FILSAFAT KEILMUAN KEPERAWATAN
DAN TAFSIR KONSTRAKTUAL ILMU KEPERAWATAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Disusun Oleh :
Ristina Mirwanti, S.Kep., Ners
220120110037
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat serta hidayah-
Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu ini pada Program
Pascasarjana Magister Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai filsafat ilmu khususnya filsafat Ilmu Keperawatan dan
Konsep Konstraktual Ilmu Keperawatan.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Filsafat Ilmu, Prof.
Mahfud Arifin, atas bimbingan selama perkuliahan, dan seluruh pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik
penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam bidang keperawatan khususnya bagi
proses pembelajaran Filsafat Ilmu Keperawatan.
Bandung, November 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Ilmu
2.1.1 Pengertian Filsafat
2.1.2 Pengertian Filsafat Ilmu
2.1.3 Manfaat Filsafat Ilmu
2.2 Filsafat Ilmu Keperawatan
2.2.1 Paradigma Keperawatan, Perawat, dan Praktik Keperawatan
2.2.2 Perkembangan Ilmu Keperawatan
2.2.3 Ontologi Keilmuan Keperawatan
2.2.4 Epistemiologi Keilmuan Keperawatan
2.2.5 Aksiologi Keilmuan Keperawatan
2.2.6 Karakteristik Spesifik Keilmuan Keperawatan
2.3 Konsep Konstraktual Ilmu Keperawatan
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemampuan menalar menyebabkan manusia sebagai satu – satunya makhluk yang
mampu mengembangkan pengetahuan secara terus – menerus dan dengan sungguh – sungguh.
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Manusia memikirkan hal – hal baru, menjelajah ufuk baru, karena manusia
hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengambangkan
kebudayaan yang memberikan makna kepada kehidupannya. Manusia harus memanusiakan diri
dalam hidupnya. Dengan demikian manusia memiliki tujuan tertentu yang lebih tinggi dari
sekedar kelangsungan hidupnya. Dengan pengetahuan inilah manusia menjadi makhluk yang
multidimensi dan unik di muka bumi ini.
Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk dapat menghargai suatu
ilmu, misalnya ilmu keperawatan atau kesehatan masyarakat maka kita harus mengerti hakikat
ilmu itu sebenarnya. Pengertian yang mendalam terhadap hakikat ilmu yang kita pelajari, akan
mampu meningkatkan apresiasi kita serta membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang
ada padanya.
Ners dan profesi kesehatan lainnya yang terlalu mendewa-dewakan ilmunya sebagai satu
satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu itu sendiri yang sebenarnya.
Sebaliknya, siapapun yang memalingkan muka dari hakikat ilmu yang dikuasainya, maka mereka
tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu – ilmu itu telah membentuk peradaban modern seperti
apa yang kita jumpai di negara - negara maju sekarang ini. Kepicikan seperti itu kemungkinan
besar disebabkan karena mereka berpaling dan kurang mengenal hakikat ilmu yang dipelajari dan
dikuasainya itu yang sebenarnya. Meskipun pengetahuan keilmuan yang dikuasainya memang
menunjukkan kebenaran, namun kebenaran ilmu bukanlah satu – satunya kebenaran dalam
kehidupan praktik. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang memperkaya khasanah
kehidupan praktik kesehatan itu, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat, asal diletakkan
pada tempatnya yang layak. Kehidupan dalam praktik kesehatan professional cukup kompleks
untuk dianalisis hanya dari satu jalan pemikiran. Adalah ketinggian hati (over confidence) atau
kesombongan yang tidak berdasar bila kita beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari
kebenaran dalam prantik. Terdapat tempat masing – masing dalam kehidupan praktik – praktik
profesi kesehatan bagi falsafah, seni, agama, dan sebagainya di samping ilmu yang dikuasai itu
sendiri. Semuanya bersifat saling membutuhkan dan saling mengisi, seperti yang dikatakan
Einstein bahwa “ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah sesat” (Science
without religion is blind, religion without science is blame). Untuk itulah perlu adanya pula tafsir
konstraktual ilmu keperawatan yang berasal dari premis trasedental.
Kepada pengemban profesi keperawatan dan calon anggota profesi perawat, apapun
predikat, gelar, dan sebutannya yang ingin mendapatkan kepuasan dari berfikir keilmuan,mereka
yang menganggap bahwa berpikir bukan sebagai suatu beban, namun merupakan petualangan
yang sangat mengasyikkan, mereka yang melihat kebenaran sebagai tujuan utama berkehidupan
dalam berpraktik, mereka yang ingin mengkaji hakikat kehidupan praktik profesi keperawatan
dengan lebih mendalam, maka kepada merekalah makalah ini diperuntukkan.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dimensi filsafat keilmuan
keperawatan melalu pendekatan filsafat ilmu dan mengetahui tafsir konstraktual ilmu
keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Ilmu
2.1.1 Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik
kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,
inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato
menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata
falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal
dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal
sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Sebelum Socrates ada
satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan.
Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah
yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu
berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari
pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis
(cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari,
2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat
teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat
praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara
sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk.
Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti prinsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan
menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus
berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut
para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu,
sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa
dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara
persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika.
Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang
seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya,
hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan
untuk menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai
kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043
SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu
pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya. Menurut Descartes (1596–1650),
filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4
persoalan:
a. Apakah yang dapat kita ketahui?
Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.
b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan?
Jawabannya termasuk dalam bidang etika.
c. Sampai di manakah harapan kita?
Jawabannya termasuk pada bidang agama.
d. Apakah yang dinamakan manusia itu?
Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya
dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya
dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini
akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit.
contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu
itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria
itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang
harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran
yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis
maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak. Sir Isacc
Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga
karakteristik ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang
dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang
sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti
logika Aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak,
cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak
sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan,
yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “ku
tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang
perlahan, sedikit demi sedikit sampai betulbetul terang”.
2.1.2 Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-
pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan
akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan intelektual (Bagir, 2005). Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science
berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan
atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan
melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan
makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji.
Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya
mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata
scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya
dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan
nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat
seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan
infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat
berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai
filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah
filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika
sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790)
Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai
Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963
membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif.
Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi
atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan
keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap
pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses
verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain
matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge,
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier
tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being,
wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh
pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah.
Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa;
sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu,
atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang
masih tergolong prailmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh,
baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif
atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan Obyek Paradigma Metode Kriteria
Sains Empiris Sains Metode Ilmiah Rasional Empiris
Filsafat Abstrak Rasional Rasional Metode Rasional Rasional
Mistis Abstrak
Suprarasional
Mistis Latihan percaya Rasa, iman, logis,
kadang empiris
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan
verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah,
walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa
metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian,
pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung
menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak
terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya.
Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya,
sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi
tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu
mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam
pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena
tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi
kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin
dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim,
guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu
mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang
dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari
kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya,
dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek
metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa
tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini
subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata
mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah
yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa
proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori
koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-
premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis
mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah
diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut
sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih
bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini
mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan
data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus.
Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib,
dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung
bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya
memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta
profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam
satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu.
Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini
berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang
mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman
inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga
datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan,
tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu
keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai
kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik
memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah
pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana
berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana
telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan
ilmu yang diperoleh.
Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
Ontologi
(Hakikat Ilmu)
Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu?
Bagaimana prosedurnya?
Epistemologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu?
Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan
dengan benar?
Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
Apa kriterianya?
Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu?
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)
Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak
akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita.
Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif akan memberikan jawaban ”YA”.
2.1.3 Manfaat Filsafat Ilmu
Manfaat filsafat ilmu (Jujun S. Suriasumantri, 1987 dalam materi kuliah Prof. Mahfud
Arifin) antara lain:
- seseorang akan mengenal bidang keilmuan dengan berbagai aspeknya.
- mempercepat berkembangnya paradigma keilmuan dalam kehidupan kita
- mengenal alur-alur berpikir dalam kegiatan keilmuan
- meningkatkan kemampuan mendiagnosis persoalan dan mencari alternatif pemecahannya
Manfaat mempelajari filsafat menurut Liza, 2006 antara lain :
- terlatih berfikir serius
- mampu memahami filsafat
- memungkinkan menjadi filosof
- menjadi warga negara yang baik
2.2 Filsafat Ilmu Keperawatan
2.2.1 Paradigma Keperawatan, Perawat, dan Praktik Keperawatan
Pada lokakarya nasional 1983 telah disepakati pengertian keperawatan sebagai berikut,
keperawatan adalah pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual
yang komprehensif yang ditujukan kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sakit maupun
sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Florence Nightingale (1895) mendefinisikan keperawatan sebagai berikut, keperawatan
adalah menempatkan pasien alam kondisi paling baik bagi alam dan isinya untuk bertindak.
Calilista Roy (1976) mendefinisikan keperawatan merupakan definisi ilmiah yang berorientasi
kepada praktik keperawatan yang memiliki sekumpulan pengetahuan untuk memberikan
pelayanan kepada klien.
Dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia tahun 2005, yang dimaksud dengan
keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keperawatan adalah upaya
pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic dan professional, holistic berdasarkan ilmu
dan kiat, standart pelayanan dengan berpegang teguh kepada kode etik yang melandasi perawat
professional secara mandiri atau memalui upaya kolaborasi.
Definisi perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, perawat adalah
mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
Tyalor C Lillis C Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan
dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan
proses penuaan.
Definisi perawat menurut ICN (international council of nursing) tahun 1965, perawat
adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta
berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yan bertanggung
jawab untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat Pasal 1, yang
dimaksud dengan perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan perundang – undangan yang berlaku.
Menurut konsorsium Ilmu-ilmu Kesehatan (1992) praktik keperawatan adalah
tindakan mandiri perawat professional / ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik
dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang
holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan,
termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok.
Sementara praktik keperawatan profesional adalah tindakan mandiri perawat professional
dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan
ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan
dalam melakukan asuhan keperawatan (pokja keperwatan CHS,2002).
Sedangkan pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psiko- soiso- spiritual yang komprehensif (holistic ), di tujukan kepada
individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencagkup seluruh proses
kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adanya kelemahan fisik
dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan
melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
Praktik keperawatan sudah di atur dalam surat keputusan Menteri Kesehatan No.1239
tentang registrasi dan praktik keperawatan yang mengatur hak, kewajiban, dan kewajiban
perawat, tindakan-tindakan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat dalam menjalankan
praktiknya, dan persyaratan praktik keperawatan dan mekanisme pembinaan dan pengawasan.
Sekarang rancangan undang-undang tentang praktik keperawatan sudah di usulkan ke DPR untuk
mendapatkan pengesahan.
2.2.2 Perkembangan Ilmu Keperawatan
Pohon ilmu dari keperawatan adalah ilmu keperawatan itu sendiri. Pendidikan
keperawatan sebagai pendidikan profesi harus dikembangkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
dan profesi keperawatan, yang harus memiliki landasan akademik dan landasan professional yang
kokoh dan mantap.
Pengembangan pendidikan keperawatan bertolak dari pengertian dasar tentang ilmu
keperawatan seperti yang dirumuskan oleh Konsorsium Ilmu kesehatan (1991) yaitu : “ Ilmu
keperawatan mencakup ilmu-ilmu dasar seperti ilmu alam, ilmu social, ilmu perilaku, ilmu
biomedik, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu dasar keperawatan, ilmu keperawatan komunitas dan
ilmu keperawatan klinik, yang apluikasinya menggunakan pendekatan dan metode penyelesaian
masalah secara ilmiah, ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara dan
meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia “.
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang
melatar belakangi, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar
tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial.
Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi keperawatan adalah penyimpangan dan
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual), mulai dari tingkat
individu tang utuh (mencakup seluruh siklus kehidupan), sampai pada tingkat masyarakat, yang
juga tercermin pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pada tingkat system organ fungsional
sampai sub seluler atau molekuler.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa hakikat dari ilmu keperawatan adalah
mempelajari tentang respon manusia terhadap sehat dan sakit yang difokuskan pada kepedulian
perawat terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pasien atau disebut dengan care. Hal ini
berbeda dengan hakikat kedokteran adalah pengobatan atau disebut cure.
2.2.3 Ontologi Keilmuan Keperawatan
Dua aspek penting dari ontology keilmuan dalam keperawatan yaitu (1) prinsip
penafsiran tentang realitas dan (2) batas – batas telaahan. Prinsip penafsiran tentang realitas
keilmuan keperawatan antara lain mencakup beberapa pernyataan seperti realitas adalah gejala
fisik yang berwujud sebagai fakta data. Realitas yang kita ketahui hanya merupakan perkiraan
dari kenyataan yang sebenarnya. Realitas itu diungkapkan sebagaimana adanya (das Sein) tanpa
terikat oleh nilai – nilai tertentu di luar kenyataan tersebut. Dalam menafsirkan realitas, keilmuan
keperawatan mempunya beberapa anggapan dasar (asumsi, premis) yakni uniformitas, relative
tetap, dan memiliki pola kejadian yang baku. Uniformitas ialah bahwa setiap wujud kehidupan
manusia mempunyai keseerupaan dengan wujud lainnya dilihat dari kriteria tertentu seperti
kuantitas, kualitas, atau modus. Relative tetap artinya bahwa dalam jangka waktu tertentu setiap
wujud memiliki bentuk yang tetap misalnya ketegangan (tension), kecemasan, depresi,
kesedihan, penolakan (denial), dan coping, sebelum berubah bentuk menjadi wujud lain misalnya
: stress, gembira, penerimaan. Setiap kejadian mempunyai pola baku yang tetap dan tidak bersifat
kebetulan misalnya kandungan air dan elektrolit berhubungan dengan energy tubuh, oksigen
berkaitan dengan keadaan sesak nafas dan kematian jaringan.
Batas – batas telaahan kegiatan keilmuan secara umum adalah wilayah empiric, dalam arti
daerah yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Dunia keilmuan dibagi dua golongan
yaitu (1) pengetahuan ilmiah dan (2) sarana pengetahuan ilmiah. Sarana pengetahuan ilmiah
adalah alat yang membantu kegiatan dalam memperoleh dan menyusun pengetahuan ilmiah,
misalnya : bahasa, logika, matematika, statistika, dan metode penelitian. Ontology ini berbeda
dengan sarana pengetahuan ilmiah, demikian pula dengan epistemology dan aksiologinya.
Kegiatan penelitian yang menyangkut sarana pengetahuan ilmiah adalah bersifat ilmiah, sebab
merupakan bagian integral dari dunia keilmuan.
Setiap disiplin keilmuan termasuk pengetahuan ilmiah memiliki objek forma dan objek
material mengenai wujud yang menjadi focus penelaahannya, yang seharusnya berbeda dari
obyek forma dan obyek material disiplin keilmuan lainnya. Byek forma adalah cara pandang
terhadap sesuatu, misalnya bahwa perawat memandang masalah kliennya berfokus pada tidak
atau kurang adekuatnya pemenuhan kebutuhan – kebutuhan yang terkait dengan kesehatan
potensial maupun kesehatan aktual. Obyek material adalah substansi dari obyek forma, misalnya
apabila obyek formanya klien dengan masalah gangguan pernafasan, maka obyek materianya
adalah saluran pernafasan, oksigen, karbondioksida, dan sebagainya. Pertanyaan yang sering
muncul ialah perbedaan obyek forma dan obyek materia antara pengetahuan ilmiah keperawatan,
kedokteran, dan kesehatan masyarakat. Walaupun diakui batas – batasnya, namun dalam praktik
seringkali sulit dibedakan yang disebabkan komponen aksiologi yang tumpang tindih dan
bertautan erat antara tujuan pengasuhan (caretive) dengan tujuan pengobatan (curative) dan
pencegahan (preventive). Inilah tolok ukur pertama untuk menilai keberadaan dan kemandirian
disiplin pengetahuan keperawatan ilmiah dari pengetahuan ilmiah lainnya (misalnya ilmu
kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat). Dengan perkataan lain, objek forma dan objek
materia yang jelas dan tegas dari pengetahuan keperawatan akan merupakan cirri – cirri yang
spesifik dari disiplin keilmuan keperawatan.
2.2.4 Epistemologi Keilmuan Keperawatan
Epistemologi keilmuan keperawatan secara lebih rinci dapat dilihat dari aspe – aspek
sifat, proses, dan fungsi pengetahuan keperawatan ilmiah yang telah diperoleh dan tersusun
secara rasional, logis, dan sistematis. Ketiga aspek di atas bersifat saling berhubungan, kait
mengkait dengan arti dimulai dari sifat, namun sebaliknya bahwa proses (pengetahuan keilmuan)
ditentukan oleh sifat (pengetahuan keilmuan) dan bahwa fungsi (pengetahuan keilmuan) turut
menentukan bagaimana proses perolehan dan penyusunan pengetahuan keilmuan itu dilakukan.
Masyarakat ilmiah keperawatan seyogyanya lebih terorganisis dengan mengharapkan untuk
memperoleh dan menyusun pengetahuan keilmuan yang memiliki sifat – sifat bahwa
pengetahuan keilmuan yang (biasanya) dihasilkan secara individual itu adalah untuk dan milik
umum (public knowledge). Untuk ini diperlukan komunikasi ilmiah, yang artinya bahwa
pengetahuan keilmuan yang diperolehnya wajib dikomunikasikan kepada masyarakat ilmuwan
lewat publikasi ilmiah. Jadi apabila ilmuwan yang menyimpan penemuannya dikantung baju atau
di perpustakaan pribadinya, belum bisa dikategorikan sebagai pengetahuan keilmuan. Masyarakat
ilmiah keperawatan juga tidak boleh terlalu bersifat skeptic dan eksklusif, yang hanya melihat
kebenaran ilmiah dari sudut pandang pribadi atau profesinya saja, sebab pada dasarnya
pengetahuan keilmuan memiliki akar dan metode ilmiah yang sama. Hal inilah yang merupakan
salah satu kelemahan umum yang sering terjadi pada setiap kelompok ilmuwan dan profesi,
namun perlu diupayakan untuk diredusir dan dihilangkan. Pengetahuan keilmuan itu haruslah
bersifat obyektif, dalam arti bahwa setiap orang yang mempelajari obyek yang sama dengan cara
yang sama akan sampai kepada kesimpulan yang sama pula. Pengetahuan keilmuan yang disusun
merupakan abstraksi yag mereduksikan realitas menjadi konsep, dengan tingkat generalisasi yang
tinggi.
Mekanisme yang memproses pengetahuan keilmuan tersebut adalah metode ilmiah yang
mengandung tiga bagian, yaitu :
- proses keabsahan (validitas)
- proses kebenaran
- proses penyusunan.
Proses keabsahan pengetahuan keilmuan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi
oleh suatu kegiatan agar dianggap sah secara keilmuan. Persyaratan ini ialah : logis, analitis, dan
sistematis adalah sah menurut criteria ilmiah. Selanjutnya suatu pengetahuan diperlukan pula
kriteria kebenaran ilmiah, yang ditentukan melalui pengujian secara empiris, yang sifatnya logis,
analitis, dan sistematis.
Pengetahuan keilmuan bidang keperawatan yang diperoleh dan disusun sedemikian rupa
memiliki fungsi yang jelas bagi dunia keilmuan untuk mendeskripsikan, menjelaskam,
memprediksikan, serta mengontrol gejala atau fenomena bio-psiko-sosial-kultural-spiritual
manusia sebagai individu, keluarga dan kelompok dalam kaitan dengan tujuan kesehatan dan
kesejahteraan yang optimal bagi mereka. Teori keperawatan yang dihasilkan akan bermutu tinggi
apabila memiliki keempat kriteria di atas, dan di sinilah tolok ukur kedua, dalam menilai konsep
– konsep yang diajukan oleh disiplin keilmuan “baru” seperti pengetahuan keperawatan ilmiah
yang mulai tumbuh untuk berkembang. Memang, seringkali terdapat beberapa macam teori atau
pendekatan yang diajukan, dan hal itu adalah wajar – wajar saja, malah menggembirakan sebab
suatu fokus permasalahan terkadang tidak dapat diselesaikan oleh hanya satu pendekatan saja.
Yang penting adalah kita harus bisa membedakan gradasi, efisiensi, dan efektivitas berbagai
pendekatan yang diajukan.
Keperawatan lahir sejak naluriah keperawatan lahir bersamaan dengan penciptaan
manusia. Orang-orang pada zaman dahulu hidup dalam keadaan primitive. Namun demikian
mereka sudah mampu sedikit pengetahuan dan kecakapan dalam merawat atau mengobati.
Pekerjaan "merawat" dikerjakan berdasarkan naluri (instink) naluri binatang "mother instinct"
(naluri keibuan) yang merupakan suatu naluri dalam yang bersendi pada pemeliharaan jenis
(melindungi anak, merawat orang lemah).
Perkembangan keperawatan dipengaruhi dengan semakin maju peradaban manusia maka
semakin berkembang keperawatan. Diawali oleh seorang Florence Nightingale yang mengamati
fenomena bahwa pasien yang dirawat dengan keadaan lingkungan yang bersih ternyata lebih
cepat sembuh dibanding pasien yang dirawat dalam kondisi lingkungan yang kotor. Hal ini
membuahkan kesimpulan bahwa perawatan lingkungan berperan dalam keberhasilan perawatan
pasien yang kemudian mejadi paradigma keperawatan berdasar lingkungan.
Semenjak itu banyak pemikiran baru yang didasari berbagai tehnik untuk mendapatan
kebenaran baik dengan cara Revelasi (pengalaman pribadi), otoritas dari seorang yang ahli,
intusisi ( diluar kesadaran), common sense (pengalaman tidak sengaja), dan penggunaan metode
ilmiah dengan penelitian-peneltian dalam bidang keperawatan. Sehingga muncullah paradigma
lain diantaranya:
1. Peplau (1952) : Teori interpersonalsebagai dasar perawatan
2. Orlando (1961) : Teori komunikasi sebagai dasar perawatan
3. Johnson (1961) : Stabilitas sebagai tujuan perawatan
4. Roy (1970) : Teori adaptasi sebagai dasar perawatan
5. Rogers (1970) : konsep manusia yang unik
6. King (1971) : Proses transaksi perawat-klien
7. Orem (1971) : Kemandirian pasien untuk merawat dirinya sebagai tujuan perawatan
2.2.5 Aksiologi Keilmuan Keperawatan
Aksiologi keilmuan menyangkut nilai – nilai yang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah :
baik internal, eksternal, maupun social. Baik nilai – nilai yang berkaitan dengan wujud maupun
kegiatan ilmiah dalam memperoleh pengetahuannya. Lain halnya dengan landasan ontologism
yang mengungkapkan dan menyatakan realitas sebagaimana adanya (das Sein) yang dalam
konteks ini ditafsirkan sebagai bebas nilai, maka landasan aksiologis baik internal, eksternal,
maupun social adalah sarat nilai. Secara internal, misalnya disebutkan bahwa tidak setiap wujud
empirik dapat dijadikan sebagai objek penelitian, terutama yang berkaitan dengan fitrah (hak –
hak azasi) manusia. Rekayasa genetic dalam bentuk “kloning”, telah menimbulkan masalah
moral. Penelitian dalam ilmu kedokteran ini dikontrol dengan ketat oleh nilai – nilai aksiologis
yang sifatnya internal. Penelitian keperawatan (nursing research) dan penelitian dalam
keperawatan. (research in nursing), memang belum dikembangkan secara sungguh – sungguh,
yang sama sekali berbeda dengan pendekatan penelitian bidang kedokteran, psikologi, sosiologi,
antropologi, pendidikan, dan sebagainya, walaupun beberapa bagian dari pengetahuan ilmiah
tentang ilmu – ilmu tersebut dipinjam dan dimasukkan ke dalam ilmu keperawatan.
Nilai eksternal menyangkut nilai – nilai yng berkaitan dengan penggunaan pengetahuan
ilmiah. Seperti juga ditemukannya atom atau nuklir yang bisa membawa berkah atau bencana
bagi hidup dan kehidupan manusia. Hal ini sangat tergantung dari manusia yang
menggunakannya. Oleh karena itulah maka kode etik merupakan suatu persyaratan mutlak bagi
eksistensi praktik profesi.
2.2.6 Karakteristik Spesifik Keilmuan Keperawatan
Dari definisi keperawatan yang telah diakui dan digunakan sebagai dasar pengembangan
keperawatan di Indonesia, maka objek materia ilmu keperawatan adalah manusia, dalam
wujudnya sebagai individu, keluarga dan komunitas, yang tidak dapat berfungsi (atau berpotensi
tidak dapat berfungsi) opyimal dalam kaitan dengan kondisi kesehatan dalam proses
penyembuhan, rehabilitasi, pencegahan penyakit, dan peningkatan kesehatan. Sedangkan objek
formanya adalah sebagai bantuan terhadap individu, keluarga dan komunitas itu yang tidak dapat
berfungsi atau yang secara potensial tidak dapat berfungsi optimal dalam kaitan dengan kondisi
kesehatan serta proses penyembuhan, rehabilitasi, pencegahan timbulnya masalah kesehatan serta
peningkatan kesehatan mereka secara optimal.
Postulat yang diajukan adalah bahwa manusia yang tidak (potensial tidak) dapat
berfungsi secara optimal dalam kaitan dengan kondisi kesehatan, proses penyembuhan,
rehabilitasi, pencegahan timbulnya masalah kesehatan serta peningkatan kesehatan secara
optimal yang memiliki perangkat kebutuhan. Asumsi yang diajukan adalah bahwa manusia
sebagai makhluk bio-psiko-sosial-spiritual yang tidak dapat (potensial tidak dapat) berfungsi
optimal dalam kaitan dengan kondisi kesehatan dan proses penyembuhan, rehabilitasi,
pensegahan timbulnya masalah, dan promosi kesehatan. Selanjutnya di atas landasan postulat,
asumsi, dan prinsip – prinsip kita dapatkan prinsip bahwa “efektivitas bantuan terhadap individu,
keluarga, dan kelompok komunitas yang tidak dapat berfungsi optimal dalam kaitan dengan
kondisi kesehatan, proses penyembuhan, rehabilitasi, pencegahan timbulnya masalah dan
promosi kesehatan merupakan pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual secara holistik.
Apabila kita nilai, maka ketiga proposisi mengenai pikiran dasar ini, untuk menentukan
apakah semua ini “spesifik atau khas bersifat ilmu keperawatan”, atau mungkin milik disiplin
pengetahuan lain yang telah ada seperti ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, kedokteran,
kesehatan masyarakat atau mungkin antropologi. Jawabannya adalah mungkin saja, namun tetap
tidak mengurangi sifat khas atau spesifiknya ilmu keperawtan sebab baik kebutuhan manusia
maupun sifat bio-psiko-sosial dan spiritual itu dikaitkan dalam konteks manusia yang tidak dapat
berfungsi (potensial tidak dapat berfungsi) dengan optimal dalam kaitan dengan kondisi
kesehatan, penyembuhan, pencegahan, dan promosi kesehatan. Dan pada gilirannya akan
menyebabkan perbedaan kerangka konseptual makro yang dibangun.
Kerangka konsep ilmu keperawatan baik makro maupun mikro (hanya menyangkut salah
satu aspek dari ilmu keperawatan) di Amerika telah berkembang sejak sebelum 1950-an, dan
symposium mengenai model dan teori keperawatan dilakukan untu pertama kalinya tahun 1966.
Dalam kurun waktu 1970-an model, teori dan ilmu keperawatan berkembang dengan kecepatan
tinggi. Di Indonesia, Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983, yang disponsori Departemen
Kesehatan dan WHO, merupakan tonggak sejarah perkembangan ilmu keperawatan di Indonesia.
Dari data itu dapat disimpulkan bahwa ilmu keperawatan sebagai disiplin keilmuan yang mandiri
memiliki latar belakang yang sangat solid.
Pendidikan keperawatan di Negara – Negara Anglo Saxon atau yang berkiblat Anglo
Saxon seperti Amerika, Canada, Australia, Filipina, dan Thailand pada umumnya mencakup
program diploma, asosiate, dan program bakloreat (S1). Nampaknya pendidikan perawat
Indonesia sedang dan akan mengikuti pendidikan perawat (Ners) model spesifik pendidikan
dokter Indonesia dengan merujuk pada pendidikan model Amerika – Australia-Thailand.
Sedangkan di daratan Eropa, termasuk Belanda (sebagai leluhur yang melahirkan mantra dan
zuster keperawatan) yang menganut system pendidikan continental, ilmu keperawatan tidak
dikembangkan sebagai ilmu yang mandiri, namun bersama – sama dengan keperawatan
“midwifery”. Berbeda dengan di Indonesia, di mana “pendidikan bidan” misalnya, dimasukkan
ke dalam lingkup pendidikan Obstetric-Gynekologi, bagian dari ilmu kedokteran.
2.3 Tafsir Konstraktual Ilmu Keperawatan
Tafsir konstraktual bagi ilmu keperawatan antara lain :
- Hadits Nabi : Bila suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya tunggu saja
kehancurannya.
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap muslim harus memiliki keprofesionalan yang tinggi, begitu
juga dengan perawat. Saat ini, isu perawat professional menjadi bahasan utama di bidang
keperawatan. Perawat dituntut dapat bekerja secara professional. Perawat yang professional
adalah tenaga professional yang mandiri, bekerja secara otonom dan berkolaborasi dengan yang
lain dan telah menyelesaikan program pendidikan profesi keperawatan, terdiri dari ners generalis,
ners spesialis dan ners konsultan. Jika telah lulus uji kompetensi yang dilakukan oleh badan
regulatori yang bersifat otonom, selanjutnya disebut Registered Nurse (RN).
DAFTAR PUSTAKA
Liza.2006.Pengantar Filsafat dan Ilmu dapat diunduh dalam http://www.foxitsoftware.com
Naziruddin, Udin.2004.Buku Ajar : Filsafat Keilmuan dalam Keperawatan dan
Kesehatan.Bandung : PSIK UNPAD.
Noname.Filsafat Ilmu dan Metode Riset Normal dapat diunduh dalam
http://usupress.usu.ac.id/files/Filsafat%20Ilmu%20dan%20Metode%20Riset_Normal_bab
%201.pdf
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Dapat diunduh dalam
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/04/permenkes-no-148-ttg-praktik-
pwt-2010.pdf
PPNI.2005.Standar Kompetensi Perawat Indonesia.Tidak Diterbitkan.
Soewardi, Herman.1999.Roda Berputar Dunia Bergulir: Kognisi Baru tentang Timbul
Tenggelamnya Sivilisasi.Bandung: Bakti Mandiri.