71
Bab Lima
Hasil Dan Pembahasan
Modal Sosial Dalam Ritus Manuba Ba Adat
Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan akan kedekatan
dengan yang lain tentunya didasari oleh faktor kepentingan, baik
kepentingan individu maupun demi kepentingan bersama, sehingga
interaksi yang terjadi akan menghasilkan modal sosial yang ada
didalam masyarakat sebagai suatu komunitas. Dalam konteks
masyarakat adat, modal sosial juga dipakai sebagai modal penguat
masyarakat dalam mendukung keberlanjutan kehidupan. Dalam
prosesnya keberlanjutan kehidupan masyarakat adat tidak lepas dari
partisipasi masyarakat itu sendiri.
Fukuyama (2002), mendefinisikan modal sosial sebagai
serangkaian nilai atau norma-norma formal yang dimiliki bersama di
antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya
kerjasama antara mereka. Nilai dan norma informal tertentu yang
dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial yang di masyarakat sebagai
dasar yang mendorong mereka menjalin kerjasama. Hal tersebut dapat
terlihat dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat yang dilakukan oleh
masyarakat Dayak Tomun Lamandau, di mana memperlihatkan modal
sosial yang dimiliki oleh masyarakat sebagai komunitas adat ketika
prosesi dari ritus Manuba Ba Adat berlangsung dan peran aktor sebagai
pendukung eksistensi kegiatan ritus. Berikut merupakan pembahasan
mengenai modal sosial yang terdapat dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat dan bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dan peran manter
adat serta panitia ritus dalam mendukung kegiatan dan keberlanjutan
dari ritus Manuba Ba Adat.
72
Peran Manter Adat dan Panitia
Peran Manter Adat dalam mempertahankan eksistensi ritus
Manuba Ba Adat menjadi point yang sangat penting dalam tulisan ini.
Manter adat merupakan pimpinan atau ketua adat tingkat desa. Manter
adat adalah sebutan bagi seseorang karena kemampuan dan
keahliannya di bidang adat dan hukum adat. Tugas Manter adat adalah
melakukan pembinaan, pelestarian dan penegakan adat-istiadat,
dengan demikian seorang Manter adat betul-betul menguasai adat-
istiadat dan hukum adat pada tingkat desa. Dalam konteks masyarakat
adat peran manter adat selaku pemimpin adat mempunyai posisi yang
sangat penting. Menurut Riwut (2003: 91), masyarakat Dayak sangat
taat dan setia kepada pimpinan adat yang sudah mereka akui. Untuk
mendapatkan pengakuan dari masyarakat adat seorang pemimpin harus
benar-benar mengayomi dan mengenal masyarakatnya.
Dalam ritus Manuba Ba Adat, peran manter adat selaku
pemimpin upacara adat menjadi sangat penting karena manter adatlah
yang akan memimpin ritus dan mengkoordinir panitia sehingga
kegiatan ritus dapat berjalan dengan baik. Selain memimpin kegiatan
ritus, manter adat juga akan mengawasi berjalannya prosesi Manuba Ba Adat dari awal hingga akhir kegiatan ritus.
Selum kegiatan ritus Manuba Ba Adat berlangsung, manter
adat akan mengumpulkan ketua-ketua RT yang akan ikut berpartisipasi
dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Dalam pertemuan tersebut
manter adat akan memberi mandat kepada setiap ketua RT untuk
menarik iuran terhadap masyarakat yang berada dimasing-masing RT.
Iuran tersebut berupa: iuran akar tuba yang akan dipakai dalam
kegiatan pada hari pelaksanaan ritus, iuran uang untuk membeli ayam
dan babi yang akan dipakai sebagai sesaji, iuran tuak sesuai dengan
kemampuan. Biasanya masyarakat yang berpartisipasi akan memberi
tuak dengan takaran satu botol aqua ukuran sedang per perahu.
Begitupun dengan iuran yang lainnya, masing-masing perahu satu kali
iuran yang sudah termasuk hal-hal di atas.
73
Partisipasi dan Modal Sosial Masyarakat Dalam Kegiatan Ritus
Manuba Ba Adat
Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat, masyarakat yang wajib
ikut berpartisipasi merupakan masyarakat Desa Batu Tunggal.
Sedangkan beberapa masyarakat yang berada di luar Desa Batu Tunggal
seperti masyarakat Nanga Koring, Toka, Sepondam dan Merambang
tidak diwajibkan untuk ikut berpartisipasi, akan tetapi beberapa dari
masyarakat yang berada diluar Desa Batu Tunggal ini ada yang ikut
berpartisipasi. Untuk melihat modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang berada di Desa Batu
Tunggal maka penulis hanya menggunakan tiga unsur modal sosial,
yaitu kepercayaan, kerjasama dan norma. Menurut Fukuyama (2005),
modal sosial dapat diartikan sebagai nilai atau norma yang dimiliki
bersama oleh suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama diantara
mereka dan unsur penting dalam modal sosial adalah trust atau
kepercayaan, yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama
dalam kelompok masyarakat. Berdasarkan pemikiran Fukuyama, maka
modal sosial dalam konteks masyarakat Dayak Tomun Lamandau
adalah sebagai berikut;
a. Kepercayaan
Unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust) yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok
masyarakat. Kepercayaan (Trust) dapat mendorong seseorang untuk
bekerjasama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun
tindakan bersama yang produktif. Fukuyama (2002: 24) mendefinisikan
kepercayaan sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran,
perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang
didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota
komunitas-komunitas itu.
Dalam pelaksanaan ritus Manuba Ba Adat, kepercayaan ini terlihat
dalam interaksi yang terjadi antara sesama masyarakat selaku peserta
dari ritus Manuba Ba Adat dan kepada para tetua adat khususnya
Manter Adat. Kepercayaan tersebut melahirkan kerjasama dalam
74
mendukung keberlangsungan dari prosesi ritus Manuba Ba Adat dan
mematuhi norma-norma yang berlaku secara adat.
Bentuk dari kepercayaan ini terlihat dalam ikut berpartisipasinya
masyarakat Desa Batu Tunggal secara kolektif mulai dari perencanaan
sampai pelaksanaan dari kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Aksi kolektif
ini terlihat dalam berpartisipasinya seluruh masyarakat yang berada di
Desa Batu Tunggal dan juga beberapa sekolah yang berada di Desa Batu
Tunggal memutuskan untuk meliburkan siwanya untuk ikut
berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Berdasarkan wawancara dengan saudara Eby Martoni, Masyarakat
berpartisipasi secara kolektif dikarenakan mereka merasa bahwa
mereka merupakan bagian dari komunitas adat yang berada di Desa
Batu Tunggal sehingga mereka merasa wajib untuk ikut terlibat dalam
setiap kegiatan ritus yang diadakan di Desa Batu Tunggal termasuk
kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Masyarakat percaya jika mereka
mengadakan kegiatan ritus Manuba Ba Adat maka akan turun hujan
karena kegiatan ini merupakan ritus meminta hujan dan juga
merupakan rentetan dari ritus Manugal. Berikut kutipan
wawancaranya:
“kami ikut terlibat dalam kegiatan ritus ini karena ini adalah kegiatan adat yang sudah ada sejak jaman nenek moyang dulu jadi selain untuk melestarikan warisan nenek moyang, ritus ini harus dilakukan supaya hujan turun dan ladang menjadi subur karena kegiatan ini merupakan rentetan dari ritus manugal”
b. Kerjasama atau gotong royong
Fukuyama (2002) berpendapat bahwa unsur terpenting dalam
modal sosial adalah kepercayaan (trust) yang merupakan perekat bagi
langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan
kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih
efektif.
Sikap saling percaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Tomun
lamandau merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalin
75
kerjasama. Kerjasama yang terjadi dalam kegiatan ritus ini adalah
seperti bekerjasama dalam mendirikan balai, menyediakan tuak,
menyediakan lomang (ketan yang dimasak didalam bambu), iuaran
untuk sesaji, mencari tiang pantar di sungai, mencari bambu untuk
dijadikan gelas.
c. Norma
Norma merupakan kesepakatan bersama yang berperan untuk
mengontrol dan menjaga hubungan antara individu dengan individu
lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Norma-norma masyarakat
merupakan patokan untuk bersikap dan berperilaku secara pantas yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yang mengatur
pergaulan hidup dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib
(Soerjono Soekanto, 2002: 198). Menurut Coleman (2011), norma
biasanya dibangun, tumbuh, dan dipertahankan untuk memperkuat
masyarakat itu sendiri. Norma-norma sosial diciptakan secara sengaja.
Dalam pengertian bahwa orang-orang yang memprakarsai/ikut
mempertahankan suatu norma merasa diuntungkan oleh kepatuhannya
pada norma dan merugi karena melanggar norma.
Dalam pelaksanaan ritus Manuba Ba Adat, norma yang berlaku di
masyarakat adalah norma yang tidak tertulis akan tetapi dipahami dan
dipatuhi oleh seluruh masyarakat adat yang berada di Desa Batu
Tunggal. Norma tersebut berupa larangan seperti adanya larangan yang
harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat, di mana dilarang mencari ikan
dengan menggunakan akar tuba jika tidak ada kegiatan Manuba Ba Adat dan juga dalam pelaksanaan prosesi ritus Manuba Ba Adat, larangan yang dikeluarkan adalah dilarang membuang air kecil,
meludah dan mengeluarkan perkataan yang kotor dan kasar di sungai.
Sistem larangan tersebut dalam konteks masyarakat lokal dikenal
dengan sebutan pamali. Sistem pamali ini adalah larangan yang sudah
ada sejak nenek moyang dahulu yang diturunkan secara turun temurun
lewat tutur yang akhirnya disampaikan oleh manter adat kepada
masyarakat adat selaku peserta dari ritus Manuba Ba Adat tersebut.
Larangan ini merupakan larangan yang tidak tertulis, akan tetapi dalam
pelaksanaannya masih dituruti oleh masyarakat karena mereka masih
76
percaya akan adanya tulah1. Berdasarkan hasil temuan dilapangan, ada
beberapa jenis pamali yang mempunyai makna dan maksud untuk
menjaga lingkungan, dapat dijelaskan secara rasional dan dalam
konteks sekarang disebut sebagai sistem konservasi, walaupun juga ada
beberapa larangan yang tidak bisa dijelaskan dalam kerangka ilmiah.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Tomun
Lamandau yang berada di Desa Batu Tunggal adalah tipe modal sosial
yang mengikat (Bonding Social Capital). Menurut Hasbullah (2006),
Modal sosial terikat (Bonding Social Capital), merupakan modal sosial
yang terbentuk akibat adanya rasa percaya antar kelompok orang yang
saling mengenal. Ciri khas dari modal sosial terikat yakni anggota
kelompok maupun kelompok dalam konteks ide, relasi dan perhatian
lebih berorientasi kedalam (inward looking), dengan ragam masyarakat
yang homogenius. Fokus perhatiannya adalah menjaga nilai-nilai yang
turun temurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata
perilaku dan perilaku moral dari entitas sosial tersebut, umumnya
mereka konservatif (Supomo, 2011).
Praktik Merawat Lingkungan Dalam Ritus Manuba Ba Adat
Masyarakat Dayak memiliki konsep religi yang dikenal dengan
Agama Kaharingan. Mereka percaya bahwa roh-roh nenek moyang
bersemayan di pohon, gua, batu dan hutan,sehingga dalam melakukan
segala sesuatu masyarakat biasanya akan memberikan sesaji untuk
meminta ijin kepada roh-roh nenek moyang jika mereka hendak
melakukan segala sesuatu seperti mengadakan ritual adat, menebang
pohon atau hendak membuka lahan untuk berladang. Dengan konsep
keyakinan tersebut membuat masyarakat Dayak sanggup menjaga
keharmonisan antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan roh-roh nenek moyang, hubungan manusia dengan
sesama dan hubungan manusia dengan alam dan segala isinya. Oleh
karena adanya multi hubungan tersebut membuat masyarakat Dayak
1 Tulah adalah akibat yang akan didapat ketika melanggar suatu larangan yang ada.
77
sangat patuh terhadap norma adat yang berlaku, sehingga masyarakat
Dayak sangat menghormati sesama dan sangat menghormati alamnya.
Bentuk ketaatan masyarakat Dayak terhadap alam tertuang dalam
bentuk ketaatan mereka terhadap mengelola lingkungan alam mereka.
Dalam konteks ritus Manuba Ba Adat, masyarakat Dayak
Tomun Lamandau memiliki modal sosial yang menghasilkan habitus
merawat lingkungan yang tertuang dalam sistem pamali yang dimiliki
dan diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Handoyo (2012: 72), Habitus merupakan wahana bagi kelompok sosial
untuk menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda,
yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur sosial.
Habitus yang dimiliki masyarakat inilah yang membedakan
kegiatan Manuba masyarakat adat yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Batu Tunggal dengan masyarakat yang lain. Bentuk dari habitus
tersebut adalah masih diberlakukannya norma dan aturan adat yang
tertuang dalam sistem pamali. Dalam praktiknya, kegiatan ritus
Manuba Ba Adat diatur oleh norma-norma adat yang tertuang dalam
larangan (Pamali), seperti dilarang manuba jika tidak ada waktu
Manuba Ba Adat. Berikut merupakan beberapa larangan atau pamali
yang berhubungan dengan prosesi ritus Manuba Ba Adat, yaitu:
a. Larangan sembarang manuba
Dalam masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang berada di
Desa Batu Tunggal, ada larangan yang diberikan mengenai kegiatan
Manuba Ba Adat, yaitu masyarakat dilarang secara adat untuk tidak
sembarangan Manuba jika tidak ada kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Dalam konteks sekarang sistem ini merupakan konsep konservasi
yang sudah diterapkan oleh masyarakat Dayak Tomun Lamandau
sejak jaman nenek moyang dan pengetahuan ini diturunkan secara
lisan dari satu generasi ke generasi yang lebih muda.
Ritus Manuba Ba Adat yang biasanya hanya dilaksanakan sekali
dalam setahun yaitu pada masa ketika masyarakat selesai Menugal. Berdasarkan fakta di lapangan, kenyataannya adalah sudah banyak
masyarakat yang sudah tidak mematuhi larangan ini. Hal ini
78
dikarenakan banyaknya pendatang yang datang ke Kalimantan
khususnya daerah Kabupaten Lamandau sehingga ketika musim
kemarau tanpa mengenal waktu masyarakat yang sudah tidak
memahami tentang sistem pamali ini akan melakukan kegiatan
manuba. Kegiatan manuba yang dilakukan dengan sembarangan
tanpa adanya norma adat yang berlaku biasa disebut dengan
Manuba Ilegal yaitu kegiatan Manuba yang biasanya dilakukan oleh
masyarakat di mana dalam pelaksanaannya tidak ada kordinasi yang
jelas dan pesertanya juga hanya ± sekitar 4-8 orang saja. Kegiatan ini
biasanya dilakukan spontan dan masyarakat biasanya hanya fokus
pada mencari ikan. Akar tuba yang dipakai biasanya dicampur
dengan bahan kimia lainnya seperti racun hama, petisida, tiodan,
potas dan decis. Kegiatan ini biasanya dilakukan di danau atau
kolam. Masyarakat yang ikut serta dalam Manuba ilegal ini biasanya
adalah masyarakat pendatang dan juga beberapa masyarakat lokal
yang sudah tidak begitu memahami tentang pengetahuan lokal dan
adat istiadat mereka.
Berbeda dengan masyarakat adat yang berada di Desa Batu
Tunggal, mereka masih mematuhi sistem pamali ini, hal ini
dikarenakan masyarakat masih percaya terhadap akibat yang akan
mereka terima jika mereka tidak mengikuti larangan ini. Dalam hal
mencari ikan biasanya masyarakat masih menggunakan peralatan
tradisional dalam menangkap ikan seperti menggunakan jala
(Menyala), menyuar2, menajur, memancing (Memancig’ng),
Menengkala’3, bubu4, memukat5, Menanghu’6, Mangap’m7,
Nyelabu8.
2 Menyuar artinya mencari ikan dengan cara menombak. Kegiatan mencari ikan dengan cara menyuar biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu penerangan seperti senter, obor dan lampu suar. 3 Mencari ikan dengan cara memasang anyaman bambu yang kurang lebih menyerupai botol raksasa, di mana bagian yang satu lebih besar dari pada bagian ujung yang lain. Bagian ujung tertutup oleh bambu yang menyerupai helai-helai, sebagai jalan masuk ikan. Ujung dari anyaman bambu ini selalu menghadap kearah hulu sungai. 4 Mencari ikan dengan cara memasang perangkap ikan yang telah dianyam dari bambu dan di dalamnya sudah diberi umpan. Bubu biasanya dipasang dengan cara bagian yang telah diberi umpan dipasang menghadap kehilir.
79
b. Larangan tentang membuang ampas tuba.
Dalam pelaksanaan ritus Manuba Ba Adat, akar tuba
yang sudah dipukul dan diperas akan meninggalkan ampas
dan ampas ini bagi masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang
berada di Desa Batu Tunggal disebut sebagai ampas tuba.
Ampas tuba yang sudah diperas tersebut tidak boleh dibuang
sembarangan. Masyarakat biasanya akan membawa ampas
tuba tersebut ke ladang mereka dan ampas tersebut akan
dijemur dan kemudian dibakar di ladang. Fungsi dari ampas
tuba yang dibakar ini adalah bisa mengusir segala macam
hama yang akan mengganggu tanaman yang ada di ladang.
Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugianto (1984) mengenai ekstrak dari akar tuba. Menurutnya
akar tuba yang telah dikeringkan dapat digunakan sebagai
insektisida alami.
Selain yang sudah dipaparkan di atas, masyarakat Dayak
Tomun Lamandau juga mempunyai pengetahuan lokal yang
berhubungan dengan merawat lingkungan yang dipraktikkan dalam
ritus Manuba Ba Adat, seperti pengetahuan masyarakat tentang waktu
ikan memijah. Tanpa sadar masyarakat Dayak Tomun Lamandau
sebenarnya mempunyai pengetahuan yang sudah diturunkan oleh
nenek moyang mengenai karakteristik ikan yang berada di Sungai.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh
Mackinnon dkk (2000) di beberapa sungai di Kalimantan, yaitu
sebelum musim penghujan yang akan tiba pada bulan Oktober, biasa-
5 cara mencari ikan dengan cara memasang nilon yang telah dianyam terlebih dahulu dengan berbagai ukuran, nilon ini dipasang atau direntangkan di sungai yang arusnya agak tenang. Fungsinya untuk menghadang ikan. 6 cara menangkap ikan dengan menggunakan rotan yang sudah dianyam berbentuk cekung, kemudian alat ini digunakan untuk menggiring ikan supaya mudah untuk ditangkap. Nama alat yang digunakan adalah tanghu’. 7 Menangkap ikan dengan cara diraba menggunakan tangan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat musim kemarau atau pada waktu air sungai sedang dangkal. 8 Cara menangkap ikan dengan menombak. Nama alat yang digunakan adalah tembulig’ng.
80
nya ikan akan menuju anak sungai yang lebih kecil dan terus ke
daratan menuju tempat yang akan terlanda banjir untuk memijah dan
mencari makan. Biasanya telur akan menjadi masak dengan cepat dan
dapat menetas dalam waktu beberapa hari. Ketika anak-anak ikan
menetas, hal ini akan bertepatan pada ledakan pertumbuhan ganggang
yang merupakan produktivitas tumbuhan dan binatang invertebrata
setelah banjir. Berdasarkan pemikiran Mackinnon, maka dapat
disimpulkan bahwa ketika ritus Manuba Ba Adat dilaksanakan tidak
akan membunuh anak-anak ikan, dan berdasarkan beberapa
wawancara, kegiatan ritus Manuba Ba Adat tidak mempengaruhi
jumlah ikan yang mereka tangkap karena menurut mereka ikan yang
selama ini mereka dapatkan dari hasil di sungai masih cukup untuk
menenuhi kebutuhan konsumsi ikan mereka.
Hal ini didukung oleh Data Bappeda (2012, bab 4), Kegiatan
penangkapan ikan di Sungai Bulik dan sungai-sungai kecil lainnya di
kawasan Kabupaten Lamandau oleh nelayan dilakukan dengan
mengikuti keadaan musim ikan, di mana musim ikan di daerah ini
sangat ditentukan oleh kondisi ketinggian muka air dalam satu
tahunnya. Makin lama ketinggian muka air dalam satu tahun atau
musim penghujannya lebih banyak daripada musim kemarau maka
produksi ikan yang ada di sungai juga akan besar. Karena daerah
tangkapan (catchment area) disepanjang sungai menjadi lebih luas,
ikan mempunyai kesempatan yang besar untuk melakukan pemijahan
pada musim penghujan tersebut dengan tingkat fekunditas yang besar
pula kalau dibandingkan dengan ikan melakukan pemijahan di musim
kemarau. Daerah untuk pemeliharaan (nursery ground) bagi anak ikan
yang baru dipijahkan juga menjadi banyak. Tempat untuk mencari
makan (feeding ground) menjadi luas dan lebih banyak tersedia,
terutama di sekitar daerah sekitar sungai yang merupakan daerah rawa
banjiran dan rawa, ketiga faktor tersebut akan sangat mendukung akan
tinggi jumlah stok/populasi ikan di daerah ini.
81
Peran Ritus Manuba Ba Adat dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Dalam konteks keberlanjutan kehidupan masyarakat adat dan
lingkungannya, kearifan lokal dari ritus Manuba Ba Adat memberikan
kontribusi dalam memberikan pengetahuan tentang sistem konservasi
secara adat. Hal ini sejalan dengan pemikirannya Siswadi (2010),
menurutnya kearifan lokal merupakan modal sosial dalam
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sehingga
perlu untuk dikaji dan ditempatkan pada posisi strategis untuk
dikembangkan menuju pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
kearah yang lebih baik. Melihat peran kearifan lokal dalam konteks
pembangunan berkelanjutan Syafa’at (2008) menegaskan bahwa sistem
kearifan lokal masyarakat adat sangat diperlukan untuk memberikan
masukan yang sangat penting untuk mengembangkan pembangunan
berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sistem kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat
merupakan nilai-nilai dari pengetahuan lokal masyarakat yang
diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Dalam
konteks keberlanjutan ekologi masyarakat Dayak Tomun Lamandau,
praktik merawat lingkungan terlihat dalam interaksi yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, seperti adanya sistem Pamali (Larangan),
dan juga terlihat dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Praktik
merawat lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat Dayak
merupakan hubungan mutualisme antara manusia dan alamnya
sehingga keberlanjutan ekologi dalam konteks masyarakat lokal dapat
terjalin dengan baik dan dapat menunjang kehidupan mereka.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh
Pattinama (2009), dalam penelitian yang dilakukan di Pulau Buru dan
di Daerah Surade. Hasil penelitiannya adalah meskipun kearifan lokal
tidak mengenal istilah konservasi, secara turun-temurun ternyata
mereka sudah mempraktikkan aksi pelestarian terhadap tumbuhan dan
hewan yang cukup mengagumkan. Misalnya masyarakat menentukan
suatu kawasan hutan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-
82
sama. Kearifan lokal seperti itu telah terbukti ampuh menyelamatkan
suatu kawasan beserta isinya dengan berbagai bentuk larangan yang
disertai dengan sanksi adat bagi yang melanggarnya. Bagi mereka yang
melanggar ketentuan tersebut akan dikenai denda yang besarnya
ditetapkan oleh kepala adat setempat. Kearifan lokal akan menjamin
keberhasilan karena di dalamnya mengandung norma dan nilai-nilai
sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseim-
bangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan
kebutuhan manusia. Begitu juga dengan budaya sasi kelapa yang
diterapkan di Desa Ngilngof, Maluku Tenggara. Budaya Sasi Kelapa
merupakan bagian dari kearifan lokal mengenai konsep konservasi. Sasi
merupakan sistem “larangan” yang bersifat melindungi sesuatu atau
hasil tertentu dalam batas waktu tertentu dan diberlakukan dengan
tanda tertentu dan mempunyai sifat atau ketentuan hukum yang
berlaku untuk umum. Sasi kelapa adalah salah satu bagian dari sasi
darat yang dilakukan pada sumberdaya alam di darat. Sasi dimaksudkan
untuk mengatur perilaku masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya alam di sekitar mereka. Berdasarkan temuan di lapangan
oleh Renjaan dkk (2013), budaya sasi dapat berjalan dengan baik
karena adanya partisipasi dan kesadaran masyarakat lokal terhadap
hubungan harmonis mereka terhadap alam, selain itu adanya sanksi
adat yang diberlakukan dan dipatuhi oleh masyarakat walaupun
hukum yang berlaku masih merupakan hukum lisan.
Hal serupa juga terjadi di Desa Torosiaje, dalam kehidupan
manusia bermasyarakat dikalangan masyarakat Bajo telah tumbuh
tradisi yang diwarisi secara turun temurun, misalnya yang berlaku bagi
masyarakat pesisir dan ternyata cukup efektif dalam mengelola
sumberdaya alam, serta upaya pelestarian ekosistem laut dari aktivitas
yang bersifat destruktif dan merusak. Tradisi, kebiasaan atau perilaku
ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan kedekatan manusia dengan
alam sekitarnya dan tantangan yang dihadapinya. Ini merupakan
kearifan lokal yang mewarnai kehidupan masyarakat. Kearifan lokal
(local wisdom) dipandang sebagai tindakan dan sikap manusia terhadap
sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Substansi kearifan lokal adalah berlakunya nilai-nilai yang diyakini
83
kebenarannya oleh suatu masyarakat dan mewarnai perilaku hidup
masyarakat tersebut. Tindakan nyata, sikap dan perilaku manusia
terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian
ekosistem adalah bagian dari kecerdasan ekologis suatu masyarakat.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kecerdasan ekologis
masyarakat Bajo tampak dalam tradisi melaut mamia kadialo,
pengelolaan permukiman, perilaku dalam memperoleh hasil tangkapan
dan pengetahuan masyarakat tentang gejala alam laut dan pesisir.
Diharapkan nilai-nilai ini dapat direkonstruksi dan disosialisasikan
sehingga menjadi identitas masyarakat pesisir lainnya (Utina, 2012).
Analisa Kritis
Dalam analisa kritis, penulis hendak memaparkan tentang
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat mengenai sistem
pengetahuan lokal masyarakat tentang konservasi yang tertuang dalam
kegiatan ritus Manuba Ba Adat jika dihadapkan pada realitas
pembangunan yang terjadi di Kalimantan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan ada tiga pilar
utama yang harus diperhatikan dan harus memiliki porsi yang
seimbang yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Akan tetapi
berdasarkan realitasnya sangat sulit untuk membagi porsi yang sama
terhadap ketiga aspek yang telah ditawarkan dalam konteks
pembangunan yang berkelanjutan tersebut. Hal ini dapat terlihat
dalam konteks Kalimantan, di mana pembangunan ekonomi dengan
sasaran utama pada pertumbuhan ekonomi masih terlihat dominan,
contohnya menjamurnya perusahaan HTI9 dan perkebunan kelapa
sawit. Dampak yang sudah dapat dirasakan oleh masyarakat lokal
adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat dari aktifitas
ekonomi tersebut, seperti tercemarnya sungai dan danau akibat dari
limbah yang dihasilkan. Menurut Mackinnon dkk (2000:3),
pencemaran sungai karena pembukaan hutan, limbah industri, limbah
rumah tangga dari penambangan emas tanpa ijin, telah menyebabkan
9 Hutan Tanam Industri
84
banyak sungai menjadi tercemar dan dapat menyebabkan kerugian
sebagian sumber daya ikan. Menurutnya pembangunan di Kalimantan
dapat menyebabkan keuntungan ekonomi jangka pendek jika tanpa
adanya perencanaan yang seksama karena dampak dari keuntungan
ekonomi ini adalah kerusakan lingkungan jangka panjang.
Dalam konteks masyarakat Dayak Tomun Lamandau, praktik
merawat lingkungan yang tertuang dalam ritus Manuba Ba Adat sangat
memberi kontribusi dalam keberlanjutan ekologi, akan tetapi dengan
adanya sistem pertanian modern yang sudah tidak menggunakan
pupuk organik membuat air menjadi terkontaminasi sehingga
keberlanjutan ekologi khususnya ikan menjadi terganggu. Sehingga
ketersediaan ikan hanya cukup untuk konsumsi sendiri. Menurut
masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang berada di Desa Batu
Tunggal, ketersediaan ikan yang berada di Sungai Bulik sangat cukup
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi ikan mereka, akan tetapi
berdasarkan dinas perikanan, ketersediaan ikan sudah tidak mencukupi
kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan ikan yang dihasilkan
bukan hanya untuk konsumsi pribadi saja tetapi juga untuk diperjual
belikan.
Dilema yang dialami oleh masyarakat Dayak dalam
mempertahankan eksistensi pengetahuan lokal dalam merawat
lingkungan tidak terlepas dari sistem ekonomi dualistik yang sejak
dahulu sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat Indonesia.
Menurut Boeke (1971), Sistem ekonomi dualistik adalah suatu
masyarakat yang mengalami 2 macam sistem ekonomi yang saling
berbeda dan berdampingan sama kuatnya di mana sistem ekonomi
yang satu adalah sistem ekonomi yang masih bersifat tradisional yang
dianut oleh penduduk asli dan sistem ekonomi lainnya adalah sistem
ekonomi yang diimpor dari barat yang telah bersifat kapitalistik atau
mungkin telah dalam bentuk sosialisme atau komunisme. Kedua sistem
ekonomi tersebut hidup saling berdampingan secara kuat dan bukan
dalam bentuk transisional. Oleh karena kedua sistem ekonomi tersebut
lebih menyangkut dua bentuk masyarakat yaitu masyarakat asli
indonesia dan masyarakat barat dan atau yang telah dipengaruhi oleh
85
barat maka lebih tepat disebut masyarakat yang bersifat dualistik atau
dual society.
Belajar dari pengalaman beberapa masyarakat adat mengenai
mempertahankan eksistensi dan merestorasi alam secara kolektif demi
kepentingan bersama maka diperlukannya kelembagaan yang kuat dan
kebijakan yang melindungi masyarakat lokal. Pengalaman ini dapat
dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Eghenter dkk (2012),
penelitian yang dilakukan di daerah Kapuas Hulu Kalimantan Barat
berhubungan dengan pengalaman masyarakat dalam merestorasi
danau. Pada tahun 1986, terjadi overfishing di danau Empagau dan
mengakibatkan terancamnya keragaman spesies dan menipisnya
sumber penghidupan masyarakat, sehingga para tetua adat berinisiatif
untuk melepaskan bibit induk Arwana di danau. Akan tetapi hasilnya
masih belum maksimal karena belum ada aturan yang mengikat semua
warga desa. Pada tahun 1998, dengan meroketnya harga ikan arwana
maka para tetua adat menggelar rapat rukun nelayan untuk menyusun
aturan main nelayan dan menegakkan kembali hukum adat dalam
menangkap ikan dengan fokus melindungi danau Empagau. Pada tahun
2001, pemerintah Kapuas Hulu mendukung secara positif kearifan
lokal masyarakat dalam merestorasi danau Empagau dengan
dikeluarkannya SK. Bupati No. 6 Tahun 2001 yang mengukuhkan
Empagau sebagai danau lindung. Kegiatan merestorasi danau
berdasarkan kearifan lokal masyarakat Empagau berhasil dilakukan
karena didukung oleh semua stakeholder, kelembagaan adat yang kuat
dalam pengelolaan danau Empagau dan dilindungi secara hukum.