1
Analisis tentang Konversi Utang Menjadi Saham yang Tidak Sesuai dengan Anggaran Dasar Perseroan (Studi Kasus: Putusan
Mahkamah Agung Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011 antara PT PANN (Persero) dan PT Mandala Airlines)
Liedarmawan Chandra dan Teddy A.Anggoro (Pembimbing)
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini membahas konversi utang menjadi saham sebagai isi dari perjanjian perdamaian dalam Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang (PKPU) PT Mandala Airlines yang telah disahkan dalam putusan Pengadilan Niaga. Salah satu kreditor konkuren yaitu PT PANN (Persero) tidak dapat melaksanakan konversi utang menjadi saham karena tidak sesuai dengan anggaran dasar perseroan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah konversi utang menjadi saham tersebut dapat dilaksanakan oleh PT PANN (Persero) melalui mekanisme spin-off. Penelitian ini juga menyarankan PT PANN (Persero) untuk melaksanakan pengambilan saham PT Mandala Airlines setelah melakukan mekanisme spin-off.
Kata kunci:
Konversi utang menjadi saham, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perdamaian.
ABSTRACT
The focus of this study is the conversion of debt into equity as the content of the reconcilement agreement as in Suspension of Debt Payment (PKPU) PT Mandala Airlines which was approved by the verdict of the Commercial Court. One of the unsecured creditors, namely PT PANN (Limited) can not carry out the conversion of debt into equity because it does not fit with the company's articles of association. This research is normative. The results of this study is the conversion of debt to equity can be executed by PT PANN (Limited) through a mechanism of spin-off. The study also suggests PT PANN (Limited) to take of PT Mandala Airlines’s stocks after the spin-off mechanism.
Key words:
conversion of debt into equity, reconcilement, Suspension of Debt Payment.
2
PENDAHULUAN
Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia pada
pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi
perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan
merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara Indonesia memang
tidak sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling
menderita dan merasakan akibatnya.1
Tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih
dapat bertahan pun usahanya memprihatinkan. Untuk mengantisipasi adanya
kecenderungan dunia usaha yang memprihatinkan yang akan berakibat pula
pada tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo, maka
pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam peraturan perundang-
undangan dalam rangka mengatasi permasalahan di dunia usaha, salah satunya
adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan. Inisiatif pemerintah untuk
merevisi Undang-Undang Kepailitan, sebenarnya timbul karena ada “tekanan”
dari International Monetery Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia
menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan
kewajiban oleh debitor ke kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan
yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang dapat
memenuhi tuntutan zaman.2
Untuk menghindari terjadinya penetapan kepailitan oleh pengadilan
dengan suatu keputusan hakim yang tetap, maka akan di lakukan suatu upaya
hukum yang dapat menyeimbangi keberadaan dan fungsi hukum kepailitan itu
sendiri, yaitu dengan dilakukannya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). PKPU dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor yang memiliki
1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 1991), hal 10
2
Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal 50.
3
itikad baik, dimana permohonan pengajuan PKPU harus diajukan sebelum
diucapkannya putusan pernyataan pailit.3
PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga
kepada debitor dan kreditor untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang
debitor, baik sebagian maupun seluruhnya termasuk apabila perlu
merestrukturisasi utang tersebut. Diberikannya kesempatan bagi debitor untuk
menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya, maka ada kesempatan bagi
debitor untuk melanjutkan usahanya, aset-aset dan kekayaan akan tetap dapat
dipertahankan debitor sehingga dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan
utang-utang kepada seluruh kreditor, dan juga memberi kesempatan kepada
debitor untuk merestrukturisasi utang-utangnya, sedangkan bagi kreditor,
PKPU yang telah diberikan kepada debitor juga dimaksudkan agar kreditor
memperoleh kepastian mengenai tagihannya, utang piutangnya akan dapat
dilunasi oleh debitor.4
Ketentuan PKPU yang berlaku di Indonesia masih menjadi satu dengan
Undang-Undang Kepailitan, baik semasa Faillissement Verordening Stb. 1905
No.217 jo. Stb. 1906 No.348, dan setelah terjadinya krisis moneter di Indonesia
Juli 1997, maka dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9
September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor
135) yang bukan merupakan Undang-Undang Kepailitan yang baru melainkan
hanya sekedar mengubah dan menambah beberapa pasal peraturan kepailitan
yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Peraturan tersebut dianggap tidak dapat memenuhi perkembangan dan
kebutuhan masyarakat, maka pemerintah bersama dengan DPR menerbitkan
3
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi revisi Berdasarkan Undang-undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Malang: UPT Percetakan Universitas Muhammadiyah, 2008), hal 220 .
4
Kartini Muljadi, dalam Lontoh dkk, Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal 173.
4
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.5
Permohonan PKPU diajukan dengan maksud untuk mengajukan
Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian utang atau
seluruh utang kepada kreditor. Rencana Perdamaian ini merupakan proposal
akan tindakan-tindakan yang akan diambil debitor dalam rangka penyehatan
kembali perusahaannya. Salah satu tindakan yang ditempuh debitor dalam
rangka menyelesaikan utang-utangnya tersebut adalah dengan cara melakukan
pengajuan restrukturisasi atas utangnya.
PKPU memiliki beberapa perbedaan dengan Kepailitan. Yang pertama
adalah dalam PKPU ini nasib orang yang mendapat PKPU tidak sejelek orang
yang dinyatakan pailit. Orang yang dinyatakan pailit akan kehilangan
kecakapan berbuat terhadap harta bendanya sendiri, sedangkan orang yang
mendapatkan PKPU tidak akan kehilangan hak atas harta bendanya. Dalam
lembaga PKPU, orang yang mendapat PKPU masih cakap berbuat terhadap
harta-bendanya tetapi ia harus meminta izin dari Pengurus yang diangkat oleh
hakim. Dalam PKPU, kurator tidak turut campur dalam persoalan PKPU tetapi
hakim akan mengangkat Pengurus yang bertugas mengawasi orang yang
mendapat PKPU dalam mengurus harta bendanya.6
Restrukturisasi utang merupakan salah satu upaya alternatif yang dapat
ditempuh debitor yang utang-utangnya telah jatuh tempo atau bahkan sebagai
termohon pailit. Salah satu upaya dalam merustrukturisasi utang adalah dengan
cara konversi piutang kreditor menjadi saham perusahaan debitor atau “debt to
equity swap”. Dengan cara demikian, diharapkan kedua belah pihak saling
diuntungkan dimana kreditor dapat memperoleh sebagian hak kepemilikan atas
perusahaan debitor dan memperoleh deviden atas kepemilikan saham,
5
Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2008), hal 328.
6
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal 103.
5
sedangkan bagi debitor sendiri tetap dapat menjalankan perusahaannya
sehingga masih memiliki kemungkinan untuk diselamatkan.
Kasus-kasus restrukturisasi utang dengan jalan konversi utang menjadi
saham telah terjadi di Indonesia, diantaranya adalah yang dilakukan oleh PT.
Mandala Airlines. PT Mandala Airlines didirikan pada 17 April 1969 dan
awalnya merupakan bagian dari badan militer Indonesia. Pada bulan April
2006, grup transportasi Indonesia, Cardig International mengakuisisi maskapai
penerbangan tersebut senilai Rp300 Milyar (34 Juta USD). Pada bulan Oktober
2006, Indigo Partners, sebuah perusahaan investasi mengakuisisi 49% saham
Cardig.7
Pada tanggal 12 Januari 2011, Mandala Airlines menghentikan kegiatan
operasionalnya. Mandala menghadapi masalah sengketa internal dengan pihak
yang menyewakan pesawat. Mandala mengalami kesulitan atau gagal bayar
terkait pembayaran sewa pesawat terhadap perusahaan yang menyewakan
pesawat.8
Beban utang Mandala Airlines mencapai Rp 2,45 triliun kepada
kreditor konkuren atau kreditor yang tidak dijamin dengan aset-aset
perusahaan. Jumlah kreditor konkuren sebanyak 114 kreditor yang bersifat
perusahaan, 72.000 pemegang tiket yang sudah diverifikasi, dan 350 agen
perjalanan. Mandala Airlines juga berhutang kepada kreditor separatis yakni
Bank Victoria, yang dijamin dengan aset-aset Mandala Airlines. Jumlah utang
maskapai ini mencapai Rp 54,14 miliar. Perhitungan aset sementara Mandala
Airlines kini mencapai Rp 110 miliar. Aset itu hanya berupa gedung, tanah,
dan mesin pesawat Mandala Airlines.9
7
Herdaru Purnomo, ”Tak Ada Gugatan Pailit, PN Jakpus Belum Terima PKPU Mandala”, http://finance.detik.com/read/2011/01/13/133740/1545677/4/tak-ada-gugatan-pailit-pn-jakpus-belum-terima-pkpu-mandala
8
Eko Priliawito , ”Mandala Stop Operasi Selama 45 Hari”, http://bisnis.news.viva . co.id /news/read/198991-mandala-berhenti-operasi-sementara-45-hari
9
Anonim, “Beban Utang Mandala Airlines Rp 2,45 Triliun”, http://www.kabarbisnis . com /read/ 2818207
6
Dalam dokumen perjanjian perdamaian Mandala dengan para
kreditornya disebutkan ada enam penyebab Mandala tak mampu membayar
utang. Pertama, biaya besar yang timbul akibat konversi armada perseroan dari
Boeing 737 (seri 200 dan 400) menjadi Airbus A319/320. Kedua, adanya
penyusutan jumlah armada pesawat perseroan yang menyebabkan pengurangan
pendapatan perseroan secara signifikan. Ketiga, munculnya depresiasi mata
yang rupiah sekitar 25% di 2008 terhadap mata uang dolar AS. Keempat,
terjadinya kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar di 2008. Kelima,
infrastruktur yang belum memadai untuk menyokong operasi penerbangan
domestik yang berkesinambungan. Dan terakhir, adanya penumpukan biaya-
biaya operasional yang sudah terakumulasi dalam waktu panjang sehingga
mencapai jumlah yang sangat besar.10
Di dalam dokumen perjanjian perdamaian Mandala dengan para
kreditornya, juga dipaparkan jika Mandala diputuskan dilikuidasi oleh
pengadilan, hanya kreditor separatis yaitu Bank Victoria yang akan
dikembalikan utangnya. Karena itu, pelaksanaan proses likuidasi Mandala
Airlines hanya dapat memberi pengembalian kepada kreditor separatis, yang
sebelumnya telah terjamin dengan aset perusahaan. Sebaliknya para kreditor
konkuren tidak mendapatkan sisa dari hasil likuidasi aset perusahaan.
Sehingga, kreditor konkuren yang jumlah utangnya Rp 2,45 triliun terancam
tak terbayar seluruh utangnya.
Selain kepada para kreditor tersebut, Mandala juga memiliki kewajiban
kepada para pemegang tiket yang belum terbang. Semula 157.000 pemegang
tiket, setelah diverifikasi menjadi sekitar 72.000 pemegang tiket. Untuk
pengembalian uang tiket, utang Mandala mencapai Rp 27 miliar. Para
pemegang tiket itu, termasuk kreditor konkuren. Mandala dilarang membayar
utang kepada sebagian kreditor. Ini sesuai aturan yang berlaku. Kecuali
Mandala membayar ke seluruh kreditor dengan imbangan piutang masing-
10
Loc. Cit.
7
masing, maka pengembalian uang tiket kepada penumpang yang belum terbang
tidak dapat dilakukan.11
Pada tanggal 17 Januari 2011, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah
mengabulkan permohonan PKPU Mandala Airlines sekaligus memberikan
waktu 45 hari kepada Mandala Airlines untuk membuat strategi restrukturisasi
perusahaan.12 Mandala kemudian mengajukan Rencana Perdamaian yang
secara garis besar isinya mencakup ketiga hal berikut: pertama, pengajuan
konversi hutang kreditor konkuren menjadi saham. Kedua, masuknya investor
baru untuk menyuntikkan modal bagi perusahaan. Dan, ketiga, masuknya
pengelola baru untuk memulai kembali operasi perusahaan.13
Atas Rencana Perdamaian yang diajukan Mandala, kreditor diberikan
waktu untuk melakukan analisa dan evaluasi atas Rencana Perdamaian
tersebut. Terhadap Rencana Perdamaian itu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
pada tanggal 2 Maret 2011 telah mengesahkan hasil voting dalam perdamaian
antara PT Mandala Airlines dan para kreditor melalui Putusan Nomor
01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. Pengadilan Niaga dalam hal ini juga
telah mempertimbangkan sedikitnya tiga keberatan dari kreditor. Namun, oleh
majelis hakim, keberatan itu dianggap tidak beralasan sehingga ditolak oleh
hakim. Keputusan konversi utang itu diambil setelah pemungutan suara yang
diambil oleh 344 hak suara kreditor. Sebanyak 304 suara setuju dengan
konversi saham, 37 suara menolak, dan 3 suara abstain.14
Salah satu permohonan Mandala yang disetujui oleh Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST.
11
Loc. Cit12
Eddy Dwinanto Iskandar, “Rencana Perdamaian Mandala Ditolak 37 Kreditor”, http://swa.co.id/listed-articles/rencana-perdamaian-mandala-ditolak-37-kreditor
13
Loc .Cit14
Erlangga Djumena, ”Perdamaian Mandala Disahkan Pengadilan,” http://bisniskeuangan. kompas.com/read/2011/03/02/1539275/P erdamaian.Mandala.Disahkan .Pengadilan.
8
tersebut adalah konversi utang menjadi saham. Salah satu kreditor Mandala
yaitu PT PANN (Persero) kemudian mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali atas Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. tersebut.
Adapun yang menjadi alasan PT PANN (Persero) dalam anggaran dasarnya
adalah sebagai perusahaan pembiayaan yang wajib tunduk kepada ketentuan
dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan bahwa:
“Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal pada
perusahaan di sektor keuangan di Indonesia”.
Lebih lanjut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, apabila
PT PANN (Persero) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, maka
PT PANN (Persero) akan mendapatkan sanksi berupa Peringatan, Pembekuan
Kegiatan Usaha, dan Pencabutan Izin Usaha. PT PANN (Persero) merupakan
Badan Usaha Milik Negara, dalam anggaran dasarnya menegaskan dan
mengatur bahwa apabila PT PANN (Persero) hendak melakukan penyertaan
modal pada perusahaan lain, maka PT PANN (Persero) wajib mendapatkan
tanggapan tertulis Dewan Komisaris dan mendapatkan persetujuan dari
Pemegang Saham yang dalam hal ini adalah Negara Republik Indonesia yang
diwakili oleh Menteri Negara BUMN dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk
Bahwa dengan demikian sesungguhnya penolakan PT PANN (Persero)
atas Penawaran Perdamaian yang diajukan oleh Mandala Airlines yang isinya
antara lain utang kepada kreditor dikonversi menjadi Saham Baru Perseroan
(Saham Seri C), didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang secara
tegas melarang PT PANN (Persero) untuk melakukan penyertaan modal dalam
perusahaan selain perusahaan di sektor keuangan di Indonesia, sedangkan
Mandala Airlines adalah perusahaan yang bergerak di sektor
angkutan/perhubungan udara sehingga PT PANN (Persero) menurut hukum
yang berlaku dilarang untuk melakukan penyertaan modal, dalam bentuk
9
apapun tidak terkecuali dalam bentuk konversi utang menjadi kepemilikan
saham pada Mandala Airlines.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, PT PANN (Persero) mengajukan
upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia terhadap Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST.
tersebut. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011
menolak permohonan Peninjauan Kembali tersebut.
Pokok Permasalahan
1. Bagaimana akibat hukum atas konversi utang menjadi saham yang tidak
sesuai dengan anggaran dasar perseroan?
2. Bagaimana upaya hukum yang tepat untuk melaksanakan konversi utang
menjadi saham yang tidak sesuai dengan anggaran dasar perseroan?
Bentuk penelitian tesis ini adalah bentuk penelitian yuridis normatif,
yaitu suatu bentuk penelitian berdasarkan norma hukum tertulis. Alasannya
adalah penelitian ini didasarkan pada adanya suatu ketentuan undang-undang
dan putusan Mahkamah Agung yang merupakan norma hukum tertulis. Sejalan
dengan hal tersebut, penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan
suatu keadaan.
Penelitian ini menjelaskan mengenai konversi utang menjadi saham
sebagai salah satu agenda dari PKPU. Dari sudut tipe penelitiannya, penelitian
ini adalah penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian yang tujuannya
memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan.15
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian problem solution, yaitu
suatu penelitian yang bertujuan memberikan jalan keluar dan saran pemecahan
masalahnya.16 Konversi utang menjadi saham ternyata tidak serta-merta dapat
15
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)., hlm.4.
16
10
dilaksanakan. Maka penelitian ini berusaha mencari solusi atas permasalahan
tersebut.
Adapun jenis data yang penulis kumpulkan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.17
Data sekunder tersebut akan didukung dengan hasil wawancara dengan
narasumber. Alasan penulis mengumpulkan data sekunder adalah karena
penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada
norma hukum tertulis. Norma hukum tertulis termasuk sebagai sumber data
sekunder.
Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum
primer, yaitu bahan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 84/PMK.
012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
5. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/PKPU/2011/PN.
NIAGA.JKT.PST
6. Putusan Mahkamah Agung Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011
7. Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
Kemudian bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan buku, makalah, serta artikel yang berkaitan dengan
hukum kepailitan dan PKPU. Selanjutnya bahan hukum tersier, yaitu bahan
hukum yang memberikan petunjuk atau referansi terhadap bahan hukum
Ibid., hal. 5.17
Ibid., hal 28.
11
primer dan sekunder. Dalam penelitian ini penulis menggunakan ensiklopedia
dan kamus.
Alat pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi dokumen
atau penelusuran literatur dan wawancara. Studi dokumen penting dilakukan
untuk merumuskan kerangka teori dan konsep.18 Wawancara dilakukan dengan
narasumber untuk memperoleh data guna mendukung data sekunder.
Wawancara akan penulis lakukan secara langsung, yaitu berhadapan dengan
narasumber.
PEMBAHASAN
Debt to equity swap merupakan suatu langkah yang diambil oleh pihak
kreditor karena kreditor tersebut melihat dan mengamati bahwa perusahaan
dari debitor yang mengalami masalah keuangan tersebut mempunyai nilai
ekonomi yang sangat bagus di masa yang akan datang, dan ini merupakan cara
yang bagus bagi kreditor untuk menambah laba, yaitu dengan cara reklasifikasi
tagihan debitor menjadi penyertaan.19
Transaksi debt to equity swap pada dasarnya merupakan transaksi
pengeluaran saham-saham baru dimana pembayaran atas saham tersebut
dilakukan dengan dikonversikannya piutang kreditor atau pemegang saham
perseroan terbatas menjadi saham-saham baru. Pemegang saham atau kreditor
yang mempunyai tagihan terhadap perseroan dapat mengkompensasikan hak
tagihnya menjadi penyetoran atas harga saham, sepanjang hal tersebut disetujui
oleh RUPS.20
18
Ibid., hal. 29.19
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya, (Jakarta: Salemba Empat, 2001) hal. 61.
20
Pheo Marojahan Hutabarat, “Beberapa Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terkait dengan Organisasi Perusahaan: Suatu Tinjauan Praktek”, (makalah disampaikan dalam Pelatihan Calon Advokat kerjasama PBHI dengan PERADI, Jakarta 10
12
Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa
debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada
umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.
Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan tundaan pembayaran
utang adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan
hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor
diberi kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya
dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya,
termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. Jadi, PKPU
sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.21
Perdamaian pada dasarnya adalah suatu kesepakatan antara debitor dan
kreditor untuk merestrukturisasi utang secara paksa. Penyelesaian utang-
piutang secara damai di luar kepailitan hanya dapat dicapai jika debitor dan
kreditor telah sama-sama sepakat atas syarat-syarat dan ketentuan perjanjian
perdamaian. Kreditor tidak dapat dipaksa untuk menyetujui syarat-syarat
perdamaian, demikian pula sebaliknya.22 Suatu perjanjian perdamaian dapat
dibuat untuk mengakhiri suatu sengketa dan dalam hal PKPU adalah
penyelesaian utang yang telah jatuh tempo dengan cara-cara antara lain:
restrukturisasi utang dengan pengurangan pokok pinjaman dan bunganya,
pengurangan tingkat suku bunga, konversi utang menjadi saham, atau
penundaan pembayaran.23
Agustus 2008), hal. 40.21
Munir Fuady, Hukum Pailit, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 175.22
Andrey Sitanggang, “Perdamaian Dalam Kepailitan”, (makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Kurator dan Pengurus AKPI, Jakarta, Oktober 2012), hal. 1.
23
R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 112.
13
Isi rencana perdamaian tidak dibatasi oleh undang-undang sehingga
dapat berisi restrukturisasi utang-utangnya. Dengan demikian apabila rencana
perdamaian tersebut diterima oleh para kreditornya dan perusahaan debitor
dapat membayar kembali utangnya kepada para kreditornya maka keadaan
tersebut tentu lebih menguntungkan. Perdamaian yang telah disetujui Pemohon
PKPU dan termohon serta para kreditronya akan dihomologasi oleh pengadilan
niaga segera setelah putusan perdamaian disahkan. Perdamaian tersebut
mengikat semua kreditor konkuren tanpa kecuali untuk menaati isi perdamaian
tersebut. Putusan pengesahan perdamaian langsung mempunyai kekuatan
hukum tetap.24
Konversi utang menjadi saham adalah salah satu cara restrukturisasi
utang yang dapat ditawarkan debitor kepada para kreditornya dalam PKPU.
Melalui cara ini, seluruh utang debitor terhadap para kreditor konkuren akan
dikonversi menjadi saham baru perseroan. Dengan dikeluarkannya saham baru
perseroan, kreditor konkuren tidak lagi memiliki tagihan terhadap perseroan
dan perseroan akan secara penuh dibebaskan dari kewajiban membayar utang
terhadap kreditor konkuren.
Dalam kasus PKPU PT Mandala Airlines, permohonan PKPU yang
diajukan pada tanggal 13 Januari 2011 belum mencantumkan rencana konversi
utang menjadi saham sebagai solusi yang ditawarkan. Pada tahap ini pemohon
PKPU menyampaikan bahwa masih adanya kemungkinan perusahaan dapat
dijalankan apabila diberikan tenggat waktu untuk menunda pembayaran
utangnya kepada para kreditor dan juga bahwa pemohon PKPU sedang dalam
tahap negosiasi dengan beberapa calon investor.untuk menambah modal. Atas
permohonan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
memutuskan mengabulkan permohonan PKPU PT Mandala Airlines.
PT Mandala Airlines kemudian mengajukan rencana perdamaian yang
pada intinya memuat rencana restrukturisasi utang. Dalam rencana perdamaian
24
Ibid., hal. 114
14
tersebut konversi utang menjadi saham digunakan sebagai cara yang akan
ditempuh guna melaksanakan restrukturisasi utang PT Mandala Airlines
kepada para kreditornya. Ditawarkan kepada para kreditor konkuren agar hak
tagih mereka dikonversi menjadi 15-20% saham seri C perseroan.
Dalam rapat kreditor yang dilangsungkan pada tanggal 24 Februari
2011, rencana perdamaian yang diajukan PT Mandala Airlines tersebut
mendapat persetujuan dari para kreditor konkuren melalui mekanisme
pemungutan suara. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat memutuskan menyatakan sah perdamaian antara PT Mandala
Airlines dengan para kreditornya dan menghukum debitor dan kreditor untuk
menaati isi dari perdamaian tersebut.
Penulis berpendapat bahwa akibat hukum dari pengesahan perdamaian
antara PT Mandala Airlines dan para kreditornya tersebut adalah para kreditor
konkuren tidak akan menerima pembayaran piutangnya dalam bentuk uang
tunai maupun bentuk lainnya kecuali saham seri C perseroan. Artinya bahwa
seluruh kreditor konkuren akan menjadi pemegang saham perseroan atau
dengan kata lain akan melakukan penyertaan modal di PT Mandala Airlines.
Salah satu kreditor konkuren PT Mandala Airlines adalah PT PANN
(Persero) yang merupakan perusahaan pembiayaan. Hal ini ternyata dalam
anggaran dasar PT PANN (Persero) yang perubahan terakhirnya dimuat dalam
Akta Nomor 66 Tanggal 14 Agustus 2008 yang dibuat oleh Poerbaningsih Adi
Warsito, S.H., Notaris di Jakarta Selatan. Pasal 3 anggaran dasar PT PANN
(Persero) memuat maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan
usaha di bidang lembaga pembiayaan termasuk usaha pembiayaan dengan
prinsip syariah dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya perseroan untuk
menghasilkan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat untuk
mendapatkan/mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan
menerapkan prinsip-prinsip perseroan terbatas. Dari rumusan pasal tersebut
jelas bahwa PT PANN (Persero) adalah perusahaan pembiayaan.
15
Perusahaan pembiayaan tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Pasal 29 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan menyatakan bahwa perusahaan pembiayaan hanya dapat
melakukan penyertaan modal pada perusahaan di sektor keuangan di
Indonesia. Dalam hal ini PT PANN (Persero) sebagai perusahaan pembiayaan
dibatasi geraknya dalam melakukan penyertaan modal terhadap perusahaan
lain. PT Mandala Airlines adalah perusahaan yang bergerak di sektor jasa
transportasi, bukan di sektor keuangan. Penulis berpendapat, PT PANN
(Persero) tidak dapat memiliki saham PT Mandala Airlines, karena sebagai
pemegang saham, maka secara otomatis PT PANN (Persero) melakukan
penyertaan modal di PT Mandala Airlines, yang mana hal ini dilarang oleh
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan..
Penulis berpendapat, apabila PT PANN (Persero) tetap mengambil
saham PT Mandala Airlines sebagai akibat dari pengesahan perdamaian, maka
PT PANN (Persero) dapat dikenai sanksi berupa peringatan, pembekuan
kegiatan usaha dan pencabutan izin usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 44
ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
PT PANN (Persero) melakukan upaya hukum peninjauan kembali atas
perdamaian yang sudah disahkan tersebut. Dalam Putusan 070
PK/Pdt.Sus/2011, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang
diajukan PT PANN (Persero) tersebut, sehingga perdamaian antara PT
Mandala Airlines dengan para kreditornya harus dilaksanakan karena telah
berkekuatan hukum tetap dan PT PANN (Persero) sudah tidak bisa
mengajukan upaya hukum apapun.
Penulis berpendapat bahwa terjadi ketidaksesuaian antara perdamaian
antara PT Mandala Airlines dengan para kreditornya yang disahkan dalam
16
Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST dengan Pasal 29 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan. Bahwa di satu sisi PT PANN (Persero) dihukum untuk menaati
isi perdamaian yang di dalamnya mengharuskan PT PANN (Persero) untuk
ikut serta melakukan penyertaan modal di PT Mandala Airlines, sementara di
sisi lain PT PANN (Persero) sebagai perusahaan pembiayaan dilarang untuk
melakukan penyertaan modal di luar sektor keuangan di Indonesia. Akibat
hukumnya, PT PANN (Persero) terjebak dalam dua aturan hukum yang sama-
sama mengikat bagi dirinya.
Penulis berpendapat bahwa Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.
NIAGA.JKT.PST yang mengesahkan perdamaian antara PT Mandala Airlines
dengan para kreditornya dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan kedua-duanya merupakan
pranata hukum yang wajib ditaati oleh PT PANN (Persero) sebagai salah satu
kreditor konkuren PT Mandala Airlines dan juga sebagai sebuah perusahaan
pembiayaan.
Ketidaksesuaian antara tindakan penyertaan modal yang harus
dilakukan PT PANN (Persero) berdasarkan isi perdamaian antara PT Mandala
Airlines dengan para kreditornya dengan aturan Pasal 29 ayat (1) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
membuat hal tersebut tidak dapat serta-merta dilaksanakan. Penulis
berpendapat, pokok permasalahan tidak dapat dilaksanakannya penyertaan
modal sebagai konsekuensi konversi utang menjadi saham terdapat pada
kegiatan usaha PT PANN (Persero) di bidang pembiayaan yang membuatnya
harus tunduk kepada aturan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan tersebut.
Terhadap perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para
kreditornya telah disahkan melalui Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA
.JKT.PST telah diajukan upaya hukum peninjauan kembali oleh PT PANN
17
(Persero). Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011
telah menolak peninjauan kembali tersebut, sehingga PT PANN (Persero) tidak
dapat lagi mengajukan upaya hukum dalam jalur pengadilan.
Penulis berpendapat, karena upaya hukum dalam jalur pengadilan
sudah tidak ada, maka PT PANN (Persero) harus mencari upaya lain di luar
jalur pengadilan untuk dapat menjalankan konversi utang menjadi saham
sebagaimana diatur dalam perdamaian. Agar PT PANN (Persero) tidak lagi
tunduk terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan, dapat dijalankan upaya restrukturisasi perseroan
dengan jalan spin-off.
Spin-off adalah bentuk restrukturisasi perseroan dengan melakukan
pemisahan tidak murni. Menurut Pasal 135 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pemisahan tidak murni mengakibatkan
sebagian aktiva dan pasiva perseroan yang melakukan pemisahan beralih
karena hukum kepada satu perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan,
dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada. Ada unit bisnis
baru yang dipisahkan dari PT PANN (Persero). Unit baru ini akan menjadi
perusahaan pembiayaan, sedangkan PT PANN (Persero) akan menjadi holding
company.
Penulis berpendapat, dengan dilakukannya spin-off, maka sebagai
holding company PT PANN (Persero) dapat mengubah kegiatan usahanya
tidak lagi di bidang pembiayaan, karena unit usaha baru yang menjadi anak
usahanya sudah menjadi perusahaan pembiayaan. Dengan demikian, PT PANN
(Persero) tidak lagi tunduk pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Maka, tidak ada
halangan bagi PT PANN (Persero) untuk mengambil saham dan melakukan
penyertaan modal di PT Mandala Airlines.
Adapun pelaksanaan tindakan hukum spin-off tidak mudah. Merujuk
pada ketentuan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
18
Perseroan Terbatas, kuorum kehadiran untuk RUPS yang membahas
pemisahan paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara, hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan sah apabila
disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang
dikeluarkan dalam RUPS, kecuali bila anggaran dasar perseroan menentukan
kuorum yang lebih besar. Dalam hal ini para pemegang saham PT PANN
(Persero) adalah Negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Menteri
Negara BUMN dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, penulis berpendapat
wacana spin-off dapat disetujui oleh para pemegang saham dalam RUPS.
Setelah tindakah hukum spin-off dijalankan, penyertaan modal kepada
PT Mandala Airlines dapat dilaksanakan oleh PT PANN (Persero) sebagai
holding company setelah merubah maksud dan tujuan perseroan pada anggaran
dasarnya tidak lagi bergerak di bidang pembiayaan sehingga tidak lagi tunduk
pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
PENUTUP
Kesimpulan
a. Pengesahan perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditor
konkurennya melalui Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST
yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor
070PK/Pdt.Sus/2011 yang di dalamnya memuat konversi utang menjadi
saham dan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan
bahwa: “Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal
pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia” membuat PT PANN
(Persero) berada dalam posisi yang dilematis karena konversi utang
menjadi saham tidak dapat terlaksana. Hal ini disebabkan kedua pranata
hukum tersebut saling bertentangan sehingga membuat PT PANN (Persero)
19
tidak dapat menerima pelunasan piutangnya sebagai hasil perdamaian dari
PT Mandala Airlines karena konversi utang menjadi saham tidak dapat
dilaksanakan. Seharusnya perdamaian tidak boleh disahkan jika ada
kreditor yang dirugikan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengenai mekanisme pemungutan suara tidak tepat, karena seharusnya
dalam perdamaian tidak boleh ada kreditor yang dirugikan.
b. Di dalam anggaran dasarnya PT PANN (Persero) merupakan perusahaan
yang bergerak di bidang pembiayaan, maka tunduk pada Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
Dalam perkara ini sudah tidak ada lagi upaya hukum dalam jalur
pengadilan yang bisa dilakukan karena peninjauan kembali yang
dimohonkan PT PANN (Persero) telah ditolak oleh Mahkamah Agung.
Dengan demikian terhadap PT PANN (Persero) isi perdamaian dengan PT
Mandala Airlines telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan
upaya hukum lagi. Restrukturisasi perseroan diperlukan agar PT PANN
(Persero) dapat menerima pelunasan piutangnya sebagai hasil perdamaian
dari PT Mandala Airlines. Mekanisme spin-off dapat dijadikan sebagai
tindakan hukum untuk menyelesaikan masalah.
Saran
a. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar merivisi Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang terutama pada bagian isi perdamaian, bahwa isi
perdamaian harus pula memperhatikan ketentuan-ketentuan perundang-
undangan lainnya yang berlaku serta bahwa persetujuan perdamaian
seharusnya tidak menggunakan mekanisme pemungutan suara dan juga
merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 agar
memberikan pengecualian bagi perusahaan yang menerima saham karena
hukum (diperintahkan putusan pengadilan).
20
b. Kepada PT PANN (Persero) agar melakukan tindakan restrukturisasi
perseroan spin-off disertai dengan perubahan anggaran dasar dengan
mengganti maksud dan tujuan perseroan di luar bidang pembiayaan agar
tidak tunduk lagi kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dengan demikian
penyertaan modal di PT Mandala Airlines dapat dilaksanakan.
c. Kepada PT Mandala Airlines agar segera menyelesaikan restrukturisasi
utangnya dengan melaksanakan seluruh isi perjanjian perdamaian secara
efektif dan efisien.
d. Kepada pengadilan niaga agar teliti dalam memeriksa dan menanggapi
keberatan dari kreditor dalam hal kreditor yang bersangkutan terikat pada
suatu peraturan yang membuatnya tidak dapat melaksanakan isi perjanjian
perdamaian.
e. Kepada masyarakat agar selalu menyampaikan keberatan atas isi rencana
perdamaian sebelum perdamaian disahkan dengan putusan pengadilan
niaga.
DAFTAR REFERENSI
A. Buku
Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Fuady, Munir. Hukum Pailit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999
Gunadi. Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya. Jakarta: Salemba Empat, 2001.
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi revisi Berdasarkan Undang-undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Malang: UPT Percetakan Universitas Muhammadiyah, 2008.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
21
Muljadi, Kartini. ”Kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang” Dalam Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2001.
Sjahdeni, Sutan Remi. Hukum Kepailitan. Jakarta:Rajawali Pers, 2009.
________. Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008.
Suyatno, R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. Jakarta: Kencana, 2012.
Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
B. ArtikelAnonim. Kabar Bisnis. “Beban Utang Mandala Airlines Rp 2,45 Triliun”,
http://www.kabarbisnis.com/read/ 2818207, diakses pada 1 September 2012.
Djumena, Erlangga. ”Perdamaian Mandala Disahkan Pengadilan,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/02/1539275/Perdamaian.Mandala.Disahkan.Pengadilan, diakses pada 1 September 2012.
Hutabarat, Pheo Mahojahan. “Beberapa Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terkait dengan Organisasi Perusahaan: Suatu Tinjauan Praktek”. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Calon Advokat kerjasama PBHI dengan PERADI, Jakarta 10 Agustus 2008.
Iskandar, Eddy Dwinanto. “Rencana Perdamaian Mandala Ditolak 37 Kreditur”,http://swa.co.id/listed-articles/rencana-perdamaian-mandala -ditolak-37-kredit ur , diakses pada 1 September 2012.
Priliawito, Eko. ”Mandala Stop Operasi Selama 45 Hari”, http://bisnis .news.viva.co.id/news/read/198991-mandala-berhenti- operasi-sementara-45-hari, diakses pada 1 September 2012.
Purnomo, Herdaru. ”Tak Ada Gugatan Pailit, PN Jakpus Belum Terima PKPU Mandala”,http://finance.detik.com/read/2011/01/13/133740/1545677/4/tak-ada-gugatan-pailit-pn-jakpus-belum-terima-pkpu-mandala, diakses pada 1 September 2012.
22
Sitanggang, Andrey. “Perdamaian Dalam Kepailitan”. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Kurator dan Pengurus AKPI, Jakarta, Oktober 2012.
C. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
_______. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel)
_______. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
_______. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
_______. Peratutan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Tagihan Tertentu Yang Dapat Dikompensasikan Sebagai Setoran Saham
_______. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan