupun konsep.36 Hal tersebut terjadi juga pada kesenian dan seni pertunjukan
yang ada di Surabaya dan daerah di sekitarnya.
Daerah Surabaya, sesuai dengan letak geografisnya memiliki sejarah
perkembangan kebudayaan yang unik. Dalam hubungannya dengan perkembangan
kebudayaan pada khususnya kesenian, kedudukan daerah Surabaya memang
istemewa, karena dalam beberapa hal Surabaya telah mengembangkan coraknya
tersendiri. Perkembangan corak khas Surabaya atau dapat disebut Surabayaan, baik
di bidang kebudayaan maupun kesenian, memang sukar (diganti sulit) untuk
diterangkan(di ganti dijelaskan).mungkin sekali hal tersebut disebabkan karena
kedudukan Surabaya sebagai kota besar pantai dengan masyarakatnya yang sangat
heterogen, melebihi heterogenitas masyarakat kota – kota pantai tentangnya.
Kontak pengaruh berbagai macam kebudayaan dan kesenian inilah yang
membentuk corak khas Surabayaan.
36 Edi Sedyawati, Pertunjukan Seni Pertunjukan, (Jakarta : Sinar Harapan,
1981), hlm. 41 – 52.
34
Selain itu, dipandang dari segi kebudayaan kawasan Selat Madura. Kota
Surabaya merupakan titik temu dari berbagai macam pengaruh kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan tersebut ialah kebudayaan jawa yang bersumber dari Jawa
Tenga, Kebudayaan Madura, kebudayaan Bali, maupun kebudayaan asing seperti
Islam, Cina, dan Eropa. Unsur – unsur ini tampak jelas pada cabang – cabang
budaya yang berkembang dikawasan ini, terutama bentuk – bentuk kesenian, seperti
seni bangun, seni ukir, seni suara, seni tari dan seni pertunjukan rakyat.
Salah satu bentuk seni pertunjukan yag dihasilkan dari percampuran
berbagai macam pengaruh kebudayaan di Surabaya adalah Ludruk. Pada mulanya
ludruk adalah suatu bentuk pertunjukan rakyat yang dibawa oleh kaum urban dari
daerah Jombang. Setelah sampai di Surabaya, seni pertunjukan tersebut mengalami
perkembangan dan mendapat bermacam – macam pengaruh dari daerah lain,
sehingga akhirnya menjadi satu bentuk kesenian tradisional yang berbentuk drama.
1. Ludruk Bandan
Pada mulanya ludruk Bandan merupakan istilah untuk menyebut suatu
pertunjukan yang berbeda dengan drama tradisional yang dikenal sebagai ludruk
pada saat ini. Ludruk Badan, adalah pertunjukan yang mengawali kelahiran suatu
bentuk pertunjukan rakyat, yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan dan
mendapat tambahan bermacam – macam unsur dari kesenian yang berbeda.
Ludruk Bandan tidak diketahui penciptanya, proses kelahirannya dan kapan
timbulnya. Akan tetapi hanya di ketahui bahwa ludruk bandan dimainkan pada
sekitar abad XV. Bentuk kesenian yang ada pada saat ini dan diperkirakan sebagai
35
sisa ludruk Bandan adalah pertunjukan jaran dhor, yang ada di Tulungagung, Blitar,
Jombang, dan daerah sekitarnya.
Pada pementasan ludruk Bandan dipertontonkan Ilmu kesaktian, kemahiran
bela diri, dan kekuatan tenaga batin. Ludruk Bandan dipentaskan dihalaman rumah,
di tanah lapang, atau ditempat keramaian masyarakat. Pemain beratraksi dengan
diiringi musik yang sangat sederhan, mirip dengan musik pengiring pertunjukan
reog atau jaran dhor sekarang. Penonton berdiri melingkari disekeliling pemain
ludruk dan pemain musik. Pada sekitar abad XVII ludruk Bandan berangsur –
angsur menghilang. Kemudian muncul pertunjukan yang disebut Lerok.37
2. Ludruk Lerok
Ludruk lerok diperkirakan muncul pada abad XVI sampai sekitar abad
XVIII. Pergantian nama ludruk Bandan menjadi ludruk Lerok ditandai dengan
pemakaian alat musik semacam sitar dan beberapa alat musik (gamelan) yang lain.
Kalau dalam ludruk Bandan pertunjukan tanpa disertai nyanyian, maka pada
pertunjukan ludruk Lerok mulai dilagukan nyanyian – nyanyian. Nyanyian tersebut
kemudian terkenal sebagai gandhangan. Dalam pementasan ludruk Lerok, atraksi
yang disajikan mirip dengan atraksi pada pertunjukan ludruk Bandan, yaitu
permainan yang mempertontonkan kesaktian dan kekuatan tenaga batin pemainnya.
Akan tetapi dalam pementasan ludruk Lerok pemain beratraksi sambil bernyanyi,
bahkan kadang juga melucu. Pada sekitar tahun 1990 terkenal sebuah ludruk Lerok
37 Soemadji Adjiwongsokoesomo, Nglacak Sejarah Perkembangan Seni
Ludruk, dalam Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. (Jakarta: Grafitti Press,
1985)., hlm. 312.
36
yang bernama Luduk Lerok pak Santik, kelompok tersebut berasal dari daerah
Jombang, beranggotakan hanya dua orang, yaitu Pak Santik dan pembantunya.
Dalam pementasan Ludruk Lerok Pak Santik tanpa menggunakan gamelan sebagai
pengiring. Musik pengiringnya hanyalah bunyi – bunyian mulut.38
3. Ludruk Besutan
Setelah ludruk lerok menghilang kemudian muncul ludruk Besutan, yang
muncul pada sekitar tahun 1911. Pada awalnya ludruk Besutan sangat mirip dengan
ludruk Lerok, hanya sedikit berbeda dengan tambahan pemakaian unsur drama
dalam pementasannya. Drama hanya terdiri dari dua pemain, yaitu Besut dan
istrinya Ning Asmonah.
Sekitar tahun 1920 ludruk Besutan mengalami perubahan besar dengan
penambahan beberapa pemain, yaitu paman Jamina, Somagambar, dan beberapa
tokoh tambahan yang tidak pasti namanya. Gamelan pengiringpun bertambah
lengkap, seperti perangkat gamelan yang mengiringi pentas ludruk sekarang. Cerita
dan nyanyianyang disajikan dalam pentas Ludruk Besutan umumnya berisi
pelajaran tentang hidup dan kehidupan, maka pemain yang memerankan tokoh
Besut haruslah orang yang berilmu, ilmu agama, bermasyarakat dan memiliki
wawasan hidup yang luas. Tokoh Besut dalam suatu pementasan, bertanggung
jawab atas kelancaran cerita dan kesuksesan pertunjukan. Selain itu tokoh Besut
38 Surjadi. Cerita Kepahlawanan dalam drama Tradisional Ludruk. Skripsi.
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1992).hlm.27
37
harus mempunyai cita rasa dan kemampuan seni tinggi, karena ia merupakan
pemain sekaligus sutradara dalam pementasan Ludruk Besutan.
Ludruk Besutan pada dasarnya merupakan kelanjutan Ludruk Lerok yang
mendapat pengaruh dalam gaya dan pementasan dari Komedie Stamboel Jawi.
Komedi Stamboel Jawi adalah kelompok drama modern yang pertama kali hadir
dipanggung pertunjukan Indonesia, yang berdiri di Surabaya pada tahun 1891.
Pengaruh Komedie Stamboel Jawi ternyata juga sangat kuat dalam perkembangan
Ludruk Besutan, sehingga Ludruk Besutan akhirnya mengalami perubahan besar,
terutama dalam pemasukan unsur – unsur drama yang bersifat lebh modern.
Misalnya dalam penokohan dan lakon yang dipentaskan. Adapun cici – ciri Ludruk
Besutan yang kemudian terdapat pada ludruk yang selanjutnya adalah penari
ngrema, kidungan, dan tokoh pelawak.
4. Ludruk Sandiwara
Pada tahun 1932 Ludruk Besutan mengalami perubahan besar, sehingga
dalam pementasannya mirip dengan kelompok sandiwara Komedie Stamboel Jawi.
Akhirnya ludruk yang ada pada saat itu disebut Ludruk Stamboel Jawi. Ludruk
Stamboel Jawi hanya berumur satu tahun, tahun berikutnya ludruk berganti nama
sebagai Ludruk Sandiwara atau Ludruk Senidrama. Meskipun hanya hidup selama
satu tahun Ludruk Stamboel Jawi membawa perubahan besar pada bentuk
pemetasan ludruk. Ludruk Stamboel Jawi mementaskan bermacam – macam lakon,
tidak hanya berkisar pada keluarga Besut, tetapi juga mulai melakoni cerita rakyat,
lengenda, bahkan juga cerita yang diambil dari buku roman dan cerita dari luar
38
negeri. Beberapa tahun kemudian sebutan Ludruk Sandiwara atau Ludruk
Senidrama berganti menjadi Ludruk saja tanpa tambahan sandiwara atau
senidrama. Penamaan tersebut dugunakan sampai sekarang.
Penamaan ludruk tanpa tambahan sandiwara atau senidrama pertama kali
dipergunakan oleh kelompok ludruk pimpinan Cak Gondo Durasim. Ludruk Cak
Gondo Durasim akhirnya disebut sebagai kelompok ludruk modern pertama kali
yang muncul di Surabaya. Setelah Ludruk Cak Gondo Durasim, maka muncul
beberapa kelompok ludruk yang lain, misalnya Ludruk Jawa Timur, Ludruk Sekar
Mulya, Ludruk Marhein, Ludruk Masa, yang semua meniru bentuk konsep dan
pertunjukan dari Ludruk Cak Gondo Durasim. Mulai saat itu ludruk menyebar ke
berbagai wilayah disekitar Surabaya sebagai kesenian rakyat khas Surabaya.
C. Ludruk Dan Masyarakat Surabaya
Masyarakat Surabaya merupakan masyarakat heterogen, baik dalam hal
status ataupun asal anggota masyarakatnya. Heterogen dalam status artinya warga
masyarakat Surabaya terdiri dari bermacam – macam status sosial dan golongan
masyarakat, yaitu msyarakat kelas tinggi (elite), kaum pedagang, masyarakat
kampung, kaum buruh, pedagang kecil, tukang, dan pekerja kasar yang lain.
Heterogen asal anggota masyarakat artinya warga Surabaya terdiri dari bermacam
suku, yaitu : Suku Jawa, Suku Madura, Suku Bali, dan suku Bugis. Selain itu
terdapat beberapa kelompok keturunan asing yaitu : Cina, Arab, dan Eropa.
Surabaya mempunyai kebudayaan yang khas, yakni kebudayaan
Surabayaan. Menurut Ron Hatley, di Jawa Timur terdapat 3 macam arus
39
kebudayaan, yakni kebudayaan Madura, Kebudayaan Jawa dan kebudayaan
Surabayaan atau kebudayaan Arek. Dari tiga macam arus kebudayaan tersebut,
kebudayaan Surabayaan memiliki berbagai keunikan yang melahirkna kesenian
khas. Kesenian tersebut merupakan percampuran bermacam – macam karya seni
yang dilahirkan dari para perantau. Berbagai bentuk karya seni khas Surabaya
tersebut adalah : wayang kulit Dak Dong, ludruk, berbagai macam tari khas
Surabaya, dan Gendhing khas Surabayaan.
Ludruk merupakan yang betul – betul tumbuh dari rakyat. Sebagai kesenian
rakyat ludruk adalah sosok wajah rakyat yang menampilkan kemauan dan
kemampuan rakyat, juga menampilkan tanggapan masyarakat pada peristiwa dan
keadaan yang terjadi disekitarnya. Ludruk modern yang mulai diperkenalkan oleh
Cak Gondo Durasim segera digemari oleh masyarakat Surabaya, karena disamping
berfungsi sebagai hiburan, ludruk juga mengandung banyak nilai yang merupakan
penggambaran sifat masyarakat Surabaya atau sering disebut Arek Surabayaan,
yaitu keluwesan, spontanitas, agak kasar, dan bersifat terbuka.
Pada waktu itu, pertunjukan ludruk mendapat pengawasan yang ketat oleh
PID (Dinas Polisi Rahasia Belanda), karena dalam pentas ludruk sering
diungkapkan pendapat rakyat, tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan dan
kekejaman pemerintah Belanda. Bahkan sering juga diutarakan sindiran – sindiran
terhadap penjajah Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk pada umumnya
dikuasai oleh pemerintah pendudukan Jepang dan dipergunakan sebagai alat
propaganda untuk kepentingan mereka . meskipun begitu, beberapa kelompok
ludruk berusaha menyuarakan nasib rakyat yang sengsara. Hal ini berakibat
40
dibubarkannya kelompok ludruk tersebut, bahkan ada seseorang anggota ludruk
yang disiksa, akibat disiksa oleh kempetai ( Polisi Rahasia Jepang ) akhirnya ia
meninggal dunia.
Ludruk Sebagai produk budaya lokal, ludruk merupakan seni pertunjukan yang
khas bagi rakyat Jawa Timur. Sebagai produk budaya lokal yang khas, ludruk
mempunyai karakteristik yang tidak ditemukan dalam seni tradisional yang lain.
Sedyawati menyatakan bahwa ludruk sebagai drama tradisional, memiliki ciri khas,
antara lain:
(1) pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris, tanpa persiapan naskah;
(2) memiliki pakem/ konvensi:
a. terdapat pemeran wanita yang diperankan oleh laki-laki;
b. memiliki lagu khas, berupa kidungan jula-juli;
c. iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan
pelog;
d. pertunjukan dibuka dengan tari Ngrema;
e. terdapat adegan bedayan;
f. terdapat sajian/adegan lawak/dagelan;
g. terdapat selingan travesti;
h. lakon diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan kehidupan sehari-hari;
i. terdapat kidungan, baik kidungan tari Ngrema, kidungan bedayan, kidungan
lawak, dan kidungan adegan.
Senada dengan pendapat tersebut, Peacock (1968), mengemukakan ciri ludruk,
antara lain:
(1) lakon yang dipentaskan merupakan ekspresi kehidupan rakyat sehari-hari;
(2) diiringi musik gamelan dengan tembang khas jula-juli;
(3) tata busana menggambarkan kehidupan rakyat sehari-hari;
41
(4) bahasa disesuaikan dengan lakon yang dipentaskan, dapat berupa bahasa
Jawa atau Madura;
(5) kidungan terdiri atas pantun atau syair yang bertema kehidupan sehari-hari;
(6) tampilan dikemas secara sederhana, dan sangat akrab dengan penonton.
D. Unsur-Unsur dalam Ludruk
Secara umum kesenian ludruk memiliki beberapa unsur pementasan yang harus
disiapkan yaitu :
1. Lakon ludruk
Lakon ludruk yang dipentaskan merupakan ekspresi kehidupan masyarakat
sehari – hari, ataupun peristiwa pada periode sejarah tertentu. Misalnya, lakon Pak
Sakerah dari Tampon Pajarakan (Bangil), terjadi pada zaman Belanda. Pak Sakerah
bekerja di pabrik tebu Kancil Mas Bangil, melawan penguasa Belanda yang
sewenang – wenang terhadap nasib Pak Sakerah.
2. Kidungan
Menurut James L Peacock, kidung merupakan nyanyian yang dibawakan
oleh penyanyi laki - laki yang menggunakan pakaian wanita dan pelawak, yaitu
berupa puisi yang mempunyai lirik dan diiringi irama musik Jawa Timur Jula – juli
dan diakhiri dengan sindian yang mendukung permasalahan yang sulit dipecahkan
sebagai klimaks puisi itu dalam cerita ludruk.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kidung berarti nyanyian; syair
yang dinyanyikan, sedangkan kidungan adalah nyanyian dengan lirik yang
melukiskan perasaan. Secara singkat kidung mempunyai makna yang lebih luas
42
yaitu berupa tulisan yang belum mendapatkan tambahan notasi, sedangkan
kidungan adalah kidung yang sudah diiramakan sebagai lagu.
Kidungan adalah gaya nembang khas Jawa Timuran yang unik, menggelitik,
jenaka, kadang penuh dengan sindiran halus ataupun secara terang-terangan, tidak
jarang berupa kritik yang membangun, memotivasi, dan tidak jarang juga berupa
ejekan. Pada kidungan inilah komunikasi tradisional dalam masyarakat dapat
terjadi. Dalam pertunjukan ludruk kidungan disajikan setelah tari Ngrema,
kidungan ini mengawali pertunjukan lakon cerita yang akan dipentaskan.
3. Dagelan
Dagelan merupakan tokoh lucu yang utama dalam ludruk. Para pemain
dagelan sangat mendominasi pertunjukan ludruk. Ludruk pada mulanya terdiri
tidak lebih dari seorang pemain dagelan yaitu besut. Tokoh pahlawan yang paling
terkenal dalam ludruk yakni Tjak Gondo Durasim yang juga seorang pemain
dagelan. Pemain dagelan merupakan tokoh yang oleh para penonton ludruk paling
dianggap sebagai “salah satu dari kami”. Istilah “salah satu dari kami” dapat
diartikan bahwa cerita yang dipentaskan dalam ludruk adalah kisah yang terjadi
pada kehidupan sehari – hari masyarakat. Keragaman cerita tersebut dapat mewakili
kisah – kisah dari masyarakat dengan lakon dan cerita sederhana. Hal ini
mendorong para pemain ludruk secara tidak langsung telah mewakili ciri dan kisah
hidup masyarakat secara umum.
Para pemain dagelan memainkan peran – peran bawahan seperti pembantu
atau buruh. Umumnya para dagelan menggunakan bahasa Jawa Ngoko (kasar)
43
dengan dialek Suroboyoan. Pemain dagelan mengenakan pakaian sederhana, yang
bersikap percaya akan tahayul, beringkah udik/kampungan dan tidak memiliki
uang. Pemain dagelan suka membuntut dibelakang majikannya dengan duduk di
lantai secara bercakap – cakap dengan penonton. Dialog pemain dagelan dengan
penonton dalam kesenian ludruk merupakan wujud ekspresi dan improvasi tentang
makna kehidupan sehari – hari.
Peranan lawak pada sandiwara ludruk tidak hanya menyajikan adegan
humor / lucu, tetapi mempunyai peran menentukan jalannya cerita. Latar belakang
budaya peranan lawak pada ludruk, bagaikan peranan Punakawan pada pertunjukan
wayang purwa. Jadi peranan lawak dalam ludruk sangat penting. Pelawak dalam
ludruk seringkali dilakukan oleh seniman ludruk yang sudah berpengalaman dan
sering pula dilakukan oleh seniman ludruk yang menjadi pengurus perkumpulan
ludruk.
4. Cerita Ludruk
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering
diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat
menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-
hari (biasanya) kalangan wong cilik. Perkembangan cerita ludruk sangat bervariasi.
Secara umum, terdapat sepuluh macam tema yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui perkembangan ludruk yaitu : (1) tema keindahan, meliputi
kegembiraan, keselarasanm dan keseimbangan unsur bentk pandangan yang
memunculkan kegembiraan, (2) tema cinta kasih, meliputi simpati, rasa senang,
kesetiaan, kebanggan, pengabdian, dan pembelaan, (3) tema keadilan yaitu meliputi
44
perlakuan, tindakan, perbuatan, perolehan secara benar, jujur, serta merata baik dari
Tuhan maupun dari manusia mengenai pelaksanaan kewajiban dan hakna, (4) tema
tanggung jawab dan pengabdian, yaitu kesadaran untuk berperan serta atau
melaksanakan tugas dan kewajiban berdasarkan norma dan moral (5) tema
penderitaan, meliputi siksaan batin atau jasmani yang disebabkan oleh faktor dari
dalam atau luar yaitu adanya penindasan, (6) tema harapan dan cita – cita yaitu
suatu dambaan dan keinginan yang terwujud akan kebutuhan dan kebahagiaan
hidup (7) tema kemerdekaan dan kebebasan, yaitu terlepasnya seseorang atau
kelompok masyarakat / bangsa dari tekanan / penindasan jasmani dan rohani dan
terlaksananya dengan baik hak asasi manusia (8) tema hawa nafsu, yaitu dorongan
emosional yang sangat kuat yang bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan
beradab (9) tema keyakinan, keimanan, kepercayaan meliputi kepercayaan yang
kuat berdasarkan wahyu Tuhan / agama, (10) tema pandangan hidup yaitu suatu
wawasan tentang pedoman hidup berdasarkan agama, moral dan kenegaraan.39
5. Pelawak
Pelawak adalah tokoh humor yang mampu menciptkan suasanaan
pementasan itu bisa hidup, dengan cara menyajikan adegan humor. Pelawak yang
kreatif adalah pelawak yang mampu menyajikan kritik sosial, yang dihiasi dengan
candaan / humor yang dapat menggelitik perasaan publik. “Kritikklah penguasa,
39 Edi Sugiri. Fungsi Bentuk, dan makna Kidungan Seni Ludruk paada Era
Reformasi: Suatu Kajian Etnolinguistik. (Surabaya: Universitas Airlangga, 2003).,
hlm.4
45
tetapi apa yang dikritik ikut tertawa”, demikian semboyan pelawak ludruk yang
baik.40
E. Makna dan Fungsi Ludruk
Pada zaman kolonial Belanda, ludruk dikenal sebagai media penyalur kritik
sosial kepada pemerintah. Kritik sosial ini ditampilkan melalui parikan (pantun),
berisi sindiran terselubung yang disebut besutan. Oleh karena itu, ludruk yang
mengandung sindiran disebut ludruk besat. Ludruk besut tidak hanya menyamarkan
kritik sosial, tetapi juga nama para pemain seperti Jumino, Ruswini, Singo gambar,
dan sebagainya. Permainan ludruk besut terdiri dari tandakan (menari bebas),
dagelan (lawak) dan besut. Ludruk ini belum mengenal cerita yang utuh, masih
berupa dialog yang dikembangkan secara spontan.
Pada zaman Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap
pemerintah. Ini tampak terutama dalam ludruk Cak Durasim yang terkenal dengan
parikan “Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara.” Dengan parikan
serupa itu Cak Duraim ternyata berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat
terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan
Jepang.
Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang
sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau pada
masa sebelumnya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial dan sebagai
40 Henricus Supriyanto. Postkolonial Pada Lakon Ludruk Jawa Timur.
(Malang: Banyumedia, 2012), hlm.2.
46
penyalur pesan kebijakan pemerintah. Selain itu ludruk juga digunakan sebagai
media promosi barang dagangan tertentu dengan sponsor tertentu. Fungsi dan
peranan ludruk dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pertunjukan Ludruk sebagai teater rakyat
Ludruk menyuguhkan cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, misalnya
cerita tentang kehidupan rakyat dari desa yang mencari pekerjan di kota
(urbanisasi), keluarga yang tidak harmonis (bercerai), putus cinta, dan lain
sebagainya. Ciri umum lakon – lakon kerakyatan yaitu (1) menceritakan kisah
hidup rakyat sehari – hari, (2) lakon cenderung mengalami perubahan dari waktu
ke waktu sesuai dengan kebutuhan pementasan dan situasi yang dihadapi saat itu.
2. Pertunjukan Ludruk sebagai sarana komunikasi pembangunan.
Ludruk mengangkat cerita-cerita kehidupan rakyat dan menggunakan
bahasa Jawa Timuran diiringi dengan musik gamelan dan kidungan. Ludruk
menekankan sesuatu yang baik melawan yang buruk, benar melawan salah dalam
setiap lakon yang dipentaskannya. Ludruk tidak hanya sebagai hiburan tetapi
masyarakat menganggap kesenian ludruk juga menyuguhkan tentang pembelajaran
moral dan sikap hidup. Pertunjukan ludruk dianggap sebagai cermin sebuah realita
kehidupan yang ada di sekeliling masyarakat.
Dalam setiap cerita ludruk dapat diisi dengan pesan-pesan pembangunan
melalui dialog atau kidungan. Misalnya pesan-pesan pembangunan yang dapat
menumbuhkan motivasi, melalui seni ludruk yang ikut serta dalam kegiatan
pembangunan melalui adegan lawakan (kidungan). Pelawak-pelawak ludruk yang
47
tidak melepaskan diri dari identitas sebagai rakyat merupakan “apa kesenian
ludruk” karena melalui para pelawak inilah jiwa dan pikiran rakyat dapat
ditampilkan melalui media seni.
3. Pertunjukan ludruk sebagai alat pendidikan
Sebagai alat pendidikan kesenian ludruk dapat mengajarkan moral bahwa orang
yang sabar dan menerima nasibnya akan mendapat kebahagiaan, kemulian dan
pahala di kemudian hari. Contoh, dalam cerita Ande-Ande lumut yang serig-
dipentaskan kesenian ludruk di desa desa.
Pesan cerita ludruk sebagai alat pendidikan mempunyai peran besr untuk anak -
anak desa yang tidak memiliki kesempatan bersekolah. Selain dalam bentuk cerita,
pendidikan dan nasehat yang disampaikan melalui pertunjukan ludruk bisa melalui
kidungan.
4. Pertunjukan ludruk sebagai media perjuangan
Pada masa penjajahan, ludruk berperan untuk penanaman jiwa persatuan
dan kesatuan, menyuarakan semangat nasional demi kemerdekaan bersama. Ludruk
sebagai media perjuangan pada zaman Belanda dan Jepang diwujudkan dalam
bentuk cerita Untung Suropati dan Sawunggaling. Ludruk sebagai alat perjuangan
pada masa kemerdekaan untuk lebih memperkuat rasa persatuan dan kesatuan serta
semangat nasionalisme.
48
5. Pertunjukan Ludruk sebagai kritik sosial.
Untuk menjaga agar norma-norma yang berlaku di masyarakat dapat
dijalankan, ludruk dapat digunakan sebagai alat pengendalian sosial melalui cerita-
cerita atau kidungan yang berisi tentang penyelewengan terhadap kepatuhan,
aturan, disiplin dan lain sebagainya yang seharusnya tidak untuk dilanggar. Jika
ditemui hal-hal yang telah melanggar norma-norma dalam masyarakat, maka
ludruk dapat membuat kritikan dengan menggunakan kritik halus melalui kidungan
yang lebih mengena kepada masyarakat. Dan yang menerima kritik itu dapat
menerima dengan positif.
F. Keberadaan Ludruk di Surabaya
Ludruk berkembang di wilayah budaya Arek, yakni Surabaya, Jombang,
Malang, Gresik, Sidoarjo, dan Kediri, serta sebagain Blitar. Keberadaan kali
(bengawan/sungai) Brantas tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran budaya Arek.
Budaya arek berada di sisi timur kali Brantas, mulai dari Kediri dan perbatasan
dengan Blitar hingga Malang, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik hingga
Surabaya.
Di Jawa Timur khususnya di wilayah Surabaya banyak seniman-seniman
ludruk yang terkenal baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan
(1945-sekarang). Sebelum kemerdekaan dikenal seorang tokoh ludruk yang sampai
hari ini namanya tetap diabadikan karena keberaniannya dalam membawakan syair-
syair (parikan) dan kidungan dalam pertunjukan ludruk yang mengkritik
pemerintahan Jepang yang sedang menjajah dan berkuasa di Indonesia pada saat itu
49
yaitu Cak Gondo Durasim. Taman Budaya Cak Durasim di Surabaya adalah nama
yang diambil dari tokoh ludruk tersebut. Sezaman dengan masa perjuangan Dokter
Soetomo di bidang politik yang mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya) pada
tahun 1933, seniman ludruk, Durasim, telah mendirikan perkumpulan Ludruk
Organisatie (LO).
Ludruk amat terkenal pada zaman Jepang karena kidungnya berani
menyindir pemerintah Jepang. Kidungan jula-juli, yang dimaksud berbunyi sebagai
berikut : Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara (Pegupon rumah
burung dara, ikut Nippon tambah sengsara). Akibat kidungan di atas, Durasim dan
kawan-kawan sewaktu mengadakan pertunjukkan di Desa Mojorejo (Kabupaten
Jombang) di tangkap oleh pihak penguasa Jepang yang selanjutnya mereka di
masukkan ke dalam penjara.Sesudah dikeluarkan dari penjara, Durasim meninggal
dunia pada Bulan Agustus 1944.41
Cak Durasim adalah seorang rakyat jelata putera Surabaya asli yang berjiwa
patriot, jasanya besar sekali karena dari tahun 1931 – 1942, Durasim selalu ikut
menyebarkan semangat persatuan dan turut pula menyebar jiwa nasionalisme. Cak
Durasim terkait erat dengan sejarah berdirinya gedung nasional Indonesia di
Bubutan Surabaya, kemudian memegang peranan penting dalam memberi
penerangan propaganda kepada rakyat di beberapa tempat.
41 Henri supriyanto, Lakon Ludruk Jawa Timur, (Jakarta: Gramedia.1992).
hlm.13.
50
Pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, seni ludruk
tumbuh pesat di Kota Surabaya.Dari sekian banyak grup ludruk yang berdiri pada
waktu itu salah satunya yang terkenal adalah grup Ludruk Marhaen dengan tokoh-
tokohnya seperti Rukun Astari, Cak Wibowo, dan Cak Samsudin. Menurut data
statistic di Kanwil kebudayaan Departemen PPDK Tingkat I Surabaya, pada tahun
1963 di Jawa Timur terdaftar ada 549 organisasi atau perkumpulan ludruk.
Seiring dengan perkembangan jaman dan situasi politik di Indonesia, ludruk
di Jawa Timur khususnya di wilayah Surabaya mengalami pasang surut dalam
pertumbuhannya.Seni ludruk di Surabaya sempat mengalami kevakuman pada
tahun 1965 – 1968, baru terlihat bangkit kembali setelah situasi ekonomi dapat
dikendalikan. Pada masa orde baru tercatat beberapa grup ludruk terkenal di Kota
Surabaya di antaranya Ludruk Trisakti dengan utamanya Cak Meler, Ludruk RRI
dengan utamanya Cak Markuat, Cak Markaban, Cak Sidik, dan Cak Kartolo,
Ludruk Gema Tribata dengan utamanya Cak S Tawa.
Namun mulai tahun 1990-an keberadaan seni ludruk khususnya di Surabaya
cenderung mengalami penurunan, baik dalam prosentasi pertunjukannya maupun
dari segi peminatnya (masyarakat penonton), apresiasi masyarakat terhadap ludruk
terutama generasi muda terus merosot. Diakui atau tidak, seni pertunjukkan ludruk
merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan tradisonal yang menjadi “korban”
perubahan selera berkesenian dan selera public terhadap jenis tontoan dan hiburan.
Ludruk mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1980-an.
Berdasarkan data pada Sub Dinas Kebudayaan Departemen P&K Provinsi Jawa
Timur, jumlah Group ludruk sebagai berikut:
51
Tabel 1. Jumlah Group Ludruk 1980an
Tahun Jumlah
1984-1985
1985-1986
1986-1987
1987-1988
789
771
621
525
Sumber: Bid. Kesenian, Kanwil Dep. P &K Provinsi Jawa Timur
Berbeda dari era tahun 1960-an dan 1980-an, kesenian tradisonal masih
berjaya, saat ini ludruk tidak lagi mendapatkan tempat dihati public.Hati
masyarakat telah dirampas oleh produk-produk kesenian modern atau pop.Menurut
Sidik Wibisono, meskipun grup-grup kesenian ludruk sampai sekarang tercatat
masih banyak yang tetap berdiri, tetapi seniman hampir tidak pernah pentas karena
tidak ada yang menanggap. Cak Kartolo (Periode tahun 1960-an sampai sekarang),
peranan dan kehadirannya sangat banyak memberikan kontribusi positif dalam
menjaga serta memelihara kesenian ludruk di Jawa Timur, terutama dalam
melestarikan kidungan jula-juli gaya Surabayaan.