TUGAS KELOMPOK
FARMAKOLOGI GIZI
OLEH:1. MARDHIATI2. FADILLAH NUR QALBI3. IRNA DEWI YUNINGSIH4. FLORINA YULINDA5. HANIKO
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak beberapa tahun yang lalu, pola pengontrolan kualitas dan pemakaian
klinik obat dipengaruhi oleh suatu disiplin ilmu yang mempelajari nasib obat dalam
tubuh. Disiplin ilmu tersebut kita kenal dengan nama "Farmakokinetika".
Kata " farmakokinetika" berasal dari kata-kata "pharmacon", kata Yunani
untuk obat dan racun, dan "kinetic". Jadi "farmakokinetika" adalah ilmu yang
mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam tubuh.
Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh meliputi proses
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Untuk memahami kinetika obat
dalam tubuh tidak cukup hanya dengan menentukan dan mengetahui perkembangan
kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchanged compound), tetapi juga meliputi
metabolitnya.
Bagian tubuh di mana konsentrasi/jumlah obat dan atau metabolitnya
ditentukan biasanya darah (plasma/serum), ekskreta (urin, faeses, ludah, dan lain-
lain), atau jaringan tubuh lain.
Untuk bidang farmasi klinik, farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan
yang cukup penting, yaitu :
a. Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat. Apakah harus secara
injeksi intravena, atau bisa dengan route lain seperti secara oral, rektal, dan lain-
lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan biologis obat setelah
pemberian dalam berbagai route pemberian, dan dengan mempertimbangkan
profil kinetika obat yang dihasilkan oleh berbagai route pemberian tersebut.
b. Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang tepat
untuk setiap individu (dosage regimen individualization). Sampai dengan saat ini
cara identifikasi farmakokinetika merupakan cara yang paling tepat untuk
pengindividualisasian dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah keija
terapeutik yang sempit seperti teofilin, dan lainlain.
c. Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan dosis yang
rasional.
d. Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat
dengan obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa deskripsi kerja obat?
2. Bagaimana mekanisme kerja obat di dalam tubuh?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan deskripsi obat.
2. Mengetahui bagaimana mekanisme kerja obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Farmakokinetika adalah segala proses yang dilakukan tubuh terhadap obat berupa
absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi. Tubuh kita dapat dianggap
sebagai suatu ruangan besar, yang terdiri dari beberapa kompartemen yang terpisah oleh
membran-membran sel. Sedangkan proses absorpsi, distribusi dan ekskresi obat dari dalam
tubuh pada hakekatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena proses ini
tergantung pada lintasan obat melalui membran tersebut.
Membran sel terdiri dari suatu lapisan lipoprotein (lemak dan protein) yang
mengandung banyak pori-pori kecil, terisi dengan air. Membran dapat ditembus dengan
mudah oleh zat-zat tertentu, dan sukar dilalui zat-zat yang lain, maka disebut semi permeable.
Zat-zat lipofil (suka lemak) yang mudah larut dalam lemak dan tanpa muatan listrik
umumnya lebih lancar melintasinya dibanding kan dengan zat-zat hidrofil dengan muatan
(ion).
Adapun mekanisme pengangkutan obat untuk melintasi membran sel ada dua cara:
a. Secara pasif, artinya tanpa menggunakan energi.
· Filtrasi, melalui pori-pori kecil dari membran misalnya air dan zat hidrofil.
· Difusi, zat melarut dalam lapisan lemak dari membran sel, contoh ion anorganik.
b. Secara aktif, artinya menggunakan energi.
Pengangkutan dilakukan dengan mengikat zat hidrofil (makromolekul atau ion) pada
enzim pengangkut spesifik. Setelah melalui membran, obat dilepaskan lagi. Cepatnya
penerusan tidak tergantung pada konsentrasi obat, Contohnya glukosa, asam amino asam
lemak, garam besi, vitamin B1,B2 dan B12.
Absorbsi
Proses absorpsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada umumnya obat
yang tidak diabsorpsi tidak menimbulkan efek. Kecuali antasida dan obat yang bekerja
lokal. Proses absorpsi terjadi diberbagai tempat pemberian obat, misalnya melalui alat
cerna, otot rangka, paru-paru, kulit, dan sebagainya.
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya melalui saluran cerna (mulut sampai dengan
rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat per oral akan diabsorpsi
melalui usus halus (kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut pada
tempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah di tempat obat
melarut.
Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang sudah
terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk
itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu
mempercepat kelarutan obat.
pH adalah derajat keasaman atau kebasaan jika zat berada dalam bentuk larutan. Obat
yang terlarut dapat berupa ion atau non ion. Bentuk non-ion relatif lebih mudah larut
dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran, karena sebagian besar membran
sel tersusun dari lemak. Kecepatan obat menembus membran dipengaruhi oleh pH obat
dalam larutan dan pH dari lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam lemah akan
mudah menembus membran sel pada suasana asam, karena obat relatif tidak terionisasi
atau bentuk ionnya sedikit. Sebaliknya obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah
diabsorpsi di usus halus karena juga relatif tidak terionisasi.
Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Kelarutan obat.
2. Kemampuan difusi melintasi sel membran
3. Konsentrasi obat.
4. Sirkulasi pada letak absorpsi.
5. Luas permukaan kontak obat.
6. Bentuk sediaan obat
7. Cara pemakaian obat.
Penetrasi zat-zat melalui membran biologis dengan dua cara, yaitu:
a. Difusi pasif
Proses absorpsi karena perbedaan konsentrasi, dengan perjalanan obat
terutama dari tempat yang konsentrasi tinggi ke tempat konsentrasi rendah. Laju
difusi atau transpor melewati membran (dc/dt) menurut hukum Fick’s pertama, yaitu:
(dc/dt) = Ka (C1 – C2)
Dimana:
C1 = Konsentrasi obat pada tempat absorpsi
C2 = Konsentrasi obat pada sisi membran yang lain
Ka = Konstanta pembanding
dc/dt = Laju difusi
Ka tergantung pada koefisien difusi dari obat, ketebalan dan luas membran yang
mengabsorbsi serta permeabilitas membran terhadap obat-obat tertentu. Membran sel
bersifat lipoid sehingga sangat permeabel terhadap zat-zat yang larut dalam lemak.
Makin besar afinitasnya untuk lemak dan makin hidrofobik zat tersebut, makin cepat
laju penetrasinya ke dalam membran yang kaya lemak. Membran mengandung pori-
pori yang berisi air atau saluran-saluran yang dapat menyebabkan lewatnya air dan
zat-zat yang tidak larut lemak Pori-pori tersebut ukurannya berbeda dari membran
yang satu ke membran yang lainnya sehingga sifat permeabilitas individual untuk
obat-obat tertentu dan zat-zat lainnya sangat khas.
Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk tidak terion dari obat dibandingkan
dengan bentuk terionnya, karena:
Kelarutan dari bentuk tak terion yang lebih besar dalam lemak
sifat muatan membran sel banyak yang menghasilkan pengikatan dan penolakan
obat terion. ion-ion menjadi dihidrasi melalui penggabungan dengan molekul-
molekul air (partikel yang lebih besar daripada molekul yang tidak terdisosiasi).
Melalui mekanisme transpor khusus
Asam-asam amino dan glukosa membentuk kompleks antara obat
denganpembawa (carrier) yang ada dimembran misalnya enzim atau zat lain.
Yangtermasuk mekanisme transpor khusus adalah:
Transpor aktif
Difusi dengan bantuan (facilitated diffusion)
Distribusi
Obat setelah diabsorpsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh tubuh
dan harus melalui membran sel agar tercapai tepat pada efek aksi. Molekul obat yang
mudah melintasi membran sel akan mencapai semua cairan tubuh baik intra maupun
ekstra sel, sedangkan obat yang sulit menembus membran sel, penyebarannya
umumnya terbatas pada cairan ekstra sel.
Kadang-kadang beberapa obat mengalami kumulatif selektif pada beberapa
organ dan jaringan tertentu, karena adanya proses transport aktif, pengikatan dengan
zat tertentu atau daya larut yang lebih besar dalam lemak. Kumulasi ini digunakan
sebagai gudang obat (protein plasma, umumnya albumin, jaringan ikat dan jaringan
lemak). Selain itu ada beberapa tempat lain misalnya tulang, organ tertentu, dan
cairan transel yang dapat berfungsi sebagai gudang untuk beberapa obat tertentu.
Distribusi obat kesusunan saraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus yaitu
sawar darah otak dan sawar uri. Obat yang mudah larut dalam lemak pada umumnya
mudah menembusnya.
Metabolisme (Biotransformasi)
Tujuan biotransformasi obat adalah perubahan obat sedemikian rupa sehingga
mudah diekskresikan oleh ginjal, dalam hal ini menjadikannya lebih hidrofil. Pada
umumnya obat dimetabolisme oleh enzim mikrosom di retikulum endoplasma sel
hati. Pada proses metabolisme molekul obat dapat berubah sifat antara lain menjadi
lebih polar. Metabolit yang lebih polar ini menjadi tidak larut dalam lemak sehingga
mudah diekskresi melalui ginjal. Metabolit obat dapat lebih aktif dari obat asal
(bioaktivasi), tidak atau berkurang aktif (detoksifikasi atau bio-inaktivasi) atau sama
aktifitasnya. Proses metabolisme ini memegang peranan penting dalam mengakhiri
efek obat. biotransformasi obat mengakibatkan konversinya menjadi suatu senyawa
yang lebih mudah larut dalam air, lebih mudah terionisasi, kemampuan mengikat
protein plasma dan jaringan kurang, kemampuan disimpan dalam jaringan lemak
kurang, dan kurang mampu mempenetrasi membran sel, dengan demikian
menyebabkan senyawa kurang aktif sehingga menjadi kurang toksis dan lebih mudah
diekskresikan.
Ada empat reaksi kimia pokok yang terlibat dalam metabolisme obat:oksidasi,
reduksi, hidrolisis, dan konjugasi.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi metabolisme:
· Fungsi hati, metabolisme dapat berlangsung lebih cepat atau lebih lambat,
sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau lebih kuat dari yang kita harapkan..
· Usia, pada bayi metabolismenya lebih lambat.
· Faktor genetik (turunan), ada orang yang memiliki faktor genetik tertentu yang
dapat menimbulkan perbedaan khasiat obat pada pasien.
· Adanya pemakaian obat lain secara bersamaan, dapat mempercepat metabolisme
(inhibisi enzim).
Ekskresi
Pengeluaran obat atau metaboliknya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal
melalui air seni, dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit maupun bentuk asalnya.
Disamping ini ada pula beberapa cara lain, yaitu:
· Kulit, bersama keringat.
· Paru-paru, dengan pernafasan keluar, terutama berperan pada anestesi umum,
anestesi gas atau anestesi terbang.
· Hati, melalui saluran empedu, terutama obat untuk infeksi saluran empedu.
· Air susu ibu, misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan alkaloid lain.
Harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek farmakologi atau toksis pada
bayi.
· Usus, misalnya sulfa dan preparat besi .
Obat dieliminasikan dengan berbagai rute, yaitu:
Ginjal
Feses untuk obat yang sukar diabsorpsi dan tinggal dalam saluran lambung usus
setelah pemberian oral.
empedu bila reabsorpsi obat dari saluran lambung-usus minimal.
Paru-paru untuk obat yang mudah menguap melalui ekspirasi pernapasan.
Kelenjar keringat, air liur, dan susu
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Tempat ekskresi obat lainnya
adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit, keringat, air liur, dan air susu
(Batubara, 2008). Obat dieksresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metaboliknya. Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi
glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang
tubulus.
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi glomerulus
masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni minus plasma
protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat
protein akan tetap tinggal dalam darah. Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada
kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk
partikel, dan jumlah pori glomerulus.
Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke tubulus melalui
sekresi di tubulus proksimal. Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transport
aktif, jadi memerlukan carrier (pembawa) dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah
ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-
gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel epitel
dengan selektivitas berbeda.
Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi
kembali ke sirkulasi sistemik. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk
bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada
pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada
keracunan suatu obat asam atau obat basa.
Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai waktu
paruhnya (T1/2). Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga kadar obat
dalam darah atau jumlah obat dalam tubuh tinggal separuhnya. Perlambatan eliminasi
obat dapat disebabkan oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga
memperpanjang waktu paruhnya.
Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar
bersama feses. Selain itu, ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anestetik
umum. Ekskresi dalam ASI, saliva, keringat dan air mata secara kuantitatif tidak
penting. Ekskresi ini bergantung terutama pada difusi pasif dari bentuk non-ion yang
larut lemak melalui sel epitel kelenjar, dan pada pH.
Parameter dalam proses farmakokinetik meliputi volume distribusi, bersihan
(clearance), bioavailabilitas, dan waktu paruh. Volume distribusi (Vd) adalah volume
perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam tubuh. Semakin besar nilai volume
distribusi, semakin luas distribusinya. Besarnya volume distribusi ditentukan oleh
ukuran dan komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan
dengan berbagai jaringan.
Bersihan (clearance) adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau
volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu). Bersihan
total adalah jumlah bersihan dari berbagai organ, seperti hepar, ginjal, empedu, paru-
paru, dan lain-lain. Bersihan obat-obat yang tidak diubah melalui urin merupakan
bersihan ginjal. Di dalam hati, bersihan obat melalui biotransformasi obat parent drug
menjadi satu atau lebih metabolik, atau ekskresi obat yang tidak diubah (unchanged
drug) ke dalam empedu, atau kedua-duanya.
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Deskripasi Kerja Obat
Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah obat tidak
menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi mengubah fungsi
fisiologis. Obat dapat melindungi sel dari pengaruh agents kimia lain, meningkatkan
fungsi sel, atau mempercepat atau memperlambat proses kerja sel. Obat dapat
menggantikan zat tubuh yang hilang (contoh, insulin, hormon tiroid, atau estrogen).
2.2 Mekanisme Kerja Obat
Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau
dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah zat
kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung). Obat-
obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat sel
berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum
ialah terikat pada tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor
berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor
saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan,
efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok
reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada preparat
digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi),
farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis.
Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau intravena, maka tidak
terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses
(subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam
fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
A. Fase Farmasetik (Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik(disolusi)
adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu
dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus
didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan
proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan
pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat
mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa
tambahan dalam obat sperti ion kalium (K)dan natrium (Na)dalam kalium penisilin
dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat
buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung.
Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih
banyak diabsorbsi.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang
lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu
dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang
dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk
diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh
saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat
berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang
mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai
keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih
lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung.
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat disintegrasi
oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana
basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di dalam lambung untuk
jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat demikian kurang efektif atau
efek mulanya menjadi lambat.
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan
absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga
cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
B. Fase Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh,
mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan
perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat,
memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan
mengobservasi respons klien.Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah :
absorpsi, distribusi, metabolism (biotransformasi), dan ekskresi(eliminasi).
Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi
dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif,
absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis.
Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier
atau pembawa untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti
membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan,
makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor,
atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang
padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung,
sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi
aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga
menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute
pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.
Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada
absorpsi obat, bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat
ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan
saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa
dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus
melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara
keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling
cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi
sistemik.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung
pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia
dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul.
Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia
pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa
lambung dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum
mencapai usus halus.
Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah
diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek
lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan
kulit. Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena
obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah.
Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam
jaringan.Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus
mengkaji adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau jaringan perut
bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai
darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan
per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang
disuntikan per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat
lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila
perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian
obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke
duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida
membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati
lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan
tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan
pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu tidak
larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam saluran
cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan.
Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda,
berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet
maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan
tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu
perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran
cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam
saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh
makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat
yang diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium
(Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau
segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi
obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan
tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai
tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa
buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker
rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan
jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika
sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan
komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein.
Dinamika Sirkulasi
Obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang intravaskuler
daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh
kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau
berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat
tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat
vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah
jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah
sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat
suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi
obat.
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier
darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam
otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani dengan
antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula spinalis.
Klien lansia dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat perubahan
permeabilitas barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak
lebih mudah. Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap
obat. Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat
menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk),
depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat.
Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat selama masa hamil.
Berat dan Komposisi Badan
Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah
jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan
berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh
dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna. Contoh tentang hal ini
dapat ditemukan pada klien lansia. Karena penuaan, jumlah cairan tubuh
berkurang, sehingga obat yang dapat larut dalam air tidak didistribusikan dengan
baik dan konsentrasinya meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan
persentase leak tubuh secara umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja
obat menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat.
Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan
tubuhnya, dan dan efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami
penurunan massa jaringan tubuh dan tinggi badan dan seringkali memerlukan
dosis obat yang lebih rendah daripada klien yang lebih muda.
Ikatan Protein
Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan
protein (terutama albumin). Dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah
satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazeipam (valium)
yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan
termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan
bersifat inaktif,dan bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja
bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan
proteinyang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik.
Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan
protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan
demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang
diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan
protein.
Metabolisme Atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat
diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit
inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat
ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons
farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis,
mempengaruhi metabolisme obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90%
obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan
waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh pertama
untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6jam untuk
mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh
keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu
paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang.
Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka
diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut
seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai
farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
Ekskresi atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas yang
tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat
dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8.
Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.
Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika
seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat
diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah
yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
C. Fase Farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi
primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan,
dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat
dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (benadryl) suatu
antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala
alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang
menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang
mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena
menimbulkan sedasi ringan.
3.3 Mula, Kerja dan Lama Obat
Mula kerjadimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai
konsentrasi efektif minimum ( MEC = minimum effective concertration ). Puncak kerja
terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama
kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan
efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau
jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat; mula kerja obat,
puncak kerja, dan lama kerja.
Perlu untuk memahami hubungan antara respons-waktu dengan pemberian obat,
jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun dibawah ambang atau MEC, maka
ini berarti dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
3.4 Teori Reseptor
Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel. Obat-
obat yang bekerja melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor maka akan
menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari
kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor
spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut
semakin aktif secara biologis. Ini serupa dengan memasukkan kunci yang tepat ke
dalam lubang kunci. Obat-obat yang menghasilkan respons disebut agonis,dan obat-
obat yang menghambat respons disebut antagonis. Hampir semua obat, agonis dan
antagonis, kurang mempunyai efek spesifik dan selektif. Sebuah reseptor yang terdapat
ditempat-tempat berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons
fisiologis, tergantung dimana reseptor itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik terdapat
dikandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan mata.
Sebuah obat yang merangsang atau menghambat reseptor-reseptor koligernik
akan bekerja pada semua letak anatomis, obat-obat yang bekerja pada berbagai tempat
seperti itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas. Betanekol dapat
diresepkan utuk retensi urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung kemih.
Karena betanekol mempengaruhi reseptor koligernik, maka tempat koligernik lain ikut
terpengaruh denyut jantung menurun, tekanan darah menurun, sekresi asam lambung
meingkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata mengecil. Efek – efek lain ini
mungkin diinginkan mungkin juga tidak, dan mungkin berbahaya atau mungkin juga
tidak berbahaya bagi pasien. Obat-obat yang menimbulkan berbagai respons di seluruh
tubuh ini memiliki respons yang nonspesifik.
Obat-obat juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat
yang mempengaruhi berbagai reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi
berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki nonselektifitas. Obat-obat yang
menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada reseptor dapat berfungsi dengan
merangsang aktivitas enzim atau produksi hormon.
Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan,
penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat yang
merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari
kelenjar. Obat-obat yang menekan akan menurunkan aktivitas sel dan mengurangi
fungsi organ tertentu. Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-
senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme
menghambat pertumbuhan sel bakteria. Penisilin mengadakan efek bakterisidanya
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui
mekanisme iritasi laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga
meningkatkan peristaltik dan defekasi.
Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama
kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang
penting untuk menentukan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis
obat. Obat-obat dalam waktu paruh pendek, seperti penisilin G ( t 1/2 –nya 2 jam ),
diberikan beberapa kali sehari, obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin
(36jam), diberikan sekali sehari, jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang
diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat didalam
tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksitas obat, jika terjadi gangguan hati atau
ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi
atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.
3.5 Kadar Puncak dan Kadar Terendah Obat
Kadar puncak obat adalah konsentrasi plasma tertinggi dari sebuah obat pada
waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3
jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya
mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel darah harus diambil pada waktu puncak yang
dianjurkan sesuai dengan rute pemberian.
Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan
menunjukan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum
obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar
puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan kadar terendah menunjukkan
kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan terendah dibutuhkan obat-obat yang
memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti amininoglokosida
(antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam mencapai kerja maksimal, obat memerlukan beberapa tahap. Yakni tahap
farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Sebelum obat benar-benar diserap oleh
tubuh, obat perlu diubah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Masing-masing obat
tidak akan mempunyai waktu perubahan yang berbeda-beda. Tergantung kandungan obat
itu sendiri. Karena beberapa obat tidak 100% obat. . Keadaan asam-basa urin juga
berpengaruh di dalam perubahan partikel obat tersebut.
Setelah obat mencapai kerja obatnya, obat akan dimetabolasi menjadi bentuk yang
tidak aktif, sehingga lebih mudah untuk diekskresi. Setelah dimetabolisasi, obat akan
keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus, paru-paru, dan kelenjar eksokrin. Struktur
kimia sebuah obat akan menentukan organ yang akan mengekskresinya.
4.2 Saran
Berdasarkan materi yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka seorang ahli gizi
seyogyanya mengerti dan memahami akan medikasi khususnya dalam hal ini adalah
tentang sifat kerja obat. Sehingga dapat mengimplementasikannya obat dengan baik dan
maksimal. Karena jika seorang ahli gizi tidak paham mengenai medikasi akan
menghambat penanganan terhadap pasien dan penanganan menjadi kurang maksimal
bahkan dapat merugikan pihak responden.
DAFTAR PUSTAKA
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC
Kee Joyce L. Dan Hayes Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC
BAB III
PENUTUP
fase farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh. Suatu obat selain
dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi
tubuh, dan jalur atau rute pemberian obat. Suatu obat harus dapat mencapai tempat
kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa
hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan
melalui intravena maupun per oral.
Kegunaan farmakokinetika :
a. Mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya untuk mengetahui
senyawa yang mana yang sebenarnya bekerja dalam tubuh; apakah senyawa
asalnya, metabolitnya atau kedua-duanya.
b. Menentukan hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan intensitas
efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian daerah kerja efektif obat
(therapeutic window) dapat ditentukan.
Soal-soal latihan
1. Jelaskan pengertian farmakokinetika menurut anda!
Jawab :
ilmu yang mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam
tubuh. Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh meliputi proses
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
2. Apa keuntungan mempelajari farmakokinetika?
Jawab :
ü Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat. Apakah harus
secara injeksi intravena, atau bisa dengan route lain seperti secara oral,
rektal, dan lain-lain.
ü Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang
tepat untuk setiap individu (dosage regimen individualization).
ü Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan
dosis yang rasional.
ü Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara
obat dengan obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman.
3. Apa yang anda ketahui tentang adsorbsi obat?
Jawab :
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
4. Apa yang anda ketahui tentang distribusi obat?
Jawab :
Distribusi obat adalah proses suatu obat yang secara reversibel meninggalkan aliran
darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan atau ke sel-sel jaringan.
5. Apa yang anda ketahui tentang metabolisme obat?
Jawab :
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim
6. Apa yang anda ketahui tentang ekskresi obat?
Jawab :
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.
7. Apa yang anda ketahui tentang bioavabilitas?
Jawab :
Bioavailabilitas menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif.
8. Sebutkan hal-hal yang mempengaruhi adsorbsi obat!
Jawab :
ü Kelarutan obat.
ü Kemampuan difusi melintasi sel membran
ü Konsentrasi obat.
ü Sirkulasi pada letak absorpsi.
ü Luas permukaan kontak obat.
ü Bentuk sediaan obat
ü Cara pemakaian obat
9. Sebutkan hal-hal yang dapat mempengaruhi metabolisme obat!
Jawab :
ü Fungsi hati
ü Usia
ü Faktor genetika
ü Inhibisi enzim
Recommended