Mempertahankan Identitas Kesundaan, Mencari Keuntungan.
MARGONDA RAYADibalik aspal jalan,kisah tak terjamah
ETNONESIA.ORG - MARET 2014
2 ETNONESIA MARET 2014
SAJIAN UTAMA
6 Menjual Tradisi? Mempertahankan identitas ke- sundaan, mencari keuntungan.
17 Orang Kei dan Hak Ulayat Laut Konflik antara hak ulayat laut dan pesan leluhur di desa Sather dan Tutrean.
25 Margonda Raya Dibalik aspal jalan, kisah tak terjamah.
ETNONESIAEksplorasi - Wawasan - Hiburan
ETNONESIAEksplorasi - Wawasan - Hiburan
EDITOR IN CHIEF: AHMAD ZAENUDIN, EDITOR: MOHAMAD BHISMA, PHOTO EDITOR: HANY AFRILIYAN, EDITORIAL STAFF: AGUS KUSUMAATMAJA, SABRIYANI ANGGITA, DESIGNER: TIARA PITALOKA. KONTRIBUTOR EDISI MARET: DEILIKA CHAIRINA.
Mengerti Manusia Disekitar Kita
ETNONESIA merupakan organisasi non-profit
yang menerbitkan majalah bulanan sebagai jurnal resmi. Bertujuan untuk
memberikan pemahaman tentang manusia beserta apapun yang ada diseki-
tarnya.
Melakukan penelitian, kajian dan ekspedisi
dalam berbagai aspek, seperti kultur, sosial,
ekonomi, sejarah dan lain hal di seluruh dunia.
Kunjungi alamat kami di etnonesia.org untuk
pemahaman lebih lanjut.
DARI EDITOR
3 ETNONESIA MARET 2014
Memulai Kehidupan
Membuka mata, merupakan awal bagi kita untuk melanjutkan atifitas. memulai suatu usaha atau melanjut-kan sesuatu yang tak terselesaikan dimasa lalu. Etnonesia hadir dengan semangat memulai. Bagi kami, ada banyak cerita yang tak tersampaikan diluar sana. Ingin rasanya memberi suatu jalan bagi kita semua untuk lebih peduli dan mengerti tentang kita, umat manusia. Melalui edisi ini, kami memulai untuk memahami se-gala yang ada disekitar. Tak melulu perjalanan jauh yang menegangkan, tapi kami memulainya dari sekitar kita yang saban hari kita temui tapi tak pernah jadi perbincangan. Edisi ini, kami menyajikan bagaimana tradisi Sunda diangkat ke layar panggung kehidupan bisnis. Diawali oleh “gimmick” perda Rabu Nyunda, bagaimana geliat tersebut terasa bagi masyarakat kota yang kian modern. Keuntun-gan hadir ditengan kegamangan. gamang akan jati diri. Mungkin inilah satu ketakutan, takut akan hilangnya jati diri diterpa godaan bernama modernisme. Tapi fakta lapangan membuat kita sejenak harus berpikir kembali, benarkah ketakutan jati diri mengusuk kehidupan kita? Bu-kankah dengan kegamangan tersebut banyak orang-orang yang justru menikmatinya. Itulah inti edisi ini. Banyak di-antara mereka yang justru ketiban rejeki oleh kecemasan modernisme. Budaya yang hendak diangkat kembali, dit-erjemahkan dengan baik untuk memperoleh pundi-pundi keberkahan. Maka, tak perlu berlama-lama, selamat menikmati sajian edisi ini.
Ahmad ZaenudinEditor in Chief
PANDUAN BERTAHAN HIDUP
4 ETNONESIA MARET 2014
Pengendali Api! Api merupakan elemen penting dalam peradaban manusia. Saat kita
dihadapkan pada posisi sulit seperti tersesat di alam yang tak bisa
kita kenali. Bersahabat dengan api merupakan salah satu jalan terbaik
untuk dapat bertahan hidup sambil menunggu pertolongan.
Maka, saat itu terjadi kita harus bersiap!
1. Cek peralatan yang dimiliki, apakah Anda membawa korek!
2. Berapa waktu yang Anda miliki. Saat Anda tersesat di dalam
hutan, waktu sedetik begitu berharga untuk menyelamatkan
nyawa Anda!
3. Pahami, mengapa Anda membutuhkan api. Untuk
menghangatkan badan yang kedinginan karena lembabnya
hutan hujan tropis, memasak air atau membakar makanan?
4. Pastikan saat Anda bergerak kembali untuk meminta bantua,
api telah padam sempurna!
5. Cari tempat-tempat yang kering. Ingat api sulit menyala di
tempat-tempat lembab/basah!
Selanjutnya Anda harus paham tempat yang Anda gunakan. Ingat Anda
akan menyalakan api. Tempat tersebut harus terlindungi dari angin
yang kencang dan terlindungi dari ancaman bahaya. Dan pusatkan
panas Api yang Anda buat.
Ingat! Api terbuat setidaknya dengan tiga materi. Benda yang mudah
terbakar seperti rantang atau semak, pemantik, dan bahan bakar!
Diadaptasi dari FM 21-76 US Army Survival Manual oleh Agus Kusumaatmaja.
Infografis: Tiara Pitaloka Staf ETNONESIA Sumber: The India Space Research Organization’s (ISRO)
Bertahan di tengah arus glo-balisasi. Mencari keuntungan sambil mencari rejeki.
Teks dan foto oleh Ahmad Zaenudin
Ahmad Zaenudin adalah pemimpin redaksi majalah ini.
Rabu siang, cuaca terasa panas. Meskipun sehari
sebelumnya hujan mengguyur nyaris seluruh
kota dari pagi hingga malam. Meskipun langit-
langit memperlihatkan gumpalan awan yang cukup hitam,
Bandung hari ini memang terlihat berbeda. Saat itu, saya
duduk di sebuah angkutan kota yang terjebak macet. Di
depan ada beberapa sekolahan yang berlokasi persis di
depan jalan raya. Tak ayal, saat jam-jam pulang sekolah
seperti saat ini, jalanan menjadi macet disebabkan oleh
angkutan kota yang ngetem di sembarang tempat.
Ada yang unik saat saya kepanasan dalam angkot
yang saya tumpangi yang terjebak kemacetan tersebut. Di
luar, para pelajar sekolah dasar (SD) yang baru pulang
sekolah, berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Sambil
sesekali menyembul diantara mobil-mobil yang terjebak
macet, para pelajar tersebut memakai seragam yang tak
biasa. Anak laki-laki menggunakan seragam hitam-hitam,
dihiasi ikat kepala yang dibuat dari kain batik dengan
mengikuti pola melingkar di kepala mereka. sementara
para perempuan memakai baju kabaya, kebanyakan
berwarna putih. Lengkap dengan motif apik yang menghiasi
pinggiran baju tersebut. Tak lupa pula, kain batik mereka
kenakan menggantikan rok warna merah khas seragam SD.
Seketika saja, hawa panas yang saya rasakan di dalam
angkot, berubah menjadi senyum kecil melihat aak-anak
SD tersebut. Sayangnya, tak semua memakai seragam
khas tersebut.
Saat angkot yang saya tumpangi akhirnya bisa melaju
terbebas dari kemacetan, saya pun menjumpai hal yang
sama. Beberapa sekolah dasar yang dilalui rute angkot
tersebut, saya menemukan banyak anak-anak yang
7 ETNONESIA MARET 2014
memakai seragam unik tersebut. Meski harus diakui,
jumlahnya memang lebih sedikit dibanding mereka yang
tidak memakai dan hanya memakai seragam sekolah
seperti biasa. Bukan hanya anak-anak sekolahan saja
ternyata, banyak juga beberapa orang yang saya temui
selepas turun dari angkot, mengenakan pakaian yang
sama. Mulai dari bapak-bapak petugas keamanan kantor
yang memakai ikat kepala yang sama seperti anak laki-laki
SD, juga beberapa orang yang memakai seragam hitam-
hitam lengkap dengan gaya yang cukup mencolok.
REBO NYUNDA, sebuah program yang digagas pemerintah
kota bandung dibawah walikota Ridwan Kamil. Dalam
program ini, masyarakat Bandung diwajibkan menggunakan
bahasa Sunda seharian penuh di hari rabu. Selain itu,
masyarakat juga dihimbau untuk menggunakan atribut
kebudayaan Sunda yang menjadi ciri orang Sunda. Ikat
kepala atau orang Sunda menyebutnya sebagai Iket dan
juga seragam hitam-hitam atau masyarakat kenal sebagai
baju Pangsi.
Bagi sebagian orang, program rebo nyunda
diapresiasi dengan antusias. Mengingat, kebudayaan
Sunda yang menjadi ciri orang Sunda kian tergerus oleh
arus modernisme yang semakin gencar. Bandung yang
merupakan kota besar di Indonesia dan dianggap sebagai
basis utama masyarakat Sunda perkotaan kian tergerus
oleh ekspansi para kaum urban yang menyerbu Bandung.
Dalam sebuah penelitian, bagaimana kebudayaan suatu
daerah diapresiasi dan dilakukan dalam kehidupan
diintrepretasi dengan cara berbeda. Sebagai contoh,
dalam penelitian suatu penelitian, digunakan Bandung dan
Medan sebagai basis pemahamannya. Hasilnya, Medan
tak memiliki kebudayaan utama yang mendikte kehidupan
MENJUAL TRADISI 8
masyarakat Medan. Disana, banyak kebudayaan berbeda
yang hidup dalam kerangkanya masing-masing. Tidak ada
yang dominan. Sementara di Bandung, dalam penelitian
tersebut memperlihatkan bahwa Sunda sangat dominan.
Kaum urban yang berada di Bandung dipaksa untuk
bisa mengadopsi kebudayaan Sunda dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kini, untuk memperkuat kedudukan Sunda yang
disadari kian tergerus, rebo nyunda diharapkan bisa
memberikan angin segar bagi generasi penerus tentang
kebudayaan Sunda. Namun, dalam sebuah akun media
sosial, Iwan Pirous, seorang Antropolog Universitas
Indonesia melihat fenomena rebo nyunda sebagai
ketakutan terhadap terjangan globalisasi. Rebo nyunda
lebih merupakan purisitas etnis serta etnosentrisme belaka
dan menghiraukan kenyataan bahwa Bandung kini adalah
kota yang majemuk dan dihidupkan oleh orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda.
SUATU SIANG terik matahari cukup untuk membuat orang
berpikir dua kali untuk beraktifitas di siang hari tersebut. Di
depan sebuah museum yang cukup terkenal di Bandung,
jejeran para penjual cinderamata bagi para pelancong
memamerkan dagangannya. Beberapa pedagang cukup
agresif menawarkan barang dagangan hingga mengikuti
calon pembeli. Beberapa memilih untuk diam dan hanya
menunggu pembeli yang benar-benar tertarik untuk
membeli.
Saat itu Kang Imet, seorang pedagang di sekitaran
Museum Geologi Bandung sedang menikmati makan
siangnya. Seporsi kupat tahu menjadi pilihan Kang Imet
siang itu. Dengan santai, Kang Imet menjawab pertanyaan
saya perihal dagangannya yang identik dengan kebudayaan
9 ETNONESIA MARET 2014
Rebo Nyunda diharapkan bisa memberikan angin segar bagi generasi enerus tentang kebudayaan Sunda.
Sunda. Sambil sesekali menunjuk pada dagangannya, kang
Imet bercerita bahwa Iket kepala dan baju Pangsi adalah
dua komoditas unggulan yang dijualnya. “Sekarang mah
udah masuknya ke trend. Pertama trend dulu, budaya jadi
mulai diangkat lagi. Kebanyakan yang bilang ikutin trend.
Padahal dari dulu udah ada”.
Bagi Kang Imet dan kebanyakan pedagangan sejenis,
berjualan Iket dan baju Pangsi memiliki keunikan tersendiri.
Sambil ikut menjaga kebudayaan Sunda yang kian tergerus,
pundi-pundi uang juga bisa didapat dengan berjualan
komoditas budaya tersebut. “Kalo ngga pake iket, bukan
orang sunda. Walaupun mau dipake di kepala, disamper di
leher” kilah kang Imet tentang dagangannya tersebut.
Bukan cuma masyarakat Bandung, komoditas yang
cukup mencolok tersebut juga menjadi perhatian orang-
orang luar Bandung yang kebetulan melintas. Keunikan
dan “keanehan” yang dihadirkan mampu menarik bayak
orang. Setidaknya untuk berhenti sejenak dan bertanya,
barang apa yang dijual tersebut. “Kebanyakan orang
luar juga suka. Kemarin Thailand, Inggris, Jerman” ucap
Kang Imet mengingat wisatawan-wisatawan mancanegara
yang membeli dagangannya. Ditambah dengan program
rebo nyunda yang mendongkrak penjualan komoditas
kebudayaan tersebut. “Dari dulu udah lumayan rame,
sekarang lumayan. Selain (dagang) di jalan, banyak
pesenan diluar, kemarin sama Partai buat calon (DPR). Kalo
saya ngejual Rp. 100.000 (buat) dewasa, (anak-anak) Rp.
80.000-85.000 (Iket) Rp. 20.000. Omset perhari, kalo sepi
Rp. 300.000-400.000, yang rame bisa diatas 1 (juta)”.
BAGI KEBANYAKAN MASYARAKAT SUNDA KINI,
Iket kepala dan Pngsi adalah pakaian khas kebudayaan
Sunda yang diturunkan leluhur mereka. Jika Anda sulit
MENJUAL TRADISI 10
“Kalo ngga pake Iket, bukan orang Sunda. Walaupun mau dipake di kepala, disamper di leher”.
membayangkannya, tengoklah apa yang dikenakan
masyarakat Baduy di Kanekes Banten. Mereka sehari-
hari memakai pakaian hitam-hitam (dan terkedang putih-
putih) yang dilengkapi dengan ikat atau disebut iket
kepala. Iket kepala tersebut lazimnya dibuat dari kain batik
dengan diikatkan ke kepala dengan mengikuti pola-pola
tertentu. Sementara baju hitam-hitam (dan terkadang
putih-putih) dinamakan sebagai baju Pangsi. Beberapa
orang menyakini artinya sebagai Pangeran Siliwangi atau
Prabu Siliwangi. Sebagian yang lain menyakini bahwa arti
Pangsi yang benar adalah Panglima Sliwangi. Arti yang
belakangan ini bisa merujuk pada dua kemungkinan. Bahwa
Pangeran Siliwangi atau Prabu Siliwangi merupakan raja
Pajajaran yang memimpin peperangan dalam kaitannya
mempertahankan Kerajaan atau menghadapi serangan
musuh. Bisa juga dikaitkan dengan keberadaan Komando
Daerah Militer (Kodam) Siliwangi yang memang berpusat di
Bandung. Kodam Siliwangi sendiri memiliki reputasi yang
masyur secara nasional. Disanalah cikap bakal pasukan
elit TNI (Kopassus) terbentuk. Tapi mengaitkan pakaian
Pangsi dengan keberadaan Kodam Siliwangi agaknya
sulit untuk diterima. Mengingat, masyarakat Baduy yang
mendiami wilayah Kanekes di Banten dan dianggap
sebagai suku tradisional Sunda dan sering dikait-kaitkan
dengan sebaran Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri
akibat ekspansi Kerajaan Mataram, mementahkan hal itu.
Tentu, keberadaan masyarakat Baduy lebih dahulu hadir
dibanding terbentuknya Kodam Siliwangi. Maka, rujukan
Pangsi yang pas adalah Pangerang Siliwangi atau Prabu
Siliwangi. Lantas siapa dia?
Prabu Siliwangi adalah raja Kerajaan Pajajaran. Ia
seringkali dikait-kaitkan dengan sosok Maung atau harimau
yang melegenda dalam masyarakat Sunda. Maung Siliwangi
11 ETNONESIA MARET 2014
Kang Imet memperagakan bagaimana ia membuat pola Iket kepala “Berambang Semplak”.
Baju Pangsi dijual di pinggiran jalan.
yang sering dikaitkan diyakini sebagai sosok siluman yang
berwujud harimau putih. Belakangan, Maung telah menjadi
sombol dalam kebudayaan Sunda saat ini. Namun, hal
demikian kurang disertai bukti sejarah yang kuat. Dadang
Ibnu, seorang tokoh Sunda yang bersahabat dengan Otto
Iskandardinata menyakini bahwa Maung benar-benar
simbol masyarakat Sunda. Sementara banyak tokoh yang
menyakini bahwa burung gagak atau gajah lebih tepat
mewakili simbol masyarakat Sunda.
Beberapa masyarakat sendiri lebih percaya bahwa
Maung merupakan jelmaan Prabu Siliwangi setelah ia
moksa. Namun apapun itu, Prabu Siliwangi memang terikat
kuat dengan Kerajaan Pajajaran. Banyak yang mengaitkan
bahwa Kerajaan Pajajaran runtuh karena dibawa Prabu
Siliwangi moksa. Namun pendapat itu bisa dipatahkan
dengan nama yang melekat pada sag Prabu itu sendiri.
Prabu Siliwangi bukan merupakan nama asli. Prabu
Siliwangi lebih merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata.
Ialah yang mempersatukan Kerajaan Sunda dan Galuh di
bawah kekuasaannya. Maka, untuk mengenang kehebatan
sang Prabu, nama Siliwangi diberikan. Nama ini diambil
dari kata Sili atau silih (pengganti) dan Wangi. Nama
Wangi sendiri merujuk pada Prabu Wangi alias Prabu
Wastukancana, pendahulu Prabu Jayadewata yang memiliki
reputasi mentereng. Untuk mengenang kehebatan Prabu
Jayadewata, maka ia dianggap pantas sebagai pewaris
resmi Prabu Wangi tersebut. Jadilah nama Prabu Siliwangi
melekat pada Prabu Jayadewata yang berkuasa 1482-
1521.
Namun, nama Prabu Siliwangi pun memiliki
penentangnya tersendiri. Nama itu diyakini bukan
nama yang benar-benar disandang Prabu Jayadewata.
Nama Siliwangi muncul dalam Kropak 630, karya sastra
MENJUAL TRADISI 14
pantun Sunda dimasa itu. Nama Siliwangi diyakini hanya
nama pujian dari para pujangga semasa itu. Dan yang
mengaitkan Prabu Siliwangi dengan keruntuhan Kerajaan
Pajajaran juga bisa disingkirkan, mengingat selepas Prabu
Siliwangi ada beberapa penerusnya yang menjalankan
roda Kerajaan Pajajaran. Tapi ada satu hal yang diyakini
mayoritas masyarakat Sunda kini, bahwa Prabu Siliwangi
memang merupakan seorang raja yang memiliki kesaktian.
Salah satu yang unik adalah persoalan pakaian apa
yang digunakan kala itu. Apakah Prabu Siliwangi beserta
pengikutnya dan rakyatnya mengenakan Iket kepala dan
baju Pangsi? Untuk hal ini paling tidak kita bisa merujuk
pada suku Baduy. Bukan rahasia umum bahwa Suku
Baduy menggunakan baju Pangsi serta Iket kepala dalam
keseharian mereka. Terlebih, seorang ahli bernama Pleyte
mengemukakan bahwa orang Baduy merupakan suku yang
berasal dari daerah Bogor sebagai pusat Kerajaan Pajajaran.
Mereka melarikan diri ke perbukitan di sekitar Gunung
Pangrango, arah barat daya dari kota Bogor sekarang. Hal
ini diperkuat oleh keberadaan Arca Domas yang berada
di sekitar hutan masyarakat Baduy. Maka, dalam struktur
masyarakat Baduy, terdapat istilah Baduy Dalem. Maksud
Dalem disini bukan diartikan sebagai “dalam”, melainkan
diartikan sebagai Kesatria. Diyakini bahwa orang Baduy
merupakan para kesatria Kerajaan Pajajaran yang pergi
kesekitaran gunung Pangrango tersebut.
Dan saat ini, orang Baduy merupakan salah satu
suku yang konsisten mempertahankan tradisi mereka.
Seorang peneliti bernama Suria Saputra yang melakukan
wawancara dengan ketua adat Baduy mengungkapkan
bahwa merekalah Sunda, dan Sunda menurut pandangan
orang Baduy adalah mereka yang berdarah, berbahasa,
bertanah air, beradat, dan beragama Sunda. Penggunaan
15 ETNONESIA MARET 2014
Nama Siliwangi diyakini hanya nama pujian dari pujangga semasa itu.
Iket kepala dan baju pangsi diyakini sebagai bagian dari
adat Sunda.
TRADISI MEMANG TAK SEPENUHNYA bergandengan
tangan secara harmonis dengan ekonomi. Lihatlah Bali yang
dikritik karena terlalu memuja budaya sebagai komoditas
dagang. Persawahan di Ubud yang kian tergerus ekspansi-
ekspansi perseroan yang kian menggurita. Tengok pula
berbagai destinasi yang menjadi lokasi “pembuangan
sampah” baru bagi para pengunjungnya, atau coba tengok
upacara keagamaan di Candi Borobudur yang “diganggu”
para juru foto karbitan.
Tapi setidaknya, ada hawa sejuk dibalik itu semua. Ada
satu hal yang paling saya ingat saat saya bertemu Kang
Aris. Ia salah seorang penjual Iket kepala dan baju Pangsi
di pinggiran jalan raya. Katanya mempertahankan tradisi,
itu sebuah kebanggan. Bagi saya, apa yang diutarakan
Kang Aris memang benar. Biarlah Iket kepala dan baju
Pangsi menjadi komoditas. Toh dengan ramainya orang-
orang latah untuk membeli, saya selalu berharap, mereka
pun mau mempelajari.
MENJUAL TRADISI 16
Orang Kei: Konflik Antara Hak Ulayat Laut dan Pesan Leluhur di Desa
Sather dan Tutrean
Laut, sebuah wilayah yang samar yang dimiliki bumi. Berbeda dengan
tanah, patok-patok batasan laut tak terlihat secara kasat mata. Hanya
merupakan garis-garis imajiner yang memisahkan. Antara garis pantai
suatu negara, batasi internasional, maupun zona ekonomi ekslusif merupakan
puncak khayalan manusia.
Berdasarkan tulisan Dedi Supriadi Adhuri, “Saat Sebuah Desa Dibakar Menjadi Abu: Hak Ulayat Laut dan Konflik Antar Kelompok di Pulau Kei Besar”
Mohamad Bhisma adalah editor majalah ini.
Teks oleh Mohamad Bhisma
Tak pernah benar-benar terlihat ada. Tanah, berbeda.
Secara mudah orang akan sadar dimana dia berpijak di
atas tanah. Tanah miliknya atau bukan. Desa A atau desa
B, kota C atau koda D, begitupun batasan suatu negara
terlihat jelas meskipun batasan-batasan sosial budaya
yang hinggap diatas tanah sulit untuk dipetakan.
Secara umum, kita lebih mengenal hak ulayat tanah
dan jarang atau mungkin tak pernah meneganal hak
ulayat laut. Tak heran, karena laut masih dianggap “tidak
dimiliki siapapun” atau sumber daya milik umum. Dan
pengaturan manajeman laut merupakan hak absolut yang
dimiliki pemerintah. Maka tak heran, tak pernah ditemukan
sertifikat “sepetak” laut yang dikeluarkan pemerintah. Isu
mengenai hak ulayat laut lebih pada pemahaman baru
tentang pemanfaatan laut secara kultural oleh masyarakat
tertentu. Kajian mengenai hal ini bermulai sekitaran
tahun 1970an. Nama-nama seperti Rudle, Akimichi,
Feterson, Rogsby merupakan penggiat kajian perihal
laut dan permasalahannya tersebut. McGoodwin dalam
kajiannya tahun 1990 mengatakan bahwa implikasi tak
adanya “sertifikat laut” tersebut membuat pemerintahlah
satu-satunya kambing hitam dalam setiap permasalahan
kelautan.
Salah satu kasus yang berpangkal dari hak ulayat laut
terjadi di Indonesia, tepatnya di wilayah Kei Besar, Maluku
Tenggara. Miris, kata yang pas untuk mendefinisikan
keadaan. Perebutan wilayah lautan menjadikan warga
disana terbelah dan menimbulkan konflik berkepanjangan.
Adalah dua desa, Tutrean dan Sather yang berkonflik.
Keduanya bertetangga. Bahkan hanya perlu 30 menit
berjalan kaki dari Tutrean untuk sampai ke desa Sather
di selatan. Namun, konflik yang mendera membuat hal
demikian mustahil dilakukan.
ORANG KEI 18
Desa Tutrean berpenduduk 469 jiwa pada sensus yang
dilakukan tahun 1990, sementara desa Sather berpenduduk
782 jiwa. Agama Kristen Protestan mendominasi kedua
desa ini, terkecuali di desa Tutrean yang memiliki basis
pemeluk agama Katolik yang tak terlampau banyak. Dan
petani merupakan pekerjaan utama mayoritas kedua
desa ini. Meskipun mereka tinggal di wilayah pesisir yang
distereotipkan bermata pencarian sebagai nelayan. Maka
tak heran, makanan pokok mereka juga didominasi hasil-
hasil pertanian seperti singkong, kasbi, ubi, serta jagung.
Dan mereka melaksanakan ekonomi subsisten untuk
bertahan hidup.
9 April 1988, diputuskan pada malam sebelumnya dalam
sebuah pertemuan di rumah kepala desa Tutrean, dua
sampai tiga puluh sampan yang masing-masing didayung
oleh satu-dua orang datang menuju meti (perairan pantai) di
depan perkampungan desa Sather. Mudah ditebak, setelah
itu panah, tombak, parang, dan bom molotov melayang ke
arah desa Sather. Api berkobar, tangis pecah. Setidaknya
74 rumah terbakar habis dalam insiden tersebut.
Serangan tersebut merupakan sebuah buntut
panjang dari konflik yang telah berumur seabad. Pangkal
permasalahannya hampir sama. Perebutan batas wilayah laut.
Tentu, bukan sekedar lautan. Tapi sedikit menenggelamkan
diri dalam wilayah lautan yang disengketakan kita bisa
mengetahui jawabannya: Lola atau dalam bahasa ilmiah
disebut Throcus Niloticus. Lebih tepatnya, penduduk
sekitar yang tergolong miskin mengetahui bahwa kulit lola
memiliki nilai jual tinggi. Meskipun mereka sebagian besar
bekerja sebagai petani, toh kemiskinan memang harus
dilawan. Perburuan lola menjadi solusi jitu dengan harga
tinggi di pasaran. Sedihnya, lola tak selalu ada di tiap inci
19 ETNONESIA MARET 2014
Api berkobar, tangis pecah. Setidaknya 74 rumah terbakar habis dalam insiden itu.
perairan laut. Perburuan lola hingga masuk batas wilayah
yang berbeda memicu konflik yang kian runcing. Sidang
adat, interfensi pemerintah Hinda Belanda, dan pemerintah
Indonesia silih berganti berusaha mendamaikan.
Saat kita membicarakan wilayah lautan, rujukan awal
yang bisa dilacak berakal dari masa penguasaan Belanda
di wilayah kepulauan Kei. Setidaknya, perairan laut yang
menjadi konflik kita telah dibagi menjadi tiga wilayah oleh
pemerintahan Hindia Belanda di masa 1930an. Mereka
membagi menjadi tiga zona, A, B, dan C. Masing-
masing desa mendapat satu zona dan zona yang menjadi
penengah disepakati menjadi milik bersama dan diawasi
oleh komisi khusus yang terdiri dari Controleur der Kei-
eilanden, Bestuursasambtenar te Elat, dan Rat Fer.
Sebenarnya, jika kita menelusuri lenbih lanjut mengenai
konflik yang terjadi, kita akan sampai pada pemahaman
tentang kelompok sosial yang ada di kedua desa. Orang Kei
di Sather dan Tutrean mengenal pembagian sosial dalam
kehidupan mereka. Yakni Mel (bangsawan), Ren (orang
merdeka) dan Iri (budak). Ditambah sejarah lisan mereka
yang disebut Toom sangat mendominasi pemahaman
peranan dan fungsi masing-masing. Uniknya, masing-
masing kelompok sosial dan kedua desa antara Sather
dan Tutrean memiliki toom yang berbeda menurut versi
masing-masing.
Penduduk pertama yang mendiami kepulauan Kei adalah mereka yang muncul dari tanah, laut, binatang atau tumbuhan yang hidup di Kepualaun Kei. Karena itu orang-orang ini dianggap sebagai pemilik asli dari wilayah darat dan laut kepulauan Kei. Mereka adalah tuan tanah ( tuan tan ). Secara ketegorial mereka merupakan kelompok ren. Pada suatu waktu, para pendatang dari berbagai tempat seperti Bali, Sumba, Luang, Jailolo, Ternate dan lain-lain
ORANG KEI 20
datang ke kepulauan Kei dan bertemu dengan tuan tan. Dengan berbagai alasan para imigran ini diterima oleh tuan tan. Karena para pendatang dianggap lebih cerdas, berani, kaya dan berkarakteristik unggul dibanding penduduk asli. Pada proses penerimaan tersebut mereka diberi hak untuk memerintah di wilayah yang dimiliki penduduk asli. Peristiwa ini menjadikan mereka sebagai kelompok mel-mel (bangsawan), dir’u (pemuka), wawaat (pembicara) dan ham wang (pembagi). Sementara penduduk asli tetap dengan gelar asalnya yakni tuan tan.
Toom diatas lebih merujuk pada hubungan antara Mel
dan Ren. Dari Toom tersebut, terpecik peringatan penting
bahwa Mel memiliki posisi ang lebih kuat dibanding Ren.
Pada jaman dahulu, Sather dan Tutrean adalah dua desa yang terpisah. Masing-masing merupakan desa yang otonom. Tidak ada hubungan yang merefleksikan satu pihak berada di bawah kekuasaan pihak lain. Mereka berhubungan seperti halnya penduduk dua desa tetangga lainnya di Kepulauan Kei. Pada suatu kurun waktu, terjadi kekesalan dari penduduk Tutrean terhadap penduduk Desa Sather. Kejengkelan ini disebabkan karena penduduk desa Sather terlalu berisik dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka seringkali menabuh tifa, meniup terompet kulit kerang dan menimbulkan kegaduhan lainya. Akibat kejengkelan ini, penduduk Tutrean datang menyerang penduduk desa Sather. Terjadilah peperangan di antara mereka. Dalam peperangan tersebut banyak korban pada pihak Sather. Sebagian penduduk yang selamat pun tidak kuasa untuk tetap bertahan di desanya. Mereka mengungsi ke P. Dullah di Kei Kecil. Karena desa Sather ditinggalkan penduduknya, dan Tutrean merupakan pihak pemenang, penduduk Tutrean mengklaim wilayah desa Sather menjadi bagian dari wilayah mereka. Tanah bekas desa Sather ini mereka sebut sebagai ‘tanah kemenangan’ .Dengan demikian tanah Sather merupakan bagian tak terpisahkan dari
21 ETNONESIA MARET 2014
Toom, lebih merujuk pada hubungan antara Mel dan Ren.
petuanan desa Tutrean. Demikian pula kehidupan politiknya. Pada saat yang lain, dua kelompok orang berasal dari Waer, sebuah desa di sebelah utrara P. Kei Besar, datang ke wilayah bekas desa Sather. Kelompok yang disebut Waer Rat dan Waer Waw ini ditemukan oleh Yayat Rahabeat yang kemudian melaporkan kedatangan mereka ke Tabal Tanlain, seorang pemimpin di Tutrean. Para pendatang ini kemudian diperbolehkan untuk tinggal di suatu wilayah yang bernana Ohoi Twu. Kedua kelompok ini merupakan cikal bakal orang Sather pada saat ini. Berikutnya, setelah beberapa waktu berselang kelompok Waer Waw dan Waer Rat atau keturunan mereka sering melakukan kesalahan. Akibat-akibat kesalahan itu mereka seringkali harus membayar denda yang tidak sedikit. Orang-orang Tutreanlah yang membayar denda-denda kesalahan mereka. Penggalan cerita lain mengatakan bahwa pada generasi tertentu, keturunan Waer Waw dan Waer Rat berhasil menggali nama-nama dari kelompok kekerabatan (kin group ) dari penduduk asli yang telah mati atau terusir dari Sather. Mereka kemudian menggunakan namanama tersebut sebagai nama kelompok kekerabatan mereka. Salah satu akibat dari adopsi nama-nama penduduk asli Sather ini adalah lahirnya kembali nama kelompok kekerabatan yang menjadi tuan tandi desa tersebut.
Toom diatas merupakan sejarah lisan versi Tutrean
yang melegitimasi dominasi terhadap desa Sather.
Terlebih, Toom tersebut hendak memberikan pernyataan
bahwa kekuasaan wilayah Sather telah berpindah ke tangan
Tutrean yang dinilai lebih tinggi statusnya. Tentu saja, Toom
tersebut ditolak oleh orang-orang Sather. Mereka memiliki
sejarah lisannya sendiri yang intinya menolak isi materi
Toom yang dimiliki orang Tutrean. Mereka menganggap
sebagai orang merdeka yang berhak atas wilayah Sather
beserta wilayah perairan laut yang dimilikinya.
Toom dengan segala versinya membuat konflik semakin
ORANG KEI 22
rumit. Kepemilikan wilayah secara adat dipadu dengan
ketersediaan sumber daya yang bernilai secara ekonomis
menyulitkan segalanya. Laut yang biasa kita pahami
sebagai wilayah bebas memiliki tuannya masing-masing.
Tak ada catatan tertulis dengan legitimasi materai
diatasnya. Sejarah lisan yang menjadi pegangan tentu
memiliki pendukungnya masing-masing. Jika kita anggap
Hak Ulayat merupakan kearifan lokal, saat kita melihat fakta
yang dialami Orang Kei, sepertinya kita harus memikirkan
bahwa yang lokal tak mesti arif dan bijaksana.
23 ETNONESIA MARET 2014
Anak-anak di Pulau Kelagian, Lampung dengan riang melepas pakaian, berlari, dan meloncat kelaut. Mari renang!
Foto oleh Deilika Chairina
MARGONDA RAYA
Dibalik Aspal Jalan, Kisah Tak Terjamah
Terangnya matahari memang telah tenggelam,
namun sorot lampu ratusan watt bisa menerangi jalanan
Margonda dengan baik. Ditambah warna-warni yang
berbeda, Margonda dimalam hari memang raya. Saat itu
hujan rintik sedang turun ke bumi, namun hal demikian
tetap saja tak menurunkan keramaian di jalan raya ini.
Jajaran restoran di kiri-kanan jalan seakan mengajak kita
untuk sebentar saja menengok ada apa gerangan. Bukan
hanya resto, toko-toko yang menawarkan semarak barang,
menambah suasana jalan raya tersebut semakin ramai.
Siapa tak mengenal jalan Margonda Raya. Jalan ini ialah
akses utama menuju kota Depok, Jawa Barat. Saat kita
lepas meninggalkan ibukota, praktis jalan Margonda Raya
langsung menyambut kita untuk meneruskan perjalanan.
Selain ramainya pertokoan, kantor, apartemen, di jalan
bermacam kampus juga disajikan disini. Memang kampus
Universitas Indonesia tak bersinggungan langsung dengan
jalan ini, tapi praktis bahwa jalan Margonda menjadi urat
nadi keberadaan kampus akbar tersebut. Sedikit saja Anda
masuk, terlihat kemegahan kampus UI. Bahkan banyak
orang yang percaya bahwa Margonda tidak tepat dikatakan
bagian kota Depok, jalan ini terlihat terlalu berkelas bagi
sebagian besar wilayah-wilayah di kota Depok. Pusat
pemerintahan dan pusat bisnis kota ini, seakan hanya mau
bermuara di jalan Margonda.
Teks oleh Sabriyani AnggitaFoto oleh Hany Afriliyan
Sabriyani Anggita adalah staf redaksi majalah ini.Hany Afriliyan adalah editor foto majalah ini.
MARGONDA 26
MARGONDA bukan cuma sekedar nama, ialah seorang
pemuda yang belajar analisa kimia dari sebuah lembaga
bernama Analysten Cursus yang kemudian berubah
menjadi Balai Penyelidikan Kimia di Bogor. Lembaga ini
merupakan sebuah lembaga analisa kimia milik Belanda
dan sudah ada sejak awal Perang Dunia 1. Nama
awalnya yakni Indonesiche Chemische Vereniging. Di
tahun 1940an, Margonda muda belajar menjadi seorang
penerbang. Ia nampaknya mengikuti pelatihan tersebut
untuk menjadi penerbang cadangan bagi para penerbang
utama. Margonda kala itu mengikuti pelatihan terbangnya
di Luchtvaart Afdeeling. Sayang, pelatihannya tersebut tak
berjalan lama karena Belanda keburu kalah perang. Saat
Jepang berkuasa, Margonda bekerja pada Jepang.
Margonda cukup aktif diberbagai kegiatan. Setidaknya
ia juga turut aktif dalam gerakan-gerakan kepemudaan.
Bersama koleganya di kancah lokal, ia bersama kawan-
kawan mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia
yang berada di kawasan Bogor. Lambat laut, organisasi ini
menguap dan bergabung dengan organisasi-organisasi
lain yang sudah mapan.
Sejarawan JJ Rizal dalam sebuah media menyatakan
bahwa pemberian nama jalan bukan semata-mata urusan
sejarah. Pemberian nama lebih merupakan urusan politik.
Misalnya bagaimana pahlawan-pahlawan revolusi bisa
dengan mudah dijadikan nama-nama jalan di kebanyakan
wilayah di Indonesia. Dan ia pun mencatat bahwa nama
Margonda dijadikan nama jalan terjadi di medio 1980an.
BESAR TAPI TAK TAK TERLALU KECIL, tercatat 1.224
27 ETNONESIA MARET 2014
Sejarawan JJ Rizal menyatakan bahwa pemberian nama jalan bukan semata urusan sejarah. Lebih merupakan urusan politik.
Sepasang kekasih berjalan menyusuri jalan Margon-da Raya, Depok ditemani terangnya lampu-lampu jalanan.
hektar tanah merupakan sebuah teritorial sebuah negara.
Ialah Cornelis Chastelein sang empunya ruang tersebut.
Cita-citanya mulia, ia menginginkan tanahnya tersebut
menjadi tempat perkumpulan yang bisa mensejahterakan
orang-orang yang berdiri diatas tanahnya. Sang empu
memang bukan orang sembarangan, ialah seorang kaya
raya mantan pegawai VOC ---Perusahaan dagang yang
kelak dinyatakan bangkrut akibat korpsi--- yang memiliki
keinginan tersebut. Diabtu seorang advokat bernama M.H.
Klein, sang Meneer meletakkan batu pertama berdirinya
pemerintahan otonom yang terbebas dari kuasa Hindia
Belanda kala itu. Maka jangan heran, “Negara Kota”
memang telah lahir di tanah tersebut. Sebuat saja Negara
Depok.
Tak berapa lama, Reglemen Van Het Land Depok
diterbitkan pada tahun 1886. Itulah semacam konstitusi
Negara Depok yang berdaulat. Mengalami beberapa revisi,
pada awal 1913, Reglemen Van Het Land Depok akhirnya
ditandatangani oleh G. Jonathans selaku Presiden Depok
dan M.F. Jonathans selaku sekretaris. Dalam “konstitusi”
tersebut, dijelaskan beberapa petunjuk tentang struktur
pemerintahan Negara Depok. Juga dijelaskan pula tentang
pemelihan presiden tiap tiga tahun sekali berdasarkan
suara terbanyak para pemilik suara.
Suatu peristiwa di tahun 1949 mengubah segalanya.
Peristiwa ini lebih merupakan kemarahan atas “Bangsa
Depok” yang tak terlalu sukacita atas kelahiran suatu
bangsa merdeka bernama Indonesia. Peneliti Wenri
Wanhar mencatat, bagaimana peristiwa ini juga terekam
oleh putra presiden Depok terakhir kala itu, Cornelis
Josef Jonathans. “1945 belum merdeka! Peristiwanya
29 ETNONESIA MARET 2014
dadakan. Tiba-tiba Jepang menyerah setelah Hiroshima
dan Nagasaki dibom. Jadi pemerintahan di sini kosong”.
Dan bak diserang disegala penjuru, Negara Depok harus
menyerah pada keadaan. Ia bagaikan Vatikan, negara suci
nan kecil di tengah-tengah Italia. Jika tak ada fatwa suci,
mudah saja bagi Italia untuk mengakuisisi. Sayang, Depok
kala itu tak memiliki fatwa suci layaknya Vatikan. Dengan
mudah, kemarahan warga sebuah bangsa baru sanggup
merontokkan kedaulatan sebuat negara. Dan seperti daun
yang gugur dari pohon, kisan Negara Depok terbang
dibawa angin hingga kering.
MARGONDA 30
Seorang juru parkir sibuk memandu kendaraan yang hendak keluar dari area parkir. Sepanjang jalan Margonda Raya, Depok memang penuh dengan pusat perbelanjaan dan bisnis.
BERLANGGANANMAJALAH ETNONESIA
DONASI!
Mulai edisi Juni 2014Majalah ETNONESIA terbit secara berlangganan. Dapatkan Paket 1 Tahun penuh dengan penawaran khusus.
Paket 6 Bulan Rp 60.000Paket 1 Tahun Rp 100.000
Mulai bulan Juni 2014, ETNONESIA terbit dalam dua versi. Berbayar dan gratis. Edisi berbayar akan memberikan anda versi lengkap dari Majalah digital ETNONESIA. Sementara versi gratis memberikan porsi 1/3 konten Majalah ETNONESIA.
INFORMASI BERLANGGANAN:
HOTLINE 24 JAM+62812 2311 2421
CARA BERLANGGANAN:1. Pilih paket berlangganan yang tersedia: 6 bulan/ 1 tahun
2. Langsung transfer biaya berlangganan ke Bank Mandiri cabang Buah Batu, BandungNo. Rek: 130-00-1022845-3A/N. Ahmad Zaenudin
3. Konfirmasi melalui e-mail disertai buk-ti pembayaran ke: [email protected] dengan subjek: Berlangganan
ETNONESIA sebagai organisasi non-profit yang menerbitkan Majalah ET-NONESIA sebagai jurnal resmi organ-isasi membutuhkan beragam biaya untuk melakukan segala bentuk pe-nelitian, eksplorasi, dan petualangan sebagai nadi ETNONESIA.
ETNONESIA memiliki semangat untuk memberikan pemahaman tentang se-gala yang ada di sekitar kita. Manusia dan lingkungan disekitarnya merupa-kan tema besar kami. Aspek-aspek lokal yang kadang dilupakan, bagi kami merupakan bagian penting bagi ETNONESIA untuk memberikan pema-haman yang menyeluruh tentang umat manusia.
Saat pemahaman tentang manusia dan sekitarnya diperoleh lebih baik, kami percaya bahwa saat itu, manusia akan lebih baik merespon segala bentuk ke-hidupan di dunia.
BANTU KAMI MEWUJUDKANNYA!Kunjungi ETNONESIA.ORG/DUKUNGUntuk informasi lebih lanjut + keuntun-gan menjadi donatur ETNONESIA