ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PTUN YOGYAKARTA TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN
(Studi Komparasi Perkara No:lO/G/2010/PTUN-YK Dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013/PTUN-YK Dalam Perkara Ralat SK
Menteri Kehutanan)
TESIS
OLEH :
NAMA MHS ARDIYANSYAH YUDITOMO, S.H.
NO. POKOK MHS. : 11912750
BKU HTNIHAN
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
-- PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
$g[@[pJJ ANALISIS YURTDIS PUTUSAN PTUN YOGYAKARTA
TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN (Studi Komparasi Perkara No:lO/G/201O/Ptun-Yk Dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013/PTUN-YK Dalam Perkara Ralat SK
Menteri Kehutanan)
TESIS
Oleh:
ARDIYANSYAH YUDITOMO
No. Mahasiswa 11912750
BKU . HTNlHAN
Program Studi Ilmu Hukum
Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diajukan ke Dewan Penguji dalam ujian tesis
Yogyakarta, Tgl. November 20 1 5 3 Pembimbing
A
Zairin Ah ahap, S.H., M.Si.
Mengetahui Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PTUN YOGYAKARTA TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN
(Studi Komparasi Perkara No:lO/G/2010/PTUN-YK Dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013/PTZTN-YK Dalam Perkara Ralat SK
Menteri Kehutanan)
TESIS
Oleh:
ARDIYANSYAH YUDITOMO
No. Mahasiswa 11912750
BKU HTNIHAN
Program Studi Ilmu Hukum
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji- Pada tanggal . 3 ~ . .?!!fl%.q 2016 dan dinyatakan !&us
Y ogyakarta, Tgl. 3.Q. ?@!!?I 20 1 6 A i m Penguji
Tanggal ....
Dr. Ridw L%m. 2 3 1 %Jc Tanggal . . . . . . .
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
" When you want something, all the Universe conspires in helping you to achieve
it " -Paul0 Coelho, The Alchemist.
Kupersembahkan tesisku ini untuk almamaterku tercinta,
Program Studi Magister Ilmu Hukurn,
Program Pascasarjana Fakultas Hukurn,
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan
rasa hormat, sayang, dan terimakasihku kepada keluargaku tercinta
Ayahanda Achmad Hari Arwoko clan Ibunda Krisnugroho Rini
Saudaraku Edwin, Febri, Sofi, dan Hisyam serta Eyang-eyangku.
Persembahan khusus kepada mereka atas dorongan semangat, birnbingan yang
tidak berhenti, pengorbanan yang talc terhingga, serta kasih sayang mereka;
Merekalah Bapak dan Ibuku, KALIAN-lah guru pertama bagiku.
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis dengan Judul:
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PTUN YOGYAKARTA TENTANG SENGKETA KEPEGAWAIAN
(Studi Komparasi Perkara No:lO/G/201OlPTUN-YK Dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013/PTtlN-YK Dalam Perkara Ralat SK
Menteri Kehutanan)
Benar-benar karya dari penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang telah
diberikan keterangan pengutipan sebagaimana etika akademis yang berlaku.
Jika terbukti bahwa karya ini bukan karya penulis sendiri, maka penulis siap
untuk menerima sanksi sebagaimana yang telah ditentukan oleh
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, Tgl. 30 November 20 15
ARDIYANSYAH YUDITOMO NIM: 11912750
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan hi, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc. Selaku Rektor Universitas Islam Indonesia. 2. Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D. Selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum yang telah memberi kesempatan penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
3. Zairin Harahap, S.H., M.Si. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu diantara segenap kesibukan aktifitas untuk membimbing dan mengarahkan peneliti selama penulisan tesis ini.
4. Para Dewan Penguji tesis, Peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah memberikan ilmu, saran dan kritik yang membangun dan berharga bagi peneliti.
5. Segenap dosen dan staf magister hukum UII yang telah memberikan banyak tambahan ilmu pengetahuan kepada penulis
6. Kedua orang tua (bapak Achmad Hari Arwoko, S.H., M.H. dan Ibu Ririn, S.H.) yang dengan telaten, tulus dan ikhlas selalu mendoakan, mengingatkan clan memotivasi peneliti hingga mampu menyelesaikan tesis hi , kakek eyang Tomo yang selalu memotivasi dan keempat adik yang selalu meramaikan suasana hati (Edwin, Febri, Sofi & Hisyam), sehingga peneliti tidak merasa bosan dalam mengerjakan tesis ini.
7. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Bapak H.L. Mustafa Nasution, S.H., M.H., dan Ibu Novy Dewi Cahyati., S.Si S.H., M.H., yang telah banyak meluangkan waktu, saran serta memberikan motivasi.
8. Rekan-rekan dan teman-teman magister HTN/HAN angkatan 27, teman-teman magister hukum UII secara keseluruhan yang bisa diajak berdiskusi dan bertukar pikiran, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Tiada yang sempurna dalam hidup ini, begitu halnya dengan penulis yang
masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis hi . Segala masukan, kritik dan saran penulis arnbil pelajaran clan diterima dengan baik. Pada akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkaitan.
Yogyakarta, 30 November 20 15 Penulis,
ARDIYANSYAH YUDITOMO
- ...
DAFTAR IS1
HALAMAN DEPAN ................................................................................... i
HALAMAN JZ.TDUL .................................................................................... i . .
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... 11
... ....................................................................... HALAMAN PENGESAHAN 111
......................................... HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN iv
PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR IS1 ............................................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHCTLUAN
A . Lata r Belakang Masalah ....................................................................... B . Rumusan Masalah ............................................................................... C . Tujuan Penelitian ................................................................................ D . Kegunaan Penelitian ............................................................................ E . Metode Penelitian ................................................................................
................................................................................ 1 . Jenis Penelitian
...................................................................... 2 . Pendekatan Penelitian
3 . Objek Penelitian ................................................................................ 4 . Data Penelitian atau Bahan Hukum .................................................. 5 . Pengolahan dan Penyajian Data Penelitian atau Bahan Hukum ....... 6 . Analisis atau Pembahasan .................................................................
BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA
.......................................................................... A . Teori Negara Hukum 15
.......................................................................... B . Pertirnbangan Hakim 24
1 . Pengertian Pertimbangan Hakim ................................................... 24
-zsaG€%*- -- ........................................................... .* C . Putusan Pengadilan ........................................................................... 29
-. .........
1 . Arti Putusan Pengadilan ................................................................... 29
2 . Asas Putusan .................................................................................. 30
3 . FormulasiPutusan .......................................................................... 37
4 . Mencari dan Menemukan Hukum ................................................... 38
5 . Otonomi Kebebasan Hakim Menjatuhkan Putusan ......................... 39
6 . Putusan Ditinjau dari Berbagai Segi ................................................ 40
BAB I11 PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A . Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan ........................................ 42
B . Teori Penyelesaian Sengketa Kepegawaian ......................................... 48
C . Putusan Pengadilan dan KTUN .......................................................... 52
1 . Penyelesaian Sengketa Kepegawaian ............................................. 52
2 . Keputusan TUN sebagai Objek Sengketa ........................................ 56
3 . Kewenangan dan Keabsahan Keputusan TUN ................................. 64
. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A . Hasil Penelitian ................................................................................... 70
1 . Kasus Posisi dalam Putusan No : 06/G/20 13lPTUN-YK ................ 70
a . Identitas Para Pihak .................................................... 70
b.Putusan .................................................................. 71
2 . Kasus Posisi dalam Putusan No : 10/G/201 O/PTUN-YK ..... 71
a . Identitas Para Pihak .................................................... 71
b . Putusan .................................................................. 72
B . Pembahasan .......................................................................................... 74
1 . Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dari Tergugat Menurut
Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku dan AAUPB ............ 76
a . SK Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa
........................ Yogyakarta No: Kw.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 77
b . Keputusan Menteri Kehutanan S .02/Menhu t.IVPeg/Rhs/20 1 3.
- --pe-SKT**.-mfK*.-
II/Rhs/20 12 dan Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah
vlll
- -.. .
Aliran Sungai Serayu Opak Progo Nomor SK.O l/BPDASSOP/2013
....................................................................................................... 81
2. Dasar Hukum Hakim Dalam Putusan PTUN Yogyakarta perkara nomor
: 10/G/20 1 OPTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara
No:06/G/20 13 perkara ralat SK Menteri Kehutanan ........................... 86
a. Dasar Hukum Hakim dalam Perkara Nomor : 10/G/201 OPTUN-YK
................................................................................. 86
b. Dasar Hukurn Hakim dalam Perkara Nomor : 06/G/2013/PTUN-YK
............................................................................ 99
3. Perbedaan Putusan Hakim Dalam Perkara Nomor: 1 0IGl201 OPTUN-
YK dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013 Perkara
Ralat SK Menteri Kehutanan .............................................................. 102
BAB V PENUTUP
B. Saran ..................................................................................................... 1 12
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HlDUP
---. . --
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis keabsahan keputusan Tata Usaha Negara dari Tergugat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) menganalisis pertimbangan h u b hakim dalamputusan PTLN Yogyakarta perkara nomor : 1 0/G/20 1 O/PTLTN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan; dan 3) menganalisis perbedaan putusan hakim dalam perkara nomor: 10/G/20 1 OPTLIN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah normatif atau perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan perbandigan. Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan di dalam putusan PTLN No: Kw.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 dan SK NO.S.02Menhut-II/Peg/Rhs/20 13, perihal Ralat SK. Menteri Kehutanan Nomor SK.48Menhut-IVRhs/20 12 dan Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Nomor SK.0 l/BPDASSOP/20 13 telah memenuhi unsur pelanggaran di beberapa aspek serta adanya beberapa perbandingan pada putusan sengketa kepegawaian tersebut. Pertimbangan yang dikemukakan hakim dalam perkara nomor : 10/G/201 OIPTUN-YK, yaitu bahwa putusan tersebut bertentangan dengan asas-asas umurn pemerintahan yang baik dan kekeliruan dalam penerapan dasar hukum. Sedangkan dalam perkara No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan, pada obyek sengketa I hakim melihat bahwa menteri mempunyai legalitas mumutus atau tidak dalam menerbitkan keputusan SK serta obyek sengketa II yang bukan merupakan KTUN. Perbedaan antara putusan hakim dalam perkara nomor : 10/G/201 O/PTLIN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara No:06/G/20 13 perkara ralat SK Menteri Kehutanan disebabkan oleh adanya substansi permasalahan serta pertimbangan hakim yang berbeda meskipun keduanya adalah sengketa kepegawaian, terutama menyangkut kekeliruan dalam menerapkan dasar hukum dan AAUB di dalam mengeluarkan surat keputusan. Mengacu pada asas-asas yang diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, pejabat TUN dalam menyelenggarakan pemerintahan hams bersandar pada asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas transparansi, asas akuntabilitas, asas proporsionalitas, asas profesionalitas. ---- ------
Keyword: Keputusan Pejabat TUN, Pertimbangan hakim
- -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara hukurn. Negara hukum yaitu negara yang
dalam segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara,
termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan hams berdasarkan hukum dan
asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan
kehidupan dernokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan bertanggungjawab.'
Prinsip dalam Negara hukum antara lain yatiu Wetmatigheid Van
Bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
dengan kata lain setiap tindakan hukurn pernerintah, baik dalarn menjalankan
fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan, hams berdasarkin pada
wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila berpatokan pada pengertian rechtstaat (negara hukum), secara formal,
menurut Friedrch Julius Stahl bahwa Negara hokum mengandung ernpat unsur
pokok, yakni (1) pengakuan hak-hak dasar manusia, (2) adanya pembagian
kekuasaan (scheiding vanmacht). (3) pemerintahan yang berdasarkan
peraturan hukum dan perundang-undangan (wetmatigheid van het bestuur),
' Lihat Penjelasan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008.
dan (4) adanya peradilan administrasi, peradilan administrasi merupakan salah
satu pilar dan salah satu ciri dari negara hukurn itu.2
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 1
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Republlk Indonesia
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara, dalam pernbuatan
keputusan oleh TUN, dituntut untuk memperhatikan ketentuan pemdang-
undangan yang berlaku, dan dalam melaksanakan tindakan hukum hams pula
memperhatikan Asas-asas Umurn Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Apabila
tindakan pernerintah yang diwujudkan dalam terbitnya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara atau sikap diarnnya, oleh masyarakat dianggap telah melanggar
ketentuan perundang-undangan diatas, maka pemerintah oleh undang-undang
tersebut selanjutnya disebut Badan atau Pejabat tata Usaha Negara dapat
digugat secara tertulis ke Peradilan Tata Usaha Negara.
Apabila ada kekurangan atau tidak dipenuhinya asas-asas tersebut
dalam suatu tindakan pejabat TUN dalam keputusan dianggap cacat hokum.
Hal tersebut disebabkan karena keputusan pejabat TUN adalah tindakan
hukum, oleh karena itu keputusan yang dibuat dapat digugat apabila dianggap
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan dan asas-asas urnum
pemerintahan yang baik. Dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a UU No.9 Tahun
2004 tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTLN disebutkan
bahwa " Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas pemerintahan yang baik". --- --- ---
-- ---
Paulus Effendi Lotulung, HukumTata Usaha Negara Dan Kekuasaan, Jakarta: Salemba Humanika, 20 13, hlm.7
Apabila ada kekurangan atau tidak dilaksanakannya asas-asas tersebut
oleh pejabat adiministrasi I tata usaha negara (TUN) dalam mengambil suatu
keputusan atau bilamana terindikasi ada penyalahgunaan wewenang, dapat
menimbulkan suatu konsekuensi hukum yakni pembatalan keputusan.
Pemerintah dalam melakukan perbuatan tata usaha negara dapat pula
melakukan perbuatan yang merugikan rakyat, perbuatan tata usaha negara
yang dinilai sewenang-wenang atau tidak jujur (unfair) dapat dimintakan
pembatalannya oleh rakyat yang dirugikan melalui gugatan di Peradilan
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Pasal 53 ayat 2 UU No.5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 9 Tahun 2004 bahwa
penyalahgunaan wewenang dij adikan dasar pembatalan suatu keputusan tata
usaha negara, dimana badan 1 pejabat tata usaha negara dalam
mempersiapkan, mengambil dan melaksanakan keputusan maka yang
bersangkutan hams memperhatikan asas-asas pemerintahan yang baik serta
asas-asas hukum yang tidak tertulis. Majelis Hakim di PTUN, dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara dituntut untuk berpedoman kepada
UU No.14 Tahun 1970 sebagaimana direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang di dalamnya diatur tentang asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
AALTPB tersebut pada prinsipinya memuat asas kepastian hukurn, asas
keseimbangan, asas bertindak cennat, asas motivasi untuk setiap keputusan, ----
- --
Pemerintah Yang Bersih Dan Berwibawa, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm. 1 58
asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, asas kesamaan dalam
mengambil keputusan, asas permainan yang layak (fair play), asas keadilan
atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas meniadakan
akibat-akibat suatu keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan
hidup (cara hidup) pribadi. Seiring berlakunya ketentuan asas-asas hukum
penyelenggaraan pemerintahan tersebut, berkembang pula isu permasalahan
seperti adanya oknum aparat atau pejabat publik yang kurang transparan dan
adil, bertindak sewenang-wenang, diskriminatif, kurang cermat, memanipulasi
kebijakan, komersialis dan kurang optimal dalam melaksanakan
tanggungjawabnya, termasuk mempersulit warga masyarakat tertentu dalam
suatu urusan pelayanan tertentu.
Demikian pula sebaliknya bahwa terkadang ada oknum warga atau
elernen masyarakat yang kurang mengindahkan atau mematuhi suatu
ketentuan hukum yang berlaku. Permasalahan dalam bidang pelayanan
administrasi publik yang sering timbul di lingkungan pemerintah adalah
penerbitan Surat Keputusan pegawai. Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor : 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor : 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Negara berusaha
melindungi kepentingan pegawai. Namun selama ini dalam pelaksanaan
undang-undang tersebut tidak maksimal dalam memberikan perlindungan
kepada stakeholder yang dicakup, sehingga melahirkan sengketa TUN.
Salah satu permasalahan yang terjadi dalam masalah kepegawaian
c; t lahnanan pengaailan 1 - . r - . - - 1 ata Usana Negara adalah sengketa
Swat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta perihal jawaban permohonan mutasi menjadi guru atas nama Sdr.
Drs. Hasan dan perkara No:06/G/2013 Dalam Perkara Ralat SK Menteri
Kehutanan atas nama penggugat Wiranto.
Pada perkara pertama, yang menjadi objek gugatan adalah Surat
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta
No: Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010, perihal Jawaban Permohonan Mutasi
menjadi Guru atas nama Drs. Hasan Zubaidi, bertanggal 19 juni 2010 yang
ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.1.
Kasus ini berawal dari Drs. Hasan Zubaidi sebagai penggugat menggugat
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan dasar gugatan objek sengketa Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh tergugat Kepala kantor Wilayah kementerian Agama
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berupa Swat Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Daerah istimewa Yogyakarta No:
Kw.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni 2010 perihal Jawaban
Permohonan Mutasi menjadi Guru atas nama Drs. Hasan Zubaidi yang
ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.1.
yang isinya Penolakan Mutasi atas nama Drs. H. Maskul Haji (penggugat) dari
Penghulu Madya pada KUA Kecamatan Melati, Kabupaten Sleman menjadi
Guru Pendidikan Agama Islam pada Madrasah Aliyah Negeri di lingkungan
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman, dalam pekara tersebut uraian
sesuai dengan AAUPB khususnya asas motivsi dan asas bertindak cermat.
Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)
dimaksudkan agar dalam mengambil keputusan badan atau pejabat TLTN
bersandar pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar, adil dan
jelas, sedangkan berdasarkan asas bertindak cermat badan atau pejabat TUN
hams senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian
bagi warga m a ~ ~ a r a k a t . ~
Sementara pada masalah kedua yaitu gugatan terhadap Menteri
Kehutanan RI dan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai DIY. Hal
tersebut terkait dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan No. SW48lMenhut-
II/Ths/2012 dan Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Nomor: SK.Ol/BPDASSOP/2013 tentang Penetapan Personil Dalarn Jabatan
Non Struktural dan Jabatan Fungsional Lingkungan Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Tindakan tergugat dengan meralat SK Menteri Kehutanan
Nomor SK.48lMenhut-II/Rhs/2012 oleh penggugat dianggap merugikan
kepentingannya.
Bertolak dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengkaji putusan
tersebut karena adanya perbedaan putusan yang diambil oleh hakim. Kedua
SK yang digugat oleh penggugat di atas memiliki karakteristik yang sama
yaitu SK sama-sama dibuat oleh pejabat daerah yang ada di lingkup dimana
penggugat berada. SK dibuat oleh atasan langsung di kantor penggugat.
Namun demikian, dalam kasus mutasi pegawai, hakim secara substatim --
- a w u ~ c~endorong I erwujudnya Pemerintah Yang Bersih Dan Benuibawa, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm.134-135
membenarkan tindakan tergugat narnun menolak pertimbangan yang diberikan
oleh tergugat dalam mengeluarkan SK, sehingga dalam putusannya hakim
menolak gugatan penggugat dan memerintahkan kepada tergugat untuk
memben& pertimbangan keputusannya. Sementara dalam masalah kedua,
ralat SK oleh Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai DIY hakim
menolah gugatan penggugat untuk seluruhnya karma melihat legal standing
tergugat untuk meralat SK telah dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta asas-asas m u m pemerintahan yang baik.
Memperhatikan uraian tersebut, peneliti bermaksud meneliti putusan
hakim dalam dua perkara tersebut dengan judul penelitian: "Analisis Yuridis
Putusan PTUN Yogyakarta (Studi Komparasi Perkara No: 10/G/201 OIPTUN-
YK Dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013 Dalam
Perkara Ralat Sk Menteri Kehutanan)".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa fenomena dan issu hukum dari latar belakang
masalah tersebut diatas, dapatlah dipertajam obyek yang akan diteliti dan
untuk lebih konkritnya, rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana dasar hukum hakim dalam putusan PTUN Yogyakarta perkara
nomor : 10/G/201 OIPTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara
No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan?
2. Apakah keputusan Tata Usaha Negara dari Tergugat sah atau tidak
menurut peraturan perun
3. Mengapa terdapat perbedaan putusan hakim dalam perkara nomor
: 10/G/20 1 OPTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara
No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis dasar hukum hakim dalam putusan PTUN Yogyakarta
perkara nomor :lO/G/2010/PTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan
perkara No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan.
2. Untuk menganalisis keabsahan keputusan Tata Usaha Negara dari Tergugat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Untuk menganalisis perbedaan putusan hakim dalam perkara
nomor: 10/G/201 OPTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara
No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Memeperkaya khazanah kajian hukum pada umurnnya, dan khususnya
dalam hukurn Tata Usaha Negara.
2. Dapat dijadikan bahan masukan bagi Pejabat TUN dalam memutuskan
suatu kasus yang terjadi di masyarakat sesuai dengan ketentuan hukum
'=%&a.
3. Dapat dijadikan bahan masukan bagi masyarakat urnum mengenai proses
penyelesaian sengketa TUN di pengadilan.
E. Metode Penelitian
I. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukurn normatif.
Penelitian hukum normatif biasa disebut juga dengan penelitian hukum
doktrinal yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka yang merupakan data primer dan disebut juga penelitian hukurn
kepustakaan. Menurut Peter n ah mud,^ penelitian hukum normatif adalah
"... suatu proses untuk menernukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip
hukurn, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan
hukurn yang dihadapi. "...penelitian hukum normatif dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Data primer diperoleh dari penelitian kepustakaan dan dokumen,
yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah
tersedia dalarn bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan
di perpustakaan atau milik pribadi serta undang-undang yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti. Data sekunder diperoleh dari penelitian
lapangan atau penelitian langsung di dalam masyarakat melalui
wawancara.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dun Empiris, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 34
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah normatif atau
perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan.
Pendekatan normative atau perundang-undangan dilakukan untuk meneliti
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan pejabat TUN
dalam memutuskan mutasi guru dan ralat SK.
Pendekatan kasus adalah telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Dalam ha1 ini kasus yang
dimaksud adalah terkait dengan putusan perkara nomor
: 10/G/201 OPTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara
No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan. Sementara itu,
pendekatan perbandingan dilakukan untuk melihat pertimbangan hakim
yang satu dengan hakim yang lainnya dalam mengadili mengadili suatu
perkara yang memiliki substansi yang sama. Hal ini sebagai masukan di
dalam analisis bagaimana seharusnya ketentuan hukum positif Indonesia
mengatur mengenai ketentuan terkait tentang mutasi guru dan perubahan
atas suatu SK.
3. Objek Penelitian
- -
Penelitian ini dilakukan di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara -- -- -- --
Yogyakarta, dengan sasaran mempelajm berkas perkara icepegawaian
-.
yang telah diputus dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta
bagaimana implementasinya dalam pelaksanaan putusannya.
4. Data Penelitian atau bahan Hukum
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh di lokasi penelitian berupa
berkas perkara 1 putusan pengadilan tata usaha Negara Yogyakarta
tentang kepegawaian yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ,
serta wawancara dengan ketua dan paniteralsekretaris pengadilan tata
usaha negara Yogyakarta.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka berupa
1 buku, data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen dan peraturan
L perundang-undangan lain yang berkaitan dengan obyek penelitian ini.
5. Pengolahan dan Penyajian Data Penelitian atau Bahan Hukum
Analisis data dalam penelitian hukum ini adalah argumentasi
hukum. Argumentasi hukurn adalah suatu opini, pendapat seseorang tentang
hukurn atau suatu pandangan yang lahir sebagai suatu penafsiran yang
berasal dari sekumpulan fakta-fakta hukum yang didasarkan pada pemikiran
yang dapat diterima oleh setiap orang atau berdasarkan penalaran h u h m
yang rasional dengan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Argumentasi hukum biasanya digunakan untuk menemukan kebenaran
hukum sehingga dapat tercapainya suatu putusan yang memiliki kekuatan
hukum tetap.
Pengolahan dan penyajian data merupakan suatu bentuk uraian
mengenai cara menganalisis data dengan mengurnpulkan data yang
kemudian dilakukan pengeditan terlebih dahulu yang selanjutnya
digunakan sebagai bahan analisis yang bersifat kualitatif. Dalam proses
analisis terdapat tiga komponen utama. Tiga kompenen utarna tersebut
adalah (1) reduksi data, (2) sajian data, (3 ) penarikan simpulan serta
verifikasinya. Tiga komponen tersebut terlibat dalam proses analisis dan
saling berkaitan6
Pengolahan dan penyajian data penelitian atau bahan hukum
dilakukan setelah diperoleh data primer dokumen putusan yang didukung
oleh data sekunder yang diperoleh dari wawancara. Data yang diperoleh
kemudian dipilih dan dikelompokkan sesuai dengan fenomena yang
diteliti. Selanjutnya, peneliti &an mengolah dan menyajikannya ke dalam
tesis ini.
6. Analisis atau Pembahasan
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu data
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.
Metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif-anali~is.~ Metode kualitatif adalah metode analisis data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian
-- -- A- H : ~ r o p o ~ o r l ~ ~ . . --- ----
m - 7 K - - S w w - P r e m h l m . 9 1 ----
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukurn Normatif; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 24.
lapangan menurut kualifikasi dan kebenarannya, kemudian dihubungkan
dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga akan
diperoleh jawaban mengenai rumusan masalah penelitian ini8
Metode analisis secara deskriptif yaitu memilih data yang
menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Dalam analisis
menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu menyimpulkan hasil penelitian
yang khusus. Menurut Philipus M. Hadjon, menjelaskan metode deduksi
sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan
metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan
bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari
kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan atau c~nclusion.~ Dengan
menggunakan metode tersebut diharapkan dapat memperoleh gambaran
yang jelas dan menyeluruh tentang kesesuaian landasan konseptual yang
digunakan dalam menjawab pokok permasalahan dalam tesis ini.
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara
demikian banyak dan kompleks serta masih bercampur-campur, maka
dibuatlah reduksi terhadap data tersebut. Dalam proses reduksi ini,
dilakukan seleksi untuk memilih data yang relevan dan bermakna, yang
mengarah pada pemecahan masalah, penemuan, pemaknaan untuk
menjawab pertanyaan. Begitu juga perlakukan peneliti terhadap transkrip
itu penulis ambil sebagai data penelitian, cukup peneliti seleksi data-data
" Bambang Sunggono, A ? Z E % ? f i ~ ~ n i ~ u m , Ja'kmrbgrG- 2003, hlm. 114
Hadjon, Philipus M, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993, hlm. 13
yang relevan dengan tema penelitian yang kemudian peneliti masukkan
dalam laporan penelitian.
Setelah direduksi, selanjutnya data tersebut direduksi lagi, langkah
selanjutnya adalah menyederhanaan, menyusun secara sistematis hal-ha1
yang pokok dan penting dan membuat abstraksi untuk memberi gambaran
yang tajam serta bermakna. Proses pernilihan data mengarah pada
pemecahan masalah, penemuan, pemaknaan, serta diformulasikan secara
sederhana, disusun secara sistematis dengan menonjolkan hal-ha1 yang
lebih substantif.
BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Negara Hukum
Istilah negara hukum merupakan terjemahan dari istilah "recht~staat'.'~
Istilah lain yang digunakan dalam alam hukum Indonesia adalah the rule of law,
yang juga digunakan untuk maksud "negara hukum". Notohamidjojo
menggunakan kata-kata "...maka timbul juga istilah negara hukurn atau
rechtsstaat."" Djokosoetono mengatakan bahwa "negara hukurn yang demokratis
sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau kita hilangkan democratische
rechtsstaat, yang penting dan primair adalah re~htsstaat."'~
Sementara itu, Muhammad Yarnin menggunakan kata negara hukum sarna
dengan rechtsstaat atau government of law, sebagaimana kutipan pendapat
berikut ini:
"polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang."(kursif- penulis)."'3
l o Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebtlah Studi Tentang Prinsip- prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm.30.
" 0. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm.27. l 2 Padmo Wahyono, Guru Pinandita, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1984, hlm. 67. l 3 Muhammad Yarnin, Proklamasi dun Konstitusi Reptrblik Indonseia, Jakarta: Ghalia -- -- --
Indonesia 1982, hlm. 72. --
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dalam literature hukum Indonesia,
selain istilah rechtsstaat untuk menunjukkan makna Negara hukum, juga dikenal
istilah the rule of law. Namun istilah the rule of law yang paling banyak
digunakan hingga saat ini.
Menurut pendapat ~ a d j o n , ' ~ kedua terminologi yakni rechtsstaat dan the
rule of law tersebut ditopang oleh latar belakang sistem hukurn yang berbeda.
Istilah Rechtsstaat merupakan buah pemikiran untuk menentang absolutisme,
yang sifatnhya revolusioner dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang
disebut civil law. Sebaliknya, the rule of law berkembang secara evolusioner,
yang bertumpu atas sistem hukum common law. Walaupun dernikian perbedaan
keduanya sekarang tidak dipermasalahkan lagi, karena mengarah pada sasaran
yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Meskipun terdapat perbedaan latar belakang paham antara rechtsstaat atau
etat de droit dan the rule of law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran
istilah "negara huhm" atau dalam istilah Penjelasan UUD 1945 disebut dengan
"negara berdasarkun atas hukum (rechtsstaat)", tidak terlepas dari pengaruh
kedua paham tersebut. Keberadaan the rule of law adalah mencegah
penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah juga dilarang menggunakan
privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa. Paham negara
hukurn (rechtsstaat atau the rule of law), yang mengandung asas legalitas, asas
pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka
- --
I q Philipus R.Hadjon, Perlzndungan H u h ...op. ~ i i . , M ~ I . 7".
tersebut, kesemuanya bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari
kemunglunan bertindak sewenang-wenang, tirani, atau penyalahgunaan
kekuasaan.
Pada zaman modem, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu "rechtsstaat '. Sedangkan
dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan "The Rule of Law". Menurut Julius
Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah 'rechtsstaat' itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalarn setiap
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah "The Rule of Law", yaitu:
I. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip 'rechtsstaat' yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip 'Rule of Law ' yang
di zaman sekarang. Bahkan, oleh "7he International Commission of Juristyy,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut "The
International Commission of Jurists " itu adalah:
1. Negara hams tunduk pada hukurn.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau
Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern15.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalarnnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya
'Law in a Changing Society' membedakan antara 'rule of law' dalam arti formil
yaitu dalam arti 'organized public power', dan 'rule of law' dalam arti materiel
yaitu 'the rule ofjust law'.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam
konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan tenvujud secara
substantif, temtama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat
Is Utrecht Pengantar Hukum Administrasi Negara fndonesza, jakma: I - ~ " , 111. 7.
dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh
aliran pikiran hukum materiel. Jika hukurn dipahami secara kaku dan sempit
dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara
hukurn yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belurn tentu
menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah 'the rule of law'
oleh Friedman juga dikembangikan istilah 'the rule of just law' untuk
memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang 'the rule of law' tercakup
pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfimgsikan
peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang
digunakan tetap 'the rule of law', pengertian yang bersifat luas itulah yang
diharapkan dicakup dalam istilah 'the rule of law' yang digunakan untuk
menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, terdapat dua-belas prinsip pokok
Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas
prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri
tegaknya satu negara modem sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum
(The Rule of law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.
Adapun prinsip-prinsip dimaksud adalah sebagai berikut: l 6
l6 Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Papper. Disampaikan dalam Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas ~ r iwi ja~a-pa lembig , 23 ~ a r $ 2004 dalam Simbur Cahaya No. 25 TahunlXMei 2UU4 I S S T m - 1 4
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law); Adanya pengakuan normatif dan
empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law); Adanya persamaan
kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara
normative dan dilaksanakan secara empirik.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law); Dalam setiap Negara Hukum,
dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due
process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
4. Pembatasan Kekuasaan; Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-
organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara
vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
5. Organ-Organ Eksekutif Independen; Dalam rangka membatasi kekuasaan itu,
di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan
pernerintahan yang bersifat 'independent', seperti bank sentral, organisasi
tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-
lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum,
lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga,
badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada
dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen
eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian
pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan
oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Mernihak, Adanya peradilan yang bebas dan tidak
memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak
mernihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukurn. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun
juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang
(ekonomi).
7. Peradilan Tata Usaha Negara; Meskipun peradilan tata usaha negara juga
menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi
penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu
ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pej abat
administrasi Negara d m dijalankannya putusan hakirn tata usaha negara
(administrative court) oleh pejabat adrninistrasi negara.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); Di sarnping adanya pengadilan
tata usaha negara yang diharapkan memberikan jarninan tegaknya keadilan
bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modem juga lazim
mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia; Adanya perlindungan konstitusional
terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan
penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghonnatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri
yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis.
10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat); Dianut dan
dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin
peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan,
sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan
ditegakkan mencenninkan perasaan keadilan yang hidup di tengah
masyarakat .
1 1 .Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat); Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama.
12.Transparansi dan Kontrol Sosial; Adanya transparansi dan kontrol sosial yang
terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga
kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan
resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat
secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan
kebenaran.
I Sementara itu, cita Negara Hukum di Indonesia menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak
kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide
I Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalarn Penjelasan
I ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide 'rechtsstaat ', bukan 'machtsstaat '.
Guna menjamin tertib hukum, penegakan hukum, dan tujuan hukurn,
fungsi kekuasaan kehakirnan atau lembaga peradilan berperan penting, terutama
fungsi penegakan hukurn dan fungsi pengawasan. Dalam penegakan hukum atau
pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum atau pembentukan
hukum.17
b Fungsi lain yang juga sangat penting adalah fungsi pengawasan dari
lembaga peradilan. Dalam negara hukum moderen, kekuasaan pemerintah sangat
luas, terutama dengan adanya delegasi dari pembentuk undang-undang kepada
pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan, dan freies Emessen. Dengan
demikian peran pembentuk undang-undang berkembang, dari pembentuk norma-
liorma menjadi pembentuk undang-undang yang memberikan wewenang kepada
pemerintah. Oleh karena itu menurut Ltinshof, harus ada pengawasan pengadilan
terhadap pelaksanaan pemerintahan. Pengawasan dimaksud adalah pengawasan
represif melalui lembaga peradilan.
Salah satu lembaga peradilan tersebut adalah Badan Peradilan Tata Usaha
Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dengan fungsi
--- - " Sudikno Mertokusumo, fib-bab r enta- ... up . e M J ., . T .
yang dijalankan peradilan, yaitu untuk menjamin tertib hukum, penegakan
hukurn, dan pencapaian tujuan hukum, ketertiban dan keadilan sosial bagi seluruh
warga negara. Berkaitan dengan pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Pengadilan Tata
Usaha Negara Yogyakarta perkara No : 1 OlGl20 1 ORTUN-YK dalam sengketa
Kepegawaian perlu adanya pelaksanaan h g s i peradilan tersebut serta
pengawasan terhadap pelaksanaan Putusan tersebut agar tercapainya tujuan
hukum serta pengawasan terhadap Keputusan Pemerintah atau Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara agar tercapai keadilan bagi pencari keadilan yang merasa
dirugikan atas KTUN tersebut, dari teori-teori yang berkembang dapat ditemukan
konsepsi negara hukurn khususnya Hukurn Administrasi Negara yang diharapkan
dapat mengawasi dan membatasi tindakan hukum Pemerintah (dalam arti luas)
yang selanjutnya dalam Hukum Administrasi Negara dikenal istilah tindakan
Hukum Administrasi (administratieve rechtshandeling) serta Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang dinilai cacat, keliru, sewenang-wenang, atau tidak sesuai
dengan Undang-undang serta Asas-asas Umurn Pemerintahan yang Baik.
B. Pertimbangan Hakim
1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan tenvujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping
. . ltu juEa mengandung manfaat bagi para g r h a k y a n g b e s & - E P h g ~ ~
pertimbangan hakim ini hams disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
TinggiMahkamah gun^.'*
Hakirn dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya
pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang
paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan
untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwalfakta yang diajukan itu
benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa
peristiwalfakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.19
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga
memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak
disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut
semua faktakal-hal yang terbukti dalam persidangan.
'' Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V , Pustaka Pelajar: -- Yogyakarta, 2004, hlm. 140 '' Zbid. hlm.141
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus
dipertimbangkanldiadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbuktiltidaknya dan dapat
dikabulkdtidaknya tuntutan tersebut da lm mar putusan."
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan
kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan
hasil penelitian yang maksirnal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek.
Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakirnan, di mana hakirn
merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menj adi tolak
ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Pokok kekuasaan kehakiman diatur
dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di
dalam Undang-undang Nomor 48 t a b 2009.
Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan
kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama
dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik
-- *'Ibid. hlm. 142
Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
~ndonesia .~~
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam
ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari
segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal24
ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan urnurn, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
mahkamah k~ns t i tus i .~~
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak
memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah
tidak memihak di sini haruslah tidak hariiah, karena dalam menjatuhkan
putusannya hakim hams memihak yang benar. Dalam ha1 ini tidak diartikan
tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya
2' Ibid., hlm. 142
- '' An& Hamzah, R T P F d u n ~ ~ ~ k a ~ + hlrn. 94
perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): "Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang".23
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan
dengan tidak mernihak. Hakim dalarn memberi suatu keadilan harus menelaah
terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya
kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan
menghubungkannya dengan hukurn yang berlaku. Setelah itu hakim baru
dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya.
Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48
Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk merneriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukurn tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk
bercennin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukurn terkenal
(doktrin). Hakim dalarn memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada
nilai-nilai hukum yang hidup dalarn masyarakat, hal ini dijelaskan dalarn
Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: "Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat".
23 Ibid., hlm. 95
C. Putusan Pengadilan
1. Arti Putusan Pengadilan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila
pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses
pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban dari
tergugat sesuai Pasal 12 1 HIR, Pasal 1 13 Rv, yang dibarengi dengan replik
dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan
dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi. Jika semua tahap
ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan
proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan.
Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi
Majelis untuk menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak
yang berperkara.24 Putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat
pertama. Dan mernang tujuan akhir proses pemeriksaan perkara di PA,
diambilnya suatu putusan oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang
disengketakan. Berdasarkan putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun
hubungan hukum para pihak dengan objek yang disengketakan. Sehubungan
dengan itu, dapat dikemukakan berbagi segi yang berkaitan dengan putusan.
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan
penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian
I4 M. Yahya Harahap, Hukurn Acara ~ i € i r a f i k ~ Q & h h 7P7
dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh tergugat
selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin
dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara
2. Asas Putusan
Pembahasan mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang
diljatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178
HIR, Pasal 189 RBG, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal
18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan ~ehak iman) .~~
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan hams berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi
ketentuan itu dikatagorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau
onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement. Alasan-alasan hukum
yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan: Pasal-pasal
tertentu peraturan perundang-undangan, Hukum kebiasaan,
Yurisprudensil, atau Doktrin hukum.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970,
sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal
25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa segala
'' Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2004, hlm.
putusan Pengadilan h a s memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan
dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu
yang disangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum
tertulis maupun yurisprudensil atau doktrin hukum. Bahkan menurut Pasal
178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya atau secara ex oficio, wajib
mencukupkan segala cara alasan hukum yang tidak dikemukakan para
pihak yang be~-~erkara?~
Untuk memendu kewajiban itu, Pasal 27 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970, sebagimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999, sekarang
dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 memerintahkan hakim
dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Menurut penjelasan pasal ini, hakun berperan dan bertindak
sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan
masyarakat.
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua, digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189
ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan hams total dan menyeluruh 1 memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh
hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan
selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang
digariskan undang-undang.28
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Asas lain, digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat
(3) RBG dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulakn melebihi
tuntutan yang dikemukakan dalarn gugatan. Larangan ini disebut ultra
petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupu
petitum gugat, dianggap telah melarnpaui batas wewenang atau ultra
viresyakni bertindak melarnpaui wewenangnya (beyond the powers of his
authority).29
Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat
(invalid) meskipun ha1 itu dilakukan hakim dengan iktikad baik (good
faith) maupun sesuai dengan kepentingan urnum (ptiblic interest).
Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat,
dapat dipersarnakan dengan tindakan yang tidak sah (ilegal) meskipun
dilakukan dengan iktikad baik.30
Oleh karena itu, hakim yang melanggar prinsip ultra petiturn, sama
dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law:
28 Ibid., hlm. 800 "Tim Visi Yustisia. Panduan Lulus Ujian Profesi Advokat, Jakarta: Visimedia, 2014, hlm.
--
a Harahav, Hukurn Acara Perdata, Sinar tirall#a: S a k a r ~ 0 ~ & 8 2
1) Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal dengan
prinsip rule of law, semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum
(accordance with the law),
2) Tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut,
nyata-nyata melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178
ayat (3) HIR kepadanya, padahal sesuai dengan prinsip rule of law,
siapun tidak boleh melakukan tidak boleh melakukan tindakan yang
melampaui batas wewenangnya (beyond the powers of his authority).
d. Diucapkan di Muka Umum
Prinsip Keterbukaan untuk Umum Bersifat Imperatif. Persidangan
dan putusan diucapakan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum atau di muka umum, merupakan salah satu bagian yang tidak
terpsahkan dari asas fair trial.31 Menurut asas fair trial, pemeriksaan
persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir.
Dengan demikian, prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal
pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian asas fair trial.
Dalarn literatur disebut the open justice principle.
Tujuan utamanya, untuk menjamin proses peradilan terhindar dari
perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan.32 Melalui prinsip
terbuka untuk u r n , dianggap memiliki efek pencegah (deterrent eflect)
3' GatcdXoemartono, Arbitrase dun Mediasi di Indonesia, Jakarta: Grarnedia, 2005, hlm. 12 32 kLYahp Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Gralika: Jakartm-803
terjadinya proses peradilan yang bersifat berat sebelah (partial) atau
diskriminatif, karena proses pemeriksaan sejak awal sampai putusan
dijatuhkan, dilihat, dan didengar oleh publik. Bahkan dipublikasi secara
luas. Hal ini membuat hakim lebih berhati-hati melakxkan kekeliruan
(error) dan penyalahgunaan wewenang pada satu supaya pemeriksaan
dilakukan dalam sidang terbuka untuk urnurn oleh sekurang-kurangnya
tiga orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam Acara
Pidana, prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 64 KUHAP. Terdakwa berhak
diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk um~rn .~ )
Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) jo Pasal20 UU No. 4 Tahun 2004 di
atas, pelanggaran atas prinsip keterbukaan dimaksud mengakibatkaan
putusan yang dijat~hkan:~'
1) Tidak sah, atau
2) Tidak mempunyai kekuatan hukum.
e. Dalam Hal Pemeriksaan secara Tertutup, Putusan Tetap diucapkan dalam
Sidang Terbuka
Dalam kasus tertentu, peraturan perundang-undangan
membenarkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup. Akan tetapi,
pengecualian ini sangat terbatas.
f. Diucapkan di Dalam Sidang Pengadilan
33 Ibid., hlm. 804 34 [bid. hlm. 804
Prinsip pemeriksaan dan pengucapan putusan yang terbuka untuk
urnurn dilakukan dalam sidang gedung pengadilan yang ditentukan untuk
itu. Hal ini jauh hari sudah ditegaskan dalam SEMA No. 04 Tahun 1974.
Selain persidangan harus terbuka untuk umum, pemeriksaan dan
pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukurn apabila
dilakukan dalam sidang pengadilan. Menyimpang dari ketentuan itu,
mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunai kekuatan.
Praktik persidangan ang dilakukan dalam ruang kerja hakim,
merupakan pelanggaran tata tertib beracara ang digariskan Pasal 121 ayat
(1) HIR dan Pasal18 UU 1Vo. 14 Tahun 1970, sekarang pasal20 UU No. 4
Tahun 2004, yang menentukan pemeriksaan perkara dan pengucapan
dilakukan secara terbuka didalam sidang pengadilan. Apabila jika
pemeriksaannya dilakukan secara tertutup, semakin terjadi pelanggaran
yang bersifat ganda.35
Dalam hal-hal tertentu dibenarkan melakukan pemeriksaan di luar
ruangan sidang gedung pengadilan. Seperti pemeriksaan setempat atas
barang objek perkara, Pasal 153 ayat (1) HIR membenarkan pemeriksaan 1 persidangan dilakukan ditempat barang terletak. Begitu juga sidang
pengucapan sumpah, memang pada prinsipnya dilakukan di ruang sidang
pengadilan. Akan tetapi, dalam ha1 tertentu Pasal 158 ayat (1) HIR, Pasal
- -- 35 Ibid., hlm. 805
1944 KUH Perdata, membolehkan sidang pengucapan sumpah di rumah
pihak yang diperintahkan mengucapkannya. Jadi, sepanjang undang-
undang membolehkan pemeriksaan di luar mang sidang gedung
pengadilan, boleh dilakukan pemeriksaan, tetapi ha1 itu tidak boleh
melanggar prinsip:36
1) Pemeriksaan berlangsung terbuka untuk mum, dan
2) Putusan tetap mesti diucapakan di ruang sidang gedung pengadilan
dengan cara terbuka untuk urnum.
g. Radio dan Televisi Dapat menyiarkan langsung Pemeriksaan dari Ruang
Sidang
Berdasarkan argumentasi, beberapa negara telah membolehkan
penyiaran dan penyangan radio dan televisi langsung dari mang sidang
pengadilan. Akan tetapi, kebolehan itu tidak bersifat absolut. Terdapat
beberapa pembatasan (restriction) yang hams taati, antara lain:
1) Pemasangan karnera televisi tidak boleh mengganggu proses
pemeriksaan persidangan,
2) Harus lebih mengutarnakan reportase akurat berdasarkan fair trial
daripada mengedepankan liputan highlight yang bersifat dan bemilai
hiburan (entertainment) komersial,
-- 36 Bid. hlm. 806
3) Tidak dibenarkan menyorot dan menayangkan saksi yang harus
dilindungi,
4) Tidak dibenarkan memberi reportase apalagi yang berbentuk komentar
(comments) yang berkenaan dengan ha1 yang bersifat pridadi (privacy)
dan konfidensial dari pihak yang berperkara,
5) Pembatasan yang berhubungan dengan kepentingan publik, yakni tidak
dibenarkan berkomentar mengenai hal-hal yang berkenan dengan teknis
dan administrasi peradilan yang dapat mernpersulit jalannya proses
pemeriksaan.
3. Formulasi Putusan
Formulasi adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan
dalam putusan agar memenuhi syarat perundang-undangan. Secara garis
besar, formulasi putusan diatur dalam Pasal 14 ayat (1) HIR atau Pasal 195
RBG. 37 Bertitik tolak dari pasal-pasal di atas, terdapat beberapa unsur
formulasi yang hams tercantum dalam putusan.
a. Memuat secara Ringkas dan Jelas Pokok Perkara, Jawaban, Pertimbangan
dan Arnar Putusan
Mengenai apa saja yang mesti tercantum dalam putusan adalah
hal-hal berikut:
1) Dalil gugatan
" M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 2006, hlm. 807
2) Mencantumkan jawaban tergugat
3) Uraian singkat ringkasan dan lingkup pembuktian
4) Pertimbangan hukum
5) Ketentuan perundang-undangan
6) Arnarputusan
b. Mencanturnkan Biaya Perkara
Hal lain yang mesti tercantum dalam fomulasi putusan berkenan
dengan biaya perkara. Mengenai prinsip dan komponen biaya perkara
diatur dalam Pasal 18 1-12 HIR, Pasal 192-1 94 RBG. Dapat dijelaskan hal-
hal berikut:
I ) Prinsip pembebanan biaya perkara
2) Pembebanan meliputi biaya putusan sela
3) Biaya putusan verstek kepada yang dijatuhkan verstek
4) Pembebanan biaya tambahan panggilan
5) Kornponen biaya perkara38
4. Mencari dan Menemukan Hukum
Dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim tidak
hanya be-gsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, sehingga para
pihak yang berperkara menaati aturan main sesuai dengan tata tertib beracara
yang digariskan hukum acara. Fungsi dan kewajibaan mencari dan
-- 38 P a d m Wahyono, et.al., Pejabat Sebagai Calon Tergugat dalarn Peradian Tata Usaha Jakarta : Sri Rahayu, 1989, him. 33 +
menemukan hukum objektif atau materil yang &an diterapkan kepada perkara
yang diperiksa, berkaitan dengan asas-asas yang diuraikan sebagai b e r i k ~ t : ~ ~
a. Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara
b. Prinsip curia novit jus
c. Mencari dan menemukan hukum objektif dari sumber hokum
Upaya mencari dan menemukan hukum objektif yang hendak
diterapakan, hams dari sumber hukurn yang benar, antara lain:
1) Ketentuan hukurn positif
2) Dari sumber hukurn tidak tertulis
3) Yurisprudensil
4) Traktat
5) Dolctrin
5. Otonomi Kebebasan Hakim Menjatuhkan Putusan
Pengadilan dalam hukurn dan masyarakat demokrasi, merupakan
tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Dalam melaksanakan fungsi
otonomi kebebasan hakim mengadilii perkara, ada beberapa prinsip yang
perluh diperhatikan .40
a. Pengadilan sebagai katup penekan
b. Pengadilan sebagai pelaksana penegak hukum
Dalarn kedudukan yang demikian, ada dua fungsi, yaitu:
39 M. Yahya Harahap, Hukurn Acara Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 2006, hlm. 820 -- -- 40 ThirLhlm, 853
1) Sebagai penjaga kemerdekaan anggota masyarakat
2) Sebagai wadi masyarakat
c. Kebebasan tidak bersifat mutlak
Kebebasan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehaakirnan
melalui badan peradilan dalam menyelesikan sengketa adalah sebagai
berikut:
1) Mutlak bebas dan merdeka dari campur tangan ekstra yudisial
2) Kebebasan relatif menerapkan hukum
d. Secara fundamental tidak demokratis
e. Hakim memeiliki imunitas personal yang total
6. Putusan ditinjau dari Berbagai Segi
Secara urnurn putusan pengadilan diatur dalarn Pasal 15 HIR, Pasal
196 RBG, dan Pasal 46-68 Rv. Tanpa mengurangi ketentuan lain, seperti
Pasal 10 HIR, Pasal 191 RBG yang mengatur putusan provisi maka
berdasarkan pasal-pasal yang disebutkan, dapat dikemukakan berbagai segi
putusan pengadilan yang dijatuhkan hakim."
a. Dari aspek ketidak hadiran para pihak
Untuk mengantisipasi tindakan keingkaran yang demikian,
undang-undang memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan
putusan, sebagai ganjaran atas tindakan tersebut. Sehubungan dengan itu,
-- 41 Ibid, hlm. 872
berdasarkan faktor keingkaran menghadiri persidangan tanpa alasan yang
sah, undang-undang memeprkenalakan bentuk-bentuk putusan yang dapat
dij atuhkan hakim.
1) Putusan gugatan gugur
2) Putusan verstek
b. Putusan ditinjau dari sifatnya
Ditinjau dari segi sifatnya, yang terpenting di antaranya sebagai
berikut:
1) Putusan deklarator
2) Putusan constitutief
3) Putusan condemnator
c. Putusan ditinjau pada saat penjatuhannya
Ditinjau dari segi saat putusan dijatuhkan, dikenal beberapa jenis
putusan yang dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1) Putusan sela
2) Putusan akhir
BAB 111
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan
Smara teoritik, putusan hakim memiliki tiga macam kekuatan yaitu:42
a. kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat diganggu gugat
lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat mengikat
(bindende kracht, binding force).
b. kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti oleh para
pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau
juga untuk eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berperkara sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalarn
putusan tersebut.
c. kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukurn yang tetap
atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk
dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power).
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim
mempunyai 3 (tiga) macam k e k ~ a t a n : ~ ~
42 Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993,
a. Kekuatan Mengikat, Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak
secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang
menentapkan hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk
menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau
hukurnnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan
mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk
diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak
yang sangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan.
Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah
pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan
putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat
kedua belah pihak (Pasal 1917 BW). Terikatnya para pihak kepada
putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberikan
dasar tentang kekuatan mengikat dari pada putusan;44
1) Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan
yang lazirnnya disebut "gezag van gewijisde" mempunyai sifat hukum
materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan
kewajiban keperdataan; menetapkan, menghapuskan atau mengubah.
43 Sudikno Mertokusumo, Hukurn Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1998, hlm. 182
- - 1 ~ & - h m 3 ~ ----
Menurut teori ini putusan dapat menimbulkan atau meniadakan
hubungan hukum. Jadi putusan merupakan sumber materiil. Disebut
juga ajaran hukurn materiil karena memberi akibat yang bersifat
hukum pada putusan. Mengingat bahwa putusan hanya mengikat para
pihak dan tidak memberi wewenang untuk mempertahankan hak
seseorang terhadap pihak ketiga dan saat ini ajaran ini telah
ditinggalkan.
2) Teori Hukum Acara
Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukurn materiil
melainkan sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini
bersifat hukum acara yaitu diciptakan nya atau dihapuskannya
wewenang dan kewajiban prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab
suatu putusan bukanlah sematamata hanyalah sumber wewenang
prosesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti tentang
hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa.
3) Teori Hukum Pmbuktian
Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang
ditetapkan didalarnnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh
karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak
diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak
penganutnya.
4) Terikatnya para Pihak pada Putusan
Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti
positif dan negatif, yakni ;
a) Arti positif, arti positif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah
bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai
positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap
benar (res judicata pro veritate habetur), Pembuktian lawan tidak
dimunglunkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada
undangundang Ps. 191 7- 1920 BW.
b) Arti negatif, arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan
ialah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah
diputus sebelum nya antara para pihak yang sama serta mengenai
pokok perkara yang sarna. Ulangan dari tindakan itu tidak akan
mempunyai akibat hukum : Nebis in idem (ps. 134 Rv). Kecuali
didasarkan atas pasal 134 Rv, kekuatan mengikat dalam arti
negatif ini juga didasarkan asas "litis finiri oportet" yang menjadi
dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya
hukum; apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim
tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Di dalarn hukum acara
kits putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti
positif maupun dalam arti negatif.
5 ) Kekuatan hukurn yang pasti Suatu putusan memperoleh kekuatan
hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewisjde) apabila tidak ada
lagi upaya h u b biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa adalah
perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan
hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun
oleh Pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum
khusus y h request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.
Pendapat para ahli hukum lain, ada yang berpandangan bahwa suatu
putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat yang negatif kalau
belurn mempunyai kekuatan hukurn yang pasti dan sejak mempunyai
kekuatan hukurn yang pasti memperoleh kekuatan hukurn yang
positif, maka putusan yang belurn mempunyai kekuatan hukum yang
pasti sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif. Putusan yang
dijatuhkan hams dianggap benar dan sejak diputuskan para pihak
harus menghorrnati dan mentaatinya.
b. Kekuatan Pembuktian
Putusan pengadilan dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis
yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat &gunakan
sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk
I mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Putusan itu sendiri
merupakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti.
c. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau sengketa dan menetapkan hak atau hukurnnya. Ini tidak berarti
semata-mata hanya menetapkan hak atau hukurnnnya saja melainkan juga
realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan
i mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak
berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan.
Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya
untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan
dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Suatu putusan
memperoleh kekuatan eksekutorial, apabila dilakukan oleh Peradilan di
Indonesia yang menganut "Derni Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang
Maha Esa" (Ps. 4 ayat 1 Undangundang No. 4 tahun 2004) dan semua
putusan pengadilan di seluruh Indonesia hams diberi kepala di bagian
atasnya yang berbunyi "Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang
Maha Esa" (Ps. 435 Rv jo. Ps. 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun
2004) 12.
Bedasarkan uraian tersebut di atas, kekuatan mengikat putusan pengadilan
adalah suatu kemestian yang praktis berhubung dengan tujuan acara perdata, yaitu
untuk menentukan bagaimana pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah
pihak untuk menentukan hukum menguasai soal yang menjadi perkara itu. Untuk
dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa diperlukan suatu
putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan
pengadilan dimaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan
dan mempercayakan sengketanya pada pengadilan atau hakim untuk diperiksa
atau di adili, ha1 ini mengandung pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan
patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah
dihormati kedua belah pihak.
B. Teori Penyelesaian Sengketa Kepegawaian
Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986, merumuskan pengertian Sengketa
Tata Usaha lVegara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau Badan Hukurn perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan TUN.^' Keputusan Tata Usaha Negara merupakan
penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang berwenang,
. . 45 Philip Hadion, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada =lty Press, 2008. hlm. 3 14
berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan bersifat
konkrit, individual dan final.
Sengketa Kepegawaian adalah sengketa/perselisihan yang timbul sebagai
akibat ditetapkannya keputusan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian
oleh Badan atau Pejabat yang berwenang mengenai kedudukan, kewajiban,
hak dan pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Masalah Sengketa Kepegawaian
diatur dalam : Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan penyelesaian sengketa di
bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian
dari Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sengketa Kepegawaian merupakan salah satu bagian dari sengketa Tata
Usaha Negara (TUN) dan keputusanlpenetapan di bidang kepegawaian
merupakan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN). Sengketa-
sengketa di bidang kepegawaian tidak ditangani secara langsung oleh suatu
Peratun, namun terlebih dahulu harus diselesaikan melalui suatu proses yang
mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh
seorang pejabat di lingkungan pemerintahan. Proses tersebut di dalam ilmu
hukum disebut peradilan semu (quasi rechtspraak). Dikatakan sebagai
eradilan, Ear- ' ' mm+ms+dq&qauatubadan peradilan yaitu
1 adanya peraturan, adanya pihak-pihak yang bersengketa, adanya pejabat yang
berwenang menyelesaikan sengketa dan adanya sanksi. Dalam bukunya, Lutfi
Effendi menyatakan bahwa dikatakan semu(quasi), karena proses peradilan
tersebut dilaksanakan di dalam internal lingkungan pemerintahan tetapi tata
caranya sama dengan suatu badan peradilan, kegiatan peradilan dilakukan
oleh suatu badan atau komisi atau dewan atau panitia, dan bukan dilaksanakan
I oleh lembaga peradilan independen di luar lingkungan pemerintahan,46
Pengelolaan kepegawaian memang sangat rawan dengan masalah
Sengketa Kepegawaian, karena berkaitan dengan penerbitan atau penetapan
Keputusan Tata Usaha Negara bidang kepegawaian, antara lain berupa :
Keputusan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS),
Keputusan pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Keputusan
pengangkatan dalam pangkat (untuk kenaikan pangkat), Keputusan
pengangkatan dalam jabatan struktural dan jabatan hgsional, Keputusan
pemberhentian sementara sebagai PNS, Keputusan penjatuhan hukuman
disiplin, dan Keputusan pemberhentian sebagai PNS.
Untuk dapat dikategorikan sebagai sengketa kepegawaian, maka hams
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : subyek yang bersangkutan adalah
PNS di satu pihak sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara di lain pihak sebagai Tergugat, obyek sengketa adalah Keputusan
TUN di bidang kepegawaian mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan
-46 Lutfzffendi, Pokok-Pokok Hukurn Administvasi, Malang: Bayumedia, 2004, hlm. 97
pembinaan PNS, mengingat keputusan TUN di bidang kepegawaian
merupakan obyek sengketa, dalam praktek peradilan kernungkinan terjadi
perkembangan bahwa subyek yang bersengketa tidak hanya PNS yang
bersangkutan, tetapi bisa juga jandalduda PNS serta anak-anaknya sebagai
Penggugat dalam sengketa kepegawaian. Keputusan TUN bidang
kepegawaian dapat dianalogikan dengan keputusan TUN sebagaimana diatur
pada Pasal 1 angka 9 UU No. 5 1 Tahun 2009.
Sengketa Kepegawaian dapat terjadi oleh berbagai faktor diantaranya :
kesalahan penulisan identitas PNS seperti nama, tanggal lahir, NIP, pangkat
atau jabatan, kesalahan dalam keputusan kenaikan pangkat, kesalahan dalam
keputusan pengangkatan dalam jabatan struktulan dan fungsional,
ketidakpuasan PNS dalam keputusan penjatuhan hukurnan disiplin,
keterlambatan penyelesaian permohonan izin perkawinan dan perceraian.
Pada dasarnya hak untuk membela kepentingan hukum merupakan salah
satu bentuk hak asasi yang dimiliki oleh seseorang/sekelompok orang. Untuk
itu hak untuk membela kepentingan hukurn, khususnya dalarn hubungan
dengan Keputusan TUN telah diatur dalam Pasal53 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN.
Alasan gugatan Sengketa Kepegawaian adalah : Keputusan Badan atau
Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (baik yang
bersifat formal, prosedur maupun materiil/substansial) dan yang
-ann~a oleh-adanl~ej
TUN dengan keputusannya telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain daripada wewenang yang diberikan (detournement de pouvoir), Badan
atau Pejabat TLIN mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan secara
tidak patut (willekeur).
Putusan Pengadilan dan KTUN
1. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian
Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986, merumuskan pengertian
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan TUN.^^ Keputusan Tata Usaha Negara merupakan
penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang berwenang,
berisi tindakan hukurn berdasarkan peraturan perundang-undangan bersifat
konkrit, individual dan final.
Sengketa Kepegawaian adalah sengketa/perselisihan yang timbul
sebagai akibat ditetapkannya keputusan Tata Usaha Negara di bidang
kepegawaian oleh Badan atau Pejabat yang berwenang mengenai kedudukan,
kewajiban, hak dan pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Masalah Sengketa
Kepegawaian diatur dalam : Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
47 Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2008. hlm. 314
tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan penyelesaian sengketa
di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian
dari Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
tentang Pembahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai lVegeri Sipil.
Sengketa Kepegawaian merupakan salah satu bagian dari sengketa
Tata Usaha Negara (TUN) dan keputusdpenetapan di bidang kepegawaian
merupakan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).~~ Sengketa-
sengketa di bidang kepegawaian tidak ditangani secara langsung oleh suatu
Peratun, namun terlebih dahulu hams diselesaikan melalui suatu proses yang
mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tirn atau oleh
seorang pejabat di lingkungan pemerintahan. Proses tersebut di dalam ilmu
hukurn disebut peradilan semu (quasi rechtspraak). Dikatakan sebagai
peradilan, karena memenuhi unsur-unsur layaknya suatu badan peradilan yaitu
adanya peraturan, adanya pihak-pihak yang bersengketa, adanya pejabat yang
benvenang menyelesaikan sengketa dan adanya sanksi. Dalam bukunya, Lutfi
Effendi menyatakan bahwa dikatakan semu(quasi), karena proses peradilan
tersebut dilaksanakan di dalam internal lingkungan pemerintahan tetapi tata
caranya sarna dengan suatu badan peradilan, kegiatan peradilan dilakukan
48 AMullah Gofar, Teon' dun Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Malang:
oleh suatu badan atau komisi atau dewan atau panitia, dan bukan dilaksanakan
oleh lembaga peradilan independen di luar lingkungan pemerintahan.49
Pengelolaan kepegawaian memang sangat rawan dengan masalah
Sengketa Kepegawaian, karena berkaitan dengan penerbitan atau penetapan
Keputusan Tata Usaha Negara bidang kepegawaian, antara lain berupa :
Keputusan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS),
Keputusan pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Keputusan
pengangkatan dalarn pangkat (untuk kenaikan pangkat), Keputusan
pengangkatan dalam jabatan struktural dan jabatan fungsional, Keputusan
pemberhentian sementara sebagai PNS, Keputusan penjatuhan hukuman
disiplin, dan Keputusan pemberhentian sebagai PNS.
Untuk dapat dikategorikan sebagai sengketa kepegawaian, maka harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : subyek yang bersangkutan adalah
PNS di satu pihak sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara di lain pihak sebagai Tergugat, obyek sengketa adalah Keputusan
TUN di bidang kepegawaian mengenai kedudukan, kewajiban, h a . dan
pembinaan PNS, mengingat keputusan TUN di bidang kepegawaian
merupakan obyek sengketa, dalam praktek peradilan kemungkinan terjadi
perkembangan bahwa subyek yang bersengketa tidak hanya PNS yang
bersangkutan, tetapi bisa juga jandaiduda PNS serta anak-anaknya sebagai
Penggugat dalam sengketa kepegawaian. Keputusan TUN bidang
a d i . Pokok-Pokok Hukum Administrasz, m f a ~ d ~ O ~ A 7
kepegawaian dapat dianalogikan dengan keputusan TUN sebagaimana diatur
pada Pasal 1 angka 9 UU No. 5 1 Tahun 2009.
Sengketa Kepegawaian dapat terjadi oleh berbagai faktor diantaranya :
kesalahan penulisan identitas PNS seperti nama, tanggal lahir, NIP, pangkat
atau jabatan, kesalahan dalam keputusan kenaikan pangkat, kesalahan dalam
keputusan pengangkatan dalam jabatan struktulan dan fungsional,
ketidakpuasan PNS dalam keputusan penjatuhan hukurnan disiplin,
keterlambatan penyelesaian permohonan izin perkawinan dan perceraian.
Pada dasarnya hak untuk membela kepentingan hukurn merupakan
salah satu bentuk hak asasi yang dirniliki oleh seseorang/sekelompok orang.
Untuk itu hak untuk membela kepentingan hukurn, khususnya dalam
hubungan dengan Keputusan TUN telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN.
Alasan gugatan Sengketa Kepegawaian adalah : Keputusan Badan atau
Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (baik yang
bersifat formal, prosedur maupun materiil/substansial) dan yang
dikeluarkannya oleh BadanPejabat TUN yang berwenang, Badan atau Pejabat
TUN dengan keputusannya telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain daripada wewenang yang diberikan (detournement de pouvoir), Badan
atau Pejabat TUN mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan secara
tidak patut (willekeur).
2. Keputusan TUN sebagai Objek Sengketa
Ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986, berbunyi :
"Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di dalam Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam penjelasan UU tersebut dikonfimasikan bahwa istilah
"sengketa" tersebut mengandung arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan
hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha dalam mengarnbil keputusan pada
dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal
atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengalubatkan
kerugian bagi orang atau badan hukurn perdata tertentu, maka menurut azas
hukurn Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan
kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Berturnpu pada rumusaddefinisi di atas, Muchsan, SH
mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu
sengketa Tata Usaha Negara yaitu :
a. Hams ada perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun kewajiban
sebagai akibat dari penerapan hukum tertentu. Ini bahwa sengketa itu
timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh
pejabat Tata Usaha Negara.
b. Sengketa itu terletak dalam bidang Tata Usaha Negara.
c. Subjek yang bersengketa adalah individuhadan hukurn perdata atau
sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara
sebagai pihak tergugat semua berhak tampil sebagai penggugat dalam
mepertahankan hak-haknya.
d. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha
Negara. Ini berarti bahwa keputusan Tata Usaha Negara merupakan
causa prima bagi timbulnya sengketa Tata Usaha ~ e ~ a r a . "
Sedangkan Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH
berpendapat bahwa unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :
a. Subjeknya atau pihak yang bersengketa orang atau badan hukurn privat di
satu pihak dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.
b. Objek sengketa ialah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat Tata Usaha ~ e ~ a r a . "
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses singkatan Tata Usaha
Negara terdapat dua subjek sengketa para pihak yang bersengketa di muka
Peradilan Tata Usaha Negara yaitu lazim disebut sebagai pihak penggugat
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Ne ova di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlrn. 58-59
~~Baharudd in Lopa dan A. Hamrah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negma, Sioar Gafika, A r t a . hlm. 47
dan pihak tergugat. Mengenai siapa mempunyai hak menggugat atau
penggugat berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat (I) UU No. 5711986 adalah
mereka yang kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha
Negara.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 4 di atas, maka hanya orang
atau Badan Hukum Perdata sajalah yang berkedudukan sebagai subjek yang
dapat mengajukan gugatan. Orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat
tampil sebagai penggugat adalah hanya orang atau badan hukurn perdata
yang kepentingannya terkena langsung oleh akibat hukum Keputusan Tata
Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Mucshan, SH memberikan kesimpulannya, bahwa untuk dapat berperan
sebagai penggugat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Berbentuk individu atau badan hukum perdata, berarti suatu perkumpulan
atau organisasi yang tidak berbadan hukum dengan akte authenik tidak
dapat tampil sebagai penggugat
b. Terkena langsung oleh akibat hukurn yang timbul dari berlakunya suatu
keputusan Tata Usaha Negara.
c. Menderita kerugian yang konkrit, artinya kerugian yang dapat dinilai
dengan uang (geld ~ a a r d e ) . ~ ~
Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan
(onbekwaam) melakukan perbuatan hukurn atau menghadap di muka
52 csh n. Op.Cit, hal. 63
pengadilan, sehingga tidak dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata
Usaha Negara. Badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke
Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau perkurnpulan atau organisasi
atau koperasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan
BW (KUH Perdata) atau peraturan lainnya, yang telah merupakan Badan
Hukurn (rechsperson).
Martiman Prodjohamidjojo, SH mengemukakan bahwa untuk adanya
perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak
menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara diperlukan 3 syarat yakni :
a. Adanya lapisan anggota terlihat dari administrasinya
b. Merupakan organisasi dengan tujuan tertentu, sering diadakan rapat
periodik pemilihan pengurus, adanya kerjasarna antara anggota dengan
tujuan fungsional
c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai kesatuan
Bila kelompok atau perkumpulan itu memenuhi ketiga persyaratan
tersebut dapat mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 1 UU 5/1986.
Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat telah dirurnuskan di
dalam pasal 1 butir 6 UU No. 5/1986 yaitu : "Tergugat adalah badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat
oleh orang atau badan hukurn perdata. Tergugat itu dapat berbentuk tunggal
Kemudian mengenai apa yang menjadi objek sengketa TUN secara
jelas dapat diketahui dari definisilrumusan yang tercantum dalam Pasal 1 butir
4 UU No. 511986 yang dikutip & atas. Dari m u s a n tersebut dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi objek sengketa TUN d i u s k a n peradilan
TUN adalah keputusan TUN, sehingga sengketa TUN tersebut selalu
berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan TUN. Keputuan TUN yang
dapat dijadikan sebagai objek sengketa harus memenuhi unsw-unsur
penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan dan disyaratkan dalarn pasal
1 butir 3 yang berbunyi : "Keputuan TUN adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat kongkret, individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata".
Indroharto, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 butir 3 UU No. 5
Tahun 1986 tersebut merupakan penetapan tertulis (beschikking) yang unsur-
unsurnya dibedakan atas 6 butir yaitu :
a. Bentuk penetapan itu hams tertulis
b. Penetapan itu dikeluarkan oleh badan atau jabatan Tata Usaha lVegara
c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
'd. Berdasarkan per aturan perundang-undangan yang berlaku
e. Bersifat konkret, individual dan final
f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.53
Jika salah satu unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka keputusan
yang demikian tidaklah merupakan objek sengketa atau objek gugatan. Selain
itu meskipun keputusan TUN ini pada dasarnya merupakan causa prima
timbulnya sengketa TUN akan tetapi terhadap prinsip inipun masih ada
batasan-batasannya. Maksudnya ada bentuk Keputusan TUN (tidak dapat
digugat) meskipun telah memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis di atas.
Keputusan TUN yang demikian yaitu merupakan jenis yang dikecualikan dari
kewenangan lingkungan peradilan TUN.
Adapun keputusan-keputuan TUN yang dikecualikan atau yang
dinyatakan tidak tennasuk dalarn pengertian beschiking atau yang
mempersempit kompetensi peradilan TUN, sehingga tidak dapat digugat ke
Peradilan TUN, adalah :
a. Keputusan-keputusan TUN yang ditentukan dalam pasal No. 5 Tahun
1986 meliputi :
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan perdata
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umurn
3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
53 Indroharto, Usaha Memahami Undilng-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara - A I B e b e r a p a Pen~ertian Dasar Huktlrn Tata Usaha Negara, Edisi Bar-, Pustaka Sinar Harapan,
a 1994. hlm. 163.
4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana
5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan-
peraturan perundang-undangan yang berlaku
6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha ABIU
7) Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pernilihan umum.
b. Keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan pasal 49 UU No. 5/1986, yang menyatakan bahwa Peradilan
Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan :
1) Dalam waktu perang atau dalam keadaan berbahaya, keadaan bencana
alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan m u m berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
c. Keputusan-keputusan TUN yang telah melampaui tenggang waktu 40 hari
sejak tanggdsaat diterimanya atau diumurnkannya atau diketahuinya - --
keputusan 1 ~ c . h m b m h ~ ~ No. 5/1986. Dengan
kata lain apabila telah melampaui tenggang waktu tersebut, maka
keputusan TUN itu tidak lagi diajukan atau digugat ke pengadilan TUN.
Di samping ketentuan yang mempersempit kompetensi TUN
sebagaimana yang dijelaskan di atas, ternyata ada juga ketentuan yang
memperluas kompetensi PTUN, yaitau pasal3 UU No. 5 Tahun 1996 yang
menyatakan :
1) Apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan,
sedang ha1 itu merupakan kewajibannya, maka ha1 tersebut disamakan
dengan keputusan TUN.
2) Jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan TUN yang
dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atu
pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
dimaksud.
3) Dalam ha1 peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan juga waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
setelah lewat juga waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan badan
atau pejabat TUN yang bersangkutan penolakan atau disebut keputusan
TUN negatif fiktif.
Timbulnya sengketa TUN tersebut berkenaan dengan masalah sah
atau tidaknya suatu keputusan TUN, sehingga pengajuan gugat balik atau
rekonpensi tidak d i % ~ n & h l a h r E E & & ~ b T U I _ V _ n i a t a s
sudah dijelaskan bahwa keputusan TUN merupakan causa prima bagi
timbulnya sengketa TUN. Dengan demikian tanpa adanya keputusan TUN,
maka tidak mungkin timbul sengketa TUN sebab objek yang
dipersengketakan tidak ada. Meskipun ada keputusan TUN, akan tetapi
tidak memenuhi salah satu unsur dari pasal 1 butir 3, atau termasuk yang
dikecualikan, maka keputusan TUN yang dernikian tidak dapat menjadikan
sebagai objek sengketa atau objek gugatan di peradilan TUN.
Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa yang sebenarnya
dipersengketakan dalam suatu proses di pengadilan TUN itu adalah
pelaksanan dari suatu wewenang pemerintahan menurut hukum publik
yang diharapkan oleh badan atau pejabat TUN, dengan kata lain yang
disengketakan itu selalu merupakan salah satu bentuk tindakan hukum
pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atau badan TUN yang
mengatakan badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlah.
3. Kewenangan dan Keabsahan Keputusan TUN
Van der Pot mengemukakan terdapat 4 syarat yang h a s dipenuhi
agar ketetapan administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya
tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi
tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid (kewenangan) organ
administrasi yang membuat-k
wilsvomzing (tidak ada kekurangan yuridis dalarn pembentukan kehendak );
3. vomz dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah
ditetapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan
keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.14
Sementara itu, menurut Philipus M. Hadjon prasyarat keabsahan
suatu tindakan pemerintah harus memenuhi syarat yaitu wewenang, prosedur
dan sub~tans i .~~ Aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang
mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk itu. Aspek prosedur, berarti bahwa
ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang
disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah. Aspek
substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada "
Error in re".
Berdasarkan norma wewenang pemerintah, tindakan pemerintahan
bersumber dari atribusi, delegasi maupun mandat.16 Wewenang atribusi
adalah kewenangan wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan. Kewenangan tersebut disebut dengan asas legalitas.
Sementara wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh atas dasar
54 Dalarn Boedi Djatmiko, Karakter hukurn keputusan PTUN, Makalah.
55 Philipus M . Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pernerintahan, Copy-Perc&stensil Jumali, Surabaya, 1985, h. 25.
-- 56 I Made Arya Utama, Hukum Lingktmgan: Sistem Huktlrn Perizinan Bemawasan Linakungan, Untuk Pembangunan BZZ%lanJutan, nmdmrgrfrrst-8w. 34
pelimpahan wewenang dari badanlorgan pemerintahan yang lain. Wewenang
mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada urnumnya dalam hubungan
rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang tegas oleh peraturan
perundang-undangan. Wewenang pemerintah yang diperoleh secara atribusi
adalah wewenang pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu segala tindakan hukum pemerintah harus selalu
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlakuherpedoman
pada norma wewenang yang ada dalarn peraturan perundang-undangan
dimaksud dan tidak boleh bertentangan dengan norma wewenang yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan
dari istilah Belanda " rechtmatigheid" (van bestuur). Rechtmatigheid =
legalitas = legality. Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2.
prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 (wewenang dan substansi) merupakan
landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas
presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1)
UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Sebaliknya Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak
memenuhi elemen atau syarat dapat dikatakan bahwa keputusan mengandung
merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah. E. Utrecht, mengatakan:suatu
ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu merupakan ketetapan
atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang mengandung kekurangan
tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umurnnya tergantung pada
hal apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan bestaansvoorwaarde
atau tidak untuk adanya ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde= syarat yang
hams dipenuhi agar sesuatu ada; kalau syarat tidak dipenuhi maka sesuatu itu
(dianggap) tidak ada.
Di dalarn Hukum Adrninistrasi bahwa ketetapan tidak sah akan
berakibat batal ketetapan tersebut, dapat dibedakan 3 ( tiga ) jenis
pembatalan suatu ketetapan tidak sah yaitu: pertama, ketetapan yang batal
karena hukum ( nietigheid van rechtswege); kedua, ketetapan yang batal (
nietig, juga: batal absolut, absoluut nietig); ketiga, ketetapan yang dapat
dibatalkan ( vemietigbaar).
Keputusan yang " batal demi hukum" adalah suatu ketetapan yang
isinya menetapkan adanya &bat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau
seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan
pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang
menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak
dikeluarkan.bagi hukum dianggap tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan
suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang
be rkompemtuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.
Namun Utrecht sendiri menjelaskan dalam catatat kaki bukunya,
bahwa hal ini jarang sekali terjadi namun ada atau dengan kata-kata " satu
dua hal". yang maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai pendapat
secara umum bahwa batal karena hukum suatu ketetapan tidak secara
otomatis artinya diperlukan suatu tindakan pembatalan dari Pengadilan
maupun Badan atau Pejabat Tata Usaha Iyegara. Selanjutnya suatu ketetapan
yang "Batal" ( nietig) merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang
dilakukan yang berakibat suatu perbuatan dianggap tidak pernah ada yang
disebut juga sebagai " Absoluut nietig".
Selanjutnya pengertian " dapat dibatalkan" ( vernietigbaar )
1 merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha
Negara yang dalam pengertian dapat dibatalkan karena diketahui perbuatan
itu mengandung kekurangan. Perbuatan yang dilakukan dan akibatnya
dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan
pemerintah lain yang berkompeten ( pembatalan diadakan karena pembuatan
tersebut mengandung sesuatu kekurangan ). Bagi hukum, perbuatan tersebut
ada sarnpai waktu pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal
undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah
pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan - bila munglun - diusahakan
supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.
Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang dapat - -
matalkan ( ~ i e t ~ z & & m k & ~ U a ~ y a & a n batal
setelah pembatalan oleh hakim atau instansi yang berwenang rnembatalkan,
dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-
akibat hukum yang ditimbulkan dianggap sah sarnpai dikeluarkan keputusan
pembatalan (ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi dalam Putusan No : 06/G/2013/PTUN-YK
a. Identitas Para Pihak
Wiranto Hadisusila, S.P., kewarganegaraan Indonesia, tempat
tinggal di Sompilan, RT.001RW.26, Tegaltirto, Berbah, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil; Pemohon
Kasasi dahulu Pembandinflenggugat; melawm Menten Kehutanan
Republik Indonesia, tempat kedudukan di Gedung Manggala Wanabakti,
Blok I Lantai 4, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat;
d m Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo,
tempat kedudukan di Jalan Gedong Kuning 172 A, Yogyakarta.
Objek gugatan dalam sengketa ini adalah: Pertama. Surat Nomor
S.02/Menhut-II/Peg/Rhs/2013 , perihal Ralat SK. Menteri Icehutanan
Nomor SK.48/Menhut-II/Rhs/2012, tertanggal 4 Januari 2013, yang
ditandatangani oleh Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia atas nama Menteri Kehutanan Republik Indonesia;
Kedua, Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Serayu Opak Progo Nomor SK.Ol/BPDASSOP/2013 tentang -
Penetapan Personil m h b S ~ S + d d w a L d - ~ r r h n t q n
Fungsional Lingkup Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu
Opak Progo Tahun 201 3, tertanggal2 Januari 20 13.
b. Putusan
Dalam putusan perkara tersebut, hakim PTUN Yogyakarta
memutuskan sebagai berikut:
1) Menolak gugatan Penggugat terhadap Keputusan Tergugat I yaitu
Surat Nomor S.02/Menhut-II/Peg/Rhs/2013, perihal Ralat SK.
Menteri Kehutanan No. SK. 48Menhut-II/Rhs/20 12, tertanggal 4
Januari 20 1 3.
2) Menyatakan gugatan Penggugat terhadap Keputusan Tergugat I1 yaitu
Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu
Opak Progo Nomor : SK.Ol/BPDASSOP/2013 tentang Penetapan
Personil Dalam Jabatan Non Struktural dan Jabatan Fungsional
Lingkup Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai S erayu
Opak Progo Tahun 2013 tertanggal 2 Januari 201 3 tidak diterima,
3) Menghukum Penggugat untuk mernbayar biaya perkara sebesar
Rp. 226.000,- (dua ratus dua puluh enarn ribu rupiah
2. Kasus Posisi dalam Putusan No : lO/G/2010/PTUN-YK
a. Identitas Para Pihak
Yang menjadi penggugat dalam kasus ini adalah Drs. Hasan
Zubaidi, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman, bertempat tinggal
di Desa Taskurnbang, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten,
Propinsi Jawa Tengah, yang dalam hal ini telah memberikan Surat Kuasa
Khusus kepada Moelyadi, S.H. dan Boma Aryo Nugroho, S.H.
Pihak tergugat dalam kasus ini adalah Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Propinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta
berkedudukan di Jalan Sukonandi Nomor : 8 Yogyakarta, 551 66 memberi
kuasa kepada Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.1 Kepala Bagian Tata Usaha
Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Drs. H. Fathony, MA Kepala Subbag Hukrnas dan KUB
Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Dewi Satriyati Pamungkasari, S.H Staf Subbag Hukrnas
dan KUB Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Objek gugatan dalam kasus ini adalah Surat Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta No:
Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010, perihal Jawaban Permohonan Mutasi
menjadi Guru atas nama Drs. Hasan Zubaidi, bertanggal 19 juni 2010
yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha Drs. H. Maskul Haji,
M.Pd.1.
b. Putusan
Dalam putusan perkara tersebut, hakim PTUN Yogyakarta - -
memutuskan sebagai berikut:
1) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian
2) Menyatakan tindakan tergugat mengeluarkan Surat Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agarna Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta No: KW.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni
2010 Hal Jawaban Permohonan Mutasi Guru atas nama Sdr Drs.
Hasan Zubaidi secara formal melanggar asas-asas umum
pemerintahan yang baik, khususnya asas kecermatan
(zorgvuldigheid) dan asas motivasi
3) Menyatakan batal surat Surat Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agarna Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No:
KW.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni 2010 Hal Jawaban
Permohonan Mutasi Guru atas nama Sdr Drs. Hasan Zubaidi
4) Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agarna Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta No: KW.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni
201 0 Hal Jawaban Permohonan Mutasi Guru atas nama Sdr Drs.
Hasan Zubaidi dan mewajibkan kepada Tergugat untuk
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru dengan
substansi yang sama, dengan perbaikan dasar hukum yang
digunakan menjadi Pasal 32 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor:16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya.
B. Pembahasan
Negara hukum modem dicirikan antara lain dengan adanya perlindungan
hukum terhadap hak asasi manusia termasuk perlindungan hukurn terhadap warga
negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Dalam kehidupan berbangsa
dan bemegara, selalu terjadi interaksi hubungan antara pejabat negara dan
masyarakat. Hubungan interaksi tersebut kebanyakan biasanya terjadi karena
adanya tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan oleh Pejabat
L negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara
pejabat administrasi negara sebagai pelaksana urusan pemerintahan dan
pembangunan dengan masyarakat, sering terjadi benturan kepentingan yang
melibatkan kedua pihak. Benturan kepentingan ini biasanya diakibatkan oleh
adanya keputusan pej abat negara.
Berdasarkan prinsip negara hukum, keputusan pejabat negara yang
merugikan kepentingan masyarakat, dapat dilakukan gugatan terhadap keputusan
yang dikeluarkan oleh pejabat negara.56 Tindakan Badaflejabat Tata Usaha
Negara tidak selamanya sesuai dengan keinginan masyarakat, walaupun tindakan
tersebut dilakukan untuk menjalankan urusan pemerintahan. Tindakan suatu
56 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonorni Daerah, cet. 11, Jakarta, Grasindo,
- . 2007, hal. 340
Baddejaba t Tata Usaha Negara seringkali bertentangan atau merugikan
kepentingan masyarakat. Pertentangan antara keputusan Pejabat Tata Usaha
negara dengan kepentingan masyarakat secara individu seringkali terjadi dalarn
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindakan hukum Baddejaba t Tata Usaha Negara dituangkan dalarn
bentuk Keputusan tertulis, dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan. Disatu
sisi, keputusan tersebut diarnbil atas dasar kewenangan yang diberikan, narnun
disisi lain, pelaksanaan keputusan tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara.
Setiap keputusan Baddpejabat Tata Usaha Negara harus berdasarkan prinsip
negara hukum, oleh karena itu, keputusan tersebut tidak boleh melanggar hak-hak
warga negara
Perlindungan terhadap hak-hak warga negara merupakan salah satu pilar
utama negara hukum. Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak warga
negara adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang benvenang untuk
menguji keputusan Badde jaba t TUN yang dianggap merugikan kepentingan
masyarakat. Bagi setiap orang yang merasa kepentinganya dirugikan oleh adanya
Keputusan Badde jaba t TUN dapat mengajukan gugatan untuk melindungi hak-
hak yang dimililunya.
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lembaga pelaksana
kekuasaan kehakiman yang memberi keadilan bagi masyarakat dari tindakan
sewenang-wenang oleh Badde jaba t Tata Usaha Negara. Setiap warga negara
Negara, apabila keputusan tersebut merugikan kepentingan orang yang
bersangkutan. Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dianggap masih belurn secara signifikan
melindungi kepentingan masyarakat. Adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, memberi perubahan bagi kemajuan hukum yang melindungi kepentingan
individu sebagai warga negara.
Pada bagian pembahasan ini, difokuskan pada tiga hal yaitu keabsahan
putusan TUN, pertimbangan hukum hakim dalarn putusan PTUN, dan mengapa
terdapat perbedaan putusan hakim dalarn perkara nomor: 10/G/2010/PTUN-YK
dalarn perkara mutasi guru dengan perkara No:06/G/2013 perkara ralat SK
Menteri Kehutanan.
1. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara dari Tergugat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan AAUPB
Dalarn lingkup hukum nasional, telah dikenal adanya sengketa badan
Negara dengan individu yang disebabkan oleh putusan badan atau pejabat tata
usaha negara yang merugikan individu atau badan. Menurut Pasal 1 angka 8
Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang menegaskan bahwa "Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yang
I bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukumbagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam membuat keputusan, badan tata usaha Negara dituntut untuk
memenuhi kewenangan serta memperhatikan asas-asas umum
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Apabila putusan pejabat TUN tidak
memperhatikan kedua ha1 di atas dan merugikan pihak lain, maka
keputusannya dapat digugat ke pengadilan. Berdasarkan kedua dasar di atas,
dapat penulis akan menganalisis keabsahan keputusan Tata Usaha Negara
yang menjadi objek sengketa yaitu Surat lVomor S.O2/Menhut-
II/Peg/Rhs/2013, perihal Ralat SK. Menteri Kehutanan Nomor
SK.48/Menhut-IIRhsI20 12, tertanggal 4 Januari 20 13 dan Surat Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta No:
Kw.12.1/2/KP.07.5/1724/2010, perihal Jawaban Permohonan Mutasi menjadi
Guru atas narna Drs. Hasan Zubaidi, bertanggal 19 juni 2010 yang
ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.1.
a. SK Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa
Yogyakarta No: Kw.12.1/2/KP.07.5/1724/2010
Kasus ini timbul disebabkan oleh karena Drs. Hasan Zubaidi sebagai
penggugat menggugat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan dasar gugatan objek
senketa Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh tergugat Kepala kantor - . .
Wilayah %ementenan ~ ~ a i I T q m r h e ~ ~ ~ f ~ ~ b ~ t ~
berupa Surat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah
istirnewa Yogyakarta No: Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni
2010 perihal Jawaban Permohonan Mutasi menjadi Guru atas nama Drs.
Hasan Zubaidi yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha Drs.
H. Maskul Haji, M.Pd.1. yang isinya Penolakan Mutasi atas nama Drs. H.
Maskul Haji (penggugat) dari Penghulu Madya pada KUA Kecamatan
Melati, Kabupaten Sleman menjadi Guru Pendidikan Agama Islam pada
Madrasah Aliyah Negeri di lingkungan Kantor Kementerian Agarna
Kabupaten Sleman
Putusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta No: 1 Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/20 10 dianggap merugikan kepentingan
Penggugat, yaitu hilangnya kesempatan Penggugat untuk menjadi guru
mata pelajaran Agama Islam di lingkungan Madrasah Aliyah Negeri
Kabupaten Sleman atau SMA Negeri 1 Mlati Sleman, serta dengan
berjalannya waktu dan bertambahnya umur Penggugat maka semakin
sedikit bagi Penggugat untuk mengabdikan diri menjad guru, yang mana
pembatasan masa pensiun guru pada umur 60 tahun. Penggugat merasa
kepentingannya telah dirugikan oleh karena terharnbatnya karier dan hak-
hak Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Tergugat menolak untuk mengangkat Penggugat dengan cara alih
fi.mgsi/mutasi dari penghulu menjadi guru bertentangan dengan peraturan-
peraturan yang dikeluarkan di lingkungan Kementerian Agama antara
lain Keputusan Menteri Agama Nomor : 373 Tahun 2002, Keputusan
Menteri Agama Nomor : 492 Tahun 2003, dan Peraturan Menteri Agama
Nomor : 3 Tahun 2006, sebagaimana yang selalu dikutip oleh Tergugat
dalam konsideran-konsideran surat Keputusan Tergugat dalam mutasi
pengangkatan guru dilingkungan Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penolakan tersebut didasarkan pada Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 84 Tahun 1993 Tentang
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, padahal peraturan
tersebut bertentangan dengan undang-undang oleh karena Keputusan
Menteri Agama a quo sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Nomor : 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Putusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah
Istimew a Yogyakarta No: Kw. 1 2.1 /2/KP.07.5/1724/20 10 dianggap
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam
teori hukurn, AAUPB terdiri atas 13 (tiga belas bagian) sebagaimana - -
van^ dikemukZkan o-b- ,. - cem - m L
Ridwan HR, dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
bahwa, AAUPB hanya meliputi 7 (tujuh) bagian, yaitu: (1) kepastian
hukum; (2) tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4)
keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Asas-asas yang nyata-nyata dilanggar oleh kepala
kantor Wilayah Kementerian Agama.
Sehingga, beranjak dari jawaban-jawaban dan pennasalahan
tersebut di atas, maka Majelis Hakim akan mengujinya secara yuridis
formal, prosedural dan materil berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh
selama persidangan berlangsung yang kemudian dihubungkan dengan
ketentuan yang berlaku, baik berupa peraturan perundang-undangan
maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan pasal53 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor :
9 tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut Pasal 53 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
menyebutkan istilah "Perundang-Undangan Yang Berlaku". Tidak ada
penjelasan mengenai istilah tersebut, narnun dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan "Perundang-Undangan yang berlaku" adalah hukum -- --
poai'f. ~ e n g ~ W ~ - p ~ m d m g - u n d a n g a n _ y a n g telah
dicabut, atau pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh
Badan/Pejabat yang berwenang, tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi
hakim PTUN untuk melakukan pengujian terhadap Keputusan
BadanPejabat TUN.
Mengacu pada pengertian Peraturan Perundang-Undangan yang
disebutkan dalarn Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka hukum
yang "tidak" tertulis dan dikeluarkan oleh Badde jaba t yang "tidak"
berwenang, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguji keputusan
Badde jaba t TUN. Kata "bertentangan" tidak dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Kata "bertentangan" dijelaskan
dalarn Penjelasan Pasal 53 Ayat (2a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, yaitu: (a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalarn
perundang-undangan yang bersifat prosedural (formal); (b) bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat
substansial (materil); dan (c) dikeluarkan oleh Badde jaba t yang tidak
berwenang.
b. Keputusan Menteri Kehutanan S.021 Menhut-II/Peg/Rhs/2013,
perihal Ralat SK. Menteri Kehutanan Nomor SK.48Menhut-
II/Rhs/2012 dan Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Serayu Opak Progo Nomor
SK.Ol/BPDASSOP/2013
Dalam ha1 ini, yang menjadi Tergugat I dan Tergugat I1 adalah
Menteri Kehutanan dan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Serayu Opak Progo. Keduanya adalah adalah Pejabat Tata Usaha
Negara, dengan merujuk Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan
bahwa "Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau
pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang be r l ak~" .~~
Keputusan yang dibuat oleh Menteri Kehutanan Republik
Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
menegaskan bahwa "Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
57 Wawancara dengan Novy Dewi Cahyati, hakirn PTUN Yogyakarta pada 15 Oktober 2015 di Kantor -- - -lTUN Yogyakarta.
Guna lebih mendalami makna konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukurn bagi seseorang atau badan
hukum perdata, dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara maka Penggugat menguraikannya sebagai berikut:
1) Konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata
Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu
atau dapat ditentukan apa yang harus dilakukan.
Dalam ha1 ini, Tergugat I telah melakukan ralat terhadap SK.
Menteri Kehutanan Nomor SK.48Nenhut-IVRhs120 12. Sej atinya di
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang Tergugat 1
pimpin, mengenai jenis tata naskah Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia dalam ha1 ini Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.481Menhut-II/Rhs/20 12 tentang pen. atuhan hukuman disiplin atas
nama Wiranto Hadisusila, S.P. (Penggugat), NIP. 1974 12 14 2002 12
1 002, Pangkat Penata Muda Tk. I (III/b), Jabatan Penelaah dan
Penyusun Bakian Pemantauan dan Evaluasi Kelernbagaan BPDAS
Serayu Opak Progo, Unit Organisasi Direktorat Jenderal BPDAS dan
PS, tertanggal 5 Oktober 2012, yang diterbitkan Tergugat I, telah
diatur Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
t&+kkskak- P.44/MenE6IIL?h W O T t a n g fictrsman Ta s------___
Kementerian Kehutanan, yang memiliki sasaran dan asas; Salah satu
sasaran dan asas dari Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.44lMenhut-1112010 yaitu sebagai berikut:
sasarannya adalah untuk kelancaran komunikasi tulis kedinasan serta
kemudahan dalam pengendalian dan Asas Pertanggungjawaban yakni
bahwa Penyelenggaraan Tata Naskah Dinas dapat
dipertanggungjawabkan dari segi isi, format, prosedur, kearsipan,
kewenangan dan keabsahan; Menelaah objek perkara yang diterbitkan
oleh Tergugat I, yaitu Surat Menteri Kehutanan S.O2/Menhut-
II/Peg/Rhs/20 13, perihal Ralat SK. Menteri Kehutanan Nomor
SK.48IMenhut-II/Rhs/2012, tertanggal 4 Januari 2013, yang
ditandatangani oleh Kepala Biro Kepegawaian Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia atas nama Menteri Kehutanan
Republik Indonesia, telah melanggar sasarannya adalah untuk
kelancaran komunikasi tulis kedinasan serta kemudahan dalam
pengendalian dan Asas Pertanggungjawaban yakni bahwa
Penyelenggaraan Tata Naskah Dinas dapat dipertanggungjawabkan
dari segi isi, format, prosedur, kearsipan, kewenangan dan keabsahan;
Sementara itu, Tergugat I1 tidak menjalankan perintah
Diktum Kesatu SK. Menteri Kehutanan Nomor SKA8IMenhut-
II/Rhs/2012; h i secara terang dan jelas dilakukan oleh Tergugat 11,
jabatan non struktural dan jabatan fungsional lingkup Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo tahun
201 3, melihat objek perkara yang diterbitkan oleh Tergugat 11.'~
2) Individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu yaitu ditujukan kepada
Penggugat;
3) Final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan
akibat hukurn dirnana status hukum Penggugat sebagai
Pegawai Negeri Sipil, dengan jabatan Penelaah dan Penyusun
Bahan Pemantauan dan Evaluasi Kelembagaan BPDAS
Serayu Opak Progo, Yogyakarta diabaikan serta merta sejak
tanggal penetapanny a tanpa perlu ada persetujuan dari
instansi1Pejabat atau instansi IainJPejabat lain;
Dengan demikian secara hukum, keabsahan putusan PTUN dalam hal
ini Surat Nomor S.021Menhut-II/Peg/Rhs/2013, perihal Ralat SK. Menteri
Kehutanan Nomor SK.48/Menhut-II/Iihs/2012, tertanggal 4 Januari 201 3,
yang ditandatangani oleh Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia atas nama Menteri Kehutanan Republik Indonesia;
Kedua, Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu
Opak Progo ]?Tomor SK.0 1 /BPDASSOP/20 13 tentang Penetapan Personil
Wawancara dengan Novy Dewi Cahyati, hakirn PTUN Yogyakarta pada 15 Oktober 2015 di Emtor --4 Yogyakarta.
Dalam Jabatan Non Struktural dan Jabatan Fungsional Lingkup Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Tahun 2013,
tertanggal2 Januari 20 13 pada pengadilan TUN Yogyakarta dinyatakan absah
dan telah memenuhi ketentuan AAUPB.
2. Dasar Hukum Hakim Dalam Putusan PTUN Yogyakarta perkara nomor
:10/G/2010/PTUN-YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara
No:06/G/2013 perkara ralat SK Menteri Kehutanan
Menurut pasal53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, ada
2 (dua) hal yang dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan di PTUN, yaiu:
(1) KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2) KTUN bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Berdasarkan ketentuan di atas, dalam pembahasan ini, akan dilihat apakah dua
putusan telah sesuai dengan Undang-Undang dan AAUPB.
a. Dasar Hukum Hakim Dalam Perkara Nomor:10/G/2010/PTUN-YK
Dalam perkara : 1 O/G/201 OPTLN-YK, pertimbangan yang
dikemukakan oleh hakim yaitu Tergugat dalam menerbitkan objek
sengketa a quo tersebut merugikan kepentingan Penggugat, yaitu
hilangnya kesempatan Penggugat untuk menjadi guru mata pelajaran
Agarna Islam di lingkungan Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Sleman
atau SMA Negeri 1 Mlati Sleman, serta dengan berjalannya waktu dan --
bertambahnya umur ~ ~ ~ ~ a k a s ~ ~ ~ & e a g g u g a t ~
untuk mengabdikan diri menjadi guru, yang mana pembatasan masa
pensiun guru pada umur 60 tahun. Penggugat merasa kepentingannya
telah dirugikan oleh karena terhambatnya karier dan hak-hak Penggugat
sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Penolakan Tergugat untuk mengangkat Penggugat dengan cara
alih fungsilmutasi dari penghulu menjadi guru bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan di lingkungan Kementerian Agama
antara lain Keputusan Menteri Agama Nomor : 373 Tahun 2002,
Keputusan Menteri Agama Nomor : 492 Tahun 2003, dan Peraturan
Menteri Agama Nomor : 3 Tahun 2006, sebagaimana yang selalu dikutip
oleh Tergugat dalarn konsideran-konsideran swat Keputusan Tergugat
dalam mutasi pengangkatan guru dilingkungan Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dasar penolakan Tergugat yang disebutkan dalam objek gugatan
yakni menunjuk Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor : 84 Tahun 1993 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya adalah nyata-nyata telah salah dm keliru dan
bertentangan dengan undang-undang oleh karena Keputusan Menteri
Agama a quo sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Nomor : 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan -
Fungsional Guru rnAAnngkaab&tnya.
Secara umum, hakim melihat bahwa putusan tersebut
bertentangan dengan asas-asas m u m pemerintahan yang baik. Sehingga,
beranjak dari jawaban-jawaban dan permasalahan tersebut di atas, maka
Majelis Hakim akan mengujinya secara yuridis formal, prosedural dan
materil berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan
berlangsung yang kemudian dihubungkan dengan ketentuan yang berlaku,
baik berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umurn
pemerintahan yang baik sebagaimana dirnaksud dalam ketentuan pasal53
ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor : 9 tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha ~ e ~ a r a . ~ ~
Dalam menguji pokok permasalahan tersebut, Majelis Hakim
telah memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan
tanpa terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak karena
Hakirn Tata Usaha Negara bersifat aktif sehingga dapat menetukan
sendiri apa yang h a s dibuktikan, siapa yang harus dibebani pembuktian,
hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan ha1 apa
saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri serta alat bukti mana saja
yang diutamakan serta kekuatan pembuktian yang diajukan, semua ini
dalam rangka menemukan kebenaran materiil sebagaimana dimaksud
59 Wawancara dengan Novy Dewi Cahyati, hakim PTUN Yogyakarta pada 15 Oktober 2015 di Kantor
- ---- PTUN Yogyakarta. ----
----
dalam ketentuan Pasal 106 dan 107 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun
1986 Jis Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang
1Vomor : 5 1 Tahun 2009.
Dalam mempertimbangkan permasalahan pertama dan kedua,
Majelis Hakim terlebih dahulu hams mencermati dasar hukurn yang
dicantumkan di dalam objek sengketa in litis. Hal tersebut diperlukan
guna melihat legal standing daripada objek yang menjadi sengketa.
Berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di dalam persidangan,
bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 84 Tahun 1993 Tentang
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya pasal 21, pengangkatan
pegawai negeri sipil dari jabatan lain kedalam jabatan guru dapat
diertimbangkan apabila memenuhi syarat antara lain usia setinggi-
tingginya 5 1 tahun.
Dalam swat jawaban permohonan mutasi yang menjadi guru
(yang berisi penolakan), yeraturan yang hams dicantumkan adalah
peraturan yang berisi ketentuan tentang syarat-syarat pengangkatan
menjadi guru yaitu Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor : 84 Tahun 1993 Tengtang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya, sedangkan dalam surat keputusan tentang
pengangkatan menjadi guru pada konsideran mengingat hams
2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen
Agama Provinsi dan Kantor Dearternen Agarna KabupatedKota ;
Keputusan Menteri Agama Nomor : 492 Tahun 2003 Tentang Pemberian
Kuasa dan Pendelegasian Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Departemen Agama ;
Peraturan Menteri Agama Nomor : 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan
I Tata Ke j a Departemen Agama.
Berdasarkan pertimbangan hukurn tersebut di atas, dalam
kesimpulannya, Majelis Hakim mengatakan bahwa yang dijadikan
sebagai dasar hukum penerbitan objek sengketa in litis adalah Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 84 Tahun 1993
Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya in casu pasal21.
Berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, Majelis
Hakim berpendapat bahwa meskipun beberapa syarat pengangkatan
pegawai negeri sipil dari jabatan lain kedalam jabatan fungsional guru
berdasarkan ptisal 30 ayat (1) dan pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
: 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya
telah dipenuhi Penggugat akan tetapi masih ada satu syarat yang tidak
terpenuhi oleh Penggugat yaitu usia setinggi-tingginya 50 tahun,
sedangkan usia Penggugat pada saat mengajukan pemohonan mutasi -
guru adalaksstanun.
Majelis Hakim berpendapat adalah telah tepat secara prosedural
maupun substansial alasan dan tindakan yang dilakukan oleh Tergugat
dalarn menerbitkan objek sengketa in litis berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu pasal 30 ayat (1) dan pasal 32
ayat (1) Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor : 16 Thun 2009 Tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya.
Perbuatan Tergugat dengan menerbitkan objek sengketa in litis
dinilai merupakan suatu bentuk perbaikan atau reformasi birokrasi di
dalarn tubuh Tergugat atas kekeliruan yang dilakukan oleh Tergugat di
masa lalu, dimana terdapat beberapa permohonan dengan kondisi yang
serupa dengan permohonan yang diajukan oleh Penggugat akan tetapi
dikabulkan sedangkan hal tersebut merupakan pelanggaran atas aturan
hukum yang menjadi dasar hukurn syarat dalam pengangkatan pegawai
negeri spil dari jabatan lain kedalam jabatan fungsional guru (vide bukti
T- 1 1, bukti T- 12, bukti T- 13, bukti T- 14, bukti T- 1 5, bukti T- 1 6, bukti T-
17).
Berdasrkan bukti-bukti yang diajukan di dalam persidangan,
bahwa karena dasar hukum syarat-syarat pengangkatan pegawai negeri
sipil dari jabatan lain ke dalam jabatan fimgsional guru telah menentukan
sedemikian rupa akan tetapi kemudian terjadi pelanggaran oleh Tergugat
permohonan dengan kondisi yang serupa dengan permohonan yang
diajuka oleh Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat tidak terjadi
perlakuan diskriminatif oleh Tergugat kepada Penggugat di dalam kasus
ini, karena yang dilakukan oleh Tergugat di dalam menerbitkan objek
sengketa in litis saat ini justru telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu pasal 30 ayat (1) dan pasal 32 ayat (1)
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor : 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya, sehingga tindakan tergugat justru derni
menegakkan kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, dan
keterbukaan.
Menurut Majelis Hakim, tindakan Tergugat di dalarn menerbitkan
objek sengketa in litis tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan
yang baik khususnya azas kepastian hukum, azas tertib penyelenggaraan
negara, dan azas keterbukaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
tindakan Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa a quo, meskipun
secara prosedural maupun materiil sudah tepat dan sudah sesuai peraturan
perundang-undangan serta sesuai dengan azas-azas umum pemerintahan
yang baik, akan tetapi dari segi bentuk formal ( v o m ) keputusan objek
sengketa, khususnya mengenai dasar hukurn kaitannya dengan materi -
syarat-syarat p e n ~ t ~ e g a w ~ ~ p i l d & a b a t a n lain kedalam
jabatan fimgsional guru, diangap bertentangan dengan mas-mas umum
pemerintahan yang baik. Secara khusus, hakim menilai bahwa asas yang
dilanggar yaitu asas yang dilanggar adalah asas kecermatan
(zorgvuldigheid) dan asas motivasi yang menghendaki suatu keputusan
harm mempunyai alasan yang cukup jelas, pasti, tegas dan benar sebagai
dasar keputusan tersebut.
Motivasi yang dimaksud yaitu bahwa tergugat dalam
mengeluarkan keputusan tidak disertai dengan alasan yang benar dan adil
dan jelas. Secara substansi dan materi, keputusan yang diambil telah
dinyatakan tepat dan sesuai dengan undang-undang, akan tetapi alas an
yang dibut di dalam pertimbangan dianggap tidak atau kurang benar.
Sehingga hakim dalam putusannya hanya memerintahkan untuk
membenahi keputusan yang dibuat oleh tergugat.60 Selain itu, tindakan
tergugat juga tidak dilandasi dengan kecermatan. Tergugat tidak
senantiasa hati-hati dalam mengeluarkan keputusan, sehingga keputusan
tersebut ditanggapi oleh penggugat sebagai kekeliruan.
Oleh karena itu, kesalahan penerbitan objek sengketa hanya
berupa bentuk formal keputusan, maka menurut Majelis Hakim tidak
menjadikan penolakan permohonan mutasi Penggugat menjadi guru tidak
ada (non exsistence), oleh karena itu seyogyanya pihak Tergugat
60 1 Made Arya Utama, Hukum Lingkunganr Sistem Hukum Perizinan Bemawasan Lingkungan,
memperbaiki bentuk formal keputusannya dengan mencermati dasar
hukurnnya sebagimana telah di atur dalarn ketentuan yang berlaku.
Selain itu, Tergugat sebagai pejabat adrninistrasi negara dalarn
menjalankan urusan pemerintahan hams teliti dan cermat dalam
memperhatikan dasar hukurn, fakta hukurn, dan materi atau korelasi
antara isi dan tujuan keputusan yang akan di ambil, serta memperhatikan
kepentingan-kepentingan terkait agar tidak tejadi tindakan sewenang-
wenang.
Oleh karena itu, majelis hakim PTUN YK menilai bahwa
penerbitan keputusan a quooleh Tergugat mengandung cacat yuridis dari
segi bentuk formal dasar hukumnya, maka sebagimana dimaksud dalarn I
pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Jo
Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004, dengan demikian tuntutan
Penggugat mengenai pembatalan terhadap Surat Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor :
Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni 2010 Hal : Jawaban
Pennohonan Mutasi Guru atas nama Sdr. Drs. Hasan Zubaidi tersebut
dikabulkan dan mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan
a quodan mewajibkan pada Tergugat untuk menerbitkan swat jawaban
permohonan mutasi menjadi guru atas nama Sdr. Drs Hasan Zubaidi yang
baru dengan objek sengketa in litis, akan tetapi dengan perbaikan dasar
W m vana diguG&an menjadi pasal 32 ayat (1) huruf c Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refomasi
Birokrasi Nomor : 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya.
Mengenai petitum gugatan Penggugat lVomor : 4, yang pada
pokoknya mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan surat keputusan
untuk menerima permohonan mutasi dari Penggugat untuk menjadi guru
mata pelajaran Agama Islam di Madrasah Aliyah Negeri di lingkungan
Kabupaten Sleman, oleh karena menurut Majelis Hakim Secara
prosedural dan substansial tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh
pihak Tergugat, oleh karena itu petitum gugatan Penggugat Nomor : 4
ditolak.
Tindakan yang dilakukan oleh tergugat dalam hal ini sesuai
dengan Pasal 63 Undang-Undang Republik Indonesia ISJomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa
diperbolehkan oleh pejabat TUN untuk mengubah keputusan apabila
memenuhi unsure kesalahan seperti: a. kesalahan konsideran; b.
kesalahan redaksional; c. perubahan; c. perubahan dasar pembuatan
Keputusan; danlatau d. fakta baru.
Mengenai alat bukti yang tidak disebutkan secara tegas dalam
pertimbangan hukum ini yang relevan dianggap telah dipertimbangkan,
sedangkan yang tidak relevan dikesampingkan narnun di perintahkan - -
tetap d i l ~ ~ r h s p e r k a r ~ - k a r - g u g a t a n
Penggugat telah dinyatakan dikabulkan sebagian, maka berdasarkan
ketentuan pasal 110 Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Tergugat di hukum untuk membayar biaya
perkara.
Ketentuan-ketentuan dalarn Undang-Undang Nomor: 51 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor: 9 Tahun
2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 Jis
Undang-Undang Nomor: 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor: 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta peraturan lain yang
berkaitan.
Berdasarkan waian tersebut di atas, bahwa alasan Badde jaba t
TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan,
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut (berbuat sewenang-wenang). Menurut
Philipus M. Hadjon, Pengajuan gugatan dengan alasan (Detoumement de
Pouvoir) dan berbuat sewenang-wenang adalah sulit dib~ktikan.~'
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sjachran Basah
dalam bukunya yang berjudul "eksistensi dan tolak ukur badan peradilan
61 Philipus M. Hadjon et.all, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press,
- cet. 2, Yogyakarta, 1993, hal. 21
administrasi di Indonesiayy. Pernyataan Sj achran Basah: "Memang sulit
untuk membantah suatu perbuatan administrasi negara yang merupakan
"detournement de pouvoir", karena hal itu perlu dibuktikan apabila
diperhatikan dan diamati, sering ternyata bahwa perbuatan adrnnistrasi
negara itu lebih berupa suatu "beleid" yang didasarkan atas suatu
kebijaksanaan pernerintah dari pada suatu perbuatan hukurn yang
sungguh-sungguh, disebabkan adanya "fieies ermessen". Atas dasar ha1
tersebut sering tejadi suatu "detournement de pouvoir" sebagai akibat
dari suatu "fieies ermessen" yang disalahgunakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yos Johan Utama pada PTUN
Kota Semarang, bahwa dalam Sub sistem pengelolaan perkara, terdapat
25 kegagalan fungsi sistem PTUN dalam menjalankan peran sebagai
akses ke keadilan, diakibatkan beberapa faktor, salah satunya adalah
ketidakjelasan pengertian istilah hukurn dalam mekanisme pengelolaan
perkara, seperti: (a) alasan yang layak; (b) AAUPB; (e) alasan Yang dapat
dipertanggunghj awabkan.
Penggunaan AAUPB sebagai dasar dalam menentukan keabsahan
tindakan pemerintah sebenarnya telah dinyatakan secara terseurat oleh
Hadjon. Menurut Hadjon, AAUPB telah mendapat pengakuan dalam
praktek hukum di Belanda, yaitu asas persamaan, asas kepercayaan, asas
kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan (motivasi),
larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-
ena an^.^^ Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 telah mengubah Pasal 53,
sehingga alasan kedua dan ketiga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 dihapus, dan diganti dengan alasan "bertentangan dengan AALTPB".
Perubahan sebagian Pasal53 merupakan suatu kemajuan dalam menjarnin
keadilan bagi masyarakat, yang sebelumnya tidak tercanturn dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. AAUPB dinyatakan secara tegas
dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Tujuannya
adalah untuk mewujudkan penyelenggara negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggung j awab.
Di satu sisi, perubahan Pasal53 dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 merupakan suatu tindakan kemajuan dalam rangka
melindungi warga negara, namun disisi lain, pengertian AAUPB dalarn
Undang-Undang Nomor 28 Tahm 1999 masih bersifat umum dan belum
dijelaskan secara kongkrit. Penerapan asas ini, memerlukan penafsiran
terhadap kasus-kasus yang kongkrit yang bisa saja seorang hakim PTUN
salah mengambil putusan (Vonis) karena tidak ada kriteria yang kongkrit
atas AALTPB. Akibatnya akan sulit untuk menentukan perbuatan Pejabat
62 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada -- Un-y Press, 2008, hlm. 270
TUN mana yang termasuk dalam wilayah asas kebebasan bertindak
(Fveies Ermessen), dan perbuatan Pejabat TUN mana yang dianggap
bertentangan dengan AAUPB.
b. Dasar Hukum Hakim Dalam perkara No:06/G/2013
Penggugat dalam gugatannya telah memohon untuk dinyatakan
batal atau dinyatakan tidak sah Swat Keputusan Tata Usaha Negara
yang diterbitkan oleh Tergugat I berupa Swat Nomor S.021Menhut-
Ir/Peg/Rhs/2013, perihal Ralat SK. Menteri Kehutanan No. SK.
48JMenhut-IURhs12012, tertanggal 4 Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia atasnama Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
Sesuai dengan prinsip hukum administrasi, suatu Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkadditerbitkan oleh BadadPejabat
Tata Usaha Negara tidak boleh mengandung suatu cacat yuridis dari
segi proseduralf formal-materiil substansial dm wewenang serta tidak
boleh melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Penggugat di dalam gugatannya memohon kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara Yogyakarta agar Surat Keputusan Obyek
Sengketa I dinyatakan batal atau tidak sah dengan alasan yang pada
intinya yaitu bahwa Tergugat I dalam rnenerbitkan Keputusan Tata
Usaha Negara Obyek Sengketa I a quo telah melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta Asas- asas Umurn Pemerintahan - --
1 Baik ( A A U P j
Tergugat I telah menyangkal dengan Jawabannya, yang pada
intinya mernberikan alasan, bahwa Tergugat I dalam
menerbitkan Swat Keputusan Obyek Sengketa I telah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta telah sesuai dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Penggugat dalarn mempertahankan dalil-dalil gugatannya
telah mengajukan swat-swat bukti yang diberi tanda P - 1 sarnpai
dengan P - 13 serta telah mengajukan 1 (satu) orang Saksi, sedangkan
Tergugat I dalam menyangkal dalil-dalil gugatan Penggugat juga telah
mengajukan surat-surat bukti yang diberi tanda T.1- 1 sampai dengan
T.1 - 24 serta telah mengajukan Januari 2013 yang ditandatangani
oleh Kepala Biro Kepegawaian.
Dalarn memutuskan suatu perkara, Badan TUN hams
berdasarkan pada kewenangan, prosedur dan substansi permasalahan.
Kewenangan, yaitu apakah Tergugat I mernpunyai kewenangan atau
tidak dalam menerbitkan keputusan SK. Dari segi prosedur, yaitu
apakah prosedur penerbitan keputusan Obyek Sengketa I telah sesuai atau
tidak dengan prosedur formal yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Dari segi substansi, yaitu apakah secara substansi penerbitan
keputusan Obyek Sengketa I telah sesuai atau tidak dengan Asas- Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
Dalarn temuan majelis hakim, Tergugat I telah mengeluarkan
Swat Nomor S.02Menhut- IVPeg/Rhs/2013, perihal Ralat SK. Menteri
Kehutanan No. SK. 48Nenhut-II/Rhs/2012, tertanggal 4 Januari 2013
yang ditandatangani oleh Kepala Biro Kepegawaian Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia atas nama Menteri Kehutanan Republik
Indonesia.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan terhadap legalitas
keputusan Obyek Sengketa I menurut penjelasan resrni Pasal 53 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
yang meliputi prosedur, administrasi dan substansi.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap fakta-fakta maupun
pertimbangan-pertimbangan hukum di atas maka dari segi
prosedural formal maupun dari segi substansi materiil penerbitan
Keputusan Tata Usaha Negara Obyek Sengketa I, Majelis Hakim
berpendapat tindakan Tergugat I tidak melanggar ketentuan-
ketentuan sebagai berikut : Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : P.44/Menhut-II/2010 tentang Pedoman Tata
Naskah Dinas Kementerian Kehutanan , Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.40/Menhut-IY20 10 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian dan Keputusan Menteri Kehutanan -
Re~ublik Indonesia N omor : 5 ~ ~ 2 8 0 3 ~ ~ ~ ~ ~ ~
Menetapkan dan Menandatangani Surat Keputusan, Surat, dan Usul
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Lingkup Departemen Kehutanan.
Tergugat I dalam menerbitkan Obyek Sengketa I sudah sesuai
dengan kewenangan yang ada padanya dan secara formal prosedural
maupun substansi materiil telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku maka Majelis Hakim berpendapat tidak terdapat
Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang dilanggar oleh
Tergugat I, sehingga gugatan Penggugat terhadap Tergugat I haruslah
dinyatakan ditolak.
3. Perbedaan Putusan Hakim Dalam Perkara Nomor:10/G/201O/PTUN-YK
dalam Perkara Mutasi Guru Dengan Perkara No:06/G/2013 Perkara
Ralat SK Menteri Kehutanan
Berdasarkan uraian di atas, timbul perbedaan dalam putusan
pengadilan Tata Usaha Negara dalam memutus kedua perkara yang diajukan
oleh dua penggugat. Dalam putusan perkara No:06/G/2013 yang menangani
gugatan dalam sengketa antara pegawai dengan menteri kehutanan dan kepala
balai pengelolaan daerah aliran sungai, majelis hakim mempertimbangkan
bahwa tindakan tergugat selaku pejabat TUN telah sesuai dengan undang-
undang baik materiil maupun formil, hanya saja dalam pertimbangan putusan
tersebut dianggap kurang cermat, sehingga putusan tersebut menjadi objek
sengketa.
Dasar hukurn yang mestinya digunakan oleh tergugat I1 dalam meralat
SK Kemenhut semestinya bersandar pada Pasal 32 ayat (1) huruf c Peraturan
Menteri Negara Pendayahunaan Aparatur Negara dan Refonnasi Birokrasi
Nomor:16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya. Hal tersebut ditetapkan dalam putusan majelis hakim PTUN
sebagaimana tercantum di bawah ini:
a. Menolak gugatan Penggugat terhadap Keputusan Tergugat I yaitu
Surat Nomor S.021Menhut-IIIPeg/Rhs/2013, perihal Ralat SK. Menteri
Kehutanan No. SK. 481Menhut-IIRhs/2012, tertanggal 4 Januari 20 13.
b. Menyatakan gugatan Penggugat terhadap Keputusan Tergugat I1 yaitu
Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu
Opak Progo Nomor : SK.O l/BPDASSOP/2013 tentang Penetapan
Personil Dalam Jabatan Non Struktural dan Jabatan Fungsional
Lingkup Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak
Progo Tahun 20 13 tertanggal 2 Januari 20 1 3 tidak diterima,
c. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 226.000,- (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah
Sedangkan dalam putusan perkara Nomor 1 O/G/20 1 O/PTUN.YK,
majelis hakim PTUN Yogyakarta memutuskan sebagai berikut: - -
a. fvIexgabuMc-wtuk sebagian
I b. Menyatakan tindakan tergugat mengeluarkan Surat Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No:
KW.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni 2010 Hal JAwaban
Permohonan Mutasi Guru atas nama Sdr Drs. Hasan Zubaidi secara formal
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas
I
kecermatan (zorgvuldigheid) dan asas motivasi
c. Menyatakan batal swat Surat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No: KW. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010
tanggal 19 Juni 2010 Hal JAwaban Permohonan Mutasi Guru atas nama
Sdr Drs. Hasan Zubaidi
d. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Swat Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No:
KW. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010 tanggal 19 Juni 2010 Hal JAwaban
Permohonan Mutasi Guru atas nama Sdr Drs. Hasan Zubaidi dan
mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru dengan substansi yang sama, dengan perbaikan dasar
hokum yang digunakan menjadi Pasal 32 ayat (1) huruf c Peraturan
Menteri Negara Pendayahunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor:16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya.
Putusan di atas didasarkan pada pemeriksaan terhadap prosedw, -
administrasi serta s~bstansi w e & d - ____
memutus suatu sengekta TUN, berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN,
alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menggugat ke PTUN adalah:
a. KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. KTUN bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kedua ha1 tersebut juga dijadikan oleh hakim sebagai alat untuk menguji
KTUN yang digugat itu sah atau tidak. Hakim akan menilai suatu KTUN
itu sah atau tidak didasarkan dua hal seperti tersebut di atas.
Menurut hemat penulis, timbulnya perbedaan pada putusan hakim
PTLN dalam memutus kedua perkara tersebut disebabkan oleh penilaian
hakim terhadap legal standing dan alas an dikeluarkannya SK oleh tergugat.
Pada sengketa pertama, pertirnbangan hukum yang digunakan oleh tergugat
(pejabat TUN) dalam mernbuat SK. Dalam sengketa pertama, yaitu gugatan
terhadap SK Menteri Kehutanan No. SK/48/Menhut-lI/Ths/2012 dan Keputusan
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Nomor: SK.Ol/BPDASSOP/2013
tentang Penetapan Personil Dalam Jabatan Non Struktural dan Jabatan Fungsional
Lingkungan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, tergugat I dan I I secara hukum
ketika mengeluarkan SK adalah bertindak dan berposisi sebagai pejabat tata
usaha Negara (Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), sehingga
tindakannya dalam mengeluarkan Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Nomor: SK.Ol/BPDASSOP/2013 tentang Penetapan Personil Dalam
Jabatan Non Struktural dan Jabatan Fungsional Lingkungan Balai Pengelolaan
- -
Daerah Aliran s u n g a M a M - & U n d m W e m i k i a n iuga
keputusannya merupakan keputusan TUN yang merniliki dampak hokum.
Apabila keputusan tersebut memiliki cacat hokum baik substansi maupun
materiil, maka dapat digugat.
Sementara itu, dalam sengketa kedua, dimana tergugat ketika menolak
usulan mutasi dari tergugat dengan mengeluarkan Surat Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Aga ma Daerah lstimewa Yogya karta N o:
Kw.12.1/2/KP.07.5/1724/2010 sehingga keputusan tergugat dengan mengeluarkan
SK tersebut dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Akan tetapi tergugat
dinilai oleh hakim tidak cermat dalam memberikan pertimbangan hukum dengan
tidak mendasarkan pada peraturan yang benar dan berlaku ketika itu. Sehingga
dalam keputusannya, hakim menerima gugatan penggugat sebagaian dan menolak
sebagian yang menyangkut substansi pembatalan terhadap SK.
Mengacu pada asas-asas yang diatur dalarn Undang-Undang No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pejabat TUN dalam menyelenggarakan
pemerintahan hams bersandar pada asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggara negara, asas transparansi, asas akuntabilitas, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas. Namun penyebutan kepada asas-asas
tersebut tidak secara limitatif. Hakim bisa menggunakan AAUPB di luar yang
diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, yaitu AALTPB yang
berkembang di dalam praktek penyelenggaraan negara. AAUPB yang
--
&kernb-*-aldek++hggm-bersifat dinamis dan
berubah sesuai kebutuhan di dalam masyarakat. Hakim PTUN memang
seharusnya juga tidak kaku dalam menggunakan AAUPB dalam pengujian
KTUN yang digugat. Hakim seharusnya bisa menggunakan asas-asas yang
muncul kemudian sejalan perkembangan dan kebutuhan yang ada di dalam
masyarakat.
Pada sengketa Nomor : 06/G/2013/PTUN-YK, putusan hakim
menganggap KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat TUN telah sesuai dengan
prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan yang berlaku, AAUPB serta
legalitas keputusan Objek sengketa I. Hal tersebut mengacu pada pendapat
Philipus M. Hadjon yang mengatakan bahwa prasyarat keabsahan suatu
tindakan pemerintah harus memenuhi syarat yaitu wewenang, prosedur dan
subs tan~i .~~ Aspek wewenang dalam ha1 ini artinya bahwa pejabat yang
mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk itu. Aspek prosedur, berarti bahwa
ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang
disyaratkan dan berturnpu kepada asas keterbukaan pemerintah. Aspek
substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada "
Error in re". Pada pertimbangan hakim pun mencantumkan mengenai
penjelasan resmi Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
63 Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, Copy-Perc&stensil - - U m a l i , & & a y a . 1985, hal. 25.
Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan gugatan pada Objek sengketa I1
dinyatakan tidak diterima karena bukan merupakan KTUN sedangkan
menurut hasil wawancara di PTUN Yogyakarta, Objek sengketa yang berupa
KTUN adalah syarat formil gugatan yang merupakan langkah pertama yang
hams dipenuhi karena menyangkut PTUN berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikannya atau tidak.
Berdasarkan norma wewenang pemerintah, tindakan pemerintahan
bersumber dari atribusi, delegasi maupun mandat.@ Wewenang atribusi
adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-
undangan. Kewenangan tersebut disebut dengan asas legalitas. Sementara
wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan
wewenang dari badanlorgan pemerintahan yang lain. Wewenang mandat
adalah pelimpahan wewenang yang pada urnumnya dalam hubungan rutin
antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang tegas oleh peraturan
perundang-undangan. Wewenang pemerintah yang diperoleh secara atribusi
adalah wewenang pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu segala tindakan hukum pemerintah hams selalu
berdasarkan pada peraturanan perundang-undangan yang berlakuiberpedoman
pada norma wewenang yang ada dalam peraturan perundang-undangan
64 I Made Arya Utama, Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan Benvawasan
- -- ----- Lingkungan, Untuk Pembangunan ---- Berkelanjtltan, Bandung: Pustaka Sutra, 2007, hal. 34 ----- -----
dimaksud dan tidak boleh bertentangan dengan norma wewenang yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil peneltian serta pembahasan dalam penelitian tesis ini, dapat
penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan peraturan pemdang-undangan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, bahwa keputusan pejabat Tata Usaha Negara
sebagaimana disebutkan di dalam putusan PTUN No:
Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010 telah memenuhi unsur pelanggaran dalam
penerapan dasar hukum yang berlaku serta AAUPB. Hal tersebut
menimbulkan akibat hukum karena ada yang dirugikan dalam ha1 ini yaitu
hilangnya kesempatan PNS guru untuk menjadi guru mata pelajaran
Agama Islam di lingkungan Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Sleman
atau SMA Negeri 1 Mlati Sleman yang berdampak pada waktu, biaya, dan
prosedural yang harus ditempuh tergugat dalam pencarian keadilan.
Sedangkan SK N0.S .02/Menhut-II/Peg/Rhs/20 1 3, perihal Ralat SK
Menteri Kehutanan Nomor SK.48/Menhut-IVRhs/20 1 2 dan
Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu
Opak Progo Nomor SK.0 1 /BPDASSOP/20 1 3 yang ditandatangani
oleh Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Kehutanan Republik
---kd-'-"----1---una Menteri Kehutanan Republik Indonesia; Kedua,
Keputusan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dinyatakan
absah dan telah memenuhi ketentuan AAUPB, sedangkan mengenai objek
sengketa II dinyatakan bukan merupakan KTUN dm dinyatakan tidak
diterima karena tidak menimbukan akibat hukum bagi Seseorang atau
Badan Hukum Perdata.
2. Dalam putusan PTUN Yogyakarta perkara nomor : 10/G/20 1 OiPTUN-YK,
pertimbangan yang dikemukakan yaitu bahwa putusan tersebut
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga,
beranjak dari jawaban-jawaban dan permasalahan tersebut diatas, maka
Majelis Hakim akan mengujinya secara yuridis formal, prosedural dan
materil berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan
belangsung yang kemudian dihubungkan dengan ketentuan yang berlaku,
baik berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum
pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal53
ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor : 9 tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Sedangkan dalarn perkara No:06/G/20 13 perkara ralat
SK Menteri Kehutanan, hakim melihat bahwa menteri mempunyai
kewenangan atau tidak dalam menerbitkan keputusan SK. Dari segi
prosedur, yaitu apakah prosedur penerbitan keputusan Obyek Sengketa I
telah sesuai atau tidak dengan prosedur formal yang ditentukan oleh -
peraman p ~ w Q a R e W e g i substansi, yaitu apakah secara
substansi penerbitan keputusan Obyek Sengketa I telah sesuai atau tidak
dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
3. Perbedaan antara putusan hakim dalarn perkara nomor : 1 0/G/20 1 OPTLN-
YK dalam perkara mutasi guru dengan perkara No:06/G/2013/PTUN-YK
perkara ralat SK Menteri Kehutanan disebabkan oleh adanya substansi
permasalahan yang berbeda, terutama menyangkut kekeliruan dalam
menerapkan AAUB di dalam mengeluarkan swat keputusan. Mengacu
pada asas-asas yang diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999,
pejabat TUN dalam menyelenggarakan pemerintahan hams bersandar
pada asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas
transparansi, asas akuntabilitas, asas proporsionalitas, asas profesionalitas.
B. Saran
Berdasarkan temuan dan kesirnpulan di atas, maka penulis menyarankan
sebagai berikut :
1. Kepada pejabat TUN semestinya lebih berhati-hati di dalam mengeluarkan
keputusan. Pejabat TUN harus menaati aturan-aturan yang menjadi dasar
hukum pembuatan kebijakan. Hal tersebut untuk menghindari adanya dampak
negative dari adanya keputusan tersebut.
2. Kepada hakim agar lebii jeli dalarn melihat sengketa yang ditangani untuk
meminimalisir proses hukum yang panjang. Apabila hakim jeli dalam melihat
permasalahan, maka proses hukum yang cepat dapat diterapkan clan d i d a n
-- .
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Gofar, Teori dan Pralctik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Malang: Tunggal Mandiri, 20 14.
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta: Jakarta, 1996
Baharuddin Lopa dan A. Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafmdo Persada, Jakarta, 2003
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2005
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonorni Daerah, cet. LI, Jakarta, Grasindo, 2007
H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum KualitatiJ; Bagian 11, UNS Press, 2009.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang PeradiIan Tata Usaha Negara Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Edisi Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
I Made Arya Utama, Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan, Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Pustaka Sutra, 2007
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia, 2004.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: cet V, Pustaka Pelajar, 1996
Mukti Fajar dan Yulianto Achrnad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstimi Republik Indomeia, Jakarta. Ghalia
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dun Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta., 1992.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika: Jakarta, 2006
0. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970
Padrno Wahyono, Guru Pinandita, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984
Philipus M. Hadjon, Perli 'ungan Hukum Bagi Rabat: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya OIeh Pengadilan Dalam Lingkungan PeradiZan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987
Philipus M. Hadjon et.a.11, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadja Mada University Press, cet. 2, Yogyakarta, 1993
Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, Copy- Perdkstensil Jumali, Surabaya, 1985
Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993.
Soerjono Soekanto dm Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normarif; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata I . n e s i a , Yogyakarta : Liberty, 1998.
Tim Visi Yustisia Pandwn Lulus Ujian Profesi Advokut, Jakarta: Visimedia, 20 14
Taufik Makaro, Pokuk-Pobk Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2004
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962
B. Undang-Undang dan Lain-Lain
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Papper. Disampaikun dalam Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004 dalam Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang OMBUDSMAN RI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA JI. Janti No.66 Banguntapan Telp. (0274) 520502 Faks. (0274) 581675
YOGYAKARTA 55198
1 Nomor : W3-TUNS/l~2/HK.PB.OO~N2015
I Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta dengan ini menerangkan bahwa :
Nama : ARDIYANSYAH YUDITOMO, SH
No. Mahasiswa : 11912750
Program Studi : S-2 llmuHukum
Berdasarkan surat permohonan Ijin Penelitian a.n ARDIYANSYAH YUDITOMO, SH
dari Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta Nomor: 07 I/Ket/70/PPs-FWMWIX/20 14 tanggal 19 September 2014 telah
melakukan Wawancara kepada Hakim dan Penelitian Administratif di Pengadilan Tata
Usaha Negara Yogyakarta.
Demikian Surat Keterangan ini dibuat agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Dikeluarkandi : YOGYAKARTA Pada Tanggal : 21 Oktober 2015
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
lata Pribadi :
Vama rempat, tanggal lahir lenis Kelamin Umur ringgi, berat badan Agama Alamat
Status
: ARDIYANSYAH YUDITOMO, S.H. : Magelang, 23 Desember 1988 : Laki-laki : 27 Tahun : 174 cm, 60 kg : Islam : Jl. G. Subroto 60 B RT 002 RW 007 Kel. Jurangombo Utara, Kota Magelang : Belum Menikah
Latar Belakang Pendidikan :
( Pendidikan Formal
1 . (200 1) Lulus SD Budi Asih Bandung 2. (2004) Lulus SMP Negeri 2 Magelang 3. (2007) Lulus SMA Negeri 4 Magelang 4. (201 1) Lulus Sl Fakultas Hukum UII Yogyakarta 5. (20 16) Lulus S2 Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta
- Kemampuan Komputer dan Internet
Pengalaman Kerja :
- (201 2-20 14) Magang pada kantor Advokat Magelang disertai surat keterangan selesai magang 2 tahun
Posisi : Staff Rincian Pekerjaan : Melakukan analisis kasus, mengumpullcan bukti-bukti dan pembelaan, membuat berkas untuk perkara, dan membimbing klien di Pengadilan