Jurnal Psikologi Udayana
2018, Vol.5, No.2, 410-423
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
410
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES
MELITUS TIPE II TERHADAP KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN
DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
Desak Ulan Sukmaning Ayu dan Made Diah Lestari
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Diabetes Melitus tipe II disebut diabetes yangtidak bergantung dengan insulin, disebabkan penggunaan insulin yang
kurang efektif oleh tubuh yang dapat menimbulkan komplikasi jika tidak ditangani dengan baik. Kondisi ini yang
memicu timbulnya stressor psikologis dan psikososial terhadap pemeliharaan status kesehatan. Terdapat lima
komponen dalam penatalaksanaan DM tipe II adalah diet, latihan, pemantauan, terapi dan pendidikan.Kepatuhan
menjalani diet berkaitan dengan faktor internal pasien yaitu penerimaan diri pada status DM tipe II dan faktor
eksternal yaitu dukungan sosial dari lingkungan sekitar pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran
dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II
berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar.Subjek dalam penelitian ini adalah 82 orang pasien DM tipe
IIberusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota Denpasar. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu teknik simple random sampling. Metode analisis yang digunakan adalah teknik analisis regresi berganda. Hasil
analisis regresi berganda menunjukkan R=0,286 dan adjusted R square sebesar 0,268. Hal ini menunjukkan bahwa
variabel dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II memberikan peran terhadap kepatuhan menjalani
diet sebesar 26,8%. Nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan dukungan sosial dan
penerimaan diri pada status DM tipe II secara bersama-sama berperan terhadap kepatuhan menjalani diet.
Kata kunci: kepatuhan menjalani diet, dukungan sosial, penerimaan diri pada status diabetes melitus tipe II, diabetes
melitus tipe II
Abstract
Type II DM is called non-insulin dependent, due to the ineffective use of insulin by the body caused many
complications if it’s not treated properly. This condition has been changed several of physical or psychological
disturbances for diabetic patiens healt status such as stress. There are five components in the management of type II
DM, they are diet, exercise, monitoring, therapy and education.Adherence to the diet related to internal factor of
patients which is self-acceptance on the patient with DM type II status and external factor which is social support
from the environment around the patient. This study aims to determine the role of social support and self-acceptance
on the status of DM type II on adherence to diet at patientswith DM type IIof middle-aged in regional public hospital
of Wangaya in Denpasar City. Subjects in this study were 82 patients with DM type II of middle-aged in regional
public hospital of Wangaya in Denpasar City. The sampling technique used in this research is simple random
sampling technique.The method of analysis used in this research is multiple regression analysis technique. The results
of multiple regression analysis showed R=0,286 and adjusted R square value of 0,268. This showed variable social
support and self-acceptance on the status of DM type II give role to adherence to diet of 26,8%. A significant value of
0,000 (p<0,05) which means social support and self-acceptance on the patient with DM type II contribute in
adherence to diet.
Keywords: adherence to diet, social support,self-acceptance on type II diabetes mellitus status, diabetes mellitus type
II
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
411
LATAR BELAKANG
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan
metabolik menahun akibat pankreastidak memproduksi cukup
insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang
diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang
mengatur keseimbangan kadar glukosa darah. Akibatnya,
terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah
(hiperglikemia) (Kemenkes RI, 2013). Klasifikasi yang
diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA)dan
telah disahkan oleh World Health Organization (WHO)
terdapat empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa
yaitu DM tipe I dan II, Diabetes Gestasional (diabetes
kehamilan), dan tipe khusus lain (Price & Wilson 2003).
Kategori DM tipe II disebut non insulin dependent atau
adult onset diabetes, disebabkan penggunaan insulin yang
kurang efektif oleh tubuh. Penyakit DM tipe II merupakan
90% dari seluruh diabetes.Insiden DM tipe II sebesar 650.000
kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan
penyakit ini(Price & Wilson 2003). Kategori DM tipe II
ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin.
Pada pasien DM tipe II terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang
selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan
reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan
abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat
mengganggu kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2002).
Penyakit DM tipe II sering juga disebut diabetes life
style karena penyebabnya selain faktor keturunan, faktor
lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin,
makanan, aktifitas fisik, dan gaya hidup penderita yang tidak
sehat juga berperan dalam terjadinya DM tipe
II.Perkembangan DM tipe II yang lambat, seringkali membuat
gejala dan tanda-tandanya tidak jelas (Betteng, Pangemanan,
& Mayulu, 2014).WHO tahun 2010 menyatakan bahwa
Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia setelah China,
India, danAmerika Serikat. Tahun 2000 jumlah DM di
Indonesia adalah 8,4 juta orang dan diperkirakan bertambah
hingga 21,3 juta orang pada tahun 2030. Jumlah kasus DM
diperkirakan sekitar 12 juta di Indonesia (Kemenkes RI,
2013).Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali terdapat 39.885
orang yang mengalami DM dan terjadi peningkatan kasus DM
tipe II sebesar 32,18% dari tahun 2009 dengan jumlah DM
tipe II sebanyak 923 menjadi 1220 orang pada tahun 2010.
Pasien DM tipe II rawat jalan pada tahun 2009 tercatat 610
orang dan pada tahun 2010 mencapai 819 orang (Dinkes,
2013). Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (dalam
Mertha, Wedri,& Ngurah, 2015), menunjukkan bahwa angka
kejadian DM yang terdiagnosis dokter di Provinsi Bali sebesar
1,3%. Riskesdas Provinsi Bali mencatat bahwa dari 9
kabupaten yang terdapat di Bali prevalensi DM tertinggi
terdapat di Denpasar yaitu sekitar 2,0%.
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar
merupakan rumah sakit milik pemerintah Kota Denpasar yang
tergolong Kelas B Pendidikan. Sebagai rumah sakit milik
pemerintah daerah, RSUD Wangaya kota Denpasar dikelola
dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan
beroperasi dengan mengutamakan prinsip efisiensi dan
produktivitas. Misi dari RSUD Wangaya kota Denpasar
adalah memberi pelayanan bermutu dan terjangkau oleh
tenaga profesional dan mengutamakan kenyamanan dan
keselamatan pasien. RSUD Wangaya kota Denpasar adalah
salah satu rumah sakit daerah yang ada di kota Denpasar.
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit pertama di Bali
selatan yang berdiri pada tahun 1921. Pasien yang melakukan
pengobatan merupakan pasien rujukan dari puskesmas yang
ada di kota Denpasar dan melayani pasien dari semua
kalangan (RSUD Wangaya, 2017). Adanya fasilitas Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) merupakan peluang bagi RSUD Wangaya
kota Denpasar untuk memperoleh pasien lebih banyak dan
melakukan peningkatan pelayanan bagi masyarakat.
Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Wangaya
kota Denpasar, kasus tertinggi pada unit rawat jalan adalah
penyakit DM dengan jumlah 7.134 kasus atau 34.48%. Jumlah
pasien DM tipe II yang melakukan rawat jalan pada tahun
2015 sampai 2017 bulan Januari hingga Maret adalah 375
orang. Rata-rata jumlah pasien rawat jalan di RSUD Wangaya
kota Denpasar berusia dewasa madya. Pada tahun 2015 jumlah
total pasien DM tipe II adalah 156 orang, 86 orang diantaranya
berusia dewasa madya. Tahun 2016, jumlah total pasien rawat
jalan adalah 177 orang, 97 diantaranya berusia dewasa madya.
Pada tahun 2017 bulan Januari hingga Maret jumlah total
pasien rawat jalan adalah 42 orang, 26 orang diantaranya
berusia dewasa madya. Maka dari itu, dalam penelitian ini
memfokuskan pada pasien DM tipe II yang berusia dewasa
madya (Ayu, 2017).
Penyakit DM tipe II lebih sering ditemukan pada
individu yang berusia dewasa yaitu lebih dari 30 tahun. Akibat
dari intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka DM tipe II dapat berjalan
tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan,
iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak
sembuh-sembuh, infeksi pada vagina atau pandangan mata
yang kabur (Smeltzer & Bare, 2002). Umumnya usia yang
rentan mengalami DM tipe II mulai dari usia 45 sampai 64
tahun. Hal ini menjadi beban pemerintah dan masyarakat,
karena rentang usia tersebut tergolong usia produktif (Redaksi,
2008). Masa dewasa madya atau yang disebut usia setengah
baya dalam terminologi kronologis yaitu berkisar antara 40
sampai 60 tahun. Perubahan fisik pada dewasa madya antara
D. U. S. AYU DAN M. D. LESTARI
412
lain perubahan dalam penampilan, perubahan dalam
kemampuan indera, perubahan pada keberfungsian fisiologis,
dan perubahan pada kesehatan (Hurlock, 1980).
Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan DM
adalah diet, latihan, pemantauan, terapi dan pendidikan.
Penanganan primer DM tipe II adalah dengan menurunkan
berat badan atau diet, karena resistensi insulin berkaitan
dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting pula
untuk meningkatkan efektivitas insulin. Obat hipoglikemia
oral dapat ditambah jika diet dan latihan tidak berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah. Penggunaan obat oral
dengan dosis maksimal tidak berhasil menurunkan kadar
glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat
digunakan. Sebagian pasien memerlukan insulin untuk
sementara waktu selama periode stres fisiologik yang akut,
seperti selama sakit atau pembedahan (Smeltzer & Bare,
2002). Diet merupakan dasar dari penatalaksanaan DM yang
bertujuan untuk memberikan semua unsur makanan esensial,
mencapai dan mempertahankan berat badan, memenuhi
kebutuhan energi dan mencegah fluktuasi kadar glukosa darah
(Smeltzer & Bare,2002). Arsana (2012) menyebutkan bahwa
kontrol glikemik pasien sangat dipengaruhi oleh kepatuhan
pasien terhadap anjuran diet meliputi jenis, jumlah dan jadwal
makanan yang dikonsumsi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 4
orang pasien yang terdaftar di RSUD Wangaya kota
Denpasar, didapatkan gambaran bahwa pasien tidak patuh
terhadap penatalaksanaan diet DM tipe II. Ketidakpatuhan
merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya tujuan
pengobatan.Menurut Heynes(dalam Delamater,2006) bahwa
ketidakpatuhan seringkali muncul saat kondisi kesehatan
kronis, ketika penyebab timbulnya gejala bervariasi, gejala
tidak tampak, program kompleks dan rumit, serta ketika
pengobatan membutuhkan perubahan pola hidup.Kepatuhan
jangka panjang terhadap perencanaan makan (diet) merupakan
salah satu aspek yang paling menimbulkan tantangan dalam
penatalaksanaan diet (Smeltzer & Bare, 2002). Kepatuhan
adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan
nasehat medis atau kesehatan (Siregar, 2006). Kepatuhan
pasien dalam menjalani diet sangat berperan penting untuk
menstabilkan kadar glukosa. Menurut Almatsier (2006),
pasien DM tipe II yang patuh menjalani diet secara rutin dan
kadar glukosa darahnya terkendali, dapat mengurangi risiko
komplikasi jangka pedek maupun jangka panjang.
Menurut Lopulalan (2008), kepatuhan dapat sangat
sulit dan membutuhkan dukungan, pengetahuan, dan motivasi
agar menjadi biasa dengan perubahan yang dilakukan dengan
cara mengatur untuk meluangkan waktu dan kesempatan yang
dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Diet DM adalah diet
yang diberikan kepada orang dengan DM, yang memiliki
tujuan membantu memperbaiki kebiasaan makan untuk
mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik dengan cara
menyeimbangkan asupan makanan dengan obat penurun
glukosa oral ataupun insulin dan aktivitas fisik untuk
mencapai kadar glukosa darah normal, mencapai dan
mempertahankan kadar lipida dalam normal (Smeltzer &
Bare, 2002).
Individu yang mengalami sakit berkepanjangan,
keadaannya akan berubah dari waktu ke waktu secara fisik,
psikologis, ataupun sosial dikarenakan ketika tubuh terserang
penyakit, fungsi dari setiap anggota tubuh akan berkurang atau
mengalami disfungsi (Masyithah, 2012). Penyakit DM tipe II
sangat berisiko terjadi ulkus atau gangren serta berisiko
dilakukan amputasi. Kehilangan dari bagian tubuh akan
membuat individu merasa terancam dan mengalami
ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kemampuan
melakukan aktivitas sehari-hari (Smetzer & Bare, 2002).
Perubahan yang lain juga tampak dari aspek lingkungan
seperti peningkatan kebutuhan keuangan dan penurunan dalam
kegiatan rekreasi.
Selain berdampak pada fisik, penyakit DM tipe II dapat
berdampak secara psikologis yaitu minumbulkan stres, mudah
cemas, depresi, putus asa dan lebih sering mengeluh tentang
permasalahan kesehatannya (Borrot &Bush, 2008). Dampak
psikologis yang dapat ditimbulkan apabila tidak melakukan
kepatuhan diet adalah perasaan cemas atau khawatir, depresi,
dan mudah tersinggung. Stres berkepanjangan akan memicu
sekresi hormon kortisol dari kelenjar adrenal yang akan
meningkatkan kadar glukosa dalam darah, menekan kerja
imun, meningkatkan metabolisme lemak, protein dan
karbohidrat (Kalat, 2010). Pasien DM tipe II yang mengalami
stres akan menyebabkan krisis hormon kortisol yang akan
memicu tidak adanya energi yang dihasilkan dan tubuh tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa dalam darah. Perubahan
sosial pun akan dirasakan oleh pasien DM tipe II seperti
mengalami stigmatisasi dan isolasi dalam kelompok sosialnya
(Boyd, 2011). Maka dari itu, pasien DM tipe II secara
psikologis diharapkan mampu melakukan penerimaan dan
penyesuaian diri terhadap penyakit yang dialaminya (Price &
Wilson 2003).
Penerimaan diri merupakan salah satu aspek penting
yang harus ada di dalam diri pasien DM tipe II. Matyja (2014)
menyatakan bahwa individu diharapkan mampu menerima
keadaan yang terjadi pada dirinya untuk memungkinkan
individu dapat membedakan dirinya dengan lingkungannya.
Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai
kemampuan individu untuk dapat memiliki suatu pandangan
positif mengenai dirinya yang sebenar-benarnya, dan hal ini
tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus
dikembangkan oleh individu. Menurut Hurlock (1974)
menyatakan bahwa penerimaan diri dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya mampu menerima diri, mengembangkan
potensi yang dimiliki dengan optimal, menilai dirinya secara
realistis, menyesuaikan diri dengan pandangan orang lain, dan
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
413
melihat diri sendiri dari berbagai sudut pandang. Individu
yang memiliki penerimaan diri yang positif mampu melihat
dirinya dengan realistis serta menerimaa keadaannya yang
berstatus DM tipe II.
Penerimaan pasien DM tipe II terhadap status yang
dialaminya membantu pasien DM tipe II lebih positif dalam
memandang dirinya. Menurut Jersild (1978) individu dengan
taraf penerimaan diri yang rendah cenderung sulit untuk
memahami karakteristik dirinya sendiri, memiliki pandangan
yang negatif terhadap kemampuan atau potensi dirinya,
menolak keadaan yang dialaminya serta individu tersebut
kurang memiliki motivasi untuk mencapai suatu hal positif
dalam hidupnya termasuk dalam melakukan kepatuhan
menjalani diet sehubungan dengan pemulihan kadar glukosa
darah dalam tubuh. Individu yang memiliki penerimaan diri
negatif mengeluarkan respon menyangkal, depresi, mudah
marah, menarik diri dari lingkungan dan mudah putus asa
(Johnson, 1998).
Studi pendahuluan yang dilakukan pada 4 orang pasien
DM tipe II yang berusia dewasa madya didapatkan hasil
bahwa 2 subjek mengalami ketidakpatuhan menjalani diet
karena kurangnya kesadaran diri dari pasien DM tipe II serta
kurangnya perhatian. Sedangkan 2 pasien lainnya merasa
bosan dan jenuh sehingga menurunnya motivasi untuk tetap
menjaga kesehatan dan tetap menjalani diet. Hal ini dirasakan
subjek karena tidak mendapatkan dukungan sosial dari
lingkungan sekitarnya (Ayu, 2017). Selain faktor internal yang
diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, faktor eksternal
seperti dukungan sosial yang diberikan oleh tenaga kesehatan
seperti memberikan informasi yang jelas kepada pasien
tentang penyakitnya, dukungan sosialyang diberikan oleh
keluarga atau teman-teman dengan bentuk perhatian dan
memberikan nasehat yang bermanfaat bagi kesehatannya
(Smet, 1994).
Menurut Stein (dalam Niven, 2002) salah satu faktor
eksternal yang memengaruhi kepatuhan adalah dukungan
sosial. Riset yang dilakukan Taylor (dalam Smet, 1994)
menunjukkan bahwa jika terdapat kerjasama anggota keluarga
dan petugas kesehatan, kepatuhan akan menjadi lebih tinggi.
Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman
sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk
membantu memahami kepatuhan terhadap diet DM tipe II.
Dukungan sosial memberikan kontribusi besar dalam
membantu meningkatkan rasa optimisme seseorang, oleh
karena itu dukungan sosial dari orang-orang terdekat dapat
mengurangi beban psikologis pasien (Keyes, 2002). Aflakseir
dan Malekpour (2014) menjelaskan bahwa pasien dengan DM
umumnya mengalami kecemasan lebih besar jika
dibandingkan dengan pasien dengan penyakit lainnya. Maka
dari itu, dukungan sosial perlu diberikan untuk mengurangi
kecemasan tersebut. Menurut Taylor (2009) dukungan sosial
berperan dalam membantu individu untuk menetapkan diri
atau meminimalkan komplikasi yang terjadi pada suatu
penyakit. Kaniasty (2005) menjelaskan bahwa dukungan
sosial dibagi menjadi beberapa aspek, diantaranya penerimaan
dukungan, menanamkan jiwa sosial yang berkualitas dengan
orang lain, serta memiliki keyakinan dan merasakan dukungan
yang diberikan pada dirinya.
Berdasarkan pemaparan diatas, tergambar bahwa
dukungan sosial dan penerimaan diri memiliki peranan dalam
membangun kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa
madya pasien DM tipe II. Oleh karena itu, penelitian ini ingin
melihat Peran Dukungan Sosial dan Penerimaan Diri Terhadap
Kepatuhan Menjalani Diet pada Usia Dewasa Madya Pasien
Diabetes Melitus Tipe II di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah
kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia
dewasa madya, sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini
adalah dukungan sosial dan penerimaan diri pada status DM
tipe II. Definisi operasional dari masing-masing variabel
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Kepatuhan Menjalani Diet
Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku
dengan menaati peraturan sehubungan dengan pemulihan
kesehatan. Taraf kepatuhan diukur menggunakan skala
Kepatuhan Menjalani Diet. Semakin tinggi skor total yang
diperoleh, maka semakin tinggi taraf kepatuhan yang dimiliki
subjek.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang
ditujukan untuk orang lain dalam bentuk perhatian,
penghargaan, bantuan berupa informasi ataupun materi yang
dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa
disayangi, diperhatikan dan bernilai. Taraf dukungan sosial
diukur menggunakan skala Dukungan Sosial. Semakin tinggi
skor yang diperoleh, maka semakin tinggi taraf dukungan
sosial yang diterima oleh subjek.
3. Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II
Penerimaan diri pada status DM tipe II adalah sikap
positif terhadap dirinya sendiri yang mencerminkan perasaan
menerima kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya serta
mampu dan bersedia untuk hidup dengan segala karakteristik
yang ada dalam dirinya, tanpa merasakan ketidaknyamanan
terhadap dirinya sendiri. Taraf penerimaan diri diukur
menggunakan skala Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II.
Semakin tinggi skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi
taraf penerimaan diri pada status DM tipe II yang dimiliki
subjek.
D. U. S. AYU DAN M. D. LESTARI
414
Responden
Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien DM tipe II
berusia dewasa madya di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Wangaya kota Denpasar.Teknik pengambilan
sampling simple random sampling, dikatakan simple
(sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari populasi
dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam populasi (Sugiyono, 2015). Dalam menentukan sampel,
menggunakan teknik secara acak yang dilakukan
menggunakan metode undian dengan menggunakan nomor
dari daftar nama anggota dalam populasi.
Sampel dalam penelitian ini adalah individu berusia
dewasa madya yang merupakan pasien DM tipe II di RSUD
Wangaya kota Denpasar. Pasien DM tipe II yang dijadikan
sampel penelitian menggunakan taraf kesalahan 5%.
Penentuan sampel dihitung dengan menggunakan rumus.
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan rumus,
apabila populasi sampel sudah diketahui (Nursalam, 2015).
Perhitungan pengambilan sampel sebagai berikut:
𝑛 =𝑁
1 + 𝑁(𝑑)2
n = besar sampel
N = besar populasi
d = taraf kesalahan
Jumlah populasi yang digunakan adalah 103 orang,
dengan menggunakan perhitungan di atas yaitu:
𝑛 =103
1 + 103(0.0025)
=103
1.2575
= 81,90 atau 82 orang
Jadi, anggota populasi yang digunakan sebagai
sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 82 orang yang
berusia dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya
kota Denpasar.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di rumah-rumah pasien DM
tipe II yang terdaftar sebagai pasien di Rumah Sakit Umum
Daerah Wangaya Kota Denpasar.
Alat Ukur
Alat ukur penelitian ini menggunakan skala
kepatuhan menjlani diet yang disusun berdasarkan aspek-
aspek kepatuhan menjalani diet menurut Delamater (2006),
terdiri dari 15 aitem pernyataan yang tersusun atas aspek
pilihan dan keterkaitan dalam penetapan tujuan, perencanaan
perawatan, dan implementasi peraturan diet.Skala dukungan
sosial disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial
menurut Sarafino dan Smith (2011), terdiri dari 24 aitem
pernyataan yang tersusun atas aspek dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan
persahabatan. Skala penerimaan diri pada status DM tipe II
disusun berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri menurut
Supratiknya (1995) yang terdiri dari 24 aitem pernyataan,
tersusun atas aspek pembukaan diri, kesehatan psikologis, dan
penerimaan terhadap orang lain. Skala ini terdiri dari
pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif
(unfavorable)dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS).
Pada Penelitian ini dilakukan serangkaian
uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan dengan
teknik expert judgementdan dengan melihat nilai koefisien
kolerasi aitem-total sama dengan atau lebih besar daripada
0,30 biasanya dianggap sudah memadai. Apabila jumlah aitem
yang lolos masih tidak mencukupi, dapat dipertimbangkan
untuk menurunkan sedikit batas kriteria menjadi 0,25 (Azwar,
2015). Sementara itu, pengujian reliabilitas memberikan nilai
Croncbach Alpha lebih dari 0,60 (Ghozali, 2005).
Uji coba alat ukur penelitian dilakukan
untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan
digunakan untuk mengambil data penelitian yang sebenarnya.
Tahap uji coba mulai dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus
2017 sampai tanggal 15 Agustus 2017 dengan menyebarkan
kuesioner kepada 60 orang pasien DM tipe II yang berusia 40
sampai 60.
Hasil uji validitas yang dilakukan pada skala
dukungan sosial menunjukkan nilai koefisien kolerasi aitem
total berkisar antara 0,254 sampai 0,748. Hasil uji reliabilitas
pada skala dukungan sosial menunjukkan koefisien Alpha (α)
sebesar 0,892, nilai ini memiliki arti bahwa skala dukungan
sosial mampu mencerminkan 89,2%variasi skor murni subjek.
Hasil uji validitas yang dilakukan pada skala penerimaan diri
pada status DM tipe II menunjukkan nilai koefisien kolerasi
aitem total berkisar antara 0,301 sampai 0,682. Hasil uji
reliabilitas pada skala penerimaan diri pada status DM tipe II
menunjukkan koefisien Alpha (α) sebesar 0,895, nilai ini
memiliki arti bahwa skala penerimaan diri pada status DM tipe
II mampu mencerminkan 89,5%variasi skor murni subjek.
Sementara itu, hasil uji validitas yang dilakukan pada skala
kepatuhan menjalani diet menunjukkan nilai koefisien kolerasi
aitem total berkisar antara 0,380 sampai 0,706. Hasil uji
reliabilitas pada skala kepatuhan menjalani diet menunjukkan
koefisien Alpha (α) sebesar 0,873, nilai ini memiliki arti
bahwa skala penerimaan diri pada status DM tipe II mampu
mencerminkan 87,3%variasi skor murni subjek.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan sebelum melakukan
uji hipotesis untuk memastikan data penelitian yang diperoleh
dapat diolah, maka dilakukan uji asumsi yang terdiri dari uji
normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas dan uji
heteroskedastisitas. Uji normalitas pada penelitian ini
menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, uji linearitas
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
415
dilakukan dengan menggunakan uji Compare Means, uji
multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai Variance
Inflation Factor (VIF) dan nilai Tolerance, sedangkan uji
heteroskedastisitas dilakukan dengaan menggunakan uji
Glejser. Setelah melakukan uji asumsi, data penelitian
dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi
berganda untuk menguji hipotesis mayor dan hipotesis minor
dengan menggunakan bantuan program SPSS 23.0 for
Windows.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik
yaitu individu dengan DM tipe II berdasarkan diagnosis
dokter, dewasa madya yang berusia 40 sampai 60 tahun,
mengalami DM tipe II minimal 1 tahun, karena setelah 1 tahun
pasien telah mengalami dan merasakan perubahan atau
keluhan fisik dan psikis selama mengalami DM tipe II, dan
merupakan pasien di RSUD Wangaya kota Denpasar.
Deskripsi Data Penelitian
Hasil deskripsi statistik data penelitian yaitu
dukungan sosial, penerimaan diri pada status DM tipe II dan
kepatuhan menjalani diet dirangkum dalam tabel 1.
Hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1
menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial memiliki mean
teoretis sebesar 60 dan mean empiris 71,05 dengan perbedaan
sebesar 11,05. Hal ini menandakan bahwa subjek pada
penelitian ini memiliki taraf dukungan sosial yang tinggi
karena mean empiris lebih besar daripada mean teoretis
(71,05>60). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam
penelitian ini menghasilkan rentang 56 sampai dengan 84.
Hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1
menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri pada status DM
tipe II memiliki mean teoretis sebesar 60 dan mean empiris
73,05 dengan perbedaan sebesar 13,05. Hal ini menandakan
bahwa subjek pada penelitian ini memiliki taraf penerimaan
diri pada status DM tipe II yang tinggi karena mean empiris
lebih besar daripada mean teoretis (73,05>60). Berdasarkan
penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini
menghasilkan rentang 60 sampai dengan 86.
Hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1
menunjukkan bahwa variabel penerimaan diri pada status DM
tipe II memiliki mean teoretis sebesar 60 dan mean empiris
73,05 dengan perbedaan sebesar 13,05. Hal ini menandakan
bahwa subjek pada penelitian ini memiliki taraf penerimaan
diri pada status DM tipe II yang tinggi karena mean empiris
lebih besar daripada mean teoretis (73,05>60). Berdasarkan
penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini
menghasilkan rentang 60 sampai dengan 86.
Uji asumsi
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah
distribusi sebuah data yang didapatkan berdistribusi normal
atau tidak. Pengujian normalitas data dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik Kolmogorov-Smirnov.Berdasarkan
hasil uji normalitas, nilai signifikansi ketiga variabel diatas
berdistribusi normal karena variabel dukungan sosial memiliki
signifikansi 0,929, variabel penerimaan diri pada status DM
tipe II memiliki signifikansi 0,886, dan variabel kepatuhan
menjalani diet memiliki signifikansi 0,432. Maka dari itu,
dapat disimpulkan bahwa p>0,05 dan dapat dinyatakan bahwa
data berdistribusi normal.
Uji linieritas dilakukan dengan melihat compare
mean lalu menggunakan test of linearity, dimana digunakan
untuk melihat nilai signifikan linieritas. Data dapat dikatakan
memiliki hubungan yang linier apabila nilai signifikansi (p)
pada linearity< 0,05 dan nilai signifikansi pada deviation from
linearity> 0,05.
Berdasarkan hasil uji linearitas pada tabel 2, variabel
kepatuhan menjalani diet dengan variabel dukungan sosial
memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) dan nilai
signifikansi pada kolom deviation from linearity menunjukkan
angka 0,224 (p>0,05). Variabel kepatuhan menjalani diet
dengan penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki nilai
signifikansi 0,000 (p<0,05) dan nilai signifikansi pada kolom
deviation from linearity menunjukkan angka 0,242 (p>0,05).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang linier antara kepatuhan menjalani diet dengan dukungan
sosial dan kepatuhan menjalani diet dengan penerimaan diri
pada status DM tipe II.
Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat Nilai
Tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi
(VIF = 1/Tolerance). Jika nilai VIF 10 dan nilai Tolerance
0,1, maka dinyatakan tidak terjadi multikolinearitas.
Hasil uji multikolinearitas yang ditunjukkan pada
tabel 3 menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial dan
D. U. S. AYU DAN M. D. LESTARI
416
penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki nilai
tolerance sebesar 0,565 0,1 dan nilai VIF sebesar 1,770
10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
multikolinearitas.
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi
yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak
heteroskedastisitas(Gozhali, 2005).Jika nilai signifikansinya
(p)>0,05maka tidak terjadi heterokedastisitas.
Hasil heteroskedastisitas data penelitian yang
ditunjukkan pada tabel 4, dapat dilihat nilai signifikansi pada
variabel dukungan sosial sebesar 0,292 dan variabel
penerimaan diri pada status DM tipe II memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,096 (p > 0,05). Jadi dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi
dalam penelitian ini.
Berdasarkan uji-uji asumsi yang sudah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa data-data dalam penelitian ini
memiliki distribusi normal, memiliki hubungan yang linier,
tidak terjadi multikolinieritas, dan tidak terjadi
heteroskedastisitas, sehingga uji hipotesis dengan
menggunakan regresi berganda dapat dilakukan.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunkan metode analisis regresi berganda untuk
pembuktian hipotesis mayor dan hipotesis minor. Hasil uji
regresi berganda data penelitian dapat dilihat pada tabel 5,6,
dan 7.
Berdasarkan tabel 5, dapat dilihat bahwa nilai R yang
merupakan koefisien regresi sebesar 0,535 dan nilai adjusted
R square (R2)yang merupakan nilai koefisien determinasi
sebesar 0,268.Nilai adjusted R square (R2)memiliki arti yaitu
dukungan sosial dan penerimaan diri secara bersama-sama
berperanterhadap kepatuhan menjalani diet sebesar 26,8%,
sedangkan sisanya sebesar 73,2% ditentukan oleh faktor-
faktor lain diluar variabel dukungan sosial dan penerimaan diri
pada status DM tipe II.
Nilai signifikansi F yang dihasilkan dari uji regresi
dapat dilihat pada tabel 6 yaitu sebesar 0,000 (p<0,05).Hal ini
menunjukkan bahwa model regresi dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk memprediksi variabel tergantung yaitu
kepatuhan menjalani diet. Berdasarkan hasil yang didapatkan,
maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dan
penerimaan diri pada status DM tipe II secara bersama-sama
berperan secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet.
Berdasarkan tabel 7, didapatkan hasil yaitu sebagai
berikut:
a. Nilai koefisien beta (standardized coefficients
beta) pada variabel dukungan sosial sebesar
0,260, nilai t sebesar 2,056, dan signifikansi
sebesar 0,043 (p<0,05), sehingga variabel
dukungan sosial berpengaruh secara signifikan
terhadap kepatuhan menjalani diet.
b. Nilai koefisien beta (standardized coefficients
beta) pada variabel penerimaan diri pada status
DM tipe II sebesar 0,326, nilai t sebesar 2,580,
dan signifikansi sebesar 0,012 (p<0,05),
sehingga variabel penerimaan diri pada status
DM tipe II berperan secara signifikan terhadap
kepatuhan menjalani diet.
c. Hasil uji regresi berganda pada tabel dapat
memprediksi kepatuhan menjalani diet dari
masing-masing subjek penelitian dengan melihat
persamaan garis regresi sebagai berikut:
Y = 10,467 + 0,205X1 + 0,246X2
Keterangan:
Y : Kepatuhan menjalani diet
X1 : Dukungan sosial
X2 : Penerimaan diri pada status DM tipe II
Rumus diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Konstanta sebesar 10,467 menunjukkan bahwa
jika tidak ada penambahan atau peningkatan skor
pada dukungan sosial dan penerimaan diri pada
status DM tipe II, maka nilai kepatuhan
menjalani diet yang dihasilkan adalah sebesar
10,467.
2) Koefisien regresi X1 sebesar 0,205 menunjukkan
bahwa setiap penambahan nilai dari dukungan
sosial, maka akan meningkatkan nilai kepatuhan
menjalani diet sebesar 0,205 satuan.
3) Koefisien X2 sebesar 0,246 menunjukkan bahwa
setiap penambahan satuan nilai dari penerimaan
diri pada status DM tipe II, maka akan
meningkatkan nilai kepatuhan menjalani diet
sebesar 0,246 satuan.
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
417
Berdasarkan hasil uji regresi berganda yang telah didapatkan,
maka rangkuman hasil uji hipotesis mayor dan hipotesis minor
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8.
Analisis Tambahan
Analisis tambahan dilakukan peneliti untuk
memperkaya hasil dari penelitian ini. Terdapat dua analisis
tambahan yang akan dilakukan yaitu uji komparasi dengan
independent sample t-test yang dilakukanuntuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan kepatuhan menjalani diet pada
pasien DM tipe II yang berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan serta uji komparasi dengan Kruskall-Wallis yang
dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
kepatuhan menjalani diet berdasarkan pendidikan.
Analisis tambahan tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan karakteristik subjek selain jenis kelamin, karena
karakteristik lain dari subjek seperti usia, pendidikan,
pekerjaan, jumlah tanggungan, pengeluaran per bulan, status
jaminan kesehatan, aktivitas olahraga serta jangka waktu
terdiagnosa DM tipe II tidak memenuhi syarat untuk
dilakukan uji komparasi dengan menggunakan independent
sample t-test maupun dengan uji anova.Menurut Sudijono
(2012),jika jumlah sampel yang akan dibandingkan pada
masing-masing karakteristik subjek tidak berada dalam satu
kategori yang sama, maka uji komparasi hanya dapat
dilakukan apabila dua atau lebih sampel yang akan
dibandingkan sama-sama dikategorikan sebagai sampel yang
berukuran kecil (N<30) atau sama-sama merupakan sampel
yang berukuran besar (N>30).
Berdasarkan uji independent sample t-test, sikap
terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II
yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak
dinyatakan memiliki perbedaaan apabila nilai signifikansi (p)
pada tabel t <0,05. Hasil uji independent sample t-test telah
dirangkum dalam tabel 9.
Berdasarkan tabel 9, dapat dilihat nilai signifikansi
pada tabelLevene's test for equality of variancesvariabel
kepatuhan menjalani diet adalah 0,974 (p >0,05) yang berarti
data kepatuhan menjalani diet subjek penelitian bersifat
homogen, sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan uji t-test
independen. Nilai signifikansi variabel kepatuhan menjalani
diet pada kolom t-testfor equality of means adalah 0,630 (p
>0,05), yang berarti tidak terdapat perbedaan kepatuhan
menjalani diet pada pasien berjenis laki-laki dan perempuan.
Analisis tambahan lainnya yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu untuk menguji kepatuhan menjalani diet
berdasarkan pendidikan terakhir pasien DM tipe II dengan
menggunakkan ujiKruskall-Wallis. Berdasarkan pendidikan
terakhir subjek penelitian dibagi menjadi 5, yaitu pendidikan
SD, SMA, Diploma, S1 dan S2. Dasar pengambilan keputusan
dalam penelitian ini adalah berdasarkan nilai probabilitas
(Sig.), jika nilai probabilitas (Sig.) > 0,05, maka H0 diterima.
Sedangkan jika nilai probabilitas (Sig.) < 0,05, maka H0
ditolak.Rangkuman hasil uji Kruskal-Wallistelah dirangkum
dalam tabel 10.
Berdasarkan tabel 10, dapat dilihat bahwa hasil
ujiKruskal-Wallismenunjukkan nilai Chi-Square 3,133 dan
signifikansi 0,536 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat
perbedaan kepatuhan menjalani diet berdasarkan pendidikan
terakhir pasien DM tipe II yang berusia dewasa madya di
RSUD Wangaya kota Denpasar.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji regresi
berganda yang dilakukan, dapat diketahui bahwa hipotesis
mayor penelitian yaitu dukungan sosial dan penerimaan diri
pada status DM tipe II berperan secara signifikan terhadap
kepatuhan menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM
tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar dapat diterima. Hal
ini dapat dilihat dari koefisien R pada hasil uji regresi adalah
sebesar 0,535 (tabel 5), dan nilai signifikansi uji F adalah
0,000 (tabel 6) yang menunjukkan bahwa dukungan sosial dan
penerimaan diri pada status DM tipe II bersama-sama
berperan secara signifikan terhadap kepatuhan menjalani diet.
Koefisien determinasi sebesar 0,268 menunjukkan bahwa
secara bersama-sama dukungan sosial dan penerimaan diri
pada status DM tipe II memiliki peran yang signifikan sebesar
26,8% (tabel 5) terhadap kepatuhan menjalani diet. Hal ini
menunjukkan bahwa kepatuhan menjalani diet pada usia
dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota
Denpasar dipengaruhi sebesar 26,8% oleh dukungan sosial
dan penerimaan diri pada status DM tipe II. Sementara itu
73,2% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain selain dukungan
sosial dan penerimaan diri pada status DM tipe II.
Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor pengetahuan,
sikap, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, health
locus of control, efikasi diri, dan strategi koping berperan
D. U. S. AYU DAN M. D. LESTARI
418
dalam kepatuhan menjalani diet pasien DM tipe II (Raharjo,
2015; Notoatmodjo, 2003; Pratita, 2012; Pertiwi, 2015). Pada
penelitian ini didapatkan pula data deskriptif tambahan
mengenai jenis kelamin, status, usia subjek, pendidikan
terakhir, pekerjaan, jangka waktu terdiagnosa DM tipe II,
jumlah tanggungan, pengeluaran per bulan, status jaminan
kesehatan, dan aktivitas olahraga. Dalam penelitian ini hanya
beberapa dari data deskriptif yang dapat dianalisis lebih lanjut
diantaranya jenis kelamin dan pendidikan terkahir subjek.
Kepatuhan menjalani diet dalam penelitian ini dipengaruhi
oleh faktor dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga,
teman maupun petugas kesehatan (Niven, 2002). Selain faktor
dukungan sosial, pasien DM tipe II dipengaruhi oleh adanya
penerimaan diri yang tinggi sehingga pasien DM tipe II
mampu menyesuaikan diri terhadap penyakitnya serta patuh
dengan diet yang dijalani. Hurlock (1974) menyatakan
penerimaan diri menjadi salah satu faktor penting yang
berperan terhadap kebahagiaan individu sehingga akan
mampu memiliki penyesuaian diri yang baik.
1. Hipotesis Minor I : Dukungan Sosial Berperan
Secara Signifikan Terhadap Kepatuhan Menjalani Diet
pada Pasien DM Tipe II Berusia Dewasa Madya di RSUD
Wangaya Kota Denpasar
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
dapat diketahui bahwa dukungan sosialmemiliki pengaruh
yang signifikanterhadap kepatuhan menjalani diet pada usia
dewasa madya pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota
Denpasar.Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar
0,043 (tabel 33) (p<0,05) yangmenunjukkan bahwadukungan
sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan
menjalani diet, artinya semakin positif dukungan sosial yang
didapatkan oleh pasien DM tipe II semakin tinggi kepatuhan
diet yang dijalankan oleh pasien. Hasil penelitian sejalan
dengan teori menurutNiven (2002) yang menyatakan bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan menjalani diet
salah satunya adalah adanya dukungan sosial dalam bentuk
emosional, waktu, uang yang diberikan oleh teman-teman di
sekitar individu merupakan faktor penting untuk
meningkatkan kepatuhan.Dukungan dari teman-teman dapat
membantu mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh
penyakit tertentu, pasien dapat menghilangkan godaan pada
ketidakpatuhan dan dapat menjadi kelompok pendukung untuk
mencapai perilaku kepatuhan.Sarafino dan Smith (2011)
menyatakan bahwa dukungan sosial dapat memberikan
kenyamanan,perhatian serta penghargaan yang diterima
individu dari invidu lain ataupun dari kelompok.
Dukungan sosial selalu diharapkan agar kondisi pasien
semakin membaik karena dengan adanya dukungan sosial
pasien cenderung patuh dengan aturan diet yang dianjurkan
oleh tenaga kesehatan. Pasien akan merasakan kualitas
kesehatan maupun kualitas hidup yang meningkat pada saat
patuh menjalani diet. Apabila makan dan minum dijaga, akan
terhindar dari berbagai macam komplikasipenyakit yang
hanya akan memperparah dan memperburuk keadaan pasien
serta meminimalisir adanya gangguan kesehatan lainnya
(Ismansyah dan Ernawati, 2014). Dukungan sosial memiliki
kontribusi yang sangat besar bagi pasien DM tipe II pada usia
dewasa madya, seperti penelitian dari Laila (2016) diperoleh
hasil bahwa pasien DM tipe II tertinggi pada usia 40 sampai
60 tahun. Menurut Hurlock (1980) usia dewasa madya adalah
usia setengah baya dalam terminologi kronologis yaitu pada
umumnya berkisar 40 sampai 60 tahun. Dewasa madya
menurut Santrock (2002) ditandai dengan terjadinya
perubahan jasmani dan mental, penurunan kekuatan fisik serta
penurunan daya ingat. Pada usia dewasa madya ini pula,
rentang usia tersebut tergolong dalam usia produktif.
Penelitian lain menyatakan bahwa dukungan sosial
dapat diberikan oleh orang-orang terdekat seperti keluarga
yaitu suami atau istri, dan anak dari pasien DM tipe II. Dalam
hal ini pemberi dukungan sosial untuk pasien DM tipe II
berasal dari suami atau istri, anak, menantu, cucu, saudara
maupun hubungan kekerabatan lainnya (Yuliawati &
Handadari, 2013). Keefektifan dukungan sosial menurut
penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Prilleltensky
(2005) terhadap kepatuhan menjalani diet disebabkan oleh
adanya kontak interpersonal yang terjadi dapat meningkatkan
tingkah laku dan pola hidup sehat akibat akumulasi efek
positif dari pengalaman interpersonal yang baik. Menurut
Gurung (dalam Pertiwi, 2015) dukungan sosial juga penting
untuk meningkatkan kepatuhan. Kurangnya dukungan sosial
dapat meningkatkan dampak kehidupan sehari-hari dan
memungkinkan kurangnya perawatan diri, termasuk
kepatuhan.
2. Hipotesis Minor II : Penerimaan Diri pada Status
DM Tipe II Berperan Secara Signifikan Terhadap
Kepatuhan Menjalani Diet pada Pasien DM Tipe II
Berusia Dewasa Madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
dapat diketahui bahwa penerimaan diri pada status DM tipe II
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan
menjalani diet pada usia dewasa madya pasien DM tipe II di
RSUD Wangaya kota Denpasar. Hal ini dapat dilihat dari nilai
signifikansi sebesar 0,012 (tabel 33) (p<0,05) yang
menunjukkan bahwa penerimaan diri pada status DM tipe II
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan
menjalani diet. Penerimaan diri merupakan salah satu aspek
penting yang harus ada di dalam diri pasien DM tipe II.
Hurlock (1974) menyatakan bahwa penerimaan diri
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya mampu
menerima diri, mengembangkan potensi yang dimiliki dengan
optimal, menilai dirinya secara realistis, menyesuaikan diri
dengan pandangan orang lain serta melihat diri sendiri dari
berbagai sudut pandang. Individu yang dapat menerima diri
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
419
akan mempunyai pandangan yang positif terhadap apa yang
ada dalam dirinya (Hjelle & Zeigler, 1992)
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Indriasari (2006) yaitu hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri
terhadap kepatuhan pasien DM tipe II. Pasien DM tipe II
paling tinggi pada usia dewasa madya yaitu usia 40 hingga 60
tahun, dimana salah satu perubahan-perubahan yang
dialaminya adalah penurunan fungsi fisik, perubahan dalam
kemampuan indera, perubahan pada kesehatan, dan
keberfungsian fisik (Hurlock, 1980). Hal ini sejalan dengan
teori dari Sari (2012) yang menyatakan bahwa pasien DM tipe
II mengalami gejala yaitu pandangan mata kabur, mati rasa
atau rasa sakit pada tubuh bagian bawah dan berat badan
berlebih. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya DM tipe
II yaitu usia, DM tipe II terjadi pada saat usia dewasa karena
intoleransi glukosa yang berlangsunglambat (selama bertahun-
tahun) dapat progresif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Kenaikan kadar glukosa darah tampak berhubungan
dengan usia pada laki-laki ataupun perempuan yang
frekuensinya meningkat bersamaan dengan pertambahan
usia(Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Christanty (2013) individu yang memahami,
menerima semua aspek diri dan memiliki pikiran positif yang
tinggi merupakan cerminan individu yang memiliki
penerimaan diri yang baik.Hasil penelitian tersebut didukung
oleh Germer (2009) yang menyatakan bahwa orang yang
menerima dirinya adalah orang yang sadar bahwa dirinya
mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada
pada dirinya dari waktu ke waktu.
3. Pembahasan Deskripsi Statistik dan Kategorisasi
Data Variabel Dukungan Sosial
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan kategori pada
data variabel dukungan sosial dapat diketahui bahwa
mayoritas subjek yang memiliki taraf dukungan sosial yang
tinggi yaitu sebanyak62 orang atau 76% dari keseluruhan
subjek. Hal ini menandakan bahwa mayoritas pasien DM tipe
II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya kota
Denpasar memiliki dukungan sosial yang positif. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Utami (2013) bahwa
ada hubungan positif dan searah antara dukungan sosial
dengan penerimaan diri. Sehingga dukungan sosial perlu
diberikan untuk meningkatkan penerimaan diri individu dalam
menjalani kehidupannya. Dukungan sosial yang diberikan
kepada pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota Denpasar
berasal dari keluarga, teman atau kerabat dekat pasien dan
tenaga kesehatan. Sejalan denganSarafino dan Smith (2011)
yang mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diperoleh dari
berbagai sumber yang berbeda, yaitu suami atau istri,
keluarga, rekan kerja, dokter, ataupun komunitas organisasi.
Jika pasien mendapatkan dukungan dari orang yang dekat
dengannya, maka dukungan tersebut akan lebih bermakna dan
sangat membantu dalam mencapai kepatuhan menjalani diet.
Pasien DM tipe II yang memiliki dukungan sosial yang
tinggi akan memiliki efek terhadap kesehatan dan
kesejahteraan pasien. Setiadi (2008) menyatakan efek dari
dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan
berfungsi secara bersamaan. Keberadaan dukungan sosial
yang adekuat berhubungan dengan menurunnya mortalitas,
lebih mudah patuh dalam menjalani perawatan, fungsi
kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Sedangkan Arsana (2012)
menjelaskan dukungan sosial keluarga dalam hal diet
bermanfaat dapat mengontrol jumlah makanan serta jam
makan. Pasien DM tipe II menjadi termotivasi untuk
menjalankan perawatan akibat adanya dukungan sosial yang
membuat pasien merasa nyaman dan tentram untuk menjalani
diet DM tipe II. Dukungan sosial menurut Sarafino dan Smith
(2011) mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan,
atau bantuan yang diberikan oleh orang lain atau kelompok
kepada individu. Dengan demikian, pasien yang mendapatkan
dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dapat diterima
oleh lingkungan dan sosial.Dukungan sosial sangat berkaitan
dengan pemberi dukungan sosial, pasien DM tipe II akan
menerima dukungan yang berarti dari orang-orang yang
memberikan kepercayaan baginya. Pasien DM tipe II akan
menerima dukungan, apabila dukungan tersebut bermanfaat
bagi dirinya, faktor lainnya adalah seberapa lama dan seberapa
kapasitas dukungan yang diberikan untuk pasien DM tipe II
selama suatu periode tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat
Cohen dan Syme (dalam Ika, 2008) menyatakan terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi dukungan sosial yaitu
pemberi dukungan sosial, jenis dukungan sosial, penerima
dukungan, dan lamanya pemberian dukungan. Jadi, dapat
dikatakan bahwa pasien DM tipe II di RSUD Wangaya kota
Denpasar memiliki dukungan sosial yang tinggi dan mampu
mempertahankan dukungan yang diperoleh sehingga mampu
berdampak positif bagi dirinya.
4. Pembahasan Deskripsi Statistik dan Kategorisasi
Data Variabel Penerimaan Diri pada Status DM Tipe II
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan kategorisasi
data variabel penerimaan diri pada status DM tipe II dapat
diketahui bahwa penerimaan diri pada status DM tipe II pasien
DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya
kota Denpasar tergolong tinggi yaitu sebanyak 55 orang atau
67% dari keseluruhan subjek dalam penelitian. Hal ini
menandakan bahwa pasien DM tipe II yang berusia dewasa
madya di RSUD Wangaya kota Denpasar memiliki
penerimaan diri pada status DM tipe II yang positif. Hasil ini
menguatkan pendapat Willi (dalam Destiani, 2008) yang
menyatakan bahwa penerimaan diri yang tinggi akan
memberikan sumbangan positif pada kesehatan mental.
Artinya ketika pasien DM tipe II mempunyai penerimaan diri
yang tinggi, maka akan dapat memiliki kesehatan mental yang
D. U. S. AYU DAN M. D. LESTARI
420
baik dan dapat memicu semangat untuk patuh terhadap diet
yang diajalani.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan tercapainya
penerimaan diri bagi pasien DM tipe II yaitu kesehatan
psikologis, kesehatan fisik dan pendidikan. Menurut
Supratiknya (1995) individu yang memiliki kesehatan
psikologis yang baik akan memiliki perasaan positif terhadap
dirinya sendiri seperti bahagia, memandang dirinya mampu,
disenangi orang lain, dan diterima orang lain. Faktor lainnya
yang memengaruhi penerimaan diri adalah kesehatan fisik, hal
tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek melakukan
aktivitas olahraga untuk tetap mengontrol gula dalam tubuh
dan memicu kerja organ tubuh dengan baik. Menurut Schlutz
(dalam Izzati & Waluya 1996) mengatakan bahwa penerimaan
diri memiliki hubungan yang erat dengan tingkat fisiologis
seperti kelancaran kerja organ individu dan aktifitas dasar,
seperti makan, minum, istirahat dan kehidupan seksual.
Kategorisasi data penerimaan diri pada status DM tipe II
dalam penelitian ini tergolong tinggi, dengan subjek pasien
DM tipe II usia dewasa madya yang mayoritas memiliki
pendidikan terakhir sekolah menengah atas sehingga memiliki
kemampuan pemahaman yang tinggi terkait kepatuhan
menjalani diet. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sari dan Nuryoto (2002) mengatakan bahwa faktor yang
memengaruhi penerimaan diri adalah pendidikan. Pasien DM
tipe II berusia dewasa madya yang berpendidikan tinggi akan
memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula dalam
memandang, memahami keadaan dirinya dan segera mencari
upaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang sedang
dialaminya.Jadi, pasien DM tipe II yang memiliki penerimaan
diri yang baik tahu kemampuan yang dimilikinya dan dapat
mengatasi cara untuk mengelolanya.
5. Pembahasan Deskripsi Statistik dan Kategorisasi
Data Variabel Kepatuhan Menjalani Diet
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan kategorisasi
pada data variabel kepatuhan menjalani diet dapat diketahui
bahwa tingkat kepatuhan menjalani diet pada mayoritas pasien
DM tipe II yang berusia dewasa madya di RSUD Wangaya
kota Denpasar tergolong tinggi yaitu sebanyak 50 orang atau
60% dari keseluruhan subjek dalam penelitian. Hal ini
menandakan bahwa pasien DM tipe II yang berusia dewasa
madya di RSUD Wangaya kota Denpasar mengarah pada
perilaku kepatuhan menjalani diet yang positif.
Menurut Green (dalam Notoatmodjo, 2003) kepatuhan
merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak
mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan.Hasil
penelitian dari Susanti & Sulistyarini (2013) didapatkan
kepatuhan diet yang dilakukan pasien adalah patuh, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang memengaruhi
kepatuhan yaitu dukungan tenaga kesehatan. Terdapat cara-
cara untuk meningkatkan kepatuhan yaitu menjaga
komunikasi dengan tenaga kesehatan, mendapatkan informasi
yang jelas mengenai penyakit DM tipe II sehingga pasien
memahami instruksi dari tenaga kesehatan, serta memberikan
dukungan sosial dalam bentuk perhatian dan nasehat yang
bermanfaat untuk pasien DM tipe II (Smet, 1994). Pertiwi
(2015) menyatakan faktor penting lainnya yang memengaruhi
kepatuhan menjalani diet adalah efikasi diri. Pasien yang
memiliki keyakinan dengan dirinya dapat mematuhi
pengobatan yang kompleks sehingga pasien akan lebih mudah
melakukannya (Smet, 1994).
6. Pembahasan Analisis Tambahan
Pada analisis tambahan yang yang dilakukan dengan
menggunakan uji independent sample t-test pada variabel
kepatuhan menjalani diet dengan variabel jenis kelamin
diperoleh hasil yaitu tidak terdapat perbedaan kepatuhan
menjalani diet antara pasien DM tipe II yang berjenis kelamin
laki-laki dengan pasien DM tipe II yang berjenis kelamin
perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kusumawati (2015) bila ditinjau dari jenis kelamin tidak
memberikan perbedaan yang berarti pada tingkat kepatuhan
menjalani diet pasien DM tipe II. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Jelantik dan Haryati (2014)
bahwa tidak terbukti ada hubungan yang bermakna antara
jenis kelamin dengan kejadian DM tipe II.
Hasil analisis tambahan lainnya dengan menggunakan
uji Kruskal Wallis pada variabel kepatuhan menjalani diet
terhadap pendidikan terakhir pasien DM tipe II diketahui
bahwa tidak terdapat perbedaan antara pasien DM tipe II yang
pendidikan terakhir SD, SMA, Diploma, S1 maupun S2.
Subjek dalam penelitian ini adalah mayoritas dengan
pendidikan SMA, sejalan dengan penelitian yang lakukan oleh
Yusra (2011) bahwa 40 subjek atau 33% DM tipe II
berpendidikan SMA. Penelitian yang dilakukan oleh
Kusumawati (2015) tingkat pendidikan pasien tidak
memberikan perbedaan yang signifikan pada tingkat
kepatuhan menjalani diet pada penderita DM tipe
II.Pendidikan atau tingkat pengetahuan ditentukan pula oleh
keyakinan seseorang terhadap adanya bentuk dukungan
terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari
pengetahuan,dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif
akan membentuk cara berpikir seseorang termasuk
kemampuan memahami faktor-faktor yang berhubungan
dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang
kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya (Susanti &
Sulistyarini, 2013).
Keterbatasan pada penelitian ini antara lain yaitu
beberapa subjek dalam penelitian ini kurang memahami
maksud dari kuesioner sehingga peneliti harus membacakan
kuesioner kepada subjek dan terdapat beberapa subjek yang
mengalami kelelahan karena aitem yang terdapat dalam
kuesioner penelitian ini terlalu banyak serta kepatuhan
menjalani diet dalam penelitian ini hanya diukur dengan
menggunakan kuesioner berupa skala yang mengandung
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
421
sebuah pernyataan, sehingga tidak bersifat objektif karena
tidak dapat mengukur kepatuhan menjalani diet secara
langsung.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat
ditarik kesimpulan yaitu dukungan sosial dan penerimaan diri
pada status DM tipe II secara bersama-sama berperan terhadap
kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia
dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar, dukungan
sosial berperan terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien
DM tipe II berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota
Denpasar, penerimaan diri pada status DM tipe II berperan
terhadap kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II
berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar,
kepatuhan menjalani diet pada pasien DM tipe II berusia
dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar tergolong
tinggi, dukungan sosial pada pasien DM tipe II berusia dewasa
madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar tergolong tinggi,
penerimaan diri pada status DM tipe II pada pasien DM tipe II
berusia dewasa madya di RSUD Wangaya Kota Denpasar
tergolong tinggi, dan tidak ada perbedaan taraf kepatuhan
menjalani diet berdasarkan jenis kelamin dan pendidikan
terakhir pada pasien DM tipe II berusia dewasa madya di
RSUD Wangaya Kota Denpasar.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka
beberapa sarang yang dapat diberikan bagi pasien DM tipe II
berusia dewasa madya yaitu meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman terkait penyakit DM tipe II dengan mencari
informasi dari berbagai sumber yang adekuat, sehingga pasien
tetap mempertahankan kepatuhan dalam menjalani diet serta
mampu mempertahankan dukungan sosial yang diperoleh dan
mengembangkan penerimaan diri pada status DM tipe II,
Pasien DM tipe II diharapkan mampu mempertahankan faktor
eksternal yang diperoleh yaitu dukungan sosial yang diberikan
oleh keluarga, teman, dan tenaga kesehatan agar tetap tinggi
dengan cara terus menerima bantuan perawatan, nasehat
positif dan kasih sayang yang diberikan agar tetap memiliki
makna yang berarti bagi pasien DM tipe II sehingga memiliki
pengaruh pada kepatuhan dalam menjalani diet, dan pasien
DM tipe II juga diharapkan dapat mempertahankan
penerimaan diri yang sudah tinggi dengan cara terus
membangun harapan yang realistis terkait kondisi yang
dialami, melakukan pembukaan diri, memiliki kesehatan
psikologis yang baik, selalu memiliki perspektif yang positif
dalam diri dan memiliki konsep diri yang stabil sehingga
mampu melihat diri dalam suatu cara yang menyenangkan.
Hal ini akan membuat pasien DM tipe II mampu melihat
kondisinya dalam keadaan yang sama untuk menjalani diet
yang dijalankan dalam jangka waktu yang panjang.
Saran bagi keluarga pasien DM tipe II yaitu keluarga
diharapkan mempertahankan sumber eksternal dukungan
sosial yang diberikan kepada pasien DM tipe II,kapasitas
dukungan sosial harus diberikan secara konsisten agar
pasientetap termotivasi untuk patuh terhadap diet yang
dijalankan sehingga glukosa dalam darah tetap normal serta
tidak mengalami komplikasi penyakit lain, serta keluarga
diharapkan mampu mempertahankan penerimaan diri yang
dimiliki pasien DM tipe II dengan menjaga kondisi
lingkungan agar pasien terhindar dari stres, sehingga pasien
akan mampu mempertahankan kepatuhan menjalani diet
secara berkelanjutan.
Saran bagi tenaga kesehatan yaitu diharapkan agar
mempertahankan dukungan sosial yang diberikan kepada
pasien DM tipe II dalam bentuk perhatian, nasehat serta
informasi yang jelas terkait penyakit dan diet DM tipe II yang
harus dijalankan pasien secara berkelanjutan sehingga pasien
DM tipe II mampu mempertahankan kepatuhan menjalani
diet, serta tenaga kesehatan diharapkan mampu meningkatkan
perannya sebagai counselor yang membantu pasien untuk
selalu bersahabat dengan penyakit DM tipe II dan proses
pengobatan yang dijalani dalam jangka waktu yang panjang.
Tenaga kesehatan harus konsisten memberikan pendidikan
kesehatan untuk meningkatan kepatuhan menjalani diet dan
pasien tetap mempertahankan penerimaan diri terhadap status
DM tipe II.
Saran bagi peneliti selanjutnya yaitu dapat membuat
aitem dengan jumlah yang lebih sedikit untuk pasien DM tipe
II berusia dewasa madya atau menyesuaikan dengan kondisi
subjek agar pasien tidak mudah mengalami kelelahan pada
saat mengisi kuesioner, peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian mengenai kepatuhan menjalani
diet dengan menggunakan metode penelitian lainnya agar
dapat mengukur atau mengetahui kepatuhan menjalani diet
secara lebih mendalam, dapat melakukan penelitian mengenai
kepatuhan menjalani diet dengan menggunakan faktor lain
yang mungkin memengaruhi kepatuhan menjalani diet dengan
cara menambah jumlah variabel bebas penelitian untuk
mendapatkan hasil yang lebih luas dan mendalam dan dalam
penelitian ini hanya memungkinkan analisa deskriptif pada
karakteristik subjek yaitu jenis kelamin dan pendidikan.
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan uji lanjutan
dari penelitian ini yang bertujuan untuk melihat kontribusi dari
faktor jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah
tanggungan, pengeluaran per bulan, status jaminan kesehatan,
aktivitas olahraga, dan rentang waktu terdiagnosa DM tipe II
terhadap kepatuhan menjalani diet.
D. U. S. AYU DAN M. D. LESTARI
422
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2006). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Alfakseir, A., & Malekpour, F. (2014). The role of self-efficacy and
social support in predicting depression symptoms in
diabetic patients . Iranian Journal of Diabetic and Obesity,
6 (3), 126-130.
Arsana, P. M. (2012). Pengaruh penyuluhan gizi terhadap kepatuhan
diet pasien diabetes mellitus dI poli gizi RSU Dr. saiful
anwar malang. Majalah Kesehatan: FKUB
Ayu, D.U.S. (2017). Studi pendahuluanjumlah pasien DM tipe II dari
tahun 2015 hingga Maret 2017. (Naskah tidak
dipublikasikan). Denpasar
Azwar,S. (2015). Penyusunan skala psikologi. Edisi Kedua.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Azzahara, N. (2016). Komplikasi diabetes melitus, Diakses tanggal
19 Oktober 2017, dari www.diabetics1.com
Bangun, A.V. (2009). Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
kepatuhan pasien tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan
di poliklinik endokrin RSHS Bandung.Tesis. Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.
Borrot, N. & Bush, R. (2008). Measuring quality of life. Australia:
The University of Queensland.
Betteng, R., Pangemanan, D., &Mayulu, N. (2014). Analisis faktor
risiko penyebab terjadinya diabetes mellitus tipe 2 pada
wanita usia produktif di puskesmas wawonasa. Jurnal e-
Biomedik, 2 (2). 404-412.
Byod, L. Physical mental & social effects of diabetes. Diakses
tanggal 19 Oktober 2017, dari www.livesrong.com
Christanty, D.A. (2013). Hubungan persepsi dukungan sosial dengan
penerimaan diri pasien penderita diabetes mellitus pasca
amputasi. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2
(2). 55-61.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2013). Data sepuluh besar penyakit
di 9 kabupaten dan kota provinsi bali. Denpasar: Dinas
Provinsi Bali.
Delamater, A.M. (2006). Improving patience adherence. Clinical
Diabetes Journal, 24 (2). 71-77.
Delianty, A.P. (2015). Hubungan antara dukungan pasangan terhadap
kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus tipe 2 di
wilayah kerja puskesmas munjul.Skripsi. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Destiani,N.W.(2008). Penerimaan diri pada mantan PSK.Tesis.
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Germer, C.K. (2009). The mindful path to self-compassion: freeing
yourself from destructive thoughts and emotions. New
York: The Guilford Press.
Gozhali,I. (2005). Aplikasi analisis multivariate dengan program
spss. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hjelle, L.A. & Ziegler, D. J. (1992). Personality theories basic
assumptions, research, and applications. Singapore:
McGraw Hill International Book Company.
Hurlock, E.B. (1974). Personality development. New Delhi:
McGraw-Hill, Inc.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan
sepanjang rentang hidup(5th ed) (I. Soedjarwo, Trans.).
Jakarta: Erlangga.
Ika, W.T. (2008). Pengaruh dukungan sosial terhadap kecemasan
penderita diabetes melitus. Skripsi. Fakultas Psikologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Indiasari. (2006). Hubungan antara penerimaan diri dengan
kepatuhan dalam menjalani pengobatan pada penderita
diabetes mellitus. Skripsi. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Ismansyah, & Ernawati, R. (2014). Hubungan dukungan keluarga
dengan kepatuhan diet diabetes melitus pada pasien
diabetes melitus tipe II. Husada Mahakam , 389-442.
Izzati, A., & Waluya, O.T. (1996). Gambaran penerimaan diri pada
penderita psoriasis. Jurnal Psikologi, 10 (2), 68-78.
Jelantik, I.M.G.,& Haryati, E.(2014). Hubungan faktor risiko umur,
jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan kejadian
diabetes mellitus tipe II di wilayah kerja puskesmas
Mataram. Media Bina Ilmiah39, 8 (1). 1978-3787.
Jersild, A.T. (1978). The psychology of adolescent. Third edition.
New York: Mac Millan.
Johnson, M. (1998). Diabetes: terapi dan pencegahannya. Bandung:
Indonesia Publishing House.
Kalat, J.W. (2010). Biopsikologi, edisi 9. Jakarta: Salemba
Humanika.
Kaniasty, K. (2005). Social support and traumatic stress. The
National Center for Post-Traumatic Stress Disorder, 16
(2). 1-8.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Keyes, C.L. (2002). The mental health continuum: From languishing
to flourishing in life. Journal of Health and Social
Research, 43 (2), 1143-1151.
Kusumawati, I. (2015). Kepatuhan menjalani diet ditinjau dari jenis
kelamin dan tingkat pendidikan pada penderita diabetes
mellitus tipe 2.Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah, Surakarta.
Laila, R.N. (2016). Hubungan antara dukungan sosial dengan
penerimaan diri pada pasien diabetes mellitus tipe
II.Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah,
Surakarta.
Ligthelm, E.J.& Wright, S.C.D. (2014). Lived experience of persons
with an amputation of the upper limb. International Journal
of Orthopaedic and Trauma Nursing, 18. 99-106.
Lopulalan, C.R. (2008). Sekilas tentang diabetes mellitus, Diakses
tanggal 10 Mei 2017, dariwww.klinikdrrocky.co.id.
Masyithah, D.(2012). Hubungan dukungan sosial dan penerimaan diri
pada penderita pasca stroke. Skripsi. Institut Agama Islam
Negeri Sunan Ampel, Surabaya.
Matyja, K.W. (2014). Adolescent personalities and their self-
acceptance within complete families, incomplete families
and reconstructed families. Polish Journal of applied
Psychology, 12 (1), 59-74.
Mertha, I. M., Wedri, N. M, Ngurah, I. G.(2015). Karakteristik
perawatan pasien diabetes mellitus di rumah sakit umum
pusat sanglah Denpasar tahun 2014. Jurnal Skala Husada,
12 (1). 45-48.
PERAN DUKUNGAN SOSIAL DAN PENERIMAAN DIRI PADA STATUS DIABETES MELITUS TIPE II TERHADAP
KEPATUHAN MENJALANI DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II BERUSIA DEWASA MADYA DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
423
Nelson, G.,& Prilleltensky, I. (2005). Community psychology: In
pursuit of liberation and well being. Hampshire: Palgrave
Macmillan.
Niven, N. (2002). Psikologi kesehatan. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta
Nursalam.(2015).Metodologi penelitian ilmu keperawatan,
Pendekatan praktis edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.
Papalia, Olds, & Feldman (2009). Human development
(perkembangan manusia). Jakarta: Salemba Medika.
Pertiwi, I.(2015). Hubungan dukungan pasangan dan efikasi diri
dengan kepatuhan menjalani pengobatan pada penderita
diabetes mellitus tipe II.Skripsi. Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Pratita, N.D. (2012). Hubungan dukungan pasangan dan health locus
of control dengan kepatuhan dalam menjalani proses
pengobatan pada penderita DM tipe 2. Jurnal
IlmiahUniversitas Surabaya, 1 (1).
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi konsep klinis
proses-proses penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC
Raharjo, A.S. (2015). Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap
dengan kepatuhan diet diabetes melitus pada penderita
diabetes melitus di desa gonilan.Skripsi. Fakultas Ilmu
Kesehatan, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Redaksi. (2008). Diabetes incar usia produktif, Diakses tanggal 16
Juni 2017, dari www.republika.co.id.
RSUD Wangaya. (2017). Profi dan Sejarah RSUD Wangaya Kota
Denpasar. Diunduh dari http://rsudwangaya.denpasar
kota.go.id/index.php/profil/124/Sejarah.
Santrock, J. (2002). Life-span development perkembangan masa
hidup. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E.P. & Smith, T.W. (2011). Health psychology:
Biopsychosocial interactions (7th ed.). Canada: John Milley
and Sons Inc.
Sari, E.P. & Nuryoto, S. (2002). Penerimaan diri pada lanjut usia
ditinjau dari kematangan emosi. Jurnal Psikologi, 2, 73-88.
Sari, R.N. (2012). Diabetes milletus. Yogyakarta: Nuha Medika
Setiadi. (2008). Konsep dan proses keperawatan keluarga.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Siregar, C. (2006). Farmasi klinik teori dan penerapan. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S.C., &Bare, B.G.(2002). Buku ajar keperawatan medikal
bedah Brunner & Suddart edisi 8 Vol.2. Jakarta: EGC.
Smet, B.(1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.
Sudijono, A. (2012). Pengantar statistik pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Sugiyono. (2015). Statistik nonparametris untuk penelitian. Bandung:
Alfabeta.
Supratiknya, A. (1995). Komunikasi antar pribadi: Tinjauan
psikologi. Yogyakarta: Kanisius.
Susanti, L.S., & Sulistyarini, T. (2013). Dukungan keluarga
meningkatkan kepatuhan diet pasien diabetes melitus di
ruang rawat inap RS. baptis Kediri. Jurnal STIKES, 6 (1),
Juli 2013.
Taylor, S. E. (2009). Health psychology sevent edition. New York:
Mc Graw Hill.
Utami, N.S. (2013). Hubungan antara dukungan sosial keluarga
dengan penerimaan diri individu yang mengalami asma.
Jurnal Psikologi Udayana, 1 (1). 12-21.
Windasari, N.N. (2015). Pendidikan kesehatan dalam meningkatkan
kepatuhan merawat kaki pada pasien DM tipe II.
Muhammadiyah Journal of Nursing , 2 (1). 79-90.
Yuliawati, A.D., & Handadari, W. (2013). Hubungan antara tingkat
stres dengan tindak kekerasan pada caregiver lansia dengan
demensia. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental,
02 (01), 48-53.
Yusra, A. (2011). Hubungan antara dukungan keluarga dengan
kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 di poliklinik
penyakit dalam rumah sakit umum pusat fatmawati jakarta.
Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia,
Jakarta.