TUGAS MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN DAN INOVASI
RESUME
Chapter 21Ethnic Minority Entrepreneurship
Chapter 23Women Entrepreneurs : A Research Overview
Dosen :
Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec
Oleh :
Kelompok 5
Monicha Septya Harni H34110009
Taufiq Surahman H34110054
Murni Anggraeni H34110111
SEKOLAH PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS AGRIBISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
BAB 21. ETHNIC MINORITY ENTREPRENEURSHIP
Pendahuluan
Ethnic entrepreneurship telah menarik perhatian dalam peningkatan
jumlah sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda dalam beberapa tahun
terakhir. Pertama, ada bukti yang berkembang bahwa etnis minoritas cenderung
memiliki tingkat wirausaha yang tinggi dan memiliki proporsi yang signifikan
dari bisnis di sebagian besar negara-negara industri bagian barat. Kontribusi
ekonomi yang signifikan oleh pihak bisnis etnik minoritas telah menyebabkan
para pembuat kebijakan barat menganggap bahwa wirausaha sebagai rute yang
menjanjikan bagi etnis minoritas untuk menciptakan lapangan pekerjaan,
mencapai kemajuan ekonomi dan sosial serta dapat diterima oleh masyarakat
mayoritas.
Fokus kajian pada bab ini merupakan penelitian yang dilakukan di Britania
dan Amerika Serikat mengenai definisi ethnic entrepreneur dan mengevaluasi
kekuatan yang mempengaruhi masuk ke ethnic entrepreneur, kelangsungan hidup
dan keberhasilan kewirausahaan, serta faktor-faktor yang mendasari heterogenitas
dalam perilaku kewirausahaan dan kinerja antara kelompok etnis minoritas.
Definisi Ethnic Entrepreneurship
Menurut Hutchinson dan Smith (1996), konsep etnisitas mengacu pada
rasa kekeluargaan, solidaritas kelompok, budaya umum dan identifikasi diri
dengan kelompok etnis. Kolompok etnis didefinisikan sebagai kolektivitas dalam
masyarakat yang lebih besar dan diduga memiliki nenek moyang yang sama,
sejarah yang sama dan fokus pada satu atau lebih budaya/simbolis yang
didefinisikan sebagai lambang sosial mereka. Contoh unsur simbolik tersebut
yakni : pola kekerabatan, kedekatan fisik, afiliasi regional, bahasa kebangsaan
atau kombinasi dari semuanya (Schermerhorn 1978 :12). Secara konteks “etnis”
mengacu pada satu set koneksi dan pola yang teratur dalam interaksi antara orang-
orang yang secara umum memiliki latar belakang sama atau pengalaman migrasi
nasional (Waldinger et al, 1990 :33).
Chaganti dan Greene (2002) menunjukkan bahwa ada sedikit perbedaan
antara pengusaha etnis dan pengusaha imigran atau minoritas. Baru-baru ini
adanya imigran ke suatu negara dengan tujuan untuk bertahan hidup dari usaha
ekonomi. Pemerintah AS mengidentifikasi beberapa pemilik usaha kecil yang
tidak termasuk dalam bagian besar peduduk yakni pengusaha kulit hitam sebagai
kaum minoritas, keturunan Amerika Latin, Asia, Pacific Kepulauan, India atau
Amerika keturunan penduduk asli Alaska. Pengusaha wanita juga kadang
dimasukkan kedalam kategori kelompok minoritas, dengan demikian, pengusaha
minoritas mungkin tidak hanya seorang imigran dan mungkin tidak memiliki
solidaritas kelompok yang kuat berdasarkan etnis, misal sejarah, agama maupun
bahasa.
Banyak penelitian mendefenisikan ethnic entrepreneur sebagai pemilik
bisnis kecil atau menengah yang memiliki latar belakang sosial budaya atau etnis
tertentu (Masure et al, 2002). Dalam banyak kasus, bisnis yang dimiliki oleh
ethnic entrepreneur sangat kecil dan tidak menjanjikan dalam hal pekerjaan atau
prospek pertumbuhan usaha. Ethnic entrepreneur umumnya dianggap sebagai
upaya individu dengan teori ekonomi, biasanya dalam bentuk usaha keluarga
dalam konteks etnis minoritas seperti yang diamati oleh studi empiris (Baines and
Wheelock 1998 ; Basu dan Altinay, 2003).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masuknya Bisnis
Salah satu isu utama yang akan dibahas dalam konteks ethnic entrepreneur
adalah peran kondisi makro dan mikro dalam merangsang masuknya bisnis.
Penjelasan ekonomi untuk masuknya bisnis etnis minoritas biasanya berfokus
pada dampak dari kondisi pasar tenaga kerja yang berlaku pada teori ethnic
entrepreneur apakah etnis atau luar etnis (imigran atau minoritas), status
seseorang memiliki efek pada keputusannya untuk masuk ke bisnis.
Memungkinkan untuk membedakan antara empat alasan utama yang
menyebabkan para individu untuk masuk bisnis yang tergabung ke dalam
kelompok etnis yakni kelemahan ekonomi, preferensi budaya, factor kontekstual
dan pengakuan kesempatan.
Ekonomi Yang Merugikan : “Faktor-Faktor Pendorong”
Salah satu penjelasan yang menekankan mengenai peran kerugian
ekonomi berasal dari diskriminasi ras di pasar tenaga kerja, sehingga mendorong
para ras yang dirugikan tersebut untuk menjadi wirausaha. Di Inggris, pada tahun
1970an terjadi pasar pekerja kontraktor yang memperburuk masalah etnis
minoritas dan imigran, sehingga memaksa para etnis minoritas dan imigran
memilih menjadi wirausaha untuk menghindari pengangguran (Jones et al, 1994).
Penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Drinkwater (1998:402) mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi wirausaha di Britania antara tahun 1973 dan
1995 didukung dengan adanya diskriminasi kontribusi untuk etnis minoritas
wirausaha di Indonesia. Banyak anggota kelompok etnis minoritas yang kurang
berutung secara ekonomi bia dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang
berasal dari masyarakat mayoritas yang telah dipaksa untuk menciptakan lapangan
kerja sendiri, terutama selama kemerosotan ekonomi.
Penjelasan mengenai kewirausaan etnis ini masih memiliki keterbatasan
dan tidak dapat sepenuhnya menjelaskan keputusan para etnis minoritas untuk
masuk bisnis. Alasan pertama, Clark dan Drinkwater (1998) megakui bahwa tidak
semua etnis minoritas yang menghadapi diskriminasi memilih untuk menjadi
wirausaha, hal ini memungkinkan adanya faktor-faktor tambahan yang menarik
etnis minoritas untuk menjadi wirusaha. Kedua, penjelasan merugikan ekonomi
secara implisit menunjukkan bahwa memulai bisnis sendiri merupakan pilihan
yang mudah atau pilihan yang lebih mudah daripada mencari pekerjaan ini
menurut orang-orang generalisasi naif, sedangkan kemampuan untuk mencari
pekerjaan mungkin akan berhubungan dengan kualifikasi pendidikan,
keterampilan dan kelancaran dalam berbahasa nasional maupun internasional serta
kondisi makro ekonomi dan kondisi dalam industry tertentu. Sedangkan
kemampuan untuk menjadi wirausaha membutuhkan semacam keahlian atau
pengetahuan, akses terhadap pembiayaan baik faktor-faktor kontekstual termasuk
hambatan rendah untuk masuk serta dorongan untuk mengeksekusi.
Penjelasan yang mengatakan bahwa etnis minoritas yang memilih untuk
menjadi wirausaha disebabkan tidak adanya pembeda antara mereka yang tidak
dapat menemukan pekerjaan namun mampu melihat kesempatan atau merasa
bahwa mereka telah mencapai puncaknya sehingga merasa tidak akan maju haya
sebagai karyawan. Contohnya, beberapa pengusaha India yang mendirikan bisnis
teknologi tinggi di lembah Silicon, California di akhir 1970an dan awal 1980an,
mengatakan bahwa hal tersebut menyebabkan India sangat sulit untuk maju
dikarenakan adanya keyakinan yang dipegang oleh para pengusaha Amerika pada
saat itu adalah bahwa insinyur India membuat manajer teknis yang sangat baik
tetapi tidak memiliki kemampuan atau keterampilan untuk menjadi manajer
umum atau CEO. Di sisi lain, banyak dari mereka yang memulai usaha baru di
Lembah Silicon pada 1990an, mereka melakukannya bukan karena mereka tidak
memiliki kesempatan kerja tetapi karena mereka mendapat suatu ide bisnis atau
dipengaruhi oleh model peran pengusaha India sukses yang mereka lihat ditengah-
tengah mereka. Dengan demikian, kelemahan ekonomi mungkin memainkan
peran dalam mendorong etnis minoritas dalam kewirausahaan, tapi ambisi yang
lebih tinggi atau kemajuan mungkin juga menjadi motivasi untuk mengambil
keputusan menjadi wirausaha.
Kecenderungan Budaya : “Faktor-Faktor Penarik”
Etnis minoritas memilih berwirausaha karena kegemaran budaya terhadap
wirausaha mendukung orang lain untuk ikut. Di sini, budaya mengacu pada
keyakinan bersama, nilai-nilai dan norma-norma kelompok etnis minoritas.
Pendukung awal hubungan antara kewirausahaan dan budaya dalam bentuk
keyakinan agama, Sombart (1951) menekankan peran rasionalisme Yahudi dalam
merangsang wirausaha Yahudi dan Weber (1976) yang menegaskan bahwa
pekerjaan etnis protestan, adanya penekanan pada individualisme, prestasi,
perilaku rasional, asketisme dan kemandirian, akumulasi modal dihargai sehinga
mendorong kewirausahaan lainnya. Hal yang sama terjadi pada kelompok-
kelompok etnis seperti Lohanas Gujarati, Ismailiyah dan Mawaris, memiliki
tradisi bisnis dan perdagangan dan kewirausahaan memiliki nilai yang jauh lebih
baik dibandingkan pekerjaan yang dibayar (Dobbin, 1996). Norma-norma budaya
yang ada dalam masyarakat tersebut mendorong untuk lebih kerja keras,
swasembada, hemat dan membantu satu sama lain dengan cara lembaga kredit
informal dan mempengaruhi anggota untuk menjadi wirausaha.
Walaupun faktor budaya dapat menjelaskan kecenderungan mengenai
minat kewirausahaan di kalangan kelompok etnis minoritas tertentu seperti
Gujarat Afrika Timur dan Ismailiyah di Inggris, namun hak tersebut tidak
memberikan penjelasan mengenai kewirausahaan pada semua kelompok etnis
minoritas secara global. Hal ini karena komunitas etnis yang dianggap memiliki
kewirausahaan yang kuat di suatu negara tidak selalu memiliki tradisi
kewirausahaan di negara lain, atau di negara asal mereka. Misalnya, kelompok
etnis Pakistan di Inggris memiliki angka self-employment yang tinggi dan
dianggap sebagai wirausaha (Werbner, 1990), namun di negara lain mereka tidak
memiliki kecenderungan berwirausaha.
Contextual Factors
Penjelasan ketiga mengenai alasan etnis minoritas memilih menjadi
wirausaha dapat dijelaskan berdasarkan faktor kontekstual. Faktor ini menyoroti
pengaruh sejarah, cluster geografis, kondisi pasar, dan struktur kelembagaan
dalam pengambilan keputusan etnis minoritas untuk memasuki kewirausahaan.
Faktor sejarah, misalnya tradisi berdagang masyarakat minoritas Kutchhi Lohana,
Ismailis, Jews, Marwaris, dan Sindhis, dapat menjelaskan fenomena di kelompok
ini yang terus memiliki tingkat entrepreneurship yang tinggi, yaitu karena
merupakan tradisi keluarga (Tripathi, 1984). Pengelompokan tempat tinggal
kelompok etnis yang sama di lingkungan tertentu, yang dikenal sebagai ethnic
enclave (kantong etnis) dapat menciptakan peluang kewirausahaan. Ethnic
enclave menciptakan pasar ceruk (niche market) untuk menyediakan barang bagi
masyarakat etnis lokal. Karakteristik lembaga formal, yang mencakup kebijakan
dan peraturan pemerintah baik dalam hal imigrasi dan perizinan untuk etnis
minoritas dan imigran untuk memulai, memiliki, dan mengumpulkan dana untuk
usaha baru, mempunyai dampak pada keputusan memasuki bisnis dan sifat dari
bisnis tersebut.
Pengenalan Peluang
Keterlibatan di dalam dua (dual) atau banyak (multiple) kebudayaan
menghasilkan sebuah kepribadian dan kebudayaan ganda pada seorang individu
dari sisi kedekatan dan jarak. Seorang individu bisa jadi lebih kreatif dalam bisnis
sehingga karakternya lebih dekat pada karakteristik pengusaha tipe Schumpeter
(Schumpeterian entrepreneur).
Teori-teori kewirausahaan telah mengenal peran dari ketidakseimbangan
informasi serta pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dalam menemukan
peluang-peluang usaha baru. Pengetahuan dan pengalaman sebelumnya terkait
negara dan kebudayaan yang berbeda memiliki dampak yang signifikan bagi
pengusaha imigran etnis minoritas dalam menentukan pilihan untuk memasuki
bisnis, terutama bagi mereka yang telah menjaga pertalian atau ikatan dengan
negara-negara asal mereka.
Pengusaha etnis tradisional cenderung kurang berpendidikan dan bersifat
inward looking, sedangkan pengusaha etnis modern cenderung berpendidikan
lebih baik serta memiliki keterampilan yang langka dan dihargai lebih tinggi di
negara tuan rumah. Pengusaha etnis modern juga lebih dapat melihat peluang-
peluang yang dilewatkan oleh rekan asingnya.
Keberlangsungan Hidup dan Kesuksesan Bisnis
Pada kasus bisnis-bisnis etnis minoritas, indikator kesuksesan usaha agar
menjadi usaha yang berkelanjutan secara umum dihubungkan dengan
keberlangsungan hidup ekonomi. Ketika sebuah proporsi besar pengusaha etnis
beroperasi pada pinggiran ekonomi masyarakat, sebuah proporsi kecil telah sukses
dalam membangun bisnis aktif yang telah meluas sepanjang waktu.
Ada dua pandangan utama menurut para akademisi dalam melihat faktor-
faktor yang mempengaruhi kesuksesan pengusaha etnis. Padangan pertama
berpendapat bahwa keberlangsungan hidup atau kesuksesan usaha yang dicapai
oleh etnis minoritas diakibatkan oleh akses unik mereka terhadap sumber daya
dan peluang etnis yang tidak dapat diakses oleh non anggota. Sedangkan
pandangan kedua menyatakan bahwa kesuksesan pengusaha etnis dihubungkan
dengan sumber daya ekonomi yang tidak mudah didapat secara ekslusif oleh
pengusaha etnis minoritas. Hal ini juga mendukung bahwa untuk menjadi sukses,
pengusaha etnis perlu mengadopsi strategi-strategi yang melihat lebih pada
pengaruh komunitas co-ethnic lokal mereka.
Peran Sumber Daya Etnis
Sumber daya etnis mengacu kepada sumber daya yang tersedia bagi
pengusaha karena kebaikan dari kesertaannya dalam sebuah kelompok etnis
minoritas, yang memungkinkan pengusaha etnis minoritas untuk bersaing dan
bertahan di negara tuan rumah. Sumber daya etnis meliputi akses terhadap tenaga
kerja yang murah, dapat diandalkan (reliable), dan terpercaya (trustworthy) serta
sumber daya intangible seperti akses terhadap informasi dan saran dari anggota-
anggota komunitas lainnya. Anggota-anggota komunitas etnis berkeinginan untuk
memperpanjang tenaga kerja atau dukungan keuangan sebagai sebuah sikap
ramah tamah dan kepentingan balas budi, dengan pemikiran bahwa mereka
mungkin bisa melakukan ‘call in the favour’ di kemudian hari (Basu dan Parker,
2001). Mereka mungkin juga berkeinginan untuk menawarkan saran dan
informasi bersama, pengalaman, dan koneksi dengan satu sama lain karena rasa
solidaritas dan kepercayaan antara mereka.
Konsep sumber daya etnis berkaitan erat dengan elemen-elemen modal
sosial yang diidentifikasi oleh Portes (1995) sebagai hal yang berhubungan
dengan pengusaha etnis, yaitu nilai-nilai kebudayaan bersama yang
mempengaruhi orang untuk berperilaku pada jalan yang benar dibandingkan
hanya termotivasi oleh ketamakan semata, transaksi-transaksi balas budi yang
berdasarkan pada perbuatan-perbuatan baik sebelumnya, solidaritas terbatas yang
muncul dari sebuah situasi dimana sekelompok orang menghadapi masalah, serta
kepercayaan yang mengalir dari keanggotaan kelompok. Hubungan yang lebih
dekat atau lebih kuat akan menghasilkan tingkat modal sosial yang lebih tinggi
dan memfasilitasi pertumbuhan bisnis. Dengan saling mendukung satu sama lain,
pengusaha etnis menurunkan biaya-biaya transaksi antara anggota komunitas dan
meningkatkan kesempatan keberlangsungan hidup dan kesuksesan mereka.
Keberadaan jaringan-jaringan sosial etnis tidak selalu akan
menguntungkan bagi pengusaha pada semua keadaan. Contohnya, nilai-nilai
bersama antara komunitas dan anggota keluarga membuat mereka untuk menjadi
kurang tamak tetapi mempromosikan ‘group think’, risk aversion, kurangnya
inovasi dalam bisnis keluarga, serta solidaritas terbatas pada kewirausahaan yang
membuat mereka terlalu pilih kasih terhadap anggota, keluarg, atau pekerja co-
ethnic dibandingkan dengan pekerja-pekerja non keluarga di tempat kerja.
Pengalaman dan dasar pengetahuan mereka terbatas sehingga saran mereka juga
menjadi tidak berharga bagi pengusaha. Granovetter (1995) menyatakan bahwa
hubungan yang jauh atau ‘weaker ties’ adalah sumber informasi yang lebih
berharga bagi orang karena informasi dapat lebih beragam dan memungkinkan
untuk menghasilkan ide-ide baru.
Jika didefinisikan secara sempit, jaringan milik pengusaha dapat menjadi
terbatas untuk anggota tambahan keluarganya atau subkasta, atau anggota
komunitas yang terdekat secara geografi, padahal saat ini terdapat globalisasi
ekonomi dan pasar semakin saling terbubung, dan banyak pengusaha etnis
minoritas saat ini memiliki keluarga, teman dan anggota komunitas yang
menyebar lintas negara. Jaringan etnis global bisa sangat berharga dalam
menawarkan pengusaha etnis sebuah pinggiran (ceruk) persaingan melebihi
pesaing-pesaing mereka di pasar domestik.
Peran Sumber Daya Sosial Ekonomi
Pengusaha etnis lebih mudah untuk menegosiasikan posisi mereka pada
sebuah lingkungan asing jika mereka berpendidikan dan memiliki keterampilan
bisnis atau teknis. Pengalaman kerja di negara tuan rumah bagi pertumbuhan
bisnis memberikan kontribusi terhadap peningkatan sumber daya manusia dan
pengetahuan pengusaha etnis minoritas tentang lingkungan negara tuan rumah,
menurunkan biaya informasi operasi di negara tuan rumah, dan meningkatkan
kesempatan memulai sebuah bisnis aktif. Pendidikan dan pengalaman kerja
sebelumnya di negara tuan rumah tidak hanya meningkatkan sumber daya
manusia, tetapi juga menyediakan akses ke jaringan sosial yang di luar komunitas
etnis pengusaha. Akses ke jaringan multiple atau modal sosial yang lebih besar
bersama dengan keterampilan negosiasi dan komunikasi yang bertambah baik dari
pengusaha yang berpendidikan dan berpengalaman meningkatkan kesempatan
akses terhadap modal keuangan dari pihak luar komunitas etnis pengusaha.
Penelitian pada faktor-faktor yang mempengaruhi keberlangsungan hidup dan
pertumbuhan pengusaha etnis di UK menyatakan bahwa pendidikan yang lebih
tinggi secara konsisten memiliki sebuah hubungan positif dengan pertumbuhan
bisnis (Basu dan Goswami, 1999; Basu dan Altinay, 2002). Keuntungan
pendidikan pada keberlangsungan hidup bisnis juga terlihat dalam kasus etnis
minoritas di US. Contohnya, Bates (1994) menemukan bahwa keberlangsungan
hidup dan kesuksesan diantara bisnis kecil yang dimiliki imigran Asia dapat
dikaitkan dengan latar belakang pendidikan yang mengesankan sang pemilik dan
investasi modal awal bisnis.
Peran Strategi
Ketika pengusaha etnis memiliki sejumlah sumber daya, baik pengusaha
etnis maupun non etnis, mereka harus membuat keputusan-keputusan sadar yang
melihat sumber daya apa yang akan digunakan dan pasar apa yang akan dituju.
Keberlangsungan hidup mereka bergantung tidak hanya pada sumber daya awal
mereka, tetapi juga pada karakteristik bisnis mereka dan strategi-strategi yang
mereka adopsi. Teori kewirausahaan etnis (Mars dan Ward, 1984; Waldinger et
al., 1990) menjelaskan keberlangsungan hidup pengusaha etnis minoritas dalam
konteks sumber daya etnis dan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh
sebuah kantong perekonomian. Kesempatan-kesempatan bisnis dihasilkan oleh
kemunculan pasar ceruk (niche markets) untuk memuaskan permintaan anggota
komunitas co-ethnic terhadap produk dan jasa etnis serta oleh perubahan perhatian
bisnis di antara komunitas mayoritas terhadap lokasi bisnis yang lebih makmur.
Dalam hal ini, kesempatan-kesempatan bagi perluasan bisnis sangat dibatasi oleh
ukuran komunitas kantong etnis serta persaingan terhadap pasar dan sumber daya.
Menurut Waldinger et al. (1990), pengusaha etnis memiliki dua pilihan utama
dalam menyelesaikan perekonomian kantong etnis. Pilihan pertama adalah untuk
mengadopsi sebuah strategi minoritas perantara dalam hal penyediaan barang dan
jasa kepada yang lebih luas (komunitas mayoritas) ketika terus untuk percaya
pada tenaga kerja co-ethnic dan jaringan komunitas. Pilihan yang kedua adalah
perpaduan (asimilasi) ekonomi, dengan menawarkan kekhasan barang dan jasa
dari sebuah bisnis yang dimiliki oleh mayoritas pribumi (indigenous) dan
menjalankan bisnis dalam cara yang sama seperti komunitas mayoritas. Alternatif-
alternatif strategi yang mungkin tersedia bagi pengusaha etnis minoritas lebih
banyak jika dilengkapi dengan tingkat pendidikan lebih tinggi, dasar pengetahuan
yang lebih luas, jaringan sosial multiple, informasi lebih, dan imajinasi yang lebih
besar.
Tabel 1. Strategi-Strategi Alternatif Produk-Pasar Pengusaha Etnis
Ma
rket
Product
Local Ethnic Local non-
ethnic
Non-local
Ethnic
Non-local
non-ethnic
Ethnic
Product
Stereotypical
ethnic niche
(A)
Local ethnic
product niche
(C)
National/global
ethnic niche (E)
National/global
ethnic product
niche (G)
Non-
ethnic
product
Local ethnic
client niche
(B)
Local
mainstream
(D)
National/global
ethnic client
niche (F)
Mainstream
mass market
development
(H)
Meskipun strategi dalam menyediakan produk etnis kepada non lokal atau
pelanggan komunitas mayoritas (strategi G) adalah strategi paling umum di antara
sampel yang dipelajari. Kepercayaan pada produk etnis, apakah disediakan ke
pasar lokal, nasional, maupun internasional (strategi A, C, dan G) adalah lebih
tinggi di antara bisnis yang kurang sukses. Dengan demikian, bukti tersebut
mengindikasikan bahwa pengusaha etnis yang lebih sukses bertujuan untuk
melayani komunitas yang lebih luas dan baik telah keluar dari ataupun bertahan
pada pasar ceruk co-ethnic.
Kesenjangan Antara Pengusaha Kaum Minoritas
Salah satu penjelasan adalah bahwa kesenjangan antarpengusaha kaum
minoritas ini berasal dari perbedaan budaya antara masyarakat. Kelompok etnis
tertentu secara inheren memiliki tingkat kewirausahaan yang lebih tinggi karena
tradisi keluarga yang berkecimpung dalam bisnis. Anak-anak yang orang tuanya
memiliki usaha jauh lebih mungkin untuk menjadi wiraswasta sendiri
dibandingkan mereka yang orang tuanya bukan pemilik usaha (Dunn dan Holtz-
Eakin, 2000).
Sebuah studi perbandingan pengusaha Bangladesh, India, Afrika Timur,
Pakistan, Turki, dan Turkish Cypriot menunjukkan bahwa tradisi bisnis keluarga
dan hubungan keluarga yang kuat memiliki dampak signifikan terhadap motif
entri bisnis, serta pada sumber finansial saat start-up, pilihan bisnis, dan
partisipasi perempuan dalam bisnis (Basu dan Altinay, 2002). Light dan Gold
(2000) menganalisis data sensus Amerika Serikat, menunjukkan bahwa hampir 30
persen dari bisnis Hispanic adalah lulusan perguruan tinggi dibandingkan dengan
kurang dari 9 persen dari populasi orang dewasa Hispanic. Ini berarti bahwa etnis
minoritas berpendidikan lebih mungkin untuk menjadi pemilik bisnis daripada
mereka yang tidak berpendidikan.
Kesimpulan: Implikasi Kebijakan Dan Penelitian Lanjutan
Ethnic minority entrepreneurship perlu didefinisikan lebih lanjut untuk
memperjelas minoritas, etnis, pola migrasi, dan karakteristik ekonomi kelompok
sedang dibahas, baik sebagai self-employed individuals without employees, self-
employed employers, pemilik usaha mikro atau kecil, atau pemilik bisnis yang
maju pesat. Faktor-faktor etnis minoritas memasuki dunia kewirausahaan yaitu
faktor pendorong seperti economic disadvantage dan prasangka rasial, serta faktor
penarik seperti norma dan nilai budaya, dan faktor kontekstual seperti latar
belakang keluarga dalam kewirausahaan, contoh sukses ethnic entrepreneur lain,
dan jaringan komunitas yang erat.
Keberhasilan kewirausahaan etnis disebabkan kombinasi dari sumber
etnis, ekonomi, dan strategi keputusan bisnis. Secara khusus, teori dan penelitian
empiris menyoroti peran penting pendidikan tinggi dalam menyediakan ethnic
entrepreneur dengan keterampilan analitis dan komunikasi yang diperlukan untuk
menurunkan hambatan masuk bisnis, meluaskan akses mereka ke jaringan
informasi dan sosial serta sumber formal keuangan, dan memberikan kontribusi
terhadap kesuksesan bisnis. Bertahannya kesenjangan dalam tingkat kepemilikan
bisnis dan kemajuan ekonomi di antara kelompok etnis yang berbeda menyiratkan
perlunya intervensi kebijakan langsung yang difokuskan pada kelompok yang
kurang berhasil, misalnya berupa bantuan meningkatkan tingkat pendidikan
kelompok-kelompok, menghasilkan kesadaran dan antusiasme di antara mereka
tentang kewirausahaan sebagai pilihan karir, menawarkan akses ke saran,
informasi, dan layanan mentoring, dan melengkapi para pengusaha dengan
keterampilan yang diperlukan untuk mengoperasikan bisnis mereka sendiri dan
mengakses sumber daya keuangan.
Walaupun sudah banyak penelitian mengenai faktor-faktor yang
menyebabkan perbedaan dalam tingkat kewirausahaan di komunitas etnis yang
berbeda, penelitian masa depan harus melihat lebih dekat membandingkan
komunitas yang berbeda di negara yang sama dan komunitas etnis yang sama di
negara yang berbeda. Penelitian lebih lanjut yang dapat bermanfaat adalah siklus
hidup pengusaha etnis. Meskipun etnis minoritas sering beroperasi di bisnis
keluarga, hampir tidak ada bukti empiris tentang dampak dari perubahan tingkat
pendidikan, sifat bisnis, dan persepsi tingkat pengembalian, pada suksesi bisnis
dari satu generasi ke generasi berikutnya antara pengusaha etnis minoritas.
WOMEN ENTREPRENEURS: A RESEARCH OVERVIEW
Pendahuluan
Pria merupakan peserta utama dalam dunia kewirausahaan. Sejarah
menunjukkan bahwa pria yang paling aktif dalam self employment (wirausaha),
business creation (penciptaan bisnis), dan business ownership for decades
(kepemilikan usaha selama beberapa dekade) (Hebert and Link, 1982). Oleh
karena itu beberapa pandangan mengenai kewirausahaan beberapa waktu yang
lalu menggunakan kata pria dalam definisinya. Definisi entrepreneurship yang
terbaru tidak lagi memandang gender, yakni pengusaha yang melakukan
serangkaian kegiatan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang bernilai dalam
keadaan berbeda (ACS dan Audretsch, 1993; Shane dan Venkataraman, 2000).
Wanita cepat mengalami peningkatan populasi dalam jumlah
wirausahanya, memberikan kontribusi signifikan terhadap inovasi, serta
penciptaan lapangan kerja dan perekonomian di seluruh dunia. Namun,
peningkatan pesat yang terjadi pada penelitian tidak sejalan dengan peningkatan
yang terjadi pada penelitian mengenai populasi wanita dalam dunia
kewirausahaan.
Extent of Research on Women’s Entrepreneurship
Artikel pertama mengenai kewirausahaan wanita muncul pada pertengahan
1970an, yaitu “kewirausahaan,sebuah area baru bagi wanita” oleh Eleanor
Brantley yang menunjukkan perbandingan karakteristik, motivasi, dan sikap
wanita dengan pria dalam wirausaha. Dalam hal motivasi, seperti pria, wanita juga
termotivasi oleh pemenuhan kebutuhan, kepuasan kerja dan kebebasan. Schwartz
(1976) diikuti oleh Hisrich dan Brush (1983,1984,1985,1986,1987)
menyimpulkan bahwa wanita memiliki kesamaan dengan pria dalam motivasi,
tetapi jarang mendapatkan pendidikan mengenai bisnis, menghadapi hambatan
untuk akses modal, dan pertumbuhan bisnis lebih lambat daripada pria. Watkins
dan Watkins (1983) meneliti bias terhadap resiko wanita di Inggris dan
menemukan pola pendidikan dan kerja yang berbeda. Holmquist dan Sundin
(1988) menggunakan dasar yang sama dengan survey Hisrich dan Brush di
Swedia menemukan kesamaan dalam motif, tetapi perbedaan gender memiliki
perbedaan dalam tujuan bisnis.
Beberapa kajian untuk melihat sejauh mana penelitian mengenai
wirausaha wanita mengkaji 57 artikel akademik dan dikategorikan dalam
kerangka yang sudah ada (Brush, 1992), dan diperoleh kesimpulan bahwa
walaupun ada peningkatan jumlah pengusaha wanita, secara komparatif studi
akademik masih langka. Hampir semua ulasan menunjukkan bahwa hanya
sebagian kecil dari artikel yang membahas mengenai pengusaha wanita, yang
mengejutkan bila merujuk pada partisipasi dan kontribusi yang diberikan oleh
pengusaha wanita.
Dia menemukan bahwa ada kesamaan dengan pria, wanita termotivasi
memenuhi kebutuhan, pekerjaan nyaman dan kebebasan. perempuan memiliki
kesamaan dengan pria dalam motivasi, tetapi jarang mendapatkan pendidikan
mengenai bisnis, menghadapi hambatan untuk akses modal, dan pertumbuhan
bisnis lebih lambat daripada pria.
Jiwa Wirausaha Perempuan: Fenomena
Dari tahun 1997 sampai 2002, perempuan membentuk bisnis baru dua kali
lipat tingkat nasional (Pusat Penelitian Bisnis Perempuan, 2002). Sebagai
hasilnya, perempuan diakui sebagai motor penggerak ekonomi AS, baik diukur
dengan jumlah bisnis yang dimiliki, pendapatan dihasilkan, atau jumlah orang
yang dipekerjakan. secara pribadi dipegang mayoritas saham perusahaannya di
AS, 10,6 juta dari sekitar 22 perusahaan juta di AS adalah 50 persen dimiliki oleh
perempuan. perusahaan milik perempuan ini memberikan kontribusi US $ 2,5
triliun pada penjualan dan mempekerjakan 19,1 juta karyawan (Pusat Penelitian
Bisnis Perempuan, 2005). Pengusaha perempuan semakin menonjol sebagai
pengusaha, pelanggan, pemasok dan pesaing di AS dan di komunitas global.
Statistik terbaru dari perkiraan Global Entrepreneur Monitors (GEM),
studi memperkirakan bahwa bisnis yang dimiliki wanita terdiri dari 25-33 persen
dari semua bisnis di sektor ekonomi formal, dan persentase yang lebih besar di
sektor informal. Ada variasi yang luas dalam partisipasi perempuan sebagai
pengusaha tergantung pada tingkat pendapatan negara, namun tetap saja ada level
yang signifikan dalam kontribusi mereka terhadap pekerjaan dan pendapatan. Peru
mencerminkan tingkat tertinggi Total Entrepreneurial Activity (TEA) sebesar 39
persen sedangkan Jepang adalah yang terendah sebesar 1,2 persen. Di Australia,
partisipasi perempuan dalam tingkat aktivitas kewirausahaan semakin
meningkat. Di Denmark, perempuan mencapai 30 persen dari perusahaan baru
yang didirikan dan 25 persen dari semua self-employed (Neergaard, 2006). Di
Finland hampir 33 persen dari semua wanita adalah self-employed
(Neegaard,2006). Hampir di semua negara, pengusaha perempuan memiliki peran
yang signifikan dalam perekonomian dunia, populasi mereka semakin tumbuh dan
berkontribusi untuk pekerjaan dan pendapatan. Namun, terlepas dari partisipasi
perempuan dan kontribusi ke ekonomi, penelitian belum sejalan.
Mengapa Perempuan Pengusaha Kurang Dipelajari
1. Kewirausahaan Perempuan adalah Fenomena Baru
Sampai 1980-an, pria adalah populasi utama pemilik bisnis dan usaha
mereka, besar dan kecil. Di AS, pertumbuhan populasi pengusaha perempuan
terjadi di akhir 1980-an, tak lama setelah pemerintah AS meloloskan kesempatan
kredit ACT (1975) yang melarang bank melakukan diskriminasi terhadap
perempuan dalam pinjaman.
2. Asumsi Bahwa Tidak Ada Perbedaan Antara Pengusaha Pria dan Perempuan
Mempelajari perempuan secara terpisah tidak penting dalam pemahaman
jiwa wirausaha dan teori-teori umum kewirausahaan harus berlaku untuk semua
populasi (Churchill dan Hornaday, 1987). Akibatnya, studi tentang
kewirausahaan muncul dengan langkah-langkah dan teori dikembangkan terutama
pada laki-laki karena asumsi bahwa teori umum akan memandu perilaku (Hurlry,
1991).
3. Studi Tentang Kewirausahaan Perempuan Tidak Memiliki Legitimasi,
Dukungan Kelembagaan dan Pendanaan
Ada stereotip umum bahwa perempuan pengusaha kurang berkualitas,
kurang mampu dan oleh karena itu pengusaha kurang berkualitas, kurang mampu
dan karena itu kurang kewirausahaan (Brush et al 2004). Gagasan bahwa
perempuan lebih mungkin untuk memulai bisnis dari hobinya, tidak berorientasi
pada pertumbuhan cepat, menciptakan kesan bahwa mereka kurang layak
studi. Kedua sistem di perguruan tinggi dan universitas biasanya menyukai
penelitian pada perusahaan besar, yang diperdagangkan dan dimiliki oleh pria
(Baker et al., 1997).
Apa Yang Telah Kita Pelajari Tentang Pengusaha Perempuan dari
Penelitian Akademik?
1. Evolusi Teori, Metode dan Sampel
Penelitian tentang kewirausahaan perempuan dapat dibagi menjadi dua
daerah yang berbeda; tahun 1980 di mana gender dianggap sebagai variabel dan
1990-an di mana digunakan sebagai cara pandang (Brush, Greene dan Gatewood,
2006). Penelitian awal dibawa untuk menjawab dua pertanyaan: siapa pengusaha
wanita? Apakah teori/sumberdaya yang dikembangkan pada pria dapat berlaku
untuk wanita? Penelitian melihat beberapa unit analisis: pendiri wanita, tim
mereka, usaha mereka dan komunitas mereka. Pada tingkat individu, penelitian
difokuskan pada informasi demografis identifikasi karakteristik pengusaha
perempuan, tujuan pribadi, serta responsnya untuk memilih kepemilikan bisnis
atas pekerjaan upah dan gaji (Hagan et.al; Brush, 1992). Penelitian terus fokus
pada pengusaha, tetapi lebih memperhatikan usaha bisnis, praktek manajemen dan
aspek masyarakat tampak nyata, lebih menekankan pada pengujian teori,
Pada tahun 1990an, Studi mencoba menjawab tiga pertanyaan dasar: apa
yang mempengaruhi pilihan wanita untuk kewirausahaan? Apa yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bisnis milik wanita? Dan apa
efek dari konteks negara pada kewirausahaan perempuan? Dolinsky et al (1993)
dan data Dolinsky dan Caputo (1994) menggunakan sensus longitudinal dari
survey longitudinal nasional, mereka fokus terhadap efek spesifik kewirausahaan
pada peningkatan status individu yang lebih berpendidikan dan kerugian
ekonomi. Aliran orang masuk dan keluar dari wirausaha juga dipelajari dengan
menggunakan pendapatan data longitudinal.
Kesamaan
Penelitian membandingkan pria dan pengusaha wanita menemukan
kesamaan dalam tiga kategori utama: demografi, motivasi dan praktek bisnis.
Demografi. Perbandingan pria dan wanita berdasarkan variabel demografi
menunjukan bahwa umur, pendidikan dan kelahiran selalu sama (Hisrich dan
Brush, 1984). Evans dan Leighton (1989) menggunakan survei penduduk saat ini
menemukan kesamaan dengan usia dan motivator bagi wirausaha (1989).
(Klofsten dan Jones-Evans, 2000), Dolinsky et al (1993) dan Dolinsky dan Caputo
(1994) menemukan perbedaan rasial dalam pendidikan dan ekonomi adalah lebih
umum daripada perbedaan gender. Motivasi. Penelitian paling awal memeriksa
alasan mengapa wanita memilih kewirausahaan adalah kebebasan, prestasi dan
kepuasan pribadi adalah motif khas, mirip dengan laki-laki (Hisrich dan Brush,
1984). Praktek Bisnis. Beberapa penelitian meneliti masalah pengusaha
perempuan dan menemukan bahwa pengusaha memiliki banyak tantangan yang
sama dalam menghadapi proses tumbuh sebuah usaha (Pellegrino dan Reece,
1982; Hisrich dan Brush, 1986). Sebuah studi Kanada menemukan bahwa pemilik
bisnis wanita sama-sama memiliki tingkat bertahan hidup yang sama dari rekan-
rekan pria mereka (Kalleberg dan Leicht, 1991).
Perbedaan
Sektor Bisnis. The Bottom Line (1978) bekerja sama dengan Hisrich dan Brush
(1984) menunjukkan paling banyak perempuan AS bergerak di sektor jasa dan
ritel. Awal di Inggris dan Italia, studi menemukan perempuan lebih mungkin
untuk memulai usaha di sektor-sektor tradisional (Watkins dan Watkins, 1983;
Aldrich et al 1989; Rosa dan Hamilton, 1994). Proses kewirausahaan. Boden
(1996) menunjukkan bahwa ketidaksamaan gender dalam hal gaji dan pendapatan
bisa berpengaruh positif terhadap pengambilan keputusan bagi seorang
perempuan untuk meninggalkan pekerjaan untuk self-employment. Boden and
Nucci (1997) membandingkan antara jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
status pernikahan, income dari self-employment, industri dan daerah. Akses ke
sumber daya. Satu penelitian menunjukkan pria menggunakan lebih banyak
utang tetapi hal ini disebabkan karena perempuan yang lebih menghindari risiko
(Sherr et al 1993). Penelitian tentang pengusaha Belanda melaporkan bahwa
wanita mendirikan usaha dengan jumlah yang lebih kecil dari modal, tetapi tidak
ada perbedaan dalam proporsi utang terhadap ekuitas (Verheul dan Thurik,
2001). Sebuah studi kemudian menemukan wanita dan pria tidak berbeda dalam
pilihan utang atau pembiayaan ekuitas (Chaganti et al 1995), tetapi pekerjaan lain
dari Inggris menunjukkan pria menggunakan jumlah yang lebih besar modal saat
start-up (Carter dan Rosa, 1998). Sementara perempuan dan laki-laki tidak
berbeda dalam pilihan utang, Coleman (2000) menggunakan data bank pemberi
pinjaman menemukan bahwa bank lebih memilih untuk memberikan pinjaman
kepada perusahaan yang lebih besar dan lebih mapan daripada yang lebih
kecilsering perusahaan milik perempuan. Dia juga menemukan perempuan sering
dikenakan tingkat bunga yang lebih tinggi dan memiliki persyaratan agunan.
Carter dan allen (1997) meneliti apakah bisnis yang dipimpin wanita lebih
kecil karena gaya hidup pemilik dan pilihan, menemukan bahwa tingkat sumber
daya memiliki efek kuat terhadap pertumbuhan daripada pilihan. Sebuah studi
usaha Amerika Latin dan Afrika menunjukkan perusahaan yang dikelola pria
lebih mungkin untuk tumbuh dari pada perusahaan milik perempuan, bahkan
setelah mengontrol pengaruh variabel lain (Liedholm, 2002). Akhirnya, proyek
Diana mempelajari akses perempuan terhadap modal di Amerika Serikat. Dari
data 30 tahun pada investasi oleh pemodal ventura di bisnis AS, mereka
menemukan bahwa wanita hanya menerima 4,1 persen dari semua investasi
(Greene, Brush, Hart dan Saparito, 2001).
Kesimpulan dan Implikasi
Perbedaan utama antara pengusaha pria dan perempuan masuk ke dalam
tiga bidang: representasi di sektor bisnis, proses kewirausahaan, dan akses ke
sumber daya-terutama pertumbuhan modal. Ada dua penjelasan utama bagi
perbedaan ini. Ketidakmerataan partisipasi perempuan di sektor tradisional yang
didominasi laki-laki dan sektor teknologi tinggi yang merupakan faktor struktural
dalam perekonomian yang mencegah wanita mendapatkan pengalaman, akses ke
pasar, atau sumber daya. perempuan sering menolak kesempatan untuk
mendapatkan pengalaman manajerial tingkat tinggi dalam pengambilan keputusan
yang dapat bermanfaat dalam start-up entrepreneur. Hirarki organisasi sering
didominasi laki-laki membatasi kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan
pengalaman (Brush et al, 2004). Kedua perspektif, feminisme liberal dan sosial,
menunjukkan arah masa depan untuk penelitian. Kebanyakan teori kewirausahaan
(penciptaan usaha, self-employment, kinerja usaha baru) menganggap bahwa
perbedaan kalangan pengusaha akan didasarkan pada faktor-faktor seperti
kepercayaan, reputasi, dan kemampuan kognitif. Kewirausahaan perempuan
adalah fenomena di seluruh dunia yang signifikan dan berkembang, pengusaha
perempuan terdiri atas sepertiga dari populasi pengusaha, namun penelitian belum
sejalan, sehingga belum banyak diketahui informasi mengenai mereka.