1
A. Judul :
KEDUDUKAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL PEMBERHENTIAN PRESIDEN SEBELUM MASA JABATANNYA BERAKHIR
(Kajian Normatif Berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003) B. Nama Pengarang : Iwan Permadi, SH,MH.
C. Abstrac As one of the guard of constitution and interpreter of UUD 1945, existence
of the Constitutional Court in system of state structure in Indonesia is of vital
importance once to guard against absolute power by an state institute, both for
conducted by President and also by Parliament.
As state institute, position this of the Constitutional Court very unique, that
is although of the Constitutional Court lifted by President through Decision of
President, but of the Constitutional Court can check, judging and breaking
opinion of DPR that President have done violation of law as arranged by UUD
1945.
Legal status of the Constitutional Court like arranged in UUD 1945 that is
section 24 C sentence ( 2) junto section 7 B sentence ( 1) and also section 10
sentence ( 2) act of Number 24 year 2003 about of the Constitutional Court is as
one of the state institute representing performer of judicial power which can only
check, judging and breaking opinion of council that President have done collision
is such as those which arranged in UUD 1945, furthermore DPR perform a
plenary conference to going on to MPR. The Constitutional Court cannot dismiss
President, what can dismiss President is MPR at the instance of DPR. Become,
dimiciling of the Constitutional Court in the case of cessation of President is as
examiner and taking decision of opinion of DPR about transgression conducted
by President.
2
D. Pendahuluan Studi normatif ini berangkat dari pemikiran bahwa ternyata sesuai dengan
kedudukan dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang No. 24 tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan
penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai
dengan tugas dan wewenangnya, khususnya dapat memeriksa, mengadili dan
memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 diadakan proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang merupakan tonggak awal ketatanegaraan Indonesia, karena
Proklamasi adalah jembatan emas pembangunan Indonesia. Sebagai tonggak
awal kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan UUD 1945
dan sampai saat ini sudah empat kali terjadi perubahan, yaitu perubahan
pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 200, perubahan ketiga
pada tahun 2001 dan perubahan keempat pada tahun 2002. dalam empat kali
perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-
besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.
Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan
kostitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama seklai, meskipun tetap
dinamakan sebagai Undang-Undang dasar 1945.1 Dari perubahan UUD 1945
inilah, lahir lembaga tinggi yang baru yang dikenal dengan nama Mahkamah
Konstitusi.
Salah satu pemikiran pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi,
dilatarbelakangi suatu kondisi bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk Republik (Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945) dan Indonesia
berdasar hukum (rechtstaat). Secara kontitusional kekuasaan pemerintahan
tidak bersifat absolut. Jika dilihat berdasarkan teori Montesquie atau yang lebih
dikenal dengan trias politica, terlihat bahwa terjadi pembagian kekuasaan yaitu
1 Jimly Asshiddiqie, Mahkamah konstitusi Dalam Sistem ketatanegaraan RI, Malang, 29
september 2005.
3
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Akan tetapi, di Indonesia bukan menggunakan
teori kekuasaan melainkan menggunakan checks and balances system, yang
berarti antar lembaga negara kedudukannya adalah sama dan saling
mengontrol.
Dengan kedudukan yang sejajar, tentunya akan terbuka peluang
terjadinya konflik antara lembaga tinggi negara. Untuk itu, perlu dibentuk
lembaga yang bisa menengahi permasalahan yang timbul antar lembaga negara.
Sebelum diadakan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan tertinggi
kehakiman terdapat pada Makhkamah Agung (MA), tetapi setelah diadakan
perubahan yang ketiga, maka terbentuklah suatu lembaga tinggi hukum lainnya
yakni Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan terhadap
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-28,
sedangkan Indonesia saat itu keberadaan Mahkamah Konstitusi tercatat sebagai
negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan negara pertama pada
abad ke-21 dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan amanat dari Undang-
Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga pada tahun 2003. Sebelum adanya
perubahan UUD 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi
Konstitusi (Tap MPR No. I/MPR/2002) yang salah satu tujuannya membentuk
suatu komisi konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara
komperhensif tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.2
Keputusan pembentukan komisi konstitusi ini merupakan hasil dari Sidang
Tahunan MPR pada tahun 2002 pada tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002 yang
kemudian disusun Ketetatapan MPR Nomor IV/MPR/2003 tentang Susunan,
Kedudukan, Kewenangan, dan Kedudukan Kewenangan Komisi Konstitusi (Tap
MPR No. IV/MPR/2003). Sejalan dengan hal tersebut, dari hasil perubahan UUD
1945 ketiga yang tertuang pada Pasal 24C UUD 1945, dibentuklah suatu
2 Pasal 1 Tap MPR No. 1/MPR/2002
4
lembaga tinggi baru dibidang kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi melalui
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan pada sidang tahunan
MPR tahun 2001, Mahkamah Konstitusi yang semula sekedar wacana sistem
ketatanegaraan Indonesia, kini telah menjadi dasar konstitusional yang kuat
untuk eksistensi, kedudukan, kewenangan, kewajiban, dan komposisi para
hakimnya dalam UUD dengan pengaturan sebagai berikut:3
1. Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat
dilihat dalam ketentuan 7B, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 24C UUD 1945
(perubahan ketiga)
2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai bagian dari kekuasaan
kehakiman dengan posisi sejajar dengan Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat
(2));
3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1)
sebagai berikut: Mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk :
a. Menguji UU terhadap UUD (Judicial Review).
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD.
c. Memutus pembubaran partai politik, dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
4. Selain itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban (yang sebenarnya
juga berarti kewenangan meskipun keputusannya tidak bersifat final)
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD, seperti tersebut
dalam Pasal 24C ayat (2) (vide juncto Pasal 7B UUD 1945/perubahan
ketiga)
5. Komposisi Hakim Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan
oleh Presiden berdasarkan usulan masing-masing tiga orang dari
3 A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Transisi Paradugmatik, Intrans, Malang,
2003. hal.124-125.
5
Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dengan ketua dan wakilnya dipilih
dari dan oleh Hakim Konstitusional (Pasal 24 ayat (3) dan (4).
6. Pasal 24C ayat (5) memuat persyaratan bagi Hakim Konstitusi yaitu:
a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. Adil;
c. Negarawanan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan;
d. Tidak merangkap sebagai pejabat negara
7. Sedangkan mengenai prosedur pengangkatan dan pemberhentian Hakim
Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi masih diatur dengan UU
(Pasal 24C ayat (6).
Dari fungsi dan tugasnya, salah satunya adalah memberikan putusan
terhadap dugaan DPR mengenai pelanggaran konstitusi oleh Presiden.4 Dalam
sistem Presidensiil antara pemerintah dengan DPR kedudukannya sejajar dan
tidak bertanggungjawab kepada DPR serta legislatif dan eksekutif sama-sama
kuat. Dalam sistem Presidensiil masa jabatan Presiden tidak dibuat permanen
tetapi dengan batasan antara 4 sampai 7 tahun .
Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, maka sistem negara demokrasi
akan lebih terarah karena dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai
penafsir UUD 1945 maka akan terjaga dari kekuasaan yang absolut oleh suatu
lembaga negara, baik yang dilakukan oleh Presiden maupun oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Karena keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan
pengawal Konstitusi (The Guardian of constitution and The Interpreter of The
Constitustion) sehingga Mahkamah Konstitusi sangat berperan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, meski di Indonesia merupakan lembaga baru,
peranan Mahkamah Konstitusi sangat penting sekali.
Salah satu konflik yang dapat terjadi antar lembaga tinggi negara adalah
perselisihan antara legislatif dan eksekutif yakni DPR dan Presiden, karena
kedua lembaga tinggi negara ini mempunyai peranan yang sangat vital, Presiden
sebagai pelaksana pemerintahan dan pelaksana undang-undang dalam
membuat kebijakan yang ada, selain itu kekuasaan Presiden harus didukung
4 Lihat Pasal 7B ayat (1) UUD 1945
6
oleh kekuatan di DPR dalam menjalankan kebijakannya karena kedudukan
eksekutif dan legislatif adalah sejajar dan saling mengontrol.
DPR sebagai lembaga representative dari suara rakyat, sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, mempunyai fungsi kontrol,
budgeting, penyusunan undang-undang. Diantara fungsi badan legislatif yang
paling penting adalah:
a. Menentukan Policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk itu
DPR diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap
rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan hak budget.
b. mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga semua tindakan badan
eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijakasanaan yang telah
ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat
diberi hak-hak kontrol khusus.5
Selain itu anggota DPR mempunyai hak-hak istimewa yakni hak angket,
hak interpelasi dan bertanya kepada Presiden. Hak-hak inilah yang dapat
menjadikan batu ganjalan terhadap perjalanan kekuasaan Presiden, apalagi
Indonesia menggunakan sistem Presidensiil bukan sistem parlementer, yang
artinya Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR, serta kedudukan
eksekutif dan legislatif adalah sejajar.
Karena posisi tersebut dan hak yang dipunyai oleh DPR maka
dimungkinkan terjadinya perubahan politik yang tidak mendukung kekuasaan
Presiden sehingga Presiden diminta untuk turun dari jabatannya karena
kesalahan tertentu.6
Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan.7 Dalam praktek
kenegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggungjawab tersebut
tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian
Presiden dari jabatannya.
5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2003, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 182-183. 6 Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 7 H. Bagir Manan, SH Mcl, Lmbaga KePresidenan, FHUII Press, Jogjakarta, 2003, hal. 106.
7
Dalam pasal 7B ayat (1) UUD 1945 Presiden dapat diberhentikan karena
suatu pelanggaran hukum yaitu pengkhianatan terhadap bangsa dan negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.8
Tidaklah mudah merumuskan substansi yang ada pada rumusan tersebut.
Misalnya saja, dalam proses impeachment sesuai pasal 7B UUD 1945
disebutkan beberapa jenis pelanggaran yang menjadi dasar DPR untuk meminta
Mahkamah Konstitusi memeriksa pelanggaran yang diduga dilakukan Presiden/
Wakil Presiden, yaitu pengkhianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Secara hukum masih belum jelas pelanggaran hukum berupa tindakan
pidana berat lainnya. Apakah pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan
beberapa orang meninggal karena ditabrak oleh kendaraan yang dikemudikan
sendiri oleh Presiden termasuk dalam kualifikasi tindakan berat lainnya?
Untuk menghindari kekuasaan yang bersifat tirani karena jabatan
Presiden yang disandangnya cukup lama, maka DPR dapat memberhentikan
Presiden di tengah masa jabatannya (bersifat politis)9 dengan cara meminta
putusan Mahkamah Konstitusi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan
Presiden/wakil Presiden. Pemberhentian Presiden sebelum masa jabatannya
berakhir ini disebut sebagai impeachment. 10
Pemberhentian Presiden sebelum masa jabatannya didasari oleh UUD
1945. Maka proses impeachment yang ada harus prosedural, kembali lagi
bahwa harus prosedural. Karena Indonesia adalah menganut sistem Presidensiil
maka tidak serta-merta DPR/MPR dapat menjatuhkan Presiden tetapi dengan
adanya Mahkamah Konstitusi maka DPR dapat mengajukan perkara yang
diduga telah dilanggar oleh Presiden, kemudian Mahkamah Konstitusi akan
memberi putusan yang selanjutnya diberikan ke DPR untuk diajukan kepada
MPR oleh DPR bila terbukti terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Presiden.
8 Ibid, hal. 107. 9 Pasal 27 UU No. 22 Tahun 2003, tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD. 10 Dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara eksplisit tentang impeachment
8
Dalam teori hukum tata negara ada dua konsep pemecatan Presiden.
Yang pertama adalah impeachment dan yang kedua adalah konsep forum
prevelegiatum. Konsep impeachment lahir di jaman Mesir Kuno dengan istilah
ieasangelia, yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintahan Inggris dan
dimasukkan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke-18. secara
konsep impeachment tidak hanya berarti prosedur pemberhentian Presiden
ditengah masa jabataannya, tetapi juga pemecatan bagi para pejabat tinggi
negara lainnya termasuk hakim angung karena melakukan kejahatan atau
pelanggaran hukum.11
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa UUD 1945 tidak
mengenal lembaga impeachment seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dari
sudut bahasa saja pernyaataan itu sudah terang keliru, karena dikira pengertian
impeachment sama dengan pemberhentian atau removal from office.12
Kaitannya dengan impeachment merupakan permintaan pertanggung
jawaban dari Presiden yaitu permintaan pertanggungjawaban ini terdapat dalam
penjelasan UUD 1945, yaitu ........jika DPR menganggap bahwa Presiden
sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam UUD atau oleh MPR,
maka Majelis itu dapat diundangkan untuk persidangan istimewa agar supaya
bisa diminta pertanggunganjawab kepada Presiden13 serta dalam ketetapan
MPR No. III/MPR/1978 diatur juga mekanisme pertanggungjawaban Presiden.
Apabila DPR berpendapat Presiden melanggar Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dan UUD 1945 maka DPR dapat menggelar sidang istimewa
dengan memberikan peringatan (memorandum) sebanyak 3 kali. Dengan dasar
dan fakta-fakta tersebut DPR-GR menganggap bahwa Presiden setidak-tidaknya
melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan TAP Sidang
Umum MPR IV/MPRS14 sehingga saat itu Presiden Soekarno ditolak
pertanggungjawabannya oleh MPRS atas pidato NAWAKSARA.
11 Deni Indrayana, Problema Konstitusi Pemberhentian Presiden, Kompas 27 Juli 2001. 12 Nimatul Huda., Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Tehadap Dinamika Perubahan
UUD 1945, FH-UII Press, Jogjakarta, 2003, Hal. 196. 13 Penjelasan UUD 1945 Tentang System Pemerintahan Negara Angka VII. 14 Inosentius Samsul Menorandum DPR Ri Dalam Praktek Kenegaraan RI, Kumpulan
Tulisan Dalam Buku Perspektif Tentang Memorandum Kepada Presiden, Suatu Studi Terhadap
9
Begitu pula era Abdurrachman Wahid terdapat dua pelanggaran haluan
negara yang dituduhkan DPR. Hal ini tertuang dalam memorandum DPR tetapi
tidak ditanggapi oleh Abdurrachman Wahid sehingga diajukan kepada sidang
MPR dan diberhentikan.
Kesalahan Presiden Soekarno bersifat politis karena Presiden Soekarno
telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagimana layaknya
seorang mandataris MPRS15 sedangkan Presiden Abdurrachman Wahid unsur
utama yang dijadikan pemberhentian Presiden adalah adanya pelanggaran
haluan negara yang dilakukan oleh Presiden, apakah itu pelanggaran terhadap
Konstitusi, pelanggaran terhadap ketetapan-ketetapan MPR maupun
pelanggaraan terhadap undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya.16
Dari apa yang telah terurai pada pendahuluan di atas, maka dapat kita
ketahui betapa pentingnya peranan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu salah satu
masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimana kedudukan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam hal pemberhentian Presiden sebelum habis masa
jabatannya.
E. Pembahasan 1. Sejarah Pemberhentian Presiden Di Indonesia
Berhentinya empat Presiden negara Republik Indonesia (Soekarno,
Soeharto, Habibie dan Abdurrachman Wahid) dari enam Presiden hingga saat ini
dari jabatannya masing-masing terjadi dengan cara yang tidak normal yaitu
berhenti sebelum berakhir masa jabatannya. Presiden Soekarno berhenti karena
diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)17 tahun
1967. karena mendapat memorandum DPR-GR18 yang menuduh Presiden
Soekarno terlibat Gerakan 30 September 1965.
Pemberian Memorandum RI Kepada Presiden Abdulrachman Wahid, Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, 1982, Hal. 80.
15 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2003, Hal. 97.
16 Ibid., Hal. 104. 17 Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 18 Resolusi dan memorandum DPR-GR tanggal 9 dan 23 Februari 1967.
10
Presiden Soeharto berhenti di tengah masa jabatannya setelah berkuasa
selama enam periode jabatan, yaitu dengan mengundurkan diri karena tekanan
dari demonstrasi mahasiswa yang didukung oleh elemen reformasi pada tahun
1998 dan permintaan pimpinan DPR/MPR kemudian Presiden BJ. Habibie yang
semula menjadi wakil Presiden kemudian dilantik menjadi Presiden
menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri juga berhenti dari jabatannya
karena pertanggungjawabannya ditolak oleh DPR. Presiden Abdurrahman Wahid
berhenti di tengah masa jabatannya dalam sidang istimewa MPR karena
dianggap karena dianggap melanggar UUD dan Tap MPR tanggal 23 Juni
2001.19
Dilihat dari sudut tata negara, studi mendalam untuk menganalisis proses
dan prosedur pemberhentian Presiden mempunyai makna akademis dan praktis
yang sangat penting.20 Disamping itu, hal yang penting lagi adalah alasan
seorang Presiden dapat diberhentikan sebagai seorang Presiden dalam masa
jabatannya menurut UUD 1945. Pengalaman ketatanegaraan Negara Republik
Indonesia yang sangat menarik untuk dikaji adalah bagaimana pemberhentian
Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrachman Wahid dalam masa jabatannya.
Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya karena
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS berkaitan dengan pemberontakan
G30S/PKI 1965 yang merupakan tindak pidana makar. Presiden Abdurrachman
Wahid diberhentikan oleh MPR karena memorandum DPR yang menuduh
Presiden Abdurrachman Wahid terlibat dalam penyalahgunaan uang milik
Yayasan Dana Kesejahteraan Bulog yang merupakan tindak pidana korupsi.
Walaupun kedua Presiden tersebut tidak dilakukan peradilan pidana terhadap
mereka.
Kedudukan Presiden dalam sistem pemerintahan Presidensil sangat kuat
karena memang sistem ini dimaksudkan untuk melahirkan suatu pemerintahan
yang relatif adil dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu dalam sistem
pemerintahan seperti ini, ditentukan masa jabatan Presiden dalam jangka waktu
19 Tap MPR No. II/MPR/2001 20 Sabar Sitanggang, at al editor, Catatan kritis dan Percikan Pemikiran Yuzril Ihza
Mahendra, Bulan Bintang, Jakarta, 2001, hal 231.
11
tertentu (fix term office periode) Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya apabila Presiden itu melakukan pelanggaran hukum yang secara
tegas diatur dalam Konstitusi. Berbeda dengan sistem pemerintahan
Parlementer dimana kepala pemerintahan atau perdana menteri yang memimpin
kabinet setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
UUD 1945 sebelum diadakan perubahan tidak memberikan aturan yang
terperinci tentang pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya, baik
alasan-alasan maupun prosedurnya. Satu-satunya ketentuan dalam UUD 1945
sebelum perubahan, yang secara implisit mengatur kemungkinan pemberhentian
Presiden di tengah masa jabatannya adalah Pasal 8 UUD 1945. yang berbunyi:
Jika Presiden Mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa kewajibannya dalam masa jabatannya ia diganti oleh Wakil
Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 angka VII Alenia ketiga,21 menentukan: Jika Dewan Menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka
Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa
meminta pertanggunganjawab Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan Sidang Istimewa ini diatur dalam ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor III Tahun 1978 Jo. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. VII Tahun 1973. Jadi berdasarkan ketentuan
tersebut, Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan
Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perubahan Ketiga UUD 1945, telah merubah sistem ketatanegaraan
Indonesia secara mendasar, terutama yang terkait dengan pengangkatan dan
pemberhentian Presiden, yaitu22 : Pertama tidak lagi menempatkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang
21 Berdasarkan ketentuan II Aturan Tambahan yang ditetapkan dalam Perubahan Keempat UUD
1945, Penjelasan UUD 1945 bukan lagi bagian dari UUD 1945. 22 Dahlan Thaib, H., Teori Dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004.
12
sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2), artinya MPR
tidak lagi sebagai sumber kekuasaan negara yang tertinggi dan mendistribusikan
kekuasaan negara itu pada lembaga-lembaga negara yang lainnya termasuk
tidak lagi memiliki kekuasaan tunggal untuk mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden, kedua, memberikan penguatan dan mempertegas sistem
pemerintahan Presidensiil yang dianut yaitu dengan menentukan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat serta Presiden dan
Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila baik
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghinaan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau
Wakil Presiden Republik Indonesia (Pasal 7A UUD 1945).
Perubahan ini membawa dampak yuridis yang sangat luas bagi jalannya
proses ketatanegaraan Indonesia ke depan, Presiden tidak lagi tunduk dan
bertanggungjawab kepada MPR dan tidak lagi dapat diberhentikan oleh MPR
karena alasan Presiden telah melanggar haluan negara sebagaimana yang
terjadi dalam praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Memperhatikan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, ada 5 jenis pelanggaran
hukum yang dapat dijadikan alasan (dasar) untuk memberhentikan Presiden di
tengah masa jabatannya, yaitu: a) pengkhianatan kepada negara; b) korupsi; c)
penyuapan; d) tindak pidana berat lainnya; dan e) perbuatan tercela. Karena
terminologi yang digunakan dalam Perubahan Ketiga UUD ini adalah terminologi
pidana, maka persoalan hukum yang muncul adalah apa yang dimaksud dengan
kelima jenis perbutan melanggar hukum tersebut dan bagaimana proses
pembuktiannya sehingga seorang Presiden dapat dinyatakan terbukti melakukan
perbuatan melanggar hukum dan dapat diberhentikan dari jabatannya itu.
Pemberhentian seorang Presiden sejalan dengan perubahan UUD 1945
berdampak luar biasa dari sisi hukum, maupun dari sisi politik dan kehidupan
bernegara. Dari sisi kepastian hukum pemahaman kelima jenis perbuatan
melanggar hukum tersebut sangat penting agar tidak menimbulkan multitafsir
dari ketidakpastian hukum. Selain itu proses pembuktian dalam kasus
13
pelanggaran hukum tersebut sangat penting untuk dipelajari sehingga prosedur
hukum sebagai landasan beracara bagi tindak pidana yang dituduhkan kepada
seorang Presiden menjadi tidak jelas dan pasti.
Perubahan posisi Presiden dalam sistem pemerintahan Negara RI, baik
mengenai posisinya diatur dalam struktur pemerintahan negara maupun
mekanisme pengangkatan dan pemberhentian, termasuk pembahasan alasan-
alasan pemberhentian Presiden, menimbulkan beberapa persoalan yuridis yang
harus dipecahkan lebih mendalam. Terutama yang perlu diatur adalah tentang
posisi DPR yang bisa mencampuri dan menjatuhkan Presiden. Apabila kondisi
ini dibiarkan dan tidak segera diatur batas-batasnya dalam konstitusi, maka apa
yang terjadi di Jerman dan ditakutkan oleh rakyat Jerman sebelum Perang Dunia
II bahwa tirani parlemen dan constitutional hazard juga akan terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu DPR dalam menjalankan tugas dan wewenangnya perlu diawasi
dengan ketat.23
2. Norma Pemberhentian Presiden
Pasal 7A UUD 1945, berbunyi sebagai berikut: Presiden dan atau
Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan atau Wakil Presiden.
Memperhatikan ketentuan tersebut di atas, ada 5 jenis pelanggaran
hukum yang dapat dijadikan alasan (dasar) untuk memberhentikan Presiden
dalam masa jabatannya, yaitu: a) pengkhianatan kepada negara; b) korupsi;
c) penyuapan; d) tindak pidana berat lainnya; dan e) perbuatan tercela.
23 Benny K. Harman. (Ed) Indra Surya Lubis. Bahaya Tirani DPR masukan Bagi Proses
Amandemen Konstitusi, dalam Bahaya Tirani DPR Konflik DPR vs Presiden. Lembaga Studi Politik Merdeka, Jakarta. 2001. hal.54
14
Karena itu, terdapat dua alasan pemberhentian Presiden menurut
UUD 1945 yaitu karena terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dan
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Rumusan
pemberhentian Presiden dalam Pasal 7A UUD 1945 tersebut sangat ringkas,
tanpa penjelasan yang rinci dan hanya mengatur tentang hal-hal pokok yang
tentunya sangat terbuka untuk adanya berbagai penafsiran yang bisa
berbeda. Ketentuan tersebut hampir sama dengan impeachment yang diatur
dalam Konstitusi dan praktik ketatanegaraan Amerika Serikat walaupun
dalam beberapa hal ada perbedaan.
Konstitusi Amerika Serikat menjelaskan secara tegas apa yang
dimaksud dengan Treason24 sedangkan dalam perubahan Ketiga UUD
1945 tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan melakukan pengkhianatan terhadap negara. Dalam Undang-undang
Makhkamah Konstitusi,25 memberikan penjelasan tentang pengertian
pengkhianatan terhadap negara adalah kejahatan terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Istilah korupsi dan penyuapan adalah istilah yang sudah tegas diatur
dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, delik
penyuapan terhadap penyelenggara negara atau pegawai negeri sudah
dimasukkan sebagai delik korupsi, namun tidak termasuk penyuapan yang
dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 1980.
Mengenai istilah kejahatan berat lainnya dan istilah perbuatan
tercela tidak diberikan pengertian maupun penjelasan UUD 1945. Pasal 10
ayat (3) butir b Undang-undang Mahkamah Konstitusi memberikan
keterangan yang sangat ringkas mengenai istilah tindak pidana berat
lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih. Dengan ketentuan undang-undang tersebut rumusan
24 Konstitusi Amerika Serikat, Artikel III, Section 3, berbunyi sebagai berikut: Treason against the United States, Shall consist only in levying War against them, or, in adhering to their enemies, giving them Aid and Comfort, No person shall be convicted of the Treasonss unless on the testimony of Two Witness to the same overt act or Confession in open Court.
25 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Makhkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3) butir a.
15
kejahatan berat menjadi sangat tegas. Yang menjadi masih belum tegas
adalah pengertian istilah perbuatan tercela. UU Mahkamah Konstitusi hanya
menegaskan bahwa perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan atau Wakil Presiden. Penjelasan ini
masih menimbulkan banyak tafsir.
Istilah yang hampir sama dipergunakan dalam Konstitusi Amerika
Serikat yaitu: high crimes dan misdemeanors. Kedua istilah ini merupakan
istilah yang baku dalam praktik hukum di AS, walaupun Black26 masih
mengajukan beberapa pertanyaan yang mendasar mengenai high crimes
dan misdemeanors itu dalam Konstitusi Amerika.
3. Teori Pemberhentian Presiden (Impeachment)
Impeachment berarti accusation atau charge27 impeacment adalah
pengawasan legislatif yang luar bisa (an extraordinary legislative check) baik
terhadap eksekutif maupun yudikatif. Impeachment adalah tindakan politik
dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk
memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana (criminal conviction) atau
pengenaan ganti kerugian perdata.28 Proses impeachment bukan hanya
mengenai penggantian seorang pimpinan yang sedang menurun
kredibilitasnya dalam suatu jajak pendapat (polling) atau partainya tetapi juga
menyangkut hukuman (punishment) dan ketidakpercayaan yang permanen
dari suatu jabatan publik kepada orang yang melakukan kesalahan berat
terhadap negara.29
Menurut Black proses impeachment apakah judicial, criminal, atau
non-criminal, adalah resemble the judicial tribunalThe House of
Representatives and the Senateand that in these bodies are duty bound to
act on their own of the law and the fact, as free as may be of partisan political
26 Black JR Charles, Impeachment, a Hand Book, Yale University Press, New Haven and London, 1995, p. 37-40.
27 Black, JR Charles L, ibid, p.5 28 Michael, Nelson., (ed), Guide to Precidency, Second Edition, Kongres Quarterly Inc.,
Washington D.C., 1996. p. 441 29 Amar, Akhil Reed, dalam kata pengantar atas terbitan kedua buku Black, JR Charles,
Log.Cit.,p.x
16
motives and pressures. Jadi impeachment adalah seperti layaknya suatu
peradilan pidana dimana menurut amanat Konstitusi Badan Perwakilan
Rakyat (House of Representative) dan Senate melaksanakan suatu
pengadilan yang dapat dipertanggung jawabkan dan badan ini terikat untuk
melakukan tindakan menurut pandangan mereka tentang hukum dan fakta-
fakta yang sedapat mungkin bebas motif dan tekanan politik partisan.30
Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia terdapat tiga
Presiden (Soekarno, Soeharto, Abdurrachman Wahid) yang berhenti sebelum
masa jabatannya berakhir. Soekarno dan Abdurrachman Wahid karena
melanggar Konstitusi, sedangkan Soeharto mundur secara sepihak31 karena
mendapat tekanan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia (people
power).
Berbeda dengan sistem yang ada di Amerika Serikat (AS) dalam
pelaksanaan impeachment, karena di Amerika sistem parlemennya
menganut sistem dua kamar atau bicameral System. Dalam Pasal 2
Konstitusi AS dijelaskan secara eksplisit bahwa bila anggota kongres tidak
menyukai prediden karena dengan jelas melanggar Konstitusi, maka dapat
dilakukan impeachment terhadap Presiden meski jabatannya belum berkhir.32
Dengan kesamaan sistem pemerintahan Presidensiil antara Indonesia dan
Amerika serikat, maka impeachment merupakan jalan satu-satunya untuk
memberhentikan Presiden sebelum masa jabatannya berakhir.
Bagaimana dengan posisi Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY),
apakah Presiden SBY dapat diimpeach atau diberhentikan di tengah jalan ?
Menurut penulis dapat saja Presiden SBY diberhentikan ditengah jalan
sebelum masa jabatannya berakhir apabila hak angket BBM yang sekarang
digulirkan di DPR menetapkan bahwa Presiden dianggap telah melanggar
30 Hamdan Zoelva Op Cit., hal. 14. 31 Presiden Soeharto mundur sepihak karena sebelumnya tidak mengajukan pengunduran diri
kepada MPR, karena Presiden sebagai mandataris MPR dan diangkat serta diberhentikan oleh MPR sehingga sepatutnya sebelum mengundurkan diri meminta pertimbangan dari MPR.
32 Taufiqurrohman Syahuri, . Hukum Kostitusi Prosedur Dan Perubahan UUD Di Indonesia 1948-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
17
konstitusi seperti yang ditetapkan dalam UUD 1945. Hal ini dipertegas oleh
analisa Yusril Ihza Mahendra, yaitu di DPR dengan suara mayoritas telah
menyetujui penggunaan hak angket untuk menyelidiki hal-hal yang terkait
dengan kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM beserta implikasi-
implikasinya. Keberadaan hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD
1945 dan kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 27 UU Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dan
Pasal 176-183 Peraturan Tata tertib DPR. Walaupun Pasal 20A ayat (4) UUD
1945 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR itu akan
diatur dalam undang-undang, namun UU Nomor 22 Tahun 2003 tidak
mengatur secara rinci tentang pelaksanaan dari hak angket itu.
Undang-undang yang mengatur penggunaan hak angket ialah UU
Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. UU ini
berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD
Sementara Tahun 1950, namun sampai sekarang belum pernah dicabut.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 telah
menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan
ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada
keraguan apapun untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU
Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR.
Penerapannya tentu harus mempertimbangkan sistem pemerintahan
Presidensial yang kini berlaku di bawah UUD 1945.
Hak Angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini
memang dimiliki oleh DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait
dengan hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan yang menjadi
kebijakan Pemerintah. Namun ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata
Tertib DPR menegaskan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Rumusan ini memang sangat luas, karena
setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil Pemerintah pada dasarnya
18
dapat dikatakan sebagai kebijakan. Jadi tidak spesifik terkait dengan
masalah keuangan negara sebagaimana pemahaman teoritis tentang asal
muasal hak angket. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah mengurangi
subsidi BBM dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai obyek dari hak
angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara.
Namun apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan undang-
undang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus dibuktikan melalui
penggunaan hak angket itu.
Apabila di DPR akan menggunakan hak interplasi, maka sesuai
ketentuan Pasal 174 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR menyampaikan daftar
pertanyaan yang harus dijawab oleh Presiden. Presiden dapat menunjuk
seorang menteri untuk mewakilinya memberikan jawaban atas pertanyaan
itu. Terhadap jawaban itu, angota-anggota DPR dapat mengajukan usul
pernyataan pendapat DPR atas sesuatu masalah yang dikemukakan dalam
interplasi. Pelaksanaan angket berbeda dengan pelaksanaan interplasi.
Angket bukan sekedar mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh Presiden
atau menteri yang mewakilinya, melainkan DPR melakukan penyelidikan
terhadap sesuatu masalah yang disepakati menjadi angket DPR.
Karena itu para anggota DPR yang duduk di dalam Panitia Angket,
akan bertindak seperti seorang penyelidik sebagaimana dilakukan oleh
penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan dalam menyelidik suatu dugaan
tindak pidana. Bedanya, penyelidikan itu dilakukan oleh politisi untuk
menemukan fakta dan bukti dari suatu kasus yang mereka selidiki, dan
bukan penyelidikan pro yustisia sebagaimana dilakukan penyelidik polisi
dan jaksa. Jadi, menghadapi Panitia Angket DPR, Pemerintah tidak dapat
berpikir sederhana dengan mengatakan telah siap menjawab pertanyaan
DPR seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM
Purnomo Yusgiantoro. DPR bukan bertanya dan Pemerintah menjawab,
melainkan DPR menyelidiki dan menghimpun fakta-fakta dan bukti-bukti.
19
Fakta dan bukti itu bukan saja didapatkan dari kalangan Pemerintah,
namun dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap
ahli mengenai suatu masalah yang diselidiki. Mereka yang diperlukan itu
wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan wajib menjawab semua
pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan
semua dokumen yang diminta oleh Panitia Angket, kecuali apabila
penyerahan dokumen-dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan
negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah,
dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 6
Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta Pengadilan untuk
memerintahkan seorang pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen
negara yang mereka minta agar menyerahkannya.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang
penyelidik, maka status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan
diumumkan dalam Berita Negara, agar diketahui oleh semua orang. Demikian
pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh Panitia Angket itu.
Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota
panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat
formal keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU
Nomor 6 Tahun 1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam
sejarah penggunaan hak angket, Presiden Abdurrahman Wahid pernah
menuduh keberadaan Panitia Angket DPR dalam kasus Bulog Gate dan
Dana Bantuan Sultan Brunei sebagai Pansus illegal karena tidak
diumumkan dalam Berita Negara. Tudingan Presiden Abdurrahman Wahid
ketika itu, didukung oleh penasehat hukumnya yang tersohor, Professor
Harun Al Rasjid. Sebab itu, untuk memenuhi syarat formal pembentukan
panitia angket sekarang ini, Sekretariat Jenderal DPR harus segera
menyampaikan segala hal yang terkait dengan keputusan DPR tentang
penggunaan hak angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar
menempatkannya di dalam Berita Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak
20
dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu, karena hal itu adalah
kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat dilihat
dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket
tidaklah otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita maklum
dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat membubarkan parlemen
setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum.
Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai
terbentuknya parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia
angket itu. Dalam sistem Presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali
Presiden telah berubah menjadi diktator dengan membubarkan DPR. Suatu
hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari ketentuan UU Nomor 6
Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah, pekerjaan panitia
angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan masa sidang. 33
4. Kedudukan Hukum Mahkamah Konstitusi Untuk memberhentikan
Presiden Sebelum Habis Masa Jabatannya.
Pengertian kedudukan sering dipadukan dengan susunan. Menurut
Bagir Manan,34 dari segi bahasa dan pengertian hukum, kedudukan
merupakan inti norma yang memberikan status hukum atau tempat suatu
obyek dalam lalu lintas hukum. Susunan adalah norma untuk mengisi
kedudukan, dari kedudukan lahirlah susunan.
Menurut Philipus Mandiri Hadjon,35 kedudukan dideskripsikan dalam
dua pengertian. Pertama, kedudukan diartikan sebagai posisi suatu lembaga
negara dibandingkan dengan lembaga negara lainnya. Kedua, posisi suatu
lembaga negara didasarkan pada fungsi utamanya.
33 Yusril Ihza Mahendra.com, Tanggal 29 Juni 2008. 34 Bagir Manan, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945, Baru, cetakan I, FH-UII Press
Yogyakarta, 2003, h: 66. 35 Philipus Mandiri Hadjon, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga Tinggi Negara Menurut
UUD 1945, Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan, PT. Bina Ilmu Yogyakarta, 1992, hal : 3.
21
Posisi suatu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya (apakah
sederajat, lebih tinggi dan atau lebih rendah) sangat tergantung dari aturan
hukum yang mengaturnya. Secara fungsional, kedudukan sering dikaitkan
dengan tugas dan wewenang.
Menurut UUD 1945 yaitu pasal 24 C ayat (2) yang menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Selain pasal 24 C ayat (2) UUD 1945, pada pasal 7 B ayat (1) UUD
1945 juga dinyatakan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan
memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Hal ini dipertegas lagi dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan ketiga, pada Pasal 24C
terdapat lembaga hukum tinggi yang baru dibentuk yakni Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir Konstitusi
22
merupakan hal baru dalam ketatanegaraan Indonesia.36 Tujuan dari hal
tersebut adalah menjaga agar terjadi kontrol terhadap lembaga tinggi negara
yang mendapat tugas sesuai dari amanat Konstitusi, sehingga tidak terjadi
penguasaan yang mendominasi, karena akan mematikan iklim demokrasi.
Tugas dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap
UUD 1945, memutus sengketa antar lembaga negara, memutus pembubaran
partai politik, memutus sengketa hasil pemilu, selain itu Mahkamah Konstitusi
mempuyai kewajiban memberikan keputusan kepada DPR atas pendapat
DPR tentang dugaan penyimpangan konstitusional oleh Presiden sehingga
harus di-impeachment.
Dalam pelaksanaan impeachment, Mahkamah Konstitusi sangat
diperlukan sebagai pemeriksa dan pemutus dugaan yang diberikan oleh DPR
atas dugaan penyimpangan oleh Presiden, dalam hal ini keputusan
Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan tidak bisa dibanding atau yang
lain, karena hal ini adalah proses hukum awal dan akhir dari pemeriksaan
Mahkamah Konstitusi untuk merekomendasikan apakah terjadi
penyimpangan atau tidak. Dalam putusan yang diberikan Mahkamah
Konstitusi kepada DPR nantinya diajukan kepada MPR, dalam MPR yang
terdiri dari keanggotaan DPR dengan anggota DPD maka diadakan rapat
untuk menentukan apa Presiden layak atau tidak untuk di-impeacht bila telah
memenuhi persyaratan yang tertuang pada Pasal 7B ayat (7) UUD 1945
yakni dihadiri 3/4 anggota MPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir.37
Pengajuannya oleh anggota DPR harus mendapat dukungan 2/3
anggota DPR. Pelaksanaan pengajuan ini didasari atas tindakan Presiden
dalam menjalankan tugasnya karena melanggar apa yang tertuang dalam
Pasal 7B UUD 1945 sehingga dianggap tidak dapat menjalankan tugasnya,
kesalahan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara/pemerintahan maupun
secara personal sehingga dengan usulan pemberhentian Presiden dapat
dilakukan dalam sidang DPR dan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi
36 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
37 Sulardi,., Tata Negara Indonesia Menuju Pembaruan, Penerbit IKIP Malang, 1999.
23
untuk memeriksa dugaan tersebut, dengan segala bukti yang ada maka
Presiden dapat dibawa ke sidang MPR untuk bertanggunggjawab.
F. Kesimpulan
1. Kedudukan hukum Mahkamah Konstitusi seperti diatur dalam UUD 1945
yaitu pasal 24 C ayat (2) junto pasal 7 B ayat (1) serta pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai salah satu lembaga negara yang merupakan pelaku kekuasaan
kehakiman yang hanya dapat memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat dewan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran seperti
yang diatur dalam UUD 1945, selanjutnya DPR mengadakan sidang
paripurna untuk meneruskannya kepada MPR. Jadi Mahkamah Konstitusi
tidak bisa memberhentikan Presiden, yang bisa memberhentikan Presiden
adalah MPR atas usul DPR.
2. Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan tidak bisa
dibanding atau yang lain, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh, dengan amar putusan sebagai berikut, yaitu:
a. menyatakan permohonan tidak dapat diterima;
b. menyatakan membenarkan pendapat DPR;
c. menyatakan permohonan ditolak.
G. Saran
Sesuai dengan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Presiden dapat
mengajukan 3 (tiga) calon hakim konstitusi, maka sebaiknya untuk memimpin
persidangan yang mengadili perkara atas pendapat DPR bahwa Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum, sebaiknya hakim konstitusi yang
ditunjuk untuk memimpin persidangan adalah hakim konstitusi yang bukan
berasal dari calon yang diajukan oleh Presiden. Hal ini untuk menjaga
kenetralan dan independensi dari hakim tersebut.
24
Daftar Pustaka A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Reformasi, In-
Trans, Malang, 2003. Bagir Manan, Lembaga KePresidenan, FH-UII Press, Jogjakarta, 2003. -----------------, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945, Baru, cetakan I, FH-UII Press
Yogyakarta, 2003. ----------------, Usulan Pembentukan Komisi Konstitusi Untuk Perubahan UUD
1945 Dan Usulan Rancangan Perubahan UUD 1945, Ide Indonesia, Jakarta, 2002.
Black, Jr Charles L, Impeachment, A Hand Book, Yale University Press, New
Haven And London, 1995 Benny K. Harman. (Ed) Indra Surya Lubis. Bahaya Tirani DPR Masukan Bagi
Proses Amandemen Konstitusi, Dalam Bahaya Tirani DPR, Konflik DPR Vs Presiden. Lembaga Studi Politik Merdeka, Jakarta. 2001.
Dahlan Thaib, H., Teori Dan Hukum Konstitusi, Pt. Raja Grafindo, Jakarta,
2004. Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana
Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Inosentius Samsul Memorandum DPR Ri Dalam Praktek Kenegaraan Ri,
Kumpulan Tulisan Dalam Buku Perspektif Tentang Memorandum Kepada Presiden, Suatu Studi Terhadap Pemberian Memorandum Ri Kepada Presiden Abdulrachman Wahid, Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR Ri, 1982
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai
Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. ------------------------, Makalah : Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Malang, 29 September 2005 Michael, Nelson., (Ed), Guide To Precidency, Second Edition, Congres
Quarterly Inc., Washington D.C., 1996. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003.
25
Moh. Mahfud Md, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet II, Rineka Cipta, Jakarta, 2001
Nimatul Huda, Politik Kenegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan Uud 1945, FH-UII Press, Jogjakarta, 2003. Philipus Mandiri Hadjon, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga Tinggi Negara
Menurut UUD 1945, Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan, PT. Bina Ilmu Yogyakarta, 1992.
Sabar Sitanggang, et. al Editor, Catatan Kritis Dan Percikan Pemikiran Yuzril
Ihza Mahendra, Bulan Bintang, Jakarta, 2001. Sulardi, Tata Negara Indonesia Menuju Pembaruan, Penerbit IKIP Malang,
1999. Taufiqurrohman Syahuri,. Hukum Konstitusi Prosedur Dan Perubahan UUD
Di Indonesia 1948-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
Koran Dan Internet. Deni Indrayana, Problema Konstitusi Pemberhentian Presiden, Kompas 27
Juli 2001. Yusril.Ihzamahendra.Com [29 Juni 2008]. Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Perubahan Dalam Satu Naskah Ketetapan MPR. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, Dan DPRD Undang-Undang Nomor 24Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
26
BIODATA PENULIS
Nama : Iwan Permadi, SH.MH NIP : 132300228 Pangkat/gol : III C Jabatan : Lektor Pengalaman mengajar : Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara Pengalaman Menulis : Penulis artikel di beberapa majalah/jurnal hukum
dan ekonomi diantaranya Arena Hukum, Yuridika, Maksigama, JAM, Jurnal Ilmu Sosial, dll.