1
PENDAHULUAN
Kartu kredit merupakan hasil perkembangan kecanggihan teknologi sistem
pembayaran dunia, diawali dari charge card oleh DinersClub pada tahun 1950an,
kemudian credit card untuk traveler saja hingga menjadi kartu kredit untuk semua
jenis transaksi oleh Visa dan MasterCard. Kecanggihan dan kemudahan
bertransaksi menggunakan kartu kredit sudah diakui oleh dunia, dibuktikan
dengan jumlah pemegang kartu kredit seluruh dunia yang terus bertambah
mengalahkan jumlah penggunaan kartu debit dan volume pembayaran yang terus
bertambah (grafik 1).
Grafik 1
Volume Pembayaran Kartu Kredit dan Kartu Debit Visa dan MasterCard
Sumber: NerdWallet.com
Namun, penerapan kartu kredit untuk meningkatkan perekonomian
menjadi pertentangan pro dan kontra bagi pemerintah, dunia perbankan, pembuat
kebijakan (otoritas moneter), hingga akademisi. Dari sisi pro1, pinsip “buy first
pay later” membuat semakin efisiennya proses transaksi antara konsumen dengan
merchant karena berkurangnya biaya memegang uang tunai dan resiko kehilangan
uang tunai. Terdapat pemerintah dan pembuat kebijakan yang menyandarkan
pertumbuhan ekonomi melalui sektor konsumsi dan kartu kredit menjadi
instrumennya (Kang dan Ma, 2007; Lim dan Yoon, 2011). Kemudian perbankan
dan perusahaan penerbit kartu kredit memanfaatkan pertumbuhan kartu kredit
untuk mendapatkan keuntungan, karena tingkat bunga kartu kredit lebih tinggi
dibanding dengan produk kredit yang lain (Kang dan Ma, 2007). Kemudian dari
sisi kontra2, pertumbuhan kartu kredit dianggap sama saja dengan pertumbuhan
kredit, yang memiliki resiko menggelembung dan meledak (Kose dan Claessens,
1 Ketika kartu kredit menjadi kawan
2 Ketika kartu kredit menjadi lawan
0
1000
2000
3000
4000
5000
2007 2008 2009 2010 2011
Kartu Kredit
Kartu Debit
2
2013), yang kemudian merembet pada krisis perbankan (Kang dan Ma,
2007,2009; Lim dan Yoon, 2011) dan resesi (Kose dan Claessens, 2013).
Selanjutnya, kartu kredit memiliki resiko kredit macet yang dapat menghasilkan
personal bankruptcy (White, 2007) dan masalah – masalah sosial, yaitu fenomena
bunuh diri dan pembunuhan nasabah oleh debt collector atau perusahaan penagih
hutang.
Indonesia saat ini sedang dalam proses pencapaian cashless society, yaitu
pengurangan penggunaan uang tunai dalam transaksi. Hal ini didukung oleh BI
karena pembuatan uang tunai merupakan beban anggaran terbesar kedua BI dan
alat pembayaran menggunakan kartu menjadi salah satu alat untuk mencapai
cashless society. Indonesia dapat dikategorikan sebagai emerging market yang
pertumbuhan kartu kreditnya sedang lepas landas, sehingga perlu pembelajaran-
pembelajaran penting mengenai industri kartu kredit mengingat karakter-karakter
dari kartu kredit. Oleh karena itu, dengan menggunakan negara – negara yang
telah mengalami permasalahan kartu kredit, penelitian ini akan menjelaskan apa
saja dampak – dampak dari penerapan penggunaan kartu kredit dan yang kedua
adalah penyebab permasalahan dari hutang kartu kredit. Setelah itu, penelitian ini
akan mengemukakan pembelajaran dan pertimbangan bagi Indonesia khususnya
pelaku – pelaku dalam industri kartu kredit. Penelitian ini menggunakan sumber
literatur melalui jurnal, koran, media masa online, dan artikel ilmiah popular.
Negara – negara yang digunakan dalam penelitian ini adalah Korea Selatan,
Hongkong SAR dan Taiwan yang mengacu dari Kang dan Ma (2009), kemudian
Amerika Serikat dimana hutang kartu kredit sempat menjadi momok krisis
selanjutnya setelah krisis 2008, dan Indonesia yang sempat mengalami
permasalahan debt collector kartu kredit.
INDUSTRI KARTU KREDIT
Kartu kredit adalah salah satu bentuk produk keuangan sebagai alat
pembayaran. Sistem pembayaran elektronik memiliki tingkat efisiensi yang lebih
tinggi, cepat, mudah, aman, nyaman (Fuad3, 2013), oleh karena itu keberadaan
kartu kredit membuat semakin praktisnya pembayaran, karena pengguna kartu
3 Pernyataan President Director PT Visa Worlwide Indonesia – Ellyana C. Faud dalam
Sindonews.com
3
kredit tidak perlu memegang uang tunai (Kang dan Ma, 2009). Prinsip kartu kredit
adalah “buy first pay later”, yaitu para pengguna kartu kredit dapat bertransaksi
terlebih dahulu tanpa perlu memikirkan uang tunai yang mereka miliki saat itu.
Prinsip ini berguna ketika kartu kredit sebagai jaminan atau uang muka, seperti
pembelian mobil, rumah, atau pembayaran rumah sakit.
Konsep kartu kredit pertama kali muncul pada tahun 1887 dalam novel
Looking Backward yang ditulis oleh Edward Bellamy hingga 11 kali. Kartu kredit
pertama kali hanya digunakan para pengendara pada tahun 1920an di Amerika
Serikat untuk membayar bensin, kemudian kartu kredit mulai diterima untuk
kegiatan bisnis pada tahun 1938. Tahun 1921, Western Union mulai membuat
kartu tagihan untuk konsumen reguler.
Tahun 1928, Farrington Manufacturing Co memperkenalkan kartu kredit
modern melalui sistem baru “Charge-Plate”. Tahun 1950an, Farrington
Manufacturing Co membuat kartu kredit dari lempengan besi dengan sistem
Addressograph seperti milik militer yang berisi nama, kota, negara dan kartu
kertas berisi tanda tangan pengguna.
Tahun 1934, Air Travel Card dengan Air Transport Association
menciptakan kartu kredit dengan sistem penomoran yang dapat mengidentifikasi
penggunanya dan penciptanya. Kartu tersebut digunakan untuk pembelian tiket
dengan pembayaran belakangan (pay later) dan dapat diskon 15 persen. Setelah
10 tahun, 17 perusahaan penerbangan menggunakan kartu kredit tersebut untuk
meningkatkan travel penerbangan dan diterima sebagai kartu tagihan pada tahun
1948.
Tahun 1946, kartu kredit dapat digunakan untuk transaksi dengan merchant
dengan dikeluarkannya kartu kredit oleh Flatbush National Bank of Brooklyn
dengan sistem yang disebut Charge-It. Tahun 1950an, Diners Club
mempopulerkan kartu untuk pengguna yang makan di restoran agar tidak perlu
membawa uang tunai saat makan di restoran, kemudian penagihan dilakukan oleh
pihak restoran kepada Diners Club. Hal ini diikuti Carte Blanche (diluncurkan
oleh Hotel Hilton tahun 1959) dan American Express pada tahun 1958 dengan
nama AMEX. Tahun 1958, Bank of America dapat berkompetisi dan sukses
menciptakan BankAmericard hingga tingkat internasional, kemudian diganti
4
dengan nama Visa. Tahun 1960, Bank of America mengeluarkan MasterCard,
kemudian tahun 1966 mulai berkompetisi dengan kartu Amerika yang lain dengan
bekerjasama dengan Citibank melalui terbitan Everything Card. Penerbitan kartu
kredit diikuti oleh negara lain, pertama kali oleh United Kingdom pada tahun
1966, yaitu Barclaycard.
Pelaku – pelaku industri kartu kredit antara lain4:
1. Pemegang kartu adalah pengguna yang sah dari Kartu Kredit
2. Prinsipal adalah bank atau lembaga selain bank yang bertanggung jawab atas
pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik berperan sebagai
penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi Kartu Kredit yang kerjasama
dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
3. Penerbit adalah bank atau lembaga selain bank yang menerbitkan Kartu
Kredit.
4. Acquirer adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan kerjasama
dengan pedagang (merchant), yang dapat memproses Kartu Kredit yang
diterbitkan oleh pihak lain.
5. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima
pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit.
6. Penyelenggara kliring adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan
perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing – masing penerbit dan/atau
acquirer dalam rangka transaksi Kartu Kredit.
7. Penyelenggara penyelesaian akhir adalah bank atau lembaga selain bank yang
melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan
kewajiban keuangan masing – masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka
transaksi Kartu Kredit berdasarkan hasil perhitungan dari penyelenggara
kliring.
Kartu Kredit dibagi menjadi 2 bagian, yaitu volume dan nilai
transaksi.Volume transaksi adalah jumlah transaksi yang menggunakan kartu
kredit dalam periode tertentu, sedangkan nilai transaksi adalah nilai/nominal yang
4 Didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
5
dilakukan menggunakan kartu kredit dalam perode tertentu. Kemudian, dibagi
kembali menjadi 2, yaitu belanja dan tunai:
- Volume tunai Kartu Kredit adalah jumlah transaksi penarikan tunai yang
dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.
- Nominal tunai Kartu Kredit adalah nilai/nominal dari transaksi penarikan
tunai yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.
- Volume belanja Kartu Kredit adalah jumlah transaksi pembelanjaan yang
dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.
- Nominal belanja Kartu Kredit adalah nilai/nominal dari transaksi
pembelanjaan yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode
tertentu.
Kartu kredit terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kartu kredit tunai dan kartu kredit
belanja. Kartu kredit tunai digunakan untuk menarik uang tunai, berbeda dengan
ATM/Debit. Kemudian kartu kredit belanja digunakan untuk bertransaksi.
DAMPAK – DAMPAK PEMAKAIAN KARTU KREDIT
Kartu Kredit dan Konsumsi
Kartu kredit mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga karena
mempercepat proses transaksi dan mendekatkan konsumen dengan merchant.
Manfaat ini menjadikan kartu kredit menjadi salah satu alat kebijakan pemerintah
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti yang dilakukan Korea Selatan
setelah Krisis Asia 1997 dan Beijing – China setelah penurunan ekspor akibat
krisis global 20085. Kedua negara tersebut memanfaatkan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi
agregat. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan kartu kredit dengan konsumsi,
akan diawali dengan teori konsumsi J. M. Keynes (1936), Permanent Income
Hypothesis M. Friedman (1957), dan Life – Cycle Hypothesis Franco Modigliani
dan Albert Ando (1963).
5 http://edition.cnn.com/2009/BUSINESS/11/10/china.credit.debt/
6
J. M. Keynes dalam General Theory of Employmet, Interest, and Money
yang dipublikasikan tahun 19366 menjelaskan bahwa tingkat konsumsi individu
hanya dipengaruhi oleh pendapatan. Besar pengaruh pendapatan terhadap
konsumsi dilihat dari nilai marginal propensity to consume (MPC), semakin besar
pendapatan maka semakin besar pula konsumsi individu7. Keynes
mengasumsikan bahwa nilai MPC tetap dan tidak melebihi 1, karena tidak
mungkin individu melakukan pengeluaran melebihi apa yang ia dapatkan.
Kemudian, teori ini dapat memprediksi bagaimana perubahan ekonomi suatu
negara dari pergerakan pendapatan nasional akibat perubahan konsumsi agregat,
melalui rata – rata MPC individu – individu.
Tahun 1957, M. Friedman mengembangkan teori Keynes dengan
memaparkan Permanent Income Hypothesis (PIH), yaitu tentang pola konsumsi
masyarakat yang rata (smoothy consumption) dan perilaku individu yang rasional
serta bijaksana dalam mengatasi masalah konsumsi (Miller, 1996). Permanent
Income adalah pola konsumsi individu yang proporsional (smooth) dengan
pendapatan aktual mereka dan menghindari elemen yang menyebabkan konsumsi
menjadi fluktuatif. Jenis pendapatan ini melakukan konsumsi sesuai dengan rata-
rata pendapatan jangka panjang mereka – bukan pendapatan aktual mereka,
sehingga ketika terjadi perubahan sementara di pendapatan aktualnya, perilaku
pengeluaran/konsumsi hanya terpengaruh sedikit. Tetapi, ketika ekpektasi
konsumsi individu fluktuatif dan mempengaruhi permanen income-nya, individu
diasumsikan melakukan pinjaman untuk mempermudah/memuluskan konsumsi
(smooth consumption). Hal ini serupa dengan Life-Cycle Hypothesis (LCH)
Franco Modigliani dan Albert Ando pada tahun 1963, yaitu mengasumsikan
pendapatan aktual akan lebih rendah daripada pendapatan ekpektasi individu,
sehingga individu akan melakukan pinjaman untuk memenuhi konsumsi.
Pinjaman tersebut dibayar ketika pendapatan mereka meningkat dan sisa uangnya
akan ditabung. Besarnya jumlah yang akan ditabung tidak akan sama dengan
jumlah pinjaman, karena adanya tingkat bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan,
tingkat bunga pinjaman berpengaruh negatif terhadap tingkat tabungan, ketika
6 Tim Miller: “Explaining Keynes’ Theory of Consumption, and Assessing its Strengts and
Weaknesses” dari http://www.economic-truth.co.uk/ 7 Tetapi tidak sebalinya, naik turunya konsumsi tidak mempengaruhi pendapatan.
7
tingkat bunga pinjaman tinggi, maka jumlah yang ditabung akan semakin
berkurang (Miller, 1996). Modigliani dan Ando menambahkan (meskipun
menjadi banyak pertentangan dan kurang pendukung di dunia akademis), individu
akan terus menabung (saving) pada masa mudanya dan akan menghabiskannya
(dissaving) pada masa tua.
Hutang kartu kredit jika ditempatkan dalam PIH dan LCH, akan menjadi
pinjaman untuk mengoptimalkan konsumsi sesuai dengan permanent income.
Tetapi dalam praktiknya, keberadaan hutang kartu kredit dapat membuat PIH
menjadi tidak signifikan, karena dalam pemakaiannya terdapat faktor – faktor
yang mempengaruhi pola konsumsi para pemegang kartu kredit. Faktor pertama
borrowing atau liquidity constraint. Zeldes (1989) menemukan permanent income
tidak signifikan atau tidak proporsional dengan pendapatan karena
liquidity/borrowing constraint, yaitu ketidaksempurnaan pasar modal (imperfect
capital markets) yang digambarkan dengan pembatasan pinjaman yang tidak
memungkinan individu berkonsumsi sesuai keinginan melalui hutang di pasar
uang (Lim dan Yoon, 2011), dan pola konsumsi dipengaruhi pendapatan saat
ini/current income (Lim dan Yoon, 2011; Holmes, 2011). Borrowing constraint
digambarkan Ludvigson (1999) dan Breu (2013) dalam bentuk deregulasi
pinjaman, ketika deregulasi diturunkan maka liquidity constraint akan menjadi
longgar sehingga pemegang kartu kredit dapat meningkatkan konsumsinya karena
mudah mendapatkan pinjaman. Dikaitkan dengan hutang kartu kredit, pemegang
kartu kredit ketika mudah mendapatkan hutangnya, maka mereka dapat
menggunakan hutang kartu kredit untuk mendorong konsumsinya8. Tetapi ketika
borrowing constraint ditingkatkan, pemegang kartu kredit berhadapan dengan
limit kredit sehingga konsumsi pemegang kartu kredit yang sebelumnya disokong
oleh hutang kartu kredit menjadi terbatas.
Berkaitan dengan itu, Lim dan Yoon (2011) menemukan bahwa total
konsumsi masyarakat Korea Selatan dipengaruhi oleh borrowing dan liquidity
constraint pada tahun 2000 – 2002Q2 (credit card bubble) dan tahun 2003 (credit
8Penerimaan hutang kartu kredit seharusnya sesuai dengan pendapatan pemegang kartu kredit
tersebut karena pendapatan merupakan indikator mampu tidaknya pemegang kartu kredit dapat
membayar kewajibannya. Jika pemegang kartu kredit bisa mendapatkan plafon kredit sesuai
“keinginannya”, maka standar pinjaman yang diterapkan perusahaan atau bank penerbit kartu
kredit sangat rendah. Lihat pada bagian kartu kredit dan krisis perbankan.
8
card crunch), berbeda dengan Kang dan Ma (2007) yang menyatakan hutang
kartu kredit digunakan untuk memuluskan konsumsinya. Masa credit card bubble
adalah masa pembuatan kartu kredit yang berlebihan oleh penerbit kartu kredit
karena dukungan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Korea
Selatan yang telah mengalami resesi akibat Krisis Asia 1997 dengan pelonggaran
deregulasi atau standar pinjaman oleh pemerintah dan penerbit kartu kredit.
Konsumsi nominal9 bertumbuh 10 persen pada tahun 2001 dan 11 persen pada
tahun 2002, kemudian GDP yang menurun 6.9 persen pada tahun 1998 mulai
meningkat 9.5 persen pada tahun 1999, 8.5 persen pada tahun 2000, dan 4.0
persen pada tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2003, consumption bubble
meledak menjadi credit card crunch akibat skandal SK Group. Perusahaan
penerbit kartu kredit menghindari masalah likuiditas dan resiko gagal bayar
dengan meningkatkan tingkat bunga hingga 20 persen, lebih tinggi dari bank
komersial dan langsung memotong hak hutang bagi pemilik kartu kredit
(borrowing constraint). Setelah penetapan tersebut, konsumsi pemilik kartu kredit
mulai menurun karena tidak ada hutang lagi untuk memenuhi konsumsi dan beban
hutang telah mengurangi pendapatan aktual mereka. Hal ini dikarenakan, ketika
pemilik kartu kredit melakukan konsumsi berdasarkan hutang kartu kredit dan
kemudian hutang kartu kredit dipotong atau dihilangkan, konsumsi mereka turun
sesuai dengan hak hutang mereka dan konsumsi mereka kembali didasarkan pada
pendapatan aktual mereka yang relatif lebih kecil dibanding beban hutang mereka.
Selain itu, kewajiban melunasi hutang kartu kredit memotong pendapatan aktual,
sehingga konsumsi akan semakin terbatas seiring penurunan pendapatan mereka.
Faktor yang kedua adalah kekayaan dan kesejahteraan tambahan. Kartu
kredit memberi uang tambahan sehingga menambah kekayaan pemilik kartu
kredit10
. Dalam industri kartu kredit, pemegang kartu kredit terbagi menjadi dua
jenis, yaitu pengguna yang menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi atau
pembayaran sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan mereka, disebut dengan
transactor (Kang dan Ma, 2007) atau rational discounters (White, 2007).
Kemudian, yang kedua adalah revolvers (Kang dan Ma, 2007) atau hyperbolic
9 Didorong oleh kartu kredit, karena lebih dari 50 persen total hutang adalah hutang kartu kredit.
10 Friedman mengartikan kekayaan sebagai banyaknya uang yang dimiliki.
9
discounters (White, 2010), yaitu pengguna yang memiliki pemikiran untuk
menabung di masa depan tetapi lebih memilih untuk berkonsumsi di masa
sekarang (Liabson, 1997 – White, 2007), menempatkan hutang sebagai
pendapatan untuk berkonsumsi dan kartu kredit sebagai alat berhutang. Revolvers
merasa kekayaannya bertambah karena mendapat uang tambahan dari kartu
kredit, sehingga keinginan untuk konsumsi menjadi bertambah. Namun di sisi
lain, kekayaan dari hutang kartu kredit dapat mencekik kesejahteraan para
pemegang kartu kredit ketika hutang kartu kredit lebih besar daripada pendapatan.
Para pemegang kartu kredit mungkin merasa kaya dan sejahtera karena dapat
berkonsumsi dengan leluasa, tetapi ketika diperlihatkan pada fakta yang
sebenarnya, kekayaan yang mereka miliki hanya ilusi. Morgan dan Toll (1997)
menemukan bahwa hutang kartu kredit telah mencekik kekayaan pemegang kartu
kredit Amerika Serikat terutama kaum minoritas, yaitu orang berkulit hitam.
Contohnya perempuan kulit hitam membeli barang-barang apapun itu (melalui
kartu kredit) untuk meningkatkan identitas diri (merasa layak) dan mendapatkan
harga diri (Myers11
, 2004). Kemudian, saat kembali ke kehidupan nyata,
kesejahteraan ilusi membuat mereka hidup dalam hutang besar yang harus segera
dibayar.
Faktor ketiga adalah kontrol pribadi (self control). Self control
menggambarkan keinginan konsumsi dan seberapa bijaksana pemegang kartu
kredit menggunakan kartu kreditnya. Self control tidak memandang tingkat
pendapatan para pemiliki kartu kredit, karena tergantung dari individu tersebut.
Bagi transactor yang menggunakan hutang kartu kredit secara rasional memiliki
self control yang lebih baik dibanding revolvers, sehingga pola konsumsinya
mungkin tidak terlalu berubah. Sedangkan revolvers sering memiliki self control
yang kurang dalam menggunakan hutangnya, karena mereka akan terus
melakukan konsumsi semaksimal mungkin hingga mencapai limit kartu kerdit.
Faktor keempat reward atau discount. Faktor ini sering menjadi alasan
calon atau pemegang kartu kredit untuk memiliki kartu kredit dan menjadi cara
penerbit kartu kredit untuk menarik calon pemilik kartu kredit. Pemberian reward
atau discount mendorong konsumsi individu karena merasa dipermudah dan
11
Linda James Myers – Profesor psikologi dan studi tentang orang Afrika – Amerika di Ohio State
University. Dikutip dari tulisan Kemba Dunham (2004).
10
diberi keuntungan. Sebagai contoh, Ibu Rusmani12
seorang asisten administrasi
salah satu perusahaan elektronik di Jakarta memiliki 13 kartu kredit. Alasan dia
memilikinya karena terpikat dengan hadiah dan discount13
jika menggunakan
kartu kredit, seperti potongan harga pembelian minum kesukaannya (Starbucks),
diskon 50 persen untuk Pizza Marzano, dan mendapat tiket film.
Faktor yang kelima adalah tingkat bunga pinjaman. Tingkat bunga
pinjaman menentukan apakah individu melakukan konsumsi atau menyimpan.
Ketika tingkat bunga pinjaman rendah, individu akan mengajukan kartu kredit
dibandingkan dengan menyimpan. Dengan acuan ini, tingkat bunga yang rendah
(mencapai 1 persen) menjadi alat iklan penerbit kartu kredit untuk menarik
pemegang kartu kredit baru.
Faktor keenam adalah usia. Modigliani dan Ando menyebutkan bahwa
individu berusia muda akan lebih memilih untuk menabung, kemudian saat tua
akan melakukan konsumsi dari tabungan mereka. Tetapi, saat pernyataan ini
dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit, pernyataan tersebut menjadi tidak
terbukti ketika pemegang kartu kredit lebih didominasi oleh individu muda, hal ini
menunjukkan bahwa individu muda lebih memilih untuk melakukan konsumsi
dibanding menabung. Di Amerika, individu muda pada kisaran 18 – 25 tahun
seperti mahasiswa mendominasi pemakaian kartu kredit, hal ini dikarenakan
pemakaian kartu kredit sudah lazim dalam kehidupan sosial mereka dan telah
memberikan rasa harga diri. Selain itu, penyebab individu muda lebih melakukan
konsumsi ketika memegang kartu kredit adalah mereka sedang memasuki masa
transisi menuju “kedewasaan” yang menganggap dirinya sudah mampu
memanajemen keuangan mereka sendiri, sehingga mereka hanya memikirikan
yang penting konsumsi sekarang bukan berapa pendapatan yang dimiliki
(Sotiropoulos dan D’Astous, 2012). Ekici dan Dunn (2009) sependapat bahwa
hutang kredit terbesar didominasi oleh individu muda, namun dia menambahkan
bahwa hutang kartu kredit mulai menurun saat pemegang kartu kredit memasuki
usia 30an. Hal ini dikarenakan, pemegang kartu kredit muda telah banyak
12
http://online.wsj.com/news/articles/SB10001424127887324539404578339851149437598 13
Penerbit kartu kredit tidak takut untuk kehilangan keuntungan dari pemberian hadiah atau
diskon, karena dapat terutup dari tingkat bunga per pengguna kartu kredit yang mencapai 35
persen per tahun.
11
berkonsumsi hingga melebihi anggaran (overspending consumption). Kemudian,
melihat besarnya hutang yang dimiliki saat muda membuat pemegang kartu kredit
yang memasuki usia dewasa hingga tua, menurunkan konsumsi melalui kartu
kredit, karena mereka lebih mempertahankan kekayaannya daripada memuluskan
konsumsinya (Holmes, 2011).
Faktor ketujuh adalah ekspektasi pendapatan (Ekici dan Dunn, 2010). Hal
ini paling dirasakan oleh para revolvers, mereka bereksepktasi bahwa pendapatan
mereka akan bertambah dan nantinya dapat digunakan untuk membayar hutang
kartu kredit mereka, sehingga mereka tidak merasa salah ketika berkonsumsi dan
melebihi pendapatan mereka saat itu. Tetapi, ketika ekpektasi mereka tidak
terwujud dengan masih tetap atau menurunnya pendapatan mereka, mereka
dihadapkan pada hutang kartu kredit yang beresiko menjadi kredit macet dan
liquidity constraints dari pembatasan hutang yang mereka dapatkan. Akibatnya,
konsumsi mereka menjadi berkurang atau langsung terpotong.
Kartu Kredit, Personal Bankruptcy, Predator Lending, dan Debt Collector
Fenomena gagal bayar atau kredit macet adalah ketika pemegang kartu
kredit tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya tepat waktu
sesuai dengan kesepakatan. Gagal bayar sering dihadapi oleh pemegang kartu
kredit yang terus menggunakan kartu kredit untuk “tujuan utama” pribadi, yaitu
meningkatkan harga diri – kehormatan, merasa layak14
, pengalihan mendapatkan
kebahagiaan15
, pemberi pemenuhan kebutuhan, dan pinjaman16
. Sehingga mereka
tidak melakukan konsumsi atas apa kebutuhan mereka dan seberapa besar
transaksi yang sesuai dengan kemampuan bayar mereka. Akibatnya, pemegang
kartu kredit tersebut sering dihadapkan pada hutang yang melebihi pendapatan
dan relatif terus membengkak, sehingga mereka harus bekerja keras untuk
membayar kewajibannya dengan pendapatan mereka yang seadanya. Di tengah
pembayaran kewajiban, porsi pendapatan untuk membayar hutang akan menurun
karena pemegang kartu kredit tersebut juga memiliki kebutuhan yang harus
dipenuhi dari pendapatan mereka, hal ini memungkinkan pemilik kartu kredit
14
Kasus hutang kartu kredit orang Amerika berkulit hitam 15 Ive League membeli sepatu dan baju mahal karena memiliki gaji yang kurang layak bagi dia dan
pekerjaan yang tidak disukainya; Cheryl Smith memperbolehkan orang lain 16
revolvers
12
memperlambat pembayaran kewajibannya hingga tergoda untuk menyatakan
dirinya tidak mampu membayar/credit card defaulter (Morgan, 1997). Keadaan
tersebut berlanjut menjadi personal bankruptcy, yaitu pemegang kartu kredit
sudah tidak memiliki aset untuk membayar kewajiban kartu kreditnya, karena
hutang yang terus membesar tersebut tidak dimanajemen dengan baik (Ausubel,
1997 dan White, 2007). Jenis pemegang kartu kredit yang rentan berhadapan
dengan hal ini adalah revolvers atau hyperbolic transactor karena cara pandang
penggunaan kartu kredit mereka dan mudahnya mereka menjadi sasaran penerbit
kartu kredit untuk menyuburkan pertumbuhan kartu kredit.
“You feel you have money all the time when you have credit
cards,” he said. “You gradually realize the truth when you see your
bills in the months that follow. And you can’t seem to stop them
from growing bigger.”
– kamu merasa memiliki uang sepanjang waktu ketika memiliki
beberapa kartu kredit. Lalu kamu mulai menyadari kebenaran
ketika melihat tagihan – tagihan bulan sebelumnya. Dan kamu
tidak bisa menghentikan pertumbuhan mereka yang semakin
membesar.17
Selain dari sisi pemegang kartu kredit, kredit macet juga disebabkan oleh
tindakan bank dan perusahaan penerbit kartu kredit yang mengubah diri mereka
menjadi “predatory lending”. Di Amerika Serikat, Stadler (2012) menyebut para
penerbit kartu kredit sebagai predatory lending karena mereka seperti predator
buas yang memakan mangsa- mangsa yang lemah, yaitu mangsa – mangsa calon
pemegang kartu kredit yang sebenarnya tidak layak memiliki kartu kredit, seperti
orang miskin atau orang yang memiliki riwayat tidak boleh memperpanjang
kredit, tidak masuk dalam kualifikasi pemegang kartu kredit pada umumnya, dan
riwayat kredit yang buruk. Para predatory lending melakukan promosi besar-
besaran dengan masuk ke universitas untuk menarik orang muda dan mengirim
surat kepada sasaran mereka, kemudian menyatakan kalau para sasaran ini sudah
17
http://www.thejakartaglobe.com/archive/indonesians-piling-up-credit-card-debt/
13
setengah diterima sebagai calon pemegang kartu kredit (pre-approved) seolah-
olah sudah masuk standar kualifikasi. Para sasaran ini mendapat dorongan
impulsif dan kompulsif dengan keberadaan kartu kredit ini (Mansfield, Pinto, dan
Robb, 2013), sehingga mereka akan menyetujui kepemilikan kartu kredit tersebut
mengingat semakin rendah level pendapatan maka semakin tinggi keinginan untuk
melakukan konsumsi karena terbatasnya materi-materi yang mereka miliki.
Penuruan dan pelonggaran standar pinjaman kartu kredit disebabkan oleh
kompetisi-kompetisi antar penerbit kartu kredit yang inging meningkatkan
pertumbuhan kartu kredit mereka sendiri (Kang dan Ma, 2009) dan tidak ada
peraturan atau sanksi tegas dari otoritas mengenai penurunan standar pinjaman
oleh para predatory lending (Stadler, 2012). Akibatnya, 1 pemegang kartu kredit
dapat memiliki kartu kredit lebih dari 1 (satu), meskipun pemegang kartu kredit
tesrebut tidak tidak sesuai dengan standar peminjaman dan peminjam buruk
(worst borrower).
Hasil dari penurunan standar peminjaman oleh penerbit kartu kredit adalah
gagal bayar (credit card default) (Ausubel, 1997) karena proporsi hutang kartu
kredit pemegang kartu kredit menjadi lebih besar dibanding pendapatan aktual
mereka. Hal ini diperparah jika mayoritas nasabahnya adalah revolver, karena
mereka menggunakan kartu kredit sebagai pinjaman untuk memenuhi keinginan
dibanding dengan kebutuhan. Selain itu, kurangnya pemahaman pemegang kartu
kredit tentang industri kartu kredit yaitu lembaga penerbit memiliki wewenang
(semaunya) mengubah tingkat bunga kartu kredit, limit kewajiban per bulan, dan
biasaya pinalti. Sehingga, ketika pemilik kartu kredit mengalami gagal bayar,
hutangnya bisa semakin besar karena sifat bunga yang eksponensial, tingkat
bunga berubah-berubah, pembayaran minimum naik, dan charge yang bisa besar.
sehingga beban hutangnya semakin besar. Hal-hal inilah yang dimanfaatkan para
penerbit kartu kredit dan jika hutang tersebut tidak dimanajemen dengan baik oleh
pemilik kartu kredit, maka mulailah dia mengarahkan hidupnya kebangkrutan
pribadi (personal bankruptcy).
Kebangkrutan ini menjadi teror bagi pemegang kartu kredit jika tidak
adanya hukum yang melindungi para bankruptcy, karena terdapat penerbit kartu
kredit yang bekerjasama dengan debt collector untuk menagih hutang. Debt
14
collector terkenal dengan tindakan kekerasan seperti penganiayaan agar pemilik
kredit yang belum bayar segera melunasi tagihan mereka. Selain itu, juga terdapat
perusahaan penagih hutang yang sistemnya lebih parah dibanding debt collector
seperti menculik salah satu keluarga atau merusak properti keluarga pemilik kartu
kredit. Ketika bank penerbit atau debt collector tidak menemukan pemilik kartu
kredit yang gagal bayar, mereka akan menagih ke keluarga pemilik kartu kredit
yang namanya ditulis di kesepakatan. Jika aset keluarga pemegang kartu kredit
terkait tidak dapat melunasi seluruhnya, mulailah personal bankruptcy ini
berkembang menjadi family bankruptcy.
Kartu Kredit dan Krisis Perbankan
Claessens dan Kose (2013) mengartikan krisis keuangan sebagai
manifestasi dari hubungan timbal balik antara sistem keuangan dengan ekonomi
riil yang sering didahului oleh aset dan kredit yang menggelembung, kemudian
meledak. Penyebab krisis perbankan pada umumnya disebabkan oleh bank runs
dan/atau hilangnya nilai hutang dalam pasar aset seperti real estate (Casselens dan
Kose, 2013). Tetapi, pada kenyataannya pemicu krisis perbankan dapat berasal
dari hutang sektor rumah tangga, yaitu hutang kartu kredit. Dalam menjelaskan
bagaimana kartu kredit berkontribusi pada krisis perbankan, digunakan contoh
kasus krisis perbankan Korea Selatan pada tahun 2003 dan mengacu pada tulisan
Kang dan Ma (2007).
Pada tahun 1998, pertumbuhan Korea Selatan menurun 7,52 persen akibat
krisis Asia 1997. Untuk keluar dari resesi tersebut, pemerintah menetapkan
kebijakan ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga agar terjadi pertumbuhan
ekonomi melalui peningkatan sektor investasi. Namun penurunan tingkat bunga
tersebut tidak diikuti dengan peningkatan permintaan kredit investasi (tetap
rendah), melainkan diikuti peningkatan permintaan kredit rumah tangga, yaitu
kartu kredit. Hal ini disebabkan masyarakat Korea Selatan sulit untuk memenuhi
konsumsi mereka yang terlihat dari penurunan sektor konsumsi pada tahun 1998
sebesar 10,29 persen, sehingga ketika hutang konsumsi ditawarkan dengan tingkat
bunga yang rendah, masyarakat Korea Selatan melakukan pinjaman melalui kartu
kredit untuk memenuhi kebutuhan mereka (Kang dan Ma, 2007).
15
Perbankan Korea Selatan mulai beralih ke sektor rumah tangga dengan
menerbitkan kartu kredit sebanyak mungkin karena banyaknya permintaan hutang
kartu kredit dan keuntungan besar yang didapatkan dari margin18
-nya dibanding
jenis kredit yang lain. Akibatnya, kartu kredit dapat meningkatkan sektor
konsumsi sebesar 8,87 persen pada tahun 1999. Sektor konsumsi menopang lebih
dari 60 persen nilai GDP dan 80 persen sektor konsumsi berasal dari konsumsi
rumah tangga, sehingga peningkatan konsumsi rumah tangga berdampak besar
pada pertumbuhan ekonomi Korea Selatan.
Sumber: WorldBank
Besarnya pengaruh kartu kredit terhadap pertumbuhan ekonomi membuat
pemerintah melakukan intervensi langsung untuk mendorong pertumbuhan kartu
kredit lebih tinggi lagi agar pertumbuhan kartu kredit dapat terdorong melalui
sektor konsumsi rumah tangga. Dalam mencapai hal tersebut, pemerintah
memberikan pajak manfaat (benefit tax) kepada merchant yang menggunakan
kartu kredit dalam transaksi mereka, memotong pajak penghasilan bagi
masyarakat uang menggunakan kartu kredit, merubah regulasi dengan menghapus
batas tertinggi administratif kas bulanan sebesar KRW 700.000 (USD610) dan
limit hutang hingga 20 kali modal bagi penerbit kartu kredit, serta peraturan
persyaratan modal bagi penerbit kartu kredit khusus hanya 7 persen. Akibatnya
permintaan dan penawaran kartu kredit semakin meningkat dan terjadi
pertumbuhan kartu kredit hingga tahun 2002.
18
Hutang kartu kredit merupakan hutang tanpa jaminan, sehingga penerbit akan memberikan
tingkat bunga yang tinggi untuk menghindari kredit macet. Margin adalah biaya atau jaminan yang
harus dibayarkan kepada penerbit seperti pembayaran minimum setiap bulan.
63.87 63.88
63.79 63.43
64.60 64.63
62.13
64.19
66.58
68.58 69.33
67.84 65.91
67.61
68.99 69.06
69.97 70.02
67.90 68.47
69.37
Final consumption expenditure, etc. (% of GDP)
Grafik 2 Kontribusi Sektor Konsumsi Terhadap Nilai GDP
16
Pertumbuhan kartu kredit yang cepat mengubah laba bersih bank menjadi
positif meskipun loan to deposit Korea menurun 10 – 15 persen poin pada tahun
1998 – 2000. Hal ini membuat bank dan perusahaan kartu kredit berkompetisi
untuk mendapatkan pemegang kartu kredit sebanyak-banyaknya dan berakibat
pada peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar hingga 3 kali lipat dari 39 juta
pada tahun 1999 menjadi 105 juta kartu pada tahun 2002 dan laba bersih
perbankan yang dari angkat negatif menjadi angka positif pada tahun 2000 (Kang
dan Ma, 2007).
Hutang kartu kredit selain digunakan untuk konsumsi19
, juga digunakan
masyarakat untuk mendapatkan pendapatan tetap dari Investment Trust
Companies (ITCs), membayar dana pensiun, dan asuransi (Kang dan Ma, 2007).
Selain itu, pemakaian hutang kartu kredit didominasi oleh pengguna kartu kredit
dari masyarakat kelas menengah dan ke bawah20
karena kartu kredit membantu
mereka untuk dapat hidup seperti masyarakat kelas atas dengan standar hidup
Korea Selatan yang tinggi, yaitu memiliki barang – barang superior.
Dari dampak positif yang diberikan kartu kredit terhadap industri kartu
kredit dan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan di atas, pemerintah dan penerbit
kartu kredit memperlihatkan ketidaksiapannya dalam liberalisasi keuangan yang
mulai membawa Korea Selatan kepada krisis perbankan, yaitu pelonggaran
standar peminjaman dan infrastruktur informasi pemegang kartu kredit yang
terbatas. Pertama pelonggaran standar pinjaman oleh para penerbit kartu kredit
akibat kompetisi antar penerbit kartu kredit dan kurangnya pengalaman
pendatang-pendatang baru di sektor perbankan. Besarnya pangsa pasar kartu
kredit dan kemudahan yang diberikan pemerintah membuat para penerbit kartu
kredit berkompetisi mendapatkan pemegang kartu kredit. Mereka menempatkan
revolvers sebagai sasaran utama karena mudahnya mereka memakai kartu kredit
yang ditawarkan kepada mereka tanpa melihat kemampuan membayar dan
riwayat kredit para revolvers tersebut. Akibatnya, 1 orang pemegang kartu kredit
memiliki lebih dari 1 kartu kredit dari berbagai bank dan perusahaan penerbit
19
Kartu kredit belanja meningkat hingga 45.7 persen dari pengeluaran private consumption dan
kartu kredit tunai melonjak 65 persen dari total tagihan kartu kredit 20
Masyarakat miskin menurut Kang dan Ma (2007) memiliki pertumbuhan kartu kredit yang lebih
cepat dibanding mayarakat kelas menengah dan atas.
17
dengan batas limit yang pemegang kartu kredit inginkan dan orang tidak bekerja
dapat memiliki kartu kredit yang terlihat dari jumlah pemegang kartu kredit pada
tahun 2001 yang mencapai puncaknya sebesar 104 juta pengguna dengan jumlah
masyarakat bekerja hanya 22 juta orang (Lim dan Yoon, 2011).
Selanjutnya yang kedua adalah infrastruktur pelaporan kredit Korea
terbatas, yaitu pelaporan pemberi pinjaman sistem kredit Korea, data pemegang
kartu kredit, dan jenis data yang dikumpulkan. Bank dan perusahaan penerbit
kartu kredit menyimpan data pemegang kartu kreditnya karena ingin memonopoli
industri kartu kredit, sehingga tidak diketahui dengan pasti bagaimana riwayat
pemegang kartu kredit tersebut, apakah sudah memiliki hutang yang lebih besar
dibanding asetnya, apakah mengalami kredit macet, dan apakah merupakakan
pemegang kartu kredit yang layak. Keterbatasan informasi ini didukung dengan
kebijakan pemerintah Korea pada Mei 2001 yang menghapus setengah data
pelanggaran pemegang kartu kredit dalam asosiasi bank lokal sehingga
mempersulit penerbit kartu kredit untuk mengidentifikasi pelamar kartu kredit
mana yang baik dan buruk.
Pertumbuhan kartu kredit dari tahun 1999 – 2002, rendahnya standar
pinjaman, dan informasi asimetris tentang pemegang kartu kredit menghasilkan
rasio household debt to disposable income meningkat dari 41 persen pada tahun
1999, menjadi 64 persen pada tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa hutang
rumah tangga yang didominasi oleh hutang kartu kredit melebihi pendapatan para
pemegang kartu kredit dan memperlihatkan bahwa terjadi kredit macet, yang
diwakili dari rasio delinquency yang meningkat (Kang dan Ma, 2007).
Penumpukan hutang kartu kredit di atas menjadi sebuah ledakan setelah
perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit dan ITCs mengalami krisis likuiditas
akibat jatuhnya nilai saham SK Group tempat mereka menanam saham karena
kasus SK Global pada Maret 2003, yaitu penipuan dan penjualan saham SK
Group ilegal. Saham ITC’s menurun dan investor mulai melepas sahamnya, tetapi
penerbit kartu kredit terutama dari perusahaan penerbit kartu kredit seperti
LGCard tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar hutang-hutang
kartu kredit yang ditanam di ITCs. Akhirnya perusahaan-perusahaan penerbit
mengalami kepanikan dengan menaikkan tingkat bunga hingga 20% dan
18
memotong hutang kartu kredit pemegang kartu kreditnya untuk mengatasi krisis
likuiditas mereka, tetapi yang terjadi adalah ledakan gelembung hutang kartu
kredit.
Gelembung hutang kartu kredit diperlihatkan dari semakin besarnya
hutang kartu kredit yang macet dan krisis likuiditas yang dihadapi oleh bank dan
perusahaan penerbit kartu kredit. Selain itu, hutang yang dimiliki para pemegang
kartu kredit menjadi semakin besar karena tingkat bunga dan biaya pinalti yang
semakin tinggi. Pendapatan para pemegang kartu kredit yang telat membayar
dan/atau belum sanggup melunasi seluruhnya, diancam dan/atau dipotong oleh
penerbit kartu kredit sebagai bentuk pelunasan, akibatnya banyak dari mereka
yang tidak memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehingga sektor konsumsi menurun.
“Choi Pyong Jin memiliki kebiasaan menggunakan seluruh 18
kartu kreditnya ke ATM. Rata-rata hutangnya perbulan mencapai
USD25.000 melebihi pendapatannya. Pada masa pelunasan, Choi
tidak mampu membayar hutangnya. Meskipun sudah menjual
rumahnya kepada perusahaan kartu kreditnya, hutangnya masih
USD113.000. Memotong-motong kartu kredit menjadi tindakan
yang sia-sia.”
Bank of Korea mengatasi krisis tersebut dengan menghimbau para
penerbit kartu kredit untuk tetap merendahkan tingkat bunganya meskipun masih
ada yang menetapkan tingkat bunga tinggi. Kemudian mengatasi permasalahan
dalam pasar saham yang berkaitan dengan hutang kartu kredit dengan memberi
injeksi sebesar KRW 4 triliun melalui sistem operasi pasar terbuka dengan
membeli obligasi pemerintah dan menebus Monetary Stabilisation Bonds. Setelah
itu menginjekasi LG Card sebesar KRW 3,7 triliun karnea LG Card21
sebagai
penerbit kartu terbesar Korea yang timbunan hutangnya 70 persen dari pinjaman
buruk dari tahun 2000 – 2001 dan operasi serta dana hutang kartu kreditnya
berasar dari bank-bank komersial yang mencapai KRW 11,2 triliun (Kang dan
21
LG Card merupakan penerbit kartu kredit terbesar dan hutangnya mencapai lebih USD250 juta,
kemudian yang terbesar ketiga adalah KEB Credit
19
Ma, 2007). NPL tinggi membuat perusahaan-perusahaan kartu kredit dan bank-
bank komersial bangkrut dengan kualitas aset yang buruk.
Claessens dan Kose (2013) menyatakan bahwa krisis perbankan yang
mempengaruhi ekonomi riil negara, hal ini terbukti dari pengetatan deregulasi dan
pemotongan hutang langsung sebagai cara mengatasi krisis hutang kartu kredit
Korea Selatan terbukti menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.91 persen.
Penurunan konsumsi ini sangat dirasakan oleh masyarakat menengah dan miskin
(Lim dan Yoon, 2011). Hal ini serupa dengan penemuan Tufan dan Dunn (2010)
di Amerika bahwa pertumbuhan hutang kartu kredit berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga
Dampak dari ledakan ini tidak hanya dirasakan dunia perbankan dan
perekonomian saja, tetapi efek sosial mulai terasa ketika tagihan dadakan
diberikan ke pemegang kartu kredit. Pendapatan pemegang kartu kredit
berkurang, tidak ada lagi kemampuan membeli keinginan mereka untuk memiliki
standar hidup yang tinggi, dan muncul kriminalitas hingga bunuh diri.
“Pada musim semi, Koran dan TV Korea ramai
memberikan berita kejadian bunuh diri yang berhubungan dengan
hutang. Wanita berumur 34 tahun mendorong dua anaknya yang
berumur 3 dan 7 tahun dari jendela apartemennya di lantai 15.
Kemudian, perempuan itu juga melompat sambil mengendong
anaknya laki-laki yang berumur 6 tahun. Pihak kepolisian
menyatakan, perempuan itu diidentifikasi sebagai Ibu Sohn yang
memiliki hutang kartu kredit sebesar USD25.000. Dia putus asa
karena tidak dapat melunasi hutangnya karena suaminya hanya
seorang pekerja konstruksi”.
Money Illution, Masyarakat Konsumtif, dan Budaya Hutang
Masyarakat konsumtif adalah masyarakat yang melakukan konsumsi
berlebihan untuk memenuhi keinginan dan kepuasan yang maksimal dan tanpa
batas. Kaitannya dengan kartu kredit, kartu kredit memberikan kekayaan dan
kesejahteraan, sehingga ketika pemegang kartu kredit merasa dapat melakukan
konsumsi sesuai keinginan, daya beli mereka akan meningkat dan mulai
memasuki pola konsumsi masyarakat konsumsi ketika mereka melakukan
20
konsumsi bukan berdasarkan apa kebutuhan mereka, melainkan keinginan
khususnya para pemegang kartu kredit revolvers atau hyperbolic discounters yang
menempatkan kartu kredit sebagai alat berhutang, sehingga mereka menjadi
kecanduan berkonsumsi dan kecanduan berhutang.
Keinginan yang sering menjadi alasan penggunaan kartu kredit yang
berlebihan adalah untuk mendapatkan harga diri, rasa hormat, diterima,
kebahagiaan, dan status. Hal-hal tersebut dijadikan alasan pemegang kartu kredit
untuk merasa layak dan diterima, terutama masyarkat menengah dan kebawah
yang merasa memiliki status setelah dapat mengikuti konsumsi kelas menengah
keatas dan kelas atas. Contoh nyata adalah kehidupan dan pola konsumsi
masyarakat Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan merasa dihormati
keberadaanya ketika mereka mampu memenuhi standar hidup mereka yang tinggi
seperti membeli superior good – barang bermerek dengan keadaan pendapatan
mereka rendah. Tercatat pada tahun 2012 pendapatan terendah sekitar $4.31/jam,
oleh karena itu, terlihat bahwa kartu kredit menjadi jawaban yang tepat bagi
mereka untuk merasakan rasa hormat versi masyarakat Korea Selatan.
Kebiasaan mengubah kartu kredit sebagai sumber pendapatan mereka
berlangsung menjadi sebuah kecanduan bagi pemegang kartu kredit untuk
berkonsumsi dan berhutang serta mulai menjadi sebuah budaya, yaitu budaya
hutang. Dalam budaya hutang, pemegang kartu kredit bukan lagi sebagai
pemegang kartu kredit melainkan debtor dan kartu kredit sudah mendarah daging
dalam kehidupan para penggunanya, seperti di Amerika Serikat dan Korea
Selatan. Meskipun Korea Selatan pernah mengalami krisis perbankan pada tahun
2003 akibat kartu kredit, hutang rumah tangga pada tahun 2012 mencapai 152.3
persen meningkat menjadi 164 persen dari disposable income pada tahun 201322
dan tabungan rumah tangga menurun dari 20 persen pada pertengahan 1990an
menjadi hanya 3 persen pada tahun 2013. Angka-angka tersebut menunjukkan
bahwa hutang rumah tangga Korea Selatan melebihi pendapatan penggunanya dan
kebiasaan menabung sudah dikalahkan dengan kebiasaan konsumsi. Selain itu,
hutang kartu kredit telah mendominasi perekonomian negara, terlihat dari total
22
Dr. Jongsung Kim dari The Korea Economic Institute
21
hutang rumah tangga pada September 2012 mencapai $888.8 miliar yang
merupakan ¼ dari seluruh perekonomian Korea Selatan.
Pemerintahan Korea Selatan yang baru tahun 2012 memasukann budaya
hutang kartu kredit menjadi bagian masyarakat ke bawah, yaitu masyarakat
miskin. Tujuan kebijakan ini adalah menggunakan masyarakat untuk
meningkatkan pengeluaran domestik demi menyeimbangkan perekonomian,
akibat melambatnya pertumbuhan perusahaan besar manufaktur.
One of the poorest citizen Mr Park Jong-hyun has 10 active credit
cards. – Pak Park Jong-hyun merupakan salah satu orang termiskin
di Korea selatan yang memiliki 10 kartu kredit aktif.
Cara yang dilakukan pemerintah Korea Selatan adalah dengan membantu
masyarakat termiskin memanajemen hutang kartu kredit mereka dengan membuat
Korea’s National Happines Fund, yaitu organisasi ini memiliki tugas
memanajemen hutang kartu kredit masyarakat miskin seperti memotong hutang
yang harus dikembalikan dengan fakta bahwa rata-rata hutang pemegang kartu
kredit mencapai $10.000, sedangkan rata-rata pendapatan pemegang kartu kredit
kurang dari ½ total rata-rata hutang.
Mr Park (the happy man) dipotong kewajibannya hingga 50 persen
oleh salah satu manajer Korea’s National Happines Fund.
Besarnya masyarakat konsumtif, cara pemakaian kartu kredit, dan
kebijakan yang dilakukan pemerintah Korea Selatan membuat negara ini
dinobatkan menjadi Republik Kartu Plastik. Korea Selatan menjadi negara yang
memiliki total transaksi per kapita terbesar ke 5 sebesar 167.8 transaksi setelah
USA (235.2 transaksi) pada urutan pertama dan Kanada (209.9 transaksi) pada
urutan kedua. Sedangkan transaksi per kapita mencapai 129.7 transaksi pada
tahun 2011 dan meningkat 12.8 persen menjadi 114.9 transaksi, transaksi ini lebih
besar dibanding dengan US sebesar 77.9 transaksi, Australia 74.6 transaksi dan
Hongkong 55.1 transaksi. Seluruh pembelian menggunakan kartu mencapai
110.01 miliar transaksi pada tahun 2012, 74.6 persennya adalah transaksi
menggunakan kartu kredit dan 24.8 persen menggunakan kartu debit. Volume
22
transaksi naik 5.6 persen per tahun (2012) sebesar 646.5 triliun won setara dengan
US$576 miliar. Alasan tingginya rata-rata transaksi ini, menurut Bank of Korea
sebagai upaya Korea Selatan untuk meningkatkan permintaan domestik dan pajak
penerimaan setelah krisis keuangan Asia 1997 – 1998.
Melihat bagaimana alasan penggunaan kartu kredit hingga
membudidayanya hutang dalam kehidupan pemegang kartu kredit, keberadaan
kartu kredit diibaratkan sebagai uang ilusi (illusion money), karena konsumsi
bukan berdasarkan jumlah uang yang beredar tetapi berapa hutang yang beredar.
Resiko uang ilusi ini konsumsi tinggi yang menghasilkan inflasi dan dalam jangka
panjang meningkatkan standar hidup. Jika hutang kartu kredit dihilangkan secara
tiba-tiba, mungkin masyarakat Korea Selatan akan sadar bahwa standar hidup
yang tinggi dan inflasi merupakaan ciptaan merka sendiri karena mengejar
kesejahteraan ilusi melalui kartu kredit.
Memiliki masyarakat konsumtif tidak selalu menjadi sebuah konsep
negatif, pemakaian kartu kredit untuk mengonsumsi barang dan jasa domestik
tidak hanya memberi pertumbuhan ekonomi, melainkan juga peningkatan neraca
perdagangan. Tetapi ketika mengonsumsi barang dan jasa impor akan mengurangi
neraca perdagangan negara tersebut. Syarat ketika masyarakat konsumtif dan
penggunaan kartu kredit menjadi dampak positif dalam perekonomian adalah
tidak menghasilkan kredit macet, karena kredit macet akan memberikan,
consumption bubble yang ketika meledak, akan memberikan resesi ekonomi.
KASUS NEGARA
Hongkong SAR (2002)
Krisis Asia tahun 1997 telah menurunkan investasi dan permintaan kredit akan
investasi, terlihat dari loan to deposit ratio hanya 15 persen pada tahun 1995 dan
20 persen pada tahun 2000 (Kang dan Ma, 2007) sedangkan standar normal LDR
adalah 80 – 110 persen. Kebijakan ekspansif untuk menarik investor dengan
tingkat bunga pinjaman yang rendah tidak meningkatkan permintaan kredit
investasi, tetapi meningkatkan kredit konsumtif, yaitu pinjaman rumah tangga
melalui hutang kartu kredit. Banyaknya permintaan kartu kredit karena krsisis
Asia 1997 menghancurkan sektor investasi dan menciptakan tingginya tingkat
23
pengangguran di Hongkong SAR. Pertumbuhan kartu kredit yang tahun 2000 –
2001 mampu mendorong pertumbuhan konsumi rumah tangga yang lesu akibat
pemotongan kekayaan dari krisis Asia 1997. Banyaknya permintaan kartu kredit,
menarik perusahaan penerbit kartu kredit dari luar negeri untuk membuka cabang
di Hongkong secara langsung dan tidak bekerjasama dengan bank lokal. Kang dan
Ma (2007) melalui tulisan Dell’Ariccia dan Marquez (2006) menjelaskan bahwa
semakin kuat ekspansi kartu kredit dikarenakan semakin longgarnya standar
kepemilikan kartu kredit. Ketersediaan kartu kredit memudahkan masyarakat
Hongkong mendapatkan kartu kredit, sehingga mereka mudah berkonsumsi
meskipun sedang menganggur.
Sumber: WorldBank
Tahun 2000, pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik 4.52 persen dan
tahun 2001 1.40 persen. Porsi kartu kredit dalam GDP meningkat, dari 3 persen
pada tahun 1998 menjadi 5 persen pada tahun 2001 (Kang dan Ma, 2007). Tetapi
memasuki pertengahan 2001 hingga tahun 2003, Hongkong SAR telah diserang
virus SARS yang berdampak negatif terhadap perekonomian Hongkong.
Pertumbuhan GDP turun 0.6 persen terutama dari sektor investasi dan pariwisata,
tingkat pengangguran meningkat terutama setelah pemangkasan biasa pekerja
oleh investor, dan menurunya harga aset properti, mortgage serta credit card.
9.26% 8.58%
7.85%
6.50%
1.63%
3.72%
5.54%
-5.50%
1.05%
4.52%
1.40%
-1.05% -1.56%
7.13%
3.54%
6.10%
8.65%
1.90%
0.18%
6.11%
8.43%
4.25%
-8.00%
-6.00%
-4.00%
-2.00%
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
Hong Kong SAR, China
Grafik 3
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Hongkong SAR Tahun 1991 – 2012
24
Pada masa SARS, masyarakat Hongkong dilarang keluar rumah untuk
isolasi agar tidak tertular dan menyebar, hal ini menghalangi masyarakat pemilik
kartu kredit mendapatkan pendapatan terutama mereka yang sudah menjadi
penggangguran. Bank dan perusahaan penerbit menghadapi masalah dengan
meningkatnya hutang yang tidak terbayarkan. Delliquency ratio, yaitu rasio
hutang kartu kredit yang belum dibayar melebihi 90 hari jatuh tempo, dari tahun
2001 – 2003 tertinggi mencapai 1.9 persen pada kuarter 1 tahun 2001. Hal ini
menunjukkan bank dan perusahaan menerbit kartu kredit di Hongkong
menanggung 1.15 Miliar HKD. Pengetatan peraturan oleh penerbit kartu kredit
menjadi liquidity constraint bagi pengguna kartu kredit. Hal ini mengubah
pemilik kartu kredit yang memiliki hutang dan menyandarkan konsumsinya
menajdi personal bankruptcy. Berbeda dengan negara lain, Hongkong melakukan
rezim memaafkan pemilik kartu kredit yang sudah mengalami personal
bankruptcy (Kang dan Ma, 2007).
Taiwan (2006) Kang dan Ma (2007) menjelaskan, krisis Asia tahun 1997 membuat keadaan
makroekonomi Taiwan memburuk dari resesi dan melambatnya sektor domestik.
Pada masa pemulihannya, ekspor Taiwan terkena dampak negatif dari
perlambatan ekonomi dunia akibat ledakan dot.com (2000) dan serangan 9/11 di
Amerika Serikat. Keadaan Taiwan tersebut membuat para enterprenuer Taiwan
lari ke China, kemudian dengan populernya pasar sekuratis membuat rendahnya
permintaan pinjaman akan investasi terhadap bank-bank di Taiwan meskipun
tingkat bunga riil dan nominal sudah rendah. Di sisi lain, pinjaman rumah tangga
khususnya kartu kredit meningkat, masyarakat menggunakannya untuk
pembayaran hipotek, pinjaman mobil, dan pinjaman kesejahteraan pekerja.
Akhirnya, 50 bank dan 315 perusahaan kredit di Taiwan lebih fokus pada
pinjaman rumah tangga dibanding kredit yang lain.
Dari tahun 1991 – 2005, kartu kredit berperan pada pertumbuhan ekonomi
Taiwan melalui sektor konsumsi rumah tangga (Lee dan Huang, 2011). Tahun
2002, 5 persen GDP berasal dari transaksi kartu kredit, kemudian tahun 2005
meningkat menjadi 9 persen. Pertumbuhan kartu kredit di Taiwan sejak tahun
1998 hingga tahun 2005 mencapai sekitar 420 persen, yang terdiri dari kartu
25
kredit belanja dan kartu kredit tunai (Kang dan Ma, 2007). Selain dari
peningkatan permintaan kartu kredit, pertumbuhan kartu kredit yang tajam
dipengaruhi dari ketersediaannya kartu kredit yang juga terus bertambah, karena
dalam liberalisasi keuangan ini, jumlah penerbit kartu kredit meningkat dua kali
lipat dan membuat pasar semakin ramai. Dari grafik 4, terlihat kartu kredit yang
diterbitkan dari tahun 2004 meningkat tajam dan memuncak pada kuarter 4 tahun
2005 pada bulan Desember sebesar 45,494 miliar kartu.
Grafik 4
Kartu Kredit yang Beredar (Card in Force)
Sumber: Financial Supervisory Commission, R. O. C.
Efek dari banyaknya pernerbit kartu kredit adalah kompetisi mendapatkan
calon pemilik kartu kredit dengan cara apapun tanpa mempertimbangkan
pendapatan dan riwayat kredit buruk atau tidak. Hal ini terlihat dari pekerjaan
baru para pemilik kartu kredit sebagai “broker kartu kredit” (Kang dan Ma, 2007).
Mereka memoles data mereka agar terlihat sebagai akun yang baik (membayar
tepat waktu) dengan sistem gali lubang tutup lubang melalui kartu-kartu yang
mereka miliki. Tetapi, para broker kartu kredit ini hanya menutup sebagian kecil
hutangnya karena tidak mungkin pengguna membayar semua hutangnya tanpa
berkonsumsi ketika mereka menjdi revolver. Akibatnya, hutang kartu kredit
makin menumpuk sedikit demi sedikit dan mencapai limit kredit masing-masing.
34,000,000 36,000,000 38,000,000 40,000,000 42,000,000 44,000,000 46,000,000 48,000,000
Jun
i'04
Agu
stu
s'0
4
Okt
ob
er'0
4
Des
emb
er'0
4
Feb
ruar
i'05
Ap
ril'0
5
Jun
i'05
Agu
stu
s'0
5
Okt
ob
er'0
5
Des
emb
er'0
5
Feb
ruar
i'06
Ap
ril'0
6
Jun
i'06
Agu
stu
s'0
6
Okt
ob
er'0
6
Des
emb
er'0
6
Card in force
26
Grafik 5 Hutang Kartu Kredit (Revolving Balance)
Sumber: Financial Supervisory Commission, R. O. C.
Penerbit mendapatkan keuntungan dari bunga yang dibayarkan oleh
pemegang kartu kredit dengan asusmi hutang kartu kredit lunas, tetapi ketika
pemegang kartu kredit hanya membayar bunga dan/atau pembayaran minimum
saja, yang ada bank akan membayar lebih dan bisa bangkrut karena masalah
likuiditas. Merasa terancam, penerbit kartu kredit mulai mengetatkan stadar
pinjaman dan ketersediaan kartu kredit. Tetapi yang terjadi adalah hutang-hutang
kartu kredit yang terus meningkat, puncaknya pada akhir tahun 2005 yang
mencapai TW$494,710 milyar dari 45,49 juta kartu kredit yang beredar.
Financial Supervisory Commission bekerjasama dengan bank – bank
penerbit mengatasi krisis kartu kredit dengan melakukan write off atau
penghapusan hutang-hutang yang tidak dapat dibayarkan. Tahun 2005, bank
mengalokasikan 12 persen persediaannya untuk menghapus TW$234 miliar dan
bank-bank komersial Taiwan menghapus TW$9.6 miliar pada kuarter kedua tahun
2006. Tercatat pada Februari 2006, 519.000 pemegang kartu kredit memiliki
hutang yang berlebih yang berkontribusi pada NPL yang mencapai TW$160
milyar23
.
Hutang kartu kredit mengalami penurunan 0,12% pada awal tahun 2006
karena write off yang dilakukan bank penerbit. Hal ini terlihat dari penurunan
hutang kartu kredit pada tahun 2006, dan peningkatan write off yang dilakukan
bank penerbit kartu kredit yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya (grafik
6), write off terbesar mencapai TW$ 115,178 miliar pada Desember 2006. Batas
23
Berdasarkan data Financial Supervisory Commision dari Insight (2007)
0
100,000,000
200,000,000
300,000,000
400,000,000
500,000,000
600,000,000
27
ratio write-off to revolver account sebelum krisis sektira 4 – 5 persen, memasuki
masa krisis pada tahun 2006 mencapai 32.87 persen (Kang dan Ma, 2007). Hal ini
membuat 12 bank dan perusahaan penerbit kartu mengalami kebangkrutan dan
tutup karena mengalami masalah likuiditas akibat kredit macet dan write off.
Dari pembelajaran Taiwan, pengembangan kredit di waktu yang singkat,
penurunan borrowing constraint melalui pelonggaran standar pinjaman, dan
memperbolehkan keberadaan “broker kartu kredit” akan menghasilkan ledakan
hutang kartu kredit yang dapat membuat penutupan bank penerbit kartu kredit dan
beresiko sistemik terhadap sistem perbankan. Meskipun Taiwan tidak sampai
pada krisis finansial (Kang dan Ma, 2007), permasalahan hutang kartu kredit
memunculkan permasalahan sosial, yaitu mengubah personal bankruptcy menjadi
tuna wisma karena harus menjaminkan rumah mereka, pengangguran, dan bunuh
diri tercatat mencapai 2.172 orang dan maraknya penjualan narkotika untuk
membayar hutang mereka24
.
Grafik 6
Hutang Kartu Kredit yang Dihapuskan (Write Off)
Sumber : Financial Supervisory Commission
24
http://sevenpillarsinstitute.org/case-studies/taiwans-credit-card-crisis
Annual-Write Off, 115,178,081.00
0 20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000
100,000,000 120,000,000 140,000,000
28
Grafik 7
Perbandingan Revolving Balance, Annual-Writte Off, dan Card in Force
Sumber : Financial Supervisory Commission
Amerika (2008)
Kartu kredit adalah “American Lifestyle” dan “at the very heart of
American History” (Ritzer, 1995), ungkapan yang menunjukkan bagaimana kartu
kredit yang memberi kenyamanan kepada masyarakat Amerika dalam
pembayaran (Johnson, 2004) dan mengubah kehidupan sosial masyarakat
Amerika menjadi budaya yang unik, yaitu kecanduan belanja (addiction spending)
dan kecanduan hutang (addiction to debt) (Ritzel, 1995). Wright (2010)
memaparkan bahwa tujuan dari kartu kredit bagi masyarakat Amerika adalah alat
pembayaran yang harus dimiliki oleh setiap orang abad 21 tahun ini, karena
status, mempermudah transaksi terutama yang mengharuskan seperti transaksi
online, dan kebutuhan lain seperti travel dan lodging. Budaya populernya kartu
kredit dimulai tahun 1980’an bersamaan dengan “Yuppie (young upwardly mobile
professionals)” atau adalah orang-orang yang memiliki kehidupan sosial di luar
budaya seperti kaum hippie. Mereka mengubah budaya USA, yaitu untuk
memperlihatkan status harus memiliki mobil mewah, televise proyeksi, kapal,
dapur renovasi, liburan mewah, dan mode yang tinggi. Budaya tersebut mudah
dicapai oleh masyarakat miskin, namun bagi kaum menengah dan menengah
kebawah mengalami kesulitan sehingga kartu kredit menjadi satu-satunya
Annual-Write Off,
115,178,081.00
Card in force, 38,323,706
Revolving balance,
350,430,086
0
100,000,000
200,000,000
300,000,000
400,000,000
500,000,000
600,000,000
29
jawbaan, terutama mudahnya mencapai program lay-away25
. Tahun 1970 dan
1980’an, masyarakat Amerika dikenal dengan pembayaran tagihan yang tepat
waktu dan menggunakan uang tunai, tetapi ketika konsep uang tunai mulai
tergantikan dengan kartu kredit, mereka mulai membayar menggunakan hutang
dan mulailah tumpukan hutang terjadi.
Awal tahun 2000, banyak iklan-iklan dari penerbit kartu kredit yang
memaparkan betapa hebatnya dan mudahnya menggunakan kartu
kredit26
.Penggunaan kata-kata persuasif27
di tengah standar hidup yang tinggi
memudahkan penerbit kartu kredit mendapatkan pemegang kartu kredit dengan
standar pinjaman yang sengaja mereka turunkan, akibatnya hutang kartu kredit
meningkat. Tahun 1967, 1977, dan 1988 hutang kartu kredit masing-masing $1.4
milyar, $39 milyar, dan $169 milyar, hutang kartu kredit dilihat dari grafik 7 terus
meningkat hingga menjadi gelembung hutang kartu kredit sebesar $1.005 tirilun
pada tahun 200828
.
Grafik 8
Hutang Kartu Kredit Amerika Tahun 2002 - 2012
Sumber: Credit.com
Di tengah penawaran dan permintaan kartu kredit yang besar, standar
pinjaman, dan kurangnya pengetahuan pemegang kartu kredit, para penerbit kartu
kredit telah mengubah dirinya menjadi predator lending untuk mendapatkan
pemegang kartu kredit sebanyak-banyaknya. Mereka menjaga diri dari hutang
yang beresiko gagal bayar dengan menerapkan universal default dan biaya pinalti
25
Membeli barang di toko serba ada dan akan mendapatkan ketika cicilan sudah lunas. Hal ini
dilakukan oleh masyarakat menengah dan menengah ke bawah, terutama menjelang Natal (hadiah
Natal) 26
Marketing yang agresif 27
Kata – kata yang digunakan seperti “everywhere you want to be” – geseklah kartu kredit dan
kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau dimanapum kamu berada. 28
http://www.credit.com/debt/five-shocking-credit-card-debt-statistics/
0
200
400
600
800
1000
1200
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
30
yang kejam. Universal default adalah menggandakan tingkat bunga kartu kredit
bisa dua kali hingga tiga kali. Kemudian biaya pinalti yang kejam adalah
pemberian biaya pinalti sesuai keinginan penerbit kartu kredit. Dari hal-hal itulah
penerimaan mereka akan menjadi meningkat. Dampak dari kebijakan dan kondisi
pasar kartu kredit Amerika di atas, hutang kartu kredit menjadi meningkat, dan
pengajuan personal bankruptcy meningkat. Dari tahun 1980 sampai dengan tahun
2004, jumlah pengajuan personal bankruptcy meningkat dari 288.000 menjadi 1.5
juta per tahun.
Personal bankruptcy terus meningkat karena beban hutang pemegang
kartu kredit terus membengkak terutama kebijakan tingkat bunga dan biaya pinalti
yang semena-mena. Kebijakan pemerintah tidak membantu mengurangi
pemegang kartu kredit yang mengalami gagal bayar, karena mereka tidak bisa
mengajukan diri sebagai personal bankruptcy jika belum lebih dari 5 tahun.
Asumsinya adalah diberi waktu agar bisa melunasi hutang mereka, tetapi yang
terjadi pemegang kartu kerdit terus meningkat.
Tahun 2007 – 2008, The Fed mulai menetapkan tingkat bunga rendah
dalam pinjaman mortgage loan dan menciptakan krisis Global 2008. Hal ini
berdampak langsung kepada hutang kartu kredit, karena masyarakat Amerika
menopang konsumsi mereka dan melakukan pembayaran-pembayaran dengan
kartu kredit mereka di tengah krisis tersebut. Desember 2007, hutang kartu kredit
untuk pertama kali mencapai angka $1 triliun. Memasuki tahun 2008, pada bulan
April bank diberi kebijakan untuk mengetatkan pinjaman kredit di tengah
peningkatan hutang kartu kredit karena tingginya harga gas. Mei 2008, pemegang
kartu kredit sudah mencapai batas kredit mereka dan mengalami kesulitan untuk
memenuhi pembayaran minimum, akhirnya Juli 2008 hutang kartu kredit
mencapai tertinggi $1.022 triliun29
.
Tindakan predator lending dengan kebijakannya yang “kejam” dan
keadaan ekonmi membawa Amerika menjadi ketakutan Amerika setelah krisis
Global. Pemerintah mulai menetapkan Credit Card Accountability Responsibility
and Disclosure Act (CARD Act) tahun 2009 untuk mengurangi masyarakat
menuju personal bankruptcy, antara lain mengharuskan penerbit kartu kredit
29
http://useconomy.about.com/od/demand/a/Average-Consumer-Debt-Statistics.htm
31
melakukan pemberitahuan pada setiap perubahan peraturan kartu kredit termasuk
tingkat bunga, pemberitahuan tagihan sebelum 21 hari jatuh tempo. Memasuki
tahun 2009, hutang kartu kredit mulai menurun dan tingkat menabung masyarakat
Amerika meningkat, Mei 2009 tercatat meningkat 6.9 persen. Penurunan hutang
kartu kredit ini menunjukkan bahwa masyarakat Amerika mulai membeli sesuatu
yang harus dimiliki bukan apa yang bagus untuk dimiliki (Amadeo, 2014).
Indonesia
Penggunaan kartu kredit dalam proses pembiayaan sudah berlangsung
sejak lama, seperti pada tahun 1946 oleh Hotel Indonesia yang sudah menerima
kartu kredit sebagai alat pembayaran. Pertama kali kartu kredit dikenalkan kepada
masyarakat Indonesia oleh Bank Duta pada tahun 1980an, Bank Duta menjadi
bank nasional pertama yang menerbitkan kartu kredit dengan bekerjasama dengan
principal internasional seperti Visa dan MasterCard International30
. Mulai
menonjolnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran membuat
pemerintah Indonesia membuat peraturan tentang kartu kredit yang dikenal
dengan istilah “paket Desember 1998”, yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI
No. 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga
pembiayaan. Peraturan tersebut meningkatkan pertumbuhan penerbitan kartu
kredit oleh bank dan nonbank31
. Tetapi operasi Bank Duta berhenti dan industri
kartu kredit dilanjutkan oleh BCA sebagai bank swasta pertama yang menerbitkan
kartu kredit tetapi hanya lingkup internal/nasabah BCA saja32
, kemudian diikuti
Citibank33
sebagai bank asing pertama yang masuk ke Indonesia pada tahun 1989.
Tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan deregulasi perbankan,
yaitu UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Nasional. Peraturan tersebut dalam
pasal 6 ayat 1 memaparkan bahwa usaha kartu kredit adalah salah satu bentuk
30 http://bukukartukredit.blogspot.com/2012/06/mempelajari-sejarah-kartu-kredit-di.html MasterCard International berubah nama mnejadi MasterCard Worlwide pada tahun 2006 31
Contoh perusahaan swasta yang mengeluarkan kartu kredit : Hero Supermarket, Indomobil
Group, Astaga, dan Rimo. http://www.carikredit.com/berita/detail/16/04/2012/490/sejarah-
masuknya-kartu-kredit-ke-indonesia/#.U8M4l5SSx1g 32
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/15/07255082/Meraup.Untung.dari.Masyarakat.Pe
nggesek 33
Pada saat itu nama Citibank belum berubah, yaitu City Bank
32
usaha yang dapat dilakukan oleh bank, tetapi belum mengatur dengan jelas
penerbitan dan penyelenggaran kartu kredit serta kartu kredit sebagai alat
pembayaran. Tahun 2001, penerbit dan pengguna kartu kredit dihadapkan pada
masalah carding atau pembobolan oleh pengguna palsu. Sebagai contoh perisitiwa
penangkapan para pembobol kartu kredit (carder) oleh kepolisian DIY pada tahun
2001, yaitu Jouvendi Ardinand, Simod Nagari, Arifin, dan Indra Sitompul yang
membobol kartu kredit dan melakukan transaksi jutaan rupiah dengan merchant
luar negeri34
.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan BI bekerjasama
menggelar Bulan Pengaduan Konsumen Kartu Kredit dan ATM pada Minggu
ketiga Februari sampai minggu ketiga Juni 2005. YLKI dan BI menemukan
pengaduan dan permasalahan perbankan menduduki posisi pertama dalam daftar
pengaduan konsumen, terutama kartu kredit sebanyak 262 kasus dan total tahun
2005 mencapai 337 kasus. Rahayu35
(2006) memaparkan terdapat tiga masalah,
yaitu bunga tagihan kartu kredit, penyampaian informasi yang tidak transparan
oleh bank penerbit, dan masalah penagih hutang (debt collector). Permasalahan
bunga tagihan dianggap konsumen sebagai penambah beban hutang dan informasi
yang tidak transparan oleh bank penerbit terlihat dari penawaran pembuatan kartu
kredit oleh sales dan pengiriman kartu kredit atas nama calon pemegang kartu
kredit yang sebenarnya tidak diaplikasi oleh calon pemegang kartu kredit tersebut.
Kemudian masalah terakhir yang belum diatur tata cara penagihannya oleh BI36
adalah masalah keberadaan pihak ketiga (debt collector) yang digunakan bank dan
lembaga penerbit untuk menagih hutang. Debt collector menagih dengan sistem
yang dapat mengarah ke pidana, seperti mengamuk di tempat kerja pengguna
kartu kredit, teror melalui telepon, dan ancaman dibunuh.
BI menyadari bahwa kartu kredit sebagai alat pembayaran perlu diatur
berkaitan dengan masalah yang muncul, oleh karena itu BI mengeluarkan
34
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2466/kejahatan-internet-marak-pemilik-kartu-
kredit-resah. Sabtu, 21 April 2001. 35
Karunia Asih Rahayu – Legal and Public Complain YLKI.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15973/ulah-idebt-collectori-masih-dikeluhkan-
pengguna-kartu-kredit 36
Meskipun sudah diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP Tanggal 30
Desember 2005 Perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati – hatian, serta Peningkatan
Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
33
Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 tentang penyelenggaraan kegiatan
alat pembayaran dengan menggunakan kartu37
pada tahun 2005. Peraturan ini
menjelaskan bagaiamana persetujuan penyelenggaran kegiatan oleh principal,
penerbit (bank dan lembaga selain bank), Acquirer, pemberian kartu kredit,
penghentian kegiatan, kliring dan penyelesaian akhir, pengawasan oleh BI,
peningkatan keamanan teknologi alat pembayaran dengan menggunakan kartu38
,
dan sanksi penyelenggaraan kartu kredit.
Dalam perkembangannya, penggunaan kartu kredit telah meningkat dari
masuknya kartu kredit dalam transaksi online yang mempermudah merchant dan
konsumen, serta meningkatnya nilai transaksi kartu kredit. Oleh karena itu, BI
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/8/PBI/2008 Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK)39
pada tanggal 20
Februari 2008 dan ketentuan teknis dimuat dalam Surat Edaran (SE) perihal tata
cara penyelenggaraan kegiatan APMK; SE perihal prinsip perlindungan nasabah
dan kehati-hatian40
, serta peningkatan keamanan dalam penyelenggaraan APMK;
dan SE perihal pengawasan terhadap penyelenggaraaan kegiatan APMK41
.
Peraturan 2008 ini menambahkan aturan penambahan nominal transaksi yang
dapat digunakan dengan kartu kredit, aturan penyelenggaraan kartu kredit secara
37
http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/pbi%2075205.aspx 38
Berkaitan dengan pembobolan kartu kredit oleh merchant 39
Sebelum peraturan ini, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 10/4/PBI/2008 Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan
Rakyat dan Lembaga Selain Bank pada 4 Februari 2008. Selanjutnya, 8 Februari 2008
menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/4/UKMI Laporan Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain
Bank.
Perubahan dalam peraturan ini terlihat Pada pasal 1 ayat 18 Perusahaan Personalisasi adalah
perusahaan yang melakukan input data Pemegang Kartu ke dalam media Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan kartu. Kemudian pada ayat 19 Penyelenggara Kliring Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu adalah lembaga yang melakukan perhitungan akhir atas seluruh transaksi Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Serta pada pasal 33 yang mengatur peyelenggaran
kegiatan APMK secara online 40
SE BI No. 10/20/DASP Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP
tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati – hatian, serta
Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu 41
21 Februari 2008, SE BI No. 10/7/DASP Pengawasan Penyelenggaran Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) terbit dan mencabut SE No. 7/61/DASP
tanggal 30 Desember 2005 perihal Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kegiatan APMK
34
online dan peningkatan keamanan karena rentannya kasus carding dan pencurian
data pemegang kartu kredit di internet.
Mulai dengan peraturan baru, dalam laporan pengaduan konsumen
terhadap perbankan keberadaan debt collector mengalahkan kasus pemalsuan
kartu kredit. Bagi penerbit kartu kredit, tagihan macet karena pemegang kartu
kredit yang “nakal” lebih berat dibandingkan dengan kasus carding. Para penerbit
kartu kredit menggunakan debt collector untuk menjaga NPL kartu rendah dan
jauh dari masalah likuiditas ketika menyuburkan pertumbuhan kartu kredit. Tetapi
ketika melihat dari sisi pemegang kartu kredit, terjadi kasus bunuh diri Johan
Hasan karena kekerasan fisik berupa ancaman dan kekerasan psikis berupa caci
maki dari debt collector. Selanjutnya, kekerasan yang dirasakan Ny Amin –
seorang ibu rumah tangga yang memiliki hutang mencapai Rp 12 juta karena
usaha suaminya yang bangkrut42
. Selain itu, Ny Amin melakukan kesalahan
dengan memberi uang dan beberapa emas kepada para debt collector dengan
tujuan tagihannya berkurang, tetapi yang sering terjadi pembayaran tersebut tidak
mengurangi tagihannya, karena tidak didistribusikan oleh debt collector kepada
bank penerbit kartu kredit terkait. Hal ini dikarenakan debt collector hanya
memiliki tugas “menagih” bukan mengambilkan tagihan nasabah ke penerbit
kartu kredit, hal ini dimanfaatkan oleh debt collector nakal.
Berkaitan dengan terus bertambahnya pelaporan tentang debt collector
yang memiliki sistem penagihan yang kasar, seperti mendobrak rumah,
mengancam membunuh, teror telepon, mendatangi tempat kerja pemegang kartu
kredit dengan teriak-teriak, dan memukul sampai nasabah babak belur. Bank
Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia Nomor11/11/PBI/2009 tanggal
13 April 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan SE No 11/10/DASP tentang tata cara
pelaksanaan penagihan kredit macet kepada pihak ketiga yang isinya
mengutamakan keselamatan nasabah dan tidak menggunakan kekerasan. Tetap
diijinkan dan diakuinya keberadaan debt collector oleh BI, karena bank – bank
penerbit merasa NPL terbukti turun dengan keberadaan debt collector dibanding
pemberian charge, tingkat bunga, dan pembayaran minimum tiap bulan. Hal ini
42
http://megapolitan.kompas.com/read/2008/11/24/0825127/Debt.Collector.Resahkan.Warga . 24
November 2008.
35
terlihat dari penurunan NPL kartu kredit Indonesia per Februari 2011 turun
mencapai 32.89 persen (Pramono43
, 2011).
Meskipun sudah adanya penekanan pada pengutamaan keselamatan
nasabah kartu kredit, kasus debt collector tetap muncul dan memuncak dengan
kematian salah satu nasabah Citibank, Sekjen Parti Pemersatu Bangsa (PBB)
Irzen Octa di tangan debt collector. Pemerintah melalui Komisi XI DPR
menganggapi kasus tersebut dengan memaksa BI untuk segera merevisi peraturan
keberadaan debt collector dan diusahakan untuk dihapus. Penghilangan debt
collector ditolak oleh para penerbit kartu kredit karena satu – satunya cara paling
efektif untuk menjaga NPL tetap rendah dan menyalahkan pemegang kartu kredit
yang tidak segera membayar tagihannya. Kemudian, bank – bank penerbit kartu
kredit mengancam akan meningkatkan charge lebih tinggi dari sebelumnya jika
debt collector dihapuskan. BI menengahi pertikaian antara penerbit kartu kredit
dengan pemerintah dengan tetap mempertahankan keberadaan debt collector
karena menghindari penjualan NPL kartu kredit oleh bank – bank penerbit kepada
perusahaan penagihan hutang yang sistemnya lebih parah dibanding debt collector
oleh penerbit kartu kredit (Johansyah44
, 2011). 6 Januari 2012, BI menetapkan
Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/201245
tentang prubahan atas Peraturan
Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang penyelenggaraan kegiatan APMK
yang dilatarbelakangi dengan peningkatan aspek kehati – hatian, aspek
perlindungan konsumen, dan manajemen resiko pemberian kredit dalam
penyelenggaraan APMK46
. Selain itu, peraturan ini mengurangi masalah kredit
43
Sigit Pramono – Ketua Perhimpunan Bank Swasta Nasional (Perbanas) 44
Difi Ahmad Johansyah – Pelaksana Tugas Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan
Masyarakat Bank Indonesia 45
Teknis perlindungan nasabah tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP
perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan
Kegaitan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. 46
Pokok – pokok peratuaran dalam perubahan PBI APMK yang diutarakan BI dalam sesi Tanya
jawab.
a. Pengaturan batas maksmium suku bunga kartu kredit, yang besarnya ditetapkan Bank
Indonesia dengan Surat Edaran Bank Indonesia
b. Pengaturan persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit, seperti batas minimum usia,
batas minimum pendapatn, batas maksimum plafond an maksimum jumlah penerbit yang dapat
memberikan fasilitas kartu kredit yang secara rinsi akan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia
c. Pengaturan prinsip kehati – hatian dan perlindungan konsumen seperti penyeragaman pola
perhitungan bunga kartu kredit, pengenaan baiya dan denda, serta kewajiban penyampaian
informasi kepada pemegang kartu
36
macet dengan menekankan siapa yang “layak”47
memiliki kartu kredit dan
menetapkan batas maksimum suku bunga kartu kredit sebesar 3% serta
penghapusan sistem perhitungan bunga majemuk yang berlaku efektif per 1
Januari 201348
untuk menghapuskan penetapan universal default oleh para
penerbit yang menambah beban tagihan pemegang kartu kredit bermasalah.
Dalam perkembangannya, PBI tahun 2012 ini tetap dipaparkan fakta
kepemilikan kartu kredit, yang “lebih dari 2” (Meryana49
, 2014). Sebagai contoh
tahun 2013 terdapat nasabah bernama Ibu Rusmani yang memiliki 13 kartu kredit
dari berbagai penerbit karena terpikat tawaran-tawaran hadiah dan bonus dari
sales. Jika melihat peraturan kartu kredit dari awal hingga tahun 2012 ini,
pemegang kartu kredit sering disalahkan para penerbit tentang masalah kredit
macet dan debt collector. Tetapi melihat fakta di atas, ditemukan fakta “sales vs
rules”50
yang menjadi kotributor kredit macet. Sales adalah orang yang
dipekerjakan bank penerbit kartu kredit untuk mengedarkan kartu kredit sehingga
pengguna kartu kredit dapat meningkat dan sales ini akan mendapatkan bonus jika
berhasil mencapai target. Kesalahan di sini adalah sales lebih mementingkan
mendapatkan bonus daripada menaati peraturan BI mengenai calon pemegang
kartu kredit yang layak, sebagai contoh Ibu Rusmani tadi. Dampaknya, pemegang
kartu kredit yang sebenarnya tidak layak menggunakan kartu kredit dalam jumlah
tertentu dapat mengalami kredit macet dan terpaksa berhadapan dengan debt
collector. Tidak hanya pemegang kartu kredit yang tidak layak, sales melalui
telemarketing dan telepon menawarkan kartu kredit kepada pemegang kartu kredit
d. Pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu pada PBI tentang Alih Daya
(outsourcing) terutama yang terkait dengan penagihan utang kartu kredit
e. Pengaturan peningkatan kemanan transaksi alat pembayaran berupa kewajiban implemetasi
transaction alert kepada pemegang kartu kredit
f. Kewajiban penyediaan sistem yang dapat saling dikoneksikan
g. Penegasan kewenangan Bank Indonesia dalam perizinan dan pengenaan sanksi dalam
penyelenggaraan APMK. 47
Pemegang kartu kredit yang memiliki pendapatan Rp 3 juta – Rp 10 juta hanya boleh memiliki 2
sampai 3 kartu kredit (Puji, 2012 – Ketua Tim Pengawasan Alat Pembayaran BI). 48
Teknisnya tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/34/DASP tanggal 27
Nopember 2012 perihal Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit. 49
Ester Meryana General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) 50
Sales vs Rules ada istilah pertentangan kepentingan antara sales yang ingin mendapatkan bonus
pengedaran kartu kredit dengan kepentingan BI untuk mengurangi kredit macet dengan
kepemilikan kartu kredit yang tepat. Sales menawarkan kartu kredit tanpa memberikan informasi
yang jelas seperti resiko pemakaian kartu kredit, dampak hutang kartu kredit jika tidak segera
dibayarkan, dan perhitungan bunga.
37
yang sudah memiliki kartu kredit yang cukup, sehingga yang mengalami kredit
macet dan permasalahan dengan debt collector juga memasuki masyarakat kelas
menengah ke atas.
Kemudian, faktor kredit macet yang diutarakan penerbit kartu kredit
tentang keberadaan pemegang kartu kredit yang nakal terdapat unsur kesengajaan
dari pihak pemegang kartu kredit untuk tidak membayar tepat waktu meskipun
adanya keberadaan debt collector, karena menurunnya kepercayaan mereka
terhadap penerbit kartu kredit dalam hal keamanan yang disebabkan oleh credit
card fraud berupa pembobolan kartu kredit melalui pencurian data pemilik kartu
kredit oleh merchant51
melalui electric data capture (EDC) dan hacker berdasi,
meskipun sudah diterapkan pemasangan chip52
pada kartu kredit.
Berdasarkan 2 fakta di atas, pada tanggal 21 Januari 2014, BI
mengeluarkan PBI No. 16/1/PBI/2014 tentang perlindungan konsumen jasa sistem
pembayaran. Prinsip perlindungan konsumen yang diterapkan BI adalah keadilan
dan keandalan; transparansi; perlindungan data dan/atau informasi konsumen; dan
penangan dan penyelesaian pengaduan yang efektif53
. Peraturan ini
mengutamakan pemberian informasi yang sangat jelas mengenai manfaat dan
risiko pemakaian kartu kredit oleh penerbit kartu kredit kepada calon pemegang
kartu kredit sebelum memutuskan menggunakan kartu kredit untuk mengurangi
praktik penipuan (Waas54
, 2014). Selain itu, BI bekerjasama dengan OJK
membentuk divisi pengawasan untuk mengawasi bank – bank yang bermasalah
terutama dalam perlindungan konsumen. BI mendapatkan bagian penuh dalam
pengawasan di industri kartu kredit, sehingga ketika terdapat bank yang
bermasalah, BI sebagai pihak yang berwenang akan memberikan sanksi dari
teguran, penghentian sementara, hingga pencabutan izin.
51
Dialami oleh salah satu bank terbesar di Indonesia – Bank Mandiri dengan merchant Body Shop 52
Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 23 /DASP perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 13/22/DASP perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal
Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia. 53
http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/PBI_16012014.aspx 54
Deputi Gubernur BI Ronald Waas
38
Grafik 9
Perbandingan Jumlah Kartu Debit dan Kartu Kredit Indonesia Tahun 2007-2013
Sumber: Bank Indonesia
Dari grafik 9, meskipun pada tahun 2007 – 2013 lebih dari 95 persen
sistem pembayaran menggunakan kartu Indonesia didominasi olah kartu debit,
kartu kredit tetap bertumbuh positif dan dapat digunakan sebagai instrumen
alternatif untuk mendorong perekonomian Indonesia karena pertumbuhan kartu
kredit seiring dengan pertumbuhan PDB (harga berlaku)55
. Pentingnya kartu
kredit dijaga ketat oleh BI dengan dikeluarkannya Paket 1988 hingga PBI No.
14/2/PBI/2012 untuk terhindar dari terlalu cepatnya pertumbuhan kartu kredit
yang dapat menghasilkan krisis perbankan seperti Korea Selatan tahun 2003.
BI menjaga ketat pertumbuhan kartu kredit dengan membatasi
kepemilikan kartu kredit berdasarkan kemampun keuangan pemegang kartu kredit
dan mengawasi pergerakan penerbit kartu kredit. Meskipun hal ini ditentang para
penerbit karena dianggap menghambat kinerja mereka untuk mempercepat
pertumbuhan kartu kredit di Indonesia dan memunculkan pernyataan yang
menyalahkan infrastruktur informasi BI yang masih kurang, kebijakan dan
pengawasan BI terbukti efektif dengan menurunnya NPL 2.5 persen tahun 2013
dari periode sebelumnya sebesar 3.5 persen.
FAKTOR PERMASALAHAN HUTANG KARTU KREDIT
Dari pengalaman-pengalaman negara Hongkong SAR, Korea Selatan,
Taiwan, Amerika, dan Indonesia dapat diambil beberapa faktor-faktor yang
mengubah hutang kartu kredit menjadi sebuah masalah bagi industri perbankan
dan negara, sebagai berikut:
55
Laporan Perbankan Indonesia 2013
Kartu kredit , 223,369,577.14
Kartu debit, 3,797,370,437.75
-
500,000,000.00
1,000,000,000.00
1,500,000,000.00
2,000,000,000.00
2,500,000,000.00
3,000,000,000.00
3,500,000,000.00
4,000,000,000.00
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
39
Keadaan Ekonomi Makro yang Tidak Stabil
Keadaan makroekonomi yang tidak stabil penyebab pertama terjadinya
krisis perbankan (Vodova, 2003). Dari negara-negara yang digunakan dalam
penelitian ini, peningkatan penggunaan dan hutang kartu kredit yang cepat
diakibatkan oleh peralihan pemerintah ke sektor konsumsi karena menurunnya
sektor investasi dan ekspor. Hutang rumah tangga melalui hutang kartu kredit
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara melalui pertumbuhan sektor
rumah tangga, seperti yang terjadi di Korea Selatan, Hongkong SAR, dan Taiwan.
Pemerintah negara tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi yang telah
mengalami resesi akibat krisis Asia tahun 1997.
Selanjutnya negara Amerika juga mengalami permasalahan hutang kartu
kredit yang juga dipengaruhi oleh keadaan makro ekonomi yang tidak stabil
akibat krisis Global 2008. Krisis ini meningkatkan tingkat pengangguran di
Amerika dan membuat pengguna kartu kredit mengalami kesulitan membayar
hutangnya. Akibatnya, hutang kartu kredit menjadi ketakutan krisis selanjutnya
bagi Amerika karena kartu kredit sudah menjadi gaya hidup transaksi mayoritas
bagian dan masyarakat Amerika.
Gelembung Hutang Kartu Kredit (Credit Bubble)
Asset price bubbles atau credit booms – bust atau credit crunch memicu
krisis keuangan (Kose dan Claessens, 2013). Credit bubble adalah
menggelembungnya hutang kartu kredit dan meledak. Menggelembungnya hutang
kartu kredit terlihat dari semakin besarnya hutang kartu kredit yang dimiliki
negara hingga mulai terganggu fungsi intermediasinya karena tidak ada kewajiban
hutang yang terbayarkan.
Hutang kartu kredit meledak ketika perbankan dan lembaga kartu kredit
menggunakan wewenangnya untuk meningkatkan tingkat bunga, biaya yang wajib
dibayar per bulan, dan biaya pinalti keterlembatan untuk menghindari gagal bayar.
Bukan terhindarnya gagal bayar, tetapi semakin besarnya pengguna yang gagal
bayar dan mengajukan kebangkrutan pribadi. Pemotongan pendapatan dan
penghilangan hak hutang dari penerbit kepada pemegang kartu kredit membuat
pemegang kartu kredit semakin tidak mampu membayar hutang mereka di sisi lain
mereka memiliki kehidupan yang perlu dibayar. Kebijakan penghentian hak
40
hutang pemegang kartu kredit dari kesepakatan terdahulu ditetapkan agar jumlah
hutang tidak semakin besar, baik untuk penerbit kartu kredit tetapi bagi pemegang
kartu kredit yang tidak lagi memiliki pendapatan dan aset yang cukup untuk
menutup hutang mereka menjadi tombak karena gali lubang tutup lubang tidak
bisa digunakan.
Ketidaksiapan Penerbit Kartu Kredit dan Pemerintah Menghadapi
Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi keuangan adalah membuat semakin efisienya sistem
pembayaran dan transaksi dalam sistem keuangan. Industri kartu kredit adalah
salah satu bentuk liberalisi keuangan. Ketidaksiapan dalam liberalisasi keuangan
dalam industri kartu kredit menjebak penerbit kartu kredit, pemegang kartu kredit,
dan pemerintah.
Ketidaksiapan liberalisasi keuangan terlihat dari kurangnya pengetahuan
dan pengalaman pelaku kartu kredit baru ataupun lama di industri kartu kredit
(Kang dan Ma, 2009; Vodova, 2003). Bentuk ketidaksiapan adalah proses
penyaringan peminjam dan standar peminjaman (underwriting standard) yang
dianggap ringan hingga standarnya diturunkan untuk mendapatkan pemegang
kartu kredit, seperti apakah memiliki pendapatan, kemampuan membayar
kewajiban, dan riwayat pinjaman calon pemegang kartu kredit. Bentuk
ketidaksiapan yang lain adalah terbatasnya infrastruktur pelaporan dan saling
berbagi informasi tentang kredit, seperti riwayat pemegang kartu kredit yang baik
atau buruk, siapa yang memiliki kartu kredit di suatu penerbit, dan seberapa besar
kewajiban pengguna tersebut. Meskipun terbatasnya infrastruktur pelaporan
kredit, beberapa lembaga penerbit dan perbankan sengaja menyembunyikan
informasi sebagai bentuk monopolisitik industri kartu kredit bagi perusahaan
mereka.
Manajemen Hutang Pemegang Kartu Kredit yang Buruk
Hutang kartu kredit macet yang besar ketika tidak dimanajemen dengan
baik akan membawa penggunanya bukan sebagai pengguna gagal bayar, tetapi
menjadi personal bankruptcy. Besarnya hutang diakibatkan oleh beberapa faktor,
yaitu pertama pengguna kartu kredit ingin memenuhi standar hidup tinggi yang
41
tidak bisa mereka capai tanpa kartu kredit, karena alasan status dan ingin
kehadirannya dihormati.
Kedua, penggunaan kartu kredit yang tidak semestinya seperti perjudian
dan menggunakannya untuk mayoritas konsumsinya tanpa melihat apakah dia
mampu melunasi atau tidak. Ketiga, ekspektasi pengguna bahwa pendapatan
mereka akan bertambah di masa yang akan datang dan pemikiran bahwa dia besok
akan mendapatkan pekerjaan. Pemikiran ini mendorong penggunanya untuk
melakukan konsumsi di atas kemampuan rata-ratanya karena berpikir besok akan
bisa melunasinya. Tetapi ketika ekspektasi tersebut tidak terjadi, yang terjadi
adalah penumpukan hutang yang belum terbayarkan dan pengeluaran yang
berlebihan hingga melebihi pendapatan (over budget).
Ketika pengguna kartu kredit dihadapkan pada hutang yang menumpuk
dan relatif besar, mereka seharusnya tidak lagi menggunakan hutang-hutangnya
dan mulai mencari pendapatan untuk segera melunasi hutang. Tetapi khususnya
revolvers yang mengalami kecanduan akan kartu kredit akan terus menggunakan
hutangnya hingga mulai sadar sudah mencapai batas limit kreditnya, sehingga
hutang semakin besar dan menjadi beban hidup mereka.
Informasi Asimetris
Informasi asimetris merupakan faktor utama terciptanya pemegang kartu
kredit bermasalah dan pemegang kartu kredit yang gagal bayar. Informasi
asimetris diwakili dengan kurangnya informasi pokok tentang pemegang kartu
kredit kartu kredit dan informasi tentang industri kartu kredit.
Informasi asimetris disebabkan oleh turunnya standar pinjaman akibat
kompetisi antar pembuat kartu kredit, kurangnya pengalaman dan pengetahuan
para pelaku industri kartu kredit, dan penerbit kartu kredit yang tidak transparan.
Salah satu standar peminjaman adalah penyaringan pemegang kartu kredit yang
sesuai (screening) seperti apakah memiliki pendapatan yang sesuai, mampu
membayar kewajiban, dan riwayat kredit calon maupun pemegang kartu kredit.
Karena turunnya standar peminjaman untuk mendapatkan pengguna yang banyak,
terdapat pengguna yang tidak memiliki pendapatan bisa memperoleh kartu kredit
hingga yang memiliki pendapatan rendahpun dapat memiliki kartu kredit dengan
limit yang diminta pengguna. Dampak informasi asimetris mengenai pengguna
42
berdampak pada pemberian proporsisi hutang yang tidak sesuai seperti lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan dan tabungan aktual mereka.
Informasi asimetris tidak hanya dari pengguna tetapi juga dalam bentuk
tidak transparannya penerbit kartu kredit kepada calon atau pemegang kartu kredit
mengenai dampak negatif dari kartu kredit, seperti wewenang penerbit untuk
mengubah tingkat bunga, batas minimum pembayaran perbulan dan biaya pinalti
keterlambatan, kemudian memanfaatkan minimnya pengetahuan pengguna
mengenai fungsi tingkat bunga yang bersifat eksponen bukan aritmatika.
Penipuan Manajemen oleh Penerbit Kartu Kredit
Penipuan manajemen adalah ketika penerbit kartu kredit atau oknum
tertentu menggunakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Penipuan yang
sering terjadi adalah pemberian informasi tentang industri kartu kredit yang
kurang transparan dari lembaga penerbit kepada pengguna kartu kredit, khususnya
dampak-dampak apa yang akan terjadi jika pengguna kartu kredit telat dan/atau
gagal bayar, perhitungan tingkat bunga, charge, dan fee.
Penerbit kartu kredit sering menawarkan kartu kredit hanya dengan
informasi tingkat bunga rendah hingga 1 persen, reward, bonus, dan kemudahan.
Ketika pengguna kartu kredit terlambat membayar, banyak penerbit kartu kredit
menerapkan universal default, yaitu penggandaan tingkat bunga dan biaya pinalti
yang tak diketahui dengan pasti batas besarannya oleh pemegang kartu kredit.
Hal-hal inilah yang membebani pemegang kartu kredit untuk membayar tagihan
hingga terjadi kredit macet. Sebagai contoh kasus di Indonesia, terdapat
pemegang kartu kredit yang memiliki hutang kartu kredit sebesar Rp 17 juta
dengan limit kartu kredit Rp 4 juta. Pemegang kartu kredit tidak lagi
menggunakan kartu kredit karena telah mengalami kebangkrutan. Namun, setelah
10 tahun berlangsung tidak memakai kartu kredit, keluarga dekat pemegang kartu
kredit tersebut mendapatkan telepon yang mengagetkan dari salah satu penerbit
kartu kredit terkait, yaitu hutang kartu kredit yang harus dibayar pemegang kartu
kredit tersebut telah mencapai Rp 107 juta.
43
Kurangnya Manajemen Resiko Kredit yang Diterapkan Penerbit Kartu
Kredit
Kompetisi intensif antar penerbit kartu kredit untuk mendapatkan
keuntungan tinggi membuat mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
pemegang kartu kredit yang baru. Pelonggaran standar pinjaman yang
meningkatkan resiko pengguna yang gagal bayar dan masalah likuiditas bagi
perbankan dan lembaga penerbit.
Pelonggaran standar pinjaman menunjukkan bahwa manajemen resiko
yang dilakukan perbankan dan lembaga penerbit tidak tepat. Ketidaktepatan ini
memperbesar hubungan antara pelonggaran standar pinjaman dengan pengajuan
personal bankruptcy karena kurangnya informasi akan kemampuan para
pemegang kartu kredit membayar kewajibanya.
Kesalahpahaman Penerbit Kartu Kredit dan Hyperbolic Discounters Tentang
Keberadaan Kartu Kredit
Kesalahan utama bagi pemegang kartu kredit adalah menganggap kartu
kredit sebagai sumber pendapatan selain pendapatan dan tabungan aktual yang
mereka miliki terutama pengguna yang masuk dalam kategori revolvers atau
hyperbolic discounters. Kesalahan yang kedua adalah menyalahgunakan kartu
kredit bukan untuk kebutuhan mereka tetapi lebih kepada keinginan dan
kesenangan seperti perjudian. Dalam kasus ini, ibaratnya memberi gula kepada
pasien diabetes56
.
Kemudian, kesalahpahaman penerbit kartu kredit adalah menganggap
kartu kredit menjadi obligasi, yaitu mendapatkan profit tetap dari tingkat bunga
personal loan yang tinggi karena resiko kredit macet yang tinggi. Selain itu,
mereka juga menjadikan kredit konsumsi menjadi aktifa produktif untuk
mendapatkan penerimaan yang berkelanjutan dengan mengubah sudut pandang
keuntungan terbesar bukan berasal dari orang yang melunasi hutang mereka,
tetapi pemegang kartu kredit yang konstan berhutang kepada penerbit kartu kredit
(Ogilvie, 2009). Bank-bank memosisikan revolvers atau hyperbolic discounters
56
Ibarat ini menyatakan bahwa penyakit diabetes akan semakin parah jika penderitanya terus
diberi gula, sama seperti pengguna kartu kredit revolvers atau hyperbolic discounters yang diberi
kebabasan menggunakan kartu kredit semaunya akan membawa mereka hutang yang besar.
44
menjadi sasaran empuk dan tidak memikirkan dampak negatif dari resiko kredit
macet para revolvers atau hyperbolic discounter terutama ketika mereka
mendominasi pengguna industri kartu kredit penerbit tersebut. Akibatnya, ketika
terjadi kredit macet, pemegang kartu kredit berhadapan pada beban hutang yang
besar dan debt collector, kemudian penerbit kartu kredit berhadapan pada NPL
yang dapat terus meningkat hingga mengarahkan mereka ke dalam masalah
likuiditas.
Kesalahan Penetapan Kebijakan Oleh Pemerintah
Pertumbuhan ekonomi merupakan hal penting yang mencerminkan
kekuatan ekonomi negara. Ketika kartu kredit dapat menyeimbangkan
perekonomian pemerintah menetapkan kebijakan untuk menyuburkan
pertumbuhuan kartu kredit dengan menciptakan kondisi yang mudah bagi para
pelaku industri kartu kredit.
Kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah adalah bergantung pada sektor
konsumsi yang beresiko bubble dan melakukan ekspansi kredit yang pesat. Ketika
ratio household loan to disposable income lebih dari 50 persen, hal ini
menunjukkan bahwa terdapat banyak pemegang kartu kredit yang memiliki
proporsisi hutang lebih besar dibanding pendapatan aktual. Dari inilah gelembung
hutang mulai meledak dan dapat mengganggu sistem perbankan dan sistem
keuangan.
Pembuat kebijakan seharusnya meminimalkan resiko hutang dan
memperlambat pertumbuhan kredit karena resikonya yang besar, bukan
menampilkan kekuatan ekonomi bubble yang akhirnya menciptakan resesi dan
pengeluaran fiskal yang besar karena terjadinya krisis perbankan.
KESIMPULAN
Dari seluruh kasus–kasus tentang kartu kredit di Hongkong SAR, Korea,
Taiwan, Amerika, dan Indonesia, karakter kartu kredit ketika menjadi kawan dan
lawan terlihat dari seberapa besar NPL dan dampak yang diberikan. Kartu kredit
menjadi kawan untuk pertamanya adalah pertumbuhan ekonomi karena
peningkatan konsumsi dari konsumsi rumah tangga. Kartu kredit mengubah pola
konsumsi pengguna kartu kredit dan masyarakat ketika mayoritas masyarakat
45
negara tersebut memasukkan kartu kredit sebagai gaya hidup dan budaya. Selain
itu, penyebab perubahan pola konsumsi adalah borrowing/liquidity constraint,
kekayaan dan kesejahteraan tambahan, self control, tingkat bunga pinjaman, usia,
serta ekspektasi pendapatan. Dampak lain adalah terbentuknya masyarakat
konsumtif yang memiliki budaya hutang karena terpenuhinya kesejahteraaan
“ilusi” yang bersumber dari illusion money (kartu kredit). Masyarakat konsumtif
dapat menjadi dampak positif ketika mereka melakukan konsumsi domestik
sehingga neraca perdagangan tidak berkurang.
Kemudian, kartu kredit menjadi lawan melalui efek negatif yang diberikan
dari jumlah hutang kartu kredit yang besar (NPL tinggi). Jumlah hutang kartu
kredit yang besar dan macet akan mengarah pada credit card bubble yang siap
untuk meledak. Ledakan inilah yang menciptakan bank dan perusahaan penerbit
kartu kredit mengalami kebangkrutan, krisis perbanakan, dan resesi. Selain itu,
munculnya pemegang kartu kredit yang menjadi personal bankruptcy karena tidak
ada lagi aset yang dimiliki untuk menutup hutang kartu kredit yang besar dan
kurang termanajemen dengan baik serta kehadiran predatory lending menambah
terjadinya kredit macet.
Hal – hal yang menjadi akar dalam permasalahan hutang kartu kredit yang
dapat dipelajari adalah kurang tepatnya manajemen resiko kredit melalui penipuan
manajemen (universal default dan sales vs rules), informasi asimetris, dan dengan
menjadi predatory lending oleh para penerbit kartu kredit. Kemudian, dari sisi
pemegang kartu kredit adalah pemakaian kartu kredit yang tidak
bertanggungjawab, yaitu menganggap kartu kredit sebagai alat berhutang untuk
memenuhi kepuasan maksimal mereka.
Di Indonesia, Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah menyatakan
bahwa Indonesia sudah belajar dari krisis perbankan Korea Selatan tahun 2003
sehingga memperlambat pertumbuhan kartu kredit. Namun, Indonesia masih
memiliki permasalahan kartu kredit, yaitu penipuan manajemen sales vs rules,
keberadaan debt collector dan credit card fraud yang mengurangi rasa
kepercayaan dan keamanan para pemegang kartu kredit terhadap para penerbit
kartu kredit. Peningkatan pengawasan dan sanksi yang tegas oleh BI kepada bank
dan perusahaan penerbit kartu kredit menjadi cara untuk menekan penerbit nakal
46
yang secara tidak langsung menerapkan sales vs rules dan universal default.
Kemudian, peningkatan teknologi keamanan dan database kartu kredit Indonesia
untuk mengurangi munculnya credit card fraud, yang hal ini menjadi agak sulit
untuk diatasi ketika dihadapkan pada fakta bahwa pelakunya adalah hacker
berdasi.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Ando, Albert dan Franco Modigliani. 1963. The “Life Cycle” Hypothesis of
Savings: Aggregate Implications and Tests. The American Review, Vol. 53,
No. 1, Part 1 (Mar., 1963) pp. 55 – 84.
http://www.econ.nyu.edu/user/violante/NYUTeaching/MTA/Spring14/Read
ings/ando_aer.pdf
Ausubel, L.M. 1997. Credit Card Defaults, Credit Card Profits, anda Bankruptcy.
American Bankruptcy Law Journal, Vol. 71, pp. 249 – 70.
Bergsten, Eric E. 1967. Credit Cards – A Prelude to the Cashless Society. Boston
College Law Review Vol. 8, Article 6, Issue 3 Consumer Credit – a
Symposium.
Dunham, Kemba. 2004. Bad – Credit Blues. Essence (Time Inc.). Apr2004, Vol.
34 Issue 12, p178 – 182. 4p.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail?sid=e5212f60-83e3-4dca-a21d-
bdad95be0bd3
persen40sessionmgr4003&vid=1&hid=4114&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3Qt
bGl2ZQ persen3d persen3d#db=a9h&AN=12600832
Ekici, Tufan dan Lucia Dunn, 2010. Credit card debt and consumption: evidence
from household-level data. Applied Economics, Taylor & Francis Journals,
vol. 42(4), pages 455-462. http://economics.sbs.ohio-
state.edu/pdf/ldunn/wp06-01.pdf Friedman, Milton. 1957. A Theory of the Consumption Function. New Jersey:
Princeton University Press. Chapter The Permanent Income Hypothesis P.
20 – 37. http://www.nber.org/chapters/c4405.
Gross, David B. dan Nicholas S. Souleles. 2001. Do Liquidity Contraints and
Interest Rates Matter For Consumer Behaviour? Evidence From Credit Card
Data. NBER Working Paper 8314, June 2001.
http://www.nber.org/papers/w8314.
Han, Song dan Geng Li. 2009. Household Borrowing After Personal Bankruptcy.
Finance and Economics Discussion Series Divisions of Research &
Statistics and Monetary Affairs Federal Reserve Board, Washingon, D. C.
2009 – 17.
Hayashi, Fumiko. 2004. A Puzzle of Card Payment Pricing: Why Are Merchants
Still Accepting Card Payments?. Payments System Research, Federal
Reserve Bank of Kansas City. Working Paper WP04 – 02.
Holmes, Chanit’a. 2011. The Impact of Credit Constraints on Privare Aggregate
Consupmtion. Journal of Business, Finance & Economics in Emerging
47
Economies. 2011, Vol. 6 Issue 1, p62 – 89. 28p.
http://content.ebscohost.com/pdf25_26/pdf/2011/3CIG/01Jun11/66564010.p
df?T=P&P=AN&K=66564010&S=R&D=bth&EbscoContent=dGJyMMvl7
ESeprA4yOvsOLCmr0yeqK9SsKq4TLaWxWXS&ContentCustomer=dGJy
MPGps1Cwr7BQuePfgeyx44Dt6fIA
Insights. 2007. Household Debt in Taiwan: An Analysis of the Consumer Debt
Crisis. MasterCard Worldwide, Second Quarter 2007.
Jeremy, Kees, Jeff Joireman dan David Sprott. 2009. Understranding Why
Temporally Myopic People Have More Credit Card Debt: Two
Complementary Exlanations. Advances in Consumer Research. 2009, Vol.
36, p880 – 881. 2p.
http://content.ebscohost.com/pdf27_28/pdf/2009/ACR/01Jan09/43009013.p
df?T=P&P=AN&K=43009013&S=R&D=bth&EbscoContent=dGJyMMvl7
ESeprA4yOvsOLCmr0yeqLFSsaa4TLSWxWXS&ContentCustomer=dGJy
MPGps1Cwr7BQuePfgeyx44Dt6fIA
Johnson. Kathleen W. 2004. Convenience of Necessity? Understanding the
Recent Rise in Credit Card Debt. Finance and Economics Discussion Series,
Divisions of Research & Statistics and Monetary Affairs Federal Reserve
Board, Washington, D. C.
Kang, Taesoo dan Guonan Ma. 2007. Credit Card Lending Distress in Korea in
2003. BIS Papers No. 46. https://www.bis.org/publ/bppdf/bispap46k.pdf
_____. 2007. Recent Episodes of Credit Card Distress in Asia. BIS Quarterly
Review, June 2007. Hal. 55 – 68.
_____. 2009. Growing Credit Card Markets in Asia: Challenges to Policymakers.
Dalam seminar “Household Debt: Implication for Monetary Policy and
Financial Stability” Maret 2008.
Lee, Yun – Huan dan Ya – Li Huang. 2011. Do you have credit cards? The
expansion of the credit card market in Taiwan. Applied Economics Letters,
2011, 18, 1639 – 1644.
Lim, Byung-In dan Jai Hyung Yoon. 2011.The Analysis on the Credit Card
Bubble in Korea with the Permanent Income Hypothesis and the Liquidity
Constraint. Korean Social Science Journal, Vol. 38, No. 2, December 2011,
Pp. 53 – 79.
Lin, Helen. 2008. Study on the Consumer Credit Crisis in Taiwan – An Analysis
of the Credit Card and Cash Card Crisis. Thesis Submitted to Internastional
MBA Program National Chengchi University in partial fulfillment of the
Requirements for the degree of Master in Business Administration. June
2008.
http://nccur.lib.nccu.edu.tw/handle/140.119/33954?mode=full&submit_sim
ple= persenE9 persenA1 persenAF persenE7 persenA4 persenBA persenE6
persen96 persen87 persenE4 persenBB persenB6 persenE5 persenAE
persen8C persenE6 persen95 persenB4 persenE7 persenB4 persen80
persenE9 persen8C persen84
Ludvigson, Sydney. 1999. Consumption and Credit: A Model of Time – Varying
Liquidity Contraints. Review of Economics & Statistics. Agustus 1999, Vol.
81 Issue 3, p434 – 447.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=ce2937a6-7e94-
4698-a3be-a7bf24942328%40sessionmgr4004&vid=9&hid=4207.
48
Mansfield, Phylis M., Mary Beth Pinto, dan Cliff A. Robb. 2013. Consumers and
Credit Cards: A Review of The Empirical Literature. Journal of
Management and Marketing Research. Hal. 1 – 27.
Ogilvie, Don. 2009. Crisis in The Credit Card Industry – Navigating The Perfect
Storm. Deloitte Center for Banking Solutions.
Ritzer, George. 1995. Expressing America: A Critique of the Global Credit Card
Society. Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 1995, 240 pp. Reviewed by
M. J. Alhabeeb, Assistant Professir Department of Consumer Studies
University of Massachusetts at Amherst.
Ruben, Matthew. 2009. Forgice Us Our Trespasses? The Rise of Consumer Debt
in Modern America.
Soll, Jack B., Ralph L. Keeney, dan Richard P. Larrick. 2013. Consumer
Misunderstanding of Credit Card Use, Payments, and Debt: Causes and
Solutions. https://fdic.gov/news/conferences/soll.pdf
Sotiropoulos, Veneta dan Alain D’Astous. 2012. Social Networks and Credit Card
Overspending Among Young Adult Consumers. The Journal of Consumers
Affairs, Fall 2012. Vol. 46, No. 3 p457 – 484.
Stadler, William A. 2012. Predatory lending: is The Credit CARD Act enough?.
Journal of Financial Crime Vol. 19 No. 1, 2012. Pp. 99 -111. Emeral Group
Publishing Limited.
Vodová, Pavla. 2003. Credit Risk as A Cause of Banking Crises. Silesian
University, School of Business Administration, Department of Finance,
Czech Republic.
White, Michelle J. 2007. Bankruptcy Reform and Credit Cards. Journal of
Economi Prespectives Volume 21, Number 4 – Fall 2007 – Pages 175 –
199.
Zeldes, Stephen P. 1989. Consumption and Liquidity Constraints: An Empirical
Investigation. Theo Hournal of Political Economy, Vol. 97, No. 2 (Apr.,
1989), 305 – 346.
Artikel Arhiem. 2012. Syarat Kartu Kredit Diperketat Sesuai Dengan PBI yang baru.
http://hukumperbankan.blogspot.com/2012/05/syarat-kartu-kredit-
diperketat-sesuai.html. 5 April 2012 02:15:00 PM
Bellman, Eric dan Andreas Ismar. 2013. Indonesia Impedes Card Collectors. Wall
Street Journal - Eastern Edition. 3/5/2013, Vol. 261 Issue 52, pC1-C2. 2p. 1
Color Photograph, 1 Graph.
http://online.wsj.com/news/articles/SB100014241278873245394045783398
51149437598. 5 Maret 2013, 12:01 a.m. ET
Bryan, Dan. 2012. Give Me Liberty of Give Me Debt – A History of Credit Cards.
http://www.americanhistoryusa.com/give-me-liberty-or-give-me-debt-a-
history-of-credit-cards/
Byrne, Richard. 2013. America’s Credit History and a Credit Card Debt Story.
http://www.freetech4teachers.com/2013/09/americas-credit-history-and-
credit-card.html#.U5uWE5SSx1g. Sunay, September 29, 2013.
Cain, Geoffrey dan News Desk. 2013. South Koreans Become World’s Top
Credit Card Users. http://www.globalpost.com/dispatch/news/regions/asia-
49
pacific/south-korea/130610/south-korea-credit-card-debt.10 Juni 2013
08:28.
Choi, Hae Won dan Gordon Fairclough. 2004.After Credit Binge in South Korea,
Big Bill Comes Due – Government Pushed Plastic to Juice Up the
Economyc Banks, Borrowers Suffer. http://online.wsj.com/news/articles/SB107456002541605921. 20 januari
2004 1:56 p.m. ET.
CNN.com. 2013. SK Group Tumbles on Scandal.
http://edition.cnn.com/2003/BUSINESS/asia/03/11/korea.sk.reut/
Wednesday, March 12, 2003. 04:49 GMT (12:49 PM HKT).
Damayanti, Doty. 2011. Meraup Untung dari Masyarakat Penggesek.
Kompas.com. Jumat, 15 April 2011 07:25 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/15/07255082/Meraup.Untu
ng.dari.Masyarakat.Penggesek
Djumena, Erlangga. 2011. Bankir Khawatir Utang Macet Kartu Kreedit Naik.
Konpas.com. Minggu, 17 April 2011 20:10 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/17/2010508/Bankir.Khawa
tir.Utang.Macet.Kartu.Kredit.Naik
_____. 2011. BI: “Debt Collector” Tanggung Jawab Bank. Kompas.com. Senin, 4
April 2011 07:35 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/04/07355660/BI.Debt.Coll
ector.Tanggung.Jawab.Bank
_____. 2011. Plafon Kartu Kredit Tak Efektif. Kompas.com. Senin, 25 April 2011
08:07 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/25/08071190/Plafon.Kartu.
Kredit.Tak.Efektif
Dwiantika, Nina. 2011. “Debt Collector” Dihapus, Bunga Kredit Bakal Naik.
Kompas.com. Jumat, 15 April 2011 11:24 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/15/11240552/Debt.Collect
or.Dihapus..Bunga.Kredit.Bakal.Naik
_____. 2014. Nasabah Bangkrut, Bank Tetap Boleh Tagih Utang Kartu Kredit.
Kompas.com. Senin, 14 April 2014 09:51 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/04/14/0951045/Nasabah.Bang
krut.Bank.Tetap.Boleh.Tagih.Utang.Kartu.Kredit
Hermana, Budi. 2012. Syarat Kartu Kredit Makin Sulit.
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/01/09/syarat-kartu-kredit-
makin-sulit-429533.html. 10 Januari 2012 05:56
http://en.wikipedia.org/wiki/Credit_card. Credit Card.
http://ingrimayne.com/econ/FiscalDead/PermIncome.html. Permanent - Income
Hypothesis.
http://mywealth.co.id/topic/perencanaan-keuangan/berkenalan-dengan-
kredit/mari-menuju-cashless-society/. Mari Menuju Cashless Society.
http://www.antaranews.com/video/4608/kartu-kredit-bukan-alat-berhutang. Kartu
Kredit Bukan Alat Berhutang. Kamis, 19 Juli 2012. 22:08 WIB.
http://www.banking.gov.tw/en/home.jsp?id=21&parentpath=0,6. Data kartu kredit
Taiwan dari Tahun 2004 – 2014.
http://www.creditloan.com/
50
http://www.paymentsnews.com/2003/12/korean_credit_c.html. Korean Credit
Card Crisis. 23 Desember 2003 10:51 AM Pasifik.
http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/credit/. Secret History of The
Credit Card.
https://www.mint.com/the-history-of-the-credit-card/. The History of the Credit
Card.
HukumOnline. 2001. Kejahatan Internet Marak, Pemilik Kartu Kredit Resah.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2466/kejahatan-internet-
marak-pemilik-kartu-kredit-resah. Sabtu, 21 April 2001.
_____. 2006. Ulah Debt Collector Masih Dikeluhkan Pengguna Kartu Kredit.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15973/ulah-idebt-collectori-
masih-dikeluhkan-pengguna-kartu-kredit. Kamis, 28 Desember 2006.
Hutahaean, Meltri. 2011. Konsep Konsumsi, Konsumen, Konsumtif. http://meltri-
elia.blogspot.com/2011/10/konsep-konsumsi-konsumen-konsumtif.html.
Minggu, 09 Oktober 2011.
Jatmiko, Bambang Priyo. 2014. BNI Menyatakan Korban Pemukulan “Debt
Collector” Bukan Nasabah Perseroan. Kompas.com. Rabu, 9 April 2014
08:46 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/04/09/0846289/BNI.Menyata
kan.Korban.Pemukulan.Debt.Collector.Bukan.Nasabah.Perseroan
John. 2014. American Personal Saving Rate Statistics through 2012.
http://www.nerdwallet.com/blog/banking/american-personal-saving-rate/
Kompas. 2008. Krisis, Penerbit Kartu Kredit Perketat Seleksi Nasabah Baru.
Kompas.com. Selasa, 9 Desember 2008 09:03 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2008/12/09/09031628/Krisis..Pener
bit.Kartu.Kredit.Perketat.Seleksi.Nasabah.Baru
Kompas. 2009. Baim Wong: Tak Cukup Satu Kartu Kredit. Kompas.com. Kamis,
16 April 2009 01:52 WIB.
http://entertainment.kompas.com/read/2009/04/16/01522587/Baim.Wong.T
ak.Cukup.Satu.Kartu.Kredit
Kontan. 2009. Kredit Macet Melonjak pada Triwulan I 2009. Kompas.com. Rabu,
21 Januari 2009 10:54 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/01/21/10541381/Kredit.Macet
.Melonjak.pada.Triwulan.I.2009
Larkin, John. 2003. The House of Cards.
http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,552170,00.html.
Senin, 1 Desember 2003.
Lieber, Ron. 2009. Americans Are Finally Saving. How Did That Happen?. New
York Times December 18, 2009. http://www.nytimes.com/2009/12/19/your-
money/household-budgeting/19money.html?_r=1&
McGeehan, Patrick. 2004. Soaring Interest Compounds Credit Card Pain for
Millions. The New York Times.
http://www.nytimes.com/2004/11/21/business/21cards-
web.html?pagewanted=1&_r=0&ei=5094&en=70effacd11d42b21&hp&ex=
1101099600&partner=homepage. November 21, 2004.
McPeak, Mary. 2005. National Geographic. Feb2005, Vol. 207 Issue 2, p124 –
130. 5p. 6 Color Photographs.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail?sid=57bb7736-7eb8-4e7e-a2bb-
51
a4a82dbe6762
persen40sessionmgr4005&vid=3&hid=4114&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3Qt
bGl2ZQ persen3d persen3d#db=a9h&AN=15676275
Meryana, Ester. 2014. Satu Orang Masih Pegang Lebih dari 2 Kartu Kredit.
Kompas.com. Senin, 6 Februari 2012 15:30 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/02/06/15303698/Satu.Orang.
Masih.Pegang.Lebih.dari.2.Kartu.Kredit
Morgan, Donald P dan Ian Toll. 1997. Bad Debt Rising. Current Issues in
Economics & Finance. Maret 1997, Vol. 3 Issue 4, p1.5p. 6 Graphs.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail?sid=17a90d15-b772-4388-b8a5-
d42f2b32415f
persen40sessionmgr4005&vid=1&hid=4214&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3Qt
bGl2ZQ persen3d persen3d#db=a9h&AN=9705043559 Mother Jones. 2011. Charts: Shocking Stats on College Costs.
http://www.motherjones.com/contributor/2011/09/student-debt-charts Thu
Sep.15, 2011 6:00 AM EDT.
Nance Nash, Sheryl. 2006. Breaking Bad Habits. Black Enterprise. Sep2006, Vol.
37 Issue 2, p72 – 73. 2p.
http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail?sid=e32ff561-ca79-4092-9127-
019a561de9f6
persen40sessionmgr4001&vid=1&hid=4114&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3Qt
bGl2ZQ persen3d persen3d#db=a9h&AN=22168478
Nocera, Joe. 2008. Credit Cards Are Frothy, Not Bubbly.
http://www.nytimes.com/2008/03/15/business/15nocera.html?_r=0. 15
Maret 2008.
Purwanto, Didik. 2013. Ini Peringatan BI buat Pengguna Kartu Kredit.
Kompas.com, Jumat, 22 Maret 2013 16:13 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/03/22/16135936/ini.peringata
n.bi.buat.pengguna.kartu.kredit
Ratih. 2012. Sejarah Masuknya Kartu Kredit di Indonesia.
http://www.carikredit.com/berita/detail/16/04/2012/490/sejarah-masuknya-
kartu-kredit-ke-indonesia/#.U8M4l5SSx1g. Senin, 16 April 2012.
Setiawan, Sakina Rakhma Diah. 2014. Banyak yang Mengadu ke BI soal Bunga
Kartu Kredit. Kompas.com. Jumat, 21 Februari 2014 13:01 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/21/1301495/Banyak.yang.
Mengadu.ke.BI.soal.Bunga.Kartu.Kredit
_____. 2014. Ekonomi Masyarakat Tumbuh, Transaksi dengan Kartu Kian Subur.
Kompas.com. Senin, 7 April 2014 09:17 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/04/07/0917515/Ekonomi.Mas
yarakat.Tumbuh.Transaksi.dengan.Kartu.Kian.Subur
Shakti, Roy. 2012. Mempelajari Sejarah Kartu Kredit di Indonesia. http://bukukartukredit.blogspot.com/2012/06/mempelajari-sejarah-kartu-
kredit-di.html. 16 Juni 2012.
Sidime, Aissatou dan Matthew Scott. 2004. Black Enterprise. No2004, Vol.35
Issue 4, p38 – 38. 1p. 1chart.
Simbolon Sanny Cicilia. 2008. Jelang Lebaran, Transaksi Kartu Kredit Naik 40
Persen. Kompas.com. Selasa, 9 September 2008 10:48 WIB.
52
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2008/09/09/10483025/Jelang.Lebar
an..Transaksi.Kartu.Kredit.Naik.40.Persen
Siregar, Sopia. 2010. Bank “Write Off” Kartu Kredit, Nasabah Tetap Ditagih.
Kompas.com. Selasa, 2 Maret 2010 11:16 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/03/02/11160898/Bank.Write.
Off.Kartu.Kredit..Nasabah.Tetap.Ditagih
Soeriaatmadja, Wahyudi. 2011. Indonesians Piling up Credit Card Debt.
http://www.thejakartaglobe.com/archive/indonesians-piling-up-credit-card-
debt/. 02:58 PM, 11 Feb. 2011.
Sukiwan, Maggie Quesada. 2013. Visa Dukung BI Wujudkan Cashless Society.
http://m.sindonews.com/read/767481/34/visa-dukung-bi-wujudkan-
cashless-society. Rabu, 31 Juli 2013 – 12:58 WIB.
Veiga, Alex. 2012. U.S. Credit Card Debt Grows, Fewer Americans Make
Payments On Time. The Huffington Post.
http://www.huffingtonpost.com/2012/11/19/us-credit-card-debt-
grows_n_2158010.html 11/19/12 12:51 PM ET EST.
Wang, Eric. 2011. http://sevenpillarsinstitute.org/case-studies/taiwans-credit-card-
crisis. Taiwan’s Credit Card Crisis. Februari 2011.
Widyastuti, Ratna Sri. 2011. Mudahnya Mendapat Kartu Kredit. Kompas.com.
Jumat, 15 April 2011 09:56 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/15/09562379/Mudahnya.M
endapat.Kartu.Kredit
Williamson, Lucy. 2013. South Korea’s Growing Credit Problem.
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-24059038. 17 September 2013 03:05
GMT
Woodcraft, Zoe. 2008. Credit Cards, Consumber Debt and Bankruptcy.
http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/credit/etc/update.html.
Wresti, M. Clara. 2011. Bayarlah Kartu Kredit Segera. Kompas.com. Senin, 4
April 2011 12:27 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/04/04/12274486/Bayarlah.Kar
tu.Kredit.Segera.
Wright, Paul C. 2010. Looming Crisis: America’s Credit Card Debt Bubble –
Burst. Global Research, March 03, 2010.
http://www.globalresearch.ca/looming-crisis-america-s-credit-card-debt-
bubble-burst/17903 Yonhap. 2013. S. Koreans Top Users of Credit Cards Worlwide.
http://www.globalpost.com/dispatch/news/yonhap-news-agency/130609/s-
koreans-top-users-credit-cards-worldwide. 10 Juni 2013 9:32 AM.
Regulasi Kartu Kredit di Indonesia Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Nasional.
Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004 Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
53
Peraturan Bank Indonesia No. 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/59/DASP Tata Cara Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan lampiran.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP Prinsip Perlindungan Nasabah dan
Kehati – hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/61/DASP Pengawasan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan lempiran.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/18/DASP Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip
Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan
Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu.
Peraturan Bank Indonesia No.10/4/PBI/2008 Laporan Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan
Rakyat Dan Lembaga Selain Bank.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/4/UKMI Laporan Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu Oleh Bank Perkreditan
Rakyat Dan Lembaga Selain Bank.
Peraturan Bank Indonesia No. 10/8/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/7/DASP Pengawasan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK).
Surat Edaran Bank Indonesia No.10/20/DASP Perubahan Kedua atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005
perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan
Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu.
Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 - Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DASP - Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/22/DASP tentang Implementasi Teknologi
Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia No.14/34/DASP tanggal 27 November 2012 perihal
Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit.
Surat Edaran Bank Indonesia No.14/27/DASP tanggal 25 September 2012 perihal
Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 23 /DASP perihal Perubahan atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/22/DASP perihal Implementasi
Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu
ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 17 /DASP perihal Perubahan atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
54
Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tanggal 21 Januari 2014 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.