i
DIMENSI ILMU HIKMAH DALAM AYAT-AYAT ESOTERIK
(Kajian Analitis Kitab Syams al-Ma’arif)
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Agama (M,Ag)
Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh
AHMAD FUADI
214410578
Pembimbing:
Prof. Dr. Artani Hasbi, MA
Dr. Mukhlis Hanafi, MA
KONSENTRASI ‘ULUMUL QUR’AN DAN ‘ULUMUL HADIS
PROGAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA MAGISTER
INSTITUT ILMU AL QURAN (IIQ)
JAKARTA
2017 M/1438 H
ii
PERNYATAAN PENULIS
Yang bertanda yangan di bawah ini :
Nama : Ahmad Fuadi
NIM : 214.410.578
Tempat/Tgl. Lahir : Kudus, 26 April 1992
Menyatakan bahwa Tesis dengan judul “ Dimensi Ilmu Hikmah dalam Ayat-
Ayat Esoterik (Kajian Anaitis Kitab Syams al-Ma’arif)” adalah benar hasil
karya saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan sumbernya.
Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung
jawab saya.
Jakarta, 1 Januari 2018
Ahmad Fuadi
iii
MOTTO
ج ر ف ق ي ض ل ك ل
اح ت ف م ج ر ف ل ك ل و
ر ك ذ ج ر ف ال اح ت ف م و
ر و ن ه ن ك ل ,و ال ق م ال ة ر ث ك ب ل ,و ة اي و ر ال ة ر ث ك ب م ل ع ال س ي ل ف
ن ي ب و ه ن ي ب ه ب ز ي م ي ,و ق ح ال د ب ع ال ه ب م ه ف ي ب ل ق ىال ف ف ذ ق ي
ل اط ب ال 1
1 Hakikat Ilmu oleh Ibnu Rajab
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan tesis ini, bersumber
dari pedoman Arab-Latin yang diangkat dari panduan dan pedoman
penulisan skripsi, tesis dan disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
yang diadopsi dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987
dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab, yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam tulisan transliterasi ini sebagian
dilambangkan dengan huruf, sebagian dengan tanda, dan sebagian
dengan huruf dan tanda sekaligus, sebagai berikut :
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
alif اTidak
dilambangkan Tidak dilambangkan
ba’ B ba ب
ta’ T te ت
Tsa Tsa Te dan es ث
jim J je ج
ha H حHa (dengan garis di
bawah)
kha Kh ka dan ha خ
dal D de د
dzal Dz De dan zet ذ
ra R er ر
za Z zet ز
sin S es س
syin Sy es dan ye ش
sad Sh Es dan ha ص
dald Dh De dan el ض
thad Th Te dan ha ط
dhad Zh De dan ha ظ
ain ‘ koma terbalik (di atas)‘ ع
ghain Gh Ge dan ha غ
fa F ef ف
qaf Q qi ق
kaf K ka ك
v
lam L el ل
mim M em م
nun N en ن
wau W we و
ha H ha ه
hamzah ‘ apostrof ء
ya’ Y ye ي
2. Vokal
a. Vokal tunggal :
Tanda Vokal Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dammah U U
b. Vokal Rangkap :
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan ya Ai a-i ي
Fathah dan Wau Au a-u و
Contoh :
haula ----- حول kaifa ---- كيف
c. Vokal Panjang (maddah)
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan alif A A dengan caping di ا
atas
Fathah dan ya A A dengan caping di ي
atas
Kasrah dan ya I I dengan caping di ي
atas
Dammah dan و
wau
u U dengan caping di
atas
Contoh :
qîla ---- قيل qâla ---- قال
vi
yaqûlu ---- يقول rama ---- رمي
3. Ta marbutah
a. Transliterasi Ta’ Marbutah hidup adalah "t".
b. Transliterasi Ta’ Marbutah mati adalah "h".
c. Jika Ta’ Marbutah diikuti kata yang menggunakan kata sandang "ال"
("al-"), dan bacaannya terpisah, maka Ta’ Marbutah tersebut
ditransliterasikan dengan "h".
Contoh :
raudlatul athfâl atau raudhah al-athfâl ------- روضة الاطفال
المدينة المنورة ------- al-Madînatul Munawwarah, atau al-Madînah
al- Munawwarah
Talhatu atau Talhah ------------ طلحة
4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydid)
Transliterasi syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yang
sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata .
Contoh :
nazzala ------ نزل
al-birru ------- البر
5. Kata Sandang "ال"
Kata sandang "ال" ditransliterasikan dengan "al" diikuti dengan tanda
penghubung "-", baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun
huruf syamsiyyah.
Contoh :
al-qalamu -------- القلم
as-syamsu ------ الشمس
6. Huruf Kapital
Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam
transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan
sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama
diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali jika terletak pada
permulaan kalimat.
vii
Contoh :
Wa mâ Muhammadun illâ rasûl----- ومامحمد الارسول
viii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذى علم بالقلم علم الإنسان مالم يعلم
ثم الصلاة و السلام على رسول الله صلى الله عليه و سلم
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang
Maha Pemurah, Sang Pemilik waktu, karena berkat kemurahanNya tesis ini
dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan, meski tertatih. Dia berikan
kekuatan dalam setiap kelemahan, Dia berikan kelapangan dalam setiap
kesulitan, dan Dia berikan harapan dalam setiap langkah.
Selanjutnya, shalawat serta salam teruntuk Nabi besar Muhammad SAW
yang telah mengingatkan umat manusia untuk menginsafi kebodohannya.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tesis ini yang berjudul
“Dimensi Ilmu Hikmah dalam Ayat-Ayat Esoterik (Kajian Analitis Kitab
Syams al-Ma’arif)”, dan secara umum terselesaikannya studi penulis, tidak
lepas dari dialektika dan pergesekan penulis dengan berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis berterima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Huzaeimah T Yahido, MA selaku rektor Institut Ilmu
Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
2. Bapak KH Dr. Ahmad Munif Suratmaputra, MA, selaku Direktur
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
3. Bapak Dr. H.M. Azizan Fitriana, MA, selaku kaprodi Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
4. Bapak Prof. Artani Hasbi, MA dan KH. Dr. Mukhlis Hanafi MA
selaku pembimbing, penulis menghaturkan banyak terimakasih atas
masukan yang bersifat akademis terhadap tesis ini termasuk motivasi
yang bersifat emosional terhadap diri penulis.
5. Maulana Prof. Dr. Quraish Shihab, MA, terima kasih untuk
perbincangan-perbincangan yang bersahabat dan mencerahkan, tidak
hanya itu darinya ku mengerti bagaimana etika berinteraksi dengan
Al-Qur’an sehingga berbuah mewujud dalam bersikap dan menapaki
kehidupan.
6. Bapak, Ibu 'dosen' Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta para
dewan pakar pusat studi Al-Qur’an (PSQ); cakrawala ilmu yang telah
penulis jelajahi selama tiga tahun belajar kepada dan bersama
mereka. Penulis hanya mampu mempersembahkan setitik terima
kasih untuk begitu banyak yang telah mereka berikan kepada penulis.
ix
7. Keluarga Besar Tata Usaha dan karyawan Institut Ilmu Al-Qur’an
(IIQ) Jakarta, Bu Shofi dan Mbak Maya, atas bantuan selama ini,
sehingga penulis berhasil melewati fase studi ini.
8. Perpustakaan IIQ Jakarta, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ),
Perpustakaan pesantren Bayt Al-Qur`an; atas keramahan,
kenyamanan dan keseriusan dalam pelayanan, serta perpustakaan-
perpustakaan pribadi teman-teman. Terima kasih untuk telah berbagi
ilmu.
9. Abah – dan Uma; terima kasih atas selaksa peluh, jerih payah dan
kasih sayang, membesarkan dan mendidik kami, semoga Allah
membalas dengan sebaik-baik balasan. Seluruh keluarga di rumah
kakak dan adik tersayang, yang dengan tangan terbuka, senantiasa
menerima kepulangan penulis.
10. KHR. Najib Abdul Qadir dan Bu nyai, yang selalu mengingatkan
tujuan kami dari rumah.
11. Teman-teman angkatan 2014 dan sesepuh PKM (Mas Pur, Umi Elis,
Hanafi, Arfian, Hasnul, Kyai Syukron, Ra Kholi, Bro Mukhrij dan
lain-lain); terima kasih atas dinamika yang kita ciptakan bersama.
12. Sahabat penulis saat shout chourse PKM (pendidikan kader
mufassir); Azwar, Dona, Asriyadi, Bro Rizal, Hendrian, Mbak Hanik,
Mbak Ju, Mbak I`a, yang pada saat ini sama-sama sedang bertarung,
mencoba menatap masa depan dengan mata cerah dan berbinar-binar
–terima kasih untuk waktu-waktu yang telah kita isi bersama, ngantri
ngaji, makan, futsal. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa kembali.
13. Seluruh sahabat-sahabat BQ (Bait al-Qur`an), Ipul, Ahmad, Huda,
dan semuanya; terima kasih telah membuatku tersenyum dan tertawa,
membuat ceria dan bahagia, mengobarkan kembali semangatku,
memberikan energy kuantum atas kretifitasku.
14. Segenap warga komplek puri madani II, pak Isran, pak Arifin dan
bunda, pak Henri, Ust. Muhson, pak Julian, pak Ilham, terima kasih
sudah diterima sebagai keluarga besar puri madani
Akhirnya, karya ini bukanlah hasil akhir, akan tetapi merupakan
ketidaksempurnaan yang terus menuntut untuk selalu disempurnakan. Dan
milik Allah lah segala yang ada di langit dan di bumi, sehingga tidak ada
seorang manusia pun yang bisa mengklaim dirinya yang paling kuasa.
x
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ..................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................. v
TRANSLITERASI ............................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................ x
DAFTAR ISI........................................................................................ xii
ABSTRAK ............................................................................................ xv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................ 11
D. Penelitian Terdahulu ....................................................................... 12
E. Metode Penelitian ........................................................................... 15
F. Sitimatika Penulisan........................................................................ 17
BAB II: PATRON TAFSIR SUFI DALAM KAJIAN AL-QUR`AN
A. Hakikat Tafsir Esoterik ................................................................... 19
B. Sejarah Tafsir Esoterik ................................................................... 21
C. Kontroversi Polemik Tafsir Esoterik .............................................. 25
1. Kontroversi Makna Isyari ......................................................... 26
2. Tafsir Isyari dan Bathiniyyah .................................................... 29
3. Makna Zahir dan Bathin dalam Tafsir Sufi .............................. 34
4. Justifikasi Gnostisisme-Hellenis ............................................... 41
5. Interpretasi Mistis ..................................................................... 46
D. Instrumen Esoterik .......................................................................... 51
1. Simbol Khusus yang Dipakai Sufi ............................................ 51
2. Instuisi ....................................................................................... 53
3. Hakikat ...................................................................................... 56
BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG HIKMAH
xi
A. Pengertian Hikmah.......................................................................... 58
B. Dasar Ilmu Hikmah ......................................................................... 65
1. Filsafat Yunani .......................................................................... 65
2. Al-Qur`an dan Sunnah Rasul .................................................... 67
3. Kisah Orang Salih ..................................................................... 68
C. Literatur Ilmu Hikmah .................................................................... 69
D. Ruang Lingkup Ilmu Hikmah ......................................................... 69
1. Pengertian Fadhail as-Suwar..................................................... 70
2. Tujuan Fadhail as-Suwar .......................................................... 72
3. Fadhail as-Suwar dalam Kitab Tafsir ....................................... 73
4. Perkembangan Fadhail as-Suwar .............................................. 79
E. Sejarah Ilmu Hikmah ...................................................................... 86
F. Pentingnya Guru dalam Ilmu Hikmah ............................................ 86
G. Metode Mempelajari Ilmu Hikmah ................................................ 87
BAB IV: KONSEP TASAWUF DALAM ILMU HIKMAH
A. Relasi Dzikir dengan Tasawuf ........................................................ 90
B. Ruang Lingkup Pengertian Dzikr ................................................... 92
C. Hakikat Dzikr ..................................................................................100
D. Adab Berdzkir .................................................................................103
1. Ikhlas .........................................................................................104
2. Tawadlu’ ...................................................................................105
3. Merendahkan volume suara ......................................................107
E. SaranaDzikr kepada Allah ..............................................................109
1. Basmalah .............................................................................111
2. Al-Fâtihah ...........................................................................119
3. Awâil as-Suwar ...................................................................130
4. Ayat al-Kursi .......................................................................134
5. Surat Yâsîn ..........................................................................139
6. Asma` al-Husna ..................................................................142
F. Signifikansi Dzikr ...........................................................................148
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................153
B. Rekomendasi ...................................................................................154
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................155
INDEKS AL-QUR’AN. ............................................................................162
BIODATA PENULIS ...............................................................................164
xii
ABSTRAK
Penelitian ini menunjukkan bahwa kaum sufistik menilai Al-Qur’an
dipahami sebagai kitab yang tidak selalu membahas firman-firman Allah
yang bernuansakan zahir berorientasi eksoterisme-formalistik. Al-Qur’an
menyimpan pesan bathin berorientasi esoterik-sufistik yang tersembul dalam
setiap ayat-ayatnya, melampaui pembacaan yang tidak terbaca (qirâ’ah mâ
lâ yuqra’), makna yang tidak tersurat (al-maskût ´anhu) dalam teks-teks
qur’anik sebagai anugerah Tuhan yang disebut dengan ilmu simbol Tanda
(‘ilm isyârah). Dialektika para sufi hikmah dengan berbagai ayat-ayat Al-
Qur’an memberikan informasi atau sesuatu hal yang berbeda dengan kaum
formalistik. Jelas termaktub dalam Al-Qur’an ajaran-ajaran mengenai sulûk
ruhiyah (tharîq ar-rûh) dan sulûk jasadiyah (tarîq al-jasad).
Konsep esoterisme ayat-ayat Al-Qur’an dalam ilmu hikmah
menekankan seseorang untuk mengolah sisi spiritualitas dirinya dengan
berbagai latihan ruhani, dalam istilah para sufi biasa disebut dengan
mujâhadah dan riyâdah melalui dzikir tilawah Al-Qur’an. Dengan dzikir
ayat-ayat Al-Qur’an diyakini akan mendapatkan anugerah Ilahi yang turun
ke dalam hati atau bathin manusia, pada umumnya hal tersebut datang secara
tiba-tiba, tanpa diusahakan atau berada di luar usaha manusia. Anugrah-
anugrah Ilahi yang datang secara tiba-tiba di luar usaha manusia ini disebut
al-wârid. Namun begitu wârid tersebut bukanlah menjadi tujuan utama, hal
itu hanyala wasilah perantara kita agar selalu ingat kepada-Nya. Dengan kata
lain, dzikir merupakan upaya mempersiapkan diri melalui pembersihan
segala kotoran hati untuk menerima anugrah Ilahi yang datang secara tiba-
tiba, meski datangnya anugrah Ilahi itu sendiri pada dasarnya tidak bisa
diusahakan manusia.
Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan termasuk dalam riset
perpustakaan (library research), penelitian yang sumber-sumbernya berasal
dari literature. Sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
berasal dari data primer (primary resources) dan sekunder (secondary
resources). Sumber primernya adalah literatur yang dikategorikan sebagai
ilmu hikmah, seperti halnya kitab Syams al-Ma'ârif wa Lathâif al-‘Awârif
dan Manba' Ushûl al-Hikmah tulisan Imam Ab al-Abbas Ahmad bin Ali Al-
Bûnî dll. Sedangkan data sekundernya penulis menggunakan karya-karya
lain yang menguak cakrawala pemikiran ulama’ sufi serta ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara
kualitatif, kajiannya dipaparkan secara deskriptif dan analitis, yakni
penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian,
sehingga didapati konklusi dari permasalahan penelitian.
xiii
ص خ ل م
ه ن إ ل ع ث ح ب اال ذ ه ن ه ر ب د ق
ن ىأ
ال ل إ ن و ر ظ ن ي ن ي ي ف و الص ن م آن ر ق ى
ة ه ج و ه ي ف ن م ض ت ي ل ه ن أ
الل ال و ق أ
ت التي الج ه ج ت تعالى ب ان إلىالش ر اه الظ ف كل ي أيضاب س ح ي بل
ال ن م ض ت ي دل ال و ق فيه لها ت ل التي
ن م ة آي ل يك ف ى ل ج ت ت ة ي وف ص ة ي ن اط ب
ل م ة اء ر ق ل ل خ ن م ه ات آي ر ق ي ا ،أ
س م م ة ي ن آ ر ق ال ص و ص الن ه ن ع ت ك اة ي ه ل إ ة ح ن م ك
ي م ي أ ب م س ا م ل ع ى
ف ات ار ش ال ال ف و ص ت م ة ي ل د ج . ة م ك ح ي
التيآن ر ق ال ات آي ع م م ه ت ج ال ع م و م ط ع ت ات م و ل ع ي
أ معة ف ال خ م اء ي ش أو
ف ن ي ي ل ك الش ي ذ ال . الق ب ت ك ي رآن في
ة ق اب ط م ال ة ي ك و ل الس م ي ال ع الت و ه
.ة ي د س ج ال ة ي ك و ل الس و ة ي ح و لر ل
ات ي ل ة ي ن اط ب ال م ي اه ف م ال ف
م و ل يع ف القرآن ص خ الش ع ف د ت ة م ك ح ال
ال ل ع ق ي م ع لت ل ع م ة ي س ف الن ب ان و ج ى
ة ي ان ح و ر ت ال ج م أ ا م ي ف و ، ه ح ل ط ص ا
ن م ة اض ي الر و ة د اه ج م ال ب ن و ي ف و الص
ل ل خ ار ك ذ أ و ه ت و ل ت و رآن لق ا ن م .
ف رآن الق ات آي ر ك ذ ل ل خ د ق ت ع ي ه ن إ ،
ال ة نح م ال ن أ
ن ت ال ة ي ه ل ىل ع ت ل ز يب و ل ق ال
اس لن ل ة ي ن اط ب ال ب ان و ج ال و أ
xiv
ال ح ل ك ع م و ي ه ن أ
ع ة ه ج و ن يم ت أ
ىل
ة د اه ج م ال ب ة ع ر الس ل ي ب س ن و د ب و أ
ال ة ح ن م ال ف .اس الن ة د اه ج م ة ي ه ل
ت ت ل ا ي ب ت أ اع ط ت س م ن و د ن م و ة ت غ ي
ال م س ت اس الن و د ي ر و ى م ن ك ل . ام ه ،ح ف د ه س ي ل و ه د ي ر و ال ان ك اي ق ي ق ا
ف ة ح ن م ال ه ذ ه ل ط ق ف و ه ر ك الذ ن إ ،
ع م س ف الن اد د ع ل ة ل او ح م ال ن م د اح و ل و ص ح ل ل ة ي لب ق ال ب و ن الذ ن ام ه ر ي ه ط ت
ال ة ح ن م ىال ل ع ة ت غ ب ت اء يج ت ال ة ي ه ل
ب س اك م ت س ي ل ة ح ن الم ه ذ ه ت ان اك م ه م
.اس االن ه ي ل ع
يذ ال ث ح ب ال ن إ ،ف ل ا االح ذ يه ف و
الر ف ل اخ د و ه ة ي ث ح ب ال ة ال س يا ة ي ب ت ك م ال ك ذ ال ث ح ب ل ، ه ع ج ر م ان ي
ت ت ال ر اد ص م ال ن م .ات ي ب د ال ن م د ع يال ذ ه ة اب ت ك ر د ص م ف ىل إ م س ق ن ي ث ح ب ان ي م س ق ال
ا و اس س ال ر د ص م ل : ر د ص م ال يف ي و ان الث ه اس س ال ر د ص م ال . ل ك و ي
س م ش ل ث م ن م ة م ك ح م و ل ع د ع ت ات ب و ت ك م و ر ب ك ال ف ار ع م ال ف ار و ع ال ف ائ ط ل ى
ع ب ن م و ص ت ل ا ة م ك ح ال ل و ص أ اه ف ن ي
ام م ل ا ال ب أ اس ب ع و
ب م ح أ يل ع ن د
و و ن يالب . ال م أ ي و ان الث ات ان ي ب ا
،ة ىر خ ل ا ات ف ن ص م ل ا ث ح ب اال ذ ه ل م ع ت اس ف ت ت ال اء م ل لع ا اق ف آ ن ع ف ش ك ي
xv
ة ق ل ع ت م ال م و ل ع ال ع م ن ي ي ف و الص
ف ث ح ب ال ب س ت ال ات ان ي ب ال . ل ل ح ت يي ي ع و ن ع ه ض ر ع ا ل ا
أ ي ف ص و اس س ى
و ل ي ل ح ت و ي، ب ن ع أ ال ه ي يذ ال ث ح ب ا
ل ي ث م الت ع م ل اك ش م ال ل ي ل ح يت ف ل او ح
ة ي ل اع ف ة ال ح ل ة ي ث ح ب ات ع و ض و م و أ
ل إ أ ت ل ك ش م ن م ص ي خ ل الت ي ه ت ن ي ن ى
.ث ح ب ال
ABSTRACT
This study shows that the Sufis considered the Qur'an as a book that
does not only address the exoteric aspect of word of God but also preserves
the esoteric-oriented inner message in its every verse, reading what is unread
(qira’ah ma la yuqra), the unstated meaning (al-maskût'anhu) in the qur'anic
texts as God's grace called the science of the sign of symbol ( or it is what to
be called as 'ilm isyârah). The dialectics of the Sufi wisdom with the various
verses of the Qur'an provide information or something different from the
approach which the formalists used. Clearly Quran embodied teachings
about sulûk ruhiyah ‘spritual aspect’ (tharîq ar-rûh) and sulûk jasadiyah
‘surface aspect’ (tarîq al-jasad).
The concept of esoteric verses of the Qur'an in the science of wisdom
emphasizes a person to cultivate the side of his spirituality with various
spiritual sphere, or in terms of the Sufis, it is commonly called as the
mujâhadah and riyâdah through recitations of the Qur'an. By dhikr, the
verses of the Qur'an are believed to be gaining divine grace that descends
into the hearts of human beings and in general it comes suddenly, unattended
or outside of human endeavor. Divine grace that comes suddenly outside this
human effort is called also al wârid. However, wârid is not a primary goal, it
is just the intermediary level in which we are always to remember Him. In
other words, dhikr is an effort to prepare ourselves by cleansing all the dirt of
the heart to receive the divine grace that comes suddenly, although the
coming of divine grace itself basically cannot be cultivated man.
In this case, the research included here as the research library (library
research), research in which the sources derived from the literature. The
xvi
source used in writing of this thesis is derived from the primary and
secondary data. The primary sources are literature categorized as the science
of wisdom, as well as the books of Shamsul-Ma'ârif and Lathâif al-'Awârif
and Manba Ushûl al-Hikmah which has been written by Imam Ab al-Abbas
Ahmad ibn Ali Al-Bûnî dll. The secondary data that the author uses other
works that reveal the horizon of scholars' Sufi thought and the sciences
related to research. The data obtained were analyzed qualitatively, the study
was presented descriptively and analytically, ie research that attempted to
describe the problem solving that was investigated by describing the
condition of the subject or the object of the research, so that the conclusion
of the research problem was obtained.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di antara paradigma1 yang biasa digunakan dalam memaknai
kitab suci agama adalah teosentris atau teo-ontologis (teosentris-
ontologis).2 Sesuai dengan istilah yang digunakan, berarti paradigma
yang diawali dari teks, memusat kepada teks, menjadikan teks segala-
galanya, baru kemudian ke realitas.3 Kaum sufistik menilai bahwa
Al-Qur’an dipahami sebagai kitab yang tidak selalu membahas
firman-firman Allah yang bernuansakan zahir berorientasi
eksoterisme-formalistik. Al-Qur’an menyimpan pesan bathin
berorientasi esoterik-sufistik yang tersembul dalam setiap ayat-
ayatnya, melampaui pembacaan yang tidak terbaca (qirâ’ah mâ lâ
yuqra’), makna yang tidak tersurat (al-maskût ´anhu) dalam teks-teks
qur’anik sebagai anugrah Tuhan yang disebut dengan ilmu simbol
Tanda (‘ilm isyârah).4
Faham tasawuf merupakan embrio berkembangnya corak
tafsir sufi. Eksistensi penafsiran sufi menghadapi berbagai macam
penolakan, yang merupakan antitesis dari tafsir fikih yang memahami
Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan hukum. Dengan bahasa
sederhana tafsir sufi ini merupakan kritikan terhadap tafsir fikih.5
Pada tahapan proses, tafsir sufi melampaui tafsir fikih dengan
menggunakan pendekatan bathin (isyâri) yang lebih menimbangkan
penggunaan hati. Kaum mufassir ma’tsûr, formalis fuqaha’, dan
muhaddits, secara praktis terlalu sibuk berkutat dan berputar-putar
dalam kubangan makna lahiriah. Lebih lanjut, menurut para sufi,
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan analis kebahasaan saja tidak
cukup dan hal itu baru memasuki pada makna teks ayat, yang mana
1 Paradigma berarti cara pandang sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan: model, pola,
dan ideal. Di mana dari model-model ini fenomena dipandang, dijelaskan. Juga untuk
menyeleksi problem-problem dan pola-pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 779 2 Lihat Aksin Wijaya, “Hermeneutika Al-Qur’an: Memburu Pesan Manusiawi
dalam Al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumuna, Vol. XV No 2, Desember 2001, h. 209 3 Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris, (Jakarta: P3M, 2004), h. 96
4 As-Sarrâj at-Tusi, al-Luma’ fi Târikh at-Tasawuf al-Islâmi, (Beirut: Dâr al-Kutb
al-Ilmiyah 2001), cet. Ke 1, h. 100 5 Hasan Hanafi, ”Siginifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer”,
dalam Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No, Januari 2007, h. 204
2
menurut sufi itu merupakan badan akidah, sedangkan tafsir sufi
menempati posisi ruhnya.6
Az-Zarkasyî (w. 749 H) menyatakan bahwa ucapan kaum sufi
dalam menafsirkan Al-Qur’an bukanlah produk tafsir melainkan
makna-makna dan penemuan inspiratif, yang muncul ketika
membaca Al-Qur’an (tilâwah).7 Karena itu, jika dianggap produk
penafsiran sesungguhnya telah merambah jalan bathiniah sehingga
lebih tepat disebut sebagai an-nazîr, yakni analogi dan persenyawaan
makna terhadap normativitas makna Al-Qur’an.8 Ibn Shalâh (w.643)
H) menyatakan bahwa tafisr sufi sebagai pelambang zikir dibanding
kitab tafsir.9 Senada dengannya, as-Suyûthi (w.911 H) juga
menganggap bahwa tafsir yang diproduksi oleh kaum sufistik tidak
layak dikatagorikan sebagai produk tafsir.
Kalangan sarjana Al-Qur’an dalam memberikan penilaian
terhadap tafsir sufi terkesan keliru, hal tersebut disebabkan tidak
adanya sikap terbuka untuk memahami kajian tafsir sufi lebih
mendalam. Pada dasarnya, bila kita mencoba menengok geneologi
tafsir sufi, sejatinya akan didapati sumber penguat yang berasal dari
Al-Qur’an. Meskipun terkadang tafsir sufi dalam kasus tertentu tidak
sesuai dengan makna lahiriah, akan tetapi hal tersebut bukan
merupakan kekeliruan, selama makna lahir tersebut mendapatkan
pembenaran menurut kaidah bahasa Arab.10
Di samping itu, jelas
termaktub dalam Al-Qur’an ajaran-ajaran mengenai sulûk ruhiyah
(tharîq ar-rûh) dan sulûk jasadiyah (tarîq al-jasad) seperti laku
asketik dalam perkara-perkara halal.11
Sebab Al-Qur’an merupakan
manifesto kebebasan upaya (al-huriyyah al-muktasibah) yang bisa
dicapai dan dilalui dengan dua cara asketis di atas, sesuai dengan
kapasitas keimanan individual dalam memahami dan
mengaplikasikan dalam kehidupannya.12
6 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2012),
h. 22 7 Az-Zarkasyî, al-Burhân fi Ulûm Al-Qur’an (Cairo: Dar at-Turath, tt), h. 171
8 Az-Zarkasyî, al-Burhân fi Ulûm Al-Qur’an), h. 171
9 Ibrahim Basyuni, dalam muqaddimah yang sangat panjang tentang posisi kaum
sufistik di hadapan kaum formalistik fuqaha’. Lihat al-Qusyairi, Latâif al-Isyârât (Cairo: al-
Hay’ah al-Mishriyyah, 2007), cet ke-4, vol, 4. 10
Oman Fathurrahman, Ithâf al-Dhakî, Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim
Nusantara, (Jakarta: Mizan, 2012), h.77 11
Ali Syami Nashar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Cairo: Dâr al-Ma’ârif,
tt), cet. Ke 9, vol III, h. 85 12
Ali Shami Nashar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, h. 85
3
Al-Jilli (w. 805 H/ 1405 M) sebagaimana yang dikutip oleh
Yunasril Ali, bahwa Al-Qur’an memiliki tiga tingkatan pengetahuan
dan ajaran di dalamnya,13
yaitu:
a. Pengetahuan dan ajaran yang harus disampaikan kepada
umat secara umum. Pengetahuan dan ajaran yang
demikian disebut syariat. Pengetahuan dan ajaran yang
bersifat formal.
b. Pengetahuan dan ajaran yang disampaikan kepada umat
secara selektif kepada orang-orang tertentu saja. Hal ini
yang dikenal dengan ilmu hakikat, yaitu ajaran bathimiah
yang menjadi inti dari syariat.
c. Pengetahuan dan ajaran yang harus dirahasiakan, yaitu
yang berkaitan dengan rahasia-rahasia ketuhanan.
Pengetahuan ketiga ini hanya memiliki oleh orang-orang
tertentu yang melihat sesuatu dengan al-kasyf al-ilâhi.
Melihat hiraki di atas, maka pada level yang ke dua inilah
tafsir sufi berperan. Sebab menggunakan aspek bathin yang menjadi
isyarat untuk mendapatkan pengetahuan. Hal tersebut Senada dengan
penjelasan yang dikutip Amin al-Khulli (w. 1385 H), yang dijadikan
referensi oleh Sunawarto, bahwa khazanah intelektual Islam terbagi
ke dalam tiga hal, Yaitu: pertama, Ilmu yang yang dibangun matang
dan final, yaitu ilmu nahwu dan ilmu ushul. Kedua, ilmu yang
matang tapi belum final, yaitu ilmu fikih dan ilmu hadits. Ketiga,
ilmu yang belum matang dan belum final, yaitu ilmu bayan dan ilmu
tafsir.14
Tafsir Isyâri - dalam konteks menyelami makna Al-Qur’an –
memiliki dasar yang kuat dalam sejarah tafsir. Ini bukan merupakan
hal yang baru dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri juga mendorong
kita melakukan tafsir dan memahaminya. Lebih lanjut, di dalamnya
memberikan informasi pada kita bahwa Al-Qur’an memiliki dimensi
zahir dan dimensi bathin. Hal terpenting dalam tafsir isyâri adalah
argumentasi-argumentasi yang dibangun di atas. Tafsir isyâri
ternyata sudah tidak asing dikenal sejak masa Nabi di mana Al-
Qur’an memberikan argumentasinya dan kemudian ditetapkan oleh
Nabi serta menjadi bagian tradisi yang diikuti oleh para sahabat.
13
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh Al-Jilli, (Jakarta: Paramadina, 1977), h. 169 14
Sunawarto, “Nasr Hamid Abu Zayd, Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an dalam
Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, ed. Syahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: Islamka,
2003), h. 103
4
Karena itu, tafsir isyâri sejatinya sama-sama tuanya setua tafsir bil
ma’tsur.15
Setiap penggali tafsir akan mampu menemukan arkeologi
diskursus keilmuan apapun dalam kalam Tuhan itu.16
Ia merupakan
kitab suci yang bisa didekati berbagai pembacaan dan penafsiran.
Abu Nuaim dan Ibn Abbas dalam sebuah hadis meriwayatkan bahwa
Al-Qur’an mempunyai ragam wajah tafsir (dzû wujûh):
إن القرآن ذو شجون وفنون
وظهور وبطون لا تنقضي عجائبه
ولا تبلغ غايته فمن أوغل فيه
برفق نجا ومن أوغل فيه بعنف
17هوى
As-Suyûthi mensinyalir bahwa hadis ini muncul karena dua
kemungkinan: pertama, ayat atau kata-kata dalam Al-Qur’an
15
Seperti dalam surat an-Nasr (QS 110). Ketika semua sahabat bersuka cita dengan
berita gembira akan datangnya pertolongan Allah dan kemenangan kaum muslimin justru
Abu Bakar nampak bersedih dan menangis. Sahabat memahami secara tafsir zahir sementara
Abu Bakar memahaminya dengan pendekatan tafsir isyâri , khususnya kata perintah
”sabbih” dan “istaghfir” dalam surat itu mengisyaratkan ajal Rasulullah telah dekat sebab
Nabi hampir menyelesaikan misi dakwahnya. Jawaban inilah yang kemudian Rasulullah
langsung terharu. Lihat Mukhtar al-Fajjari, Hafariyyat fi alTa’wil al-Islami, (Yordania:
‘Âlam al-Kutub al-Hadis, 2008), h. 48. Teks hadis tersebut terdapat di beberapa kitab-kitab
hadis induk. Redaksi hadis tersebut berbunyi
ان موسى بن إسماعيل حدثنا أبو عوانة عن أبي بشر عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال ك حدثنا
أبناء مثله فقال عمر يدخلني مع أشياخ بدر فكأن بعضهم وجد في نفسه فقال لم تدخل هذا معنا ولنا
ل ليريهم قال ما تقولون عمر إنه من قد علمتم فدعاه ذات يوم فأدخله معهم فما رئيت أنه دعاني يومئذ إ
والفتح تعالى إذا جاء نصر الل ونستغفره إذا نصرنا وفتح في قول الل فقال بعضهم أمرنا أن نحمد الل
تقول قلت هو أجل علينا وسكت بعضهم فلم يقل شيئا فقال لي أكذاك تقول يا ابن عباس فقلت ل قال فما
والفتح وذلك علمة أج رسول عليه وسلم أعلمه له قال إذا جاء نصر الل صلى الل لك فسبحح بحمد الل
ابا { فقال عمر ما أعلم منها إل ما تقول ربحك واستغفره إنه كان توLihat Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Kairo: Dar al-Hadits, 2004),
vol. III, kitab tafsir Al-Qur’an, bab Surat idza jâ’ nashrullah, no hadis 4970, h.339 16
Pluralitas penafsiran dengan berbagai macam pendekatan metode ini, berlaku
juga dalam Injil yang multi-interpretasi itu, seperti pendapat Peter Werenfels seorang teolog-
interpreter kristiani dalam pembukaan buku Ignaz Goldizher. Lihat: Ignaz Goldizher,
Madzahib at-Tafsir al-Islami, terj Abdul Halim an-Najar (Cairo: Dar Iqra), cet/ ke 3. H. 1 17
Fahd ar-Rûmi, Ittijâhât at-Tafsir fi al-Qarn ar-Râbi’ al-’Asyr, (Saudi Arabia:
Buhûts al-’Ilmiyah, 1986), h. 369
5
memungkinkan untuk dita’wilkan. Dengan demikian, baik sebagai
kerangka teori maupun praktek. Kedua, Al-Qur’an mengandung
wilayah perintah, larangan, sugesti, halal dan haram.18
Ketidak-hinggaan makna dalam Al-Qur’an menjadikannya
sebagai kalam Tuhan yang sangat eksotis, tidak lekang oleh zaman,
tidak rapuh oleh waktu, akan selalu memperbarui dan
mengadaptaskan diri kepada siapa pun, dan dalam disiplin ilmu
apapun. Sebagian ulama menyatakan makna Al-Qur’an sampai
80.0000, di mana setiap kata mengandung banyak ragam sumber
pengetahuan, sehingga bilangan itu masih memungkinkan berjumlah
empat kali lipat ketika Al-Qur’an disandarkan pada empat asspeknya:
lahir, bathin, awal, akhir.19
Selanjutnya perkembangan sufisme dalam khazanah Islam
ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang
dilakukan oleh generasi awal Islam. Oleh kalangan tertentu, praktik
semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar misitiknya. Itulah
mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul
dan wihdatul wujud. Dengan demikian, berkembanglah dua sayap
sufisme dalam dunia Islam, yaitu para praktisi (‘amali) yang lebih
mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof
(nadzari falsafi) yang lebih mengedepankan teori-teori mistisnya.
Pada gilirannya dari kedua model sufisme ini lahirlah dua corak
penafsiran sufistik yang biasa dikenal dengan istilah tafsir sufi
nadzâri dan tafsir sufi isyâri atau faydhi.20
Termasuk praktik (‘amaliyah) sufi adalah aktifitas interaksi
dengan kitab suci. Tak jarang, pembacaan Al-Qur’an yang dilakukan
kaum sufi memperoleh inspirasi-inspirasi yang tersembul dari ayat-
ayat Al-Qur’an sehingga memunculkan berbagai teori suluk, do’a-
do’a. Hal itu sesuai dengan ajaran tasawuf yang merupakan suatu
bentuk kesadaran fitriyah yang mendorong seseorang untuk
bermujahadah melakukan munajat sampai ia merasakan konektivitas
(wushûl) dengan Allah.21
Senada dengan Ibrahim Basyuni, Harun
Nasution menyatakan bahwa intisari dari tasawuf adalah kesadaran
18
Jalâluddin as-Suyûthi, al-Itqan fi Ulûm Al-Qur’an (Beirut: Dâr al-Fikr), Vol. 2, h.
180 19
Muhammad Abdul ‘Adzim az-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi Ulûm Al-Qur’an
(Beirut:Dâr al-Fikr), vol. 1, h. 23 20
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 72 21
Ibrahim Basyuni, Nasyat at-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Ma’ârif bil
Misr), h. 28
6
akan adanya komunikasi serta dialog antara ruh manusia dan Tuhan
dengan mengasingkan diri (khalwat) sehingga mereka dapat melihat
Tuhan (ma’rifah). Lebih dari itu, Nasution mengatakan bahwa
landasan filsafat tasawuf adalah Tuhan bersifat Immateri dan Maha
Suci. Oleh karena itu, unsur dari manusia dapat bertemu dengan
Tuhan adalah unsur immateri manusia, yaitu ruh, dan ruh tersebut
haruslah suci. Karena yang dapat mendekat kepada Yang Maha Suci
adalah jiwa yang suci.22
Sufi atau tasawuf pada intinya adalah upaya untuk melatih
jiwa dengan bermujahadah melakukan berbagai ‘amaliyah yang
dapat membebaskan seseorang dari pengaruh duniawi agar lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Dari penjelasan tersebut, terlihat
bahwa tasawuf tidak mengesankan kejumudan, kemunduran atau
keterbelakangan, melainkan menunjukkan ketangguhan jiwa dalam
menghadapi problematika hidup yang senantiasa menghampiri.23
Ajaran sufi identik menerangkan dan mengajak kepada sisi moral dari
seorang hamba dalam rangka melakukan taqarrub kepada tuhannya,
dengan cara mengadakan Riyyadah, pembersihan diri dari moral yang
tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya
kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).
Pentingnya Al-Qur’an sebagai sumber asasi dipahami serta
direspon kaum sufi dengan menggunakan Al-Qur’an sebagai jalan
menuju kepada-Nya. Menurut Frederick M. Denny selain sebagai
sumber pengetahuan Islam tentang ajaran-ajaran Tuhan kepada
manusia, Al-Qur’an juga merupakan medium kontak ritual antara
manusia dengan Tuhan, dalam satu cara yang lain ia pandang betul-
betul melebihi pemanfaatan orang-orang Kristen atau bahkan Yahudi
atas Kitab-kitab Suci mereka. Maka, agar pandangan tentang Al-
Qur’an menjadi adil dan seimbang, dibutuhkan perhatian atas Al-
Qur’an sebagai sebuah Kitab Suci yang dibaca, di samping sebagai
Kitab Suci yang ditafsirkan.24
Ahmad Rafiq mengungkapkan ada dua kelompok indikator
agenda seseorang membaca Al-Qur’an. Pertama. Membaca Al-
22
Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan,
1995), h. 360 23
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 289 24
Frederick M. Denny, Adab Membaca Al-Qur’an, Ulumul Qur’an, (Jakarta:
LSAF, 1990), h. 55
7
Qur'an sebagai ibadah.25
Tujuan ini berkaitan dengan definisi Al-
Qur'an yang selama ini sudah diketahui kaum muslimin bahwa Al-
Qur'an adalah "Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril, yang disampaikan
secara mutawatir, dan membacanya dianggap sebagai ibadah."26
Pernyataan terakhir dari definisi tersebut yakni "membacanya
dianggap ibadah" telah memotifasi kaum muslimin untuk
membacanya sebanyak mungkin, dan biasanya berurutan sesuai
dengan urutan mushaf, terlepas dari ada tidaknya pemahaman
terhadap teks yang sedang dibaca. Tujuan ini juga diperkuat oleh
hadis-hadis Nabi SAW lainnya yang memberitakan tingginya nilai
membaca Al-Qur'an, semisal bacaan Al-Qur'an yang dihargai
kebaikannya di setiap huruf yang dibaca, bukan kelompok huruf,
serta orang yang terbata-bata dalam membaca Al-Qur'an
mendapatkan ganjaran yang besar lewat keterbata- bataannya tersebut
karena terus membaca Al-Qur'an.27
Kedua, Membaca Al-Qur'an untuk dijadikan alat justifikasi.28
Dalam hal ini pembaca menggunakan -bagian tertentu dari- Al-
Qur'an untuk mendukung pikiran ataupun keadaannya pada saat
tertentu. Pada hal yang kedua ini yang biasanya terjadi adalah orang
terlebih dahulu berhadapan dengan sebuah persoalan, maka dicarilah
bagian-bagian dari Al-Qur'an untuk kemudian memberikan penilaian
terhadap keadaan tersebut. Penilaian tersebut bisa untuk mendukung
ataupun menolaknya, tergantung tujuan dari si pembaca. Letak
25 Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik Terhadap Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 5 No 1, Januari 2004, h. 3 26
Definisi yang senada lazim ditemukan di kitab-kitab Ulumul Qur'an (Ilmu-ilmu
Al-Qur'an). Lihat misalnya Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâẖîs fî 'Ulûm Al-Qur'an,
(Madînah: Mansyûrât al-'Asr al-Hadîs, 1973), h. 21. Definisi senada dapat pula dilacak pada
banyak kitab lainnya. 27
Kedua pesan hadis ini sering digunakan untuk menyemangatkan pembacaan
(dalam pengertian melafalkan bacaan) Al-Qur'an, terlepas dari perdebatan tingkat kebenaran
(baca: kesahihan) hadis tersebut diukur dari kacamata perangkat Ilmu Hadis. Dalam Kitab
Riyâd ash-Sâlihîn, hadis-hadis semisal ini dimasukkan ke dalam kelompok "Kitab al-
Fadhâ'il" (Bab tentang Keutamaan-keutamaan), lihat Muhyiddîn Abî Zakariya Yahyâ bin
Syarf an-Nawâwî, Riyâd ash-Sâlihin min Kalâm Sayyid al-Mursalîn, (Mesir: Maktabah
Musthafâ al-Bâbî al-Halabi wa Awlâduh, 1938), h. 430-433. Ketika menutup karya
tafsirnya, Ibnu Kasir juga mengumpulkan sejumlah hadis senada. Hadis-hadis tersebut
menjadi bagian dari sekumpulan riwayat tentang Al-Qur'an yang diberinya judul "Fadhâ'il
Al-Qur'ân." Ismâ'îl Ibn Kasîr al-Qurasyî ad-Dimasyqî, Tafsîr Ibnu Kasîr Juz IV, (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1986), h 608 dst. 28
Ahmad Rafiq, “Pembacaan Atomistik Terhadap Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 5 No 1, Januari 2004, h. 3
8
perbedaan antara tujuan pembacaan untuk menemukan petunjuk dan
dan justifikasi adalah pada pemicu awal pembacaannya. Pada yang
pertama orang terlebih dahulu membaca Al-Qur'an, sedangkan pada
yang kedua orang terlebih dahulu berada pada kondisi tertentu.
Motifasi ini didasari dari berbagai macam riwayat mengenai
keutamaan-keutamaan yang dikandung oleh surat-surat dalam Al-
Qur’an (fadhâil as-suwar) dapat memecahkan persoalan yang
dihadapi.
Tafsir-tafsir esoterik terhadap Al-Qur’an pada dasarnya
disatukan melalui prinsip simbolisme, sebagaimana dipahami dalam
pengertian tradisionalnya. Bahkan, simbolisme berfungsi sebagai kata
kunci untuk semua itu sehingga tafsir-tafsir itu bisa juga disebut
sebagai “tafsir-tafsir simbolis”. Proses tafsir simbolis ini selanjutnya
dikenal sebagai takwil, yang secara teknis bermakna hermeneutika
simbolis dan spiritual.29
Makna bathin menjadi kunci dalam tafsir
esoterik ini. Makna bathin Al-Qur’an adalah makna yang terkandung
di dalam teks ayat, yang menjadi apa yang dimaksudkan oleh Allah.
Adapun zahir Al-Qur’an adalah apa yang diturunkan melalui lisan
Arab, yang bisa langsung dipahami oleh orang Arab yang tersusun
dengan kata-kata.30
Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami
makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas
keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah
meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat
adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif
adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.31
Penafsiran sufi atas makna rahasia (bathiniah) atas Al-Qur’an
didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui
kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan
bathiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga
menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu
29
Abdurrahman Habil, “Tafsir-Tafsir Tradisional Al-Qur’an” dalam Islamic
Spiritually Foundations. Settes Hossein Nasr (Ed), ter. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan,
2002), h. 33 30
Mohammad Husyen az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000), h. 265 31
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Majlisi.
ارة، والإشارة، واللطائف، والحقائق. فالعبارة للعوام، كتاب الله عز وجل على أربعة أشياء: على العب
والإشارة للخواص، واللطائف للأولياء، والحقائق للأنبياءLihat Muhammad al-Baqir al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr al-Jâmi’ah li Durar Akhbâr al-
A’immah al-Athâr, (Beirut: Mu’assasah al-Wafâ’, 1984), Vol. 89, h. 103
9
Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah,
maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud
tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga
ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui
jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai
mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan bathin).
Ahmad Ali al-Bûni (w. 622 H), tokoh sufi yang dikenal
dengan sufi hurufi yang merupakan praktisi ilmu hikmah. Karyanya
berjudul Syams al-Ma’ârif al-Kubra wa Latâif al-’Awârif, yang
berarti ‘matahari pengetahuan, rahasia-rahasia kearifan’. Ia
menjelaskan bahwa “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya32
adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas
tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam
material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah
rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia
spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Meskipun
dalam karyanya ini beliau tidak secara langsung membahas
penafsiran Al-Qur’an, namun begitu tidak sedikit usahanya untuk
mengungkap makna-makna bathin Al-Qur’an. Urgensitas Al-Qur’an
yang hanya dipahami sebagai kitab sumber petunjuk. Lebih dari itu,
Al-bûni memposisikan Al-Qur’an sebagai solusi dari masalah
(problem solver) yang menghinggapi setiap individu, dan tentunya
sebagai pintu jalan menuju ke jalan-Nya. Hal menarik lain dalam
karyanya tersebut adalah rahasia dan kegunaan huruf, ayat dan surah
Al-Qur’an dengan cara tertentu untuk suatu tujuan. Ruang lingkup
tersebut berkaitan dengan ilmu hikmah yang meliputi rahasia yang
terkandung dalam huruf apakah itu huruf secara keseluruhan atau
khususnya huruf-huruf dalam Mafâtih as-Suwar (permulaan surat)
seperti kâf hâ ya a’in shad, hâmim ‘ain sin qâf ( عسق حم, كهيعص ),
ayat-ayat tertentu seperti halnya Salâmun Qaulan Min Rabbi Rahîm
( رحيم رب من قول سلم ) , begitu pula surat tertentu seperti halnya
yasin, al-mulk, al-wâqi’ah, ar-rahman, al-mu’awidztain dan lain-
lainnya.33
32
Ahmad Ali al-Bûni, Syams al-Ma’ârif al-Kubra, (Semarang: Taha Putra, 1970),
h.5 33
Tidak hanya Al-Bûnî, ada beberapa ulama’ yang menulis kitab khusus
menguraikan rahasia huruf, surah atau ayat tertentu yang didasarkan pada beberapa riwayat
(ma’tsur). Misalnya Khazînat al-Asrâr karya Muhammad Haqqî an-Nâzilî, Muhammad
Jurah Shuwwan menulis al-Iqtida’ fi adz-Dzikr wa ad-Du’a.
10
Melihat eksistensi “ilmu hikmah”, secara subtantif telah
diabadikan dalam Al-Qur’an, sesuai firman Allah Swt. Q.S. (2:269).
Dan “ilmu hikmah” itu semata-mata hanya dari Allah Swt. Dan
diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Proses
mendapatkannya melalui riyâdhah dan mujâhadah. Dalam ayat di
atas dijelaskan bahwa hikmah membawa kebaikan/karunia yang sangat banyak.
34 Al-Marzûqî menggambarkan bahwa kedudukan
ilmu hikmah dalam kehidupan ruhaniyah, ibarat sabun yang
membersihkan pakaian. Makin dalam ilmu hikmah digali, orang akan
lebih tertarik dan terjun ke alam rohani serta meninggalkan keinginan
syahwat jasmaniyah.35
Persoalannya, sejauh amatan peneliti, kajian mengenai
dimensi Al-Qur’an dari kacamata ilmu hikmah, masih sangat
terbatas. Tidak ada yang menggarap secara maksimal dan memadai-
terutama dalam jubah manhaj al-mufassirin (atau ‘ulûm Al-Qur’an)
versi sufistik. Maka dengan demikian, kiranya perlu adanya
penelitian bagaimana karakteristik dan konsep paradigma atau
pandangan dalam memposisikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang terkait dengan penelitian ini dapat
diidentifikasi sebagai berikut. Hasil pembacaan (interpretasi)
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sangat dipengaruhi, sekurang-
kurangnya oleh tiga faktor. Pertama, paradigma mufassir terhadap
Al-Qur’an, kedua, Al-Qur’an sebagai objek tafsir, ketiga mekanisme
tafsir (metodologi) yang digunakan. Ketiga komponen itu
menunjukkan bahwa dimensi terkait ayat-ayat Al-Qur’an akan sangat
luas sehingga perlu mengidentifikasi terlebih dahulu masalah-
masalah yang dapat dibahas dalam penelitian ini.
Ilmu hikmah yang merupakan bagian dari cabang esoterisme
Islam menjadi obyek penelitian, merupakan hasil perspektif Al-
Qur’an dari sudut pandang sufi. Konsep ajaran ilmu hikmah sarat
dengan rahasia symbol, di mana sebuah do’a dalam ilmu hikmah
tidak digubah secara sembarang. Identifikasi dari materi-materi yang
34
Redaksi ayat tersebut ؤتى الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتى خيرا كثيرا 35
Al-Marzûqî, Al-Jawâhir al-Lumâ'ah, Maktabah Iqbal, Serang, 1962, h.3. Lihat
al-Buni, Manba' Ushûl al-Hikmah (al-Ta'rîf fi al-Kitab) h 3.
اعلم أن علم الحكمة يغسل النفوس من وسخ الطبيعة الظلمانية كما يغـسل الصابون الثياب، ميتة والنفس إذا عرفت الحكمة حنت واشتاقت إلـى عـالم الأرواح ومالت عن الشهوات الجسمانية الم
للنفس الحية، ونجت من أسرار الشهوات وحيالتها التى قد تعلق أهل العلم بها.
11
termuat dalam literatur ilmu hikmah menunjukkan ayat-ayat Al-
Qur’an dipandang sebagai sesuatu berorientasi mistik yang memiliki
energi untuk dimanfaatkan dalam melaksanakan tujuan-tujuan
tertentu.
2. Pembatasan Masalah
Dari masalah-masalah yang teridentifikasi di atas yang
menjadi fokus kajian adalah ada pada permasalahan esoterisme ayat-
ayat Al-Qur’an dalam perspektif ilmu hikmah. Ada beragam topik
yang ada, penelitian ini difokuskan kepada bagian-bagian yang terkait
dengan urgensitas Al-Qur’an, serta implikasi pengamalan ajaran ilmu
hikmah.
3. Perumusan Masalah
Selanjutnya dari kerangka tersebut perlu dilihat dan diteliti
bagaimana karakteristik serta model makna-makna bathin Al-Qur’an
dalam lingkup ilmu hikmah. Untuk menjawab permasalahan di atas,
perlu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep esoterisme ayat-ayat Al-Qur’an dalam
perspektif ilmu hikmah?
2. Bagaimana implikasi pengamalan ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan ilmu hikmah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dari judul yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, dan
juga dari latar belakang masalah di atas, maka tujuan dan signifikansi
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui esoterisme Islam ajaran tasawuf
secara lebih dalam pandangan ilmu hikmah mengenai
ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Untuk mengetahui signifikansi pengamal ayat-ayat Al-
Qur’an. Sejauh mana dialektika para sufi hikmah
dengan berbagai ayat-ayat Al-Qur’an, serta
memberikan informasi tentang pengaruh serta
implikasi dari pandangan tersebut.
2. Signifikansi Penelitian
a. Secara substantif, penelitian ini diharapkan bisa
menjadi kontribusi dalam studi ‘Ulum Al-Qur’an,
kaitannya mengenai penafsiran. Dan juga dapat
12
menambah khazanah literatur untuk Pasca Sarjana IIQ
Jakarta, terutama konsentrasi ‘Ulum Al-Qur’an. Selain
itu, diharapkan dapat menjadi salah satu studi banding
bagi penulis lainnya.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu
menjadi acuan bagi masyarakat secara umum, dan
khususnya bagi mahasiswa dalam mempelajari
dimensi eksoterik ayat-ayat Al-Qur’an dalam ilmu
hikmah.
D. Penelitian Terdahulu
Kajian mengenai penafsiran sufi bukanlah hal yang baru
untuk diperbincangkan. Kajian ini telah banyak dilakukan, baik
dalam literatur bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Setiap tulisan
memiliki keunggulan dan kekurangan. Hal itu disebabkan oleh focus
kajian mereka yang berbeda, ada yang dominan dalam kajian sejarah,
kajian tokoh, dan metodologi.
Kajian pustaka ilmu hikmah adalah buku standar, yakni kitab
Syams al-Ma’ârif al-Kubra dan Manba’ Ushûl al-Hikmah tulisan
Abu 'Abbas Ahmad bin 'Ali al-Bûnî, buku Fath al-Mâlik al-Majîd
atau Mujarrabât al-Dairâbî al-Kubrâ tulisan Ahmad al-Dairâbî
Khzînah al-Asrâr karya Haqî al-Nâzilî, Aj-Jawâhir al-Lumâ'ah
karya al-Marzûqi, buku Syumûs al-Anwâr tulisan al-Tilimsânî, Tâj al-
Mulûk karya Muhammad bin al-Hâj al-Kabîr, As-Sir al-Jalîl tulisan
as-Syâdzîlî, Dalâil al-Khairât karya aj-Jazûlî, Al-Aufâq karya al-
Ghazâlî Abû Ma’syar al-Falakî, dan lain-lain.
Al-Bûnî menyusun kitab Syams al-Ma’ârif al-Kubra karena
tertarik oleh tulisan orang-orang terdahulu, Hermus dan Aristoteles,
yang begitu bagus dan tinggi nilainya. Hikmahnya menyebar ke
seluruh ufuk, melebar barakatnya. Mereka telah menyusun asma,
sifat dan rahasia khuruf, zikir dan doa, sehingga tumbuh minat dalam
dirinya untuk menyusun bukunya ini dengan segala keterbatasannya.
Kitab yang disusunnya ini diberi nama Syams al-Ma'ârif wa Lathâif
al-'Awârif, didalamnya terdapat rahasia, implementasi, dan berbagai
pengetahuan tentang hal yang mempengaruhi (jiwa). Oleh karena itu,
kitab ini haram berada di tangan orang yang tidak bertanggung-jawab
atau menghalalkan segala cara, dan Allah mengharamkan manfaat
kitab ini, begitu pula faidah serta barakahnya. Implikasinya,
kesempurnaan hanya dapat tercapai oleh orang yang zikir dalam
pencarian apa yang dikehendaki jiwanya. Ini tidak bisa diterapkan
tanpa ridha Allah, karena ini merupakan kitab para wali, salihin,
13
orang yang taat, orang yang berkemauan, amilin dan gemar berbuat
baik. Dianjurkan dalam hal ini untuk menjadi orang yang cermat
(tidak mengobral), berpegang kepada keyakinana sebagai kebenaran,
dan hakikat keyakinan, "Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya,
dan seseorang akan berhasil sesuai dengan yang diniatinya".36
Yakinlah kepada sabda Rasul bahwa setiap doa pasti diijabah,
terapkan amal dengan benar.37
Adapun tulisan yang berkaitan dengan pengkajian tafsir sufi
antara lain adalah: “Perspektif Interaksi Antar Penganut Agama
(Analisis Komparatif Tafsir Fiqih dan Tafsir Sufi)38
. Tulisan ini
merupakan disertasi karya Syarif di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Karyanya ini mengungkap batasan tentang
tafsir sufi dan tafsir fiqih. Selain hal itu, beliau membaerikan
penawaran solusi konflik dengan menggunakan tafsir sufi. Titik
lemah dalam tulisan ini adalah belum matangnya contoh-contoh serta
aplikasi dari tafsir sufi tersebut.
Berikutnya di dalam jurnal Al-Jami’ah Vol. 43, No. 1, 2005,
tulisan yang diuraikan oleh Machasin, berjudul “Bediuzzaman Said
Nursi and the Sufi Tradition”. Menurutnya, konsep sufi pada saat ini
adalah kontemplasi dari syariat dan tasawuf. Keidentikan dengan
pemahaman yang kolot dan banyak melakukan praktik bid’ah tidak
lagi melekat pada sufi. Kesimpulan terseebut ditemukan dalam
mendalami pemahaman dan aplikasi tasawuf Said Nursi. Pendapat ini
sesuai dengan Muhammad ‘Abd al-Qadir Azâd39
, “at-tasawuf kamâ
yusâ wiruhu al-Kitab wa as-Sunnah” (fi A’mâl Multaqî at-Tasawuf
al-Islami al-’Alami, 1995), yang menyimpulkan bahwa secara
praktik, tasawuf dan pola pemahamannya telah menjadi tradisi yang
kuat pada zaman sahabat Nabi.40
Tafsir Isyâri Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh
‘Abd al-Qadîr al-Jailani, (2012) yang ditulis oleh Aik Iksan Anshori
memberikan ruang untuk mendalami apa yang dimaksud dengan
36
HR Bukhari Muslim dari Umar bin al-Khattab. 37
Al-Bûnī, Syams al-Ma'ârif wa Lathâif al-'Awârif, hlm.2 38
Syarif, Perspektif Interaksi Antar Penganut Agama (analisis komporatif tafsir
fikih dan tafsir sufistik), (Jakarta: SPs. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009). 39
Seorang akademisi dan juga dikenal sebagai ulama’ yang menjabat sebagai ketua
majlis ulama’ Pakistan yang menghimpun seribu ulama’. Lihat
http://www.ghrib.net/vb/showthread.php?t=11343. 40
Kesimpulan ini disarikan dari sebuah konferensi tasawuf pada tahun 1995 yang
kemudian dikutip Muhammad ‘Abd al-Qadir Azâd dalam karyanya.
14
tafsir sufi. Kesimpulan dalam risetnya bahwa tasir isyâri pada
dasarnya adalah legal selama tidak resistensi dan mematuhi kaidah
tafsir Al-Qur’an.41
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan bagi penulis
adalah sikap dari pengarang buku ini yang masih memposisikan tafsir
isyâri sebagai produk yang diletakkan tidak sejajar dengan tafsir
konvensial pada umumnya. Di sini terlihat, hasil penelitian ini belum
memberi ruang yang kuat, hanya memberi dasar untuk menjadikan
tafsir isyâri sebagai suatu alternative lain.
Selanjutnya, orientalis Ignaz Gooldizher menulis buku
berjudul “Madzâhib at-Tafsir al-Islami”42
diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul “Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik
hingga Modern”. Buku ini memuat pembahasan terkait tafsir dalam
perspektif teolog, tasawuf, sekte keagamaan dan terakhir tafsir era
kebangkitan. Dalam ranah tasawuf, Goldizher membahas tentang
tafsir simbolik.43
Alexander D. Knysh dalam Esoterisme Kalam Tuhan:
Sentralitas Al-Qur’an dalam Tasawuf, (2007) menyimpulkan bahwa
“Intepretasi sufi merupakan suatu hasil dari proses pembacaan Al-
Qur’an yang tidak terputus selama bertahun-tahun dalam rangka
meng-ekstrak (istinbath) makna yang tersembunyi”.44
Penelitian
sangat membantu dalam memberikan pijakan bahwa tafsir sufi
memiliki dimensi rasional yang sangat kuat. Adapun isyâri yang
sering diperdebatkan merupakan hasil rasional dari ta fsir sufi yang
dilakukan sejak lama. Hal yang sama juga dibuktikan oleh Abd ar-
Rahîm Ahmad Az-Zaqah dalam “al-Ittijah al-Isyâri fi Tafsîr Al-
Qur’an al-Karîm Mafhûmuhu”, al-Majallah al-Urduniyah fi Dirâsah
al-Islâmiyah, Vol. 3, No. 1 2007.
Orientalis lain seperti Michael A. Sells, dalam Early Islamic
Mysticism: Sufi, Quran, Mi’raj, poetic and theological writings.45
Penelitian ini memandang tafsir sufi sebagai refleksi kejiawaan
41
Aik Iksan Anshari, Tafsir Isyâri Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh
‘Abd Qadîr al-Jailani, (Ciputat: Referensi, 2012), h. 190 42
Selengkapnya informasi kitab ini adalah: Ignaz Goldizher, Madzâhib at-Tafsîr
al-Islâmi, (Bierut: Dâr al-Iqra, 1983) 43
Ignaz Goldizher, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, ter. M.
Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), h. 3 44
Alexander D. Knysh, “Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas Al-Qur’an dalam
Tasawuf”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007 45
Michael A. Sells, (Ed) Early Islamic Mysticism: Sufi, Quran, Mi’raj, poetic and
theological writings, (New York: Paulist Press, 1996), h. 29
15
terhadap estetika, dan sangat tidak mengandung unsur-unsur rasional.
Hal tersebut senada dengan Abdurrahman Habil (1997) dalam
“Tafsir-tafsir Esoteris Tradisional Al-Qur’an” menjelaskan bahwa
tafsir sufi memiliki landasan yang kuat berasal dari Al-Qur’an dan
sunnah. Menurutnya unsur-unsur pembacaan simbolis Al-Qur’an ini
dapat ditemukan dalam Al-Qur’an sendiri, sesungghnya tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip-prinsip tafsir esoterik-
simbolis atas Al-Qur’an terejawantahkan di dalam Al-Qur’an itu
sendiri. Dengan demikian Al-Qur’an adalah tafsir paling pertama dan
dengan sendirinya, paling baik atas dirinya.46
Adapun penelitian yang secara konsen membahas pemaknaan
Al-Qur’an dalam perspektif sufi diantaranya disusun oleh Apipudin,
Al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazînat al-
Asrâr karya Muhammad Haqqî al-Nâzilî). Pembahasan difokuskan,
bahwa polemic para mufassir yang mempertentangkan apakah Al-
Qur’an dapat menjadi media penyembuh beragam penyakit baik yang
bio, psio, sosio dan spiritual.47
Argument ini, yakni Al-Qur’an
sebagai penyembuh penyakit banyak digunakan oleh ulama’ sufi.
Kemudian Ahmad Athoullah, Tesis Makna Basmallah dalam
Perspektif Hikmah.48
Penelitian ini mencoba mengarungi keutamaan
basmallah dengan pendekatan sufi. Kedalaman maknanya yang
meliputi spritualisme dan ontologi ilmu. Yang menarik adalah tiap
huruf dalam basmallah mempunyai makna-makna rahasia.
Dari berbagai penelitian yang ada sebelumnya, penelitian ini
mencoba untuk mengurai bagian terpenting dari sufi, yaitu berkaitan
dengan karakteristik, dan sisi konsep ajaran tasawuf yang dihasilkan
dari pembacaan Al-Qur’an secara mendalam.
E. Metode Penelitian
Untuk mendukung aktifitas penelitian, sehingga dapat
tersusun dengan akurat dan terarah, maka diperlukan sebuah
kerangka untuk menghasilkan suatu kegiatan penelitian yang optimal
dan memuaskan. Berikut penjabaran dari kerangka tersebut:
1. Jenis Penelitian
46
Hossein Nasr (ed), Ensiklopedia Tematis Spiritualitas Islam, ter. Rahmad Astuti,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 35-36 47
Apipuddin, Al-Qur’an Sebagai Penyembuh Penyakit (Analisis Kitab Khazînat al-
Asrâr karya Muhammad Haqqî al-Nâzilî). (Tangerang Selatan: YPM, 2013) 48
Ahmad Athoullah, Makna Basmallah dalam Perspektif Hikmah, (Ciputat,
Pustaka Hikmah, 2001)
16
Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan termasuk dalam riset
perpustakaan (library research), penelitian yang sumber-
sumbernya berasal dari literature yang dapat dijumpai di
perpustakaan maupun literatur49
lainnya seperti jurnal, majalah,
media online, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik
yang dikaji. Mengingat penelitian bersifat teoritis, metode yang
digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif secara
umum dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.50
2. Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
berasal dari data primer (primary resources) dan sekunder
(secondary resources). Sumber primernya adalah literatur yang
dikategorikan sebagai ilmu hikmah, seperti halnya kitab Syams
al-Ma'ârif wa Lathâif al-‘Awârif dan Manba' Ushûl al-Hikmah
tulisan Imam Ab al-Abbas Ahmad bin Ali Al-Bûnî. Mujarrabât
al-Dairâb (Fath al-Malik al-Majîd al-Muallaf li naf’ al-‘Abîd)
tulisan Syekh Ahmad al-Dairabî, Khazînah al-Asrâr Jalîlah al-
Adzkâr tulisan as-Sayyid Haqî an-Nâzilî, Syumûs al-Anwâr wa
Kunûz al-Asrâr tulisan Ibn al-Haj at-Tilimsâni al-Maghribî, Al-
Jawâhir al-Lumâ'ah fi Istihdhar Mulûk al-Jin fî al-Waqt wa al-
Sa’âh tulisan Syekh ‘Ali Ab Hayyullâh al-Marzûqî , Dalâil al-
Khairât tulisan Imam ‘Abdillah Muhammad bin Sulaiman, al-
Aufâq tulisan Imam at- Tashîl al-Manâfi' fî al-thib wa al-Hikmah
tulisan Syekh Ibrahin bin Abd al-Rahman al-Azraq, Al-thib al-
Nabawi tulisan syekh Muhammad bin Ahmad az-Dzahabî , ar-
Rahmah fî at-Thib wa al-hikmah tulisan Syekh Jalaluddin Abd ar-
Rahman al-Suyûthî. As-Sir al-Jalil fi Khawaddh Hasbunallâh wa
ni’mal-Wakîl tulisan Sayyid ab al-Hasan as-Syadzilî.dan lain-lain.
Sedangkan data sekundernya penulis menggunakan karya-
karya lain yang menguak cakrawala pemikiran ulama’ sufi serta
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan penelitian yang hendak
penulis sajikan. Selanjutnya, karena penelitian ini ingin
mengungkap konsep ajaran tasawuf yang tertuang di dalamnya,
sebagaimana yang sudah popular hal tersebut bagian dari
esoterisme Islam, maka penulis merujuk pada beberapa literature
49
Sutrisno hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1995), Vol. 1, h. 3 50
Lexy J. Moleon, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2013),h.4
17
ilmu sufi atau hikmah, baik yang ditulis oleh ulama’ sufi sendiri
maupun di luar mereka.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan library research, yang
menggunakan metode kualitatif, maka pengumpulan data
dilakukan dengan teknik observasi.51
Teknik ini dilakukan dengan
cara mengumpulkan berbagai dokumen52
terkait objek penelitian
yang didapat dari perpustakaan.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dengan membaca karya-karya
literatur dari praktisi ilmu hikmah sebagai data primer dan
meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang
topik pembahasan sebagai data sekunder. Kajiannya dipaparkan
secara deskriptif dan analitis, yakni penelitian yang berusaha
untuk menuturkan pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian, pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya.53
Deskriptif54
analisis55
yakni analisis dalam pengertian historis
dan filosofis. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan
dianalisis secara obyektif dengan mengkomparasikan pendapat
yang satu dengan yang lainnya, sehinga didapati konklusi dari
permaslahan penelitian.
5. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan tesis ini, penulis
menggunakan buku standar penelitian tesis yang berlaku dan
masih relevan terutama mengacu pada pedoman penulisan yang
diterbitkan IIQ Jakarta.
51
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap
objek yang ditelitinya. Lihat Huzaemah T. Yanggo dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,
dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: IIQ Press, 2011),h.20 52
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
seorang. Lihat Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2008),h.240 53
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003), h. 63 54
Deskriptis adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 258 55
Analitis adalah penguraian sesuatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian
yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran
sesudah dikaji sebaik-baiknya. lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 43
18
F. Sistimatika Penulisan
Sebagai bentuk konsistensi dan fokus penelitian yang hendak
dilakukan serta supaya tidak keluar dari rumusan masalah yang
diangkat, maka tesis ini akan dibagi dalam lima bab.
Bab Pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan signifikansi
penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan diakhiri
dengan sistematika penulisan.
Bab Kedua, berisikan patron tafsir esoterik dalam kajian Al-
Qur’an, sejarah tafsir esoterik. Dalam bab ini juga membahas
polemik hingga kontroversi tafsir sufi dari berbagai pandangan
akademisi. Selain itu juga menyajikan instrument esoterik yakni
identitas yang melekat pada sufi.
Bab Ketiga, akan mendeskripsikan tinjauan umum tentang
hikmah, definisinya, landasan ilmu hikmah, literatur klasik para
praktisi hikmah yang menjadi dasar pengamalan, serta ruang lingkup
ilmu hikmah.
Bab Keempat, menjabarkan analisis konsep ajaran tasawuf
dari perspektif ilmu hikmah yakni dzikir tilawah Al-Qur’an. Hakikat
dzikir, materi-materi dalam ilmu hikmah, hingga signifikansi bagi
pengamal ayat-ayat Al-Qur’an.
Bab Kelima, merupakan bab terakhir (penutup) yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi.
19
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa point yang dapat
disimpulkan oleh penulis, yaitu:
1. Pembacaan atas Al-Qur’an yang dilakukan oleh kaum sufi adalah
saham terbesar dalam mendapatkan pemahaman isyâri. Dialektika
sufi dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang ada di dalam Al-
Qur’an didasarkan atas pengalaman bathinnya, sehingga
melahirkan kitab-kitab hikmah yang tentunya dalam melihat ayat
Al-Qur’an sangat bebeda jauh dengan ulama tafsir pada
umumnya. Esensi dari membaca Al-Qur’an adalah mendapatkan
ma’ani, isyarat, dan lathâif. Manifestasi dan aktualisasi dari
kecintaan Al-Qur’an harus dinyatakan dengan senyata-nyatanya
melalui syarat mutlak intensitas membaca Al-Qur’an. Frekuensi
tilawah menjadi suatu aktifitas untuk mengingat Allah (dzikr
Allah). Di dalam tasawuf ritual khusus yang berupa dzikr
merupakan hal penting untuk taqarrub ila Allah. Konsep ajaran
tasawuf dalam ilmu hikmah menekankan seseorang untuk
mengolah sisi spritualitas dirinya dengan berbagai latihan ruhani,
dalam istilah para sufi biasa disebut dengan mujâhadah dan
riyâdah melalui dzikir tilawah Al-Qur’an.
2. Dengan dzikir ayat-ayat Al-Qur’an diyakini akan mendapatkan
anugerah Ilahi yang turun ke dalam hati atau batin
manusia, dan pada umumnya hal tersebut datang secara
tiba-tiba, tanpa bisa diusahakan atau berada di luar usaha
manusia. Anugerah-anugerah Ilahi yang datang secara
tiba-tiba di luar usaha manusia ini disebut al-wârid
dan suasana hati atau suasana batin tatkala mendapatkan
anugerah Ilahi ahwal). Dengan demikian, wirid (wiridan) adalah
amalan-amalan rutin keseharian yang dilakukan secara terus
menerus untuk menyongsong datangnya anugerah Ilahi (al-
wârid). Dengan kata, wirid adalah sebuah upaya mempersiapkan
diri melalui pembersihan segala kotoran hati untuk menerima
anugerah Ilahi yang datang secara tiba-tiba, meski datangnya
anugrah Ilahi itu sendiri pada dasarnya tidak bisa diusahakan
manusia.
20
B. Rekomendasi
Kajian terhadap kitab-kitab hikmah yang mengungkapkan
dimensi esoterik Al-Qur’an masih terasa belum begitu menyeluruh.
Selama ini yang masih mendominasi obyek penelitian adalah kitab-
kitab tafsir yang secara utuh membahas seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.
Namun dalam tafsir sufi masih sangat jarang diketemukan tafsir sufi
secara utuh, pada umumnya lebih ke tematik (maudhui’) tergantung
pada kecendrungan sufi.
Oleh karena itu, Dengan tersajinya karya ini harapan penulis
bermanfaat, baik di dunia akademik maupun di luar akademik.
Penelitian ini semoga menjadi stimulan (pendorong) agar kajian
terhadap karya-karya ulama’ sufi yang berorientasikan hikmah lebih
dikembangkan lagi secara komprehensif dan lebih membuka lagi
cakrawala keilmuan dari berbagai sudut pandang, sehingga
menambah Khazanah islam khususnya dibidang tafsir Al-Qur’an.