PENDAHULUAN
Hipermetropi merupakan kelainan refraksi, dimana dalam keadaan mata
beristirahat (tanpa akomodasi), semua sinar sejajar yang datang dari benda-benda
pada jarak tak terhingga, dibiaskan dibelakang retina, dan sinar divergen, yang
datang dari benda-benda pada jarak dekat, dibiaskan dengan lebih jauh lagi
dibelakang retina.1,2
Keadaan ini dapat disebabkan oleh penurunan pada panjang sumbu
(hipermetropi aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau
penurunan indeks refraktif (hipermetropi refraktif) seperti pada kasus afakia.
Selain disebabkan oleh kedua hal tersebut diatas, hipermetropi dapat disebabkan
oleh kurangnya kelengkungan kornea ataupun lensa sehingga bayangan
difokuskan dibelakang retina, keadaan ini dikenal dengan istilah hipermetropi
kurvatur.3,4
Oleh karena seseorang dengan hipermetropia harus tetap berakomodasi,
baik pada penglihatan jauh maupun penglihatan dekat, untuk mendapatkan tajam
penglihatan terbaik, maka padanya timbul keluhan-keluhan mata cepat lelah,
pusing, sakit kepala, silau, mata terasa berair dan sebagainya. Keluhan-keluhan ini
disebut dengan astenopia akomodatif.4
Kepada seseorang dengan hipermetropia diberikan lensa sferis S + yang
terbesar (S + B) agar ia, tanpa akomodasi dapat melihat dengan sebaik-baiknya.
Lensa S + B adalah derajat dari hipermetropia manifes. Selain itu dapat diberikan
1
lensa kontak untuk kasus hipermetropia tinggi dan keadaan anisometropi 3.00 D.
2,5
Presbiopia merupakan keadaan refraksi mata, dimana pungtum
proksimum, yaitu titik terdekat yang dapat dilihat dengan akomodasi yang
maksimal, telah begitu jauh, sehingga pekerjaan dekat yang cukup halus seperti
membaca dan menjahit sulit untuk dilakukan. Proses ini merupakan suatu hal
yang bersifat fisiologis, seiring dengan pertambahan usia dan tidak perlu dianggap
sebagai suatu penyakit. Gejala subjektif yang terutama dikeluhkan pasien adalah
gangguan penglihatan dekat yang jika tidak dikoreksi akan menyebabkan
terjadinya astenopia akomodatif. Di Indonesia presbiopia biasanya bermula pada
usia 40 tahun. Orang yang lemah dengan keadaan umum yang kurang baik, sering
cepat membutuhkan kacamata baca, daripada orang sehat dan kuat. Untuk
memperbaikinya, diperlukan kacamata sferis positif (S +) yang besarnya
tergantung dari umurnya. 5,6
Berikut ini, dilaporkan sebuah kasus hipermetropi simpleks dengan
presbiopi pada pasien wanita, usia 55 tahun yang berobat di Poliklinik Mata
RSUD Ulin Banjarmasin.
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. I
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Banjar
Agama : Islam
Alamat : Jl KS Tubun Gg Teratai 16 Bjm
No. RMK : 1035996
Rawat Jalan di Poliklinik Mata : 10 Juli 2013
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : mata kiri dan kanan kabur
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak sekitar 3 tahun sebelum berobat ke poliklinik Mata, pasien mulai
merasakan penglihatan yang kabur pada kedua mata baik untuk melihat
jarak jauh ataupun melihat jarak dekat. Pasien juga mengeluhkan kesulitan
dalam membaca koran. Namun pada saat itu pasien tidak memiliki keluhan
yang dirasakan cukup mengganggu, sehingga pasien tidak berusaha untuk
berobat. Namun selama 6 bulan ini, pasien juga merasakan mata yang cepat
lelah, terutama jika dipergunakan untuk membaca koran dan menonton
televisi dalam jangka waktu yang lama. Dan sekitar 2 bulan ini, selain
3
mengeluhkan penglihatan yang berkurang dan mata yang cepat lelah, pasien
juga terkadang mengalami sakit kepala, mata terasa berair dan mudah
mengantuk, sehingga akhirnya pasien memutuskan untuk berobat ke
Poliklinik Mata.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat menderita Diabetes Mellitus, hipertensi, asma
ataupun pernah menderita penyakit mata tertentu sebelumnya.
Sejak 9 tahun yang lalu (tahun 2004), pasien sudah mengalami keluhan
serupa, dan hasil pemeriksaan diketahui bahwa ketajaman penglihatan
pasien telah berkurang dan telah mulai mengenakan kacamata dengan lensa
+ 125 untuk kedua matanya.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Status generalis : dalam batas normal
TD : 120/80 mmHg
N : 82 x/menit
RR : 18 x/menit
Status Lokalis
Pemeriksaan OD OS
Visus 5/30 5/20Palpebrae superior Edema (-) Edema (-)Palpebrae inferior Edema (-) Edema (-)Konjungtiva bulbi Hiperemi (-) Hiperemi (-)Konjungtiva palpebrae Hiperemi (-) Hiperemi (-)
4
Sklera Hiperemi (-) Hiperemi (-)Kornea Jernih JernihCamera Occuli Anterior Dangkal DangkalIris Reguler RegulerPupil Miosis, Refleks Cahaya
(+)Miosis, Refleks Cahaya (+)
Lensa Jernih Jernih
VODS 5/30 S + 175 D 5/5 Untuk penglihatan jauh
5/20 S + 125 D 5/5
VODS S + 275 D Untuk penglihatan dekat
IV. DIAGNOSIS KLINIS
ODS hipermetropi simpleks dengan presbiopi
V. PENATALAKSANAAN
- Pemberian kacamata dengan koreksi lensa sferis positif terkuat yang
menghasilkan tajam penglihatan jauh terbaik (S + 175 D). Serta koreksi
penglihatan dekat dengan pemberian lensa sferis positif sesuai dengan
usia penderita (S + 275 D)
5
DISKUSI
Hipermetropi merupakan kelainan refraksi dimana dalam keadaan mata
istirahat (tanpa akomodasi), semua sinar sejajar, yang datang dari benda-benda
pada jarak tak terhingga, dibiaskan dibelakang retina dan sinar divergen yang
datang dari benda-benda pada jarak dekat, dibiaskan lebih jauh lagi, dibelakang
retina.1,2
Berdasarkan penyebabnya, dikenal:3,4
1. Hipermetropi sumbu atau hipermetropi aksial. Pada tipe hipermetropia ini
didapatkan keadaan sumbu mata yang terlalu pendek dan ada yang bersifat
kongenital ataupun akuisita (didapat). Kelainan kongenital yang dapat
menyebabkan terjadinya hipermetropi aksial adalah mikroftalmia. Kelainan
akuisita yang menyebabkan terjadinya hipermetropi aksial adalah retinitis
sentralis dan ablasio retina.
2. Hipermetropi refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem
optik mata. Keadaan ini didapatkan pada pasien yang tidak mempunyai lensa
(afakia). Pada penderita Diabetes Mellitus mungkin dengan pengobatan yang
hebat, sehingga humor akuos yang mengisi bilik mata, mengandung kadar
gula yang rendah, menyebabkan daya bias berkurang sehingga terjadi
hipermetropia.
3. Hipermetropi kurvatur, dimana kelengkungan kornea berkurang (aplanatio
cornea) ataupun kelengkungan lensa yang telah berkurang karena sklerosis
yang lazim terjadi pada usia 40 tahun keatas.
6
Hipermetropi dikenal dalam bentuk :3,4,5
1. Hipermetropi manifes. Ialah hipermetropi yang dapat dikoreksi dengan lensa
sferis (+) terbesar yang memberikan tajam penglihatan normal sebaik-baiknya.
Hipermetropi ini terdiri atas hipermetropi manifes absolut dan hipermetropi
manifes fakultatif.
Pada hipermetropi manifes fakultatif, kelainan hipermetropi masih dapat
dikoreksi atau diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif.
Pasien yang hanya mempunyai hipermetropi fakultatif akan melihat normal
tanpa kacamata yang bila diberikan kacamata positif yang memberikan
penglihatan normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat.
Pada penderita ini, jika diberikan lensa S + 0,50 maka tajam penglihatan akan
tetap sama atau bahkan bertambah baik.
Pada hipermetropi manifes absolut, keadaan refraksi tidak diimbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya
hipermetropi laten yang ada, berakhir dengan hipermetropi absolut ini.
2. Hipermetropi laten. Merupakan selisih antara hipermetropi total dan
hipermetropi manifes, merupakan kekuatan tonus dari mm. Siliaris.
3. Hipermetropi Total. Merupakan suatu hipermetropi yang ukurannya
didapatkan sesudah diberikan sikloplegia (preparat medikamentosa yang
bertujuan untuk melemahkan daya akomodasi).
Pada pasien dengan hipermetropi, untuk dapat melihat benda pada jarak
tak terhingga (5-6 meter atau lebih) dengan baik, pasien tersebut harus
berakomodasi, supaya bayangan dari benda tersebut yang difokuskan dibelakang
7
retina, dapat dipindahkan tepat di retina. Untuk melihat benda yang lebih dekat
dengan jelas, akomodasi lebih banyak dibutuhkan, karena bayangannya terletak
lebih jauh lagi dibelakang retina. Dengan demikian, untuk mendapatkan
ketajaman penglihatan sebaik-baiknya, pasien dengan hipermetropi, harus selalu
berakomodasi, baik untuk penglihatan jauh, terlebih lagi untuk penglihatan dekat.
5,6
Sebagai akibat dari usaha akomodasi untuk mendapatkan tajam
penglihatan terbaik yang terus-menerus tersebut, secara subjektif pasien akan
mengeluhkan mata lelah, pusing, sakit kepala, mata berair, mudah mengantuk dan
sebagainya. Keluhan-keluhan ini disebut sebagai astenopia akomodatif.3,5
Oleh karena akomodasi juga disertai dengan konvergensi (trias akomodasi
terdiri dari akomodasi, konvergensi dan miosis), mungkin posisi kedua mata
dalam keadaan strabismus konvergen (esotropia).5
Jika derajat hipermetropi pada suatu mata lebih tinggi daripada mata
lainnya, maka mungkin mata yang pertama tidak dipergunakan lagi, sehingga
tajam penglihatan makin lama makin berkurang (ambliopia). Mata yang ambliopia
tersebut sering menggulir ke temporal, disebut dengan strabismus divergen
(eksotropia).5
Gejala objektif dari hipermetropia dapat diamati dengan alat-alat seperti.
oftalmoskop, Gambaran yang didapatkan berupa hipertrofi dari otot-otot siliaris
yang disertai dengan terdorongnya iris ke depan, sehingga bilik mata depan
menjadi dangkal. Hal ini terjadi sebagai akibat upaya akomodasi terus menerus.
Mengingat trias akomodasi yang terdiri dari akomodasi, miosis dan konvergensi,
8
maka orang hipermetrop, karena selalu berakomodasi, pupilnya menjadi miosis.
Fundus okuli, akibat akomodasi ini menjadi hiperemis, juga terdapat hiperemi dari
papil N. II, seolah-olah meradang yang disebut sebagai pseudo papilitis atau
pseudo neuritis. 3,6
Penyulit yang dapat timbul pada hipermetropia, selain strabismus
konvergen (akibat akomodasi terus-menerus untuk mendapatkan tajam
penglihatan terbaik, disertai konvergensi) adalah glaukoma. Sudut bilik mata
depan yang dangkal pada hipermetropi merupakan predisposisi anatomis untuk
terjadinya glaukoma sudut tertutup. Bila disertai dengan adanya faktor-faktor
pencetus seperti membaca terlalu lama, penetesan midriatika, dsb, maka serangan
glaukoma kongestif akut dapat terjadi.6
Presbiopia merupakan keadaan refraksi mata dimana pungtum proksimum
yaitu titik terdekat yang dapat dilihat dengan akomodasi maksimal telah begitu
jauh sehingga pekerjaan yang dekat dan halus seperti membaca ataupun menjahit
sukar dilakukan. Proses ini merupakan keadaan fisiologis, terjadi pada setiap mata
dan tidak usah dianggap sebagai suatu penyakit. Sepanjang hidup terdapat
pengerasan yang terjadi sedikit-demi sedikit pada lensa yang mulai pada nukleus,
sehingga lensa mengalami kesukaran dalam mengubah bentuknya pada
penglihatan dekat, untuk menambah daya biasnya, karena lensa tidak kenyal lagi.
Dengan demikian daya akomodasinya mengurang akibat proses sklerosis ini.
Ditambah lagi dengan daya kontraksi dari otot silier yang mengurang sehingga
pengendoran dari Zomula Zinni menjadi tidak sempurna.6,7
9
Pada presbiopia dapat timbul keluhan subjektif seperti gangguan
penglihatan dekat. Semua pekerjaan dekat, sukar dikerjakan oleh karena menjadi
kabur, sehingga terjadi pengecilan dari pupil, dan penglihatan menjadi lebih
terang. Segala pekerjaan dekat seperti membaca, menjahit, dsb dapat dikerjakan
bila jaraknya lebih dijauhkan, sehingga sangat mengganggu, seolah-olah
tangannya terlalu pendek untuk pekerjaan tersebut. Kalau dibiarkan dan tidak
dikoreksi, akan menimbulkan tanda astenopia berupa mata sakit, lekas lelah,
lakrimasi selain melihat dekat yang dirasa sukar. Tanda-tanda ini bertambah hebat
pada penerangan yang buruk atau pada malam hari. Di Indonesia, terjadinya
biasanya mulai pada umur 40 tahun. Orang yang lemah dengan keadaan umum
yang kurang baik, sering lebih cepat membutuhkan kacamata baca daripada orang
yag sehat. Untuk memperbaikinya diperlukan kacamata sferis positif (S+) yang
besarnya bergantung dari umurnya. :7,8
- Untuk usia 40 tahun kedua mata harus diberi lensa S + 1.00 D.
- Untuk usia 45 tahun kedua mata harus diberi lensa S + 1.50 D.
- Untuk usia 50 tahun kedua mata harus diberi lensa S + 2.00 D.
- Untuk usia 55 tahun kedua mata harus diberi lensa S + 2.50 D.
- Untuk usia 60 tahun kedua mata harus diberi lensa S + 3.00 D.
Beberapa tindakan koreksi untuk kasus kesalahan refraksi : 8,9
1. Lensa kacamata. Kacamata masih merupakan metode paling aman untuk
memperbaiki refraksi. Pada hipermetropi dilakukan koreksi dengan lensa
sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam penglihatan jauh terbaik dan
memungkinkan pasien untuk melakukan pekerjaan dekat tanpa merasa lelah.
10
Pada presbiopi dilakukan koreksi dengan penambahan lensa sferis positif
untuk penglihatan dekat yang sesuai dengan usia pasien.
2. Lensa kontak. Dipergunakan untuk tata laksana hipermetropi tinggi ataupun
anisometropi 3.00 dioptri. Semua bentuk lensa kontak digunakan untuk
melakukan koreksi refraktif afakia, terutama untuk mengatasi aniseikonia
afakia monokular dan lensa ini menghasilkan kualitas bayangan yang lebih
baik daripada kacamata. Tetapi sebagian besar penggunaan lensa kontak
adalah untuk koreksi kosmetik kesalahan refraktif ringan.
3. Bedah keratorefraktif. Mencakup serangkaian metode untuk mengubah
kelengkungan permukaan anterior mata. Efek refraktif yang diinginkan secara
umum diperoleh dari hasil-hasil empiris tindakan serupa pada pasien lain dan
tidak didasarkan pada perhitungan optis matematis.
4. Lensa intraokular. Penanaman lensa intraokular telah menjadi metode pilihan
untuk koreksi kesalahan refraksi pada afakia. Telah diciptakan sejumlah
rancangan, dan yang tersering dipergunakan adalah sebuah optik yang terbuat
dari polimetilmetakrilat dan lengkungan (haptik) yang terbuat dari bahan yang
sama atau polipropilen. Sekarang diciptakan lensa-lensa yang dapat ditekuk
dan terbuat dari plastik hidrogel untuk mengurangi ukuran luka yang
diperlukan untuk mengeluarkan katarak. Posisi palimh aman bagi lensa
intraokular tampaknya adalah di dalam kantung kapsul setelah pembedahan
ekstrakapsular.
Diagnosis hipermetropia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan dari
anamnesis dimana terdapat keluhan ketajaman penglihatan yang berkurang baik
11
untuk jarak jauh maupun jarak dekat, adanya gambaran astenopia akomodatif
walaupun terkesan tidak parah dan terdapatnya riwayat penggunaan ”kacamata
positif” sejak 9 tahun yang lalu yang telah mengalami proses penambahan seiring
perjalanan waktu. Dari pemeriksaan fisik dengan menggunakan lampu senter,
didapatkan pupil miosis dan bilik mata depan yang terkesan dangkal. Berdasarkan
pemeriksaan secara subjektif dengan menggunakan optotipe dari Snellen
didapatkan nilai visus dibawah normal yaitu 5/30 yang setelah dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis positif 175 Dioptri berubah menjadi 5/5 (nilai visus
normal).
Diagnosis presbiopia ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, dimana
diketahui pasien memiliki keluhan kesulitan membaca koran (salah satu pekerjaan
dekat dan halus) dan usia pasien yang sudah termasuk dalam kategori kelompok
usia yang secara fisiologis mengalami presbiopia.
Pasien kemudian mendapatkan tata laksana berupa pemberian kacamata
bifokal dengan lensa S +175 untuk penglihatan jarak jauh kedua mata dan lensa S
+ 275 untuk penglihatan jarak dekat kedua mata.
12
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus, atas nama Ny. I, umur 55 tahun dengan
diagnosis ODS hipermetropi simpleks dengan presbiopi. Dari anamnesis diketahui
bahwa pasien mengeluhkan penglihatan yang terasa kabur pada kedua matanya,
baik untuk melihat jarak jauh maupun dekat, terutama pada saat membaca yang
disertai dengan mata cepat lelah, sakit kepala, mata terasa berair dan mudah
mengantuk. Dari riwayat penyakit dahulu diketahui bahwa pasien telah
menggunakan kacamata plus (lensa sferis positif) sejak 9 tahun yang lalu, dan
kekuatan lensa sferis positif yang diperlukan telah mengalami penambahan. Dari
pemeriksaan fisik secara subjektif dengan menggunakan optotipe dari Snellen
didapatkan penurunan visus yaitu 5/30, pada pemeriksaan dengan senter
didapatkan pupil yang miosis dan bilik mata depan yang tampak dangkal. Setelah
dikoreksi dengan lensa S + 175 D maka visus pasien menjadi 5/5 (normal).
Berdasarkan gambaran klinis yang sesuai dengan hipermetropi, adanya keluhan
yang sesuai dengan astenopia akomodatif dan usia pasien yang sudah termasuk
dalam kelompok usia penderita presbiopia, pasien kemudian didiagnosis
hipermetropi simpleks dengan presbiopi. Pasien kemudian mendapatkan tata
laksana berupa pemberian kacamata bifokal dengan lensa S + 175 untuk
penglihatan jarak jauh kedua mata dan lensa S + 275 untuk penglihatan jarak
dekat kedua mata.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Wijana, N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta, 1993
2. Anonymous. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Mata. Surabaya : FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, 1994.
3. Riordan, P. Dan Orson W. White. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum Voughan DG, et al (ed) Edisi 14. Jakarta : Widya Medika, 2000.
4. Ilyas, S. Dkk. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-2. jakarta : Sagung Seto, 2002.
5. James B, dkk, 2006. Lecture notes oftamologi. Jakarta : Erlangga
6. http://www.erfins.multiply.com.journalitem 43 - 19k. last updated : Desember 28, 2010. Sumber : American Academy of Ophthalmology.
7. American Academy of Ophthalmology. Clinical Optics. Chapter 4: Clinical Refraction. Section 3. Basic and Clinical Science Course. 2008 – 2009, 118, 147.
8. Yannof M, Duker JS, Augsburger JJ, editors. Ophthalmology 2nd Edition. Mosby: Philadelphia, 2003.
9. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56.
14