MAKALAH
KELANGKAAN SUMBERDAYA PERIKANAN
DAN FAKTOR PENYEBABNYA
Disusun oleh :
Afrita Jayati Sudiarto
4443090140
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2011
KATA PENGANTAR
Segala puji marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kita semua kesehatan dan kepada seluruh para pengikutnya. Saya
sangat bersyukur atas tugas mata kuliah Ekonomi Sumberdaya Perikanan dengan
judul Kelangkaan Sumberdaya Perikanan dan Faktor Penyebabnya yang dapat
saya selesaikan dengan baik.
Namun saya sebagai penulis makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan saya atas kritik dan
saran yang membangun untuk makalah ini.
Akhir kata, saya berharap semoga tujuan pembuatan makalah ini dapat
tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Dan semoga juga pembahasan yang saya
susun ini bermanfaat bagi para pembaca dan mampu menambah wawasan dan
pengetahuaan.
Wassalam
Serang, Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
I.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
I.2 Identifikasi Masalah...........................................................................2
I.3 Tujuan.................................................................................................2
1.4 Manfaat...............................................................................................2
Bab II : Kajian Pustaka
II.1 Ekonomi Perikanan............................................................................3
II.2 Sumberdaya Perikanan.......................................................................4
II.3 Kelangkaan........................................................................................6
II.4 Kelompok pesimis dan optimis terhadap sumber daya alam.............7
II.5 Mengukur kelangkaan sumber daya alam........................................10
Bab III : Pembahasan
III.1 Kondisi Perikanan di Indonesia......................................................13
III.2 Kelangkaan Sumber Daya Perikanan di Beberapa Tempat di
Indonesia dan Faktor Penyebabnya................................................19
III.2.1 Over Fishing di Perairan Cilacap Menyebabkan Hasil
Tangkapan Nelayan Terus Menurun..................................19
III.2.2 Ancaman kepunahan ikan Endemik Indonesia...................21
III.2.3 Banyaknya Perburuan Ikan Hiu di Laut Menjadi Salah Satu
Penyebab Kelangkaan Iakan di Perairan Indonesia...........24
III.2.4 Fenomena ilegal fishing dan Ironi negara bahari................25
III.2.5 Nelayan kita yang merana...................................................27
III.3 Alasan Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing.....28
III.4 Sumber Daya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi.............................34
Bab IV : Kesimpulan..............................................................................................40
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dunia telah mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar
81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau
sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik ini,
tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya
dengan baik. Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa
indonesia) belum mampu menunjukan kerdiriannya sebagai bangsa bahari.
Indikasinya sangat jelas, sampai saat ini masyarakat kita yang berprofesi
sebagai nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Harusnya dengan
potensi kekayaan bahari tersebut, sudah mampu membuat bangsa ini
sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah kita dalam pengelolaan
sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus mengindikasikan perhatian
pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah mata.
Apa pasal yang membuat bangsa ini belum mapan dalam sektor
bahari? Indikasi kecilnya adalah belum adanya kesadaran kolektif bangsa ini
akan arti pentingnya sektor kelautan kita. Dari segi pengambil kebijakan
misalnya, departemen yang secara khusus menangani masalah kebaharian
yakni kementerian Kelautan dan Perikanan kita baru ada pasca tumbangnya
orde baru. Itu baru pada persoalan penentu kebijakan. Tentunya potensi fisik
tersebut bukanlah hanya menjadi kebanggaan saja. Akan tetapi potensi itu
harus dikelola untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Sayangnya,
sampai sekarang potensi sumberdaya perikanan kita masih belum dikelola
secara efektif dan banyaknya nelayan yang menangkap ikan secara berlebihan
tanpa memperhatikan lingkungan. Akibatnya, terjadi kelangkaan sumber daya
perikanan dibeberapa daerah dan pada akhirnya menyebabkan kepunahan
spesies di suatu daerah di Indonesia. Padahal, kita sebagai negara maritim
harus sadar akan kekayaan negara kita yang harus kita jaga dengan baik,
terutama ikan langka yang terancam punah dan yang seharusnya dilestarikan
dan dilindungi. Jika terjadi kelangkaan sumber daya perikanan, maka harga
produksi pun akan naik dan pada akhirnya harga ikan di pasaran pun
melonjak. Hal inilah yang melatar belakangi saya menulis makalah mengenai
kelangkaan sumber daya perikanan dan faktor penyebabnya.
I.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dari judul makalah ini, yaitu :
a. Terjadinya kelangkaan sumberdaya perikanan di beberapa daerah di
Indonesia.
b. Meningkatnya harga dikarenakan terjadinya kelangkaan sumber daya
perikanan.
c. Banyaknya spesies ikan langka yang langka punah di Indonesia.
d. Banyak Faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan sumber daya
perikanan yang kurang diperhatikan oleh pemerintah.
I.3 Tujuan
Tujuan dari di susunnya makalah ini, yaitu untuk memenuhi tugas
pengganti ujian tengah semester mata kuliah ekonomi sumber daya perikanan
Dan dapat mengetahui kelangkaan sumber daya perikanan yang renewable
dan faktor penyebabnya. Selain itu pula untuk menambah wawasan dan
pengetahuan kepada para pembaca.
I.4 Manfaat
Manfaat dari disusunnya makalah ini, yaitu dapat menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai faktor penyebab kelangkaan sumber
daya perikanan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Ekonomi Perikanan
Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari
aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi,
pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal
dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan
νόμος (nomos), atau "peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar
diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga."
Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang
menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja. Manusia sebagai
makhluk sosial dan makhluk ekonomi pada dasarnya selalu menghadapi
masalah ekonomi. Inti dari masalah ekonomi yang dihadapi manusia adalah
kenyataan bahwa kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, sedangkan
alat pemuas kebutuhan manusia jumlahnya terbatas. Tindakan ekonomi
adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik
dan paling menguntungkan. Tindakan ekonomi terdiri atas dua aspek, yaitu :
Tindakan ekonomi Rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh
pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian.
Tindakan ekonomi Irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh
pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak
demikian.
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga
seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam
dua aspek:
Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan
ekonomi atas kemauan sendiri.
Motif ekstrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan
tidakan ekonomi atas dorongan orang lain. Pada prakteknya terdapat
beberapa macam motif ekonomi:
Motif memenuhi kebutuhan
Motif memperoleh keuntungan
Motif memperoleh penghargaan
Motif memperoleh kekuasaan
Motif sosial / menolong sesama
Ekonomi Perikanan merupakan bagian dari ilmu ekonomi umum
yang mempelajari fenomena dan persoalan yang berhubungan dengan
bidang perikanan. Perikanan sendiri menurut Undang-undang nomer 31
tahun 2004 pasal 1 ayat 1 yaitu Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Sedangkan ikan menurut
undang-undang nomer 31 tahun 2004 pasal 1 ayat 2 yaitu segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada pada
lingkungan perairan. Karena ikan dan segala jenis organisme yang hidup di
lingkungan perairan memiliki nilai ekonomis atau merupakan sumber
ekonomi serta adanya perilaku ekonomi, maka terdapat ekonomi perikanan
yang kemudian timbul permintaan dan penawaran. Perilaku ekonomi itu
sendiri yaitu bagaimana cara memenuhi kebutuhan manusia agar mencapai
kepuasan dengan memanfaatkan sumber daya yang terbatas namun sarana
untuk memenuhi kebutuhan itu terbatas. Oleh karena itu manusia atau
masyarakat harus melakukan pilihan dalam menggunakan alat pemuas
kebutuhan atau sumberdaya itu dan juga memilih diantara kebutuhan yang
harus dipenuhinya. Alat pemuas kebutuhan itu dapat disebut sebagai
sumberdaya, barang konsumsi maupun barang produksi.
II.2 Sumberdaya Perikanan
Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang berada dibawah
maupun diatas permukaan bumi termasuk tanah yang sifatnya masih
potensial serta sifatnya belum dilibatkan dalam proses produksi untuk
meningkatkan tersedianya barang dan jasa dalam perekonomian. Sedangkan
barang sumber daya merupakan sumber daya alam yang sudah diambil dari
dalam atau dari atas permukaan bumi dan siap digunakan serta
dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain sehingga dapat
dihasilkan produk baru yang berupa barang atau jasa bagi konsumen
maupun produsen. Barang sumber daya yang dipakai dalam proses produksi
dapat meningkatkan produksi barang dan jasa bila dikombinasikan dengan
faktor produksi lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perikanan menurut Undang-
undang nomer 31 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 yaitu Semua kegiatan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai
dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Jadi
sumber daya perikanan merupakan segala sesuatu yang berada disekitar laut
atau perairan termasuk terumbu karang juga pohon mangrove yang sifatnya
masih potensial serta sifatnya belum dilibatkan dalam proses produksi untuk
meningkatkan tersedianya barang dan jasa dalam perekonomian. Sumber
daya perikanan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable
resources = flow resources).
Pada dasarnya sumber daya alam itu dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok utama, yaitu kelompok sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui (exhaustible resources = stock resources fund resources)
contohnya barang tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak
bumi, batu bara, timah dan nikel. manusia harus menggunakan SDA ini
seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali
setelah jutaan tahun kemudian. Sumber daya ini mempunyai sifat bahwa
volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah
kembali. Untuk terjadinya sumber daya jenis ini diperlukan waktu ribuan
tahun. Yang kedua yaitu sumber daya alam yang dapat diperbaharui
(renewable resources = flow resources). Sumber daya ini mempunyai sifat
terus-menerus ada dan dapat diperbaharui baik oleh alam sendiri maupun
dengan bantuan manusia. Dalam hal ini, ikan merupan sumber daya alam
yang kategori ini. Walaupun sumber daya ini mempunyai sifat terus
menerus ada, namun jika sumber daya alam tersebut tidak dikelola dengan
baik maka akan menimbulkan kelangkaan. Seperti pendapat kelompok
pesimis terhadap sumber daya alam yaitu “Sumber daya alam itu terbatas
adanya, sehingga apabila terus menerus diambil maka cadangannya makin
lama akan semakin menipis dan sampai pada saatnya pasti akan habis”.
II.3 Kelangkaan
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah ada
puasnya. Kebutuhan manusia beraneka ragam dan terus-menerus ada. Hari
ke hari kebutuhan manusia semakin bertambah banyak baik jumlah, mutu,
dan coraknya. Pertambahannya itu tidak sebanding dengan sumber daya
yang tersedia. Oleh karena itu, akan ada sebagian orang yang tidak
mendapatkan alat pemuas kebutuhan yang diinginkan, entah karena tidak
mampu mengeluarkan pengorbanan yang disyaratkan (biaya tidak
terjangkau) atau karena barang sudah habis. Kondisi tersebut dapat disebut
sebagai kelangkaan. Jadi kelangkaan dapat diartikan situasi atau keadaan di
mana jumlah sumber daya yang ada dirasakan kurang atau tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Para ekonom terbiasa mengartikan
kata langka dengan keadaan dimana jumlah barang yang diminta lebih
banyak dari pada jumlah barang yang ditawarkan atau yang disediakan dan
dalam pasar persainganb sempurna, kelangkaan ini akan menyebabkan
harga barang yang bersangkutan naik. Dalam kaitannya dengan sumber
daya alam, persediaan itu dihadapkan pada tingkat konsumsi sumber daya
alam per tahun untuk memperkirakan berapa lama lagi jumlah cadangan
tersebut akan dapat dikonsumsi untuk menopang kehidupa manusia.
Menurut ilmu ekonomi, kelangkaan mempunyai dua makna, yaitu
terbatas, dalam arti tidak cukup dibandingkan dengan banyaknya kebutuhan
manusia dan terbatas, dalam arti manusia harus melakukan pengorbanan
untuk memperolehnya.
II.4 Kelompok pesimis dan optimis terhadap sumber daya alam
Mengenai sejauh mana sumber daya alam itu dapat melayani
kebutuhan manusia ada dua kelompok pemikir yang masing-masing berbeda
pendapat. Satu kelompok merasa optimis terhadap tersedianya sumber daya
alam dan kelompok satu lagi merasa pesimis.
a. Kelompok Pesimis, kelompok ini menyatakan bahwa Sumber daya
alam itu terbatas adanya, sehingga apabila terus menerus diambil maka
cadangannya makin lama akan semakin menipis dan sampai pada
saatnya pasti akan habis. Pemikiran yang pesimis ini sudah diawali oleh
tokoh-tokoh ekonomi terkenal seperti Adam Smith dan David Ricardo.
Demikian pula Thomas Robert Malthus sudah melihat lebih awal
bahwa pertumbuhan penduduk akan selalu mengikuti deret ukur,
sedangkan pertumbuhan pemuas kebutuhan manusia, khususnya pangan
akan meningkat sesuai dengan deret hitung, sehingga manusia di muka
bumi ini pada suatu saat akan mengalami kekurangan bahan makanan
dan alat pemuas kebutuhan lainnya.
Tersedianya sumber daya alam di bumi ini adalah terbatas
baik dalam arti kuantitas maupun dalam arti kualitas. Menutut David
Ricardo, manusia selalu menggunakan sumber daya alam yang paling
tinggi kualitasnya terlebih dahulu. Kemudian karena kuantitas sumber
daya yang tinggi kualitasnya ini akan habis, manusia beralih
menggunakan sumber daya alam yang lebih rendah kualitasnya.
Kejadian ini akan berlangsung terus sampai pada penggunaan sumber
daya alam yang sangat marginal kualitasnya. Sebagai akibatnya biaya
pengambilan atau pengolahan akan semakin meningkat dan pada
gilirannya harga barang-barang sumber daya itu akan menjadi mahal.
Kelompok pesimis ini khawatir akan adanya kelangkaan sumber daya
alam yang dari hari ke hari semakin berat dirasakan. Peranan
perkembanga teknologi dan transportasi telah dilupakan oleh kelompok
pesimis ini, bahkan mereka mengira bahwa perkembangan teknologi
justru akan semakin menguras adanya sumber daya alam yang ada di
bumi ini.
Pendapat-pendapat kelompok pesimis tersebut yaitu sebagai
berikut :
1. Dunia ini terbatas adanya, sehingga terbatas pulalah sumber daya
alam yang ada dan ini membatasi pula tersedianya barang-barang
produksi bagi kebutuhan manusia.
2. Hampir semua kegiatan produksi saat ini pertumbuhannya bersifat
eksponensial, artinya penggalian sumber daya alam juga akan
semakin cepat peningkatannya.
3. Produksi barang dan jasa pasti akan berhenti apabila batas
cadangan sumber daya alam itu sudah tercapai.
4. Batas cadangan itu akan segera tercapai, jika pola konsumsi
sumber daya alam tidak kembali.
5. Dampak yang timbul dalam masyarakat adalah bahwa dalam
proses menuju batas pertumbuhan tersebut bersifat kehancuran.
6. Akhirnya kita harus berusaha untuk mengubah tendensi
pertumbuhan yang sifatnya eksponensial itu dan membatasi
kegiatan manusia sesuai dengan batasan-batasan alamiah yang
berupa cadangan sumber daya alam dan kualitas lingkungan
tertentu.
Dari uraian di atas tampak kemajuan teknologi akan mendorong
pertumbuhan ekonomi semakin pesat lagi, namun dengan adanya
peringatan dari kelompok Roma, manusia harus dapat menentukan
batas pertumbuhan ekonomi sendiri yang pada gilirannya akan
membatasi tingkat pengambilan sumber daya alam. Suatu alternatif lain
ialah dapat saja perekonomian berkembang terus, tetapi harus
ditemukan teknologi yang akan menghemat penggunaan sumber daya
alam. Dengan demikian kelompok pesimis ini walaupun cemas
terhadap perkembangan ekonomi dunia, namun tidak berarti bahwa
mereka ini putus asa bahkan justru menyarankan agar dicari jalan
keluarnya. Memang dunia ini terbatas adanya, banyak sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui mendekati titik kehabisan
cadangannya dan banyak sumber daya alam yang dapat pulih telah
diperdagangkan secara berlebihan (over used).
b. Kelompok Optimis. Kelompok ini berpendapat bahwa sumber daya
alam itu tersedia melimpah dan tidak akan pernah habis, lebih-lebih
untuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Memang kelompok
optimis mengakui adanya pencemaran yang semakin membahayakan
manusia, sehingga perlu diambil suatu tindakan untuk mencegahnya.
Namun kelompok ini belum melihat tanda-tanda akan menipisnya
persediaan sumber daya alam, bahkan sebaliknya cadangan sumber
daya alam itu dikatakan masih cukup banyak. Dan kelompok ini
membantah pendapat dari kelompok pesimis yang mengatakan bahwa
“Peranan perkembangan teknologi akan semakin menguras sumber
daya alam yang ada di bumi ini”. Dalam hal ini kelompok optimis
menyatakan bahwa perkembangan teknologi tidak menguras sumber
daya alam, namun jusru akan mengurangi pengurasan sumber daya
alam dengan memberikan penjelasan sebagai berikut :
1. Efisiensi perkembangan teknologi dalam bentuk penemuan cara-
cara produksi baru dapat berupa penghematan penggunaan barang-
barang sumber daya alam sebagai masukan dalam proses produksi
dengan jumlah faktor produksi lain tetap.
2. Daur ulang (recycle) dengan teknologi baru sumber daya alam itu
dapat digunakan berulang kali lewat proses pengolahan kembali
limbah produksi.
3. Eksplorasi dengan teknologi baru akan lebih mudah ditemukan
cadangan sumber daya alam baru, sehingga meningkatkan jumlah
persediaan sumber daya alam.
4. Substitusi dengan teknologi baru akan lebih dimungkinkan untuk
menemukan sumber daya alam pengganti atau sumber daya alam
alternatif, sehingga dimungkinkan adanya konservasi sumber daya
alam.
Lebih lanjut dikatakan bahwa tanpa adanya teknologi baru, maka
sumber daya alam yang ada tidak lebih dari barang rongsokan saja.
Akhirnya kelompok optimis menyarankan agar sumber daya alam
diusahakan dengan cara yang lebih efisien, yaitu dengan tingkat
produksi tertentu digunakan sumber daya alam yang sedikit mungkin
dan juga derajat pencemaran lingkungan yang minimal. Kelompok ini
juga tidak menolak bahwa pengambilan sumber daya alam yang
berlebihan akan merusak potensi sumber daya alam itu sendiri.
II.5 Mengukur kelangkaan sumber daya alam
Persediaan (reserve) atau cadangan (stock) sumber daya alam
merupakan sumber daya alam yang sudah diketahui dan terbukti baik dari
segi jumlah atau besarnya deposit yang diukur dalam satuan-satuan seperti
ton, m3,barrel dan telah diketahui pula manfaatnya serta langka adanya
(bernilai ekonomis). Cadangan sumber daya akan meningkat bila terjadi
penemuan baru (discovery), peningkatan cadangan yang telah terbukti
(extension) dan revisi (revision) cadangan sebagai akibat perkembangan
informasi mengenai kondisi pasar dan teknologi baru, yang kemudian dapat
mengubah sumber daya alam yang tidak ekonomis menjadi sumber daya alam
yang ekonomis. Namun, sayangnya sulit untuk mengetahui volume fisik,
lokasi, maupun kualitas sumber daya alam secara tepat, sehingga sulit pula
untuk menentukan derajat kelangkaan sumber daya alam tersebut.
Untuk mengetahui langka tidaknya sumber daya alam di bumi ini,
para ahli ekonomi menggunakan berbagai cara atau alat pengukur dalam
bidang ilmunya, yaitu dengan melihat harga barang sumber daya alam dan
nilai sewa ekonomis atau economic rent (Fishier), atau melihat satuan biaya
produksi barang sumber daya alam itu (Barnett dan Morse, Scarcity and
Growth, hal. 149), dan dapat pula dengan melihat royalty (economic rent)
maupun elastisitas substitusi. Cara-cara tersebut yaitu antara lain :
a. Biaya Produksi
Baik ekonom klasik (Ricardo) maupun Neo Klasik (Jevons)
melihat bahwa peningkatan biaya produksi berhubungan dengan semakin
berkurangnya persediaan atau cadangan sumber daya alam. Memang
barang sumber daya alam sejak adanya manusia di bumi ini sudah terus-
menerus diambil atau dieksploitasi. Pada umumnya orang percaya bahwa
sumber daya alam secara ekonomis memang langka dan dengan
berkembangnya waktu sumber daya alam itu menjadi semakin langka
dan ini akan mangganggu kehidupan manusia dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, dalam studi Barnett dan Morse itu, dikemukakan bahwa teori
klasik mengenai meningkatnya kelangkaan sumber daya alam itu tidak
dapat diterima, kecuali dalam hal yang sangat terbatas atau tertutup.
Barnett dan Morse membuat hipotesis tentang kelangkaan
sumber daya alam yaitu bahwa sumber daya alam itu semakin langka
apabila :
1. Biaya riil unit output meningkat terus selama periode pengambilan.
2. Biaya produksi komoditi yang diambil relatif lebih tinggi daripada
biaya produksi komoditi lain.
3. Harga komoditi yang diambil relatif lebih tinggi daripada harga
komoditi lain.
Barnett dam Morse menafsirkan penemuannya itu sebagai akibat
dari perubahan teknologi dan keuntungan dari skala ekonomi (economic
of scale). Perkembangan teknologi sangat menyolok di bidang sumber
daya mineral, khususnya banyak mesin-mesin yang menggantikan tenaga
manusia dan justru banyak pula kapital dan tenaga kerja yang
menggantikan antara berbagai sumber daya alam itu sendiri.
b. Harga barang sumber daya alam
Kelangkaan sumber daya alam dapat dilihat dari harga barang
sumber daya yang semakin meningkat maupun dilihat dari royalti atau
rent. Rent adalah harga bayangan satu unit barang sumber daya yang ada
dalam cadangan (stock). Bila seseorang tertarik pada kelangkaan maka
rent lebih tepat sebagai alat pengukurnya. Namun apabila sesorang
berminat untuk mengetahui banyaknya pengorbanan dalam mamperoleh
barang sumber daya alam, maka harga lebih tepat sebagai indikatornya
karena harga sudah mencakup biaya produksi dan rent. Selanjutnya
karena rent sulit untuk diamati maka harga lebih banyak dipakai sebagai
indikator baik untuk melihat kelangkaan maupun pengorbanan guna
menghasilkan barang sumber daya alam.
Harga barang sumber daya relatif lebih baik daripada biaya per unit
sebagai pengukur kelangkaan sumber daya alam karena :
1. Harga riil barang sumber daya lebih melihat ke depan dan
mencerminkan adanya baya yang diharapkan di masa datang baik
untuk eksplorasi, penemuan, maupun pengambilan.
2. Kemajuan teknologi mengalihkan tanda-tanda kelangkaan sumber
daya alam yang ditunjukkan oleh harga riil barang sumber daya.
3. Harga riil tidak menunjukkan adanya kecenderungan semakin
langkanya sumber daya alam yang mamiliki sumber daya pengganti
(substitusi).
4. Harga riil sumber daya dapat meningkat ataupun menurun, yang
berarti menunjukkan adanya kelangkaan atau berkurangnya
kelangkaan, tergantung pada harga mana yang dipakai untuk
membuat angka indeks (price deflator).
c. Nilai sewa dari sunber daya alam (economic rent) atau nilai sumber daya
alam di tempatnya (in situ resources), merupakan alat pengukur yang
ketiga terhadap kelangkaan sumber daya alam. Nilai sewa ini lebih tepat
menggambarkan kelangkaan sumber daya alam daripada dua cara
sebelumnya. Nilai sewa (economic rent) sumber daya alam pada
umumnya meningkat dalam beberapa puluh tahun terakhir, tetapi biaya
produksi dan harga barang justru menurun.
Namun terdapat kelemahan pada pendekatan fisik maupun
secara ekonomis. Pendekatan secara fisik tidak memiliki kepastian
mengenai besarnya cadangan, sedangkan pendekatan secara ekonomis
memiliki kelemahan yaitu bila mekanisme pasar tidak dapat bekerja
secara sempurna. Oleh karena itu masih sulit untuk memastikan kondisi
dari sumber daya alam itu, apakah masih melimpah atau sudah langka
adanya, walaupun kita mengetahui secara pasti bahwa pengambilannya
telah dilakukan secara terus-menerus bahkan dengan laju yang semakin
meningkat.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Kondisi Perikanan Indonesia
Kondisi terkini perikanan Indonesia sebenarnya berada dalam
krisis. Terkadang data-data yang ada tidak sejalan dengan kenyataan yang
terjadi di lapangan. Potensi sumberdaya kelautan kita yang besar tidak
menjadikan nelayan kita berhenti berteriak kesulitan tangkapan. Konsumsi
ikan nasional, volume ekspor ikan nasional, dan volume tangkapan ikan
ilegal yang tidak dilaporkan (unreported) menjadi masalah praktek
penghisapan sumberdaya perikanan Indonesia. Kondisi ini diperparah
dengan lemahnya pengawasan pemerintah dan aparat keamanan. Apabila
tidak ditanganai serius tentu saja dikhawatrikan akan menjadi konflik
horizontal yang dapat menimbulkan ancaman keamanan, ketidakstabilan,
dan kemiskinan.
Ikan sebagai sumber makanan protein hewani tidak akan pernah
terlepas dari seberapa besar tingkat konsumsi ikan dunia. Oleh karena itu
seiring dengan pertumbuhan populasi dunia, konsumsi ikanpun semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Badan Pangan Dunia
(FAO), konsumsi ikan dunia telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1973
dan negara-negara berkembang mengambil peran penting dalam masalah
ini. China dengan dominasi dalam faktor pendapatan dan kependudukan,
telah mendominasi konsumsi ikan dunia dan menggeser posisi jepang,
dimana konsumsi ikannya sebanyak 36% dalam tahun 1997 dan
dibandingkan hanya sekitar 11% di tahun 1973. Sementara jepang ditahun
yang sama menurun dari 24% menjadi tinggal 11%.
Gambar 1. Gambaran perbandingan konsumsi perikanan dunia tahun 1973
dan 1997 (Sumber,FAO 1997)
Saat ini lebih kurang seperempat bagian dari ikan yang dikonsumsi
oleh penduduk dunia adalah berasal produk budidaya dan persentase ini
akan terus meningkat, sementara produk hasil tangkapan dari laut dan danau
akan terus menurun disebabkan overfishing dan kerusakan lingkungan.
Penurunan ini terjadi selama 10 tahun (1970 sampai 1980 an), dimana
penangkapan ikan dilakukan secara besar-besaran sebagai hasil dari
perluasan area penangkapan, penerapan teknologi penangkapan terbaru dan
meningkatnya inveastasi pada sektor ini. Akibatnya produk ikan dari hasil
penangkapan melonjak tajam dari 44 juta ton di tahun 1973 menjadi 65 juta
ton di tahun 1997. Kondisi ini menyebabkan operasi penangkapan ikan telah
menjadikan eksploitasi yang berlebih dilaut. Oleh karena itu harapan
kedepan dari produksi perikanan dunia tertumpu pada aktivitas budidaya
ikan yang pada dasarwarsa ini lebih diarahkan ke bidang budidaya laut.
Budidaya ikan saat ini menyumbang sekitar 30% dari total produksi ikan
dunia.
Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia
(81.000 km) setelah Kanada dan kekayaan alam laut yang besar dan
beranekaragam telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang
berpotensi besar dalam bidang perikanan. Namun, seperti halnya kondisi
perikanan dunia, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin
menurun dari tahun ke tahun.
Gambar 3. Rata-rata tahunan hasil perikanan tangkap dan produksi total
perikanan budidaya di Indonesia tahun 1984-1999.
Peningkatan rata-rata produksi budidaya ikan tahunan lebih tinggi
dibanding dengan peningkatan aktivitas penangkapan. Sebagai contoh, dari
tahun 1986-1991, produksi ikan dari perikanan tangkap meningkat sebesar
5%, sementara pertumbuhan tahunan dalam produksi budidaya adalah 8.5%.
Sebagai negara yang mengklaim dirinya sebagai negara maritim, Indonesia
belum begitu mengapresiasi terhadap momentum hari perikanan dunia yang
bertepatan pada tanggal 21 Nopember. Sebuah peringatan yang berupa
perayaan (celebration) mungkin kurang dianggap penting bagi sebagian
orang. Tapi sebagai sebuah kreativitas kebudayaan (kultural), masyarakat
kita sangat kaya dengan acara-acara perayaan ini. Ada nilai yang hendak
diusung, dilestarikan, dan diwariskan. Ada harapan yang ingin dipupuk, dan
cita-cita yang hendak diraih. Karena itu, tak heran jika ritual seperti merti
laut, petik laut, sedekah laut, sebagai apresiasi kultural untuk menghormati
alam atau mensyukuri anugerah Tuhan masih dipertahankan oleh masyarkat
kita yang hidup di daerah pesisir. Hanya saja, apresiasi secara nasional oleh
negara kita, yang difasilitasi oleh pemerintah belum ada sejauh ini. Tapi
bukan soal acara ritual yang hendak kita permasalahkan seiring dengan
momentum hari perikanan dunia ini. Melainkan, kita perlu melihat seperti
apa kondisi perikanan kita. Bagaimana posisi Indonesia di antara
pertarungan global dunia perikanan? Seperti apa nasib masyarakat perikanan
kita? Lantas, apa tantangan yang harus kita hadapi terhadap masalah ini?
Itulah berbagai pertanyaan yang patut kita jawab secara bersama sebagai
sebuah bangsa maritim.
Pemerintah Indonesia boleh bangga atas prestasi perikanannya
selama ini. Indonesia merupakan supplier 40% kebutuhan ikan negara
Amerika. Selain Thailand, China dan Singapura Kita juga menduduki
peringkat 10 besar, yakni peringkat ke-8 negara eksportir ikan Asia untuk
pasar Eropa. Namun, pasar ini juga sangat rentan terhadap krisis yang masih
melanda dunia sekarang ini. Akibat krisis keuangan global, Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan ekspor perikanan Indonesia
stagnan, yakni sebesar US$ 2,6 miliar. Permintaan di pasar utama, yakni
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang turun akibat krisis keuangan
global. Pelemahan pasar ekspor ikan dipastikan akan menyebabkan
persaingan dengan negara pengekspor lainnya semakin ketat. Selama ini,
ekspor ke pasar utama mencakup 70 persen atau sekitar US$ 1,82 miliar
pada 2008. Jumlah tersebut merosot 15 persen tahun ini, menjadi sekitar
US$ 1,54 miliar. Kemerosotan yang terjadi dalam perdagangan global
perikanan ini disebabkan oleh menurunnya kapasitas penangkapan ikan oleh
para nelayan kita. Cuaca buruk yang terjadi di perairan Indonesia
mengakibatkan para nelayan berhenti melaut. Ditambah lagi stock ikan di
laut yang menurun drastis akibat penangkapan berlebih (overfishing)
menjadi penyebab utama penurunan hasil tangkapan tersebut.
Ketidakstabilan pasar, kecenderungan penawaran dan permintaan
ikan yang fluktuatif, itulah alasan kita tidak perlu bangga terhadap prestasi
selama ini. Bahkan kalau kita salah langkah dan tidak hati-hati dalam
menerapkan kebijakan perikanan bisa fatal akibatnya. Lagipula kita juga
perlu bertanya, jika hasil eksport tersebut dianggap sebagai prestasi, sejauh
mana capaian tersebut dapat dinikmati untuk kesejahtaraan rakyat
Indonesia? Bolehlah itu dianggap prestasi dalam menyumbangkan
pendapatan negara. Tapi apa gunanya jika tidak bisa dinikmati rakyatnya.
Nyatanya, kehidupan para nelayan yang terhampar sepanjang pesisir
kepulauan Indonesia, hidup mereka makin hari makin buruk kondisinya.
Itulah mengapa kita perlu meninjau ulang kebijakan orientasi ekspor dalam
sektor perikanan kita. Apalagi jika kebutuhan di dalam negeri belum cukup
terpenuhi.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) menengarai bahwa Indonesia masih
mengimpor ikan patin dan ikan kembung untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Indonesia setiap tahun harus mengimpor ikan patin sebanyak 1.300
ton per tahun dari Vietnam, sedangkan ikan kembung harus diimpor dari
Pakistan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia dengan
jumlah penduduk yang sangat besar merupakan pasar yang menjanjikan.
Selama ini, masyarakat Indonesia sendiri belum banyak yang
mengkonsumsi protein yang bersumber dari perikanan kita. Ikan dengan
kualitas protein yang tinggi lebih sering menjadi primadona untuk
komoditas ekspor. Fenomena ini bisa dikatakan sebuah ironi. Pemerintah
harus lebih peka terhadap musim ikan untuk mengawasi kelangkaan dan
kelebihan ikan antar wilayah untuk memastikan ikan kita dapat terpasarkan
di dalam negeri. Oleh karena itu, rencana DKP untuk menerapkan sistem
buka-tutup dalam kebijakan ekspor ikan di 2010 perlu disambut baik.
Rencananya, pemerintah akan membangun mega cold storage untuk
menyimpan kelebihan pasokan ikan di dalam negeri. Ikan-ikan utuh hasil
tangkapan dalam negeri bakal diekspor dengan sistem buka tutup. Sehingga,
saat pasokan ikan di dalam negeri berlebih, maka simpanan ikan dalam
mega cold storage akan dibuka untuk dilemparkan ke luar negeri. Ikan-ikan
tersebut akan diekspor dalam bentuk utuh. Selama pasokan ikan untuk
industri pengolahan ikan di dalam negeri kurang, maka pintu ekspor ikan
akan ditutup lantaran untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan
dalam negeri. Pembangunan mega cold storage direncanakan di tiga lokasi;
yaitu Pelabuhan Samudera Bitung, Pelabuhan Samudera Muara Baru dan
Pelabuhan Samudera Surabaya. Sembari mengurus pasar sendiri, kita bisa
lebih memperhatikan perkonomian nelayan. Mengingat perdagangan di
tingkat lokal juga tidak kalah pentingnya untuk ditangani. Sudah begitu
lama tempat pelelangan ikan (TPI) di daerah pesisir dibiarkan terbengkelai.
Akibatnya, para tengkulak pemburu rente bebas memainkan harga ikan.
Nelayan makin menderita akibat perdagangan yang dikuasai renternir.
Padahal mereka masih harus merasakan mahalnya biaya untuk kebutuhan
melaut. Ini memang masalah klasik, tapi bukan berarti harus diabaikan.
Justru harus terus-menerus dicari solusi penataannya yang tepat. Masalah ini
harus segera dituntaskan, karena jika pemerintah tidak dapat
memberdayakan nelayan dan tidak bisa untuk menuntaskan kemiskinan
nelayan, maka dapat terjadi kelangkaan sumber daya perikanan, karena
sesungguhnya kelangkaan sumber daya alam yang kemudian menimbulkan
kepunahan itu pada dasarnya dapat disebabkan oleh adanya dua kelompok
masyarakat, yaitu
1. Kelompok kapitalis yang bekerja untuk memaksimumkan laba, sehingga
mereka ini berusaha untuk menggali sumber daya alam sebanyak
mungkin dalam jangka waktu tertentu.
2. Kelompok miskin yang terpaksa menguras sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang subsisten. Karena kemiskinannya
kelompok ini tidak memperhatikan kelestarian lingkungan yang
sesungguhnya adalah tempat mereka menumpang hidup. Masalah inilah
yang menjadi ironi bangsa Indonesia.
III.2 Kelangkaan Sumber Daya Perikanan di Beberapa Tempat di
Indonesia dan Faktor Penyebabnya
III.2.1 Over Fishing di Perairan Cilacap menyebabkan Hasil Tangkapan
Nelayan Terus Menurun
Hasil tangkapan nelayan dalam beberapa tahun
belakangan ini terus mengalami penurunan. Salah satu
penyebabnya yakni perairan Cilacap sudah over fishing.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua I Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Cilacap Indon Cahyono saat pertemuan dengan
sejumlah anggota kelompok nelayan pada tanggal 28 Juni 2010,
menyusul paceklik yang dirasa lebih panjang dari biasanya.
"Dulu masa panen delapan bulan, masa paceklik empat bulan. Tapi
Sekarang kebalikannya," ungkapnya. Menurutnya, sebelum tahun
1990 an, dengan areal tangkapan dari pantai Teluk penyu hingga
pantai Kebumen hasil tangkapan nelayan cukup membanggakan.
“Karena waktu itu nelayan dan perahu jaringnya belum banyak,”
ujarnya. Beliau menggambarkan, pada masa itu ibarat nasi satu
capon dimakan 10 orang kekenyangan, sekarang nasi satu capon
dimakan untuk 1000 orang. Selain over fisihing, faktor penyebab
menurunnya hasil tangkapan karena pengaruh pemanasan global
yang mempengaruhi jumlah ikan di lautan. "Berdasarkan
penelitian, setiap tahun, suhu air laut naik satu derajat," katanya.
Namun, lanjut dia, faktor lain yang memiliki andil karena
berkurangnya hutan mangrove dan menyempitnya Laguna Segara
Anakan akibat sedimentasi tinggi dari Sungai Citanduy.
“Padahal Laguna Segara Anakan sebagai tempat pemijahan alami
ikan. Dan diperparah dengan banyaknya jaring apung di alur
tersebut,” bebernya. Menurut Indon, pemerintah harus cepat
tanggap agar tidak terjadi seleksi alam yang menyakitkan. Perlu
terobosan sinergis, salah satu upaya mengatasi over fishing adalah
mengarahkan nelayan ke daerah tangkapan di Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), sekitar 200 mil dari bibir pantai. “Selamai ini
nelayan di Cilacap belum banyak yang melakukan penangkapan di
wilayah itu,” ujarnya. Namun, hal itu tidak mudah karena butuh
daya dukung yang memadai dari segi kemampuan nelayan. Dan
tentu saja membutuhkan biaya besar. Secara terpisah, Ketua
Paguyuban Pariwisata Pantai Teluk Penyu (PPTP) Karsidi
mengatakan akibat menurunnya hasil tangkapan nelayan Cilacap,
sebagian besar ikan yang dijual pedagang di kabupaten ini berasal
dari wilayah pantai utara (pantura) Jawa. "Setiap hari ada sekitar 10
ton ikan dari pantura yang masuk di Cilacap dan dijual ke rumah
makan maupun masyarakat. Kalau dipersentasekan, jumlah tersebut
mencapai 80 persen ikan yang dijual di Cilacap," katanya.
Besarnya jumlah ikan dari pantura yang masuk ke Cilacap ini juga
menunjukkan daya konsumsi masyarakat terhadap ikan semakin
tinggi.
Beberapa perairan di Indonesia memang sudah
mengalami Over Fishing. Zainal Arifin dari pusat penelitian
Oseanografi LIPI mengatakan beberapa wilayah yang mengalami
over fishing atau penangkapan berlebihan. "Di laut Jawa, Selat
Malaka dan Selat Karimata. Tahun ini ada kemungkinan Laut
Arafura juga mengalami kelangkaan karena over fishing”. Kian
padatnya jalur penangkapan ikan di area-area yang menjadi
penyebab utama kelangkaan ikan di wilayah tersebut. Perubahan
seperti hutan mangrove yang beralih fungsi menjadi tambak dan
polusi yang banyak disebutkan industri-industri di utara Jawa juga
berpengaruh terhadap kelangkaan sumber daya perikanan.
Perubahan iklim juga akan mengambil peranan penting seputar
kelangkaan ikan di perairan Indonesia. "Lima hingga 10 tahun
mendatang, perubahan iklim berpotensi memperburuk kondisi
sumber daya ikan di laut Indonesia," tandasnya. Sebelah selatan
Pulau Jawa menjadi area yang dinilai Zainal masih memiliki
sumber daya ikan dalam jumlah aman. Dalam kacamata Zainal, hal
ini disebabkan lantaran peralatan yang digunakan para nelayan di
wilayah itu masih relatif sederhana. Karena di sebelah selatan para
nelayan tidak bisa melaut terlalu jauh karena keterbatasan alat.
III.2.2 Ancaman Kepunahan Ikan Endemik Indonesia
III.2.2.1 Eksploitasi berlebih
Jenis Ikan endemik seperti Ikan Bilih
(Mystacoleusus padangensis Blkr.), Ikan Belida
(Notopterus chitala), dan Ikan Haruan (Channa striata)
merupakan ikan yang banyak digemari masyarakat. Ikan
Bilih yang sering dijadikan menu di rumah makan karena
rasanya yang enak dan gurih merupakan santapan
istimewa bagi masyarakat, khusunya di sekitar Danau
Singkarak. Permintaan pasar dan harganya yang tinggi
yakni mencapai Rp. 80.000 /kg pun menjadikan ikan ini
komoditas yang sangat berharga. Penangkapan dengan
jaring bermata kecil untuk memperoleh hasil yang besar
yang dilakukan oleh nelayan semakin menekan jumlah
populasi Ikan Bilih di Danau Singkarak. Selain untuk
konsumsi, eksploitasi yang dilakukan juga berdasarkan
permintaan ikan sebagai ikan hias. Ikan Belida sejak
beberapa tahun terakhir mengalami permintaan pasar
untuk ikan hias. Padahal sebelumnya Ikan Belida hanya
digunakan untuk konsumsi sebagai bahan baku pembuatan
pempek Palembang. Ikan Haruan yang banyak hidup di
rawa-rawa di Kalimantan Selatan mulai sulit dijumpai
keberadaannya. Hal ini dikarenakan meningkatnya
perburuan anakan Ikan Haruan sebagai pakan Ikan
Louhan. Hal ini mengakibatkan terganggunya siklus
produksi Ikan Haruan yang ada di alam dikarenakan ikan
tidak sempat besar untuk melakukan proses reproduksi.
Eksploitasi berlebih tersebut berdampak panjang terhadap
kepunahan ekologi yang disebabkan oleh kegiatan
penangkapan berlebih. Hal tersebut akan memicu
timbulnya gangguan-gangguan kegiatan masyarakat
lainnya terhadap ekosistem seperti polusi, penurunan
kualitas air, dan perubahan iklim yang disebabkan oleh
kegiatan-kegiatan manusia (Pet, dan Mous, 2002).
III.2.2.2 Kurangnya kegiatan budidaya
Ancaman kepunahan ikan endemik diperparah
dengan kurangnya upaya untuk meningkatkan jumlah ikan
endemik melalui kegiatan budidaya. Hal tersebut
disebabkan antara lain tingkat kesulitan ikan-ikan endemik
tersebut untuk dilakukan pemijahannya secara buatan.
Ketersediaan benih yang hanya berasal dari alam membuat
proses budidaya tidak berjalan lancar karena adanya
ketergantungan terhadap pasokan benih dari alam.
Kebijakan revitalisasi perikanan dengan bertumpu pada
peningkatan jumlah ekspor ikan (Munggoro dan
Armansyah, 2008), menjadikan kesempatan populasi ikan
endemik Indonesia untuk bereproduksi dengan kegiatan
budidaya semakin sedikit. Hal ini disebabkan permintaan
akan ekspor yang tinggi dan waktu untuk bereproduksi
bagi ikan yang lama sehingga menimbulkan
ketidaksabaran bagi pelaku perikanan untuk
membudidayakannya.
III.2.2.3 Introducing ikan asing
Ikan asing merupakan ikan yang berasal bukan
dari habitat asli, melainkan ikan yang sengaja didatangkan
dari luar habitat untuk dibudidayakan. Masuknya
(introducing) ikan asing ini merupakan suatu masalah
serius bagi ikan endemik. Hal ini dikarenakan menjadi
ancaman keberadaan spesies lokal dan memiliki potensi
untuk mengubah ekosistem (Simberlof and Stiling 1996).
Saat ikan asing ini memasuki suatu habitat baru, maka ia
akan menjadi saingan ikan asli habitat tersebut, dalam hal
ini adalah ikan endemik. Persaingan ini meliputi beberapa
hal, yakni persaingan habitat hidup, kegiatan memperoleh
makanan, dan persaingan mendapatkan oksigen dalam
perairan. Ikan asing yang telah masuk pada suatu habiat
perairan maka akan terjadi seleksi alami pada perairan
tersebut. Seleksi ini terdapat dua kemungkinan yakni
apakah ikan asing ini akan mati tanpa meninggalkan bekas
atau akan mampu bertahan dalam habitat baru. Apabila ia
mampu bertahan dan bahkan merasa habitat barunya lebih
sesuai daripada habitat asalnya, maka ia akan mampu
mengalahkan ikan lokal dalam habitat tersebut. Contoh
yang telah banyak terjadi ditunjukkan pada kasus ikan
Tillapia yang diintroduksi di perairan Indonesia (Whitfield
et al. 2002). Indonesia yang menganut sistem perdagangan
bebas merupakan surga bagi masuknya ikan asing. Hal ini
sulit dihindari dikarenakan alur perdagangan dan distribusi
ikan yang begitu panjang dan beraneka ragam jenis ikan
yang diperdagangkan. Diperkirakan setiap harinya, sekitar
7000 spesies ikan diangkut kapal untuk didistribusikan
antar negara di seluruh dunia (Carlton 2001).
III.2.3 Banyaknya Perburuan Ikan Hiu di Laut Menjadi Salah Satu
Penyebab Kelangkaan Ikan di Perairan Indonesia.
Cuaca buruk yang melanan selatan Cilacap, Jawa da
perairan selatan Cilacap, Jawa Tengah, membuat pasokan ikan
minim. Akibatnya, ekspor hasil laut, seperti ikan tuna dan udang,
dari Cilacap terhenti. Kata Sudirwan Kadamilah, seorang eksportir
hasil laut Cilacap "Stoknya kosong sama sekali. Tidak ada nelayan
yang memasok ikan lagi”. Akibat kosongnya pasokan ikan dari
nelayan Cilacap, banyak nelayan yang terpaksa mendatangkan ikan
dan udang dari Pantai Utara Jawa. Padahal sesungguhnya
kekosongan ikan tidak hanya terjadi di Cilacap, tapi juga hampir di
semua pesisir selatan Jawa. Saat ini para nelayan hanya bisa
mengirim ikan ke luar negeri paling banyak 35 ton. Padahal
sebelumnya keuntungan harian dari mengekspor ikan bisa
mencapai Rp 200 juta. Saat ini paling banyak Rp 10 juta per hari.
Selain itu sejak 2006 hasil produksi ikan di perairan selatan Jawa
memang terus menu run. Jika pada 2006 hasil tangkapan nelayan
bisa mencapai 650 ton, pada 2010 hanya 291 ton.
Abdullah Habibi, Capture Fisheries Coordinator WWF
Indonesia, mengatakan turunnya jumlah ikan di perairan Indonesia,
satu di antaranya disebabkan oleh semakin banyaknya perburuan
ikan hiu di laut. "Mereka ini predator puncak yang sangat penting
dalam rantai makanan,"kata dia. Tingginya permintaan sirip hiu di
pasar, disebut Abdullah, sebagai salah satu faktor semakin
sedikitnya jumlah hiu di laut. Ikan hiu yang ditangkap nelayan
sedikitnya 70 persen terjaring secara tidak sengaja. Sementara itu,
salah satu pengusaha pemburu ikan hiu di Cilacap, mengatakan
sudah tiga tahun terakhir ini hasil tangkapan ikan hiu memang
menurun tajam. Kata beliau "Dulu di dekat pantai masih ada hiu.
Tapi sekarang ini kami harus mencarinya hingga perbatasan Pulau
Christmas, Australia," Kini bukan hanya hiu yang susah dicari, tapi
juga beberapa jenis ikan lain, di antaranya ikan tongkol, cakalang,
dan layur. Penggunaan pukat harimau oleh nelayan daerah lain
menjadi penyebab turunnya hasil tangkapan, selain faktor cuaca.
III.2.4 Fenomena ilegal fishing dan ironi negara bahari
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena
pencurian ikan (ilegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat
marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal
berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa
tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung
sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar
sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat
ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan
kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-
kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut
Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi
sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia
yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang
bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum,
(4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-
undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005)
mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta
penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5
triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati
urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai
angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing)
oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan
menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita
dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan
kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9)
menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang
memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara
ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit.
Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil
tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun,
meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton
merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut
dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia
sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan
justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo
model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak
asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan
perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan
sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC)
dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak
perijinan pengoperasian saja.
Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya
berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan
penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap
jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat
tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet
sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi
perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar
AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS
atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4
miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS
(Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika
sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara
hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).
III.2.5 Nelayan kita yang merana
Seperti kita ketahui, nasib buruh, petani dan nelayan kita
sudah dapat dipastikan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan.
Kelompok yang paling menikmati adalah mereka yang memiliki
modal besar (pengusaha) dan dekat dengan kekuasaan. Kemiskinan
nelayan sepertinya menjadi benang kusut yang sulit diurai.
Kebijakan pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk
mendorong tingkat kesejahteraan nelayan kita. Beberapa faktor
yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : (1) rendahnya
tingkat teknologi penangkapan ; (2) kecilnya skala usaha ; (3)
belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4) status
nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Oleh karenanya
pembangunan infrastruktur nelayan bantuan alat penagkapan ikan
serta membantu dalam pemasaran hasil tangkap adalah mutlak
dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas
penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan
penangkapan bagi kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus
ada undang-undang yang mengatur batas wilayah kita dengan batas
wilayah teritotial negara lain. Hal ini perlu, guna menghindarkan
konflik nelayan lokal dan nelayan asing.
Kebijakan perikanan yang pro nelayan adalah suatu
keharusan, jika tidak maka nelayan kita akan merana akibat ketidak
becusan pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir dan laut kita.
Masalah ini harus segera dituntaskan, karena jika pemerintah tidak
dapat memberdayakan nelayan dan tidak bisa untuk menuntaskan
kemiskinan nelayan, maka dapat terjadi kelangkaan sumber daya
perikanan, karena sesungguhnya kelangkaan sumber daya alam
yang kemudian menimbulkan kepunahan itu pada dasarnya dapat
disebabkan oleh adanya dua kelompok masyarakat, yaitu
1. Kelompok kapitalis yang bekerja untuk memaksimumkan laba,
sehingga mereka ini berusaha untuk menggali sumber daya
alam sebanyak mungkin dalam jangka waktu tertentu.
2. Kelompok miskin yang terpaksa menguras sumber daya alam
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang subsisten. Karena
kemiskinannya kelompok ini tidak memperhatikan kelestarian
lingkungan yang sesungguhnya adalah tempat mereka
menumpang hidup. Inilah kelompok nelayan Indonesia saat ini
yang harus menjadi pusat perhatian pemerintah untuk segera
dituntaskan.
III.3 Alasan Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing
Sering diungkapkan bahwa sumberdaya ikan merupakan
sumberdaya yang terpulihkan. Produksi perikanan dunia terus mengalami
penurunan dan bahkan overfishing dan punah. Dibawah ini akan diuraikan
sebab-sebab kerusakan perikanan dunia ditinjau dari pendekatan
pengelolaan perikanan konvensional serta mencoba mendiskusikan altenatif
pengelolaan dan metode pemanfaatan sumberdaya ikan ke depan.
1. Manajemen Konvensional
Pauly, et al., 2002 mengatakan bahwa kegiatan perikanan
sebenaranya adalah merupakan suatu kegiatan pengejaran atau perburuan
hewan air, seperti perburuan hewan-hewan darat lainnya seperti rusa,
kelinci atau hewan-hewan lainnnya di hutan. Mereka menjelaskan lebih
lanjut bahwa tidak ada perburuan yang dilakukan secara industri di dunia
ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi
jika kegiatan perburuan itu dijadikan industri dalam skala besar?
Pertimbangan aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan
dengan aspek lainnya. Satuan upaya perburuan tersebut akan melebihi
kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan
sumberdaya yang bersangkutan. Dimulai pada awal abad 19 ketika
nelayan Inggris mengoperasikan steam trawl, kegiatan perikanan
berkembang pesat dan menjadi komoditas industri dan perdagangan.
Sadar akan kerusakan yang timbul akibat exploitasi yang "rakus"
tersebut, ilmuwan biologi perikanan mengembangkan beberapa model
pengelolaan perikanan. Model-model pengelolaan perikanan
konvensional tersebut kemudian diaplikasikan di berbagai perairan di
belahan bumi guna menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan.
Meskipun model-model tersebut terus berkembang dan mengalami
perbaikan, namun tak satupun model pengelolaan yang ada mampu
menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Ada beberapa alasan yang
bisa diungkapkan disini kenapa model-model konvensional pengelolaan
sumberdaya ikan tersebut gagal dalam menghambat kerusakan
sumberdaya ikan.
Secara umum, model-model pengelolaan perikanan
konvensioanl yang dikembangkan selama ini didasarkan atas positivistic
science yang berasumsi bahwa ekosistem alam ini dapat diprediksi dan
dikontrol. Dalam kenyataannya, asumsi ini sangat susah untuk dipenuhi.
Disamping kemampuan manusia untuk memprediksi perilaku ekosistem
alam terbatas, perilaku ekosistem sendiri juga sangat susah untuk
diprediksi. Sehingga, model-model yang berbasis kesetimbangan yang
banyak diadopsi dalam pengelolaan sumberdaya ikan (seperti nilai
maximum sustainable yields, MSY), tidak dapat diterapkan dengan baik.
Bukan karena ketersediaan data yang terbatas, tapi yang lebih utama
adalah kegagalan dalam mengadopsi perilaku ekosistem dalam
modelnya. Sehingga, penentuan reference point (nilai acuan) kapasitas
maksimum lingkungan yang menjadi dasar dalam penentuan batas
maksimum variabel keputusan (seperti MSY) menemui ketidak-akuratan.
Kesalahan, baik itu lebih atau kurang (dari kapasitas maksimum
sesungguhnya) akan berdampak yang buruk bagi pengelolaan
sumberdaya ikan.
Alasan berikutnya adalah model-model pengelolaan perikanan
konvensional yang sebagian besar dikembangkan untuk spesies tunggal
pada perikanan industri di belahan bumi utara bagian barat, tidak cocok
diterapkan pada perikanan daerah tropis yang notabene berskala kecil dan
bersifat multigear-multispecies. Padahal, bumi bagian selatan yang
merupakan negara berkembang, dimana perikanannya didominasi oleh
perikanan skala kecil, menyumbang hampir 58% produksi perikanan
dunia. Perbedaan skala, sistem penangkapan ikan dan ekosistem perairan,
menyebabkan model-model konvensional tidak mampu untuk
menerangkan kompleksitas perikanan daerah tropis. Pengelolaan
perikanan, pada hakekatnya adalah pengelolaan ekosistem, dimana
keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya sangat erat
hubungan sebab akibatnya. Perubahan pada satu elemen ekosistem akan
merubah struktur secara keseluruhan ekosistem tersebut. Ketidak
mampuan model untuk menjelaskan kompleksitas perikanan ini, telah
diyakini menjadi penyebab perubahan struktur ekosistem perikanan yang
pada akhirnya menyebabkan degradasi produksi ikan dan overfishing di
hampir seluruh wilayah daerah tropis.
Pada sisi lainnya, manajemen perikanan konvensioanal yang
hanya terfokus pada stock assessment model yang menafikkan aspek
sosial juga disinyalir menjadi salah satu penyebab ketidak-berhasilan
model-model konvensioanal. Padahal, management perikanan pada
hakekatnya adalah suatu upaya untuk mengontrol upaya penangkapan,
atau kongkretnya mengatur nelayan, pelaku utama kegiatan perikanan,
dalam mengoperasikan alat tangkapnya, kapan, dimana dan seberapa
besar kapasitas perikanan yang boleh digunakan. Oleh sebab itu,
pengetahuan tentang dinamika perilaku nelayan dalam kegiatan
penangkapan ikan termasuk di dalamnya aspek sosial-ekonomi nelayan
yang melatar-belakanginya, sangatlah penting dalam pengelolaan
sumberdaya ikan. Hilborn, 1985 mengungkapkan bahwa krisis perikanan
cod dan salmon di Canada pada tahun 1980an sebenarnya bukanlah
karena ketidak mampuan model dalam memperediksi ekologi semata tapi
karena dinafikkannya aspek perilaku nelayan ini dalam pengelolaan
sumberdaya ikan. Penurunan stok ikan, perubahan komposisi
sumberdaya ikan, serta meningkatnya kompetisi antar nelayan, telah
mendorong nelayan untuk melakukan upaya-upaya efisiensi dengan
menambah daya kapal, teknologi penangkapan ikan, dan alat bantu
penangkapan ikan yang kesemuanya mengakibatkan meningkatnya
kapasitas penangkapan ikan. Subsidi pemerintah yang tak terencana, juga
diyakini telah mendorong nelayan untuk meningkatkan upaya
penangkapan ikan. Motorisasi kapal nelayan yang tidak dibarengi dengan
upaya peningkatan pemahaman nelayan akan pengelolaan sumberdaya
ikan telah menyebabkan meningkatnya tekanan penangkapan di daerah
pesisir. Dalam beberapa kasus, nelayan melakukan perubahan atau
modifikasi ukuran kapal, alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan
yang digunakan guna mengelabuhi peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Sehingga penghitungan satuan upaya penangkapan dalam
model perikanan konvensioanal yang hanya berbasis pada jumlah armada
penangkapan akan menyesatkan.
Ketidakmampuan model konvensional dalam mengoptimalkan
tujuan pengelolaan itu sendiri, juga diyakini menjadi penyebab gagalnya
model-model pengelolaan sumberdaya ikan konvensional dalam
menghambat laju kerusakan sumberdaya ikan. Secara umum, tujuan
pengelolaan sumberdaya ikan ditujukan untuk mengoptimalkan tiga
tujuan utama, yaitu: ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi
dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu
mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan.
Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara
tujuan ekonomi dan biologi sangatlah bertentangan dan tidak mungkin
untuk dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan
berdampak pada perusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya
mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak
akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model
pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan
aspek biologi semata, maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian
dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum
economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield
(OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada.
Namun, dari ketiga model tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk
mengoptimalkan seluruh tujuan pengelolaan sumberdaya ikan. Yang ada
adalah, dengan nilai acuan MSY yang masih diragukan nilainya itu,
sebagian besar negara berkembang mengesampingkan aspek biologi dan
sosial dan terus membuka akses penangkapan ikan untuk tujuan devisa
negara.
2. Pengelolaan Sumberdaya Ikan ke Depan
Selama masih didasarkan pada model-model konvensional yang
memahami perikanan secara linear, dapat diduga, species tunggal dan
kesetimbangan sistem, pengelolaan perikanan tidak akan berhasil. Oleh
sebab itu sangat berbahaya jika pengelolaan perikanan khususnya
perikanan industri di daerah tropis masih didasarkan pada model-model
konvensional ini. Perikanan bukanlah kegiatan ekonomi semata, namun
sudah merupakan jalan hidup sebagian besar nelayan kecil di daerah
tropis. Oleh karena itu pendekatan sosial-ekologi yang
mengakomodasikan aspek ekologi dan sosial dalam suatu sistem layak
untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ke depan.
Perikanan harus dipandang sebagai integrasi sistem sosial-ekologi
dengan dua arah umpan balik dan sistem adaptasi yang komplek.
Pengelolaan perikanan bukan lagi ditujukan untuk menjawab pertanyaan
"kemana perikaan ingin kita arahkan?" tetapi "bagaimana kita berubah
menuju arah yang dikehendaki?" Pengelolaan sumberdaya ikan yang
didasarkan pada nilai acuan (seperti MSY), sudah saatnya dicarikan
alternatif penggantinya, dengan menggunakan rujukan arah
kecenderungan perkembangan sumberdaya tersebut (misalnya perubahan
komposisi hasil tangkapan, ukuran hasil tangkapan, dsb).
Pendekatan ecosystem based management (EBM) untuk
pengelolaan sumberdaya ikan mungkin merupakan salah satu metoda
alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan yang komplek.
The Ecosystem Principles Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa
EBM mengemban sedikitnya 4 aspek utama : (1) interaksi antara target
species dengan predator, kompetitor dan species mangsa; (2) pengaruh
musim dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara
ikan dan habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok
ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu species yang
mempunyai dampak terhadap species lain di dalam ekosistem. Bila
dalam penjelasan EPAP tidak disebutkan secara langsung tentang
bagimana mengelola perilaku orang atau manusia sebagai komponen
ekosistem dimana mereka hidup dan memanfaatkan sumberdaya, tetapi
sesungguhnya unsur manusia telah masuk di dalamnya. Di lain pihak, the
National Research Council of the USA (NRC) dalam definisinya
menyebutkan manusia sebagai komponen sekaligus pengguna dalam
ekosistem secara langsung serta membedakan antara ekosistem dan
pengguna ekosistem tersebut. Disebutkan juga bahwa tujuan akhir dari
EBM adalah menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem. Sebagai alat
monitoring ekosistem, EBM kemudian dilengkapi dengan indikator
ekologi untuk mengukur perubahan ekosistem yang dimaksud. Indikator-
indikator ini diupayakan lebih berarti secara ekologi, mudah dipahami
dan diterapkan di lapangan. Berdasarkan hasil monitoring ini diharapkan
perubahan ekosistem termasuk manusia yang ada di dalamnya mudah
dijelaskan, sehingga keadaan ekosistem secara keseluruhan akan
diketahui dan tindakan perbaikan dapat dilakukan secapatnya untuk
mengatasi kerusakan yang ada. Sebagai contoh, Rochet and Trenkel,
2003 mengelompokkan indikator perubahan sumberdaya ikan menjadi 3
kelompok besar yaitu (1) indicator pada tingkat populasi; (2) indicator
pada tingkat antar species ikan dan (3) indicator pada tingkat kelompok
ikan.
Pada tataran pelaksanaan, EBM sering disandingkan dengan
marine protected area (MPA), yang didefinisikan sebagai suatu wilayah
yang populasi sumberdayanya bebas eksploitasi. Tujuan MPA adalah
untuk melindungi sumberdaya dari eksploitasi agar sumberdaya tersebut
pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan, MPA juga
diharapkan mampu mengembalikan stok sumberdaya yang telah rusak.
Mous et. al, 2005 dalam kajiannya telah mengungkapkan keunggulan
MPA dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang menggunakan
nilai acuan (seperti MSY). Khususnya bagi pengelolaan perikanan di
Indonesia, mereka secara tegas mengusulkan untuk mengganti metoda
pendekatan pengelolaan perikanan yang selama ini didasarkan pada nilai
MSY dengan MPA.
III.4 Sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tersedianya sumber
daya alam tidak sama dengan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
tersedianya barang sumber daya yang dipakai dalam proses produksi.
Semakin cepat pertumbuhan ekonomi akan semakin banyak barang sumber
daya yang diperlukan dalam proses produksi yang pada gilirannya akan
mengurangi tersedianya sumber daya alam yang ada di dalam bumi karena
barang sumber daya itu harus diambil dari cadangan (stock) sumber daya
alam. Jadi semakin menggebunya pembangunan ekonomi di negara yang
sedang berkembang, termasuk negara Indonesia karena merasa tertinggal
dari negara lain dan ingin menghilangkan adanya kemiskinan di negara
tersebut, maka akan berarti semakin banyak barang sumber daya yang
diambil di bum dan semakin sedikitlah volume cadangan sumber daya alam
tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan ada hubungan yang positif
antara kuantitas barang sumber daya dan pertumbuhan ekonomi, tetapi
sebaliknya ada hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan
cadangan sumber daya alam yang ada di dalam bumi. Disamping itu dengan
pembangunan ekonomi yang cepat yang dibarengi dengan pembangunan
pabrik-pabrik, akan tercipta pula pencemaran lingkungan yang semakin
membahayakan kehidupan manusia.
Gambar 1.1 menunjukkan tingkat pendapatan nasional yang
digambarkan pada sumbu vertikal sebagai fungsi dari pemakaian barang
sumber daya yang digambarkan pada sumbu horizontal. Kurva Y = f (R)
menunjukkan adanya hubungan positif antara jumlah barang sumber daya
yang dipakai dalam proses produksi dengan tingkat pendapatan nasional.
Pendapatan (Y) Y = f(R)Nasional
0 R0 R1 Barang Sumber Daya (R)
Gambar 1.1 Hubungan antara Pendapatan Nasional dan Barang
Sumber Daya
Misalnya dalam Gambar 1.1 dapat dilihat bila jumlah barang
sumber daya yang dipakai dalam perekonomian setinggi R0, maka tingkat
pendapatan nasional akan setinggi Y0 dan apabila jumlah barang sumber
daya alam yang dipakai bertambah menjadi R1, maka tingkat pendapatan
nasional juga menjadi lebih tinggi yaitu menjadi Y1. Sedangkan gambar 1.2
menunjukkan bahwa volume cadangan sumber daya alam (N) merupakan
fungsi dari pertumbuhan ekonomi (Y) dan disini terdapat hubungan yang
negatif, artinya semakin cepat pertumbuhan ekonomi suatu perekonomian
akan semakin menipis cadangan sumber daya alam di negara yang
bersangkutan. Dalam gambar 1.2 ditunjukkan pada saat pertumbuhan
ekonomi setinggi Y0%, maka jumlah cadangan sumber daya alam adalah N0
dan bila laju pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi Y1%, maka jumlah
persediaan sumber daya alam menurun menjadi N1.
Sumber DayaAlam
N=f(Y)
0 Y0 Y1 Pendapatan Nasional
Gambar 1.2 Hubungan antara Pendapatan Nasional dan Persediaan
Sumber Daya Alam
Oleh karena itu perlu diingat bahwa dengan adanya pembangunan
yang sangat cepat, apabila kita tidak berhati-hati, pasti pembangunan itu
akan manguras sumber daya alam yang ada di negara ini dan pada
gilirannya barang sumber daya yang diperlukan bagi pembangunan juga
akan terbatas adanya, sehingga hal ini akan menghambat pertumbuhan
ekonomi lebih lanjut. Sumber daya alam sebagai suatu cadangan ada pada
setiap saat dan cadangan ini meningkat dengan adana penemuan baru, serta
berkurang dengan adanya penggunaan atau pengambilan sumber daya alam
itu. Di samping itu sumber daya alam juga akan berkurang apabila terjadi
kerusakan alamiah.
Karena sumber daya alam diartikan sebagai segla sesuatu yang ada
di bumi maupun diatas bumi yang dihasilkan oleh alam dan bukan oleh
manusia, maka produksi barang dan jasa itu tidak mungkin terjadi tanpa
melibatkan sumber daya alam di dalam proses produksi mereka. Dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin banyak diperlukan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan penduduk tersebut. Peningkatan
jumlah barang dan jasa dengan sendirinya memerlukan lebih banyak barang
sumber daya sebagai salah satu faktor produksi yang akan diolah bersama
faktor-faktor produksi lain baik dalam industri pengolahan, industri
pertanian maupun industri jasa, yang sebagai produk sampingannya adalah
pencemaran lingkungan. Dalam hal ini barang dan jasa merupakan produk
yang diinginkan (desirable output) dan limbah serta pencemaran sebagai
produk yang tidak diinginkan (undesirable output). Jadi terdapat hubungan
yang positif pula antara pembangunan ekonomi dan pencemaran
lingkungan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh Kurva Lingkungan
Kuznets. Pada awalnya semakin giat pembangunan ekonomi, semakin tinggi
pula derajat pencemaran lingkungan. Gambar 1.3 menunjukkan hubungan
tersebut yaitu pada sumbu horisontal digambarkan tingkat pertumbuhan
ekonomi dan pada sumbu vertikal digambarkan tingkat pencemaran.
Apabila laju pertumbuhan ekonom setinggi Y0% maka tingkat pencemaran
lingkungan setinggi P0 dan bila tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi Y1%,
maka tingkat pencemaran lingkungan setinggi P1. Jadi disatu pihak kegiatan
produksi barang dan jasa menghasilkan sesuatu yang berguna untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk, tetapi di lain pihak karena
adanya pencemaran lingkungan merupakan faktor yang menekan
kesejahteraan hidup penduduk. (Lihat pula gambar 1.5).
P=f(Y)
Pencemaran
Pertumbuhan (Y) %
Gambar 1.3 Hubungan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pencemaran.
KLK
Pencemaran
0 US $ 5000 Pendapatan Perkapita
Gambar 1.4 Kurva lingkungan kuznets (KLK) berbentuk U
Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, barang
sumbe daya, barang sumber daya alam dan lingkungan dapat dilukisan
sebagai berikut (Gambar 1.5). Dengan berkembangnya jumlah penduduk,
perekonomian harus lebih banyak menyediakan barang dan jasa demi
mempertahankan atau mempertinggi taraf hidup suatu bangsa. Namun
peningkatan produksi barang dan jasa akan menuntut lebih banyak produksi
barang sumber daya alam yang harus digali atau diambil dari persediannya.
Sebagai akibatnya cadangan sumber daya alam menjadi semakin menipis.
Di samping itu “pencemaran lingkungan” semakin meningkat pula dengan
semakin lajunya pertumbuhan ekonomi terutama untuk negara-negara yang
baru memulai pembangunannya. Jadi dengan pembangunan ekonomi yang
menghasilkan pertumbuhan ekonomi akan terjadi pula dua macam akibat
yaitu di satu pihak memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia
berupa semakin tersedianya barang dan jasa dalam perekonomian dan dilain
pihak terdapat dampak negatif bagi kehidupan manusia yang berupa
pencemaran lingkungan dan menipisnya persediaan sumber daya alam.
Pencemaran lingkungan menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan,
turunnya produktivitas kerja dan kurang nyamannya kehidupan. Sedangkan
berkurangnya persediaan sumber daya alam akan mengurangi kemudahan
dalam penyediaan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan manusia
sehingga biaya produksi meningkat dan atau produksi turun serta harga
produk menjadi mahal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi haruslah
bersifat pembangunan yang berwawasan lingkungan atau pembangunan
yang berkelanjutan yang tidak menguras sumber daya alam dan merusak
lingkungan.
(+)
Barang dan Jasa
Penduduk Pertumbuhan ekonomi
(-)
(-)
Gambar 1.5 Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan
ekonomi, barang sumber daya alam dan lingkungan.
BAB IV
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana terdiri
dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia
memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas
total teritorial Indonesia. Tentunya potensi fisik tersebut bukanlah hanya
menjadi kebanggaan saja. Akan tetapi potensi itu harus dikelola untuk
kepentingan dan kemakmuran rakyat. sumber daya alam yang dapat
Pencemaran Lingkungan
Menipisnya Sumber Daya Alam
diperbaharui (renewable resources = flow resources). Sumber daya ini
mempunyai sifat terus-menerus ada dan dapat diperbaharui baik oleh alam
sendiri maupun dengan bantuan manusia. Dalam hal ini, ikan merupan
sumber daya alam yang kategori ini.
Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources =
flow resources) mempunyai sifat terus-menerus ada dan dapat diperbaharui
baik oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia. Dalam hal ini, ikan
merupakan sumber daya alam yang kategori ini. Walaupun sumber daya ini
mempunyai sifat terus menerus ada, namun jika sumber daya alam tersebut
tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan kelangkaan. Seperti
pendapat kelompok pesimis terhadap sumber daya alam yaitu “Sumber daya
alam itu terbatas adanya, sehingga apabila terus menerus diambil maka
cadangannya makin lama akan semakin menipis dan sampai pada saatnya
pasti akan habis”. Memang dunia ini terbatas adanya, banyak sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui mendekati titik kehabisan cadangannya
dan banyak sumber daya alam yang dapat pulih telah diperdagangkan secara
berlebihan (over used). Karena tujuan dari pengeloalaan sumberdaya
perikanan itu sendiri yaitu untuk menjaga ketersediaan stock ikan di
perairan agar tidak habis. Maka dari itu, kita harus dapat menggunakannya
sebaik mungkin, sebab kesalahan dalam memanfaatakan sumber daya yang
dapat diperbaharui ini dapat mengakibatkan kerugian yang sifatnya
kontinyu pula.
Banyak faktor yang dapat meyebabkan kelangkaan ikan yang
kemudian menimbulkan kepunahan ikan. Faktor-faktor tersebut diantaranya
yaitu over fishing, illegal fishing, konsumsi ikan nasional, volume ekspor
ikan nasional, volume tangkapan ikan ilegal yang tidak dilaporkan
(unreported) menjadi masalah praktek penghisapan sumberdaya perikanan
Indonesia. Selain itu pula Kemerosotan yang terjadi dalam perdagangan
global perikanan ini disebabkan oleh menurunnya kapasitas penangkapan
ikan oleh para nelayan kita. Cuaca buruk yang terjadi di perairan Indonesia
mengakibatkan para nelayan berhenti melaut. Ditambah lagi stock ikan di
laut yang menurun drastis akibat penangkapan berlebih (overfishing)
menjadi penyebab utama penurunan hasil tangkapan tersebut. Dan banyak
faktor-faktor lainnya. Sealain itu pula pemerintah harus lebih peka terhadap
musim ikan untuk mengawasi kelangkaan dan kelebihan ikan antar wilayah
untuk memastikan ikan kita dapat terpasarkan di dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Akhmad. 2005. Kebijakan perikanan dan kelautan: isu, sintesis, dan
gagasan. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Fauzi, Akhmad. 2005. Pemodelan sumber daya perikanan dan kelautan untuk
analisis kebijakan. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Gramedia
Pustaka Utama : Jakarta.
Fauzi, Akhmad. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan dan Pengelolaan.
Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta. Food and Agriculture Organization. 2001.
The State of World Fisheries and Aquaculture 2000. FAO, Rome, 142 pp.
Kusnadi. 2003. Akar kemiskinan nelayan. PT LKiS Pelangi Aksara :
Yogyakarta.
Kusnadi. 2006. Jaminan sosial nelayan. LKIS. Yogyakarta.
Kusnadi. 2009. Konflik sosial nelayan: kemiskinan dan perebutan sumber daya
perikanan. LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta.
Mangunjaya, Fachruddin M. 2005. Hidup Harmonis dengan Alam. Yayasan
Obor Indonesia : Jakarta.
Pet, Jos dan P.J. Mous. 2002. Kawasan Konservasi Laut dan Manfaatnya bagi
Perikanan. The Nature Conservancy Southeast Asia Center for Marine
Protected Areas, Sanur, 20 hlm.
Suparmoko. 2008. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan edisi 4: Suatu
Pendekatan Teoritis. BPFE : Yogyakarta.
Wiyono. E.S. 2005. Stok sumberdaya ikan dan keberlanjutan kegiatan
perikanan. Inovasi 4: Jakarta.