1
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Surakarta berasal dari kata Sala adalah jenis pohon. Kata Sala pada
perkembangannya menjadi Salakarta dan sekarang lebih dikenal dengan Solo.
Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah
dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan
mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya.
Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh
Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. ” (Wikipedia,
Keraton Surakarta Hadiningrat, 23 Februari 2009).
Rumah dalam arti luas adalah dunia, di mana manusia harus
mengembangkan diri dengan merealisasikan kemampuan serta memenuhi
kebutuhannya. Rumah dalam arti fisik, merupakan suatu yang sangat kompleks
yaitu sebagai tempat sebagian besar kegiatan domestik dilakukan, termasuk cara
mengkomunikasikan gagasan atau ekspresi diri penghuni yang terikat budaya,
aspek sosial hingga ekonomi. Kegiatan yang terjadi di dalam rumah dipisahkan
hingga membentuk klaster yang memberikan tingkatan dari ruang publik, semi
publik hingga privat. Dalam rumah Jawa juga terdapat hirarki pembagian ruang
berdasarkan fungsinya.
Rumah mengalami perubahan akibat meningkatnya pengetahuan manusia
dari yang sederhana ketingkat yang lebih kompleks. Pengetahuan ini membantu
mengarahkan manusia memahami nilai, konsepsi, atau paham yang membimbing
tindakan dalam upayanya mencari pengalaman yang harmonis untuk mencapai
ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Pandangan mengenai konsep
kemapanan dalam bertempat tinggal memberikan gambaran keberadaan dan status
seseorang, yang memungkinkannya memiliki kontrol teritorial terhadap ruang
spasialnya. Rumah hanya salah satu cara yang nyata untuk mewujudkan upaya
menghuni suatu tempat, yang terdiri dari struktur bangunan fisik yang memuat
satuan simbolis, sosial dan praktis (Santosa, 2000:3). Disebutkan juga bahwa
2
budaya mengarahkan masyarakat Jawa sebagai manusia yang kaya akan nilai-nilai
luhur tidak lepas dari budaya pembentuk pandangan hidup. Budaya sebagai akar
pembentuk berbagai aspek kehidupan termasuk dalam arsitekturnya khususnya
rumah Jawa.
Meskipun budaya Jawa memperoleh gempuran dan pengaruh dari budaya
luar namun masyarakat Jawa atau kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang
luar biasa dalam mempertahankan keaslian budayanya, dengan cara membiarkan
bahkan menerima budaya asing tersebut, sebagai sarana untuk memperkaya
kebudayaan Jawa, sampai akhirnya menjadikan pengaruh budaya luar itu sebagai
budaya Jawa (Suseno, 1988:16). Pembauran masing-masing komponen
masyarakat dalam lingkungan budaya yang baru memberikan nuansa dan wajah
baru bagi kota Surakarta. Namun, masyarakat Jawa akan tetap mempertahkan
yang diyakininya sedari dulu. Warisan leluhur dijadikan dasar bagi individu agar
mendapatkan tempat dan pengakuan dari masyarakat luas. Suatu warisan luhur
yang menuntun dirinya menjadi manusia Jawa akan terus dipertahankan dan
dijadikan identitas Jawa.
Mempertahankan warisan leluhur merupakan hal yang penting untuk
mempertahnkan identitas ataupun jati diri, seperti yang diungkapkan Pakubuwono
X, bahwa “dengan dasar (warah/petuah) filosofi dari Sunan Pakubuwono X bahwa
, “Budoyo Jowo iku ora bedo karo pusoko kadatone, lamun dipepetri bakal
hamberkahi nanging lamun siniosio bakal tuwuh haladipun (budaya Jawa itu
sama dengan pusaka keraton jika dihormati akan memberi berkah, namun jika
disia-sia akan memberi hukuman)” (wapedia hal 6, Kota Surakarta,23 Februari
2009). Hukuman maupun berkah dapat dinilai secara luas tergantung masyarakat
menginterpretasikannya. Perlu diingat bahwa budaya juga dekat dengan rana tak
teraga dalam kehidupan suatu masyarakat.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari hidup dan
berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya
lain dalam waktu singkat (Koentjaraningrat, 1974:32). Kebudayaan dibangun oleh
masyarakat dengan pemikiran yang abstrak tentang apa yang penting dan bernilai
dalam hidupnya. Kebudayaan menjadi pedoman hidup baik itu tindakan maupun
sikap, melalui proses penyamaan pandangan masyarakat atas pandangan atau
3
pendapat pribadi. Pedoman hidup tersebut disetujui bersama dan kemudian
menjadi latar kebudayaan. Jawa sebagai daerah yang memegang teguh
kebudayaannya telah mempertahankan apa yang diyakininya tapi tidak menutup
diri atas segala sesuatu yang baru untuk membangun kekayaan budaya yang
dimilikinya. Budaya merupakan pintu gerbang menuju berbagai pemikiran abstrak
yaitu filosofi yang berkembang menjadi falsafah hidup yang dipegang oleh
masyarakat Jawa.
Pemikiran-pemikiran masyarakat Jawa terpapar dari bagaimana mereka
menjalankan kehidupannya dengan berbagai sikap yang berhubungan dengan
sesamanya dan berhubungan dengan Tuhannya. Kekhasan ini sebagai pedoman
menjalani kehidupannya seperti sikap tepa slira terhadap sesama, kcenderungan
berbudi luhur, mawas diri, dan lainnya. Pedoman inilah yang menjadi falsafah
masyarakat Jawa dalam mengembangkan kehidupannya.
Keaslian arsitektur Jawa mengalami beberapa perubahan secara fisik
menimbulkan pertanyaan akan pemaknaannya. Penelitian ini juga mencoba
mengungkap makna yang terjadi pada rumah bangsawan dilihat dari segi falsafah
hidup masyarakat Jawa. Rumah bangsawan diangkat dalam penelitian ini karena
diperkirakan masih memegang keaslian karena rana terdekat dengan Keraton.
Penelitian ini akan menguak makna yang terkandung dalam inti rumah bangsawan
Jawa, yaitu pendopo, pringgitan dan dalem ageng dengan menggunakan metode
kualitatif. Pemaknaan bagian-bagian tersebut akan dikorelasikan terhadap falsafah
hidup masyarakat Jawa untuk menemukan hubungannya.
4
1.2 Masalah
Bagaimana cara membaca makna dalam rumah bangsawan Jawa?
Bagaimana hubungan makna dan falsafah hidup masyarakat Jawa pada rumah
bangsawan Jawa?
1.3 Lingkup Penelitian
Lingkup wilayah penelitian
Wilayah penelitian berada di Surakarta, Jawa Tengah karena pernah menjadi
salah satu pemerintahan terbesar yang pernah ada di Pulau Jawa yang sarat
akan berbagai hasil kebudayaan dan memikiran yang masih dapat dilihat dan
dilakukan hingga sekarang. Surakarta dibagi menjadi dua wilayah besar yaitu
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Penelitian ini mengambil objek
dari wilayah Kasunanan Surakarta dengan memfokuskan pada masa
pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939). Periode kekuasaan ini ditetapkan
pada masa pemerintahan Pakubuwono X-lah berbagai bidang menunjukkan
peningkatannya begitu pula arsitektur.
Objek penelitian
Pada periode Pakubuwono X, arsitektur berkembang pesat pada bangunan-
bangunan Surakarta. Penelitian ini memfokuskan pada skala mikro rumah
bangsawan yaitu pendopo, paringgitan dan dalem ageng yang merupakan
bagian terpenting dan tidak dapat dipisahkan dari komponen tipikal rumah
Jawa.
Subjek Penelitian
o Falsafah hidup masyarakat Jawa sebagai tolok ukur keaslian makna
dalam rumah bangsawan Surakarta. Falsafah berupa pedoman yang
melekat pada manusia Jawa merupakan hasil kebudayaan dan
pemikiran yang masih digunan hingga sekarang walaupun terjadi
sedikit pergeseran karena pengaruh kemajuan teknologi.
o Makna rumah Jawa sebagai suatu ungkapan implisit pemiliknya yang
membedakan dengan kebudayaan lainnya. Bangunan yang dimiliki
oleh golongan sosial tinggi dan sebagai pembeda dengan golongan
5
masyarakat lainnya dan kelengkapan bangunan, sehingga objek kasus
mengangkat dalem bangsawan.
1.4 Tujuan
Memahami makna yang terkandung pada rumah bangsawan
Mengaitkan falsafah Jawa terhadap makna yang terkandung pada bagian-
bagian pembentuk rumah bangsawan Jawa
1.5 Manfaat
Segi teori
Memperkaya kajian teradap makna yang dikaitkan dengan falsafah yang
menjadi pedoman hidup dan warisan nenek moyang.
Memperkaya pengetahuan terhadap pemaknaan yang terjadi pada rumah
bangsawan Jawa sehingga masyarakat dan khususnya arsitek untuk
memperdalam pengetahuan tentang arsitektur Nusantara.
Segi praktek
Dalam implementasinya terhadap karya arsitektur yang mengacu pada
kekinian arsitektur Jawa, arsitek dapat lebih dulu paham makna yang
terkandung sehingga tidak semerta-merta mengaplikasikan elemen-elemen
Jawa yang tidak sesuai dengan maknanya.
Sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam pembuatan program
pengembangan kota Surakarta yang sesuai dengan aturan dasar pemaknaan
pendopo sehingga adanya aturan baku terhadap pembangunan baru bangunan
Jawa secara langsung menguatkan karakteristik kota Surakarta.
Pemaknaan yang terjadi secara khusus diharapkan berdampak bagi penghuni
baik merasa memiliki maupun menjaga warisan nenek moyang sebagi cagar
budaya.
6
(Halaman Ini Sengaja Dikosongkan)