buletin.stai-ali.ac.id
Essai : Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal
Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal
Oleh : Faqih Hindami
Kehidupan manusia dikelilingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena manusia selalu berupaya
untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu
bersinggungan dalam lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik dan non fisik.
Proses pembentukan budaya di atas berlangsung berabad-abad dan betul-betul teruji sehingga
membentuk suatu komponen yang betul-betul handal, terbukti dan diyakini dapat membawa
kesejahteraan lahir dan batin. Komponen inilah yang disebut dengan jati diri. Di dalam jati diri
terkandung kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan hasil dari Local Genius dari berbagai
suku bangsa, kearifan lokal inilah seharusnya dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan (Culture)
untuk mewujudkan suatu bangsa yaitu, Bangsa Indonesia. Budaya dilahirkan beribu tahun yang
lalu sejak manusia ada di Bumi. Kebiasaan yang bagai telah menjadi dan membentuk perilaku
manusia tersebut diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya itu sendiri merupakan
suatu produk dari akal budi manusia, itu setidaknya apabila dilakukan pendekatan secara
etimologi. Budaya dalam hal ini disebut kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Dalam pergiliran budaya antar generasi ini dibutuhkan adanya generasi perantara yang sudah
mampu melakukan pemahaman dari generasi tua dan mampu mengkomunikasikan ke dalam
bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh generasi selanjutnya.
Derasnya arus globalisasi, modernisasi dan ketatnya puritanisme dikhawatirkan dapat
mengakibatkan terkikisnya rasa kecintaan terhadap kebudayaan lokal. Sehingga kebudayaan
lokal yang merupakan warisan leluhur telah terinjak-injak oleh budaya asing, tereliminasi di
kandangnya sendiri dan terlupakan oleh para pewarisnya, bahkan banyak pelajar yang tak
mengenali budaya daerahnya sendiri.
Para pelajar khususnya di Kepulauan Bangka Belitung lebih bangga dengan budaya asing
daripada budaya daerahnya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa bangga yang lebih
pada diri mereka manakala menggunakan produk luar negeri, dibandingkan jika menggunakan
produk bangsanya sendiri. Mereka cenderung lebih bangga dengan karya-karya asing, dan gaya
hidup yang kebarat-baratan dibandingkan dengan kebudayaan lokal di daerah mereka sendiri.
Slogan “aku cinta produk lokal. aku cinta buatan Indonesia” sepertinya hanya menjadi ucapan
belaka, tanpa ada langkah nyata yang mengikuti pernyataan tersebut. Penggunaan bahasa asing
di media massa dan media elektronik bukan tidak mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai
budaya lokal mulai pudar. Padahal, bahasa sebagai alat dalam menyampaikan pembelajaran
sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter pelajar. Tidak ada lagi tradisi yang
seharusnya terwariskan dari generasi sebelumnya. Modernisme mengikis budaya lokal menjadi
kebarat-baratan, sedangkan puritanisme sering menganggap budaya sebagai praktik sinkretis
yang harus dihindari. Menurut penulis, sepanjang tidak bertentangan dengan agama, budaya
lokal harus selalu dibangun untuk membangkitkan karakter anak bangsa. Padahal, jika kita
pahami dan pelajari mengenai kebudayaan lokal di daerah tidak kalah saing dengan budaya-
budaya asing yang tidak kita kenal. Negara asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya
kita. Bukankah seharusnya kita bangga dengan budaya lokal yang telah diwariskan kepada kita
generasi pelurus perjuangan bangsa? Dengan keadaan yang seperti ini perlu ditanamkan nilai-
nilai nasionalisme kepada para pelajar untuk meningkatkan kecintaan pelajar terhadap
kebudayaan lokal. Maka, sangat diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan rasa cinta dan
peduli terhadap kearifan budaya lokal kepada para pelajar di kepulauan Bangka Belitung.
Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat,
terutama masyarakat di kepulauan Bangka Belitung. Namun yang terjadi pada pelajar di Bangka
Belitung sangat berbeda dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan
kebudayaan itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali tidak kita
pahami.
Agar eksistensi budaya Bangka Belitung tetap kukuh, maka kepada generasi penerus dan pelurus
perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan lokal khususnya di daerah.
Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai
kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di
sekolah. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal haruslah diaplikasikan dengan
optimal.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya dan adat istiadat.
Karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada
aturan atau standar moral yang berlaku dan merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya
yang termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para pelajar tumbuh dan
berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam
hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada
berbagai tantangan. Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-
nilai yang baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan nilai-nilai tersebut tetap tertanam dan
menyatu dalam totalitas pikiran serta tindakan.
Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis
dan sosiologisnya.
Upaya membangun karakter pelajar berbasis kearifan budaya lokal sejak dini melalui jalur
pendidikan dianggap sebagai langkah yang tepat. Sekolah merupakan lembaga formal yang
menjadi peletak dasar pendidikan. Pendidikan di Sekolah merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber
daya manusia. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan manusia Indonesia
yang berkualitas. Jika menilik pada tujuan pendidikan nasional di atas, maka manusia yang
berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Pada
praktiknya, mata pelajaran muatan lokal dipandang merupakan pelajaran kelas nomor dua dan
hanya dianggap sebagai pelengkap. Sekolah-sekolah menerapkannya sebatas formalitas untuk
memenuhi tuntutan kurikulum yang dituangkan dalam berbagai peraturan. Kondisi demikian
mengindikasikan aplikasi pengajaran muatan lokal di sekolah masih mengambang. Persoalannya
adalah bagaimana penerapan konsep pendidikan karakter yang sudah dimasukkan ke dalam
kurikulum tersebut.
Hal penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah penanaman nilai karakter
bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin belaka. Karakter bangsa
yang berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan yang berlaku
dan sebagainya, perlu metode pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur pendidikan di
sekolah. Semua stakeholder pendidikan diharapkan andilnya dalam memberikan kontribusi nyata
terhadap pelestarian kebudayaan lokal di daerah khusunya bagi kalangan pelajar sebagai penerus
budaya bangsa. Pemberian pengarahan dan penghargaan kepada para guru juga dianggap perlu
dalam upaya memotivasi dan meningkatkan pemahaman para guru dalam mengaplikasikan serta
memberikan teladan mengenai Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal.
Contoh implementasi kecil yang dapat kita realisasikan di sekolah misalnya dengan mengadakan
kegiatan-kegiatan kesiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal yang isi dan
media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan
budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang perlu diajarkan kepada para
pemuda. Pengadaan sanggar seni budaya di sekolah-sekolah sebagai sarana merealisasikan bakat
dan sebagai hiburan para pelajar, juga dipandang perlu untuk meningkatkan pengetahuan dan
kecintaan para pelajar pada kebudayaan lokal di daerahnya sendiri, khususnya di Bangka
Belitung. Permainan-permainan tradisional di Kepulauan Bangka Belitung yang hampir hilang
juga harus diekspos kembali. Gasing, misalnya. Sebagai permainan tradisional, gasing dapat
membawa banyak manfaat dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai sejarah, dapat
dijadikan simbol atau maskot daerah, dijadikan cabang olahraga yang dapat diukur dengan skor
dan prestasi dan mengandung nilai seni. Dan masih banyak lagi permainan-permainan tradisional
yang mengandung unsur kekompakan tim, kejujuran, dan mengolah otak selain berfungsi
sebagai hiburan juga untuk menanamkan kecintaan pelajar pada budaya lokal di daerah.
Selain itu, penggunaan bahasa lokal (bahasa Melayu Bangka) perlu diaplikasikan paling tidak
satu hari dalam enam hari proses pembelajaran di sekolah. Dimana dalam satu hari tersebut
seluruh warga sekolah hanya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Disamping
itu, diharapkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler berbasis kebudayaan lokal mulai diadakan di
sekolah-sekolah. Kegiatan seperti perlombaan majalah dinding sekolah, dengan isi yang
menekankan pengenalan budaya lokal, lomba cerdas cermat antar pelajar mengenai lingkungan
sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat, dan sebagainya.
Contoh implementasi lainnya yang dapat kita terapkan di luar sekolah adalah dengan aktif
mengadakan seminar (workshop) tentang pendidikan karakter dan kearifan budaya lokal kepada
para pelajar di Bangka Belitung. Tentunya serangkaian kegiatan tersebut dapat dilaksanakan
dengan metode yang sesuai dengan gaya remaja masa kini agar lebih menarik dan terkesan tidak
kuno. Pendirian komunitas pelajar peduli budaya juga dapat menjadi inovasi dan memberikan
motivasi bagi para pelajar dalam menerapkan pendidikan karakter berbasis kearifan budaya
lokal. Disamping itu, tradisi-tradisi yang menekankan pada kegotong royongan dianggap perlu
diaplikasikan dan disisipkan pada kegiatan-kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya, tradisi
Nganggung (tradisi gotong royong masyarakat Bangka Belitung dengan membawa makanan
tradisional di atas dulang dan ditutup dengan tudung saji) dapat dilaksanakan ketika acara Halal
Bi Halal selepas perayaan Idul Fitri atau hari-hari besar agama lainnya.
Kemudian, untuk mendukung proses pembelajaran para pelajar terhadap sejarah dan kebudayaan
lokal di Bangka Belitung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dituntut dapat bekerja sama dengan
Dinas Pendidikan untuk mendirikan museum sejarah kebudayaan Bangka Belitung dan wahana
handicraft yang berisikan pernak-pernik kerajinan tangan hasil karya pelajar Bangka Belitung.
Selain untuk memperkenalkan kebudayaan lokal terhadap kaum pelajar di Bangka Belitung,
pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal juga memiliki tujuan mengubah sikap dan
juga perilaku sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk
menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Manfaat dari penerapan budaya yang
baik juga dapat meningkatkan jiwa gotong royong, kebersamaan, saling terbuka satu sama lain,
menumbuhkembangkan jiwa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, serta
tanggap dengan perkembangan dunia luar.
Potensi yang pada kaum pelajar yang bersatu bila digunakan dengan baik untuk melestarikan
kebudayaan lokal, niscaya dari serpihan-serpihan budaya lokal tersebut akan terwujudnya
kebudayaan yang dapat menjadi mercusuar bagi kebudayaan nusantara.
Budaya merupakan source yang takkan habis apabila dapat dilestarikan dengan optimal. Selain
itu, apabila negara menginginkan profit jangka panjang, alternatif jawabannya adalah lestarikan
budaya dengan menggunakan potensi yang dimiliki pelajar tentunya tanpa melupakan peran serta
golongan tua.
Saatnya kita memperkenalkan dan menerapkan kembali kebudayaan lokal kita yang telah lama
terlupakan dan meninggalkan budaya asing yang sejatinya sangat tidak sesuai dengan budaya
Indonesia. Kenapa kita mesti malu mengakui budaya sendiri, sedangkan orang asing saja mau
berselisih untuk mengakui budaya kita dan memperkenalkannya kepada dunia sebagai budaya
mereka? Jadi, bukankah kita mestinya bangga dengan apa yang kita miliki dan memperlihatkan
kepada dunia bahwa inilah budaya daerahku.
Kearifan Lokal: Masihkah Menelantarkannya?
Derichard H. Putra Jumat, 20 Juli 2012 No comments
tuai… nak padi… dituai…
oi sipuluik nak… dibuek pokan
tuai.. nak sayang amak sayang padi dituai
amak mangai nak sayang, manca’i makan
layang-layang tobang malayalang
kain sasugi nak, pamagau bonio
layang-layang tobang malayang nak sayang
kain sasugi nak oi sayang
pamagau bonio
mo basamo poi ka ladang
mananam padi sayang
mananam bonio...
Potong Rambut. Persiapan sebelum pelaksanaan
Upacara Potong Rambut.
foto: derichard h. putra/09)
BERNOSTALGIALAH saya menikmati sawah-sawah tak berpadi di kampung saat libur Idul
Fitri yang lalu. Seperti membalikan album usang, hayalan saya terhenti pada masa saat sawah-
sawah tersebut dulunya dibajak dengan kerbau dan kemudian secara batobo ditanami padi yang
diiringi randai, rarak godang, calempong tingkah, dan senyuman malu gadis-gadis perawan
disela godaan bujang-bujang kampung. Sayapun teringat sebuah seminar di Universitas Gadja
Mada akhir tahun lalu: World Conference on Science, Education and Culture (WISDOM 2010).
Secara sengaja atau kebetulan, Universitas Riau merupakan ‘tuan rumah’ pada helat tersebut,
sehingga bule-bule pun mencicipi ikan salai, goreng petai, lempuk durian, dan nyanyian pantun
batobo di samping berbagai masakan dan hiburan rakyat lainnya.
Helat internasional tersebut tersebut mengusung tema yang sangat unik: “Kearifan Lokal,
Solusi Mengatasi Masalah Dunia”.
Kearifan Lokal (local wisdom) mulai memantik perhatian dunia ketika pada 60-an, sebuah
program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan Dasawarsa Pembangunan
(Development Decade), gagal menyelesaikan permasalah utama yang dihadapi negara-negara
berkembang di Asia dan Afrika: kekurangan pangan. Dengan mengusung konsep “perluasan
tanah pertanian dan penerapan teknologi modern”, pada akhir program diharapkan permasalan
pangan bisa di atasi di negara-negara miskin yang ada di kedua benua tersebut. Laporan United
Nation pada 1962 menyebutkan, program ini akan meningkatkan pendapatan penduduk negara-
negara peserta program hingga 5% setahun.
Namun sayang, ketika dilakukan evaluasi di pertengahan dasawarsa, ditemukan sebuah fakta
yang sangat mengejutkan: pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut ternyata justru kian
melambat. Pukulan yang sangat telak bagi perencana pembangunan dan pengambil kebijakan
PBB waktu itu.
Para ahli di berbagai negara kemudian melakukan kajian kritis dan mendalam tentang
megaproyek tersebut, yang pada akhirnya berada pada sebuah kesimpulan: penyebab utama
kegagalan tidak lain adalah minimnya pemahaman tentang masyarakat yang menjadi target
pembangunan. (Rockefeller, 1969). Masyarakat yang dimaksud dalam hasil kajian ini adalah
para petani subsistem.
Temuan tersebut membawa para ahli kepada kesimpulan bahwa paradigma top-down yang
digunakan dalam pembangunan selama ini harus ditingggalkan. Sejak itu, munculah prinsip
development from below (pembangunan dari bawah). Ini memberikan maksud bahwa dalam
menjalankan program pembangunan, tidak boleh mengenyampingkan pandangan dan praktik-
praktik yang telah berlaku dan berkembang di tengah masyarakat. Dengan kata lain, kearifan
lokal harus dipelajari dan dipahami, sebelum upaya-upaya pembangunan dilaksanakan.
Pada tahun-tahun selanjutnya, konsep pembangunan dari bawah menjiwai program-program
PBB dan negera-negara di dunia lainnya. Sehingga pada 1992, bertepatan dengan hari Hak-hak
Asasi Manusia, PBB mencanangkan apa yang dikenal dengan Tahun Internasional Penduduk
Asli Dunia (International Year of the World’s Indigenous People) yang kemudian dilanjutkan
dengan program Dasawarsa untuk Penduduk Asli (A Decade for Indigenous People) pada 1994-
2004, serta membentuk sebuah forum yang disebut dengan Forum Penduduk Asli Dunia (Forum
of Indigenous People).
Berbagai negara di dunia kemudian mengadopsi konsep ini dengan menerapkannya di negara
masing-masing. Di Indonesia, mesti sangat terlambat, setidaknya semangat menghidupkan gaung
kearifan lokal telah mulai dikaji ditingkat akademis. Pada 1991 misalnya, Universitas Padjajaran
bekerjasama dengan Universitas Leiden Belanda mendirikan pusat penelitian pengetahuan lokal
yang disebut dengan INRIK (Indonesian Resouce Centre for Indigenous Knowledge). Tiga tahun
kemudian, INRIK melaksaksanakan seminar internasional “Indigenous Knowledge System
(IKS)” di Bandung. Walau masih dalam tahap kajian, belum kepada penerapan, setidaknya ‘era’
kearifan lokal telah mulai terlihat titik terangnya.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?
Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan padanan kata dari bahasa Inggris local wisdom. Kata local (Inggris),
atau locaal (Belanda), dalam bahasa Indonesia diserap dengan kata lokal, diterjemahkan sebagai
setempat atau tempat. Sedangkan wisdom diartikan sebagai kearifan, yang memiliki kata dasar
arif. Kata arif yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab memiliki pengertian paham,
mengerti, tahu, mengetahui dan bisa juga diartikan dengan makna yang lebih luas, bijaksana,
berilmu, cerdik dan pandai.
Dari kata arif didapat turunannya mengarifi, mengarifkan, dan kearifan. Ketiganya bisa
disepadankan dengan mengetahui, memahami, mengerti, kecendekiaan, atau kebijaksanaan.
Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) bisa diartikan sebagai pengetahuan setempat,
pemahaman setempat, kecendekiaan setempat, atau kebijaksaan setempat.
Berkenaan dengan kebijaksanaan, bijaksana mengandung arti dapat menyelesaikan
persoalan tanpa menyakiti baik fisik ataupun perasaan orang lain, jika dihubungan dengan
kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan fisik, bijaksana mengandung pengertian dapat
menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan kerusakan fisik, atau dikenal dengan istilah
penyelesaian yang bijaksana atau penyelesaian secara baik dan benar.
Bijaksana dalam bahasa Indonesia berarti selalu menggunakan akal budinya (dalam hal ini yang
berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan) atau pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan
sebagainya) dalam menghadapi kesulitan. Berilmu bearti memiliki ilmu yang dipergunakan
dalam menghadapi persoalan. Sedangkan cerdik diartikan cepat mengerti, pandai mencari
pemecahannya, panjang akal, banyak akal. Sedangkan pandai dapat diartikan pintar, cerdas,
mahir, terampil, dapat, sanggup, berilmu (KBBI, 2010).
Guru besar Universitas Gadja Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, memberikan pengertian kearifan
lokal dengan menyebutnya sebagai “perangkat pengetahuan dan praktik-praktik pada suatu
komunitas—baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun dari pengalaman ketika
berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya—untuk menyelesaikan berbagai
persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi secara baik, benar, dan bagus”.
Kearifan lokal menekankan kepada ‘tempat’ dan ‘lokalitas’ dari suatu kearifan tersebut,
tetapi tidak harus merupakan pewarisan dari generasi sebelumnya (kearifan tradisional). Suatu
kearifan lokal bisa saja baru muncul beberapa tahun belakangan, atau didapat dari generasi
sebelumnya. Kearifan lokal yang baru saja muncul bisa saja disebut ‘kearifin kini’ untuk
membedakannya dengan ‘kearifan lama’ yang telah lebih dulu dikenal dalam sebuah masyarakat.
Konfonen utama dari kearifan lokal adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai
sistem pengetahuan, cara pandangan, nilai-nilai, serta praktik-praktik dari sebuah komunitas
masyaraat, baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari sebuah komunitas masyarakat
tersebut, atau didapat dari komunitas masyarakat lain, ataupun yang didapat—berdasarkan
pengalaman—di masa kini yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, termasuk juga dari
kontak budaya dengan masyarakat luar atau asing.
Kemudian timbul pertanyaan lain, kenapa harus memperhatikan kearifan lokal?
Masyarakat lokal dipastikan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai sistem ekonomi
dan lingkungan alam mereka yang telah lama ‘ada’ dan ‘bertahan’ di dalam masyarakat tersebut.
Jika diibaratkan sebuah penelitian, kearifan lokal telah lama ‘diuji’—lalu kemudian mencapai
tahap ‘teruji’—dan dipraktekkan oleh masyarakat hingga mencapai titik akhir yang sempurna.
Selain itu, menurut Brokensha (1977) program pembangunan suatu negara tidak akan berhasil
dengan baik bila mana tidak memilki fondasi yang sangat kuat pada bebeberapa aspek dalam
masyarakat itu sendiri.
Kearifan Lokal Melayu Riau
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kearifan lokal di dalam masyarakat Melayu Riau?
Beberapa dekade yang lalu, mungkin tidak asing bagi kita ketika anak-anak gembala duduk di
atas kerbau memenuhi jalan-jalan di sore hari membawa gembalaannya pulang ke kandang, atau
petani yang membajak sawah dengan kerbau atau sapi menghiasi sawah-sawah di Riau
khususnya dan Indonesia umumnya. Momen-momen seperti ini banyak dipublikasikan dalam
foto-foto dan lukisan-lukisan di akhir 80-an.
Sistem beternak ”ala kampung” dan membajak sawah secara tradisional tersebut tersebut tanpa
kita sadari ternyata mampu memenuhi kebutuhan daging dan beras di dalam negeri. Sehingga
saat itu kita tidak mengenal istilah daging impor, atau beras impor.
Namun kemudian, masuknya era mekanisme di sektor pertanian telah mengubah perilaku petani
dan secara signifikan menurunkan populasi kerbau dan sapi di dunia. Dan kitapun mulai
mengimpor beras. Sawah dan kerbau, mungkin seperti dua sisi mata uang, tidak berarti jika
hilang salah satunya.
Beberapa petani di Yogyakarta yang saya temui mengatakan, kotoran kerbau atau sapi dapat
sekaligus menjadi pupuk, di samping bajakan yang jauh lebih baik dari pada traktor tangan,
sehingga penggunaan pupuk bisa lebih efekt.
Selain itu, kerbau atau sapi juga bisa berkembang biak jika dipelihara dengan baik. Bandingkan
dengan traktor, jika sudah sampai akhir masa pakainya akan berubah menjadi onggokan besi tua.
Disamping bahan bakar yang mencemari lingkungan. Jadi jangan aneh, di beberapa daerah di
Jawa akhir-akhir ini membajak sawah dengan kerbau sesuatu yang sangat digemari petani, di
samping untuk tujuan wisata.
Pergeseran budaya bertani ini mendorong badan pangan dunia FAO, mencanangkan kembali
sistem ‘tradisional’ yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendukung program tersebut, FAO
mendirikan buffalo village di Thailand. Tujuan program ini adalah mengembalikan kejayaan
bertani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Jika kita ingin melihat lebih jauh, di Jerman misalnya, pada 2012 negara tersebut memutuskan
seluruh ayamnya tidak boleh lagi dipelihara dengan cara dikandangkan secara individu,
berpasangan, atau berkelompok. Pola pemeliharaan yang dipraktekan selama ini dianggap
sebagai bentuk penyiksaan, saling mematuk, dan terjadi kanibalisme. Sebagai akibatnya produksi
telur menurun secara drastis akibat stress.
Penerapan peraturan ini setelah sebuah perusahaan ayam terbesar di negara tersebut dan juga
terbesar di dunia, menemukan galur ayam dengan produksi hingga 360 butir telur per ekor per
tahun (produksi tertinggi di dunia). Ini berarti hanya 5 hari saja ayam tersebut ‘beristirahat’
bertelur. Sistem pemeliharaan ayam yang mereka kembangkan adalah dengan membiarkan
ayam-ayam petelur bebas berkeliaran yang tidak terikat di dalam kandang yang sempit dan
disediakan sangkak untuk bertelur.
Jika kita melihat pola beternak ayam nenek moyang kita—saat ini masih dipraktekkan di
kampung-kampung—kita bertanya tanya pada diri kita sendiri, mengapa mereka meniru teknik
beternak secara ekstensif yang diterapkan oleh nenek moyang kita?
Beberapa kearifan lokal kita lainnya, semisal hutan kepungan silang, telah mampu
mempertahankan produksi madu lebah hutan asli. Sistem eding (hutan perantara) dalam sistem
ladang bepindah, mencegah hutan monokultur, erosi, dan banjir. Manggota kuaran (di Kuantan
dan Kampar), telah pula menjaga pelestarian burung kuaran (sejenis burung berebah) tapi saat ini
telah punah karena diburu dengan senapan angin. Pacu jalur, mendidik masyarakatnya untuk
selalu menjaga dan memelihara pokok-pokok kayu di rimbo gano. Mararuah, menjaga produksi
ikan sungai. Batobo/botobo, sistem arisan pertanian yang menjaga efisiensi waktu, biaya, dan
hubungan silahturahi. Sistem pelestarian hutan oleh suku-suku asli. Pengelolaan hutan ulayat
dengan sistem rimbo larangan, dan ratusan atau mungkin ribuan lainnya yang terbukti ampuh
diterapkan sejalan dengan kehidupan modern saat ini.
Uraian di atas memberi sedikit gambaran kepada kita, betapa nenek moyang dan ilmu
pengetahuan masyarakat kita telah berkembang jauh melampaui zamannya, dan kearifan lokal
bukanlah suatu yang ditemukan dan dikembangkan dalam jangka waktu yang instan, tetapi
memakan waktu yang lama, pengalaman, dan “ujicoba” yang beratus-ratus tahun.
Pertanyaan terakhir yang tersisa adalah, masihkah kita menelantarkan ‘anugrah’ kearifan lokal
kita? Sayapun teringat sebuah ‘nyanyian’ pantun batobo—mungkin tidak ditemukan lagi di
komunitas pemiliknya—yang ditampilkan oleh tim kesenian Universitas Riau pada WISDOM
2010 tersebut, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini***
Raja Pangkah
14 April 2013 - 07.53 WIB > Dibaca 207 kali
Apalagi yang bisa dijelaskan Burhan kepada istrinya agar dia tetap
bisa bergasing. Sebuah permainan tradisional yang merupakan warisan turun temurun dari nenek
moyangnya. Semua itu telah diceritakan dengan harapan agar istrinya benar-benar mengerti
bahwa permainan gasing bagi dirinya tidaklah hanya sebatas permainan biasa, pelepas hobi atau
mengisi waktu luang belaka. Akan tetapi bergasing baginya samalah dengan menjaga marwah,
meneruskan dan melestarikan tradisi leluhur dengan tetap berupaya mempertahankan gelar
sebagai raja pangkah.
Atuknya Budol di masa penjajahan adalah pemain gasing yang handal. Kemudian diturunkan
kepada Ayahnya Abdul Ghofur yang juga adalah seorang pembuat dan pemain gasing yang tak
bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya demikianlah beberapa cerita yang didengar Burhan dari
sekian banyak cerita yang telah dikisahkan bapaknya ketika masih hidup. Di samping memang ia
menjadi saksi atas kehebatan almarhum bapaknya itu.
Tetapi sampai hari ini, apa yang diharapkan tak kunjung kesampaian, istrinya Syutinah tidak
pernah mengerti. Malahan menurut istrinya bermain gasing hanyalah membuang waktu semata.
‘’Jika abang sudah lekak mengurusi gasing-gasing, siapa lagi yang akan mengurusi Tinah dan
anak-anak abang ini?’’
Burhan hanya diam mendengar sungut istrinya itu. Sesungguhnya ia sadar akan dua hal yang
berseberangan di pikirannya. Bahwa apa yang dikatakan istrinya itu benar belaka. Ia adalah tipe
orang yang apabila menggeluti sesuatu hal, maka akan banyak hal lain yang terabaikan. Bahwa
kemudian, ia tetap tidak akan pernah berhenti membuat dan bermain gasing adalah ketetapan
pikiran yang lain pula.
‘’Tidakkah terniat di hati abang untuk mencari kerja tetap? Kerja yang layak selain dari
mengharapkan tangkapan ikan di laut yang sekarang ini tak dapat diandalkan lagi sebagai mata
pencaharian?’’
Burhan tetap berdiam diri sambil melirik anak lelakinya yang berumur dua tahun sedang
menggenggam gasing yang baru saja dibuatnya sedang kakaknya yang hampir menyelesaikan
Sekolah Dasar asyik pula mengagah adiknya.
‘’Mar... kau tengok adik kau tu betul-betul. Jangan sampai gasing yang baru siap itu rusak pula,’’
sergah Burhan sambil menunjuk ke arah si bungsu yang sedang menimang-nimang beberapa
gasing hasil buatannya.
Mendengar ucapan Burhan, hati Syutinah pun meradang. ‘’Bukan cakap awak yang didengarkan,
gasing celaka itu juga yang dirisaukan...! Makanlah gasing abang tu!’’ Syutinah berdiri dari
tempatnya menggiling lada. Segera meraih kedua anaknya dan beranjak pergi. Tapi kemudian
baru beberapa langkah, tak diduga-duga sebuah tamparan mendarat di pipinya.
‘’Kalaupun engkau tidak suka aku bermain gasing, jangan pula gasing buatanku itu kau hina
sedemikian rupa,’’ sergah Burhan membahana. Betapa sebenarnya Burhan merasa tersinggung
apabila dikatakan gasing untuk dimakan.
Langkah Syutinah terhenti seketika, tapi bukan dikarenakan tamparan ataupun pekik suara dari
suaminya itu melainkan ingin sekali ia melihat sorot mata Burhan yang sedang menyala. Hendak
melihat seberapa besar kesungguhan Burhan telah memperlakukannya seperti itu. Senang pula
suatu saat nanti, jika tepat waktunya, dia akan membuat kira-kira. Sejenak bagaikan ada yang
berperang dari kedua mata yang sedang saling bertatapan. Berikutnya hari pun tiba-tiba hujan.
Hari ini ternyata menjadi hari di mana puncak kemuakan Syutinah atas perilaku Burhan.
Bagaimana tidak? Sudah hampir tujuh tahun ia hidup bersama dan sudah selama itu pula ia
melihat Burhan hanya tahu melaut ketika pagi dan pada sebelah petang, kalau tak buat gasing,
bermain gasing. Yang diharapkan Syutinah tidaklah banyak, bagaimana Burhan juga membantu
berpikir untuk meningkatkan pendapatan keluarga sehingga kalau bisa ia tak susah-susah lagi
mencuci pakaian di rumah orang setiap paginya. Namun ternyata yang didapatnya malah sebuah
tamparan dan hujatan dari Burhan. Jika demikian halnya, maka Syutinah berniat akan melakukan
apa yang telah dipikirkan beberapa hari belakangan ini, apatah lagi tidak ditemukannya rasa
menyesal dari sorot mata Burhan.
Burhan yang sememang mendapat gelar di kampungnya sebagai raja pangkah sangat tidak
menyukai apabila ada orang-orang yang menyepelekan atau menghina sesuatu yang berkaitan
dengan gasing. Secepat itu pula ia akan tersingung bahkan bisa saja ia mengamuk dalam
seketika.
Pernah suatu saat di sebuah kedai kopi, kawannya si Abu memberikan saran agar ia bermain
gasing dengan memasang taruhan dengan sesiapa saja yang menantangnya. Tak ayal lagi, meja
di kedai kopi itu pun dibantingnya.
‘’Memang kawan tak pakai engkau ni Abu, engkau suruh aku bermain permainan yang telah
dititipkan nenek moyang aku untuk dijadikan lahan perjudian, di mana letak otak kau Abu ha?
Kau pikir, dengan begitu mudah aku menggadaikan tradisi ini hanya demi yang namanya duit?
Yang kupertahankan sekarang ini adalah marwah. Walaupun hidupku susah, tapi tak akan
sesekali pun kulacurkan permainan turun temurun ini, kau paham?’’ Burhan pun kemudian
berlalu, meninggalkan Abu yang masih terperangah membisu.
Kemantapan hati dan pendirian Burhan bukanlah sesuatu yang dibuat-buat agar gelarnya sebagai
raja pangkah dapat lebih dipandang dan disegani di kampungnya akan tetapi demikianlah cara
dia menghargai permainan tradisional tersebut, sebuah permainan yang pada masa dahulu
merupakan permainan nomor dua populernya setelah sepakbola. Semenjak kecil, ia sudah diajak
dan diajari oleh almarhum bapaknya berkaitan dengan apa saja yang namanya gasing. Mulai dari
membuat sampailah kepada bagaimana teknis permainannya. Mulai dari menemukan akar bakau
yang berserat, mencari kayu jeruk, kayu asam jawa yang nantinya akan dibuat gasing yang
berkualitas bagus. Burhan juga diajari bagaimana membuat berbagai bentuk gasing, baik gasing
piring, gasing telur maupun gasing jantung. Alhasil, sampai sekarang ini, berselerak gasing di
rumahnya yang merupakan hasil karya ciptanya sendiri.
Lebih dari itu, barangkali ada yang tak dipahami oleh orang lain selain daripada Burhan sendiri.
Pelajaran tentang kehidupan juga diperolehnya dari bergasing yang didapat dari almarhum
bapaknya.
‘’Yang penting dalam hidup adalah untuk tidak berhenti berbuat apa yang kau yakini benar’’.
Kata Bapaknya sambil memasang tangsi, di bagian bawah gasing. Setelah kemudian kelihatan
benar kedudukan tangsi tersebut, ia mengambil tali, salah satu alat untuk melinyaknya gasing. Di
sebuah papan yang datar, mulailah ia melinyakkan gasing piring.
‘’Lihatlah...kita harus mencontohi kodrat gasing piring dalam hidup ini. Alitnya atau kekuatan
putarnya lama sekali bertahan. Gasing piring ini tak bermakna apa-apa jika ia berhenti berputar,
ia hanya ternilai dari seketul kayu. Demikian juga kita, teruslah bergerak, berbuat apa saja
menurutmu yang ianya berguna bagi kehidupan’’.
Setelah sama-sama mereka menatap putaran gasing piring hingga sampailah berhenti, bapaknya
mengambil gasing telur, seperti halnya tadi, ia juga mulai melinyakkan gasing telur tersebut.
‘’Kau tahu Burhan, gasing telur ini kodratnya adalah jika dipangkah, jarang sekali ia langsung
bongkang atau berhenti linyaknya. Artinya, tidakkah seharusnya kita juga demikian, tak
langsung putus asa apabila berbentur dengan kesulitan dalam hidup. Carilah cara untuk
menyelesaikan segala sesuatu dengan sisa kekuatan dan keyakinan yang kita miliki’’.
Berikutnya, Abdul Ghofur yang juga terkenal sebagai raja pangkah pada zamannya, mengambil
gasing kesayangannya yaitu gasing jantung. Gasing ini kodratnya adalah untuk memangkah.
Biasanya pangkahan dari gasing ini akan membuat gasing lawan langsung bongkang.
‘’Atau bila perlu kau harus jadi pejuang layaknya gasing jantung Burhan...kau harus pangkah
semua aral dalam hidup ini. Keraguan, ketakutan, kemalasan adalah lawan, adalah musuh yang
harus kau pangkah sampai bongkang. Bergerak dan melangkahlah layaknya seorang pejuang
yang tak gentar menghadapi musuh-musuhnya’’.
Setelah hujan mengusaikan titiknya, Burhan pun mengirai segala ingatan tentang kenangannya
bergasing. Kemarahannya pun sudah mulai reda. Sejenak ia melihat pintu kamar yang masih
terkunci dari dalam oleh istri dan anak-anaknya. Entah apalah yang diperbuat mereka di dalam
kamar sehingga dari tadi belum juga keluar. Sedang hari sudah hampir menunjukkan pukul dua.
Burhan bangkit berdiri, melangkah ke dapur, ia tak menemukan apa-apa untuk dimakan selain
dari serakan bahan dan rempah-rempah yang belum selesai dimasak oleh Syutinah.
Ia pun bergegas mengambil gasing dan beberapa perlengkapan gasing. Seperti biasa, dimasukkan
semuanya ke dalam tas. Hari ini ia akan bermain gasing di dusun sebelah. Tanpa berpikir
panjang lagi, ia pun mulai melangkah gagah. Seturut dengan langkah itu terbayang pula
dibenaknya untuk tetap mempertahankan gelarnya sebagai raja pangkah dalam pertandingan
nanti. Dan memang, demikianlah Burhan. Kegairahannya untuk tetap bergasing mampu
menghilangkan beban pikiran dan masalah yang sedang mendera bahkan adakalanya ketika ia
sakit demam, bisa sembuh dikarenakan hanya bergasing.
Senja pun menjelang. Mega-mega berarak cerlang. Salah satu momen kemenangan hati dan
segala kedamaian adalah ketika kita berkesempatan menikmati keindahan langit di senja hari.
Dan memang, hari itu merupakan kemenangan pula bagi Burhan. Senyuman kepuasan yang
berderet di bibirnya seperti tak lepas-lepas, bergelayut layaknya arakan mega di senja itu. Dapat
pula disimpulkan bahwa sampai hari ini, dia masih mampu mempertahankan gelarnya sebagai
raja pangkah dalam artian Burhan tak terkalahkan dalam bermain gasing.
Menapaki kakinya di pintu depan rumah, Burhan kembali menangkap senyap. Seolah-olah tidak
ada kehidupan dan aktivitas di rumahnya. Segera setelah meletakkan gasing dan perlengkapan,
dia menuju ke kamar di mana ketika pergi tadi, istri dan anak-anaknya mengurung diri tetapi
setelah ia mendedahkan pintu, tak ditemukan apa yang dicari.
Ia pun bergegas ke dapur. Tak ada lagi selerak kapar dan rempah-rempah seperti ketika ia pergi
tadi. Bahkan ia agak terkejut ketika menyaksikan di meja makan tersedia piring dan gelas serta
sesuatu yang tersungkup di dalam tudung saji. Seketika itu pula ia merasa lapar karena memang
dari tadi siang ia belum memasukkan nasi sebiji pun ke dalam perutnya. Tanpa diaba-aba,
Burhan pun menghampiri meja makan, duduk di kursi, meletakkan piring di hadapan dan
memulai prosesi makan dengan meminum seteguk air yang sudah tertuang di dalam gelas.
Namun tatkala ia membuka tudung saji, betapa kemudian Burhan surut ke belakang hingga kursi
yang dudukinya pun tumbang. Sungguh apa yang dilihatnya di dalam tudung saji membuat
badannya mengeras dan matanya memerah menahan marah. Beberapa buah gasing buatannya
telah terhidang di dalam beberapa mangkuk dan tempat nasi. Artinya ke semua hidangan itu
adalah hidangan gasing yang tersusun rapi di dalam tempatnya masing-masing. Setelah matanya
menyapu hidangan tersebut, ternampak olehnya selembar surat. Ia pun mengambil dan segera
membacanya.
‘’silalah Menjamahnya, Hanya Ini Yang Kita Punya Dari Apa Yang Sepatutnya Kita Usahakan.
Silalah Memakannya, Kami Sudah Lelah!’’
Burhan hanya mematung sambil memegang selembar kertas dengan tulisan yang tentu saja
ditulis oleh istrinya. Apakah ia marah? Kesal? Atau entah apalah yang sedang berkecamuk dalam
dirinya. Beberapa saat kemudian ia mengambil sebuah gasing dalam hidangan tersebut dan
meraih tali untuk melinyakkan gasing yang memang sudah tersedia juga dalam juadah yang
tersedia. Entah untuk membunuh gemuruh rasa yang mendera dirinya saat itu, Ia pun mulai
melinyakkan gasing di atas papan rumahnya yang tidak rata. Tentu saja putaran gasing tidak
bertahan lama. Dalam sekejap saja, gasing terpelanting dan berhenti berlinyak dikarenakan
tersenggol papan yang tidak rata tersebut.
Tiba-tiba Burhan teringat dengan pesan lain dari almarhum Bapaknya di suatu ketika dahulu.
‘’Jika diibaratkan proses permainan gasing adalah kehidupan, baik berkaitan dengan laman
tempat bermain, gasingnya, pemainnya maka ke semuanya dituntut satu hal yaitu keseimbangan.
Laman tempat bermain hendaknya seimbang dalam artian rata tidak berdonggol-donggol. Begitu
juga gasingnya harus terukir sama berat di semua sisinya. Dan pemainnya hendaklah mampu
menyeimbangkan setiap gerak-gerik, strategi dalam proses permainan. Barulah kemudian proses
permainan gasing dapat berjalan dengan lancar...’’
Lalu kemudian Burhan seolah-olah mendapat bisikan akan sebuah pertanyaan yang entah dari
mana datangnya. Sudah pernahkah ia memikirkan filosofi keseimbangan yang dimaksudkan
almarhum Bapaknya itu? Sudah seimbangkan ia memikirkan untuk mempertahankan gelarnya
dengan kepedulian terhadap keluarga? Atau jangan-jangan kehidupannya tak ubah seperti gasing
yang kini di hadapannya tergeletak tidak berlinyak karena ketidakseimbangan salah satu elemen
dari proses bermain gasing yakni lamannya tidak rata.
Lama ia tercenung dan kemudian bagaikan tersadar, Burhan pun berlari keluar. Hari sudah mulai
gelap. Arakan mega yang sekejap sudah pula lesap di telan jubah malam. Burhan yang dari
kejauhan tampak hanya sebagai bayang hitam yang berkelebat, semoga saja tidak berbuat hal
yang tidak bermanfaat. Ya, kita hanya bisa berharap ia pergi menjemput istri dan anak-anaknya
yang li saja lari ke rumah orangtua si Syutinah. Semoga saja.***
Kesenian Riau dan Perkembangannya
Oleh : Idrus Tintin dan B. M. Syamsuddin
Penulis mengemukakan berbagai bentuk dan jenis kesenian yang terdapat di Riau, yaitu teater,
tari, musik, nyanyian, dan sastra. Penulis menyimpulkan bahwa para penghayat kesenian di
perkotaan umumnya merasa asing terhadap kesenian tradisional. Oleh karena itu, diperlukan
penghubung yang apresiatif dengan memperkenalkan segala jenis dan bentuk kesenian
tradisional di perkotaan. Dengan demikian, kesenian kontemporer yang tumbuh, hidup, dan
berkembang di perkotaan akan mempunyai fondasi yang kokoh dan ranggi dalam memberikan
sumbangan bagi kesenian nasional.
1. Pendahuluan
Satu dasawarsa menjelang abad ke-20, berdiri Rusydiah Klub, suatu perkumpulan untuk para
cendekiawan, sastrawan, dan budayawan. Perkumpulan ini berdiri di Riau, tepatnya di Pulau
Penyengat yang pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga. Pada
hakekatnya, perkumpulan ini merupakan lembaga kebudayaan yang mencakup kesenian,
pertunjukan, dan sastra. Kegiatannya bermula dari peringatan hari-hari besar Islam, seperti
Maulud Nabi, Isra-Mikraj, Nuzulul Quran, Idul Fitri, Idul Adha, dan lain-lain yang kemudian
berkembang sampai pada penerbitan buku-buku karya anggota perkumpulan. Semua kegiatan
ditunjang oleh sarana kerajaan yang berupa perpustakaan Kutub Khanah Marhum Ahmadi dan
dua buah percetakan huruf Arab-Melayu, yaitu Mathba‘at al Ahmadiyah dan Mathba‘at al
Riauwiyah.
Rusydiah Klub merupakan perhimpunan cendekiawan pertama di Indonesia. Perkumpulan ini
tidak disebut dalam sejarah nasional, karena kurang telitinya pengumpulan bahan sejarah, atau
mungkin karena tidak adanya masukan dari pihak yang banyak mengetahui tentang hal itu.
Rusydiah Klub meninggalkan pusaka kreativitas berupa buku-buku sastra, agama, sejarah, dan
ilmu bahasa yang amat berharga. Jika Riau pada masa lalu sanggup menyediakan fasilitas bagi
kegiatan seni dan sastra, seharusnya Riau pada masa kini mampu menyediakan fasilitas yang
lebih baik lagi.
Riau sejak dahulu sudah menjadi daerah lalu lintas perdagangan negara-negara tetangga,
sehingga Riau melahirkan sosok dan warna budaya yang beragam. Hal ini merupakan beban,
sekaligus berkah historis-geografis. Riau seakan-akan merupakan ladang perhimpunan berbagai
potensi kesenian, yang di dalamnya terdapat pengaruh kebudayaan negara-negara tetangga dan
kebudayaan daerah Indonesia lainnya. Kesenian Melayu Riau sangat beragam, karena kelompok-
kelompok kecil yang ada dalam masyarakat juga berkembang. Perbedaan antara Riau Lautan dan
Riau Daratan menunjukkan keanekaragaman kesenian di Riau. Hal ini sekaligus sebagai ciri
khas Melayu Riau, karena dari pembauran kelompok-kelompok itu pandangan tentang kesenian
Riau terbentuk.
Kenyataan menunjukkan, kesenian di Riau dan kesenian di negara-negara berkebudayaan
Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam saling mengisi dan saling mempe-
ngaruhi. Demikian pula dengan daerah-daerah berkebudayaan Melayu seperti Deli, Langkat,
Serdang, dan Asahan di Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, dan lainnya, juga terpengaruh
kebudayaan Minangkabau, Mandailing, Bugis, dan Jawa. Kebudayaan yang datang dari luar
Indonesia seperti India (Hindu-Budha), Arab (Islam), Cina, dan Siam juga turut mempengaruhi.
Kelenturan kebudayaan Melayu tersebut sejalan dengan perkembangan sejarah dan letak geo-
grafis Riau, sehingga menjadikan Riau sangat kaya dengan ragam ekspresi kesenian.
Perkembangan kebudayaan Melayu di Riau itu pada gilirannya dapat memperkaya kebudayaan
nasional. Namun sayangnya tidak sedikit cabang kesenian Melayu Riau yang semakin suram dan
kurang mendapat perhatian. Bentuk-bentuk kesenian ini hanya muncul dalam acara seremonial,
seperti pada waktu ulang tahun atau ketika ada kunjungan pejabat.
2. Perkembangan Kesenian Di Riau
Kesenian Riau tumbuh, hidup, dan berkembang di pedalaman, di desa-desa terpencil, juga di
kota-kota. Kesenian yang tumbuh dan hidup di pedalaman kurang berkembang dan tidak
menyebar karena terkurung dalam lingkungannya. Masyarakat mengenal kesenian ini bukan
semata-mata sebagai hiburan, tetapi dikaitkan dengan kepercayaan dan bersifat spiritual yang di-
fungsikan sebagai penghubung antara manusia di alam nyata dengan penguasa di alam gaib.
Kesenian Riau di kota didukung oleh para pelajar, mahasiswa, dan seniman masa kini, sehingga
dapat berkembang. Perkembangan ini menghasilkan kesenian kreasi baru yang menyadap ke-
senian tradisional dan memodifikasikannya dengan landasan budaya setempat. Jenis kesenian ini
dapat diketahui dengan melihat sentuhan budaya nasional di dalamnya. Kesenian kreasi baru
jenis tari dan teater kontemporer tampaknya menunjukkan nilai seni yang beragam pula.
Misalnya Sendratari Lancang Kuning mengandung nilai tarian Zapin, Cik Masani diangkat dari
gerak tari Makyong, Hang Tuah memanfaatkan beberapa gerak tari Melayu lama. Demikian pula
dengan garapan baru dari beberapa teater rakyat seperti Gubang, Makyong, Mendu, dan
Bangsawan. Garapan musik kreasi baru belum begitu intens dikerjakan, meskipun bentuk ghazal
dan orkes Melayu masih hidup di beberapa tempat. Padahal lagu-lagu Melayu lama masih terus
dinyanyikan secara luas. Bagaimanapun juga lagu-lagu Melayu lama ini lebih dikenal di desa-
desa daripada di kota-kota.
Sikap masyarakat kota di Riau tidak seperti sikap masyarakat Sumatera Barat terhadap lagu-lagu
tradisionalnya. Seniman-seniman Padang dan sekitarnya banyak yang masih menggarap lagu-
lagu daerah mereka dengan penuh gairah, bahkan lagu-lagu Melayu juga digarap. Dengan
kemajuan yang mereka capai, lagu-lagu Melayu sudah menjadi seperti lagu Minang. Di Riau
sendiri orang kurang peduli terhadap warisan lagu-lagu lama Melayu. Agaknya sejarah
kebudayaan menghendaki budaya Melayu dinikmati dan dimanfaatkan oleh suku-suku lainnya di
negeri ini, seperti halnya kebudayaan Melayu diperkokoh oleh pengaruh-pengaruh yang tersaring
dari mana saja.
3. Jenis-Jenis Kesenian Riau
Salah satu kesenian Riau adalah teater. Teater merupakan sebuah karya seni yang kompleks,
karena di dalamnya juga terdapat unsur-unsur kesenian lain. Di beberapa desa dan kota di Riau
masih dijumpai jenis-jenis teater klasik. Bentuk kesenian ini semakin berkembang dan kokoh
setelah mendapat kesempatan memasuki istana, sehingga bentuknya kemudian menunjukkan
ciri-ciri istana yang berbeda dengan wujud awalnya sebagai kesenian rakyat. Hal ini karena saat
memasuki istana, penampilan teater Makyong, Mendu, Mamanda, dan Bangsawan diperhalus.
Seni tari yang muncul dalam teater Mendu berupa tarian Ladun, Jalan Kunon, Air Mawar,
Beremas, dan Lemak Lamun. Seni tari yang muncul dalam Makyong berupa tarian Selendang
Awang, Timang Welo, Berjalan Jauh, dan tarian penutup berupa tarian Cik Milik. Dalam
Bangsawan juga terdapat tari-tari hiburan seperti Jula-Juli, Zum Galiga Lizum, Mak Inang
Selendang, dan jenis-jenis langkah Zapin.
Seni suara merupakan napas pertunjukan Mendu, Makyong, dan Bangasawan. Dalam Mendu
terdapat lagu Lakau, Ladun, Madah, Air Mawar, Lemak Lamun, Tala Satu, Ayuhai, Nasib, dan
Tala Empat. Dalam Makyong terdapat nyanyian seperti Cik Milik, Timang Bunga, Selendang
Awang, Awang Nak Beradu, Puteri Nak Beradu, dan Dondang Di Dondang. Dalam Bangsawan
terdapat nyanyian seperti Berjalan Pergi, Lagu Stambul Dua, Dondang Sayang, Nyanyi Pari,
Nasib, dan lain-lain.
Alat-alat musik yang dipakai dalam pertunjukan Mendu ialah gendang panjang, biola, gung,
beduk, dan kaleng kosong, sedangkan dalam pertunjukan Makyong digunakan nafiri, gendang,
gung, mong, breng-breng, geduk-geduk, dan gedombak. Dalam Bangsawan dipakai peralatan
orkes Melayu lengkap. Pertunjukan Mendu dan Makyong sangat mengandalkan upacara yang
bersifat ritual seperti buka tanah dan semah. Dalam upacara ini digunakan mantra dan serapah.
4. Rintisan Pengarang Riau Abad Ke-19 Dan Awal Abad Ke-20
Kekentalan imajinasi dan bunyi yang terkandung di dalam mantra, serapah, dan jampi telah
menarik perhatian seorang penyair nasional asal Riau, Sutardji Calzoum Bachri, untuk me-
manfaatkan jiwa yang terkandung dalam warisan purba Melayu itu dalam penciptaan puisi
modern. Barangkali penggunaan bir oleh penyair terkenal ini diadaptasi dari para pengemban
seni tradisional untuk mencapai keadaan trance. Mantra, serapah, dan jampi juga menarik
perhatian penyair lainnya, Ibrahim Sattah. Untuk mendapatkan warna lain, penyair ini
memusatkan perhatiannya pada sajak permainan anak-anak yang banyak terdapat di daerah Riau.
Pola gubang yang terdapat pada Orang Laut juga dimanfaatkan oleh penulis karya pentas kon-
temporer, seperti halnya dalam naskah teater Indonesia. Tahun 1980 dari Riau muncul naskah
Warung Bulan.
Bidang sastra di Riau mempunyai landasan yang cukup kokoh. Pada abad ke-19 para penulis
daerah ini mencapai puncak kreativitasnya. Hal ini terlihat bukan saja dari jumlah karya yang
dihasilkan, tetapi juga dari hasrat masyarakat untuk bersusastra, seperti yang dijelaskan oleh
Virginia Matheson dan Barbara Watson Andaya dalam tulisannya “Pikiran Islam dan Tradisi
Melayu-Tulisan Raja Ali Haji dari Riau” yang dimuat dalam buku Dari Raja Ali Haji Hingga
Hamka.
Tampilnya Raja Ali Haji sebagai seorang sastrawan, ahli bahasa, penulis sejarah, dan ulama
menjadikan Riau terpandang dalam dunia kebudayaan. Beliau pergi meninggalkan jejak yang
diikuti oleh sederetan penulis yang juga menghasilkan karya tulis, antara lain Raja Ali Kelana.
Raja Ali Kelana telah menghasilkan buku Pohon Perhimpunan, Percakapan Si Bakhil, dan
Bughyat al Ani Fi Huruf al Ma‘ani. Jejak ini juga diikuti oleh Hitam Khalid bin Hassan, Engku
Umar bin Hassan Midai, Raja Ahmad Tabib, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain. Para penulis
wanita pun tidak ketinggalan, sehingga Riau mengenal Raja Zaleha, Aisyah Sulaiman, Salmah
binti Ambar, dan Badriyah Muhammad Taher.
Rintisan yang dibuat oleh para penulis Riau abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini kelak
memunculkan penulis-penulis seperti Hanafi Tsuyaku, Soeman Hs, Wan Khalidin, S.H. yang
dikenal dengan nama Dass Chall, kemudian berlanjut kepada penulis masa kini yang
menghasilkan karya-karya sastra berbentuk sajak cerita pendek, novel, naskah sandiwara, esai
dan artikel budaya, serta cerita anak-anak. Semua itu menggambarkan bahwa hasrat ber-
kesenian/bersusastra di kalangan seniman dan sastrawan Melayu Riau tidak pernah padam.
Sayangnya seniman dan sastrawan Riau ini kurang mendapat sambutan dan kurang dikenal di
daerahnya. Mereka seperti orang asing di kampungnya sendiri.
5. Seni Bangunan Dan Seni Kerajinan
Hasil kesenian Riau yang perlu dicatat masih banyak, di antaranya adalah seni bangunan dan
seni kerajinan. Kedua seni ini juga menunjukkan ciri khas Riau. Kerajinan tenun kain, anyaman,
sulaman, tekat, renda, hiasan tudung saji, terandak, dan lainnya berkembang dengan baik.
Kerajinan tenun Riau mempunyai banyak motif, seperti motif bunga, daun, binatang, awan larat
(awan berarak), dan ukiran kaligrafi. Kain tenun khas Riau antara lain kain tenun Siak dari Siak
Sri Indrapura, kain sutera corak lintang dari Siantan, serta kain sutera petak catur dan kain
mastuli dari Daik Lingga.
Seniman Tenas Effendy telah berusaha mengungkap motif-motif yang dulu kurang dikenal
dalam senirupa Melayu, seperti motif bunga cengkih, pucuk rebung, awan larat, wajik-wajik,
bunga kiambang, bunga berembang, bunga hutan, bunga melur, tampuk manggis, cempaka,
kunyit-kunyit, pinang-pinang, naga-naga, lebah bergantung, ikan, ayam, sayap layang-layang,
siku keluang, dan lain-lain. Seniman ini dikenal sebagai orang yang berikhtiar untuk me-
lestarikan seni bangunan dan seni tradisional Melayu Riau lainnya, termasuk sastra lisan. Motif-
motif ukiran dalam kesenian Melayu klasik masih dapat kita lihat dalam bentuk ukiran kaligrafi
dari ayat-ayat Al Quran atau syair-syair Arab pada mimbar dan mihrab masjid-masjid tua di
seluruh Riau atau pada nisan-nisan lama.
Seni bangunan Melayu yang asli juga masih terdapat di seluruh Riau. Meskipun beragam dan
sedikit berbeda, namun semuanya masih memperlihatkan benang merah yang menunjukkan
cikal-bakalnya pada masa lampau.
6. Sikap Orang Melayu Terhadap Tradisinya
Pada senja hari, seorang penyadap enau bersenandung atau membaca serapah agar nira di banung
bambunya berisi banyak. Di pinggir laut atau dalam rumah-rumah panggung yang berdempet,
para nelayan berzikir, berdondang sayang, dan kadang-kadang terdengar membaca serapah
sambil melempar pancing.
Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah …!
Biar putus jangan rabut
Dalam cahaya terang bulan, beberapa pemuda Orang Laut berdindin mendayu-dayu.
Kayuh si Muncung kayuh
Lepas seteluk setanjung pula
Muncung oi ....
Senja hari berikutnya, di bawah naungan pohon kelapa di pinggir pantai atau di teduhan ladang,
nelayan dan petani duduk mengukir hulu parang atau kepala dayung dengan macam-macam
motif ukiran seperti kepala bayan, buah batun bunga Pak Mat kembang berdentum, dan lain-lain,
sedangkan di sebuah gedung pertunjukan di kota, pengolah pentas siap membuat latar
pertunjukan menyaingi teman-teman mereka di provinsi lain di Indonesia. Pemandangan seperti
itu menggambarkan luapan perasaan seni manusia yang dapat terjadi di mana saja. Luapan
rohani itu sudah semestinya tertampung sesuai dengan kehendak manusia untuk membangun
pertumbuhan pribadi, baik yang bersifat hiburan maupun yang bertujuan mencapai efek sosial.
Perasaan yang tak pernah padam dalam diri manusia akan merasakan betapa pincangnya
pembangunan masyarakat tanpa menyeimbangkan pembangunan fisik dengan peradaban.
Kesenian yang menjadi ukuran kegiatan rohani sudah tentu masuk ke dalam unsur peradaban.
Bagaimanapun pentingnya pembangunan fisik, jika tidak diimbangi dengan perkembangan
kesenian dalam masyarakat, niscaya pembangunan tersebut akan kehilangan imajinasi spiritual.
Padahal imajinasi spiritual diperlukan untuk menumbuhkan eksistensi dari hasil pembangunan
itu sendiri. Oleh karena itu, kita harus terpanggil untuk mengolah kesenian agar dapat menjiwai
pembangunan yang sedang melaju di Riau belakangan ini.
Hal tersebut telah diungkapkan oleh peneliti Riau, U. U. Hamidy, yang telah merekam sikap
orang Melayu terhadap tradisinya di Riau. Hamidy (1981) mengungkapkan:
Jika konsep, pemikiran, dan gambaran mengenai dunia dibuat dalam bentuk simbol-simbol,
maka dia akan terhindar dari tafsiran yang salah. Konsep itu dapat diselamatkan dari kemuna-
fikan kata-kata. Konsep tentang tafsir dunia dapat aman dari penyalahgunaan yang berpangkal
dari merosotnya nilai kata. Dengan usaha itu semua gagasan generasi terdahulu yang tertuang
dalam bentuk adat dan pusaka dapat berlanjut atau diwariskan dengan utuh kepada generasi
berikutnya. Dari kenyataan seperti ini, seorang pewaris adat dan pusaka di Rantau Kuantan dapat
menemui mutiara leluhurnya dalam keadaan bening, setelah dia kehabisan napas mencari makna
kehidupan ini.
Di sisi lain, fungsi nilai-nilai spritual dalam pembangunan terbaca dari simbol-simbol peradaban,
baik di pedalaman maupun di kota-kota dalam bentuk yang agak berbeda.
7. Penutup
Secara geografis, Riau merupakan daerah yang terbuka terhadap berbagai pengaruh dan
menerima keadaan sebagai tempat perhimpunan potensi bermacam-macam kesenian. Di
pedalaman Riau, kesenian tradisional dapat bertahan lebih kuat daripada di kota, sebagaimana
yang juga terjadi pada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kesenian yang bernapaskan Islam
bertahan dan berkembang lebih luas, terutama di desa-desa, sedangkan warna Melayu asli
setengah tenggelam, sebagian lagi dilanjutkan di desa-desa, namun kurang diminati di kota.
Bentuk dan jenis kesenian yang menonjol di Riau ialah seni sastra, teater, nyanyian, dan tari.
Garapan hasil sastra yang bercorak daerah terus mendapat perhatian para seniman setempat. Di
bidang teater, teater kontemporer yang berlandaskan teater tradisional masih cukup kuat, namun
teater Makyong dikhawatirkan bakal punah. Seni tari dan seni suara terus berkembang dengan
adanya kreasi-kreasi baru. Seni hias justru semakin bangkit setelah dipakai untuk kepentingan
zaman sekarang.
Dibandingkan dengan pembangunan fisik, perhatian terhadap kesenian agak jauh tertinggal.
Selain mementingkan pembangunan fisik, pembangunan spiritual di daerah ini hendaknya
digalakkan pula. Melalui sandiwara dan media seni lainnya, pesan-pesan pembangunan dapat
disampaikan dengan baik. Untuk itu diperlukan pengadaan naskah-naskah yang dapat menunjang
tujuan tersebut.
Permainan Tadisional
Berteknologi Tapi Tetap Berbudaya
Transformasi Permainan Anak Indonesia
Dipostkan oleh : Nuri Cahyono pada Saturday, March 12, 2011
Permainan anak modern dengan berbagai ke-elektronikanya telah menjadi prioritas untuk anak
Indonesia dalam bermain. Permainan modern ini mampu menggusur keberadaan permainan
tradisional yang telah menjadi budaya inilah yang di namakan Transformasi Permainan Anak
Indonesia.
Kalau kita boleh membandingkan, zaman sekarang, orientasi permainan anak-anak kita sudah
beralih ke permainan yang sifatnya elektronik dengan teknologi yang lebih canggih. Sebut saja,
Play Station 1, 2, dan 3, PSP, Nintendo dan lain-lain sudah mampu menggantikan permainan
tradisional yang sebenarnya banyak sekali manfaatnya. Teman SMA saya mempunyai usaha
penyewaan rental PS 2 di rumahnya. Dapat terlihat dengan jelas, yang menjadi pelanggan utama
adalah anak-anak SD umuran 6-12 tahun walaupun kadang ada juga anak umuran SMP dan
SMA yang menyewa. Di tempat penyewaan itu terdapat enam play station+televisinya dan sewa
perjamnya Rp 2500,00. Katanya, dalam sehari saja, ia bisa mendapat Rp 100.000 bahkan lebih
jika hari libur. Tempat penyewaan itu agak ramai mulai pukul 12 lewat, waktu dimana anak SD
sudah bubar. Walaupun kadang, masih terdapat beberapa anak yang merelakan bolos sekolah
untuk pergi ke tempat penyewaan itu.
Dari teman saya yang lain, beberapa tempat penyewaan PS di daerahnya (kebetulan teman saya
dari Jawa Tengah), sering mengadakan perjudian-perjudian bermain PS. Hal ini mungkin
digeluti oleh orang yang lebih dewasa, umuran SMA dan kuliahan. Tapi, terkadang, beberapa
anak kecil juga mulai mencoba berjudi dengan rekan sebayanya walaupun dengan taruhan yang
agak rendah. Memang, kita melihat hal ini seperti hal yang biasa tapi secara tidak sadar, kita
menanamkan jiwa-jiwa penjudi dalam diri anak-anak kita. Tentu saja pemantauan orang tua
menjadi factor penentu proses pengawasan perkembangan anak terkait dengan dunia
permainannya.
Sebenarnya, banyak dampak-dampak negative ketika anak diberikan permainan dengan
teknologi sekarang atau damapk mengenai Transformasi Permainan Anak Indonesia. Misalkan,
permainan elektronik identik dengan duduk diam saja, bersifat pasif sehingga tidak ada begitu
gerakan berarti. Ini menyebabkan fisik anak dibiasakan untuk lemah dan akan terbawa ketika ia
beranjak dewasa nanti. Kedua, ketika anak sudah dihadapkan dengan permainan elektronik, ia
cenderung sendiri sehingga kurang bersosialisasi dengan temannya yang lain. Hal ini
menyebabkan sifat pemalu, penyendiri dan individualistis.
Lain permainan elektronik, lain lagi permainan tradisional. Menurut Hamzuri dan Tiarma Rita
Siregar dalam bukunya, Permainan Tradisional Indonesia, permainan tradisional memiliki ragam
bentuk dan variasi yang begitu banyak. Setidaknya ada 750 macam permainan tradisional di
Indonesia, dan banyak yang belum terinventarisasi. Hal ini mengidentifikasikan bahwa
permainan tradisional Indonesia sangat melimpah. Tapi, kenyataan yang ada di masyarakat
sekarang, permainan tradisional sudah sangat jarang dimainkan karena berbagai alasan.
Saya ingat, sewaktu SD dulu, setiap waktu jeda istirahat, bersama teman yang lain seringkali
memainkan gobak sodor (kalau di daerah saya di Kalsel, namanya permainan Asin). Permainan
ini terdiri dari dua kelompok yang saling adu dan masing-masing regu berusaha menjalankan
strategi yang sudah dibuat regu masing-masing. Tanpa disadari, telah tertanam unsur kerjasama
untuk mencapai tujuan bersama yaitu memenangkan pertandingan. Tanpa disadari telah tertanam
dari kecil bagaimana cara bersosialisasi dengan sesame melalui permainan tradisional itu.
Permainan tradisional sebenarnya mempunyai karakteristik yang berdampak positif pada
perkembangan anak.
Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di
lingkungan kita tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang
tinggi. Banyak alat-alat permainan yang dibuat/digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu,
atau pasir. Misalkan mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk bali, engrang yang dibuat dari
bambu, permainan ecrak yang menggunakan batu, telepon-teleponan menggunakan kaleng bekas
dan benang nilon dan lain sebagainya.
Kedua, permainan anak tradisional dominan melibatkan pemain yang relatif banyak. Tidak
mengherankan, kalau kita lihat, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya.
Sebab, selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai maksud
lebih pada pendalaman kemampuan interaksi antarpemain (potensi interpersonal). seperti petak
umpet, , congklak, dan gobak sodor.
Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti
nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan
berprestasi, dan taat pada aturan. Semua itu didapatkan kalau si pemain benar-benar menghayati,
menikmati, dan mengerti sari dari permainan tersebut.
Banyak manfaat-manfaat lain yang dapat kita ambil dari permainan tradisional misalkan
sosialisasi mereka (anak) dengan orang lain akan semakin baik; dalam permainan berkelompok
mereka juga harus menentukan strategi, berkomunikasi dan bekerja sama dengan anggota tim
(misalkan dalam permainan engklek, congklak, lompat tali, encrak/entrengan, bola bekel dan
lain-lain. Manfaat-manfaat ini akan memperngaruhi perkembangan anak ke depannya.
Sekarang, tinggal orang tualah yang menentukan. Apakah lebih memilih untuk memperkenalkan
teknologi sejak dini kepada anak termasuk dalam memberikan kebutuhan bermainnya. Ataukah
mengajak anak untuk lebih sering turun bermain ke tanah sehingga ia dapat bersosialisasi dengan
anak yang lain dalam permainan-permainan rakyat yang sudah ada. Tentunya, memilih keduanya
harus ada batasan-batasan atau aturan-aturan tertentu yang mesti dijalankan sehingga dalam
perkembangan anak masih dalam koridor yang baik. Orang tua yang baik pasti mengetahui
bagaimana menanamkan nilai-nilai positif pada perkembangan anak-anaknya dalam bentuk
permainan. Permainan tidak saja akan mempengaruhi perkembangan anak secara parsial tetapi
juga akan menentukan karakteristik anak ke depannya.
Selain itu semua yang terpenting adalah bagaimana peran kita untuk turut serta mengembalikan
dan mengenalkan permainan anak tradisional terhadap generasi anak Indonesia atau
memodernkan permainan anak tradisional.
GASING PERMAINAN TRADISIONAL MELAYU RIAU
Diposkan oleh RIAU DAILY PHOTO on 24 Februari 2011 di 21.22
Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu Riau yang sampai saat ini masih
eksis meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman. Secara
umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk badan bulat, lonjong, piring terbang
(pipih), kerucut, silinder dan bentuk-bentuk lainnya yang merupakan ciri khas kedaerahan
dengan ukuran bervariasi, terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Gasing
dimainkan dengan tali yang cukup panjang dan digulungkan pada kayu bulat, runcing pada
bagian bawah dan terdapat katup pada bagain atas. Dilempar dengan keras ke tanah sehingga
gasing tersebut berputar dengan kencang. Aturan permainan gasing ini tergantung pada para
pemainnya, untuk kalangan anak-anak biasanya menggunakan sistem bertahan lama putaran
gasing. Namun yang biasa dilakukan oleh orang dewasa gasing akan diadu.
Melalui Guru Merefleksi Budaya
31 Oktober 2012 - 09.18 WIB > Dibaca 390 kali
Di tengah deraan era globalisasi yang semakin tidak terkendali, yang
juga menyebabkan semakin sulitnya mengontrol dan mengarahkan perkembangan anak, guru
dapat diharapkan dalam upaya membentengi dan memfilterisasi hal-hal yang dapat
mempengaruhi mental dan akhlak anak.
Dampak negatif dari era globalisasi dan informasi ini tidak hanya menyerang mental, akhlak, dan
sikap anak, tetapi juga telah mempengaruhi penguasaan anak terhadap budayanya sendiri, dalam
hal ini adalah budaya Melayu.
Jarang terdengar seorang anak yang mendendangkan syair-syair, jarang terdengar anak
berpantun seperti yang dilakukan orang-orang dulu.
Apalagi dari segi permainan, tidak pernah lagi kita melihat anak-anak kita melakukan permaian
tadisional Melayu. Artinya, saat ini budaya Melayu hampir tidak tampak dalam diri anak Melayu
itu sendiri.
Lajunya perkembangan teknologi dan informasi, seolah-olah telah mereformasi budaya lokal.
Tidak dipungkiri, ada reformasi kebudayaaan dari yang tradisional ke arah modern. Misalnya
dalam permainan, dulu kita masih sering melihat anak-anak yang bermain setatak, main cak bur,
main teng-teng buku, dan permainan tradisional lainnya.
Anak sekarang, mereka lebih memilih main Plays Station, Game Online, dan sebagainya yang
pada umumnya merupakan permaianan yang sangat modern.
Permaianan seperti Plays Station dan Game Online tersebut cenderung lebih bersifat egois dan
membantu anak untuk tidak peduli terhadap lingkungannya.
Sementara budaya bukanlah suatu hal yang harus direformasi. Budaya harus terus dipupuk dan
dilestarikan. Persoalannya, sejauh ini belum tampak upaya maksimal yang dilakukan oleh pihak
terkait untuk pemertahanan ketradisionalan budaya.
Tekad politik Provinsi Riau yang ingin menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu akan
sulit diwujudkan jika keberadaan budaya Melayu itu sendiri telah lenyap ditenggelamkan arus
globalisasi dan informasi yang lebih cepat dibandingkan dengan upaya pelestariannya.
Mengatasi hal tersebut, yang perlu dilakukan adalah merefleksi budaya yang tanpa kita sadari
hampir habis terkikis. Anak sangat dimanjakan dengan ketersediaan teknologi.
Padahal, budaya lokal dalam bentuk apa pun, jauh lebih bernilai positif dan memiliki filosofi
yang tinggi untuk mengarahkan perkembangan anak.
Pada permainan teng-teng buku misalnya, di sana banyak nilai yang terkandung untuk membantu
perkembangan anak. Permainan cak bur, atau di Kuantan Singingi lebih dikenal dengan main
gala-gala, juga banyak memuat nilai-nilai budaya Melayu.
Permainan ini sangat menuntut kejujuran, karena bisa saja berkilah tidak tersentuh lawan
sehingga dinyatakan kalah.
Selain itu jiwa gotong-royong dan kekompakan juga sangat diperlukan, karena ini merupakan
permainan bersifat kolaboratif, keberhasilan seseorang menentukan keberhasilan tim, dan
sebaliknya kegagalan individu juga menentukan kegagalan tim.
Masih banyak permainan-permaian tradisional Melayu yang dulu selalu dimainkan dan jauh
lebih membangun karakter anak dibandingkan permainan anak sekarang yang cenderung bersifat
egois dan individualis.
Refleksi budaya yang dimaksudkan, semua unsur budaya Melayu harus disajikan kembali
kepada anak-anak sejak mereka berada pada usia dini.
Penyajian budaya Melayu ini perlu disajikan karena jika anak-anak dibiarkan memilih permainan
sendiri misalnya, mereka akan memilih permainan yang bersifat modern, karena mereka
dimanjakan oleh teknologinya.
Mereka tidak akan pernah lagi bermain setatak, teng-teng buku, cak bur, dan permainan
tradisional lainnya jika tidak secara sengaja disajikan.
Salah satu cara penyajiannya dapat dilakukan dengan menjadikan permainan-permainan seperti
ini, atau unsur budaya lainnya sebagai bahan ajar di PAUD.
Misalnya untuk membuka pembelajaran, ketika masih di luar kelas, anak dapat diajak bermain
permainan tradisional tersebut.
Selain itu, pakaian adat Melayu, rumah adat Melayu, makanan dan masakan Melayu dan lain
sebagainya dapat dijadikan sebagai bahan ajar yang berbasis budaya Melayu kepada anak
PAUD.
Hal ini sesuai dengan hakikat pembelajaran di PAUD yaitu bermain sambil belajar.
Yang terpenting adalah, penyajian budaya Melayu itu harus dilakukan sejak dini, ketika anak
berada pada masa keemasannya.
Herawati (2005) dalam bukunya menyatakan bahwa usia dini merupakan masa keemasan
seorang anak, masa peletakkan pondasi kecerdasan manusia, masa pengembangan dan
pembentukan kemampuan kognitif, bahasa, motorik, seni, sosial, emosional, moral, dan nilai-
nilai agama.
Keberhasilan upaya pengembangan kecerdasan anak usia dini, sangat ditentukan oleh bagaimana
kualitas lingkungan bermain anak dan stimulasi dari lingkungan anak.
Berdasarkan pendapat di atas, seandainya perkembangan anak tidak dilandasi dengan pondasi
yang kokoh, sampai dewasa pun anak tersebut akan mudah diterpa oleh berbagai pelayanan
modernisasi.
Untuk itu, sejak usia dini, anak harus diberikan landasan pijak yang kuat dan berbasis budaya
Melayu, agar tidak terbuai dan dapat menfilter teknologi dan informasi bagi dirinya.
Perefleksian budaya Melayu dalam diri anak tentu dapat dilakukan melalui guru PAUD.
Pendidik anak usia dini khusunya di Provinsi Riau diharapkan juga dapat membangun pondasi
yang kuat berbasiskan budaya Melayu dalam diri anak.
Dalam hal ini, melalui proses pembelajaran, materi-materi yang disajikan diharapkan yang
memuat unsur-unsur budaya Melayu. Namun, materi pembelajaran tersebut tentu harus tetap
berpedoman pada standar PAUD Nomor 58 Tahun 2009 dan Kurikulum TK; Pedoman
Pengembangan Program Pembelajaran di TK yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional.
Kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan khususnya di tanah Melayu ini,
diharapkan dapat merancang model pembelajaran dan bahan ajar yang berbasis Melayu.
Diharapkan generasi mendatang lebih kenal dengan budayanya sendiri karena apabila diberikan
sejak dini karakteristik Melayu pun akan tertanam dalam jiwa anak.
Pondasi kebudayaan Melayu seperti yang dikatakan oleh Junaidi (Riau Pos, Selasa 30 Oktober
2012) sudah mulai terpancang. Pancangan pondasi kebudayaan Melayu itu harus dimulai dari
dalam diri budak Melayu.
Semoga akan lahir generasi-generasi yang mengenal budayanya sendiri, berjiwa dan
berkarakteristik budaya Melayu.***