1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap Negara memiliki lembaga yang bergerak dibidang penuntutan, seperti
halnya di negara Amerika, Belanda, Perancis, Swedia, dan Jepang. Penuntutan di
setiap negara memiliki posisi yang berbeda dalam kerangka negara. Kesamaannya
adalah bahwa di setiap negara ada beberapa pejabat publik (sering kali Menteri
Kehakiman), yang bertanggung jawab di parlemen untuk performa layanan
penuntutan. Pengaruh langsung yang lebih dari warga adalah ketika mereka
diperbolehkan untuk memilih Hakim dan Jaksa, sistem ini yang dikenal di Amerika
Serikat. Amerika Serikat (setidaknya di tingkat negara bagian), efeknya adalah
bahwa seorang jaksa harus mengambil kehendak publik diperhitungkan, jika ia ingin
mempertahankan jabatannya.1
Dalam praktek keberadaan sistem penuntutan dalam suatu negara tidak
memiliki keseragaman, masing-masing negara memiliki model yang berbeda-beda.
Pada negara-negara Eropa Kontinental keberadaan sistem penuntutan jika dikaitkan
dengan teori pemisahan kekuasaan (Separation of Powers) melahirkan beberapa
model (type), seperti:2
1. Sistem penuntutan merupakan bagian kekuasaan eksekutif, berada dibawah
Menteri Kehakiman dan kepala pemerintahan. Model seperti ini disebut
model Perancis (Prosecutions of Franch type). Selain diadopsi oleh negara
Peracis juga dapat ditemukan pada negara anatara lain Czech Republic,
Netherlands dan Japan.
2. Sistem penuntutan yang terpisah dan mandiri dari kekuasaan esekutif,
bertanggungjawab kepada parlement. Model seperti ini dapat ditemukan pada
negara antara lain Hungaria, Slovak Republic dan Macedonia.
1 Openbaar Ministerie Speech, A Prosecution Service must always be a Public Prosecution Service, 16 februari 2006, dalam www.google.com, diakses tanggal 12 September 2011
2 Ibid
2
3. Sistem penuntutan tercakup dan memiliki hubungan dengan kekuasaan
kehakiman (judicial). Model seperti ini dapat ditemukan pada negara,
antara lain Italia dan Bulgaria.
Perlu ditekankan disini, bahwa semua model di atas hanya bersifat fungsional
yakni berkaitan dengan masalah mencari jawaban yang mana dari tiga model
penuntutan tersebut lebih memenuhi syarat terciptanya negara hukum yang
demokratis. Berbeda dengan negara-negara Eropa Kontinental, beberapa negara-
negara eks-komunis atau pada negara-negara pecahan Union of Soviet terdapat
kecenderungan meletakkan lembaga pelaksana sistem penuntutan sebagai bagian
kekuasaan kehakiman dan tidak berada dibawah kekuasaan pemerintah, sehingga
sistem penuntutan menjadi bagian dari kewenangan yang dimiliki oleh kekuasaan
kehakiman. Seperti dapat ditemukan pada negara Azerbaijan dan Georgia. Hal ini
disebabkan ketika negara-negara tersebut menjadi bagian Union of Soviet lembaga
pelaksana sistem penuntutan diberikan kekuasaan yang sangat besar untuk
membangun dan mendukung rejim totaliter, yang pada akhirnya menyebabkan
adanya trauma politik3.
Mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam sistem
penuntutan yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat
berperan aktif dalam proses penyidikan hingga penuntutan4.
Tidak dapat dipungkiri jaksa penuntut umum memiliki peranan penting
dalam sistem peradilan pidana, karena di tangannyalah nasib tersangka ditentukan,
apakah ia akan dituntut atau tidak di muka pengadilan5. Secara de jure, Jaksa Agung
memiliki kewenangan istimewa untuk menyampingkan perkara demi kepentingan
umum (deponee-ring/deponir), tetapi sayangnya secara de facto kewenangan
istimewa tersebut tidak pernah terdengar gaungnya di republik ini6.
3 Hamzah, A. “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Makalah diajukan pada seminar menyambut hari bakti adyaksa, Jakarta 20 Juli 2000.
4 Marwan Effendi. 2005. “Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya”. Jakarta. Gramedia. hal 6
5 Dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
3
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai
kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang
dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak
berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai
penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi
pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan
peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan7.
Jaksa memahami bahwa sebagai “kuasa hukum (legal representative)” dari
kepolisian dan untuk menjelasakan pendapat-pendapat pihak kepolisian dihadapan
pengadilan atau Jaksa dapat pula mengambil peran sebagai “konsultan hukum
(domestic legal adviser)” yang memberikan nasehat hukum kepada polisi bagaimana
melasanakan prosedur-prosedur hukum. Di lain sisi, Jaksa menganggap dirinya
sebagai pihak yang utama dalam “mewakili pengadilan” dalam melaksanakan
kewajibannya untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum8.
Mengacu pada Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, maka
pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan harus dilaksanakan
secara merdeka9. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun
2004 Tentang Kejaksaan, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya,
bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan
melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Undang-
Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga telah
mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30,
6 Moch. Faisal Salam. 2001. “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”. Bandung: Mandar Maju. hal 34
7 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. 1987. “Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia”. Jakarta. PT Bina Aksara. hal 67
8 Harun M.Husein, 1994. “Surat Dakwaan”. Jakarta. PT Rineka Cipta. hal 6-79 Marwan Effendi. Ibid, hal 15
4
yaitu: a. Melakukan penuntutan, Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan bersyarat; c. Melaksanakan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang; dan d. Melengkapi berkas perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan.
Kritik terhadap eksistensi Rentut antara lain disebutkan: Jaksa menjadi tidak
lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan fungsinya; Jaksa menjadi kurang
bertanggung jawab, karena kewenangan tuntutan pidananya bukan lagi dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yang menentukan; Tidak memberi kesempatan
berkembangnya profesionalisme jaksa.
Dalam tataran realitas, sesungguhnya JPU yang menangani perkara itulah
yang paling tahu dan paling mengerti dengan kondisi yang sebenarnya selama proses
persidangan, sementara atasannya sama sekali tidak mengetahui secara riil proses
persidangan yang berlangsung tersebut. Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu
dengan kondisi riil proses persidangan lalu mempunyai kewenangan untuk
menetapkan tuntutan pidananya?10
Ini tidak logis dan tidak masuk akal. Apalagi misalnya proses persidangannya
berlangsung di Indonesia bagian Timur nun jauh di sana, sementara Rentut-nya
ditetapkan oleh Jaksa Agung yang berada di Jakarta, yang notabene tidak tahu sama
sekali dengan kondisi riil persidangan terhadap seseorang. Bukankah hal ini sebuah
lelucon yang tidak lucu? Kalau alasannya untuk meminimalisir terjadinya disparitas
pidana agar tidak terlalu mencolok, ini juga tidak masuk akal. Karena hakim
berwenang untuk menjatuhkan putusan di bawah maupun di atas tuntutan pidana
yang diajukan oleh JPU11.
10 Zul Akrial, Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau. Dalam www.hukumonline.com . Diakses tanggal 12 September 2011, pukul 13.30
11 Ibid
5
Di lumajang, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Mustikawati, kasir
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Lumajang unit Pasirian yang
mengakibatkan kerugian negara sebesar lebih kurang seratus juta rupiah.
Dalam tindak pidana tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan rencana
tuntutan (rentut) ke Kajari Lumajang dengan hukuman penjara 1 (satu) tahun 4
(empat) bulan, dengan pertimbangan bahwa pada waktu terdakwa melakukan
perbuatan tersebut dalam kondisi yang terpaksa karena uang tersebut dipergunakan
untuk membiayai suami yang sedang sakit dan biaya pendidikan anaknya, akan
tetapi oleh Kajari, rencana tuntutan (rentut) tersebut dimasukkan menjadi 2 (dua)
tahun. Hingga akhirnya terdakwa di vonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri
Lumajang dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun.
Vonis Pengadilan Negeri Lumajang, pada terdakwa Mustikawati, membuat
JPU melakukan banding atas putusan tersebut. Dalam hal ini Tindakan JPU
berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) untuk putusan hakim kurang
dari ⅔ tuntutan. Langkah banding yang dilakukan JPU tersebut merupakan gambaran
atas kemandirian Jaksa dalam melaksanakan tugas penuntutan yang harus mengikuti
instruksi atasannya yang ‘dianggap’ selalu benar dan ‘dianggap’ adil.
Selaras dengan upaya pembangunan diarahkan kepada Visi Indonesia 2014,
yakni “terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan”, dan
untuk menuju cita-cita tersebut maka pembangunan Indonesia 2010-2014
dilaksanakan dengan tiga misi yaitu: (1) melanjutkan pembangunan menuju
Indonesia yang Sejahtera; (2) memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan (3)
memperkuat dimensi keadilan di semua bidang. Dalam mewujudkan visi dan misi
pembangunan nasional 2010-2014, Pemerintah menetapkan lima agenda utama
pembangunan, salah satu diantaranya adalah penegakkan hukum dan pemberantasan
korupsi.12
Dengan berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut
diatas merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan. Oleh
karena itu penulis menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum
12 Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014
6
yang akan membahas kemandirian jaksa dalam membuat/menyusun rencana tuntutan
(rentut) dan kendala yang dihadapi dalam menyusun surat tuntutan (requisitoir)
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan
dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti
yang diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah
yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan rencana tuntutan (rentut) dalam proses perkara
pidana?
2. Bagaimanakah fungsi dan kedudukan surat tuntutan (requisitoir) dalam perkara
pidana?
3. Hambatan apa saja yang dihadapi jaksa penuntut umum dalam
menyusun/membuat rencana tuntutan (rentut)?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti.
Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui kedudukan rencana tuntutan (rentut) dalam proses perkara
pidana;
b. Untuk mendeskripsikan fungsi dan kedudukan surat tuntutan (requisitoir)
dalam perkara pidana;
c. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yang dihadapi jaksa penuntut
umum dalam menyusun/membuat rencana tuntutan (rentut).
7
2. Tujuan subjektif
a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan
hukum (tesis) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh
gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Widyagama.
b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek
hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya tentang
penuntutan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dan aturan perundang-undangan yang lain.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat
memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh
terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Teoritis
a) Mengetahui deskripsi secara jelas mengenai pengaturan kewenangan
kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Jaksa Penuntut Umum
dan atau Jaksa Pengacara Negara dalam sistem peradilan di Indonesia.
b) Mengetahui deskripsi secara jelas mengenai kelebihan dan kelemahan
pengaturan Sistem Penuntutan dalam penuntutan perkara pidana menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Manfaat Praktis
a) Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti
b) Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus
untuk mengetahui kemampuan penulis dalam mengimplementasikan ilmu
yang diperoleh.
8
c) Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang
diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam
hal penuntutan.
1.5 Landasan Teori
Kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat
dilihat dari:
a. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan
Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait
dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal
41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan
fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis,
pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang
dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat
bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive
ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara
pidana.
b. Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum
adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk
melakukan penuntutan.
c. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan
posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem
ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun.
Konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yaitu:
a. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP
menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan
9
Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian
dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.
b. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan
lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan
Kejaksaan tidak mandiri dan independen.
Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di
bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan
terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres
No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang
memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur
ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus
litis (sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu
dan tidak terpisah-pisah).
Hal lain yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme
kewenangan penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-
lembaga pemberantasan korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama
untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja
kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan dan selanjutnya Kejaksaan yang
berwenang untuk menentukan apakah perkara yang disidik tersebut dapat atau tidak
untuk diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembaga-lembaga tersebut
telah sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against
Corruption yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap
negara dalam rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan
pencegahan, akan tetapi kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan
penuntutan melampaui apa yang diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tersebut. Sebagai contohnya dapat dilihat sistem kerja atau kewenangan komisi
pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga Indonesia yaitu Singapura,
Malaysia dan Australia sebagai berikut:
10
1. Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan
sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk
melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura.
Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam
melaksanakan tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang
akan dituduh. Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas
kasus-kasus korupsi di lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk
melakukan penuntutan yang melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau
Attorney General Chamber (AGC). Selanjutnya AGC akan menelaah secara
detail berkas yang diajukan CPIB untuk diajukan ke pengadilan. Apabila tidak
cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh AGC ke CPIB untuk dialihkan ke
proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai negeri, misalnya
dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.
2. Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk
menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang
dilarang oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini
berada di bawah Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di
setiap negara bagian. Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus
mendapat ijin dari pihak Jabatan Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang
memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah kasus tersebut
diteruskan ke pengadilan atau tidak.
3. Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New
South Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi
Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent
Commission Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan umum, mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan
sebagai pedoman kinerja bagi pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh
Commissioner yang diawasi oleh Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan
melaporkan hasil kerjanya setiap tahun kepada Parlemen. Tiga tugas utama
lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan dan mempublikasikan tindak
11
pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara aktif dan mendidik
masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil penyidikan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam bentuk
laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen dan
Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan
menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan
penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan
penuntutan.
4. Bahwa selain bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations
Concention Against Corruption, kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 40
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak
berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/Penuntutan
juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan kepastian hukum
yang berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila dalam tahap
tersebut ada tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba
meninggal dunia atau tidak mampu bertanggung jawab secara permanen.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wewenang Jaksa Menurut KUHAP
Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia
diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti
adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan
Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Definisi Jaksa dan
Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana yaitu:
1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatann hukum tetap.
2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Oleh karena
kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia wajib
mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menerima dan memeriksa berkas;
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan
petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan;
3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
4) Membuat surat dakwaan;
5) Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-
saksi;
7) Melakukan penuntutan;
13
8) Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9) Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum;
10) Melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyatakan:
“Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan: “Penyidikan menurut
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang
kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex
specialis).
Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai
penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu
perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih
lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan
penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif.
14
2.1.1 Wewenang Jaksa menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Jaksa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah “Pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Mencermati isi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 ini, maka
jaksa mempunyai beberapa wewenang penting yaitu:
1. Sebagai penuntut umum
2. Sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
3. Serta adanya wewenang penting yang dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 30
undang-undang tersebut.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa
Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan
Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga
pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat
dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu
lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari
sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan
menjalankan kekuasaan yudikatif.
Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan
kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan
menjamin Jaksa di dalam menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan,
godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji
kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya.
Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena
merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap
15
pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu
asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang
baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga
kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang
tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan.13
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, kedudukan jaksa
semakin mempertegas posisi Jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang
oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana
Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan wewenang
lain berdasarkan Undang-undang.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa
Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan
Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga
pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat
dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu
lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari
sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan
menjalankan kekuasaan yudikatif.
Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan
kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan
menjamin Jaksa di dalam menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan,
godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji
kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya.
Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena
merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu
asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang
13 Yudi Kristiana, “Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 52
16
baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga
kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang
tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan.14
2.1.2 Wewenang Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi
Ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa: “Salah satu tugas dan
kewenangan Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa, kewenangan dalam ketentuan ini
adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Jaksa selaku penyidik
tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-
undang tersebut. Rumusan mengenai kewenangan menyidik di dalam Undang-
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Kejaksaan
Republik Indonesia tersebut menyebutkan bahwa penyidik untuk tindak pidana
korupsi adalah Kejaksaan yang mempunyai hak privilege yakni hak khusus untuk
dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi.
Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa
Belanda yakni opsporing, dari bahasa Inggris yakni investigation.15
Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan penyidikan adalah:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya”.
14 Yudi Kristiana, Ibid hal. 5215 Ibid, hal. 55
17
Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan
dengan penyidikan adalah:16
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau Interogasi. 8. Berita acara (Penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada
penyidik untuk disempurnakan.
Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-undang No. 31
Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan,
tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasca Agustus
1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman.
Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain
yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi
sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius specia, ius singular/ bijzonder
strafrecht), sebenarnya Kejaksaan berhak melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi.17
Sehubungan dengan ketidakjelasan ini, muncullah argumen-argumen yang
mendasari bahwa Kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana
korupsi yaitu:18
a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana
umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius special, ius
singular/bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan
untuk berlaku secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan
16 Andi Hamzah, “Pengertian Hukum Acara Pidana”, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 122
17 Yudi Kristiana, Op. Cit, hal. 8018 Ibid, hal. 80-88
18
hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang
mengatur kekhususan subjek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk
feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga
memiliki kekhususan dalam hukum acara.
b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967
tentang Pembentukkan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa
ketua timnya adalah Jaksa Agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi:
“Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam
melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden”. Sedangkan tugas
dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang
berbunyi:
“Tim Pemberantasan Korupsi mempunyai fungsi memimpin, mengordinir dan mengawasi semua alat-alat penegak hukum yang berwenang, baik sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”.
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam waktu 2
bulan setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara
diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan
pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak
berlaku lagi”. Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang
berbunyi:
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”19.
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15
Tahun 1991 yang menyatakan bahwa dalam pedoman pelaksanaan 19 Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam
Pasal 32 huruf b Undang-undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa: “Jaksa Agung
mengordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-
undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden”.
19
pengawasan, para menteri/pemimpin lembaga pemerintah non
departemen/pemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya
suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak
pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia
dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi.
d. Ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan
bahwa:
“Jaksa Agung mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”.
e. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 16 menyebutkan bahwa:
“Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada jaksa agung”.
f. Undang-undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor
16 Tahun 2004. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 diatur tidak
secara tegas mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak
pidana korupsi.
Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui
eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Pasal 29 menyatakan
bahwa disamping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-
undang Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang
berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat (2), Undang- undang No. 03 Tahun 1971
jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang lain.
Dalam berkembangnya Undang-undang Kejaksaan yang baru yakni Undang-
undang Nomor 16 Tahun Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni
dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan:
“Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
20
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa:
“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
Dan ketentuan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menyatakan:
“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
2.2 Jaksa Sebagai Pengacara Negara Dan Sebagai Penuntut Umum
Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana di Indonesia mengalami
pergeseran sejalan dengan pergeseran tugas dan kewenangan yang dimilikinya.
Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, tugas dan kewenangan Kejaksaan diatur
dalam hukum acara pidana, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981 yang kita kenal
sebagai KUHAP sementara dalam kaitannya dengan kelembagaannya sendiri diatur
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 16 Tahun 2004.20
Fungsi utama Kejaksaan dalam peradilan pidana adalah sebagai Penuntut
Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 butir 1, 2, 3 juga Pasal 2 ayat (1), dan (2)
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf A Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) juga menyatakan bahwa:
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
20 Ibid, hal. 51
21
Dan Pasal 1 ayat (6) huruf B KUHAP tersebut juga menyebutkan bahwa:
“Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.21
Bila kita uraikan wewenang Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, yang
terdapat dalam KUHAP adalah sebagai berikut ini :
1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal
109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS
yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum;
2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara
pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik
pembantu (Pasal 12);
3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan
ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2)
4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat (20)), melakukan
penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2)), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2),
penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan.
5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan
penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal
tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).
6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan
pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau
21 M. Karjadi dan R. Soesilo, “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar”, Politeia, Bogor, 1988, hal. 3
22
mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat
(1)).
7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum
dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)),
mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa
mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat (1)), dan dalam
kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan
isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2).
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka
tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke
Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74).
8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk
memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik
(Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan
dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum
menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan
dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang
(Pasal 91 ayat (1)).
10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan
atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku
Penuntut Umum (Pasal 14 huruf (i)).
12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat
dakwaan (pasal 140 ayat(1)).
13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf
a), dikarenakan :
a. Tidak terdapat cukup bukti
23
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
c. Perkara ditutup demi kepentingan umum
14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan
dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).
15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan (Pasal 141).
16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka
(Pasal 142).
17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan
(Pasal 143)
18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2))
19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan,
Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum
sidang dimulai (Pasal 144).
Yang menjadi perhatian kita atau yang menjadi sorotan kita dalam
perbandingan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara
Negara adalah bahwa Kejaksaan itu adalah een en ondeelbaar.22
Asas ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang
selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.
16 Tahun 2004 tersebut lebih dipertegas bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
2.2.1 Kejaksaan dan Kebijakan Rentut
22 Asas pengorganisasian kejaksaan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas di bidang penuntutan, yaitu kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.
24
Rencana Tuntutan (rentut) bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses
peradilan pidana. Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh
Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA)
Nomor 09/1985. Istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah
Pedoman Tuntutan Pidana.
Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara
agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara
yang jenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak
pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat
berubah seiring dengan perkembangan zaman.23
Untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui
Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS-004/J.A/3/1994 antara lain
adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya,
menggunakan modus atau arena yang canggih, menimbulkan banyak korban,
berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah
terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat
perhatian khusus pimpinan.
Sementara untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa
Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Dalam SEJA
keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu
perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan
pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan
tersebut.
Kejaksaan adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya
di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan
keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung
jawab kepada Presiden.
23 “Memahami Rencana Tuntutan Kasus Pidana”, Tabloid Berita Mingguan, Modus Aceh Edisi 12 Tahun VII, Kamis 9 Juli 2009. Dalam www.google.com. Diakses tanggal 12 September 2011
25
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan
kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan
satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Kejaksaan berada pada poros dan menjadi penyaring antara proses
penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana
penetapan dan keputusan pengadilan.
Sehingga, kejaksaan sebagai lembaga pengendali proses perkara, karena
hanya institusi kejaksaanlah yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat
diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum
Acara Pidana.
Sebelum melangkah ke pengadilan, jaksa menyiapkan surat dakwaan.
Berlainan dengan surat tuntutan, maka fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar
pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan
(requisitoir) sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka JPU harus mengajukan
surat tuntutan terlebih dahulu. Namun di internal kejaksaan, sebelum lahirnya
tuntutan, terdapat istilah Rencana Tuntutan (Rentut).
Dalam kaitannya dengan apa yang diuraikan di atas, Andi Hamzah
mengkritik, rentut berjenjang semacam itu hanya dikenal di Indonesia. Pola
semacam itu membuka peluang adanya intervensi atasan. Jaksa itu mestinya
independen.24
Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara
agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok terhadap perkara-perkara
yang jenis tindak pidananya sama.
Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh
Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan
perkembangan zaman.
Dari paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya kebijakan
Rentut yang ditentukan oleh atasan seperti itu, maka secara otomatis akan menambah
24 Andi Hamzah. 2000. “Hukum Acara Pidana Indonesia”. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya. hal 141
26
panjang proses birokrasi yang harus dilalui oleh seorang JPU dalam mengurus suatu
perkara pidana.
Konsekuensinya adalah akan berimplikasi pada terganggunya proses
peradilan yang cepat, murah dan sederhana termasuk di dalamnya akan mengganggu
proses persidangan di pengadilan.
Pasal 182 KUHAP memang tidak menyinggung adanya kewajiban
penyampaian Rentut kepada atasan JPU, hanya disebutkan; setelah pemeriksaan
dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dari redaksi Pasal
182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur Rentut
merupakan kebijakan internal kejaksaan.
Kebijakan internal kejaksaan berupa kewajiban mengajukan Rentut kepada
atasan seperti diuraikan di atas, ini menggambarkan secara vulgar kepada publik
bahwa kejaksaan menganut sistem komando seperti layaknya di institusi kemiliteran.
Di negara manapun di dunia ini, militer adalah menganut sistem komando
dan untuk itu tidak ada celah bagi yang namanya demokrasi di tubuh militer,
termasuk militer yang ada di Indonesia.
Untuk lebih meningkatkan citra profesionalitas kejaksaan dalam melakukan
penuntutan dalam proses peradilan pidana, maka sebaiknya lembaga Rentut
dihapuskan, sehingga masalah tuntutan pidana diberi kepercayaan sepenuhnya
kepada JPU yang mengurus perkara pidana yang bersangkutan. Dengan catatan
lembaga eksaminasi harus diperkuat.
Eksaminasi yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga eksaminasi yang
bersifat eksternal, yang bertugas untuk menguji dan menilai kinerja dari JPU
tersebut, baik yang yang berkaitan dengan dakwaannya maupun dengan tuntutannya.
Kalau misalnya jaksa mengajukan tuntutan pidana 10 tahun penjara terhadap
seseorang terdakwa, maka hakim dalam hal ini bebas untuk menjatuhkan pidana
penjara 5 tahun atau 8 tahun ataupun 12 tahun penjara. Hakim tidak wajib mengikuti
tuntutan pidana yang diajukan oleh JPU.
Prosedur rentut merupakan kebijakan internal Kejaksaan yang sering
mengakibatkan persidangan berlarut-larut. Dengan berlarut-larutnya persidangan
27
selain merugikan terhadap kepentingan pihak yang berperkara di persidangan selain
itu tidak adanya kepastian hukum juga mengakibatkan dilanggarnya asas KUHAP
yaitu Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
Asas peradilan cepat ditandai dengan:
(a) Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik.
(b) Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh
penyidik.
(c) Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum.
(d) Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Sedangkan Asas sederhana dan biaya ringan ditandai dengan:
(a) Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara
perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa.
(b) Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi.
(c) Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat.
(d) Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang ditangani oleh
aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih (overlapping).
Dengan memperhatikan Asas peradilan cepat, Asas sederhana dan biaya
ringan, maka prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan haruslah
dihapus. Selain tidak memberikan kemerdekaan Jaksa Penuntut Umum didalam
memberikan pertimbangan dalam surat tuntutannya (requisitoir) juga tidak
membangkitkan profesionalisme Jaksa Penuntut Umum. Dengan Kemerdekaan dan
profesionalisme Jaksa Penuntut Umum tersebut diharapkan dapat memulihkan
pandangan publik terhadap aparatur penegak hukum.
2.2.2 Surat Tuntutan (Requisitoir)
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), jaksa tidak bertugas untuk
membuat surat dakwaan atau surat tuduhan melainkan hanya membuat surat
pelimpahan perkara ke pengadilan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 15
28
Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia,
jaksa bertugas membuat surat tuduhan atau dakwaan sesuai dengan Pasal 12 ayat
(1). Jaksa dalam membuat surat dakwaan dengan catatan bahwa dalam hal surat
dakwaan kurang memenuhi syarat, maka jaksa wajib memperhatikan saran-saran
yang diberikan hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) yang
kemudian diperjelas dengan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor
6/MA/1962/23/SE tertanggal 20 Oktober 1962.25
Dalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR) surat tuduhan dibuat oleh
Ketua Pengadilan Negeri yang dirumuskan dalam “Acte Van Verwijzing” yakni
akte yang menyerahkan perkara ke persidangan dan memuat perbuatan-perbuatan
yang dituduhkan. Surat tuduhan atau acte van verwijzing atau surat dakwaan adalah
akte yang menjadi dasar bagi pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
maupun Mahkamah Agung.26
Surat dakwaan sangat penting dalam proses penanganan perkara pidana
karena surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan. Terdakwa tidak dapat
dituntut atau dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman untuk perbuatan-
perbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan.
Setelah berlakunnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penuntut Umum baru dapat
disebut sebagai mandiri dalam pembuatan surat dakwaan seperti telah ditentukan
dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Sehingga tenggang waktu antara mulai
berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 sampai dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 dapat disebut sebagai masa persiapan atau transisi
bagi jaksa untuk menjadi seorang penuntut umum yang benar-benar mandiri.
Sekarang penuntut umum diwajibkan untuk selalu meningkatkan kemampuan
di dalam menjalankan tugasnya yang pada akhirnya benar-benar menjadi seorang
penuntut umum yang profesional di dalam segala seginya, antara lain penuh
inovasi sehingga dapat bertindak dengan cepat, cermat, dan tepat.27
25 Prapto Soepardi. “Surat Dakwaan”. Surabaya: Usaha Nasional. 1991. hal 11-1226 Leden Marpaung. “Proses Penanganan Perkara Pidana” bagian ke-2. Jakarta: Sinar Grafika.
1992. hal 30027 Prapto Soepardi. Op. Cit. hal 12
29
Untuk mencegah kekhilafan atau kekeliruan, maka sebelum merumuskan
surat dakwaan sebaiknya dibuat materi ringkasan (matrix) yang memuat unsur-
unsur delik atau tindak pidana yang didakwakan serta alat bukti yang telah
diperoleh atau yang ada.28
Peranan surat dakwaan salah satunya adalah sebagai dasar tuntutan
pidana (requisitoir). Requisitoir adalah kewenangan penuntut umum untuk
mengajukannya setelah pemeriksaan di sidang dinyatakan selesai oleh Hakim Ketua
sidang atau Ketua Majelis, dasar hukumnya Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP.
Dalam buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” (Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, 1985) memuat kata “Requisitoir” yaitu tuntutan hukuman Jaksa Penuntut
Umum pada Pengadilan Negeri setelah pemeriksaan ditutup.29
Penuntut Umum akan berusaha membuktikan bahwa dakwaannya telah
terbukti melalui keterangan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa, surat,
petunjuk, dan juga dengan bukti diam seperti jejak kaki atau tangan dan benda-
benda yang menjadi barang bukti. Pada ujung tuntutan yang biasa disebut requisitoir
Penuntut Umum tersebut, diuraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan tidak disebutkan dalam
undang-undang. Jadi, hanya berdasarkan kebiasaan misalnya terdakwa tidak
mempersulit pemeriksaan, sopan, mengaku bersalah dan sangat menyesal, begitu
pula keadaan belum cukup umur dipandang sebagai hal yang meringankan terdakwa.
Hal-hal tersebut tidak boleh dicampur adukkan dengan hal-hal yang memberatkan
pidana seperti residivis, gabungan delik, dilakukan dengan berencana. Hal ini
dilakukan karena untuk mempermudah hakim dalam membuat keputusan.30
Surat tuntutan (requisitoir) memuat hal-hal mengenai:31
a. Hal tindak pidana yang didakwakan;
b. Fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan;
28 Leden Marpaung. Op. Cit. hal 30129 Ibid. hal 40130 Andi Hamzah. “Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek”. Jakarta: Rineka
Cipta. 1993. hal 11931 Adami Chazawi. “Kemahiran Dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana”. Malang: Bayumedia.
2005. hal 151
30
c. Analisis hukum terhadap fakta-fakta untuk memberikan konstruksi hukum
atas peristiwa yang didakwakan;
d. Pendapat tentang hal terbukti tidaknya dakwaan;
e. Permintaan Jaksa Penuntut Umum pada Majelis Hakim.
Mengenai huruf a hal tindak pidana yang didakwakan perlu disebut kembali
dalam surat tuntutan (requisitoir), dalam praktik telah menjadi kebiasaan untuk
memuatnya dengan menyalin kembali seluruh bunyi surat dakwaan. Penyalinan
seluruh bunyi surat dakwaan ditempatkan pada awal surat tuntutan. Mengenai huruf
b fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dimuat dengan sistematika
berdasarkan tata urutan dalam pemeriksaan, yaitu dimulai dari fakta-fakta
keterangan, saksi-saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa, dan alat-alat bukti.
Pencatatan mengenai fakta-fakta harus dilakukan secara benar dan transparan. Fakta-
fakta yang diperoleh dalam persidangan kemudian dianalisis.
Surat tuntutan (requisitoir) yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung
konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya
dan hubungan antara keduanya. Dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan
hukumnya, maka akan menjadi jelas pula kesimpulan hukum yang ditarik tentang
terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan
atau tidak, serta apa terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau
tidak dalam peristiwa yang terjadi. Kesimpulan yang benar dari sudut hukum
yang didukung oleh doktrin hukum maupun ilmu sosial lainnya dan keadilan
merupakan taruhan keprofesionalan dan kualitas seorang Jaksa Penuntut Umum.
Dari kesimpulan yang ditarik itulah Jaksa Penuntut Umum mengajukan
permintaan pada Majelis Hakim, baik mengenai kedudukan perkara itu dalam
hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan maupun terhadap terdakwa
sendiri mengenai bentuk pertanggungjawaban pidana yang dimohonkan.32
2.3 Kendala Penuntutan Jaksa
Eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum
nasional dapat dilihat dari:32 Ibid, hal. 153
31
1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan
Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait
dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41
UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang
sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses
perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai
terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah
menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana
penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
2. Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah
Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan
penuntutan.
3. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan
posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem
ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun.
Pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh
Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam
hal:33
1. Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap
prapenuntutan.
2. Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan
terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan
peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
3. Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara
tindak pidana korupsi.
Permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang tindih konsepsi
yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan diantaranya:
33 Romli Atmasasmita., “Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 92.
32
1. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan
permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan
subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan
dan Pengadilan dalam proses peradilan.
2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-
Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini
berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri
dan independen.
3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di
bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat
dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar,
berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak,
yang mengesampingkan asas dominus litis (sebagai pengendali proses
perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu dan tidak terpisah-
pisah).
Apabila mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam
sistem penuntutan yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat
berperan aktif dalam proses penyidikan hingga penuntutan sebagai berikut:
a. Sistem Anglo Saxon.
Dalam sistem ini meski secara teoritis polisi dan kejaksaan memiliki kewenangan
masing-masing, namun polisi yang melakukan penyelidikan perkara diwajibkan
melaporkannya kepada jaksa sedini mungkin, serta memerlukan persetujuan
jaksa untuk melakukan penuntutan tersebut. Sehingga dalam prakteknya, polisi
harus mematuhi nasihat jaksa mengenai pengumpulan bukti-bukti tambahan dari
awal agar perkara yang diselidikinya membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Selain itu polisi juga harus mematuhi keputusan jaksa untuk menghentikan
penyidikan karena penuntutannya akan dihentikan. Negara yang menerapkan
33
sistem ini adalah negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris seperti
Selandia Baru, Australia, Kanada, Malaysia, dan Singapura.
b. Sistem Anglo American.
Dalam sistem ini jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang paling berkuasa
dalam sistem peradilan pidana karena jaksa memiliki pengaruh yang sangat besar
dan berarti sekali terhadap tindakan pejabat peradilan pidana yang manapun.
Selain itu, kewenangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut serta untuk
menerima pengakuan tersangka agar memperoleh dakwaan yang lebih ringan
(pleaguilty) benar-benar sangat menentukan. Sedangkan di dalam perkara yang
sangat berat seperti pembunuhan, jaksa memimpin penyelidikan baik secara
perseorangan atau bersama-sama dengan polisi mendatangi tempat kejadian
tindak pidana. Negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat.
c. Sistem Eropa Kontinental.
Dalam sistem ini jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan
pidana karena memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan.
Meskipun dalam pelaksanaan di lapangan polisi memiliki kemampuan yang
handal dalam proses pengumpulan bukti-bukti di tempat kejahatan, akan tetapi
tetap saja tergantung pada nasihat dan pengarahan jaksa. Hal ini disebabkan
karena jaksa lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang
eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan di negara-negara yang
menganut sistem ini, dimana jaksa tidak melakukan penyidikan sendiri, jaksa
tetap memiliki kebijaksanaan penuntutan yang luas untuk menetapkan apakah
akan menuntut atau tidak menuntut hampir segala perkara pidana. Contoh
negara-negara yang menerapkan sistem ini beserta variasinya adalah Jerman,
Portugal, Spanyol, Belanda, Perancis dan beberapa negara di Asia, Afrika dan
Amerika Latin bekas jajahan negara-negara Eropa Kontinental.
Tugas dan kewenangan Kejaksaan RI di bidang penuntutan dapat mengacu
kepada tugas dan kewenangan sistem penuntutan yang dimiliki oleh kejaksaan di
negara-negara lain yang benar-benar menerapkan asas Dominus Litis secara penuh.
Sistem ini dapat diserap dalam amandemen KUHAP sehingga perundang-undangan
34
organik dapat mencapai supremasi hukum di bidang penuntutan, dimana Kejaksaan
diberi kewenangan yang seutuhnya.34
Menurut UU No 8 tahun 1981 tentang KUHP
1. “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”
2. Penuntut umum Adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penunuttan dan melaksanakan penetapan hakim.
Tugas Jaksa:
1. Sebagai penuntut umum;
2. Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(eksekutor).
Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, jaksa mempunyai tugas:
1. Melakukan penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim.
Menurut UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejasaan Republik Indonesia dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal
1, kejaksaan mempunyai tugas dalam pasal (2) yang berbunyi:
(2) a. Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan
yang berwenang;
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana.
(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta
mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alatr penyidik menurut ketentuan-
ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan.
(3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara
(4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu
peraturan negara.
34 Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Implementasi Kekuasaan Penuntutan Di Negara Hukum Indonesia, dalam www.hukumonline.com. Diakses tanggal 10 September 2011
35
“Kejaksaan RI selanjutnya disebut kejaksaan ialah alat negara penegak hukum yang
terutama bertugas sebagai penuntut umum”. (Pasal 1 ayat (1))
Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia
diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti
adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan
Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
Definisi Jaksa dan Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu:
1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatann hukum tetap.
2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia
wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menerima dan memeriksa berkas;
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera
mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk
untuk kesempurnaan;
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
4. Membuat surat dakwaan;
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi;
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum;
36
10. Melaksanakan penetapan hakim.
Kewenangan Jaksa sebagai penyidik juga diatur dalam Pasal 284 ayat (2)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan:
“Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kewqenangan Jaksa
sebagai penyidik juga diatur dengan bunyi pernyataan sebagai berikut:
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang
kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex
specialis). Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai
penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu
perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih
lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan
penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif.
2.3.1 Hierarki Pertanggungjawaban Jaksa
Kedudukan seorang Jaksa yang pertanggung jawabannya secara hierarkis
juga menyulitkan Jaksa dalam bertindak sebagai Pengacara Negara. Dalam hal ini
bisa saja Jaksa mempunyai pandangan yang berbeda dengan atasannya mengenai
37
kedudukan suatu perkara dimana ia bertindak sebagai Pengacara Negara. Jaksa
sebagai Pengacara Negara tersebut akan sulit mengambil tindakan yang berbeda
karena bagaimanapun juga ia harus mempertanggungjawabkan secara hierarkis ke
atasannya. Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa sulit untuk seorang Jaksa untuk
bisa independen dalam bertindak sebagai Pengacara Negara.35
Belum lagi ditambah bagi Kejaksaan dihadapkan pada satu sisi sebagai
Pengacara Negara, misalnya sebagai Pengacara Negara dari suatu bank milik
pemerintah yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, disisi lain Kejaksaan
juga bertindak pada subjek yang sama, yaitu Pejabat Bank Milik Negara yang
digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Penuntut Umum dalam
tindak pidana korupsi. Tentu sulit bagi Kejaksaan, karena di satu sisi sebagai
Pengacara Negara Kejaksaan melakukan pembelaan pada satu pihak tetapi di sisi lain
Kejaksaan bertindak sebagai Penuntut Umum yang sama.36
Asas ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang
selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.
16 Tahun 2004 tersebut lebih dipertegas bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan
Pasal 8 ayat (2) yaitu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak
untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
Sehingga bila kita perhatikan betapa sulitnya dipisahkan kewenangan Kejaksaan
sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara Negara. Karena seorang
Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak terlepas dari fungsinya sebagai Penuntut
Umum.
2.3.1.1 Bagan Rencana Tuntutan (Rentut) di KEJARI (Kejaksaan Negeri)
35 http://www.kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=organisasi-datun, diakses tanggal 12 September 2011.
36 http://www.kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=organisasi-datun, diakses tanggal 12 September 2011.
JPU KASI PIDUM/KASI PIDSUS
KAJARI KAJATI JAKSA AGUNG
38
2.3.1.2 Bagan Rencana Tuntutan (Rentut) di KEJATI (Kejaksaan Tinggi)
2.3.1.3 Bagan Rencana Tuntutan (Rentut) di KEJAGUNG (Kejaksaan
Agung)
2.3.2 Kemandirian Kejaksaan
Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa
Kontinental (rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep
negara hukum tersebut dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut:
”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan
rechtsstaat, dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari
pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan
keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun
pandangan bernegara kita.”37
Upaya menegakkan hukum, institusi-institusi penegak hukum, di satu sisi,
dengan penetapan undang-undang mendapatkan kewenangan yang lebih luas.
Namun, di sisi lain, ada institusi yang kewenangannya semakin dikurangi, misalnya
kejaksaan Republik Indonesia. Pengurangan kewenangan itu diawali melalui
KUHAP pada kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dipangkas
hanya menjadi kewenangan penyidikan tambahan tindak pidana umum terbatas pada
keterangan terdakwa. Begitu pula halnya, penyidikan tindak pidana penyelundupan
37 Padmo Wahjono, 1986, “Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum”, Cet. Ke-2, Jakarta: Ghalai Indonesia, hal. 151, bandingkan dengan Muhammad Tahir Azhari, Ibid, hal. 66
JPU AS PIDUM/AS PIDSUS
KAJATI JAKSA AGUNG
JPU DIREKTUR PENUNTUTAN PIDUM/PIDSUS
JAKSA AGUNG
39
telah dimonopoli oleh instansi Bea Cukai. Dalam penanganan tindak pidana korupsi,
kewenangan penyidikan dan penuntutan berkurang dengan kehadiran Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kejaksaan sebagai institusi penegak
hukum harus menanggung beban dengan kewenangan yang sudah berkurang
tersebut, bukan karena tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagaimana yang dibenarkan oleh undang-undang. Secara jujur, yang menjadi
sorotan negatif akhir-akhir ini, bukan semata-mata karena perilaku aparatur
kejaksaan, melainkan lebih karena terjadinya pemasungan kewenangan.
Kondisi seperti ini tampaknya tidak sejalan dengan niat luhur para wakil
rakyat sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di negara yang berdasarkan atas
hukum, amanat undang-undang yang merupakan salah satu pilar dalam sistem
hukum Indonesia untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan ternyata
justru dipasung, lebih fatal lagi adalah dibentuknya KPK yang mendapat
kewenangan yang lebih besar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, karena di dasarkan pemikiran bahwa tindak pidana korupsi dipandang
sebagai extraordinary crime. Walaupun lembaga dan metode yang selama ini sudah
konvensional.
Pembentukan KPK tidak hanya bertentangan dengan sistem hukum yang
berlaku, melainkan juga bertentangan dengan asas dan prinsip hukum yang bersifat
universal. Asas hukum dan prinsip yang berlaku secara universal menyatakan bahwa
jaksa adalah pejabat yang diserahi tugas untuk bertindak sebagai penuntut umum,
tetapi undang-undang juga memberikan kewenangan yang sama kepada KPK untuk
menjalankan tugas penuntutan dalam tindak pidana korupsi.38
Baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 maupun KUHAP
berkedudukan sebagai undang-undang induk (undang-undang organik), karena
substansinya mencakup sistem hukum serta kelembagaan yang melaksanakan sistem
tersebut, sehingga peraturan perundang-undangan lainnya yang akan dibuat tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang organik. Ironisnya pembuat undang-
undang bertindak ambigu karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai 38 Marwan Effendy., Op. Cit, hal. 5
40
landasan filosofi yang jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik
masalah hukum masa kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum
(ius constutuendum).39
Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan
sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan
akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan.40
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu kiranya mendudukkan
Kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen
dalam perpektif teori negara hukum dan teori pembagian kekuasaan. Sebagaimana
telah dikemukakan oleh paham rechtsstaat, paham the rule of law, dan paham negara
hukum Indonesia beranjak dari latar kekuasaan para Raja-Raja pada waktu dulu.
Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (civil law) yang
berkarakteristik administratif, sedangkan konsep the rule of law berkarakteristik
judicial. Kemudian konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan
hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administratif dan
judicial. Untuk mewujudkan konsep rechtsstaat yaitu membatasi kekuasaan
administrasi negara dan konsep the rule of law yaitu mengembangkan peradilan yang
adil, mandiri, dan independen, serta konsep negara hukum Indonesia, yaitu
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, pembagian kekuasaan negara
yang proporsional dan peradilan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang terakhir,
maka sangat perlu dilakukan pembagian kekuasaan di antara lembaga
negara/pemerintah.
Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep
rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia. Kehadiran
Kejaksaan Republik Indonesia dalam dunia peradilan adalah; pertama, sebagai upaya
preventif, membatasi, mengurangi atau mencegah kekuasaan pemerintah atau
administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat
merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi
39 Romli Atmasasmita., “Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 92.
40 Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Jakarta: Rajawali, 1983, hal. 5
41
kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak
kesewenag-wenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan
Republik Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang
mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan
hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan
kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan dalam proses
peradilan. Konsep negara hukum Indonesia inilah yang merupakan yang
melatarbelakangi penegakan hukum terhadap pengembalian aset negara atas
perbuatan korupsi karena perbuatan korupsi merugikan keuangan negara seharusnya
dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat.
Dalam rangka supremasi hukum, Kejaksaan sangat penting fungsinya dalam
mewujudkan hukum in concreto. Menurut Bagir Manan,41 mewujudkan hukum in
concreto bukan hanya merupakan fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk
dalam pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum dan
penegak hukum. Kejaksaan dan kepolisian merupakan pranata publik penegak
hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari
suatu proses peradilan.
41 Bagir Manan, “Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia”, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, 1995, hal. 17.
42
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam melakukan suatu penelitian, kita tidak akan terlepas dari
penggunaan metode. Karena metode merupakan cara atau jalan bagaimana seseorang
harus bertindak. Metode dapat dirumuskan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan
dalam penelitian dan penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, cara
tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.42
Metode penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan
sistematis. Metodologis berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah,
sedang sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan-aturan penelitian yang berlaku
untuk sebuah karya tulis.43
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
3.1 Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan sosiologis empiris, penelitian
yang didasarkan pada suatu ketentuan kaidah-kaidah hukum positif dan kenyataan
yang terjadi dilapangan sehingga dapat diketahui legalitas hukum dalam prakteknya.
3.2 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu bermaksud memberikan gambaran
secara jelas mengenai hal ikhwal penyusunan rencana tuntutan (rentut) dan surat
tuntutan (requisitoir) dalam proses perkara pidana.
3.3 Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer
Data primer adalah sumber data yang secara langsung diperoleh dari
lapangan, dengan mengadakan tinjauan langsung pada objek yang diteliti
dalam hal ini adalah keterangan dari para pihak yang berhubungan
42 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiyanto. “Metode Penelitian Hukum”. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2004. hal 1
43 Sutrisno Hadi. “Metodologi Riset”. Anai Offset. Yogyakarta. 1985. hal 63
43
dengan kewenangan jaksa dalam rencana tuntutan (rentut) serta
kedudukan surat tuntutan (requisitoir) dalam proses perkara pidana
yaitu:
a) Kepala Kejaksaan Negeri Lumajang;
b) Kasipidum Kejaksaan Negeri Lumajang;
c) Kasipidsus Kejaksaan Negeri Lumajang.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang secara langsung mendukung data
primer yaitu buku-buku, dokumen, doktrin, peraturan perundang-
undangan, dan sumber tertulis lainya yang berkenaan dengan masalah
yang diteliti44.
c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, diantaranya: 45
a) Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini
b) Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary).
3.4 Metode Pengumpulan Data
Dengan penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Wawancara
Yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung antara peneliti
dengan pihak-pihak yang bersangkutan mengenai penyusunan
rencana tuntutan (rentut) dan surat tuntutan (requisitoir) dalam
proses perkara pidana.
b. Studi Kepustakaan
Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara
mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen, buku-buku, dan bahan pustaka lainya yang ada
hubunganya dengan penelitian yang akan dilakukan.
44 Peter Mahmud marzuki. 2006. “Penelitian Hukum”. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. hal. 15
45 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1984. “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”. Jakarta: Rajawali Press. hal 8
44
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif yaitu analisis data yang menggunakan dan mengambil kebenaran yang
diperoleh dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen,
buku-buku, dan bahan pustaka lain yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti kemudian didiskusikan dengan data yang telah diperoleh dari objek
yang diteliti sebagai kesatuan yang utuh untuk di deskripsikan dalam bentuk
uraian.
45
BAB IVPEMBAHASAN
4.1 Kedudukan Rencana Tuntutan sebagai prosedur hirarki4.1.1 Perumusan Rencana Tuntutan4.1.2 Hirarki Lembaga
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan undang-undang sebelumnya, yakin Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, perhatian terhadap keberadaan dan fungsi kejaksaan semakin meningkat seiring dengan perkembangan, kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Dalam perjalanan undang-undang yang telah berusia belasan tahun, pada dewasa ini tampaknya memang perlu adanya semacam evaluasi dan atau penyegaran yang diharapkan akan membawa manfaat bagi perkembangan kejaksaan. Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum. Kedudukan dan perkembangan kejaksaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi historis kejaksaan itu sendiri. Sejak berdirinya Republik Indonesia memang secara eksplisit Undang-undang Dasar 1945, tidak menyebutkan adanya Kejaksaan, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan adanya kehakiman dan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Namun demikian, diakui bahwa mengacu pada Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942, yang mengaitkan kejaksaan dengan keberadaan badan-badan peradilan, yakni sebutan kejaksaan pada pengadilan, maka sebutan itu terus berlangsung atas dasar Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dasar hukum tersebut, maka kedudukan kejaksaan sebagai komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan hukum yang langsung berada di bawah presiden, tetap diakui. Memang di masa awalnya dan di masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kejaksaan berada di bawah naungan Kementerian Kehakiman, namun dalam perjalanan selanjutnya dan berdasarkan kebutuhan yang muncul di masyarkat dirasakan perlu adanya kejaksaan yang independen sehingga setelah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, kududukan jaksa perlu dipertegas lagi dan diindependenkan.Pada perkembangan kehidupan ketatanegaraan periode tahun enam puluhan, muncul Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, di mana dalam undang-undang ini mulai memisahkan antara kehakiman dan kejaksaan. Kejaksaan
46
menjadi pelaksana kekuasaan pemerintah dan bagian dari kabinet itu sendiri, yang ditandai dengan adanya Departemen dan Jaksa Agung, dan pada perkembangan selanjutnya, terutama dengan munculnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tantang Kejaksaan, Kedudukan atau Posisi Kejaksaan memang sudah lebih baik tetapi belum dapat keluar dari kepentingan pemerintah yang terlalu besar.Baru pada tahun 2004 muncul Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang mempertegas posisi jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.Mengingat perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang ada, kedudukan kejaksaan dalam era reformasi sangat penting untuk dimandirikan dan dibebaskan dari campur tangan pemerintah yang terlalu besar, agar kejaksaan dapat mewujudkan aparatur yang profesional. Sambil mengingat bahwa posisi dan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan bukanlah tujuan karena yang penting adalah semangat dalam elakukan reformasi hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan dan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.
4.1.3 Profesionalisme dan Kemandirian JaksaReformasi hukum tidak bisa terlepas dari perkembangan kualitas profesi hukum secara intensif karena di dalam profesi hukum seorang pengemban pofesi hukum dituntut selain harus menguasai ilmu hukum dengan baik wajib menguasai kode etik serta melaksanakannya. Faktor utama dalam menjalankan kode etik profesi hukum dalam praktik adalah profesionalisme dan integritas moral. Jika moral rusak maka etika profesi tidak akan berjalan dan keadilan tidak tercapai. Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi pada hakikatnya merupakan suatu kedudukan terhormat.Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan. Sepintas lalu, huru-hara yang menerpa kejaksaan belakangan, mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian (expertise), rasa tanggung jawab (responsibility) dan kinerja terpadu (corporateness) yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur.Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu
47
sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional.Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan mempergunakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sanalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan
48
sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.
4.2 Fungsi dan kedudukan surat tuntutan dalam perkara pidana4.2.1 Prosedur penyusunan surat tuntutan4.2.2 Dasar hukum surat tuntutan4.3 Hambatan Jaksa Penuntut Umum dalam membuat rencana tuntutan
4.3.1
49
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. 2005. Kemahiran Dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana. Malang: Bayumedia.
Andi Hamzah. 1993. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya
Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA.
Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Djoko Prakoso. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Jakarta. PT Bina Aksara
Harun M.Husein, 1994. Surat Dakwaan. Jakarta. PT Rineka Cipta
H.B. Sutopo. 1998. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta : UNS Press
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publising.
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana bagian ke-2. Jakarta: Sinar Grafika.
Martiman Prodjohamidjojo, 2002. Teori dan Praktik Pembuatan Surat Dakwaan. Jakarta Ghalia Indonesia
Marwan Effendi. 2005. Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya. Jakarta. Gramedia
Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
50
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2, Jakarta:Ghalai Indonesia.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
Prapto Soepardi. 1991. Surat Dakwaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Soerjono Soekanto. 1989. Perbandingan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.
Yudi Kristiana, 2006, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.
Makalah dan Website
Openbaar Ministerie Speech A Prosecution Service must always be a Public Prosecution Service, 16 Agustus 2011
A. Hamzah, “Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia”. Makalah disampaikan pada Workshop Governmence Audit of The Public Prosecutor Servive, Bali 21-22 Februari 2001.
A. Hamzah, “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Makalah diajukan pada seminar menyambut Hari Bakti Adyaksa, Jakarta 20 Juli 2000.
wikipedia.com
www.google.com
www.hukumonline.com