IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos
Konversi sampah organik pasar menjadi kompos difokuskan untuk jenis sampah
lunak, seperti sayur-sayuran, dedaunan dan kulit buah-buahan. Langkah ini bertujuan
untuk mempercepat proses penanganan atau minimisasi jumlah timbunan sampah di
pasar yang kian hari terus meningkat dan juga untuk sampah yang sudah menumpuk di
TPA. Proses ini akan optimal, bila sampah yang akan diolah, diambil langsung dari
sumbernya di pasar pada waktu pagi, sebelum sampah dicampur dan dibuang ke TPS.
Jika hal itu dapat dilakukan, maka proses pemilahannya tidak sukar dan tidak
membutuhkan waktu yang lama sehingga dapat menghemat biaya dan tenaga.
4.1.1 Karakteristik Bahan Baku
Hasil karakterisasi bahan baku sampah organik pasar yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kadar air dan nisbah C/N sampah organik pasar
Kadar (%) Contoh Ulangan
Air Karbon Nitrogen Nisbah C/N
1 60,76 34,98 1,82 19,22
2 55,63 39,14 1,74 22,49 Sampah Organik
Pasar Rataan 58,20 37,06 1,78 20,86
Dari data Tabel 8 diketahui bahwa rata-rata kadar air sampah organik pasar,
yaitu 58,20%, hasil ini masih dalam batas yang dikemukakan oleh Djuarnani et al.
(2005) bahwa pada umumnya sampah pasar mengandung air berkisar 30-60%. Proses
pengomposan suatu bahan secara aerobik akan berlangsung cepat dan optimal, jika
bahan baku yang digunakan mengandung 40-50% air, sedangkan secara anaerobik
lebih baik mengandung kadar air 50% ke atas (Yuwono 2006). Menurut Sahwan
(1997), pengomposan sampah lunak akan berlangsung lebih cepat jika kandungan
airnya berkisar 50-55%.
Jika bahan baku mengandung kadar air terlalu rendah pada proses pengomposan
secara aerobik, maka bahan cepat kering sehingga pengomposan berjalan lambat,
62
sedangkan jika kandungan airnya terlalu tinggi dapat menyebabkan aerasi akan
berkurang sehingga proses pengomposannya juga akan berjalan lambat karena
perkembangbiakan mikroorganisme pengurai membutuhkan oksigen yang cukup. Hal
ini akan berbeda, jika proses pengomposan berlangsung secara anaerobik
membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu lebih 50%, karena untuk membentuk
senyawa-senyawa gas dan asam-asam organik, mikroorganisme membutuhkan air yang
cukup sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Kadar air yang tinggi juga
diperlukan untuk memudahkan penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.
Nisbah C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan. Hal
ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang
membutuhkan karbon dan nitrogen sebagai sumber energi dan pembentukan selnya.
Dari data Tabel 8 ditunjukkan rata-rata nisbah C/N sampah organik pasar, yaitu 20,86.
Menurut Yuwono (2006), proses pengomposan secara aerobik akan optimal, jika bahan
baku mengandung nisbah C/N berkisar 25-30, sedangkan pada proses secara anaerobik
membutuhkan nisbah C/N lebih 30. Proses pengomposan yang baik, idealnya suatu
bahan mengandung nisbah C/N berkisar 20-40, tetapi nisbah C/N yang paling baik,
yaitu 30 (Djuarnani et al. 2005). Jika nisbah C/N terlalu tinggi, aktivitas biologi
mikroorganisme akan berkurang. Selain itu, mikroorganisme memerlukan beberapa
siklus untuk menyelesaikan proses degradasi bahan organik sehingga waktu untuk
pembentukan kompos akan lebih lama dan mutu kompos yang dihasilkan juga relatif
rendah. Jika nisbah C/N terlalu rendah, maka kadar amoniak yang dihasilkan terlalu
banyak sehingga dapat meracuni mikroorganisme yang berdampak pada penurunan
aktivitasnya (Fricke et al. 2007). Di samping itu, Su & Puls (2007) menyatakan
kelebihan kandungan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat
diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi.
Proses pengomposan akan lebih cepat jika bahan bakunya memiliki ukuran
yang kecil. Untuk itu, bahan baku yang terlalu kasar perlu dicacah sehingga ukurannya
menjadi lebih kecil. Bahan yang berukuran kecil akan terdekomposisi secara lebih
cepat karena mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kontak dengan
mikroorganisme akan lebih maksimal. Namun, ukuran bahan yang terlalu kecil akan
menyebabkan aerasi ke dalam timbunannya akan berkurang dan kelembapannya juga
sangat tinggi sehingga mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak dapat bekerja
secara optimal. Dengan demikian, agar proses pengomposan bahan baku seperti di atas
63
dapat berlangsung secara lebih cepat, perlu dibantu dengan bahan aktif yang berasal
dari biodekomposer.
4.1.2 Proses Pengomposan
Pada awal proses pengomposan, campuran bahan mengeluarkan bau busuk
yang menyengat dan air licit yang keluar melalui lubang pada bagian bawah tempat
pengomposan, maka di sekitar tempat tersebut dihinggapi banyak lalat. Setelah proses
berlangsung lebih dari satu minggu, jumlah lalat jadi berkurang seiring dengan
menghilangnya bau busuk dari campuran kompos. Menurut Haug (1980), bau busuk
yang dihasilkan pada proses pengomposan terjadi karena timbulnya gas NH3, H2S, dan
sulfur organik akibat proses berlangsung secara anaerobik (Gambar 3).
Pengomposan sampah organik pasar pada penelitian ini secara umum
berlangsung selama ± 30 hari, dan selama proses tersebut terjadi perubahan sifat-sifat
bahan, antara lain perubahan warna, suhu, pH dan kelembapan. Pada pengamatan
perubahan warna ditunjukkan warna bahan baku yang semula coklat kekuningan
berubah menjadi coklat kehitaman pada saat dihasilkan kompos, yang diikuti juga
dengan perubahan bentuknya dari kasar menjadi remah/gembur.
4.1.2.1 Perubahan suhu selama proses pengomposan
Perubahan suhu pada proses pengomposan merupakan salah satu faktor penting
sebagai penentu apakah proses dekomposisi berjalan dengan baik atau tidak. Faktor
suhu berhubungan erat dengan proses dekomposisi atau perombakan bahan organik,
aktivitas mikroorganisme dan kadar air bahan yang dikomposkan. Data perubahan suhu
kompos selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 9, 10 dan 11.
Data Tabel 9 menunjukkan bahwa perubahan suhu selama seminggu proses
pengomposan rata-rata berkisar antara 31,41-45,02 oC. Semua perlakuan pengomposan
mengalami peningkatan suhu pada hari ke-1, dan peningkatan suhunya yang paling
mencolok ditunjukkan oleh perlakuan pengomposan dengan biodekomposer campuran
Orgadec-Biodek-Arang (B8) dan EM-4 (B2) yang secara berturut rata-rata suhunya
mencapai 51,25 dan 49,17 oC. Peningkatan suhu yang cepat dan tertinggi pada proses
pengomposan dengan campuran biodekomposer Orgadec-Biodek-Arang kemungkinan
disebabkan karena pada perlakuan ini mengandung jenis dan jumlah mikroba lebih
beragam yang terdiri atas Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. dari serbuk
Orgadec dan campuran kapang Aspergillus niger, Trichoderma sp. dan jamur Trametes
64
versicolor dari cairan Biodek mampu bekerjasama secara cepat dan intensif sehingga
menghasilkan kalor yang relatif tinggi dalam waktu relatif cepat. Trichoderma sp
mengandung enzim sellulose yang berperan memecahkan ikatan β-glikosidik pada
struktur sellulosa (Wang et al. 2003), dan Trametes versicolor mengandung enzim yang
mempunyai aktivitas memecahkan struktur molekul lignin (Hossain & Anantharaman
2006). Pada proses pengomposan ini suhu meningkat tajam dan mencapai optimum
pada hari ke-1, sedangkan pada hari ke-2 dan seterusnya suhu proses menurun secara
perlahan-lahan seiring dengan semakin berkurangnya bahan nutrisi yang tersedia.
Tabel 9 Rataan perubahan suhu kompos seminggu pertama pengomposan
Perubahan suhu (oC) pada hari ke- Perlakuan 0 1 2 3 4 5 6 7
B0 30,33 33,50 36,17 35,67 33,83 33,67 34,33 33,17 B1 30,83 34,67 37,50 42,83 38,73 37,50 36,40 33,50 B2 32,17 49,17 47,67 46,00 44,50 42,83 41,33 40,00 B3 31,50 46,83 45,83 43,50 38,73 39,00 37,50 36,50 B4 30,75 46,75 45,50 43,25 40,25 39,25 39,00 38,25 B5 31,75 46,00 45,50 42,75 41,25 38,75 37,50 37,25 B6 31,75 47,50 46,75 42,00 39,75 37,25 37,00 37,25 B7 31,25 47,75 46,25 44,00 41,25 40,25 38,00 36,75 B8 31,50 51,25 49,25 45,75 43,50 42,25 40,75 40,00 B9 32,25 46,75 46,50 43,75 41,00 39,75 38,00 34,75
Suhu Lingkungan 29,00 31,00 30,50 30,00 29,00 28,00 29,00 29,00 Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Biodekomposer EM-4 juga mengandung mikroorganisme yang beragam yakni
Lactobacillus, Actinomycetes, Streptomyces sp. dan ragi yang bekerja secara cepat dan
efektif dalam mendekomposisi bahan-bahan organik. Mikroorganisme yang terdapat
dalam biodekomposer EM-4 mengandung enzim yang mampu memecah ikatan dalam
struktur polisakarida dan protein (Mahendra & Alvarez-Cohen 2005; Nakashima et al.
2005 dan Srivibool et al. 2004). Di samping itu, juga karena EM-4 yang digunakan
adalah berupa cairan yang relatif dapat bercampur secara lebih homogen dengan bahan
baku yang dikomposkan sehingga terjadi interaksi lebih baik antar komponen. Hasil ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Djuarnani et al. (2005) bahwa cairan EM-4
65
sangat potensial untuk melangsungkan proses dekomposisi bahan-bahan organik
melalui fermentasi yang berlangsung secara cepat dan eksoterm.
Pada hari ke-1 proses pengomposan semua perlakuan menunjukkan
peningkatan suhu yang maksimum, kecuali kontrol dan perlakuan yang menggunakan
biodekomposer Orgadec. Perlakuan dengan biodekomposer ini menunjukkan
peningkatan suhu yang relatif lambat, pada hari ke-1, suhunya hanya mampu mencapai
34,67 oC, jauh dibanding suhu rata-rata yang mencapai 45,02 oC. Proses pengomposan
dengan perlakuan ini baru dapat mencapai peningkatan suhu yang maksimum pada hari
ke-3, yaitu sebesar 42,83 oC. Namun, suhunya juga masih di bawah rata-rata hari ke-3,
yaitu 42,95 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan karena biodekomposer Orgadec yang
hanya mengandung mikroba Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. tidak
mampu bekerja optimal dalam mendekomposisi jenis sampah organik pasar yang
kandungan airnya lebih 50%. Di samping itu, juga disebabkan karena biodekomposer
ini berbentuk serbuk berwarna coklat kehitaman yang mempunyai sifat sukar larut
dalam air. Oleh karena bentuk biodekomposer ini berupa serbuk, akibatnya tidak dapat
bercampur secara homogen dengan bahan-bahan yang dikomposkan, sehingga interaksi
yang terjadi antar komponen dalam tempat pengomposan kurang sempurna dan reaksi
eksoterm berjalan lambat.
Tabel 10 Rataan perubahan suhu kompos selama minggu ke dua pengomposan
Perubahan suhu (oC) pada hari ke- Perlakuan 8 9 10 11 12 13 14
B0 32,17 31,00 30,67 30,33 29,83 29,83 29,00 B1 33,17 32,00 31,33 30,67 29,83 29,50 29,17 B2 37,50 33,17 30,83 30,17 30,33 29,50 29,00 B3 35,17 34,83 34,17 32,00 30,83 30,33 28,83 B4 34,75 34,00 33,75 33,00 31,75 31,00 30,75 B5 34,00 33,25 32,25 30,75 30,25 29,75 29,75 B6 34,75 32,75 32,50 32,25 30,75 30,50 31,00 B7 35,75 35,25 33,25 32,00 31,75 30,25 30,00 B8 39,25 38,00 37,00 33,50 32,75 31,75 30,50 B9 34,00 32,25 31,75 31,50 30,75 29,25 28,75
Suhu Lingkungan 29,00 28,50 28,50 29,00 28,50 27,50 27,50 Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
66
Dari data Tabel 10, diketahui bahwa proses pengomposan selama minggu ke
dua masih berlangsung secara intensif. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan suhu di
dalam tempat pengomposan yang rata-rata berkisar 29,68-35,05 oC dari semua
perlakuan masih jauh di atas suhu lingkungannya yang berkisar 27,50-29,00 oC.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bahan organik masih tercukupi untuk kebutuhan
mikroorganisme dalam melakukan aktivitasnya. Secara umum perubahan suhu selama
minggu pertama dan ke dua proses pengomposan dapat disimpulkan bahwa proses yang
terjadi berlangsung dalam suasana semianaerobik. Rata-rata kisaran suhu pada minggu
pertama 31,41-45,02 oC dan minggu ke dua 29,68-35,05 oC. Keadaan ini sesuai dengan
yang dikemukan Suler & Finstein (1977) bahwa proses pengomposan berlangsung
optimal pada kondisi dengan suhu berkisar 30-50 oC. Namun, kondisi ini masih lebih
rendah dibandingkan dengan rentang suhu optimum yang umumnya dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk merombak bahan-bahan organik, yaitu berkisar antara 35-55 oC
(Djuarnani et al. 2005).
Perombakan bahan organik mengakibatkan pelepasan sejumlah energi ke
lingkungannya melalui perubahan dalam bentuk panas, sehingga terjadi kenaikan suhu
dalam tempat pengomposan. Jika proses dekomposisi berlangsung dalam suhu yang
agak tinggi, misalnya mencapai 60-70 oC, kondisi ini memungkinkan semua bakteri
termofilik bekerja secara lebih optimal. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses
dekomposisi bahan baku, karena bakteri patogen tidak dapat hidup pada kondisi
tersebut (Strom 1985). Di pihak lain, bila suhu di dalam tempat pengomposan terlalu
tinggi, akan mengakibatkan sejumlah mikroorganisme mati, sedangkan bila suhunya
rendah dapat mengakibatkan mikroorganisme tidak mampu bekerja secara cepat dan
baik. Namun ada mikroorganisme yang bekerja pada suhu mencapai 80 oC, seperti
Trichoderma pseudokoningii dan Cyptophaga sp. Ke dua jenis mikroorganisme
tersebut cocok digunakan sebagai biodekomposer dalam proses pengomposan skala
besar atau industri (Suler & Finstein 1977). Peningkatan suhu pada setiap perlakuan
pengomposan terjadi karena bahan nutrisi yang tersedia untuk mikroorganisme dari
bahan organik masih cukup banyak, sehingga pertumbuhan dan aktivitasnya masih
berlangsung sangat intensif.
67
Tabel 11 Rataan perubahan suhu kompos setelah minggu ke dua pengomposan
Perubahan suhu (oC) pada hari ke- Perlakuan
16 18 20 22 24 26 28 30 B0 28,48 28,41 28,33 28,30 28,26 28,25 28,20 28,17 B1 29,31 29,30 29,27 29,21 29,13 28,92 28,73 28,67 B2 28,76 28,72 28,67 28,16 27,83 27,79 27,62 27,67 B3 28,79 28,74 28,67 28,50 28,33 28,21 28,14 28,00 B4 29,92 30,02 30,25 30,04 29,75 29,70 29,66 29,50 B5 29,90 29,78 29,50 29,33 29,25 29,20 29,08 29,00 B6 30,45 30,37 30,25 29,93 29,50 29,28 29,01 28,75 B7 29,40 29,32 29,25 29,19 29,00 28,63 28,47 28,25 B8 30,07 30,04 30,00 29,69 29,25 29,17 29,12 29,00 B9 28,95 28,91 28,75 28,68 28,50 28,21 27,57 27,25
Suhu Lingkungan 27,00 27,00 27,00 26,50 26,50 27,00 27,00 27,50 Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Berdasarkan data Tabel 11 diperlihatkan bahwa pada semua perlakuan
pengomposan tidak terjadi perbedaan suhu yang jauh dengan suhu lingkungannya
selama pengomposan hari ke-16 hingga hari ke-30. Pada hari ke-30 proses
pengomposan, sebahagian perlakuan telah menunjukkan suhu yang mendekati suhu
lingkungannya. Hal ini dapat diamati pada perlakuan pengomposan yang menggunakan
biodekomposer campuran Orgadec-Biodek-Asap Cair (B9), EM-4 (B2), dan Biodek
(B3). Kondisi ini menurut Komilis (2006), merupakan penurunan suhu proses
pengomposan yang mendekati suhu lingkungan sebagai indikasi bahwa kompos yang
dihasilkan telah sempurna terdekomposisi. Pendapat ini juga sesuai dengan yang
dikemukan oleh Harada et al. (1993) bahwa pematangan kompos dapat ditentukan
berdasarkan sifat fisik, biologis dan kimia, yaitu menurunnya suhu mendekati suhu
lingkungan, sehingga bentuknya stabil dan menurunnya kandungan karbon.
4.1.2.2 Perubahan derajat keasaman
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan-bahan organik
selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme secara umum meningkat pada
pH 5,5-8, terutama untuk fungi (jamur), sedangkan kebanyakan bakteri beraktivitas
68
pada pH 6-7,5 (Strom 1985). Pengukuran nilai pH dilakukan setiap hari selama 1
minggu dan selanjutnya diukur dalam waktu selang 5 hari. Perubahan nilai pH kompos
pada minggu pertama pengomposan dapat dilihat pada Gambar 12.
6.06.46.87.27.68.08.48.8
0 1 2 3 4 5 6 7
Hari ke-
pH
KontrolOrgadecEM-4BiodekCampuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap CairCampuran Orgadec-EM-4-ArangCampuran Orgadec-EM-4-Asap CairCampuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap CairCampuran Orgadec-Biodek-ArangCampuran Orgadec-Biodec-Asap CairAir
Gambar 12 Grafik perubahan pH kompos seminggu pertama pengomposan
Pada minggu pertama pengomposan hampir semua perlakuan menunjukkan
nilai pH cenderung meningkat pada awal proses hingga hari ke-3, dengan kisaran pH
rata-rata antara 7,0-8,5 dan selanjutnya cenderung menurun dengan rata-rata pH pada
hari ke-7 pengomposan, yaitu 7,6. Perlakuan yang hingga hari ke-7 masih
menunjukkan peningkatan nilai pH ditunjukkan oleh perlakuan dengan menggunakan
biodekomposer campuran Orgadec-EM-4-Asap cair dan campuran Orgadec-Biodek-
Asap cair. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada campuran tersebut
terdapat Asap cair yang mempunyai pH di bawah 7 sehingga pH awal dari proses ini
lebih rendah dari pH air. Penurunan nilai pH setelah hari ke-3 hingga hari ke-7 proses
pengomposan yang cukup signifikan diamati pada perlakuan dengan menggunakan
biodekomposer EM-4. Hal ini disebabkan karena biodekomposer EM-4 mengandung
mikroorganisme yang lengkap sehingga proses pengomposannya berlangsung lebih
cepat. Kondisi ini sesuai dengan yang pernyataan Djuarnani et al. (2005), bahwa cairan
EM-4 mengandung sejumlah mikroba yang bekerja efektif dan cepat dalam
mendekomposisi bahan organik, juga mengandung mikroba Lactobacillus sp. yang
69
mampu merombak gula atau karbohidrat menjadi asam laktat, sehingga proses
penurunan pH semakin cepat dibanding pengomposan dengan perlakuan lain.
Secara umum rata-rata perubahan nilai pH pada setiap perlakuan masih
tergolong sangat baik bagi kesempurnaan proses pengomposan. Nilai pH optimum bagi
perkembangbiakan mikroorganisme berkisar antara 6,0 sampai 8,0 (Murbandono
2005). Nilai ini hampir tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Edwards (1990),
bahwa pH optimum yang dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme berkisar
antara 5,5 sampai 8,0. Selanjutnya perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 proses
pengomposan dapat dilihat pada Gambar 13.
5.86.26.67.07.47.88.28.6
9 12 15 18 21 24 27 30
Hari ke-
pH
KontrolOrgadecEM-4BiodekCampuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap CairCampuran Orgadec-EM-4-ArangCampuran Orgadec-EM-4-Asap CairCampuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap CairCampuran Orgadec-Biodek-ArangCampuran Orgadec-Biodec-Asap CairAir
Gambar 13 Grafik perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 pengomposan
Gambar 13 memperlihatkan bahwa perubahan nilai pH pada semua perlakuan
pengomposan cenderung terjadi fluktuasi secara lambat dengan kisaran pH rata-rata
antara 7,2-7,4. Pada awal proses pengomposan, aktivitas mikroorganisme sangat
intensif menyebabkan terjadinya proses mineralisasi sehingga banyak ion-ion logam,
seperti K+, Mg2+, Ca2+, dan lain-lain dilepas dan mengikat senyawaan asam yang
terbentuk, sehingga terjadi peningkatan nilai pH (Yang 1997). Penurunan nilai pH
suatu proses pengomposan disebabkan oleh menurunnya aktivitas mikroorganisme,
sehingga jumlah ion-ion logam yang dilepas relatif kecil, sedangkan produksi
senyawaan asam semakin meningkat. Kondisi yang demikian menunjukkan penurunan
nilai pH mendekati netral. Keadaan tersebut sesuai dengan pernyataan Djuarnani et al.
70
(2005) dan Komilis & Ham (2006), bahwa jika pH terlalu tinggi (kondisi basa),
konsumsi oksigen akan meningkat, sehingga memberi kondisi buruk bagi lingkungan
dan akan menyebabkan sebahagian unsur nitrogen dalam bahan dirombak menjadi
amonia (NH3), sebaliknya jika pH terlalu rendah (kondisi asam) akan menyebabkan
sebagian mikroorganisme mati.
4.1.2.3 Penyusutan bobot bahan baku kompos
Salah satu parameter yang juga menentukan tingkat kualitas kompos yang
dihasilkan, yaitu terjadinya penyusutan bobot bahan baku kompos yang digunakan
selama proses pengomposan. Persentase penyusutan bobot bahan baku kompos dapat
dilihat pada Gambar 14.
22.10
26.68
33.13
28.38 29.48 29.50 31.09 31.48 30.01 30.85
05
101520253035
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
Perlakuan
% s
usut
bob
ot k
ompo
s
0 hari10 hari20 hari30 hari
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Gambar 14 Histogram persentase penyusutan bobot bahan baku kompos
Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa semua perlakuan pengomposan terjadi
penyusutan bobot bahan baku kompos rata-rata 29,22% pada hari ke-30. Penyusutan
bobot yang melebihi 30% ditunjukkan oleh perlakuan pengomposan dengan
menggunakan biodekomposer EM-4 (B2), campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
(B7), campuran Orgadec-EM-4-Arang (B6), campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
(B9), dan campuran Orgadec-Biodek-Arang (B8). Hal ini memberi gambaran bahwa
perlakuan pengomposan dengan menggunakan kombinasi biodekomposer baik
71
Orgadec-EM-4 maupun Orgadec-Biodek dapat mengimbangi keunggulan penggunaan
biodekomposer EM-4 secara tunggal. Dari Gambar 14 juga ditunjukkan bahwa
penggunaan campuran Orgadec-Biodek yang ditambah dengan arang dan asap cair
menghasilkan penyusutan bobot nomor dua tertinggi setelah EM-4, yaitu 31,48%.
Kondisi ini kemungkinan dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme
sehingga aktivitasnya lebih meningkat.
Penyusutan bobot bahan baku kompos terjadi karena pelepasan molekul air
(H2O) dan karbon dioksida (CO2) yang cukup besar selama proses pengomposan. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Komilis (2006) bahwa kehilangan H2O dan
CO2 yang cukup banyak selama proses dekomposisi bahan-bahan organik dapat
menyebabkan penyusutan bobot bahan mencapai 20-40% dari bobot awal, namun hal
ini bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Penyusutan ini disebabkan
karena terjadinya aktivitas perombakan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme,
sehingga kadar air bahan berkurang, dan juga akibat panas yang timbul menyebabkan
terjadinya penguapan. Perlakuan pengomposan yang menunjukkan persentase
penyusutan bobot bahan baku yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot kompos
yang rendah, demikian juga sebaliknya.
4.1.3 Mutu Kompos
Mutu suatu kompos ditentukan oleh karakteristiknya, di samping kandungan
unsur hara dan logam beratnya. Tingkat kesempurnaan kompos dapat diketahui dengan
memperhatikan beberapa parameter antara lain nisbah C/N yang relatif rendah (sesuai
dengan nisbah C/N tanah), penampakan fisik yang berwarna cokelat tua hingga hitam
dan remah/gembur, serta suhunya mendekati suhu lingkungan. Kompos yang
berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi
tanaman. Jika kompos kurang matang akan menimbulkan efek yang merugikan bagi
tanaman, karena dapat terjadi persaingan penggunaan bahan nutrien antara
mikroorganisme dan tanaman. Data hasil karakterisasi kompos pada hari ke-30 proses
pengomposan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik kompos sampah organik pasar pada hari ke-30 pengomposan
Perlakuan Kadar
air (%)
Nisbah C/N
Suhu (oC) pH Rendemen
(%) Warna Waktu
pematangan kompos
72(hari)
B0 67,84 14,73 28,17 7,70 77,00 Coklat tua 56-60 B1 59,13 12,82 28,67 7,26 66,27 Coklat tua 41-45 B2 51,72 10,76 27,67 6,97 66,83 Kehitaman 21-25 B3 53,44 12,47 28,00 7,18 72,16 Kehitaman 26-30 B4 60,73 9,93 29,50 6,56 70,52 Kehitaman 21-25 B5 58,49 9,08 29,00 7,66 70,50 Kehitaman 26-30 B6 59,61 9,97 28,75 6,97 68,91 Kehitaman 26-30 B7 62,38 12,09 28,25 7,23 68,52 Kehitaman 21-25 B8 54,46 11,14 29,00 7,97 69,99 Kehitaman 26-30 B9 57,15 13,05 27,25 7,10 69,15 Kehitaman 26-30
SNI ≤ 50 10-20 Air tanah 6,8-7,5 - Kehitaman -
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Dari data Tabel 12 diketahui bahwa sebahagian besar perlakuan pengomposan
sudah menghasilkan kompos dalam waktu berkisar 21-30 hari, kecuali pada B0
(kontrol) berkisar 56-60 hari dan perlakuan B1 (biodekomposer Orgadec) berkisar 41-
45 hari. Hal ini dapat diamati dan ditentukan berdasarkan karakteristik kompos yang
dihasilkan telah menunjukkan ciri-ciri sebagai kompos yang berkualitas. Hasil ini
sesuai dengan yang dikemukakan Gaur (1983) bahwa kompos yang baik berwarna
cokelat tua hingga kehitaman dan berbau tanah. Selanjutnya, kompos mempunyai
nisbah C/N berkisar antara 10-20, dan suhunya sudah mendekati suhu lingkungan
(Indriani 2005; Komilis 2006).
Mutu kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan di atas,
secara umum relatif mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004 untuk kompos dari
sampah domestik (BSN 2004). Menurut Indriani (2005), semakin rendah nisbah C/N
bahan baku, waktu yang diperlukan untuk proses pematangan kompos semakin singkat.
Hal ini terbukti bahwa sebagian besar perlakuan pengomposan sudah menghasilkan
kompos yang matang dalam waktu berkisar 21-30 hari. Di samping itu, nisbah C/N
bahan baku yang digunakan untuk pengomposan juga menentukan variasi dari nisbah
C/N kompos yang dihasilkan. Penurunan nisbah C/N selama proses dekomposisi bahan
organik berkaitan erat dengan aktivitas biodekomposer yang membebaskan gas CO2
dan CH4, sehingga kadar unsur karbon yang terdapat pada bahan pengomposan
cenderung menurun, sedangkan unsur nitrogennya cenderung meningkat. Di samping
itu, aktivitas biodekomposer yang bekerja lebih intensif menyebabkan pengambilan
73
unsur P dan K dari bahan tersebut lebih tinggi untuk pembentukan tubuhnya. Akan
tetapi pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur tersebut akan dilepas
kembali, sehingga kandungan unsur haranya meningkat.
Kandungan unsur hara merupakan persyaratan utama sebagai kualitas suatu
kompos, karena tinggi rendahnya kandungan unsur akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman. Rataan kadar unsur hara makro, mikro dan logam berat pada
kompos pada hari ke-30 proses pengomposan disajikan pada Tabel 13, dan 14.
Tabel 13 Kadar unsur hara makro kompos pada hari ke-30 pengomposan
Kadar unsur (%) Perlakuan N P K Ca Mg
B0 1,98 0,76 0,29 2,78 0,32 B1 2,16 0,86 0,58 0,35 0,25 B2 2,36 0,89 2,04 0,48 0,24 B3 2,15 0,87 1,22 1,03 0,25 B4 2,39 1,02 1,22 1,55 0,26 B5 2,30 0,92 1,44 2,51 0,28 B6 2,30 0,94 1,53 1,75 0,41 B7 2,20 0,85 1,90 1,38 0,34 B8 2,14 0,99 1,35 1,04 0,26 B9 2,00 1,08 1,65 1,52 0,22 SNI ≥ 0,40 ≥ 0,10 ≥ 0,20 ≤ 25,50 ≤ 0,60
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Dari data Tabel 13 dapat diketahui bahwa semua perlakuan pengomposan
mengandung unsur hara makro yang memenuhi persyaratan SNI-19-7030-2004 (BSN
2004). Ditinjau dari aspek kandungan unsur hara makronya dapat dikatakan bahwa
kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan sampah organik pasar
bermutu cukup baik. Semakin lengkap kandungan unsur haranya maka semakin tinggi
pula mutu kompos yang dihasilkan (Harada et al. 1993). Kandungan unsur hara
kompos sangat menentukan kemampuannya untuk menaikkan kadar unsur hara dalam
tanah sehingga dapat menyuburkan tanaman.
Kehadiran unsur hara makro dalam kompos sangat penting bagi kesuburan
tanah dan tanaman. Menurut Agustina (2004), unsur N, P, dan K tergolong unsur hara
primer, karena diperlukan dalam jumlah besar, sedangkan unsur Ca, Mg dan S
tergolong unsur hara sekunder, karena relatif banyak terdapat dalam tanah. Unsur N
dan P sangat dibutuhkan pada pembentukan protein dan asam nukleat, sedangkan unsur
74
K, Ca, dan Mg diperlukan sebagai antagonis yang berinteraksi dengan efek racun dari
elemen mineral yang lain dengan cara mengatur keseimbangan ion (Agustina 2004). Di
samping itu, mineral Ca dan Mg juga merupakan unsur-unsur yang biasa dihubungkan
dengan kemasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya tergolong kation yang
cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikkan nilai pH tanah.
Tabel 14 Kadar unsur hara mikro dan logam berat kompos sampah organik pasar
Kadar unsur hara mikro Kadar logam berat (%) (--------------ppm------------) (------------ppm--------------) Perlakuan Fe Mn Cu Zn Cd Pb Cr
B0 0,48 473,28 23,10 411,25 41,37 206,20 165,40 B1 0,75 514,26 19,14 140,76 21,04 141,79 146,79 B2 0,64 520,22 18,28 249,83 16,44 120,70 139,21 B3 0,31 364,90 16,90 248,60 16,80 198,30 123,60 B4 0,47 377,50 17,20 343,10 23,60 180,30 141,70 B5 0,28 404,30 10,30 237,40 16,30 178,30 127,90 B6 0,25 434,80 13,50 414,30 46,30 163,80 161,20 B7 0,33 490,80 13,30 403,60 33,30 127,30 158,80 B8 0,29 393,00 14,60 238,80 28,40 132,70 153,70 B9 0,41 432,50 10,50 327,20 40,40 189,00 146,60
SNI ≤ 2 ≤ 1000 ≤ 100 ≤ 500 ≤ 30 ≤ 150 ≤ 210 Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B1 = Orgadec B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B2 = EM4 B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B3 = Biodek B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Dari data Tabel 14 dapat diamati bahwa kandungan unsur hara mikro pada
semua kompos yang dihasilkan pada proses pengomposan sampah organik pasar
dengan berbagai perlakuan biodekomposer memenuhi persyaratan SNI-19-7030-2004
(BSN 2004), untuk kadar logam beratnya hanya Cr yang memenuhi, sedangkan Pb dan
Cd hanya sebahagian perlakuan saja yang memenuhi persyaratan tersebut. Hasil ini
juga menunjukkan semua perlakuan pengomposan menghasilkan kompos yang relatif
berkualitas baik, terutama dari aspek ketersediaan unsur hara mikronya. Namun
ditinjau dari kandungan logam beratnya, maka kualitasnya tergolong masih rendah.
Unsur hara Fe, Mn, Cu, dan Zn merupakan zat yang diperlukan oleh tanaman
dalam jumlah sedikit, oleh karena itu disebut sebagai unsur hara mikro. Hal ini bukan
berarti unsur hara mikro kurang essensial dibanding unsur hara makro, karena
meskipun tanaman mengambilnya dalam jumlah sedikit, akibatnya dapat mengurangi
jumlah yang tersedia. Hal ini seperti dikemukakan oleh Salisbury & Ross (1995), unsur
hara sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sel, misalnya Fe berguna
sebagai komponen struktural porfirin, sitokhrom, hemes, hematin, dan hemoglobin. Di
75
samping itu, unsur Fe juga ikut dalam proses oksidasi-reduksi di dalam fotosintesis dan
respirasi serta sebagai kofaktor beberapa enzim. Menurut Gardner et al. (1991), unsur
Mn berperan dalam transport elektron pada fotosistem II, sebagai elemen struktural
membran kloroplast, dan ikut berperan dalam beberapa fungsi enzim. Unsur Cu
berperan dalam transport elektron pada fotosintesis, pembentukan klorofil, dan secara
tidak langsung berperan di dalam pembentukan nodul akar. Unsur Zn sangat berguna
untuk pembentukan asam amino triptofan sebagai prekursor asam indol asetat (IAA),
dan metabolisme triptamin. Di samping itu, Zn juga berperan sebagai kofaktor
beberapa enzim dan merangsang sintesa sitokhrom C (Agustina 2004). Akan tetapi,
keberadaan sebagian unsur logam berat di dalam tanah belum diketahui secara pasti
peranannya baik terhadap tanaman maupun mikroba.
Ada tiga unsur logam berat yang dianalisis pada penelitian ini, yaitu Cd, Pb, dan
Cr, karena ke tiga unsur ini sering dijumpai di dalam komposisi sampah organik pasar.
Kandungan logam berat pada kompos merupakan faktor penting untuk menilai kualitas
suatu kompos, di samping kandungan unsur hara lainnya. Penggunaan kompos yang
mengandung logam berat lebih tinggi secara terus menerus akan mengakibatkan unsur
tersebut terakumulasi di dalam tanah dan menjadi bahan pencemar yang berbahaya
karena logam berat bersifat tidak dapat terurai, artinya tidak dapat terdekomposisi oleh
mikroorganisme. Hal ini akan meracuni tanaman, bahkan hewan dan manusia yang
memakan tanaman tersebut.
Beberapa negara telah membuat standar untuk menjamin mutu kompos,
terutama untuk logam berat. Standar untuk logam berat dibuat untuk melindungi
lingkungan dan mempertahankan mutu kompos yang dihasilkan. Tingginya kandungan
logam berat pada kompos sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku kompos sampah
pasar, terutama jika sampah pasar jenis sayur-sayuran atau buah-buahan yang sudah
terakumulasi logam berat atau mengandung residu pestisida. Oleh karena itu, untuk
mengurangi kandungan logam berat, sebelum dilakukan proses pengomposan penting
sekali dilakukan pemilihan terhadap bahan bakunya.
76
4.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair
4.2.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku sampah organik yang digunakan pada percobaan ini merupakan
sampah organik yang sukar dikomposkan dengan komposisi 30% kayu, 30% bambu,
20% pepohonan/ranting, dan 20% dedaunan. Sampah bambu dan kayu merupakan
bekas tempat buah-buahan, sedangkan pepohonan dan ranting serta dedaunan
merupakan sampah dari tanaman perkarangan dan/atau tanaman pelindung jalan. Hasil
analisis sifat-sifat dasar bahan baku sampah padat dengan komposisi tersebut
menunjukkan rata-rata 7,45% air, 77,06% zat terbang, 6,32% abu, 16,62% karbon
terikat, dan 4444 kalori nilai kalor.
4.2.2 Hasil Pirolisis
Untuk mempelajari karakteristik proses pirolisis bahan baku sampah organik
pasar pada penelitian ini diawali dengan menggunakan reaktor listrik skala
laboratorium dengan kapasitas ± 1 kg bahan. Selanjutnya pendekatan tersebut
diterapkan pada reaktor drum dengan kapasitas ± 13 kg bahan. Data hasil pirolisis
sampah organik pasar disajikan pada Tabel 15 dan 16.
Tabel 15 Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor listrik
Percobaan Kadar Air
Contoh (%b/b)
Suhu Pirolisis
(oC)
Residu Arang (%b/b)
Rendemen Asap Cair
(%b/b)
Ter (%b/b)
1 14,25 150 80,03 18,51 0 2 13,88 250 45,55 37,01 2,62 3 13,70 350 41,50 42,09 4,55 4 13,33 450 37,17 45,33 5,67 5 13,14 550 31,91 51,14 6,12
Tabel 16 Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor drum
Percobaan Kadar Air
Contoh (%b/b)
Suhu Pirolisis (oC)
Residu Arang (%b/b)
Rendemen Asap Cair
(%b/b) 1 20,76 350 41,12 33,15 2 28,00 355 32,51 34,67 3 29,32 375 30,65 32,87 4 25,40 405 26,76 37,83 5 23,59 505 22,36 31,24 6 25,41 510 27,38 30,33
Pada proses pirolisis sampah organik padat dengan menggunakan reaktor listrik
(Tabel 15), selain dihasilkan residu arang dan asap cair, juga diperoleh ter, sedangkan
77
pada proses pirolisis dengan reaktor drum (Tabel 16) hanya menghasilkan residu arang
dan asap cair saja. Di samping itu, hasil pirolisis sampah dengan reaktor listrik juga
menunjukkan makin tinggi suhu pirolisis makin rendah perolehan residu arang dan
makin tinggi perolehan asap cair dan ter, sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum
tidak mengikuti pola di atas. Hal ini disebabkan karena model reaktor drum yang
digunakan (Gambar 9b) mempunyai tutup atas yang rata sehingga ter tidak teruapkan,
melainkan terkarbonisasi menjadi arang.
4.2.3 Arang
Arang yang dihasilkan umumnya memiliki penampilan fisik dengan bentuk
yang beragam dan berwarna hitam. Arang ini kemudian dihaluskan hingga berbentuk
serbuk untuk keperluan analisis sifat-sifat dasar dan strukturnya. Serbuk arang ini
memiliki warna hitam, tidak berbau dan tidak larut dalam air. Residu (rendemen)
merupakan nilai yang penting untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari suatu proses.
Tinggi rendahnya rendemen arang yang dihasilkan sangat bergantung pada kadar air
bahan baku dan suhu pirolisisnya. Bervariasinya rendemen arang yang dihasilkan juga
disebabkan komposisi bahan baku yang digunakan relatif kurang homogen. Akibat
suhu tinggi sebahagian arang berubah menjadi abu dan gas-gas yang mudah menguap,
sehingga rendemennya rendah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Paris et al.
(2005) bahwa akibat peningkatan suhu yang tinggi pada proses pirolisis, sebahagian
arang dapat berubah menjadi abu, gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon.
4.2.3.1 Karakteristik sifat-sifat dasar arang
Data hasil karakterisasi sifat-sifat dasar arang hasil pirolisis sampah organik
pasar disajikan pada Tabel 17 dan 18.
Tabel 17 Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor listrik
Kadar (%) Perlakuan Air Zat terbang Abu Karbon terikat Nilai kalor
(kalori) L0 7,45 77,06 6,32 16,62 4444 L1 0,61 72,90 3,34 23,76 4625 L2 0,95 44,55 5,91 49,54 5841 L3 0,79 32,40 6,29 61,31 5986 L4 1,72 27,32 7,26 65,42 6419 L5 0,48 14,72 8,80 76,48 6835
SNI 6,00 30,00 4,00 66,00 - Keterangan: L0 = tanpa pirolisis (kontrol) L3 = suhu 350 oC L1 = suhu 150 oC L4 = suhu 450 oC L2 = suhu 250 oC L5 = suhu 550 oC
78
Tabel 18. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor drum
Kadar (%) Perlakuan Air Zat terbang Abu Karbon terikat Nilai kalor
(kalori) D0 7,45 77,06 6,32 16,62 4444 D1 4,33 31,47 12,82 55,71 6151 D2 4,00 28,96 14,91 56,13 6337 D3 3,03 25,85 15,68 58,47 6479 D4 3,06 23,19 17,53 59,28 6633 D5 2,46 18,30 12,22 69,48 6634 D6 3,09 19,99 13,00 67,01 6640 SNI 6,00 30,00 4,00 66,00 -
Keterangan: D0 = tanpa pirolisis (kontrol) D3 = suhu 375 oC D5 = suhu 505 oC D1 = suhu 350 oC D4 = suhu 405 oC D6 = suhu 510 oC D2 = suhu 355 oC
Karakteristik arang hasil pirolisis sampah dengan reaktor listrik (Tabel 17)
menunjukkan bahwa makin tinggi suhu pirolisis makin rendah kadar zat terbang dan
makin tinggi kadar abu, karbon terikat dan nilai kalor, sedangkan arang hasil pirolisis
dengan reaktor drum (Tabel 18) menunjukkan hal yang sama untuk kadar zat terbang,
karbon terikat dan nilai kalor. Sebahagian besar sifat-sifat dasar arang hasil pirolisis
dengan reaktor listrik tidak memenuhi persyaratan SNI-01-1682-1996 (BSN 1996),
kecuali pirolisis pada suhu 550 oC, sedangkan pada arang hasil pirolisis dengan reaktor
drum sebahagian besar sifat-sifat dasarnya terutama hasil pirolisis pada suhu 505 oC
memenuhi persyaratan tersebut kecuali untuk kadar abu. Berdasarkan data tersebut
dapat disimpulkan bahwa arang hasil pirolisis sampah organik pasar dengan reaktor
drum relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan hasil pirolisis dengan reaktor listrik.
Maka oleh karena itu, pembuatan arang untuk kebutuhan penelitian ini dilanjutkan
dengan menggunakan reaktor drum.
4.2.3.2 Daya jerap arang
1. Daya jerap terhadap iodin
Secara umum ukuran daya jerap arang terhadap iodin, sering dijadikan sebagai
dasar menilai kualitas suatu bahan dalam hal kemampuan jerapannya, terutama dalam
menyerap larutan berwarna. Nilai daya jerap arang terhadap larutan iodin pada
penelitian ini berkisar 176,46–379,76 mg/g (Gambar 15).
79
176.46
225.87
379.76
281.08
0
50
100
150
200
250
300
350
400
28 405 505 510Suhu Pirolisis (oC)
Day
a je
rap
iodi
n (m
g/g)
Gambar 15 Histogram daya jerap arang terhadap larutan iodin
Arang yang mempunyai daya jerap tertinggi terhadap larutan iodin ditunjukkan
oleh perlakuan pirolisis pada suhu 505 oC dan daya jerap yang terendah terdapat pada
perlakuan kontrol/tanpa pirolisis (28 oC). Tingginya daya jerap arang hasil pirolisis ini
terhadap iodin menggambarkan meningkatnya permukaan aktif arang akibat perlakuan
suhu pada pirolisis. Pergeseran pelat-pelat karbon akibat suhu tinggi mendorong
senyawa hidrokarbon, ter, dan senyawa organik lainnya untuk keluar pada saat pirolisis
(Gambar 19). Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina (2004) dan Concheso et al.
(2005) bahwa rendahnya daya jerap suatu bahan bisa disebabkan karena masih
banyaknya senyawa hidrokarbon dan komponen lain seperti ter, abu, air, nitrogen, dan
sulfur yang terdapat pada permukaan arang. Akan tetapi pada suhu yang lebih tinggi
dapat menyebabkan daya jerap arang berkurang. Menurut Tansel & Nagarajan (2004)
berkurangnya daya jerap arang akibat terjadi kerusakan atau erosi pada dinding pori
arang yang menyusun struktur mikropori pada saat proses pirolisis berlangsung. Dalam
hal daya jerap untuk arang belum ada persyaratan SNI-nya, karena arang jarang
digunakan secara langsung sebagai adsorben, akan tetapi lazimnya diaktivasi terlebih
dahulu menjadi arang aktif.
2. Daya jerap arang terhadap benzena
Penetapan daya jerap arang terhadap uap benzena (C6H6) bertujuan untuk
mengetahui kemampuan arang dalam menjerap berbagai macam gas yang bersifat
nonpolar. Nilai daya jerap arang terhadap uap benzena dalam waktu 24 jam berkisar
8,00–12,37 % dan dalam waktu 48 jam berkisar 6,21-11,72 % (Gambar 16). Daya jerap
80
arang yang tertinggi terhadap uap benzena ditunjukkan pada waktu 24 jam dari
perlakuan pirolisis pada suhu 505 oC. Daya jerap arang dalam waktu 24 jam lebih
tinggi dibanding dengan daya jerap dalam waktu 48 jam. Hal ini disebabkan tingkat
kejenuhan uap benzena dalam chember berkurang akibat dibuka tutupnya pada waktu
pengukuran 24 jam. Di samping itu, waktu 24 jam sudah menggambarkan kemampuan
jerapan arang terhadap uap atau gas yang bersifat non polar.
8.009.53
12.37
9.85
6.217.23
11.72
8.61
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
28 405 505 510Suhu Pirolisis (oC)
Day
a je
rap
benz
ena
(%)
24 jam48 jam
Gambar 16 Histogram daya jerap arang terhadap uap benzena
Rendahnya daya jerap arang terhadap uap benzena disebabkan oleh pori yang
terbentuk pada permukaannya masih banyak mengandung senyawaan non polar,
sehingga gas atau uap yang dapat dijerap menjadi lebih sedikit (Pari 1996). Dengan
kata lain, permukaan arang masih ditutupi oleh berbagai senyawaan yang bersifat polar
seperti golongan fenolik, aldehid dan asam-asam karboksilat dari hasil karbonisasi
yang tidak sempurna, sehingga penjerapan terhadap uap benzena menjadi rendah.
4.2.3.3 Identifikasi Struktur Arang
1. Identifikasi gugus fungsi
Gugus fungsi dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya diidentifikasi dengan
spektrofotometer FTIR. Hasil analisis spektrum absorpsi IR dapat memberi petunjuk
tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat perubahan suhu pirolisisnya. Hasil
serapan arang terhadap spektrum IR ditunjukkan pada Gambar 17 dan Tabel 19.
81
28 oCTr
ansm
isi (
%)
405 oC
505 oC
Bilangan gelombang (cm-1)
Gambar 17 Spektrum serapan IR bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Tabel 19 Data bilangan gelombang serapan IR dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Suhu Pirolisis (oC)
Bilangan gelombang (cm-1)
28 3421,5 – 2920,0 – 2854,5 – 1635,5 – 1508,2 – 1056,9 – 617,2
405 3425,3 – 2923,9 – 1585,4 – 1438,8 – 1091,6 – 875,6
505 3409,9 – 2923,9 – 1577,7 – 1438,8 – 1103,2 – 875,6
Pola spektrum serapan IR dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan suhunya. Selama proses pirolisis
terjadi penguraian struktur kimia yang diperlihatkan oleh adanya perubahan pola
spektrum, yaitu dengan menurunnya persentase serapan di daerah bilangan gelombang
3425,3-3409,9 dan 2923,9-2920,0 cm-1, serapan yang hilang ditunjukkan di daerah
bilangan gelombang 1635,5; 1508,2 dan 617,2 cm-1. Di samping itu, pada arang yang
dihasilkan terdapat serapan baru di daerah bilangan gelombang 1585,4-1577,7; 1438,8;
1103,2-1091,6 dan 875,6 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu pirolisis
mengakibatkan perubahan gugus fungsi, yang diikuti terbentuknya senyawa baru
melalui mekanisme radikal. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukan Demirbas (2005)
bahwa makin tinggi suhu pirolisis suatu bahan makin banyak gugus-gugus fungsi yang
teroksidasi atau terurai sehingga menjadi hilang atau tingkat serapannya berkurang atau
menyebabkan pergeseran bilangan gelombang serapannya.
82
Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada bahan baku tanpa pirolisis (28 oC)
antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah bilangan gelombang
3421,5 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2920,0 dan 2854,5 cm-1,
regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1635,5 cm-1, ikatan C-O dari gugus eter
alifatik ditunjukkan di daerah 1056,9 cm-1 dengan serapan sedang, dan adanya struktur
polisiklik diindikasikan di daerah 617,2 cm-1 dengan serapan lemah. Gugus-gugus
fungsi yang teridentifikasi pada arang hasil pirolisis dengan suhu 405 oC antara lain
adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah 3425,3 cm-1, regang C-H dengan
serapan lemah di daerah 2923,9 cm-1, regang C=C dengan serapan sedang di daerah
1585,4 cm-1, ikatan C-H dari senyawa alifatik juga diindikasikan di daerah 1438,8 cm-1
dengan serapan sedang, ikatan C-O dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah
1091,6 cm-1 dengan serapan sedang, dan adanya struktur polisiklik diindikasikan di
daerah 875,6 cm-1 dengan serapan lemah. Pada arang hasil pirolisis dengan suhu 505 oC
teridentifikasi gugus-gugus fungsi antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat
di daerah 3409,9 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2923,9 cm-1,
regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1577,7 cm-1, ikatan C-H dari senyawa
alifatik juga diindikasikan di daerah 1438,8 cm-1 dengan serapan sedang, ikatan C-O
dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah 1103,2 cm-1 dengan serapan lemah, dan
adanya struktur polisiklik diindikasikan di daerah 875,6 cm-1 dengan serapan lemah.
Berdasarkan data di atas dapat dikemukakan bahwa gugus-gugus fungsi yang
teridentifikasi baik pada bahan baku tanpa pirolisis maupun arang hasil pirolisis pada
suhu 405 dan 505 oC secara umum relatif sama, akan tetapi tingkat serapannya yang
cenderung menurun dan bilangan gelombangnya sedikit bergeser dengan semakin
meningkatnya suhu pirolisis. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Menendez et al. (1999) bahwa pada proses pirolisis suatu bahan pada suhu tinggi, maka
akan terjadi pergeseran serapan bilangan gelombang antara produk dengan bakunya.
2. Identifikasi pola struktur kristal
Pola struktur dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya pada berbagai
tingkatan suhu ditelusuri dengan difraktometri XRD. Analisis ini bertujuan mengetahui
83
struktur kristal suatu bahan, dan perubahan strukturnya akibat perubahan suhu pirolisis.
Hasil analisis dengan XRD ditunjukkan pada Gambar 18 dan Tabel 20.
28 oC
Inte
nsita
s
405 oC
505 oC
Sudut difraksi (derajat)
Gambar 18 Difraktogram bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Tabel 20 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Suhu pirolisis
(oC)
X (%) θ d1
(nm) θ d2 (nm)
Lc (nm) N La
(nm)
28 47,72 21 0,423 - - 3,996 9,453 -
405 43,45 22 0,404 40 0,225 4,031 9,978 8,357
505 43,50 22 0,404 42 0,215 4,031 9,978 8,405
Data Tabel 20 menunjukkan bahwa derajat kristalinitas dan jarak antar lapisan
aromatik makin sempit dengan meningkatnya suhu. Namun pada proses pirolisis
dengan suhu 405 sampai 505 oC tidak menunjukkan perbedaan jarak antar lapisan
kristal. Hal ini berarti bahwa makin tinggi suhu pirolisis makin banyak struktur kristal
arang yang menyusut, sehingga derajat kristalinitasnya menurun. Hasil ini bertolak
belakang dengan yang diperoleh Schukin et al. (2002) bahwa derajat kristalinitas suatu
bahan meningkat seiring terjadi peningkatan suhu pirolisisnya.
84
3. Identifikasi pola struktur
Pola struktur permukaan pori dari suatu bahan digambarkan dengan fotograph
SEM. Analisis ini bertujuan mengetahui topografi permukaan struktur akibat perubahan
suhu pirolisisnya. Data hasil analisis SEM ditunjukkan pada Gambar 19.
28 oC
405 oC
505 oC
Gambar 19 Topografi permukaan bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Tabel 21 Diameter permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya
Suhu pirolisis (oC)
Diameter pori (µm)
28
-
405 0,4-1,3
505 0,5-1,7
Pada Gambar 19 dan Tabel 21 diperlihatkan pola topografi permukaan bahan
baku dan arang hasil pirolisisnya mengalami perubahan sesuai dengan kenaikan suhu.
Bahan baku tanpa pirolisis (28 oC), memperlihatkan topografi permukaannya belum
terbentuk pori-pori, sedangkan pada arang hasil pirolisisnya, baik pada suhu 405 oC
maupun pada suhu 505 oC, topografi permukaannya memperlihatkan pembentukan pori
yang makin besar sesuai kenaikan suhu. Pori-pori yang terbentuk diperkirakan berasal
dari adanya zat yang menguap (zat terbang) dari struktur yang terdegradasi akibat
panas yang tinggi pada proses tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Novicio et al. (1998) bahwa proses terbentuknya pori-pori pada arang
disebabkan oleh karena menguapnya sejumlah zat yang dikandung oleh bahan baku
tersebut akibat terjadinya pirolisis.
Semakin besar atau lebarnya ukuran pori yang terbentuk pada suatu bahan yang
disebabkan oleh peningkatan suhu pirolisis, ada kemungkinan semakin banyak pula
85
jumlah komponen bahan baku yang terdegradasi akan menguap. Penguapan komponen-
komponen tersebut dapat mengakibatkan pergeseran antara lapisan kristal dan
mengubah struktur kristal arang, sehingga terbentuk kristal baru yang berbeda dengan
struktur bahan asalnya. Di samping itu, dengan menguapnya produk dekomposisi pada
proses pirolisis semakin menguntungkan karena bila tidak menguap, komponen
tersebut akan menutupi celah di antara lembaran kristal arang, sehingga kinerja arang
akan berkurang (Villegas & Valle 2001). Oleh karena itu, proses pirolisis suatu bahan
dapat mengubah pola struktur permukaannya.
4.2.4 Asap Cair
4.2.4.1 Rendemen
Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengetahui
hasil dari suatu proses. Asap cair pada penelitian ini dihasilkan melalui proses
kondensasi asap yang dikeluarkan dari reaktor pirolisis. Selama proses pirolisis terjadi
penguapan berbagai macam senyawa kimia. Data asap cair yang dihasilkan pada proses
pirolisis sampah organik disajikan pada Tabel 22 dan 23.
Rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik padat
selama 5 jam dengan reaktor listrik berkisar 18,51-51,14% (Tabel 22), sedangkan yang
dihasilkan pada pirolisis dengan reaktor drum berkisar 30,33-37,83% (Tabel 23).
Rendemen asap cair yang dihasilkan pada ke dua jenis reaktor di atas lebih rendah
dibanding hasil asap cair yang diperoleh Tranggono et al. (1996) pada pirolisis
beberapa jenis kayu dengan kisaran suhu 350-400 oC yang menghasilkan asap cair
dengan rendemen rata-rata 49,10%.
Tabel 22 Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengen reaktor listrik
Percobaan Suhu pirolisis (oC)
Rendemen (%b/b) Warna
1 150 18,51 Coklat kekuningan
2 250 37,01 Coklat tua
3 350 42,09 Coklat tua
4 450 45,33 Merah kecoklatan
5 550 51,14 Merah kecoklatan
86
Tabel 23 Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengen reaktor drum
Rendemen Percobaan Suhu pirolisis (oC) (%b/b)
Warna
1 350 33,15 Coklat kekuningan
2 355 34,67 Coklat kekuningan
3 375 32,87 Coklat kekuningan
4 405 37,83 Merah kecoklatan
5 505 31,24 Merah kecoklatan
6 510 30,33 Merah kecoklatan
Jumlah rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sangat
bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Persentase rendemen yang
diperoleh juga sangat bergantung pada sistim kondensasi yang dipakai. Kondisi ini
sesuai dengan yang dikemukakan Tranggono et al (1996), bahwa untuk pembentukan
asap cair digunakan air sebagai medium pendingin agar proses pertukaran panas dapat
terjadi dengan cepat. Pirolisis pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu
lama akan menyebabkan pembentukan asap cair berkurang karena suhu dalam air
pendingin semakin meningkat sehingga asap yang dihasilkan tidak terkonsensasi secara
optimal (sempurna). Proses kondensasi akan berlangsung optimal apabila air di dalam
sistim pendingin dialiri secara kontinyu sehingga suhu dalam sistim pendingin tidak
meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Demirbas (2005) bahwa asap cair hasil
proses pirolisis bahan kayu dapat dihasilkan secara maksimum jika proses
kondensasinya berlangsung secara sempurna.
4.2.4.2 Kualitas asap cair
Kualitas asap cair sangat bergantung pada komposisi senyawa-senyawa yang
dikandungnya. Kriteria mutu asap cair baik cita rasa maupun aroma sebagai ciri khas
yang dimiliki asap ditentukan oleh golongan senyawa yang dikandungnya. Senyawa
yang terdapat di dalam asap cair sangat bergantung pada kondisi pirolisis dan bahan
baku yang digunakan (Nakai et al. 2006). Di samping itu, proses pirolisis bahan yang
tidak sempurna dapat menyebabkan komponen-komponen kimia yang dihasilkan dalam
asap cair kurang lengkap. Komponen kimia yang telah diidentifikasi pada asap cair
87
antara lain dijumpai senyawa-senyawa golongan fenol, karbonil, asam-asam
karboksilat, furan, hidrokarbon, alkohol, dan lakton (Girard 1992).
1. Kadar Fenol
Identifikasi senyawaan fenolik dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik
padat diharapkan dapat mewakili kriteria mutunya, sehingga sasaran penggunaannya
akan lebih tepat. Data hasil analisis rata-rata kadar total fenol asap cair disajikan pada
Tabel 24 dan 25. Tabel 24 Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik
Percobaan Suhu pirolisis (oC)
Kadar total fenol (mg/l)
1 150 46,80 2 250 143,00 3 350 152,39 4 450 158,70 5 550 124,60
Tabel 25 Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum
Percobaan Suhu pirolisis (oC)
Kadar total fenol (mg/l)
1 350 61,50 2 355 70,20 3 375 82,50 4 405 128,27 5 505 223,95 6 510 129,19
Kadar total fenol dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar dengan
reaktor listrik berkisar 46,80-158,70 mg/l dan kadar yang paling tinggi diperoleh pada
pirolisis dengan suhu 450 oC (Tabel 24), sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum
berkisar 61,50-223,95 mg/l dan kadar yang paling tinggi diperoleh pada pirolisis
dengan suhu 505 oC (Tabel 25). Faktor utama yang menentukan kadar total fenol dalam
asap cair adalah banyaknya asap yang dihasilkan selama proses pirolisis berlangsung.
Jumlah asap yang dihasilkan sangat bergantung pada bahan baku yang
digunakan dan suhu yang dicapai selama proses. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Djatmiko et al. (1985) bahwa keberadaan senyawa-senyawa kimia dalam
asap cair dipengaruhi oleh kandungan kimia dari bahan baku yang digunakan dan suhu
88
yang dicapai pada proses pirolisis. Berkaitan dengan hal tersebut, Byrne & Nagle
(1997) mengatakan penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu
pada proses pirolisis terjadi secara bertahap, yaitu pada suhu 100-150 oC hanya terjadi
penguapan molekul air; pada suhu 200 oC mulai terjadi penguraian hemiselulosa; pada
suhu 240 oC mulai terdekomposisi selulosa menjadi larutan pirolignat, gas CO, CO2,
dan sedikit ter; pada suhu 240-400 oC, terjadi proses dekomposisi selulosa dan lignin
menjadi larutan pirolignat, gas CO, CH4, H2 dan ter lebih banyak; dan pada suhu di atas
400 oC terjadi pembentukan lapisan aromatik.
Kadar total fenol asap cair dalam kondisi terbaik pada penelitian ini, yaitu
2,24x10-2 %. Nilai ini sangat jauh berbeda dengan kadar total fenol yang diperoleh
Tranggono, et al. (1996) pada proses pirolisis berbagai jenis kayu pada suhu 350-400 oC dengan menghasilkan total fenol rata-rata 2,90%. Kadar senyawa fenolik yang
didapat Yulistiani (1997) dalam asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa adalah
1,28%, sedangkan Nurhayati (2000) berhasil memperoleh kadar fenol 3,24% dalam
asap cair hasil pirolisis kayu tusam. Kadar total fenol yang lebih tinggi didapat oleh
Darmadji (1995), yaitu berkisar 2,10-5,13%. Demirbas (2005) telah berhasil
mengidentifikasi 2 macam senyawa fenol dalam asap cair hasil pirolisis bahan kayu
pada suhu 735 oK, yaitu 2,6-dimetoksifenol dan 3-metil-2,6-dimetoksifenol dengan
kadar kadar berturut-turut 0,74 dan 0,62%, sedangkan Tranggono et al. (1997) telah
mengidentifikasi 5 macam senyawa-senyawa golongan fenol dalam asap cair hasil
pirolisis berbagai jenis kayu pada suhu 350-400 oC, yaitu 2-metoksifenol, 4-metil-2-
metoksifenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol, dan 2,5-dimetoksifenol.
2. Nilai pH Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang
dihasilkan. Pengukuran nilai pH dalam asap cair yang dihasilkan bertujuan untuk
mengetahui tingkat proses penguraian bahan baku secara pirolisis, juga untuk
menghasilkan asam alami berupa asap. Hasil pengukuran nilai pH rata-rata dalam asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar ditunjukkan pada Tabel 26 dan 27. Asap cair
yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik padat baik dengan menggunakan
reaktor listrik (Tabel 26) maupun reaktor drum (Tabel 27) ditinjau dari nilai pH-nya
tergolong asam. Akan tetapi tingkat keasaman asap cair yang dihasilkan pada proses
pirolisis dengan reaktor listrik lebih tinggi dibandingkan hasil pirolisis dengan reaktor
drum. Hasil ini disebabkan karena penguraian atau dekomposisi komponen kimia
89
dalam masing-masing bahan baku semakin sempurna dengan meningkatnya suhu. Nilai
pH yang terendah pada pirolisis dengan reaktor listrik ditunjukkan pada suhu pirolisis
150 oC, yaitu 3,02, sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum ditunjukkan pada
suhu pirolisis 405 oC, yaitu 3,80.
Tabel 26 Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik
Percobaan Suhu pirolisis (oC) pH
1 150 3,02 2 250 3,13 3 350 3,23 4 450 3,36 5 550 3,19
Tabel 27 Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum
Percobaan Suhu pirolisis (oC) pH
1 350 4,25 2 355 4,09 3 375 4,78 4 405 3,80 5 505 4,10 6 510 3,84
Jika nilai pH rendah berarti asap yang dihasilkan berkualitas tinggi terutama
dalam hal penggunaannya sebagai bahan pengawet makanan (Nurhayati 2000). Nilai
pH yang rendah secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan
produk asap ataupun sifat organoleptiknya. Ditinjau dari tingkat keasaman untuk
penggunaannya sebagai pengawet, maka asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik
relatif berkualitas lebih baik dibandingkan dengan reaktor drum karena bersifat lebih
asam sehingga nilai awetnya lebih lama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Pszczola (1995) bahwa asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet apabila
mengandung senyawaan fenolik dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan
antioksidan. Lebih lanjut, Bukle et al. (1985) menyatakan asap cair yang bersifat asam
dapat digunakan sebagai pengawet karena asam berfungsi menurunkan nilai pH,
sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
90
4.2.4.3 Komponen kimia asap cair
Asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik pasar terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut metanol untuk selanjutnya diidentifikasi kandungan kimianya dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP Ultra-2 dengan suhu injektor 250 oC, gas pembawa helium dan kecepatan alir 0,6 μl/menit serta volume injeksinya 1 μl. Kromatogram GCMS dari asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 20.
Kel
impa
han
Waktu retensi (menit)
Gambar 20 Kromatogram asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar
Gambar 20 memperlihatkan bahwa asap cair yang dihasilkan pada proses
pirolisis sampah organik pasar menunjukkan pemisahan komponen kimianya melalui
puncak-puncak kromatogram yang muncul pada GC. Puncak-puncak tersebut mulai
muncul pada waktu retensi 3,04 hingga 47,44 menit dan berdasarkan chemstation data
system yang dipunyai alat tersebut teridentifikasi sebanyak 61 senyawa penyusun asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar (Lampiran 10). Dari data tersebut terdapat dua
senyawa dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 1,1-dimetil hidrazin (8,98%), dan 2,6-
dimetoksi fenol (8,68%). Di antara ke-61 senyawa yang teridentifikasi pada asap cair
terdapat 17 senyawa (27,9%) golongan keton, 14 senyawa (23%) yang merupakan
golongan fenolik, 8 senyawa (13%) golongan asam karboksilat, 7 senyawa (11,5%)
golongan alkohol, 4 senyawa (6,6%) golongan ester, 3 senyawa (4,9%) golongan
aldehid dan lain-lain rata-rata 1 senyawa (1,6%).
91
Hasil ini dari sisi komponen penyusun asap cair tidak jauh berbeda dengan yang
diperoleh Maga (1998) dalam Firmansyah (2004), yang melakukan pirolisis bahan kayu
memperoleh air (11-92%), senyawa fenolik (0,2-2,9%), asam-asam organik (2,8-4,5%),
dan karbonil (2,6-4,6%). Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Bratzler et al.
(1969), bahwa komponen utama kondensat asap kayu, yaitu karbonil (24,6%), asam
karboksilat (39,9%), dan senyawaan fenolik (15,7%). Lebih lanjut, Tranggono et al.
(1997) sudah mendapatkan tujuh macam komponen kimia utama dalam asap cair
tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4-
etil-2-metoksi-fenol, 2,6-dimetoksifenol, 2,5-dimetoksifenol, dan 3-metil-1,2-siklo-
pentadion, yang larut dalam eter.
Sementara Yulistiani (1997) mendapatkan kandungan senyawaan fenolik
sebesar 1,28% dalam asap cair tempurung kelapa. Komponen fenol tertinggi (3,24%)
terdapat pada asap cair kayu tusam, kadar asam asetat tertinggi (6,33%) kayu bakau,
dan kadar alkohol tertinggi (2,94%) pada kayu jati. Hasil penelitian lain dilaporkan
oleh Wanjala et al. (2002) dalam Chacha et al. (2005) bahwa asap cair dari akar kayu
Erythrina latissima mengandung beberapa senyawa alkaloid, stilbenoid, lignan, dan
flavonoid. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diyakini bahwa pada hampir semua asap
cair dari berbagai jenis kayu dijumpai adanya senyawa golongan fenolik. Oleh karena
itu, asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet alami. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Pszczola (1995) bahwa asap cair yang mengandung
sejumlah komponen fenolik dan asam dapat digunakan sebagai bahan pengawet.
Pada asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini, selain diidentifikasi terdapat
senyawaan fenolik, juga diketahui adanya senyawa golongan lakton. Oleh karena itu,
asap cair selain dapat digunakan sebagai pengawet juga mempunyai potensi sebagai
pengendali hama. Menurut Nurhayati (2000), asap cair juga dapat digunakan sebagai
pestisida karena umumnya mengandung senyawa toksik terutama golongan lakton.
Narasimhan et al. (2005) telah menemukan dua senyawa turunan lakton, yaitu
salanobutirolakton dan desasetilsalanobutirolakton yang aktif sebagai antifeedant bagi
serangga. Di samping itu, Frackowiak et al. (2006), juga melaporkan senyawa turunan
lakton, yaitu gamma butirolakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga.
92
4.3 Pembuatan Arang Aktif
4.3.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada percobaan ini adalah arang hasil pirolisis
sampah organik pasar dengan menggunakan reaktor drum (Gambar 9b) dengan suhu
pirolisis ± 500 oC dalam waktu 5 jam. Arang yang diperoleh pada kondisi ini
merupakan arang berkualitas terbaik dari bahan baku sampah organik pasar yang
mendekati persyaratan SNI-01-1682-1996 kecuali untuk parameter kadar abu. Arang
yang akan digunakan pada setiap perlakuan aktivasi terlebih dahulu dicacah secara
manual agar ukurannya lebih kecil, sehingga kontak dengan panas pada saat diaktivasi
akan lebih merata dan cepat.
4.3.2 Identifikasi Struktur Arang Aktif
4.3.2.1 Identifikasi gugus fungsi arang aktif
Hasil analisis spektrum serapan IR pada arang aktif dapat memberi petunjuk
tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat perlakuan akitivasi baik pengaruh
aktivator, waktu, suhu maupun interaksi antar faktor tersebut.
1. Aktivasi arang dengan aktivator panas
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator panas ditunjukkan pada Gambar 21.
W1S1
W2S1
Tran
smis
i (%
)
W1S2
W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 21 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi panas
93
Tabel 28 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi panas
Perlakuan Bilangan gelombang (cm-1)
W1S1 3429,2 – 2858,3 – 1423,4 – 1053,1 – 875,6
W2S1 3394,5 – 2923,9 – 2854,5 – 1743,5 – 1454,2 – 1033,8 - 879,5
W1S2 3425,3 – 2854,5 – 1419,5 – 1045,3 – 875,6
W2S2 3417,6 – 2923,9 – 2854,5 – 1743,5 – 1427,2 – 1045,3 – 875,6 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 21 dan data Tabel 28 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan panas cenderung makin bertambah daerah serapannya dengan semakin
lamanya waktu aktivasi, sedangkan dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi hanya
terjadi pergeseran daerah serapannya. Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada
perlakuan aktivasi arang dengan aktivator panas secara umum tidak jauh berbeda
dengan gugus-gugus fungsi dari bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19), kecuali
pada perlakuan waktu aktivasi selama 120 menit baik pada suhu 700 maupun 800 oC
munculnya serapan IR di daerah bilangan gelombang 1743,5 cm-1 yang berarti
terbentuknya gugus karbonil (C=O). Hal ini dapat terjadi akibat panas yang diberikan
dalam waktu lebih lama menyebabkan sebagian senyawa selulosa dan/atau lignin
terdekomposisi menjadi senyawa karbonil, terutama golongan aldehid dan asam-asam
karboksilat. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Pastorova et al. (1994), bahwa
akibat panas dalam waktu yang lama sebagian molekul selulosa dan lignin akan terurai
melalui mekanisme radikal membentuk senyawa baru yang lebih stabil.
2. Aktivasi arang dengan aktivator uap H2O
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator uap H2O ditunjukkan pada Gambar 22.
94
W1S1Tr
ansm
isi (
%)
W2S1
W1S2
W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 22 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Tabel 29 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Perlakuan Bilangan gelombang (cm-1)
W1S1 3417,6 – 2850,6 – 1450,4 – 1126,4 – 875,6
W2S1 3425,3 – 2923,9 – 1427,2 – 1161,1 – 875,6
W1S2 3444,6 – 2854,5 – 1442,7 – 1164,9 – 875,9
W2S2 3409,9 – 2920,0 – 1427,2 – 1060,8 – 875,6 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 22 dan data Tabel 29 dapat diketahui bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O hampir semua perlakuan waktu dan suhu aktivasi cenderung
mempunyai daerah serapan yang sama. Akan tetapi dibandingkan dengan serapan IR
pada bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19) terdapat daerah serapan yang hilang di
sekitar bilangan gelombang 1577,7 cm-1 pada arang aktif ini. Namun serapan IR arang
aktif pada semua perlakuan ini menunjukkan pita serapan yang lebih kuat di daerah
sekitar 1450,4-1427,2 cm-1, yang berarti perlakuan ini meningkatkan konsentrasi C-H
dari senyawa alifatik. Di samping itu, semua perlakuan ini juga memperkuat
95
keberadaan gugus hidroksil (OH) yang ditunjukkan dengan tidak berubahnya secara
berarti pita serapan di daerah 3444,6-3409,9 cm-1. Hal ini dapat terjadi karena uap H2O
pada suhu aktivasi yang tinggi dengan waktu lebih lama akan terurai menjadi radikal
hidrogen (oH) dan hidroksil (oOH) sehingga memungkinkan terjadi reaksi dengan atom
karbon yang dapat meningkatkan konsentrasi OH. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Ercin & Yurum (2003), bahwa selama proses karbonisasi terjadi
perubahan gugus fungsi yang diikuti oleh pembentukan reaksi baru. Arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O menunjukkan separan di daerah bilangan gelombang 4000-
3000 cm-1 lebih kuat dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi panas sehingga
tingkat kepolarannya relatif lebih besar.
3. Aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 23.
W1S1
Tran
smis
i (%
)
W2S1
W1S2
W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 23 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Tabel 30 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
96
Perlakuan Bilangan gelombang (cm-1)
W1S1 3436,9 – 2854,5 – 1639,4 – 1427,2 – 1130,2 – 875,6
W2S1 3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1423,4 – 1083,9 – 875,6
W1S2 3444,6 – 2923,9 – 1639,4 – 1461,9 – 1049,2 – 867,9
W2S2 3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1404,1 – 1060,8 – 875,6 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 23 dan data Tabel 30 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan larutan KOH 0,5M cenderung mempunyai serapan di daerah bilangan
gelombang yang sama artinya gugus-gugus fungsi pada arang aktif ini tidak berbeda
akibat perbedaan waktu dan suhu aktivasi. Akan tetapi pita serapan IR arang aktif pada
semua perlakuan ini ada yang bertambah, yaitu di daerah 1639,4 cm-1 dibandingkan
dengan pita serapan IR pada bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19), sehingga
akibat perlakuan tersebut mengindikasikan terbentukan gugus C=O pada arang aktif
yang dihasilkan. Namun daerah serapan lainnya cenderung sama dengan bahan
bakunya. Di samping itu, akibat perlakuan ini, pita serapan di daerah 3448,5 - 3436,9
cm-1 semakin kuat, sehingga arang aktif yang dihasilkan mengandung konsentrasi OH
yang besar, akibatnya arang aktif lebih bersifat polar.
4. Aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 1M
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 24.
97
W1S1Tr
ansm
isi (
%)
W2S1
W1S2
W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 24 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Tabel 31 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Perlakuan Bilangan gelombang (cm-1)
W1S1 3429,2 – 2923,9 – 1631,7 – 1384,8 – 1053,1 – 867,9
W2S1 3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1461,9 – 1064,6 – 867,9
W1S2 3433,1 – 2923,9 – 1627,8 – 1388,7 – 1114,8 – 875,6
W2S2 3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1404,1 – 1083,9 – 867,9 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 24 dan data Tabel 31 ditunjukkan bahwa arang aktif hasil aktivasi
dengan larutan KOH 1M relatif tidak berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi dengan
larutan KOH 0,5M, kecuali tingkat serapan IR-nya pada beberapa daerah. Hal ini
berarti tingkat konsentrasi larutan KOH cenderung tidak memberi pengaruh terhadap
perubahan gugus-gugus fungsi pada arang aktif yang dihasilkan. Arang aktif hasil
aktivasi dengan KOH mengandung lebih banyak gugus OH dan juga residu kalium
98
oksida di dalam strukturnya sehingga tingkat kepolarannya lebih tinggi dibandingkan
dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O (Gambar 22) dan panas (Gambar 21)
terutama di daerah bilangan gelombang 4000-3000 cm-1. Arang aktif ini bersifat basa.
5. Aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator l larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 25.
W1S1
Tran
smis
i (%
)
W2S1
W1S2
W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 25 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Tabel 32 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Perlakuan Bilangan gelombang (cm-1)
W1S1 3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1527,5 – 1083,9
W2S1 3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1407,9 – 1083,9
W1S2 3436,9 – 2854,5 – 1627,8 – 1404,1 – 1083,9
W2S2 3433,1 – 2854,5 – 1735,8 – 1438,8 – 1118,6 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
99
Berdasarkan Gambar 25 dan data Tabel 32 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil
aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M cenderung mempunyai serapan di daerah bilangan
gelombang yang sama dengan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5 atau
1M. Namun, yang berbeda hanyalah tingkatan serapannya dan terjadinya sedikit
pergeseran serapan ke arah bilangan gelombang yang lebih rendah pada arang aktif ini.
Dengan demikian gugus-gugus fungsi pada arang aktif ini relatif tidak berbeda
dibandingkan hasil aktivasi larutan KOH baik pada konsentrasi 0,1 maupun 1M, namun
cenderung berbeda dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O dan panas
terutama serapan pada daerah bilangan gelombang 4000-3000 cm-1. maupun akibat
pengaruh waktu dan suhu aktivasinya. Arang aktif ini mengandung residu P2O3 atau
P2O5 pada strukturnya sehingga tingkat kepolarannya relatif tinggi dan bersifat asam.
6. Aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 1M
Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 26.
W1S1
Tran
smis
i (%
)
W2S1
W1S2
W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 26 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
100
Tabel 33 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Perlakuan Bilangan gelombang (cm-1)
W1S1 3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1407,9 – 1083,9
W2S1 3448,5 – 2854,5 – 1639,4 – 1400,2 – 1110,9
W1S2 3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1400,2 – 1083,9
W2S2 3444,6 – 2854,5 – 1635,5 – 1407,9 – 1083,9 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 26 dan data Tabel 33 ditunjukkan bahwa gugus-gugus fungsi
arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M relatif tidak berbeda dengan arang aktif
hasil aktivasi larutan H3PO4 0,5M, kecuali tingkat serapan IR-nya pada beberapa
daerah. Hal ini berarti tingkat konsentrasi larutan H3PO4 cenderung tidak memberi
pengaruh terhadap gugus-gugus fungsi pada arang aktif yang dihasilkan. H3PO4
merupakan asam lemah yang sering digunakan sebagai salah satu aktivator pada
pembuatan arang aktif untuk menghasilkan arang aktif yang bersifat asam dengan
tingkat kepolaran lebih tinggi sehingga penggunaannya sebagai adsorben lebih optimal.
4.3.2.2 Identifikasi pola struktur kristalit arang aktif
Pola struktur kristalit dari arang aktif dapat ditelusuri dengan difraktometri
XRD. Analisis ini bertujuan mengetahui struktur kristalit suatu bahan, dan perubahan
strukturnya akibat perlakuan yang diberikan. Dengan analisis ini dapat diketahui
perubahan bentuk kristalit sebagai akibat dari perlakuan aktivator yang diikuti dengan
perubahan suhu dan waktu aktivasi.
1. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi dengan panas
Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan panas ditunjukkan pada Gambar 27 dan Tabel 34.
101
W1S1
Inte
nsita
s
W2S1
W1S2
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 27 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi panas
Tabel 34 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi panas pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan X (%)
θ d1 (nm)
θ d2 (nm)
Lc (nm)
N La (nm)
W1S1 51,57 22 0,404 43 0,210 4,031 9,978 8,461
W2S1 43,46 23 0,386 43 0,210 2,677 6,935 5,664
W1S2 45,21 24 0,370 43 0,210 4,031 10,895 8,566
W2S2 23,12 24 0,370 43 0,210 3,214 8,677 8,409 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 27 dan data Tabel 34 ditunjukkan bahwa jarak antar
lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit baik akibat pengaruh
peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin lama waktu aktivasi arang
dengan aktivator panas menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan aromatiknya
semakin rendah, sedangkan semakin tinggi suhunya cenderung menyebabkan semakin
tinggi pula tinggi dan lebar antar lapisan aromatik. Di samping itu, jumlah lapisan
102
aromatik cenderung meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi, dan sebaliknya
dengan semakin lama waktu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi
penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat
kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang
mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan
suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator panas yang menunjukkan
peningkatan derajat kristalinias maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60
menit dan suhu aktivasinya 700 oC.
2. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan uap H2O ditunjukkan pada Gambar 28 dan Tabel 35.
W1S1
Inte
nsita
s
W2S1
W1S2
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 28 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi uap H2O
103
Tabel 35 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi uap H2O pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan X (%)
θ d1 (nm)
θ d2 (nm)
Lc (nm)
N La (nm)
W1S1 39,87 24 0,370 43 0,210 3,212 8,681 12,703
W2S1 45,06 24 0,370 43 0,210 3,212 8,681 8,566
W1S2 44,67 23 0,386 43 0,210 4,031 10,443 6,316
W2S2 46,16 24 0,370 43 0,210 2,677 7,229 8,409 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 28 dan data Tabel 35 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan
aromatik arang aktif hasil aktivasi dengan aktivator uap H2O cenderung tidak berbeda
walaupun ditingkatkan suhu maupun waktu aktivasinya. Semakin tinggi suhu dan
lamanya waktu aktivasi cenderung menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan
aromatik semakin rendah. Di samping itu, jumlah lapisan aromatik cenderung
meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi selama 60 menit. Hal tersebut
menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif ke arah yang
semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung meningkat. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al.
(2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya
peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator uap H2O yang
menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas maksimum ditunjukkan pada waktu
aktivasi selama 120 menit dan suhunya 800 oC.
3. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 0,5M
Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 29 dan Tabel 36.
104
W1S1 In
tens
itas
W1S2
W2S1
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 29 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Tabel 36 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan X (%)
θ d1 (nm)
θ d2 (nm)
Lc (nm)
N La (nm)
W1S1 41,50 20 0,444 43 0,210 3,068 6,909 8,445
W2S1 41,17 20 0,444 43 0,210 3,068 6,909 8,445
W1S2 44,83 22 0,404 43 0,210 2,667 6,602 7,036
W2S2 36,48 22 0,404 43 0,210 2,667 6,602 7,036 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 29 dan data Tabel 36 ditunjukkan bahwa jarak antar
lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit dengan semakin
meningkatnya suhu aktivasi, sedangkan lamanya waktu aktivasi tidak berpengaruh.
Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M menyebabkan
105
baik tinggi maupun lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah, sedangkan
lamanya waktu aktivasi tidak berpengaruh. Demikian juga halnya dengan jumlah
lapisan aromatik cenderung berkurang dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi.
Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif
yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin
et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat
terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator larutan
KOH 0,5M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum
ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.
4. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 1M
Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 30 dan Tabel 37.
W1S1
Inte
nsita
s
W1S2
W2S1
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 30 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Tabel 37 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi
106
(Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi KOH 1M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan X (%)
θ d1 (nm)
θ d2 (nm)
Lc (nm)
N La (nm)
W1S1 40,95 20 0,444 43 0,210 3,068 6,909 8,445
W2S1 30,40 23 0,386 43 0,210 3,645 9,443 10,132
W1S2 39,38 22 0,404 43 0,210 2,667 6,601 7,036
W2S2 44,42 22 0,404 43 0,210 2,667 6,601 7,036 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 30 dan data Tabel 37 ditunjukkan bahwa jarak antar
lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit dengan semakin lamanya
waktu aktivasi pada suhu 700 oC, sedangkan lamanya waktu aktivasi pada suhu 800 oC
tidak berpengaruh. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH
1M menyebabkan baik tinggi maupun lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah,
sedangkan lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC cenderung meningkat dan pada
suhu 800 oC tidak berpengaruh. Demikian juga halnya dengan jumlah lapisan aromatik
cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC dan
menurun pada suhu 800 oC. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan
struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya
cenderung menurun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito &
Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas
semakin tinggi akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan
larutan KOH 1M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum
ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 120 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.
5. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 0,5M
Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 31 dan Tabel 38.
107
W1S1
W1S2 In
tens
itas
W2S1
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 31 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Tabel 38 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan X (%)
θ d1 (nm)
θ d2 (nm)
Lc (nm)
N La (nm)
W1S1 39,60 24 0,370 43 0,210 3,569 9,646 10,132
W2S1 38,79 23 0,386 43 0,210 3,563 9,231 9,286
W1S2 54,00 24 0,370 43 0,210 3,650 9,857 8,460
W2S2 44,99 24 0,370 43 0,210 3,650 9,857 8,460 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 31 dan data Tabel 38 ditunjukkan bahwa jarak antar
lapisan aromatik arang aktif cenderung tidak berubah baik pada peningkatan suhu
maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu maupun lamanya waktu aktivasi
arang dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M menyebabkan lebar antar lapisan
aromatiknya semakin kecil, sedangkan tingginya cenderung tidak berbeda. Jumlah
lapisan aromatik cenderung meningkat akibat semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal
108
tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang
semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung meningkat. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al.
(2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya
peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan H3PO4 0,5M yang
menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada
waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.
6. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M
Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 32 dan Tabel 39.
W1S1
Inte
nsita
s
W2S1
W1S2
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 32 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
109
Tabel 39 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M pada berbagai suhu dan waktu
Perlakuan X (%)
θ d1 (nm)
θ d2 (nm)
Lc (nm)
N La (nm)
W1S1 40,48 23 0,386 43 0,210 3,563 9,231 10,132
W2S1 41,14 23 0,386 43 0,210 3,563 9,231 10,132
W1S2 39,27 24 0,370 43 0,210 3,650 9,857 8,460
W2S2 33,51 24 0,370 43 0,210 3,650 9,857 8,460 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 32 dan data Tabel 39 ditunjukkan bahwa jarak antar
lapisan aromatik arang aktif cenderung menurun dengan semakin meningkatnya suhu
maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator
larutan H3PO4 1M menyebabkan tinggi antar lapisan aromatik semakin meningkat dan
lebarnya semakin mengecil. Jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat akibat
semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi
penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat
kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang
mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan
suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan H3PO4 1M yang menunjukkan
peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi
selama 120 menit dan suhu aktivasinya 700 oC.
4.3.2.2 Identifikasi pola struktur permukaan pori arang aktif
Pola struktur permukaan pori dari suatu bahan digambarkan dengan fotograph
SEM. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui topografi permukaan struktur suatu
bahan akibat perubahan suhu aktivasinya.
1. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan panas ditunjukkan pada Gambar 33 dan Tabel 40.
110
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 33 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas
Tabel 40 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi panas
Perlakuan Diameter pori (µm)
W1S1 2,6-5,8
W2S1 3,1-6,3
W1S2 1,8-4,7
W2S2 2,0-5,2 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 33 dan data Tabel 40 dapat diketahui bahwa topografi
permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan panas menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 700 oC
dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh
Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon. Hal ini disebabkan
pada perlakuan tersebut suhu idealnya adalah 700 oC, akan tetapi pada suhu 800 oC
cenderung pori-pori tertutupi oleh debu akibat dekomposisi permukaannya sehingga
kualitasnya menjadi lebih rendah.
111
2. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan uap H2O ditunjukkan pada Gambar 34 dan Tabel 41.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 34 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Tabel 41 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi uap H2O
Perlakuan Diameter pori (µm)
W1S1 3,5-7,1
W2S1 2,6-6,5
W1S2 3,8-7,7
W2S2 3,7-10,2
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 34 dan data Tabel 41 dapat diketahui bahwa topografi
permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori, baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Hasil ini cenderung berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi dengan
112
panas, yaitu diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan
waktu aktivasi selama 120 menit. Pada aktivasi ini kadar abu meningkat akibat
dekomposisi permukaannya, kemungkinan disebabkan oleh pemberian uap air secara
kontinyu pada suhu 800oC cenderung molekul-molekul air terurai menjadi radikal
hidrogen dan hidroksil yang sangat reaktif dan bereaksi dengan gugus-gugus fungsi
pada arang sehingga menyebabkan pergeseran serapan IR-nya (Gambar 22).
3. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 35 dan Tabel 42.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 35 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Tabel 42 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Perlakuan Diameter pori (µm)
113
W1S1 2,3-6,2
W2S1 2,1-5,6
W1S2 3,5-8,9
W2S2 2,6-6,8
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 35 dan data Tabel 42 dapat diketahui bahwa topografi permukaan
arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5M menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori akibat peningkatan suhu aktivasi, sedangkan
lamanya waktu aktivasi menyebabkan terjadi penurunan jumlah dan diameter pori.
Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi
selama 60 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Brasquet et al. (2000)
yang membuat arang aktif dari serat rayon.
4. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 36 dan Tabel 43.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 36 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Tabel 43 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 1M
Perlakuan Diameter pori (µm)
114
W1S1 1,2-3,4
W2S1 2,2-4,9
W1S2 2,3-5,1
W2S2 2,4-5,3 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 36 dan data Tabel 43 dapat diketahui bahwa topografi permukaan
arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC
dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh
Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon.
5. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 37 dan Tabel 44.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 37 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Tabel 44 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M
Perlakuan Diameter pori (µm)
115
W1S1 2,7-7,1 W2S1 2,9-7,4 W1S2 3,1-7,9 W2S2 4,2-12,2
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit
S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 37 dan data Tabel 44 dapat diketahui bahwa topografi permukaan
arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M menunjukkan kecenderungan
peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya
waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu aktivasi
800 oC dan waktu aktivasinya selama 120 menit, yaitu berkisar 4,2-12,2 µm. Hasil ini
sesuai dengan pola topografi permukaan pori arang aktif dari serat rayon yang
dilakukan oleh Brasquet et al. (2000).
6. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi
arang dengan larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 38 dan Tabel 45.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 38 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Tabel 45 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
Perlakuan Diameter pori
116
(µm) W1S1 2,1-7,8
W2S1 2,5-8,3
W1S2 3,6-9,4
W2S2 4,0-11,5 Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit W2 = waktu aktivasi 120 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 38 dan data Tabel 45 dapat diketahui bahwa topografi
permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 1M menunjukkan
kecenderungan yang sama dengan pola struktur arang aktif hasil aktivasi dengan
larutan H3PO4 0,5M, yaitu peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat
peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat
pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi selama 120 menit, yaitu
berkisar 4,0-11,5 µm. Hasil ini sesuai dengan pola topografi permukaan pori arang aktif
dari serat rayon yang diperoleh Brasquet et al. (2000). Menurut Novicio et al. (1998)
bahwa proses terbentuknya pori-pori pada arang aktif disebabkan oleh menguapnya
sejumlah zat terbang bahan baku akibat proses pirolisis.
Semakin besar atau lebarnya ukuran pori yang terbentuk pada suatu bahan yang
disebabkan oleh peningkatan suhu aktivasi, ada kemungkinan semakin banyak pula
jumlah komponen bahan baku yang terdegradasi akan menguap. Penguapan komponen-
komponen tersebut dapat mengakibatkan pergeseran antara lapisan kristal dan
mengubah struktur kristal arang, sehingga terbentuk kristal baru yang berbeda dengan
struktur bahan asalnya. Di samping itu, dengan menguapnya produk dekomposisi pada
proses karbonisasi semakin menguntungkan karena bila tidak menguap, komponen
tersebut akan menutupi celah di antara lembaran kristal arang, sehingga kinerja arang
akan berkurang (Villegas & Valle 2001). Oleh karena itu, proses karbonisasi suatu
bahan dapat mengubah pola struktur permukaannya.
4.3.3 Mutu Arang Aktif
117
Arang aktif yang diperoleh dari proses aktivasi arang hasil pirolisis sampah
organik pasar secara umum memiliki penampakkan fisik berupa warna dan bentuk yang
sama dengan arang sebagai bahan bakunya. Mutu arang aktif sangat bergantung pada
rendemen, sifat-sifat dasar, daya jerap dan strukturnya.
4.3.3.1 Rendemen
Rendemen merupakan salah satu aspek penting untuk menilai produktivitas
suatu proses sehingga dapat diketahui prospeknya. Data hasil perhitungan rata-rata
rendemen arang aktif yang dihasilkan pada berbagai perlakuan aktivator, suhu dan
waktu disajikan pada Tabel 46.
Tabel 46 Rendemen arang aktif pada berbagai perlakuan aktivasi
Perlakuan aktivasi Percobaan
Aktivator Suhu (oC) Waktu (menit) Rendemen
(%b/b)
1 Panas 700 60 78,25 2 Panas 700 120 82,20 3 Panas 800 60 79,50 4 Panas 800 120 84,25 5 Uap H2O 700 60 55,88 6 Uap H2O 700 120 57,35 7 Uap H2O 800 60 52,75 8 Uap H2O 800 120 57,60 9 KOH 0,5 M 700 60 62,55
10 KOH 0,5 M 700 120 62,75 11 KOH 0,5 M 800 60 63,21 12 KOH 0,5 M 800 120 65,50 13 KOH 1 M 700 60 72,04 14 KOH 1 M 700 120 80,00 15 KOH 1 M 800 60 81,03 16 KOH 1 M 800 120 82,75 17 H3PO4 0,5 M 700 60 75,43 18 H3PO4 0,5 M 700 120 77,15 19 H3PO4 0,5 M 800 60 77,25 20 H3PO4 0,5 M 800 120 78,95 21 H3PO4 1 M 700 60 79,00 22 H3PO4 1 M 700 120 81,15 23 H3PO4 1 M 800 60 83,50 24 H3PO4 1 M 800 120 84,15
118
Dari Tabel 46 diketahui bahwa rendemen arang aktif yang dihasilkan pada
percobaan ini secara umum berkisar 52,75-84,25%. Rendemen arang aktif hasil aktivasi
dengan panas cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu dan lama aktivasi.
Demikian juga halnya dengan rendemen arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH
dan H3PO4, cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi, suhu dan lama
aktivasi. Akan tetapi berbeda halnya dengan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O
bahwa makin tinggi suhu dan lama aktivasi cenderung rendemennya semakin menurun.
Rendemen arang aktif tertinggi terdapat pada perlakuan aktivasi dengan panas
pada suhu 800 oC dan waktu 120 menit, yaitu 84,25%, sedangkan yang terendah
terdapat pada perlakuan aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800 oC dan waktu 60
menit, yaitu 52,75%. Hasil ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan rendemen
arang aktif yang diperoleh dari kulit kayu Acasia mangium, yaitu 67,40-99,40% (Pari et
al. 2006). Rendahnya rendemen arang aktif yang dihasilkan secara umum disebabkan
oleh reaksi kimia yang terjadi antara karbon yang terbentuk dengan uap H2O makin
meningkat seiring dengan makin meningkatnya suhu dan lamanya waktu aktivasi,
sehingga karbon yang bereaksi menjadi gas CO2 dan H2O dalam satuan waktu makin
banyak, sebaliknya kadar karbon yang dihasilkan makin rendah (Lee et al. 2003). Hasil
ini relatif sama dengan yang dilakukan oleh Hartoyo et al. (1990) yang membuat arang
aktif dari bahan baku tempurung kelapa dan kayu bakau dengan perlakuan aktivasi
menggunakan uap H2O pada suhu 500-900 oC dan waktu 10-50 menit.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor
aktivator, waktu, maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, waktu-suhu dan
interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap rendemen arang
aktif (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 2a)
menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 1M dapat menghasilkan rendemen
tertinggi yang berbeda nyata dengan aktivator lain. Faktor waktu aktivasi selama 120
menit menghasilkan rendemen tertinggi yang nyata dibandingkan aktivasi selama 60
menit. Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan waktu 60 atau 120
119
menit, atau antara aktivator panas dengan waktu aktivasi selama 60 atau 120 menit
dapat menghasilkan arang aktif dengan rendemen tertinggi yang berbeda tidak nyata
(Lampiran 2b). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan
suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC, atau
antara aktivator panas dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan rendemen arang
aktif tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2c). Faktor interaksi antara waktu
aktivasi selama 60 atau 120 menit dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan
rendemen arang aktif yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2d). Faktor interaksi antara
aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, atau
antara aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau antara
aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator
larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 60 menit dapat menghasilkan arang aktif
dengan rendemen tertinggi berbeda tidak nyata (Lampiran 2e). Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang aktif dengan rendemen tertinggi,
yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan aktivator larutan H3PO4 1M dengan
suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, atau aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan
suhu 800 oC selama 60 menit, atau aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 atau
120 menit, atau aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 60 menit.
4.3.3.2 Karakteristik sifat-sifat dasar arang aktif
Mutu arang aktif yang dihasilkan pada suatu proses, antara lain dapat diketahui
melalui analisis sifat-sifat dasarnya yang meliputi parameter kadar air, zat terbang, abu,
karbon terikat, daya jerap terhadap iodin, benzena dan kloroform. Data hasil
karakterisasi sifat-sifat dasar arang aktif disajikan pada Tabel 47. Dari data Tabel 47
ditunjukkan bahwa arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan dengan aktivator panas
pada waktu 120 menit dan suhu 800 oC merupakan arang aktif yang sebahagian besar
karakteristiknya memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), terutama
dalam hal daya jerapnya terhadap larutan iodin. Kemampuan daya jerap arang aktif
120
terhadap larutan iodin sering kali dijadikan sebagai patokan utama untuk menilai
kualitas suatu arang aktif terutama untuk penggunaannya sebagai adsorben.
Tabel 47 Karakteristik arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik pasar
Kadar (%) Daya jerap Perlakuan
Air Zat terbang Abu Karbon terikat
Iodin (mg/g)
Benzena (%)
A1W1S1 2,36 19,32 15,56 65,12 546,76 8,75 A1W1S2 1,02 18,66 17,38 63,97 700,16 8,55 A1W2S1 1,28 17,82 12,55 69,63 339,56 8,12 A1W2S2 2,23 20,00 14,44 65,56 209,63 7,88 A2W1S1 0,98 12,77 14,86 72,38 616,94 14,99 A2W1S2 0,92 10,87 16,87 72,26 757,82 16,70 A2W2S1 1,19 10,49 14,95 74,56 504,82 15,87 A2W2S2 1,36 8,87 12,27 78,86 873,53 22,51 A3W1S1 1,53 14,43 21,81 63,76 459,73 5,05 A3W1S2 3,83 14,33 22,52 63,14 479,55 4,44 A3W2S1 1,76 13,74 19,02 67,24 306,04 5,87 A3W2S2 4,70 20,06 23,98 55,96 313,02 6,12 A4W1S1 1,45 16,13 26,25 57,62 323,25 5,46 A4W1S2 1,11 13,68 26,53 59,79 327,17 8,17 A4W2S1 4,82 17,34 20,36 62,31 309,32 11,87 A4W2S2 5,41 17,27 26,59 56,14 409,52 14,03 A5W1S1 2,46 7,08 9,78 83,14 308,49 7,99 A5W1S2 3,22 7,29 10,41 82,30 284,92 7,12 A5W2S1 3,34 8,30 9,89 81,81 324,76 5,98 A5W2S2 2,58 6,61 10,44 82,94 243,52 7,26 A6W1S1 3,22 8,66 9,84 81,50 338,28 9,75 A6W1S2 2,65 8,42 9,55 82,03 373,59 11,20 A6W2S1 1,71 6,30 12,61 81,09 438,74 8,97 A6W2S2 1,20 6,55 11,45 81,99 268,03 8,76
SNI ≤ 15 ≤ 25 ≤ 10 ≥ 65 ≥ 750 ≥ 25 Keterangan: A1 = aktivator panas W1 = waktu aktivasi 60 menit A2 = aktivator steam (uap H2O) W2 = waktu aktivasi 120 menit A3 = aktivator basa KOH 0,5 M S1 = suhu aktivasi 700 oC A4 = aktivator basa KOH 1 M S2 = suhu aktivasi 800 oC A5 = aktivator asam H3PO4 0,5 M
A6 = aktivator asam H3PO4 1 M
121
1. Kadar air
Kadar air arang sebelum diaktivasi berkisar 2,46-3,09%. Kadar air arang aktif
yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 0,92-5,41% (Tabel 47), nilai ini memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995). Hasil ini masih lebih baik bila dibanding
dengan kadar air arang aktif kulit kayu A. mangium, yaitu 8,39-15,19% (Pari et al.
2006). Kadar air tertinggi terdapat pada arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator
larutan KOH 1M pada suhu 800 oC selama 120 menit dan yang terendah terdapat pada
arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator uap air pada suhu 800 oC selama 60 menit.
Kadar air arang aktif yang dikehendaki harus bernilai sekecil-kecilnya karena akan
mempengaruhi daya jerapnya terhadap gas ataupun cairan (Pari 1996). Kadar air yang
terkandung dalam arang aktif dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara, lama proses
pendinginan, penggilingan dan pengayakan (Hendaway 2003). Arang aktif yang
bersifat higroskopis mudah sekali menyerap uap air di udara karena strukturnya terdiri
atas 6 atom karbon pada sudut heksagonal, memungkinkan uap air terperangkap di
dalamnya dan tidak dapat dilepas pada kondisi pengeringan oven 105 oC.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor
aktivator, waktu, suhu, maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi
aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar air arang aktif,
sedangkan interaksi faktor waktu dan suhu tidak nyata (Lampiran 1). Selanjutnya hasil
uji BNT faktor tunggal (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa faktor aktivator uap H2O
menghasilkan kadar air terendah yang nyata dibanding perlakuan lain. Faktor waktu
aktivasi selama 60 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air terendah
dibanding aktivasi selama 120 menit. Demikian juga halnya dengan aktivasi pada suhu
700 oC menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air terendah dibanding
aktivasi pada suhu 800 oC. Faktor interaksi antara aktivator panas dengan waktu selama
60 atau 120 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan waktu selama 60 atau 120
menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan waktu selama 60 menit, atau
antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan waktu selama 120 menit menghasilkan
arang aktif dengan kadar air terendah yang berbeda tidak nyata (Lampiran 3b). Faktor
interaksi antara aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator
122
panas dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan KOH 0,5M dengan
suhu 700 oC, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M menghasilkan arang aktif dengan
kadar air terendah yang berbeda tidak nyata (Lampiran 3c). Faktor interaksi antara
aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara
aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator panas
dengan suhu 700 oC selama 120 menit, atau antara aktivator larutan KOH 0,5M dengan
suhu 700 oC selama 60 menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 700
atau 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700
atau 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar air terendah yang
tidak nyata (Lampiran 3d). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan
pembuatan arang aktif terbaik dengan kadar air terendah, yaitu menggunakan aktivator
uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau aktivator panas
dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau aktivator panas dengan suhu 700 oC selama
120 menit, atau aktivator larutan KOH 0,5M dengan suhu 700 oC selama 60 menit, atau
aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit, atau
aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit.
2. Kadar zat terbang
Kadar zat terbang arang sebelum diaktivasi berkisar 18,30-19,99%. Kadar zat
terbang arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 6,30-20,06% (Tabel
47). Nilai kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan pada semua perlakuan
memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadarnya kurang dari
25,00%. Arang aktif yang mengandung kadar zat terbang terendah terdapat pada
aktivasi dengan aktivator larutan H3PO4 1M pada suhu 700 oC selama 120 menit, dan
yang tertinggi terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan KOH 0,5M pada suhu
800 oC selama 120 menit. Secara umum kadar zat terbang yang dihasilkan cenderung
meningkat seiring meningkat suhu dan waktu aktivasi. Tingginya kadar zat terbang ini
menunjukkan bahwa permukaan arang aktif yang dihasilkan masih menempel
senyawaan non karbon dan juga zat terbang yang berasal dari hasil interaksi antara
karbon dengan uap air sebagaimana terbukti dari hasil identifikasi gugus fungsi dengan
123
FTIR (Gambar 25) dan dengan SEM (Gambar 35). Kadar zat terbang yang tinggi pada
arang aktif tidak diinginkan karena senyawaan yang menempel pada permukaannya
dapat mengurangi daya jerapnya baik terhadap larutan maupun gas-gas.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator
maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivator-waktu-suhu
memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang arang aktif, sedangkan faktor
waktu dan suhu tidak nyata (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal
(Lampiran 4a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah yang dihasilkan,
sedangkan faktor lain berpengaruh nyata. Pada interaksi faktor aktivator larutan KOH
0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit dan antara aktivator larutan larutan
H3PO4 1M dengan waktu 60 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap
kadar zat terbang terendah yang dihasilkan, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata
(Lampiran 4b). Pada interaksi faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu
700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu
60 atau 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang
terendah yang dihasilkan, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 4c).
Pada interaksi faktor waktu-suhu menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap
kadar zat terbang (Lampiran 4d). Pada interaksi faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau
1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, antara aktivator larutan KOH 0,5
atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah, sedangkan perlakuan
lain berbeda nyata (Lampiran 4e). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa untuk
membuat arang aktif dengan kadar zat terbang terendah dapat dilakukan dengan
aktivasi arang menggunakan aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700
atau 800 oC selama 120 menit, antara aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu
700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit.
3. Kadar abu
124
Kadar abu dari arang sebelum diaktivasi berkisar 12,22-13,00%. Kadar abu
arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 9,55-26,59% (Tabel 47). Nilai
tersebut umumnya tidak memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena
kadar abu yang dihasilkan jauh di atas batas maksimum, yaitu kurang dari 10,00%,
kecuali arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M pada suhu 700 oC selama
60 dan 120 menit atau larutan H3PO4 1M pada suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit.
Kandungan kadar abu yang terdapat pada arang hasil pirolisis pada berbagai perlakuan
cenderung fluktuatif. Hal ini disebabkan karena komposisi bahan baku sampah organik
pasar yang digunakan relatif tidak homogen. Kadar abu tinggi terdapat pada perlakuan
aktivasi dengan larutan KOH 1M pada suhu 800 oC selama 120 menit dan yang
terendah terdapat pada perlakuan aktivasi dengan larutan H3PO4 1M pada suhu 800 oC
selama 60 menit. Tingginya kadar abu pada suatu arang aktif disebabkan oleh
terjadinya reaksi oksidasi. Menurut Pari (2004), kadar abu yang besar dapat
mengurangi daya jerap arang aktif baik terhadap larutan maupun gas-gas, karena
kandungan mineral yang terdapat dalam abu seperti kalium, natrium, kalsium, dan
magnesium akan menyebar dalam kisi-kisi arang aktif, sehingga mengakibatkan kinerja
arang aktif berkurang (Tanaike & Inagaki 1999; Benaddi et al. 2000).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator,
suhu, waktu maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivator-
waktu-suhu memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar abu arang
aktif, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan interaksi faktor waktu dan suhu
(Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 5a) menunjukkan
bahwa faktor aktivator larutan KOH 1M berpengaruh nyata terhadap kadar abu arang
aktif yang dihasilkan. Faktor waktu aktivasi selama 60 menit berbeda nyata terhadap
kadar abu arang aktif yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan faktor suhu
aktivasi 800 oC berbeda nyata terhadap kadar abu arang aktif. Pada interaksi antara
faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dalam menghasilkan kadar abu arang aktif
yang relatif lebih rendah, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran
5b). Pada interaksi antara faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700
atau 800 oC tidak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar abu arang
125
aktif terendah yang dihasilkan, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata
(Lampiran 5c). Pada interaksi antara faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan
suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau
1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, antara aktivator panas
dengan suhu 700 oC selama 120 menit, dan antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar abu
arang aktif terendah yang dihasilkan, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata
(Lampiran 5d). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan arang aktif
dengan kadar abu relatif rendah dapat dilakukan dengan aktivasi arang menggunakan
aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120
menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC
selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator panas dengan suhu 700 oC selama 120
menit, atau antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit.
4. Kadar karbon terikat
Kadar karbon terikat bahan baku arang sebelum diaktivasi berkisar 67,01-
69,48%. Kadar karbon terikat yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara
55,96–83,14% (Tabel 47). Nilai tersebut lebih separuh perlakuan memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadarnya melebihi 65,00%, kecuali
arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivator larutan KOH. Kadar karbon
tertinggi terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 700 oC selama 60 menit dan yang terendah terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan
KOH 0,5M dengan suhu 800 oC selama 120 menit. Rendahnya kadar karbon terikat
menunjukkan sebagian atom-atom karbon teroksidasi menghasilkan gas CO dan/atau
CO2 sehingga atom karbon yang tertata kembali membentuk struktur heksagonal
berkurang. Arang aktif tersusun atas atom-atom karbon bebas yang berikatan secara
kovalen membentuk struktur heksagonal datar (Puziy et al. 2003). Pada aktivasi dengan
aktivator uap H2O dan KOH, menunjukkan kecenderungan dengan semakin lamanya
waktu aktivasi semakin berkurang kadar karbon yang dihasilkan. Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya kadar abu yang dihasilkan. Akan tetapi kebalikannya
pada perlakuan aktivasi dengan panas dan/atau larutan H3PO4 menunjukkan
126
kecenderungan peningkatan kadar karbon dengan semakin meningkatnya waktu
aktivasi. Hal ini disebabkan kadar abu yang terbentuk pada arang aktif hasil aktivasi
dengan kedua aktivator tersebut relatif lebih rendah berkisar 12,55-17,38% untuk
aktivator panas dan 9,55-11,45% untuk aktivator H3PO4 (Tabel 47) dibandingkan
dengan hasil aktivasi uap H2O dan KOH. Hasil ini berbeda dengan perlakuan aktivasi
yang dilakukan oleh Williams & Reed (2003) bahwa kadar karbon semakin menurun
akibat semakin meingkatnya waktu aktivasi.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor
aktivator, suhu maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, waktu-suhu dan
interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar korbon
terikat arang aktif (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran
6a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dapat
menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda nyata dengan
aktivator lain. Faktor suhu aktivasi 700 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar
karbon tertinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 800 oC. Faktor
interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu aktivasi selama 60
atau 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda
tidak nyata (Lampiran 6b). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M
dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi
yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6c). Faktor interaksi antara waktu aktivasi baik
selama 60 maupun 120 menit dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan arang aktif
dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6d). Faktor interaksi
antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60
atau 120 menit, atau antara aktivator KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 120 menit
menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata
(Lampiran 6e). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan
arang aktif dengan kadar karbon tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi menggunakan
aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120
menit, atau aktivator KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 120 menit.
5. Daya jerap iodin
127
Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin merupakan indikator penting
dalam menilai kualitas suatu arang aktif. Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin
mempunyai arti bahwa arang tersebut mampu menyerap zat dengan ukuran molekul
yang < 10 Ao atau memberikan indikasi bahwa arang tersebut memiliki jumlah pori >
10 Ao. Semakin tinggi daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin maka semakin baik
kualias arang aktif tersebut.
Daya jerap arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini terhadap larutan iodin
berkisar 209,63-873,53 mg/g (Tabel 47). Nilai tersebut pada umumnya tidak memenuhi
persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), kecuali arang aktif hasil aktivasi dengan
uap H2O pada suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, karena batas minimal daya jerap
arang aktif terhadap larutan iodin adalah 750,00 mg/g. Secara umum hasil penelitian ini
menunjukkan adanya kecenderungan daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin
semakin menurun sesuai dengan meningkatnya waktu aktivasi. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Pari (1995) yang memperoleh daya jerap
arang aktif terhadap larutan iodin yang terendah ditunjukkan pada arang hasil aktivasi
selama 30 menit dibandingkan dengan aktivasi selama 90 menit yang mempunyai daya
jerap lebih tinggi. Di samping itu, apabila hasil ini dibandingkan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pari et al. (2006) yang memperoleh daya jerap arang
aktif terhadap larutan iodin berkisar antara 369-607 mg/g, maka kualitas arang aktif
hasil penelitian ini relatif lebih baik.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa semua faktor baik
tunggal maupun interaksinya memberi pengaruh yang nyata terhadap daya jerap arang
aktif terhadap larutan iodin (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal
(Lampiran 7a) menunjukkan bahwa aktivasi dengan uap H2O berbeda nyata dalam hal
menghasilkan arang aktif yang mempunyai daya jerap lebih tinggi terhadap larutan
iodin. Faktor waktu aktivasi selama 60 menit menghasilkan arang aktif dengan daya
jerap terhadap larutan iodin lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan dengan
waktu aktivasi selama 120 menit. Faktor suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif
dengan daya jerap terhadap larutan iodin lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan
aktivasi dengan suhu 700 oC. Faktor interaksi antara aktivator panas dengan waktu
128
aktivasi selama 60 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi selama
120 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi
yang berbeda nyata (Lampiran 7b). Faktor interaksi antara antara aktivator uap H2O
dengan suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap
larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7c). Faktor interaksi antara waktu
aktivasi baik selama 60 menit dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara waktu aktivasi
selama 120 menit dengan suhu 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap
terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7d). Faktor interaksi
antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang
aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran
7e). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang
aktif yang mempunyai daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi, yaitu dengan cara
aktivasi arang menggunakan aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit.
6. Daya jerap benzena
Benzena merupakan senyawa aromatis sederhana yang bersifat nonpolar.
Senyawa ini memiliki titik didih yang lebih rendah dari pada air, yaitu 80 oC, tidak
berwarna, tidak larut dalam air, larut baik dalam kebanyakan pelarut organik, mudah
terbakar dengan nyala yang berjelaga. Karakteristik daya jerap arang aktif terhadap
benzena memberi indikasi akan kemampuan arang aktif dalam menjerap gas-gas yang
bersifat nonpolar dengan ukuran molekul < 6 Ao.
Daya jerap arang aktif terhadap uap benzena yang dihasilkan pada pengamatan
jam ke-24 berkisar 4,44-22,51% (Tabel 47). Nilai daya jerap arang aktif terhadap uap
benzena tidak ada yang memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), karena
batas ambangnya minimal 25,00%. Nilai daya jerap arang aktif terhadap benzena
tertinggi terdapat pada perlakuan aktivasi uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120
menit dan yang terendah terdapat pada perlakuan aktivasi larutan KOH 0,5M dengan
suhu 800 oC selama 60 menit. Rendahnya daya jerap arang aktif terhadap uap benzena
menunjukkan bahwa masih terdapatnya senyawaan nonkarbon yang menempel pada
permukaan arang aktif terutama atom hidrogen dan oksigen sehingga permukaan arang
129
aktifnya lebih bersifat nonpolar. Apabila hal ini dibandingkan dengan hasil penelitian
yang dilakukan Pari et al. (2006) yang memperoleh daya jerap arang aktif dari A.
mangium terhadap uap benzena berkisar antara 9,22-16,20%, maka arang aktif yang
dihasilkan pada penelitian ini relatif berkualitas sama.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator,
suhu, waktu maupun interaksi aktivator-waktu dan aktivator-suhu memberi pengaruh
yang nyata terhadap daya jerap arang aktif terhadap uap benzena (Lampiran 1).
Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa aktivasi
dengan uap H2O berbeda nyata dalam hal menghasilkan arang aktif yang mempunyai
daya jerap lebih tinggi terhadap uap benzena. Faktor waktu aktivasi selama 120 menit
menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena lebih tinggi yang
berbeda nyata dibandingkan dengan waktu aktivasi selama 60 menit. Faktor suhu
aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena lebih
tinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 700 oC. Faktor interaksi
antara aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi selama 120 menit menghasilkan arang
aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran
8b). Faktor interaksi antara antara aktivator uap H2O dengan suhu aktivasi 800 oC
menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena tertinggi yang
berbeda nyata (Lampiran 8c). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan
terbaik untuk pembuatan arang aktif dari sampah organik pasar yang mempunyai daya
jerap terhadap uap benzena tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan
aktivator uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit.
130
4.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair
4.4.1 Fraksinasi Asap Cair
Asap cair yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil pirolisis pada suhu
505 oC dari bahan baku sampah organik pasar yang sukar dikomposkan. Fraksinasi
asap cair bertujuan untuk mencari fraksi-fraksi dari asap cair yang berpotensi terutama
sebagai antifeedant bagi hama tanaman. Fraksinasi dilakukan secara berturut yang
diawali dengan pelarut n-heksan (nonpolar), lalu diikuti dengan etil asetat (semipolar),
dan selanjutnya dengan metanol (polar), sedangkan sisanya merupakan fraksi air
(pelarut universal yang bersifat polar). Residu hasil evaporasi dari fraksi-fraksi yang
diperoleh disajikan pada Tabel 48.
Tabel 48 Residu hasil fraksinasi asap cair hasil pirolisis sampah organik
Bahan Pelarut Filtrat (ml)
Residu (g/l)
n-Heksan 722 3,47
Etil asetat 3155 23,74
Metanol 1350 8,78 Asap Cair
Air 2804 3,68
Berdasarkan data Tabel 48 diperoleh informasi bahwa residu hasil fraksinasi
asap cair dengan kadar tertinggi terdapat pada fraksi etil asetat, yaitu 23,74 g/l, dan
yang paling rendah terdapat pada fraksi n-heksan, yaitu 3,47 g/l. Hasil ini menunjukkan
bahwa pada asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar dengan suhu 505 oC selama 5
jam mengandung lebih banyak komponen senyawa yang bersifat semipolar. Hal ini
relatif sesuai dengan komponen kimia yang teridentifikasi pada analisis dengan teknik
GCMS (Lampiran 10).
4.4.2 Bioassay Asap Cair
Bioassay antifeedant merupakan salah satu teknik pencarian senyawa atau
komponen aktif dari suatu bahan yang bersifat tidak membunuh dan tidak mengusir,
melainkan hanya bersifat anti/menolak makan saja bagi hama pengganggu tanaman.
Data hasil bioassay asap cair dan fraksi-fraksinya terhadap larva S. litura disajikan
pada Tabel 49.
131
Tabel 49 Persentase aktivitas antifeedant asap cair dan fraksi-fraksinya
% Aktivitas antifeedant pada konsentrasi contoh Contoh
0,125% 0,250% 0,500% 1,00%
Asap Cair 17,39 29,41 30,61 44,68
Fraksi Air 18,18 30,77 41,18 62,07
Fraksi Metanol 26,83 48,00 65,38 80,65
Fraksi Etil asetat 19,15 20,83 22,45 28,57
Fraksi n-Heksan 10,45 12,12 17,65 23,40
Dari data Tabel 49 diketahui bahwa persentase aktivitas antifeedant dari asap
cair dan/atau fraksi-fraksinya cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi
yang diberikan. Pada konsentrasi contoh 1% (v/v) aktivitas antifeedant yang melebihi
50,00% ditunjukkan oleh fraksi metanol dan air, yaitu secara berturut 80,65 dan
62,07%, sedangkan aktivitas terendah ditunjukkan fraksi n-heksan, yaitu 23,40%. Hasil
ini memberi petunjuk bahwa baik fraksi metanol maupun air yang berasal dari asap cair
hasil pirolisis sampah organik pasar berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pengendali
hama tanaman yang bersifat antifeedant terutama dalam menggulangi larva S. litura.
Hasil ini juga diperkuat data analisis probit yang menunjukkan ke dua fraksi
tersebut mempunyai nilai EI50 yang sama-sama terendah, yaitu 0,71% (Lampiran 11).
Nilai ini berarti ke dua fraksi tersebut pada konsentrasi 0,71% saja mampu
menyebabkan 50% sasarannya bersifat antifeedant. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Han et al. (2006) bahwa ekstrak metanol dari akar Angelica
dahurica, keseluruhan tanaman Lysimachia davurica, dan umbi Nardostachys
chinensis sangat potensial sebagai insektisidal atau antifeedant terhadap larva
Attagenus unicolor japonicus. Pada penelitian yang dilakukan oleh Narasimhan et al.
(2005), juga diperoleh hal yang sama, yaitu ekstrak metanol dari biji Momordica dioica
yang mempunyai aktivitas antifeedant tertinggi terhadap larva S. litura.
Komponen kimia penyusun fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis sampah
organik pasar diidentifikasi dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP
Ultra-2 dengan suhu injektor 250 oC, gas pembawa helium dan kecepatan alir 0,6
μl/menit serta volume injeksinya 1 μl. Kromatogram GC yang diperoleh dari hasil
analisis fraksi metanol asap cair ditunjukkan pada Gambar 39.
132
Kel
impa
han
Waktu retensi (menit)
Gambar 39 Kromatogram fraksi metanol asap cair hasil pirolisis sampah organik
Hasil identifikasi kromatogram pada Gambar 39 dengan chemstation data
system yang ada pada alat tersebut diketahui senyawa-senyawa penyusun fraksi
metanol seperti yang tersajikan pada Tabel 50.
Tabel 50. Kandungan kimia fraksi metanol asap cair
Nomor Peak
Waktu Retensi (menit)
Nama Senyawa Konsentrasi (%)
1 2,19 Asam butanoat 6,59 2 2,53 Gamma-butirolakton 21,75 3 3,07 2-furan metanol 3,50 4 3,22 2-hidroksi-3-metil-2-siklopenten-1-one 13,71 5 3,78 fenol 15,54 6 3,93 Trans-4-siklopenten-1,3-diol 6,60 7 4,05 2-metil-3-buten-2-ol 7,68 8 4,65 2,6-dimetoksi fenol 11,71 9 5,34 Asam 2-metil-2-propenoat 3,66
10 6,36 3-metoksi-1,2-benzenadiol 3,43 11 6,90 2-metoksi-4-propil fenol 7,11 12 10,39 3-metil-1,2-benzenadiol 1,21 13 12,21 2-metil-1,4-benzenadiol 6,33 14 19,33 1,4-benzenadiol 2,19
Dari data Tabel 51 diketahui bahwa kandungan kimia fraksi metanol dari asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar menunjukkan 50% dari total 14 senyawa
133
yang teridentifikasi pada fraksi tersebut dengan teknik GCMS merupakan senyawa
golongan fenolik. Hasil ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik dapat dijumpai baik
pada tumbuhan berbunga, pakisan, lumut, lumut hati, maupun pada jasad renik
(Harborne 1988). Menurut Salisbury & Ross 1995, fungsi senyawa fenolik pada
tumbuhan sangat beragam, misalnya asam protokatekuat berfungsi mencegah
corengan pada varietas bawang berwarna tertentu yang disebabkan oleh fungi
Colletotrichum circinans. Asam klorogenat berfungsi mencegah penyakit tertentu
pada kultivar yang resisten dan asam ini tidak beracun bagi manusia. Asam galat
penting karena diubah menjadi galotanin, merupakan polimer heterogen yang
mengandung berbagai molekul asam galat yang saling terkait dengan asam galat lain
serta sukrosan dan gula-gula lain. Galotanin umumnya berperan sebagai alelopati dan
sangat menghambat pertumbuhan tanaman terutama spesies lain yang tumbuh di
sekitar tumbuhan yang mengandung dan melepaskannya (Rice 1984). Senyawa tanin
tersebar luas di dalam jaringan tumbuhan dan mempunyai fungsi melindungi
tumbuhan terhadap serangan bakteri dan fungi (Swain 1979). Selanjutnya,
Hemingway & Karchesy (1989) menyatakan tanin juga bertindak sebagai senyawa
aktif yang menyebabkan herbivora menolak makan/antifeedant tumbuhan yang
mengandungnya, sebagian karena sifat astringensinya (kemampuan mengkerutkan
mulut) dan sebagian karena menghambat pencernaan dan penggunaan makanan.
Kelompok senyawa yang berhubungan erat dengan asam fenol dan juga berasal dari
lintasan asam sikimat adalah kumarin. Kumarin merupakan salah satu senyawa atsiri
yang terbentuk terutama dari turunan glikosida tak atsiri saat penuaan atau perlukaan.
Hal ini penting terutama pada tumbuhan alfafa dan semanggi, yaitu kumarin
menyebabkan timbulnya aroma yang khas sesaat setelah kedua jenis tumbuhan
tersebut dibabat. Skopoletin merupakan salah satu senyawa golongan kumarin yang
berperan menghambat perkecambahan biji.
Hasil analisis dengan teknik GCMS pada asap cair juga menunjukkan bahwa
senyawa yang teridentifikasi dengan konsentrasi tertinggi adalah gamma-butirolakton
134
(21,75%). Berdasarkan hasil bioassay (Tabel 49), di samping senyawa golongan
fenolik, senyawa ini juga diduga berfungsi sebagai pestisida antifeedant terhadap larva
S. litura. Senyawa ini mempunyai rumus struktur seperti Gambar 40.
Gambar 40 Struktur senyawa gamma-butirolakton
Aktivitas antifeedant dari senyawa yang mengandung inti lakton sudah banyak
publikasi antara lain seperti dilaporkan oleh Frackowiak et al. (2006) bahwa golongan
gamma-lakton dapat digunakan untuk aktivitas antifeedant terhadap berbagai macam
serangga, sedangkan Narasimhan et al. (2005) melaporkan salannobutirolakton sangat
potensial sebagai antifeedant terhadap larva S. litura dan desasetilsalannobutirolakton
bersifat insektisidal terhadap larva tersebut. Selanjutnya, Thoison et al. (2004)
menemukan senyawa 12-hidroksioleanolat lakton dan pektolinarigenin dari ekstrak
Nothofagus dombeyi yang memberi antivitas antifeedant sangat signifikan. Senyawa
linearolakton dan 4-(3-furil)-gamma-butirolakton sangat potensial sebagai antifeedant
(Gebbinck et al. 2002). Di samping itu, beberapa golongan keton lain seperti 12-
ketoepoksi-azadiradion dan turunannya juga mempunyai kemampuan sebagai
insektisida dan antifeedant (Fernandez-Mateos et al. (2005). Senyawa-senyawa asam 3-
hidroksi alkanoat yang merupakan golongan asam alkanoat juga mempunyai aktivitas
yang signifikan sebagai antifeedant terhadap larva S. litura (Jannet et al. 2001).
135
4.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa
Aplikasi produk komarasca (kompos-arang aktif-asap cair) hasil konversi
sampah organik pasar pada tanaman sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bukti
secara nyata akan fungsi atau manfaat dari masing-masing komponen yang dihasilkan.
Di samping itu, juga untuk kebutuhan informasi tentang tingkat pertumbuhan dan bobot
biomassa tanaman serta kemampuan komponen asap cair yang terkandung di dalam
komarasca yang berperan mencegah atau menanggulangi hama pengganggu.
Penggunaan produk komarasca sebagai pupuk organik yang mengandung komponen
berpori dan pengendali hama alami pada tanaman, terutama tanaman obat-obatan
sangat menguntungkan bagi manusia karena dapat mengkonsumsi tanaman tersebut
secara aman dan terhindar dari dampak residu pestisida sintetik yang sangat merugikan
dan membahayakan kesehatan. Di samping itu, pemanfaatan komarasca hasil konversi
sampah organik pasar sangat menguntungkan bagi daur karbon seperti ditunjukkan
pada Gambar 41.
Gambar 41. Daur karbon di alam (Salisbury & Ross 1995)
136
Hal ini disebabkan karena berdasarkan perhitungan kandungan karbon di dalam
produk komarasca yang dihasilkan melalui proses yang terbaik didapat 33,78% karbon
di dalam kompos pada perlakuan B2 (Tabel 12), 30,29% karbon di dalam arang hasil
pirolisis pada suhu 505 oC (Tabel 16 dan 18), dan sebahagian karbon juga dikandung
oleh asap cair hasil pirolisis 505 oC dengan rendemen 31,24% (Tabel 23). Di samping
itu, penggunaan produk komarasca hasil konversi sampah organik pasar pada tanaman,
selain menjaga keseimbangan daur karbon, juga sangat penting bagi menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati, karena fraksi metanol dari asap cair (Tabel 48 dan
49) yang digunakan tidak bersifat membunuh hama pengganggu, melainkan hanya
bersifat antifeedant saja. Oleh karena itu, penelitian semacam ini perlu digiatkan atau
dikembangkan agar kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati tetap terjaga, di
samping mendapatkan keuntungan ekonomi dan kesehatan bagi manusia.
4.5.1 Pertumbuhan Tanaman Daun Dewa
4.5.1.1 Pertumbuhan tanaman sebelum pemberian pengendali hama
Pertumbuhan tanaman merupakan salah satu indikator yang menjadi ukuran
dampak atau akibat dari pemberian suatu perlakuan. Pertumbuhan dan perkembangan
tanaman berlangsung secara terus-menerus sepanjang daur hidupnya dan bergantung
pada tersedianya meristem, hasil asimilasi, hormon serta substansi pertumbuhan
lainnya dan kondisi lingkungan yang mendukung (Gardner et al. 1991). Data hasil
pengukuran pertumbuhan tanaman daun dewa sebelum pemberian pengendali hama
disajikan pada Tabel 51.
Berdasarkan data Tabel 51 dapat diketahui bahwa secara umum ditunjukkan
pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa mengalami
peningkatan seiring bertambahnya umur tanaman. Peningkatan tinggi batang tanaman
daun dewa yang paling tinggi yaitu sebesar 1,8 cm ditunjukkan oleh perlakuan dengan
campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap
H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit.
137
Tabel 51 Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa sebelum pemberian pengendali hama
Tingkat Pertumbuhan pada Hari ke-
Tinggi batang (cm)
Jumlah daun (helai)
Jumlah anakan (batang) Perlakuan
0 10 20 30 0 10 20 30 0 10 20 30 M0 3,2 3,3 3,5 3,8 5 6 8 9 1 2 2 2 M1 4,1 4,3 4,6 5,2 6 7 8 9 1 1 2 3 M2 3,6 3,7 4,0 4,6 7 8 10 11 1 2 3 4 M3 3,6 3,7 4,2 4,8 7 8 9 11 1 2 3 4 M4 3,7 3,8 4,3 5,1 7 8 10 11 1 2 2 3 M5 4,0 4,1 4,7 5,8 6 7 9 11 1 1 2 3 M6 3,5 3,7 4,2 5,0 8 9 10 12 2 2 5 6 M7 3,7 3,8 4,3 5,1 7 8 10 12 2 2 3 4
Ket.: M0 = 100% tanabu (tanah-abu)(kontrol); M4 = kompos-arang aktivasi panas; M1 = pupuk kandang; M5 = kompos-arang aktivasi uap H2O; M2 = kompos; M6 = kompos-arang aktivasi KOH 1M; M3 = kompos-arang; M7 = kompos-arang aktivasi H3PO4 1M
Hal ini kemungkinan disebabkan penggunaan kompos yang mengandung
sejumlah unsur hara yang sangat diperlukan (Tabel 13 dan 14) dan arang aktif hasil
aktivasi uap H2O yang mempunyai daya jerap lebih tinggi (Tabel 47) terutama unsur-
unsur hara yang bermanfaat bagi menunjang peningkatan tinggi batang. Pertambahan
jumlah daun terbanyak, yaitu 6 helai ditunjukkan oleh perlakuan dengan campuran
media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4
1M. Hal ini kemungkinan selain disebabkan oleh unsur hara yang dikandung oleh
komposnya, juga penggunaan arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M yang
mengandung residu fosfor yang sangat dibutuhkan untuk pertambahan jumlah daun.
Pertambahan jumlah anakan terbanyak, yaitu 4 batang ditunjukkan oleh perlakuan
dengan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi
dengan larutan KOH 1M. Hal ini kemungkinan besar juga disebabkan oleh penggunaan
arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 1M yang mengandung residu kalium sangat
berpengaruh dalam menyumbang unsur hara kalium yang melengkapi unsur hara pada
kompos yang digunakan.
Dari hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa pengaruh campuran
media memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang
138
maupun pertambahan jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa (Lampiran 12).
Selanjutnya dari hasil uji BNT ditunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi batang yang
sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang
diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 13). Pertambahan jumlah
daun yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-
kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 14).
Pertambahan jumlah anakan yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran
media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O
(Lampiran 15). Selanjutnya, berdasarkan lampiran 13 sampai 15, juga diketahui
penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi
dengan uap H2O dan fraksi metanol asap cair memberi pengaruh sangat nyata pada
pertumbuhan tanaman daun dewa, baik tinggi batang, jumlah daun, maupun anakannya.
Hasil yang didapat pada penelitian ini, ternyata sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan Gusmailina et al. (2000) yang mendapatkan peningkatan tinggi batang
sangat nyata pada tanaman Eucalyptus urophylla akibat penggunaan media tanam yang
diberi arang dan arang aktif dari bambu. Demikian juga halnya dengan hasil penelitian
Komarayati et al. (2003) yang mengamati pertumbuhan anakan Pinus merkusii cukup
baik pada pemberian arang kompos sebanyak 30%. Keuntungan pemberian arang
dan/atau arang aktif antara lain untuk memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam
tanah, sehingga dapat merangsang dan memberi habitat yang baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.
4.5.1.2 Pertumbuhan tanaman setelah pemberian pengendali hama
Pemberian pengendali hama pada penelitian ini dilakukan pada umur tanaman
daun dewa berumur 30 hari, karena pada umur tersebut pertumbuhannya sudah kuat
dan menunjukkan pertumbuhan yang baik sehingga waktu yang tepat untuk mencegah
dan mengendali hama pengganggu. Pemberian pengendali hama yang terlalu cepat
dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, sedangkan jika diberikan
139
pada umur yang relatif tua akan berdampak pada hasil panennya. Pengendali hama
yang diberikan pada penelitian ini terdiri atas pestisida nabati fraksi metanol yang
berasal dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar. Sebagai pembanding
digunakan pestisida sintetik jenis serbuk merk sidamethin dan air sebagai kontrol.
Masing-masing pengendali hama tersebut dibuat larutan dengan konsentrasi 0,5% dan
diaplikasikan dengan cara menyemprotkan-nya secara merata pada tanaman. Data hasil
pengukuran pertumbuhan tanaman daun dewa setelah pemberian pengendali hama
disajikan pada Tabel 52. Tabel 52 Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa
setelah pemberian pengendali hama
Tingkat Pertumbuhan pada Hari ke- Tinggi batang
(cm) Jumlah daun
(helai) Jumlah anakan
(batang) Perlakuan
40 60 80 40 60 80 40 60 80 M0P0 3,7 4,5 5,1 10 13 17 3 5 7 M0P1 5,4 6,9 7,8 11 15 20 2 3 5 M0P2 3,3 3,9 4,4 9 11 13 3 4 5 M1P0 5,1 6,4 7,4 12 16 22 4 8 10 M1P1 6,2 8,0 9,2 11 15 21 4 10 12 M1P2 5,8 7,4 8,5 11 15 21 4 7 9 M2P0 4,7 6,1 7,0 12 16 21 7 10 13 M2P1 5,3 6,8 7,9 12 17 23 6 10 13 M2P2 5,6 7,4 8,7 13 17 23 5 10 13 M3P0 5,4 7,0 8,0 12 16 21 5 11 15 M3P1 5,3 7,1 8,3 13 16 22 5 10 14 M3P2 6,1 8,2 9,5 13 17 26 3 8 12 M4P0 5,7 8,2 9,8 12 16 23 5 15 17 M4P1 6,3 9,1 10,8 14 19 28 3 11 14 M4P2 6,4 8,8 10,2 13 17 26 3 9 14 M5P0 7,0 9,9 11,7 12 19 28 5 14 19 M5P1 7,4 10,9 13,0 17 27 35 15 21 26 M5P2 7,3 10,4 12,3 14 20 34 6 15 18 M6P0 6,1 8,7 10,3 13 17 23 7 21 24 M6P1 6,1 8,7 10,4 14 20 34 11 22 25 M6P2 5,9 8,6 10,1 13 18 31 7 14 19 M7P0 6,2 8,8 10,5 16 21 32 6 14 19 M7P1 5,7 7,7 9,0 13 18 25 5 15 21 M7P2 6,2 8,7 10,4 14 20 30 6 15 20
Ket.: M0 = kontrol (100% tanabu) M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M1 = pupuk kandang M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M M2 = kompos M3 = kompos-arang P0 = kontrol (air) M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas P1 = fraksi metanol (asap cair) M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
140
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui bahwa
penggunaan campuran media memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap
pertumbuhan tinggi batang maupun pertambahan jumlah daun dan anakan tanaman
daun dewa. Penggunaan pengendali hama memberi pengaruh sangat nyata terhadap
pertambahan jumlah anakan, sedangkan untuk pertambahan jumlah daun hanya
berpengaruh nyata. Pada interaksi antara penggunaan campuran media dan pengendali
hama memberi pengaruh sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang
maupun terhadap pertambahan jumlah daun dan anakan. Selanjutnya dari hasil uji BNT
diketahui bahwa pertumbuhan tinggi batang dan jumlah daun yang sangat nyata
dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang
aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 13 dan 14). Pertambahan jumlah anakan
yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos
yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M (Lampiran 15).
Pertumbuhan tinggi batang dan pertambahan jumlah daun serta anakan yang sangat
nyata dipengaruhi oleh penggunaan fraksi metanol dari asap cair (Lampiran 13 dan 14).
Pada interaksi antara penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi
arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol dari asap cair
menunjukkan pengaruh sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang maupun
jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa (Lampiran 13, 14, dan 15).
Berdasarkan data Tabel 53 dan hasil analisis sidik ragam serta uji BNT dapat
disimpulkan bahwa peranan fraksi metanol dari asap cair baik sebagai faktor tunggal
maupun dalam bentuk kombinasinya dengan media campuran tanah-abu-kompos yang
diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O sangat nyata pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman daun dewa terutama terhadap pertumbuhan tinggi batang,
jumlah daun dan anakannya. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai senyawa
yang terkandung dalam fraksi metanol dari asap cair, yang sebahagian besarnya
merupakan golongan fenolik (Tabel 50) yang memacu kerja hormon pertumbuhan
seperti auksin, giberelin, dan sitokinin. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur hara yang mencukupi sehingga kandungan unsur hara pada sisa
campuran media relatif masih banyak (Lampiran 18).
141
4.5.2 Biomassa Tanaman Daun Dewa
Biomassa tanaman uji merupakan salah satu parameter penting untuk
mengetahui pengaruh atau respon dari perlakuan yang diberikan. Data hasil aplikasi
komarasca hasil konversi sampah organik pasar disajikan pada Tabel 53. Tabel 53 Data rataan hasil penentuan jumlah akar, daun dan bobot biomassa tanaman daun dewa hasil panen pada perlakuan komarasca
Bobot kering (g)
Perlakuan Jumlah
akar (potong)
Tebal daun (cm)
Bobot basah total
(g) akar daun
M0P0 75 0,10 89 15 14 M0P1 41 0,15 99 9 8 M0P2 43 0,10 64 6 5 M1P0 64 0,11 145 6 10 M1P1 68 0,15 104 6 9 M1P2 66 0,11 127 10 15 M2P0 95 0,10 191 18 15 M2P1 63 0,14 149 14 10 M2P2 75 0,10 148 7 18 M3P0 114 0,13 233 28 16 M3P1 119 0,15 176 19 13 M3P2 118 0,11 176 19 19 M4P0 104 0,12 179 22 32 M4P1 58 0,15 141 12 8 M4P2 44 0,10 117 10 16 M5P0 116 0,11 190 46 28 M5P1 119 0,15 236 44 38 M5P2 105 0,11 157 17 11 M6P0 112 0,11 208 42 26 M6P1 95 0,15 224 41 38 M6P2 62 0,12 177 22 21 M7P0 92 0,11 209 27 30 M7P1 114 0,14 113 14 6 M7P2 89 0,11 140 24 31
Ket.: M0 = kontrol (100% tanabu) M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M1 = pupuk kandang M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M M2 = kompos M3 = kompos-arang P0 = kontrol (air) M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas P1 = fraksi methanol (asap cair) M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
142
Dari Tabel 53 diperoleh informasi bahwa hasil aplikasi komarasca secara
umum menunjukkan respon positif baik terhadap pertumbuhan akar maupun bobot
biomassanya. Perlakuan yang memberi respon terbaik terhadap bobot biomassa
tersebut terdapat pada penggunaan kompos hasil pengomposan terbaik sampah organik
pasar dengan biodekomposer EM-4 dan arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan
aktivator uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit serta fraksi metanol dari asap
cair hasil pirolisis sampah organik pasar pada suhu 505 oC. Hasil ini kemungkinan
disebabkan kompos yang digunakan mengandung unsur hara yang mencukupi
kebutuhan tanaman tersebut yang ditandai dengan banyak unsur hara yang diserap oleh
akar dan masih bersisanya unsur hara pada campuran media sisa panen (Lampiran 18).
Di samping itu, juga disebabkan penggunaan arang aktif yang mempunyai pori relatif
besar (Gambar 35 dan Tabel 41) sehingga dapat menyerap air dan komponen unsur
hara lebih banyak. Demikian juga halnya, akibat penggunaan fraksi metanol yang
mengandung sejumlah senyawa (Tabel 50), selain sebagai antifeedant bagi serangga,
juga mengaktifkan hormon pertumbuhan.
Berdasarkan hasil analisis secara sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui
bahwa penggunaan campuran media, pengendali hama maupun interaksinya memberi
pengaruh yang sangat nyata baik terhadap bobot basah maupun kering tanaman daun
dewa. Selanjutnya dari hasil uji BNT diketahui bahwa baik bobot basah maupun
kering tanaman daun dewa berpengaruh sangat nyata pada penggunaan campuran
media tanah-abu-kompos yang dicampur dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O
dengan fraksi metanol dari asap cair sampah organik pasar (Lampiran 16 dan 17).
Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan Gusmailina et al. (2000) yang mendapatkan
peningkatan bobot biomassa sangat nyata pada tanaman Eucalyptus urophylla akibat
penggunaan media tanam yang diberi arang dan arang aktif dari bambu.
143
4.5.3 Kandungan Total Mikroba dan Fungi
Data hasil analisis total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen
tanaman daun dewa disajikan pada Tabel 54. Tabel 54 Kandungan total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen tanaman daun dewa
Perlakuan Total Mikroba
(SPK/g 107)
Total Fungi
(SPK/g 104)
M0P0 1,74 2,00
M5P1 3,40 5,28
Dari data Tabel 54 diketahui bahwa total mikroba pada campuran media tanah-
abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol
dari asap cair menunjukkan nilai lebih tinggi dibanding kontrol yang hanya berisi
tanah-abu, yaitu secara berturut 3,40 dan 1,74 SPK/g x 107. Demikian juga halnya,
dengan kandungan total fungi. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan campuran
media yang terdiri atas kompos hasil pengomposan dengan biodekomposer EM-4
mengandung sejumlah mikroba seperti Lactobacillus (bakteri asam laktat),
Actinomycetes, Streptomyces sp. Di samping itu, arang aktif yang mempunyi pori-pori
relatif besar (Gambar 35 dan Tabel 41) dan memungkinkan sejumlah mikroba
berkembangbiak secara baik dan cepat sehingga hasilnya jauh lebih meningkat
dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga halnya dengan penggunaan fraksi
metanol asap cair yang mengandung sejumlah senyawa (Gambar 50) tidak menghalangi
mikroba dan fungi untuk berkembangbiak. Kandungan mikroba dan fungi pada
campuran media tersebut kemungkinan memberi dampak positif bagi pertumbuhan dan
bobot biomassa tanaman daun dewa.
4.5.4 Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Daun Dewa
Kandungan metabolit sekunder dari tanaman sering kali dijadikan dasar
pemanfaatan tanaman tersebut sebagai tanaman berkhasiat obat atau untuk keperluan
144
lainnya dalam kehidupan manusia. Biasanya untuk menelusuri kandungan komponen
metabolit sekunder dari suatu tanaman terlebih dahulu dilakukan penapisan awal
sebelum dilanjutkan dengan isolasi dan penentuan struktur molekulnya. Data hasil
penapisan fitokimia pada tanaman daun dewa yang memberi respon pertumbuhan dan
bobot biomassa tertinggi disajikan pada Tabel 55.
Tabel 55 Kandungan senyawa metabolit sekunder tanaman daun dewa
Respon pada perlakuan komarasca
M0P0 M5P1 Golongan
Daun Akar Daun Akar
Alkaloid - + - +
Flavonoid ++ - ++ +
Fenilhidrokuinon + - + -
Terpenoid - - ++ -
Steroid ++ - + -
Saponin ++ + ++ ++
Tanin ++ - ++ - Keterangan: M0P0 = Campuran media tanah-abu tanpa pestisida M5P1 = Campuran media tanah-abu-kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O dan pestisida fraksi metanol asap cair - = tidak ada senyawa + = cenderung terdapat senyawa ++ = positif terdapat senyawa
Berdasarkan data Tabel 55 diketahui bahwa penggunaan komarasca hasil
konversi sampah organik pasar cenderung berpengaruh terhadap kandungan beberapa
senyawa metabolit sekunder pada tanaman daun dewa, karena hasil responnya
menunjukkan jenis senyawa dan tingkat keberadaannya relatif berbeda baik pada
perlakuan penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair maupun pada kontrol
yang hanya berisi campuran tanah-abu. Hasil ini menunjukkan bahwa baik kandungan
senyawa alkaloid, fenilhidokuinon, maupun tanin tidak berpengaruh sama sekali, baik
pada penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil
aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair maupun pada kontrol.
145
Penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi
dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair berpengaruh positif terhadap
kandungan flavonoid pada bagian akar, terpenoid pada bagian daun, steroid pada
bagian daun dan saponin pada bagian akar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
penggunaan campuran media yang terdiri atas kompos yang mengandung unsur hara
yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan serta biosintesis berbagai
senyawa metabolit sekunder pada tanaman daun dewa. Demikian juga halnya dengan
kandungan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O yang mempunyai pori relatif
besar (Gambar 35 dan Tabel 41) diperkirakan mampu menyimpan air maupun sinar
yang mencukupi untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman
tersebut, dan fraksi metanol dari asap cair mengandung senyawa antifeedant (Tabel 50)
yang berperan melindungi tanaman dari serangan hama sehingga proses biosintesis
senyawa metabolit primer maupun sekunder dapat berlangsung secara sempurna.