AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 32
Dinamika Stres, Coping dan Adaptasi dalam Resiliensi pada
Lansia terhadap Permasalah Hidup
Miftahul Jannah
Email: [email protected]
Institut Agama Islam Nurul Hakim Nusa Tenggara Barat
Abstrak
Lansia adalah bagian dari tahap perkembangan dewasa akhir yang pasti akan dialami
oleh manusia secara alamiah. Proses penuaan yang tidak dapat dihindari, secara
biologis tubuh akan mengalami perubahan sel-selnya menua dan mulai melemah
ketahanannya. Proses penuaan ini akan diikuti dengan penurunan kualitas fisik,
mental, moral, kesehatan, dan potensi seseorang. Resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi situasi sulit yang ada dalam hidup dan melanjutkan perkembangan normal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana hubungan antara coping dan
resiliensi lansia perempuan dalam menyingkapi permasalahan hidup. Hipotesis
penelitian ini adalah terdapat hubungan antara coping dan resiliensi pada lansia
perempuan dalam menyikapi pemasalahan hidup. Adapun metode yang digunakan
adalah menerapkan metode deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pendekatan
penelitian dalam pandangan fenomelogis yang berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu.
Sumber data dalam penelitian ini dipilih secara purposive. Teknik pengumpulan data
yang peneliti lakukan dengan tiga metode diantaranya: dengan observasi, wawancara
dan dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti mewawancarai 10 orang informan
yaitu para lansia perempuan yang masih aktif, produktif dan mandiri dalam
menjalankan kehidupannya dengan menerapkan strategi coping stres dan resiliensi
dalam menyingkapi berbagai macam permasalahan hidup. Setelah melakukan
penelitian, peneliti dapat menyimpulkan berbagai hal yang didapatkan ketika
melakukan proses penelitian yaitu mengetahui sejauhmana hubungan antara coping
dan resiliensi yang diterapkan lansia perempuan dalam menyingkapi berbagai
permasalahan hidup yang berasal dari empat faktor diantaranya: faktor kesehatan,
faktor psikologi, faktor sosial dan faktor ekonomi.
Kata kunci: Stres, coping, resiliensi lansia, permasalahan hidup
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 33
Pendahuluan
Masalah lansia memang permasalahan kependudukan yang relatif belum
menjadi perhatian serius. Secara alami seseorang akan mengalami proses penuaan
yang tidak dapat dihindarkan oleh siapapun atau apapun kedudukan seseorang. Secara
biologis tubuh akan mengalami perubahan, sel-selnya menua dan mulai melemah
ketahanannya. Proses penuaan ini akan diikuti dengan penurunan kualitas fisik,
mental, moral, kesehatan, dan potensi seseorang. Hal ini bisa terjadi karena kekuatan
otot dan tulangnya mulai melemah. Kemampuan pendengaran dan penglihatan yang
mulai berkurang.1 Rambut menjadi jarang dan beruban, kulit mengering dan keriput.2
Penyusutan tulang sehingga mengalami kebungkukan pada bagian belakang leher.3
Dan gangguan mental lain yang dialami adalah obsesif, kecemasan, hilangnya relasi
sosial dan pekerjaan.4
Menurut Erikson dalam bukunya Alwisol menjelaskan tentang standarisasi
lansia atau tua adalah dengan standar umur (Mature) 65 tahun ke atas.5 Sedangkan
dalam Partini disebutkan, semua makhluk hidup memiliki siklus kehidupan yang
diawali dengan proses kelahiran, kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang
biak, selanjutnya menjadi semakin tua dan akhirnya akan meninggal.6 Saat ini
Indonesia merupakan negara peringkat ke empat di dunia dari jumlah penduduk dan
peringkat ke sepuluh dari jumlah penduduk lanjut usia.
Dengan demikian, beberapa hal penting mengenai berbagai permasalahan
lansia, menggambarkan beberapa hal yang menuntun peneliti untuk meneliti
permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi oleh lansia. Di berbagai wilayah
1 Argyo Demartoto. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia, (Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 2006), h. 6-7. 2 Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Rosdakarya, 2005), h, 236. 3 Papalia Olds Feldman, Human Development Perkembangan Manusia Edisi 10 Buku
2,(Jakarta:Salemba Humanika, 2009), h.350. 4 Moeljono Notosoedirdjo & Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan,
(Malang:UMM Pres, 2011), h.199. 5 Alwilsol, Edisi Revisi Psikologi Kepeibadian, (Malang, UMM Press, 2009), h.89. 6 Siti Partini Suardiman, Psikologi Usia Lanjut (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2011), h.1.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 34
terdapat lansia dengan berbagai latar belakng permasalahan hidup salah satunya
permasalahan ekonomi berbondong-bondong bekerja dalam mengatasi permasalahan
hidup. Stigma yang ditujukan bagi lansia dapat terbantahkan dengan adanya beberapa
aspek yang ditujukan oleh para lansia. Kehadiran penelitian ini akan menggambarkan
aspek identitas lansia dalam kehidupan keseharian mereka yang sebenarnya, yang
mampu membuktikan bahwa lansia bukanlah sosok lemah seperti pandangan
masyarakat pada umumnya. Bahwa sesungguhnya mampu mengatasi berbagai
macam problematika kehidupannya dengan tatap resilien.
Dalam Infodatin Kementrian Kesehatan RI mejelaskan: terjadinya perubahan
struktur lansia membawa implikasi pada perumusan dan arah kebijakan
pembangunan, salah satunya untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan
lansia. Dilakukan suatu upaya secara terpadu dan lintas sektor, karena misi yang ingin
dicapai oleh Pemerintah sendiri adalah terwujudnya masyarakat lansia yang sehat,
mandiri, aktif dan produktif.7 Keberhasilan pembangunan negara-negara di dunia
dalam segala bidang termasuk kesehatan, dapat memperbaiki kualitas hidup dan
kesehatan masyarakat khususnya bagi jumlah penduduk lansia.
Sedangkan pada aspek lain, yang menjadi permasalahan yang dihadapi oleh
pemerintah Indonesia dalam menghadapi peledakan penduduk lansia adalah,
Pertama: prioritas untuk memenuhi kebutuhan lansia masih kecil. Kedua: kurangnya
informasi mengenai problem kehidupan lansia yang berhubungan dengan program
dan kebijakan. Ketiga: problem yang berhubungan dengan kurangnya fasilitas
infrastruktur dan fasilitas yang ada untuk kepentingan lansia. Keempat: kurangnya
personil atau tenaga yang terdidik dalam memberikan pelayanan kepada para lansia.
Kelima: biaya untuk kesehatan lansia cenderung meningkat. Keenam: adanya transisi
demografi (transisi vital dan transisi mobilitas) dan transisi epidemiologi terjadi
pergeseran pada penyakit. Sebagai contoh, dulu pola penyakit infeksi yang
mendominasi morbiditas penduduk Indonesia, tetapi pada masa sekarang pola
7 Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis Lanjut Usia(Pusat
Data dan Informasi, Jakarta Selatan:2014), h.6.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 35
penyakit berubah menjadi penyakit-penyakit degeneratif, kanker maupun
psychososial, dengan demikian bentuk atau macam pelayanannya pun berbeda.
Ketujuh: kurangnya dana yang dipergunakan untuk memenuhi kehidupan lansia yang
sejahtera, disamping terjadinya penurunan dukungan dari pihak keluarga lansia.
Kedelapan: kurangnya kegiatan penelitian mengenai lansia dan yang berhubungan
dengan populasi lansia.8
Setiap kebijakan publik dilaksanakan oleh administrasi negara yang
dijalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan pemerintah adalah
dengan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat baik itu berupa pelayanan
barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tugas dan tanggung jawab
oleh negara dalam mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang
banyak.9 Dengan tujuan membantu masyarakat dalam mengatasi pemasalahan
kesehatan, sosial, ekonomi dan lainnya, sehingga terciptanya suatu kesejahteraan
dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Secara normatif pemerintah telah menunjukkan keseriusan dan kepeduliannya
mengenai fenomena penuaan penduduk. Sehingga pada tahun 1998, pemerintah telah
melahirkan UU Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Penduduk Lansia.10
Karena kehidupan lansia sebagian besar adalah tanggung jawab pemerintah seperti
dengan adanya (panti-panti sosial), termasuk berbagai kemudahan yang patut
diterimanya seperti: potongan biaya perjalanan, aksesibilitas umum, dana
perlindungan hari tua, potongan biaya pengobatan, dan lain-lain.11 Namun perlu
diketahui juga bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia bukan
merupakan tugas aparat pemerintahan saja, akan tetapi memerlukan keikutsertaan
masyarakat dari berbagai kalangan seperti swasta, perguruan tinggi, organisasi sosial
8 Argyo Demartoto, Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia….h.8. 9 Edi Suharto, Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia, (Bandung, Alfabeta, 2009),
h.34. 10 Nahiyah J. Faraz, Memanusiakan Lanjut Usia, (Yogyakarta:Perpustakaan Nasional, 2012),
h.26. 11 Utami Munandar, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Kpribadian dari Bayi Sampai
Lanjut Usia, (Jakarta: UI-PRESS, 2001), h. 186.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 36
kemasyarakatan dan lain sebagainya. Karena kondisi seperti ini juga patut menjadi
perhatian semua pihak, sebab bertambahnya jumlah penduduk lansia yang terus
meningkat ditakutkan permasalahannyapun semakin beragam.
Begitu kompleksnya permasalahan sosial lanjut usia di Indonesia. Hal ini
mendorong pemerintah, khususnya Departemen Sosial RI untuk melaksanakan
upaya-upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia yang diarahkan agar
diberdayakan sehingga dapat berperan dalam kegiatan pembangunan dengan
memperhatikan kearifan, pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman usia dan
kondisi fisiknya serta terselenggaranya pemeliharaan dalam taraf kesejahteraan
lansia.12 Perubahan dalam perspektif sosial yang dihadapi lansia adalah sejalan
dengan pandangan sosial yang menyebutkan bahwa lansia pada aspek ini hubungan
sosial lansia dengan lingkungan sekitarnya mulai berkurang sehingga lansia sering
merasa murung, sendirian, dan tersisih dengan lingkungan masyarakat.13
Beberapa tahun ini terjadi perubahan paradigma tentang lansia. Banyak yang
memandang lansia rentan dan tidak berdaya. Maka dari itu, lansia seharusnya lebih
diakui dan didorong potensi yang dimiliki, sehingga lansia dapat sehat, aktif, dan
mandiri. Lansia harus diberdayakan, bukan malah dibiarkan sendirian. Justru ketika
lansia tidak diberdayakan, selain berimbas pada rendahnya produktivitas, juga
berimbas pada naiknya biaya kesehatan mereka. Ketika mereka masih mampu
produktif, mereka akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri sehingga
tidak menjadi beban bagi keluarga maupun orang lain.
Nilai-nilai kemandirian lansia dan ketidakinginan tergantung kepada anak
sebagai bentuk perwujudan harga diri yang umumnya dimiliki lansia telah membuat
lansia memilih hidup terpisah dari anak-anaknya, agar tetap merasa berguna dan
12 Hardywinoto dan Tony Setiabudy, Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek:
Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia, (Jakarta: PT, Gramedia Pustaka Utama,
1999), h. 11. 13 Siti Partini Suardiman, Psikologi Usia Lanjut, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2011), h.7.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 37
bahagia.14 Berbagai proses yang digunakan dalam mengatasi dan merefleksi
kebiasaan hidup, nilai dan konsep diri. Menurut Neugarten yang dikutip oleh
Desmita: mengidentifikasi beberapa pola penyesuaian diri yang dilakukan orang-
orang tua dengan berbagai jenis kepribadian tertentu.15
Dari berbagai permasalahan yang dipaparkan penulis, maka dari itu, untuk
menghindari terjadinya kondisi-kondisi tersebut bagi lansia penting adanya suatu
resiliensi diri sejak awal, untuk membangun kekuatan-kekuatan dasar bagi lansia agar
mampu bertahan dengan menerapkan strategi coping sehingga mampu resiliensi
dalam menyingkapi permasalahan hidup.
Landasan Konseptual
1. Pengertian Lanjut Usia
Proses menua atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk
hidup. Menyatakan bahwa menjadi tua (aging) merupakan proses perubahan biologis
secara terus menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu,
sedangkan lanjut usia (old age) adalah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan
tersebut. Semua makhluk hidup memiliki siklus kehidupan menjadi tua yang diawali
dengan proses kelahiran, kemudian tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak,
selanjutnya menjadi semakin tua dan akhirnya akan meninggal.16
Di Indonesia, hal-hal yang terkait dengan lansia dalam suatu undang-undang
yaitu UU RI NO.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. “Dalam pasal 1
ayat 2 undang-undang No.13 tahun 1998 tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas.17 Menurut
Keputusan Menteri Sosial NO HUK. 3-150/107 tahun 1971 seseorang dikatakan
14 Deddy Kurniawan Halim, Psikologi Lingkungan Perkotaan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008),h.149. 15 Desmita, Psikologi Perkembangan…h, 254. 16 Siti Partini Suardiman, Psikologi Usia Lanjut, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2011), h.1. 17 UU No.6, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Lembaran
Negara, 1974), h. 642.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 38
jompo setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun.18 Sedangkan menurut
Buhler yang dikutip Hurlock, lansia adalah priode akhir dari rentang kehidupan.19
2. Masalah yang dihadapi Lanjut Usia
Masalah-masalah pada umumnya sering dihadapi oleh lansia adalah dapat
dikelompokkan ke dalam berbagai masalah diantaranya sebagai berikut:
a. Masalah Ekonomi
b. Masalah Sosial
c. Masalah Kesehatan
d. Masalah Psikologis.20
Adapaun masalah khusus yang sering dihadapi lansia perempuan selain dari
permasalahan di atas yaitu: situasi disaat lansia perempuan tanpa mata pencaharian,
yang menyebabkan ia tergantung pada anak dan menantu atau kerabat lainnya.
Karena kebanyakan perempuan tidak menyiapkan kemandiriannya, itulah sebabnya
mereka menjadi segera terpuruk bila suaminya meninggal yang berarti mereka akan
kehilangan tempat bergantung.
Sejumlah keputuasaan merupakan hal yang wajar dan dibutuhkan untuk
kematangan psikologis bagi para lansia. Pertarungan tak terelakkan antara integritas
dan keputusasaan menghasilkan kebijaksanaan, kekuatan dasar bagi lansia. Erikson
mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “kepedulian terdidik dan terpisah dengan
kehidupan itu sendiri dalam menghadapi kematian itu sendiri” dengan kebijaksanaan
yang matang, mereka mempertahankan integritas mereka walaupun kemampuan fisik
dan mentalnya menurun.21
18 Argyo Demartoto. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia....h.,12 19 Hurlock Elizabeth, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, (Jakarta: Erlangga,1992), h. 380 20Ibid, h. 9-13 21Jess Feist & Gregory J. Feist. Teori Kepribadian Edisi 7-Buku 1, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2014).,h.310-311
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 39
3. Pengertian Stres
Stres mencerminkan adanya tekanan yang dialami individu akibat persoalan
atau kondisi tertentu yang terjadi di luar harapan (stresor), karena adanya tuntutan-
tuntutan yang tidak dapat dipenuhi, atau hal-hal lain yang menyebabkan
ketidakseimbangan dalam hidup individu.
Menurut Lazarus mengemukakan bahwa stres psikologis terjadi ketika
individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh dengan tekanan , menilainya
sebagai ancaman besar dan melampaui kemampuan copingnya. Dua komponen
sentral dalam stres psikologis menurut Lazarus adalah (1) Appraisal, yaitu evaluasi
individu terhadap hal-halyang signifikan yang terjadi dan mempengaruhi well-being-
nya dan (2) coping yaitu usaha-usaha individu baik dalam bentuk fikiran maupun
prilaku yang ditunjukkan untuk mengelola tuntutan atau berbagai perubahan yang
dihadapi. Interaksi antara dua komponen sentral tersebut akan menentukan
berkembang tidaknya stres yang dialami oleh individu.22
Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa stres adalah
respon individu yang mencerminkan tekanan psikologis akibat adanya kondisi
tertentu di luar harapan atau karena tuntutan yang tidak dapat dipenuhi, sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan dalam hidup. Stres terjadi apabila individu menilai
kondisi dan situasi tersebut sebagai ancaman besar yang melampaui kemampuan
kopingnya.
Middleborooks dan Audage menyebutkan adanya tiga tipe stres yaitu;
a) Stres positif
Stres positif dihasilkan dari pengalaman terhadap kesulitan atau
ketidaknyamanan yang terjadi dalam waktu yang singkat.
Misalnya: dapat mengalami stres positif ketika mereka bertemu
dengan orang baru.
22 Wiwin Hendriani, Resiliensi Psikologi Sebuah Pengantar, (Prenadamedia Grop: Jakarta
Timur, 2018), h.32
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 40
b) Stres yang dapat ditoleransi
Stres yang dapat ditoleransi adalah pengalaman terhadap kesulitan
atau ketidaknyamanan yang lebih intens dari stres positif, namun
kemunculannya masih tergolong singkat. Misalnya: akibat
perceraian, kematian pasangan dll.
c) Stres Toksik
Stres toksik dihasilkan oleh pengalaman terhadap kesulitan atau
ketidaknyamanan yang intens, bertahan dalam jangka waktu lama,
bahkan hingga bertahun-tahun. Contoh: stres akibat pelecehan,
kekerasan dll23.
4. Pengertian Coping
Coping merupakan respons organism untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan yang tidak menguntungkan. Strategi mengatasi masalah dapat muncul
sebagai respons terhadap suatu peristiwa atau antisipasi terhadap tuntutan yang akan
datang. Menurut Lazauruz, menyatakan bahwa coping adalah suatu proses untuk
menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya
individu.
a. Proses Coping
Menurut Taylor, yang dikutip oleh Mochamad Nursalim proses coping
melibatkan dua sumber daya coping, yaitu sumber daya internal dan sumber daya
eksternal. Sumber daya internal adalah gaya coping dan antribut personal. Sedangkan
sumber daya eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, dan kejadian lain yang
mungkin terjadi pada saat yang sama. Semua faktor ini saling berinteraksi dan
mempengaruhi proses coping.
23 Ibid., h.32.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 41
b. Strategi Coping
Lazarus membedakan dua strategi coping, yaitu:
1. Menghilangkan stres dengan penanganan yang berfokus pada masalah,
yaitu:
1) Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah
strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan
oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha
menyelesaikannya.
2) Membuat individu yang bersangkutan menerima tanggung jawab
untuk menyelesaikan atau mengontrol masalah yang menimbulkan
stres. Dengan mengubah situasi dari masalah yang bersangkutan,
diharapkan efek stresnya juga akan menghilang.
3) Menyingkapi semacam rencana untuk menyelesaikan masalah
penyebab stres, dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana
tersebut.
4) Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping) adalah
untuk strategi penanganan stres di mana individu memberikan respons
terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan
menggunakan penelitian defensif. Dalam emotion-focused coping ini
seseorang menghadapi stres dengan fokus pada bagaimana menata
dirinya secara emosional sehingga siap menghadapi stres itu sendiri.
Beberapa contoh penerapan teknik emotion-focused coping antara lain:
a) Menerima simpati dan pengertian dari seseorang (teman, saudara
atau support group lainnya)
b) Mencoba untuk melihat sesuatu dari sisi lain (yang lebih positif)
2. Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar
a) Strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif
untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 42
penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres
tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung.
b) Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif
untuk menyangkal atau meminimalkan penyebab stres dan usaha yang
muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari
penyebab stres.24
Penggunaan strategi coping yang lebih tepat dan efektif terhadap situasi
menekan akan menghasilkan adaptasi yang lebih positif. Beberapa studi terdahulu
telah menunjukkan bahwa penggunaan strategi coping memiliki peran yang penting
terhadap outcome fisik dan psikologis individu, dalam hal ini problem-focused coping
dinilai lebih memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan.
Sejumlah artikel seputar koping dan pengelolaan stres mencatat beberapa hal
terkait coping antara lain:
1) Tidak ada satu strategi kopingpun yang berfungsi efektif sepanjang
waktu di setiap situasi sulit. Strategi koping yang belum efektif di waktu
sebelumnya akan dapat menjadi efektif ketika digunakan saat ini atau
waktu-waktu berikutnya dan demikian pula sebaliknya.
2) Pada dasarnya individu tidak benar-benar melakukan koping jika
memilih untuk mengambil jarak dan tidak mau berhadapan dengan
situasi yang dipandang menekan.
3) Ketika satu strategi koping berhenti berfungsi, hal ini merupakan
pertanda bagi individu untuk mengembangkan strategi koping yang lain.
4) Metode koping tertentu yang selalu digunakan terhadap stres ternyata
juga dapat membentuk kebiasaan yang justru berdampak tidak sehat.
5) Semakin banyak individu memiliki alternatif strategi koping maka akan
semakin besar kesempatan untuk menemukan strategi atau metode yang
paling tepat untuk setiap stresor.
24 Mochamad Nursalim, Strategi & Intervensi Konseling, (Jakarta: Kademia Permata, 2013),
h.81-82.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 43
6) Individu dapat memutuskan koping mana yang berfungsi paling baik
untuk dirinya sesuai dengan situasi yang dihadapi.25
5. Adaptasi
Menurut pandangan Ward konsep adaptasi yang lebih didasarkan pada
dominan sosiokultural merupakan proses untuk mengubah prilaku seseorang untuk
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan, atau sebagai respons terhadap tekanan
sosial. Adaptasi adalah proses mengubah sesuatu agar sesuai dengan berbagai kondisi
yang berlainan, sementara koping merupakan proses mengelola diri agar sejalan
dengan berbagai situasi sulit yang sedang dihadapi. Dalam pengertian ini, mengelola
tidak selalu berarti melakukan perubahan. Adaptasi merupakan hasil perubahan
perilaku dari upaya mengelola persepsi maupun emosi dalam proses koping yang
dillakukan oleh individu-individu atau keluarga saat berhadapan dengan stresor dan
krisis.26
Berdasarkan masing-masing uraian tentang koping dan adaptasi dapat
disimpulkan bahwa meskipun seringkali dipandang serupa, koping memiliki
penekanan yang berbeda dengan adaptasi. Koping lebih bersifat internal, mencakup
pengelolaan kognitif dan emosi. Mengelola tidak selalu berarti melakukan perubahan.
Sementara perubahan adalah inti dari proses adaptasi. Adaptasi merupakan hasil dari
coping yang lebih dahulu dilakukan oleh individu saat mengalami stres.
6. Pengertian Resiliensi
Resiliensi merupakan suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan setiap orang. Hal ini dikarenkan kehidupan manusia senantiasa diwarnai
oleh adversity (kondisi yang tidak menyenangkan). Adversity ini menantang
kemampuan manusia untuk mengatasinya, untuk belajar darinya, dan bahkan untuk
berubah karenanya. Menurut Reivich & Shatte resiliensi merupakan kemampuan
seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit.
25 Wiwin Hendriani, Resiliensi......., h.36 26 Ibid,h.38
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 44
Resiliensi juga merupakan kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif
ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk
mengelola tekanan hidup sehari-hari.27
a. Aspek-Aspek Resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte suatu resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan
yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan
memiliki kemampuan tersebut dengan baik, kemampuan ini terdiri dari:
a) Pengaturan Emosi (Emotion Regulation),
Pengaturan emosi merupakan suatu kemampuan individu dalam
mengatur emosi yang ada pada diri sendiri sehingga mampu merasakan
ketenangan meskipun dalam situasi yang tidak menyenangkan karena di
bawah tekanan.
b) Kontrol Terhadap Impuls (Impuls Control),
Reivich dan Shatte mendefinisikan pengendalian impuls sebagai
kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan
yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian
impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang
cenderung mengendalikan prilaku dan fikiran mereka.
c) Optimisme (Optimism),
Merupakan suatu kepercayaan yang ada dalam diri individu dalam
meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu itu akan terjadi dan akan
menjadi lebih baik dalam mengontrol kehidupan.
27 Reivich K & Shatte A, “Bulding Resiliency In Young People” dalam https://Teachers,
Reachoutpro, reachoutpro.com. Diakses Pada hari Kamis 19 Nopember 2015.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 45
d) Kemampuan Menganalisis Masalah (causal analysis)
Merupakan suatu kemampuan dari individu dalam menganalisis setiap
permasalahan yang menimpanya, yang kemudian dapat dilihat dari
bagaimana cara dari individu itu sendiri dalam mengidentifikasi sebab dari
permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan menganaliasis masalah
menurut Reivich dan Shatte adalah sebuah konsep yang berhubungan erat
dengan analisis penyebab dari masalah itu sendiri dimana individu mampu
memikirkan apa saja yang menjadi penyebab dari permasalahan yang
dihadapinya sehingga berimbas kepada kehidupan yang dijalaninya
sekarang.
e) Empati (emphaty)
Merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam
membaca situasi, perasaan, apa yang sedang dirasakan orang lain, dan
seolah-olah ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sedangkan
menurut Reivich dan Shatte mengatakan bahwa empati sangat erat
kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda
kondisi emosional dan psikologis orang lain.
f) Efikasi Diri (self-eficacy)
Merupakan suatu efikasi diri yang mewakili kepercayaan individu
bahwa individu mampu mengatasi segala permasalahan disertai dengan
keyakinan akan kekuatan yang ada pada dirinya untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut. Reivich dan Shatte mendefinisikan
efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan afektif. Efikasi diri juga
berarti keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam
melakukan tugas dan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil
tertentu. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam
strategi yang sedang digunakan itu berhasil. Individu tidak merasa ragu
karena individu memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 46
dirinya. Self-efficacy merupakan hasil yang sangat penting untuk
mencapai resiliensi.
g) Pencapaian (reaching out)
Menurtut Reivich dan Shatte, suatu pencapaian menggambarkan
kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif
dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk
mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam
kehidupannya.28
b. Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Resiliensi adalah sebuah kemampuan, kekuatan dan sebagai analisis
terhadap sebuah masalah yang bisa membuat hilangnya keberfungsian di
dalam diri individu sehingga membaur yang menyebabkan individu
menjadi lemah. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi resiliensi
itu sendiri diantaranya sebagai berikut:
a) Faktor-Faktor Resiko
Faktor resiko merupakan faktor yang membuat individu atau keluarga
bisa menghambat dan menghancurkan sebuah keluarga karena faktor
resiko. Sedangkan menurut Fraser and Terzian mendefinisikan faktor
resiko “ the term risk factor relenes to any event, condition, or
experience that increases a problem will be formed, maintained, or
exacerbated”29
Istilah faktor resiko berhubungan dengan apapun peristiwa, kondisi, yang bisa
menghambat atau menekan sehingga bisa membuat kondisi menjadi lebih buruk dari
kehidupan sebelumnya. Faktor resiko bisa berupa masalah-masalah yang berasal dari
dalam diri individu itu sendiri maupun yang berasal dari luar individu. Masalah yang
28 Reivich K & Shatte A, “Bulding Resiliency In Young People” dalam https://Teachers,
Reachoutpro, reachoutpro.com. 29 Jeffrey M. Jenson and Mark W. Fraser, A Risk and Resilience Framework For Child, Youth,
And Family Policy, Jurnal Of Family Process,42 (1),10. (2003), h, 6-8
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 47
berasal dari dalam diri individu misalnya: lansia mengalami sakit-sakitan / daya tahan
tubuh secara berangsur-angsur mengalami penurunan, ketidak mampuan lansia dalam
bekerja/ beraktivitas seperti biasanya sehingga menyebabkan lansia kekurangan
dalam faktor ekonomi keluarga, komunikasi dengan keluarga mulai berkurang dan
kehilangan anggota keluarga seperti ditinggal mati suami, anak membangun suatu
keluarga baru dan keluarga lainnya. Sedangkan faktor yang berasal dari luar individu
/ lansia itu sendiri yaitu faktor yang berasal dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Hubungan sosial lansia dengan lingkungan tempat tinggal secara perlahan mulai
berkurang, adanya stigma negatif masyarakat terhadap lansia yang identik dengan
“ketidakberdayaan”, dan lain sebagainya
b. Faktor-Faktor Protektif
Faktor protektif merupakan faktor yang bisa mencegah terjadinya faktor
resiko yang terjadi di dalam diri individu maupun keluarga. Faktor protektif ini bisa
memberikan dampak yang baik bagi keberlangsungan hidup dengan cara positif dan
berkembang lebih baik dari kehidupan yang sebelumnya. Faktor protektif ini bisa
berupa dukungan orangtua, keluarga, kerabat dan teman-teman.30
Adapaun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi coping stres menurut Keliat
diantara:
a. Kesehatan fisik
b. Keyakinan atau pandangan hidup
c. Keterampilan memecahkan masalah
d. Keterampilaan sosial
e. Dukungan sosial
f. Materi 31
30 Ibid,...h.11 31 Keliat BA, Pelaksanaan Stress , (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999), h.30.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 48
Pembahasan
Dalam menjalani sebuah kehidupan tidak terlepas dari (adversity) tidak
menyenangkan karena begitulah hakikat dari kehidupan itu sendiri, kadang bahagia
kadang juga sengsara, susah senang datang secara silih berganti. Maka dari itu, untuk
dapat mengatasi setiap tantangan-tantangan yang datang dalam kehidupan, setiap
individu harus mampu merespon setiap permasalahan yang dihadapinya dengan
berbagai strategi tersendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada landasan teori
sebelumnya tentang berbagai macam strategi yang diterapkan lansia perempuan
dalam menyingkapi permasalahan hidup, diantaranya dengan menerapkan strategi
coping stres dan resilien dalam kehidupannya.
Dalam hal ini, jika seorang individu tidak menginginkan keadaan yang serba
tidak menguntungkan selalu melekat pada dirinya, maka bagaimana upaya dari
individu itu sendiri untuk melawan segala ketidakberdayaan yang dihadapinya
dengan berbagai strategi yang dimilikinya, sesuai dengan sumber daya manusia itu
sendiri, agar mampu terbebas dari keadaan yang tidak menyenangkan yang
mengganggu bahkan menjadi ancaman bagi individu itu sendiri yang menjadikan
stres. Strategi coping stres yang diterapkan daintarnya: Menghilangkan stres dengan
penanganan yang berfokus pada masalah dan strategi penanganan stres dengan
mendekat dan menghindar.
Jika lansia mampu mengontrol dan mengelola segala permasalahan hidup
yang dihadapi dengan coping stres, begitupun lansia akan mampu resilien dalam
kehidupannya apabila lansia mampu menghadapi segala permasalahan dalam
kehidupannya dengan menanggapi setiap permasalahan itu dengan tenang, sabar,
tidak terbawa emosi maupun frustasi yang nantinya membuat lansia mengalami
goncangan dalam kehidupannya dan mengalami stres. Sebelum mencapai pada suatu
resiliensi terlebih dahulu individu mengalami masa-masa sulit dalam kehidupanya.
Sehingga dalam hal ini ketika individu mendapatkan permasalahan, individu itu
sendiri berusaha untuk bertahan, kuat, tidak menyerah dan keluar dari permasalahan
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 49
dengan berbagai strateginya dan berupaya menjadi lebih baik dari keadaan yang
sebelumnya. Sehingga ketika individu mendapatkan permasalahan yang sama bahkan
lebih berat dari sebelumnya, individu mampu untuk mencari alternatif pemecahan
masalah dari masalah yang dihadapinya. Di sini individu membuktikan copingnya
sendiri dalam bertahan menjalankan kehidupannya.
a. Hubungan coping dan resiliensi lasnia perempuan dalam menyingkapi
permasalahan hidup
Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap beberapa lansia perempuan
dalam menyingkapi permasalahan hidupnya di Desa Kediri, peneliti dapat menarik
keseimpulan, bahwa terdapat hubungan yang berkaitan erat dan berkesinambungan
antara coping stres dan resiliensi lansia. Berawal dari bagaimana upaya-upaya yang
dilakukan oleh lansia perempuan dalam menyingkapi berbagai macam permasalahan
dalam kehidupannya yang sangat mengganggu dan mempengaruhi emosi dan
kehidupan. Coping merupakan suatu bentuk strategi yang dilakukan lansia
perempuan dalam mengatasi dan meminimalisir situasi yang penuh akan tekanan
yang menimbulkan stres baik secara kognitif maupun prilaku.
Sebagaimana yang dijelaskan Mochamad Nursalim terkait dengan proses
coping yang melibatkan dua sumber daya coping, yaitu sumber daya internal dan
sumber daya eksternal. Sumber daya internal adalah gaya coping dan antribut
personal yang melekat dalam diri masing-masing individu. Sedangkan sumber daya
eksternal yang berasal dari luar diri individu itu sendiri yang meliputi uang, waktu,
dukungan sosial, dan kejadian lain yang mungkin terjadi pada saat yang sama. Semua
faktor ini saling berinteraksi dan mempengaruhi proses coping dan resiliensi sendiri
merupakan upaya dari lansia untuk mengontrol, mengurangi dan mengantisipasi dan
menerima setiap keadaan-keadaan yang tidak menguntungkan yang mulai
berdatangan pada diri mereka dan menghadapi setiap ancaman-ancaman kehidupan
yang akhirnya akan berujung kepada stres.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 50
Kemampuan menganaliasis masalah menurut Reivich dan Shatte adalah
sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab dari masalah itu
sendiri dimana individu mampu memikirkan apa saja yang menjadi penyebab dari
permasalahan yang dihadapinya sehingga berimbas kepada kehidupan yang
dijalaninya sekarang. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki
fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan
dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style
tertentu.
Strategi coping dan resiliensi merupakan suatu pilihan yang diterapkan oleh
lansia perempuan dalam menyingkapi permasalahan hidup. Beberapa faktor-faktor
yang melatar belakangi lansia perempuan dalam menererapkan coping dan resiliensi
dalam menyingkapi permasalaha hidup, dikarenakan terdapat berbagai permasalahan
yang dihadapi lansia itu sendiri. Permasalahan dalam kehidupan yang dihadapi lansia
seperti: 1). Permasalahan ekonomi : lansia ditandai dengan menurunnya produktivitas
kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Hal ini berakibat
pada menurunya pendapatan yang kemudian terkait dengan pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari, seperti sandang, pangan papan, kesehatan, rekreasi dan kebutuhan
sosial. 2) Permasalahan sosial: berkurangnya kontak sosial, baik dengan anggota
keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya
hubungan kerja karena pensiun.3) Permasalahan kesehatan: kemunduran sel-sel
karena proses penuaan yang berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik,
timbulnya berbagai macam penyakit pada kelemahan organ, terutama penyakit
degeneratif. sakit-sakitan. 4) Permasalahan psikologis: kesepian, keterasingan dari
lingkungan lingkungan, ketidakberdayaan, perasaan tidak berguna, kurang percaya
diri, ketergantungan, ketelantaran terutama bagi lansia yang miskin.
Selain itu adapun keaadaan dan stigma negatif terhadap lansia yang serba
sulit, selalu identik dan dikatakan lemah, tidak berdaya, sakit-sakitan dan bergantung
dengan orang lain karena tidak dapat berbuat apa-apa dengan kehidupannya sendiri.
Maka dari itu beranjak dari berbagai stigma negatif masyarakat terhadap lansia, lansia
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 51
ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa stigma negatif yang melekat pada diri
mereka agar segera dihapus. Karena pada hakikatnya lansia ingin tetap aktif,
produktif dan mandiri dalam kehidupannya sendiri tanpa harus bergantung dengan
keluarga maupun orang lain
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 52
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti mengenai dinamika
stres coping dan adaptasi dalam resiliensi lansia dalam menyingkapi permasalahan
hidup. Bagaimana dalam hal ini masih terlihatnya lansia yang masih aktif, produktif
dan mandiri, mampu bertahan dalam menghadapi permasalahan hidup dengan
menerapkan dinamika coping stress dan adaptasi dalam resiliens dalam menyingkapi
perasalahan hidup. Mampu membuktikan tingkat adaptasi resiliensi lansia dalam
menjalankan kehidupan tidak menyerah dengan keadaan (adversity) tidak
menguntungkan dalam hidup. Maka dari itu, peneliti dapat menarik kesimpulan
diantaranya sebagai berikut:
1. Dinamika stres coping dan adaptasi dalam menyingkapi permasalahan hidup
Dinamika stres coping dan adaptasi sangat berkaitan erat dan saling
melengkapi satu sama lainnya, yang berkaitan antara dinamika resiliensi lansia
terlihat dari bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh lansia dalam menyingkapi
berbagai macam permasalahan dalam kehidupannya yang sangat mengganggu dan
mempengaruhi emosi dan kehidupan. Coping merupakan suatu bentuk strategi yang
dilakukan lansia dalam mengatasi dan meminimalisir situasi yang penuh akan
tekanan yang menimbulkan stres baik secara kognitif maupun prilaku.
Terdapat berbagai macam strategi-strategi coping dan resiliensi lansia
perempuan dalam menghadapi permasalahan hidupnya yaitu: dengan menerapkan
berbagai faktor-faktor dari resiliensi itu sendiri. Karena suatu resiliensi itu tidak
begitu saja terbentuk jika sebelumnya seorang lansia tidak pernah mengalami
berbagai rintangan-rintangan dalam kehidupannya. Berasal dari rintangan-rintangan
inilah seorang lansia mampu bertahan dan tidak menyerah begitu saja dengan
keadaan yang menimpanya. Adapun beberapa permasalahan yang dihadapi lansia
sehingga lansia harus mampu resilien dalam kehidupannya diantara sebagai berikut:
permasalahan masalah ekonomi, sosial, kesehatan, dan psikologis. Dari berbagai
permasalahan diatas membuktikan bahwa mereka mampu bertahan dan mengatasi
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 53
segala permasalahan dalam kehidupannya dengan menerapkan coping stres dan
menerapkan aspek-aspek dari resiliensi itu sendiri seperti pengaturan emosi, kontrol
terhadap impuls, optimisme, empati, efikasi diri, kemampuan menganalisis masalah,
dan pencapaian.
Diantara keragaman sejumalah strategi koping, koping efektif akan
dimunculkan oleh individu yang resilien. Koping efektif ini tidak sekedar bertujuan
untuk melepaskan emosi-emosi negatif atau justru menahannya sedemikian rupa dan
mendatangkan efek yang justru membuat persoalan menjadi berlarut-larut, terjadinya
burnout atau depresi seperti pada koping yang tidak efektif. Sebaliknya, koping
efektif akan menghasilkan reduksi terhadap stres yang diikuti oleh kemampuan
individu untuk bangkit dan kembali berfungsi seperti sedia kala.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 54
Daftar Pustaka
Alwilsol. 2009. Edisi Revisi Psikologi Kepeibadian Malang, UMM Press.
BA, Keliat. 1999. Pelaksanaan Stres , Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Demartoto, Argyo. 2006. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia ,Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Desmita, 2005,Psikologi Perkembangan,Bandung: Rosdakarya.
Faraz, Nahiyah J. 2012. Memanusiakan Lanjut Usia, Yogyakarta:
Perpustakaan Nasional.
Feist, Jess & Gregory J. Feist. 2014. Teori Kepribadian Edisi 7-Buku 1,
Jakarta: Salemba Humanika.
Feldman, Papalia Olds. 2009. Human Development Perkembangan Manusia
Edisi 10 Buku 2,Jakarta:Salemba Humanika.
Halim, Deddy Kurniawan. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan, Jakarta:
Bumi Aksara.
Hardywinoto dan Tony Setiabudy.1999. Panduan Gerontologi Tinjauan Dari
Berbagai Aspek: Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia,
Jakarta: PT, Gramedia Pustaka Utama.
Hendriani, Wiwin. 2018. Resiliensi Psikologi Sebuah Pengantar,Prenadamedia
Grop: Jakarta Timur.
Hurlock, Elizabeth. 1992. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga.
Jenson, Jeffrey M. and Mark W. Fraser. 2003. A Risk and Resilience
Framework For Child, Youth, And Family Policy, Jurnal Of Family
Process,42 (1),10.
K, Reivich & Shatte A, “Bulding Resiliency In Young People” dalam
https://Teachers, Reachoutpro, reachoutpro.com. Diakses Pada hari Kamis
19 Nopember 2015.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 55
Munandar, Utami. 2001. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Kpribadian
dari Bayi Sampai Lanjut Usia ,Jakarta: UI-PRESS.
Nursalim, Mochamad. 2013. Strategi & Intervensi Konseling, Jakarta:
Kademia Permata.
Notosoedirdjo, Moeljono & Latipun. 2011. Kesehatan Mental Konsep dan
Penerapan, Malang:UMM Pres.
Patmonodewo, dkk Soemiarti. 2001, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan
Pribadi dari Bayi Sampai Lanjut Usia, Jakarta: UI-Press.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014, Situasi dan Analisis
Lanjut Usia, Pusat Data dan Informasi, Jakarta Selatan.
Suardiman, Siti Partini. 2011. Psikologi Usia Lanjut, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia,
Bandung, Alfabeta.
UU No.6, 1974,Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
Jakarta: Lembaran Negara.