IMPLEMENTASI PP 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
DAN KAITANNYA DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI BIDANG KESEHATAN1
Oleh: Amir Hamzah Pane2
PENDAHULUAN
Ada dua pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami PP 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan
implementasinya di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti
fungsi, posisi dan materi muatan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.
Kedua, memahami definisi dan pengertian berbagai masalah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud.
Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu
peraturan perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi
lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut.3 Dari sini dapat ditentukan berbagai
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang mempunyai
kewenangan untuk melahirkan berbagai peraturan pelaksanaanya.
Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai
berikut: a. UUD 1945, b. UU/ PERPU, c. Peraturan Pemerintah, d. Peraturan Presiden, e.
Peraturan daerah.4 Selanjutnya dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih 1 Materi disampaikan pada: “Seminar Peningkatan Kompetensi Farmasis”, ISFI Cabang Kota Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia.
2 Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas Muhammadiyah UHAMKA. Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.
3 Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 4 Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
1
tinggi.5 Peraturan perundang-undangan selain ‘sebagaimana dimaksud di atas’ adalah
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan menteri, instruksi menteri dan
lain-lainnya, yang jika dibuat harus dengan tegas berdasar dan bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.6
Fungsi Peraturan Pemerintah adalah: a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-
Undang yang tegas-tegas menyebutnya, b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
ketentuan lain dalam Undang-Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas
menyebutnya. Sedangkan menurut pasal 10 UU No. 10 tahun 2004, materi muatan
Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya. Maksud dari ‘sebagaimana mestinya’ adalah materi muatan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-
Undang bersangkutan.
Sesuai dengan pasal 17 UUD 1945, maka fungsi dari Peraturan Menteri adalah sebagai
berikut: a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan di bidangnya, b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
ketentuan dalam Peraturan Presiden, c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya, d. Menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas
menyebutnya.
Dalam Pedoman no. 173 Lampiran UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan bahwa
Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada Menteri atau pejabat
setingkat menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
Kedua. Peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi.7 Artinya dalam
sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan permainan bahasa. Apa yang
ada dalam undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa yang berkomunikasi,
untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan apa isi dari yang disampaikan
5 Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
6 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74
7 Anthony Allots, The Limits of Law, Buteerworths, London, 1989, page 5
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
2
tersebut, apa yang menjadi pengganggu dan penghalang dalam melakukan komunikasi atau
bagaimana sistem komunikasi dapat dikembangkan.
Dengan memahami bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem
komunikasi, maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna peraturan perundang-
undangan untuk memahami definisi (definitie) dan pengertian-pengertian (begrip) yang
diatur dan dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud.
Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam dogmatika
hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang
dimaksudkan untuk mengatur prilaku warga masyarakat, maka harus dibuat jelas prilaku
apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
Maksud dari penetapan definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian
secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap keadaan melaksanakan
apa yang diatur sebuah peraturan perundang-undangan.8 Hal itu mengakibatkan bahwa
banyak undang-undang, sebelum pengaturan yang sesungguhnya, memberi batasan
pengertian (definisi yuridis) terlebih dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan
dalam undang-undang itu.
Dalam konteks PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pengertian yang akan
dibahas lebih lanjut adalah:
1. Pekerjaan Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical
Care).
2. Penempatan istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan.
3. Implikasi definisi yuridis dari istilah-istilah di atas terhadap peraturan pelaksanaan dari
peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN PRAKTEK KEFARMASIAN
Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik Kefarmasian
adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi Obat Keras, yang
mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan
8 J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
3
yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan Praktek Peracikan Obat di
Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin sebuah apotek. 9
Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang
Farmasi yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah pembuatan, pengolahan,
peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau
bahan obat. 10
Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat, dan obat tradisional.11
Selanjutnya UU ini menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan,
produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, 12 dan mengamanatkan bahwa
Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.13
Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar hukum pembentukan PP 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian hingga lahirnya membutuhkan
waktu 17 tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51 diundangkan 1 September 2009, UU No.
36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga sedang dalam proses pengesahan menjadi Undang-
Undang.
Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Pekerjaan Kefarmasian tidak
didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ yang definisinya tidak
dijumpai dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam Pasal 108 ayat (1) yang
9 Pasal 1 ayat (1) huruf (b) Ordonansi Obat Keras, St. 1937 No. 41.
10 Pasal 2 huruf (e) Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
11 Pasal 1 huruf (13) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
12 Pasal 63 ayat (1) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
13 Pasal 63 ayat (2) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
4
menyatakan bahwa “Praktik Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan“.
Selanjutnya diamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.14 Dengan mengacu pada Pasal 203 UU Kesehatan
tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan,15 pertanyaan mendasar yang perlu dijawab
berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian
atau Praktik Kefarmasian?, atau apa implikasi yuridis penggunaan istilah “Praktik
Kefarmasian“ pada UU Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah seperti diamanatkan Pasal 108 ayat (2) UU Kesehatan tahun 2009?.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menggunakan secara bergantian
istilah Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud menunjuk
pengaturan atas subjek dan objek hukum yang sama. Bedanya istilah Pekerjaan
Kefarmasian didefinisikan dengan jelas pada Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), sedangkan
istilah Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan.
Kerancuan ini juga terbaca pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan bahwa
“perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum
memadai....“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan Pemerintah ini diatur Asas dan
Tujuan Pekerjaan Kefarmasian.
PELAYANAN KEFARMASIAN
Dalam PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dikenalkan istilah “Pelayanan
Kefarmasian”, yang didefinisikan sebagai “suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”16.
14 Lihat Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan 2009
15 Pasal 203 UU Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan: “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”
16 Pasal 1 huruf (4) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
5
Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian
dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan dapat dilihat dari
pengertian Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama”.17
Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian dari Pekerjaan
Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk aktifitas apoteker dan
atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.
Hal ini akan semakin rancu jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51 tahun 2009,
yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”18, yang pengertiannya lain dari “mainstream”
pengertian Apotek yang selama ini dipahami profesi apoteker, yaitu “suatu tempat tertentu,
tempat dilakukan Pekerjaan Kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada
masyarakat”, dan yang berhak melakukan Pekerjaan Kefarmasian adalah Apoteker.
Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang sebenarnya dilakukan apoteker di apotek?,
Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian atau Pelayanan Kefarmasian?.
PP 51 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN APOTEK RAKYAT.
Pertimbangan untuk melahirkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek Rakyat
adalah untuk meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat dan
atau meningkatkan pelayanan kefarmasian.19 Permenkes ini menjadikan UU 23 tahun 1992
tentang Kesehatan sebagai dasar “Mengingat” dan menyatakan bahwa “Apotek Rakyat”
adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukan
penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak melakukan peracikan”.20
Pada saat keluarnya Permenkes ini, berbagai ketentuan tentang apotek dan toko obat
menjadi rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang
17 Pasal 1 huruf (11) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 18 Pasal 1 huruf (13) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
19 Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007
20 Pasal 1 huruf (1) Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
6
menjadikan dasar yang membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah
Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat, Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah perbedaan
pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian) yang bisa dilakukan seluruhnya oleh
apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di Apotek Rakyat tidak
diperkenankan “melakukan peracikan”.
Jika dilakukan penelusuran terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan yang
secara vertikal berada di atas Permenkes tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada satu
pasalpun yang mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat.
Jika dikaitkan dengan definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”, maka
merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah: Balai Pengobatan, Pusat
Kesehatan Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Praktik Dokter, Praktik
Dokter Gigi, Praktik Dokter Spesialis, Praktik Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko
Obat, Apotek, PBF, Pabrik Obat dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi
Kesehatan, Balai Pelatihan Kesehatan dan Sarana Kesehatan lainnya.
Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa: a. Apotek, b. Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, c. Puskesmas, d. Toko Obat; atau f. Praktek Bersama, maka pada dasarnya
keberadaan Apotek Rakyat tidak diakomodir oleh PP 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
APOTEKER PENANGGUNGJAWAB DAN APOTEKER PENDAMPING.
Dalam Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, diatur tentang Apoteker Penanggung jawab dan
Apoteker Pendamping.21 Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap Apoteker hanya dapat
melaksanakan praktik (sebagai Penanggung Jawab) di 1 (satu) apotek, atau Puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit.
Sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3
(tiga) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Pertanyaannya adalah, apa
yang menjadi tanggung jawab Apoteker Pendamping saat melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di apotek yang Apoteker Penanggung jawabnya tidak berada di tempat?, dan
bagaimana aturan hukumnya jika pada saat yang sama seorang Apoteker Penanggung
21 Pasal 14 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
7
Jawab juga melakukan pekerjaannya sebagai Apoteker Pendamping di 3 (tiga) Apotek
lain?.
IZIN MELAKUKAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
Berkenaan izin melakukan Pekerjaan Kefarmasian, maka PP 51 tahun 2009 mengatur
mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya, setiap Apoteker harus memiliki Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA). Kemudian jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit, maka Apoteker tersebut wajib
memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA). Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker
wajib memiliki Surat Izin Kerja (SIK).
SERTIFIKAT KOMPETENSI PROFESI.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mewajibkan dimilikinya Sertifikat
Kompetensi Profesi.22 Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat
memperoleh secara langsung Sertifikat Kompetensi Profesi setelah melakukan registrasi.
Sertifikat Kompetensi Profesi ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
melalui uji kompetensi profesi.
Dalam konteks lembaga yang berhak mengeluarkan Sertifikasi Kompetensi Profesi, PP 51
tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memperoleh
Sertifikat Kompetensi dan tata cara registrasi profesi akan diatur dengan Peraturan Menteri.
DOKTER DISPENSING DAN SUBSTITUSI OBAT.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan kebolehan kepada Tenaga
Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian23. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 yang
menyatakan: Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahlan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Dipihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan melakukan
penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau 22 Pasal 37 dan Pasal 39 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
23 Pasal 33 PP 51 tahun 2009, Tenaga Kefarmasian adalah a. Apoteker, b. Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker.
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
8
obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien. Penggantian obat merek
dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu secara finansial untuk tetap
dapat membeli obat dengan mutu yang baik.
PP 51 TAHUN 2009 DAN ORGANISASI PROFESI
Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia adalah Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat, yaitu HISFARMA
untuk kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI, untuk kelompok profesi
farmasi rumah sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok profesi farmasi industri.
Namun, berbeda dengan organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia), keberadaan
organisasi profesi di dalam PP 51 tahun 2009 tidak didefenisikan dalam ketentuan umum,
apakah ISFI atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada Ketentuan Umum, Pasal 1
angka (19) hanya dinyatakan, Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para
apoteker di Indonesia.
Di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, keberadaan organisasi profesi
dokter didefinisikan dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf (12), yang menyatakan:
“Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia untuk dokter gigi.
Dengan dijelaskannya maksud “Organisasi Profesi” pada Ketentuan Umum UU No. 29
tahun 2009 menyebabkan pembaca dan pengguna undang-undang menjadi mengerti bahwa
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi yang menetapkan standar
pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan.24 IDI juga mempunyai kewenangan
memberikan rekomendasi bagi dokter yang mau mendapatkan Surat Izin Praktik, 25 dan
melakukan pembinaan dan pengawasan bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.26
PP 51 TAHUN 2009 DAN KEWENANGAN ORGANISASI PROFESI
PP 51 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan kewenangan kepada organisasi
profesi untuk memberikan rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan Surat Izin
24 Pasal 28 ayat (2) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
25 Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
26 Pasal 71 UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
9
Praktik Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi farmasi rumah
sakit dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi yang ingin bekerja pada fasilitas produksi dan fasilitas
distribusi atau penyaluran.27
Organisasi profesi juga diberikan kewenangan untuk melakukan “audit kefarmasian”, yaitu
evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada
masyarakat. 28
Dalam Pasal 58 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinyatakan bahwa
Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota serta
Organisasi profesi apoteker mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan bagi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
PENUTUP
Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang paling beruntung diantara tenaga
kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki UU No. 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur berbagai hal tentang asas dan
tujuan praktik kedokteran, pembentukan Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik
kedokteran, pembentukan MKDKI dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi
muatannya diatur tentang hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban
pasien dan perlindungan hukum bagi dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan
praktik kedokteran.
Apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya merupakan profesi yang kurang beruntung
dikaitkan dengan payung hukum yang mengatur dan melindungi mereka dalam
menjalankan profesinya. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian sama sekali
tidak mengatur hak dan kewajiban apoteker/ tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pekerjaan kefarmasian.
Demikian juga PP ini tidak mengatur hak dan kewajiban pasien. Jika terjadi masalah dalam
hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau sengketa antara apoteker/ tenaga
kefarmasian dengan pasien/ masyarakat, maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak
27 Pasal 55 ayat (1) huruf (c) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
28 Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
10
mempunyai ketentuan perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri
profesi dan usaha mereka.
Jakarta, 5 Desember 2009.
Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009
11