57
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Taman Nasional Bulit Barisan Selatan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu
taman nasional yang memiliki keanekaragaman ekosistem serta flora dan fauna
yang tinggi. Taman nasional ini melindungi berbagai tipe ekosistem, mulai
ekosistem pegunungan sampai ekosistem laut. Setiap tipe ekosistem merupakan
habitat berbagai flora dan fauna yang beberapa diantaranya merupakan flora dan
fauna khas dan atau langka.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada awalnya ditetapkan
tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der
Gouvernour-General Van Nederlandsch Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS
I (Sumatra Selatan I). Selanjutnya, pada 1 April 1979 kawasan Bukit Barisan
Selatan memperoleh status sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Pada tanggal
14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui
Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982. Kemudian pada
tahun 1997 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997
tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(BTNBBS 2010).
Kawasan TNBBS terletak di ujung Selatan dari rangkaian pegunungan
Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera. TNBBS memiliki
topografi yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit,
curam dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara 0 - 1.964 m dpl. Bagian
lereng di sebelah Timur dan Utara cukup curam dan semakin landai pada bagian
Selatan dan Barat ke arah Samudera Hindia.
Secara geografis Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS)
terletak pada 4°29’ – 5o57’ LS dan 103
o24’ – 104
o44’ BT, meliputi areal seluas
±356.800 hektar (BTNBBS 2010). Kawasan ini membentang dari ujung Selatan
Bagian Barat Provinsi Lampung hingga wilayah Provinsi Bengkulu bagian
Selatan. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk ke
dalam provinsi Lampung yaitu di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten
Tangamus, serta Provinsi Bengkulu yaitu di Kabupaten Kaur. Berikut adalah tabel
luasan kawasan TNBBS di dua provinsi tersebut:
Tabel 9 Distribusi luas kawasan TNBBS
Provinsi Kabupaten Luas
(ha)
Persentase
Terhadap Luas
Total Kawasan
(persen)
Lampung 1. Tanggamus 10.500 3,02
2. Lampung Barat 272.645 78,38
Bengkulu 3. Bengkulu Selatan 64.711 18,60
Sumber: BTNBBS (2011)
58
Kawasan TNBBS dikelompokkan menjadi dua zona iklim. Bagian Barat
Taman Nasional mempunyai curah hujan antara 3000-3500 per tahun dan bagian
Timur Taman Nasional antara 2500-3000 mm per tahun dengan suhu berkisar
20o-28
oC. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, bagian Barat Kawasan
TNBBS termasuk tipe iklim A (basah) dengan lebih dari 9 (sembilan) bulan basah
per tahun dan di bagian timur termasuk tipe iklim B yang lebih kering dari tipe A
dan mempunyai 7 (tujuh) bulan basah per tahun. Curah hujan rata-rata per tahun
2.500-3.000 mm per tahun di bagian Barat dan 3.000-4.000 mm per tahun di
bagian Timur, dengan suhu berkisar 20o-28
oC (BTNBBS 2010).
Kawasan TNBBS memiliki banyak fungsi, antara lain, sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Kawasan TNBBS memiliki nilai manfaat ekonomi, sosial, budaya, dan estetika,
baik dirasakan secara langsung maupun tidak. Secara hidrologi, merupakan
bagian hulu dari sungai-sungai yang mengalir ke daerah permukiman dan
pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah
tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air.
Kawasan TNBBS merupakan daerah tangkapan air dan pelindung sistem
tata air di dua provinsi (Lampung dan Bengkulu). Kawasan TNBBS merupakan
bagian hulu sungai-sungai yang mengalir ke daerah pemukiman dan pertanian di
daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air
(catchment area) dan melindungi sistem tata air (hidro-orologis).
Sebagian besar dari sungai-sungai yang ada mengalir ke arah Barat Daya
dan bermuara di Samudera Indonesia sementara sebagian lagi bermuara ke Teluk
Semangka. Sungai-sungai yang mengalir di bagian Utara taman nasional terdiri
dari Air Nasal Kiri, Air Sambat, Air Nasal Kanan, Way Menula, Way Simpang
dan Way Laai. Sungai-sungai yang mengalir di bagian Tengah taman nasional
terdiri dari Way Tenumbang, Way Biha, Way Marang, Way Ngambur Bunuk,
Way Tembuli, Way Ngaras, Way Pintau, Way Pemerihan, Way Semong, dan
Way Semangka. Sementara di bagian Selatan taman nasional mengalir Way
Canguk, Way Sanga, Way Menanga Kiri, Way Menanga Kanan, Way Paya, Way
Kejadian, Way Sulaeman dan Way Blambangan.
Di bagian ujung Selatan taman nasional terdapat danau yang dipisahkan
hanya oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di
bagian Tengah yaitu di daerah Suoh terdapat 4 (empat) buah danau yang letaknya
berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10
ha), dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian Tenggara, selatan dan Barat
taman nasional dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung
Cina dan Samudera Indonesia.
TNBBS tersusun atas berbagai tipe ekosistem yang lengkap mulai
ekosistem rawa, estuari, hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan
bukit, hutan hujan pegunungan bawah dan hutan hujan pegunungan tinggi. Hutan
hujan dataran rendah (0 - 500 m dpl) seluas ±44,04 persen (160.560 ha) dari
luasan total kawasan, hutan hujan bukit (500 - 1000 mdpl) ±34.34 persen (121.312
ha). Sementara itu hutan hujan pegunungan dengan ketinggian di atas 1000 mdpl
yang terdiri dari hutan hujan pegunungan bawah ±20.20 persen (60.656 ha),
dimana ±3 persen (10.704 ha) merupakan hutan hujan pegunungan tinggi. Hutan
hujan rawa dan atau perairan seluas 1,42 persen luas total kawasan (BTNBBS
59
2011). Dari keseluruhan tipe ekosistem tersebut, hutan hujan tropis dataran rendah
merupakan tipe ekosistem terbesar, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi
dan semakin terancam kelestariannya akibat berbagai aktivitas manusia. Selain itu
dari Tanjung Cina sampai Way Pemerihan merupakan satu-satunya ekosistem
hutan pantai yang kering yang terdapat di kawasan konservasi di Sumatera.
Hutan hujan dataran rendah didominasi oleh Shorea sp., Dipterocarpus
sp., dan Hopea sp. dengan jenis tumbuhan bawah diantaranya Urophyllum sp.,
Phrynium sp., Korthalsi sp., Calamus sp., Famili pohon yang dominan pada hutan
hujan bukit adalah dipterocarpaceae, lauraceae, myrtaceae, dan annonaceae
dengan tumbuhan bawah diantaranya Neolitsea cassianeforia, Psychotria
rhinocerotis, Areaca sp., dan Globba pendella. Sedangkan vegetasi yang umum
dijumpai di lahan basah dan pesisir adalah Terminalia cattapa, Hibiscus sp.,
Baringtonia asiatica, Callophyllum inophyllum, Casuarina sp., Pandanus sp.,
Ficus septica.Spesies pohon dari famili lauraceae, myrtaceae, dipterocarpaceae
dan fagaceae khususnya Magnolia sp., Quercus sp., Garcinia sp., hidup di hutan
hujan pegunungan bawah sementara Eugenia sp., dan Castanopsis sp dominan di
hutan hujan pegunungan tinggi (BTNBBS 2010).
Secara umum telah teridentifikasi paling sedikit 514 jenis pohon dan
tumbuhan bawah, 128 jenis anggrek, 26 jenis rotan, dan 25 jenis bambu, 137 jenis
tanaman obat, dan 2 jenis tumbuhan langka yang hidup di kawasan TNBBS
(BTNBBS 2011). Jenis pohon dan tumbuhan bawah didominasi oleh dari famili
lauraceae, myrtaceae, dipterocarpaceae dan fagaceae, annonaceae, rosaceae,
zingibberaceae. Jenis-jenis rumput laut (sea weed) ditemukan di Pesisir Selatan
Sumatera diantaranya Sargassym gracillum, Acnthopora specifesa, Hypnea
musciformis, Sargassum echinocarpum dan Turbinaria ornate sementara jenis
Thallasis sp hidup di sepanjang Teluk Belimbing.
Kawasan TNBBS juga merupakan habitat penting bagi berbagai jenis
tumbuhan yang memiliki nilai pemanfaatan tradisional seperti jenis-jenis
penghasil getah diantaranya Damar Mata Kucing (Shorea javanicia), Damar Batu
(Shorea ovalis) dan Jelutung (Dyera sp). Selain itu kawasan TNBBS juga
merupakan habitat bagi jenis-jenis tumbuhan berbunga unik dan langka yang
menjadi ciri khas taman nasional yaitu Bunga Rafflesia (Rafflesia sp) dan 2 jenis
bunga bangkai yaitu bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decus-silvae),
bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum) dan anggrek raksasa
(Grammatophylum speciosum).
Kawasan TNBBS memiliki nilai penting bagi upaya konservasi beberapa
satwa langka dan terancam punah. Secara umum telah teridentifikasi 122 jenis
mamalia termasuk 7 jenis primata, 450 jenis burung termasuk 9 jenis burung
rangkong, 123 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi), 53 jenis ikan dan 221 jenis
serangga. Terdapat 15 jenis satwa yang termasuk dalam appendix 1 menurut
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora), yang berarti jenis satwa tersebut dilarang dari segala bentuk
perdagangan internasional (BTNBBS 2011). Tercatat 6 jenis binatang mamalia
terancam punah menurut Red Data Book IUCN (International Union for
Conservation of Nature), yaitu Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus),
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus), Harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus),
60
dan Ajag (Cuon alpinus). Hal inilah yang menjadikan TNBBS ditetapkan sebagai
kawasan prioritas utama konservasi satwa langka tersebut.
Di kawasan TNBBS diperkirakan sedikitnya terdapat 100 – 130 ekor gajah
terdiri dari beberapa kelompok tersebar masing-masing di sekitar Sekincau,
Lemong, Bengkunat, Sumberejo, Pemerihan, Way Haru, Belimbing, Tampang,
Way Nipah, dan Sukaraja. Sedangkan Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis) pada mulanya tersebar di seluruh Pulau Sumatera, namun karena
fragmentasi hutan maka habitatnya terpisah dalam kantong-kantong diantaranya
adalah kawasan TNBBS. Di kawasan TNBBS diperkirakan populasi badak 30 –
40 ekor. Penyebarannya terdapat di bagian Tengah Selatan kawasan TNBBS yaitu
mulai dari Marang sampai Belimbing.
Jenis fauna lain di TNBBS adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrensis) yang merupakan salah satu jenis mamalia langka yang memiliki
daya jelajah paling luas dibandingkan mamalia lainnya. Populasi satwa di
kawasan TNBBS diperkirakan 45-60 ekor. Kerbau Liar (Bubalus bubalus)
terdapat di bagian selatan kawasan TNBBS di Belimbing (Blambangan dan Way
Sleman), Kalong (Pteuropus vampyrus) banyak ditemukan di sepanjang Muara
Way Sleman. Sedangkan jenis kelelawar kecil menempati bagian-bagian Gua
Way Paya dan Way Nenok. Beberapa jenis penyu yang juga langka antara lain
Penyu Sisik, Penyu Hijau dan Penyu Blimbing dapat dijumpai antara Danau
Menjukut, Blambangan, Penerusan. Satwa penting lainnya adalah Kambing
Hutan, Rusa, dan Kelinci Sumatera (BTNBBS 2010).
Di kawasan TNBBS terdapat 7 (tujuh) jenis primata yaitu Siamang
(Symphalangus syndactylus), Owa (Hylobates agilis), Lutung (Presbytis cristata
dan Presbytis melalophos), Beruk (Macaca nemestrina), Kera (Macaca
fascicularis), dan Binatang Hantu (Tarsius bancanus). Jenis burung yang terdapat
di TNBBS antaralain Kuau Kerdil Sumatera (Polyplectron chalcurum), Pita
Raksasa (Pitta caeurella) dan Tokhtor Sumatera (Carposossyx viridis). Jenis
burung Tokhtor Sumatera dilaporkan tidak pernah lagi ditemukan sejak tahun
1916 namun ditemukan di TNBBS (BTNBBS 2010).
Dalam pengelolaan taman nasional, sebagaimana definisi dan fungsinya,
TNBBS dikelola berdasarkan zonasi yang terdiri dari zona inti (159.464 ha),
zona rimba (104.887 ha), zona pemanfaatan (8.039 ha), dan zona penyangga
yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi
sumberdaya hutan dan ekosistemnya terdiri dari zona rehabilitasi (75.732 ha),
pemanfaatan tradisional (7.242 ha), zona religi (4 ha) dan pemanfaatan khusus
(142 ha) (BTNBBS 2011). Peta pembagian zona/mintakat di TNBBS dan
penataan zonasi di desa lokasi pemberdayaan masyarakat MDK di Pekon
Sukaraja dan Kubu Perahu sebagaimana dalam Lampiran 5 - 6.
Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS
Masyarakat di sekitar kawasan merupakan potensi penting sebagai pelaku
utama dalam menjaga kelestarian TNBBS. Keterlibatan masyarakat tersebut
sangat mungkin untuk dikembangkan mengingat merekalah yang akan merasakan
dampak positif dengan terjaganya kelestarian kawasan TNBBS yang berada di
sekitar mereka.
61
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan konservasi
yang dikelilingi oleh 210 desa yang tersebar pada tiga Provinsi, yaitu Lampung,
Bengkulu dan Sumatera Selatan (tabel 9). Diantara desa-desa tersebut, sekitar 53
desa merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS
termasuk Sukaraja dan Kubu Perahu. Bagi wilayah sekitar ini, kawasan TNBBS
memiliki nilai penting dan strategis tidak hanya secara ekonomi, ekologi, tetapi
juga sosial budaya (BTNBBS 2010).
Tabel 10 Desa di Sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Provinsi Kabupaten Jumlah Desa Jumlah Penduduk (jiwa)
Lampung a. Lampung Barat
b. Tanggamus
150
38
418.560
534.595
Bengkulu Kaur 19 107.267
Sumatera Selatan Ogan Komering Ulu 13 318.428
Jumlah Total 1.379.210
Sumber: BTNBBS (2011)
Banyaknya desa di sekitar kawasan TNBBS berimplikasi pada banyaknya
batas buatan antara kawasan dengan desa-desa di sekitarnya tersebut. Total
panjang batas kawasan baik alam maupun buatan adalah +893,39 km. dari total
batas tersebut, +797,95 km atau hampir 90 persen adalah batas buatan.
Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS adalah
+1.379.210 jiwa (BTNBBS, 2011). Berdasarkan hasil kajian BPS Tahun 2007
sebagaimana diacu dalam BTNBBS (2010) jumlah penduduk miskin yang berada
di kecamatan–kecamatan tersebut berjumlah 13.978 KK (69,18 persen). Sebagian
besar masyarakat ini bermata pencaharian sebagai petani (BTNBBS 2010).
Disamping masyarakat asli, masyarakat yang berada di sekitar TNBBS
merupakan sekumpulan suku-suku (Sunda, Jawa, dan Semendo) yang mendiami
beberapa wilayah di dalam dan sekitar kawasan. Pada umumnya suku Jawa dan
Sunda merupakan masyarakat transmigran yang kemudian karena keterbatasan
lahan garapan dan kesempatan berusaha, sebagian besar dari mereka mencari
tempat baru dengan membuka hutan. Masyarakat di sekitar TNBBS tinggal di
desa-desa sekitar kawasan baik di daerah penyangga maupun enclave.
Dalam upaya pelibatan masyarakat, salah satu kegiatan yang dilaksanakan
adalah pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) yang berlokasi
di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu.
Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan
Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK)
Letak wilayah
Pekon Sukaraja secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan
Semaka Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Secara administratif
62
pengelolaan TNBBS, wilayah ini termasuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional
(SPTN) Wilayah I Sukaraja.
Secara administratif pekon Kubu Perahu termasuk dalam Kecamatan Balik
Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Dalam pengelolaan taman
nasional, Kubu Perahu termasuk dalam Satuan Pengelolaan Taman Nasional
(SPTN) II Wilayah Kubu Perahu.
Sebagian besar wilayah kedua pekon baik Sukaraja maupun Kubu perahu,
berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Pekon Sukaraja dengan luas
wilayah ± 723 ha ini terdiri dari 10 dusun yaitu dusun Sukaraja Pasar, Poncol,
Way Tebing, Mojoroto, Klaten, Sukaraja, Wonorejo, Wonosari, Sumberejo
dan Gunung Pete. Sebagian besar wilayah Pekon Sukaraja berbatasan langsung
dengan kawasan TNBBS, sebelah Utara berbatasan dengan Pekon Sedayu; sebelah
Selatan berbatasan dengan Pekon Kacapura; sebelah Timur berbatasan dengan Pekon
Bangunsari; dan sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan TNBBS.
Pekon Kubu Perahu terdiri dari 4 (empat) dusun yakni Dusun Taman
Indah, Kampung Baru dan Taman Jaya yang letaknya berdekatan dengan ibukota
Kabupaten Lampung Barat di Liwa dan Dusun Kubu Perahu yang letaknya paling
jauh dibandingkan dusun yang lain yaitu sekitar 7 km dari ibukota Kabupaten.
Pekon Kubu Perahu terutama di sebelah barat berbatasan langsung dengan kawasan
hutan TNBBS dengan topografi berbukit dan tingkat kelerengan relatif tinggi. Kubu
Perahu merupakan wilayah enclave kawasan Taman Nasonal Bukit Barisan
Selatan. Secara geografis, Kubu Perahu terletak di dalam kawasan taman nasional,
pekon ini telah ada sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Sebagai
wilayah enclave, Kubu Perahu dikelilingi oleh kawasan taman Nasional, sehingga
hampir semua batas wilayahnya merupakan kawasan taman nasional. Ilustrasi
batas antara Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu yang berbatasan langsung
dengan kawasan TNBBS sebagaimana dalam Lampiran 7.
Jumlah penduduk
Penduduk Pekon Sukaraja relatif homogen dalam strata sosial, budaya
termasuk latar belakang pendidikan. Mayoritas penduduk beragama Islam (99,2
persen), hanya 4 KK atau 0,8 persen yang memeluk agama Katolik. Jumlah
penduduk ±3431 jiwa (715 KK). Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk laki
laki berjumlah 1572 orang atau 46 persen, lebih sedikit dari jumlah penduduk
perempuan yakni 1859 orang atau 54 persen.
Penduduk Pekon Kubu Perahu terdiri dari 1.941 jiwa yang terdiri dari 515
KK dengan kepadatan 44,6 jiwa per km2. Dari jumlah penduduk tersebut,
penduduk laki-laki berjumlah 954 orang (54,2 persen). Jumlah ini sedikit lebih
banyak dari jumlah penduduk perempuan yakni dan 805 orang (45,8 persen),
namun secara umum dapat dikatakan dalam kondisi seimbang (BTNBBS 2010).
Berdasarkan komposisi umur, penduduk Kubu Perahu termasuk dalam
piramida penduduk yang ideal, dimana usia produktif ( 16 – 60 tahun) merupakan
piramida terbesar sebanyak 62,26 persen diikuti usia anak-anak (0 – 15 tahun)
sebesar 34,25 persen dan piramida puncak dengan prosentase terkecil adalah usia
tua (> 60 tahun) sebesar 3,49 persen.
63
Etnis Pemukim
Etnis pemukim Pekon Sukaraja selain penduduk asli (Lampung) yang
sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut, banyak pendatang dari berbagai
wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Palembang. Sebagian
besar masyarakat berasal dari etnis Jawa yang melakukan perpindahan ke wilayah
Sumatera. Etnis Jawa mendominasi kehidupan sosial budaya masyarakat sebesar
91 persen sedangkan etnis lainnya adalah Lampung dan Palembang sebesar 9
persen. Suku Jawa mendominasi hampir di seluruh dusun sedangkan suku
Lampung dan Palembang berjumlah sangat sedikit dibandingkan dengan suku
Jawa sehingga umumnya mereka mengikuti budaya masyarakat mayoritas terutama
bahasa sehari-hari yang digunakan yaitu bahasa Jawa. Komposisi penduduk Pekon
Sukaraja berdasarkan etnis pemukim disajikan dalam diagram berikut:
Gambar 4 Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim
Demikian pula masyarakat Pekon Kubu Perahu, selain penduduk asli yang
sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut, cukup banyak pendatang dari
berbagai wilayah. Pendatang umumnya berasal dari Jawa Barat (etnis Sunda)
sebesar 60 persen, sebagian berasal dari Jawa Tengah (10 persen). Sedangkan
etnis asli Lampung sebanyak 20 persen dan sisanya sebesar 10 persen merupakan
etnis pendatang dari Padang dan Batak. Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu
berdasarkan etnis pemukim disajikan dalam diagram berikut:
Gambar 5 Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim
64
Berbeda dengan dusun-dusun lain, lokasi penelitian di Dusun Kubu Perahu
mayoritas penduduk adalah etnis asli Lampung, sedangkan di dusun lainnya
didominasi oleh pendatang.
Potensi Pekon
Pekon Sukaraja merupakan daerah penyangga yang berbatasan langsung
dengan kawasan TNBBS. Kondisi demikian menjadikan Pekon Sukaraja
merupakan daerah strategis sebagai penyangga kelestarian kawasan. Kawasan
Sukaraja Atas merupakan bagian hulu sungai Pemerihan. Demikian pula dengan
Pekon kubu perahu, pekon ini sangat strategis sebagai model desa konservasi.
Potensi Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagaimana dalam Tabel berikut:
Tabel 11 Potensi Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi
pemberdayaan MDK
Jenis Potensi Sukaraja Kubu Perahu
Lanskap Lanskap berbukit, daerah
pertanian dan permukiman.
Lanskap pegunungan rendah, daerah
pertanian, pemukiman
Tipe ekosistem Hutan Hujan Bukit yang relatif
masih asli, habitat penting bagi
jenis-jenis tumbuhan unik dan
langka
Hutan hujan pegunungan tengah yang
relatif masih asli. Merupakan habitat
penting bagi berbagai jenis anggrek alam
dan berbagai jenis burung.
Jenis vegetasi (flora) Terdapat jenis langka dan
dilindungi yaitu Bunga
Rafflesia (Rafllesia sp), Bunga
Bangkai (Amorphophallus sp)
Terdapat sedikitnya 59 jenis anggrek alam.
Dua di antaranya merupakan jenis yang
dilindungi, yaitu Anggrek Hitam
(Gramatophlum sp) dan Anggrek Bulan
Sumatera (Phalaenopsis sumatranus).
Jenis fauna Terdapat jenis fauna langka
dan dilindungi yaitu Harimau
dan Badak Sumatera
Terdapat sedikitnya 136 jenis burung,
seperti Rangkong (Buceros sp) dan Kuau
(Argusianus argus). Terdapat sedikitnya
49 jenis mamalia, diantaranya siamang
(Hylobates syndactyllus), owa (Hylobates
agilis) dan simpai (Presbytis melalophos)
dan mamalia besar, seperti beruang madu
(Helarctos malayanus), gajah sumatera
(Elephas maximus sumatranus).
Wisata Pemandangan perairan Teluk
Semangka, sungai dan hutan.
Wilayah ini sangat potensial
bagi wisata alam, berkemah,
foto hunting, pengamatan
flora dan fauna. Di Sukaraja
Atas, terdapat beberapa
obyek ekowisata yaitu air
terjun bumi perkemahan,
sarana out-bound, dan
pengembangan museum
ekowisata (arboretum flora
dan fauna)
Pemandangan indah strata tajuk hutan
hujan pegunungan yang masih asli, hawa
sejuk dan segar, juga penjelajahan hutan,
pengamatan flora dan fauna, foto hunting,
berkemah, memancing, dan rekreasi air
terjun yaitu Sepapa Kanan (20 m) dan
Sepapa Kiri (60 m). Di Kubu Perahu,
mengalir sebuah sungai utama, yaitu Way
Sindalapai dengan ratusan anak sungai.
Sungai-sungai mengalir relatif stabil
karena didukung banyaknya flora penutup
tanah dan belum terganggunya air tanah
dangkal sebagai sumber mata air.
Hasil hutan non kayu Bambu, madu Bambu, air, anggrek
65
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS,
masyarakat Sukaraja memiliki hubungan erat dengan TNBBS, demikian pula
dengan Kubu Perahu. Hasil kuesioner dan observasi lapangan baik di
Sukaraja maupun di Kubu Perahu menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk
pertanian dan keperluan lainnya tergantung pada kondisi kawasan TNBBS di
daerah hulu. Bahkan di Sukaraja, sebagian masyarakat yang berada di wilayah
hulu (Wonorejo dan Wonosari) pada saat-saat tertentu sangat kesulitan air
sehingga mereka masuk kawasan TNBBS untuk mencari sumber-sumber air.
Potensi hasil hutan non kayu di Sukaraja adalah bambu. Namun untuk
kebutuhan kayu lokal belum terpenuhi sehingga upaya mengembangkan
tanaman kayu di lahan masyarakat sangat perlu dilakukan sebagai upaya
mengurangi gangguan terhadap kawasan. Selain itu, sebelum adanya kegiatan
pemberdayaan, masyarakat melakukan kegiatan berburu, mengambil damar dan rotan
dari kawasan untuk dijual pada penampung. Selain itu mereka juga melakukan
aktivitas perambahan sebagai upaya memperluas lahan garapan untuk ditanami
komoditas pertanian/perkebunan. Belum adanya fasilitas penerangan (listrik) juga
merupakan permasalahan utama masyarakat di Sukaraja.
Berdasarkan tata guna lahan, penggunaan lahan di Pekon Kubu Perahu
adalah untuk tanaman pangan dengan menggunakan pengairan yang berasal dari
dalam kawasan. Lahan pertanian tersebut ada hanya dapat dijumpai di dusun
Kubu Perahu yang merupakan enclave. Selain digunakan untuk pertanian, lahan
tersebut digunakan pula untuk kegiatan perikanan. Meskipun terdapat
keterbatasan lahan di Pekon Kubu Perahu khususnya di dusun Kubu Perahu,
namun terdapat potensi belum dioptimalkan pemanfataannya yaitu ketersediaan
air sebagai unsur penting dalam kegiatan pertanian, perkebunan, dan perikanan
sangat melimpah dari kawasan TNBBS. Potensi lain yang dimiliki oleh Pekon
Kubu Perahu adalah potensi sumberdaya alam berupa kekayaan tanaman hias
seperti beragam jenis anggrek. Masyarakat Pekon Kubu dapat mengembangkan
budidaya tanaman hias dalam hal ini anggrek yang merupakan tanaman hias yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Pendidikan dan mata pencaharian
Pada umumnya, tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah. Hal ini
ditunjukkan dengan tingkat pendidikan masyarakat Pekon Sukaraja yang
didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar bahkan banyak juga yang tidak tamat
sekolah/tidak mengenal sekolah sama sekali. Namun meski tingkat pendidikan
relatif rendah, masyarakat Pekon Sukaraja tetap mengupayakan anak-anak
mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi.
Pada umumnya, mata pencaharian utama warga Sukaraja (lebih dari 90
persen) adalah petani/berkebun, sebagian kecil wiraswasta termasuk jasa
(bengkel, penggilingan padi, buruh bangunan), pedagang dan pegawai. Usaha
lain yang dilakukan oleh penduduk Pekon Sukaraja sebagai altematif mata
pencaharian adalah menjadi buruh/tenaga harian dan beternak. Pada musim
paceklik, masyarakat yang rata-rata menggantungkan hidup dari sektor
pertanian, memilih untuk menjadi buruh sebagai mata pencaharian baik
buruh di tempat orang yang lebih mampu/mempunyai lahan banyak, buruh
bangunan maupun buruh memetik buah-buahan (kelapa, pisang, dan
66
sebagainya) serta sebagian menjual hewan ternak yang mereka miliki. Dengan
demikian pendapatan utama yang diperoleh adalah dan hasil
pertanian/perkebunan dengan komoditas tanaman padi, kopi dan kakao.
Mata pencaharian utama warga Kubu sebagian besar adalah petani
penggarap dan pemecah batu. Hal ini dilatarbelakangi karena keterbatasan lahan
yang ada dipekon tersebut bagi kegiatan pertanian/perkebunan. Mata pencaharian
penduduk pada Pekon Kubu Perahu adalah buruh tani, petani, budidaya ikan,
buruh batu, dan hanya sebagian kecil yang berdagang (rumah makan dan warung).
Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa kepemilikan lahan yang
luas akan berdampak pada meningkatnya produksi/hasil. Hal ini berimplikasi
pada terjadinya perambahan kawasan sebagai upaya untuk memperluas lahan
garapan. Masyarakat menggunakan lahan perambahan untuk bercocok tanam
padi, sayuran maupun berkebun kopi dan atau coklat. Untuk kebutuhan kayu
lokal, masyarakat juga masih mengambil dari kawasan.
Ketika menghadapi tuntutan kebutuhan misalnya pendaftaran sekolah,
hari raya, keperluan lainnya, masyarakat cenderung mengambil jalan pintas,
biasanya mengambil burung maupun kayu dari kawasan untuk dijual. Kegiatan
perambahan dan ilegal lainnya yang dilakukan masyarakat tentunya akan
mengancam keberadaan TNBBS sebagai kawasan konservasi. Kegiatan MDK
diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga kawasan dan mengubah pandangan dan perilaku masyarakat yang
memperluas lahan dengan cara merambah agar lebih mengembangkan potensi
lokal untuk menambah penghasilan.
Sarana Prasarana
Sarana prasarana umum yang ada di pekon Sukaraja yaitu 1 unit Balai
Pekon dalam kondisi rusak berat, 1 unit pasar, 1 unit lapangan, 4 lokasi Tempat
Pemakaman Umum (TPU). Sarana lainnya yaitu 5 tugu batas pekon, 1 tugu PKK,
sarana kesehatan (1 unit puskesmas induk dan 1 unit puskesmas pembantu),
sarana pendidikan (1 unit Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan 3 unit Sekolah
Dasar), tempat ibadah berupa 5 unit masjid dan 5 unit musholla, sarana
keamanan (15 unit gardu siskamling), sarana kebersihan berupa 1 unit mesin
penyedot air, 20 unit gorong-gorong dan 1 unit instalasi air bersih serta sarana
transportasi yang meliputi jalan aspal sepanjang 7 km, jalan onderlag sepanjang 1,5
km, jalan tanah sepanjang 6 km serta jembatan beton sebanyak 4 buah.
Sedangkan di Pekon Kubu Perahu, sarana prasarana meliputi jalan lintas
barat Sumatera dalam kondisi relatif baik, masjid, musholla, bangunan SD, Balai
pekon, jaringan listrik, posyandu, sarana air bersih serta puskesmas keliling.
Dibandingkan dengan Pekon Sukaraja, meskipun fasilitas di Kubu Perahu juga
terbatas, namun karena kedekatan dengan pusat kota kabupaten (lampung Barat),
maka akses terhadap fasilitas sarana prasarana relatif lebih mudah.
Aksesibilitas
Jalan darat sebagai sarana aksesibilitas di beberapa dusun di Pekon
Sukaraja kondisinya sangat memprihatinkan terutama di Dusun Wonosari,
Wonorejo dan Sumberejo. Selain cukup jauh dari pusat pekon, dusun-dusun
67
tersebut berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS dengan topografi berbukit
dan tingkat kelerengan yang lebih tinggi. Karena topografinya yang cukup terjal dan
berada di dataran tinggi, masyarakat setempat sering menyebut dusun tersebut
sebagai daerah Sukaraja Atas. Untuk mencapai lokasi Pekon Sukaraja Kecamatan
Semaka Kabupaten Tanggamus, dapat dilakukan dengan jalur sebagai berikut:
- Dari ibukota provinsi Lampung, menuju ibukota kabupaten Tanggamus
(Kotaagung) dapat ditempuh dengan menggunakan bus/angkutan umum
selama kurang lebih 2,5 jam dengan kondisi jalan aspal.
- Dari Kotaagung menuju pusat Pekon Sukaraja menggunakan angkutan umum
dapat ditempuh sekitar 1 jam.
Berbeda dengan Pekon Sukaraja, Kubu Perahu relatif dekat dengan Ibu
Kota Kabupaten Lampung Barat (Liwa). Karena letak yang cukup strategis berada
dekat dengan ibukota Kabupaten, sarana dan prasarana perekonomian seperti
pasar, transportasi, sarana telekomunikasi, bank dan sebagainya dapat diakses
dengan mudah. Untuk mencapai lokasi Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik
Bukit, Kabupaten Lampung Barat dapat dilakukan dengan rute sebagai berikut :
- Dari ibukota provinsi lampung, Bandar Lampung - Kotaagung - Sukaraja -
Bengkunat - Krui - Kubu Perahu dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda
empat/angkutan umum selama kurang lebih 7 (tujuh) jam dengan kondisi jalan
aspal yang membelah kawasan TNBBS.
- Dari ibukota provinsi Lampung, Bandar Lampung, - Bandar Jaya - Kotabumi -
Bukit Kemuning- Sumber Jaya - Liwa - Kubu Perahu ditempuh menggunakan
kendaraan roda empat/angkutan umum selama kurang lebih 8 jam dengan
kondisi ialan aspal (sebagian besar telah rusak karena merupakan jalan lintas).
Pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK)
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai kawasan hutan konservasi
tidak terlepas dari berbagai kepentingan terutama yang berkaitan dengan
masyarakat sekitar kawasan. Kepentingan konservasi kawasan di satu sisi sering
berbenturan dengan kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat di sisi lain.
Upaya untuk meminimalisir konflik kepentingan ini salah satunya dilakukan
melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, permasalahan
pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi merupakan permasalahan
yang cukup kompleks dan rumit karena menyangkut aspek sosial, ekonomi
sekaligus ekologi serta menyangkut banyak pemangku kepentingan.
Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan
model/contoh bagi desa lain di sekitar kawasan konservasi dalam upaya
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, dengan memperhatikan
aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat.
Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) bertujuan agar pengelolaan
kawasan taman nasional dapat dilakukan dengan baik, sehingga dapat berfungsi
secara optimal dan lestari, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di sekitarnya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya menuntut adanya kegiatan
nyata yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Apabila
masyarakat telah memperoleh manfaat langsung dari keberadaan suatu kawasan
68
konservasi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan, maka dengan
sendirinya akan memunculkan dukungan dari masyarakat setempat dalam
berbagai upaya konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
Model Desa Konservasi merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan di
TNBBS dengan fokus utama pada peningkatan ekonomi masyarakat dan
kelestarian kawasan. Kegiatan MDK telah dilaksanakan di TNBBS sejak tahun
2006. Kegiatan MDK difokuskan di dua desa/pekon, yaitu Pekon Sukaraja
(daerah penyangga) dan Pekon Kubu Perahu (wilayah enclave). Pemilihan lokasi
pekon didasarkan oleh beberapa kriteria antara lain berbatasan langsung dengan
kawasan, terdapat interaksi masyarakat dengan kawasan, dan terdapat potensi
lokal yang dapat dikembangkan.
Sebagaimana kegiatan pemberdayaan lainnya, berdasarkan Master Plan
Pengembangan MDK di TNBBS, pengembangan MDK dalam prosesnya memerlukan
tahapan-tahapan yang dimulai dari prakondisi, persiapan, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi. Tahap prakondisi merupakan tahap awal dalam identifikasi sasaran.
Tahap prapelaksanaan ini merupakan tahap penting untuk identifikasi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat, identifikasi altematif pemecahan masalah, pemilihan
alternatif masalah menurut skala prioritas dengan melalui analisis secara bersama-
sama. Dalam kegiatan ini dilakukan pendampingan untuk mencapai beberapa
tujuan antara lain penyusunan kriteria dan standar kegiatan serta hasil/keluaran
yang akan dicapai bersama masyarakat desa model, dan mendorong terbentuknya
peraturan pekon/desa terkait dengan pelestarian kawasan TNBBS yang disepakati
seluruh warga desa model. Sampai saat ini di kedua pekon lokasi pemberdayaan
baik Sukaraja maupun Kubu Perahu belum terdapat adanya peraturan pekon
terkait dengan MDK.
Perencanaan kegiatan yang akan diimplementasikan di desa model
hendaknya dibahas secara rinci meliputi elemen penanggung jawab dan
tahapan teknis yang dilakukan. Selanjutnya tahap pelaksanaan kegiatan
merupakan kelanjutan tahap perencanaan yang merupakan kegiatan partisipatif
dan pengkajian sejumlah topik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari hasil
pengkajian dan penilaian kemudian ditentukan skala prioritas.
Tahap pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh fasilitator utama (TNBBS)
bekerja sama dengan mitra atau pihak yang telah disepakati sebelumnya sesuai
dengan jenis program yang akan dievaluasi. Pemantauan dan evaluasi harus
melibatkan peran aktif masyarakat, minimal tokoh-tokoh kunci (key person)
dalam penguasaan teknik-teknik pemantauan dan evaluasi yang efektif.
Pemberdayaan MDK dilaksanakan di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu dengan
berbagai pertimbangan, diantaranya adalah letak kedua desa tersebut yang berbatasan
langsung dengan kawasan, interaksi masyarakat dengan kawasan dan adanya potensi
yang dapat dikembangkan.
Kegiatan pemberdayaan MDK di Pekon Sukaraja sejak tahun 2006, sedangkan
di Pekon Kubu Perahu dilaksanakan pada tahun 2008. Kegiatan MDK di Pekon Kubu
Perahu merupakan pengembangan dari Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan
(SPKP) dibentuk pada tahun 2007. Pada waktu itu, setelah SPKP terbentuk tidak ada
tindak lanjut berupa kegiatan pendampingan karena tidak ada tenaga penyuluh di
TNBBS (tenaga penyuluh kehutanan baru ada tahun 2009).
Kegiatan pemberdayaan dilakukan melalui pendampingan kelompok untuk
mengembangkan usaha produktif berdasarkan potensi yang dimiliki lokal
69
setempat. Oleh karena itu dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan
MDK diperlukan adanya kegiatan yang dapat memberikan manfaat langsung
kepada masyarakat diantaranya yaitu pendampingan masyarakat, peningkatan
kapasitas SDM dan pengembangan kelompok usaha produktif.
MDK dikembangkan melalui proses partisipatif, dimana masyarakat mempunyai
peran dalam menentukan kegiatan yang mereka inginkan. Masyarakat diberi bantuan
sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi yang ada dengan
harapan ketergantungannya terhadap hutan akan berkurang. Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain adalah budidaya ikan, budidaya ternak, pembibitan,
agroforestry dan pembuatan pupuk organik (Lampiran 8). Baru pada tahun 2010
dilaksanakan pelatihan untuk peningkatan keterampilan masyarakat misalnya pelatihan
dasar kelompok, pelatihan kesehatan ternak dan pelatihan pembuatan pupuk organik.
Di Pekon Sukaraja terdapat 3 (tiga) kelompok aktif yang terlibat dalam
kegiatan MDK yaitu Kelompok Wana Lestari, Tunas Karya dan Eka Tunggal
Makmur serta 1 (satu) kelompok eks penerima manfaat program pemberdayaan
MDK Sentra penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Kelompok yang masih
aktif bergerak dalam pengembangan usaha produktif di bidang budidaya ternak,
pengolahan kopi, agroforestry, dan pupuk organik. Sedangkan di Pekon Kubu
Perahu melibatkan 2 (dua) kelompok aktif yang bergerak di bidang perikanan
yaitu kelompok Mulya Tani Harapan Maju dan kelompok Pemuda Mandiri serta 1
(satu) kelompok eks penerima manfaat program pemberdayaan MDK.
Dengan berbagai bidang usaha yang dikembangkan tersebut, keberhasilan
program pemberdayaan di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu bukan hanya
menjadi tanggung jawab instansi pengelola kegiatan pemberdayaan semata.
Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan efektif atau tidaknya
pemberdayaan yang dilakukan, baik dari segi masyarakatnya maupun pendekatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh pelaksana pemberdayaan.
Karakteristik Sosio-demografi
Dalam falsafah penyuluhan, pemahaman karakteristik individu masyarakat
merupakan hal mendasar. Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang dengan
tujuan mengubah perilaku sasaran sesuai dengan yang direncanakan dan hal ini
merupakan upaya untuk mengembangkan potensi individu sasaran agar lebih
berdaya secara mandiri (Asngari 2008). Dengan demikian, sasaran pemberdayaan
adalah manusia dengan segala kompleksitas yang melekat padanya.
Pemberdayaan tidak akan berhasil tanpa melibatkan ilmu-ilmu yang mewakili
dan mempelajari berbagai dimensi atau kompleksitas tersebut. Oleh karenanya,
untuk memahami sasaran secara komprehensif perlu mempertimbangkan segala
aspek meliputi kejiwaan manusia, individu, sosialitas, manifestasinya dalam
berinteraksi dengan lingkungan, kepentingan bersama, dan budaya yang dimiliki.
Karakteristik individu dalam penelitian ini merupakan karakteristik sosio-
demografi yang merupakan ciri yang melekat pada individu berupa karakteristik
sosial dan kependudukan yang menggambarkan perbedaan masyarakat
berdasarkan usia, mata pencaharian, pendidikan, suku bangsa (etnis), pendapatan,
keluarga, serta sosial budaya, hubungannya dengan orang lain dan sebagainya.
70
Dalam penelitian ini, karakteristik masyarakat peserta program pemberdayaan
MDK yang diamati meliputi umur, pendidikan formal, pelatihan, mata
pencaharian, pendapatan, kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, etnis
pemukim, keikutsertaan dalam kelompok, dan keterdedahan terhadap informasi.
Berikut adalah distribusi responden pada berbagai karakteristik yang diamati:
Tabel 12 Distribusi responden pada berbagai karakteristik sosio-demografi
No.
Sub Variabel
Kategori
Lokasi Desa/Pekon
Sukaraja Kubu Perahu
persen persen
Total
persen
1. Umur 1. Tidak produktif (0-14 th)
2. Kurang produktif (≥ 65 th)
3. Produktif (50 – 64 th)
4. Sangat produktif (15 – 49 th)
-
1
11
55
-
1,5
16,4
82,1
-
-
3
34
-
-
8,1
91,9
-
1
14
89
-
1
13,5
85,6
2. Tingkat
pendidikan
formal
1. Sangat rendah (Dasar)
2. Rendah (Menengah)
3. Tinggi (Atas)
4. Sangat tinggi (PT)
43
13
11
-
64,2
19,4
16,4
-
18
9
10
-
48,6
24,3
27,0
-
61
22
21
-
58,7
21,2
20,2
-
3. Pelatihan 1. Sangat rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
32
15
12
8
47,8
22,4
17,9
11,9
16
15
6
-
43,2
40,5
16,2
-
48
30
18
8
46,2
28,8
17,3
7,7
4. Mata
pencaharian
1. Petani
2. Non petani 60
7
89,6
10,4
27
10
73,0
27,0
87
17
83,7
16,3
5. Pendapatan 1. Sangat rendah (< Rp 500.000)
2. Rendah (> Rp 500.000 – 1 jt)
3. Tinggi (> Rp 1 jt – 1,5 juta)
4. Sangat tinggi (> Rp 1,5 juta)
32
26
8
1
47,8
38,8
11.9
1.5
10
22
4
1
27,0
59,5
10,8
2,7
42
48
13
2
40.4
46.2
12.5
1,9
6. Kepemilikan
lahan
1. Sangat Rendah (0 ha)
2. Rendah (> 0 s/d 0,5 ha/KK)
3. Tinggi (>0,5 s/d 1 ha/KK)
4. Sangat tinggi (> 1 ha/KK)
1
23
25
18
1.5
34.3
37.3
26.9
22
10
4
1
59.5
27.0
10.8
2.7
23
33
29
19
22.1
31.7
27.9
18.3
7. Jumlah
tanggungan
keluarga
1. Sangat Rendah (0 – 2
jiwa/KK)
2. Rendah (3 – 4 jiwa/KK)
3. Tinggi (5 -6 jiwa/KK)
4. Sangat Tinggi(> 6 jiwa/KK)
9
43
14
1
13.4
64.2
20.9
1.5
11
15
10
1
29.7
40.5
27.0
2.7
20
58
24
2
19.2
55.8
23.1
1.9
8. Etnis
pemukim
1. Penduduk asli (etnis asli)
2. Migran (etnis pendatang) 1
66
1,5
98,5
30
7
81,1
18,9
31
73
29,8
70,2
9. Keikutsertaan
dalam
kelompok
1. Sangat Rendah (tidak aktif)
2. Rendah (kurang aktif)
3. Tinggi (aktif)
4. Sangat tinggi (sangat aktif)
16
10
26
15
23,9
14,9
38,8
22,4
12
18
5
2
32,4
48,6
13,5
5,4
28
28
31
17
26,9
26,9
29,8
16,3
10. Keterdedahan
terhadap
informasi
1. Sangat rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
5
28
22
12
7,5
41,8
32,8
17,9
1
11
18
7
2,7
29,7
48,6
18,9
6
39
40
19
5,8
37,5
38,5
18,3
Dalam memahami masyarakat sekitar kawasan, pertimbangan mengenai
berbagai karakteristik yang meliputi karakteristik kependudukan, sosial,
ekonomi, termasuk pendidikan yang mempengaruhi masyarakat dalam aspek
71
pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan menjadi
bagian yang penting untuk dapat dikaji secara mendalam. Pengabaian hal
tersebut dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan
menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala
pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka
panjang (Agrawal dan Gibson 1999). Dengan demikian, pemahaman karakteristik
sasaran sangat penting dalam menyusun strategi pengelolaan hutan termasuk
melalui pemberdayaan karena dengan memahami karakteristik tersebut, segala
aspek yang berhubungan kondisi sasaran dapat diketahui dengan baik.
Umur
Komposisi penduduk menurut usia produktif berdasarkan penggolongan
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dibagi dalam 4 (empat) kategori
(Umar 2011) yaitu; (1) usia kurang produktif 65 tahun ke atas, (2) usia produktif
50 – 64 tahun, (3) usia sangat produktif 15 – 49 tahun dan usia tidak produktif 0 –
14 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (85,6 persen)
termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Dari hasil lapangan diperoleh
bahwa responden mempunyai kisaran umur 26 – 70 tahun. Dari kisaran tersebut,
sebagian besar responden berumur antara 26 – 48 tahun (sangat produktif).
Pendidikan formal
Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal yang pernah
ditempuh/dicapai responden dinyatakan dalam strata/tingkat pendidikan. Tingkat
pendidikan dapat dikatakan dalam kategori sangat rendah karena sebagian besar
responden tidak lulus pendidikan tingkat dasar dan atau hanya lulus pendidikan
pada tingkat sekolah dasar (SD). Pendidikan tertinggi responden adalah Sekolah
Menengah Atas (SMA). Meskipun demikian, namun berdasarkan wawancara
dengan responden, mereka berharap anak-anak mereka nantinya dapat
mengenyam pendidikan yang lebih baik atau lebih tinggi dari orang tuanya.
Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal. Dalam hal
ini pelatihan yang dimaksud adalah pelatihan yang berkaitan dengan MDK yang
pernah diikuti oleh masyarakat. Sebagian besar termasuk dalam kategori sangat
rendah, 75 persen termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah. Dari jumlah
tersebut, lebih dari 46 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK
tidak pernah mengikuti pelatihan dan 28.8 persen masyarakat peserta program
pemberdayaan MDK hanya mengikuti 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kali
pelatihan saja. Hal ini dapat dipahami karena berdasarkan hasil wawancara,
kegatan pelatihan mulai aktif dilaksanakan mulai tahun 2010. Namun demikian,
upaya-upaya peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan terus dilakukan
oleh pengelola (TNBBS) baik melalui penyelenggaraan pelatihan oleh TNBBS
72
sendiri maupun mengikutsertakan masyarakat pada pelatihan-pelatihan yang
dilaksanakan oleh mitra TNBBS.
Pendapatan
Pendapatan dalam konteks ini adalah penghasilan yang diperoleh dari
berbagai sumber baik pekerjaan tetap maupun sampingan dalam satu bulan.
Secara umum masyarakat peserta program pemberdayaan mempunyai penghasilan
dengan kategori rendah dan sangat rendah. Lebih dari 86 persen masyarakat
peserta program pemberdayaan MDK termasuk dalam kategori ini, dimana
separuh dari jumlah tersebut mempunyai penghasilan di bawah Rp 500 ribu per
bulan. Tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan di Pekon Sukaraja
maupun Kubu Perahu. Meskipun kebanyakan responden di Sukaraja memiliki
lahan, namun belum terdapat upaya dalam peningkatan kualitas pengelolaan
lahan, masyarakat masih mengandalkan pengolahan secara tradisional dengan
bertani sawah maupun kebun. Dalam setahun terakhir masyarakat peserta program
pemberdayaan mencoba menerapkan pola agroforestry pada sebagian lahan
mereka. Sedangkan di Kubu Perahu, masyarakat sebagian besar tidak mempunyai
lahan, selain menjadi buruh tani, mereka mempunyai usaha sampingan sebagai
pemecah batu kali yang mendatangkan keuntungan relatif besar.
Mata pencaharian
Mata pencaharian responden secara umum adalah petani. Lebih dari 83
persen masyarakat bekerja sebagai petani. Perbedaannya adalah, masyarakat di
Sukaraja adalah petani yang mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu
sebagian besar tidak mempunyai lahan atau petani penggarap. Selain sebagai
petani, masyarakat menambah pendapatan dari berbagai usaha sampingan seperti
menjadi buruh bangunan, memecah batu, bengkel, dan usaha lainnya.
Kepemilikan lahan
Kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden,
dinyatakan dalam satuan hektar per kepala keluarga. Kepemilikan lahan sebagian
besar responden, dapat dikategorikan rendah yaitu 0,1 – 0,5 hektar berdasarkan
klasifikasi lahan petani (Sastraatmaja 2010). Dari hasil uji beda nonparametrik tes
Mann-Whitney, terdapat perbedaan nyata (p=0.000) dalam kepemilikan lahan. Di
Pekon Sukaraja, hampir semua responden merupakan petani yang mempunyai
lahan, sedangkan di Kubu Perahu sebagian besar merupakan petani yang tidak
punya lahan. Prosentase kepemilikan lahan responden di Kubu Perahu yang
sangat rendah, sebanyak 59,5 persen masyarakat peserta program pemberdayaan
di Kubu Perahu tidak mempunyai lahan. Lahan-lahan di Kubu Perahu merupakan
lahan milik pendatang dari luar daerah. Masyarakat peserta program
pemberdayaan di Kubu Perahu biasanya menjadi petani penggarap sekaligus
mengandalkan penghasilan dengan menjadi pemecah batu kali.
73
Tanggungan keluarga
Tanggungan keluarga yang dimaksud adalah semua orang yang tinggal
dalam satu rumah ataupun yang berada diluar dan menjadi tanggung jawab kepala
keluarga. Jumlah tanggunangan keluarga merupakan salah satu indikator dalam
menentukan aktivitas masyarakat (Drakel 2008) berkaitan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Masyarakat peserta program pemberdayaan
MDK pada umumnya (75 persen) mempunyai tanggungan keluarga antara 0 - 4
orang dan 25 persen mempunyai tanggungan keluarga sejumlah 5 – 7 orang.
Tanggungan keluarga masyarakat peserta pemberdayaan termasuk dalam kategori
rendah yang sebagian besar responden adalah 3 - 4 orang.
Etnis pemukim
Etnis pemukim dalam penelitian ini di tentukan berdasarkan status
kependudukan yang mengacu pada asal etnis masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan TNBBS. Terdapat perbedaan asal etnis masyarakat peserta
program pemberdayaan di kedua lokasi penelitian. Responden di Pekon Sukaraja,
98,5 persen merupakan masyarakat etnis pendatang yang berasal dari Jawa,
sedangkan di Pekon Kubu Perahu, 81 persen merupakan masyarakat etnis asli
Lampung, dan sisanya adalah pendatang dari etnis Jawa dan Sunda. Sebagian
besar atau bahkan hampir semua masyarakat pendatang yang bermukim di lokasi
penelitian telah lama menjadi penduduk setempat bahkan sejak lahir. Banyaknya
etnis pendatang di daerah ini merupakan akibat perpindahan penduduk baik
karena program pemerintah maupun keinginan sendiri. Gelombang perpindahan
penduduk yang sebagian besar adalah dari Jawa ke Lampung telah berlangsung
sejak tahun 1930an. Perbedaan asal etnis paling tidak akan mempengaruhi
kehidupan sosial budaya masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Keikutsertaan dalam kelompok
Masyarakat peserta program pemberdayaan umumnya tergabung dalam
kelompok, namun demikian terdapat variasi keaktifan mereka dalam kelompok.
Dari hasil penelitian, 54 persen masyarakat mempunyai tingkat keaktifan sangat
rendah dan rendah. Berdasarkan hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney,
terdapat perbedaan nyata (p=0.001) keikutsertaan masyarakat dalam kelompok di
kedua lokasi. Masyarakat di Sukaraja cenderung lebih aktif dalam kelompok
dibandingkan dengan di Kubu Perahu. Sebanyak 73 persen responden di Kubu
Perahu mempunyai tingkat keaktifan dalam kelompok dengan kategori sangat
rendah dan rendah.
Hal ini antara lain disebabkan karena di Sukaraja kebanyakan merupakan
petani pemilik lahan, bukan petani penggarap seperti di Kubu Perahu, sehingga
mereka mempunyai tanggungjawab lebih besar terhadap lahan mereka. Dengan
keikutsertaan dalam kelompok mereka mempunyai harapan dapat memperoleh
informasi terutama tentang bagaimana mengolah lahan dengan lebih baik.
74
Keterdedahan informasi
Keterdedahan terhadap informasi merupakan proses pada responden untuk
mencari informasi yang dapat membantu mereka menentukan perilaku yang
diukur melalui intensitas masyarakat dalam mencari informasi baik dari teman
kelompok, penyuluh, dan pihak lain, kunjungan, membaca, mendengarkan
maupun menonton dan sebagainya. Keterdedahan masyarakat terhadap informasi
secara umum berada dalam kondisi seimbang antara masyarakat dengan kategori
keterdedahan informasi rendah dan kategori tinggi. Umumnya masyarakat
memperoleh informasi dari berbagai sumber informasi, baik dari teman
kelompok, aparat desa, penyuluh, pihak lain, dan media massa. Dari hasil
penelitian, teman kelompok dan penyuluh kehutanan berperan penting dalam
penyampaian informasi.
Interaksi dan Akses Terhadap Taman Nasional
Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya taman nasional
merupakan faktor penting dalam mengukur efektifitas pemberdayaan berkaitan
dengan partisipasi dan kemandirian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana
kecenderungan perubahan dalam masyarakat (yang tinggal disekitar kawasan dan
sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan) sebagai
hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Interaksi positif dan akses bagi masyarakat dalam zona tertentu di taman nasional
diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kemandirian mereka. sebagaimana
diketahui bahwa taman nasional adalah kawasan konservsi dengan akses yang
sangat terbatas bagi masyarakat. Dari hasil penelitian, berikut adalah interaksi dan
akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional (TNBBS):
Tabel 13 Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional
No.
Sub Variabel
Kategori
Lokasi Desa/Pekon
Sukaraja Kubu Perahu
persen persen
Total
persen
1. Tingkat
ketergantungan
terhadap
TNBBS
1. Sangat tinggi
2. Tinggi
3. Rendah
4. Sangat rendah
-
5
48
14
-
7,5
71,6
20,9
-
21
16
-
-
56,8
43,2
-
-
26
64
14
-
25,0
61,5
13,5
2. Tingkat
keterlibatan
dalam kegiatan
TNBBS
1. Sangat rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
21
19
16
11
31,3
28,4
23,9
16,4
16
14
6
1
43,2
37,8
16,2
2,7
37
33
22
12
35,6
31,7
21,2
11,5
3. Tingkat manfaat
yang dirasakan
1. Sangat rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
5
13
41
8
7,5
19,4
61,2
11,9
-
12
20
5
-
32,4
54,1
13,5
5
25
61
13
4,8
24,0
58,7
12,5
4. Tingkat akses
terhadap kegiatan
TNBBS
1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
23
23
12
9
34,3
34,3
17,9
13,4
19
10
8
0
51,4
27,0
21,6
-
42
33
20
9
40,4
31,7
19,2
8,7
75
Tingkat ketergantungan terhadap kawasan taman nasional
Ketergantungan terhadap sumberdaya TNBBS adalah tingkat
ketergantungan responden terhadap sumberdaya taman nasional dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dinyatakan dalam frekuensi interaksi responden dengan
kawasan. Ketergantungan masyarakat peserta program pemberdayaan terhadap
taman nasional secara umum berada dalam kategori rendah. Sebagian besar
responden mempunyai ketergantungan yang rendah terhadap kawasan taman
nasional, yang berarti bahwa masyarakat masih berinteraksi denan kawasan
namun tidak selalu tergantung pada kawasan dalam memenuhi kebutuhannya.
Dari data diperoleh hasil bahwa masyarakat Pekon Kubu Perahu mempunyai
ketergantungan yang lebih tinggi terhadap taman nasional dibandingkan dengan
masyarakat Pekon Sukaraja. Sebanyak 43,2 persen masyarakat di Kubu Perahu
mempunyai ketergantungan terhadap taman nasional dengan kategori tinggi. Hal
ini didukung oleh hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney yang menunjukkan
adanya perbedaan nyata (p=0.000) tingkat ketergantungan terhadap kawasan
antara Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu.
Hal tersebut berkaitan dengan lokasi Kubu Perahu yang merupakan enclave,
dimana daerahnya dikelilingi oleh kawasan taman nasional. Kubu Perahu sudah
ada sejak sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Dari hasil
wawancara dengan masyarakat, interaksi mereka terhadap kawasan adalah untuk
mencari air, kayu bakar, makanan ternak, tanaman obat, anggrek dan burung.
Tingkat manfaat langsung keberadaan taman nasional bagi masyarakat
Manfaat langsung keberadaan TNBBS yang dirasakan adalah respon
masyarakat terhadap keberadaan taman nasional yang dinyatakan dalam seberapa
besar manfaat langsung kawasan yang dirasakan oleh responden (baik ekonomi,
ekologis, dan sosial budaya). Secara umum, masyarakat merasakan manfaat
langsung keberadaan taman nasional, sebagian besar reponden menyatakan bahwa
kawasan taman nasional bermanfaat bagi mereka. Hal ini berarti bahwa
masyarakat menyadari adanya manfaat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Masyarakat menyadari adanya manfaat langsung keberadaan kawasan
taman nasional, termasuk akibat yang ditimbulkan apabila kawasan rusak.
Manfaat langsung TNBBS yang dirasakan masyarakat antara lain adalah
penyediaan air, makanan ternak, dan tanaman obat. Meskipun demikian masih
terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan kawasan secara ilegal termasuk
eksploitasi jenis flora fauna misalnya mengambil anggrek, burung dan berburu.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam program pemberdayaan MDK
Keterlibatan dalam konteks ini adalah keikutsertaan responden dalam
program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK), yang diukur berdasarkan
lama responden terlibat dalam kegiatan tersebut. Secara umum keterlibatan
masyarakat dalam program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK)
termasuk dalam kategori rendah. Sebanyak 67,3 persen masyarakat termasuk
dalam kategori sangat rendah dan rendah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 35
76
persen masyarakat berada dalam kategori sangat rendah. Hal ini berarti bahwa
mereka belum pernah terlibat sebelumnya dalam kegiatan pemberdayaan di
TNBBS. Dari data di kedua lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat
Sukaraja mempunyai keterlibatan lebih tinggi dibandingkan dengan Kubu Perahu.
Hal ini didukung oleh hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney yang
menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.036) keterlibatan masyarakat di kedua
lokasi. Sebagian besar (79 persen) masyarakat peserta program pemberdayaan di
Kubu Perahu belum pernah terlibat dalam kegiatan lain selain MDK. Di samping
itu keterlibatan mereka dalam MDK tergolong rendah, tidak semua anggota
kelompok berpartisipasi dalam kegiatan MDK. Masyarakat cenderung kurang
termotivasi dalam mengikuti kegiatan, misalnya menghadiri pertemuan maupun
sosialisasi, sementara itu masyarakat di Sukaraja cenderung lebih mudah diajak
mengikuti pertemuan ataupun sosialisasi berkaitan dengan kegiatan. Hal ini dapat
dipahami, karena di Kubu Perahu, masyarakat lebih tertarik pada pekerjaan lain,
misalnya sebagai pemecah batu atau kegiatan lain yang cepat menghasilkan dan
dapat mereka rasakan secara langsung.
Tingkat akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional
Akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional adalah sejauh mana
masyarakat memperoleh kesempatan atau terlibat dalam kegiatan taman nasional
baik dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi. Diukur melalui intensitas
keikutsertaan masyarakat (dalam kegiatan apa saja masyarakat terlibat). Akses
masyarakat dalam kegiatan taman nasional tergolong dalam kategori sangat
rendah. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakatnya sendiri yang enggan
untuk terlibat maupun dari pihak pengelola dalam hal ini TNBBS. Selain
pemberdayaan MDK, upaya meningkatkan akses masyarakat dilakukan dalam
bentuk antara lain dalam kegiatan pengamanan hutan dengan pembentukan PAM
Swakarsa dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Masyarakat diberi akses untuk
membantu pengamanan hutan, memberikan informasi tentang kegiatan ilegal
dalam kawasan dan diberikan pelatihan-pelatihan. Selain itu TNBBS juga
mengembangkan pengelolaan bumi perkemahan bersama masyarakat dan
pembuatan tata batas partisipatif bersama masyarakat. Masyarakat dilibatkan
dalam pembuatan tata batas kawasan dengan pekon. Dalam hal sumberdaya,
dikembangkan mikrohidro yaitu pemanfaatan sumberdaya air untuk keperluan
penerangan (listrik).
Meskipun upaya melibatkan masyarakat dalam kegiatan taman nasional
telah dilakukan, namun belum semua masyarakat terlibat secara aktif dalam
kegiatan tersebut. Sebagian besar masyarakat (72,1 persen) masyarakat
menyatakan bahwa mereka tidak pernah dan atau jarang terlibat dalam kegiatan
tersebut. Tidak semua masyarakat peserta pemberdayaan aktif dalam kegiatan
baik dalam MDK sendiri maupun kegiatan taman nasional yang lain. Salah satu
penyebabnya adalah kesibukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain faktor dari masyarakat, pihak pengelola juga turut menentukan
seberapa besar akses masyarakat terhadap taman nasional. Sebagaimana diketahui
bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi yang sebagian besar
pengelolaannya difokuskan pada pelestarian. Sementara itu masyarakat, meskipun
secara kognitif dan afektif tergolong baik dalam bidang ekologi, namun tidak serta
77
merta mendorong mereka dalam kesesuaian bertindak. Orientasi masyarakat
cenderung kuat dalam hal ekonomi, yaitu bagaimana mereka dapat memenuhi
kebutuhan. Dengan demikian, pemberian akses dalam pengelolaan kawasan perlu
lebih dikembangkan terutama dalam zonasi pemanfaatan dengan fokus
proporsional dalam arti dapat meningkatkan ekonomi masyarakat secara nyata dan
memberikan dampak pada kelestarian kawasan.
Pendekatan Pemberdayaan
Selain karakteristik sosio-demografi dan interaksi serta akses masyarakat
terhadap taman nasional, terdapat beberapa faktor eksternal yang diharapkan
dapat mendukung keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Faktor yang
diharapkan dapat mendorong ataupun memperkuat perubahan perilaku masyarakat
adalah pendekatan yang dilakukan oleh TNBBS yang terdiri atas kesepahaman,
fasilitator, pendampingan, kelembagaan, bentuk kegiatan pemberdayaan,
membangun jejaring kerja dan kemitraan, serta monitoring dan evaluasi. Berikut
adalah pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan MDK:
Tabel 14 Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS
No.
Sub Variabel
Kategori
Lokasi Desa/Pekon
Sukaraja Kubu Perahu
persen persen
Total
persen
1. Kesepahaman 1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
11
28
28
-
16,4
41,8
41,8
-
1
26
10
-
2,7
70,3
27,0
-
12
54
38
-
11,5
51,9
36,5
-
2. Kelembagaan 1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
14
17
26
10
20,9
25,4
38,8
14,9
-
27
9
1
-
73,0
24,3
2,7
14
44
35
11
13,5
42,3
33,7
10,6
3. Fasilitator 1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
1
12
47
7
1,5
17,9
70,1
10,4
-
19
16
2
-
51, 4
43,2
5,4
1
31
63
9
1,0
29,8
60,6
8,7
4. Pendampingan 1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
3
16
42
6
4,5
23,9
62,7
9,0
-
17
20
-
-
45,9
54,1
-
3
33
62
6
2,9
31,7
59,6
5,8
5. Bentuk
Pemberdayaan
1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
7
34
26
-
10.4
50.7
38.8
-
-
25
12
-
-
67.6
32.4
-
7
59
38
-
6.7
56.7
36.5
-
6. Jejaring kerja
dan kemitraan
1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
10
33
24
-
14,9
49,3
35,8
-
7
20
10
-
18,9
54,1
27,0
-
17
49
34,6
-
16,3
49,0
34,6
-
7. Monitoring dan
Evaluasi
1. Sangat Rendah
2. Rendah
3. Tinggi
4. Sangat tinggi
10
40
17
-
14,9
59,7
25,4
-
4
33
-
-
10,8
89,2
-
-
14
73
17
-
13,5
70,2
16,3
-
78
Kesepahaman
Kesepahaman dalam konteks ini berkaitan dengan informasi atau sosialisasi
yang diberikan oleh pihak pengelola dalam hal ini TNBBS mengenai MDK serta
sejauh mana masyarakat memahaminya. Dari hasil penelitian, sebagian besar
responden (63,4 persen) mempunyai tingkat kesepahaman dalam kategori rendah.
Hal ini berarti sebagian besar masyarakat peserta program pemberdayaan MDK
belum memahami atau mengerti benar tentang kegiatan MDK sendiri. Masyarakat
cenderung menganggap kegiatan pemberdayaan sebagai proyek, kewajiban
pemerintah, bantuan maupun kompensasi atas tindakan untuk tidak merusak
kawasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat belum
menganggap bahwa upaya pemberdayaan adalah sebuah kebutuhan, yang selain
ditujukan bagi kelestarian kawasan juga diarahkan bagi upaya peningkatan
kesejahteraan.
Kelembagaan
Kelembagaan diuukur melalui keberadaan dan kejelasan aturan-aturan
setempat dan adanya lembaga lain yang mendukung MDK. Kelembagaan, yang
dalam hal ini adalah aturan-aturan yang ada berkaitan dengan MDK dan lembaga
pendukung lain yang berperan di dalammya. Kelembagaan berada dalam kategori
rendah. Hal ini berarti bahwa aturan-aturan yang ada dalam kelembagaan MDK
belum memadai baik intern kelompok maupun tingkat pekon sebagai regulator
yang diharapkan dapat mendorong terbentuknya peraturan desa. Sementara itu
kegiatan MDK juga belum didukung oleh lembaga lain. Lembaga yang pernah
terlibat dalam kegiatan MDK di Pekon Sukaraja adalah WWF (World Wildlife
Fund). WWF memberikan bantuan kepada usaha produktif masyarakat terutama
produksi kopi untuk mendapat sertifikasi produk kopi legal yang bukan berasal
dari hutan negara.
Fasilitator
Fasilitator adalah orang yang memberikan pendampingan dalam proses
pemberdayaan masyarakat, diukur melalui kemampuannya dalam melakukan
fungsi/perannya di bidang pemungkinan (enabling), penguatan (empowering),
perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting) dalam rangka
membantu masyarakat mampu berpartisipasi dan mandiri. Sebagian besar
responden (60,6 persen) menyatakan bahwa penyuluh sebagai fasilitator
mempunyai kemampuan baik. Hal ini berarti penyuluh mampu menjalin
kedekatan hubungan dengan masyarakat, membangun kesepahaman, memberikan
informasi, masukan dan saran yang bermanfaat, serta mempunyai keterampilan
memadai berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan.
Di Pekon Sukaraja, sebanyak 80,5 persen responden memberikan
pernyataan bahwa kemampuan penyuluh dalam kategori baik. Sedangkan di
Pekon Kubu Perahu hanya 48,6 persen yang menyatakan kemampuan penyuluh
dalam kategori baik. Hal ini diperkuat dengan hasil uji beda nonparametrik Mann-
Whitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.002) di kedua lokasi
79
penelitian. Masyarakat Kubu Perahu menilai bahwa kemampuan belum memadai
dalam membangun kedekatan hubungan, memberi saran atau masukan yang
bermanfaat, fasilitasi membangun kemitraan dan kemampuan teknis.
Pendampingan
Pendampingan suatu proses atau mekanisme mendampingi masyarakat
berupa interaksi dinamis antara fasilitator/pengelola dengan masyarakat sasaran
pemberdayaan. Tabel berikut menunjukkan pendampingan yang dilakukan dalam
pemberdayaan MDK di TNBBS. Sebanyak 65,4 persen responden menyatakan
bahwa kegiatan pendampingan pemberdayaan MDK secara umum telah berjalan
dengan baik. Pendampingan dalam hal ini meliputi intensitas interaksi penyuluh
dengan masyarakat, kesesuaian tujuan program pemberdayaan dengan
masyarakat, komunikasi yang terjadi, manfaat bagi masyarakat dan keseluruhan
proses pembelajaran yang terjadi dalam kegiatan pemberdayaan.
Hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney menunjukkan adanya
perbedaan nyata (p=0.049) dalam hal pendampingan di kedua lokasi penelitian.
Sebanyak 71,7 persen responden peserta pemberdayaan di Sukaraja menyatakan
bahwa pendampingan di Sukaraja berjalan baik dan sangat baik. Sementara itu
hanya 54,1 persen responden di Kubu Perahu yang menyatakan bahwa
pendampingan di Kubu Perahu telah berjalan dengan baik. Pada umumnya
masyarakat menginginkan frekuensi interaksi yang lebih sering dengan penyuluh
sehingga mereka dapat menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami.
Bentuk kegiatan pemberdayaan
Berdasarkan Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di
Sekitar Kawasan Konservasi (Dephut, 2008) bentuk kegiatan pemberdayaan
merupakan kriteria penting dalam pemberdayaan MDK. Bentuk kegiatan
pemberdayaan yang tepat sesuai dengan kondisi masyarakat sasaran diharapkan
akan dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung efektifitas pemberdayaan.
Dari hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk kegiatan
pemberdayaan berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa proporsi
bentuk kegiatan pemberdayaan belum seimbang atau belum terjadi kesesuaian
(sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokasi) antara pemberdayaan dalam bentuk
bantuan fisik, peningkatan kapasitas masyarakat, penguatan kelembagaan,
pengembangan teknologi tepat guna, dan pengembangan usaha produktif.
Pengembangan jaringan kerja dan kemitraan
Jejaring kerja/kemitraan merupakan upaya pengembangan jejaring kerja
atau mencari mitra yang mendukung kepentingan pemberdayaan diukur melalui
ada tidaknya mitra dalam pemberdayaan MDK terkait dukungan dan peran di
bidang masing-masing yang relevan. Pengembangan jaringan kerja berada dalam
kategori rendah. Hal ini berarti bahwa upaya yang dilakukan dalam
mengembangkan jaringan kerja dan kemitraan dalam pemberdayaan MDK masih
80
belum memadai, masyarakat belum melakukan upaya pengembangan jaringan
kerja atau kemitraan dengan pihak lain. Masyarakat cenderung pasif, dalam arti
menunggu pihak lain datang dan atau masih tergantung pada pendamping untuk
mengusahakannya.
Monitoring dan evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi diperlukan untuk mengetahui apakah
kegiatan berjalan telah sesuai dengan yang diharapkan ataukah tidak. Monitoring
berkaitan dengan bagaimana membimbing dan membantu masyarakat dalam proses
belajar selama pelaksanaan kegiatan. Sedangkan evaluasi berkaitan dengan keputusan
yang akan diambil dan bagaimana menerapkan hasil evaluasi tersebut. Dalam
penelitian ini diperoleh hasil bahwa monitoring dan evaluasi termasuk dalam
kategori rendah. Hal ini berarti bahwa monitoring dan evaluasi yang dilakukan
belum memadai. Monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan pada semua
kegiatan pemberdayaan MDK. Dari hasil wawancara dengan penyuluh, luasnya
daerah binaan merupakan salah satu penyebab rendahnya frekuensi monitoring
dan evaluasi. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan responden, mereka
menyatakan bahwa kegiatan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan karena
dengan adanya kegiatan tersebut akan menambah motivasi dan semangat dalam
melaksanakan kegiatan.
Efektifitas Pemberdayaan
Partisipasi masyarakat
Pemberdayaan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan adalah bagaimana
masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses melalui partisipasi
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka
kesejahteraan (CANARI, 2002). Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi sebagai
sesuatu yang teoritis melainkan alat untuk memandirikan masyarakat. Sebagai
kegiatan untuk mengubah perilaku, pemberdayaan dikatakan efektif apabila telah
terdapat perubahan perilaku ke arah poritif. Dengan demikian, partisipasi dan
kemandirian merupakan perilaku yang diharapkan berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Partisipasi dan kemandirian
masyarakat dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi, ekonomi dan
sosial budaya dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sebagaimana dalam
Tabel 15.
81
Tabel 15 Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK
Efektifitas
pemberdayaan
Kategori
Lokasi/Desa/Pekon
Sukaraja Kubu Perahu Total
persen persen persen
Partisipasi Sangat rendah 27 40,3 23 62,2 50 48,0
Masyarakat Rendah 17 25,4 9 24,3 26 25,0
Tinggi 17 25,4 5 13,5 22 21,2
Sangat tinggi 6 9,0 - - 6 5,8
Tabel tersebut menunjukkan bahwa partisipasi responden dalam
pemberdayaan MDK sangat rendah, sebanyak 48 persen responden peserta
pemberdayaan berada dalam tingkat partisipasi dalam kategori tersebut. Dalam
kategori ini masyarakat berada dalam tipe partisipasi pasif, mereka mengetahui
informasi mengenai kegiatan tetapi tidak berpartisipasi didalamnya. Sebanyak 25
persen masyarakat berada dalam kategori partisipasi rendah dimana mereka
terlibat dalam serangkaian proses dialog/konsultasi dan atau terlibat dalam
partisipasi sumberdaya yang dalam hal ini adalah lahan dan tenaga. Sisanya
sekitar 27 persen, berpartisipasi dalam kategori tinggi dan sangat tinggi, bersama
dengan pendamping, mereka terlibat dalam merancang dan mengambil keputusan
tentang apa yang akan dilakukan dalam pemberdayaan MDK.
Hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney menunjukkan bahwa
partisipasi di kedua lokasi menunjukkan perbedaan nyata (p=0.016). Sebanyak
65,7 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK di Sukaraja berada
dalam kategori tingkat partisipasi rendah dan sangat rendah, sementara itu di
Kubu Perahu sebanyak 86,5 persen dalam kategori yang sama. Dapat dikatakan
bahwa tingkat partisipasi masyarakat peserta program pemberdayaan MDK di
Kubu Perahu lebih rendah. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat Kubu
Perahu sebagian besar tidak mempunyai lahan, sedangkan bentuk kegiatan
budidaya ikan membutuhkan adanya lahan untuk kolam. Pada umumnya
masyarakat peserta program pemberdayaan menginginkan bantuan untuk
budidaya ternak, karena mereka berpendapat bahwa usaha tersebut tidak
memerlukan lahan yang terlalu besar.
Kemandirian dalam bidang ekologi
Sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi,
kemandirian dalam mengembangkan perilaku di bidang ekologi sangat penting.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan tentang
pentingnya kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan, mempunyai
persepsi dan sikap positif serta kemauan dan kemampuan untuk melakukan
tindakan yang sesuai.
Kemampuan masyarakat dalam mengembangkan perilaku kemandirian di
bidang ekologi secara umum dapat dikatakan baik dalam aspek baik kognitif (53,9
persen) dan afektif (62,5 persen), sedangkan dalam aspek psikomotorik termasuk
dalam kategori rendah dan sangat rendah (54,8 persen). Dari aspek kognitif,
umumnya masyarakat mengetahui meskipun hanya sebatas bahwa taman nasional
merupakan kawasan yang dilindungi. Masyarakat mempunyai pengetahuan
82
mengenai fungsi, manfaat serta akibat yang ditimbulkan apabila kawasan taman
nasional rusak.
Dari aspek sikap, secara umum masyarakat menyetujui akan pentingnya
taman nasional dan pelestariannya. Namun demikian, aspek psikomotorik
mempunyai persentase terendah, hal ini berarti bahwa dengan adanya
pengetahuan, persepsi dan sikap yang baik tidak selalu memunculkan tindakan
yang sesuai. Hal ini dapat dipahami karena untuk melakukan tindakan pelestarian
hutan, masyarakat perlu mempunyai motivasi yang dalam hal ini tidak muncul
dengan sendirinya tetapi perlu dorongan dari pihak lain yaitu pihak pengelola
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai pelaksana utama dalam
program pemberdayaan masyarakat. Selain itu, masyarakat perlu merasakan
adanya keuntungan bagi mereka. Masyarakat masih berorientasi pada keuntungan,
artinya, ketika akan melakukan suatu tindakan, masyarakat akan
mempertimbangkan apa keuntungan yang diperoleh.
Kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan MDK dalam
mengembangkan perilaku dibidang ekologi sebagaimana pada Tabel 16.
Tabel 16 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi
Efektifitas
Pemberdayaan Kategori
Lokasi Desa/Pekon
No. Sukaraja Kubu Perahu Total
persen persen persen
1. Aspek kognitif Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
2
21
36
8
3,0
31,3
53,7
12
-
15
20
2
-
40,5
54,1
5,4
2
36
56
10
1,9
34,6
53,9
9,6
2. Aspek afektif Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
-
5
31
31
-
7,5
46,3
46,3
-
-
34
3
-
-
91,9
8,1
-
5
65
34
-
4,8
62,5
32,7
3. Aspek
Psikomotorik
Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
4
26
34
3
6,0
38,8
50,7
4,5
0
27
10
0
-
73,0
27,0
-
4
53
44
3
3,8
51,0
42,3
2,9
4. Kemandirian
bidang ekologi
Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
2
21
34
10
3,0
31,3
50,7
14,9
0
20
17
0
-
54,1
45,9
-
2
41
51
10
1,9
39,4
49,0
9,6
Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan nyata di
kedua lokasi yaitu di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu dalam aspek afektif
(p=0.002) dan psikomotorik (p=0.018), sedangkan dalam segi kognitif,
masyarakat di kedua lokasi mempunyai pengetahuan yang sama. Secara
keseluruhan, terdapat perbedaan nyata dalam kemandirian ekologi (p=0.020) di
antara dua lokasi penelitian dimana masyarakat di Pekon Sukaraja cenderung
mempunyai kemandirian di bidang ekologi lebih baik dibandingkan dengan Pekon
Kubu Perahu.
83
Kemandirian dalam bidang ekonomi
Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi
dimaksudkan agar masyarakat mempunyai pengetahuan, persepsi dan sikap serta
kemampuan yang baik dalam meningkatkan ekonomi tanpa merusak kawasan.
Hasil penelitian tentang kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan
dalam mengembangkan perilaku di bidang ekonomi menjelaskan bahwa sebagian
besar responden termasuk dalam kategori baik, meskipun tidak dapat dipungkiri
hal ini masih banyak masyarakat yang belum mengembangkan kemandirian di
bidang ekonomi dengan baik.
Dari aspek pengetahuan, sebanyak 69,2 persen masyarakat berada dalam
kategori kurang dan sangat kurang. Hal ini berarti masyarakat belum mengetahui
bagaimana cara meningkatkan pendapatan mereka dengan memanfaatkan potensi
dan peluang yang mereka miliki. Dalam aspek afektif termasuk sikap dan persepsi
mereka terhadap cara-cara dalam meningkatkan pendapatan tanpa merusak
kawasan, secara umum berada dalam kategori baik. Meskipun demikian,
sebagaimana dalam aspek ekologi, kemampuan dalam aspek psikomotorik atau
tindakan masyarakat dalam bidang ekonomi termasuk dalam kategori kurang. Hal
ini disebabkan oleh terbatasnya sarana prasarana yang dimiliki termasuk modal,
jaringan kerja dan kelembagaan lain yang mendukung belum memadai.
Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi
sebagaimana dalam tabel 17.
Tabel 17 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi
No.
Efektifitas
Pemberdayaan Kategori
Lokasi Desa/Pekon
Sukaraja Kubu Perahu Total
persen persen persen
1. Aspek kognitif Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
8
39
20
-
11,9
58,2
29,9
-
-
25
12
-
-
67,6
32, 4
-
8
64
32
-
7,7
61,5
30,8
-
2. Aspek afektif Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
2
-
59
6
3,0
-
88,1
9,0
-
-
37
-
-
-
100
-
2
-
95
6
1,9
-
91,3
5,8
3. Aspek
Psikomotorik
Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
5
34
24
4
7,5
50,7
35,8
6,0
-
22
14
1
-
59,5
37,8
2,7
5
56
38
5
4,8
53,8
36,5
4,8
4. Kemandirian
bidang
ekonomi
Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
2
23
39
3
3,0
34,3
58,2
4.5
-
20
17
-
-
54,1
45,9
-
2
43
56
3
1,9
41,3
53,8
2.9
Hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan nyata dalam kemandirian mengembangkan perilaku di bidang ekonomi
dalam aspek afektif. Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas masyarakat di
Sukaraja mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu tidak, maka hal ini sedikit
banyak akan mempengaruhi cara berpikir masyarakat tentang bagaimana
meningkatkan pendapatan. Petani yang mempunyai lahan akan cenderung
mempunyai kemauan dalam mengolah lahannya sebaik mungkin termasuk
bagaimana agar lahannya tetap produktif.
84
Kemandirian dalam bidang sosial budaya
Selain bidang ekologi dan ekonomi, keberadaan taman nasional diharapkan
juga mampu mendukung kehidupan sosial budaya masyarakat. Dengan adanya
kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK, diharapkan akan mampu mendorong
masyarakat untuk mengembangkan perilaku kemandirian di bidang sosial budaya,
dalam hal ini adalah ciri kehidupan bermasyarakat yang positif dan menunjang ke
arah peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian kawasan.
Dari hasil penelitian sebagaimana dalam tabel 18 di bawah menunjukkan
bahwa secara umum kemampuan masyarakat dalam mengembangkan perilaku
bidang sosial budaya berada dalam kategori baik (75 persen). Responden pada
umumnya menyetujui perlunya mengembangkan potensi yang dimiliki, mentaati
aturan yang ada dengan memanfaatkan hutan tanpa merusaknya, bekerjasama dan
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Namun demikian,
dalam aspek kognitif, masyarakat kebanyakan masih belum mengetahui tentang
bagaimana mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memenuhi
kebutuhannya, bagaimana memanfaatkan kawasan tanpa merusaknya, bagaimana
mengembangkan kerjasama dan bagaimana beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di sekitar mereka. Dalam aspek psikomotorik hal tersebut menyebabkan
masyarakat belum sepenuhnya mampu merealisasikan dalam tindakan nyata.
Kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan dalam bidang
sosial budaya sebagaimana dalam Tabel 18.
Tabel 18 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang sosial budaya
Kategori
Lokasi Desa/Pekon
No.
Sukaraja Kubu Perahu Total
persen persen persen
1. Aspek kognitif Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
11
28
28
-
16,4
41,8
41,8
-
1
21
15
-
2,7
56,8
40,5
-
12
49
43
-
11,5
47,1
41,4
-
2. Aspek afektif Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
1
2
50
14
1,5
3.0
74,6
20,9
-
1
33
3
-
2,7
89,2
8,1
1
3
83
17
1,0
2,9
79,8
16,3
3. Aspek
Psikomotorik
Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
-
35
25
7
-
52,2
37,3
10,4
-
21
16
-
-
56,8
43,2
-
-
56
41
7
-
53,9
39,4
6,7
4. Kemandirian
bidang sosbud
Sangat kurang
Kurang
Baik
Sangat baik
-
20
41
6
-
29,9
61,2
9,0
-
6
31
0
-
16,2
83, 8
-
-
26
72
6
-
25,0
69,2
5,8
Hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan nyata dalam kemandirian dalam mengembangkan perilaku di bidang
sosial budaya dalam aspek afektif di kedua lokasi (p=0.019). Masyarakat Kubu
Perahu mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi terhadap kawasan. Selain
itu, meskipun dikelilingi kawasan, namun akses yang mudah serta kedekatan
dengan pusat kota sedikit banyak menentukan cara hidup mereka sehari-hari,
dimana pertemuan-pertemuan atau kegiatan semacamnya tidak lagi dianggap
85
penting. Masyarakat lebih responsif terhadap kegiatan-kegiatan yang cepat
memberikan hasil.
Secara umum kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan MDk
dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya dapat dikatakan baik.
Kemandirian dalam bidang ekonomi mempunyai persentase terendah, hal ini
dapat dipahami karena masyarakat belum secara signifikan merasakan adanya
keuntungan ekonomi sebagai dampak kegiatan pemberdayaan MDK mengingat
sebagian besar kegiatan belum lama berjalan. Selain itu, dalam bidang ekonomi,
sarana dan prasarana masih terbatas sehingga untuk pengembangannya secara
optimal belum dapat dilakukan.
Dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, maka kemampuan
dalam aspek psikomotorik cenderung lebih rendah dibandingkan 2 (dua) aspek
lainnya. Apabila dibandingkan dari ketiga aspek, aspek psikomotorik mempunyai
prosentase terendah, hal ini berarti bahwa dengan adanya pengetahuan dan sikap
yang baik tidak selalu memunculkan tindakan yang sesuai. Tindakan mereka
untuk menjaga dan melestarikan kawasan tidak selalu muncul dari inisiatif
sendiri, tetapi perlu didorong dan diarahkan oleh pihak lain. Selain itu masyarakat
perlu merasakan adanya keuntungan bagi mereka yang kemudian akan menjadi
salah satu faktor pendorong dalam mengambil tindakan.
Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa meskipun pengetahuan (kognitif)
umumnya dilihat sebagai prasyarat untuk perilaku seseorang, dan dianggap
penting untuk mendorong tindakan (psikomotorik) (Frick, Kaiser, dan Wilson,
2004), namun para ilmuwan menemukan bahwa terdapat kesenjangan antara
pengetahuan dan perilaku, bahwa orang tidak selalu melakukan apa yang mereka
ketahui (Smith, 1995 di acu dalam Nguyen et al., 2007).
Hubungan Karakteristik Sosio-demografi dengan Efektifitas
Pemberdayaan
Untuk mengetahui hubungan atau korelasi antar variabel digunakan analisis
korelasi spearman. Karakteristik sosio-demografi masyarakat peserta program
pemberdayaan MDK yang diduga mempiliki korelasi/hubungan dengan
pertisipasi meliputi umur, pendidikan formal, pelatihan, mata pencaharian,
pendapatan, kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, ketergantungan
terhadap sumberdaya TNBBS, status migrasi/asal etnis, keterlibatan masyarakat
dalam kegiatan/program TNBBS, keikutsertaan dalam kelompok/organisasi,
manfaat TNBBS yang dirasakan, dan keterdedahan terhadap informasi.
Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan adanya
keeratan hubungan antara faktor individu dengan partisipasi masyarakat. Selain
korelasi dengan partisipasi, karakteristik individu juga menunjukkan adanya
keeratan hubungan dengan kemandirian dalam mengembangkan perilaku (aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik) di bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Hasil analisis hubungan karakteristik demografis dan sosial dengan
efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian masyarakat disajikan dalam
tabel berikut:
86
Tab
el 1
9 H
ubun
gan
kar
akte
rist
ik s
osi
o-d
emogra
fi d
engan
efe
kti
fita
s pem
ber
dayaa
n (
par
tisi
pas
i dan
kem
andir
ian
)
Sub
Var
iab
el
K
em
and
iria
n d
alam
Men
gem
ban
gkan P
eril
aku d
i B
idan
g
P
arti
si-
Eko
logi
Eko
no
mi
So
sial
Bud
aya
To
tal
Kem
an-
dir
ian
No
. p
asi
K
A
P
To
tal
K
A
P
To
tal
K
A
P
To
tal
Sp
earm
an’s
Co
effi
cient
Co
rrel
atio
ns
1.
Um
ur
.03
7
.07
9
.08
8
.03
6
.07
4
.11
8
-.1
51
-.
08
5
-.0
14
.0
20
.09
3
.08
4
.05
8
.03
2
2.
Pen
did
ikan
fo
rmal
.2
49
*
.47
5**
.29
8**
.24
3*
.40
5**
.30
2**
.15
8
.16
8
.29
5**
.04
5
.05
4
.15
5
.15
3
.28
6**
3.
Pel
atih
an
.60
5**
.34
2**
.17
6
.38
5**
.35
3**
.45
9**
.30
7**
.47
0**
.49
1**
.45
2**
.25
2**
.51
3**
.52
9**
.54
4**
4.
Mat
a p
enca
har
ian
-.
01
9
.20
9*
.13
7
-.0
35
.1
20
.01
1
-.0
81
-.
02
0
.01
3
.08
2
-.0
82
-.
05
1
.01
4
.04
6
5.
Pen
dap
atan
.2
74
**
.49
5**
.24
4*
.23
9*
.38
9**
.25
9**
.23
5**
.29
4**
.36
2**
.40
7**
.02
2
.20
5*
.30
4**
.38
5**
6.
Luas
lahan
.3
18
**
.11
4
.16
3
.03
7
.14
3
.21
4*
.26
8**
.38
4**
.33
6**
.05
7
.26
3**
.13
7
.15
4
.23
3*
7.
Jum
lah t
ang
gu
ngan
kel
uar
ga
.11
7
.16
1
-.0
24
.0
55
.08
2
.14
5
.02
0
.15
3
.15
0
.08
9
-.0
67
.0
03
.05
1
.09
7
8.
Asa
l et
nis
.2
58
**
.13
6
.34
4**
.45
6**
.36
0**
-.0
80
.4
43
**
.06
6
.06
3
-.0
33
.2
96
**
.09
1
.10
9
.20
4*
9.
Kei
kuts
erta
an d
alam
kel
om
po
k
.54
8**
.57
2**
.42
8**
.58
3**
.62
4**
.30
1**
.45
9**
.32
5**
.39
5**
.45
4**
.36
0**
.43
2**
.54
3**
.57
0**
10
. K
eter
ded
ahan
in
form
asi
.4
57
**
.46
0**
.12
6
.31
1**
.35
7**
.38
3**
.19
1
.40
0**
.40
8**
.53
8**
.18
2
.57
6**
.59
7**
.48
2**
Ket
eran
gan
:
K:
Ko
gn
itif
(p
enget
ahu
an)
A:
Afe
kti
f (P
erse
psi
dan
sik
ap)
P:
Psi
ko
mo
tori
k (
tin
dak
an d
an k
eter
amp
ilan
)
*K
ore
lasi
sig
nif
ikan
pad
a ta
raf
kep
erca
yaa
n 9
5 p
erse
n (
α=
0.0
5)
** K
ore
lasi
sig
nif
ikan
pad
a ta
raf
kep
erca
yaa
n 9
9 p
erse
n (
α=
0.0
1)
86
87
Umur
Tingkat usia akan mempengaruhi aktivitas seseorang. Umur yang relatif
lebih muda cenderung mempunyai kemampuan lebih besar dan sebaliknya umur
lanjut usia akan kurang produktif karena keterbatasan tenaga, namun mereka
mempunyai kemampuan berdasarkan pengalaman saja (Zaini, 2010). FAO (2003)
mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang akan semakin berkurang
partisipasinya dalam kegiatan konservasi hutan.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa umur tidak berkorelasi dengan
efektifitas pemberdayaan. Hal ini berarti bahwa umur responden tidak
berhubungan dengan partisipasi mereka dalam kegiatan dan kemandirian dalam
mengembangkan perilaku. Hal ini dapat dipahami karena hampir semua
responden termasuk dalam kategori usia sangat produktif.
Pendidikan formal
Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi kemampuan berpikir,
memahami arti pentingnya hutan serta mencari solusi dari masalah-masalah yang
ada. Seseorang akan lebih cepat memberikan tanggapan terhadap suatu masalah,
melalui kemapuan berpikir dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang
mereka miliki (Hasanuddin, 2011). Faktor pendidikan berpengaruh karena
mempunyai implikasi terhadap tingkat pengetahuan responden di dalam
mengelola lahan serta tingkat pengetahuan dan persepsi responden terhadap
keberadaan TNBBS (Pasha dan Susanto, 2009).
Sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa tingkat pendidikan masyarakat
peserta program pemberdayaan mempunyai korelasi positif signifikan dengan
keeratan hubungan lemah terhadap partisipasi (r=0.209). Lemahnya korelasi
antara tingkat pendidikan dengan partisipasi dapat dipahami karena secara umum
tingkat pendidikan responden dapat dikatakan rendah. Sebagian besar responden
hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar atau bahkan tidak lulus. Hal ini
sejalan dengan penelitian Brännlund, Sidibe, dan Gong (2009) yang
mengemukakan bahwa tingkat pendidikan formal tidak menunjukkan pengaruh
kuat dalam partisipasi pengelolaan hutan, dan hal ini disebabkan karena secara
umum masyarakat disekitar kawasan hutan berpendidikan rendah.Sedangkan
dengan tingkat kemandirian, tingkat pendidikan berkorelasi sangat signifikan
dengan keeratan hubungan lemah (r=0.286). Tingkat pendidikan berhubungan
signifikan dengan tingkat pengetahuan (kognitif) masyarakat dibidang ekologi dan
ekonomi. Pengetahuan ini dapat dijadikan dasar bagi masyarakat untuk
mengembangkan perilaku mereka, dalam hal ini berkaitan dengan kelestarian
kawasan dan peningkatan kesejahteraan mereka.
Pelatihan
Selain pendidikan formal, pengetahuan juga dapat diperoleh melalui
pendidikan non formal seperti pelatihan. Faktor pelatihan mempunyai korelasi
positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan kuat dengan
partisipasi dalam pemberdayaan MDK (r=0.605) dan kemandirian masyarakat
88
(r=0.544). Korelasi tersebut berada pada tingkat hubungan yang kuat dan sangat
signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya tingkat
pendidikan non formal maka partisipasi dan kemandirian mereka semakin baik.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, salah satu kendala yang
dihadapi masyarakat adalah rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya
pengembangan kapasitas. Ketika program pemberdayaan ditekankan pada
pengembangan usaha produktif, masyarakat mengalami kesulitan dalam
memecahkan permasalahan yang ada karena belum adanya pengetahuan,
pengalaman maupun keterampilan yang memadai. Misalnya dalam budidaya
ternak kambing, masyarakat masih mengambil makanan ternak dari kawasan,
karena belum mampu membuat hijauan makanan ternak (HMT) sendiri,
sementara hijauan makanan ternak dari lahan masyarakat tidak mencukupi
terutama pada musim kemarau. Dengan permasalahan tersebut, pelatihan
pembuatan makanan ternak sangat diperlukan berkaitan pemenuhan HMT.
Dengan demikian, pelatihan pada dasarnya berkaitan erat dengan bagaimana
masyarakat penerima program pemberdayaan dapat mengelola bantuan yang
diberikan dengan lebih baik. Pelatihan diperlukan untuk meningkatkan
pengetahuan sekaligus keterampilan teknis masyarakat dalam mengelola kegiatan
dalam pemberdayaan.
Pendapatan
Pendapatan berkaitan dengan tersedianya biaya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendapatan berkorelasi
berkorelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi dan kemandirian
masyarakat Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat pendapatan maka dapat
diharapkan akan semakin baik pula tingkat partisipasi dan kemandirian yang
dimiliki masyarakat. Hubungan tingkat pendapatan dapat dikatakan signifikan
dalam keeratan hubungan yang lemah dengan partisipasi (r=0.274), sedangkan
dengan kemandirian, karakteristik ini mempunyai hubungan sangat signifikan
dengan keeratan hubungan cukup (r=0.385).
Keeratan hubungan yang lemah antara tingkat pendapatan dengan
partisipasi masyarakat dapat dipahami karena umumnya masyarakat peserta
program pemberdayaan mempunyai penghasilan dengan kategori rendah. Apabila
pendapatan mereka tidak mencukupi maka mereka cenderung berusaha untuk
menambah pendapatan dari berbagai usaha sampingan yang mudah dan cepat
menghasilkan misalnya menjadi buruh bangunan, memecah batu, bengkel, dan
usaha lainnya.
Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dapat berpengaruh positif maupun negatif. Di
satu sisi semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin banyak aset
dalam berusaha serta terdapat ketersediaan tenaga untuk berpartisipasi, sementara
itu disatu pihak banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak yang
harus tercukupi kebutuhannya (Brännlund, Sidibe dan Gong, 2009). Besarnya
jumlah tanggungan keluarga responden mempengaruhi besarnya biaya hidup.
89
Besarnya biaya hidup yang ditanggung responden akan mendorong untuk lebih
aktif berusaha guna memenuhi kebutuhan keluarganya (Hasanuddin, 2011).
Dalam penelitian ini, jumlah tanggungan keluarga tidak menunjukkan
adanya korelasi dengan partisipasi maupun kemandirian masyarakat. Tidak semua
anggota keluarga terlibat dalam kegiatan pemberdayaan MDK. Upaya dalam
memenuhi kebutuhan anggota keluarganyapun tidak serta merta mendorong
mereka untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan. Hal ini
disebabkan karena masyarakat tersebut belum merasakan adanya peningkatan
pendapatan yang nyata dengan adanya kegiatan pemberdayaan.
Mata pencaharian
Mata pencaharian dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu
petani dan non petani. Dari hasil analisis, diperoleh hasil bahwa mata pencaharian
tidak mempunyai korelasi dengan partisipasi dan kemandirian.
Secara umum mata pencaharian utama masyarakat peserta program
pemberdayaan MDK adalah petani. Sebagai usaha untuk menambah penghasilan,
mereka pada umumnya mengandalkan pemasukan dari usaha-usaha sampingan,
seperti menjadi buruh tani, beternak, ojek dan lain-lain.
Kepemilikan lahan
Kepemilikan lahan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan
partisipasi (r=0.318) dan korelasi signifikan dengan kemandirian (r=0.233).
Kepemilikan lahan mempunyai hubungan kuat dengan partisipasi. Lahan
merupakan aset sumberdaya dalam partisipasi. Masyarakat yang mempunyai
lahan akan meminjamkan lahannya dan atau memanfaatkannya dalam kegiatan
agroforestry, budidaya ternak dan sebagainya.
Kepemilikan lahan mempunyai keeratan hubungan dengan kemandirian
terutama dalam mengembangkan perilaku kemandirian di bidang ekonomi. Hal ini
dapat dipahami karena dengan memiliki lahan sendiri maka akan mengurangi
ketergantungan terhadap kawasan hutan. Namun demikian, meskipun mayoritas
masyarakat merupakan petani, namun lebih dari separuhnya merupakan petani
penggarap karena mereka tidak mempunyai lahan sendiri.
Etnis pemukim
Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS pada umumnya cukup beragam baik
dari segi etnis maupun sosial budaya akibat perpindahan penduduk baik akibat
program pemerintah (transmigrasi) maupun perpindahan karena kemauan sendiri.
Pendatang pada umumnya membuka lahan hutan untuk digarap sekaligus
sebagai tempat tinggal. Akibat banyaknya pendatang tersebut maka terdapat
kecenderungan dalam memandang penduduk asli dan pendatang, dimana etnis
pendatang diangap lebih tidak konservatif dibandingkan dengan etnis asli.
Kondisi masyarakat lokal yang dengan asal berbeda mempunyai kemungkinan
90
memiliki referensi tata nilai yang berbeda pula, dan hal ini akan menyebabkan
perilaku bervariasi terhadap sumberdaya alam taman nasional.
Dari hasil penelitian, asal etnis pemukim mempunyai korelasi sangat
signifikan dengan keeratan hubungan lemah dengan partisipasi (r=0.258),
sedangkan dengan kemandirian berkorelasi signifikan dengan keeratan hubungan
yang juga lemah (r=0.204).
Kubu Perahu merupakan enclave, dimana masyarakat telah ada sebelum
kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Ketergantungan yang kuat dengan
kawasan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan paling tidak akan
mempengaruhi mereka dalam memandang kawasan bukan saja sebagai kawasan
dilindungi tetapi juga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan akses mereka
yang semakin terbatas. Sedangkan masyarakat peserta program pemberdayaan di
Sukaraja meskipun merupakan etnis pendatang, tetapi mereka telah tinggal cukup
lama di daerah tersebut, bahkan sejak lahir. Mereka merasa sebagai masyarakat
setempat dan mempunyai tanggung jawab sama terhadap lingkungan.
Dengan perkembangan yang ada, masyarakat etnis asli justru terdorong
untuk melakukan aktivitas pembukaan lahan hutan (perambahan) karena melihat
kehidupan pendatang yang lebih sejahtera dibandingkan dengan mereka.
Keikutsertaan dalam kelompok
Faktor keikutsertaan dalam kelompok mempunyai hubungan sangat
signifikan dengan tingkat keeratan hubungan kuat baik dengan partisipasi
(r=0.548) maupun kemandirian (r=0.570). Hal ini mengindikasikan bahwa
semakin aktif masyarakat dalam kelompok maka partisipasi dan kemandirian
mereka akan semakin baik. Keaktifan dalam kelompok tersebut berimplikasi pada
meningkatnya pengetahuan dan informasi serta kerjasama.
Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa kelompok sering dijadikan acuan
bertindak dan bertingkah laku anggotanya. Anggota kelompok cenderung meniru
bahkan menuruti pola sosial dalam kelompok tersebut di masyarakat. Norma-
norma kelompok yang menyebabkan anggota untuk melakukan penyesuaian diri.
Selanjutnya hal ini terwujud dalam kekohesifan (kekompakan) kelompok yaitu,
sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap
berada dalam kelompok tersebut. Hal tersebut dapat dicapai apabila antara
anggota kelompok aktif dalam kelompok yang diukur dengan intensitas interaksi.
Berdasarkan hal tersebut maka anggota masyarakat yang aktif dalam
kelompok dimana kelompok tersebut mendukung kegiatan pemberdayaan, maka
dukungan terhadap kegiatan pemberdayaan akan semakin baik dan diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan serta tindakan anggotanya.
Keterdedahan informasi
Keterdedahan informasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan
dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan partisipasi (r=0.457) dan
kemandirian (r=0.482). Dengan keterdedahan informasi yang relatif baik
diharapkan akan dapat membuka wawasan masyarakat tentang berbagai hal. Hal
tersebut dapat mendorong masyarakat untuk membuka diri terhadap perubahan
91
yang ditawarkan, dalam hal ini program pemberdayaan. Secara umum masyarakat
memperoleh berbagai informasi dari teman kelompok mereka. Sedangkan
informasi mengenai pelestarian kawasan dan hal-hal mengenai pemberdayaan
MDK kebanyakan mereka peroleh dari penyuluh/pendamping.
Dari hasil analisis, karakteristik individu yang mempunyai korelasi paling
besar dengan partisipasi adalah pendidikan nonformal/pelatihan (r=0.605). Faktor
lain yang juga mempunyai korelasi dengan kemandirian adalah pendidikan non
formal (r=0.544) dan keikutsertaan dalam kelompok (r=0.570). Dengan demikian
faktor-faktor tersebut perlu untuk dipertimbangkan karena diharapkan mampu
mendorong upaya meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS.
Hubungan Interaksi dan Akses terhadap Taman Nasional dengan
Efektifitas Pemberdayaan
Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan adanya
keeratan hubungan antara faktor interaksi dan akses masyarakat terhadap taman
nasional dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian masyarakat
dalam mengembangkan perilaku (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) di
bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Interaksi dan akses masyarakat
terhadap taman nasional dalam konteks penelitian ini tercermin dari seberapa
sering masyarakat masuk ke dalam kawasan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya atau seberapa besar ketergantungannya terhadap TNBBS. selain itu
interaksi dan akses juga ditentukan melalui seberapa besar manfaat langsung
kawasan TNBBS yang dirasakan oleh masyarakat, bagaimana keterlibatan mereka
dalam program pemberdayaan yang dilakukan TNBBS dalam hal ini MDK, dan
seberapa besar akses masyarakat terhadap kegiatan pengelolaan taman nasional.
Hasil analisis hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan
efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian disajikan dalam Tabel 20
dan Tabel 21:
Tabel 20 Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan
partisipasi
Sub Variabel
Partisipasi
No.
Spearman’s Coefficient
Correlations
1. Tingkat ketergantungan terhadap TNBBS .472**
2. Tingkat manfaat langsung keberadaan TNBBS .663**
3. Tingkat keterlibatan dalam program
pemberdayaan MDK .569**
4. Tingkat akses terhadap kegiatan TNBBS .885**
5. Interaksi dan akses terhadap sumber daya .877**
Keterangan:
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
92
Tabel 21 Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan
kemandirian
Sub Variabel
Kemandirian dalam Mengembangkan Perilaku di Bidang
Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Keman-
dirian No. K A P Total K A P Total K A P Total
Spearman’s Coefficient Correlations
1. Tingkat
ketergantungan
terhadap TNBBS
.371** .254** .551** .461** .343** .345** .368** .400** .395** .255** .449** .487** .489**
2. Tingkat manfaat
keberadaan
TNBBS
.666** .271** .523** .591** .516** .415** .537** .599** .632** .298** .488** .603** .665**
3. Tingkat
keterlibatan
dalam MDK
.592** .422** .541** .623** .376** .323** .405** .439** .518** .371** .398** .566** .593**
4. Tingkat akses
terhadap
kegiatan TNBBS .744** .388** .703** .736** .569** .489** .651** .713** .712** .347** .650** .780** .823**
5. Interaksi dan
akses terhadap
Taman nasional
.766** .401** .688** .745** .565** .481** .647** .703** .720** .385** .628** .780** 823**
Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan
Tingkat ketergantungan terhadap kawasan mempunyai korelasi positif
sangat signifikan dengan partisipasi (r=0.472) maupun kemandirian (r=0.489)
dalam kategori keeratan hubungan yang kuat. Hal ini berarti bahwa semakin
rendah tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan yang berarti semakin
baik interaksi masyarakat dengan kawasan, maka terdapat kecenderungan semakin
baik tingkat partisipasi maupun kemandiriannya.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan dan keterbatasan lahan menyebabkan
masyarakat memanfaatkan kawasan hutan. Sebelum adanya kegiatan
pemberdayaan masyarakat banyak yang membuka lahan di dalam kawasan,
mengambil damar dan kayu. Namun dengan adanya kegiatan pemberdayaan dan
seiiring kesadaran masyarakat yang semakin baik, saat ini aktifitas tersebut sudah
berkurang. Namun berbagai aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhan masih
dilakukan oleh masyarakat, antara lain mengambil berbagai hasil hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka mulai dari kebutuhan akan air, makanan
ternak, kayu bakar, berburu, mengambil anggrek, tanaman obat.
Tingkat manfaat langsung keberadaan taman nasional yang dirasakan
masyarakat
Manfaat langsung keberadaan taman nasional yang dirasakan oleh
masyarakat mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan keeratan
hubungan kuat baik dengan partisipasi (r=0.663) maupun dengan kemandirian
Keterangan:
K: Kognitif (pengetahuan)
A: Afektif (Persepsi dan sikap)
P: Psikomotorik (tindakan dan keterampilan)
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
93
(r=0.665). Hal ini berarti semakin besar manfaat langsung yang dirasakan maka
diharapkan masyarakat akan semakin terdorong untuk berpartisipasi dan pada
akhirnya semakin baik dalam mengembangkan perilaku kemandirian.
Manfaat taman nasional terdiri dari manfaat ekonomi, ekologi dan sosial
budaya. Namun demikian, sebagaimana di ketahui bahwa kebutuhan masyarakat
di sekitar kawasan taman nasional adalah kebutuhan untuk waktu sekarang.
Berdasarkan hal tersebut, upaya untuk mendekatkan masyarakat terhadap taman
nasional dalam arti positif sangat penting untuk dipertimbangkan dalam
pengelolaannya. Selama ini TNBBS juga telah melakukan upaya tersebut
misalnya dengan pemanfaatan sumber daya kawasan yang langsung dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat seperti pemanfaatan air untuk mikrohidro,
penanaman batas kawasan dengan hijauan makanan ternak dan sebagainya. Upaya
ini perlu terus ditingkatkan misalnya dengan pengembangan usaha produktif ke
arah aneka usaha kehutanan. Dengan demikian masyarakat akan lebih merasakan
manfaat langsung kawasan TNBBS sehingga diharapkan kedekatan dan rasa
memiliki akan mendorong perilaku positif dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kelestarian kawasan.
Tingkat keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK
Keterlibatan dalam konteks penelitian ini lebih ditekankan dimensi waktu,
yaitu berapa lama responden terlibat dalam pemberdayaan masyarakat.
Sebagaimana hasil penelitian Hashemi et al. (1996) yang diacu dalam Herawati
(2012) bahwa lamanya responden menjadi anggota pemberdayaan berpengaruh
signifikan terhadap beberapa indikator pemberdayaan seperti kemandirian dan
keterlibatan pengambilan keputusan.
Dalam penelitian ini keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK yang
dilakukan oleh TNBBS mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan
tingkat keeratan hubungan kuat terhadap partisipasi (r=0.569) dan kemandirian
(r=0.593). Masyarakat yang telah lama terlibat dalam kegiatan pemberdayaan
mempunyai tingkat partisipasi dan kemandirian yang lebih baik dibandingkan
dengan yang belum lama terlibat. Hal ini dapat dipahami karena semakin lama
masyarakat terlibat dalam kegiatan maka baik pengetahuan, wawasan, sikap dan
tindakan mereka akan meningkat ke arah yang positif.
Tingkat akses masyarakat terhadap kegiatan taman nasional
Dari hasil analisis, akses masyarakat terhadap taman nasional baik akses dalam
kegiatan pemberdayaan maupun kegiatan-kegiatan taman nasional lainnya, mempunyai
korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat dengan
efektifitas pemberdayaan partisipasi (r=0.885) dan kemandirian (r=0.823). Dengan
demikian, dengan memperbesar akses masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan taman
nasional baik dalam hal pelestarian hutan maupun pemberdayaan diharapkan akan
mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat ke arah yang lebih baik.
Meningkatkan pemberian akses kepada masyarakat dalam pengelolaan taman
nasional berarti memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada masyarakat
untuk berpartisipasi didalamnya. Dalam pemberdayaan MDK, misalnya dengan
94
fasilitasi penyuluh, masyarakat diberi akses dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan dan monitoring evaluasi. Dengan demikian masyarakat mempunyai akses
terhadap semua proses dalam pemberdayaan dan dengan demikian diharapkan akan
dapat mendorong masyarakat untuk merasa memiliki dan membutuhkan, dan bukan
hanya sebagai objek penerima.
Dengan demikian, secara garis besar, interaksi dan akses masyarakat peserta
program pemberdayaan terhadap TNBBS mempunyai korelasi sangat signifikan
dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat dengan efektifitas pemberdayaan di
TNBBS. efektifitas dimaksud adalah partisipasi masyarakat (r=0.877) dan kemandirian
(r=0.823) dalam mengembangkan perilaku di bidang ekologi (r=0.745), ekonomi
(r=0.703) dan sosial budaya (r=0.780). Faktor yang mempunyai korelasi paling besar
dengan efektifitas pemberdayaan baik partisipasi maupun kemandirian adalah manfaat
langsung yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya TNBBS dan seberapa besar
akses bagi masyarakat dalam kegiatan TNBBS.
Hubungan Pendekatan Pemberdayaan dengan Efektifitas Pemberdayaan
Pendekatan yang sesuai diharapkan dapat mengembangkan perilaku positif
masyarakat baik dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya sehingga tau
mau dan mampu melaksanakan kegiatan dalam rangka konservasi kawasan dan
sekaligus dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perilaku
positif dimaksud dalam konteks ini adalah partisipasi dalam kegiatan
pemberdayaan dan pada akhirnya dapat membentuk kemandirian masyarakat.
Upaya ini salah satunya ditempuh melalui pemberian informasi sebanyak-
banyaknya kepada masyarakat dan mengajak mereka untuk selalu tanggap dan
peduli terhadap lingkungan di sekitar mereka dalam hal ini TNBBS.
Dalam penelitian ini pendekatan pemberdayaan yang diduga berkorelasi
dengan efektifitas pemberdayaan (partisipasi dan kemandirian) adalah pendekatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh pengelola (TNBBS) yang meliputi
kesepahaman, kelembagaan, fasilitator, pendampingan, bentuk kegiatan
pemberdayaan, jejaring kerja dan kemitraan, pemberian akses serta monitoring
dan evaluasi. Dari hasil analisis, diperoleh hasil bahwa pendekatan pemberdayaan
menpunyai korelasi/hubungan nyata dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi
dan kemandirian. Korelasi pendekatan pemberdayaan dengan partisipasi dan
kemandirian disajikan dalam tabel berikut:
95
Tab
el 2
2 H
ubun
gan
pen
dek
atan
pem
ber
dayaa
n d
engan
efe
kti
fita
s p
ember
day
aan
(p
arti
sipas
i dan
kem
andir
ian
)
Sub
Var
iab
el
K
em
and
iria
n d
alam
Men
gem
ban
gkan P
eril
aku d
i B
idan
g
No
. P
arti
-
sip
asi
Eko
logi
Eko
no
mi
So
sial
Bud
aya
Kem
and
i-
rian
K
A
P
To
tal
K
A
P
To
tal
K
A
P
To
tal
Sp
earm
an’s
Co
effi
cient
Co
rrel
atio
ns
1.
Kes
epah
am
an
.55
1**
.59
9**
.48
3**
.47
1**
.62
5**
.32
0**
.32
5**
.40
8**
.43
7**
.51
5**
.30
0**
.36
3**
.53
7**
.57
5**
2.
Kel
em
bag
aan
.3
57
**
.44
7**
.20
0*
.34
1**
.41
6**
.32
5**
.25
4**
.34
1**
.39
5**
.38
3**
.27
4**
.16
3
.33
0**
.43
5**
3.
Fas
ilit
ato
r .7
08
**
.58
9**
.40
5**
.65
1**
.65
6**
.47
4**
.48
1**
.58
9**
.60
3**
.67
7**
.42
5**
.52
0**
.70
5**
.71
7**
4.
Pen
dam
pin
gan
.7
15
**
.58
8**
.34
5**
.65
7**
.63
5**
.59
0**
.54
7**
.69
9**
.72
7**
.61
4**
.49
6**
.55
9**
.69
4**
.77
7**
5.
Ben
tuk k
egia
tan
pem
ber
dayaa
n
.67
1**
.58
6**
.20
7*
.53
7**
.53
9**
.62
2**
.46
7**
.65
4**
.72
0**
.56
9**
.31
5**
.57
2**
.60
0**
.70
8**
6.
Jeja
ring k
erja
dan
kem
itra
an
.53
3**
.52
2**
.18
2
.40
0**
.44
9**
.41
3**
.30
6**
.52
6**
.54
1**
.53
2**
.23
2*
.42
6**
.53
0**
.56
7**
7.
Mo
nit
ori
ng d
an e
val
uasi
.5
95
**
.44
5**
.16
1
.38
4**
.40
2**
.40
4**
.35
8**
.52
2**
.52
3**
.50
8**
.34
0**
.51
8**
.55
0**
.56
5**
8.
To
tal
pen
dek
atan
pem
ber
dayaa
n
.80
6**
.72
1**
.36
7**
.66
9**
.71
2**
.61
3**
.51
5**
.73
4**
.77
1**
.75
8**
.42
9**
.60
9**
.78
1**
.84
2**
K
eter
angan
:
K:
Ko
gn
itif
(p
enget
ahu
an)
A:
Afe
kti
f (P
erse
psi
dan
sik
ap)
P:
Psi
ko
mo
tori
k (
tin
dak
an d
an k
eter
amp
ilan
)
*K
ore
lasi
sig
nif
ikan
pad
a ta
raf
kep
erca
yaa
n 9
5 p
erse
n (
α=
0.0
5)
** K
ore
lasi
sig
nif
ikan
pad
a ta
raf
kep
erca
yaa
n 9
9 p
erse
n (
α=
0.0
1)
95
96
Kesepahaman
Dari hasil analisis, faktor kesepahaman mempunyai korelasi positif sangat
signifikan dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan efektifitas
pemberdayaan MDK dalam hal partisipasi (r=0.551) dan kemandirian masyarakat
(r=0.575). Kesepahaman dalam konteks ini adalah upaya sosialisasi yang
dilakukan oleh pihak pengelola berkaitan dengan MDK dan seberapa jauh
masyarakat sasaran memahaminya. Hal ini berarti bahwa semakin masyarakat
memahami mengenai kegiatan dimana mereka terlibat di dalammya maka dapat
diharapkan semakin besar pula partisipasi serta kemandirian mereka.
Pemberdayaan masyarakat daerah penyangga sekitar TNBBS tidak hanya
untuk meminimalisir terjadinya kerusakan sumberdaya hutan dan ekosistemnya
akibat perambahan dan tindak ilegal lainnya namun juga diarahkan sebagai
upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi pada masyarakat
agar secara mandiri tau, sadar, mau dan mampu mengembangkan potensi yang
dimiliki dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan hidupnya.
Partisipasi bagi TNBBS adalah mengupayakan dan mengakomodir hal tersebut
berdasarkan pengakuan bahwa masyarakat memiliki potensi pengetahuan,
kemampuan serta kearifan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari.
TNBBS mencoba memberi tanggungjawab melalui pemberdayaan sebagai bentuk
partisipasi masyarakat sekitar. Namun demikian masyarakat tidak selalu berpijak dari
hal yang sama. Adanya ketergantungan yang relatif tinggi dari masyarakat terhadap
pendampingan mengindikasikan masyarakat belum siap untuk diberi tanggung jawab
itu. Di samping itu masih banyak masyarakat yang menganggap kegiatan MDK
sebagai kompensasi semata dari pihak TNBBS karena masyarakat tidak boleh
mengganggu hutan, pemusnahan tanaman pada lahan perambahan ataupun imbalan
atas perilaku mereka dalam membantu program TNBBS. Adanya pandangan
demikian paling tidak akan mempengaruhi masyarakat terutama dalam keikutsertaan
mereka dalam program terkait dengan apakah mereka menganggap pemberdayaan
sebagai proyek semata ataukah sudah menjadi kebutuhan.
Kelembagaan
Dari hasil analisis, kelembagaan mempunyai korelasi positif sangat
signifikan dengan keeratan hubungan yang kuat terhadap efektifitas
pemberdayaan MDK yaitu partisipasi (r=0.357) dan kemandirian (r=0.435).
Kelembagaan dalam hal ini meliputi Kelembagaan internal dalam MDK meliputi
aturan-aturan yang jelas mengenai pelaksanaannya maupun adanya lembaga lain
yang mendukung. Dalam kegiatan pemberdayaan, termasuk MDK, dimana
kawasan mempunyai wilayah lintas provinsi dan juga kompleksitas permasalahan
hutan dengan masyarakat sendiri, maka diharapkan pelaksanaannya mendapat
dukungan bukan saja dari pihak pengelola tetapi juga lembaga ataupun instansi
lain yang terkait dengan kegiatan pemberdayaan.
97
Fasilitator
Peran penyuluh sebagai fasilitator adalah sebagai mata rantai komunikasi
yang menghubungkan sistem sosial yang mempelopori perubahan atau sumber
informasi dengan sistem sosial masyarakat yang dibinanya.
Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan
sangat kuat antara fasilitator dengan efektifitas pemberdayaan MDK dalam hal
partisipasi (r=0.708) dan kemandirian (r=0.717). Dalam konteks ini korelasi
tersebut berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki fasilitator meliputi kedekatan
dengan masyarakat, kemampuan dalam membangun kesepakatan bersama atas
permasalahan yang ada, mengembangkan hubungan dan membangun kemitraan,
memberikan saran, masukan dan informasi bermanfaan serta keterampilan teknis
yang dimiliki. Hal ini berarti bahwa semakin baik kemampuan fasilitator maka
dapat diharapkan partisipasi dan kemandirian masyarakat akan semakin
bertambah.
Kemampuan penyuluh dalam melakukan interaksi dengan masyarakat
berkaitan erat dengan kedekatan hubungan yang dibangun. Masyarakat
mengharapkan penyuluh sebagai tempat bertanya hal-hal yang belum mereka
pahami, memberikan solusi ataupun informasi untuk permasalahan yang mereka
hadapi, mempunyai keterampilan teknis memadai untuk memecahkan
permasalahan bersama masyarakat dan mampu menghubungkan masyarakat
dengan pihak lain yang mendukung. Kapasitas dan kredibilitas penyuluh sebagai
fasilitator turut membentuk ketertarikan masyarakat terhadap program-program
pemberdayaan yang dilakukan.
Adanya korelasi yang signifikan antara fasilitator dengan perilaku
masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan juga mengindikasikan bahwa pada
dasarnya masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengikuti ajakan ataupun
himbauan ke arah lebih baik. Kegiatan penyuluhan perlu terus dilakukan pada
masyarakat karena dengan adanya penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan
perilaku masyarakat ke arah lebih baik. Seringkali perubahan perilaku dapat
bersumber dari seseorang yang dianggap sebagai panutan dan sumber
pengetahuan.
Pendampingan
Proses pembelajaran dalam pendampingan yang berjalan baik merupakan
kunci keberhasilan yang penting. Berdasarkan hasil analisis, pendampingan
mempunyai hubungan positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan
sangat kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK yaitu partisipasi (r=0.715) dan
kemandirian masyarakat (r=0.777). Pendampingan dalam hal ini meliputi
keberlanjutan interaksi dengan masyarakat, kesesuaian tujuan pemberdayaan
MDK dengan masyarakat, proses komunikasi, manfaat yang dicapai dan
pembelajaran yang terjadi dalam pemberdayaan MDK.
Pemberdayaan MDK bukanlah kegiatan yang bersifat instan. Pendampingan
tidak bisa serta merta berhenti ketika proyek selesai tetapi harus berkelanjutan
mulai dari tahap prakondisi, persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga
masyarakat telah memiliki kemandirian yang mantap.
98
Dari hasil wawancara, masyarakat mempunyai ketergantungan terhadap
pendampingan. Adanya ketergantungan yang relatif tinggi dari masyarakat terhadap
pendampingan mengindikasikan masyarakat belum siap untuk menerima tanggung
jawab dalam kegiatan pemberdayaan. Sebagian masyarakat menganggap bahwa
kegiatan pemberdayaan termasuk MDK adalah kompensasi dari TNBBS karena
masyarakat tidak boleh mengganggu hutan ataupun imbalan atas perilaku mereka
dalam membantu program TNBBS.
Selain itu, masyarakat sebagai penerima manfaat kegiatan pemberdayaan
bukan hanya dihadapkan pada masalah keterbatasan sumberdaya tetapi juga
masalah modal, pemasaran, kelembagaan kelompok, kemitraan keahlian teknis
dan sebagainya. Dengan demikian, upaya pendampingan yang dilakukan dapat
meliputi (a). Pendampingan kelembagaan melalui penguatan kapasitas kelembagaan
sebagai upaya pengembangan kapasitas individu, kelompok dan sistem kelembagaan
misalnya melalui pelatihan teknis, peningkatan kapasitas anggota maupun
kelompok; (b). Pendampingan teknis peningkatan usaha produktif, sebagai upaya
peningkatan pendapatan; (c) Pendampingan dalam pengembangan jejaring kerja dan
kemitraan dalam hal usaha pemasaran, peningkatan produksi, permodalan dan lain
sebagainya.
Dengan demikian pendampingan perlu dilakukan secara berkelanjutan
untuk mengantisipasi dan memotivasi masyarakat untuk memecahkan masalah
keterbatasan tersebut. Semakin baik pendampingan yang dilakukan maka
diharapkan akan semakin efektif kegiatan pemberdayaan.
Bentuk kegiatan pemberdayaan
Dari hasil penelitian, bentuk kegiatan pemberdayaan mempunyai korelasi
positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan
efektifitas pemberdayaan MDK yaitu partisipasi (r=0.671) dan keeratan hubungan
sangat kuat dengan kemandirian (r=0.708). dalam konteks penelitian ini, bentuk
kegiatan pemberdayaan yang seimbang dalam bentuk fisik, didukung oleh
peningkatan kapasitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat, penguatan
kelembagaan, dan penguatan jaringan kemitraan serta monitoring dan evaluasi
sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat sasaran serta kondisi lokal setempat
diharapkan dapat mendukung keberhasilan pemberdayaan.
Secara umum bentuk pemberdayaan yang dilakukan belum sesuai dengan
proporsinya terhadap kebutuhan dan kesesuaian dengan lokal kondisi lokal
setempat. Masyarakat Sukaraja pada umumnya mengharapkan kegiatan
peningkatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan agar dapat mengelola kegiatan
dengan lebih baik, sedangkan masyarakat Kubu Perahu mengharapkan adanya
kegiatan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Saat ini kegiatan MDK
di kubu perahu difokuskan pada kegiatan budidaya ikan dengan pertimbangan
persediaan air yang melimpah. Namun hal tersebut pada pelaksanaannya
mengalami kendala karena mayoritas peserta pemberdayaan MDK di Kubu
Perahu tidak mempunyai lahan sehingga tempat budidaya ikan menyewa lahan
orang lain. Budidaya ikan adalah bentuk kegiatan yang telah disetujui oleh
masyarakat. Namun dalam perkembangannya ketika ternyata budidaya ikan tidak
memberikan hasil sesuai yang diharapkan, masyarakat tidak bersemangat lagi
mengerjakannya dan mulai melirik kegiatan lain yang lebih menjanjikan secara
99
ekonomis. Bukan tidak mungkin, kondisi demikian akan mendorong masyarakat
untuk kembali melakukan tindakan ilegal terhadap hutan.
Dengan demikian meskipun keputusan jenis bantuan berdasarkan atas
permintaan dan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap harus dikaji lebih lanjut bagaimana
prospek ke depan, kendala yang harus dihadapi, pengaruhnya terhadap masyarakat,
bagaimana pemasarannya dan sebagainya. Kegiatan pendampingan bukan sekedar
transfer secara teknis tetapi merupakan pekerjaan kompleks berkaitan dengan berbagai
aspek kehidupan masyarakat sasaran lainnya. tentunya kondisi tersebut harus dapat
diantisipasi terutama pada saat perencanaan kegiatan.
Jejaring kerja dan kemitraan
Jejaring kerja dan kemitraan mempunyai hubungan positif sangat signifikan
dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan efektifitas pemberdayaan
MDK dalam hal partisipasi (r=0.533) dan kemandirian masyarakat (r=0.567). Hal
ini berarti bahwa dengan pengembangan jejaring kerja dan kemitraan yang baik
diharapkan kegiatan pemberdayaan akan lebih efektif.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa masyarakat mempunyai keterbatasan
dalam berbagai hal, oleh karenanya mereka perlu pendampingan. Pendamping,
dalam hal ini penyuluh juga mempunyai keterbatasan, yang dalam penelitian ini
terutama adalah dalam hal jumlah dan tenaga serta keahlian teknis. Penyuluh tidak
mempunyai keahlian di segala bidang sehingga membutuhkan bantuan pihak-
pihak lain dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Keterbatasan bukan hanya aset sumberdaya alam termasuk lahan tetapi
juga sering berbagai keterbatasan lainnya seperti keterbatasan skala usaha,
manajemen, modal, teknologi, keahlian dan pemasaran. Sementara itu, biasanya aset
teknologi, permodalan dan manajemen yang baik dimiliki oleh sektor ekonomi skala
besar, sektor perbankan/lembaga keuangan dan sejenisnya. Kondisi demikian
memerlukan koordinasi yang baik dalam menjalin kemitraan dan jaringan kerja
yang diharapkan dapat mengantisipasi keterbatasan yang ada.
Di Kubu Perahu misalnya dengan bantuan budidaya ikan, dengan
membantu pembangunan fasilitas kolam dan pemberian bibit saja tidak akan
menyelesaikan masalah. Pada kenyataannya masyarakat mengalami kesulitan
dalam hal bagaimana mengembangkannya, bagaimana memperkuat kinerja
kelompok, bagaimana pemasaran setelah panen ikan dan sebagainya.
Untuk itu, pendamping/penyuluh perlu untuk memfasilitasi penguatan
kelembagaan kelompok, peningkatan keterampilan, penguatan jaringan/
kemitraan dalam hal pemasaran dan sebagainya. Untuk itu perlu ada upaya
pengembangan jejaring atau kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain. Dalam
hal modal misalnya perlu diupayakan adanya bantuan lunak atau bantuan sejenis
dari lembaga keuangan setempat. Untuk mengatasi permasalahan pemasaran
perlu menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan berbagai
kalangan usaha.
100
Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi memiliki korelasi positif sangat signifikan dengan
tingkat keeratan hubungan kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK dalam hal
partisipasi (r=0.595) dan kemandirian masyarakat (r=0.565). Dengan
melaksanakan monitoring dan evaluasi pada semua kegiatan dalam program
pemberdayaan MDK, maka diharapkan akan lebih mendorong kegiatan agar lebih
terarah dan sesuai dengan tujuan.
Dengan demikian faktor pendekatan pemberdayaan secara keseluruhan
mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan keeratan hubungan sangat
kuat terhadap efektifitas pemberdayaan yaitu partipasi (r=0.806) dan kemandirian
(r=0.842) masyarakat dalam mengembangkan perilaku di bidang ekologi
(r=0.712), ekonomi (r=0.771) dan sosial budaya (r=0.781). Faktor pendekatan
pembedayaan yang mempunyai korelasi paling besar dengan partisipasi adalah
adalah fasilitator (r=0.708), pendampingan (r=0.715) dan benruk kegiatan
pemberdayaan (0.671). Sedangkan faktor yang mempunyai korelasi paling besar
dengan kemandirian adalah pendampingan (r=0.777), fasilitator (r=0.717) dan
bentuk pemberdayaan (r=0.708).
Hubungan Partisipasi dengan Kemandirian
Pemberdayaan melalui partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial
dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai penelitian
mengenai partisipasi masyarakat (dalam pengelolaan hutan partisipatif)
menunjukkan bahwa terdapat beberapa dampak nyata yang dihasilkan oleh
pemberdayaan berbasis partisipasi (CANARI, 2002), yaitu:
(1) Dalam bidang ekologi, mengurangi degradasi hutan dan memperbaiki
ekosistem melalui melalui kontrol dan pola penggunaan yang stabil.
(2) Dalam bidang ekonomi, berkurangnya ketergantungan masyarakat pada
sumber daya hutan, keterampilan meningkat, memanfaatkan potensi yang
menghasilkan tenaga kerja lokal.
(3) Dalam bidang sosial, mengembangkan keaktifan kelompok untuk menjadi
mitra aktif, memperoleh manfaat dari pembelajaran dan informasi,
berbagi, meningkatkan kapasitas pengelolaan dan keterampilan.
(4) Dalam bidang kelembagan, struktur budaya, sikap, dan lembaga pengelolaan
hutan akan menjadi lebih fokus pada pengembangan hubungan antara hutan
dan hubungan antara pemerintah dan pemangku kepentingan hutan lainnya.
Keterlibatan lembaga-lembaga eksternal dapat memberikan dampak yang
lebih baik/positif dalam mendukung pengembangan kapasitas.
(5) Dalam bidang kebijakan, mendorong kepekaan pembuat kebijakan tentang
manfaat pendekatan partisipatif.
Dari hasil dalam penelitian ini, partisipasi mempunyai korelasi sangat signifikan
dengan kemandirian, sebagaimana dalam Tabel 23 berikut:
101
Tabel 23 Hubungan partisipasi dengan kemandirian
Partisipasi
Kemandirian dalam Mengembangkan Perilaku di Bidang
Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Total
Keman-
dirian K A P Total K A P Total K A P Total
Spearman’s Coefficient Correlations
Perencanaan .579** .340** .660** .632** .490** .466** .488** .565** .526** .428** .573** .621** .680**
Pelaksanaan .709** .431** .659** .721** .553** .433** .624** .665** .671** .396** .586** .735** .789**
Pemanfaatan .636** .332** .592** .608** .586** .408** .591** .658** .647** .373** .696** .756** .757**
Evaluasi .721** .345** .690** .701** .510** .498** .610** .642** .693** 306** .719** .761** .781**
Partisipasi .728** .389** .706** .721** .589** .486** .626** .691** .696** .424** .712** .795** .823**
Dari hasil analisis, partisipasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan
dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat (r=0.830). Hal tersebut berarti bahwa
dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan dapat
mendorong kearah kemandirian yang lebih baik.
Dari hasil penelitian, partisipasi mempunyai korelasi sangat signifikan pada
tingkat keeratan hubungan kuat dengan kemandirian masyarakat dalam aspek
ekologi (r=0.721), ekonomi (r=0.691) dan sosial budaya (r=0,795). Koefisien
korelasi paling kecil adalah partisipasi dalam aspek kemandirian ekonomi. Hal ini
dapat dipahami karena belum semua hasil pemberdayaan MDK berdampak
terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Agroforestry baru dilaksanakan satu
tahun terakhir sehingga saat ini masih dalam tahap pemeliharaan. Demikian pula
dengan budidaya ikan, dimana lahan kolam merupakan lahan dengan status sewa,
sehingga hasil budidaya belum memberikan keuntungan yang nyata. Pembuatan
pupuk organik masih dilakukan dalam skala kecil sehingga hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sendiri.
Peningkatan Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat MDK di TNBBS
Dari hasil penelitian telah terbukti bahwa terdapat korelasi antara
karakteristik individu masyarakat dan pendekatan pemberdayaan terhadap
efektifitas pemberdayaan MDK. Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat
berpartisipasi secara aktif dan mempunyai kemandirian dalam mengembangkan
perilaku dalam kegiatan pemberdayaan MDK apabila pendekatan penyuluhan
yang terapkan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi masyarakat
setempat, (karakeristik masyarakat yang bersangkutan).
Sementara itu, disatu sisi permasalahan pemberdayaan masyarakat dalam
rangka peningkatan kesejahteran masyarakat dan konservasi kawasan memerlukan
koordinasi tidak hanya ditingkat regional tetapi bisa nasional dan bahkan global.
Demikian pula upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan TNBBS, tidak
hanya dikhususkan pada masyarakat grasroot yang sering dikonotasikan kurang
berdaya, namun juga harus melibatkan elite masyarakat dari berbagai kalangan
Keterangan:
K: Kognitif (pengetahuan)
A: Afektif (Persepsi dan sikap)
P: Psikomotorik (tindakan dan keterampilan)
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
102
seperti birokrat (pemerintahan desa/wilayah), tokoh masyarakat, pengusaha
maupun LSM sebagai penerima manfaat dan pihak-pihak pengambil kebijakan.
Menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten, instansi terkait
seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas
Peternakan, Dinas Pariwisata dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda), serta lembaga akademisi sangat perlu untuk mendukung keberhasilan
program. Kemitraan tersebut dapat difasilitasi oleh TNBBS dan atau mitra
kerjanya dengan prinsip pengembangan kemitraan saling ketergantungan, saling
membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling melindungi
dalam kedudukan yang setara.
Peningkatan koordinasi tersebut salah satunya untuk optimalisasi peran para
pihak. Dengan demikian, kata kunci bagi peningkatan efektifitas adalah menjalin
kemitraan kerja antar pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemberdayaan
MDK. Beberapa stakeholders kunci beserta peranannya dalam pengembangan
desa model konservasi di daerah penyangga TNBBS, antara lain sebagai berikut:
Masyarakat sebagai penerima manfaat kegiatan pemberdayaan MDK
Masyarakat seringkali dinilai sebagai obyek dalam kegiatan pemberdayaan
dengan posisi seringkali sebagai ancaman utama dalam terjadinya kerusakan
kawasan. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak dapat dipungkiri, banyak
masyarakat melakukan perambahan dan pencurian hasil hutan kayu dan non kayu.
Hal tersebut salah satunya disebabkan karena masyarakat tidak dapat merasakan
manfaat hutan secara langsung.
Masyarakat sebenarnya dapat diajak bekerja sama apabila diberikan
kepercayaan kepada masyarakat, dengan pendekatan yang tidak merugikan
masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan dapat ditumbuhkan dengan
menjalankan kegiatan yang seusai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Di
pihak lain, masyarakat pun perlu membuka diri terhadap pembaharuan dan
menjalankan kepercayaan yang telah diberikan oleh pemerintah dengan penuh
tanggung jawab.
Dalam pelaksanaan pemberdayaan MDK, masyarakat Pekon Sukaraja dan Kubu
Perahu merupakan pelaksana utama. Selain difokuskan pada kelompok-kelompok
aktif yang mewakili mayoritas kelompok ekonomi produktif, juga difokuskan
pada bagaimana merangsang terbentuknya kelompok-kelompok baru.
Dalam hal kelembagaan pendukung, tokoh masyarakat dan Lembaga Adat
Pekon, diharapkan peranannya sebagai inisiator dan advokator. Mereka dapat
mendorong terbentuknya Peraturan Desa serta memberi contoh atau panutan bagi
masyarakat dalam mengembangkan kemandirian ekonomi berwawasan konservasi
atau. Lembaga adat yang ada di pekon Kubu Perahu memiliki pengaruh yang
besar serta hubungan yang dekat dengan masyarakat sehingga peran aktifnya
diharapkan akan mendukung keberhasilan pengembangan desa model.
Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BTNBBS)
Balai Besar TNBBS (pemerintah pusat) berperan sebagai fasilitator utama
dalam pemberdayaan MDK. Sebagai fasilitator utama, BTNBBS perlu benar-benar
103
melaksanakan tahap-tahap pengembangan MDK secara konsisten mulai dari
prakondisi, persiapan dan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tahap
prapelaksanaan penting untuk identifikasi dan memahami karakteristik sasaran.
Informasi mengenai masyarakat perlu terus digali dan bila diperlukan dilakukan
survey mengenai tingkat pengetahuan dan respon masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pelestarian hutan. Kondisi dan potensi masyarakat sasaran perlu
diperhatikan secara menyeluruh, bagi pengelola, hal ini bukan berarti hanya
mengakomodir apa yang dibutuhkan masyarakat tetapi lebih jauh untuk
mengkaji peluang ke depan dan hal-hal yang berkaitan.
Sosialisasi dilakukan secara berkesinambungan baik terhadap masyarakat
maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan. Selain kepada masyarakat,
kesepahaman juga perlu dibentuk antara berbagai pihak yang seharusnya terlibat. Hal
ini dimaksudkan untuk menciptakan kesepahaman benar-benar memahami maksud
pemberdayaan MDK. Sehingga mereka tidak menganggap kegiatan pemberdayaan
sebbagai proyek atau kompensasi semata namun merupakan kebutuhan bersama yang
memerlukan tanggungjawab bersama. Oleh karenanya, kesamaan pandangan atau
kesepahaman perlu dibangun dengan melakukan sosialisasi secara terus-menerus.
Kesamaan pandangan atau kesepahaman antara masyarakat dengan pengelola
sangat diperlukan mengenai program-program partisipatif seperti pemberdayaan
MDK, sehingga partisipasi yang merupakan proses coorporate action, common
understanding, dan share in responsibility and consequences ini dimaknai sama
oleh masyarakat sehingga berdampak seperti yang diharapkan.
Melakukan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan. Pendampingan
dalam rangka kegiatan pemberdayaan MDK merupakan tugas yang berat, karena
berkaitan dengan bagaimana mengubah masyarakat sasaran. Dari hasil penelitian,
ketergantungan masyarakat terhadap pendampingan masih relatif tinggi, artinya di
lapangan, masyarakat cenderung bergantung kepada penyuluh sebagai tempat
bertanya, sehingga meereka mengharapkan interaksi dengan penyuluh sesering
mungkin. Sementara itu, sumberdaya manusia (SDM) penyuluh di TNBBS sangat
terbatas dengan wilayah kerja yang relatif luas. Selain itu, meskipun wacana
polivalensi penyuluh telah menjadi kebutuhan, namun tidak mungkin penyuluh
kehutanan menguasai semua keterampilan berkaitan kegiatan pemberdayaan MDK.
Dengan tugas berat tersebut, perlu memperhatikan kinerja para pendamping di
lapangan. Kinerja yang baik dari penyuluh perlu didukung atau diupayakan untuk
mendapat reward, paling tidak dalam pemenuhan kebutuhan utama di lapangan
termasuk bekal untuk meningkatkan keterampilan melalui pelatihan baik dalam hal
teknis maupun pendampingan. Hal ini berkaitan dengan motivasi mereka karena
pekerjaan penyuluh umumnya bukanlah sebuah pilihan, karena itu motivasi
sangat diperlukan dalam mendukung kinerja. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Yumi (2002), yang menyatakan bahwa motivasi penyuluh/pendamping
berpengaruh besar terhadap kinerja penyuluhan di lapangan termasuk dalam
kegiatan pemberdayaan.
Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak karena masalah konservasi
kawasan merupakan masalah kompleks yang perlu penanganan bersama mulai
dari masyarakat sasaran sampai pengambil kebijakan.
Pemberian bantuan dalam bentuk kegiatan perlu dipertimbangkan supaya
tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada program. Dalam hal
bentuk kegiatan pemberdayaan, pemberian bantuan hendaknya tidak hanya
104
dalam bentuk fisik, tetapi juga pengetahuan substansif yang relevan,
menawarkan pedoman tentang bagaimana memecahkan masalah atau
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah sehingga
mereka menjadi lebih sadar tentang apa tujuan dan aspirasinya.
Taman nasional sebagai kawasan dengan fokus utama pengelolaan di
bidang konservasi perlu terus mengembangkan upaya pelibatan masyarakat
dalam pengelolaannya, sesuai dengan zona yang telah ditetapkan. Pemberian
akses kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat merasa terdorong untuk
berpartisipasi.
Orientasi pengelola yang melihat perubahan masyarakat merupakan suatu hal
yang dapat direncanakan perlu ditinjau kembali sehubungan dengan perubahan dan
dinamika masyarakat yang relatif cepat. Kegiatan dan alokasi anggaran yang sudah
diformulasikan secara pasti di awal perencanaan kegiatan sering sulit mengakomodir
prioritas yang tidak direncanakan atau muncul belakangan. Dengan demikian
perencanaan harus disusun dengan luwes (fleksibel) sehingga mampu mengakomodir
permasalahan yang muncul dan tidak terhambat penyelesaiannya, misalnya hanya
karena terbentur masalah pembiayaan yang tidak sesuai rencana atau rencana yang
tidak bisa diubah karena sudah ditentukan formulasinya.
Apapun upaya yang dilakukan harus memperhatikan sasaran,
mempertimbangkan kondisi dan potensinya. Selama ini program ataupun kegiatan
cenderung bergerak dalam pengembangan usaha bidang pertanian, perikanan maupun
peternakan sehingga seolah-olah masyarakat masih dipisahkan dari hutan. Diperparah
lagi fungsi hutan baru dapat dirasakan dalam jangka panjang, sementara kebutuhan
masyarakat adalah kebutuhan saat sekarang. Tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana mendekatkan masyarakat dengan hutan dalam arti positif. Artinya
masyarakat merasa perlu menjaga kelestarian hutan karena hutan bermanfaat bagi
mereka misalnya dalam penyediaan sumberdaya yang bisa dikembangkan. Kegiatan
budidaya tanaman obat, agroforestry, penangkaran burung, rusa, anggrek, wisata alam
dan pemanfaatan hasil hutan non kayu lainnya seperti bambu, lebah madu, dan
sebagainya perlu dipertimbangkan sebagai alternatif.
Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu, berdasarkan analisis potensi sangat
memungkinkan untuk dikembangkan sebagai desa wisata. Dengan konsep tersebut,
pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti bambu yang berlimpah di lokasi pekon,
sangat potensial untuk kegiatan pengembangan kerajinan bambu. Disamping itu,
kedekatan lokasi dengan kawasan TNBBS khususnya dalam Zona Pemanfaatan
Intensif menjadikan pekon ini dapat mengembangkan usaha ekonomi berbasis
konservasi seperti pengadaan homestay, penjualan souvenir, jasa guide dan
sebagainya.
Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah pemerintah kecamatan Semaka dan
Balik Bukit sebagai regulator yang diharapkan dapat membantu dan memberi
dukungan penuh terutama bagi terwujudnya peraturan desa/perdes mengenai
pembangunan pekon berwawasan konservasi serta dalam kegiatan
pengembangan desa model secara umum. Pemerintah Daerah Kabupaten
Tanggamus dan Lampung Barat melalui instansi Bappeda, Dinas pertanian, Dinas
Perikanan dan Dinas Pariwisata berperan dalam memberikan bimbingan teknis dalam
105
upaya pengembangan desa model yang akan dilakukan, sedangkan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan diharapkan dapat berperan dalam melakukan
penyuluhan kehutanan melalui fungsional penyuluh yang ada (hal ini terutama
karena fungsional penyuluh di BTNBBS sangat terbatas dengan wilayah kerja sangat
luas yang meliputi Lampung - Bengkulu).
LSM, Perguruan Tinggi dan swasta
Kegiatan fasilitasi dapat dilakukan langsung oleh TNBBS atau bekerja sama
dengan mitra yang ada atau pihak lain yang disepakati. Mitra Balai TNBBS
terutama WWF (World Wildlife Fund), WCS-IP (Wildlife Conservation
Society-Indonesian Program), RPU-YABI (Rhino Protection Unit-Yayasan
Badak Indonesia), diharapkan dapat membantu peran Balai Besar TNBBS
sebagai fasilitator/pendamping aktif dalam kegiatan pemberdayaan termasuk
pengembangan desa model karena keterbatasan tenaga penyuluh di TNBBS.
Pelaku usaha terutama di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan,
pariwisata, perdagangan, jasa termasuk keuangan merupakan mitra dengan peran
penting berkaitan pemasaran, modal dan pengembangan usaha produktif. Pusat
Informasi dalam hal ini pers dan media massa, termasuk LSM yang aktif dalam
melakukan kampanye konservasi untuk turut serta menyebarluaskan informasi yang
dihasilkan ataupun dibutuhkan bagi pengembangan model desa konservasi.
Optimalisasi fungsi lembaga penelitian, untuk mengembangkan inovasi dan
menciptakan kreatifitas baru terutama berkaitan dengan pengolahan pasca panen
dan pengelolaan usaha berbasis kehutanan. Dalam hal ini, sarana lembaga
penelitian dan pengembangan yang dapat dijadikan mitra dalam pengembangan
desa model adalah pihak akademisi, lembaga penelitian dan pengembangan
yang ada di Kementerian Kehutanan khususnya Badan Penelitian dan
Pengembangan.