JURNAL ILMIAH
PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLIDUNGAN HUKUM
BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM
POSITIF
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
SONIA CAROLLINE BATUBARA
D1A 014 311
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLIDUNGAN HUKUM
BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM
POSITIF
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
SONIA CAROLLINE BATUBARA
D1A 014 311
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Dr. Aris Munandar, SH., M. Hum.
NIP. 19610610 198703 1 001
PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM
POSITIF
SONIA CAROLLINE BATUBARA
D1A 014 311
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian
perkawinan terhadap para pihak dalam perkawinan dan untuk mengetahui bentuk
perlindungan hukum dari adanya perjanjian perkawinan bagi para pihak dalam
perkawinan dan pihak ketiga. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif.
Kekuatan hukum perjanjian perkawinan mengikat terhadap suami isteri yang
membuatnya namun terhadap pihak ketiga jika telah memenuhi unsur publisitas.
Dibuatnya perjanjian perkawinan bertujuan memberikan perlindungan hukum
preventif dan represif. Perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta otentik
juga merupakan salah satu upaya perlindungan agar perjanjian perkawinan yang
dibuat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk melindungi hak-hak
para pihak maupun pihak ketiga.
Kata Kunci : perjanjian kawin, kekuatan hukum, perlindungan hukum
THE MARRIAGE AGREEMENT AS THE FORM OF LEGAL PROTECTION
FOR THE PARTIES IN MARRIAGE IN POSITIVE LAW
ABSTRACT
This study is aimed to investigate the legal force of marriage agreement to
the parties in marriage and to know the form of legal protection from the
existence of marriage agreement for the parties in marriage and third party. This
study uses normative research. The legal forces of the marriage agreement are
binding on the husband and wife who make it but for third party if it has fulfilled
the element of publicity. The establishment of a marriage agreement aims to
provide preventive and repressive legal protection. The marriage agreement that
made with an authentic deed is also one of the safeguards that a marriage
agreement made the perfect evidentiary power to protect the rights of the parties
as well as third parties.
Key Words: marriage agreement, legal force, legal protection
i
I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat selain sebagai individu, manusia juga
merupakan makhluk sosial dan sudah menjadi kodrat manusia untuk hidup
berdampingan dengan sesama manusia dan berusaha meneruskan keturunan
dengan cara melangsungkan perkawinan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
merumuskan bahwa,
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan
menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum
antara suami isteri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan
mereka.1 Berbagai hubungan hukum yang timbul dari perkawinan antara suami
dan isteri tersebut antara lain menyangkut hak dan kewajiban suami dan isteri
selama perkawinan berlangsung, tanggung jawab mereka terhadap anak-anak,
konsekuensinya terhadap harta kekayaan, serta akibat hukumnya terhadap pihak
ketiga. Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap calon pasangan suami isteri
yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan
di kemudian hari dalam perkawinan.2
Berbagai macam masalah dapat timbul dalam rumah tangga, baik
menyangkut harta benda dalam perkawinan, hutang piutang, pengasuhan dan
1Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan, Hak
dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan), Rizkita, Jakarta, 2009, hlm. 128. 2Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami Dalam Penjaminan
Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, Mandar Maju, Bandung., 2006, hlm 14.
ii
pendidikan anak, dan permasalahan lainnya yang dapat menjadi faktor penyebab
timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan. Untuk
menghindari hal tersebut, maka pasangan suami isteri dapat membuat suatu
perjanjian perkawinan yang dapat memuat semua hal yang dianggap perlu untuk
menjaga hak-hak dan kepentingan mereka.
Di Indonesia, pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut
“KUHPerdata”), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(untuk selanjutnya disebut “UU Perkawinan”) jo. Putusan MK Nomor. 69/PUU-
XIII/2015, serta Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disebut “KHI”).
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat kekaburan norma (vague of
norm) dalam beberapa sisi pengaturan perjanjian perkawinan. Hal ini dikarenakan
UU Perkawinan yang seharusnya dibentuk untuk melakukan unifikasi hukum
perkawinan Indonesia sangatlah ringkas mengatur mengenai perjanjian
perkawinanan yaitu Pasal 29. Ketentuan dalam Pasal 29 UU Perkawinan ini tidak
cukup jelas untuk menggambarkan mengenai perjanjian perkawinan secara utuh
dan menyeluruh, seperti mengenai hal-hal yang harus dicantumkan dan tidak
boleh dicantumkan dalam perjanjian perkawinan, akibat hukum pada para pihak
(suami-isteri) dan pihak ketiga yang berkaitan dengannya.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka terdapat permasalahan mengenai
kekuatan hukum perjanjian perkawinan terhadap para pihak dalam perkawinan
dan bentuk perlindungan hukum dari adanya perjanjian perkawinan bagi para
pihak dalam perkawinan dan pihak ketiga.
iii
II. PEMBAHASAN
Hakekat Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan pada hakekatnya dibuat oleh pasangan suami isteri
untuk menghindari berbagai macam masalah yang dapat timbul dalam rumah
tangga, baik menyangkut harta benda dalam perkawinan, hutang piutang,
pengasuhan dan pendidikan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sikap
terhadap poligami, dan permasalahan lainnya yang dapat menjadi faktor penyebab
timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan.
Pasal 139 KUHPerdata dan Pasal 29 Ayat (4) UU Perkawinan Perkawinan jo.
Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015 sebenarnya mempunyai makna yang
sama yaitu perjanjian perkawinan merupakan suatu bentuk penyimpangan
daripada pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan. Apabila ada calon
suami dan istri hendak menyimpang dari hukum harta perkawinan yaitu dalam
Pasal 35 UU Perkawinan maka adalah perlu membuat perjanjian perkawinan.
Pengaturan Perjanjian Perkawinan
Dalam hukum positif di Indonesia saat ini, pengaturan mengenai perjanjian
perkawinan diatur di dalam beberapa peraturan yaitu Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.
Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015, serta Kompilasi Hukum Islam.
Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam
Buku I Bab VII dengan judul bab Perjanjian Kawin. Perjanjian perkawinan dalam
UU Perkawinan diatur dalam Bab V dengan judul bab Perjanjian Perkawinan
yaitu pasal 29. Pengaturan dalam UU Perkawinan ini mengalami beberapa
iv
perubahan dengan adanya Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015. Sementara
dalam KHI pengaturan perjanjian perkawinan terdapat pada Bab VII Pasal 45
sampai dengan Pasal 52 tentang perjanjian perkawinan.
Substansi Perjanjian Perkawinan
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK
Nomor. 69/PUU-XIII/2015 menentukan bahwa perjanjian perkawinan dapat
mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya dan isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut serta isinya tidak
boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan
Kekuatan hukum suatu perjanjian perkawinan berkaitan dengan kekuatan
mengikatnya perjanjian tersebut terhadap para pihak yang membuatnya. Namun
perlu diketahui bahwa perjanjian perkawinan selain berlaku bagi pasangan suami
isteri, juga dapat mengikat bagi pihak ketiga. Perihal mengikat bagi pihak ketiga,
perjanjian perkawinan harus disahkan terlebih dahulu (memenuhi asas publisitas).
Perjanjian perkawinan mulai mengikat dan berlaku terhadap pasangan suami
isteri sejak perkawinan dinyatakan sah dan telah dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya serta perkawinan dicatatkan menurut
peraturan perundang-undangan (Pasal 2 UU Perkawinan). Namun dengan adanya
Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015 masa berlaku dari perjanjian perkawinan
yang dibuat dimulai sejak perkawinan dilangsungkan, akan tetapi para pihak dapat
menentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya
mulai berlaku terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.
v
Keabsahan dan keberlakuan perjanjian perkawinan juga tidak terlepas dari
ketentuan syarat sah perjanjian pada umumnya. Berdasarkan Pasal 1320
KUHPerdata suatu perjanjian harus dibuat dengan memenuhi empat syarat, yaitu:
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu; dan
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Mengenai bentuk perjanjian perkawinan. berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat
(1) UU Perkawinan jo. Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015 maka jelaslah
bahwa perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris. Bentuk tertulis dari
perjanjian perkawinan dapat dikemukakan bahwa bisa dibuat dalam suatu akta di
bawah tangan maupun akta otentik.
Perjanjian perkawinan dalam bentuk akta dibawah tangan merupakan
perjanjian perkawinan yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri tanpa melalui
pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta. Akta dalam bentuk
di bawah tangan ini memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sah, jika pembuat
akta tersebut mengakui isi akta serta tandatangan yang ada pada akta tersebut.
Sedangkan akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868
KUHPerdata). Notaris dan Pejabat Pencatat Perkawinan adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik perjanjian perkawinan.
vi
Namun sesuai dengan Surat Edaran Kementerian Agama R.I. Nomor
B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 perihal pencatatan perjanjian perkawinan angka (1)
menentukan bahwa:
“Pencatatan perjanjian Perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan, pada
waktu perkawinan, atau selama dalam ikatan perkawinan yang disahkan oleh
notaris dapat dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)”.
Tujuan utama pencatatan ini adalah untuk memenuhi unsur publisitias
perjanjian perkawinan, oleh karena itu perjanjian perkawinan harus didaftarkan
pada instansi yang telah ditentukan, pentingnya pendaftaran ini agar pihak ketiga
mengetahui dan tunduk pada perjanjian perkawinan tersebut. Jika perjanjian
perkawinan tidak didaftarkan untuk dicatatkan, maka hanya mengikat dan berlaku
bagi para pihak suami isteri yang membuatnya (Asas Pacta Sunt Servanda).
Meskipun terdapat akta perjanjian perkawinan yang bersifat otentik (dibuat oleh
notaris) akan tetapi apabila tidak didaftarkan dan dicatatkan di KUA atau
Dispendukcapil, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
perjanjian perkawinan jika dibuat tertulis sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris,
serta dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), maka perjanjian perkawinan
tersebut memiliki kekuatan hukum layaknya berkedudukan sebagai akta otentik.
Perjanjian Perkawinan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum bagi Para
Pihak dalam Perkawinan
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum kedalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun
vii
yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri
dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.3
Begitu pula perlindungan hukum dalam perkawinan dapat berupa preventif
yaitu pencegahan dari munculnya sengketa, dan represif yaitu penyelesaian
apabila terjadi sengketa. Perlindungan hukum yang bersifat preventif ini, lebih
mengedepankan pencegahan agar hak-hak suami maupun isteri dalam perkawinan
dapat dilindungi oleh hukum, dalam hal ini dengan perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri dalam
perkawinan bertujuan memberikan perlindungan hukum preventif dan represif
yaitu selain untuk mencegah timbulnya permasalahan dalam rumah tangga, jika
suatu saat timbul konflik perjanjian perkawinan dapat dijadikan acuan dan salah
satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan memberikan
batas-batas hak dan kewajiban diantara mereka.
Semua hal yang dianggap perlu untuk menjaga hak-hak dan kepentingan
semua pihak dapat dimuat dalam perjanjian perkawinan, baik menyangkut harta
benda, hutang piutang, kepemilikan perusahaan, pengasuhan dan pendidikan anak,
pembagian peran kerumahtanggaan, penghindaran kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), sikap terhadap poligami, dan lain sebagainya. Pada dasarnya poin-poin
tersebut bersifat fleksibel sesuai kesepakatan kedua belah pihak tanpa ada tekanan
atau paksaan dari pihak manapun, serta dibuat dalam kondisi sadar dan
3http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada
tanggal 6 Januari 2018, Pukul 13.00 WITA.
viii
bertanggung jawab,4 selama tidak bertentangan dengan batas-batas norma hukum,
agama dan kesusilaan (Pasal 9 Ayat (2) UU Perkawinan).
Akta Perjanjian Perkawinan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum bagi
Para Pihak dalam Perkawinan dan Pihak Ketiga
Akta menurut Pitlo yaitu “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai
sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu
dibuat”.5 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah “surat yang diberi
tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu
hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.”6
Dengan demikian akta merupakan surat, yang ditandatangani, memuat peristiwa-
peristiwa perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian. Bagi Subekti, akta
berlainan dengan surat, dengan menjelaskan bahwa kata-kata akta bukan berarti
surat, melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acta
yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.7
Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam memberikan pengertian
akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan hukum dibuat oleh
pihak-pihak. Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan
yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan
suatu perbuatan hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat
4http://www.kompasiana.com/pakcah/mengenal-dua-jenis-
perjanjiannpranikah_5535b64c6ea834f327da42e5 diakses pada tanggal 6 Januari 2018 Pukul
17.00 WITA 5Pitlo, (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 52. 6Sudikno Mertokusumo, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1988, hlm. 106. 7Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 21, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 29.
ix
meskipun dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya
perbuatan hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta, tetapi
hanya surat biasa.
Dengan demikian fungsi akta bagi pihak-pihak adalah:8
a. syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum
b. alat pembuktian, dan
c. alat pembuktian satu-satunya.
Perihal alat bukti, menurut Pasal 1867 KUHPerdata menentukan bahwa
“pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun
dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Jadi akta sebagai bukti terdiri dari akta di
bawah tangan dan akta otentik.
Akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak
sendiri tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat
akta, yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu
perbuatan hukum. Akta yang dibuat di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian yang sah, jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta serta
tandatangan yang ada pada akta tersebut.
Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata).
Keberadaan akta otentik ini memberikan perlindungan dan kepastian hukum
dalam masyarakat khususnya bilamana terjadi suatu sengketa dalam hubungan
hukum dalam masyarakat terkait dengan masalah pembuktian.
8Pitlo, Op. Cit., hlm. 54.
x
Untuk bukti tulisan berupa akta otentik, Hakim sesungguhnya telah terikat
oleh undang-undang dalam pembuktiannya, dikarenakan undang-undang telah
menyatakan secara tegas bahwa akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata).
Oleh karena itu perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta otentik juga
merupakan salah satu upaya perlindungan agar perjanjian perkawinan yang dibuat
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk melindungi hak-hak para
pihak.
Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga Terhadap Perjanjian Perkawinan
dan Perubahannya
Menurut UU Perkawinan, pada saat berlansungnya perkawinan, saat itu
pulalah berlakunya perjanjian perkawinan bagi suami isteri tersebut (intern),
sedangkang terhadap pihak ketiga (ekstern) berlakunya perjanjian perkawinan
dapat pula ditafsirkan mulai berlaku setelah didaftarkan pada Pegawai Pencatatan
Perkawinan pada kutipan akta nikah (KUA bagi beragama muslim dan
Dispendukcapil bagi non muslim) sebagai bentuk pengesahan oleh Pejabat yang
berwenang, sehingga mempunyai kekuaan mengikat keluar. Jadi pihak ketiga
tidak dapat menyangkal perjanjian perkawinan tersebut apabila telah jelas
tercantum dalam kutipan akta nikah pasangan suami isteri.
Mengenai perubahan perjanjian perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 29 Ayat (4) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 bahwa
perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan masih diperkenankan
untuk merubahnya dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
xi
Sebagaimana dikemukakan oleh Soetojo Prawirohamidjojo bahwa setelah
perkawinan itu dilangsungkan calon suami istri masih dapat mengubah perjanjian
perkawinan yang dibuatnya. Akan tetapi perubahan itu harus dilakukan dengan
akta notaris. Sedangkan orang yang dahulu ikut serta sebagai pihak dalam
mewujudkan perjanjian perkawinan itu harus diikutsertakan lagi. Bilamana orang-
orang itu tidak menyukai, maka tidaklah dapat diadakan perubahan itu.9
Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana akibat perubahan perjanjian
perkawinan tersebut terhadap pihak ketiga. Perbuatan suami istri yang merubah
perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga dan pihak ketiga berhak
untuk menuntut penggantian kerugian apabila perbuatannya merubah perjanjian
perkawinan memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata.
Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa merubah perjanjian
perkawinan masih diperkenankan jika perjanjian perkawinan dibuat dengan akta
notaris, dengan kesepakatan antara suami, istri dan pihak ketiga demi memberikan
perlindungan terhadap pihak ketiga. Apabila perjanjian perkawinan dirubah tanpa
menghadirkan pihak ketiga dan memang dibuat dengan maksud untuk merugikan
pihak ketiga, pihak ketiga tidak terikat dengan perubahan perjanjian perkawinan
tersebut dan jika terjadi kerugian, maka dapat dikatakan bahwa perubahan
perjanjian perkawinan dilakukan dengan itikad tidak baik.
9Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Sejarah Perkembangan Hukum
Perceraian Di Indonesia dan Belanda, Airlangga University Press, Surabaya, 2000,.hlm. 74
xii
III. PENUTUP
Simpulan
Kekuatan hukum perjanjian perkawinan mengikat tidak hanya terhadap suami
isteri yang membuatnya tetapi juga terhadap pihak ketiga yang terkait jika telah
memenuhi unsur publisitas. Perjanjian perkawinan yang dibuat memenuhi syarat
sahnya perjanjian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris, serta dicatatkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN), maka perjanjian perkawinan tersebut memiliki
kekuatan hukum layaknya berkedudukan sebagai akta otentik. Dalam isi
perjanjian perkawinan jika ternyata terdapat larangan terhadap hukum, agama, dan
kesusilaan tidak menyebabkan perjanjian perkawinan menjadi batal melainkan
hanya sebatas klausula yang bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan
yang batal demi hukum.
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri dalam
perkawinan bertujuan memberikan perlindungan hukum preventif dan represif,
yaitu jika suatu saat timbul konflik perjanjian perkawinan dapat dijadikan acuan
dan salah satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan
memberikan batas-batas hak dan kewajiban diantara mereka. Perjanjian
perkawinan yang dibuat dengan akta notaris juga merupakan salah satu upaya
perlindungan agar perjanjian perkawinan yang dibuat menjadi suatu akta otentik
yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk melindungi hak-hak
para pihak maupun pihak ketiga. Selain itu pihak ketiga yang terkait berhak
xiii
menuntut penggantian apabila perjanjian perkawinan dibuat atau dirubah dengan
maksud untuk merugikan pihak ketiga.
Saran
Kepada Pemerintah agar UU Perkawinan mendapat perhatian ekstra,
terutama mengenai perjanjian perkawinan agar dibuat lebih terperinci lagi isi
maupun tata cara pembuatan perjanjian perkawinan, agar tidak ada salah tafsir dan
tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas pembuatan perjanjian perkawinan.
Kepada Pasangan Suami Isteri yang ingin membuat perjanjian perkawinan,
agar memikirkan lagi sebelum benar-benar membuat perjanjian perkawinan.
Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar materi semata dan apabila hendak
membuat perjanjian perkawinan agar memperhatikan syarat keabsahannya dalam
KUHPerdata dan UU Perkawinan.
Kepada Notaris yang diberikan kewenangan untuk membuat perjanjian
perkawinan agar selalu berhati-hati dalam pembuatan perjanjian perkawinan agar
terhindar dari itikad buruk dari pasangan suami isteri dan tidak ada pihak yang
merasa dirugikan.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Darmabrata, Wahyono, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya
Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda
Perkawinan),Jakarta: Rizkita, 2009.
Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami Dalam
Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung,
Bandung: Mandar Maju, 2006.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1988.
Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa, 1986.
Prawirohamidjojo, Soetojo, dan Martalena Pohan, Sejarah Perkembangan
Hukum Perceraian di Indonesia dan Belanda, Surabaya: Airlangga
University Press, 2000.
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 21, Jakarta: Intermasa, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam
Indonesia, Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015
Internet
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
http://www.kompasiana.com/pakcah/mengenal-dua-jenis-
perjanjiannpranikah_5535b64c6ea834f327da42e5