KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh:
BAHRUL HAQ AL-AMIN
NIM: 103033227813
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H. / 2009 M.
KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh:
BAHRUL HAQ AL-AMIN
NIM: 103033227813
Dibawah Bimbingan
Pembimbing
A. Bakir Ihsan, M.Si.
NIP: 150326915
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H. / 2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 6 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. S. Bustamin, S.E. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150 289 320 NIP: 150 270 808
Anggota,
Dr. Nawiruddin, M.A. Dr. Syamsuri, M.A.
NIP: 150 317 965 NIP: 150 240 089
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjna strata 1 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Februari 2009
Bahrul Haq Al-Amin
ABSTRAK
Bahrul Haq Al-Amin
Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo
Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk
memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan
kebebasan – baik sendiri maupun bersama-sama, baik di tempat umum ataupun
tertutup – untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, yang mana kebebasan
tersebut harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Kebebasan ini merupakan hak
asasi manusia yang paling mendasar. Hal ini terlihat dalam jaminan hak asasi
manusia internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1949
dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966 PBB. Di
Indonesia, kebebasan beragama dijamin secara konstitusional oleh negara, seperti
tercantum dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 dan pasal 29 UUD 1945, juga dalam
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 tahun 2005
tentang Pengesahan atas Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik PBB.
Meskipun demikian, jaminan atas kebebasan beragama tersebut belum cukup untuk mencegah berbagai pelanggaran keebbasan beragama. Berbagai
pelanggaran tersebut muncul dalam berbagai bentuk, antara lain berupa pembatasan negara atas pengakuan status agama resmi, diskriminasi pelayanan
catatan sipil terhadap agama minoritas, pembatasan pendirian rumah ibadah, penyerangan bangunan dan fasilitas agama, serta kekerasan terhadap aliran-aliran
agama minoritas yang menyimpang.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah konsep kebebasan
beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Melalui penelitian
kepustakaan, diketahui bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup relevan
dalam membahas problem kebebasan beragama di Indonesia. M. Dawam
Rahardjo mengembalikan permasalahan tersebut ke dalam ranah falsafah negara
Indonesia, yaitu pancasila. Dalam pandangannya, pancasila nyata-nyata
disemangati oleh trilogi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sehingga,
menurutnya pancasila pada hakikatnya juga menjamin kebebasan beragama,
sebagaimana dicerminkan dalam trilogi tersebut.
Sebagai jalan keluar dari problem inkonsistensi penegakan jaminan negara
atas kebebasan beragama, maka M. Dawam Rahardjo mengusulkan agar disusun
sebuah undang-undang kebebasan beragama. Undang-undang ini dimaksudkan sebagai penegasan atas kebebasan beragama sebagai bagian integral dari hak sipil
setiap warga negara, dan juga penyadaran terhadap setiap warga negara akan hak-hak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama.
Kebebasan beragama bukannya tanpa batasan. Justru, kebebasan beragama harus dibatasi, sepanjang melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum,
membohongi publik, atau melakukan ritual asusila. Namun, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan beragama yang jelas seperti ini belum
kunjung dipahami dengan benar, akibatnya banyak pelanggaran masih terjadi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Penguasa Kerajaan Alam
Semesta. Tuhan Maha Esa yang darinya bertebaran segala kejadian agar mereka
semua berserah diri kepada-Nya. Salam semoga selalu tercurah untuk utusan-Nya,
Nabi Muhammad SAW. Penerus khazanah agama dari Adam hingga manusia
modern. Peletak nilai-nilai universal kebajikan bagi segala umat dan masa.
Wacana kebebasan beragama akhir-akhir ini menjadi pembicaraan penting
di Indonesia, terutama pasca reformasi 1998. Tergulingnya kekuasaan Orde Baru
menyebabkan banyak pihak berlomba-lomba menuntut hak masing-masing. Kali
ini, agama kembali mendapat tantangan agar tidak hanya memunculkan potensi
konfliknya, tetapi juga potensi perdamaiannya. Serangkaian kasus-kasus
pelanggaran kebebasan beragama disikapi secara beragam oleh berbagai pihak.
Sangat penting kiraya bila dilakukan usaha penjernihan atas masalah ini.
Demi melengkapi diskursus kebebasan beragama di Indonesia, maka
penulis memilih menghadirkan sosok dan pemikiran tokoh intelektual muslim
Indonesia, yakni M. Dawam Rahardjo. Tentu saja, proses pengkajian terhadap
pemikiran M. Dawam Rahardjo bukanlah hal yang mudah. Karenanya, penulis
merasa harus mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak.
Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Amin
Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk Drs. Agus
Darmaji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan Dra. Wiwi
Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam.
Ucapan terima kasih berikutnya penulis haturkan kepada Bapak A. Bakir
Ihsan, M.Si., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan yang
sangat berarti terhadap terselesaikannya skripsi ini. Dan tanpa menyebut nama
satu per satu, penulis juga menghaturkan terima kasih yang sangat dalam terhadap
seluruh dosen dan jajaran pegawai di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih juga saya persembahkan bagi kedua orang tua
penulis, ibunda Nani Nuryani, S.Ag, dan ayahanda Dudi Ahadiat, S.Ag. Beliau
telah rela sabar menunggu selesainya tugas akhir penulis di bangku kuliah ini.
Terima kasih dan hormat saya haturkan pula kepada keluarga besar Bapak Rumsi
Yahya dan Ibu Siti Zubaidah, S.pd. Selama tahun-tahun terakhir ini, mereka saya
anggap sebagai keluarga kedua penulis selama di perantauan. Penulis juga
menghaturkan persembahan kepada adinda tersayang, Rahmiana “Shelly”
Agustini, A.Md. Semoga mimpi-mimpi kita dapat segera tercapai bersama.
Kesabaran dan keceriaannya selalu menjadi pendorong semangat penulis. Salam
sayang penulis sampaikan untuk adik-adikku yang tercinta; Ismail Muhammad
Syahid, bersabarlah dalam menuntut ilmu; Farid Waliyuddin Rusydi, semoga
prestasimu terus berlanjut; Neng Siti Fatimah Fadlullah, tetaplah tegar
menghadapi segala masalah di rumah; Hasna Lathifah, jangan bosan-bosan
sekolah; dan Miftah Muslihuddin, adik bungsu yang paling tercinta, semoga kamu
segera sembuh dan cepat bersekolah kembali. Kepada keluarga besar Hj. Siti
Julaeha (alm.), nenek tercinta, beserta seluruh uwa, mamang, aa, teteh, ade
sekalian, juga kepada keluarga besar Pak Aki dan Emak Kidul, kakek-nenek
tersayang, beserta seluruh uwa, mamang, bibi, aa, ade sekalian, kepada mereka
penulis sampaikan terima kasih banyak atas dukungannya, terutama terhadap
keluarga penulis di rumah.
Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. M.
Dawam Rahardjo, SE., yang bersedia secara langsung memberikan izin penulis
untuk mengkaji satu sudut pemikiran beliau. Terima kasih juga saya haturkan
kepada Lembaga Studi Agama dan Filsafat, yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melakukan penelitian dan meminjam beberapa bahan untuk skripsi
ini.
Penulis juga sampaikan terima kasih banyak untuk rekan-rekan sesama
aktifis dan intelektual muda di HMI MPO, LPI UIN Jakarta, KM-AI, dan JarIK.
Untuk sahabat-sahabatku, Ruli Nurdin, Hilmi Mubarok, Dadan, Asep
Kamaluddin, Indah Mulyawati, Nanih, Linda (serta semua alumni MI Banjar 2
angkatan 97), Andi Tanjana, Yani Nur’aini, Nafishoh, Evi, Neni Nurlina (serta
semua alumni MTsN Banjar angkatan 2000), Bayu Haryadi, Irvan Sutadi,
Muhammad Irfan, Riany Dwi Setyaningrum, Siti Nurhayati (serta semua alumni
SMUN 1 Banjar angkatan 03), terima kasih banyak atas pertemanan kalian yang
sangat berharga.
Jakarta, 18 Februari 2009
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada bulan Oktober 2004, sebuah sekolah Katolik di Ciledug dibarikade
oleh sekelompok orang Islam dengan alasan bahwa sekolah itu telah difungsikan
secara ilegal menjadi tempat ibadah. Dengan alasan yang sama pula, pada
September 2005, 23 buah gereja telah ditutup oleh sekelompok kaum Muslim di
Jawa Barat. Belum lama ini, pusat Ahmadiyah diserang oleh sekelompok kaum
Muslim, dan para penghuninya dipaksa meninggalkan tempat itu. Berangkat dari
catatan buruk kebebasan beragama di Indonesia di atas, dan ketidakpastian dasar
negara antara sekular dan agama, maka Mujiburrahman mempertanyakan
bagaimanakah kiranya bangsa Indonesia dapat merumuskan kebebasan beragama
berdasarkan kesepakatan bersama yang samar-samar mengenai hakikat negara
Indonesia yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekular?1 Pertanyaan
ini menjadi penting karena hakikat negara Indonesia memang mengalami
semacam ambiguitas, atau “bukan-bukan” (bukan sekular dan bukan agama).
Persoalan ambiguitas ini semakin merepotkan manakala dibenturkan
dengan realitas keragaman (pluralitas) masyarakat, terutama keragaman agama
atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Selain enam agama (Islam, Katolik,
Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) yang diakui secara resmi oleh negara,
Indonesia kaya akan agama atau kepercayaan lokal (indigenous religion) – seperti
1 Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi
Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta:
PSIK Universitas Paramadina, 2007), h. 290.
komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Komunitas Tolotang di
Sulawesi Selatan, komunitas Kaharingan di Kalimantan dan lain sebagainya –
serta aliran-aliran yang ada dalam agama resmi tersebut. Menurut Amin Abdullah,
realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme agama disebabkan
oleh hegemoni kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan itu juga sering
dijustifikasi dengan landasan teks keagamaan.2
Bangsa Indonesia perlu beragama secara damai dalam fakta keragaman,
karena itu diperlukan sistem untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan. Bangsa
Indonesia juga memerlukan sikap yang positif terhadap perbedaan agama (sikap
yang terbuka, toleran, siap berdialog dengan kelompok yang berbeda).
Sebaliknya, bangsa ini juga sebaiknya menghindarkan diri dari pemikiran dan
usaha-usaha menghilangkan keragaman agama. Termasuk di dalamnya tidak
mengakui adanya keragaman, menginginkan keseragaman, memaksakan nilai
agama satu kelompok atas kelompok yang lain, memakai kekuasaan untuk
menindas agama yang berbeda, dan memberikan cap yang buruk pada agama dan
pemeluknya yang dianggap berbeda. Bila sistem ini tidak tercapai, maka dapat
dipastikan berpotensi menimbulkan benturan (clash) antar budaya dan agama.3
2 Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan
Liberatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), h. 6. 3 Samuel P. Huntington berhipotesis bahwa sumber fundamental dari konflik dalam dunia
baru tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Tentang hipotesis samuel P. Huntington
ini, lihat samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia,” dalam
M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Penerbit
Paramadina, 1996), h. 3-35.
Sayangnya, dikarenakan klaim kebenaran (truth claim) agama atau
kepercayaan masing-masing,4 maka usaha-usaha ke arah toleransi dan dialog
terbuka antar agama ini tidak selalu mudah. Selain itu, kompleksitas permasalahan
di Indonesia juga menjadikan kesan tumpang-tindihnya problem sosial. Pluralitas
kompleks di Indonesia juga menjadikan tidak mudahnya menggagas toleransi dan
dialog terbuka di antara masyarakat.
Untuk hidup beragama dalam kemajemukan agama dan ekspresi atasnya,
tampaknya dibutuhkan konsep kebebasan beragama. Setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; dalam hal ini ternasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan
menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di
tempat umum maupun yang tersendiri. Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan
sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima
agama atau kepercayaan pilihannya.5
Kenyataannya, pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya berlangsung
secara horizontal antar masyarakat,6 akan tetapi tampaknya justru negaralah yang
– secara langsung atau tidak langsung – menjadi penyebab atau bahkan aktor
4 Menurut Arthur J D’Adamo, klaim kebenaran hanya muncul pada kelompok sendiri,
sedangkan kelompok yang lain dianggap jauh menimpang dari kebenaran. Dikutip dari Ahmad
Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, h. 3. 5 Rumusan kebebasan beragama dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen antara lain
UUD 1945 Pasal 29 ayat (2), Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 18, Deklarasi PBB tahun 1981
tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) Pasal 18. UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM pasal 22, dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP. 6 Salah satu contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yakni kasus
penutupan gereja tahun 2005 di mana SKB Menteri Agama K.H. Achmad Dahlan dan Menteri
Dalam Negeri Amir Machmud pada tahun 1969 dianggap sumber kericuhan, lihat pembahasannya
dalam “Sebatang Salib yang Dikunci,” Tempo, 11 September 2005, h. 26-33.
pelanggaran kebebasan beragama. Contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama
yang hingga kini masih terjadi di Indonesia ialah klaim agama asli dan agama
sempalan yang dirasakan sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pemerintah selalu menuding agama atau kepecayaan lokal sebagai
agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya (agama-agama resmi
yang diakui negara). Padahal, menurut para penganut agama lokal tersebut justru
agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk.
Karena justru agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha,
yang merupakan agama impor.7 Pelanggaran ini selanjutnya berujung pada
pelanggaran hak-hak sipil sebagian masyarakat. Dalam hal ini, ingin ditekankan
bahwa negara sebetulnya memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin
berlangsungnya kebebasan beragama.8
Selain daripada itu, pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama
adalah faktor lain yang dipandang mengganggu kebebasan beragama. Beberapa
padanan istilah terkait dengan pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama,
antara lain Islam radikal,9 Islam fundamentalis, Islam militan, Islam ekstrem
sampai Islam skripturalis.10
7 Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim
dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid,
h. 218. 8 Lihat komentar M. Dawam Rahardjo tentang tanggung jawab negara atas kebebasan
beragama (atau sebagai bagian hak sipil) dalam M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-
online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 9 Penggunaan istilah Islam radikal misalnya dalam Khamami zada, Islam Radikal;
Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002). 10
M. Dawam Rahardjo, “Islam Radikal Vs Islam Liberal,” Tempo, 12 Januari 2003, h.
84.
Oleh karenanya, diskursus konsep kebebasan beragama di Indonesia perlu
diapresiasi dan didalami, baik itu dalam hal perkembangan wacana dan praktik
kebebasan beragama di Indonesia, maupun dalam pemikiran tokoh intelektual
yang konsern dalam bidang ini. Dalam hal ini, Indonesia mengenal seorang tokoh
intelektual yang konsern dalam isu-isu kebebasan beragama. Beliau adalah
Muhammad Dawam Rahardjo.
Mantan Rektor UNISMA, Direktur LP3ES, Direktur IIIT Indonesia, dan
President of the Board of IFIS ini dikenal cukup kontroversial dalam menanggapi
problem-problem kebebasan beragama di Indonesia. Beliau pernah dipecat dari
Muhammadiyah karena tanggapan-tanggapan kontroversialnya, terutama saat
melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.11
Walau begitu,
Dawam tetap meneriakkan “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!”.
M. Dawam Rahardjo aktif membela kebebasan beragama dalam kasus-
kasus jamaah Ahmadiyah, Komunitas Eden, JIL, kelompok Syiah dan minoritas
lainnya. Ia menghadiri sidang-sidang Lia Aminuddin dan Muhammad
Abdurrahman, pemimpin dan juru bicara Komunitas Eden, yang diadili atas
tuduhan penodaan agama.12
Ditinjau dari pemikirannya, M. Dawam Rahardjo memiliki perspektif
murni dan utuh tentang kebebasan beragama di Indonesia. Pemikirannya tentang
relasi Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, serta
keyakinannya bahwa kebebasan beragama harus diwujudkan sebagai bagian dari
11
Lihat wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo terkait dengan pemecatan dirinya
dari Muhammadiyah, dalam Tempo, 5 Februari 2006. 12
Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme; Esai-esai untuk
Merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 21.
hak sipil masyarakat, menempatkan beliau sebagai tokoh pemikir Islam Indonesia
yang popular dalam hal pembelaan kebebasan beragama. Penentangannya
terhadap otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta fatwa-fatwanya
menunjukkan keberanian dan ketulusan beliau dalam melakukan pembelaannya.
Meski tidak berusia muda lagi dan tidak sesehat dulu, Dawam tetap kritis
dalam memahami dan menyikapi realitas umat dan bangsa. Kajiannya tentang
kebebasan beragama tidak hanya berhenti dalam produksi intelektual belaka, akan
tetapi dibuktikan dalam langkah-langkah kontroversialnya. Di atas semuanya,
sosok M. Dawam Rahardjo tetaplah sosok pemikir pembaharu Islam sebagaimana
beliau dahulu memulainya bersama generasi Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib,
Djohan Effendi, dan lain-lain. Tidak terhitung banyaknya “murid” hasil binaan
beliau yang berhasil meneruskan jejaknya dalam melakukan pembaharuan-
pembaharuan Islam Indonesia.
Sisi intelektual dan kontroversialnya inilah yang menempatkan M. Dawam
Rahardjo sebagai perspektif yang relevan dalam membahas konsep dan problem
kebebasan beragama di Indonesia. Dengan pertimbangan inilah, maka penulis
memberi judul skripsi ini, “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam
Perspektif M. Dawam Rahardjo”.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dikarenakan keterbatasan dan demi terfokusnya pembahasan, maka
penulisan skripsi ini saya batasi pada pembahasan “Kebebasan Beragama di
Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”.
Maka, sebagai rumusan dari pembatasan masalah di atas, penulis
merumuskan,
1. Bagaimanakah wacana kebebasan beragama di Indonesia?
2. Bagaimanakah landasan pandangan M. Dawam Rahardjo tentang
kebebasan beragama di Indonesia?
3. Bagaimanakah tanggapan M. Dawam Rahardjo atas pelanggaran
kebebasan beragama di Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penulisan ini antara lain:
1. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran M. Dawam Rahardjo
2. Untuk mengetahui wacana kebebasan beragama di Indonesia
3. Untuk mengetahui kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M.
Dawam Rahardjo secara utuh.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Bagi para intelektual, cendekiawan, dan akademisi agar dapat memberikan
sumbangan bagi khazanah pemikiran, ide atau gagasan, dan juga untuk
menambah literatur atau bahan referensi pada Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta
sumbangsih bagi dunia pendidikan.
2. Bagi pemerintah, pejabat, politisi, tokoh Ormas keagamaan dan aktivis
elemen masyarakat sipil lainnya agar dalam membangun negara-bangsa
Indonesia tetap memperhatikan prinsip kebebasan beragama.
3. Bagi penulis adalah agar dapat menambah wawasan dan pemahaman utuh
– yang tidak bersifat menghakimi – mengenai konsep kebebasan beragama
di Indonesia, terutama dalam perspektif M. Dawam Rahardjo.
Studi Kepustakaan
Sejauh ini, sulit menemukan hasil penelitian atau buku yang membahas
aspek-aspek pemikiran M. Dawam Rahardjo. Hal ini disebabkan beliau hingga
saat ini masih hidup, sehingga pemikirannya secara langsung masih bisa
disuarakan olehnya. Pun demikian, penulis menemukan sebuah buku yang cukup
relevan dalam membahas pribadi M. Dawam Rahardjo dan segi-segi
pemikirannya.
Buku Demi Toleransi Demi Pluralisme, merupakan karya kumpulan esai-
esai untuk merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo. Buku yang disunting oleh
Ihsan Ali Fauzi, Syafiq Hasyim dan JH. Lamardy ini diterbitkan oleh Penerbit
Paramadina pada tahun 2007. Buku ini membahas pribadi M. Dawam Rahardjo,
baik dari sisi biografis maupun kesan-kesan para kolega dan sahabat beliau.
Selanjutnya, Demi Toleransi Demi Pluralisme juga mengupas segi-segi pemikiran
dan aktivisme M. Dawam Rahardjo melalui tulisan para kontributor yang
merupakan orang-orang dekat beliau, atau mereka yang sama-sama
memperjuangkan toleransi dan pluralisme di Indonesia. Karenanya, hal yang
paling menonjol dari buku ini ialah citra M. Dawam Rahardjo sebagai pembela
toleransi dan pluralisme keagamaan di Indonesia.
Karya di atas belum secara khusus memfokuskan kajian mengenai
kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Untuk
itu, penulis mencoba melakukan kajian terhadap pemikiran M. Dawam Rahardjo
dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia.
Metode Penelitian
Jenis penelitian dalam mengkaji masalah ini ialah penelitian kualitatif.
Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), dengan menggali sumber-
sumber primer, maupun sumber-sumber sekunder.
Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan
memanfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam
masalah ini adalah tulisan-tulisan tentang kebebasan beragama yang ditulis
langsung oleh M. Dawam Rahardjo. Sedangkan sumber sekundernya adalah
sumber-sumber yang menunjang pembahasan masalah.
Analisis data menggunakan teknik deskriptif-analitis. Deskriptif di sini
dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan perspektif M. Dawam
Rahardjo dalam memandang konsep kebebasan beragama di Indonesia. Analitis
berarti menganalisis pemikiran-pemikiran M. Dawam Rahardjo sehingga akan
nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan.
Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab, termasuk BAB I
sebagai pendahuluan dan BAB V sebagai penutup. Adapun rincian sistematika
penulisan yang penulis susun antara lain sebagai berikut:
BAB I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan,
metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II mengulas biografi singkat M. Dawam Rahardjo. Dalam bab ini
akan dideskripsikan latar belakang keluarga dan pendidikan M. Dawam Rahardjo,
pemikiran dan aksinya, serta buku-buku karyanya.
BAB III akan membahas wacana kebebasan beragama di Indonesia. Bab
ini meliputi pembahasan definisi dan prinsip kebebasan beragama, serta regulasi
kebebasan beragama dan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di
Indonesia.
BAB IV akan menganalisis kebebasan beragama di Indonesia menurut M.
Dawam Rahardjo. Bagian ini akan mendalami pemikiran beliau tentang Pancasila
dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, kebebasan beragama sebagai
hak sipil, dan diakhiri dengan beberapa pandangan M. Dawam Rahardjo atas
kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.
BAB V sebagai penutup. Seluruh elaborasi pembahasan di atas akan diikat
dalam beberapa kesimpulan dan ditambahkan beberapa saran yang penulis
tawarkan dalam bagian ini.
BAB II
BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO
A. Keluarga dan Pendidikannya
M. Dawam Rahardjo dilahirkan pada tanggal 20 April 1942, di kampung
Baluwarti, Solo. Ayahnya bernama Mohammad Zuhdi Rahardjo, sedangkan
ibunya bernama Mutmainnah. Keluarga menjadi institusi pendidikan pertama
yang dienyam oleh M. Dawam Rahardjo. Ia bisa mengaji dan hafal beberapa surat
Juz-Amma terutama diajari oleh tante dan kakak sepupunya, Tahrir. Di samping
itu, ia juga mendapatkan pendidikan agama dari Madrasah Bustanul Athfal
Muhammadiyah, di Kauman, sebelah utara masjid besar Solo, Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo, dan sekolah umum Al Robithoh
Al Allawiyyah di kelas satu.13
Dawam masuk Sekolah Dasar (SD) langsung ke kelas 2 di Sekolah Rakyat
Loji Wetan dan di Madrasah Diniyah Al-Islam dari kelas 3 hingga tamat. Dawam
kecil juga pernah mengaji kepada K.H. Ali Darokah – kemudian menjadi ketua
umum Pergerakan Al-Islam dan Ketua Umum Majelis Ulama Surakarta – yang
juga menjadi guru mengaji saudara - saudara sepupunya. Sebelum masuk SMP, ia
belajar mengaji selama satu bulan di Pesantren Krapyak (sekarang Pesantren Al-
Munawir Ia belajar membaca surat al-Fatihah kepada Gus Dur (ustadz
Abdurrahman). Selanjutnya, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengah Pertama
(SMP) I yang dianggap sebagai sekolah elit tingkat SMP di Solo, berkat prestasi
13
Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2007), hal. 3-5.
baik Dawam di sekolah dasar. Sementara itu, di Al-Islam, Dawam hanya
menamatkan Madrasah Tsanawiyah, karena ia melanjutkan sekolah di Sekolah
Menengah Atas (SMA) CV di Manahan.14
Sebelum kuliah, Dawam mengikuti program AFS (American Field
Service) di Idaho, Amerika Serikat (AS). Di sana, ia belajar di Borah High School.
Selanjutnya, Dawam berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada
(UGM).15
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswa UGM, Dawam
tertarik untuk beraktivitas dalam organisasi mahasiswa yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam. Dawam juga giat dalam kegiatan-kegiatan diskusi dan kajian
semasa kuliahnya. Dengan demikian, Dawam resmi memulai petualangannya di
dunia aktivisme dan intelektual.16
Istri pertama Dawam, Zainun Hawariah, wafat pada Desember 1994. Dari
perkawinan mereka, Dawam mempunyai dua orang anak yang sudah dewasa.
Aliva (lahir pada 1972) adalah anak sulung perempuan. Ia lulus dari fakultas ilmu
pasti dan pengetahuan alam (MIPA) jurusan Fisika, pada tahun 1997. Dia telah
menikah dan dikaruniai seorang anak pada 1 April 1999, dan diberi nama Krisna.
Anak Dawam yang kedua bernama Jauhari (lahir pada 1974) dan lulus dari
jurusan Elektro tahun 1999, Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Istri Dawam
yang sekarang bernama Sumarni (dinikahinya pada bulan Maret 1995), sarjana
14
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5-6. Lihat juga, “M. Dawam Rahardjo:
Defending the Nation's Religious Minority Groups”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari
http://www.thepersecution.org/world/indonesia/ 07/05/jp19.html. 15
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 16 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 7-10.
ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) dan mendapat gelar MPA dari
Universitas of California.17
B. Pemikiran dan Aksinya
Dalam dunia tafsir, nama M. Dawam Rahardjo pernah melambung,
terutama lewat karya tafsirnya Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. Dalam bidang ini, M. Dawam Rahardjo sudah terhitung
progressif, sebab beliau menulis tafsir tematik (maudhu'i). Dalam menulis tafsir
tersebut, beliau menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu untuk
menafsirkan Al-Qur'an. Pendiriannya ini terutama didasarkan pada keyakinannya
bahwa tafsir haruslah terbuka untuk siapa saja, dan penafsir tidak mesti menguasai
bahasa Arab. Menurut Syafiq Hasyim, di sinilah letak kontribusi penting M.
Dawam Rahardjo dalam bidang tafsir di Indonesia, yakni memasukkan
pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu pengetahuan) dalam
menafsirkan Al-Qur'an.18
Cukup sulit menggolongkan pemikiran M. Dawam Rahardjo hanya ke
dalam satu golongan pemikiran saja. Sebab, beliau mengarungi dunia intelektual
dengan melalui perkembangan pemikiran sedemikian rupa, sehingga mendapatkan
sebutan yang bermacam-macam; mulai dari neo-marxis, neo-modernis,
transformis, pluralis, sekular hingga liberal. M. Dawam Rahardjo memang
memiliki minat yang luas dalam dunia pemikiran. Pun demikian, bukan berarti
beliau layak disebut sebagai pemikir yang tidak konsisten. Justru M. Dawam
17
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18-19. 18
Syafiq Hasyim, “Mas Dawam dalam Tiga Babak: Keyakinan Penuh Akan Modernisme
Islam?” dalam Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, hal. 227.
Rahardjo melalui perkembangan pemikirannya dengan suatu perjalanan
intelektual yang serius. Lebih tepat bila dikatakan bahwa M. Dawam Rahardjo
mengalami perkembangan (evolusi) pemikiran yang matang dan sesuai dengan
kadar aktivismenya. Karenanya, dalam mengkaji pemikiran beliau, penulis tidak
ingin terjebak untuk membatasi M. Dawam Rahardjo ke dalam satu tipe
pemikiran saja. Melainkan, berusaha memaparkan perjalanan intelektual beliau
supaya lebih dapat dipahami secara utuh.
M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai seorang ekonom dan cendekiawan
muslim yang sangat kritis terhadap ideologi pembangunan (developmentalism).
Hal tersebut secara tidak langsung memang di pengaruhi oleh konteks saat
Dawam muda yang aktif di HMI saat pengaruh PKI begitu kuat. Dawam dituntut
untuk mempelajari sosialisme agar dapat mengimbangi wacana sosialisme yang
digulirkan PKI. Tidak hanya mempelajari marxisme, Dawam muda juga
meneruskan mengkaji neo-marxisme dan teori-teori radikal lainnya.19
Adapun pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama
berada pada fase terakhir dari perjalanan pemikirannya selama hidupnya. Rupanya
posisi beliau sebagai cendekiawan muda memancingnya untuk kritis terhadap
beberapa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Sikap beliau tidak lain
dilatarbelakangi oleh perjalanan intelektualnya yang terhitung panjang dan rumit.
Model pemikiran M. Dawam Rahardjo terbentuk pada masa hidupnya
yang berada dalam latar geraka n intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun
1970-an. Gerakan tersebut, selain merupakan warisan dari tradisi modernisme
19 “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.
Islam yang terdahulu di Indonesia, ia pun tampil beda dari segi isi maupun
aplikasinya. Hal ini disebabkan, neo-modernisme memakai pendekatan baru yang
khas. Masa-masa tersebut tidak disia-siakan oleh beliau, sehingga dengan segera
M. Dawam Rahardjo pun menjadi salah satu pelaku gerakan intelektual Islam
baru tersebut.
Pada awal kemunculannya, istilah popular yang dicetuskan pertama kali
untuk neo-modernisme ialah pembaruan pemikiran Islam oleh Nurcholish Madjid,
saat ia memberi makalah untuk sebuah seminar tertutup pada tahun 1970, berjudul
Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Gerakan neo-modernisme, yang lahir dari para pemikir Islam seperti
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, mencerminkan perkembangan
modernisme Islam yang lebih jauh di mana pengetahuan klasik atau tradisional
digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks. Berbeda
dari modernisme, neo-modernisme berpaham pemisahan antara gereja dan negara,
dengan pandangan bahwa keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam
partai politik akan menimbulkan ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan
agama.20
Perbedaan lainnya terletak dalam perhatiannya pada tradisi. Kaum neo-
modernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan tidak
meninggalkan akar-akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam. Sedangkan
kaum modernis lama lebih bersifat apologetik atas modernitas.
Gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, menurut Fazlur
Rahman terbagi menjadi empat tahapan, yaitu (1) Gerakan Revivalis di akhir abad
20 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 5.
ke-18 dan awal abad ke-19, yaitu gerakan wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di
Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis yang
dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (meninggal tahun 1898) di India, Jamaluddin
Al-Afghani (meninggal tahun 1897) di seluruh Timur Tengah, dan Muhammad
Abduh (meninggal tahun 1905) di Mesir, (3) Neo-Revivalisme yang modern
namun agak reaksioner, di mana Maududi beserta kelompok Jamaat Islami-nya di
Pakistan merupakan contoh terbaik, dan (4) Neo-Modernisme, di mana Fazlur
Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam tahap terakhir ini dikarenakan
alasan neo-modernisme memiliki sintesis progresif dari rasionalitas modernis
dengan ijtihad dan tradisi klasik.21
Penggunaan istilah neo-modernis oleh Fazlur Rahman cukup
mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Terlebih, Rahman memang cukup
dikenal di Indonesia. Ia datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1974 dan
terus menjalin hubungan baik dengan beberapa intelektual Muslim Indonesia,
seperti Nurcholish Madjid. Kendati demikian, banyak para pemikir Islam
terkemuka dan dapat digolongkan ke dalam golongan pemikir neo-modernis,
seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F. Mas’udi, dan M. Dawam Rahardjo sendiri,
tidak menggunakan istilah neo-modernisme bagi pemikiran yang mereka
kembangkan dan bagi diri mereka sendiri.22
Pribadi M. Dawam Rahardjo memang agak unik, bila dibandingkan
dengan pemikir neo-modernis lainnya. Seperti diketahui, bahwa ke-khas-an
pemikiran kaum neo-modernis di antaranya ialah pendekatan ijtihad oleh pemikir
21
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 9. 22 Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 11.
neo-modernis Indonesia yang lebih mendalam, karena mereka mensintesiskan
khazanah Islam klasik dengan metode-metode analisis modern atau Barat. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pendidikan Islam tradisional dan klasik, yang berkisar pada
Al-Qur’an dan naskah-naskah Arab, dan dilanjutkan pendidikan model Barat
modern. Berbeda dengan M. Dawam Rahardjo, di mana beliau memiliki latar
eblakang pendidikan Islam klasik yang kurang kuat, dan lebih banyak menempuh
pendidikan model Barat modern. Meskipun, tetap harus dicatat bahwa M. Dawam
Rahardjo pun cukup berminat terhadap keilmuan Islam klasik walaupun
pendekatannya melalui bahan-bahan berbahasa Indonesia dan Inggris.23
Menurut Budhy Munawar-Rahman, ada tiga bentuk pemikiran sosial-
keislaman kaum neo-modernis, antara lain: (1) Islam rasional, yang bertujuan
menemukan pengetahuan yang mendasar mengenai Islam atau ilmu keislaman
yang rasional, untuk mendapatkan keyakinan atau iman yang rasional, dan tingkah
laku atau amal yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh Islam
rasional yakni Harun Nasution dan Djohan Effendi. (2) Islam peradaban, yang
bertujuan untuk mendapatkan makna dari perwujudan konkret AL-Qur'an, ingin
menemukan makna dari proses pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan
sejarah, yang menghasilkan sebuah peradaban Islam. Tokoh Islam peradaban
yaitu Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. (3) Islam transformis, yang bertujuan
membebaskan masyarakat muslim yang miskin dan terbelakang dari belenggu
dominasi structural, dengan berlandaskan pada visi Al-Qur'an tentang
23 Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 12.
transfromasi. Tokoh Islam transformis adalah Adi Sasono dan M. Dawam
Rahardjo sendiri.24
Kalangan Islam Transformis memang banyak berkembang di kalangan
yang latar belakang pendidikannya bukan IAIN (Institut Agama Islam Negeri),
namun komitmennya terhadap Islam tinggi – seperti M. Dawam Rahardjo – atau
dari IAIN namun komitmennya terhadap ilmu sosial melebihi ilmu-ilmu
tradisional Islam. Sebagaimana juga M. Dawam Rahardjo, kebanyakan dari
kelompok Islam transformis adalah aktivis LSM.
Perhatian utama mereka yaitu suatu transformasi sosial masyarakat bawah.
Islam transformis berusaha mewujudkan transformasi struktur-struktur
masyarakat yang menindas ke arah struktur yang lebih humanis, agar masyarakat
dapat memperjuangkan hak mereka. Selain Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo,
istilah Islam transformis juga dipakai oleh Moeslim Abdurrahman, Masdar F.
Mas'udi, dan Mansour Fakih.
Islam transformis memang sedikit berbeda dari Islam rasional dan Islam
peradaban. Bila Islam rasional dan Islam peradaban hanya memperhatikan faktor
internal umat islam (teologi) dalam menjelaskan keterbelakangan umat, maka
Islam transformis memasukkan faktor eksternal, yaitu peranan Barat, sebagai
penyebab keterbelakangan. Bahkan, Islam transformis tidak memisahkan antara
teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari
24
Budhy Munawar-Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-
Modernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol. VI, tahun 1995, h. 4-29.
"kritik ideologis," ke "kritik tafsir," kemudian mencari "tafsir alternatif" dan
mewujudkannya dalam "tindakan sosial" sebagai praksis teologis.25
M. Dawam Rahardjo mengatakan, "gerakan kemasyarakatan itu
mempunyai peranan yang krusial, yang mencegah terjadinya pencaplokan
masyarakat oleh negara ke dalam bentuk negara korporatif yang integralistik-
totaliter.26 Beliau juga pernah mengkritik pendekatan Islam peradaban seperti
yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Menurut M. Dawam Rahardjo, keliru bila
kita harus membanggakan peradaban Islam seperti yang berlangsung pada abad
pertengahan. Memang, pada abad itu peradaban Islam mencapai puncaknya.
Namun, keadaan itu berada di tengah-tengah absolutisme-monarkis dan
feodalisme. Maka, menurut beliau, peradaban Islam yang ideal masih dalam
proses pencarian. Namun, paling tidak model peradaban Islam ideal menurutnya
ialah terbentuknya budaya tekno-ekonomi yang membangun kemakmuran dan
keadilan masyarakat sebagai landasan bagi kejayaan peradaban Islam modern dan
religius. Peradaban Islam masa depan adalah peradaban yang didasarkan pada
nilai religius tekno-ekonomi, yang di Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.27
Meskipun M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai pemikir neo-modernis
Islam, namun menurut Greg Barton, M. Dawam Rahardjo bukan termasuk
25
Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam
di Indonesia," h. 22. 26
M. Dawam Rahardjo, "Gerakan Rakyat dan Negara," dalam Prisma 11, 1985, h. 15.
Dikutip dalam, Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme
Islam di Indonesia," h. 26. 27
M. Dawam Rahardjo, “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses pada
tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/03/25/Ide/
krn.20070325.97395.id.html.
kelaompok neo-modernis. Hal ini terutama disebabkan karena Greg Barton
memahami istilah neo-modernis sebagai kelompok pemikir yang memiliki
keahlian keilmuan tradisionalis dan modernis sekaligus, seperti Ahmad Wahib,
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, yang terdidik
secara klasik dan dipengaruhi latar belakang pendidikan pesantren tradisionalis
yang kental. Menurut Greg Barton, M Dawam Rahardjo lebih tepat bersifat
organisatoris dalam kelompok neo-modernis.28
Greg Barton malah memasukkan M. Dawam Rahardjo sebagai kelompok
Islam substansialis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh R. William Liddle.
Liddle berpendapat bahwa empat ciri kelompok Islam substansialis antara lain:
1. Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik
lebih penting daripada bentuk.
2. Pesan Al-Qur'an dan hadits, walau abadi esensinya dan universal artinya,
dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi muslim sesuai dengan situasi
masanya.
3. Umat muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-muslim.
4. Menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari
negara bangsa Indonesia
Perkembangan pemikiran M. Dawam Rahardjo nyata-nyata tidak
ketinggalan jaman, bahkan semakin berkembang. Pada fase terakhir dalam
perjalanan intelektualnya, M. Dawam Rahardjo dikenal sangat aktif dalam
28 Barton, Gagasan Islam Liberal, h. 34-35.
mengkritisi berbagai pelanggaran kebebasan beragama. Beliau juga secara tegas
menolak fatwa haram Majelis Ulama Indonesia tentang liberalisme, sekularisme
dan pluralisme. Bagaimana pemikiran beliau tentang kebebasan beragama di
Indonesia akan secara utuh dibahas pada bab-bab berikutnya pada penulisan kita.
Selanjutnya, meminjam tipologi sikap keberagamaan menurut
Komaruddin Hidayat,29 maka M. Dawam Rahardjo bisa dimasukkan ke dalam
tipologi inklusifisme dan pluralisme. Dikatakan inklusif, sebab beliau menerima
kemungkinan adanya kebenaran dalam agama lain, namun sekaligus tetap
menganggap bahwa agamanya, Islam, yang benar bagi dirinya. Sedangkan
dikatakan plularis, sebab beliau berpendapat bahwa semua agama itu benar,
menurut masing-masing pemeluknya. Namun, pemikiran ini bukan termasuk
sinkretisme. Tipologi pemikiran M. Dawam Rahardjo ini paling jelas terlihat dari
komitmennya atas kebebasan beragama dan pluralisme.
M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis terhadap gerakan-gerakan
fundamentalisme Islam, yang menurutnya merupakan bentuk jahiliyah modern.30
Mereka yang menurut beliau termasuk jahiliyah modern yakni Muhammadiyah
(modern) dan Hizbut Tahrir. Alasannya, sebab mereka itu cenderung melihat ke
masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Sembari demikian,
M. Dawam Rahardjo juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah solusi dari
kemunduran umat tersebut.
29
Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/
Tipologi-Sikap-Beragama.html. 30
Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/
korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.
Jelaslah, bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo berkembang sedemikian
rupa, dan di akhir fase perkembangan pemikirannya beliau sangat terpanggil
untuk mengkritik fenomena gerakan fundamentalisme-radikal Islam. Sebagaimana
kita ketahui, bahwa gerakan fundamentalis-radikal begitu popular sejak pasca
reformasi politik 1998 di Indonesia. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang
lahir dari proses demokratisasi memberi berkah bagi mereka untuk berkembang
sedemikian rupa. Agaknya, M. Dawam Rahardjo ingin mengembalikan umat
Islam pada pemahaman yang benar, bahwa kebebasan bukanlah anarki, dan
bahkan merupakan tanggung jawab. Beliau sangat menghargai kerangka negara
bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Pancasila dan UUD 1945.
Pemikiran M. Dawam Rahardjo mengenai kebebasan beragama dan
kritiknya atas fundamentalisme Islam bukannya tanpa basis teologi yang jelas.
Seperti kita ketahui, beliau sebelumnya termasuk pada kategori Islam transformis
yang lebih banyak berbicara pada konteks kesetaraan ekonomi dan keadilan.
Pemikiran beliau tersebut, pada akhirnya membawanya pada pemikiran teologi
otonomi iman, namun berlandaskan pada filsafat, terutama filsafat neo-
kantianisme.
Sebagai seorang neo-kantian, M. Dawam Rahardjo berkeinginan untuk
menciptakan sebuah tatanan sosial-politik yang adil, yakni menghargai manusia
sebagai makhluk yang bebas dan otonom. M. Dawam Rahardjo sejajar dengan
pemikir neo-kantian lainnya, seperti Jurgen Habermas dan John Rawls. Para neo-
Kantian ini juga senantiasa percaya terhadap prinsip kebebasan dan otonomi akal,
meskipun mereka menolak asumsi-asumsi metafisik dari Immanuel Kant.
Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia Kantian inilah,
menurut Iqbal Hasanuddin – seorang peneliti di LSAF – kita sebenarnya dapat
memahami rumusan trilogi M. Dawam Rahardjo, seputar diskursus sekularisme,
liberalisme dan pluralisme. Konsep otonomi manusia dalam kehidupan beragama
pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan. Penempatan iman
dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan
kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu
yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme.
Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls, M.Dawam Rahardjo
berkeyakinan bahwa konsekuensi logis dari konsep otonomi iman dan akidah bagi
setiap individu yang melahirkan konsep kebebasan beragama adalah lahirnya
pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling
masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Karena itu,
bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan
kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang
pluralis. Prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama tersebut
juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan
didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya,
prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan otonomi dan kebebasan
manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara.31
Demikianlah, perjalanan pemikiran M. Dawam Rahardjo akhirnya
menempatkan beliau sebagai seorang liberal, sekular dan pluralis. Sebuah posisi
31
Iqbal Hasanuddin, “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,” artikel
diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neo-
kantianisme-dalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.
intelektual yang bagi kebanyakan orang akan dihindari, sebab pemikiran seperti
itu sudah diharamkan oleh MUI. Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo
memang tidak sendirian. Selain beliau, ada beberapa pemikir kritis Islam lainnya,
seperti Musdah Mulia, Syafi'i Anwar, Ulil Absar Abdalla, dan lain sebagainya.
Namun, memang bila melihat pada tataran generasinya, M. Dawam Rahardjo
termasuk generasi intelektual muslim lama yang masih bertahan, selain Djohan
Effendi, Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain.
Selain dalam bidang pemikiran, M. Dawam Rahardjo juga sangat
menonjol dalam bidang aksinya. Aktifitasnya dimulai saat Dawam muda berada di
HMI, yang menuntut dia untuk belajar politik. Ia banyak berperan sebagai
instruktur dalam training-training di HMI, bersama-sama dengan Djohan Effendi
dan Ahmad Wahib. Dari tempaan di HMI itulah, ia mulai banyak menulis artikel-
artikel untuk koran dan majalah. Bahkan selama tiga tahun, Dawam menjadi
penulis tetap (kolumnis) untuk koran Mercusuar, Yogyakarta, setiap hari selasa.
Dawam bersama-sama dengan Andi Makmur Makka, menjadi editor dan co-editor
majalah GEMA Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM.
Adapun staf redaksinya antara lain adalah Amak Baldjun, Abdurrahman Saleh,
Kuntowidjojo, Ichlasul Amal, dan Abdul Hadi WM. Aktivitasnya dalam dunia
jurnalistik mengangkat nama M. Dawam Rahardjo dan membuatnya cukup
terkenal semasa menjadi mahasiswa di UGM.32
Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1969,
Dawam sempat bekerja di Bank of America (BoA), Jakarta. Tapi di bank asing itu,
32 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 8-10.
Dawam Rahardjo hanya bekerja selama dua tahun.33
Pada waktu itu, dirinya
cukup aktif di media massa, menjadi redaktur Mimbar Demokrasi dan koran
mingguan Forum.
Sebenarnya Dawam keluar dari BoA juga karena keinginannya untuk
bekerja di suatu lembaga riset. Ia bergabung dengan LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) ketika Nono Anwar Makarim
menjadi direkturnya. Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo banyak terlibat dalam
berbagai penelitian yang disponsori oleh Friedrich Naumann Stiftung. Pada usia
ke 38 tahun, akhirnya beliau menjadi Direktur LP3ES.34
Dawam sering dipanggil untuk membantu menyelesaikan masalah-
masalah proyek. Nono Anwar Makarim menjadikannya sebagai trouble shooter.
Karena itu, Dawam paling sering berpindah-pindah tugas pada banyak proyek.
Sebagai trouble shooter, Dawam ditugaskan menangani beberapa protek yang
kemudian sangat menentukan karier dan keahliannya, yaitu pengembangan
industri kecil, entrepreneurship dan pesantren. Mula-mula proyek itu berupa
penelitian, kemudian diikuti dengan pelatihan dan pengembangan. Sebagai staff
LSM itulah Dawam memasuki dunia pesantren dan berkenalan dengan tokoh-
tokoh kyai, baik NU maupun non-NU. Di LP3ES, Dawam banyak belajar dari
staf-staf orang Jerman, misalnya Dr. Kohler, Christian Lempelius, dan Dr.
Manfred Ziemek.35
Karir Dawam di LP3ES cukup cepat menanjak untuk ukuran waktu itu. Ia
berjingkat naik dari staf menjadi Kepala Bagian berbagai departemen, kemudian
33
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 34
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 35 Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 12-13.
Wakil Direktur selama dua periode, dan akhirnya, pada umur 38 tahun, menjadi
Direktur LP3ES. Selama bekerja di lembaga itu, ia telah banyak mendidik kader-
kader intelektual. Karena sebagian mereka berasal dari IAIN, tidak berlebihan jika
berkali-kali Prof. Dawam telah mendidik mahasiswa-mahasiswa IAIN itu di
bidang ilmu-ilmu sosial. Diskusi rutin dengan para kader muda itu menghasilkan
dua buku kumpulan karangan. Pertama adalah Insan Kamil: Konsepsi Manusia
Menurut Islam (Grafiti Press, 1985). Kedua adalah buku Pergulatan Dunia
Pesantren: Membangun Dari Bawah (diterbitkan oleh Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M).36
Ketika menjadi Direktur LP3ES, Dawam juga banyak melakukan kegiatan
yang bersifat internasional. LP3ES bekerja sama dengan LSM internasional dan
para intelektual luar negeri terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dawam memprakarsai berdirinya INGI (Inter Non-Governmental Forum for
Indonesia) yang kemudian atas usulannya beganti nama menjadi INFID (Inter
Non-Governmental Forum for Development). Ia juga memprakarsai berdirinya
SEAFDA (South East Asia Forum for Development Alternatif). Dari SEAFDA
itulah Dwam berkenalan dan bersahabat dengan tokoh-tokoh intelektual radikal
seperti Marthin Kor, Rudolf S. David, Surichai, Chandra Muzaffar, S. K. Jomo
atau Kamla Basin. Banyak intelektual Indonesia yang diajaknya ke forum itu,
antara lain Arief Budiman, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Adi Sasono,
Kuntowidjojo, Ariel Heryanto, Fachry Ali, Farchan Bulkin, Hadimulyo, dan
Karcono. Mereka juga disertakannya dalam menangani proyek kajian tentang
36
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. Lihat juga
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 13.
“State in the Context of Transnationalization” yang dibiayai oleh UN University
di Tokyo yang rektornya adalah Dr. Soedjatmoko.37
Dawam juga banyak mendorong, menganjurkan, dan membantu berdirinya
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.
LSM yang ia prakarsai sendiri antara lain adalah: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Sosial
(LSIS), Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Lembaga Kebajikan Islam
“Samanhudi” (LKIS), Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA), dan Yayasan
Wakaf Paramadina. Sampai sekarang, Dawam masih memimpin yayasan LSAF,
karena yayasan ini termasuk ke dalam kelompok PPA.38
M. Dawam Rahardjo
juga sangat berjasa dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
Di ICMI, Dawam mulanya menjadi Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI 1990-1995.
Periode berikutnya, 1995-2000, Dawam menjabat sebagai salah seorang Ketua
UCMI Pusat. Selain itu, Dawam juga terpilih sebagai Ketua Presidium Pusat
Peranserta Masyarakat (PPM), di mana ia memegang jabatan itu sampai tahun
1997.39
Dawam dianugerahi gelar professor oleh Universitas Muhammadiyah
Malang pada tahun 1993. M. Dawam Rahardjo akhirnya diangkat sebagai rektor
Universitas 45 (UNISMA).40
Selain sebagai rektor, M. Dawam Rahardjo menjadi
President Director di CIDES Persada Consultant (CPC), Ketua Majelis Pembina
Ekonomi Muhammadiyah periode 1995-2000, Direktur International Institute of
Islamic Thought (III-T) Indonesia, President of the Board of Directors,
37
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14. 38
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14-15. 39
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 17-18. 40 “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.
Internaitonal Forum of Islamic Studies (IFIS), Dewan Redaksi Harian Republika,
dan staf ahli Tabloid JOB Indonesia.41
Pada 17 April 2006, Dawam memimpin ratusan anggota Alinansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam
demonstrasi ke depan gedung Menteri Agama untuk memprotes larangan menteri
atas Ahmadiyah.42 Pembelaan M. Dawam Rahardjo terhadap Ahmadiyah dan
aliran-aliran “sesat” lainnya menyebabkan dipecatnya beliau dari Muhammadiyah
di tahun 2006, saat Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsuddin.43
Setelah ulang tahunnya yang ke-65, kondisi kesehatan M. Dawam
Rahardjo semakin memburuk. Meskipun begitu, beliau tetap bersemangat dalam
membuahkan pikiran-pikiran progresif demi membela kebebasan beragama.
Setelah sering keluar-masuk rumah sakit, akhirnya, di tahun 2008, M. Dawam
Rahardjo terpaksa harus dibawa ke Cina untuk menjalani pengobatan di sana.
C. Buku-buku Karyanya
M. Dawam Rahardjo cukup produktif dalam menulis buku, selain juga
menjadi editor beberapa buku dan kolumnis di berbagai media. Berikut ini adalah
beberapa buku karya beliau, yang akan saya kategorikan berdasarkan tema dan isi
pembahasannya.
1. Tema ekonomi Islam, perbankan, manajemen, dan industri. Dalam
beberapa bukunya, M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai ekonom Islam
yang banyak menggagas ekonomi kerakyatan, sekaligus mengkritik
41
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 19-21. 42
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. 43 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, Tempo, 5 Februari 2006.
ideologi pembangunan (developmentalism). Buku-buku tersebut antara
lain: Esai-esai Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1988), Tantangan
Indonesia sebagai Bangsa: Esai-esai Krisis tentang Ekonomi, Sosial dan
Politik (Yogyakarta: UII Press, 1999), Independensi Bank Indonesia
dalam Kemelut Politik (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2001), Koperasi
dalam Sorotan Pers (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),
Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES,
1987), Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),
Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta:
Pustaka Cidesindo, 1997), Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah
(Jakarta: LP3ES, 1995), Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju
Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2004),
Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta:
UI Press, 1984), dan Deklarasi Makkah: Esai-esai Ekonomi Islam (Mizan,
1987).
2. Tema agama, pemikiran, tafsir, dan pesantren. Buku-buku tema tersebut
menegaskan identitas M. Dawam Rahardjo sebagai seorang cendekiawan
muslim. Di dalamnya kita akan temui gagasan besar, seperti Islam
transformis dan perubahan sosial. Karya-karyanya antara lain: Insan
Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1985),
Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial
(Jakarta: LP3ES, 1999), Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: P3M,
1985), Intelektual, Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), Ensiklopedi al-Qur'an:
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,
1996), Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (PSAP,
2005), Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999),
dan Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: HIT dan LSAF,
2002).
3. Tema sastra. Ada satu buah buku yang menarik karya M. Dawam
Rahardjo yang menarik, yaitu Anjing Yang Masuk Surga (Jakarta:
Jalasutra, 2008). Dari buku ini, kita sadar bahwa M. Dawam Rahardjo
sangat mencintai dunia sastra dan tulis-menulis. Buku ini juga
memperlihatkan kecenderungan pemikiran beliau yang mulai kritis
terhadap beberapa fenomena kekerasan atas nama agama, serta
keyakinannya atas keragaman sebagai suatu hal yang harus dilindungi.
Buku ini juga menggambarkan konteks di mana M. Dawam Rahardjo
tengah berada dalam suasana tekanan konflik yang menyerangnya, terkait
dengan dukungannya atas pluralisme.
4. Beberapa karya M. Dawam Rahardjo lainnya, di mana beliau sebagai
editor atau penyunting buku-buku tersebut, di antaranya: Pembangunan
Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan
Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Intermasa, 1997), Sistem Pemilu:
Demokratisasi dan Pembangunan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996),
Profil Indonesia ( Jakarta: CIDES 1994), Pesantren dan Pembaharuan
(Jakarta: LP3ES, 1984), Pesantren dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES,
1974), dan Usaha Kecil dalam Perekonomian Nasional (Jakarta:
Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 1994).
Meskipun buku-buku itu tidak satu pun yang secara spesifik membahas
tema kebebasan beragama, namun perhatian M. Dawam Rahardjo sangat besar
dalam hal itu. Contohnya dalam buku Anjing yang Masuk Surga. Bagaimana pun,
kebebasan beragama adalah tema paling aktual yang digagas oleh beliau, yang
mana bertepatan dengan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
BAB III
WACANA KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
Definisi dan Prinsip Kebebasan Beragama
Definisi kebebasan beragama menurut M. Dawam Rahardjo berarti
kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta
kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-
masing.44 Sedangkan, menurut Siti Musdah Mulia, kebebasan beragama berarti
kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama
yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan
keyakinan masing-masing.45
Definisi yang diberikan keduanya tampak senada.
Untuk lebih memperjelas definisi kebebasan beragama, kita sebaiknya melihat
ketentuan tentang kebebasan beragama dalam instrumen hak asasi manusia dan
regulasi yang ada di Indonesia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18
menyebutkan: ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan,
dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
44
M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama.” artikel diakses tanggal 16 Juni
2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 45
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,
Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 228.
Pengertian ini diperjelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik (KIHSP) 1966, artikel 18 (1), yang menyatakan bahwa, “Setiap orang
mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-
sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan
pengajaran.”
Adapun Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 (e) ayat 1 dan 2,
menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali, 2) Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain itu, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak
Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Dengan demikian, penulis dapat menarik definisi kebebasan beragama,
yang berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau
menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup
– untuk menjalankan agama atau kepercayaanya, dalam kegiatan ibadah, ketaatan,
pengamalan dan pengajaran, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan
dilindungi oleh negara.
Kebebasan beragama juga merupakan bagian dari hak asasi keagamaan.
Hak asasi keagamaan dimaksudkan sebagai hak inheren seseorang di ranah privat
ataupun publik untuk beribadah ataupun tidak beribadah sesuai dengan kesadaran,
pemahaman, ataupun pilihannya; untuk membuktikan dan menyebarkan
kepercayaannya; untuk bergabung dalam sebuah lembaga keagamaan; dan untuk
mengubah identitas keagamaannya – seluruhnya tanpa gangguan, penganiayaan,
atau diskriminasi. Hak asasi keagaman memerlukan kesetaraan semua agama,
termasuk yang tidak beragama, di hadapan hukum, dan karenanya, sesuai dengan
hukum, seorang warga negara tidak boleh mendapatkan keuntungan juga kerugian
dikarenakan kepercayaan atau identitas keagamaannya.46
Dalam sejarah Eropa, prinsip kebebasan beragama berakar pada konsep
kebebasan berpikir dan berkesadaran (liberty of thought and liberty of
conscience). Sebuah konsep yang muncul pertama kali dalam Perjanjian
46
James E. Wood Jr., “Religious Human Rights and a Democratic State,” Journal of
Church and State Vol. 46, p. 739.
Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri sejarah peperangan atas nama agama di
Eropa.47
Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dan realitas sosial tidak
muncul dalam perkembangan sejarah umat manusia, paling tidak, sampai akhir
abad ke-18, sebagaimana terlihat dalam permulaan kelahiran negara Amerika
Serikat dan Revolusi Perancis. Kebebasan beragama menjadi inti hak asasi
manusia – bahkan yang paling mendasar – yang dideklarasikan secara simultan
dalam Deklarasi Perancis tahun 1789 (The French Declaration des droits des
hommes et citoyens) dan Bill of Rights Amerika Serikat.48
Dalam pemikiran politik, konsep kebebasan mendapatkan penafsiran yang
beragam. Salah satu definisi kebebasan di antaranya bahwa tiadanya halangan
atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat. John Locke mengemukakan bahwa
hukum sekalipun tidak boleh membatasi kebebasan, dan justru harus menjaga dan
memperluas kebebasan.49 Di sisi lain, pandangan modern memandang bahwa
kebebasan diakui menemui batasannya bila berbenturan dengan hukum positif.
Werner Becker memahami kebebasan dalam arti seseorang dalam batasan-batasan
yang telah ditentukan bisa berbuat atau meninggalkan apa yang dikehendakinya.
Batasan-batasan ini boleh jadi adalah kondisi biologisnya ataupun hukum
47
Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan beragama sebagai dictum internasional
dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnawami tahun 1959, Study of Discrimination in the
Matter of Religious Rights and Practice, lihat Natan Lerner, “The Nature anf Minimum of
Freedom of Religion or Belief,” dalam Tore Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of
Religion or Belief: A Deskbook, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004), pp. 68-69. 48
Leonard Swindler, “Freedom of Religion and Dialogue,” dalam Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. 761.
49 Norman Berry, An Introduction to Modern Political Theory (New York: St. Martin’s
Press, 1981), h. 157-163. Dikutip dari Masykuri Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam
Konteks Masyarakat Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang
Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina, 2007), h. 189.
positif.50
Sementara itu, John Stuart Mill menolak kebebasan yang bisa
membahayakan orang lain (harm to others).51
Untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan terdapat tiga
segi agama. Pertama, agama sebagai kepercayaan.52 Agama sebagai kepercayaan
menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan,
kebenaran, atau doktrin kepercayaan.53 Kepercayaan terhadap agama
menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam,
karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama
mendasari realitas kehidupan.
Kedua, sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin,
agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal
ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga,
etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama
merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.54
Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life).
Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi
50 Werner Becker, Die Freiheit, die Wir Meinen (Munchen-Zurich: R. Piper & Co.
Verlag, 1982), h. 111. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat
Indonesia,” h. 189. 51
Andrew Heywood, Political Theory; An Introduction (New York: St. Martin’s Press,
1994), h. 258 dan 270. Dikutip dari Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat
Indonesia,” h. 189. 52
T. Jeremy Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in
International Law,” Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, 2003, p. 200. 53 Dalam studinya atas kecurigaan agama, Allport mengidentifikasi dua “kutub tipe
affiliasi keagamaan.” Gordon W. Allport, “The Religious Context of Prejudice,” Journal for
Scientific Study of Religion 5 (1966), p. 452. Pertama, yang berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai kepercayaan” sebagaimana dijelaskan di sini, Allport mengindentifikasi
sebagai “kelembagaan” dan ia menyarankan segi tersebut berdasar pada adopsi kepercayaan
sukarela masyarakat. Kedua, “komunal” berhubungan secara umum dengan segi “agama sebagai
identitas”. 54
Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International
Law,” p. 201.
yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai
jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas
keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu,
mengharamkan daging babi, ataupun menyunat.55 Dalam segi ini, keimanan
berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan. Tampak bahwa
dalam segi ini, agama sangat bersinggungan dengan kepentingan publik. Ini
berarti, agama tidak cukup hanya berupa kepercayaan akan spiritualitas yang
sifatnya interior, ataupun sebagai identitas afiliasi kelompok saja.
Banyak pihak menghormati kebebasan beragama sebagai salah satu hak
asasi manusia terpenting di era modern: “Sebuah elemen esensial dalam tata
internasional yang baik yakni kebebasan beragama.”56
Lebih dari penting, banyak
pihak berpendapat bahwa kebebasan beragama ialah hak dasar doktrin hak asasi
manusia modern. Kebebasan beragama dijelaskan sebagai, “kemenangan
kebebasan yang paling berharga,”57 “kebebasan pertama, pembentuk, fons et origo
atas seluruh hak dan kebebasan lainnya.”58 Littell menyatakan, “di antara hak-hak
dasar lainnya, kebebasan beragama adalah yang paling diprioritaskan”.59
Ada banyak alasan beragam atas keutamaan ini, tetapi kebanyakan
komentator cenderung sepakat bahwa kebebasan beragama merupakan dasar
masyararakat demokratis dan bebas. Mereka memahami bahwa kebebasan politik
55 Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International
Law,” p. 204. 56
Dari the Amsterdam Declaration by the First Assembly of the World Council of Churches, dalam Ninan Koshy, “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The
Contribution of the World Council of Churches”, Journal of Church and State 38, 1996, p. 141. 57
Franklin H. Littell, "The Ecumenical Commitment to Human Rights", Journal of
Ecumenical Studies 29 (1992), p. 388. 58
Peter L. Berger, "The First Freedom", Commentary 86 (1988), p. 64. 59 Littell, "The Ecumenical Commitment to Human Rights", p. 383.
tidak terpisahkan dari kebebasan beragama. Kebebasan politik berakar pada
kebebasan beragama dan tidak bisa diperkokoh ataupun dikembangkan terkecuali
melaluinya. Semua partai yang berusaha memberi dasar lain atas kebebasan
politik telah gagal dalam usahanya dan hancur dalam rezim tirani.60
Pengakuan atas hubungan khusus antara kebebasan beragama dan
kebebasan dasar lainnya sama sekali tidak terpisahkan dari observasi ini. Lebih
dari 150 tahun lalu, Audi menyatakan:
Jelas bahwa sebuah masyarakat tanpa kebebasan beragama belum benar-benar
bebas. Lebih jauh, kebebasan diperlukan demokrasi... Karenanya, jika idealita seseorang
ialah sebuah masyarakat demokratis dan bebas, ia membutuhkan kerangka sosial
(konstitusional) untuk menjamin paling tidak hal berikut: (1) kebebasan atas kepercayaan
agama, dipahami sebagai melarang negara atau siapapun untuk menanamkan kepercayaan agama dalam populasi umum, yang dimaksudkan untuk meng-eksklusi atau membatasi
perkembangan persaingan kepercayaan agama; (2) kebebasan untuk beribadah meliputi,
minimal, hak kementrian kerukunan beragama, juga hak memanjatkan doa seorang diri;
dan (3) kebebasan untuk ikut serta dalam (dan mengajar anak-anak) upacara dan ritual
keagamaan, memelihara praktek-praktek keagamaan tersebut tanpa melanggar hak-hak
moral dasar.61
Berbagai pengakuan atas urgensi kebebasan beragama tersebut
memposisikan kebebasan tersebut sebagai sebuah instrumen hak asasi manusia
terpenting dalam sejarah manusia. Pengakuan tersebut diabadikan dalam
instrumen-insturmen hak asasi manusia internasional, seperti Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) tahun 1948 dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights
atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) tahun 1966.
60
Abbé Hugues-Félicité Robert de Lamennais dalam C. B. Hastings, "Hughes-Félicité
Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of Religious Liberty", Journal of Church and State 30
(1988), p. 321. 61
Robert Audi, "The Separation of Church and State and the Obligations of Citizenship",
Philosophy and Public Affairs 18 (1989), pp. 265-66.
Freedom of religion or belief, in its current historical form, is a universally applicable human rights instrument. At the
normative level, it has been clear from the beginning of the modern human rights era that freedom of religion is a fundamental rights. Emerging from the ashes of the second World War, the right has been articulated most
authoritatively in article 18 of both the Universal Declaration of Human Rights and the International Covenant on
Civil and Political Rights. Individuals – all human beings everywhere in the world – are the primary holders and beneficiaries of this freedom; states – ideally under continual critical scrutiny by informed citizens – are the primary
addresses and thus the primary holders of the correlative onligations. Beyond the religious freedom provisions of the
Universal Declaration and the ICCPR, key elaborates us and specifications of the human right to freedom of religion or belief are provided by the 1981 Declaration. The United Nations Human Rights Committee General Comment No.
22 (48) provides normative substance to article 18 of the ICCPR.
(Kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam sejarahnya, merupakan
instrumen pelaksanaan hak asasi manusia Secara normatif, telah jelas sejak awal masa
hak asasi manusia modern bahwa kebebasan beragama adalah hak yang sangat mendasar. Timbul dari sisa-sisa Perang Dunia ke-2, hak kebebasan beragama diartikulasikan paling
otoritatif dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil
dan Politik. Individu – semua manusia di seluruh dunia – merupakan pemilik utama dan
pihak yang diuntungkan dari kebebasan ini, negara – yang idealnya di bawah kritikan
tajam yang terus menerus disampaikan oleh warga negara yang terdidik – menjadi alat
utama dan juga pemilik utama kewajiban-kewajiban terkait hak tersebut. Melampaui
ketentuan kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
KIHSP, kunci dan spesifikasi yang memperinci hak asasi kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi kita disajikan oleh Deklarasi 1981. Komentar Umum No. 22 (48)
Komite Hak Asasi Manusia PBB menyajikan substansi normatif atas pasal 18 KIHSP.)62
DUHAM tahun 1948, artikel 18 menyebutkan: ”...Setiap orang berhak atas
kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan
untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama
atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan
ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum
maupun secara pribadi...”
Dalam redaksi lain, KIHSP tahun 1966, artikel 18 (1) menyatakan bahwa:
“...Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,
62
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp.
xxxvii-xxxviii.
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan,
pengamalan dan pengajaran...”
Kebebasan beragama memiliki dua dimensi. Pertama, kebebasan internal
(forum internum), artinya “bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama
tertentu,” termasuk pindah dari satu agama ke agama yang lain. Meski demikian,
kebebasan internal ini tidak secara otomatis melahirkan hak untuk
memanifestasikan dan menyiarkan agama di ranah publik. Hal ini dikarenakan
adanya dimensi kedua dari kebebasan beragama.
Dimensi kedua ialah kebebasan eksternal (forum externum), yakni hak
kondisional yang bisa menjadi subjek pembatasan karena bersinggungan dengan
hak-hak asasi orang lain. Kebebasan eksternal ini dengan jelas terutama dapat
disaksikan dalam dokumen KIHSP tahun 1966, yang sekaligus membedakannya
dari DUHAM 1948. KIHSP tahun 1966, artikel 18 (3) berbunyi: “...Kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,
kesehatan atau moral masyarakat atau hak mendasar dan kebebasan orang lain...”
Kedua dimensi kebebasan beragama ini saling berkaitan dan tidak bisa
dipisahkan. Akibatnya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan tanpa batasan.
Penegakan kebebasan beragama tetap harus mempertimbangkan keamanan,
ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, yang dirangkai dalam suatu
ketentuan hukum. Kebebasan beragama seseorang juga dibatasi oleh pengakuan
atas hak dasar dan kebebasan orang lain.
Inti normatif dari hak asasi kebebasan beragama bisa dipadatkan dalam
delapan komponen, antara lain:63
1. Kebebasan internal: Setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk semua
orang untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengganti
agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, baik sendiri
maupun di dalam masyarakat dengan yang lainnya, di ruang pribadi
ataupun publik, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
3. Anti-kekerasan: Tidak seorang pun boleh ditundukkan atas kekerasan yang
akan merusak kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi agama dan
kepercayaan sesuai pilihannya.
4. Anti-diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan
memastikan seluruh individu dalam wilayahnya tunduk terhadap jaminan
hukum kebebasan beragama tanpa memandang bulu dalam segala hal,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,
politik, kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status-status lainnya.
5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua atau wali untuk memastikan pendidikan agama dan
moral anak-anak mereka dalam sesuai dengan hukum dan perlindungan
63
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, pp.
xxxviii-xxxix.
hak kebebasan beragama anak-anak sejalan dengan perkembangan
kapasitas anak.
6. Kebebasan dan kedudukan hukum perusahaan: Aspek vital kebebasan
beragama, terutama dalam masa kontemporer, ialah komunitas keagamaan
memiliki kedudukan dan hak kelembagaan untuk mewakili hak dan
kepentingannya sebagai masyarakat. Komunitas keagamaan karenanya
memiliki hak kebebasan beragama, yang mencakup hak otonomi dalam
urusan sendiri. Walaupun mereka tidak memiliki status kedudukan hukum
yang formal, mereka tetap memiliki hak memperoleh status legal sebagai
bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka dan
khususnya sebagai aspek kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan
agama tidak hanya secara individual, tetapi dalam masyarakat bersama
yang lainnya.
7. Batas pembatasan yang diizinkan pada kebebasan eksternal: Kebebasan
untuk memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang dapat
ditundukan hanya kepada pembatasan-pembatasan tertentu sebagaimana
ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk perlindungan keselamatan
publik, tata tertib, kesehatan atau moral atau hak fundamental orang lain.
8. Tidak dapat dikurangi (Non-derogable): Negara tidak boleh mengurangi
hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan
darurat sekalipun.
Walaupun kebebasan beragama berlaku untuk individu, kebebasan
beragama juga mencakup perlindungan aktifitas masyarakat dan hubungan antar
generasi. Komunitas keagamaan mengambil keuntungan dari perlindungan yang
diberikan atas aktifitas masyarakat. Negara dibebani dengan kewajiban-kewajiban
terkait untuk menjamin hak institusional kelompok-kelompok agama.64
Dalam uraian yang sedikit berbeda, Siti Musdah Mulia menyebutkan
beberapa prinsip kebebasan beragama, yang antara lain:65
Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih
agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan
melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kebebasan beragama berarti kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan
misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu
tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung
ataupun tidak langsung. Termasuk tidak mengeksploitasi kebodohan dan
kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia
sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun dengan
syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk berpindah agama, artinya
berpindah pilihan agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara
berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya
dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat.
64
Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. ix. 65
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,
Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 228-231.
Kebebasan beragama mencakup kebebasan perkawinan antara dua orang yang
berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan
sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan
eksploitasi, seperti perdagangan perempuan dan anak perempuan
(trafficking in women and children), asalkan perkawinan tersebut dicatat
di lembaga catatan sipil.
Kebebasan beragama mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama
manapun di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di lembaga
pendidikan milik pemerintah. Setiap siswa atau mahasiswa berhak
memilih atau menentukan agama manapun yang akan dipelajarinya, dan
tidak dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian
juga, kebebasan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu.
Kebebasan beragama memberi ruang pada kemunculan aliran keagamaan
tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak mengganggu
ketentraman umum dan tidak pula melakukan praktit-praktik yang
melanggar hukum. Kebebasan itu berlaku pula untuk mereka yang
mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan
emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu sesuai dengan
pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan
terhadap suatu agama atau kepercayaan sebagai syarat.
Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada
semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di suatu negara.
Negara tidak boleh bersikap dan berbuat diskriminatif terhadap mereka.
Tidak ada istilah mayoritas-minoritas, penganut agama samawi dan non-
samawi, agama asli dan agama pendatang, serta agama resmi dan tidak
resmi.
Regulasi Kebebasan Beragama di Indonesia
Dalam konteks sejarah, Indonesia ternyata telah lama menegakkan
berbagai kebijakan terkait kebebasan beragama. Usaha atas regulasi kebebasan
beragama di Indonesia telah berlangsung sejak abad XVI-XVII. Catatan sejarah
kebebasan beragama di Indonesia ini didasarkan atas kesaksian para pelancong
asing yang pada masanya berkunjung ke Indonesia. Berdasarkan catatan mereka,
beberapa kesultanan/kerajaan di Indonesia telah mengadakan usaha-usaha ke arah
penghargaan atas kebebasan beragama.
Vincent Le Blanc – seorang pengembara asal Perancis yang mengunjungi
Kesultanan Banten pada abad XVII, kira-kira pada masa ayahanda Sultan Ageng
Tirtayasa, yaitu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M.) –
menyaksikan bahwa Sultan Banten memberikan kebebasan beragama kepada
rakyatnya dan juga orang asing yang mengunjungi Banten. Sultan Banten
memberikan izin kepada orang Cina untuk memberikan klenteng sebagai rumah
ibadah mereka. Selain itu, Sultan Banten memberikan izin bagi para pendeta
Katolik untuk menjalankan ritual keagamaan mereka di tanah Banten.66
66
Lihat Pierre Bergeron, ed., Les Voyages Fameux du Sieur Vincent Le Blanc Marseillais
(Paris: Gervais Clousier, 1649), h. 148-149. Dikutip dari Ayang Utriza NWAY, “Islam dan
Pluralisme di Indonesia,” dalam Hakim, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk
Mengenang Nurcholish Madjid, h. 314.
Nicolas Gervaise – seorang pendeta Katolik Perancis yang pada abad XVII
berdiam di Thailand – mencatat toleransi tinggi yang diberikan oleh Kesultanan
Makassar terhadap umat Katolik Portugis, sebagaimana yang ia dengar dari orang-
orang yang pernah berkunjung ke sana. Dia menulis bahwa Sultan Makassar (ket:
Gervaise tidak menuliskan namanya) mempersilahkan umat Katolik untuk
menjalankan ibadah mereka di ruang publik. Sultan Makassar mendirikan pula
sebuah gereja indah dan besar untuk umat Katolik dari Portugal itu. Selanjutnya,
Sultan Makassar memberikan kebebasan beragama bahkan bagi para misionaris
Katolik dan orang Portugis yang memutuskan untuk menetap di Makassar.67
Di Kesultanan Aceh, James Lancaster – orang Inggris yang melakukan
kontak dagang dengan Aceh pada tahun 1011 H./1602 M. – menceritakan bahwa
terdapat ulama besar di Kesultanan Aceh yang bernama Syamsuddin al-Sumatra’i
(w. 1039 H./1630 M.). Lancaster menceritakan bahwa al-Sumatra’i mengajak
berdiskusi Jenderal Inggris mengenai agama Kristen. Sayangnya, jenderal
menolak karena ia datang ke Aceh untuk berdagang dan bukan berdiskusi tentang
agama.68
67
Nicolas Gervaise menulis, “...il leur donna aussi la liberte d’y faire l’exercise public de
leur religion.” (artinya: ...dia [Raja Makassar] memberikan kepada mereka [orang-orang Portugis]
kebebasan menjalankan agama mereka [Katolik] di tempat umum). Gervaise melanjutkan, “...il
leur fit batir une eglise magnifique dans une ville qu’il donna aux marchands de cette nation pour
etablir leur commerce.” (artinya: ...Raja Makassar mendirikan sebuah gereja ang menkjubkan di
dalam kora Makassar yagn dia berikan kepada para pedagang dari Portugal untuk melancarkan
perdagangan mereka). Kemudian Gervaise menulis, “Quand aux Portugais et aux missionaire qui
etaient venus s’etablir dans ke Macassar, ils conserverent toujours ler bonnes graces du roi et le
libre exercise de leur religion.” (artinya: Adapun orang-orang Portugis dan para Missionaris yang
datang dan menetap di Makassar, mereka tetap terus mendapatkan kemurahan hati dari para raja dan kebebasan menjalankan agama mereka). Lihat Nicolas Gervaise, Description Historique du
Royaume de Macassar (Paris: Kime, 2003), h. 105-106. Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan
Pluralisme di Indonesia,” h. 315-316. 68
James Lancaster, “The First Voyage Made to East-Indie by Master James Lancaster,”
dalam Samuel Purchas, ed., Purchas His Pilgrimes (London: William Stansby, 1625), h. 156.
Dikutip dari Utriza NWAY, “Islam dan Pluralisme di Indonesia,” h. 316.
Perjuangan untuk menegakkan prinsip kebebasan beragama di Indonesia
sebenarnya tidak berangkat dari nol sama sekali. Sejak berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agama menempati posisi yang sangat
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar negara Indonesia,
Pancasila, dengan tegas menyebutkan dalam sila pertamanya, bahwa dasar negara
Indonesia ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sejarahnya, keputusan
untuk menetapkan dasar negara Pancasila memang menemui dialektika yang tidak
sederhana. Namun, bagaimana pun ketatnya perdebatan yang telah terjadi, hingga
saat ini Indonesia menganut Pancasila sebagai dasar negaranya. “Ketuhanan Yang
Maha Esa” menjadi legitimasi utama dalam penegakan toleransi dan kebebasan
beragama. Asas netralitas negara atas pluralitas agama dan kepercayaan
masyarakat menjadi landasan pokok berdirinya NKRI ini.
Dalam instrumen hak asasi manusia, kebebasan beragama termasuk ke
dalam kategori hak sipil dan politik. Di Indonesia, instrumen-instrumen yang
mengatur hak sipil dan politik ini antara lain:
1. UUD 1945 (Pasal 28 A, 28 B (ayat 1, 2), 28 D ayat (1, 3, 4), 28 E ayat
(1, 2, 3), 28 F, 28 G ayat (1, 2), 28 I ayat (1, 2);
2. Ketetapan MPR Nomor XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;
4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia;
5. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
6. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Pasal 9-Pasal 35);
7. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahaan Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966;
8. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi
Hak-hak Anak;
9. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948.
Hal-hal yang dilakukan Indonesia dalan Menjamin dan Melindungi Hak-
hak Sipil dan Politik warga negara, antara lain:
1. Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia
yang terkait tentang Hak-hak Sipil dan Politik;
2. Mengamandemenkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memasukan
BAB yang mengatur HAM tersendiri;
3. Harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan;
4. Melakukan diseminisasi dan sosialisasi di seluruh wilayah Republik
Indonesia terkait dengan Hak-hak Sipil dan Politik;
5. Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional
Perlindungan anak dan Komisi Nasional Perempuan;
6. Pembentukan Kementerian Negaran Urusan HAM yang menangani
masalah HAM yang kemudian di gabung dengan Departemen Kehakiman dan
HAM yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia;
7. Mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui
Pengadilan HAM Ad Hock;
8. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009 yang
berisi tentang pedoman kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara
berencana dan terpadu pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan
penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Sebelum Januari 2006, Indonesia hanya mengakui lima agama resmi;
Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu. Akhirnya, Konghucu mendapatkan
pengakuan sebagai agama resmi ke-6. Organisasi-organisasi keagamaan selain
dari keenam agama yang diakui tersebut dapat mendaftar ke Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi sosial yang melarang
kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Pemerintah mensyaratkan kelompok-
kelompok keagamaan yang diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi
Departemen Agama dan departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama
Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat (2006), Bantuan Asing
kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman Penyiaran Agama
(1978).
Sementara itu, pada dasarnya, jaminan atas kebebasan beragama di negara
ini sudah cukup kuat. Jaminan dimaksud yaitu:
Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang
menyebutkan bahwa: 1) “...Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali...” 2) “...Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya...” Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1)
“...Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa...” 2) “...Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu...”
Kedua, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi
Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) “...Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu...” 2) “...Negara menjamin kemerdekaan setiap orang
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu...” Selain itu, juga terdapat dalam Pasal 8 yang berbunyi:
“...Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia
menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah...”
Ketiga, UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik. Dengan meratifikasi KIHSP tersebut, Indonesia berarti
terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); Hak orang
untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas
kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); Persamaan kedudukan semua
orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis,
agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (negara yang
terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut) (Pasal 27).
Selain regulasi fundamental di atas, Indonesia memiliki beberapa
peraturan – yang akhirnya diketahui bertanggung jawab atas beberapa kasus
pelanggaran kebebasan beragama – sebagai turunan dari konstitusi dan undang-
undang di atas.
Revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969 tentang Pendirian
Rumah Ibadah dilakukan pemerintah pada tahun 2006. Tujuan revisi itu adalah
mempermudah pendirian rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi
mengharuskan kelompok agama yang hendak membangun rumah ibadah baru
untuk mengumpulkan 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan
pemeluk agama lain yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian
rumah ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat. Sementara itu,
Pedoman Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan mengharuskan lembaga
keagamaan dalam negeri untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Agama
sebelum menerima dana dari donor asing. Adapun Pedoman Penyebaran Agama
melarang ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi.
Berkaitan juga dengan aturan pedoman penyebaran agama, Undang-
undang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah
keyakinan anak pindah agama melalui ”tipu muslihat” dan/atau ”kebohongan”
sebagai kejahatan yang dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.
Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan
penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara.
Walaupun hukum diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi,
namun pasal ini biasanya berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan
dan penodaan terhadap Islam. Pasal ini sangat sering memicu kontroversi dalam
hal kebebasan beragama di Indonesia.
Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang
Administrasi Kependudukan yang mengharuskan warganegara
mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam
agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-undang tersebut melegalisir apa
yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di seluruh negeri. Undang-
undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain dalam KTP tersebut.
Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No.
37/2007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan
Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk
memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk
mendaftarkan ijin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut,
sehingga membuat perkawinan-perkawinan ini diakui secara resmi.
Sungguhpun demikian, keberadaan jaminan atas prinsip kebebasan
beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini – baik dalam
konstitusi, maupun dalam undang-undang – masih belum terimplementasi dengan
baik dalam pratiknya. Kekeliruan dimaksud adalah ketidaksesuaian antara apa
yang seharusnya dengan apa yang nyatanya terjadi berdasarkan parameter norma,
standar dan hukum HAM internasional maupun konstitusi, hukum, undang-
undang dan peraturan yang relevan dan konsep HAM internasional, terutama hak-
hak sipil keagamaan (religious civil rights) yang spiritnya tidak lain adalah prinsip
kebebasan beragama itu sendiri. Kekeliruan dimaksud bisa dilakukan oleh negara
sebagai pihak yang telah terikat dalam traktat HAM internasional maupun anggota
masyarakat sendiri, yang secara sengaja atau tidak sengaja, paham atau tidak
paham tentang prinsip-prinsip HAM, dalam bentuk pelanggaran terhadap prinsip
kebebasan beragama.
Berbagai regulasi yang dibuat negara terkait dengan kehidupan
keberagamaan malah sangat sering menjadi pangkal masalah kasus-kasus
pelanggaran kebebasan beragama. Selain, tentu saja, adanya motif subjektif dari
kelompok-kelompok masyarakat yang berniat melanggar kebebasan beragama di
Indonesia.
Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama di
Indonesia
Meskipun regulasi negara yang mengatur tentang perlindungan kebebasan
beragama cukup banyak dianut oleh Indonesia, namun berbagai pelanggaran atas
kebebasan beragama tetap saja berlangsung hingga saat ini. Belakangan,
sepanjang tahun 2003 s.d. 2008, kita menemukan beragam pola pelanggaran
kebebasan beragama yang terjadi dalam berbagai level dan dengan pelaku
pelanggaran yang berbeda-beda. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, intensitas
pelanggaran kebebasan beragama semakin meruncing akhir-akhir ini.
Untuk lebih memahami berbagai pelanggaran kebebasan beragama
tersebut, maka kita akan memetakan pola pelanggaran kebebasan beragama di
Indonesia ke dalam kategori-kategori berikut ini:
1. Pembatasan Negara atas Pengakuan Status Agama Resmi
Departemen Agama RI menambah status agama resmi menjadi
enam, setelah sejak Januari 2006 Konghucu dianggap sebagai agama
resmi. Sebelumnya, agama resmi yang diakui hanyalah Islam, Katolik,
Protestan, Budha dan Hindu. Atheisme tetap tidak diakui. 69
Organisasi agama di luar enam agama resmi ini diperbolehkan
mendaftar ke Departemen Pariwisata, dan itu pun semata-mata sebagai
organisasi sosial. Akibatnya, ada pelarangan sejumlah kegiatan
keagamaan tertentu dan pelarangan agama-agama yang jumlah
pemeluknya sedikit (minoritas).70
Pemerintah memperbolehkan praktek Aliran Kepercayaan Asli
Indonesia, namun hanya sebagai manifestasi budaya, dan bukan sebagai
69 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,” Diakses pada tanggal 21
Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_
2007. html. 70
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” Diakses pada tanggal 21
Nopember 2008 dari
http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/kebebasan_beragama1.html.
agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen
Pendidikan Nasional.71
2. Diskriminasi Pelayanan Catatan Sipil terhadap Agama Minoritas
Pemerintah gagal memberikan perlakuan setara di bidang-bidang
tertentu, seperti catatan sipil kepada penganut agama minoritas. Kaum
animis, Baha’i dan yang lainnya menemui kesulitan mendapatkan Kartu
Tanda Penduduk (KTP). Pemerintah mewajibkan semua warga negara
dewasa memiliki KTP, dengan mencantumkan agama yang dipeluknya.
Beberapa petugas serta merta menolak penganut agama minoritas
mendapatkan KTP, sementara yang lainnya tidak secara akurat
mencantumkan agama yang dianut oleh pemilik KTP. Misalnya, banyak
animis yang memiliki KTP mendapati agama yang tercantum dalam KTP
mereka adalah Islam atau agama resmi lainnya. 72 Banyak penganut Sikh
yang dicantumkan sebagai penganut Hindu dalam KTP karena pemerintah
tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warga negara yang tidak
memiliki KTP menemui kesulitan dalam mendapatkan perkerjaan.73
Modus seperti ini dialami oleh para penganut agama atau
kepercayaan minoritas lainnya dalam pencatatan pernikahan. Mereka
kesulitan mendaftarkan atau mencatatkan pernikahan atau kelahiran
karena pemerintah tidak mengakui agama mereka, meskipun terdapat
71
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,” Diakses pada tanggal 21
Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan%20kebebasan%20
beragama% 202005-1.html. 72
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,” 73 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan administrasi
perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk
mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai
dengan keyakinannya masuk ke dalam agama atau menyatakan seolah-
olah mereka penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Bila
mereka memilih untuk tidak mencatatkan pernikahannya atau kelahiran
anaknya, di masa yang akan datang akan mendapatkan kesulitan, seperti
anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan
tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka juga tidak
memenuhi syarat untuk bekerja sebagai pegawai negeri.74
Kelahiran anak
dari pernikahan yang tidak didaftarkan atau dicatatkan secara otomatis
menyebabkan anak mereka tidak bisa mendapatkan akte kelahiran.
Bahkan anak tersebut dapat tercatat sebagai anak di luar nikah, dan hanya
dicatat sebagai anak dari pihak ibu saja.
Selain itu, pasangan laki-laki dan perempuan dari agama yang
berlainan mendapat hambatan besar untuk menikah dan secara resmi
mendaftarkan pernikahan mereka. Mereka kesulitan menemukan pemuka
agama yang bersedia memimpin upacara pernikahan mereka dan
mencatatkan pernikahan semacam ini kepada pemerintah. Akibatnya,
beberapa orang sengaja pindah agama agar bisa menikah. Yang lainnya,
74 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”
pergi ke luar negeri dan menikah untuk kemudian mendaftarkan
pernikahan mereka ke Kedutaan Besar Indonesia.75
3. Pembatasan Pendirian Rumah Ibadah
Pemerintah sejak lama melalui SKB tahun 1969 tentang Pendirian Rumah
Ibadah membatasi pembangunan dan pertambahan rumah ibadah, dan tetap
mempertahankan pelarangan rumah pribadi untuk dijadikan tempat ibadah,
kecuali masyarakat sekitar menyetujui dan kantor Departemen Agama
setempat mengijinkan. Tentu saja, aturan seperti ini sangat mendiskriminasi
pemeluk agama minoritas di suatu wilayah. Padahal, kebutuhan adanya rumah
ibadah tidak terkait secara langsung dengan jumlah mayoritas atau minoritas
suatu umat beragama, melainkan kebutuhan pribadi seorang atau beberapa
penganut agama.
Kenyataannya, mendapatkan dukungan dan persetujuan dari
masyarakat sekitar tidaklah mudah. Bahkan pada beberapa kasus,
meskipun izin dari masyarakat sudah didapat, namun tiba-tiba sekelompok
orang dari luar lingkungan itu datang dengan membawa daftar panjang
tanda tangan yang menolak proyek pembangunan rumah ibadah tersebut,
akibatnya izin pendirian rumah ibadah pun tertunda. Diskriminasi ini tidak
hnya dialami oleh para penganut agama non-muslim di tengah-tengah
mayoritas masyarakat muslim. Selain itu, pemerintah menyatakan secara
rutin menerima keluhan dari Muslim di Papua, Nusa Tenggara Timur,
75 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”.
Sulawesi Utara, dan provinsi-provinsi lain, yang melaporkan kesulitan
yang ditemui dalam pendirian masjid di wilayah-wilayah itu.76
Pemerintah akhirnya merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB)
tahun 1969 tentang Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006 sebagai
respons atas adanya kelompok militan yang mendasarkan tindakannya
pada SKB tahun 1969. Tujuan revisi itu adalah mempermudah pendirian
rumah ibadah baru. SKB yang telah direvisi mengharuskan kelompok
agama yang hendak membangun rumah ibadah baru untuk mengumpulkan
90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan pemeluk agama lain
yang berada dalam komunitas itu yang mendukung pendirian rumah
ibadah serta persetujuan dari kantor urusan agama setempat.77
Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang
direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006,
pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB
tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Sebagian umat
Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara
sporadis, di mana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin
pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah
mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya,
Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak
bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah
76
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003,”. 77
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” Diakses pada tanggal 21
Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/laporan_kebebasan_beragama_
2006-2.html.
mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta.78
Selain itu,
beberapa kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa adanya
campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan Bersama
terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk
memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat
tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di
lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan
gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan
dalam penutupannya.79
4. Penyerangan Bangunan dan Fasilitas Agama
Selain adanya aturan pembatasan dari pemerintah terhadap masyarakat untuk
mendirikan fasilitas keagamaan, seperti rumah ibadah, sebagian masyarakat
merasa berhak untuk mengambil alih otoritas pemerintah tersebut. Di antara
masyarakat muncul berbagai gerakan yang cenderung ke arah penyerangan
dan perusakan bangunan dan fasilitas agama.
Di Perbangunan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara,
kelompok Kristen Lutheran membeli tanah pada tahun 2003 untuk
mendirikan sebuah gereja baru, tetapi militan Islam dari luar wilayah
tersebut menghancurkan gereja yang baru setengah jadi itu. Di tempat
lain, pada tanggal 3 Oktober 2004, Forum Komunikasi Umat Islam
Karang Tengah, sebuah kelompok masyarakat Muslim setempat dengan
78
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”. 79 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
bantuan dari anggota Front Pembela Islam (FPI), mendirikan tembok
setinggi dua meter dan selebar lima meter yang memblokir akses menuju
Sekolah Katholik Sang Timur. Warga sekitar yang mayoritas beragama
Islam merasa keberatan dengan pengoperasian sekolah tersebut karena
sebuah paroki Katholik secara rutin mengadakan kegiatan keagamaan di
aula sekolah, yang mana bertentangan dengan ijin operasinya. Akhirnya
tembok itu dihancurkan setelah adanya perintah dari pemerintah daerah
setempat pada tanggal 25 Oktober 2004.80
Pada tahun 2005, Imparsial melaporkan serangkaian aksi penutupan gereja yang sebagian besar
terjadi di Jawa Barat.81
No Tanggal Lokasi Nama Gereja
1 21 April 2005 Cisewu, Kabupaten garut Penutupan Pos
Kebaktian Gereja
Pasundan
2 8 Mei 2005 Lembang, Bandung Penutupan Gereja Huria
Kristen Batak Protestan
3 16 Juli 2005 Perum Gading Tutukan
Soreang, Kab. Bandung
Penutupan Gereja
Sidang Jemaat Allah (GSJA)
4 16 Juli 2005 Perum gading Tutukan Soreang, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP)
5 27 Juli 2005 Katapang, Kab. Bandung Penutupan Gereja
Kristen Pasundan (GKP)
6 31 Juli 2005 Karangroto, Kec. Genuk,
Semarang
Penutupan
Pembongkaran Tempat Pembinaan Iman Gereja
Isa Almasih (GIA)
7 31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja
Sidang Jemaat Allah
8 31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja
Anglikan
80
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005,”. 81
Gufron Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan
Kondisi HAM Indonesia 2005 (Jakarta: Imparsial, 2006), h. 67-68.
9 31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja
Pentakosta Filadelphia I
10 31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja
Pentakosta Filadelphia II
11 31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja
Pantekosta di Indonesia
12 31 Juli 2005 Kompleks Permata,
Cimahi, Kab. Bandung
Penutupan Gereja Bethel
Indonesia
13 7 Agustus 2005 Kec. Haurgeulis, Kab.
Indramayu
Penutupan Gereja
Kristen Kemah Daud
(GKKD)
14 7 Agustus 2005 Kampung Warung Mekar
Ds. Bungursari RT. 6/ RW.
3, Kec. Bungursari, Kab.
Purwakarta
Penutupan Gereja
Kristen Kemah Daud
(GKKD)
14 12 Agustus 2005 Penutupan TK Tunas
Pertiwi
15 22 Agustus 2005 Bandung Penutupan Gereja
Kristen Pasundan
Dayeuhkolot
16 27 Agustus 2005 Margahayu, Kab. Bandung Penutupan Gereja
Katholik
17 28 Agustus 2005 Ciledug Penutupan Gereja
Kristen Indonesia
18 11 September
2005
Jalan Melati Raya Ujung,
Perumahan Jatimulya,
Kampung Jati, Desa Jatimulya, Kec. Tambun,
Kab. Bekasi
Penutupan Gereja
HKBP (Huria Kristen
Batak Protestan) Getsemani
19 11 September
2005
Jalan Melati Raya Ujung
No. 2, Bekasi
Penutupan Gereja
Kristen Indonesia (Gekindo)
20 - Cileunyi Penutupan GGP Padalarang
21 - Cileunyi Penutupan GBT
22 - Cileunyi Penutupan GPDI
23 - Cileunyi Penutupan GKP Ketapang Soreang
24 - Cileunyi Penutupan GSJA
Setelah pemerintah memberlakukan Peraturan Bersama tentang
Pendirian Rumah Ibadah pada tahun 2006, yang merupakan revisi SKB
tahun 1969, kelompok militan secara paksa menutup dua gereja tanpa
adanya campur tangan aparat kepolisian meskipun dalam Peraturan
Bersama terdapat masa tenggang (grace period) selama dua tahun untuk
memperoleh izin. Dua puluh gereja lainnya, yang tutup setelah mendapat
tekanan dari kelompok militan, tetap ditutup. Meski selalu hadir di
lapangan, polisi hampir tidak pernah bertindak untuk mencegah penutupan
gereja secara paksa dan terkadang malah membantu kelompok militan
dalam penutupannya.82
Pada tanggal 31 Maret 2006, Puluhan orang yang tergabung dalam
Aliansi Masyarakat Kota Tangerang kemarin pagi "menyegel" Taman
Kanak-kanak Kristen, Daniel, di Kelurahan Batusari, Kecamatan Batu
Ceper, Tangerang, Banten. Mereka membentangkan spanduk-spanduk
berisi protes atas keberadaan sekolah itu di pintu masuk dan gerbang
sekolah. Menurut ketuanya, Tubagus Mahdi, pengelola sekolah belum
memiliki izin lingkungan dan pendidikan dari Departemen Pendidikan
Nasional, meski sudah beroperasi beberapa bulan. Kepala Sekolah TK
Daniel, Teddy, menjelaskan izin lingkungan dan pendidikan sedang dalam
proses. Tapi izin secara lisan telah diberikan oleh ketua RT, RW, dan
lurah setempat. Itu sebabnya, ia membantah warga memprotes keberadaan
sekolahnya.83
Pada tanggal 30 November 2005, Pemerintah Tangerang
membongkar lima gereja dan satu musala, yang dibangun di atas lahan
82
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,” . 83
“TK Kristen ‘Disegel’,” berita diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2006/04/01/brk,20060401-75733,id.html.
milik Sekretariat Negara. Namun, pembongkaran oleh Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Tangerang itu dihalang-halangi jemaatnya. Lima
Gereja yang dibongkar adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia, Gereja
Pantekosta Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Pantekosta
Haleluya Indonesia, dan Gereja Bethel Indonesia. Sebuah musala juga
akan dibongkar. Lima gereja itu di satu lokasi, yakni Jalan Danau Sentani
Biru, Bencongan, Kecamatan Curug. Saat Satuan Polisi Pamong Praja
tiba, jemaat sudah siap di geraja masing-masing.84
Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar
Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita
bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat
sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian tersebut, mereka
dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui kebaktian
kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut. Pastor
Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan
umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang
dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan
istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya melarikan diri ke hutan dan
bersembunyi disana hingga mereka ditemukan selamat oleh teman-
temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian pindah
untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.85
84
“Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala,” berita diakses pada
tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2005/11/30/brk,20051130-
69892,id.html 85 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum
Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta,
menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur
yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena para pelajarnya
menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat setempat. FPI
juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta
bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan
bangunan maupun asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk
menghentikan massa tersebut. Sekolah tersebut masih berfungsi hingga
kini.86
5. Kekerasan terhadap Aliran-aliran Agama Minoritas yang Menyimpang
Pemerintah – melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) – sejak lama telah
banyak mengeluarkan larangan berupa fatwa sesat terhadap beberapa aliran
yang dianggap menyimpang dari Islam. Fatwa sesat dan larangan ini ternyata
tidak cukup. Sebagian masyarakat secara nyata melakukan berbagai aksi
kekerasan terhadap pengikut aliran-aliran yang dianggap sesat itu, sekaligus
menghancurkan fasilitas-fasilitas peribadahan dan pendidikan mereka.
Sejak lama MUI telah memberlakukan larangan resmi terhadap Ahmadiyah,
Jamaah Salamullah, Darul Arqam serta aliran-aliran lainnya yang dianggap
menyimpang dari ajaran agama resmi. Meskipun begitu, pemerintah dinilai
lamban mengambil langkah apapun dalam menyikapi larangan itu. Akibatnya,
86 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007,”.
hingga saat ini ancaman kekerasan terhadap para pengikut aliran-aliran itu
masih tetap terpelihara.
Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa (pendapat yang bersifat nonhukum, tidak mengikat, tetapi
berpengaruh yang dikeluarkan oleh pemuka agama Islam) yang
menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari Islam. Atas
pengaruh fatwa itu, pada tahun 1984 Departemen Agama menerbitkan
surat edaran yang melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya di
Indonesia. Pada tahun 2003, Departemen Dalam Negeri menyatakan
bahwa Ahmadiyah diakui secara hukum. Namun, pada tanggal 28 Juli
2005, MUI memperbarui fatwa tahun 1980 itu. Media massa mengutip
pernyataan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni pada bulan Februari yang
menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah harus membentuk agama baru
atau kembali kepada Islam.87
Fatwa MUI memang tidak berniat mempengaruhi masyarakat agar melakukan
aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun fakta di lapangan menunjukkan
setelah diterbitkannya fatwa sesat oleh MUI, maka sebagian masyarakat
segera mengambil langkah sendiri untuk membubarkan segala kegiatan
Ahmadiyah di lingkungannya. Hal yang patut disesalkan ialah walaupun
jumlah pasukan polisi yang diturunkan pada dua penyerangan terpisah
terhadap jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli 2005 banyak, polisi
87 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
tidak menangkap siapa pun. Ini menunjukkan menunjukkan bahwa perangkat
hukum di Indonesia masih lemah dalam menjamin kebebasan beragama.
Meskipun saat itu pemerintah pusat belum mengambil sikap yang
jelas, sebagian pemerintah daerah segera melarang kegiatan Ahmadiyah
setelah kelompok militan menyerang masjid-masjid, rumah-rumah, dan
harta benda lainnya milik Ahmadiyah. Pada bulan Juli 2005 kabupaten
Bogor menerbitkan surat keputusan yang melarang aktivitas Ahmadiyah.
Pada bulan September, menyusul serangan massa ke kompleks
Ahmadiyah, Kabupaten Cianjur secara resmi melarang semua aktivitas
Ahmadiyah. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen
Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan pelarangan terhadap
Ahmadiyah. Tindakan ini merupakan kelanjutan dari pelarangan yang
sudah ada sebelumnya di Lombok Barat (2001) dan Lombok Timur
(1983).88
Pada tanggal 28 September 2005, di Cianjur, para pejabat Cianjur,
yakni Bupati Wasidi Swastomo, Kepala Kejaksaan Negeri Deddi Siswadi,
dan Kepala Kepolisian Resor Ajun Komisaris Besar Anang Suhardi
menandatangani surat keputusan bersama yang melarang aktivitas jemaah
Ahmadiyah di wilayah itu. Wasidi mengatakan, keputusan diambil
berdasarkan pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), DPRD,
Komando Distrik Militer, dan desakan sekitar 40 organisasi Islam di
wilayah itu. Keputusan ini menyusul kejadian pekan lalu, ratusan orang
88 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
menyerbu perkampungan warga jemaah Ahmadiyah di Kecamatan
Cibeber dan Campaka, Cianjur.89
Kejadian pekan sebelumnya, ribuan orang menyerbu Kampung
Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur,
Senin malam tanggal 19 September 2005 hingga Selasa dinihari 20
September 2005. Mereka merusak masjid dan perumahan di
perkampungan jemaat Ahmadiyah di wilayah PTPN VIII Panyairan itu.
Massa yang datang dengan mengendarai sepeda motor dan mobil juga
merusak sejumlah tempat. Di antaranya, di Kampung Rawaekek Desa
Sukadana Kecamatan Campaka, Kampung Panyairan Desa Campaka
Kecamatan Campaka, dan Kampung Ciparay Desa Salagedang Kecamatan
Cibeber.90
Labelisasi sesat tidak berhenti hanya bagi Ahmadiyah. Berbagai
aliran dan sekte lainnya terkena larangan baik dari pemerintah maupun
masyarakat. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen
Agama Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 sekte,
termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehovah, Hari Krishna, dan sembilan aliran
kepercayaan dan menyatakan sekte-sekte menyimpang dari ajaran Islam,
Kristen, dan Hindu. Di tempat lain, sejumlah penganut kelompok kecil
yang berbasis ajaran Islam bentrok dengan aparat kepolisian pada bulan
89
“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10
Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/28/brk,20050928-
67225,id.html. 90
“Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada tanggal
10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/20/brk,20050920-
66852,id.html.
Oktober 2005 di sebuah desa terpencil di Palu, Sulawesi Tengah. Polisi
berupaya melakukan perundingan dengan pemimpin karismatik kelompok
ini yang dikenal dengan nama "Madi” agar ia mau menghadap ke kantor
polisi dan menjelaskan mengapa ia mengancam penduduk desa dan
melarang mereka berpuasa dan salat pada bulan Ramadan. Tiga anggota
kepolisian dan dua anggota sekte ini tewas di tempat. Anggota sekte ini
dilaporkan menyandera dua orang petugas, tetapi kemudian
melepaskannya kembali. Jaksa penuntut pada bulan Januari 2006
menuntut hukuman mati bagi lima anggota kelompok ini.91
Pada beberapa kasus, fatwa sesat MUI berujung dengan dakwaan
penodaan agama dan diselesaikan dengan dijatuhkannya sanksi pidana.
Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri di Jawa Timur memvonis
Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena mempraktikkan salat
dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia, yang oleh MUI disebut sebagai
menodai keaslian ajaran Islam yang berbahasa Arab. Pada tanggal 28
Desember 2005, polisi menangkap Lia Eden, pemimpin Jamaah
Salamullah, dan mengevakuasi dua puluh pengikutnya untuk menghindari
kekerasan saat terjadi keributan yang menuntut pembubaran kelompok
sekte kecil itu. Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri di Jakarta
memvonis Lia Eden dua tahun penjara atas dakwaan penodaan terhadap
ajaran agama. Para pengikut Jamaah Salamullah yang berjumlah sedikit
itu meyakini bahwa malaikat Jibril (Gabriel) menyampaikan wahyu
91 “Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”.
melalui Eden dan mencampuradukkan unsur-unsur agama Kristen dan
Islam. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan
bahwa ajaran Lia Eden sesat.92
Pada beberapa kasus lainnya, sejumlah orang dituntut dan
ditangkap atas tuduhan melecehkan dan menodai ajaran Islam. Pada bulan
September 2005 pengadilan di Jawa Timur memvonis enam orang terapis
narkoba dan kanker lima tahun penjara dan tiga tahun penjara atas
dakwaan melanggar ajaran Islam. Fatwa MUI setempat menyatakan
bahwa ajaran pusat rehabilitasi ini sesat. Polisi menangkap para terapis ini
saat mereka sedang mempertahankan diri dari serangan ratusan orang ke
kantor mereka. Pada bulan Januari 2006, pemerintah mendakwa Sumardi
Tappaya, guru agama sebuah SMU di Sulawesi, atas penghinaan agama
yang dapat dipidana maksimal 5 tahun penjara. Polisi menahan Tappaya
setelah seorang kerabatnya menuduhnya melakukan salat sambil bersiul.
MUI setempat menyatakan perbuatan itu sesat. Pada tanggal 28 Juni 2006,
Pengadilan Negeri Polewali memvonis Sumardi enam bulan penjara.93
Laporan Imparsial menunjukkan merangkum beberapa
pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang
tahun 2005:94
No Tanggal Lokasi Kasus
1 31 Agustus 2005 Malang, Jawa Timur Larangan sholat
dwibahasa dan vonis 2
92
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”. 93
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006,”. 94
Mabruri, et.al., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan Kondisi HAM
Indonesia 2005, h. 71.
tahun penjara terhadap
Ustad Roy
2 24 Maret 2005 Batam, Kepulauan Riau Vonis 3 tahun penjara
terhadap Masud Simanungkalit, 50 tahun
dalam kasus salah tafsir ayat Al-Quran
3 15 Februari 2005 Kabupaten Banggai,
Sulawesi Tengah
Penangkapan terhadap
nabi palsu yang
menimpa Zikrullah
4 15 Juli 2005 Cibinong Penutupan secara paksa
terhadap kampus
Jamaah Ahamdiyah
5 19 September
2005
Kampung Neglasari, Desa
Sukadana, Kecamatan
Campaka, Kabupaten
Cianjur
Penyerangan dan
penjarahan terhadap
pemukiman Jamaah
Ahmadiyah
6 29 September
2005
Jakarta Pelarangan dan
penetapan tersangka
terhadap Lia Aminuddin
dan 33 orang pengikutnya karena
dianggap melakukan penodaan agama
7 4 Juni 2005 Desa Krampulan, Kecamatan Besuk,
Probolinggo
Pelarangan buku terbitan Yayasan Kanker dan
Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) dan
penutupan kegiatan yang
dilakukannya
8 21 Oktober 2005 Perumahan Bumi Asri,
Dusun Ketapang, Desa
Gegerung, Kecamatan
Lingsar, Kabupaten
Lombok Barat
Ancaman pengusiran
dan pengrusakan 3
rumah Jamaah
Ahmadiyah
9 24 Juli 2005 Markas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Kemang,
Bogor
Pengrusakan rumah
milik Direktur Jamaah
Ahmadiyah Mln.
Hidayatullah dan Dosen
Jamaah Mln.
Qomaruddin
Selama Januari-November 2008, The Wahid Institute mencatat ada 232
kasus dalam 280 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sedangkan laporan Setara Institute 2007 tentang kebebasan beragama dan
berkeyakinan pada rentang waktu yang sama menunjukkan adanya 135 kasus
dalam 185 tindak pelanggaran. Kasus pelanggaran yang paling dominan adalah
kekerasan berbasis agama (55 kasus) dan penyesatan (50 kasus). Penguasaan
agama atas ruang publik dengan tampilan yang tidak ramah dan mengobarkan
persaingan antar umat semakin meningkat.95
Isu kebebasan beragama bahkan akhirnya berujung pada penyerangan
terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB) oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 1 Juni
2008, yang disebabkan karena pembelaan AKKBB atas ahmadiyah. Penyerangan
massa yang bertepatan dengan peringatan hari Pancasila menyebabkan 12 orang
massa AKKBB terluka.96
Dari kasus ini, ternyata resistensi atas penegakan
kebebasan beragama begitu kuat dari sebagian masyarakat, bahkan dilakukan
dengan cara-cara kekerasan.
Bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di atas sangat berkaitan
satu sama lain. Pola yang bisa kita temukan ialah meskipun telah ada dasar
jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945, undang-undang dan instrumen
HAM internasional, ternyata masih terdapat aturan-aturan pada tingkat lebih
praktis yang menganulir jaminan-jaminan tersebut. Beberapa dari peraturan itu
digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai legitimasi dalam melakukan
serangkaian usaha pelanggaran kebebasan beragama. Kemudian, meskipun di
95
“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat”, berita diakses pada tanggal 12
Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/11/01133018/koalisi.partai
.islam.perlu.untuk.representasi.umat. 96
“Kebhinekaan Dicederai”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/ 02/01293516/kebhinnekaan.dicederai.
lapangan pelanggaran kebebasan beragama dalam bentuk kekerasan terus terjadi,
pihak aparat hukum enggan mengambil sikap dan bahkan memberi toleransi
terhadap kekerasan itu. Di sisi lain, beberapa pemerintah daerah telah mengambil
kebijakan sepihak dengan ikut mengeluarkan berbagai larangan terhadap aliran
atau sekte yang diklaim sesat, terutama oleh MUI. Keluarnya berbagai larangan
dari pemerintah daerah ini ternyata semakin menguatkan argumen oleh sebagian
masyarakat dalam mengusir paksa pengikut aliran atau sekte “terlarang” itu.
Dari pola pelanggaran kebebasan beragama ini, kita bisa simpulkan bahwa pelaku
pelanggaran kebebasan beragama terbagi ke dalam dua pihak, pertama ialah
pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat dalam bentuk ormas atau
perkumpulan tertentu. Kedua pihak ini meskipun bergerak dalam level yang
seringkali berbeda, namun sama-sama memberikan tekanan terhadap kelompok-
kelompok minoritas dan gagal dalam menjamin kebebasan beragama.
Kesimpulan yang sama diberikan oleh Prof Dr Azyumardi Azra. Beliau
menilai bahwa peraturan yang menjamin dasar-dasar kebebasan beragama dan
beribadah di Indonesia sudah banyak, namun tidak dilengkapi adanya konsistensi
penegakan hukum sehingga kekerasan terhadap penganut agama atau aliran
tertentu masih terjadi. Apalagi kalau kasus terjadinya tindak kekerasan terhadap
kelompok tertentu dilakukan oleh massa, aparat keamanan sering bersikap tidak
peduli atau takut pada tekanan massa. Padahal, kalau kejahatan dilakukan oleh
massa dalam jumlah besar maka seharusnya pemimpinnya yang diproses secara
hukum. Di sisi lain, Azyumardi juga mengakui adanya persoalan masyarakat yang
kini sedang mengalami kegoncangan dan disorientasi sosial akibat banyaknya
pengangguran dan kemiskinan, sehingga mudah marah dan emosional.97
97
“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama,” berita diakses pada
tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.antara.co.id/arc/2008/2/14/belum-konsisten-
penegakan-hukumkebebasan-beragama/.
BAB IV
KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
MENURUT M. DAWAM RAHARDJO
Pancasila dan Trilogi Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme
Seperti diketahui, Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak sekedar menjadi
dasar negara, tapi juga sebagai falsafah hidup bangsa. Komitmen terhadap
Pancasila ini masih terjaga, sejak kelahirannya hingga saat ini. M. Dawam
Rahardjo sangat menyadari posisi sentral Pancasila ini. Secara sadar, M. Dawam
Rahardjo menempatkan Pancasila sebagai pendekatan utama dalam memahami
konsep kebebasan beragama di Indonesia.
Seakan mengingatkan memori bangsa Indonesia, ia memulai dengan
membahas kembali sejarah awal berdirinya NKRI. Dawam mencatat,
Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU-PKI), muncul dua pidato
penting yang sangat berpengaruh terhadap konsep kenegaraan Republik Indonesia. Pertama, pidato Bung Karno yang
kini dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila”, pada 1 Juni 1945. Kedua, pidato mengenai teori negara oleh Prof. Dr. Soepomo yang kemudian dikenal sebagai arsitek UUD 1945.
Soepomo dan Bung Karno agaknya sepaham ketika keduanya mengatakan
bahwa hak-hak asasi manusia itu secara implisit sudah terkandung dalam integralisme,
karena itu tidak perlu dicantumkan secara eksplisit. Namun pandangan ini ditentang oleh
Hatta dan Mohammad Yamin. Mereka berpendapat hak-hak asasi manusia harus secara
eksplisit dimasukkan ke pasal-pasal UUD. Dalam perdebatan itu, dua tokoh dari
Sumatera itu menang. UUD 1945 pun mencantumkan tujuh pasal hak-hak asasi manusia.
Dengan demikian, UUD 1945 mengikuti demokrasi liberal dalam arti demokrasi yang
didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak sipil setiap warga negara. Kenyataan ini
memang kurang banyak disadari, sehingga seolah-olah UUD 1945 adalah sebuah UUD
yang integralistik dan anti liberal, bahkan ada yang mengatakan berbau fasisme. Padahal
Bung Karno sadar sepenuhnya dan menolak fasisme. Karena itu, UUD 1945 sebenarnya
merupakan hasil kompromi banyak pemikiran dan aliran. Intinya, sebagaimana tercermin
pada Pancasila yang tidak sepenuhnya mengadopsi konsep Bung Karno.98
98
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” Tempo, 18 Juni
2006, h. 2.
Dari catatan beliau, kita dapat mengerti bahwa bagi M. Dawam Rahardjo,
Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia sarat dengan prinsip demokrasi liberal. Demokrasi yang
didasarkan pada pengakuan hak-hak sipil setiap warga negara. Termasuk dalam
hak sipil warga negara ini tentu saja kebebasan beragama, sebagaimana diatur
dalam UUD 1945 pasal 29.
Keyakinan M. Dawam Rahardjo pada Pancasila sebagai dasar kebebasan
beragama tidak berhenti pada argumen di atas. Untuk memperdalam
keyakinannya tersebut, menurut M. Dawam Rahardjo, Pancasila mengandung
trilogi paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme.
Ingin membuat masyarakat bersatu, bhineka tunggal ika...itu cantolannya pada
Pancasila. Kenapa Pancasila itu bisa dijadikan cantolan atau sandaran? Karena Pancasila
itu cukup liberal. Jadi bukan uncommon democracy, tapi common democracy. Itu
pertama. Kedua, Pancasila itu didasarkan diri pada pluralisme; pada kebinekaan tunggal
ika; pada pluralitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, bangsa, dan golongan-
golongan. Kita membutuhkan satu perekat atau model komunikasi yang bisa
mempersatukan dan mencipatakan kegotongroyongan. Itu adalah pluralisme. Ketiga,
Pancasila itu merupakan penolakan terhadap konsep negara agama. Di sini yang paling
ditolak adalah konsep negara Islam. Konsep negara Islam itu ditolak. Ketentuan yang
tadinya mau menempel di dalam Pancasila tentang penerapan syariat Islam, itu dihapus.
Jadi Pancasila itu bukan (konsep) negara agama. Nah kalau bukan negara agama, ya
berarti negara sekuler...Dalam pengertian bukan sekularisme yang curiga terhadap agama;
yang antipati terhadap agama; tetapi sekularisme yang ramah terhadap agama. Tapi bukan
hanya satu agama, khususnya Islam yang mayoritas. Sekularisme yang ramah terhadap
semua agama. Jadi semua agama itu memperoleh perlakuan yang sama. Jadi sekularisme
itu sebetulnya sikap netralitas negara terhadap agama.99
Perspektif ini tentu saja sangat kontroversial. Mengingat bahwa pemikiran
M. Dawam Rahardjo ini muncul di sekitar terbitnya fatwa MUI tentang
pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme pada Musyawarah Nasional
VII MUI tahun 2005. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan langkah beliau.
99
“Pancasila I”, diakses tanggal 19 Februari 2008, dari http://www.freedom-
institute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=research&detail=talkshow.
Menyadari potensi resistensi yang tinggi atas pembacaan dirinya yang
kontroversial terhadap Pancasila ini, M. Dawam Rahardjo berusaha memahami
sekularisme dalam pola tersendiri, alih-alih mengambil beragam pola yang
berbeda-beda di berbagai negara. Sambil menepis kecurigaan terhadap
sekularisme yang dianggap hendak menyingkirkan peranan agama, beliau berkata,
Padahal sekularisme itu adalah suatu prinsip yang ingin mencegah intervensi negara terhadap keyakinan dan ibadah
warga negara. Dalam sekularisme, penyelenggaraan kehidupan beragama diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat
sipil, dengan demikian sekularisme justru menegakkan kebebasan beragama sebagai yang tampak di negara sekular
seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di sana kehidupan beragama justru berkembang sangat marak sehingga
masyarakat di kedua negara itu dinilai sebagai masyarakat yang religius. Demikian pula aliran-aliran keagamaan
tumbuh berkembang dengan suburnya. Agama tetap memperoleh peluang untuk berperan melalui arena publik;
agama telah berpengaruh sangat besar terhadap moral dan etika masyarakat.
Di Indonesia sekularisme berarti netral terhadap agama. Negara tidak membagi
masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas, kesemuanya
memperoleh hak yang sama.100
Selanjutnya M. Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa,
Pancasila dan UUD 1945 sebenarnya juga mengandung konsep sekularisme.
Maksud sekularisme di sini adalah pemisahan antara otoritas agama dan otoritas negara.
Negara tidak menganut agama tertentu, sekalipun agama mayoritas. Dengan kata lain,
Pancasila menolak model “negara agama” atau konsep kesatuan antara “al din wa al
daulah” yang dianut ideologi Islamisme.101
Penolakan negara Indonesia atas paham negara-agama (teokrasi) menurut
beliau terlihat dari indikator-indikator sebagai berikut:
Pertama, UUD 1945 mengakui kebebasan setiap warga negara memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya. Kedua, negara tidak mengakui satu agama resmi sebagai agama negara sebagaimana
terdapat dalam konstitusi Malaysia. Ketiga, konstitusi tidak menentukan agama yang dianut oleh seorang kepala negara. Keempat, negara juga tidak menentukan agama yang yang diakui oleh negara.
Indikator lain bahwa Pancasila adalah sebuah konsep sekular adalah
penghapusan tujuh kata yang menjelaskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Piagam
Jakarta. Hal ini dipertegas dengan penolakan konsep negara Islam dalam sidang Dewan
Konstituante yang diteruskan dalam Sidang MPR 2002 mengenai Amandemen UUD
100
M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses
tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-
online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 101 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3.
1945. Dalam sidang itu gagasan penghidupan kembali Piagam Jakarta telah ditolak
sehingga negara RI adalah sebuah negara sekular.102
Menarik kemudian menelaah catatan kritis M. Dawam Rahardjo atas
pertentangan ideologis antara sekularisme dan paham negara-agama.
Jika pengertian negara sekular dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan negara agama, melainkan negara
sekular. Dalam negara sekular, negara tidak didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun sering juga dikatakan, Indonesia tidak sepenuhnya sekular, karena dasar negara dalam konstitusinya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.
Sementara itu warga negara punya kebebasan untuk menjalankan agama dan
keyakinannya masing-masing.
Artinya, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara.
Syariat Islam bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya
sendiri. Inilah makna sekularisme sebagaimana dikatakan Talcott Parson: mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan kekuasaan negara (kesatuan ad-din
wad daulah). Hukum agama yaitu syariat tidak berkedudukan sebagai hukum positif,
melainkan bersifat volunter (voluntary law), meminjam istilah tokoh Masyumi,
Syafruddin Prawiranegara.103
M. Dawam Rahardjo tampak begitu yakin bahwa sekularisme yang
menyemangati Pancasila sangat penting bagi penegakan kebebasan beragama di
Indonesia. “...Menurut saya, gerakan Islam (keagamaan) harusnya tegas-tegas
menerima Pancasila dan berjalan di atas garis kebangsaan. Dan tentu saja sekuler.
Saya menerima sekularisme dan saya memperjuangkan sekularisme...”,104
demikian beliau menegaskan. M. Dawam Rahardjo melanjutkan, “...Agama itu
tidak boleh dilaksanakan melalui tangan kekuasaan. Agama itu keyakinan yang
tak bisa dipaksakan. Kalau agama memerintahkan pelaksanaan syariat Islam, itu
bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia...”105
102
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. 103
M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,” artikel diakses tanggal 16 Juni
2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925. 104
Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo dalam Tempo, 5 Februari 2006. 105 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo dalam Tempo, 5 Februari 2006.
Mengenai sejauh mana pengaruh agama dalam negara dapat berperan, M.
Dawam Rahardjo berpendapat,
Pengaruh agama secara eksplisit dalam negara dan kehidupan politik jelas
tidak bisa diterima karena ini akan memicu diskriminasi dan sektarianisme. Posisi
negara harus netral, bukan untuk meniadakan agama, tapi untuk melindungi dan
berlaku adil bagi semua agama. Menjadikan agama sebagai dasar negara, berarti
telah membatasi peran agama dan keyakinan lain yang mungkin mucul. Dalam hal
ini, bentuk negara sekular adalah pilihan yang paling tepat.106
Pemikirannya tentang relasi sekularisme dan Pancasila ini diharapkan
mampu menepis prasangka negatif atas sekularisme.
Dalam masyarakat yang didominasi oleh pemeluk Islam seperti Indonesia,
diperlukan sekularisasi. Pemisahan antara agama dan negara di sini artinya, janganlah
menjadikan akidah sebagai ideologi politik dan karena itu menjadikan ideologi politik
sebagai akidah. Hal yang sedemikian itu terjadi karena perselingkuhan agama dan
kekuasaan yang menciptakan absolutisme dan otoriterisme yang memberangus
demokrasi. Negara Republik Indonesia pada hakikatnya adalah negara kebangsaan
sekular yang berlandaskan nilai-nilai moral Pancasila.107
Pembelaan beliau tidak berhenti sampai di sini. Paham liberalisme
mendapatkan perlakuan istimewa yang sama di mata M. Dawam Rahardjo.
Menurutnya, liberalisme berarti menjadikan kebebasan beragama sebagai hak-hak
sipil, bukan hanya hak-hak asasi manusia yang universal. Sebagai hak sipil,
106
M. Dawam Rahardjo, “Agama di Ranah Publik,” dalam Buletin Kebebasan, Edisi No.
01/XI/2006, h. 5. 107
M. Dawam Rahardjo, “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas,” Tempo, 11
September 2005, h. 45.
kebebasan beragama harus dilindungi oleh negara. Tetapi jaminan tersebut harus
diberikan secara adil oleh negara terhadap agama-agama.108
Seperti kita ketahui bersama, dalam perkembangan ideologi politik,
liberalisme membedakan dirinya dari ideologi lain dalam spektrum politiknya
yang memberi keyakinan mendasar bahwa setiap individu memiliki akal dan
mampu bertindak secara rasional, yang mana kemampuan tersebut seringkali
diletakkan dalam posisi yang sulit dalam dunia nyata. Setiap orang menikmati hak
asasi untuk hidup, bebas dan memiliki sesuatu. Liberalisme mengasumsikan
bahwa setiap individu bertanggung jawab atas kepentingannya sendiri. Sejak
individu dalam masyarakat memiliki kapasitas untuk hidup secara memuaskan
dan produktif saat diberikan kesempatan, negara harus memastikan bahwa setiap
orang memiliki kesempatan untuk menikmati kehidupan terbaik dan memenuhi
potensi individual mereka sendiri. Peranan negara adalah untuk menjamin
kesempatan yang sama untuk seluruh anggota masyarakat.109
Sebagaimana telah disinggung di atas, M. Dawam Rahardjo berpendapat
bahwa hakikat demokrasi Pancasila adalah demokrasi liberal, sebagaimana
dicerminkan dalam UUD 1945.110
Indikator utama beliau yakni jaminan
perlindungan hak-hak sipil yang diadopsi oleh UUD 1945. Dengan begitu, jelas
bahwa liberalisme menjadi gagasan yang juga termasuk dalam Pancasila.
Mengenai liberalisme keagamaan, M. Dawam Rahardjo mengatakan
bahwa bagi golongan liberal, akidah harus dipahami sebagai interioritas yang
108
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni
2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 109
Julion C. Teehankee, Liberalism: A Primer (Manila: National Institute for Policy
Studies, 2005), hal. 4. 110 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3.
mengarah ke dalam. Dengan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa – sebagaimana
tercantum dalam Pancasila – kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
merupakan interioritas yang arahnya ke dalam yakni hanya menjadi landasan
moral bagi sikap dan perilaku warga negara.111 Demikianlah, pemikiran beliau
akhirnya menegaskan bahwa Pancasila memang menganut paham liberalisme.
Liberalisme di sini diartikan sebagai paham yang menjunjung kebebasan
individu, terutama dari negara. Paham liberalisme inilah yang sebenarnya juga
merupakan sumber dari teori tentang masyarakat warga (civil society). Dengan
menjunjung tinggi asas kebebasan individu ini, maka setiap warga negara memiliki hak-
hak asasi manusia di segala bidang kehidupan, politik, ekonomi, sosial dan kultural. Hak
asasi manusia ini harus dilindungi dan diperjuangkan di negara-negara yang kurang memahami hak-hak asasi manusia. Kebebasan dan hak-hak asasi manusia ini adalah
merupakan fondasi dari demokrasi, karena dengan asas-asas itu setiap warga negara
diberi hak pilih dan dipilih. Di bidang ekonomi, setiap warga negara berhak mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan sesuai dnegan kemanusiaan, paling tidak hak-hak dasarnya,
yaitu akses terhadap kebutuhan pokok, seperti kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang,
papan, kesehatan dan pendidikan yang merupakan freedom from want. Juga setiap warga
negara berhak terhadap kebutuhan keamanan (freedom from fear) dan kebebasan
berpendapat dan kebebasan beragama (freedom of speech and expression), yang
kesemuanya itu dijamin dalam UUD 1945 (yang asli).112
Paham berikutnya yang menurut M. Dawam Rahardjo menyemangati
Pancasila ialah pluralisme. Menurutnya, “...Pancasila, yang merupakan sintesa
berbagai gagasan besar universal, pada dasarnya adalah sebuah paham pluralisme
politik dan budaya. Hal ini tergambar dari kata-kata “Bhineka Tunggal Ika”,
beraneka ragam tapi merupakan satu kesatuan, yaitu Indonesia...”113
Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo menegaskan bahwa,
Yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang terseimpul dalam istilah
“bhineka tunggal ika”. Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari
111
M. Dawam Rahardjo, “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas,” Tempo, 11
September 2005, h. 44-45. 112
M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II),” artikel
diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-
online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=30. 113 M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 2-3.
persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.114
Dalam uraian yang lain, M. Dawam Rahardjo mengungkapkan,
Sementara itu, di Indonesia sendiri, pluralisme sudah menjadi bagian dari
ideologi nasional yang dirumuskan dengan istilah “bhineka tunggal ika”, suatu istilah
yang berasal dari Empu Tantular, yang artinya kesatuan dalam keragaman (unity in
diversity). Pluralisme ini juga tercermin dalam Pancasila yang terdiri dari berbagai ideologi-ideologi besar dunia tetapi intinya adalah paham kegotong-royongan,
kekeluargaan dan kebersamaan itu.115
Bagaimanapun, Indonesia memang berdiri di atas fakta pluralitas
(keragaman) bangsa. Pluralitas ini berlaku di hampir seluruh bidang kehidupan,
termasuk pluralitas agama-agama, sehingga pluralitas tidak bisa diganggu gugat
lagi. Oleh karenanya, pluralisme seharusnya berlaku sebagai paham atas
kenyataan pluralitas ini. Dengan kata lain, sulit memisahkan pluralitas dari
pluralisme. Tidak bisa pluralitas diterima, sementara pluralisme ditolak sebagai
suatu paham.
Kiranya penting bagi M. Dawam Rahardjo untuk berbicara lantang
mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama yang melandasi Pancasila dan
menjadi jaminan kebebasan beragama. Beliau ingin meluruskan prasangka
sebagian kelompok masyarakat yang menganggap bahwa pluralisme sebagai
paham yang “menyamakan semua agama”.
Dalam menyikapi kontroversi seputar tuduhan terhadap pluralisme sebagai
paham yang memandang bahwa “semua agama itu baik dan benar”, maka M.
114
M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme,” Koran Tempo, 1
Agustus 2005. 115 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”
Dawam Rahardjo memiliki pandangan sendiri mengenai hal ini. Maksud
pandangan “semua agama itu baik dan benar menurut beliau antara lain:
Pertama, pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan keterangan “bagi para pemeluknya”. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama akan berkeyakinan bahwa agama
merekalah yang baik dan benar.
Kedua, kebenaran dan keselamatan (salvation) agama itu ada dua macam, yaitu
kebenaran eksklusif dan kebenaran inklusif. Kebenaran eksklusif adalah kebenaran
tertentu yang hanya diyakini dalam agama tertentu. Misalnya mengenai doktrin Trinitas.
Umat Islam tidak mungkin menerima doktrin itu, namun doktrin itu bersifat fundamental
bagi umat Kristen. Sedangkan ajaran cinta kasih dalam agama Kristiani adalah kebenaran
yang inklusif yang bisa diterima oleh pemeluk semua agama.
Ketiga, semua agama itu sama, dalam arti semua agama itu, dalam perspektif
masing-masing, pada hakikatnya merupakan jalan menuju kebenaran dan kebaikan. Tidak
ada agama yang mengajarkan kesalahan atau keburukan dan kejahatan. Namun, memang,
substansi dari kebenaran dan kebaikan itu berbeda dari satu agama ke agama yang lain.
Keempat, setiap agama mengandung kebenaran, bukan saja bagi pemeluk agama
yang bersangkutan, tetapi juga bisa dilihat begitu oleh pemeluk agama lain. Sebagai
contoh, umat Islam atau Kristen bisa memetik kebenaran dari kitab Baghawatgita atau
buku-buku Taoisme dan Konfusianisme.
Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama, misalnya ajaran The Ten
Commandements atau Sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi, dapat ditemui pada
agama-agama lain. Ajaran puasa juga dapat ditemui pada agama-agama lain, walaupun tidak semua pemeluk agama bisa melestarikan tradisi itu pada zaman modern ini. Namun,
para pemeluk agama lain bisa menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah suatu ajaran
yang benar, karena tujuannya adalah mengendalikan kemampuan manusia dalam
mengendalikan hawa nafsu (takwa).
Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya atau pada tingkat syariat
memang bervariasi, karena pada tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan
manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah. Namun, pada tingkat yang lebih
tinggi (tarekat atau makrifat) akan dijumpai persamaan-persamaan dan akhirnya
mencapai titik temu pada tingkat transenden (hakikat). Ini adalah suatu teori yang disebut
transcendent unity yang dikembangkan baik oleh teolog Kristen maupun Islam.
Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar dimaksudkan sebagai
pandangan yang harus diambil oleh negara atau pemerintah. Sebab, negara, yang harus bersikap adil terhadap setiap individu dan kelompok tidak boleh berpandangan bahwa
hanya suatu agama saja yang baik dan benar, sedangkan yang lain salah.116
Dari analisis panjang beliau ini, kita dapati bahwa semua agama itu pada
hakikatnya sama, hanya penampilan luarnya saja yang berbeda. Yang terpenting,
beliau menegaskan bahwa pluralisme agama terutama harus dianut oleh negara.
116
M. Dawam Rahardjo, ”Mengapa Semua Agama itu Benar?” Tempo, 1 Januari 2006, h.
206-207.
Sebab, negara harus besikap adil terhadap semua agama dan tidak boleh ada
diskriminasi.
Kesalahpahaman dalam memandang pluralisme sebagai suatu paham
menurut beliau dikarenakan pluralisme hanya dipandang dari satu perspektif saja.
Perspektif yang dimaksud ialah sinkretisme. Padahal, menurutnya, masih terdapat
perspektif lainnya dalam memandang pluralisme, dengan tingkat penerimaan yang
berbeda-beda dari agama-agama. Di antaranya adalah perspektif persatuan agama-
agama (unity of religions), agama kewargaan (civil religion), etika global (global
ethics), agama publik (public religion), dan terakhir – khusus Indonesia –
pluralisme untuk mencapai kesetaraan agama-agama, toleransi, kerukunan, dan
kerja sama antara umat beragama untuk kepentingan bersama berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.117
Bagi M. Dawam Rahardjo, urgensi pluralisme sangat vital dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiadaan pluralisme akan mengancam
keutuhan kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, “...di Indonesia, tanpa
pluralisme atau bhineka tunggal ika, akan timbul ancaman terhadap kelestarian
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”118
Pluralisme secara sederhana
ditunjukkan oleh beliau dalam pernyataannya bahwa, “...saya (Dawam) boleh
menganggap Islam agama yang benar, tapi tidak boleh menganggap agama orang
lain salah....”119
M. Dawam Rahardjo berusaha melakukan pemahaman kembali
makna Pancasila. Pancasila yang dipahami oleh Soepomo sebagai dasar negara
117
M. Dawam Rahardjo, ”Mengapa Semua Agama itu Benar?”, h. 207. 118
M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” 119 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo, 5 Februari 2006.
integralistik dibaca ulang oleh M. Dawam Rahardjo menjadi konsep demokrasi
liberal.
Kita harus berusaha untuk melakukan pemahaman kembali makna demokrasi
dan demokrasi Pancasila. Apa itu demokrasi dan apa itu Pancasila.... Pancasila saya
operasionalkan dengan tiga prinsip: pluralisme (kemajemukan), liberalisme (civil liberty
atau kebebasan sipil), sekularisme. Kalau kita tidak suka istilah yang terakhir ini, kita bisa
menggantinya dengan kata kebangsaan. Itu kan sudah mencukupi. Istilah kebangsaan itu
sudah dengan sendirinya sekuler. Jadi kita harus menjelaskan itu. Kita wacanakan lagi di dalam masyarakat. Kita menjelaskan secara operasional mengenai apa yang kita maksud
dengan Pancasila, sehingga kita bisa melaksanakan secara benar.120
Pluralisme – menurut M. Dawam Rahardjo – dapat dilaksanakan dengan
tiga cara, yaitu saling memahami dan memperoleh saling pengertian dan
penghargaan, berlomba-lomba dalam kebajikan, dan kerja sama dalam
kebajikan.121
Dengan demikian, kesalahpahaman banyak pihak atas pluralisme –
sebisa mungkin – berusaha dijernihkan oleh M. Dawam Rahardjo.
Pemahaman ulang M. Dawam Rahardjo jelas menunjukkan dukungannya
terhadap trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Trilogi tersebut
diyakini beliau menyemangati Pancasila dan terimplementasi dalam
konstitusi. Dengan demikian, tentu saja wacana kebebasan beragama
menurutnya mendapat jaminan yang kuat dari Pancasila sebagai dasar negara.
Lebih jauh lagi, M. Dawam Rahardjo bahkan berpendapat bahwa nasionalisme
Indonesia sebenarnya mengandung trilogi sekularisme, liberalisme, dan
pluralisme. Nasionalisme yang seperti ini – dinilai olehnya – telah banyak
menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kecenderungan-
kecenderungan yang berlawanan dengan dan mengancam demokrasi dan hak-
120
“Pancasila I.” 121 M. Dawam Rahardjo, “Mengapa Semua Agama itu Benar?”, hal. 207.
hak asasi manusia maupun persatuan bangsa. Nasionalisme yang seperti itu
juga – menurut M. Dawam Rahardjo – telah berjasa dalam mencegah
berkembangnya sektarianisme yang menyebabkan penganut suatu agama atau
madzhab keagamaan bersikap tertutup dan isolasionis dan mudah curiga
terhadap kelompok lain.122
Kebebasan Beragama sebagai Hak Sipil
Melihat beberapa pelanggaran kebebasan beragama, agama sepertinya
telah bergeser menjadi sumber konflik. Hal ini disebabkan karena agama telah
menjadi paham sektarian yang eksklusif. Masing-masing pemeluk agama
mengklaim kebenaran. Terjadi saling kritik di antara mereka, bahkan terkadang
fatwa dilancarkan terhadap mereka yang dianggap sesat. Seakan-akan otoritas
agama itu telah bertindak sebagai Tuhan.
Berangkat dari problem krusial umat beragama tersebut, M. Dawam Rahardjo
memilih untuk memperjuangkan kebebasan beragama dalam konteks hak
fundamental seorang warga negara, ketimbang terjebak dalam perdebatan
teologis yang tiada akhir. Beliau percaya bahwa pertikaian antar agama tidak
bisa diselesaikan oleh mereka sendiri.
Wacana teologi ini sulit karena masalahnya adalah mengubah suatu keyakinan
yang dalam Islam disebut sebagai akidah, sesuatu yang harus diyakini sebagai kebenaran
mutlak yang tidak bisa dikompromikan. Jika yang ditempuh adalah wacana teologi, ini
berarti membiarkan berlangsungnya pengingkaran hak-hak asasi manusia. Hal ini juga
berarti membiarkan berlangsungnya konflik, sebab masyarakat makin menyadari hak-
haknya.123
122
M. Dawam Rahardjo, Nasionalisme Indonesia, makalah tidak diterbitkan. 123 M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.”
Oleh karenanya, negara diharuskan bertindak menjamin hak kebebasan
beragama bagi seluruh warga negaranya. Sebagaimana pendapat M. Dawam
Rahardjo, persoalan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara.
Sementara itu, M. Dawam Rahardjo sangat menyadari perbedaan antara
hak asasi manusia dan hak sipil.
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir yang
bukan pemberian apapun, yang dalam agama adalah hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan dan bukannya oleh orang, bahkan oleh negara. Sedangkan hak sipil adalah hak
yang dimiliki oleh setiap orang karena kewargaannya. Hak sipil pada masyarakat atau
individu berarti kewajiban negara. Jadi hak sipil ini dilindungi atau dijamin oleh negara.
Masyarakat berhak menuntut untuk dipenuhi hak-haknya dan boleh menggugat kepada negara jika hak mereka diingkari.
124
Pemahaman M. Dawam Rahardjo ini sesuai dengan definisi hak sipil dan
politik125
yang diakui oleh Departemen Hukum dan HAM RI.
Hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada
setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia
bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.126
Sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 pasal 8 ditegaskan bahwa yang
berkewajiban atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah pemerintah. Di dalam perlindungan hak sipil dan politik, peran
negara harus dibatasi karena hak sipil dan politik tergolong ke dalam negative
124
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.” 125 Hak-hak yang termasuk ke dalam hak sipil dan politik antara lain; hak hidup, hak
bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, hak atas
pengakuan dan perlakuan yang sama di depan hukum, hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan
beragama, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat,
dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Lihat http://hukumham.info/index.php?option=
com_content&task=view&id=278&Itemid=51. 126
“Hak-hak Sipil dan Politik,” artikel diakses tanggal 10 Nopember 2008, dari
http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=278&Item
id=51.
rights, yaitu hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi
apabila peran negara dibatasi. Negara tidak bisa intervensi atas hak sipil dan
politik, namun juga sekaligus harus menjamin hak sipil dan politik tersebut dapat
dinikmati oleh seluruh warga negara.
Negara semestinya bergerak atas dasar hak-hak sipil yang telah
dicantumkan dalam konstitusi serta legislasi lainnya. Kita tahu bahwa Indonesia
telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam UU
No. 12 tahun 2005. Maka dari itu, dasar jaminan kebebasan beragama di
Indonesia cukup kuat. Sehingga, masyarakat berhak menuntut pemenuhan hak
sipilnya, terutama kebebasan beragama, jika hak mereka diingkari.
Di Indonesia, menurut M. Dawam Rahardjo, para penyelengara negara dan
otoritas keagamaan belum memahami konsep HAM dan hak sipil.127
Padahal, bila
negara membiarkan berlangsungnya pelanggaran kebebasan beragama, maka
negara dapat dituduh telah melakukan pelangaran hukum. Hal itu dikarenakan
negara membiarkan sebuah pelanggaran hukum terjadi. Adapun otoritas
keagamaan tampaknya menemukan benturan dengan argumen teologis ketika
berusaha memahami konsep HAM dan hak sipil.
Untuk mengatasi hal itu, upaya konkret yang perlu diusahakan untuk
mengatasi problem kebebasan beragama ini, menurut M. Dawam Rahardjo, ialah
melakukan perjuangan politik kebebasan beragama. Bentuknya yaitu dengan
mentransfer hak asasi manusia menjadi hak-hak sipil dalam suatu undang-undang
kebebasan beragama. Dalam UU kebebasan beragama tersebut pengertian tentang
127 M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.”
HAM sebagai hak sipil harus cukup jelas dan terperinci.128
Sehingga jaminan
kebebasan beragama diharapkan semakin kuat.
Maksud undang-undang ini adalah, pertama agar bisa membatasi peran
negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal akidah
(dasar-dasar kepercayaan), ibadah, maupun syariat agama (code) pada umumnya.
Kedua, di lain pihak, ia memberi kesadaran kepada setiap warga negara akan hak-
hak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama. Undang-undang
semacam ini – menurut M. Dawam Rahardjo – harus mendefinisikan kebebasan
beragama secara lebih detail, di antaranya:129
Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama
atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan
ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama.
Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, yang
setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain.
Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan
agama (berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan
secara langsung ataupun tidak langsung.
Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat anti
agama dan anti Tuhanharus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan
Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga dilarang untuk
128
M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil.” 129
M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,” artikel diakses tanggal 16
Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925.
mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis,
sebagai diskursus ilmiah tidak perlu dilarang, namun dibantah secara ilmiah pula.
Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus
bersikap adil terhadap semua agama. Ketujuh, negara harus memperbolehkan
perkawinan antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah menjadi
keputusan pribadi dan keluarga yang bersangkutan.
Kedelapan, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak
untuk menentukan agama yang dipilih atau dipelajari. Kesembilan, dalam
perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak membentuk aliran
keagamaan tertentu, bahkan mendidirikan agama baru, asal tidak mengganggu
ketentraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan
tata susilam atau menipu dengan kdeok agama.
Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh
membuat keputusan hukum (legal decision) yang menyatakan suatu aliran
keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan
praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila.
Pandangan M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan ketidakpuasannya atas
penegakan hukum dalam hal kebebasan beragama di Indonesia. Sebab, bagaimana
pun, M. Dawam Rahardjo tentunya sadar betul bahwa instrumen hukum
penegakan kebebasan beragama telah dianut oleh negara Indonesia. Selain
Pancasila dan UUD 1945, Indonesia telah juga meratifikasi instrumen
internasional tentang kebebasan beragama, yaitu KIHSP, dalam UU No. 12 tahun
2005. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, juga telah
disebutkan mengenai jaminan negara atas kebebasan beragama. Namun, M.
Dawam Rahardjo masih merasa bahwa aturan ini masih belum cukup kuat dalam
menegakkan kebebasan beragama di Indonesia. Pendapatnya tentang perlunya
dibuatkan undang-undang kebebasan beragama sebagai perwujudan transformasi
hak kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia menjadi hak sipil
menunjukkan keprihatinannya itu.
M. Dawam Rahardjo bahkan berpendapat bahwa hak sipil dalam
kebebasan beragama tidak kunjung dipahami, tidak saja oleh masyarakat luas, tapi
juga oleh para pemimpin negara.130
Rupanya, regulasi seperti apapun tampak
belum cukup dalam merangsang pemahaman masyarakat dan pemerintah atas
urgensi kebebasan beragama.
Gagasannya tentang undang-undang kebebasan beragama itu juga berarti
menaikkan level gagasan perjuangan penegakan kebebasan beragama di
Indonesia. Bagi M. Dawam Rahardjo, para pejuang kebebasan beragama perlu
melanjutkan usaha mereka pada level legislasi atau perundang-undangan. Tentu
saja hal itu mensyaratkan adanya dukungan pula dari pelaku politik di Indonesia.
Jadi, isu kebebasan beragama sejatinya juga menjadi tanggung jawab para politisi
dan partai politik.
Gagasan M. Dawam Rahardjo juga menjadi peringatan atas usaha berbagai
pihak yang mencoba meneruskan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama
dan hak sipil lainnya. Gagasan untuk menganulir berbagai bentuk pelanggaran
kebebasan beragama ini juga merupakan realisasi penting dalam usaha penegakan
130
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Hiwar Volume III, Tahun I,
Maret 2008, h. 4.
kebebasan beragama di Indonesia. Karenanya, dapat dipahami bila M. Dawam
Rahardjo sepakat untuk menggagas sebuah undang-undang kebebasan beragama.
Sulitnya mewujudkan iklim kebebasan di Indonesia diakui oleh M.
Dawam Rahardjo terutama disebabkan oleh feodalisme. Sebab, feodalisme
menghendaki masyarakat untuk tetap tidak kritis dan jangan memakai akalnya.131
Sehingga, masyarakat tidak mampu secara otonom menilai perlunya menyemai
kebebasan beragama di kehidupan mereka. Terlebih lagi, feodalisme memang
melanggengkan status quo sistem sosial yang sudah berlaku di masyarakat,
sehingga wajar bila feodalisme menguntungkan beberapa pihak tertentu yang
tengah menikmati status quo tersebut, contohnya beberapa agama yang menikmati
status resmi dari negara Indonesia atau agama masyoritas yang dianut masyarakat.
Karena itu, menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus diusahakan untuk
tetap kondusif bagi proses demokratisasi.132 Kalau suatu kelompok agama
melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan seperti pengrusakan, pembunuhan dan
penyiksaan atas orang lain, maka hal itu harus dicegah oleh negara. Begitu pun
bila kelompok masyarakat melakukan hal yang sama terhadap agama-agama,
maka negara pun harus mencegahnya.
Karena itu, jika kita ingin menuju kepada pelaksanaan “demokrasi yang
sebenarnya”, praktek demokrasi dewasa ini harus didasarkan pada perlindungan
hak-hak sipil sebagaimana dianjurkan John Rawls. Itulah demokrasi liberal dan
131
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5. 132 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.
itulah pula hakikat Demokrasi Pancasila, yakni demokrasi sebagaimana
dicerminkan dalam UUD 1945.133
9. Beberapa Pandangan M. Dawam Rahardjo Atas Kasus-kasus
Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia
Menurut M. Dawam Rahardjo, secara umum tidak ada kepastian hukum
atas kebebasan beragama, sebab pengertian atas kebebasan beragama tidak jelas.
Karena itu, menurutnya, perlu disusun undang-undang kebebasan beragama yang
mencakup pengertian, wilayah, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Kepastian
hukum ini diperlukan agar tidak terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh
masyarakat, sebab masyarakat tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.134
Menurutnya, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang
sekarang tidak lagi dilindungi negara.135
M. Dawam Rahardjo sangat tanggap
terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini
terlihat dari beberapa pandangannya yang tersebar dalam tulisan-tulisannya di
berbagai media. Dalam hal ini, terutama saat hangatnya kasus jemaat Salamullah
(komunitas Lia Eden) dan Ahmadiyah pada sekitar tahun 2005 sampai 2006.
Sebelum mengkritik beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama, M.
Dawam Rahardjo terlebih dahulu mengkritik fatwa MUI tentang diharamkannya
liberalisme, sekularisme dan pluralisme, dalam Musyawarah Nasional MUI
tanggal 26 s.d. 29 Juli 2005. Kritik M. Dawam Rahardjo ini sangat penting, sebab
133
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3. 134
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 135 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4.
– sebagaimana telah kita bahas di atas – liberalisme, sekularisme dan pluralisme
adalah basis tafsiran M. Dawam Rahardjo atas Pancasila yang melandasi jaminan
atas kebebasan beragama. Maka, pantas saja jika M. Dawam Rahardjo demikian
keras menentang fatwa MUI tersebut.
Menurut M. Dawam Rahardjo, jika liberalisme, sekularisme dan
pluralisme diharamkan dan dilarang di Indonesia, maka jaminan atas kebebasan
beragama akan sangat terancam. Tanpa pluralisme, keyakinan masyarakat
didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan MUI, dan kebebasan
beragama pun akan terberangus dari bumi Indonesia. Padahal, yang mendasari
Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam “bhineka tunggal ika”.136
Bahkan, menurut M. Dawam Rahardjo, jika nilai-nilai kebebasan itu
diharamkan oleh MUI, maka Islam bertentangan dengan asas kebebasan. Dalam
menolak asas kebebasan ini, seringkali makna kebebasan disalahartikan, misalnya
“bebas sebebas-bebasnya yang tanpa batas,” yang sebenarnya bukan kebebasan
tetapi anarki. Padahal, menurutnya, kebebasan bukanlah anarki. Yang
dimaksudkan dengan kebebasan dalam liberalisme di sini adalah kebebasan yang
dilembagakan dalam hukum ketatanegaraan.137
Akibat dari diharamkannya sekularisme oleh MUI, maka – menurut M.
Dawam Rahardjo – terus berlangsung konflik antar umat beragama yang sangat
mungkin diatarbelakangi oleh kepentingan sosial-ekonomi dan politik. Padahal,
136
M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.” 137 M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”
gagasan sekularisme bertujuan untuk memisahkan dan mencegah perselingkuhan
antara otoritas keagamaan dan otoritas politik.138
Intinya, M. Dawam Rahardjo, secara terang-terangan, meramalkan bahwa
dengan keluarnya fatwa MUI mengenai pengharaman liberalisme, sekularisme
dan pluralisme, maka Indonesia terbuka terhadap ancaman konflik dan
perpecahan.139
M. Dawam Rahardjo mengkritik kebijakan pemerintah mengenai
pengakuan status “agama resmi” atas enam agama, dan menganggap agama dan
keyakinan lainnya di luar dari status “resmi”tersebut. Sambil mengutip pendapat
Leonard Swindler tentang empat komponen agama, M. Dawam Rahardjo
mengungkapkan bahwa,
Agama menurut (Leonard) Swindler terdiri dari empat komponen atau 4-C, yaitu
Creed atau akidah, Cult atau peribadatan, Code atau kode etika dan Community Structure
atau susunan masyarakat. Mungkin bisa ditambah satu lagi, yaitu Culture atau
Civilization. Jika itu definisinya maka Aliran Kebatinan atau Kepercayaan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa memenuhi kriteria sebagai agama. Demikian pula Konghucu, Taoisme,
Bahaisme, bahkan Komunitas Eden yang disebut Salamullah itu dapat dikategorikan
sebagai agama dan karena itu kebebasan beragama dan bereksistensi di Indonesia berlaku
kepada mereka.140
Pandangan M. Dawam Rahardjo tersebut sangat relevan, terutama dalam
kenyataannya memang penganut di luar agama “resmi” versi pemerintah tersebut
hak-hak sipilnya banyak terlanggar secara sistemik. Padahal, menurut M. Dawam
Rahardjo, krisis keberagamaan tersebut sebenarnya dapat diatasi. Asalkan,
pemerintah bertindak tegas dalam menegakkan konstitusi yang mengakui hak-hak
138
M. Dawam Rahardjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme,” dalam
Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007, h. 8. 139
M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).” 140
M. Dawam Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” dalam Reform Review Vol.
I, No. 1, April-Juni 2007, h. 3.
sipil. Dan kunci dari penegakan hak-hak sipil tersebut adalah pluralisme dan
sekularisme yang menghargai semua agama seutuhnya.141
Saat polisi akhirnya menangkap Lia Eden sebagai pimpinan jemaat
Komunitas Eden, polisi menginterogasi Lia Eden dengan ratusan pertanyaan yang
sangat berat, dan hampir semuanya berkatian dengan masalah-masalah teologis.
Hal ini dipandang oleh M. Dawam Rahardjo sebagai sesuatu yang berada di luar
kemampuan polisi untuk merumuskannya.142
Jelas, dari sudut pandang ini, M.
Dawam Rahardjo mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas aparat polisi dalam
menangani kasus Komunitas Eden.
Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo mempertanyakan tiga hal sebagai
representasi pembelaannnya terhadap Lia Eden, (1) Atas dasar apa dan atas dasar
hukum apa Ibu Lia Eden harus meringkuk dalam penjara? (2) Apakah negara
punya hak untuk mengadili sebuah keyakinan dalam suatu negara yang memiliki
UUD yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil? (3) Mengapa dalam
kasus Komunitas Eden ini negara justru mengadili pihak yang menjadi korban,
dan sebaliknya membiarkan bahkan melindungi tindakan atau aksi kekerasan yang
mengatasnamakan agama, padahal aksi itu yang sebenarnya kriminalitas?143
Dalam kasus Ahmadiyah, M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis
menanggapi berbagai kekerasan yang menimpa mereka. Ahmadiyah memang
menjadi salah satu aliran yang mengaku sebagai bagian dari Islam, namun
ditentang di banyak negara-negara muslim. Bahkan, di tempat asal
141
Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” h. 3. 142
M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara,” artikel diakses tanggal
17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15. 143 M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara.”
kemunculannya pun mereka dianggap terlarang. Salah satu faktor penyebabnya
ialah klaim Mirza Ghulam Ahmad – pemimpin spiritual Ahmadiyah – yang
menyebutkan bahwa ia penerima wahyu dan sebagai nabi. Terlebih, Ghulam
Ahmad kemudian berhasil membukukan “wahyu” yang sempat diterimanya.
Maka kaum muslim umunya menganggap bahwa Ahmadiyah memiliki kitab suci
sendiri.
Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami
banyak penganiayaan. Kemudian mereka hijrah ke Inggris dan menyebar ke
negara-negara Eropa Barat. Hal ini menguatkan tuduhan bahwa Ahmadiyah
didanai oleh Inggris untuk melanggengkan kekuasaannya di India. Padahal,
Ahmadiyah adalah sebuah organisasi mandiri yang swadaya dan mendapat dana
dari para anggotanya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Ahamdiyah banyak
ditentang di negara-negara muslim.
Ahamdiyah termasuk organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928
(aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah
mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA
5/23/13, tanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan
melalui Surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.
Atas dasar itu, seharusnya pemerintah melindungi Ahmadiyah dan ajarannya.
Namun, rupanya fatwa MUI dan berbagai SKB yang dikeluarkan beberapa
pemerintah daerah berhasil menyudutkan Ahmadiyah dan memberi dukungan atas
tindakan kekerasan sebagian masyarakat atas mereka.144
Sekalipun memang Ahmadiyah terpaksa harus dianggap berbeda, M.
Dawam Rahardjo berpendapat bahwa orang Ahmadiyah pun masih berhak
“menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Beliau
mengingatkan bahwa selama ini Ahmadiyah konsisten menjalankan program
kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Menurutnya, Ahmadiyah mestinya
justru dimasukkan ke dalam kepengurusan MUI dan tidak perlu dikucilkan.
Dalam kerangka negara hukum, Ahmadiyah tetap berhak memperoleh hak-hak
asasi mereka, khususnya menjalankan agama menurut kepercayaannya.145
Dalam melihat fenomena maraknya aliran keagamaan yang dianggap
“sesat” ini, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa apabila ajaran suatu
kelompok agama menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi masyarakat,
kebebasannya memang harus dilarang.146 Akan tetapi, ternyata sejauh ini ajaran-
ajaran seperti Ahmadiyah atau Komunitas Eden tidak menunjukkan akan
berakibat kecelakaan bagi masyarakat. Meskipun, memang di sisi lain, klaim sesat
banyak dituduhkan terhadap mereka dan dianggap meresahkan warga. Yang jelas,
bila problem utamanya terletak pada persoalan perbedaan penafsiran dalam
beragama, maka menurut M. Dawam Rahardjo perbedaan tersebut harus dihargai.
Tuduhan penodaan agama yang seringkali dijatuhkan atas aliran-aliran
yang dianggap sesat, menurut M. Dawam Rahardjo, pada dasarnya rancu.
144
M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,” artikel
diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850. 145
M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama.” 146 Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.
Seharusnya, kriteria sesat atau penodaan agama hanya berlaku bagi mereka yang
melanggar hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila, dan
mengganggu ketentraman umum. Jadi, hukan mengenai kepercayaan atau
penafsiran tertentu.147
Pada dasarnya, negara memang tidak perlu mencantumkan titel agama
resmi pada agama-agama tertentu, sebagaimana yang selama ini berlaku di
Indonesia. Menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus netral (sekular). Namun,
ini tidak berarti negara mesti bermusuhan dengan agama tertentu. Negara juga
tidak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama baru148
Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo membenarkan adanya
pembatasan atas kebebasan bila berbentuk penghinaan atau sikap anti agama.
Contohnya, orang yang menggambarkan nabi Muhammad dengan paras yang
sama sekali berbeda dengan ilustrasi hadis. Menurut M. Dawam Rahardjo, gambar
yang tidak berdasar atau diniatkan untuk memberi citra buruk atas nabi
Muhammad dan agama yang dibawanya, itu tidak boleh.149
Pembelaan M. Dawam Rahardjo atas penegakan kebebasan beragama di
Indonesia diakui olehnya bukan sekedar wacana belaka. M. Dawam Rahardjo
mengakui bahwa dirinya adalah penganut kebebasan beragama, karena beliau
ingin orang lain bebas dalam beriman. Sebab, agama itu adalah iman yang
dikuasai individu, dan sifatnya ke dalam, bukan ke luar.150
Kebebasan beragama
adalah hal yang paling esensial untuk menjamin kerukunan antar umat beragama.
147
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 148
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5. 149
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4. 150 Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo, 5 Februari 2006.
Bila kebebasan beragama tidak ada, maka agama-agama akan menjadi sumber
konflik.151
Menurutnya, usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memajukan
kebebasan beragama itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan,
dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama.
Adapun sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap
masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah,
di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. M. Dawam
Rahardjo meyakini bahwa masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan
tetap suram, selama tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian
kebebasan beragama. Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong
ketidaknyamanan dalam kehidupan beragama.152
Kendati pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup lengkap dalam memandang
kebebasan beragama di Indonesia, namun kiranya perlu ditambahkan di sini
beberapa pandangan lain yang muncul dan menyertai pemikiran M. Dawam
Rahardjo tentang kebebasan beragama. Menurut Siti Musdah Mulia, negara
memang tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama, memutuskan
agama resmi atau tidak resmi menentukan mana agama induk dan mana agama
sempalan. Bahkan negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama.
Penentuan bahwa sesuatu itu agama atau bukan hendaknya diserahkan saja
sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Negara hanya perlu
menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan kekerasan
151
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009. 152 Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009.
(violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apapun, dan tidak melakukan
penghinaan terhadap pengikut agama lain.153
Di sisi lain, Franz Dahler mengkritik sekularisme yang menjadi basis
pendekatan M. Dawam Rahardjo dalam memandang kebebasan beragama di
Indonesia. Sekularisme yang dimaksud Dahler yakni sekularisme sebagai dampak
industrialisasi. Menurut Franz Dahler, akibat negatif dari sekularisme yaitu:
pertama, perkembangan berat sebelah dan pincang dari ilmu-ilmu eksakta,
sehingga ilmu-ilmu humaniora ketinggalan. Kedua, mental konsumtif yang
merugikan alam. Keiga, kemajuan teknis dari negara industri mempertajam urang
antara negara kaya dan miskin. Keempat, pemusatan, konsentrasi ekonomi,
politik, pendidikan, administrasi ada dalam tangan segelintir orang (oligarki).154
F. Budi Hardiman juga mengkritik sekularisme. Menurutnya, negara
hukum modern, juga republik Indonesia, menghadapi dua macam jebakan yang
dihasilkan lewat sekularisasi. Negara masuk kedalam jebakan sekularisme jika
menyingkirkan setiap alasan religius yang diyakini oleh para warga negaranya
yang beriman. Namun, di sisi lain, terdapat pula jebakan fundamentalisme agama,
jika negara menerima begitu saja alasan religius dan menjadikannya reguasi
publik. Suatu masyarakat, menurutnya, seharusnya segera memasuki kondisi post-
sekular. Suatu masyarakat dikatakan memasuki kondisi post-sekular jika waspada
terhadap kedua macam jebakan di atas dalam proses legislasi hukumnya.
Masyarakat seperti ini melihat sekularisasi sebagai proses belajar antara pemikiran
153
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,
Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 227. 154
Franz Dahler, “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi,” dalam Buletin
Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006, h. 7-8.
sekular dan pemikiran religius. Tanpa prasangka, keduanya dipandang
komplementer.155
F. Budi Hardiman selanjutnya memberi jalan keluar dari bahaya
sekularisme dan pluralisme, dengan mengajukan konsep toleransi militan.
Menurutnya, seseorang yang militan tidak harus intoleran terhadap pluralisme.
Begitu juga seorang yang toleran tidak harus bersikap relativis dan “lunak”
terhadao imannya sendiri. Orang bisa menjadi seorang yang toleran sekaligus
militan. Seorang yang memiliki toleransi militan bukanlah seorang yang
toleransinya muncul dari sikap laissez faire terhadap imanya sendiri. Sehingga ia
tanpa pendirian bergaul dengan para warga negara dari iman-iman yang lain tanpa
mempedulikan iman-iman mereka pula. Seorang yang toleran secara militan
adalah orang yang menerima fakta pluralitas orientasi religius, dan penerimaan ini
tidak muncul dari ketidakpedulianya terhadap imannya sendiri, melainkan justru
muncul dari imannya yang dewasa dan terbuka. Toleransi militan bukanlah sikap
netral, melainkan suatu pemihakan kepada kebebasan dan keadilan.156
Sejauh pembahasan dalam skripsi ini, penulis berpendapat bahwa
perspektif M. Dawam Rahardjo cukup relevan dan lengkap dalam membahas
kebebasan beragama di Indonesia. Selain dasar epistemologis dan ideologis yang
jelas, M. Dawam Rahardjo juga melengkapi perspektifnya dengan solusi, yakni
undang-undang kebebasan beragama.
155
F. Budi Hardiman, “Menimbang Kembali Sekularisme,” dalam Ihsan Ali Fauzi,
et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 390-391. 156
F. Budi Hardiman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme,” dalam Buletin
Kebebasan Edisi No. 03/V/2007, h. 10-11.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian panjang tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam
perspektif M. Dawam Rahardjo di atas, akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa
kebebasan beragama dipahami oleh M. Dawam Rahardjo tidak hanya semata-
mata berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang
dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan
keyakinan masing-masing. Menurut M. Dawam Rahardjo, kebebasan beragama
bisa dibatasi ketika kegiatan penyebaran agama dilakukan melalui kekerasan
maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi, kebebasan
beragama tidak dipahami sebagai sebuah kebebasan tanpa batasan. Justru
kebebasan beragama harus dibatasi oleh hukum, sepanjang melanggar hukum,
mengganggu ketertiban umum, membohongi publik, atau melakukan ritual
asusila. Meskipun demikian, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan
beragama yang jelas seperti ini belum kunjung dipahami dengan benar oleh
negara] akibatnya, pelanggaran kebebasan beragama terjadi sampai saat ini.
Dalam merumuskan solusi atas problem kebebasan beragama di Indonesia,
M. Dawam Rahardjo berpikir bahwa masih diperlukan adanya penelaahan
kembali Pancasila sebagai jaminan pertama atas kebebasan beragama di
Indonesia. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa Pancasila disemangati oleh
trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, di mana ketiganya sama-sama
merupakan ideologi yang diperlukan untuk menjamin kebebasan beragama di
Indonesia. Gagasan orisinal M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan kedalaman
(radikal) perspektif M. Dawam Rahardjo atas kebebasan beragama di Indonesia.
Di samping itu, beliau juga berpikir bahwa landasan filosofis-idelogis saja tentu
belum cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Menurutnya, diperlukan
adanya transformasi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, menjadi hak
sipil warga negara. Transformasi tersebut terutama – menurutnya – haruslah
berbentuk undang-undang kebebasan beragama yang dirumuskan bersama oleh
pemerintah dan DPR. Hal ini berarti pula bahwa perjuangan penegakan kebebasan
beragama termasuk juga perjuangan politik. Selanjutnya, undang-undang
kebebasan beragama dan seluruh regulasi yang menjamin kebebasan beragama di
Indonesia semestinya dijalankan dan ditaati oleh semua pihak. Hal yang
terpenting bagi M. Dawam Rahardjo adalah bahwasanya penegakan kebebasan
beragama adalah cermin dari kualitas demokratisasi di Indonesia.
Saran
Dari penulisan skripsi ini dan mengingat bahwa baik kajian tentang kebebasan
beragama maupun – pemikir intelektual muslim – M. Dawam Rahardjo, maka di
sini penulis memberikan beberapa saran, antara lain:
Demokratisasi di Indonesia sebaiknya menyertakan penegakan kebebasan
beragama agar kualitas demokrasi Indonesia dapat lebih baik lagi. Sebab,
demokrasi prosedural saja belum cukup untuk menjamin kehidupan yang
damai dan toleran, dan penegakan kebebasan beragama merupakan salah
satu usaha menjamin kehidupan damai dan toleran itu.
Perspektif M. Dawam Rahardjo kebebasan beragama di Indonesia dapat
dijadikan acuan untuk pembaharuan kualitas demokrasi dan penegakan
hak asasi manusia di Indonesia. Bagaimana pun, di usia senjanya,
pemikiran beliau tentang kebebasan beragama menjadi tahap akhir
pengembaraan intelektualnya.
Bagi pemerintah, agar dalam mengeluarkan sebuah kebijakan mengenai
kehidupan keberagamaan senantiasa memperhatikan prinsip kebebasan
beragama. Sedangkan bagi masyarakat, agar prinsip kebebasan beragama
diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat tercipta
tatanan sosial-politik yang damai dan toleran.
Bagi masyarakat akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, agar menjadikan
bidang-bidang hak asasi manusia dan demokrasi sebagai kajian dalam
pemikiran politik, baik itu kajian tematik maupun tokoh. Dengan
demikian, berbagai persoalan dalam kehidupan politik dan hak asasi
manusia di Indonesia mendapat penyelesaian secara paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat
Indonesia.” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang
Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta:
PSIK Universitas Paramadina, 2007.
Allport, Gordon W. “The Religious Context of Prejudice.” Journal for Scientific
Study of Religion 5, 1966.
Audi, Robert. “The Separation of Church and State and the Obligations of
Citizenship.” Philosophy and Public Affairs 18, 1989.
Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1999.
“Belum Konsisten Penegakan Hukum Kebebasan Beragama.” Diakses pada
tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.antara.co.id/
arc/2008/2/14/belum-konsisten-penegakan-hukumkebebasan-beragama/.
Berger, Peter L. “The First Freedom.” Commentary 86, 1988.
Dahler, Franz. “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi.” Buletin
Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006.
Fanani, Ahmad Fuad. Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Fauzi, Ihsan Ali. et.all. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2007.
Gunn, T. Jeremy. “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion”
in International Law.” Harvard Human Rights Journal Vol. 16, 2003.
“Hak-hak Sipil dan Politik.” Artikel diakses tanggal 10 Nopember 2008, dari
http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=27
8&Itemid=51.
Hardiman, F. Budi. “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme.” Buletin
Kebebasani Edisi No. 03/V/2007.
--------------------------. “Menimbang Kembali Sekularisme.” Dalam Fauzi, Ihsan Ali. et.all. ed. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2007.
Hasanuddin, Iqbal. “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,”
artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari
http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neo-kantianisme-
dalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.
Hastings, C. B. “Hughes-Félicité Robert de Lamennais: A Catholic Pioneer of
Religious Liberty.” Journal of Church and State 30, 1988.
Huntington, Samuel P. “Benturan Antar Peradaban; Masa Depan Politik Dunia.”
Dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar
Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996.
“Kebhinekaan Dicederai.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01293516/kebhinnekaan.di
cederai.
“Koalisi Partai Islam Perlu untuk Representasi Umat.” Diakses pada tanggal 12
Desember 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/11/
01133018/koalisi.partai.islam.perlu.untuk.representasi.umat.
Koshy, Ninan. “The Ecumenical Understanding of Religious Liberty: The
Contribution of the World Council of Churches.” Journal of Church and
State 38, 1996.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2003.” Diakses pada tanggal
21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/
kebebasan_beragama1.html.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2005.” Diakses pada tanggal 21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/
laporan%20kebebasan%20beragama% 202005-1.html.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2006.” Diakses pada tanggal
21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/
laporan_kebebasan_beragama_2006-2.html.
“Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun 2007.” Diakses pada tanggal
21 Nopember 2008 dari http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/
Laporan_Kebebasan_Beragama_2007. html.
Lerner, Natan. “The Nature anf Minimum of Freedom of Religion or Belief.” In
Tore Lindholm, et.all., ed. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A
Deskbook. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.
Littell, Franklin H. “The Ecumenical Commitment to Human Rights.” Journal of
Ecumenical Studies 29, 1992.
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups.” Diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari
http://www.thepersecution.org/world/indonesia/07/05/jp19.html..
Mabruri, Gufron, et.all., Demokrasi Selektif terhadap Penegakan HAM; Laporan
Kondisi HAM Indonesia 2005. Jakarta: Imparsial, 2006.
Mujiburrahman, “Kebebasan Beragama di Indonesia.” Dalam Abdul Hakim dan
Yudi Latif. ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang
Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007.
Mulia, Siti Musdah. “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia.” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed. Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk
Mengenang Nurcholish Madjid. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina,
2007.
“Pancasila I.” Diakses tanggal 19 Februari 2008, dari http://www.freedom-
institute.org/id/index.php?page=kegiatan&detail=research&detail=talkshow.
“Pemerintah Tangerang Bongkar Paksa Lima Gereja dan Musala.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2005/11/30/brk,20051130-69892,id.html.
“Pemimpin Cianjur Larang Aktivitas Ahmadiyah,” berita diakses pada tanggal 10
Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/09/28/ brk,20050928-
67225,id.html.
Rachman, Budhy Munawar. "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran
Neo-Modernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol.
VI, tahun 1995.
Rahardjo, M. Dawam . “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi.” Tempo, 18
Juni 2006.
---------------------------. ”Mengapa Semua Agama itu Benar?” Tempo, 1 Januari
2006.
---------------------------. “Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas.” Tempo, 11
September 2005.
---------------------------. “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.” Koran Tempo, 1
Agustus 2005.
---------------------------. “Krisis Keberagamaan di Indonesia.” Reform Review Vol.
I, No. 1, April-Juni 2007.
---------------------------. “Agama di Ranah Publik.” Buletin Kebebasan, Edisi No.
01/XI/2006.
---------------------------. “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme.”
Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007.
----------------------------. “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses
pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/
korantempo/koran/2007/03/25/Ide/krn.20070325.97395.id.html.
---------------------------. “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel
diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-
online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15.
---------------------------. “Dasasila Kebebasan Beragama.” Artikel diakses tanggal
16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925.
---------------------------. “Agama dan Hak-hak Sipil.” Artikel diakses tanggal 17
Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2 &pos=15.
---------------------------. “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”
Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=30.
---------------------------. “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara.” Artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?
ArtCat=2&pos=15.
---------------------------. “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan
Beragama.” Artikel diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850.
---------------------------. Nasionalisme Indonesia, makalah tidak diterbitkan.
---------------------------. “Islam Radikal Vs Islam Liberal.” Tempo, 12 Januari
2003.
“Ribuan Orang Serbu Perkampungan Ahmadiyah Cianjur,” berita diakses pada
tanggal 10 Nopember 2008 dari http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2005/
09/20/brk,20050920-66852,id.html.
“Sebatang Salib yang Dikunci.” Tempo, 11 September 2005.
Swindler, Leonard. “Freedom of Religion and Dialogue.” In Tore Lindholm,
et.all., ed. Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004.
Teehankee, Julion C. Liberalism: A Primer. Manila: National Institute for Policy
Studies, 2005.
“TK Kristen ‘Disegel’.” Diakses pada tanggal 10 Nopember 2008 dari
http://www.tempo.co.id/hg/nusa/2006/04/01/brk,20060401-75733,id.html.
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo. Hiwar Volume III, Tahun I,
Maret 2008.
Wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo. Tempo, 5 Februari 2006.
Wood Jr., James E. “Religious Human Rights and a Democratic State.” Journal of
Church and State Vol. 46.
Zada, Khamami. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/ Tipologi-Sikap-Beragama.html.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.
Lampiran I
TRANSKRIP WAWANCARA
DENGAN M. DAWAM RAHARDJO, 16 FEBRUARI 2009, JAKARTA
1. Bagaimana kondisi umum kebebasan beragama di Indonesia menurut
Anda?
Jadi, saya kira secara umum tidak ada kepastian hukum karena pengertia
kebeban beragama tidak jelas. Karena itu, perlu disusun undang-undang
kebebasan beragama yang mencakup pengertian kebebasa beragama, wilayah dan
batasannya, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Itu harus jelas, sehingga tidak
terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, seperti yang terjadi
terhadap Ahmadiyah, Lia Eden, Al-Qiyadah dan sebagainya. Sebab, masyarakat
tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.
2. Sudah cukupkah jaminan negara atas kebebasan beragama?
Menurut hemat saya, agama dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah
privat dan wilayah publik. Wilayah privat, yang mencakup akidah (iman) dan
ibadah, harus mendapatkan jaminan kebebasan dan perlindungan dari pemerintah.
Sedangkan wilayah publik, yang meliputi moral, etika, dan organisasi keagamaan,
perlu diatur oleh negara.
MUI seharusnya berperan menengahi dan harus membela masyarakat,
bukan pemerintah. Pembelaan itu dilakukan bila masyarakat diserang, dan bukan
malah melegitimasi politik pemerintah melalui fatwa-fatwanya. Namun, sangat
disayangkan, MUI justru ikut menyerang kebebasan beragama, bahkan memicu
kekerasan horizontal dalam masyarakat. Pemerintah pun malah melakukan
kekerasan, dengan mengadili para penganut aliran sesat, seperti yang dialami oleh
Yusman Roy, Lia Eden dan Ahmadiyah. Artinya, jaminan pemerintah tentu saja
belum cukup. Terbukti dengan belum disusunnya undang-undang kebebasan
beragama.
3. Bagaimana Anda memisahkan antara kebebasan beragama dan
penodaan agama?
Fatwa MUI mengenai kriteria sesat seharusnya tidak diperbolehkan, sebab
memicu kekerasan. Semestinya, kriteria sesat atau aliran sesat hanya berlaku bagi
mereka yang melanggar hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila,
dan mengganggu ketentraman umum. Jadi, bukan mengenai kepercayaan atau
penafsiran tertentu, seperti kepercayaan terhadap Ghulam Ahmad dan Jibril
sebagai nabi. Hal seperti itu justru tak bisa diatur dan bebas terserah kepada
masyarakat yang menilainya. Lagi pula, menurut hemat saya, dengan kepercayaan
seperti itu orang tidak akan mudah percaya. Pun demikiran, bila ada fatwa, maka
fatwa itu hanyalah sekedar nasehat saja. Fatwa itu tidak mengikat dan bukan
produk hukum yang harus dipatuhi.
Kemudian, perlu juga dilakukan diskusi-diskusi dengan para penganut
aliran itu, agar lambat laun mereka mulai terbuka pikirannya dan menimbang-
nimbang keyakinan mereka secara lebih rasional. Lagi pula, aliran sesat itu bisa
disebut sebagai gejala patologi atau penyakit sosial, apalagi yang
mengatasnamakan agama.
Pengertian penodaan agama itu rancu. Terlebih pasal penodaan agama
hanya berlaku secara tebang pilih. Kelompok-kelompok yang terang-terangan
menyerang kaum minoritas justru tidak terkena pasal penodaan agama. Kriteria
penodaan agama yang hanya menghukumi kepercayaan seseorang sangat tidak
jelas, sebab kepercayaan itu tidak bisa dicegah oleh siapapun. Misal, olahraga
yoga. Toga itu tidak bisa dilarang, juga tidak bisa diharamkan. Ritual yang
dilakukan dalam yoga, sama sekali tidak bisa diawasi. Terlebih, tujuan yoga
adalah olahraga.
Saya pikir, pada dasarnya, kebebasan beragama itu harus dipagari oleh
hukum. Artinya, kebebasan beragama yang saya maksudkan adalah kebebasan
yang bertanggung jawab. Oleh karena itulah, undang-undang kebebasan beragama
itu harus ada, supaya ada jaminan dan kepastian hukum yang adil.
4. Apa saja usaha yang bisa dilakukan untuk pemajuan jaminan
kebebasan beragama?
Usaha-usaha itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan,
dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama.
5. Apa kendala yang muncul dalam usaha penegakan kebebasan
beragama di Indonesia?
Sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap
masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah,
di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. Menurut
saya, sebetulnya aliran liberal itu yang lebih berbahaya. Tapi mereka, kaum
konservatif-ortodoks, tidak bisa mencegahnya dikarenakan kaum liberal banyak
berisi para intelektual.
6. Apa makna kebebasan beragama bagi Anda? Dan bagaimana masa
depan kebebasan beragama di Indonesia?
Menurut saya, kebebasan beragama adalah hal yang paling esensial untuk
menjamin kerukunan antar umat beragama. Bila kebebasan beragama tidak ada,
maka agama-agama akan menjadi sumber konflik.
Masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan tetap suram, selama
tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian kebebasan beragama.
Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong ketidaknyamanan
dalam kehidupan beragama.