EVALUASI PELAKSANAAN
PROGRAM WAJIB BELAJAR
PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN
Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
2009
RREEPPUUBBLLIIKK IINNDDOONNEESSIIAA
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
ii
Kata Pengantar
Laporan Evaluasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun
merupakan salah satu dari serangkaian kajian yang dilakukan di lingkup Deputi
Evaluasi Kinerja Pembangunan pada tahun 2008. Dengan penyesuaian dan
penyempurnaan laporan itu disusun kembali pada tahun 2009.
Program Wajardikdas 9 Tahun sebagai titik berat kajian merupakan upaya untuk
meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia melalui peningkatan secara
nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun.
Selain faktor output seperti jumlah guru dan jumlah sekolah, keberhasilan
pembangunan pendidikan dasar dipengaruhi pula oleh karakteristik sosial
ekonomi penduduk. Untuk itu, upaya lebih keras lagi perlu dilakukan agar rumah
tangga penduduk miskin dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
Diharapkan laporan kajian ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan
kebijakan pembangunan pendidikan di masa yang akan datang.
Kami sangat mengharap masukan, saran, dan kritik yang membangun apabila
masih terdapat kekurangan pada kajian ini. Terima kasih dan penghargaan kami
ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam
penyusunan kajian ini.
Jakarta, Desember 2009
Plt. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar v
Daftar Tabel vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Ruang Lingkup 3
1.3. Tujuan Evaluasi 3
BAB II. SEKILAS TENTANG PROGRAM
WAJARDIKDAS 9 TAHUN 4
2.1. Tujuan Wajib Belajar 4
2.2. Pelaksanaan Wajib Belajar 5
2.3. Analisis Determinan Wajardikdas 7
2.4. Landasan Hukum Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun 12
2.5. Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun 14
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 23
3.1. Analisa Kuantitatif 23
3.2. Analisis Kualititatif 29
3.3. Data 30
BAB IV. HASIL REGRESI : FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI APK DAN APM 33
4.1. Nasional 33
4.2. Sumatera 37
4.3. Jawa 41
4.4. Bali, NTB dan NTT 45
4.5. Kalimantan 48
4.6. Sulawesi 51
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
iv
4.7. Papua dan Maluku 53
BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN:
EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM
WAJARDIKDAS 9 TAHUN (2005-2007) 57
5.1. Outcome Program Wajardikdas 57
Angka Partisipasi Kasar (APK) 58
Angka Partisipasi Murni (APM) 61
5.2. Faktor-Faktor yang Signifikan Mempengaruhi
Capaian APK dan APM 65
5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto 65
5.2.2. Akses Air Bersih 66
5.2.3. Rasio Murid Sekolah 69
5.2.4. Tingkat Kemiskinan 71
5.2.5. Angka Melek Huruf 72
5.2.6. Dana Alokasi Umum (DAU) 74
5.2.7. Dana Alokasi Khusus (DAK) 80
5.2.8. Rasio Murid Guru 85
BAB VI. KESIMPULAN 95
Daftar Pustaka 98
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
v
Daftar Gambar
Gambar 2.1. Target dan Realisasi Disparitas APK
Sekolah Dasar dan SMP Antara
Kabupaten dengan Kota 17
Gambar 2.2. APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar
2007 18
Gambar 2.3. APK dan APM Tingkat Sekolah
Menengah Pertama 2007 19
Gambar 2.4. Disparitas APK dan APM Antara
Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007 20
Gambar 2.5. APK SD dan SMP menurut Klasifikasi
Daerah 22
Gambar 5.1. APK SD/MI Tahun 2006 59
Gambar 5.2. APK SMP/MTs Tahun 2006 60
Gambar 5.3. APM SD/MI Tahun 2006 62
Gambar 5.4. APM SMP/MTs Tahun 2006 63
Gambar 5.5. Produk Domestik Regional Bruto
Tahun 2006 66
Gambar 5.6. Akses Air Bersih Tahun 2006 68
Gambar 5.7. Rasio Murid Sekolah SD/MI Tahun
2006 69
Gambar 5.8. Rasio Murid Sekolah SMP/MTs
Tahun 2006 70
Gambar 5.9. Tingkat Kemiskinan Tahun 2006 72
Gambar 5.10 Angka Melek Huruf Rata-Rata
2004-2006 73
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
vi
Gambar 5.11. Perkembangan Alokasi Anggaran
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional 75
Gambar 5.12. Kontribusi DAU terhadap Total P
Penerimaan APBD Kabupaten/Kota 76
Gambar 5.13. Persentase DAU Rata-Rata 2004-2006 77
Gambar 5.14. Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK)
2004-2007 81
Gambar 5.15. Persentase DAK Rata-Rata Tahun
2004-2006 82
Gambar 5.16. Rasio Murid Guru 86
Gambar 5.17. Rasio Siswa per Guru
Tahun 2001/2002-2005/2006 88
Gambar 5.18. Kepala Sekolah dan Guru menurut
Tingkat Pendidikan Tahun 2006 89
Gambar 5.19. Persentase Guru SD dan SMP
yang Layak Mengajar Tahun 2007 91
Gambar 5.20. Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi
Tahun 2007 93
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
vii
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Indikator Kunci dan Target Kebijakan
Pendidikan Nasional 2005-2009 16
Tabel 3.1. Pemilihan Sampel 32
Tabel 4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Nasional 34
Tabel 4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Nasional 35
Tabel 4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Nasional 36
Tabel 4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Nasional 37
Tabel 4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Sumatera 38
Tabel 4.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Sumatera 39
Tabel 4.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Sumatera 40
Tabel 4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Sumatera 41
Tabel 4.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Jawa 42
Tabel 4.10.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Jawa 43
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
viii
Tabel 4.11.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Jawa 44
Tabel 4.12.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Jawa 45
Tabel 4.13.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Bali, NTB dan NTT 46
Tabel 4.14.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Bali, NTB dan NTT 46
Tabel 4.15.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Bali, NTB dan NTT 47
Tabel 4.16.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Bali, NTB dan NTT 48
Tabel 4.17.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Kalimantan 49
Tabel 4.18.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Kalimantan 49
Tabel 4.19.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Kalimantan 50
Tabel 4.20.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Kalimantan 50
Tabel 4.21.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Sulawesi 51
Tabel 4.22.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Sulawesi 52
Tabel 4.23.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Sulawesi 52
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
ix
Tabel 4.24.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Sulawesi 53
Tabel 4.25.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SD/MI Papua dan Maluku 54
Tabel 4.26.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SD/MI Papua dan Maluku 54
Tabel 4.27.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK
SMP/MTs Papua dan Maluku 55
Tabel 4.28.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM
SMP/MTs Papua dan Maluku 56
Tabel 5.1. Variabel Bebas yang Mempengaruhi APK
dan APM 58
Tabel 5.2. DAU Tahun 2004-2007 78
Tabel 5.3. DAK Tahun 2004-2006 83
Tabel 5.4. Persentase Kelayakan Mengajar
Kepala Sekolah dan Guru menurut
Jenjang Pendidikan Tahun 2006 90
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi
pembangunan bangsa. Ketika di Asia Timur muncul negara-negara
industri baru, banyak ahli menyatakan keberhasilan pembangunan
negara-negara tersebut karena didukung oleh tersedianya penduduk
yang terdidik dalam jumlah yang memadai. Karena itu, hampir semua
bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama
dalam program pembangunan nasional mereka. Sumber Daya Manusia
bermutu yang merupakan produk pendidikan adalah merupakan kunci
keberhasilan pembangunan suatu negara. Pendidikan merupakan salah
satu pilar terpenting dalam pembangunan manusia, bahkan kinerja
pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang
pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek
aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan
dan ekonomi.
Pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Pembangunan pendidikan nasional di Indonesia dalam kurun waktu
2004–2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan
internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All),
Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium
Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable
Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan
sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
2
keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan
multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial.
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for
All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand (1990)
merupakan komitmen bersama dalam menyediakan pendidikan dasar
yang bermutu dan non diskriminatif. Realisasi deklarasi tersebut juga
sekaligus merupakan upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan (sesuai
pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia : “Setiap orang berhak
memperoleh pendidikan. Pendidikan harus Cuma-Cuma, setidak-
tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar.
Pendidikan dasar diperlukan untuk menjaga perdamaian”.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, menjamin hak atas “pendidikan dasar” bagi warga
negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk
meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui
peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat
menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua
warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah
Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Sehingga diharapkan
seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih
lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika
dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun
krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan
target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar
disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Untuk mengetahui
pencapaian hasil kerja atau output berdasarkan alokasi biaya atau input
yang ditetapkan terkait dengan program Wajardikdas 9 Tahun, maka
evaluasi pelaksanaan program tersebut sangat penting untuk dilakukan.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
3
1.2. Ruang Lingkup
Evaluasi Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun ini akan fokus pada evaluasi outcomes yang
berkaitan dengan:
1. Pengaruh faktor input dan faktor output SD/MI dan
SMP/MTs terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM
tingkat SD/MI dan SMP/MTs).
2. Pengaruh faktor eksternal dan karakteristik wilayah terhadap
outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan
SMP/MTs).
1.3. Tujuan Evaluasi
Secara khusus, tujuan dari evaluasi ini adalah untuk; (1)
Mengidentifikasi faktor input dan output yang mempengaruhi outcomes
program Wajardikdas 9 tahun (APK dan APM tingkat SD/MI dan
SMP/MTs); (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program
Wajardikdas, yang berkaitan dengan faktor input dan faktor output
program Wajardikdas.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
4
BAB II
SEKILAS TENTANG PROGRAM
WAJARDIKDAS 9 TAHUN
Wajib Belajar telah menjadi prioritas kebijakan Pemerintah
Indonesia sejak awal tahun 70-an. Sejak dikeluarkan Inpres No 10 pada
tahun 1973, Pemerintah secara terencana meningkatkan pembangunan
sarana pendidikan dasar. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia
mencanangkan program Wajib Belajar 6 Tahun untuk anak usia 7-12
tahun secara nasional. Sejalan dengan kesuksesan Program Wajib
Belajar 6 Tahun, sejak bulan Mei tahun 1994, Pemerintah Indonesia
melanjutkan program Wajib Belajar dengan Wajib Belajar 9 Tahun.
Kelanjutan Program Wajib Belajar 9 Tahun ini dipicu oleh beberapa
faktor sebagai berikut; (1) Lebih dari 50 persen angkatan kerja hanya
berpendidikan SD atau kurang; (2) Program wajib belajar 9 tahun akan
meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada
pertumbuhan ekonomi; (3) Semakin tinggi pendidikan akan semakin
besar partisipasi dan kontribusinya di sektor-sektor yang produktif; (4)
Dengan peningkatan program Wajib Belajar 6 Tahun menjadi Wajib
Belajar 9 Tahun akan meningkatkan kematangan dan keterampilan
siswa; dan (5) Peningkatan Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan
umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun (Syarif, 1994).
2.1. Tujuan Wajib Belajar
Program Wajib Belajar 9 Tahun didasari konsep “pendidikan
dasar untuk semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya
berarti penyediaan akses terhadap pendidikan yang sama untuk semua
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
5
anak. Hal ini sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam
Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan
tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000). Melalui
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat
mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang
perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup
dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke
tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah ataupun
luar sekolah. Dengan wajib belajar, mereka akan dapat menjalani hidup
dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut
May (1998) wajib belajar adalah merangsang aspirasi pendidikan anak
yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
kerja penduduk secara nasional. Oleh karena itu, target penyelenggaraan
Wajib Belajar 9 Tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka
partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga
untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih
jauh dari standar nasional. Agar sasaran tersebut terwujud secara
optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan
pendidikan SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan sederajat
berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung.
2.2. Pelaksanaan Wajib Belajar
Pelaksanaan program Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia
memiliki empat ciri utama, yaitu; 1) dilakukan tidak melalui paksaan
tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hukum tetapi
menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk
menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus
dalam implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program
diukur dari peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6-15 tahun.
Menurut Ibrahim (1992) pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun dilakukan
melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah
meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
6
tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD Kecil, SD Pamong, SD
terpadu, MI, Pondok Pesantren, SDLT, dan kelompok belajar Paket A.
Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Reguler, SLTP
Kecil, SLTP Terbuka dan SLTP-LB dan kelompok belajar Paket B.
Sejak mulai diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada
tahun 2000, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar
dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan
pendidikan (PP No.25 tahun 2000). Dengan kebijakan otonomi daerah
ini terbuka kesempatan bagi para ahli, praktisi, dan pengamat
pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara
menyeluruh, termasuk Wajib Belajar 9 Tahun. Otonomi pendidikan
merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing yang
merupakan tolok ukur kualitas sumber daya manusia. Ada keberagaman
daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan. Di satu
pihak ada daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis.
Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi
daerahnya, khususnya kemampuan masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan yang berbeda-beda (Suyanto, 2001). Di
samping itu muncul pula “kepanikan” bagi daerah dalam menyediakan
dana alokasi umum (DAU) untuk menggaji guru dan pegawai yang
didaerahkan. Di lain pihak, daerah yang optimis, yaitu daerah yang
mampu membuat rencana anggaran untuk meningkatkan
penyelenggaraan pendidikan di daerahnya.
Namun demikian, apapun sikap daerah segala kendala yang
muncul dalam penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun harus ditangani
secara otonom oleh daerah masing-masing. Diyakini atau tidak,
pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang paling efektif untuk
meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu
sumberdaya manusia Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat
dan sulitnya permasalahan yang ada pada awalnya, dengan adanya
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
7
kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat
dikelola dengan lebih murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan
dapat mengembangkan kreativitas siswa, guru, kepala sekolah, dan
masyarakat. Untuk itu perlu diberlakukan manajemen berbasis sekolah
(school based management) dengan tujuan agar sekolah dapat
mengelola proses belajar mengajar dengan lebih baik sehingga dapat
meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya, manajemen berbasis
sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses belajar mengajar
di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman yang
menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais, 1976).
2.3. Analisis Determinan Wajardikdas
Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun (Wajardikdas 9 Tahun) dapat dilihat dari beberapa
indikator capaian. Indikator utamanya adalah pencapaian APK
SD/MI dan SMP/MTs. Beberapa indikator pendidikan dasar
digunakan untuk menggambarkan kondisi dan tingkat pencapaian
pembangunan pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah bersama
orangtua dan masyarakat yang berkaitan dengan aspek perluasan
dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan,
relevansi, efesiensi dan efektivitas pengelolaan. Beberapa
indikator tersebut antara lain:
Angka Partisipasi, dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan
angka partisipasi murni (APM). Jika angka APK lebih besar dari
APM, hal ini menunjukkan adanya anak di luar kelompok usia
7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI. Mereka adalah anak yang
berusia di bawah 7 tahun dan diatas 12 Tahun. Sesuai dengan
prioritas program Wajardikdas 9 tahun, adanya anak-anak
berumur kurang dari 7 tahun tetapi sudah bersekolah di jenjang
SD/MI dapat terjadi karena Sekolah tersebut masih dapat
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
8
menampung siswa. Di sisi lain, adanya anak-anak usia di atas 12
tahun yang masih bersekolah pada jenjang SD/MI dapat
disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu (1) anak-anak tersebut
terlambat masuk SD atau mereka masuk diatas usia 7 tahun, dan
(2) adanya anak-anak yang mengulang kelas, sehingga mereka
baru dapat menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) pada usia
di atas 12 tahun. Selain itu, APK maupun APM juga dapat
dilihat berdasarkan gender sehingga dapat diketahui
keseimbangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Hal
yang sama terkait dengan APK dan APM juga terjadi untuk
jenjang SMP/MTs.
Angka Putus Sekolah. Jika ditemukan masih adanya anak yang
putus sekolah pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor sosial ekonomi seperti membantu
orang tuanya dalam mencari nafkah. Jika jumlah ini cukup tinggi
maka akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap angka
putus sekolah. Untuk itu perlu ditangani secara lebih serius,
dengan mengefektifkan sejumlah lembaga pendidikan alternatif,
sehingga tidak berdampak hilangnya akses anak usia 7-15 tahun
terhadap lembaga-lembaga pendidikan dasar.
Angka melanjutkan Lulusan SD/MI ke jenjang SMP/MTs.
Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar para
lulusan SD/MI dapat melanjutkan ke SMP sesuai dengan
program Wajardikdas 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah.
Rasio siswa per sekolah pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs
yang menunjukkan kepadatan sekolah. Rasio siswa per sekolah
berkaitan erat dengan rasio siswa per kelas, dimana standar ideal
siswa per kelas adalah 32 siswa.
Rasio siswa per guru. Semakin besar rasio siswa per guru ini
menunjukkan adanya kekurangan guru pada jenjang tersebut.
Rasio kelas per ruang kelas. Semakin besar nilainya
menunjukkan ruang kelas tersebut digunakan untuk lebih dari
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
9
satu kelas. Besarnya rasio tersebut mengindikasikan masih
perlunya ruang kelas tambahan. Dalam hal ini diharapkan ruang
kelas sama dengan jumlah kelas, sehingga tidak ada ruang kelas
yang digunakan lebih dari sekali.
Tingkat kelayakan guru. Angka ini menunjukkan persentase
guru yang layak mengajar pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs.
Mutu guru. Kinerja sekolah dapat terlihat dari mutu guru yang
ditunjukkan dengan kesesuaian ijasah guru dengan bidang studi
yang diajarkan.
Tingkat Pelayanan Sekolah, yang menunjukkah terjadinya
pemerataan dan keberhasilan program Wajib Belajar Sekolah
Dasar sembilan tahun.
Tingkat kesulitan sekolah. Dari angka ini dapat diketahui ada
tidaknya hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan
daerah. Misalnya APK cukup tinggi di daerah yang secara
geografis tidak mendukung (terpencil). Hal ini menunjukkan
minat anak untuk bersekolah di daerah tersebut cukup tinggi.
Jika dikaitkan dengan kinerja dari program pendidikan nasional
secara umum, berbagai indikator tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam tiga prioritas kebijakan pendidikan sebagai berikut ini.
Mutu dan Relevansi Pendidikan
Terkait dengan mutu dan relevansi pendidikan, beberapa
indikator keberhasilan pendidikan perlu dimonitor. Mutu pendidikan
dapat diukur dari seberapa efektif pengelolaan sistem pendidikan dapat
memberikan efek terhadap prestasi belajar siswa secara optimal. Yang
paling tepat untuk mengukur mutu pendidikan sebenarnya adalah hasil
evaluasi ujian akhir yang diukur melalui Ujian Akhir Nasional, namun
kegiatan monitoring yang dilakukan ini tidak secara langsung mengukur
output pendidikan dalam pengertian prestasi belajar siswa secara
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
10
akademis. Sedangkan yang dimaksud dengan relevansi pendidikan
adalah, kesesuaian hasil-hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
dalam berbagai bidang, misalnya penghasilan lulusan, keterampilan
lulusan, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan
sebagainya.
Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat
dipantau oleh sistem ini antara lain sebagai berikut: (1) Peningkatan
persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang mengikuti
ujian, (2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di
sekolah-sekolah (seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran,
media pendidikan, dan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber
belajar, (3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat
pendidikan guru dan jumlah penataran yang diikuti, dan (4) Persentase
siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra
sekolah.
Indikator Pemerataan dan Perluasan
Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya
diukur dari seberapa banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga
menyangkut persebaran sarana-prasarana pendidikan antarsekolah dan
antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip keadilan dalam
pendidikan bagi setiap anak-anak dimanapun untuk memperoleh akses
terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan
pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan
bagi semua anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada.
Partisipasi pendidikan itu merupakan indikator pendidikan yang
digunakan oleh semua negara, sehingga dapat dibandingkan antardaerah
dan bahkan antar negara.
Beberapa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan yang
dapat dipantau adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan Angka
Partisipasi Kasar (APK), yaitu persentase jumlah murid pada suatu
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
11
satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik
secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (2) Angka
Partisipasi Murni (APM), yaitu persentase jumlah murid pada usia
sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu
satuan pendidikan yang bersangkutan, baik secara agregat maupun
menurut karakteristik siswa, (3) Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu
jumlah siswa pada kelompok usia tertentu yang merepresentasikan
beberapa satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut
karakteristik siswa, (4) Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan
pendidikan atau suatu daerah tertentu, dengan tanpa membedakan
beberapa variabel karakteristik siswa seperti: jenis kelamin, daerah,
status sosial-ekonomi, dan sejenisnya, dan (5) Kelengkapan sarana dan
prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan, baik yang
bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun
masyarakat.
Indikator Manajemen Pendidikan
Sampai saat ini masalah paling mendasar dalam sistem
pendidikan nasional adalah efisiensi manajemen pendidikan. Oleh
karena itu berbagai ukuran efisiensi dan optimasi dalam manajemen
pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus dan
dalam waktu yang teratur. Beberapa indikator manajemen pendidikan
yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah sebagai berikut:
1. Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah
otonom) yang diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat termasuk sumber lain seperti
dunia usaha;
2. Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah
yang diperoleh dari masyarakat;
3. Kemampuan pengadaan sumberdaya manusia (guru dan tenaga
kependidikan) yang diperoleh dari sumber masyarakat;
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
12
4. Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di
sekolah yang diukur dengan tingkat “turn-over”;
5. Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu
satuan pendidikan tertentu;
6. Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan
pendidikan; serta
7. Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari
suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya.
2.4. Landasan Hukum Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun
Seluruh kebijakan pendidikan yang telah diambil tidak terlepas
dari reformasi kerangka hukum bidang pendidikan yang diawali dengan
amandemen UUD RI (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) 1945
pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Melalui amandemen ini, bangsa
Indonesia menetapkan bahwa pendidikan tidak lagi hanya sekedar hak
warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD RI 1945 sebelum
amandemen, melainkan lebih dari itu, juga merupakan hak azasi
manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan Pemerintah wajib pula membiayainya. Dalam
sejarah perjalanan UUD 1945 yang telah mengalami 4 (empat) kali
amandemen, hanya bidang pendidikan saja yang ditetapkan alokasi
anggarannya sebesar 20 persen dari anggaran dalam APBN dan APBD.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah bertekad untuk
memajukan dunia pendidikan, terutama pendidikan dasar.
Perubahan sangat mendasar dalam pengelolaan di bidang
pendidikan terjadi setelah dilakukan amandemen kedua dan keempat.
Amandemen kedua pada tahun 2000 memasukkan BAB XA tentang
Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya memuat Pasal 28 C ayat 1
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
13
mengenai pendidikan sebagai hak azasi manusia. Sedangkan
amandemen keempat pada tahun 2002 memasukkan BAB XIII tentang
Pendidikan dan Kebudayaan, yang di dalamnya memuat Pasal 31 yang
khusus mengatur secara mendasar masalah pendidikan. Pasal 31 ayat 1
menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara,
yang tentu saja konsisten dengan pasal 28 C ayat 1. Ayat 2 mewajibkan
setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Ayat 3 mengamanatkan Pemerintah untuk
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya, dan mengusahakan serta
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Untuk menjamin
terlaksananya semua hal itu ayat 4 mengamanatkan negara untuk
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen
dari APBN dan APBD, serta ayat 5 mengamanatkan Pemerintah
memajukan teknologi.
Satu tahun kemudian, amanat reformasi dalam amandemen UUD
RI 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tiga tahun
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, dan selanjutnya pada tahun 2007 dalam UU
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pada tingkat operasional,
selanjutnya amanat UU No. 20 Tahun 2003 dan UU No. 14 Tahun 2005
dijabarkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan pada tingkat
yang lebih teknis pada berbagai Peraturan Menteri (Permen). UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan
bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib
memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat
pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang
sederajat). Selain itu yang penting adalah: (a) Kewajiban bagi orangtua
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
14
untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2), (b)
Kewajiban bagi masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan (pasal 9), dan (c) Pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat (pasal 46 ayat 1).
Pada tahun 1994 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebagaimana tercantum
dalam Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar, dan pada tahun 2006 tekad tersebut diperkuat dengan
diterbitkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyatakan
bahwa Pendidikan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dibagi
bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Berdasarkan
PP tersebut maka Pendidikan termasuk urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar.
2.5. Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun
Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
(Wajardikdas) 9 tahun dapat dilihat dari outcomes nya, yaitu APM
SD/MI dan APK SMP/MTs. APM SD/MI mengalami peningkatan
antara periode tahun 2004-2007, walaupun tidak terlalu signifikan.
Sedangkan, APK SMP/MTs mengalami peningkatan yang sangat
signifikan pada periode tahun 2005-2007.
Arah kebijakan nasional secara umum sejalan dengan arah
kebijakan desentralisasi. Dalam Rencana Strategis Departemen
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
15
Pendidikan Nasional 2005-2009 salah satu pilarnya adalah pemerataan
akses pendidikan. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan
diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan
serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari
berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial,
ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan
intelektual serta kondisi fisik. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009
Depdiknas melaksanakan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan
perluasan pendidikan, yaitu dengan mempertahankan APM-SD/MI pada
tingkat 95 persen, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98
persen serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke
atas hingga 5 persen.
Dari target di atas, tampak bahwa kebijakan pemerataan dan
perluasan akses pendidikan difokuskan pada pendidikan dasar dan
menengah. Hal ini erat kaitannya dengan program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun dan desentralisasi pemerintahan. Di satu sisi
Wajardikdas 9 tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan
perluasan pelayanan pendidikan dasar sehingga semua anak usia 7-15
tahun setidaknya memperoleh pendidikan sampai sekolah menengah
pertama atau sederajat. Sedangkan desentralisasi pendidikan ditujukan
untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah.
Oleh karena itu dalam konteks desentralisasi, pemerataan dan
perluasan akses pendidikan ditujukan pula untuk mengurangi
kesenjangan akses pendidikan antar daerah. Pemerintah menargetkan
penurunan disparitas APK pendidikan dasar dan menengah antara kota
dan kabupaten secara signifikan. Hal ini tercermin dari Indikator kunci
dan target kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam
Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Untuk
tingkat pendidikan dasar misalnya, Depdiknas menargetkan penurunan
disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 2,49 persen di tahun
2004 menjadi 2 persen di tahun 2009. Sementara itu, untuk tingkat
pendidikan menengah pertama ditargetkan penurunan disparitas APK
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
16
antara kabupaten dan kota dari 25,14 persen di tahun 2004 menjadi 13
persen di tahun 2009.
Tabel 2.1.
Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional
2005-2009
Pemerataan Akses
Pendidikan 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. Disparitas APK PAUD
antara kabupaten-kota
16,94 16,94 15,54 14,04 12,54 11,04
2. Disparitas APK
SD/MI/SDLB antara
kabupaten-kota
2,49 2,49 2,40 2,30 2,15 2,00
3. Disparitas APK
SMP/MTs/SMPLB antara
kabupaten-kota
25,14 25,14 23,00 19,00 16,00 13,00
4. Disparitas APK
SMA/MA/SMK/ SMALB
antara kabupaten-kota
33,13 33,13 31,00 29,00 27,00 25,00
5. Disparitas gender APK di
jenjang pendidikan
Menengah
6,16 6,07 5,98 5,89 5,80 5,71
6. Disparitas gender APK di
jenjang pendidikan tinggi
9,90 9,62 9,33 9,05 8,76 8,48
7. Disparitas gender persentase
buta aksara
7,32 6,59 5,86 5,13 4,40 3,65
Smber: Renstra Depdiknas 2005-2009.
Secara umum pencapaian target (realisasi) penurunan disparitas
APK antara Kabupaten dengan Kota baik pada tingkat SD dan sederajat
maupun SMP dan sederajat menunjukkan pencapaian-pencapain yang
positif. Pada tingkat SD, disparitas APK Kabupaten dengan Kota
mengalami penurunan dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2,4
persen di tahun 2007. Sementara itu pada tingkat SMP disparitas APK
Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 25,1 persen di tahun
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
17
2004 menjadi 23 persen di tahun 2007. Namun beberapa permasalahan
masih menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemerataan akses
pendidikan dasar 9 tahun ini.
Gambar 2.1.
Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara
Kabupaten dengan Kota
19,0%
23,0%
25,1%25,1% 23,0%23,4%
25,1%25,1%
2,49% 2,49%2,40%
2,30%
2,49% 2,49%2,43%
2,40%
10%
12%
14%
16%
18%
20%
22%
24%
26%
28%
2004 2005 2006 2007
Disparitas APK SD
2,0%
2,1%
2,2%
2,3%
2,4%
2,5%
2,6%
2,7%
2,8%
2,9%
3,0%
Disparitas APK SMP
Target SMP Realisasi SMP Target SD Realisasi SD
Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, Depdiknas, 2007, diolah.
Pada tingkat SD dan sederajat misalnya, tahun 2007 ditargetkan
disparitas APK Kabupaten dengan Kota sebesar 2,3 persen namun
realisasinya masih mencapai 2,4 persen. Sementara itu disparitas
Kabupaten dengan Kota tingkat SMP dan sederajat yang ditargetkan
mencapai 19 persen pada tahun 2007, realisasinya sebesar 23 persen.
Selain itu pula, terdapat kecenderungan semakin besarnya rentang
antara target dengan realisasi disparitas APK antara Kabupaten dengan
Kota sepanjang 2005-2007 baik di tingkat SD maupun SMP (Gambar
2.1.).
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
18
Gambar 2.2.
APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007
R i a u
B a l i
NTTNAD
Sumut
Sumbar
Kepri
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jabar Jateng
DIY
Jatim
NTBKalbar
KaltengKalsel
KaltimSulut
Sulteng
Sulsel
Sulbar
Sultra
Maluku
Malut
Banten
Babel
Gorontalo
90
91
92
93
94
95
96
97
98
105 110 115 120 125
APK SD
APM
SD
Indonesia: 94,90
Indonesia: 115,51
Papua barat107,3;87,51
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
Belum optimalnya pemerataan akses pendidikan 9 tahun
khususnya dalam kerangka desentralisasi pendididikan dapat terlihat
dari beberapa hal. Pertama, masih terdapat provinsi-provinsi dengan
akses pendidikan di bawah rata-rata nasional. Hal ini terlihat dari
sebaran pencapaian APK dan APM baik di tingkat SD maupun tingkat
SMP. Gambar di atas merupakan analisis kuadran untuk capaian APK-
APM tahun 2007 tingkat Sekolah Dasar. Sumbu X dan Y dibentuk oleh
nilai rata-rata nasional APK dan APM. Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa banyak provinsi yang telah memiliki APK tingkat SD di
atas rata-rata nasional, walaupun dari sisi APM masih berapa di bawah
tingkat nasional (kuadran II). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya
adalah Gorontalo, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan Kalimantan
Timur. Namun masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki APM
dan APK di bawah rata-rata nasional (Kuadran III). Provinsi-provinsi
dimaksud diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Riau, Bengkulu
dan Sumatra Utara. Sementara itu provinsi-provinsi seperti Jawa Timur,
I
II III
IV
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
19
Jawa Tengah, Bali dan Jawa Barat; memiliki APM dan APK di atas
rata-rata nasional (Kuadran I).
Sementara itu untuk APK-APM tingkat SMP menunjukkan
kondisi yang sedikit berbeda (Gambar 2.3). Pemetaan dengan analisis
kuadran untuk APK-APM SMP tahun 2007 menunjukkan 2
kecenderungan umum. Pertama, provinsi-provinsi yang memiliki APK-
APM di bawah rata-rata nasional (kuadran III). Provinsi-provinsi
dimaksud diantaranya adalah Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan NTT. Kedua, provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM
di atas rata-rata nasional (Kuadran I). Provinsi-provinsi dimaksud
diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Riau dan Sumatra Utara.
Hanya sedikit provinsi yang berada di kuadran II atau IV. Secara umum
dapat dikatakan masih cukup besar kesenjangan APK-APM di tingkat
SMP, apalagi jika dibandingkan dengan pencapaian APK-APM di
tingkat Sekolah Dasar.
Gambar 2.3.
APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama 2007
NTT
NADSumut
Sumbar
RiauKepri
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jabar
Jateng
Jatim
NTB
Kalbar
KaltengKalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sulbar
Sultra
Maluku
Malut
Papua
Papua Barat
Babel
Gorontalo
55
58
61
64
67
70
73
76
79
60 65 70 75 80 85 90 95 100APK SMP
APM
SM
P
Indonesia: 71,60
Indonesia: 85,15
DKI Jakarta (105,69; 88,48)
DI Yogyakarta (106,62; 87,68)
Banten (50,77; 57,15)
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
III
IV I
II
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
20
Gambar 2.4.
Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota
Dalam Provinsi 2007
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
Disparitas APK SD/MIKabupaten - Kota 2007
20,0719,7718,8718,0817,9717,89
13,5113,2013,0812,5611,6711,249,689,388,368,257,056,33
5,765,764,973,93
3,513,363,303,232,422,411,751,280,17
22,95
6,08
-204060
BengkuluSumbar
DIYBali
SultengGorontalo
KaltimSulut
KalbarNTB
KalselKepri
DKI JakartaPapuaSulteng
JatimJabar
MalukuNAD
IndonesiaSumut
KaltengPapua Barat
NTTBabelSulsel
SumselLampung
BantenJambiJateng
RiauMalut
Disparitas APK SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007
51,645,3
34,133,333,132,832,232,132,030,830,430,129,428,728,327,1
25,725,6
23,523,523,222,822,622,6
18,417,9
13,712,111,611,0
8,61,3
23,9
- 20 40 60
KaltengNTTKalbarSumbarSultengPapuaPapua BaratBantenGorontaloBabelDIYSumutBengkuluJabarDKI JakartaMalukuNADKalselIndonesiaSumselKepriJatengKaltimBaliLampungSultraJatimSulselNTBJambiRiauSulutMalut
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
21
Kedua, masih banyaknya provinsi dengan disparitas antara
kabupaten-kota yang lebih tinggi dibandingkan disparitas kabupaten-
kota secara nasional. Dari Gambar 2.4. ini tampak bahwa masih banyak
provinsi-provinsi dengan APK yang berada di bawah rata-rata nasional.
Untuk APK SD misalnya dengan disparitas antara kabupaten-kota di
tingkat nasional sebesar 6,08 persen (tahun 2007), provinsi-provinsi
seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara memiliki disparitas
di atas tingkat nasional. Bahkan Propinsi seperti Bengkulu dan
Sumatera Barat memeliki disparitas antara kota dan kabupaten hingga
di atas 20 persen. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh disparitas APM
baik di tingkat SD maupun tingkat SMP.
Ketiga, masih tingginya disparitas antara kabupaten dengan kota
untuk tingkat pendidikan SD dengan SMP. Secara nasional disparitas
APM kabupaten-kota mencapai 2,2 persen untuk tingkat SD dan
mencapai 20,06 persen untuk SMP. Demikian juga untuk masing-
masing provinsi, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah
memiliki disparitas kabupaten-kota untuk APK SMP masing-masing
sebesar 45,3 persen dan 51,6 persen serta 36,22 persen dan 40,14 persen
untuk APM. Kedua provinsi ini menunjukkan disparitas kabupaten-kota
yang terbesar diantara provinsi lainnya.
Keempat, kesenjangan akses pendidikan juga masih terjadi antar
daerah-daerah seperti misalnya kota-kabupaten, Jawa-Luar Jawa,
Daerah Tertinggal-Non Daerah Tertinggal maupun Daerah Otonom
Baru-Non Daerah Otonom Baru. Gambar 2.5. menunjukkan
kesenjangan antar daerah dimaksud. Secara umum, daerah kota
menunjukkan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan
kabupaten. Sementara itu, daerah-daerah tertinggal memiliki akses
relatif rendah dibandingkan daerah lainnya. Satu hal yang menarik
dalam hal pencapaian APK baik SD maupun SMP ini ditunjukkan
bahwa daerah otonom baru (DOB) menunjukkan rata-rata APK yang
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
22
lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya (bukan DOB). Dari sini dapat
pula dikataan bahwa pemekaran daerah memiliki dampak yang positif
paling tidak dalam pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun.
Gambar 2.5.
APK SD dan SMP menurut Klasifikasi Daerah
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
APK SD
121,8
Kota
119,4 119,5 119,5
113,47113,97113,73Kabupaten
113,49
Jawa
118,5
115,1114,9114,7Luar Jawa
114,0 115,1114,9114,7
110
112
114
116
118
120
122
124
2004 2005 2006 2007
APK SD
DOB
115,94
115,46115,29115,12
Non DOB
113,61
114,38114,14113,90
DT
112,06
113,84113,58113,32
Non DT
117,77
116,17116,02115,88
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
2004 2005 2006 2007
APK SMP
101,8
107,5
103,8Kota
119,4
Kabupaten
113,49
77,67
81,5983,08
88,9
93,2
96,8Jawa
118,5
76,3
79,5
83,4Luar Jawa
114,0
65
70
75
80
85
90
95
100
105
110
115
2004 2005 2006 2007
APK SMP
DOB
89,92
89,84
86,28
82,04 Non DOB
80,69 80,90
76,37
74,31DT
78,51 77,40
72,93
70,48
Non DT
93,90 94,84
91,46
86,90
65
70
75
80
85
90
95
100
2004 2005 2006 2007
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Analisa Kuantitatif
Untuk dapat mengetahui dampak input dan output Wajardikdas
terhadap outcome, maka digunakan Metode Panel Data Analysis.
Sebagaimana metode ekonometrika lainnya, metode analisa data panel
ini dapat digunakan untuk menguji atau memperkirakan dampak dari
perubahan satu faktor terhadap outcome yang diharapkan (misalnya:
Angka Partisipasi Sekolah). Kelebihan estimasi menggunakan data
panel adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan kumpulan data yang lebih informatif, lebih
bervariasi, memperbaiki degree of freedom, lebih efisien dan
menurunkan colinearity antar variabel (Baltagi, 2001:6).
2. Memungkinkan menganalisa beberapa isu penting dalam
perekonomian yang tidak dapat diterangkan dengan analisa time
series atau cross section (Hsiao, 1989: 2).
3. Menghitung tingkat keberagaman karakteristik individu yang
lebih tinggi dibandingkan dengan analisa time series (Baltagi,
2001:6).
4. Memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pemodelan
perbedaan perilaku dibandingkan dengan analisa cross section
(Greene, 1997:615).
5. Mampu menerangkan lebih baik dalam dynamic adjustment
(Baltagi, 2001:6).
Adapun model dasar yang digunakan dalam evaluasi ini adalah
Model Bank Dunia 2007 mengenai investasi pendidikan. Model ini
mengangkat masalah Investasi dalam Pendidikan di Indonesia dengan
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
24
menggunakan satu model dasar yang meneliti sisi penawaran dan
permintaan sebagai penentu (determinat) dari outcomes pendidikan.
Spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut:
ii LKDScARPoGDRPSEER 111098765432211
Dimana:
= Kabupaten/ kota = 1…N
R = Net Enrollment Rates
E1 = Log dari pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk
dalam usia sekolah (Total pengeluaran pendidikan per
jumlah penduduk usia 7-18 Tahun).
E2 = Log dari rata-rata belanja pemerintah kabupaten/kota
(per populasi penduduk usia sekolah) dari 2001-2003.
S = Belanja untuk gaji tenaga pendidikan terhadap total
belanja pendidikan (rasio belanja pegawai terhadap
toal belanja pendidikan).
GDRP = Log PDRB per kapita.
Po = Poverty Head Count
R = Remote Area (Jarak rata-rata geometrik dari desa
terhadap kabupaten terdekat)
A = Akses jalan (% desa dengan akses jalan paving)
Sc = Jumlah sekolah SD dan SMP tiap KM2
D = Bencana, variabel yang mengindikasi apakah daerah
merupakan daerah pasca bencana selama 1 tahun yang
lalu.
K = Dummy untuk kabupaten/ kota (urban /rural)
L = Persentase penduduk dalam usia sekolah yang bekerja
Berdasarkan model investasi pendidikan Bank Dunia tersebut,
maka dilakukan pengembangan model dan modifikasi model tanpa
meninggalkan esensinya dengan mempertimbangkan data yang dimiliki.
Pengembangan model dalam kajian ini bertujuan untuk menganalisis
dampak sejumlah faktor terhadap outcomes Wajardikdas 9 Tahun.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
25
Salah satu outcomes utama dalam pelaksanaan program Wajardikdas 9
Tahun adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat sekolah
dasar dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk sekolah menengah
pertama. Faktor pertama yang digunakan adalah faktor output dalam
pendidikan yang dikombinasikan dengan faktor eksternal dan faktor
karakteristik wilayah. Dalam kajian ini akan disajikan hasil dari APK
dan APM baik untuk SD maupun SMP.
Adapun Persamaan Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi
Kasar dapat dituliskan sebagai berikut:
Dalam spesifikasi ini, simbol-simbol didefinisikan sebagai
berikut:
APSDMI = Angka Partisipasi Murni dan Angka
Partisipasi Kasar Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah
APSSMMTs = Angka Partisipasi Murni dan Angka
Partsipasi Kasar Sekolah Menengah
Pertama dan Madrasah Tsanawiyah
Rycko = Rasio Produk Domestik Regional Bruto
Terhadap Rata-Rata Nasional
POV = Tingkat Kemiskinan
AIRA = Akses Air Bersih
RLF = Jumlah Angkatan Kerja
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
26
LITER = Angka Melek Huruf
STAT = Dummy untuk kabupaten/kota
DT = Dummy untuk daerah Indonesia
Tertinggal
JAWA = Dummy untuk daerah yang berada di
Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa
RDAU = Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap
APBD
RDAK = Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap
APBD
RPAD = Rasio Pendapatan Asli Daerah Terhadap
APBD
MGSDMI = Rasio Murid Guru SD/MI (Murid/Guru
SD/MI)
DTSDMI = Rasio Murid Sekolah SD/MI
(Murid/Sekolah SD/MI)
MGSMTS = Rasio Murid Guru SMP/MTs
(Murid/Guru SMP/MTs)
DTSMTS = Rasio Murid Sekolah SMP/MTs
(Murid/Sekolah SMP/MTs)
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian
outcome dari Program Wajardikdas 9 Tahun, yaitu faktor input dan
output program serta faktor eksternal seperti karakteristik sosial
ekonomi suatu daerah. Yang termasuk faktor input antara lain alokasi
Dana Alokasi Khusus untuk Pendidikan, Rasio Dana Alokasi Umum
Terhadap APBD, Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD, dana
BOS (BOS tunai dan BOS Buku). Dalam hal ini, tercapainya outcome
program Wajardikdas dipengaruhi oleh besarnya dana dan pembiayaan-
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
27
pembiayaan yang dialokasikan untuk program tersebut. Dengan hipotesis
bahwa terdapat hubungan positif antara besarnya dana yang dialokasikan
dengan pencapaian APK dan APM.
Sedangkan, output Wajardikdas antara lain unit sekolah baru
(USB), ruang kelas baru (RKB), perpustakaan dan rehabilitasi prasarana
dan sarana SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs/SMPLB, dan guru.
Melalui perbaikan ruang kelas, maka akan meningkatkan daya tampung
siswa secara maksimal. Demikian halnya dengan rehabilitasi gedung
sekolah, dengan demikian dapat meningkatkan daya tampung secara
maksimal dan memperlancar proses pembelajaran. Pembangunan USB-
RKB dapat mendekatkan lembaga pendidikan dengan tempat tinggal
siswa serta dapat menambah daya tampung. Pembangunan perpustakaan
dan laboratorium akan meningkatkan mutu dan proses pembelajaran.
Berkaitan dengan guru, maka yang harus diperhatikan adalah
peningkatan ketersediaan guru yang akan memperlancar proses
pembelajaran, serta peningkatan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi
guru, sehingga guru dapat mengajar secara profesional sesuai dengan
kompetensinya.
Dalam model ini faktor output yang digunakan antara lain Rasio
Murid Guru SD/MI, Rasio Murid Sekolah SD/MI (daya tampung
sekolah SD/MI), Rasio Murid Guru SMP/MTs dan Rasio Murid
Sekolah SMP/MTs (daya tampung sekolah SMP/MTs). Dengan
hipotesis terdapat hubungan yang negatif antara Rasio Murid guru
SD/MI dan SMP/MTS terhadap APK dan APM SD/MI dan SMP/MTs.
Semakin banyak guru yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM.
Sedangkan hubungan antara rasio murid sekolah dengan APK dan APM
diharapkan positif. Artinya semakin banyak sekolah yang tersedia akan
meningkatkan APK dan APM.
Sedangkan untuk faktor eksternal, antara lain angka melek huruf,
tingkat kemiskinan, pendapatan masyarakat, jumlah angkatan kerja,
serta akses terhadap fasilitas umum. Tingkat kemiskinan diharapkan
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
28
mempunyai hubungan negatif terhadap besarnya APK dan APM.
Sedangkan, angka melek huruf diharapkan mempunyai hubungan
positif terhadap APK dan APM. Dengan argumentasi bahwa ketika
angka melek huruf meningkat (mencerminkan tingkat pendidikan
masyarakat) maka hal ini akan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Demikian juga dengan
tingkat kemiskinan. Tingkat pendapatan masyarakat dan akses terhadap
fasilitas umum mempunyai hubungan yang positif terhadap APK dan
APM. Dengan semakin terpenuhinya akses fasilitas umum, maka akan
memudahkan siswa untuk menjangkau sekolah. Tingkat pendapatan
masyarakat yang juga dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan
masyarakat, juga akan mempengaruhi orangtua dan anak untuk
melanjutkan sekolah.
Selain itu, juga terdapat beberapa faktor karakteristik daerah yang
dapat mempengaruhi pencapaian APK dan APM. Antara lain
Kabupaten/Kota, Daerah Tertinggal, dan keberadaan daerah di Pulau
Jawa/Luar Pulau Jawa. Faktor karakteristik daerah digunakan sebagai
variabel dummy. Dengan manggunakan beberapa variabel dummy
tersebut diharapkan dapat diketahui apakah karekteristik tertentu dari
suatu daerah akan mempengaruhi capaian APK dan APM. Sebagai
hipotesis sementara daerah kota akan mempunyai tingkat capaian yang
lebih tinggi daripada kabupaten. Hal ini dimungkinkan karena beberapa
indikator input dan output daerah kota lebih baik daripada kabupaten.
Demikian juga halnya jika daerah tersebut bukan merupakan daerah
tertinggal (dilihat dari besarnya desa tertinggal di daerah tersebut). Hal
yang sama juga terjadi untuk daerah di luar dan di Pulau Jawa. Dapat
diduga bahwa daerah di Jawa capaiannya lebih baik daripada daerah di
luar Jawa.
Terdapat beberapa penelitian yang mendukung adanya hubungan
antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang menjadi salah satu
alasan bahwa capaian APK dan APM di daerah dipengaruhi oleh
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
29
pendapatan yang diproksi dengan PDRB. Penelitian tersebut
diantaranya pernah dilakukan oleh Schultz (1960), Becker (1964) dan
Mincer (1974). Ketiganya menyimpulkan bahwa hubungan antara rata-
rata tingkat pendidikan dengan pendapatan (diperimbangkan juga faktor
distribusinya) mempunyai hubungan positif. Selain itu, Bils dan
Klenow (2000) melakukan penelitan yang menghasilkan kesimpulan
bahwa terdapat korelasi antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi,
dimana semakin tinggi tingkat pertumbuhan akan menyebabkan
pendidikan yang semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi sabagai
variabel bebas dan tingkat pendidikan sebagai variabel terikatnya,
bukan sebaliknya.
3.2. Analisis Kualititatif
Dari hasil analisis kuantitatif akan diperoleh gambaran secara
umum evaluasi kegiatan-kegiatan program Wajardikdas. Sebagai satu
hasil desk studi, hasil analisis kuantitatif ini perlu diverifikasi di
lapangan melalui diskusi dengan narasumber baik stakeholder di daerah
maupun tim teknis di tingkat pusat. Di samping itu, juga digunakan
analisis kualitatif untuk merumuskan berbagai bahan masukan
mengenai pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun. Analisis ini
dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkategorisasi dan meng-
interpretasikan secara komprehensif hasil studi yang dilakukan. Miles,
dalam Moleong (2000) juga mengungkapkan studi kualititatif dilakukan
beberapa tahap kegiatan analisis yakni :
1. Metode Identifikasi.
Kegiatan ini dilakukan setelah semua informasi dan data
terkumpul yang didasarkan atas beberapa fokus studi di atas.
Identifikasi ini secara sederhana dilakukan berdasarkan poin-
poin penting dan hal-hal yang menarik maupun kesamaan
informasi maupun pandangan narasumber.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
30
2. Metode Kategorisasi
Yaitu pengelompokkan data berdasarkan hasil identifikasi yang
disandingkan dalam sebuah matriks yang didasarkan pada fokus
studi serta sumber informasi. Kategorisasi juga dilakukan
sebagai dasar penyusunan kerangka kerja logis.
3. Metode Interpretasi/penafsiran
Yang dilakukan setelah pengaitan hubungan antar data.
Interpretasi juga dilakukan dengan disertai teori-teori yang
relevan. Sesuai kaidah penelitian kualitatif, melalui metode
analisis yang dipilih, tim peneliti dapat membuat interpretasi
dan dapat mempunyai kekuatan argumentasi didasarkan data
yang diperoleh dari lapangan.
3.3. Data
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan
data primer. Data sekunder yang digunakan dalam studi ini bersumber
dari berbagai publikasi instansi dan lembaga terkait. Untuk data-data
yang berkait dengan komponen kegiatan program Wajardikdas 9 tahun
seperti output Guru, ruang kelas, sekolah dan lainnya; digunakan data
sekunder yang bersumber dari Departemen Pendidikan Nasional.
Sementara itu data yang berkaitan dengan kerangka makro, perencanaan
dan anggaran digunakan data sekunder yang bersumber dari Bappenas
dan Departemen Keuangan. Data sekunder pendukung lainnya yang
berkaitan dengan kependudukan dan kewilayahan digunakan data yang
bersumber data BPS.
Selain itu juga untuk mendukung analisis dengan data sekunder di
atas, digunakan data dan informasi yang bersifat primer yang bersumber
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
31
dari stakeholder pendidikan dasar baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah. Data dan informasi yang bersifat primer ini
dikumpulkan melalui indepth interview dan FGD yang dilakukan baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Deskripsi mengenai
mekanisme indepth interview dan FGD dijabarkan lebih lanjut pada
bagian lain laporan ini.
Pengumpulan Data dan Sampling
Evaluasi ini menggunakan data sekunder dari dokumen-dokumen
pemerintah, seperti RPJM, RKP, Renstra, laporan-laporan resmi dari
Depdiknas untuk analisa kuantitatif. Selain data sekunder, evaluasi ini
akan menggunakan data primer untuk mempertajam analisa kualitatif.
Provinsi dipilih berdasarkan kriteria besarnya Angka Partisipasi Murni
(APM) SD-SMP setara dan Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah.
Berdasarkan kriteria dan pertimbangan tersebut di atas, empat provinsi
terpilih adalah Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Sumatera
Selatan. Jawa Timur mewakili daerah dalam kelompok normatif tinggi,
atinya baik APM maupun anggaran Dikdasmen 2006 berada di atas
rata-rata nasional. Kalimantan Selatan mewaliki daerah normatif
rendah, yaitu daerah yang mempunyai APM di atas rata-rata nasional
sedangkan anggaran Dikdasmen pada tahun 2006 berada di bawah rata-
rata nasional. Provinsi Riau mewakili daerah pada kelompok anomali
positif, artinya APM berada di bawah rata-rata nasional, sedangkan
anggaran Dikdasmen pada tahun 2006 berada di atas rata-rata nasional.
Sumatera Selatan mewakili kelompok anomali negatif, yaitu baik APM
maupun anggaran Dikdasmen 2006 berada di bawah rata-rata nasional.
Di setiap provinsi dilakukan in-depth interview dan Focus Group
Interview (FGI) terhadap stakeholder yang terkait dengan program
Wajardikdas 9 Tahun untuk verifikasi hasil analisa serta untuk
mengetahui persepsi program Wajardikdas di empat provinsi tersebut.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
32
Tabel 3.1.
Pemilihan Sampel
No. Sampling Based Normatif
Tinggi
Normatif
Rendah
Anomali
Positif
Anomali
Negatif
1 APK-Anggaran
Dikdasmen Jabar Sulteng Sumbar
Jawa
Timur
2 APM-Anggaran
Dikdasmen 2006 Jatim Kalsel Riau Sumsel
3 APM-APK DIY Papua Riau Gorontalo
4 APK-PDRB per
Kapita Kep. Riau NTT DIY Papua
5 APM-PDRB per
Kapita Riau NTT DIY Papua
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
33
BAB IV
HASIL REGRESI:
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
APK DAN APM
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan model panel data
dari 440 kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2004-2006, maka
dihasilkan persamaan regresi sebagai berikut:
4.1. Nasional
Hasil regresi menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni
SD/MI, Angka Partisipasi Kasar SD/MI dan Angka Partisipasi Kasar
SMP/MTs dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, akses
air bersih, angka melek huruf, rasio murid sekolah, rasio murid guru dan
kemiskinan. Terlihat di sini bahwa APM SD/MI, APK SD/MI dan APK
SMP/MTs tidak hanya dipengaruhi oleh sisi penawaran dari sektor
pendidikan, tapi juga dari sektor permintaan. Semakin banyak guru dan
sekolah akan meningkatkan APM SD/MI, APK SD/MI dan APK
SMP/MTs.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
34
Tabel 4.1.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi APK SD/MI Nasional
Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.076778* 4.110717
Akses Air Bersih 2.711565* 37.45248
Angka Melek Huruf -1.904861* -20.60537
Rasio Murid Guru SD + MI -0.231774*** -1.700838
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.131564* 3.297393
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.090350** -2.568953
Tingkat Kemiskinan -0.027549*** -1.666266
Adjusted R-squared 0.901847
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selain itu, karakteristik sosial ekonomi wilayah juga memegang
peranan penting dalam peningkatan APM SD/MI, APK SD/MI dan
APK SMP/MTs, seperti akses air bersih dan angka melek huruf. Akses
air bersih menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah
tersebut dan memiliki hubungan yang positif dengan APM SD/MI.
Semakin sejahtera masyarakat tersebut, maka semakin besar anggaran
rumah tangga yang dapat dialokasikan untuk pendidikan. Selain itu,
dengan semakin sejahtera masyarakat tersebut, maka anak-anak tidak
perlu membantu orang tuanya untuk mencari nafkah, sehingga mereka
dapat bersekolah. Dalam hal ini, dana alokasi khusus memiliki dampak
yang positif terhadap APM SD/MI dan APK SMP/MTs.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
35
Tabel 4.2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Nasional
Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.081356* 4.844254
Akses Air Bersih 1.972894* 23.12154
Angka Melek Huruf -1.203693* -10.22201
Rasio Murid Guru SD + MI -0.240565*** -1.707245
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.131332* 2.936992
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.090502** -2.019313
Tingkat Kemiskinan -0.027079** -2.342351
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.016126*** 1.932059
Adjusted R-squared 0.886536
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
36
Tabel 4.3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Nasional
Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.078094* 4.685874
Akses Air Bersih 2.360315* 35.24491
Angka Melek Huruf -1.580470* -16.80796
Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.244102*** -1.820343
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.196896* 7.312505
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap
APBD -0.153360* -5.675825
Tingkat Kemiskinan -0.028160*** -1.937160
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap
APBD 0.016129*** 1.879393
Adjusted R-squared 0.893469
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Lebih lanjut, untuk Angka Partsipasi Murni SMP/MTs
dipengaruhi oleh faktor input pembiayaan (dana alokasi umum, dana
alokasi khusus), Produk Domestik Regional Bruto dan angka melek
huruf. Dengan perkataan lain APM SMP/MTs tidak dipengaruhi factor
output SMP/MTS (rasio murid guru SMP/MTs dan rasio murid sekolah
SMP/MTs).
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
37
Tabel 4.4.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Nasional
Variabel Tidak Bebas: APM SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap
rata-rata nasional 0.977557* 108.7135
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.113300** -2.096720
Angka Melek Huruf -0.021072* -5.719985
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.008336* 4.583468
Adjusted R-squared 0.982429
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.2. Sumatera
Berdasarkan hasil regresi per pulau, diketahui bahwa APK
SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera
dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), akses air
bersih, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio murid sekolah, Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, tingkat kemiskinan dan
pendapatan asli daerah. Koefisien untuk PDRB, akses air bersih, rasio
murid guru, rasio murid sekolah, tingkat kemiskinan dan Dana Alokasi
Khusus menunjukkan tanda sesuai yang diharapkan. Semakin tinggi
PDRB, akses air bersih, jumlah guru, jumlah sekolah dan Dana Alokasi
Khusus di daerah-daerah di Pulau Sumatera akan meningkatkan APK
SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di daerah tersebut.
Lebih lanjut, semakin rendah tingkat kemiskinan di daerah-daerah
di Pulau Sumatera akan meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan
APK SMP/MTs di Pulau Sumatera. Sedangkan untuk koefisien Dana
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
38
Alokasi Umum dan pendapatan asli daerah tidak memberikan tanda
sesuai yang diharapkan. Hasil regresi menunjukkan semakin tinggi
Dana Alokasi Umum dan pendapatan asli daerah maka akan
menurunkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau
Sumatera.
Tabel 4.5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sumatera
Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.098050* 4.029139
Akses Air Bersih 3.516948* 10.87035
Angka Melek Huruf -1.633439* -28.62164
Rasio Murid Guru SD + MI -0.138194** -2.394641
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.174514* 3.367378
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.158839* -2.955319
Tingkat Kemiskinan -0.026381* -2.985773
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.042265* 3.436729
Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.030613** -1.980118
Jumlah Angkatan Kerja -1.008180* -2.669166
Adjusted R-squared 0.898480
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
39
Tabel 4.6.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sumatera
Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.096854* 4.091205
Akses Air Bersih 2.237844* 6.898597
Angka Melek Huruf -1.061186* -19.02510
Rasio Murid Guru SD + MI -0.146951** -2.601000
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.165003* 3.238149
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.147722* -2.701593
Tingkat Kemiskinan -0.027505* -2.947435
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.045034* 3.981653
Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.031675** -2.405074
Adjusted R-squared 0.877867
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
40
Tabel 4.7.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sumatera
Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.096610* 4.117671
Akses Air Bersih 2.893954* 8.540914
Angka Melek Huruf -1.361039* -36.14922
Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.155252** -2.224515
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.190214* 5.184828
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap
APBD -0.174908* -5.361128
Tingkat Kemiskinan -0.026538* -2.874317
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap
APBD 0.040445* 3.881820
Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.026822*** -1.859926
Jumlah Angkatan Kerja -0.693564*** -1.875052
Adjusted R-squared 0.889106
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Dari hasil regresi APM SMP/MTs di Pulau Sumatera,
menunjukkan bahwa APM SMP/MTs dipengaruhi oleh Produk
Domestik Regional Bruto, rasio murid sekolah dan dana alokasi umum.
Variabel-variabel lain seperti jumlah guru, tingkat kemiskinan, dana
alokasi khusus, pendapatan asli daerah, angka melek huruf, akses air
bersih dan jumlah angkatan kerja tidak mempengaruhi APM SMP/MTs
di Pulau Sumatera.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
41
Tabel 4.8.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sumatera
Variabel Tidak Bebas: APM SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.889368* 144.7513
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.094525* 3.043892
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.108500* -2.617168
Adjusted R-squared 0.985205
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.3. Jawa
Hasil regresi APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs
menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di
Pulau Jawa dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, akses
air bersih, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio murid sekolah,
dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah.
Berbeda dengan yang terjadi di Pulau Sumatera, APK SD/MI, APM
SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Jawa tidak dipengaruhi oleh
tingkat kemiskinan. Semua koefisien dalam hasil regresi sesuai dengan
yang diharapkan kecuali untuk koefisien dana alokasi umum, angka
melek huruf dan pendapatan asli daerah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
42
Tabel 4.9.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Jawa
Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.059697** 2.028994
Akses Air Bersih 3.391389* 9.570248
Angka Melek Huruf -1.658186* -38.42005
Rasio Murid Guru SD + MI -0.133773** -2.552648
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.168800* 3.634498
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap
APBD -0.159090* -3.282316
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap
APBD 0.045731* 3.363481
Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.033673** -2.291331
Jumlah Angkatan Kerja -0.869071** -2.008927
Adjusted R-squared 0.876612
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
43
Tabel 4.10.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Jawa
Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.059190*** 1.856114
Akses Air Bersih 2.115185* 6.243977
Angka Melek Huruf -1.149257* -18.13486
Rasio Murid Guru SD + MI -0.140564* -2.801881
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.158347* 3.433768
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.145383* -2.986876
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.047074* 3.662207
Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.033522** -2.347194
Adjusted R-squared 0.850987
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
44
Tabel 4.11.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Jawa
Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.057148*** 1.839534
Akses Air Bersih 2.794775* 7.833466
Angka Melek Huruf -1.430296* -37.61932
Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.148784** -2.275301
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.211877* 7.854631
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.198957* -14.10825
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.044040* 3.802586
Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.029349*** -1.828683
Adjusted R-squared 0.865553
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Lebih lanjut, dari hasil regresi APM SMP/MTs diketahui bahwa
APM SMP/MTs di Pulau Jawa dipengaruhi oleh Produk Domestic
Regional Bruto, rasio murid sekolah dan dana alokasi umum. Patut
digarisbawahi disini, faktor output sektor pendidikan yaitu jumlah guru
dan karakteristik sosial ekonomi wilayah (tingkat kemiskinan, akses air
bersih, angka melek huruf) tidak mempengaruhi APM SMP/MTs di
Pulau Jawa, hal ini mungkin disebabkan Pulau Jawa lebih developed
dibandingkan dengan pulau-pulau lain.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
45
Tabel 4.12.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Jawa
Variabel Tidaak Bebas: APM SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.888118* 500.8579
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.091550*** 1.759806
Rasio Dana Alokasi Umum terhadap
APBD -0.109013** -2.034745
Adjusted R-squared 0.984092
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.4. Bali, NTB dan NTT
Hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan
APK SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT dipengaruhi oleh produk
domestic regional bruto, akses air bersih, angka melek huruf, dana
alokasi khusus, rasio murid guru dan rasio murid sekolah. Tingka
kemiskinan, dana alokasi umum, jumlah angkatan kerja dan pendapatan
asli daerah tidak mempengaruhi APK SD/MI, APM SD/MI dan APK
SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
46
Tabel 4.13.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Bali, NTB dan NTT
Variabel Tidak Bebas : APK SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Brutoterhadap
rata-rata nasional 0.175733* 4.520846
Akses Air Bersih 3.490324* 14.71599
Angka Melek Huruf -2.687008* -9.081887
Rasio Murid Guru SD + MI -0.214985* -21.54179
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.222308* 3.363073
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD -0.063241*** -1.724599
Adjusted R-squared 0.904322
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.14
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Bali, NTB dan NTT
Variabel Tidak Bebas : APM SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap
rata-rata nasional 0.172864* 4.682514
Akses Air Bersih 2.689874* 11.77904
Angka Melek Huruf -1.925692* -6.859082
Rasio Murid Guru SD + MI -0.231255* 11.50066
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.243356* 3.268313
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD -0.061187*** -1.921033
Adjusted R-squared 0.884561
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
47
Tabel 4.15.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Bali,
NTB dan NTT
Variabel Tidak Bebas : APK SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional
Brutoterhadap rata-rata nasional 0.171418* 4.137493
Akses Air Bersih 3.070322* 13.06765
Angka Melek Huruf -2.296683* -7.934807
Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.249504* -8.610191
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.218861* 2.846654
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap
APBD -0.068817*** -1.895376
Adjusted R-squared 0.894658
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selanjutnya, APM SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT
dipengaruhi produk domestik regional bruto, akses air bersih, angka
melek huruf dan dana alokasi khusus. Hal ini menunjukkan bahwa
factor output di sektor pendidikan (jumlah guru dan jumlah sekolah)
tidak mempengaruhi APM SMP/MTs di Pulau Bali, NTB dan NTT.
Hanya koefisien PDRB dan angka melek huruf yang menunjukkan
sesuai dengan tanda yang diharapkan, sedangkan koefisien akses air
bersih dan dana alokasi khusus menunjukkan tanda terbalik.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
48
Tabel 4.16.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Bali,
NTB dan NTT
Variabel Tidak Bebas : APM SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio Produk Domestik Regional Bruto
terhadap rata-rata nasional 0.918323* 62.43071
Akses Air Bersih -0.582024* -1.941161
Angka Melek Huruf 0.247084** 2.287796
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD -0.033195* -12.68169
Adjusted R-squared 0.984314
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.5. Kalimantan
Dari hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI
dan APK SMP/MTs di Pulau Kalimantan dipengaruhi oleh akses air
bersi, angka melek huruf, rasio murid guru dan rasio murid sekolah.
Kecuali koefisien angka melek huruf, semua koefisien dari variabel-
variabel tersebut menunjukkan tanda sesuai yang diharapkan. Semakin
besar akses air bersih, jumlah sekolah dan jumlah guru akan
meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau
Kalimantan.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
49
Tabel 4.17.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Kalimantan
Variabel tidak Bebas : APK SD/MI
Variabel Koeffisien t-Statistik
Akses Air Bersih 3.089036* 20.11029
Angka Melek Huruf -2.926424* -10.59775
Rasio Murid Guru SD + MI -0.175082* -5.217537
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.153286* 13.15548
Jumlah Angkatan Kerja 0.707082** 2.593842
Adjusted R-squared 0.875242
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.18.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Kalimantan
Variabel Tidak Bebas : APM SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 1.778391* 8.201671
Angka Melek Huruf -2.353068* -8.487357
Rasio Murid Guru SD + MI -0.181256* -4.901191
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.148025 8.453066
Jumlah Angkatan Kerja 1.391025* 5.891224
Adjusted R-squared 0.850676
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
50
Tabel 4.19.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Kalimantan
Variabel Tidak Bebas : APK SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 2.359518* 11.61753
Angka Melek Huruf -2.610614* -10.04898
Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.211885* -3.760548
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.120729** 2.600437
Jumlah Angkatan Kerja 1.093025* 5.267472
Adjusted R-squared 0.863360
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selanjutnya dari hasil regresi menunjukkan bahwa APM
SMP/MTs di Pulau Kalimantan dipengaruhi oleh produk domestik
regional bruto, tingkat kemiskinan dan rasio murid guru. Selain
koefisien rasio murid guru, koefisien tingkat kemiskinan dan produk
domestic regional bruto sejalan dengan yang diharapkan.
Tabel 4.20.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Kalimantan
Variabel Tidak Bebas : APM SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio PDRB terhadap rata-rata nasional 0.952113* 41.54931
Tingkat Kemiskinan -0.015602* -3.394972
Rasio Murid Guru SMP+MTs 0.031121* 1.952409
Adjusted R-squared 0.985236
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
51
4.6. Sulawesi
Hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan
APK SMP/MTs di Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh akses air bersih,
jumlah angkatan kerja, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio
murid sekolah. Kecuali koefisien angka melek huruf, semua koefisien
variabel tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan, dimana akses
air bersih, jumlah angkatan kerja dan rasio murid sekolah memiliki
tanda positif terhadap APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs
di Pulau Sulawesi. Sedangkan, koefisien rasio murid guru memiliki
tanda negatif terhadap APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs
di Pulau Sulawesi.
Tabel 4.21.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sulawesi
Variabel Tidak Bebas : APKSD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 3.027147* 22.66528
Jumlah Angkatan Kerja 0.725055** 2.482233
Angka Melek Huruf -2.892212* -11.43470
Rasio Murid Guru SD + MI -0.194328* -5.346503
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.138269* 15.98044
Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD -0.013112*** -1.797208
Adjusted R-squared 0.873218
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
52
Tabel 4.22.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sulawesi
Variabel Tidak Bebas : APM SD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 1.692878* 10.30015
Jumlah Angkatan Kerja 1.436512** 5.619716
Angka Melek Huruf -2.322908* -9.011343
Rasio Murid Guru SD + MI -0.199811* -5.143880
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.131165* 8.395571
Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap
APBD -0.015774** -2.137111
Adjusted R-squared 0.848358
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.23.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Sulawesi
Variabel Tidak Bebas : APKSMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 2.318431* 13.11883
Jumlah Angkatan Kerja 1.089849* 4.661326
Angka Melek Huruf -2.575233* -10.89031
Rasio Murid Guru SMP + MTs -0.229661* -3.878391
Rasio Murid Sekolah SMP + MTs 0.111893** 2.422842
Adjusted R-squared 0.861307
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Selanjutnya, APM SMP/MTs di Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh
Produk Domestik Regional Bruto, angka melek huruf, dana alokasi
khusus. Hal ini mengindikasikan bahwa APM SMP/MTs di Pulau
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
53
Sulawesi sama sekali tidak dipengaruhi oleh factor output di sektor
pendidikan seperti jumlah guru dan jumlah sekolah.
Tabel 4.24.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Sulawesi
Variabel Tidak Bebas : APM SMP/MTs
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio PDRB terhadap APBD 0.935567* 126.6755
Angka Melek Huruf 0.278755* 7.201041
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD -0.016108*** -1.943829
Adjusted R-squared 0.986430
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
4.7. Papua dan Maluku
Hasil regresi menunjukkan bahwa APK SD/MI dan APM SD/MI
di Papua dan Maluku dipengaruhi oleh akses air bersih, jumlah
angkatan kerja, angka melek huruf, rasio murid guru SD/MI dan rasio
murid sekolah SD/MI. Kecuali koefisien angka melek huruf, koefisien
seluruh variabel lain menunjukkan tanda yang sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini dapat menunjukkan perbaikan akses air bersih
diperlukan untuk meningkatkan capaian APK dan APM SD/MI di
Maluku dan Papua berdampak juga pada sektor pendidikan SD/MI.
Selain itu, jumlah sekolah dan jumlah guru juga harus ditingkatkan di
Pulau Maluku dan Papua agar APK SD/MI dan APM SMP/MTs di
Pulau Maluku dan Papua dapat meningkat.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
54
Tabel 4.25.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Papua dan Maluku
Variabel Tidak Bebas : APKSD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 3.010160* 11.73092
Jumlah Angkatan Kerja 1.260446** 2.624262
Angka Melek Huruf -3.440476* -15.02188
Rasio Murid Guru SD + MI -0.140627* -3.075243
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.131107* 5.424433
Adjusted R-squared 0.875629
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Tabel 4.26.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI
Papua dan Maluku
Variabel Tidak Bebas : APMSD/MI
Variabel Koefisien t-Statistik
Akses Air Bersih 1.816903* 5.733387
Angkatan Kerja 1.766787* 3.404175
Angka Melek Huruf -2.805207* -11.63039
Rasio Murid Guru SD + MI -0.150323* -3.073467
Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.135703* 4.842683
Adjusted R-squared 0.850840
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
55
Lebih lanjut berdasarkan hasil regresi ditunjukkan pula bahwa
APK SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua dipengaruhi oleh jumlah
angkatan kerja, dana alokasi khusus, rasio murid guru dan rasio murid
sekolah. Dengan perkataan lain, jika pemerintah ingin meningkatkan
APK SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua, maka harus ditingkatkan
jumlah guru, sekolah dan dana lokasi khusus di Pulau Maluku dan
Papua.
Sedangkan APM SMP/MTs di Pulau Maluku dan Papua hanya
dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto dan alokasi dana
umum. Hal ini mengindikasikan bahwa jika pemerintah ingin
meningkatkan APM SMP/MTs di Maluku dan Papua, pertama kali yang
dilakukan adalah bukan membangun sekolah atau meningkatkat jumlah
guru, tapi yang harus dilakukan adalah membangun ekonomi terlebih
dulu di Maluku dan Papua.
Tabel 4.27.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs
Papua dan Maluku
Variabel Tidak Bebas : APK SMP/MTS
Variabel Koefisien t-Statistik
Jumlah Angkatan Kerja 1.105378* 8.037470
Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.030967* 2.666148
Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.258627* -4.191364
Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.067258* 4.141648
Adjusted R-squared 0.828702
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
56
Tabel 4.28.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs
Papua dan Maluku
Variabel Tidak Bebas : APMSMP/MTS
Variabel Koefisien t-Statistik
Rasio PDRB terhadap rata-rata nasional 0.943590* 74.60301
Angka Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.125707*** -1.719374
Adjusted R-squared 0.987746
Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10%
** signifikan pada derajat kepercayaan 5%
* signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
57
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN: EVALUASI
PELAKSANAAN PROGRAM WAJARDIKDAS
9 TAHUN (2005-2007)
5.1. Outcome Program Wajardikdas
Capaian Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dilihat dari APM
dan APK baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs. Angka ini
menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum pada tingkat
pendidikan SD/MI maupun SMP/MTs. Capaian APK dan APM di
masing-masing 33 provinsi cenderung meningkat antara periode 2004-
2007. Berdasarkan hasil regresi, terdapat beberapa faktor signifikan
yang mempengaruhi outcome Program Wajardikdas 9 Tahun, yaitu
APM dan APK baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs secara
nasional sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini.
APK dan APM nasional tingkat SD/MI maupun SMP/MTs,
secara bersamaan sangat dipengaruhi oleh faktor signifikan Produk
Domestik Regional Bruto, Angka Melek Huruf, dan Dana Alokasi
Umum. Disamping itu APK dan APM tingkat SD/MI maupun
SMP/MTs juga dipengaruhi oleh Tingkat Kemiskinan, Akses Air
Bersih, Dana Alokasi Khusus, Rasio Murid Guru, dan Rasio Murid
Sekolah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
58
Tabel 5.1.
Variabel Bebas yang Mempengaruhi APK dan APM
No Independent
Variable
Outcome
APK
SD/MI
APM
SD/MI
APK
SMP/MTs
APM
SMP/MTs
1
Rasio PDRB
terhadap Rata-Rata
Nasional
X X X X
2 Tingkat Kemiskinan X X X
3 Akses Air Bersih X X X
4 Angka Melek Huruf X X X X
5
Rasio Dana Alokasi
Khusus terhadap
APBD
X X X
6
Rasio Dana Alokasi
Umum terhadap
APBD
X X X X
8 Rasio Murid Guru
SD/MI X X
9 Rasio Murid Sekolah
SD/MI X X
11 Rasio Murid Guru
SMP/MTs X
12 Rasio Murid Sekolah
SMP/MTs X
Keterangan: X adalah variabel yang signifikan
Angka Partisipasi Kasar (APK)
Berdasar data Departemen Pendidikan Nasional, rata-rata
nasional APK tingkat SD/MI tahun 2006 adalah sebesar 114,27 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah siswa di luar usia 7-12 tahun yang
sedang menempuh pendidikan tingkat SD atau sederajat terhadap
jumlah penduduk usia pendidikan SD atau sederajat (usia 7-12 tahun)
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
59
adalah 114,27 persen. Berdasar data APK SD/MI tahun 2006 terdapat
16 (enam belas) provinsi yang memiliki APK SD/MI di bawah rata-rata
nasional yaitu provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Jawa Timur,
Sumatera Utara, NTB, Kalimantan Timur, Papua Barat, NTT, Banten,
Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Riau, Sulawesi Tengah, Sumatera
Barat, DKI Jakarta dan Papua. Provinsi Riau merupakan provinsi
dengan nilai capaian APK SD/MI terendah yaitu sebesar 101,61 persen
sedang provinsi Gorontalo merupakan provinsi dengan nilai capaian
APK SD/MI tertinggi yaitu sebesar 134,69 persen.
Gambar 5.1.
APK SD/MI Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
60
Gambar 5.2.
APK SMP/MTs Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Pada tahun 2006, rata-rata nasional APK SMP/MTs mencapai
88,68 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional tingkat
partisipasi siswa di luar usia 13-15 tahun yang sedang menempuh
pendidikan tingkat SMP atau sederajat terhadap jumlah penduduk usia
pendidikan SMP atau sederajat (usia 13-15 tahun) adalah 88,68 persen.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
61
Dari grafik di atas, terdapat 20 provinsi yang memiliki APK SMP/MTs
di bawah rata-rata nasional yaitu Lampung, Bengkulu, Maluku,
Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat,
Maluku Utara, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat,
Gorontalo, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Papua dan NTT. Dimana
provinsi DI Yogyakarta memiliki APK SMP/MTs tertinggi, yaitu
sebesar 106,85 persen. Sedangkan, provinsi Nusa Tenggara Timur
memiliki APK SMP/MTs terendah, yaitu sebesar 64,46 persen.
Angka Partisipasi Murni (APM)
Capaian rata-rata nasional untuk APM SD/MI pada tahun 2006
adalah sebesar 94,48 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa persentase
siswa SD atau sederajat dengan usia jenjang pendidikan SD atau
sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7-12 tahun adalah sebesar
94,48 persen. Dari grafik di bawah ini terlihat 20 provinsi yang
memiliki APM SD/MI di bawah rata-rata nasional yaitu Provinsi Papua,
Papua Barat, Kepulauan Riau, Riau, NTT, Maluku, Kalimantan Barat,
Maluku Utara, Bengkulu, Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Banten, NTB, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan
Sumatera Utara. Provinsi dengan APM SD/MI tertinggi tahun 2006
adalah provinsi DKI Jakarta sebesar 97,12 persen, sedang yang terendah
adalah provinsi Papua sebesar 85,74 persen.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
62
Gambar 5.3.
APM SD/MI Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Tidak jauh berbeda dengan Angka Partisipasi Murni di tingkat
SD/MI, Provinsi Papua merupakan provinsi yang memiliki APM
SMP/MTs terendah pada tahun 2006 yaitu sebesar 45,34 persen. Sedang
APM SMP/MTs tertinggi terdapat di provinsi DI Yogyakarta sebesar
79,78 persen. Nilai rata-rata nasional untuk APM SMP/MTs adalah
sebesar 66,01 persen yang menunjukkan bahwa persentase siswa SMP
atau sederajat dengan usia jenjang pendidikan SMP atau sederajat
terhadap jumlah penduduk usia 13-15 tahun adalah sebesar 94,48
persen. Adapun provinsi-provinsi yang memiliki APM SMP/MTs di
bawah rata-rata nasional adalah provinsi Maluku Utara, Sulawesi Barat,
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
63
Sulawesi Utara, Bengkulu, Jawa Barat, Maluku, Kalimantan Timur,
Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Kepulauan
Riau, Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, NTT, Papua
Barat dan Papua.
Gambar 5.4.
APM SMP/MTs Tahun 2006
Sumber: Depdiknas
Dari hasil capaian APK SD/MI, APK SMP/MTs, APM SD/MI,
dan APM SMP/MTs tahun 2006 terdapat provinsi-provinsi yang
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
64
memiliki capaian yang menarik untuk diperhatikan. Terdapat beberapa
provinsi yang memiliki APK SD/MI di bawah rata-rata nasional namun
memiliki APM SD/MI di atas rata-rata nasional, bahkan berada pada
urutan tertinggi. Seperti provinsi DKI Jakarta yang memiliki APK
SD/MI urutan empat terbawah setelah Papua Barat dari rata-rata APK
SD/MI nasional. Rata-rata APK SD/MI nasional adalah 114,27 persen,
sedang APK SD/MI provinsi DKI Jakarta adalah 103,96 persen.
Sedangkan capaian APM SD/MI berada pada urutan teratas yaitu
sebesar 97,12 persen di atas rata-rata nasional yaitu sebesar 94,48
persen. Kondisi ini dapat menunjukkan jumlah penduduk usia di luar 7-
12 tahun yang sedang menempuh jenjang pendidikan SD/MI relatif
lebih sedikit dibandingkan dengan provinsi lain. Hal yang mungkin
perlu menjadi catatan antara lain adalah kemungkinan penduduk usia di
luar 7-12 tahun di Provinsi DKI Jakarta relatif banyak yang sudah
menyelesaikan pendidikan SD/MI atau jumlah penduduk usia 7-12
tahun relatif lebih banyak sehingga mempengaruhi capaian APK SD/MI
nya.
Sementara itu, terdapat keadaan yang sebaliknya seperti Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), capaian APK SD/MI tahun 2006
adalah sebesar 127,98 persen berada jauh di atas APK SD/MI rata-rata
nasional sebesar 114,27 persen. Sedangkan capaian APM SD/MI pada
tahun yang sama adalah sebesar 92,94 persen berada di bawah rata-rata
nasional yang besarnya 94,48 persen. APK SD/MI yang lebih tinggi
dapat menunjukkan bahwa masih banyak siswa di luar usia 7-12 tahun
yang sedang menempuh pendidikan SD atau sederajat. Hal ini
kemungkinan dapat disebabkan antara lain terjadinya mengulang kelas
pada jenjang pendidikan SD/ sederajat atau mulai masuk pendidikan
jenjang SD/sederajat tidak tepat pada usia 7 tahun.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
65
5.2. Faktor-Faktor yang Signifikan Mempengaruhi Capaian APK
dan APM
Hasil regresi terhadap capaian APK dan APM nasional telah
menjelaskan beberapa faktor yang signifikan mempengaruhi. Faktor-
faktor signifikan tersebut adalah Produk Domestik Regional Bruto,
Akses Air Bersih, Rasio Murid Sekolah, Tingkat Kemiskinan, Angka
Melek Huruf, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Rasio
Murid Guru. Berdasarkan hasil pencapaian APK SD/MI, APK
SMP/MTs, APM SD/MI, APM SMP/MTs, dapat dikelompokkan 9
(sembilan) provinsi yang selalu berada di bawah rata-rata nasional,
yaitu: Provinsi Sulawesi Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur,
Papua Barat dan Papua. Kesembilan provinsi tersebut akan dibahas
secara mendalam pada bagian-bagian berikut.
5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto
Jika dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto, terdapat 8
(delapan) provinsi dari sembilan provinsi yang memiliki pencapaian
outcomes Wajardikdas 9 Tahun di bawah rata-rata nasional yaitu
Provinsi Sulawesi Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Maluku Utara, Kalimantan Barat, NTT, dan Papua Barat. Sementara itu
Provinsi Papua pada tahun 2006 memiliki PDRB sekitar 1,8 Milyar
Rupiah. Angka ini berada di atas rata-rata PDRB nasional sebagaimana
terlihat pada Gambar 5.5. Untuk kasus Provinsi Papua ini, kemungkinan
terjadi karena tingginya PDRB tidak diikuti oleh distribusi yang merata
dari pendapatan tersebut, sehingga masih banyak penduduk Papua yang
jauh dari tingkat sejahtera yang pada akhirnya tidak memprioritaskan
pendidikan dalam kehidupan masyarakatnya. Akibatnya, tingginya
PDRB di Papua tidak mempengaruhi peningkatan pencapaian outcome
program Wajardikdas 9 Tahun. Kondisi ini sejalan dengan temuan pada
akses air bersih, dimana akses air bersih di Papua berada di bawah rata-
rata nasional, yang merefleksikan rendahnya tingkat kesejahteraaan
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
66
masyarakat Papua. Dengan kata lain, apabila ingin meningkatkan
capaian outcome program Wajardikdas 9 Tahun di provinsi yang masih
di bawah rata-rata nasional, maka yang harus dilakukan adalah
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya selain
meningkatkan input dan output sektor pendidikan.
Gambar 5.5.
Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2006
Nanggroe Aceh DarussalamSumatera UtaraSumatera Barat
R i a uKepulauan Riau
J a m b iSumatera Selatan
BengkuluLampung
DKI JakartaJawa Barat
Jawa TengahDI Yogyakarta
Jawa TimurB a l i
Nusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur
Kalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur
Sulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi Selatan
Sulawesi BaratSulawesi Tenggara
M a l u k uMaluku Utara
PapuaPapua Barat
BantenBangka Belitung
Gorontalo
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500
Nanggroe Aceh DarussalamSumatera UtaraSumatera Barat
R i a uKepulauan Riau
J a m b iSumatera Selatan
BengkuluLampung
DKI JakartaJawa Barat
Jawa TengahDI Yogyakarta
Jawa TimurB a l i
Nusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur
Kalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur
Sulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi Selatan
Sulawesi BaratSulawesi Tenggara
M a l u k uMaluku Utara
PapuaPapua Barat
BantenBangka Belitung
Gorontalo
2006
Sumber: BPS
5.2.2. Akses Air Bersih
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa akses air bersih
menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Akses air
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
67
bersih merupakan rasio jumlah rumah tangga yang dapat mengakses air
bersih terhadap jumlah rumah tangga di wilayah tertentu. Semakin
tinggi akses air bersih di wilayah tersebut maka semakin tinggi tingkat
kesejahteraan masyarakat tersebut. Dari hasil regresi diperoleh adanya
hubungan yang positif antara akses air bersih dengan APM SD/MI,
APK SD/MI, APK SMP/MTs dan APM SMP/MTs. Pada tahun 2006
provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Selawesi Selatan, Maluku
Utara, Kalimantan Barat, NTT, Papua Barat dan Papua yang merupakan
delapan dari sembilan provinsi dengan capaian APK dan APM terendah
masih memiliki akses air bersih di bawah rata-rata nasional. Sedangkan
provinsi Banten memiliki akses air bersih sebesar 57,01 persen berada
di atas nilai akses bersih rata-rata nasional sebesar 48,94 persen. Akses
air bersih ini merupakan salah satu faktor yang dapat menjelaskan
capaian APM dan APK karena merupakan kebutuhan dasar yang
merefleksikan tingkat kesejahteraan suatu daerah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
68
Gambar 5.6.
Akses Air Bersih Tahun 2006
Nanggroe Aceh DarussalamSumatera UtaraSumatera Barat
R i a uKepulauan Riau
J a m b iSumatera Selatan
BengkuluLampung
DKI JakartaJawa Barat
Jawa TengahDI Yogyakarta
Jawa TimurB a l i
Nusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur
Kalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur
Sulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi Selatan
Sulawesi BaratSulawesi Tenggara
M a l u k uMaluku Utara
PapuaPapua Barat
BantenBangka Belitung
- 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00
Nanggroe Aceh DarussalamSumatera UtaraSumatera Barat
R i a uKepulauan Riau
J a m b iSumatera Selatan
BengkuluLampung
DKI JakartaJawa Barat
Jawa TengahDI Yogyakarta
Jawa TimurB a l i
Nusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur
Kalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur
Sulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi Selatan
Sulawesi BaratSulawesi Tenggara
M a l u k uMaluku Utara
PapuaPapua Barat
BantenBangka Belitung
2006
Sumber: BPS
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
69
5.2.3. Rasio Murid Sekolah
Gambar 5.7.
Rasio Murid Sekolah SD/MI Tahun 2006
Sumber: BPS
Selain akses air bersih, output sektor pendidikan seperti jumlah
sekolah juga ikut mempengaruhi APM SD/MI, APK SD/MI dan APM
SMP/MTs, APK SMP/MTs. Pada tahun 2006, kesembilan provinsi
yang memiliki capaian APK dan APM di bawah rata-rata nasional juga
memiliki rasio jumlah murid sekolah di bawah rata-rata nasional.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
70
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa jumlah sekolah di provinsi-
provinsi tersebut masih belum mencukupi. Implikasinya, jika
pemerintah ingin meningkatkan outcome program Wajardikdas 9 Tahun
di provinsi-provinsi yang memiliki APM SD/MI, APK SD/MI dan
APM SMP/MTs, APK SMP/MTs di bawah rata-rata nasional, maka
jumlah sekolah di provinsi-provinsi tersebut perlu ditingkatkan.
Gambar 5.8.
Rasio Murid Sekolah SMP/MTs Tahun 2006
Sumber: BPS
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
71
5.2.4. Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan juga mempengaruhi pencapaian APK SD/MI,
APM SD/MI dan APK SMP/MTs, APM SMP/MTs provinsi. Pada
tahun 2006, terlihat bahwa provinsi Papua Barat, Papua, Sulawesi
Tengah dan NTT juga memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi (di atas
rata-rata nasional yang bernilai sebesar 19,24 persen). Provinsi Papua
Barat dan Papua memiliki tingkat kemiskinan kedua tertinggi
dibandingkan dengan 33 provinsi lain pada tahun 2006, yaitu 41,20
persen dan 39,63 persen. Sedangkan DKI Jakarta memiliki tingkat
kemiskinan terendah pada tahun 2006, yaitu sebesar 6,78 persen. Hal ini
memperkuat dugaan awal, bahwa walaupun PDRB di provinsi Papua
tinggi, namun tidak diikuti oleh distribusi pendapatan yang merata,
akibatnya tingginya PDRB di Papua tidak meningkatkan pencapaian
outcome program Wajardikdas 9 Tahun. Hal ini semakin memperjelas
bahwa kesejahteraan suatu daerah sangat penting dalam pencapaian
outcome program Wajardikdas 9 Tahun selain output sektor pendidikan
(jumlah sekolah dan guru). Sehingga, selain dari sisi supply sektor
pendidikan, pemerintah juga perlu memperhatikan sisi permintaan
sektor pendidikan. Walaupun, jumlah sekolah banyak di suatu daerah,
namun apabila penduduknya miskin, PDRB rendah dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya (seperti akses air bersih), maka
penduduk cenderung memilih untuk bekerja dari pada sekolah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
72
Gambar 5.9.
Tingkat Kemiskinan Tahun 2006
Sumber: BPS
5.2.5. Angka Melek Huruf
Dari grafik di bawah ini dapat diketahui terdapat 6 (enam)
provinsi dengan APK dan APM di bawah rata-rata nasional mempunyai
angka melek huruf lebih rendah dari rata-rata nasional, yaitu provinsi
Kalimantan Barat, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
73
Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa pada
provinsi tersebut terkonsentrasi penyandang buta huruf.
Gambar 5.10.
Angka Melek Huruf Rata-Rata 2004-2006
Sumber: Depdiknas
Pemberantasan buta aksara, tidak sekadar mengajarkan
kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta berbahasa
Indonesia. Tetapi juga memiliki makna yang luas yaitu sebagai cara
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin agar mereka
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
74
menjadi manusia yang cerdas, sehat, produktif dan mandiri. Faktor
utama yang menjadi kendala upaya pemberantasan buta aksara adalah
masalah kemiskinan serta masih rendahnya tingkat kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan, terutama di daerah perdesaan.
Di daerah-daerah dengan tingkat ekonomi rendah, upaya untuk
menyukseskan program Wajardikdas 9 Tahun perlu didukung dengan
upaya ekstra dari pemerintah. Karena ketiadaan biaya, banyak anak usia
sekolah terpaksa membantu orang tuanya mencari nafkah.
Kendala lain adalah apresiasi dan persepsi pejabat, tokoh-tokoh
masyarakat yang tidak sama mengenai pentingnya pendidikan. Selain
itu, pemberlakuan otonomi daerah atau desentralisasi pendidikan juga
ikut berpengaruh terhadap keberhasilan pemberantasan buta aksara di
satu daerah. Ini bisa terjadi karena kalangan stakeholder belum
memiliki apresiasi atau persepsi yang sama mengenai pentingnya
masalah pendidikan.
5.2.6. Dana Alokasi Umum (DAU)
Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dikatakan sebagai
program yang krusial dalam pembangunan nasional utamanya dalam
pembangunan jangka menengah 2005-2009. Bahkan Program
Wajardikdas ini dapat dikatakan sebagai program utama Departemen
Pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat tidak saja dari alokasi
anggaran untuk program Wajardikdas 9 Tahun yang terus meningkat
setiap tahun tetapi juga porsinya yang cukup besar dibandingkan
dengan program-program lainnya yang dilaksanakan oleh Depdiknas.
Dari gambar berikut tampak bahwa porsi anggaran untuk Wajardikdas 9
tahun terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, dari 41,9 persen di
tahun 2005 hingga mencapai 48,19 persen di tahun 2008. secara
nominal anggaran Program Wajardikdas juga terus mengalami
peningkatan dari Rp.10,82 Miliar di tahun 2005 hingga Rp.23,96 Miliar
di tahun 2008.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
75
Gambar 5.11.
Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional
48,19%46,13%50,15%
41,90%
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
100.000
2005 2006 2007 2008
Rp. Miliar
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Wajardikdas 9 TahunTotal Belanja Depdiknas% Anggaran Wajardikdas 9 Tahun
Sumber: Depdiknas, 2007, diolah.
Sejak diberlkukannnya otonomi daerah pada tahun 2000,
pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola pendidikan. Namun pengelolaan pendidikan ini perlu
didukung dengan kemampuan masyarakat dalam menyelenggarakan
pendidikan dan juga kesiapan daerah dalam penyediaan dana alokasi
umum (DUA) untuk menggaji guru dan pegawai yang didaerahkan.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
76
Gambar 5.12.
Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD Kabupaten/Kota
68,98% 69,30%
76,96%
61,51% 61,53%
68,23%
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
60,00%
70,00%
80,00%
90,00%
2004 2005 2006
Kabupaten Kota
Sumber: Depatemen Keuangan, diolah.
Gaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan termasuk dalam
sistem keuangan antara pemerintah pusat dan daerah termasuk anggaran
yang didesentralisasikan melalui Dana Alokasi Umum. DAU juga
masih merupakan sumber penerimaan utama keuangan pemerintah
daerah. Baik di tingkat kabupaten maupun kota, DAU berkontribusi
hampir 70 persen dari total penerimaan APBD pemerintah daerah. Dari
gambar di bawah ini tampak bahwa kontribusi DAU terhadap
penerimaan pemerintah daerah kota relatif lebih rendah dibandingkan
kabupaten, namun secara umum rata-rata kontribusi DAU hampir
mencapai 70 persen.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
77
Gambar 5.13.
Persentase DAU Rata-Rata 2004-2006
Sumber: Depkeu
Dari Tabel 5.2. dan Gambar 5.13 dapat diketahui terdapat 3 (tiga)
provinsi yang memiliki capaian APK dan APM di bawah rata-rata
nasional memiliki persentase DAU di atas 3 persen, antara lain: Nusa
Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan. Hal ini sejalan dengan hasil
regresi dimana terdapat hubungan yang negatif antara rasio DAU
terhadap APBD dengan capaian APK dan APM, baik SD maupun SMP.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
78
Tabel 5.2.
DAU Tahun 2004-2007
PROVINSI 2004 2005 2006 Rata-
Rata
Nanggroe
Aceh
Darussalam
2,479.39 2,675.26 4,560.00 3,238.21
Sumatera
Utara 4,181.82 4,509.18 7,793.87 5,494.96
Sumatera
Barat 2,411.03 2,590.15 4,651.67 3,217.62
R i a u 1,535.93 1,542.52 1,784.68 1,621.04
Kepulauan
Riau 524.76 628.18 854.03 668.99
J a m b i 1,424.26 1,561.58 2,424.99 1,803.61
Sumatera
Selatan 2,108.36 2,271.43 3,615.54 2,665.11
Bengkulu 784.33 879.68 1,922.91 1,195.64
Lampung 2,203.78 2,393.18 3,800.62 2,799.19
DKI Jakarta 0.00 0.00 0.00 0.00
Jawa Barat 7,947.75 8,475.53 11,527.45 9,316.91
Jawa
Tengah 9,408.43 9,904.66 14,959.95 11,424.35
DI
Yogyakarta 1,268.93 1,327.24 2,049.98 1,548.72
Jawa Timur 9,983.61 10,494.00 15,795.99 12,091.20
B a l i 1,549.97 1,624.58 2,500.82 1,891.79
Nusa
Tenggara
Barat
1,485.96 1,662.16 2,594.67 1,914.26
Nusa
Tenggara
Timur
2,472.82 2,605.65 4,049.98 3,042.81
Kalimantan 1,981.35 2,148.04 4,068.60 2,732.67
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
79
Barat
Kalimantan
Tengah 1,740.56 2,072.39 3,821.82 2,544.93
Kalimantan
Selatan 1,544.27 1,741.06 2,981.65 2,088.99
Kalimantan
Timur 1,624.12 1,624.12 2,134.98 1,794.41
Sulawesi
Utara 1,118.26 1,289.81 2,354.99 1,587.69
Sulawesi
Tengah 1,435.54 1,567.76 2,785.06 1,929.45
Sulawesi
Selatan 3,532.40 3,826.82 6,076.77 4,478.66
Sulawesi
Barat 0.00 0.00 1,070.42 356.81
Sulawesi
Tenggara 942.64 1,216.15 2,466.40 1,541.73
M a l u k u 976.03 1,028.38 2,037.31 1,347.24
Maluku
Utara 571.71 664.70 1,525.57 920.66
Papua 2,556.24 2,894.64 6,441.68 3,964.19
Papua Barat 900.56 1,093.43 2,395.75 1,463.25
Banten 1,593.50 1,729.83 2,459.66 1,927.66
Bangka
Belitung 417.58 517.79 1,192.70 709.35
Gorontalo 439.56 483.48 861.86 594.97
Indonesia 73,145.42 79,043.38 129,562.34 93,917.04
Sumber: Depkeu
Hasil regresi menunjukkan bahwa rasio DAU terhadap APBD
tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan APK dan APM. Hal
ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah dalam pengalokasian
DAU tidak menjadikan sektor pendidikan dasar sebagai prioritas.
Dengan demikian untuk mendorong peningkatan capaian APK dan
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
80
APM di daerah yang masih di bawah rata-rata nasional maka
pengalokasian DAU untuk sektor pendidikan perlu menjadi prioritas.
5.2.7. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Salah satu komponen yang erat kaitannya dengan Pelaksanaan
Wajardikdas dalam kerangka desentralisasi adalah DAK bidang
Pendidikan. DAK bidang pendidikan ini bersumber dari APBN dan
dialokasikan ke daerah untuk membantu pembangunan dan rehabilitasi
fisik sarana pendidikan khususnya pendidikan dasar 9 tahun seperti unit
sekolah, ruang kelas dan perpustakaan. Porsi alokasi DAK Pendidikan
relatif cukup besar dibandingkan alokasi DAK untuk bidang lainnya.
Dari Gambar 5.14. tampak bahwa sepanjang 2004-2007, porsi alokasi
DAK Pendidikan rata-rata adalah 27,28 persen dari total alokasi DAK
setiap tahun. Porsi ini tertinggi setelah DAK bidang Infrastuktur dengan
porsi rata-rata sebesar 35,71 persen setiap tahunnya. DAK pendidikan
sendiri sangat erat kaitannya dengan desentralisasi pendidikan. Pertama,
karena alokasi DAK Pendidikan memprasyaratkan adanya dana
pendamping dari APBD yang besarnya minimal 10 persen dari alokasi
dana DAK. Hal ini mendorong peran serta pemerintah daerah dalam
pembangunan bidang pendidikan, dalam hal ini rehabilitasi fisik. Kedua,
DAK pendidikan diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan fiskal relatif lebih rendah dibandingkan daerah lainnya di
Indonesia. Tahun 2006 menggunakan acuan Indeks Fiskal Netto di bawah
1, sedangkan tahun 2007 menggunakan dasar penerimaan umum
dikurangi belanja pegawai.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
81
Gambar 5.14.
Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004-2007
6,7%
4,2%
29,5%42,1%38,3% 33,0%
23,0%
30,4%
30,5%
25,3%
16,1%
19,8%
15,5%
20,8%
10,8%6,4%
8,0%8,7%9,5%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2004 2005 2006 2007
Infrastruktur
Pendidikan
Kesehatan
Kelautan Perikanan
PertanianPrasarana Pemerintahan
Keterangan:
- Alokasi DAK bidang Pertanian sejak tahun 2005.
- Alokasi DAK Bidang Lingkungan Hidup sejak 2006
- Alokasi Infrastruktur sejak tahun 2005 termasuk infrastruktur air bersih.
Sumber: Departemen Keuangan, berbagai periode, diolah.
Ketiga, DAK Pendidikan diprioritaskan bagi daerah-daerah tertinggal
dan terpencil, daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan, daerah
rawan banjir, daerah rawan pangan serta kriteria-kriteria lainnya terkait
dengan karakteristik daerah. Keempat, alokasi DAK Pendidikan
dikelola langsung oleh sekolah sebagai satuan pendidikan terendah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
82
Gambar 5.15.
Persentase DAK Rata-Rata Tahun 2004-2006
Sumber: Depkeu
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
83
Tabel 5.3.
DAK Tahun 2004-2006
PROVINSI 2004 2005 2006 Rata-
Rata
Nanggroe
Aceh
Darussalam
156.09 229.55 592.80 326.15
Sumatera
Utara 184.97 221.89 645.95 350.94
Sumatera
Barat 132.54 191.24 466.48 263.42
R i a u 0.00 8.33 161.58 56.64
Kepulauan
Riau 8.00 12.56 81.76 34.11
J a m b i 87.22 110.54 200.36 132.71
Sumatera
Selatan 57.16 66.57 312.81 145.51
Bengkulu 47.22 85.22 292.78 141.74
Lampung 92.54 99.01 308.39 166.65
DKI Jakarta 0.00 0.00 0.00 0.00
Jawa Barat 130.53 117.91 685.68 311.37
Jawa
Tengah 212.58 295.99 897.17 468.58
DI
Yogyakarta 45.66 51.41 126.50 74.52
Jawa Timur 241.46 257.63 914.09 471.06
B a l i 72.03 90.21 235.59 132.61
Nusa
Tenggara
Barat
69.02 103.28 291.01 154.44
Nusa
Tenggara
Timur
136.60 212.92 492.05 280.52
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
84
Kalimantan
Barat 99.15 145.91 352.96 199.34
Kalimantan
Tengah 94.34 174.81 378.72 215.96
Kalimantan
Selatan 95.43 159.49 326.60 193.84
Kalimantan
Timur 5.00 56.14 213.10 91.41
Sulawesi
Utara 70.34 110.20 314.21 164.92
Sulawesi
Tengah 90.72 119.71 286.43 165.62
Sulawesi
Selatan 220.14 275.00 649.79 381.64
Sulawesi
Barat 37.05 56.40 147.01 80.15
Sulawesi
Tenggara 54.08 101.69 321.56 159.11
M a l u k u 52.20 86.47 250.85 129.84
Maluku
Utara 51.15 88.11 283.65 140.97
Papua 109.52 218.24 656.74 328.17
Papua Barat 52.73 99.06 259.95 137.25
Banten 36.93 50.23 99.68 62.28
Bangka
Belitung 39.79 41.78 178.44 86.67
Gorontalo 31.21 44.73 104.44 60.13
Indonesia 2,813.40 3,982.23 11,529.08 6,108.24
Sumber: Depkeu
Dari hasil regresi diketahui bahwa besarnya rasio DAK terhadap
APBD secara positif mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pencapaian APK dan APM SD dan SMP. Selanjutnya, dari grafik dan
tabel tersebut di atas maka dapat kita ketahui beberapa daerah dengan
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
85
capaian APK dan APM di bawah rata-rata nasional yang memperoleh
porsi DAK di bawah 3 persen, antara lain: Banten, Sulawesi Barat,
Papua Barat, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Pada tahun 2004-
2006, hampir seluruh provinsi-provinsi yang memiliki APK dan APM
di bawah rata-rata nasional, kecuali provinsi Papua, provinsi Sulawesi
Selatan, dan provinsi Nusa Tengara Timur, memiliki dana alokasi
khusus di bawah rata-rata nasional. Implikasi temuan ini, baik dari hasil
regresi maupun analisis kualitatif adalah apabila pemerintah ingin
meningkatkan APK dan APM di provinsi-provinsi yang memiliki APK
dan APM di bawah rata-rata nasional, maka pemerintah perlu
mendorong peningkatan input di sektor pendidikan seperti jumlah
sekolah dan guru dengan pembiayaan yang bersumber dari DAK.
5.2.8. Rasio Murid Guru
Guru merupakan salah satu pilar atau komponen utama yang
dinamis dalam mencapai tujuan pendidikan serta untuk mewujudkan
pendidikan yang bermutu. Pendekatan yang berorientasi pada perbaikan
sarana dan prasarana tidak mampu mengangkat mutu pendidikan secara
berarti. Suatu kenyataan di lapangan banyak fasilitas pembelajaran
seperti peralatan laboratorium, referensi pustaka, studio atau workshop
yang ada di sekolah tidak termanfaatkan secara optimal oleh sekolah.
Ruang laboratorium dijadikan ruang kelas, ruang perpustakaan
dipersempit dan dijadikan ruang guru bahkan gudang. Salah satu faktor
penyebab adalah guru tidak siap untuk memanfaatkan fasilitas yang
diberikan oleh berbagai macam proyek yang ditujukan ke sekolah
tersebut. Oleh karena itu, maka pencapaian standar kompetensi guru
merupakan suatu keharusan. Sebab tanpa ada standar maka jaminan
kepada stakeholder tidak mungkin terpenuhi secara optimal.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
86
Gambar 5.16.
Rasio Murid Guru
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
87
Sumber: Depdiknas
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
88
Rasio murid guru merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi APK dan APM. Rasio murid per guru, yaitu rasio yang
menunjukkan jumlah murid (siswa) yang diampu oleh 1 (satu) orang
guru. Semakin kecil angka ini, semakin baik karena guru tersebut akan
dapat memberi perhatian lebih pada murid-muridnya daripada jika guru
tersebut mengampu murid lebih banyak. Namun, jumlah guru di
Indonesia saat ini masih dirasakan kurang apabila dikaitkan dengan
jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas
dengan jumlah guru yang tersedia saat ini masih belum proporsional,
sehingga tidak jarang satu ruang kelas diisi lebih dari 30 anak didik.
Angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar
yang dianggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20
anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang
maksimal. Data antara tahun 2001/02-2005/06 menunjukkan bahwa tren
rasio siswa per guru semakin kecil, kecuali untuk MTs, dimana pada
tahun 2003/2004 dan 2004/2005 menurun, tetapi pada tahun berikutnya
meningkat kembali.
Gambar 5.17.
Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/2002-2005/2006
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
89
Secara rata-rata rasio siswa per guru pada tahun 2005 dan 2007
masing-masing sebesar 21 dan 19 siswa per guru. Selain itu, distribusi
guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tidak meratanya angka
rasio siswa per guru antar daerah serta kesenjangan pendidikan guru
tiap daerah. Jika dilihat rasio siswa per guru per daerah maka akan
terlihat perbedaan antar daerah. Pada tahun 2005, secara nasional rata-
rata rasio siswa per guru sebesar 21 siswa per guru, dimana terdapat
beberapa provinsi dengan rasio yang lebih besar dari rata-rata,
diantaranya provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Banten.
Kemudian pada tahun 2007, secara nasional rata-rata rasio siswa per
guru adalah sebesar 19 siswa per guru, hal ini mengindikasikan kinerja
yang lebih baik. Pada tahun tersebut terdapat beberapa provinsi yang
rasionya di atas rata-rata nasional, antara lain Nusa Tenggara Timur,
Papua, Kalimantan Barat, Banten dan Papua Barat.
Gambar 5.18.
Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2006
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Tingkat Sekolah Dasar Tingkat Sekolah Menengah
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
90
Lebih jauh, selain kuantitas maka perlu diperhatikan juga kinerja
kualitas guru, yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan kepala sekolah
dan guru. Semakin tinggi pendidikannya tentu saja kualitasnya semakin
bagus. Tingkat pendidikan dari kepala sekolah dan pengajar ini juga
sekaligus memcerminkan tingkat kelayakan guru. Apabila dilihat dari
mutu SDM dalam hal ini guru, maka persentase guru yang layak
mengajar pada jenjang SD/MI yaitu 15 persen layak dan masih 85
persen yang tidak layak. Sedangkan untuk SMP dan MTs, sebesar
60 persen layak dan sisanya 40 persen tidak layak. Mutu guru juga
menunjukkan kinerja sekolah, hal itu terlihat pada kesesuaian ijasah
guru dengan bidang studi yang diajarkan.
Tabel 5.4.
Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah
dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006
Jenjang
Pendidikan Negeri % Swasta % Jumlah %
SD & MI
Layak 178,052 14 27,958 26 206,010 15
Tidak Layak 1,060,788 86 80,048 74 1,140,836 85
Jumlah 1,238,840 100 28,038 100 1,346,846 100
SMP & MTs
Layak 247,560 63 124,331 56 371,891 60
Tidak Layak 146,634 37 97,839 44 244,473 40
Jumlah 394,194 100 97,963 100 616,364 100
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
91
Jika membandingkan kelayakan guru di sekolah swasta dan
sekolah negeri maka diketahui bahwa kelayakan guru lebih tinggi di
sekolah swasta daripada sekolah negeri. Dari data tahun 2006 di
bawah ini terlihat bahwa untuk SD dan MI negeri pengajar yang
layak mengajar sebesar 14 persen, sedangkan untuk SD dan MI
swasta sebesar 21 persen. Sebaliknya untuk SMP dan MTs, pengajar
yang layak mengajar lebih besar di SMP dan MTs negeri, yaitu
sebesar 63 persen. Untuk SMP dan MTs swasta sebesar 56 persen.
Gambar 5.19.
Persentase Guru SD dan SMP
yang Layak Mengajar Tahun 2007
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
92
Persentase guru yang layak mengajar di tiap daerah juga berbeda.
Beberapa provinsi yang tingkat kelayakan gurunya rendah sebagian
besar terletak di Kawasan Timur Indonesia seperti seluruh provinsi di
Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Maluku serta sebagian provinsi di
Sumatera, yaitu Lampung, Bengkulu, Jambi dan Bangka Belitung.
Namun secara umum persentase rata-rata guru yang layak mengajar
pada tahun 2007 adalah sebesar 10.87 persen.
Guna memenuhi amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen yang mensyaratkan guru harus berkualifikasi akademik
minimal S1 atau D-4, maka Depdiknas telah melakukan berbagai upaya
kebijakan dalam rangka meningkatkan kualifikasi guru, mulai dari guru
TK sampai SMA/ SMK/MA. Dari jumlah keseluruhan sekitar 2,7 juta
guru, 1.528.472 orang guru berstatus PNS. Sedangkan, sisanya yaitu
1.254.849 guru berstatus non-PNS. Guru berstatus PNS dengan
kualifikasi S1/D4 dan di atas S1/ D4, sebanyak 539.406 (43 persen),
dan yang berkualifikasi pendidikan di bawah S1/D4 sebanyak 989.983
(66 persen). Sedangkan untuk guru nonPNS yang berkualifikasi
pendidikan S1/D4 sekitar 502.667 (42 persen) dan yang berkualifikasi
di bawah S1/D4 sekitar 657.741 (58 persen). Dengan demikian, dari
jumlah keseluruhan guru berkualifikasi S1/D4 adalah sekitar 1.042.073
(38,6 persen), sedangkan yang berkualifikasi di bawah S1/D4 sekitar
1.656.548 (61,4 persen). Ini berarti persentase guru yang berkualifikasi
S1/D4 meningkat 6,1 persen. Kenaikan ini berkat beasiswa peningkatan
kualifikasi guru dari APBN Depdiknas sebesar Rp. 382.395.000.000
bagi 191.271 guru, APBN Depag, APBD, serta kontribusi para guru itu.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
93
Gambar 5.20
Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun 2007
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Berkaitan dengan upaya peningkatan mutu guru, salah satu
program yamg telah dilaksanakan adalah program sertifikasi. Sertifikat
profesi guru diterbitkan oleh perguruan tinggi penyelenggara
pendidikan profesi di atas S1, seperti pendidikan profesi akuntansi,
apoteker, dokter, dokter gigi, guru, notaris, dan psikolog. Sebenarnya,
pendidikan tinggi profesi sudah berlangsung cukup lama kecuali untuk
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
94
guru. Dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi guru, pada tahun
2007 telah dimulai program sertifikasi profesi guru dengan memberikan
kuota sejumlah 200.450 orang untuk mengikuti sertifikasi guru melalui
penilaian portofolio. Dari sejumlah kuota tersebut, sebanyak 185.328
guru atau 96,7 persen dinyatakan lulus sebagai guru professional dan
memiliki sertifikat pendidik. Di samping pelaksanaan sertifikasi guru
dalam jabatan melalui penilaian portofolio, Depdiknas juga
menyelenggarakan sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Peserta
sertifikasi guru melalui jalur pendidikan diwajibkan mengikuti
pendidikan selama dua semester dan diberikan beasiswa penuh.
Sejumlah 769 guru dalam jabatan mengikuti pendidikan profesi di 27
perguruan tinggi yang telah ditetapkan dan selesai pada bulan
November 2008. Sampai dengan tahun 2007, secara nasional kelulusan
guru mencapai 89,41 persen. Papua dan Papua Barat mempunyai
persentase kelulusan terendah, masing-masing sebesar 27,07 persen dan
32,63 persen.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
95
BAB VI
KESIMPULAN
1. Dari hasil regresi menunjukkan bahwa secara nasional faktor-faktor
yang secara signifikan positif mempengaruhi capaian APK SD/MI
adalah rasio PDRB terhadap rata-rata nasional dan akses terhadap
air bersih. Variabel rasio murid guru, rasio murid sekolah, rasio
DAU terhadap APBD dan tingkat kemiskinan berpengaruh terhadap
capaian APK SD/MI secara negatif. Demikian juga dengan APM
SD/MI, ditambah dengan variabel rasio DAK terhadap APBD.
Variabel-variabel tersebut juga mempengaruhi capaian APK
SMP/MTs.
2. Sedangkan untuk APM SMP/MTs hanya dipengaruhi oleh rasio
PDRB terhadap rata-rata nasional, rasio DAU terhadap APBD,
angka melek huruf, serta rasio DAK terhadap APBD. Dengan
perkataan lain APM SMP/MTs tidak dipengaruhi faktor output
SMP/MTs, yaitu rasio murid guru SMP/MTs dan rasio murid
sekolah SMP/MTs.
3. Koefisien untuk PDRB, akses air bersih, rasio murid guru, rasio
murid sekolah, tingkat kemiskinan dan rasio DAK terhadap APBD
menunjukkan tanda positif sesuai yang diharapkan. Sedangkan
untuk koefisien rasio DAU terhadap APBD tidak memberikan tanda
sesuai yang diharapkan.
4. Meningkatkan Angka Partisipasi Murni SD/MI dan Angka
Partisipasi Kasar SMP/MTs, tidak hanya memerlukan peran dari
faktor output (jumlah guru dan jumlah sekolah), tapi juga
memerlukan peran dari karakteristik sosial ekonomi populasi.
Rumah tangga di daerah miskin tidak dapat menyelokahkan anak-
anaknya, walaupun mereka memiliki akses terhadap pendidikan,
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
96
karena anak-anak mereka harus membantu orang tuanya mencari
nafkah (opportunity cost untuk bersekolah sangat tinggi).
5. Penetapan besarnya anggaran program pendidikan di tingkat
pemerintahan daerah sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah
daerah, sehingga besaran dan komposisi alokasi anggaran
pendidikan termasuk pendidikan dasar juga bervariasi. Secara
umum alokasi anggaran pendidikan masih terfokus pada kegiatan-
kegiatan yang bersifat fisik. Sebagai konsekuensinya, anggaran
yang berkaitan langsung dengan peserta didik atau layanan
pendidikan masih terbatas. Hal ini erat kaitannya dengan instrumen
penerimaan pemerintah daerah yang secara umum masih banyak
bersumber dari alokasi dana perimbangan pemerintah pusat,
utamanya DAU dan DAK.
6. Masih lebarnya kesenjangan alokasi anggaran pemerintah daerah
kepada sektor pendidikan. Di tingkat provinsi misalnya,
kesenjangan yang cukup lebar tampak dari anggaran untuk
pendidikan dasar dan menengah per jumlah penduduk usia 7-15
tahun. Di provinsi-provinsi seperti Gorontalo, Maluku Utara,
Kepulauan Riau, Bangka Belitung justru jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan provinsi seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Lampung dan Jawa Barat.
7. Rasio murid guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
APK dan APM. Namun, jumlah guru di Indonesia saat ini masih
dirasakan kurang apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang
ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag
tersedia saat ini masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang
satu ruang kelas diisi lebih dari 30 anak didik. Angka yang jauh dari
ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap
efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik
untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
Secara rata-rata rasio murid per guru pada tahun 2005 dan 2007
masing-masing sebesar 21 dan 19. Selain itu, distribusi guru yang
kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
97
pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tidak meratanya
angka rasio murid per guru antar daerah serta kesenjangan
pendidikan guru tiap daerah.
8. Kualitas guru juga sangat memprihatinkan. Apabila dilihat dari
mutu guru, maka persentase guru yang layak mengajar pada
jenjang SD dan MI yaitu 15 persen layak dan 85 persen tidak
layak. Sedangkan untuk SMP dan MTs, sebesar 60 persen layak
dan sisanya 40 persen tidak layak. Realitas semacam ini, pada
akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
98
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
______________, 1965. Illustrated World Encyclopedia, Bobley
Publishing Company.
______________, 1965.The World University Encyclopedia,
Publishing Company, Washington.
______________, 1994. Inpres No.1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
______________, 2006. Inpres No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan
Buta Aksara.
______________, 2007.Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
______________, 1993. Encyclopedia Americana, Glolier,
Incorporated.
______________, 2003. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
______________, 2003. Desentralisasi Pendidikan Butuh Kejelasan
Kewenangan, KOMPAS, 18 Desember.
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
99
______________, 2007. Akibat Desentralisasi Pendidikan,
www.wawasandigital.com, 24 Juli.
_____________,2008. Prospek dan Tantangan Desentralisasi
Pendidikan, http://caturratna.wordpress.com, 10 Juni.
Bayhaqi, Akhmad, 2004. Decentralization in Indonesia: The Possible
Impact on Education (Schooling) and Human Resource
Development for Local Regions, LPEM-UI.
Bentri, Alwen.,et.al “Efektifitas Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan
Tahun di Sumatera Barat. Universitas Negeri Padang
Bruce Joyce, Improving America’s Schools. Longman Publishing Group
(January 1986)
Charles P. Cozic , Education in America, Greenhaven Pr, 1992
Depdiknas, 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
2005-2009, Desember.
______________, Lakip 2005-2008
http://endang965.wordpress.com/2007/05/06/potret-pendidikan-di-
jepang
http://forum.wgaul.com/archive/thread/t-47086-Pendidikan -di-Amerik-
Serikat.html
http://one.indoskripsi.com/content/sistem-pendidikan-di-argentina
http://panmohamadfaiz.com/2007/08/29/hukum-dan-pendidikan-di-
india
Kingdon, Geeta Gandhi. (2007).”The Progress of School Education in
India”. Global Poverty Research Group (GPRG) and
Economic and Social Research Council (ESRC)
Pereira, J and M.St.Aubyn. 2008. Jurnal Economics of Education
Review xxx
Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun
100
SMERU “Kajian Cepat PKPS-BBM bidang Pendidikan: Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) 2005” September 2006
Subroto, Purwanto, 2007. Financing education Sectot Under the Curret
Decetralized System in Indonesia: Disparities in
Education Expenditures per Student at Public Junior
Secondary Schools, University of Pittsburgh, June.
Toyamah N., Usman S, 2004. Alokasi Anggaran Pendidikan di Era
Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan
Pelayanan Pendidikan Dasar, SMERU, Juni.
Tiedao, Zhang., Minxia, Zhao., Xueqin, Zhao., Xi, Zhang and Yan,
Wang. (2004).”Universalizing Nine-Year Compulsory
Education for Poverty Reduction in Rural China.
Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning
Process and Conference. Shanghai.
Usman S.,dkk, 2008. Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi
Khusus (DAK), SMERU, April.
World Bank:Poverty Reduction & Economic Management Unit East
Asia & Pacific Region “ Investing in Indonesia’s
Education: Allocation, Equity & Efficiency of Public
Expenditure”. Januari 2007
Wu, F. et all. 2008. Jurnal Economics of Education Review 27. Hal
308-318