1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap bahasa yang ada di dunia ini memiliki sifat atau ciri masing-masing
disamping ciri yang dimiliki secara universal. Ciri-ciri yang universal berarti bahwa
ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri
yang sama merupakan unsur-unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan
dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain. Bahasa Jepang (disingkat BJ) secara
umum memiliki beberapa karakteristik yang menjadi ciri pembeda dengan bahasa-
bahasa yang lain. Adapun ciri-ciri tersebut adalah (1) bahasa Jepang menganut sistem
MD. Dalam bahasa Jepang kata yang menerangkan terletak di depan kata yang
diterangkan; (2) kata benda dalam bahasa jepang pada umumnya tidak mempunyai
bentuk jamak. Kalau penutur menunjuk pada satu televisi (terebi) akan sama dengan
menunjuk pada televisi yang lebih dari satu. Biasanya untuk membedakan televisi
yang banyak penutur mengucapkan kalimat percakapan selanjutnya, seperti televisi
yang mana atau televisi yang seperti apa; (3) terdapat perubahan bentuk dari verba,
adjektiva maupun kopula. Adjektiva dalam bahasa Jepang dibagi menjadi dua, yaitu
adjektiva „na‟ dan „i‟. Dalam waktu dan kondisi yang berbeda verba, kopula,
adjektiva akan mengalami perubahan; (4) predikat terletak pada akhir kalimat; (5)
dalam bahasa Jepang terdapat bentuk biasa dan bentuk sopan. Kedua bentuk tersebut
berbeda penggunaannya, bentuk sopan dipakai ketika seseorang berbicara dengan
2
atasan atau orang yang lebih dihormati, sedangkan bentuk biasa digunakan dalam
pembicaraan kepada teman atau kepada bawahan, dan (6) secara sintaktis bahasa
Jepang memiliki sistem pemarkah dan strukturnya berpola S-O-V dengan pemarkah
partikel, wa, ga, ni, e, wo, de yang menunjukkan hubungan dan fungsi gramatikal
dalam kalimat. Dalam membangun sebuah kalimat, verba sebagai inti proposisi
dengan kasus-kasus yang menyertainya, ditandai oleh pemarkah yang berupa partikel.
Partikel tidak memiliki makna leksikal, tetapi makna gramatikal.
Berkaitan dengan butir keenam di atas, kaum semantik generatif mengatakan
bahwa struktur semantik dan struktur sintaktis bersifat homogen dan untuk
menghubungkan kedua struktur itu cukup kaidah transformasi saja. Menurut kaum
semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaktis diselidiki bersama-sama
sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantik itu serupa dengan struktur
logika, yaitu berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argumen
dalam suatu proposisi (dikutip dari Chaer, 1994: 368--369; 2002: 18--19). Sintaktis
memiliki tataran bawahan yang disebut fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan
peran gramatikal. Fungsi gramatikal berupa ”kotak-kotak kosong” yang diberi nama
subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K), sebenarnya tidak ada
maksudnya sebab semuanya cuma kotak atau tempat yang kosong. Yang memiliki
makna adalah pengisi kotak-kotak itu yang disebut kategori gramatikal seperti
nomina, verba, atau ajektiva. Kategori-kategori ini yang sesungguhnya sudah
memiliki makna leksikal, dan sebagai pengisi kotak-kotak itu memiliki peran
gramatikal seperti peran agentif, pasien, objek, benefaktif, lokatif, instrumental, dan
3
sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara sintaktis verba sebagai
predikat mempunyai peranan yang utama dalam membentuk sebuah struktur kalimat
yang berterima, sedangkan secara semantis verbalah yang menentukkan ciri-ciri
semantis dari setiap argumen yang diperlukannya. Begitu juga halnya dalam bahasa
Jepang, verba mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk sebuah
kalimat, karena keseluruhan makna kalimat tersebut melekat pada makna verbanya,
makna nomina ataupun segala sesuatu yang berperan sebagai argumen harus
bersesuaian dengan makna verbanya.
Verba BJ mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan
verba bahasa yang lain. Berdasarkan bentuknya, verba BJ dapat dibedakan menjadi
dua macam bentuk, yakni (1) verba dasar atau verba asal yaitu verba yang dapat
berdiri sendiri tanpa afiks, dalam BJ disebut 自立動詞 jiritsu doushi, dan biasanya
berbentuk monomorfemis. Verba semacam ini terutama berasal dari verba BJ asli 和
語動詞 wagodoushi misalnya, 見 miru „melihat‟, 寝る neru „tidur‟, 働くhataraku
„bekerja‟. Kemudian (2), verba turunan atau dalam BJ disebut 派生動詞 haseidoushi,
adalah verba yang dasarnya adalah dasar bebas atau terikat tetapi memerlukan afiks
supaya dapat berfungsi sebagai verba secara sintaksis dalam BJ. Misalnya, verba
dasar 食べる taberu „makan‟ jika dilekati sufiks ~saseru akan menjadi verba kausatif
yaitu 食べさせる tabesaseru, „membuat (seseorang/sesuatu) menjadi makan (O)‟,
verba dasar 進める susumeru dibubuhi prefiks 押しoshi menjadi 押し進める
oshisusumeru „mendorong‟, verba dasar 飲む nomu „minum‟ dibubuhi sufiks ~areru
4
menjadi 飲まれる nomareru „diminum‟. (Muraki, 1996: 27 dan 41). Sedangkan
menurut Masuoka dan Takubo (1989: 15), verba dalam bahasa Jepang dapat
dibedakan berdasarkan fonem akhirnya ketika harus berkonjugasi ke dalam bentuk
lain. Berdasarkan pembagian tersebut verba bahasa Jepang dapat dikelompokkan atas
tiga kelompok, yaitu: pertama 子音動詞 shiin doushi (verba konsonan), adalah akar
verba yang memiliki fonem yang berakhiran konsonan /s/, /k/, /g/, /m/, /n/, /b/, /t/, /r/,
dan /w/ yang bersifat prakategorial dan bila dibubuhi /u/ akan menjadi verba pangkal
(Vp). Contohnya, [ akar Vp glos nom + /u/ nomu „minum‟, kak + /u/ kaku „tulis‟, sin
+ /u/ sinu „mati‟]. Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan I (五段動詞
/godandoushi). Kedua, 母音動詞 boin doushi (verba vokal), yaitu akar verba yang
memiliki fonem yang berakhiran vokal /e/ misalnya tabe dan vokal /i/ misalnya oki,
yang bersifat prakategorial dan bila dibubuhi ~ru akan berubah menjadi verba
pangkal (Vp). Contohnya, [akar Vp glos [tabe + /ru/ taberu „makan‟ oki + /ru/ okiru
„bangun‟]. Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan II ( 一段動詞
/ichidandoushi). Ketiga, selain verba golongan I dan II, ada pula verba golongan III
yang hanya terdiri dari dua verba yaitu, kuru „datang‟, dan suru ‟melakukan‟ yang
berkonjugasi tidak teratur tidak seperti verba golongan I (五段動詞/godandoushi),
dan golongan II (一段動詞/ichidandoushi), oleh karena itu disebut irregular verb (カ
変動詞/kahendoushi、サ変動詞/sahendoushi).
5
Masuoka (1989: 13) dan Muraki (1996: 16) mengemukakan bahwa verba
dalam bahasa Jepang berfungsi utama sebagai predikat selain dapat juga berfungsi
lain, seperti contoh berikut ini:
1. 田中 が 手紙 を 書く。
Tanaka ga tegami wo kaku.
Tanaka Part surat Part menulis
„Tanaka menulis surat.‟
2. 手紙 を 書く 人 は 田中 です。
Tegami wo kaku hito wa Tanaka desu.
surat Part menulis orang Part Tanaka adalah
„Orang yang menulis surat itu (adalah) Tanaka‟.
3. 田中 は 太郎 が 書いた 手紙 を やぶれました。
Tanaka wa Taro ga kaita tegami wo yaburemashita.
Tanaka Part Taro Part menulis surat Part menyobek
„Tanaka menyobek surat yang ditulis Taro‟.
Verba 書く kaku „menulis‟ pada kalimat (1), berfungsi sebagai predikat,
karena verba tersebut berposisi di belakang argumen (objek/subjek), sedangkan verba
kaku „menulis‟ pada kalimat (2), dan verba kaita pada kalimat (3), tidak berfungsi
sebagai predikat melainkan sebagai pewatas nomina (PN) karena verba tersebut
berposisi di depan nomina. Fungsi ini berlaku untuk seluruh jenis verba dasar dalam
bahasa Jepang, termasuk verba dasar yang telah bergabung dengan sebuah konstruksi
kalimat seperti konstruksi kausatif (shieki), pasif (ukemi), dan sebagainya. Secara
fungsional, verba sebagai predikat berkaitan dengan kala dan aspek. Kala dan aspek
dalam bahasa Jepang merupakan hal yang sulit untuk dipilah-pilah, karena
6
diekspresikan dengan ungkapan yang bentuknya sama. Kedua-duanya berhubungan
dengan perbuatan atau kejadian lampau atau selesai, sedang atau masih berlangsung,
dan akan atau belum dilakukan yang kebanyakan diekspresikan dengan verba bentuk
~TE IRU atau ~TA. Kala dan aspek dalam bahasa Jepang dinyatakan secara
gramatikal dengan perubahan bentuk verba dalam suatu kalimat. Untuk menyatakan
kala lampau-sekarang-mendatang「過去・現在・未来 ’kako-genzai-mirai‟」 ,
hanya digunakan dua bentuk verba saja, yaitu bentuk akan dan bentuk lampau. Verba
bentuk lampau di dalamnya mencakup bentuk halus, yakni bentuk ~MASHITA dan
~MASENDESHITA; verba bentuk biasa, yakni bentuk ~TA dan ~NAKATTA. Verba
bentuk akan di dalamnya mencakup bentuk kamus (~RU), ~NAI, dan bentuk halusnya
seperti bentuk ~MASU dan ~MASEN, bahkan bentuk ~TE IRU pun termasuk ke
dalam kategori ini. Jadi, berdasarkan pada bentuk verbanya, kala dalam bahasa
Jepang hanya ada dua macam, yaitu kala lampau 「過去‟kako‟」dan kala bukan
lampau 「非過去‟hikako‟」. Bentuk kala dalam verba bahasa Jepang, bisa ditemui
ketika verba tersebut digunakan sebagai predikat dalam induk kalimat atau dalam
kalimat tunggal 「主文‟shubun‟」dan dalam anak kalimat「従属節‟juuzokusetsu‟」.
Pada umumnya, verba bentuk ~MASU (~RU) digunakan untuk menyatakan kala
mendatang (akan), verba bentuk ~MASHITA (~TA) digunakan untuk menyatakan kala
lampau, dan verba bentuk ~TE IRU digunakan untuk menyatakan kala sedang (kini).
Selain dari segi bentuk dan fungsinya, verba bahasa Jepang pun dapat dipilah
berdasarkan makna aspektual inheren verba yang digabungkan dengan kontruksi て
7
いる/でいる(te/deiru). Namun, pemilahan verba BJ berdasarkan kontruksi ている/
で い る (te/deiru) terkadang menghasilkan makna yang ambigu dalam
menginterpretasi makna verba tersebut, terutama dalam mengklasifikasikan apakah
verba tersebut menyatakan keadaan ataukah proses. Seperti yang tergambar pada
contoh kalimat berikut:
4. 田中先生 は 今学期 本 を 書いている。
Tanakasensei wa kongakki hon wo kaiteiru.
Pak Tanaka Part semester ini buku Part menulis
„Pak Tanaka sedang menulis buku di semester ini‟.
5. 田中先生 は もう 本 を 五冊 も 書いている。
Tanakasensei wa mou hon wo gosatsu mo kaiteiru.
Pak Tanaka Part telah buku Part lima buah Part menulis
„Pak Tanaka telah menulis lima buah buku‟.
Frasa Verba hon wo kaku „menulis buku‟ yang dalam kalimat tersebut dalam
konstruksi kaiteiru, itu sendiri dapat menghasilkan makna yang ambigu, antara
makna progressive dan perfectinterpretation. Pada kalimat (4) terdapat kata kongakki
yang bermakna „semester ini‟, sehingga makna kalimat tersebut dapat
diinterpretasikan menjadi suatu keadaan yang sedang terjadi atau dilakukan (on-going
event/progressive). Sementara kalimat (5) dapat diinterpretasikan menjadi suatu
keadaan yang telah terjadi (some event has already happened = perfect
interpretation). Perbedaan interpretasi ini diakibatkan karena konstruksi te/deiru
berinteraksi dengan unsur-unsur lain dalam frasa verba/verba phrase.
8
Pengklasifikasian verba BJ berdasarkan kontruksi te/deiru menimbulkan
makna yang ambigu, seperti contoh kalimat (4-5) di atas. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas dalam mengkalsifikasikan verba BJ tentu tidak cukup apabila
hanya memakai kontruksi te/deiru. Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini
pengklasifikasian verba BJ dilakukan berdasrkan analisis te/deiru dan juga analisis
komponen semantis. Setelah verba BJ diklasifikasikan, selanjutnya dianalisis peran
semantis argumen-argumen yang diperlukannya dalam membangun sebuah proposisi
atau kalimat.
Verba bahasa Jepang sebagai inti proposisi secara semantis membutuhkan
nomina sebagai argumen yang diberi peran khusus dalam membangun klausa yang
berterima. Hubungan verba sebagai inti proposisi dengan argumen dapat dijelaskan,
seperti contoh kalimat berikut:
6. 洗濯物 が 乾きました。
Sentakumono ga kawakimashita.
cucian Part mengering
„Cucian itu mengering‟.
7.田中さん は 木村さん を なぐった。
Tanakas-an wa Kimura-san wo nagutta.
Tanaka Part Kimura Part memukul
„Tanaka memukul Kimura‟.
8. 富士山 が 聳えている。
Fujisan ga sobiete imasu.
gunung Puji Part menjulang tinggi
„Gunung Fuji itu menjulang tinggi‟.
9
Verba kawakimashita „mengering‟ pada kalimat (6) secara semantis memiliki
satu argumen inti, yaitu sentakumono yang berperan sebagai entitas yang mengalami
perubahan dari suatu keadaan tertentu menjadi keadaan yang lain. sentakumono
„cucian‟ memiliki ciri benda, ciri basah, dan ciri kering. Verba kawakimashita pada
kalimat (6) di atas, memiliki ciri makna proses, yaitu dari sesuatu benda yang basah
menjadi sesuatu benda yang kering. Proses perubahan keadaan yang dialami nomina
secara implisit ada yang menjadi efektor yaitu, matahari dan angin, tetapi tidak
dinyatakan dalam struktur lahir. Verba kawakimashita pada kalimat (6) tersebut,
termasuk verba intransitif dalam bahasa Jepang. Verba intransitif dalam bahasa
Jepang selalu ditandai dengan kehadiran partikel ‟ga‟. Secara sintaktis partikel ‟ga‟
berfungsi sebagai pemarkah verba intransitif dalam struktur lahir klausa. Berdasarkan
ciri-ciri semantisnya, verba kawakimashita termasuk verba proses dengan ciri kasus
object (O).
Verba nagutta „memukul‟ pada kalimat (7) secara semantis memiliki dua
argumen inti, yaitu Tanaka yang berperan sebagai kasus agen (A) dan Kimura
berperan sebagai kasus objek (O), yang menjadi sasaran/terkena pengaruh dari suatu
tindakan pemukulan. Supaya bersesuaian dengan makna verba nagutta „memukul‟,
maka diperlukan dua argumen inti, yaitu Tanaka dan Kimura yang memiliki ciri
makna manusia, hal ini disebabkan karena verba nagutta „memukul‟ memerlukan
argumen yang berciri mahluk hidup dan bergerak yaitu manusia. Argumen Tanaka
berciri makna manusia yang memiliki peran sebagai pelaku/agen, sedangkan Kimura
berciri makna manusia yang berperan sebagai kasus objek atau yang terkena
10
pengaruh dari suatu aksi/perbuatan. Kasus Agent pada kalimat di atas ditandai dengan
partikel „wa‟, sedangkan kasus Object ditandai dengan partikel „wo‟. Secara sintaktis
verba tindakan aktif selalu ditandai dengan partikel „wo‟ yang diletakkan sebelum
kasus Object. Berdasarkan ciri semantisnya, verba nagutta „memukul‟ pada kalimat
(7) termasuk verba aksi dengan ciri kasus Agent-Object (A, O).
Verba sobiete imasu pada kalimat (8) mengikat satu argumen inti, yaitu
Fujisan „gunung Fuji‟. Argumen Fujisan „gunung Fuji‟ mengisyaratkan makna
bahwa entitas berada dalam suatu keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba
Sobiete imasu ‟tinggi menjulang‟. Verba sobiete imasu pada kalimat (8) di atas adalah
verba keadaan, sedangkan Fujisan „gunung Fuji‟ adalah entitas yang berada dalam
kondisi atau keadaan itu. Keadaan yang terjadi berlangsung secara alamiah atau
keadaan yang ada disebabkan oleh faktor alam. Partikel „ga‟ berfungsi sebagai
penanda dari verba intransitif. Partikel disisipkan dalam struktur lahir klausa untuk
memenuhi konstruksi gramatikal. Verba sobiete imasu pada kalimat (8) adalah verba
statif dan memiliki ciri kasus objek-statif (Os).
Verba merupakan salah satu kelas leksikon utama dalam bahasa (Givon, 1984:
51; Frawley, 1992: 145). Lebih lanjut, Frawley (1992: 140,142) mengatakan bahwa
verba merupakan perwujudan dari kejadian/peristiwa atau dapat dikatakan bahwa
kategori verba dimotivasi secara semantis dari peristiwa. Sebagai peristiwa, verba
mengimplikasikan perubahan yang terjadi dalam waktu dan ruang. Pengklasifikasian
verba berdasarkan atas peristiwa dan ciri-ciri semantisnya dilakukan oleh beberapa
ahli, seperti, Chafe (1970), Comrie (1981), dan Frawely (1992). Frawley (1992: 140)
11
mengklasifikasikan verba menjadi tindakan (action), keadaan (state), sebab (cause),
dan gerakan (motion). Comrie (1981: 13) mengklasifikasikan verba menjadi keadaan,
peristiwa, dan proses. Sementara itu, Chafe (1970: 98-100) mengklasifikasikan verba
menjadi empat, yaitu keadaan, proses, aksi, dan aksi-proses. Cook memodifikasi
pendapat Chafe tersebut dengan menghilangkan verba aksi-proses karena Cook
perpendapat bahwa tiap verba aksi memerlukan agen dan objek yang dikenai
pengaruh, dan entitas yang dikenai pengaruh aksi tersebut dengan sendirinya akan
mengalami suatu proses. Oleh karena itu, Cook mengklasifikasikan tipe semantis
verba menjadi tiga tipe, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi.
Chafe (1970) mengatakan bahwa verba sebagai inti proposisi menentukan
nomina atau frasa nominal yang harus hadir menemani verba. Verba juga
menentukan peran semantis nomina/frasa nominal dan fitur-fitur semantis nomina
yang harus hadir menemani verba dalam membangun proposisi. Lebih lanjut, Chafe
menjelaskan bahwa struktur semantis didasarkan atas serangkaian hubungan antara
verba sebagai inti dan nomina yang diikatnya memiliki hubungan semantis khusus
dengan verba yang mengikatnya. Struktur semantis dapat dilihat melalui kerangka
kasus dalam Tata Bahasa Kasus, sedangkan kasus adalah peran semantis argumen
verba. Struktur semantis verba baru bisa dirumuskan apabila dipahami peran
semantisnya. Dalam menganalisis peran semantis yang perlu diperhatikan adalah ciri-
ciri verbanya dan hubungan semantis antara verba sebagai predikat dan argumen-
argumen yang diikat oleh verba tersebut.
12
Suatu kata dalam konteks kalimat memiliki peran semantis tertentu, seperti
pada kalimat berikut.
9.森田さん は 岡さん を 待っています。
Moritasan wa okasan w o matte imasu.
Morita Part istri Part menunggu
„Morita menunggu istrinya‟.
10.泥簿 が 逃げます。
Dorobo ga nigemasu.
pencuri Part lari
„Pencuri itu lari‟.
11.強盗 が 死んだ。
Gôtô ga shinda.
perampok Part mati
„Perampok itu mati‟.
12.島村さん は 交通事故 を 見ました。
Shimamurasan wa koutsūjiko wo mimashita.
Shimamura Part kecelakaan lalu lintas Part melihat
„Shimamura melihat kecelakaan lalu lintas itu‟.
Dari segi peran semantisnya, Moritasan pada kalimat (9) adalah pelaku
(agent), yakni orang yang melakukan perbuatan menunggui, sedangkan istrinya
adalah sasaran (Object), yakni yang terkena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Pencuri pada kalimat (10) adalah pelaku yang melakukan perbuatan lari. Akan tetapi,
perampok pada kalimat (11) bukan sebagai pelaku karena mati bukanlah perbuatan
yang dilakukan, melainkan peristiwa yang terjadi padanya. Oleh karena itu, meskipun
wujud sintaktisnya mirip dengan kalimat (10), perampok itu pada kalimat (11) adalah
13
sasaran (Object). Pada kalimat (12), Shimamurasan bukan sebagai pelaku (agent)
ataupun sasaran (object). Ada suatu peristiwa, yakni kecelakaan lalu lintas, dan
peristiwa itu menjadi rangsangan yang kemudian masuk ke benak Shimamura. Jadi,
secara psikologis Shimamura di sini mengalami peristiwa tersebut. Oleh karena itu,
peran semantis Shimamura adalah pengalami.
Dalam bahasa Jepang peran agen, pengalami, penerima, objek, dan lokatif
merupakan kasus bertanda (marked), masing-masing ditandai dengan partikel „ga‟,
„wo, dan „ni‟. Partikel „ga‟ (agen/verba intransitif), „wo‟ (pengalam/objek/verba
transitif), dan „wa‟ (agen/topik), „ni‟ (penerima/benefaktif, datif). Partikel digunakan
sebagai penanda kasus dan dibutuhkan untuk memenuhi fungsi gramatikal. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa partikel merupakan peran semantis gramatikal.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dipahami
bahwa setiap verba memerikan suatu peristiwa, proses, aksi atau keadaan yang
melibatkan satu partisipan atau lebih, dengan peran semantis yang berbeda-beda
dalam sebuah proposisi. Partisipan itu dinyatakan dengan nomina atau frasa nominal
yang memiliki peran tertentu dalam membentuk makna untuk menjadi sebuah kalimat
yang berterima. Untuk mengungkapkan peran-peran tersebut, dibutuhkan suatu
penelitian ilmiah dengan konsep teoretis yang bersifat universal. Melalui konsep
teoretis Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) yang dikembangkan oleh Cook (1979),
hubungan antara verba sebagai inti proposisi dengan partisipan-partisipan yang
diperlukan oleh verba untuk membangun sebuah proposisi dapat dijelaskan.
14
Ada beberapa pertimbangan lain yang dijadikan dasar dalam kajian ini, yaitu
(1) bahasa Jepang banyak digunakan oleh orang Indonesia pada berbagai bidang
kehidupan, seperti di lembaga pendidikan, pariwisata, dan pemerintahan; (2) semakin
banyaknya wisatawan Jepang yang datang ke Indonesia, khususnya Bali, telah ikut
meningkatkan minat orang bali belajar bahasa Jepang sehingga Bahasa Jepang
dijadikan salah satu bahasa asing yang dimasukan dalam kurikulum inti sebagai mata
pelajaran untuk tingkat SMU, dan menjadi mata kuliah jurusan di tingkat Universitas
di Indonesia; (3) penelitian tentang verba bahasa Jepang masih kurang, sedangkan
kebutuhan terhadap sumber-sumber informasi keilmuan semakin meningkat; (4)
buku-buku, tulisan-tulisan atau sumber lain masih terbatas, kalaupun ada biasanya
hanya memberikan deskripsi secara sepintas sehingga diperlukan kajian yang lebih
mendalam; dan (5) penelitian tentang peran semantis verba bahasa Jepang tentu
banyak memberi manfaat dalam memahami makna-makna verba bahasa Jepang serta
pembuatan daftar kosakata verba dengan disertai klasifikasi berdasarkan cirri-ciri
semantiknya. Selain itu, penelitian ini sangat penting dilakukan untuk bahan masukan
dan bahan pelengkap dalam rangka penyususnan bahan ajar khususnya untuk jurusan
sastra Jepang.
15
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah klasifikasi verba dalam bahasa Jepang ditinjau dari ciri-ciri
semantisnya?
2) Peran semantis argumen apa sajakah yang terdapat pada verba bahasa Jepang?
3) Kasus-kasus argumen apa sajakah yang terdapat pada verba bahasa Jepang?
1. 3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini memiliki
dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
positif terhadap ilmu linguistik, khususnya bagi yang ingin mendapatkan informasi
tentang makna-makna verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri semantisnya. Di
samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah terutama dalam bidang kajian semantik.
16
1.3.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) mendeskripsikan, mengklasifikasikan, dan menganalisis verba bahasa Jepang
berdasarkan ciri-ciri semantisnya;
2) menganalisis verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri dan peran semantis
argumenya;
3) mendeskripsikan, dan menganalisis kasus-kasus argumen yang terdapat pada verba
bahasa Jepang.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun
praktis. Kedua manfaat yang diharapkan tersebut diuraikan di bawah ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan salah satu
sumber informasi teoretis di bidang linguistik khususnya kajian semantik. Untuk
pengajar bahasa Jepang, hasil penelitian ini memberi manfaat berupa pengetahuan
teoretis dalam mempelajari makna-makna verba bahasa Jepang. Masih minimnya
buku-buku atau hasil penelitian yang mendeskripsikan secara rinci dan jelas tentang
makna-makna verba bahasa Jepang sehingga hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat untuk penyediaan bahan ajar dan masukan terutama bagi penulis dan
17
pembelajar bahasa Jepang yang lain. Secara umum hasil penelitian ini juga
bermanfaat untuk dijadikan acuan teoretis untuk menganalisis makna-makna verba
suatu bahasa atau bahasa yang sedang dipelajari.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini akan memudahkan dalam memilih dan
menggunakan verba dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi dalam
sebuah kalimat. Dalam bahasa Jepang banyak terdapat verba yang memiliki makna
yang mirip sehingga orang asing yang mempelajari bahasa Jepang sangat sulit
menggunakan verba secara tepat dan benar apabila tidak memiliki pengetahuan yang
baik terhadap makna-makna verba tersebut. Hasil penelitian ini merupakan
dokumentasi ilmiah yang dapat dimanfaatkan oleh pengajar sebagai bahan ajar
tambahan dan dijadikan buku pelajaran bagi pelajar yang mempelajari bahasa Jepang.
Dalam penelitian ini dijelaskan secara rinci tentang klasifikasi dan peran semantis
argumen verba bahasa Jepang. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan membantu
serta meberi kemudahan para pengajar ataupun pembelajar bahasa Jepang dalam
memahami makna-makna setiap verba tersebut.
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada sub-bab kajian pustaka ditinjau beberapa hasil penelitian yang terkait
dan dijadikan acuan dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Budiasa (2002) adalah tentang struktur
semantis verba dengan makna „menyakiti‟ dalam bahasa Bali. Dalam tesisnya
Budiasa menjelaskan bahwa dari sudut pandang klasifikasi semantis, verba bahasa
Bali dapat dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu verba keadaan, verba proses, dan verba
tindakan. Klasifikasi ini didasarkan atas dua konsep, yakni (1) konsep verba bahasa
Bali sebagai peristiwa, dan (2) konsep kategori gramatikal yang terkait dengan
properti temporal. Atas dasar klasifikasi ini, verba yang bermakna „menyakiti‟ dalam
bahasa Bali tergolong ke dalam jenis verba tindakan.
Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori Metabahasa
Semantik Alami (MSA) yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1996). Teori ini
digunakan untuk menentukan makna asali dan struktur semantis verba menyakiti
dalam bahasa Bali. Untuk menentukan peran semantisnya digunakan teori Foley dan
Van Valin (1984). Berdasarkan analisis yang dilakukan ditemukan bahwa verba yang
bermakna „menyakiti‟ dalam bahasa Bali memiliki dua tipe makna asali, yaitu tipe
19
Melakukan dan Mengatakan. Dalam struktur sintaktis MSA, tipe Melakukan berpola
“X melakukan sesuatu terhadap Y, dan sesuatu dirasakan oleh Y atau terjadi pada Y”.
Sementara itu, tipe Mengatakan memiliki pola sintaktis MSA “X mengatakan sesuatu
pada Y dan sesuatu dirasakan oleh Y”.
Peran semantis verba yang bermakna Menyakiti dalam bahasa Bali secara
umum adalah pelaku sebagai agen dan penderita sebagai pasien. Sementara itu, untuk
verba tipe Mengatakan memiliki peran semantis penderita yang sama dengan lokatif.
Objek kajian tesis Budiasa sangat terbatas, hanya terorfokus pada struktur dan
peran semantis verba dengan makna Menyakiti dengan menggunakan objek bahasa
dan kerangka teori yang berbeda dengan kajian ini. Walaupun penelitian yang
dilakukan oleh Budiasa secara khusus tidak terkait dengan penelitian ini, secara
umum penelitiannya dapat dimanfaatkan karena sama-sama membahas tentang peran
semantis verba.
Utami (2000) mengkaji tentang peran semantis verba bahasa Bali. Penelitian
yang dilakukan oleh Utami menunjukkan bahwa kedua belas tipe semantis verba
beserta kerangka kasus sesuai dengan teori TBK Cook (1979) dapat diterapkan dalam
bahasa Bali. Dari kedua belas tipe semantis itu, ditemukan peran kasus tak teraga
(covert) atau kasus non-inti dan peran kasus teraga (overt) atau kasus inti.
Verba statif bahasa Bali memiliki peran sebagai objek dengan kombinasi
verba tambahan, yaitu verba pengalam statif, verba benefaktif statif, dan verba lokatif
statif yang masing-masing berperan sebagai pengalami-objek, benefaktif-objek, dan
objek-lokatif. Peran semantis verba proses adalah sebagai objek dengan kombinasi
20
verba tambahan, yaitu verba pengalam proses, verba benefaktif proses, dan verba
lokatif proses. Verba proses memiliki peran semantis pengalami-objek, benefaktif-
objek, dan objek-lokatif. Sementara itu, verba aksi memiliki peran agen-objek dengan
kombinasi verba tambahan, yaitu verba pengalam aksi, verba benefaktif aksi, dan
verba lokatif aksi. Verba aksi memiliki peran agen-pengalami-objek, agen-benefaktif-
objek, dan agen-objek-lokatif.
Dalam tesisnya Utami membahas struktur dan peran semantis verba bahasa
Bali, sedangkan penelitian ini terfokus untuk mengklasifikasi dan menganalisis peran
semantis argumen verba bahasa Jepang. Dalam menganalisis peran semantis dari
masing-masing verba, Utami hanya berpegangan pada kerangka kasus. Sementara itu,
dalam penelitian ini mengklasifikasikan verba bahasa Jepang berdasarkan komponen
semantisnya setah itu dianalisis peran semantisnya. Walaupun demikian, penelitian
Utami tersebut bermanfaat bagi penelitian ini sehingga dapat dijadikan sebagai
perbandingan terutama dalam penerapan teori TBK.
Juli (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Peran Semantis Argumen
Verba Bahasa Sabu”. Teori yang digunakan adalah Teori Tata Bahasa Kasus, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa: peran semantis verba BS dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu 1) peran semantis argumen verba statif yang meliputi (a) peran
semantis argumen verba statif dasar, (b) peran semantis argumen verba statif
experiencer, (c) peran semantis argumen verba statif benefaktif, dan (d) peran
semantis argumen verba statif lokatif; 2) peran semantis argumen verba proses yang
meliputi (a) peran semantis argumen verba proses dasar, (b) peran semantis argumen
21
verba proses experiencer, (c) peran semantis argumen verba proses benefaktif, dan (d)
peran semantis argumen verba proses lokatif; 3) peran semantis argumen verba
tindakan meliputi (a) peran semantis argumen verba tindakan dasar, (b) peran
semantis argumen verba tindakan experiencer, (c) peran semantis argumen verba
tindakan benefaktif, (d) peran semantis argumen verba tindakan lokatif. Selain itu
ditemukan juga kasus-kasus argumen dan ciri-ciri kasus-kasus argumen yang terdapat
dalam verba bahasa Sabu.
Hasil penelitian Juli sangat bermanfaat untuk penelitian yang penulis lakukan
karena sama-sama membahas masalah peran semantis argumen verba dengan
menggunakan teori Tata Bahasa Kasus. Sementara itu, perbedaan antara penelitian
Juli dengan penelitian yang penulis lakukan terletak pada pengklasifikasian tipe
semantis verbanya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Juli, pengklasifikasian tipe
semantis verba bahasa Sabu dilakukan hanya berdasarkan konsep teori Tata Bahasa
Kasus sedangkan dalam penelitian ini penulis mengklasifikasikan tipe semantis verba
bahasa Jepang berdasarkan parameter Hopper dan Thompson (1980) yang dikenal
dengan parameter ketransitifan dan dikaitkan dengan konsep te/de iru dalam bahasa
Jepang.
Mulyadi (1998), meneliti struktur semantis verba bahasa Indonesia. Teori
yang digunakan dalam penelitian Mulyadi adalah teori Makna Alamiah Metabahasa.
Aspek makna yang dikaji adalah klasifikasi, ketransitifan, peran, „makna asali‟, dan
struktur. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, verba bahasa Indonesia dapat
digolongkan atas keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas
22
kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi; verba proses mempunyai kelas kejadian,
proses badaniah, dan gerakan (bukan agentif); verba tindakan memiliki kelas gerakan
(agentif), ujaran, dan perpindahan. Berdasarkan analaisis peran semantisnya, verba
keadaan pada umumnya memiliki peran lokatif dan lokatif-tema. Pada verba proses,
penderita diderivasi menjadi menjadi pasien dan tema. Relasi semantis verba tindakan
ialah agen-lokatif, agen-tema, dan agen-pasien.
Walaupun penelitian Mulyadi menggunakan teori yang berbeda dengan
penelitian ini tetapi penelitian Mulyadi dapat dimanfaatkan terutama cara menentukan
keanggotaan setiap verba. Analisis yang dilakukan Mulyadi dalam menentukan
keanggotaan setiap verba cukup tajam dan jelas sehingga cara analisisnya bermanfaat
apabila dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Masreng (2003) dalam tesisnya mengkaji tentang struktur dan peran semantis
verba dengan makna „emosi‟ dalam bahasa Kei. Teori yang digunakan untuk
mengungkapkan karakteristik semantik alamiah bahasa Key adalah teori Metabahasa
Semantik Alami (NSM) yang diperkenalkan oleh Wierzbicka (1996) dengan teknik
analisis parafrase. Teori lain yang digunakan adalah teori Peran Umum (Foley dan
Van Valin, 1984 dan La Pola, 1997), dan teori Peranti Emotif oleh Ullmann (1977).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Masreng menunjukkan bahwa verba
emosi bahasa Key memiliki tiga ciri, yaitu yang berbentuk ilokusi, peranti leksikal,
dan idiomatik. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, verba dengan makna emosi
diklasifikasikan menjadi empat domain makna. Keempat domain makna tersebut,
yakni verba ilokusi oral, verba emosi rasa fisik, rasa psikis, dan rasa lainnya. Di
23
samping itu, struktur semantis verba emosi memperhatikan kaidah makna bersistem.
Artinya, dari makna sederhana menuju ke makna kompleks. Misalnya, suk „suka‟,
mayun sangat suka‟, dan ahel „sangat suka/sangat menginginkan‟. Sistem ini berbeda
dengan peran semantis verba dengan makna emosi dalam konstruksi klausa. Verba-
verba tindak ilokusi oral bergeser dari peran agen ke lokatif dan dari pasien ke tema.
Di lain pihak, verba-verba keadaan yang bermakna emosi memiliki ciri peran
undergoer dalam struktur logisnya. Misalnya, babuax dalam Ya ya-babuax „saya
takut‟ [undergoer], dan I ni mashun „dia bersedih‟ [undergoer].
Kajian yang dilakukan oleh Masreng berfokus pada struktur dan peran
semantis verba dengan makna „emosi‟ saja, dan tidak membahas makna verba secara
keseluruhan. Oleh karena itu, kajian Masreng belum menggambarkan perilaku verba
secara keseluruhan, tetapi penelitiannya memberi kontribusi dalam proses analisis
data penelitian ini.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun maksud
dijelaskannya konsep tersebut adalah untuk menyamakan persepsi terhadap kata-kata
kunci yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah: (1)
klasifikasi semantis, (2) peran semantis, (3) argumen verba, (4) verba statif (5) verba
proses, (6) verba aksi, dan (7) proposisi.
24
2.2.1 Klasifikasi Semantis
Klasifikasi semantis dalam penelitian ini adalah penggolongan/penjenisan;
pembagian verba berdasarkan ciri-ciri semantisnya, yaitu verba Statif, verba Proses,
dan verba Aksi.
2.2.2 Peran Semantis
Peran semantis adalah hubungan antara predikator dan sebuah nomina dalam
proposisi. Hubungan antara predikator dan nomina terjalin dalam hubungan yang
saling membutuhkan. Verba sebagai inti proposisi mengendalikan sejumlah argumen
dalam struktur logis. Argumen dibutuhkan untuk membangun kalimat atau klausa
yang berterima (Kridalaksana, 1983: 17). Peran argumen, seperti agen, pasien, dan
lain-lainnya sesungguhnya adalah peran semantis verba karena peran argumen
tersebut ditentukan oleh hubungan antara predikat (verba) dan argumen-argumennya
(Foley dan Van Valin, 1984: 27).
2.2.3 Argumen Verba
Argumen adalah partisipan/nomina yang dibutuhkan oleh predikat untuk
membentuk suatu proposisi yang menyatakan kejadian atau keadaan tertentu. Dengan
demikin, dapat dipahami bahwa verba di sini sama dengan predikat, sedangkan
nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Argumen sebenarnya
sama dengan Kasus hanya istilah Argumen dalam teori Tata Bahasa Kasus (TBK) ini
25
diberi label Kasus. Oleh karena itu, untuk menyamakan persepsi maka pengertian
kasus dalam penelitian ini dimaknai sebagai Argumen.
2.2.4 Verba Statif
Verba Statif mempunyai ciri semantis keadaan. Verba statif menyatakan
suatu entitas yang berada dalam keadaan atau kondisis tertentu Cook (1979: 135).
Subjek dalam kalimat yang menggunakan verba statif berupa nomina umum yang
berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba tersebut. Verba statif
mempunyai ciri semantik statif/stabil atau tidak dinamis [ - dinamis] karena peristiwa
yang diekspresikan pada umumnya tidak menerima bentuk progresif [ - progresif].
Tidak menerima bentuk progresif dalam arti bahwa peristiwa yang digambarkan
mengekspresikan keadaan yang sudah ada. Ciri yang lain adalah verba statif tidak
bisa digunakan dalam kalimat perintah [ - imperatif]. Verba statif mengharuskan
hadirnya satu kasus objek dalam struktur logisnya. Objek yang dimaksud adalah
entitas yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi. Verba statif memiliki
komponen semantis [ - sengaja] dan [ - kinesis] karena peristiwa yang digambarkan
tidak disengaja oleh subjek. Atau dengan kata lain, subjeknya tidak membentuk atau
tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhi oleh verbanya. Untuk lebih jelasnya,
di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat dalam Bahasa Jepang.
26
2.2.5 Verba Proses
Verba proses mempunyai ciri semantis proses. Verba proses mendeskripsikan
entitas yang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi (Cook, 1979: 135)
menyatakan bahwa verba proses menggambarkan perubahan entitas dari suatu
keadaan menjadi keadaan lain. Verba proses menunjukkan kedinamisan [ + dinamis]
dan mengijinkan dipakainya bentuk progresif [ + progresif]. Verba proses memiliki
komponen semantis [ - sengaja] dan [ - kinesis]. Verba proses memiliki makna bahwa
tidak ada kesengajaan atau tidak ada transfer tindakan dari partisipan yang satu ke
partisipan yang lainnya. Peristiwa yang terjadi tidak dipengaruhi atau dikontrol oleh
subjek, tetapi subjek yang terkena pengaruh dari peristiwa yang dinyatakan oleh
verba yang terdapat pada kalimat tersebut. Verba proses tidak dapat dipakai dalam
kalimat perintah [ - imperatif], tetapi dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan ”Apa
yang terjadi pada N”? (N adalah suatu entiti), Chafe (1970:100). Verba proses
mengharuskan hadirnya satu kasus objek dalam struktur semantisnya. Verba proses
menunjukkan perubahan kondisi objek, yaitu perubahan suatu entitas dari suatu
keadaan menjadi keadaan yang lain. Dalam struktur logisnya verba proses memiliki
minimal satu argumen inti dan maksimal memiliki dua argumen inti.
2.2.6 Verba Aksi
Verba aksi adalah verba yang mempunyai ciri semantis tindakan dan
perbuatan. Ciri-cirinya adalah verba aksi dapat dipakai dalam kalimat perintah [ +
imperatif] dan dapat digunakan dengan aspek progresif, Cook (1979: 135).
27
Selanjutnya, Cook menyatakan bahwa verba aksi mengharuskan hadirnya kasus agen
dan kasus objek dalam struktur semantisnya. Kasus agen menunjukkan pelaku suatu
aksi dan kasus objek menunjukkan entitas yang terkena pengaruh suatu aksi atau
merupakan hasil dari suatu aksi. Kasus agen biasanya berwujud mahluk hidup,
sedangkan kasus objek yang dimaksud di sini adalah entitas yang terkena pengaruh
suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi. Verba aksi mempunyai komponen
semantik tindakan yang bersifat dinamis [ + dinamis]. Verba aksi juga memiliki
komponen semantik [ + sengaja] dan [-/+kinesis] dalam artian argumen agenlah yang
mengendalikan, membentuk, dan mempengaruhi situasi yang dinyatakan oleh
verbanya. Komponen semantis verba aksi juga menunjukkan adanya perubahan pada
suatu entitas yang berlangsung pada waktu tertentu; adanya transfer aksi/perbuatan
dari satu partisipan ke partisipan yang lain, tetapi tidak selalu, dan peristiwa yang
terjadi sengaja dilakukan oleh pelaku/agen.
2.2.7 Proposisi
Proposisi adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan hubungan struktur
semantik dengan struktur logika sebagai ikatan tidak berkala antara predikat dan
seperangkat argumen. Dengan kata lain, proposisi menjelaskan hubungan antara
verba dengan argumen yang dikehendaki oleh tipe verba yang bersangkutan (Lakoff,
dkk. dalam Chaer, 1994: 369).
Tampubolon (1987: 11) dan Margono (1981: 5) menjelaskan bahwa kasus
proposisi ada dua macam, yaitu (1) kasus proposisi inti, dan (2) kasus proposisi non-
28
inti atau kasus modalitas. Kasus proposisi inti adalah kasus yang ditentukan oleh
verba atau terikat pada verba. Kasus proposisi inti meliputi: agen (pelaku), pengalami,
pemilik atau yang mengalami kehilangan, objek, lokatif. Kasus modalitas atau kasus
non-inti adalah kasus yang tidak ditentukan oleh verba. Kasus non-inti, meliputi:
waktu, cara, alat, sebab, maksud, akibat, pemilik luar, dan lokasi luar.
2.3 Landasan Teori
Teori yang dipakai sebagai landasan untuk memecahkan permasalahan
penelitian ini dapat dijelaskan di bawah ini.
2.3.1 Komponen Semantis (Ketransitifan)
Komponen semantis adalah perangkat makna yang terdapat dalam sebuah
butir leksikon. Konsep komponen semantis dipahami dalam pengertian yang sama
dengan properti semantis, fitur semantis, atau ciri semantis (Mulyadi, 1998: 25).
Setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-
sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut.
Hopper dan Thomson (1980: 252) memperkenalkan sepuluh komponen
semantis verba yang disebutnya parameter ketransitifan (parameter of transitivity).
Adapun sepuluh komponen verba tersebut adalah:
Tinggi Rendah
a. partisipan 2 atau lebih partisipan 1 partisipan A dan O
b. kinesis tindakan bukan tindakan
29
c. aspek (aspect) telis tak telis
d. kepungtualan pungtual (punctual) tak pungtual
e. kesengajaan sengaja (volitional) tak sengaja
f. afirmasi afirmatif negatif
g. modus realis tak realis
h. keagenan A tinggi potensinya A rendah potensinya
i. keterpengaruhan O terpengaruh total O tidak terpengaruh
j. kekhususan O sangat khusus O tidak khusus
Verba dalam suatu bahasa dapat dianalisis berdasarkan komponen semantis
yang terdapat didalamnya. Dari komponen semantis ini dapat ditemukan makna-
makna dasar atau unsur-unsur yang membentuk verba tersebut. Parameter yang
diterapkan untuk menentukan klasifikasi verba bahasa Jepang dalam penelitian ini
mengacu pada konsep komponen semantis yang dikemukakan oleh Hopper dan
Thomson (1980: 252). Komponen yang terdapat dalam tiap parameter di atas tidak
semua diterapkan dalam penelitian ini tetapi hanya empat parameter yang diterapkan
yaitu, parameter partisipan, kinesis, aspek dan kesengajaan.
2.3.2 Verba dan Klasifikasi Semantisnya
Verba adalah istilah yang digunakan dalam klasifikasi gramatikal tentang kata,
menunjukkan suatu kelas yang secara tradisisonal didefinisikan sebagai kata yang
menunjukkan gerak atau perbuatan/aksi, proses, atau keadaan yang bukan sifat atau
kualitas. Secara umum, verba mengandung makna leksikal atau makna dasar
30
perbuatan (aksi), proses atau keadaan yang bukan proses (Moeliono dkk., 1988: 76),
sedangkan secara gramatikal makna verba tersebut bergantung pada hubungannya
dengan unsur lain dalam satuan-satuan yang lebih besar.
Ciri semantis verba cenderung mengkode pengalaman, peristiwa, dan
tindakan. Verba dalam struktur semantis sebagai sentral dan nomina sebagai periferal
(Chafe, 1970: 96). Lebih lanjut, Chafe (1970: 101) mengemukakan bahwa ada empat
tipe verba dasar, yaitu verba statif, verba proses, verba aksi, dan verba aksi-proses.
Kemudian Cook memodifikasi pendapat Chafe tersebut dengan menghilangkan verba
aksi-proses karena Cook berpendapat bahwa tiap verba aksi dengan sendirinya
memerlukan agen dan objek yang dikenai pengaruh aksi dan entitas yang dikenai
pengaruh aksi tersebut mengalami proses. Oleh karena itu, Cook mengklasifikasikan
tipe semantis verba menjadi tiga, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi.
Fillmore (1971: 37) mengemukakan pengertian verba pada prinsip struktur
logika. Ini berarti bahwa semua kata yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat
diangap verba dalam struktur semantiknya. Ini berarti bahwa verba yang dimaksud
bukan hanya mencakup pengertian verba yang dikenal dalam struktur luar secara
tradisional, seperti makan, tidur, dan lain-lain, tetapi juga kata-kata sifat dan kata-kata
benda. Dengan kata lain, verba juga dihasilakan oleh proses penurunan semantik.
Chafe (1970: 122—132) mengatakan bahwa banyak verba dalam suatu bahasa
merupakan bentuk turunan, bentuk yang diderivasi dari adjektiva ataupun nomina.
Adjektiva adalah kata yang menerangkan keadaan suatu nomina atau menyipati
nomina itu. Dalam bahasa Indonesia sangat sulit untuk membedakan verba keadaan
31
dengan kategori adjektiva. Oleh karena itu banyak orang yang menyatukan kategori
ini dalam kelas yang sama. Tampubolon dalam Chaer (1989: 163) menyatakan bahwa
perbedaan yang hakiki antara verba keadaan dengan adjektiva adalah terletak pada
fungsinya dalam suatu konstruksi. Pada konstruksi predikatif adjektiva cenderung
berciri verba sedangkan pada konstruksi atributif berciri adjektiva. Misalnya
konstruksi meja baru dan meja itu baru. Pada konstruksi meja baru, leksem baru
adalah adjektiva sedangkan pada meja itu baru adalah konstruksi predikatif.
Dalam bahasa Jepang tidak sulit untuk membedakan antara verba dengan
adjektiva karena sangat jelas perbedaanya. Untuk membedakan kedua kelas kata
tersebut cukup dengan cara mengidentifikasi bentuk akhirannya saja. Ciri-ciri verba
bahasa Jepang berdasarkan bentuk akhirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu verba grup I/godan-doushi, grup II/ichidan-doushi, dan grup III/henkaku-doushi.
Verba grup I/godan-doushi disebut godan doushi karena mengalami perubahan pada
lima deretan bunyi. Cirinya yaitu verba yang berakhiran„u-tsu-ru-ku-gu-mu-nu-bu-su’,
misalnya: ka-u „membeli‟, ta-tsu „berdiri‟, u-ru „menjual‟, ka-ku „menulis‟, oyo-gu
„berenang‟, yo-mu „membaca‟, shi-nu „mati‟, aso-bu „bermain‟, hana-su „berbicara‟.
Verba grup II/ichidan-doushi disebut ichidan-doushi karena perubahannya terjadi
pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini, yaitu yang berakhiran „eru dan
iru‟, misalnya: mi-ru „melihat‟, oki-ru „bangun‟, ne-ru „tidur‟, tabe-ru „makan‟, dll.
Verba grup III/henkaku-doushi disebut henkaku-doushi karena perubahannya tidak
beraturan. Verba grup III hanya ada dua, yaitu suru „melakukan‟ dan kuru „datang‟.
Sedangkan adjektiva dalam bahasa Jepang hanya ada dua macam, yaitu I-keiyoushi
32
/adjektiva yang berakhiran (i) dan Na-keiyoushi/ adjektiva yang berakhiran (na)
adjektiva yang berakhiran (na). I-keiyoushi semuanya berakhiran dengan -i (setelah
bunyi ai, ii, ui dan oi), seperti: chiisai „kecil‟, atsui „panas‟, ookii „besar‟, omoi
„berat‟, dll. Sedangkan Na-keyoushi pada umumnya tidak diakhiri dengan bunyi (ai, ii,
ui dan oi), seperti: shinsetsu „ramah‟, shizuka „sepi‟, kirei „cantik‟, yuumei „terkenal‟.
Khusus untuk kata kirai „benci‟ dan kichigai „sinting‟ walaupun bentuknya adalah I-
keiyoushi tetapi kata ini masuk ke dalam kelompok Na-keiyoushi.
Cook (1979: 138) mengatakan bahwa verba keadaan tergolong verba ”paling
dasar” dibandingkan dengan verba proses dan verba aksi. Verba proses diderivasi dari
verba keadaan dengan derivasi inkoatif melalui operator (adds COME
ABOUT ) ”menjadi”, dan verba tindakan diderivasi dari verba proses dengan derivasi
kausatif melalui konektif (adds CAUSE) ”menyebabkan”. Struktur batin mendasar
dari entri leksikal ketiga tipe verba ini dapat dideskripsikan dalam predikat sederhana
seperti BE, COME ABOUT (c.a.), CAUSE.
State Process Action
be Adj Os c.a be Adj O cause c.a be Adj A O
(Cook, 1979: 138)
Makna kontras dari predikat ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
a. The window is broken. broken (adj) = BE broken (O)
O
b. The window broke. break (Vint) = COME ABOUT (BE broken (O))
O
33
c. Max broke the window. break (Vtr) = Cause (A, (COME ABOUT (BE broken
(O))).
Lebih jauh, Tampubolon (1979: 12) mengatakan penurunan semantik adalah
suatu proses semantik yang mengubah tipe kata kerja atau kata benda dasar tertentu
menjadi tipe lain. Dalam proses ini ciri atau ciri semantik tertentu ditambahkan pada
kata kerja atau kata benda dasar bersangkutan. Adapun proses penurunan semantik
yang dimaksud adalah: (1) verba keadaan dapat diubah menjadi verba proses dengan
menambahkan ciri [inkhoatif]; (2) verba proses dapat diubah menjadi verba aksi
dengan menambahkan ciri [kausatif]; (3) verba aksi dapat diubah menjadi verba
proses dengan menambah ciri [deaktivatif]; (4) verba proses dapat diubah menjadi
verba keadaan dengan menambahkan ciri [resulatif]. Urutan-urutan proses tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
inkhoatif kausatif
KK Keadaan KK Proses KK Aksi
resulatif deaktivatif
Penurunan semantik seperti ini juga terjadi dalam bahasa Jepang. Seperti yang terlihat
di bawah ini.
Bahasa Jepang Bahasa Indonesia
(1) Verba Keadaan : Ookii Besar
Verba Proses : Ooki + ku + naru (Ookikunaru) Menjadi besar
Verba Aksi : Ooki + ku + suru (Ookikusuru) Membesarkan
34
(2) Verba Keadaan : Ware Pecahan/Belahan
Verba Proses : Wareru Pecah/Belah
Verba Aksi : Waru Memecah/Membelah
Penurunan semantik dalam bahasa Jepang dapat dilakukan melalui proses
seperti inkhoatif, kausatif, deaktivatif, atau resulatif. Verba keadaan dapat diubah
menjadi verba proses dengan menambah ciri inkhoatif, verba proses dapat diubah
menjadi verba aksi dengan menambah ciri kausatif, verba aksi dapat diubah menjadi
verba proses dengan proses diaktivatif, dan verba proses dapat diubah menjadi verba
keadaan dengan menambah ciri resulatif.
2.3.3 Verba dalam Bahasa Jepang
Dooshi (verba) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, sama
dengan adjektiva-i dan adjektiva-na menjadi salah satu jenis yoogen „predikat‟. Kelas
kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu.
Dooshi dapat mengalami perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat
(Nomura, 1992: 158). Seperti contoh kalimat berikut (1) Amirusan wa Nihon e iku.
„Amir (akan) pergi ke Jepang‟, (2) Tsukue no ue ni rajio ga aru. „Di atas meja ada
radio‟, (3) Indonesia wa shigen ni tondeiru. „Indonesia kaya akan sumber alam‟. Kata
iku, aru, dan tomu (=tondeiru) pada kalimat di atas termasuk dooshi. Kata iku pada
kalimat (1) menyatakan aktivitas Amir yang akan pergi ke Jepang, kata aru pada
kalimat (2) menyatakan keberadaan (eksistensi) radio di atas meja, sedangkan kata
tomu (=tondeiru) pada kalimat (3) menyatakan keadaan negara Indonesia yang kaya
35
akan sumber alam. Kata-kata seperti itu dapat mengalami perubahan tergantung pada
konteks kalimatnya. Dooshi termasuk jiritsugo, dapat membentuk sebuah bunsetsu
walau tanpa bantuan kelas kata yang lain, dan dapat menjadi predikat bahkan dengan
sendirinya memiliki potensi untuk menjadi sebuah kalimat. Selain itu, verba juga
dapat menjadi keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat, dalam bentuk
kamus selalu diakhiri vokal /u/, dan memiliki bentuk perintah.
Shimizu (2000: 45), mengemukakan tiga jenis dooshi, sebagai berikut (1)
Jidooshi (iku „pergi‟, kuru „datang‟, okiru „bangun‟, neru „tidur‟, shimaru „tertutup‟,
deru „keluar‟ nagareru „mengalir‟, dan sebagainya). Kata-kata ini menunjukkan
kelompok dooshi yang tidak berarti mepengaruhi pihak lain. (2) Tadooshi (okosu
„membangunkan‟, nekasu „menidurkan‟, shimeru „menutup‟, dasu „mengeluarkan‟,
nagasu „mengalirkan‟, dan sebagainya). Kata-kata ini menunjukkan kelompok dooshi
yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain. (3) Shodooshi (mieru „terlihat‟,
kikoeru „terdengar‟, iru „perlu‟, niau „sesuai‟, ikeru „dapat pergi‟, kikeru, dan
sebagainya). Dooshi ini merupakan kelompok dooshi yang memasukkan
pertimbangan pembicara, maka tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif.
Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyoogen). Di
antara kata-kata yang termasuk kelompok ini, kelompok dooshi yang memiliki makna
potensial seperti ikeru dan kikeru disebut kanoo dooshi „verba potensial‟.
36
Muraki (1996:16) mengemukakan mengenai fungsi verba sebagai berikut:
日本語の動詞は、文の中で、文の末尾におかれて述語として文をしめ
くくったり(終止用法)、文の途中で述語としてのはたらきを演じると同時
に、さらに他の述語につながっていったり(中止あるいは連用用法)、後続
の名詞を修飾限定したり「連体用法」という多機能をあらわしわけるために、
また、肯定か否定か、断定か推量か、過去か現在・未来かといったさまざま
な述べ方をあらわしわけるために、複雑な形を発達させているわけである。
Nihongo no joshi wa, bun no nakade, bun no matsubi ni okarete jutsugo to
shite bun wo shimekukuttari (shuushoohoo), bun no tochuu de jutsugo to shite no
hataraki wo enjiru to douji ni, sara ni ta no jutsugo ni tsunagatte ittari (chuushi arui
wa renyouyoohoo), kouzoku no namae wo shuushoku gentei shitari “rentaiyoohoo” to
iu takinou wo arawashi wakeru tame ni, mata, koutei ka, hitei ka, dantei ka, suiryou
ka, kako ka, genzai/mirai ka to itta samazama na nobete kata wo arawashi wakeru
tame ni, fukuzatsu na katachi wo hattatsu sasete iru wake de aru.
Verba dalam bahasa Jepang di dalam kalimat diletakkan di akhir kalimat,
dapat berfungsi sebagai predikat di akhir kalimat, atau sebagai predikat di tengah
kalimat yang berhubungan dengan predikat lain di akhir kalimat, dan juga sebagai
pewatas nomina. Selain sebagai predikat, verba bahasa Jepang juga digunakan dalam
menyatakan, negasi, penegasan, dugaan, dan menyatakan kala, yaitu masa lampau,
masa kini, atau masa yang akan datang.
2.3.4 Teori Tata Bahasa Kasus
Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Cook (1979) ditulis dalam buku yang
berjudul Case Grammar: Development of the Matrix Model (1970-1978). TBK
pertama kali diperkenalkan oleh Fillmore (1968) dalam karangannya yang berjudul
The Case for Case yang dimuat dalam suntingan Bach dan Harms dengan judul
Universal in Linguistic Theory. Teori ini kemudian direvisi oleh Chafe (1970). Teori
kasus Cook (1979) merupakan perpaduan dan pengembangan dari TBK oleh Fillmore
(1966, 1968, 1970, 1971), dan TBK Chafe (1970).
37
2.3.4.1 Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Fillmore
Kasus proposisi adalah bagian dari kerangka kasus verba. Kasus yang terikat
oleh verba sentral dibagi menjadi dua kasus: yang penting untuk kerangka kasus dan
yang tidak penting. Kasus yang berhubungan secara langsung dengan kerangka kasus
disebut kasus proposisi. Kasus yang bukan bagian dari kerangka kasus disebut kasus
modal. Kasus modal selalu opsional terhadap struktur, sedangkan kasus proposisional
bersifat wajib atau opsional terhadap kerangka kasus. Fillmore (1969a: 366) membagi
kalimat menjadi dua unsur, yaitu unsur modalitas dan unsur proposisi. Unsur
modalitas meliputi: negasi, kala, modus, dan aspek. Sementara itu, unsur proposisi
terdiri dari sebuah verba sebagai inti proposisi yang disertai sejumlah nomina yang
berperan sebagai kasus Agent (A), Experiencer (E), Benefaktive (B), Object (O), dan
Locative (L). Hubungan antara verba dan argumen yang menyertainya merupakan
hubungan yang terjalin secara semantis, sedangkan hubungan antara verba dan unsur
modalitas terjalin secara gramatikal. Modalitas tidak mempengaruhi makna verba
sebagai inti proposisi, tetapi mempengaruhi makna verba secara gramatikal.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 Fillmore membagi kalimat atas (1)
modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi
yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Hal tersebut dapat
dilihat pada diagram 2.1 di bawah ini (dikutip dari Chaer: 1994: 371).
38
Kalimat
modalitas proposisi
negasi
kala verba argumen¹ argumen² argumen³
modus
aspek
Diagram 2.1: Model struktur logis kalimat
Diagram di atas menunjukkan posisi modalitas dan proposisi dalam sebuah
kalimat. Bagan pada bagian sebelah kanan menunjukkan hubungan antara verba
sebagai pusat dengan kasus atau argumen yang diperlukan untuk membangun
proposisi. Sementara itu, pada bagian sebelah kiri diagram 2.2 menunjukkan unsur
modalitas yang bukan merupakan valensi verba.
Kalimat
modalitas proposisi
kala verba pelaku objek instrumen
lampau break John window hammer
Diagram 2.2: Model struktur dalam (deep structure) kalimat
39
Model struktur dalam (deep structure) kalimat direalisaikan dalam struktur
lahir (surface structure) kalimat. Sebagai contoh, “John broke the window with a
hammer” argumen John adalah kasus pelaku, argumen window adalah kasus objek,
dan argumen hammer adalah kasus instrumen (alat). Kalimat “John broke the window
with a hammer” merupakan realisasi dari perpaduan antara unsur modaliatas dan
proposisi. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba
dan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan
argumen dalam teori semantik generatif. Hanya saja argumen dalam teori ini diberi
label kasus.
2.3.4.2 Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Chafe
Dalam bukunya Chafe menjelaskan bahwa struktur semantis didasarkan atas
serangkaian hubungan antara verba sebagai inti (predikat) dan nomina yang diikatnya
memiliki hubungan semantis khusus dengan verba yang mengikatnya. Struktur
semantis dapat dilihat melalui kerangka kasus dalam Tata Bahasa Kasus, sedangkan
kasus adalah peran semantis argumen verba. Struktur semantis verba baru bisa
dirumuskan apabila dipahami peran semantisnya. Dalam menganalisis peran semantis
yang perlu diperhatikan adalah ciri-ciri verbanya dan hubungan semantis antara verba
sebagai predikat dan argumen-argumen yang diikat oleh verba tersebut. Chafe (1970:
163) mengemukakan adanya tujuh buah kasus, yakni Agent, Experiencer, Benefactive,
Patient, Complement, Locative, dan Instrument.
40
2.3.4.3 Teori Tata Bahasa Kasus (TBK) Cook
Dalam penelitian ini digunakan TBK Cook (1979), karena teori ini merupakan
perpaduan dan modifikasi dari TBK oleh Fillmore (1968), dan TBK oleh Chafe
(1970). Dari modifikasi yang dilakukan Cook hanya menggunakan lima kasus, yaitu
(1) Agent (A); (2) Experiencer (E); (3) Benefactive (B); (4) Object (O); dan (5)
Locative (L) (Cook 1979: 124-125).
Dalam sistem verba sebagai pusat dalam proposisi, kasus-kasus sebelumnya
ditentukan oleh fitur-fitur yang terdapat di dalam verba. Pengertian kasus dalam hal
ini tidak mutlak di dalam penggunaannya, tetapi dalam hubungannya dengan fitur-
fitur tersebut. Kerangka kasus proposisi dalam kerangka teori ini dapat ditentukan
sebagai berikut:
Agent: kasus yang diperlukan oleh verba aksi yang menunjukkan pelaku dari
aksi tersebut, dan kasus ini biasanya digunakan untuk makhluk hidup
(animate) tetapi tidak selalu.
Experiencer: kasus yang diperlukan oleh verba pengalam yang menunjuk pada
makhluk hidup yang mengalami gejala psikologis atau yang berkaitan
dengan perasaan, emosi, kognisi.
Benefactive: kasus yang menyatakan kepemilikan, mendapat atau menyatakan
kehilangan yang mengacu pada suatu objek.
Object: hal-hal yang menyatakan:
(a) kasus yang diperlukan oleh verba yang menyatakan keadaan objek
yang terdapat dalam suatu keadaan; atau
41
(b) kasus yang diperlukan oleh verba proses yang menyebabkan objek
pengalam akan mengubah keadaan;
(c) kasus yang diperlukan merupakan objek sebagai suatu pengalaman,
dan merupakan stimulus yang menyebabkan suatu keadaan;
(d) objek merupakan kasus yang menyatakan kepemilikan benda atau
benda yang telah ditransfer.
Locative: kasus yang diperlukan oleh verba lokatif yang menyatakan lokasi
dari suatu objek atau perubahan dari lokasi suatu objek (Cook,
1979: 52).
Cook menjelaskan bahwa predikat adalah verba dalam pengertian umum dan
argumen verba sangat diperlukan untuk menentukan kasus. Model ini disebut Model
Matriks Tata Bahasa Kasus. Selanjutnya, Cook mengatakan bahwa dalam
menganalisis kasus dalam bahasa harus berpedoman pada persyaratan berikut.
(a) Satuan informasi dalam wacana adalah klausa atau kalimat sederhana; dalam
satuan informasi ini verba adalah elemen yang sentral. Makna inti dari kalimat
tercantum pada makna verba.
(b) Yang terkait dalam verba adalah serangkaian peranan kasus, yang argumennya
dalam proposisi dicantumkan dalam predikat sentral. Peranan proposisi
berbeda dari peranan modal, yang tidak berhubungan dengan verba.
(c) Hasil dari konfigurasi kasus disusun dalam dua belas matrix sel. Setiap
konfigurasi semantik mempunyai sekurang-kurangnya satu peranan yang
42
dihubungkan dengan verba dan tidak ada konfigurasi lebih dari tiga yang
dihubungkan dengan peranan kasus (Cook, 1979: 124-125).
Cook menyatakan bahwa dari lima kasus proposisional (AEBOL) tersebut,
kemudian dapat disusun menjadi dua belas konfigurasi kerangka kasus dalam formasi
semantis yang ditampilkan dalam bentuk matriks, seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1: tipe verba menurut model matriks TBK (Cook, 1979: 135).
Tipe Verba Verba Dasar Experiencer Benefactive Locative
1. Statif Os E-Os B-Os Os-L
2. Proses O E-O B-O O-L
3. Aksi A-O A-E-O A-B-O A-O-L
Dalam tabel 2.1 di atas, Cook membagi verba menjadi tiga tipe utama verba
dasar, yaitu verba statif, verba proses, dan verba aksi. Selanjutnya hanya ada tiga tipe
tambahan verba dasar, yaitu verba Pengalami (experiencer), verba Benefaktif
(benefactive), dan verba Lokatif (locative). Jika dianggap bahwa setiap verba dasar
utama tersebut dapat bergabung dengan ketiga verba dasar tambahan karena kasus-
kasus yang bersangkutan harus hadir, maka akan terdapatlah dua belas tipe verba
secara keseluruhan. Adapun ciri-ciri kasus dari kedua belas tipe verba hasil dari
proses kombinasi tersebut, dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini.
43
1. Verba Statif
Verba Statif memiliki ciri kasus sebagai berikut:
1) The lounge bar was empty [Os].
Os
2) She likes the frenchman [E-Os].
E Os
3) I have a bunch of pennies [B-Os].
B Os
4) Her money was in the drawer [Os-L].
Os L
2. Verba proses
Verba Proses memiliki ciri kasus sebagai berikut:
1) Her baby died [O].
O
2) I heard about it [E-O].
E O
3) Katharine received her ticket [B-O].
B O
4) The car drove to down town [O-L].
O L
3. Verba Aksi
Verba aksi memiliki ciri kasus sebagai berikut:
1) His partner shook his head [A-O]
A O
2) The old man told the boy a story [A-E-O].
A E O
3) Captain Alfurd gave her a ring [A-B-O].
A B O
4) Claud put one big foot on the porch step [A-O-L].
A O L
44
Model analisis kerangka kasus ditulis dalam bentuk “+ [___ x-y-z]”, tempat
yang kosong menunjukkan posisi dari verba dalam struktur dasar, dan x-y-z adalah
argumen-argumen yang dihubungkan dengan verba sebagai sentral. Model analisis
dalam kerangka kasus dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut:
John gave the book to Mary.
A O B
GIVE, + [ ____ A-O-B]
Predikat “give” adalah bentuk abstrak dari kalimat tersebut dan terdaftar di
dalam argumen-argumen yang diberi nama sebagai Agent (A), Benefaktive (B), dan
Object (O) Lokative (L) (Cook, 1979: 149).
Tanda ( __ ) dalam kerangka kasus tersebut menandakan bahwa ada kata kerja
tertentu yang dapat dimasukkan dalam kerangka kasus bersangkutan. Tanda ( + )
menyatakan fitur semantik.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini mengkaji “klasifikasi dan peran semantis argumen verba bahasa
Jepang”. Sesuai dengan tahapan kerja dan strateginya, maka penelitian ini dimulai
dari tahap observasi data dari sumber-sumber tertulis yang telah ditentukan. Setelah
itu, data dikumpulkan dan diproses berdasarkan metode deskriptif kualitatif. Data
yang dimaksud adalah kalimat sederhana atau struktur proposisional. Dengan
demikian, kalimat-kalimat kompleks dipecah dan disederhanakan atas proposisi-
proposisi. Tahap selanjutnya adalah analisis data, teori yang digunakan sebagai
45
tuntunan untuk memecahkan permasalahan dan menganalisis data adalah TBK Cook
(1979). Adapun hal-hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah (1) klasifikasi
semantis verba bahasa Jepang; (2) peran semantis argumen verba bahasa Jepang; (3)
kasus-kasus argumen yang terdapat pada verba bahasa Jepang. Selanjutnya, disajikan
temuan sesuai dengan hasil analisis yang didapat. Bagian akhir penelitian ini adalah
simpulan, isi dari simpulan tersebut adalah jawaban terhadap permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka
model penelitian ini diabstraksikan dalam bentuk diagram yang ditampilakan pada
halaman berikutnya.
46
……………….………………………………………………….
Diagram 2.3: Model Penelitian
Bahasa Jepang
Verba Bahasa Jepang
Konsep
Data
Analisis Teori Tata Bahasa Kasus
Landasan Teori Metode
Metode Deskriptif
Kualitatif
Klasifikasi Semantis
Verba Bahasa Jepang
Peran Semantis Argumen
Verba Bahasa Jepang
Temuan
Simpulan
&
Saran
Kasus Modal
&
Kasus Tak Teraga
47
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis maupun
lisan dalam sebuah bahasa. Metode deskriptif ini bertujuan membuat deskripsi
mengenai sifat-sifat, keadaan serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti,
sehingga didapat gambaran data yang ilmiah, Djajasudarma (1993--8,10). Selanjutnya,
dalam upaya memecahkan masalah, ada tiga tahap strategis yang berurutan:
penyediaan data, penganalisisan data yang telah disediakan itu, dan penyajian hasil
analisis data yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 5).
3.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
kualitatif, yaitu berupa data tulisan karena tujuannya ialah mengklasifikasikan dan
menentukan peran semantis yang dimainkan oleh setiap argumen yang terdapat pada
data tersebut. Pemilihan data tulisan sebagai sumber data didasarkan atas
pertimbangan bahwa aneka bentuk verba bahasa Jepang mudah ditemukan dari
sumber data tersebut, dan bahasanya telah mencerminkan pemakaian bahasa Jepang
dalam berbagai situasi. Sumber data tulisan ini juga dipilih karena telah
48
mempresentasikan penggunaan bahasa Jepang yang alamiah dalam berbagai aspek
kehidupan sehingga memungkinkan mendapatkan data yang bervariasi.
Data tulisan merupakan jenis data primer yang diperoleh dari novel Totto-
Chan, dan buku Minna no Nihongo I, II, sebagai sumber data utama. Sementara itu,
data penunjang diperoleh dari buku-buku linguistik dan buku-buku pelajaran, yaitu
buku Nihongo Hand Book, Jurnal bahasa Jepang Nihongo Shimbun, Buku Gramatika
Bahasa Jepang Modern, dan buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Data yang
dipilih berupa kalimat-kalimat kompleks dipecah menjadi kalimat sederhana yang
memenuhi struktur proposisi.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan
Program S2 Linguistik dan di ruang Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra
Universitas Udayana, yang berlokasi di jalan pulau Nias nomer 13 Sanglah, Denpasar.
Kedua tempat tersebut menyediakan banyak buku-buku bacaan yang dapat dijadikan
referensi dalam penelitian ini. Disamping itu, karena penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif sehingga untuk memperoleh pengetahuan dan data peneliti
mengobservasi data dalam bentuk membaca informasi dari dokumentasi seperti,
buku-buku yang membahas tentang teori linguistik secara umum, buku-buku
pelajaran linguistik khususnya semantik, buku-buku yang membahas masalah verba,
dan berbagai hasil karya tulis ilmiah (tesis). Semua sumber-sumber data tersebut
tersedia di perpustakaan Program S2 Linguistik Fakultas Sastra Universits Udayana.
Sedangkan untuk sumber-sumber data dalam bahasa Jepang tersedia di ruang jurusan
satra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana.
49
3.3 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, oleh karena itu peneliti
sendiri berperan sebagai instrumen utama dalam penelitian ini. Instrumen sangat
penting karena segala sesuatu yang berhubungan dengan objek penelitian dapat
tersimpan dan dapat direplikan kembali sesuai dengan kebutuhan. Instrumen dalam
penelitian ini adalah peneliti, sehingga instrumenya adalah orang atau manusia
(human instrument) (Sugiyono, 2009: 2). Data penelitian ini juga dikumpulkan
dengan menggunakan instrumen tambahan, yaitu berupa buku-buku catatan dan
laptop/komputer. Data tulisan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, yaitu
data dalam bentuk kalimat-kalimat sederhana yang telah memenuhi struktur proposisi.
Data dipilah dengan cara menandai setiap verba yang terdapat dalam kalimat-kalimat
dalam sumber data tersebut. Data yang dipilih dicatat dalam buku-buku catatan
kemudian diketik dan diolah dalam komputer dan dicetak untuk disusun sehingga
menjadi tesis ini.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode simak dan
teknik catat. Metode simak dalam penelitian ini dimaknai sebagai metode
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa secara
tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar, yaitu teknik sadap. Dalam kaitannya
dengan penelitian ini, maka teknik sadap yang dimaksud adalah pengumpulan data
dengan cara membaca naskah-naskah tertulis, seperti novel dan data-data tulisan
50
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik catat adalah teknik lanjutan dari
teknik sadap, mencatat dalam hal ini berarti peneliti mencatat penggunaan bahasa
dalam bentuk tulisan dari sumber-sumber data tersebut. Setiap kalimat dari sumber-
sumber tulisan tersebut dicatat dan verba dalam setiap kalimat ditandai. Kalimat yang
dimaksud adalah struktur proposisi. Dengan demikian, kalimat-kalimat kompleks
dipecah atas proposisi-proposisi, kalimat-kalimat tanya, negatif, dan perintah
dipandang dalam bentuk proposisinya. Data-data yang dipilih diketik dalam komputer
kemudian ditandai dengan cara menggarisbawahi setiap unsur kalimat sehingga dapat
memperjelas proposisi dan argumen-argumen yang membentuk kalimat tersebut.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Metode
padan adalah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dalam bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13-15). Metode padan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referent (penentunya adalah
kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa), dan metode padan translasional (menggunakan
bahasa lain) yang alat penentunya adalah langue lain dalam hal ini adalah bahasa
Indonesia. Metode padan referensial dengan alat penentu referen diterapkan untuk
menentukan ciri-ciri semantis verba bahasa Jepang. Misalnya, (1) naguru „memukul‟
ialah kata yang menyatakan tindakan; (2) kawaku „mengering‟ ialah kata yang
menyatakan makna proses; (3) kowareru „rusak, pecah‟ ialah kata yang menyatakan
51
makna keadaan. Ketiga kata tersebut merupakan jenis verba, tetapi makna dari ketiga
verba tersebut memiliki referen yang berbeda.
Selanjutnya, metode padan referensial dengan penentu referen dan metode
padan translasional dengan penentu langue lain, secara bersamaan digunakan untuk
menentukan peran semantis yang dimainkan oleh nomina-nomina yang diikat oleh
verba dalam suatu proposisi. Metode padan referensial digunakan untuk menentukan
(sebagai penentu) peran semantis kasus-kasus yang terdapat pada verba, apakah
perannya sebagai Agent (A), Experincer (E), Benefaktive (B), Object (O), Locative
(L). Metode padan translasional digunakan untuk memahami arti dari data, yang
berupa data dalam bahasa Jepang yang dipadankan ke dalam bahasa Indonesia.
Satuan lingual yang bersangkutan benar-benar disesuaikan, diselaraskan, atau
dipadankan dengan identitas atau kejatian unsur penentunya. Dengan demikian, akan
dapat ditentukan antara unsur penentu dengan unsur yang ditentukan.
Contoh: 1. 私 は リーさん に 時計 を 上げます。
Watashi wa Ri-san ni tokei wo agemasu.
Agent (A) Benefactive (B) Object (O) \ \ \ \ \ \ \
saya Part Lee Part jam Part memberi
Arg1 Arg2 Arg3 Verb
„Saya memberi saudara Lee jam‟.
52
2. 菜穂さん は 韓 国 語 が 分かる。
Naho san wa kankoku go ga wakaru.
Experiencer (E) Object (O) \ \ \ \ \
Naho Part Korea Bahasa Part mengerti
Arg1 Arg2 Verb
„Naho mengerti bahasa Korea‟.
Teknik analisis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur
penentu. Sudaryanto (1993: 23) mengatakan bahwa referen kalimat pada umumnya
adalah peristiwa atau kejadian; padahal, setiap peristiwa atau kejadian melibatkan
berbagai unsur (tokoh) yang memiliki peran penting di dalamnya; tanpa unsur (tokoh)
yang dimaksud tidak mungkin peristiwa itu akan terjadi sebagaimana adanya.
Dengan adanya pemilahan dari usur atau peran yang dimainkan oleh setiap
kata dalam kalimat, dapat diketahui bahwa ada pelaku (agent), pengalami
(experiencer), benefaktif, objek, dan juga lokatif. Berdasarkan jumlah dan jenis unsur
yang terlibat dalam suatu proposisi maka peran semantis argumen verba dapat
dibedakan antara verba satu dengan verba yang lainnya.
Contoh: 3 父 は 金 が あります。
Chichi wa kane ga arimasu.
Benefactive (B) Object (O)
\ \ \ \ \ ayah Part uang Part punya/ada
Arg1 Arg2 Verb
„Ayah punya uang‟.
53
4. 私 は 木村 さん に 傘 を 貸して あげました。
Watashi wa Kimura san ni kasa wo kashite agemashita.
Agent (A) Benefactive (B) Object (O) \ \ \ \ \ \ \
saya Part Kimura Part payung Part meminjamkan
Arg1 Arg2 Arg3 Verb
„Saya meminjamkan payung kepada saudara Kimura‟.
Dengan teknik pemilahan unsur maka kalimat (3) di atas dapat dianalisis
sebagai berikut. Chichi „ayah‟ adalah nomina persona yang berperan sebagai kasus
benefaktif (B), dan partikel ga sebagai penanda verba statif yang menyatakan makna
keadaan. Sementara itu, kane „uang‟ adalah nomina tak bernyawa berperan sebagai
kasus objek yang dalam keadaan dimiliki oleh nomina persona chichi „ayah‟ partikel
wa digunakan sebagi penanda persona. Klausa (3) di atas memiliki dua argumen inti,
yaitu kasus chichi adalah kasus benefaktif (kepemilikan), dan kasus kane adalah
kasus objek yang dalam keadaan dimilki. Berdasarkan ciri-ciri kasusnya maka peran
semantis argumen verba (3) di atas adalah peran semantis argumen verba benefaktif-
objek.
Demikian juga dengan kalimat (4) kasus-kasus yang diikat oleh verba sebagai
inti proposisi dapat diketahui melalui teknik pilah unsur, yaitu watashi „saya‟
memiliki peran kasus agentif-aktif (A), Kimura-san „Kimura‟ memiliki peran kasus
benefaktif (B) (pemanfaat) karena menerima pemberian dari agen, dan kasa „payung‟
memiliki peran objek (O). Peran semantis argumen yang terdapat pada kalimat di atas
adalah peran semantis verba aksi-benefaktif-objek.
54
Dalam kaitannya dengan langue lain, teknik pilah unsur dapat digunakan
untuk mengetahui sifat dan watak bahasa yang berbeda. Bahasa Jepang memiliki
sistem yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, bahasa Jepang
memiliki sistem kebermarkahan, perubahan verba tetapi dalam bahasa Indonesia
tidak. Dengan menggunakan metode pilah unsur dan dibantu dengan pemahaman
peneliti terhadap kaidah yang berlaku dalam bahasa Jepang, unsur bahasa yang ada
dalam bahasa yang berbeda dapat diketahui. Misalnya, dalam bahasa Jepang argumen
objek ditandai oleh partikel „wo‟, datif ditandai oleh partikel „ni‟, argumen agen
(pelaku) ditandai oleh partikel „ga‟/„wa‟.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Metode penyajian analisis data ada dua, yaitu metode formal dan informal
Sudaryanto (1993: 144-145). Metode penyajian dalam penelitian ini menggunakan
analisis data formal dan informal. Metode formal merupakan analisis data dengan
menggunakan tanda-tanda atau lambang linguistik. Tanda-tanda yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah: tanda {}; tanda *. Metode informal merupakan metode
analisis dengan menggunakan serangkaian kalimat atau kata-kata yang disusun
menjadi beberapa paragraf sebagai penjelasasan dari hasil analisis data. Hasil yang
telah ditemukan kemudian dirumuskan secara sistematis, jelas, dan mudah dipahami.
55
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Semantis Verba Bahasa Jepang
Verba dalam setiap bahasa di dunia merupakan unsur yang sangat penting
dalam membentuk suatu kalimat. Dikatakan penting karena keseluruhan makna
kalimat tersebut melekat pada makna verbanya. Begitu pun dalam bahasa Jepang,
verba merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dalam pembentukan sebuah
kalimat, untuk menunjukkan suatu aktivitas, proses ataukah keadaan yang
ditunjukkan oleh verba dalam kalimat tersebut. Sesuai dengan landasan teori dan
konsep-konsep yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dan berdasarkan data-
data yang diperoleh, verba bahasa Jepang dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
verba statif, verba proses, dan verba aksi.
4.1.1 Verba Statif Bahasa Jepang
Verba statif bahasa Jepang menyatakan suatu entitas yang berada dalam
keadaan atau kondisis tertentu. Verba ini mempunyai ciri semantis statif/stabil atau
tidak dinamis karena peristiwa yang diekspresikan pada umumnya tidak menerima
bentuk progresif dan tidak ada transfer tindakan dari partisipan yang satu ke
partisipan yang lainnya. Tidak dapat dipakai dalam kalimat perintah, mengharuskan
hadirnya satu kasus objek dalam struktur logisnya. Objek yang dimaksud adalah
entitas yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi yang dinyatakan verbanya.
56
Verba statif bahasa Jepang tidak memiliki ciri semantis kesengajaan karena peristiwa
yang digambarkan tidak disengaja oleh subjek. Dengan kata lain, subjek tidak
membentuk atau tidak mengendalikan situasi, tetapi terkena pengaruh dari partisipan
lain/subjek dipengaruhi oleh peristiwa yang dinyatakan oleh verbanya, seperti contoh
kalimat di bawah ini.
1. 富士山 が 聳える
Kumo ga sobieru .
awan Part menjulang gunung-gunung
„Gunung Fuji tegak menjulang‟.
2. 川 が 低地 を 流れる。
Kawa ga teichi wo nagareru.
sungai Part dataran rendah Part mengalir
„Sungai mengalir di dataran rendah‟.
Verba sobieru „menjulang tinggi‟, nagareru „mengalir‟ menyatakan entitas
yang berada dalam suatu keadaan atau kondisi tertentu. Keadaan yang digambarkan
belum selesai atau tidak memiliki batas akhir. Verba sobieru „menjulang tinggi‟,
nagareru „mengalir‟ juga mengekspresikan dimana suatu keadaan bertahan dalam
kurun waktu yang lama dan tak terbatas. Verba sobieru „menjulang tinggi‟ dan
nagareru „mengalir‟ menggambarkan bahwa keadaan yang terjadi secara alami.
3. a. ここ に 本 が ある。
Koko ni hon ga aru.
sini Part buku Part ada
‟Di sini ada buku‟.
57
b.* ここ に 本 が あっている。
Koko ni hon ga atteiru (*atteiru =bentuk teiru dari aru).
sini Part buku Part ada
„Di sini ada buku‟.
4. a. 私 は 日本語 が できる。
Watashi wa nihongo ga dekiru.
saya Part bahasa Jepang Part mampu
„Saya mampu berbahasa Jepang‟.
b. *私 は 日本語 が できている。
Watashi wa nihongo ga dekiteiru (*dekiteiru=bentuk teiru dari dekiru).
saya Part bhs Jepang Part mampu
„Saya (sedang) mampu berbahasa Jepang‟.
5. a. 仕事 が 終わる
shigoto ga owaru.
pekerjaan Part selesai
„Pekerjaan selesai‟.
b. * 仕事 が 終わっている。
Shigoto ga owatteiru. (*owatteiru=bentuk te iru dari owaru).
pekerjaan Part selesai
„Pekerjaan (sedang) selesai‟.
Tanda (*) yang terdapat dalam contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa
verba statif dalam Bahasa Jepang mempunyai ciri semantis statif/stabil atau tidak
dinamis karena peristiwa yang diekspresikan pada umumnya tidak menerima bentuk
progresif. Verba aru „ada‟ dan verba owaru „selesai„ tidak berterima secara
gramatikal jika diubah menjadi bentuk (て/でいる te/deiru). Kalimat (3--5 b) tidak
berterima secara gramatikal karena akan terasa jangal jika dikatakan seperti itu. Akan
58
tetapi, ada beberapa verba statif dalam bahasa Jepang yang selalu dinyatakan dengan
bentuk sedang (te/deiru), seperti yang terlihat dalam kalimat berikut ini.
6. a. 田中 さん の カメラ は もっと 優れている。
Tanaka san no kamera wa motto sugureteiru.
Tanaka Part kamera Part unggul
„Kamera Tanaka lebih unggul‟.
b. 真由美さん は お母さんに 似ているが、妹さん は お父さん に 似ている。
Mayumisan wa okaasan ni niteiru ga, imoutoosan wa otousan ni niteiru.
Mayumi Part ibu Part mirip Part adik perempuan Part ayah Part mirip
„Mayumi mirip ibunya, tetapi adik perempuannya mirip bapaknya‟.
c. この 道 が 曲がっている。
Kono michi ga magatteiru.
ini jalan Part membelok
„Jalan ini membelok‟.
Verba sugureteiru „unggul‟, niteiru „mirip‟, magatteiru „berbelok‟ pada
kalimat (6a-c) di atas, menyatakan keadaan sesuatu secara khusus, dan selalu
dinyatakan dengan bentuk sedang (te/deiru). Bentuk sedang dalam hal ini berarti
sesuatu yang sedang dalam suatu keadaan yang stabil/tetap, bukan suatu keadaan
yang sedang berlangsung. Jadi verba ini menggambarkan kondisi yang stabil atau
tidak akan terjadi perubahan, karena memang sudah menjadi suatu kondisi yang tetap,
seperti contoh kalimat di bawah ini.
7. 私 の 時計 が なくなった。
Watashi no tokei ga nakunatta.
saya Part jam Part hilang
„Arloji saya hilang‟
59
8. 彼 は 病気 が 治った。
Kare wa byouki ga naotta.
dia Part sakit Part sembuh
‟Dia sakinya sudah sembuh‟.
9. 私 は はら が 空いた。
Watashi wa hara ga suita.
saya Part perut Part lapar
‟Perut saya lapar.‟
10. 彼 は インドネシア 語 が 分かる。
Kare wa Indonesia go ga wakaru.
dia Part Indonesia bahasa Part mengerti
„Ia mengerti bahasa Indonesia‟.
11. 森本 さん は 交通事故 で 死んでいる。
Morimoto san wa koutsuujiko de shinde iru.
Morimoto Part kecelakaan Part meninggal
„Morimoto meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas‟.
12. 私 は その 報道 に 驚いた。
Watashi wa sono houdou ni odoroita.
saya Part itu berita Part terkejut
„Saya menerima berita itu dengan rasa terkejut‟.
Verba nakunatta „hilang‟, naotta „sembuh‟, wakaru „mengerti‟, shinde iru
„meninggal‟, odoroita „terkejut‟. Keenam verba di atas adalah verba keadaan karena
subjeknya tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhi oleh peristiwa yang
dinyatakan oleh makna verbanya.
60
4.1.2 Verba Proses Bahasa Jepang
Verba proses bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses]. Verba ini
mendeskripsikan entitas yang mengalami proses perubahan entitas dari suatu keadaan
atau kondisi menjadi keadaan lain. Verba proses bahasa Jepang juga menunjukkan
perubahan atau kedinamisan, mengijinkan dipakainya bentuk progresif dan tidak
dapat dipakai untuk membuat kalimat perintah [ - imperatif]. Memiliki ciri-ciri
semantis [ - sengaja] dan [ - kinesis]. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
13. 花 が きれい に 咲いている。
Hana ga kirei ni saiteiru.
bunga Part cantik Part berkembang
„Bunga tengah berkembang dengan cantik‟.
14. 湯 が 沸いている。
Yu ga waiteiru
air Part mendidih
„Air sudah mendidih‟.
15. 雨 が 降っている。
Ame ga futteiru.
Hujan Part turun
„Hujan (sedang) turun.
16. 学生 の 数 が 高まっている。
Gakusei no kazu ga takamatteiru.
siswa Part jumlah Part bertambah
„Jumlah siswa bertambah‟.
61
Verba saiteiru „sedang mekar/berkembang‟, verba waiteiru „mendidih‟, verba
futteiru „(sedang) turun‟, takamatteiru „bertambah‟ mengekspresikan adanya suatu
perubahan yang sedang berlangsung. Verba bentuk (te/deiru) pada keempat kalimat
di atas menunjukkan proses progresif atau ciri kedinamisan yang terjadi pada objek
keempat verba tersebut.
17. 彼 の 声 は 次第 に 高くなってきた。
Kare no koe wa shidai ni takakunattekita.
dia Part suara Part makin Part meninggi
„Suaranya makin meninggi‟.
18. 値段 が 高くなる。
Nedan ga takakunaru.
harga Part jadi mahal
„Harga jadi mahal‟.
19. テレビ の 音 が おきくなる。
Terebi no oto ga okikunaru.
televisi Part suara Part jadi besar
„Suara televisi jadi besar‟.
20. 彼 の 髪 は 白くなった。
Kare no kami wa shirokunatta.
dia Part rambut Part putih
„Rambutnya sudah memutih‟.
Verba takakunattekita „meninggi‟, takakunaru „jadi mahal‟, okikunaru „jadi
besar‟, dan verba shirokunatta „memutih‟ tergolong verba proses. Verba proses di
atas dibentuk melalui proses derivasi dari kelas kata adjektiva menjadi kelas kata
verba. Proses derivasi ini dilakukan dengan cara menghilangkan akhiran yang
62
terdapat pada adjektiva. Misalnya, takai „tinggi‟ dihilangkan akhiran (i) sehingga
menjadi taka kemudian ditambahkan dengan morfem ku + -naru menjadi takaku naru
„jadi tinggi‟. Setiap kelas kata adjektiva (i) yang diderivasi menjadi kelas kata verba
dilakukan dengan cara menghilangkan akhiran yang terdapat pada adjektiva masing-
masing. Pada umumnya adjektiva Bahasa Jepang yang dapat diderivasi menjadi verba
biasanya berakhiran (~ai, ~oi, ~ui, ~ii) oleh karena itu kata sifat ini disebut kata sifat
(i). Sementara itu, akhiran ~te kita yang terdapat dalam kalimat no 17 dan akhiran
~natta pada kalimat no 20 di atas merupakan fungsi gramatikal yang menunjukkan
aspek progresif dan kala lampau.
4.1.3 Verba Aksi Bahasa Jepang
Verba aksi bahasa Jepang adalah verba yang mempunyai ciri semantis
tindakan dan perbuatan, yaitu menyatakan aksi gerakan, ujaran, dan perpindahan.
Subjek verba ini adalah nomina yang memiliki ciri semantik [ + bernyawa] yang
berperan sebagai pelaku dari suatu aksi/perbuatan. Memiliki komponen semantis [ +
dinamis], [ + sengaja], [-/+kinesis], [ + imperatif/perintah ]. Verba aksi bahasa Jepang
mengharuskan kehadiran argumen agen sebagai pelaku suatu aksi dan argumen objek
yang terkena pengaruh suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi .
21. 私 は 仕事 を 探す。
Watashi wa shigoto w o sagasu.
saya Part pekerjaan Part mencari
„Saya mencari pekerjaan‟.
63
22. あなた は 何 を 飲みます か。
Anata wa nani wo nomimasu ka.
anda Part apa Part minum Part
„Anda mau minum apa?‟
Verba sagasu „mencari‟, nomimasu „minum‟ pada kalimat di atas memiliki
dua argumen yaitu argumen agen dan argumen objek. Argumen agen pada kalimat
(21) diperankan oleh kata watashi „saya‟, dan kata shigoto „pekerjaan‟ sebagai
objeknya. Sementara itu, pada kalimat (22) argumen agen diperankan oleh kata anata
„anda‟ dan kata nani „apa‟ sebagai kata ganti objek yang akan dikenai suatu perbuatan.
23. 仕事 を 探してください。
Shigoto wo sagashitekudasai.
pekerjaan Part carilah
„Carilah pekerjaan!
24. ジュース を 飲んでください。
Juusu wo nondekudasai.
Jus Part minumlah
„Minumlah jus itu!
25. 御飯 を 食べてください。
Gohan wo tabetekudasai.
nasi Part makanlah
„Makanlah!
Verba aksi bahasa Jepang dapat digunakan untuk membentuk kalimat perintah.
Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan contoh kalimat (23-25) di atas. Bentuk ~te
64
kudasai/~nde kudasai adalah salah satu bentuk yang digunakan untuk membuat
kalimat perintah.
26. a. 飛行機 を 見る。
Hikouki wo miru.
pesawat Part melihat
„Melihat pesawat‟.
b. 飛行機 が 見える。
Hikouki ga mieru.
pesawat Part terlihat
„Terlihat pesawat‟.
27. a. 友達 の 家 で ラジオ を 聞く。
Tomodachi no uchi de rajio wo kiku.
teman Part rumah Part radio Part mendengarkan
„Mendengarkan radio di rumah teman‟.
b. その 言葉 は 彼 の 耳 に 美しく 聞こえた。
Sono kotoba wa kare no mimi ni utsukushiku kikoeta.
itu ucapan Part dia Part telinga Part merdu terdengar
„Ucapan itu terdengar merdu di telinganya‟.
Verba aksi bahasa Jepang juga memiliki ciri semantis [ + sengaja]. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kalimat (26a), (27a) bahwa argumen agen yang
mengendalikan, membentuk, dan mempengaruhi situasi yang dipengaruhi oleh
predikatnya. Seperti kalimat di atas, verba miru „melihat‟, kiku „mendengarkan‟
mengindikasikan bahwa pelaku dengan sengaja melakukan aktivitas melihat pesawat
dan mendengarkan radio. Berbeda dengan kalimat (26b), (27b) [ - sengaja], pelaku
tidak mengendalikan situasi tetapi sebaliknya pelaku dikendalikan atau dipengaruhi
65
oleh makna verbanya. Dengan demikian, verba yang terdapat pada kalimat (26b) dan
(27b) tidak termasuk verba aksi. Berdasarkan ciri semantisnya verba (26b) dan (27b)
tergolong verba proses.
28. テレビ の 音 を 小さくする。
Terebi no oto wo chisakusuru.
televisi Part suara Part mengecilkan
„Mengecilkan suara radio‟.
29. 値段 を 高くする。
Nedan wo takakusuru.
harga Part menaikkan
„Menaikkan harga‟.
30. 髪 を 黒くする。
Kami w o kurokusuru.
rambut Part menghitamkan
„Menghitamkan rambut‟.
Verba aksi dalam bahasa Jepang bisa juga diturunkan dari kelas adjektiva (i)
menjadi verba. Proses penurunan semantik ini dilakukan dengan cara menghilangkan
sufiks (i) yang terdapat dalam masing-masing adjektiva-i kemudian ditambahkan ~ku
suru. Verba chisakusuru ‟mengecilkan‟, takakusuru ‟menaikkan‟, dan
kurokusuru ‟menghitamkan‟ pada kalimat (28--30) di atas merupakan hasil proses
derivasi dari adjektiva-i menjadi verba aksi.
66
TABEL 4.1 KLASIFIKASI SEMANTIS VERBA BAHASA JEPANG
TIPE SEMANTIS
CIRI SEMANTIS
STATIF PROSES AKSI
STATIF/STABIL + - -
DINAMIS - + +
SENGAJA - - +
KINESIS - - +
[-/+ ~TE IRU/ ~DE IRU -/+ + +
67
4.2 Peran Semantis Verba Bahasa Jepang
Kategori kasus (cases) dalam Teori Tata Bahasa Kasus terbagi atas dua bagian,
yaitu (1) kasus proposisi, dan (2) kasus modal (modal cases). Kasus proposisi ialah
kasus yang merupakan valensi verba atau kasus yang diimplikasikan oleh verba.
Dengan kata lain, kehadirannya dalam struktur semantis ditentukan oleh verba. Kasus
proposisi ada yang bersifat wajib (wajib hadir) dan ada yang bersifat opsional/pilihan
dalam struktur lahir. Kasus proposisi yang kehadirannya bersifat wajib disebut peran
proposisi teraga (overt: kasus proposisi yang diimplikasikan oleh verba dan wajib
hadir dalam struktur lahir), sedangkan kasus proposisi yang kehadirannya bersifat
opsional/pilihan disebut peran proposisi tak teraga (covert: kasus proposisi yang
diimplikasikan oleh verba tetapi opsional dalam struktur lahir dan hadir dalam
struktur batin atau struktur logika). Cook mengklasifikasikan kasus tak teraga
(covert) itu menjadi tiga bagian, yaitu (1) kasus koreferensial, (2) kasus terkandung,
dan (3) kasus leksikalisasi. Kasus koreferensial adalah kasus yang menunjuk dua nosi
yang mempunyai acuan semantis yang sama. Kasus terkandung (build in) adalah
kasus yang tidak muncul pada struktur luar tapi secara intuisi hadir pada struktur
logika atau batin. Kasus leksikalisasi adalah kasus yang tidak hadir pada struktur lahir
karena kasus itu dileksikalisasi dalam verba. Kasus modal (modal cases: kasus yang
tidak diimplikasikan oleh verba dan selalu opsional dalam struktur lahir) ialah kasus
yang tidak merupakan valensi verba. Kehadirannya dalam struktur semantis tidak
bergantung pada verba (Cook, 1979: 82). Realisasi kasus modal pada struktur luar
68
hanya bersifat opsional (tidak harus), hal ini terjadi untuk memenuhi fungsi
gramatikal suatu bahasa.
Ada lima kasus proposisi, yaitu Agent (Agen), Experiencer (Pengalami),
Benefactive (Benefaktif), Object (Objek), dan Locative (Lokatif). Sementara itu,
kasus-kasus modal adalah Time (waktu), Manner (cara), Instrument (Instrumen),
Cause (Sebab), Purpose (Maksud). Result (Akibat), Outer Benefactive (Benefaktif
luar), dan Outer Locative (Lokatif luar). Yang dimaksud Outer Benefactive
(Benefaktif luar) ialah kasus Benefaktif yang tidak bergantung pada verba dalam
suatu struktur proposisi. Demikian juga Outer Locative ialah kasus Lokatif yang tidak
bergantung pada verba dalam suatu struktur proposisi (Cook 1973:57; 1974:8;
1978:82).
Dengan mengunakan landasan teori yang telah dibicarakan dalam bab
sebelumnya, maka di bawah ini dijelaskan kasus-kasus proposisi dan kasus modal
yang terdapat dalam kalimat bahasa Jepang dengan menampilkan data-data sebagi
ilustrasi. Kalimat-kalimat data yang ditampilkan adalah kalimat-kalimat sederhana
yang sudah memenuhi struktur proposisi.
Pada bab ini membahas peran semantis argumen verba bahasa Jepang, yaitu
verba dasar yang terdiri atas verba statif, verba proses, dan verba aksi. Pembahasan
dilakukan untuk mengidentifikasi peran semantis argumen verba statif, verba proses,
dan verba aksi yang dikombinasikan dengan verba tambahan, yakni verba Pengalami,
verba Benefaktif, dan verba Lokatif.
69
4.2.1 Peran Semantis Verba Statif Bahasa Jepang
Verba Statif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [keadaan]. Verba statif
menyatakan suatu entitas yang berada dalam keadaan atau kondisis tertentu Cook
(1979: 135). Subjek dalam kalimat yang menggunakan verba statif bahasa Jepang
berupa nomina umum yang berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh
verba tersebut. Verba ini memiliki minimal satu argumen inti dan maksimal memiliki
dua argumen inti.
4.2.1.1 Peran Semantis Verba Statif Dasar Bahasa Jepang
Verba statif dasar mengharuskan hadirnya satu kasus Objek dalam struktur
semantisnya. Objek ini menyatakan entitas yang berada dalam suatu keadaan atau
kondisi. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat yang
menggunakan verba statif dalam Bahasa Jepang.
(1)ともえ が 焼けた。
Tomoe ga yaketa.
Os
Tomoe Part telah terbakar
„Tomoe telah terbakar‟.
(トットちゃん: 264--265)
(Tottochan: 173--174)
(2)や 腕 が、 がっちりしていて。
ya ude ga gakkarishiteite.
Os
bahu dan lengan Part kekar
“Meskipun tingginya tidak seberapa, bahu dan lengannya kekar”.
70
(トットちゃん:264--265)
(Tottochan: 264--265)
(3)この 時計 は 壊れています。
Kono tokei wa kowarete imasu.
Os
ini jam Part rusak
„Jam ini sudah rusak‟.
(4) 私 は はら が 空いた。
watashi wa hara ga suita.
Os
dia Part perut Part lapar
„Perut saya lapar.‟
(5) 彼 は 病気 が 治った。
kare wa byouki ga naotta.
Os
Dia part sakit part sembuh
„Dia sakitnya sudah sembuh‟.
Verba 焼けた/yaketa „terbakar‟, がっちりしていて/gacchiri shite ite „kekar‟,
壊れています /kowarete imasu „rusak‟, 空いた /suita „lapar‟, 治った /naotta
„sembuh‟. Ketiga verba statif yang terdapat dalam contoh kalimat di atas memiliki
satu argumen inti. (1) Argumen verba yaketa „terbakar‟ adalah nomina persona
„Tomoe‟ yang kondisinya dalam keadaan terbakar; (2) Argumen verba gacchiri shite
71
ite „kekar‟ adalah nomina ude ‟lengan‟ yang dinyatakan oleh verba bahwa dalam
keadaan „kekar‟ (3) Argumen dari verba kowarete imasu adalah nomina yaitu ‟jam
ini‟ yang menyatakan bahwa sebuah jam yang dalam keadaan sudah rusak. (4) Peran
semantis argumen dari verba suita adalah nomina persona yaitu „saya‟ yang
menyatakan bahwa perutnya dalam keadaan lapar. (5) Peran semantis dari verba
naotta adalah frase nomina persona yaitu „dia sakitnya‟ dinyatakan bahwa sudah
dalam keadaan sembuh. Dalam struktur lahirnya ketiga contoh kalimat di atas
direalisasikan dengan penanda partikel, yaitu partikel wa, dan ga. Partikel wa
berfungsi sebagai penanda subjek/topik, sedangkan partikel ga berfungsi sebagai
penanda verba statif.
4.2.1.2 Peran Semantis Verba Statif Pengalam Bahasa Jepang
Verba statif pengalam bahasa Jepang mempunyai ciri-ciri semantis
[keadaan/pengalaman] mengharuskan hadirnya satu kasus Pengalami dan satu kasus
Objek dalam struktur semantisnya. Subjek dalam kalimat yang menggunakan verba
statif pengalam adalah sebuah nomina yang berada dalam keadaan. Pengalami yang
dimaksud adalah keadaan kognisi, emosi, sensasi, atau secara psikologis.
Contoh:
(6) 彼女 は 地震 を 怖がっている。 (Minna: 64)
Kanojo wa jishin wo kowagatte iru.
E Os
dia Part gempa Part takut
„Dia (perempuan) merasa takut akan gempa‟.
72
(7) わたし は ともだち が 欲しいです。 (Minna: 88)
Watashi wa tomodachi ga hoshii desu.
E Os
Saya Part teman Part ingin punya
‟Saya mau teman‟.
(8) トットちゃん は つて こと だけ じゃなくて、
Tottochan wa Tsute koto dake jyanakute,
E
Koneksi sesuatu hanya tidak
言葉 を たくさん 知らない から
kotoba wo takusan shiranai kara Os kata-kata Part banyak tidak tahu karena
“ karena tidak hanya belum bisa berkomunikasi, Tottochan juga belum
tahu banyak kata-kata”.
(トットちゃん :68)
(Totto chan: 46)
(9) 私は毎日、 鉛筆 を けずって あげる くらい 好き を ひ
と を、なんで、おすもう の 時間 に、
Watashi wa mainichi enpitsu o kezutte ageru kurai suki
E
wo hito wo nande osumou no jikan ni
Os
Setiap hari pensil part runcingkan beri kirakira suka part orang part
walaupun sumo part waktu part
すっかり 忘れている。
73
sukari wasureteiru
sama sekali lupa.
“tetapi semuanya sudah terlambat. Mengapa aku lupa kalau aku suka
dia. Sampai-sampai melemparkannya pada saat bermain sumo”.
(トットちゃん: 201--202)
(Tottochan: 132--133 )
(10)トットちゃん は、 信じらない 気 が した。
Tottochan wa shinjiranai ki ga shita.
E
Tottochan Part tidak percaya perasaan Part
“ Tottochan merasa tidak percaya”.
(トットちゃん: 32--34)
(Tottochan: 22--23)
Verba statif pengalam 怖がっている/kowagatte iru, ほしい/hoshii, 知らな
い/shiranai, 忘れている/ wasurete iru, pada kalimat di atas adalah verba Keadaan-
Pengalaman. Verba yang menyatakan keadaan kognisi pikiran, menyatakan keadaan
emosi, atau perasaan (sensasi). Subjek „kanojo, watashi, dan Tottochan‟ yang
terdapat pada kalimat (6--10) di atas, mengalami keadaan yang dinyatakan oleh verba
kowagatte iru, hoshii, shiranai, wasurete iru, dan ki ga shita. Pada kalimat
(6) ‟kanojo‟ adalah subjek yang mengalami keadaan kowagatte iru ‟takut‟,
(7) ‟watashi‟ adalah subjek yang mengalami keadaan hoshii „mau/ingin‟, (8)
„Tottochan‟ adalah subjek yang mengalami keadaan shiranai ‟belum tahu‟,
74
(9) ‟watashi‟ adalah subjek yang mengalami keadaan wasurete iru „lupa‟, dan (10)
„Tottochan‟ adalah subjek yang mengalami keadaan ki ga shita „merasakan‟. Dalam
struktur lahir kalimat ditandai oleh partikel wo, wa, ga, ni. Partikel „wo‟ dipakai
sebagai penanda objek keadaan, partikel „wa‟ hadir sebagai penanda topik/subjek,
partikel „ga‟ sebagai penanda verba statif (sesuatu yang dalam keadaan), partikel „ni ‟
menyatakan suatu keberadaan.
4.2.1.3 Peran Semantis Verba Statif Benefaktif Bahasa Jepang
Verba statif benefaktif bahasa Jepang mempunyai ciri-ciri semantis [keadaan-
benefaktif], verba ini mengharuskan hadirnya satu kasus benefaktif dan satu objek
dalam struktur semantisnya. Subjek verba statif benefaktif menyatakan nomina atau
entiti yang memiliki, memperoleh (mendapat), atau kehilangan sesuatu. Entitas yang
dimaksud pada dasarnya harus manusia (enimat).
Contoh:
(11) わたし は カメラ が あります。 (Minna: 74)
Watashi wa kamera ga arimasu.
B Os
Saya Part kamera Part ada/ punya
„Saya punya (ada) kamera‟
(12) サントスさん は パソコン を 持っています。(Minna: 98)
Santosu-san wa pasokon wo motte imasu.
B Os
Santosu (sdr) Part Personal komputer Part mempunyai
„Sodara Santos mempunyai personal komputer‟.
75
(13) 彼 は 今 や、 それぞれ の 道 で 成功しています。
Kare wa ima ya, sorezore no michi de seikou shite imasu.
B Os
Mereka Part kini Part, masing2 Part bidangnya Part kesuksesan
‟Mereka kini mengalami kesuksesan dalam bidangnya masing-masing‟.
(14) リトミックを教えに来ている先生がいて、学校のすぐそばに、
Ritomikku o oshie ni kite iru sensei ga ite, gakkou no sugu soba ni,
B
ダンスのスタジオ を 持っている、
dansu no stujio wo motte iru.
Os
studio dansa Part mempunyai
„Sensei itu mengajarkan senam irama, guru itu mempunyai studio
dansa di dekat sekolah‟.
(トットちゃん:183--186)
(Tottochan: 121-123)
(15) パパ と パパ が それ を 信用して 「徹」 と 決めた。
Papa to mama ga sore wo shinyoushite (tooru) to kimeta.
B
Papa Part Mama Part hal itu Part mempercayai Tooru part memutuskan
いつ ため の だから 初めて 子供 を 持つ、
itsu tame no dakara hajimete kodomo wo motsu,
Os
kapan untuk Part karena pertama anak Part memiliki
„Papa dan Mama yang menanti memiliki anak pertama begitu
mempercayainya lalu memutuskan akan memberi anaknya nama “Tooru”.
76
(トットちゃん:67)
(Tottochan: 45)
Verba arimasu „punya‟, motte imasu „mempunyai‟, seikou shite imasu
„mengalami kesuksesan‟, motte iru „mempunyai‟, dan motsu „memiliki‟ pada kalimat
di atas merupakan verba statif benefaktif. Subjek yang terdapat pada (11--15]、わた
し„saya‟、サントス„Santosu‟、彼 „mereka„ 先生„guru‟ パパとママ„papa dan
mama‟ adalah nomina persona (subjek) sebagai kasus benefaktif yang dalam keadaan
mendapatkan, memiliki sesuatu. Sementara itu, カメラ „kamera‟、パソコンpersonal
„komputer‟, 道„bidangnya‟, ダンスのスタジオ„studio dansa‟, 子供‟ anak berperan
sebagai kasus objek yang dalam keadaan dimiliki/didapatkan oleh subjek. Dalam
struktur lahir kalimat direalisasikan dengan penanda partikel, „wa, ga, wo, no‟ secara
sintaktis partikel tersebut berfungsi sebagai pewatas antara argumen satu dengan yang
lainnya. Partikel „wa‟ berfungsi sebagai penanda topik, partikel „ga‟ berfungsi
sebagai penanda verba statif, partikel „wo‟ berfungsi sebagai penanda kasus objek,
dan partikel „no‟ berfungsi untuk menyatakan „kepemilikin‟ dan memiliki fungsi
gramatikal sebagai „nominalisator‟.
4.2.1.4 Peran Semantis Verba Statif Lokatif Bahasa Jepang
Verba Statif Lokatif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [keadaan-
lokatif]. Verba ini mengharuskan satu kasus objek dan kasus lokatif dalam struktur
77
semantiknya. Subjek dari kalimat statif lokatif adalah nomina yang dalam keadaan
berada disuatu tempat atau lokasi.
Contoh:
(16) 家族 は ニュ-ヨ-ク に います。 (Minna: 68)
Kazoku wa Nyu-yo-ku ni imasu.
Os L
keluarga (saya) Part New York Part ada
‟Keluarga saya ada di New York‟.
(17) 聖徳太子 は 574 年 に 奈良 で 生まれました。 (Minna: 197)
Shoutokutaishi wa 574 nen ni Nara de umaremashita.
Os L
shoutokutaishi Part 574 tahun Part Nara Part lahir
„Shoutokutaishi lahir pada tahun 574 di Nara‟.
(18) かれ は 長いあいだ 東京 に 住んでいます。
Kare wa nagai aida Toukyou ni sunde imasu.
Os L
Ia Part (telah) lama Toukyou Part bermukim
„Ia telah lama bermukim di Toukyou‟.
(19) わたし は 日本 に 一年 います。 (Minna: 74)
Watashi wa nihon ni ichinen imasu.
Os L
Saya Part Jepang Part satu tahun tinggal
„Saya tinggal di Jepang selama satu tahun‟.
78
(20) 校長先生 は、お百姓さん先生 の 隣り に 並ぶ と、いっ た。
Kouchou sensei wa ohyakusan sensei no tonari ni narabu to, itta.
Os L
Kepala sekolah Part petani guru Part sebelah Part berdiri, berkata
„Kepala sekolah berdiri di sebelah guru petani itu dan berkata‟.
(トットちゃん:188)
(Tottochan : 124)
Verba „ い ます /imasu „ada‟ pada kalimat (16-19) 、生 まれ ま した
/umaremashita „lahir‟, 住んでいます /sunde imasu „ada/tinggal‟ 並ぶ /narabu
„berjejer/berdiri‟ yang terdapat dalam contoh kalimat di atas adalah verba statif
lokatif karena semua verba tersebut memerlukan argumen yang berciri tempat atau
yang menyatakan tempat. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan argumen lokatif yang
diperlukan oleh masing-masing verba tersebut. Verba imasu „ada‟ pada contoh
kalimat (1-4) memerlukan argumen lokatif „Nyu-yo-ku‟, Nihon (2) verba
umaremashita ‟lahir‟ memerlukan argumen lokatif ‟Nara‟, dan (3) verba sunde
imasu ‟bermukim‟ memerlukan argumen lokatif ‟Toukyou‟ untuk menyatakan lokasi
dari suatu keadaan (keberadaan) sesuatu, verba narabu ‟berjejer/berdiri‟ yang
terdapat pada kalimat (20) memerlukan argumen lokatif yang berupa keterangan
penunjuk tempat yaitu kata tonari ‟sebelah‟. Realisasi struktur lahir kalimat di atas
ditandai dengan partikel wa, ni, de. Partikel ‟wa‟ yang terdapat dalam kalimat di atas
berfungsi sebagai penanda topik, partikel ‟ni‟ berfungsi sebagai penunjuk tempat,
partikel ‟de‟ juga berfungsi sebagai penanda tempat atau objek lokatif.
79
4.2.2. Peran Semantis Verba Proses Bahasa Jepang
Verba proses bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses]. Verba proses
mendeskripsikan entitas yang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi.
Cook (1979: 35) menyatakan bahwa verba proses menggambarkan perubahan entitas
dari suatu keadaan menjadi keadaan lain. Verba proses bahasa Jepang memiliki
minimal satu argumen inti dan maksimal memiliki dua argumen inti.
4.2.2.1 Peran Semantis Verba Proses Dasar Bahasa Jepang
Verba proses dasar bahasa Jepang menunjukkan perubahan kondisi objek,
yaitu perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Untuk
lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh kalimat yang menggunakan
verba proses dasar dalam Bahasa Jepang.
(21)留学生 が 十 人 に 増えている。 (Mina: 104)
Ryuugakusei ga juu nin ni fuete iru.
O
mahasiswa asing Part sepuluh orang Part bertambah
„Mahasiswa asing bertambah sepuluh orang‟
(22)これから、だんだん 天気 が 暑くなります。(Minna: 122)
Korekara dandan tenki atsuku narimasu.
O
mulai sekarang udara Part menjadi panas
„Mulai sekarang, lama kelamaan udara menjadi panas‟.
80
(23)今、 雨 が 降っていますか。 (Minna: 95)
Ima, ame ga futte imasuka.
O
sekarang hujan Part sedang turun?
„Apakah sekarang hujan sedang turun‟?
(24)トモエ の みんな は、宮崎君 と すぐ親しくなった。
Tomoe no Minna wa miyazaki kun to sugu shitashiku natta.
O
Tomoe Part murid-murid Part, miyazaki Part kemudian menjadi akrab.
„Murid-murid di tomoe segera menjadi akrab dengan miyazaki‟.
(トットちゃん: 226)
(Tottochan: 148)
(25)その人 は、 頭 の 毛 が 薄くなっていって、
Sonohito wa atama no 。。。ga usukunatteitte,
O
itu orang Part kepala Part Part menipis
前 の ほう の 歯 が 。。。顔
Mae no hou no ha ga atama
depan Part Part gigi Part kepala
„Orang itu rambutnya sudah menipis, gigi depannya sudah ompong tetapi raut
mukanya ramah‟.
(トットちゃん: 264--265)
(Tottochan: 173--174)
81
Verba pada contoh kalimat (21--25) di atas, adalah verba proses. Verba fuete
iru ‟bertambah‟ pada kalimat (21) memiliki makna proses yaitu ditunjukkan oleh kata
keterangan 十 人 /juu nin „sepuluh orang‟ menyatakan jumlah yang sedang
bertambah, berarti ada proses peningkatan yang terjadi pada objek yaitu 留学生
/ryuugakusei „mahasiswa asing‟. Verba proses yang terdapat pada kalimat (22) dapat
diidentifikasi dari bentuk verbanya yaitu verba yang terbentuk karena proses derivasi
yaitu dari kata sifat atsui „panas‟, kemudian dihilangkan akhiran (i) dan ditambahkan
morfem (-ku) dan ditambahkan (suru). Verba „menjadi panas‟ memiliki makna dari
kondisi yang dingin/belum panas berubah menjadi panas. Hal ini juga diperkuat
dengan adanya kata keterangan „dandan‟ (berangsur-angsur/lama-kelamaan) yang
menyatakan adanya perubahan suatu kondisi menjadi kondisi yang lain. Verba proses
yang terdapat pada kalimat (23) direalisasikan dalam kalimat pertanyaan hal ini
terbukti bersesuaian dengan pendapat yang diungkapkan oleh Chafe (1970:100), yang
bahwa verba proses adalah verba yang dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan ”Apa
yang terjadi pada N”? (N adalah suatu entiti). Sehingga pertanyaan yang terdapat
pada kalimat (23) di atas dapat dijawab “…はい、降っています/ Hai, (ame ga)
futte imasu”‟...Ya, hujan sedang turun‟ (Minna: 95).
Verba proses yang terdapat dalam kalimat (24) subjeknya, yaitu „Tomoe‟
menjadi akrab dengan „Miyazaki‟ dinyatakan bahwa dari tidak akrab menjadi akrab
berarti telah terjadi perubahan kondisi. Ciri proses dalam kalimat ini juga dapat
diidentifikasi secara gramatikal yaitu pemakaian kata keterangan –shitashhiku naru,
82
di mana verba ini merupakan verba yang diderivasi dari adjektiva (i) menjadi verba
yang bermakna proses karena penambahan verba bantu bentuk –ku+natta (menjadi).
Verba proses yang terdapat dalam kalimat (25) ditunjukkan oleh frase „rambutnya
sudah menipis‟ berarti di sini telah terjadi perubahan kondisi subjek dari tebal
berproses menjadi tipis. Hal tersebut juga lebih diperkuat oleh pemakaian bentuk –
uttsu ku natte ite yang sama maknanya dengan bentuk –ku+natta yang terdapat pada
kalimat (24) di atas.
4.2.2.2 Peran Semantis Verba Proses Pengalam Bahasa Jepang
Verba Proses Pengalam bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses-
pengalam]. Kasus yang diperlukan oleh verba ini adalah mahluk hidup yang
mengalami perubahan gejala psikologis, yakni hal yang berkaitan dengan perasaan
emosi, kognisi sehubungan dengan stimulus dari pengalaman yang dinyatakan oleh
kasus objek. Argumen verba proses adalah nomina animat (mahluk hidup) yang
mengalami/merasakan sesuatu secara fisik atau psikologis.
Contoh:
(26)私 は 毎日、 漢字 を 六つ 覚えます。 (Minna: 141)
Watashi wa mainichi kanji wo muttsu oboemasu.
E O
saya Part setiap hari huruf kanji Part enam buah menghafal
„Setiap hari saya menghafal tujuh buah kanji‟.
83
(27)あなた は 心配しないで、 私 は 元気ですから。(Minna: 112)
Anata wa shinpaishinaide, watashi wa genki desukara.
E O
saya Part sehat karena khawatir tolong jangan
„Kamu tidak usah khawatir, saya sehat-sehat saja‟.
(28)きのう私はは山 が見ましたが、きょう は 見ません。(Minna: II/15)
Kinou watashi wa yama ga mimashita ga, kyou wa mimasen.
E O
kemarin saya Part gunung Part melihat Part sekarang Part tidak melihat
„Kemarin saya melihat gunung, tetapi hari ini tidak ‟.
(29)気に帰っても、トットちゃん は、ずっと、このことを考え、感動
していた。
Ki ni kaettemo, Tottochan wa, zutto,kono koto o kangae, kandou shite ita.
E O
walaupun sudah dirumah, Tottochan Part terus-menerus memikirkannya
„Setelah pulang kerumah Totto teringat terus‟.
(トットちゃん:183-186)
( Tottochan: 121-123)
(30)そしたら、女 の 子 だった の で 少し は 彼 は 困ったけど、
Soshitara, onna no ko datta node sukoshi wa kare wa komattakedo,
E
Tetapi, perempuan Part anak adalah Part sedikit Part agak
bingung,
„Tetapi setelah lahir anaknya adalah perempuan, mereka menjadi agak
bingung juga‟.
84
(トットちゃん:67)
(Totto chan: 45)
Verba yang terdapat pada contoh kalimat (26--30) di atas, adalah verba proses
pengalam. Verba 覚えます/oboemasu „mengingat/menghafal‟ berhubungan dengan
kognisi, verba 心配しないで下さい /shinpai shinaide kudasai „tolong jangan
khawatir‟ berhubungan dengan emosi, verba 見えました /miemashita „terlihat‟
berhubungan dengan sensasi, verba 感 動 し て い た /kandou shite ita
„memikirkan/ingat‟ berhubungan dengan kognisi, verba 困った/komatta „bingung‟
berhubungan dengan emosi. Sedangkan „watashi/saya, Totto, mereka‟ adalah nomina
(subjek) yang mengalami proses itu. Pada kalimat (29-30) verba pengalam proses
ditandai secara leksikal oleh kata keterangan 少し/sukoshi „sedikit/agak‟, ずっと
/zutto „terus-menerus‟. Kata keterangan sukoshi memiliki ciri makna [ + gradasi],
sedangkan kata keterangan zutto memiliki makna [ + progresif], jadi kedua kata
keterangan tersebut memiliki ciri makna perubahan sesuatu.
4.2.2.3 Peran Semantis Verba Proses Benefaktif Bahasa Jepang
Verba Proses Benefaktif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses-
benefaktif]. Verba benefaktif mengharuskan kehadiran satu kasus benefaktif dan
kasus objek dalam struktur semantiknya. Subjek dari kalimat yang menggunakan
85
verba proses benefaktif adalah nomina yang mengalami suatu proses atau kejadian
memperoleh atau kehilangan (kerugian).
Contoh:
(31)ミラさん は 漢字 を 読むこと が できます。(Minna: 116)
Mira-san wa kanji wo yomu koto ga dekimasu.
B O
Sdr .Miller Part huruf kanji Part membaca Part dapat
„Miller dapat membaca kanji‟.
(32)田中さんたち は 成功 を 収めます。
Tanaka-san tachi wa seikou wo osamemasu.
B O
Tanaka keluarga Part kesuksesan Part mencapai
„Keluarga Tanaka mencapai (dapat) kesuksesan‟.
(33)きのう の試合は中国と日本とどちらが勝ちましたか。 (Minna: 175)
Kinou no shiai wa Chuugoku to nihon to dochira ga kachimashitaka.
Kemarin Part pertandingan Part China Part Jepang yangmana menang.
中国 は 試合 が 勝ちました。
Chuugoku wa shiai ga kachimashita.
B O China Part pertandingan Part menang
„Pertandingan kemarin apakah China atau Jepang yang menang‟?
„China yang menang dalam pertandingan itu‟.
(34)でも、 トットチャン とうとう、話 が 無くなかった。
demo, Tottochan toutou hanashi ga nakunakatta.
B O
Tetapi Tottochan akhirnya bicara Part kehabisan.
„Tetapi akhirnya Tottochan kehabisan cerita‟.
86
(トットちゃん: 264--265)
(Tottochan: 173--174)
Verba 出来ます/dekimasu „dapat‟, 収めます/osamemasu „mencapai‟, 勝ち
ました/kachimashita ‟menang‟ 無くなった/nakunatta „habis/hilang adalah verba
proses benefaktif. ミラさん/Mira-san „Miller‟, 田中さんたち/Tanaka-san tachi
„keluarga Tanaka‟, 中国/Chugoku ‟China‟, dan トットチャン /Tottochan adalah
nomina yang mengalami peristiwa yang dinyatakan oleh verba tersebut, yaitu proses
benefaktif (memperoleh, mendapatkan, memiliki, dan kehilangan atau kehabisan
sesuatu).
4.2.2.4 Peran Semantis Verba Proses Lokatif Bahasa Jepang
Verba Proses Lokatif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [proses-lokatif],
verba proses lokatif mengharuskan kehadiran satu kasus objek dan satu kasus lokatif
dalam struktur semantisnya. Subjek dari kalimat yang menggunakan verba proses
lokatif berupa nomina yang mengalami suatu proses perubahan tempat (lokasi asal,
lokasi lintas atau lokasi tujuan), dan kasus lokatif menyatakan tempat di mana
terjadinya proses tersebut (Cook, 1979: 52).
87
Contoh:
(35)わたし は 家族 と 日本 へ 来ました。 (Minna: 38)
Watashi wa kazoku to Nihon e kimashita.
O L
saya Part keluarga Part Jepang Part datang
„Saya datang ke Jepang bersama dengan keluarga saya‟.
(36)JL107 便 は 何 時 に 到着するか、 調べてください。 (Minna: II/90)
JL 107 bin wa nan ji ni touchaku suru ka, shirabete kudasai.
O
JL 107 pesawat Part berapa jam Part tiba akan, tolong cek
„Tolong cek jam berapa pesawat JL 107 akan tiba‟.
(37)この バス は 大阪所 に 出かけます。
Kono basu wa Oosakajo ni dekakemasu.
O L
itu bus Part Oosaka terminal Part berangkat
„Bus itu berangkat ke terminal Oosaka‟.
(38)みんな、九品仏 の お寺 に 散歩 に いくとき、家 の そば を
Minna, kuhonbutsu no otera ni sanpo ni iku toki, ie no soba wo
O L
Kalian, kuhonbutsu Part kuil Part jalan Part pergi ketika, rumah Part
痛るしゃねえ の?
tooru janee no.
sebelah
„Kalian kan selalu lewat samping rumahku kalau jalan-jalan ke Kuhonbutsu‟.
(トットちゃん:187)
(Tottochan: 123)
88
(39)B29 の 飛行機 から、 爆弾 は、 いくつも、いくつも、
B29 no hikouki kara, bakudan wa, ikutsumo, ikutsumo,
O
B29 PART pesawat dari bom PART banyak, banyak,
トモエ の、 電車 の 上 に
Tomoe no, densha no ue ni
L
Tomoe Part kereta listrik part GA Part atas Part
落ちた。 ochita.
jatuh.
„Dari pesawat-pesawat pembom B29, bom-bom pembakar yang tak terhitung
banyaknya jatuh di atas kereta listrik yang dijadikan sekolah Tomoe‟.
(トットちゃん: 264--265) (Tottochan: 173--174)
Verba 来ました/kimashita „datang‟, 到着する/touchaku suru „tiba‟, 出かけ
ます/dekakemasu „berangkat‟, 通る/tooru „lewat‟ 落ちた/ochita „jatuh‟ adalah verba
proses-lokatif. Sedangkan わたし/watashi „saya‟, 便/bin „pesawat‟, バスみんな
/minna „kalian‟, 爆弾/bakudan „bom‟ adalah nomina yang mengalami perubahan
lokasi. Kelima verba ini menyatakan adanya proses perpindahan objek dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Pada kalimat (35) kasus objek diperankan oleh nomina
persona watashi „saya‟ sedangkan untuk kasus lokatif diperankan oleh nomina Nihon
„negara Jepang. Pada kalimat (36) kasus objek diperankan oleh nomina bin „pesawat‟
sedangkan kasus lokatif tidak direalisasikan dalam struktur lahir kalimat, tetapi
89
sebenarnya dalam struktur logisnya peran lokatif bisa diperankan oleh nomina
hikoukijo „airport‟. Pada kalimat (37) kasus objek diperankan oleh nomina basu „bus‟
sedangkan untuk kasus lokatifnya diperankan oleh frase Oosakajo „terminal Oosaka‟.
Kalimat (38) kasus objek diperankan oleh nomina persona minna „kalian‟ sedangkan
untuk kasus lokatifnya diperankan oleh diperankan oleh frase nomina uchi no soba
„samping rumah‟, kalimat (39) kasus objek diperankan oleh nomina bakudan „bom‟,
sedangkan kasus lokatif diperankan oleh nomina densha „kereta listrik‟. Realisasi
struktur lahir ketiga kalimat di atas menggunakan partikel (pemarkah) wa, to, e, ni,
partikel „wa‟ berfungsi sebagai penanda topik, partikel „to‟ berfungsi sebagai penanda
keterangan penyerta, partikel „e‟ menyatakan tujuan/arah suatu gerakan atau
perpindahan, dan partikel „ni‟ berfungsi untuk menyatakan tempat tujuan/lokasi dari
suatu pergerakan atau perpindahan.
4.2.3 Peran Semantis Verba Aksi Bahasa Jepang
Verba aksi bahasa Jepang mempunyai ciri semantis tindakan dan perbuatan,
yaitu menyatakan aksi gerakan, ujaran, dan perpindahan. Verba aksi bahasa Jepang
mengharuskan kehadiran argumen agen sebagai pelaku suatu aksi dan argumen objek
yang kena pengaruh suatu aksi atau merupakan hasil dari suatu aksi. Verba ini
memiliki minimal dua argumen inti dan maksimal memiliki tiga argumen inti.
90
4.2.3.1 Peran Semantis Verba Aksi Dasar Bahasa Jepang
Verba Aksi Dasar bahasa Jepang memiliki dua argumen inti. Argumen
pertama berperan sebagai kasus agen, sedangkan argumen kedua berperan sebagai
kasus objek yang mengalami efek atau pengaruh dari suatu aksi. Verba aksi adalah
verba yang membutuhkan argumen berupa sebuah nomina yang berciri makna [ +
bernyawa]; dan bertindak sebagai penggerak tindakan yang disebutkan oleh verba
tersebut. Verba ini mengharuskan hadirnya kasus agen dan kasus objek dalam
struktur semantisnya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dijelaskan beberapa contoh
kalimat yang menggunakan verba aksi dalam Bahasa Jepang.
(40)今朝、 父 は 新聞 を 読みました。 (Minna: 32)
Kesa, chichi wa shimbun wo yomimashita.
A O
tadi pagi, ayah Part koran Part membaca
„Tadi pagi ayah sudah baca koran‟.
(41)毎日 日記 を 書くよう に しています。 (Minna: II/66)
Mainichi nikki wo kaku you ni shite imasu.
O
setiap hari catatan harian Part menulis supaya bisa
„Saya berusaha menulis catatan harian‟.
(42)レポ-ト は 出さ なくてもいいです。 (Minna: 110)
Repo-to wa dasa nakute mo ii desu.
O
laporan Part menyerahkan tidak perlu
„Anda sekalian tidak perlu menyerahkan laporan‟.
91
(43)子供 は 窓 を 開けます。
Kodomo wa mado wo akemasu.
A O
Seorang anak Part jendela Part membuka
„Seorang anak membuka jendela‟.
(44)しかも、話しながら、 手 は 休むことなく雑草を、ひきぬいた。
Shikamo, hanashinagara, te wa yasumu koto naku zoukusa wo hikinuita.
A O
Herannya, waktu berbicara, tangan Part istirahat rumput liar mencabut
„Herannya, waktu berbicara, tangannya tak henti-henti mencabut rumput liar‟.
(トットちゃん:188)
(Tottochan: 124)
Verba yang terdapat pada contoh kalimat (40--44)di atas, merupakan verba
aksi. Kalimat (40) verba 読みました/yomimashita „baca‟ mengikat dua argumen inti
yaitu chichi „ayah‟ sebagai peran agen, dan shimbun „koran‟ yang berperan sebagai
kasus objek. Kalimat (41) verba 書く/kaku „menulis‟ mengikat dua argumen inti
yaitu watashi „saya‟ sebagai agen dan kasus objek diperankan oleh nomina nikki
„buku catatan harian‟; kalimat (42) verba 出す/dasu „menyerahkan‟ mengikat dua
argumen inti yaitu agen dan objek, tetapi kasus agen tidak direalisasikan di dalam
struktur lahir kalimat. Pelesapan satu unsur subjek dalam sebuah kalimat memang
biasa dilakukan dalam kalimat bahasa Jepang. Pada kalimat (43) verba 開けます
/akemasu „membuka‟ mengikat dua argumen inti yaitu kodomo „seorang anak‟
92
sebagai agen, dan mado „jendela‟ sebagai kasus objek. Pada kalimat (44) verba ひき
ぬいた/hikinuita „mencabut‟ mengikat dua argumen inti yaitu te ‟tangan‟ sebagai
kasus agen, dan zoukusa „rumput‟ sebagai kasus objek. Kelima kalimat di atas
dalam struktur lahirnya, direalisasikan dengan partikel „wa‟ dan partikel „wo‟,
partikel „wa‟ secara sintaktis berfungsi sebagai penanda topik/subjek sedangkan
secara semantis sebagai penanda kasus agen. Sementara itu, partikel „wo‟ secara
sintaktis berfungsi sebagai penanda objek dari kata kerja transitif sedangkan secara
semantis sebagai penanda kasus objek yang terkena efek dari suatu aktivitas atau
perbuatan. Verba ini memiliki ciri makna [ + transitif].
4.2.3.2 Peran Semantis Verba Aksi Pengalam Bahasa Jepang
Verba Aksi Pengalam bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [aksi-
pengalam], pelaku dari verba ini adalah nomina berciri makna [ + bernyawa], dan
bertindak sebagai pelaku tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut serta sekaligus
dapat pula sebagai pengalami secara kognisi, emosi, atau sensasi dari tindakan yang
dinyatakan oleh verba tersebut. Verba ini mengharuskan kehadiran kasus Agen, kasus
Pengalami, dan kasus Objek dalam struktur semantisnya. Verba Pengalam Aksi
menyatakan aktivitas berkenaan dengan aspek psikologis pengalam, kognisi, emosi
atau sensasi. Kasus Agen menyatakan entitas yaitu mahluk hidup (animat) yang
menjadi pelaku suatu aksi/perbuatan. Kasus Pengalami menyatakan mahluk hidup
93
yang mengalami pengalaman psikologis, yaitu kognisi, emosi, atau sensasi. Kasus
Objek menyatakan entitas yang merupakan isi dari atau stimulus bagi pengalami.
Contoh:
(45)トットチちゃん は つくずくと その 先生 を 観察した。
Tottochan wa tsukuzukuto sono sensei wo kansatsu shita.
A=E A=E
Tottochan Part cermat guru itu Part mengamati
„Dengan cermat Tottochan mengamati guru itu‟.
(トットちゃん:187)
(Tottochan : 123)
(46)と 聞く と 必ず、 「トットちゃん!」 と 答えた。
to kiku to hatarazu, ( Totto chan!) to kotaeta
O
Part dengar Part (Totto chan!) Part menjawab
“Ketika mendengar itu, ia selelalu menjawab Totto chan !”
(トットちゃん:68)
(Tottochan: 46)
(47)ニュ-ス を 聞いて、 吃驚しました。 (Minna: 110)
Nyu-su wo kiite bikkuri shimashita.
O
berita Part mendengar terkejut
„Saya terkejut mendengar berita itu‟.
94
(48)わたし は 家族 を 思い出しました。 (Minna: 98)
Watashi wa kazoku wo omoidashi mashita.
A=E O
saya Part keluarga Part teringat
„Saya teringat keluarga saya‟.
(49)ミラ-さんは来週 大阪 へ出張すると言っていました。(Minna/II: 48)
Mira-san wa raishuu Oosaka e shutchou suru to itte imashita.
A O
Sdr. Miler Part minggu depan Oosaka Part dinas Part berkata
„Miler berkata kepada saya bahwa dia akan dinas ke Oosaka minggu depan‟.
(50)昔、電話がない人は他の人に電報で急ぐ用事を伝えました。
Mukashi, denwa ga nai hito wa hoka no hito ni denpou de isogu youji wo
A O
dahulu, telepon Part tidak ada orang Part orang lain Part telegram Part
tsutaemashita.
segera urusan Part menyampaikan
„Dahulu karena tidak ada telepon orang memyampaikan keperluannya ke pada
orang lain lewat telegram‟.
(Minna/II: 66)
Verba 観察した/kansatsu shita „mengamati‟, 答えた/kotaeta „menjawab‟,
聞いて/kiite „mendengar‟, 思い出しました omoidashimashita „teringat‟, 言ってい
ました itte imashita „berkata‟, dan 伝えました tsutaemashita „menyammpaikan‟
merupakan verba aksi pengalami. Verba kansatsu shita „mengamati‟, pada kalimat
95
(45) mengikat kasus agen, yaitu Tottochan yang berperan sebagai agen (orang yang
melakukan tindakan) sekaligus sebagai pengalami (orang yang mengalaminya), kasus
objek diperankan oleh nomina sensei „guru‟. Kalimat (46), verba kotaeta „menjawab‟
mengikat kasus agen yaitu nomina „ia‟ sebagai agen sekaligus sebagai pengalami,
sedangkan kata „Tottochan‟ berperan sebagai kasus objek. Pada kalimat (47) Verba
kiite „mendengar‟ mengikat kasus agen yaitu watashi „saya‟ yang berperan sebagai
kasus agen sekaligus sebagai kasus pengalami, sedangkan kasus objek diperankan
oleh frase nyu-su „berita‟. Pada kalimat (48) subjek pada kalimat bahasa Jepang tidak
direalisasikan dalam struktur lahir kalimat, hal itu memang sering dilakukan dalam
bahasa Jepang. Verba omoidashimashita „teringat‟ pada kalimat (48) mengikat kasus
agen yang diperankan oleh nomina persona watashi „saya‟ nomina watashi sekaligus
juga berperan sebagai kasus pengalami, sedangkan kasus objek diperankan oleh frase
kazoku „keluarga saya‟. Verba itte imashita „berkata‟ yang terdapat pada kalimat (49)
peran kasus agen diisi oleh nomina persona, yaitu Miller, kasus pengalami
diperankan oleh nomina persona watashi „saya‟, dan kasus objek diperankan oleh
frase Oosaka e shutchou suru ‟dinas ke Oosaka‟. Verba tsutaemashita
„menyampaikan‟ pada kalimat (50) kasus agen diperankan oleh nomina hito „orang‟,
kasus pengalami diperankan oleh frase nomina hoka no hito „orang lain‟, dan kasus
objek diperankan oleh nomina youji „keperluan‟.
96
4.2.3.3 Peran Semantis Verba Aksi Benefaktif Bahasa Jepang
Verba Aksi Benefaktif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [aksi-
benefaktif], verba aksi benefaktif adalah verba yang menyatakan tindakan dan
pemilikan, mendapatkan keuntungan atau kehilangan. Pelaku verba ini adalah berupa
nomina [ + bernyawa] yang bertindak sebagai pelaku tindakan. Pelaku bisa juga
berperan sekaligus sebagai pemilik atau yang kehilangan. Verba aksi benefaktif
bahasa Jepang mengharuskan kehadiran kasus agen, kasus benefaktif, dan kasus
objek dalam struktur semantisnya. Kasus agen adalah entitas yang menyebabkan
pemerolehan atau kehilangan sesuatu. Kasus benefaktif adalah entitas yang
mendapatkan atau kehilangan sesuatu. Kasus objek adalah entitas yang didapatkan
atau yang dihilangkan.
Contoh:
(51)宮崎君 も毎日いろんな 本 を 学校 に持って来てはお昼休みに読んで
くれた。
Miyazaki kun mo mainichi iron na hon wo gakkou ni motte kite wa,
A O
Miyazaki Part setiap hari macam-macam buku Part sekolah Part
ohiru yasumi ni yonde kureta.
membawa Part siang istirahat Part membacakan.
„Setiap hari miyazaki membawa berbagai buku ke sekolah dan
membacakannya untuk teman-teman waktu istirahat‟.
(トットちゃん:226)
(Tottochan: 148)
97
(52)わたし は 息子 に お菓子 を やりました。(Minna/II: 98)
Watashi wa musuko ni okashi wo yarimashita.
A B O
Saya Part anak Part kue Part memberi
„Saya memberi kue kepada anak saya‟.
(53)部長 の 奥さん は [わたし に]お茶 を 教えてくださいました。
Buchou no okusan wa [watashi ni] ocha wo oshiete kudasaimashita.
A B O
Kepala bagian Part (saya) Part teh Part mengajari
„Istri kepala bagian mengajar saya tatacara minum teh‟. (Minna/II: 99)
(54)わたし は ワット 先生 に 本 を いただきました。(Minna/II: 96)
Watashi wa Watto sensei ni hon wo itadakimashita.
B A O
saya Part Watto pak part buku Part menerima
„Saya menerimabuku dari pak Watt‟.
(55)引っ越し の ため に、 [私は] 車 を 借ります。 (Minna/II: 104)
Hikkoshi no tame ni, (watashi wa) kuruma wo karimasu.
A=B O
pindah Part untuk Part, (saya Part) mobil Part meminjam
„Untuk pindah, saya meminjam mobil‟.
Verba 読 んでく れ た /yonde kureta „membacakan‟, やりまし た
/yarimashita „memberi‟, 教 え て く だ さ い ま し た /oshiete kudasai mashita
„mengajari‟, いただきました /itadakimashita „menerima‟, 借ります /karimasu
98
„meminjam‟ secara semantis termasuk verba aksi benefaktif. Kasus benefaktif yang
terdapat pada kalimat (51--55) di atas, semuanya „mendapat‟ atau „memperoleh‟
sesuatu, hal tersebut dapat dilihat dari peran kasus yang muncul dari masing-masing
kalimat. Nomina persona yang berperan sebagai kasus agen (pemengaruh) dan
nomina persona yang berperan sebagai kasus benefaktif (pemanfaat) tergambar
dengan jelas.
Untuk kalimat (54) nomina persona watashi „saya‟ memiliki dua peran,
yaitu sebagai kasus Agen sekaligus berperan sebagai kasus Benefaktif. Struktur lahir
keempat verba benefaktif yang terdapat pada kalimat di atas, dimarkahi oleh partikel
wa, ni, wo, no partikel „wa‟ secara sintaktis berfungsi sebagai pemarkah topik,
sedangkan secara semantis sebagai penanda kasus Agen, partikel „ni‟ secara sintaktis
berfungsi sebagai pemarkah datif, sedangkan secara semantis berfungsi sebagai
penanda arah suatu aktivitas (perbuatan) „memberi-menerima‟ dan kepada siapa
aktivitas „memberi-menerima‟ itu ditujukan. Partikel „wo‟ secara sintaktis berfungsi
sebagai pemarkah objek, sedangkan secara semantis berfungsi sebbagai penanda
kasus Objek. Partikel „no‟ secara sintaktis berfungsi sebagai pemarkah nominalisator,
sedangkan secara semantis tidak memiliki peran apapun karena partikel „no‟ hanya
dipakai untuk menghubungkan nomina satu dengan nomina yang lain dalam suatu
konteks tertentu.
99
4.2.3.4 Peran Semantis Verba Aksi Lokatif Bahasa Jepang
Verba Aksi Lokatif bahasa Jepang mempunyai ciri semantis [aksi-lokatif],
verba aksi lokatif memerlukan kasus agen, kasus objek, dan kasus lokatif. Kasus agen
berperan sebagai pelaku suatu aksi, kasus objek berperan sebagai entitas yang
mengalami perubahan lokasi (lokasi asal, tempat berada atau tempat tujuan). Kasus
lokatif berperan sebagai lokasi dari suatu perbuatan atau aksi biasanya berupa nama
tempat ataupun frasa yang menyatakan tempat atau lokasi. Pelaku tindakan atau
perbuatan berciri makna [ + bernyawa] yang dapat mengalami tindakan itu sendiri
maupun tidak.
Contoh:
(56)お昼 休み に、 宮崎君 が、校長 先生 の 家 の ほう に 行く。
Ohiru yasumi ni miyazaki kun ga kouchou sensei no uchi no hou ni iku.
A=O L
siang istirahat Part Miyazaki Part kepala sekolah guru Part rumah
Part maksud part pergi
„Pada waktu istirahat siang miyazaki pergi ke rumah kepala sekolah‟.
(トットちゃん:226)
(Tottochan: 148)
(57)コ-ヒ- は 佐藤 を 入れないで 飲みます。 (Minna/II: 54)
Ko-hi- wa satou wo hairenai de nomimasu.
O
kopi Part gula Part memasukkan tanpa minum
„Saya minum kopi tanpa memasukkan gula‟.
100
(58)あの 人 が 階段 を 下ります。 (Nihon gogaku no kiso: 127)
Ano hito ga kaidan wo orimasu.
A=O L
itu orang Part tangga Part turun
„Orang itu menuruni tangga‟.
(59)去年 [私 は] 北海道 で 馬 に 乗りました。 (Minna: 124)
Kyonen [watashi wa] Hokkaidou de uma ni norimashita.
A L O
tahun lalu [saya Part] Hokkaidou Part kuda Part naik
„Tahun lalu saya naik kuda di Hokkaidou‟.
(60)彼 は 辞書 を 机 の 上 に 置きました。
Kare wa jisho wo tsukue no ue ni okimashita.
A O L
ia Part kamus Part meja Part atas Part meletakkan
„Ia meletakkan kamusnya di atas meja‟.
Verba 行く/iku „pergi‟, 入れないで/hairenai „memasukkan‟, 降ります
orimasu „turun‟, 乗りました norimashita „naik‟, dan 置きました okimashita
„menaruh termasuk verba Aksi Lokatif. Pada kalimat (56) nomina persona „Miyazaki‟
berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai orang yang mengalami tindakan „pergi‟,
sedangkan kasus lokatif diperankan oleh frase nomina kochou sensei no uchi „rumah
kepala sekolah‟. Pada kalimat (57) nomina persona watashi „saya‟ berperan sebagai
kasus Agen sekaligus juga berperan sebagai kasus Lokatif, sedangkan untuk kasus
Objek diperankan oleh nmina ko-hi- „kopi‟, pada kalimat (58) nomina hito „orang‟
101
berperan sebagai kasus Agen sekaligus sebagai kasus Objek, sedangkan kasus Lokatif
diperankan nomina kaidan „tangga‟. Pada kalimat (59) kasus Agen diperankan oleh
nomina persona watashi „saya‟, kasus Objek diperankan oleh nomina uma „kuda‟,
kasus Lokatif diperankan oleh keterangan tempat, yaitu Hokkaido. Kalimat (60) kasus
Agen diisi oleh nomina persona kare „ia‟, kasus Objek diisi oleh nomina jisho
„kamus‟, dan kasus Lokatif diisi oleh nomina tsukue „meja‟.
4.3 Kasus Non-Inti (Modal Cases)
Kasus Non-Inti (Modal Cases) ialah kasus yang tidak merupakan valensi
verba. Kehadirannya dalam struktur semantik tidak bergantung pada verba. Realisasi
kasus Modal pada struktur luar hanya bersifat opsional (tidak harus), hal ini terjadi
untuk memenuhi fungsi gramatikal suatu bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kasus Non-Inti dikategorikan sebagai kasus Modal yang artinya kasus ini
berfungsi dalam membangun struktur klausa yang berterima dalam struktur lahir
(gramatikal) atau untuk memenuhi fungsi sintaktis suatu bahasa.
Kasus-kasus Non-Inti (modal cases) adalah (1) Kasus Non-Inti Time (Waktu);
(2) Kasus Non-Inti Manner (Cara); (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat); (4) Kasus
Non-Inti Cause (Sebab); (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud); (6) Kasus Non-Inti
Result (Akibat); (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar); (8) Kasus
Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar).
Dengan mempergunakan kerangka teori yang telah dibicarakan pada subbab
sebelumnya, maka di bawah ini dijelaskan kasus Modal (Modal Cases), yang terdapat
102
dalam kalimat bahasa Jepang dengan menghidangkan data-data berupa kalimat dalam
bahasa Jepang sebagi ilustrasi.
4.3.1 Kasus Non-Inti Verba Statif Bahasa Jepang
Kasus Non-Inti Verba Statif ialah peran yang yang hadir dalam struktur luar
kalimat di mana peran (argumen) tersebut kehadirannya tidak dibutuhkan secara
semantis, melainkan secara gramatikal dalam suatu kalimat dengan predikat Verba
Statif. Adapun kasus-kasus Non-Inti Verba Statif yang dimaksud adalah: (1) Kasus
Non-Inti Time (Waktu) Verba Statif; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Statif;
(3) Kasus Non-Inti Instrument (alat) Verba Statif; (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab)
Verba Statif; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Statif; (6) Kasus Non-Inti
Result (Akibat) Verba Statif; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar)
Verba Statif; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Statif.
4.3.1.1 Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Statif Bahasa Jepang
(1)今日 は 空 が 晴れて いる。
Kyou wa sora ga harete iru.
Non-Inti W Os hari ini Part langit Part cerah
„Hari ini langit cerah‟.
Verba Statif 晴れて いる/harete iru „cerah‟ yang terdapat dalam kalimat di
atas memiliki satu argumen inti yaitu 空 /sora „langit‟. Argumen sora „langit‟
103
berperan sebagai objek yang berada dalam suatu keadaan yang dinyatakan oleh verba
harete iru. Sedangkan Kasus Non-Inti Waktu diperankan oleh kata keterangan waktu,
yaitu kyou „hari ini‟, kata keterangan waktu kyou „hari ini‟ bukan merupakan valensi
verba, tetapi kehadirannya berfungsi untuk memberikan keterangan waktu sehinga
kasus ini dikategorikan sebagai kasus Non-Inti di mana kehadirannya hanya bersifat
opsional (tidak harus) karena tuntutan fungsi gramatikal. Kasus Non-Inti Waktu tidak
terikat secara semantis pada verba statif sebagai inti kalimat (proposisi) tetapi terikat
secara gramatikal.
4.3.1.2 Kasus Non-Inti Instrument (Alat)Verba Statif Bahasa Jepang
(2)雪さん の 手 は ナイフ で けが を している。
Yukisan no te wa naifu de kega wo shite iru.
Os Non-Inti Alt Yuki Part tangan Part pisau Part terluka
„Yuki tangannya terluka karena pisau‟.
Kalimat di atas memiliki satu argumen inti, yaitu 雪さんの手 „tangannya
Yuki‟ yang harus hadir sebagai argumen verba statif けがをしている/kega wo shite
iru „terluka‟. Sedangkan argumen Non-Inti, yaitu ナイフ „pisau‟ hadir untuk
memberikan keterangan tambahan atau keterangan alat yang menjadi penyebab
terjadinya keaadaan yaitu terluka. Dalam struktur semantisnya verba statif けがをし
ている /kega wo shite iru „terluka‟ hanya membutuhkan satu argumen untuk
104
memenuhi unsur proposisi kehadiran argumen Non-Inti alat disebabkan karena
kebutuhan struktur lahir kalimat atau berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang
alat (yang dalam hal ini adalah pisau yang menyebabkan tangan Yuki terluka).
4.3.1.3 Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Statif Bahasa Jepang
(3)家 は メチャクチャ に 壊れた。
Uchi wa mechakucha ni kowareta.
Os Non-Inti R
rumah Part berantakan Part hancur
„Rumah hancur berantakan‟.
(4)木村さん は 交通事故 で 死んだ。
Kimura san wa koutsuujiko de shinda.
Os Non-Inti R Kimura Part kecelakaan Part meningal
„Kimura meningal akibat kecelakaan lalu-lintas‟.
Dalam struktur logisnya Verba Statif 壊れた /kowareta „hancur‟, 死んだ
/sinda „meningal‟ yang terdapat pada kalimat di atas membutuhkan satu argumen inti,
yaitu 家/uchi ‟rumah‟ 木村さん/Kimura san „Kimura‟. Sedangkan dalam struktur
lahir kedua verba dalam kalimat di atas disertai dengan kasus Non-Inti Akibat, yaitu
yang dinyatakan oleh kata keterangan メチャクチャ/mechakucha „berantakan‟, 交
通事故/koutsuujiko „kecelakaan‟ kedua kata keterangan ini bukan merupakan valensi
verba kowareta dan verba shinda, tetapi kehadirannya hanya sebagai pelengkap
105
keterangan mengenai keadaan suatu objek yang dinyatakan oleh predikat verba
sebagai inti proposisi dan diperlukan karena peran gramatikal.
4.3.1.4 Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar)Verba Statif Bahasa Jepang
(5)この 道 が 右 へ 曲がっている。
Kono michi ga migi e magatte iru.
Os Non-Inti OL ini jalan Part kanan Part belok
„Jalan ini belok ke kanan‟.
(6)富士山 が 天 に 聳え立っている。
Fujisan ga ten ni sobietate iru.
Os Non-Inti OL gunung Fuji Part udara Part menjulang
„Gunung Fuji tegak menjulang ke udara‟.
Verba 曲がっている/magatte iru „belok‟, 聳え立っている/sobiete iru
„menjulang‟ mengharuskan kehadiran satu kasus objek dalam struktur semantiknya.
Kasus objek menyatakan entitas yang berada dalam suatu keadaan. Keadaan yang
dimaksud adalah keadaan karena kondisi alami atau keadaan yang terjadi secara
alami, yaitu keadaan 道/michi „jalan‟ yang „berbelok‟ dan keadaan 富士山/Fujisan
„gunung Fuji‟ yang ‟menjulang‟. Kasus Non-Inti outer Locative yang terdapat dalam
kalimat di atas, secara gramatikal berfungsi untuk memberikan keterangan lokasi atau
arah berkaitan dengan keberadaan argumen Inti.
106
4.3.2 Kasus Non-Inti Verba Proses
Kasus Non-Inti (modal cases) Verba Proses ialah kasus yang muncul dalam
kalimat dengan predikat verba proses, di mana kasus tersebut bukan merupakan
valensi verba proses dan realisasi dalam struktur luar hanya bersifat opsional (tidak
harus). Adapun kasus-kasus Non-Inti Verba Proses yang dimaksud adalah: (1) Kasus
Non-Inti Time (Waktu) Verba Proses; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba
Proses; (3) Kasus Non-Inti Instrument (alat) Verba Proses; (4) Kasus Non-Inti Cause
(Sebab) Verba Proses; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Proses; (6) Kasus
Non-Inti Result (Akibat) Verba Proses; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive
(Benefaktif Luar) Verba Proses ; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar)
Verba Proses.
4.3.2.1 Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Proses Bahasa Jepang
(7)去年 から、 食品 の 値段 が 高まっている。
Kyounen kara shokuhin no nedan ga takamatte iru.
Non-Inti W O tahun lalu Part bahan makanan Part harga Part meningkat
„Harga bahan makanan meningkat sejak setahun yang lalu‟.
(8)わたし は 日本 に 一年 います。 (Minna: 74)
Watashi wa Nihon ni ichinen imasu.
O L Non-Inti W saya Part Jepang Part satu tahun tinggal
„Saya tinggal di Jepang selama satu tahun‟.
107
(9)そこで、 小林 先生 は、 パリ の こと ダルクローズ の
Soko de, Kobayashi sensei wa, Pari no koto Dorukurozu no
O L
Sampai disini, Kobayashi guru Part Paris Part hal Dalcroze Part
学校 に 一年 以上 も 滞在して、
gakko ni 1 nen ijo mo taizai shite,
Non-Inti W
sekolah Part 1 tahun lebih Part tinggal,
リトミック を 身につけた。
ritomikku wo mi ni tsuketa
ritmik Part mempelajari.
„Sampai disini, guru Kobayashi tinggal di Paris selama kurang lebih 1tahun
dan mempelajari tentang ritmik di sekoah Dalcroze‟.
(Tottochan)
(10)昨日 の 晩 から 父 の 病気 は ますます重くなっていた。
Kinou no ban kara chichi no byouki wa masumasu omoku natte ita.
Non-Inti W O
kemarin Part malam dari ayah Part sakit Part semakin berat
„Dari kemarin penyakit ayah menjadi semakin berat‟.
Kalimat (7--10) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Waktu (Time) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran
kasus Non-Inti Waktu yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur
108
semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Waktu memiliki
fungsi gramatikal (peran sintaktis) untuk keterangan waktu.
4.3.2.2 Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Proses Bahasa Jepang
(11)その 言葉 は 彼 の 耳 に 美しく 聞こえた。
Sono kotoba wa kare no mimi ni utsukushiku kikoeta.
O Non-Inti C itu ucapan Part dia Part telinga Part merdu beralun
„Ucapan itu beralun dengan merdu di telinganya‟.
(12)大人 の 人 みたい だったし
Otona no hito mitai dattashi
Non-Inti C O orang dewasa Part orang terlihat
„Terlihat berpakaian seperti orang dewasa‟.
(トットちゃん: 226)
(Tottochan: 147)
(13)トットちゃん が 近つく と 高橋君 は 人
Tottochan ga chikatsuku to Takahashikun wa hito
O Totto Part dekat Part Takahashi Part orang
なつっこそう に 笑った だから トットちゃん達
nattsukkosou ni waratta dakara Tottochantachi
Non-Inti C ramah Part tertawa karena itu Totto dan teman
も すぐ 笑った。
mo sugu waratta.
Part selanjutnya tertawa.
109
„Waktu didekati, Takahashi tersenyum ramah seakan dapat menarik hati
sahabat.Totto dan kawan-kawan segera ikut tersenyum‟.
(高橋君: 122)
(Takahashikun: 82-83)
(14)私 は 歩いて 町 を 回っている。
Watashi wa aruite machi wo mawatte iru.
O Non-Inti C saya Part berjalan kaki kota Part berputar
„Saya keliling kota dengan berjalan kaki‟.
(15)なに も かも が なつかしかった。
Nani mo kamo mo ga natsukashikatta.
O Non-Inti C apapun Part rindu
„Segala sesuatu dikenangnya dengan rasa rindu‟.
(16)オルガン が 静か に 賛美歌 を 歌っていた。 Orugan ga shizuka ni sanbika wo utatteita.
Non-Inti C O organ Part tenang Part kidung Part menyanyikan.
„Organ mengalunkan lagu-lagu gereja dengan hikmad‟.
(17)そして、最後に、やっとのことで、二人 で 仲良く踊った
Soshite, saigo ni, zatto no koto de, futari nakaryouku odotta.
O Non-Inti C kemudian, yang terakhir Part, keduanya menari bersama dengan mesra
„Mereka berdua menari bersama dengan mesra‟.
(トットちゃん:183-186)
(Tottochan: 121-123)
110
Kalimat (11--17) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Cara (Manner) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran
kasus Non-Inti Cara yang terdapat pada kalimat (1--7) di atas tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut, struktur semantik
kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Cara memiliki fungsi
gramatikal (peran sintaktis) untuk menjelaskan keterangan (cara). Cara (Manner)
yang dimaksud di sini berhubungan dengan cara, gaya, sikap seseorang dalam
mengekspresikan/melakukan sesuatu.
4.3.2.3 Kasus Non-Inti Instrument (Alat)Verba Proses Bahasa Jepang
(18)列車 で、 6時 ごろ 家 に 着いた。
Ressha de 6 ji goro ie ni tsuita.
Non-Inti Alt L kereta api Part 6 jam kira-kira rumah Part tiba
„Jam 6 saya samapai di rumah dengan kereta api‟.
(19)赤 や 黄色 や ピンク の リリアン に ぶち下かった ハッカ パイプ。
Aka ya kiiro ya pinku no ririan ni buchi shita katta hakka paipu.
Non-Inti Alt O
merah Part kuning Part pink Part tali rajutan Part hisap permen pipa.
„Ada pipa hisap berisi permen pedas yang digantung dengan tali rajutan
berwarna merah, kuning dan pink‟.
111
Kalimat (18-19) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Instrument (alat) dalam kalimat yang berpredikat Verba Proses. Kehadiran kasus
Non-Inti Alat yang terdapat pada kalimat (18-19) di atas, tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur
semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Alat memiliki fungsi
gramatikal (peran sintaktis) untuk menunjukkan keterangan alat. Keterangan alat
yang dimaksud adalah 列車/ressha „kereta api‟, ピンク の リリアン/pinku no ririan
„tali rajutan berwarna merah’ kedua nomina tersebut menyatakan alat. Hal ini juga
diperkuat dengan digunakannya partikel で/de, に/ni sebagai pemarkah keterangan
alat dalam sintaktis bahasa Jepang.
4.3.2.4 Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Proses Bahasa Jepang
(20)彼女 の 声 は 感動 で 震えていた。
Kanojo no koe wa kandou de furuete ita.
O=E Non-Inti S
perempuan Part suara Part haru Part gemetar
„Suaranya gemetar karena haru‟.
(21)地震 で ビル が 倒れました。 (Minna: II/87)
Jishin de biru ga taoremashita.
Non-Inti S O gempa Part gedung Part roboh
„Karena gempa bumi, gedung besar itu roboh‟.
112
(22)病気 で 会社 を 休みました。 (Minna: II/87)
Byouki de kaisha wo yasumimashita.
Non-Inti S Sakit Part kantor Part libur
„Karena sakit, saya tidak masuk kantor‟.
(23)トットちゃん の ママ は、パパ 仕事 が ある ので、
Tottochan no mama wa, papa shigoto ga aru node, papa to Tokyo data.
Non-Inti S Totto chan part mama part, papa pekerjaan part ada part
パパ と 東京 だった
papa to Tokyo
L papa Part Tokyo
„Sehubungan dengan pekerjaan papa, mama tinggal di Tokyo‟.
(とっとちゃん:225 )
(Tottochan: 167)
Kalimat (20--23) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Sebab (Cause) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran
kasus Non-Inti Sebab yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur
semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Sebab memiliki
fungsi gramatikal, yaitu membantu memberikan keterangan tambahan pada kalimat.
Keterangan „penyebab‟ direalisasikan dalam struktur lahir kalimat dengan
digunakannya partikel „de‟ pada kalimat (20--22), sementara itu pada kalimat (23)
113
digunakan partikel „node‟ yang berfungsi untuk menyatakan ‟hubungan sebab akibat‟
dalam bahasa Jepang.
4.3.2.5 Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Proses Bahasa Jepang
(24)私 は 早く 泳げるように、毎日 練習しています。 (Minna: II/68)
Watashi wa hayaku oyogeruyouni, mainichi renshuu shite imasu.
E Non-inti M saya Part hayaku berenang dapat, setiap hari berlatih
„Supaya dapat berenang dengan cepat, setiap hari saya berlatih‟.
(25)体 が 高くなるよう に、 よく 運動しています。
Karada ga takaku naru you ni, yoku undou shite imasu.
E=O Non-inti M Badan Part tinggi menjadi, sering berolahraga
„Saya sering berolahraga agar badan saya menjadi tinggi‟.
Kalimat (24-25) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Maksud (Purpose) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses.
Kehadiran kasus Non-Inti Maksud yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak
bergantung pada verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut
pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Penambahan kata
bantu ように /you ni pada verba泳げる /oyogeru „bisa berenang‟ menyebabkan
terjadinya penambahan keterangan secara semantis, yaitu menerangkan „maksud‟.
Pada kalimat (25) kata bantu ように/you ni ditambahkan pada verba 高くなる
114
/takaku naru „menjadi tinggi‟ memberikan keterangan tambahan dari verba sebagai
inti proposisi. Fungsi kata bantu ように /you ni adalah memberikan keterangn
„maksud‟ terhadap proses yang terjadi pada objek yang dinyatakan oleh verba sebagai
inti proposisi.
4.3.2.6 Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Proses Bahasa Jepang
(26)朝寝坊ですから、 私 は 学校 に 遅れました。
Asanebou desukara, watashi wa gakkou ni okuremashita.
Non-inti Akbt O L bangun kesiangan karena, saya Part sekolah Part terlambat
„Karena bangun kesiangan, saya terlambat sampai di sekolah‟.
(27)顔色 は 陽焼けして、 真黒 だった。
Kaoiro wa hiyakeshite, shinkoku data.
E=O Non-inti Akbt Warna wajah Part terbakar matahari hitam legam
„Wajahnya hitam legam karena terbakar matahari‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Akibat
(Result) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses. Kehadiran kasus
Non-Inti Akibat yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur
semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna.
115
4.3.2.7 Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba Proses Bahasa
Jepang
(28)田中さん が 結婚 の 祝い に この お皿 を 持ってきました。
Tanakasan ga kekkon no iwai ni kono ozara wo motte kimashita.
Non-Inti BL O Tanaka Part nikah Part hadiah Part ini piring Part membawa
„Tanaka membawa piring ini untuk hadiah pernikahan saya‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Benefaktif
Luar (outer Benefactive) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Proses.
Kasus ini tidak bergantung pada verba benefaktif proses sebagai inti proposisi. Frase
結婚 の 祝い/kekkon no iwai „hadiah pernikahan‟ adalah realisasi kasus Non-Inti
Benefaktif luar. Kasus ini dikategorikan sebagai kasus Non-Inti karena kehadirannya
hanya bersifat opsional karena kehadiran frase 結婚 の 祝い/kekkon no iwai „hadiah
pernikahan‟ yang terdapat dalam struktur kalimat di atas tidak bergantung pada verba
持ってきました/motte kimashita „membawa‟. Dengan kata lain, tanpa kehadiran
kasus tersebut pun kalimat di atas sudah sempurna.
4.3.2.8 Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Proses Bahasa
Jepang
(29)部屋 に ある 電気 が 明るくなりました。
Heya ni aru denki ga akaruku narimashita.
Non-Inti LL O kamar Part ada listrik Part menjadi terang
„Lampu listrik yang ada di kamar menjadi terang‟.
116
Frase 部屋にある /heya ni aru „yang ada di kamar‟ yang terdapat pada
kalimat di atas merupakan realisasi kasus Lokatif Luar. Kehadiran kasus ini tidak
bergantung pada verba明るくなりました /akaruku narimashita „menjadi lebih
terang‟ dikatakan demikian karena tanpa kehadiran kasus tersebut pun, kalimat di atas
sudah sempurna. Kasus tersebut hadir hanya bersifat opsional dan berfungsi untuk
memberikan keterangan tambahan.
4.3.3 Kasus Non-Inti Verba Aksi
Kasus Non-Inti (modal cases) Verba Aksi ialah kasus yang muncul dalam
kalimat dengan predikat verba Aksi, di mana kasus tersebut bukan merupakan valensi
verba proses dan realisasi dalam struktur luar hanya bersifat opsional (tidak harus).
Adapun kasus-kasus Non-Inti Verba Aksi yang dimaksud adalah: (1) Kasus Non-Inti
Time (Waktu) Verba Aksi ; (2) Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Aksi; (3) Kasus
Non-Inti Instrument (alat) Verba Aksi; (4) Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba
Aksi ; (5) Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Aksi; (6) Kasus Non-Inti Result
(Akibat) Verba Aksi; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive (Benefaktif Luar) Verba
Aksi ; (8) Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Aksi .
117
4.3.3.1 Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Aksi Bahasa Jepang
(30)あした 私 は 友達 と お花見 を します。(Minna: 44)
Ashita watashi wa tomodachi to ohanami wo shimasu.
Non-Inti W A O Besok saya Part teman Part bunga Part melihat
„Besok saya akan melihat bunga sakura dengan teman‟.
(31)校長 先生 は 朝 校庭 で みんな に
Kouchou sensei wa asa koutei de Minna ni
A Non-Inti W kepala sekolah guru Part pagi halaman Part murid-murid Part
この 新しい 生徒 を こう紹介した。
kono atarashii seito wo koushoukaishita.
O
ini baru murid Part memperkenalkan
„Tadi pagi, di halaman sekolah, kepala sekolah memperkenalkan murid baru‟.
(とっとちゃん:226)
(Tottochan: 147)
Kalimat (30&31) di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Waktu (Time) dalam kalimat yang berpredikat Verba Aksi. Kata keterangan waktu あ
した/ashita „besok‟, 朝/asa „tadi pagi‟ adalah realisasi kasus Non-Inti Waktu yang
hadir bersama kasus Proposisi Inti dalam struktur lahir kalimat. Kasus Non-Inti
Waktu pada kalimat di atas secara sintaktis berfungsi untuk menerangkan waktu
terjadinya suatu aksi atau aktifitas yang dinyatakan oleh verba kalimat tersebut.
Kehadiran kasus Non-Inti Waktu pada kalimat di atas hanya bersifat opsional.
118
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kehadiran kasus Non-Inti Waktu pada
kalimat di atas hanya sebagai pelengkap supaya kalimat tersebut berterima secara
gramatikal.
4.3.3.2 Kasus Non-Inti Manner (Cara) Verba Aksi Bahasa Jepang
(32)トットちゃん は、いそいで、おじぎ をしてから、元気よく聞いた。
Tottochan wa isoide ojigi wo shitekara, genki yoku kiita.
A O Non-Inti C Totto Part segera memberi hormat Part setelah riang bertanya
„Totto segera menyalami nya dan dengan riang bertanya‟.
(トットちゃん: 26)
( Tottochan: 19 )
(33)校長 先生 は 。。。の上 に まるくなって 座るように 場所
Kochou sensei wa. . . no ue ni maruku natte sawaru you ni basho
A Non-Inti C
を 作ろう と いった。
wo tsukurou to itta.
„Pak kepala sekolah memerintahkan semuanya duduk melingkar di atas
rumput‟.
(とっとちゃん:196)
(Tottochan: 129)
Kalimat (32-33) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Cara (Manner) dalam kalimat yang berpredikat Verba Aksi. Kehadiran kasus Non-
119
Inti Cara yang terdapat pada kalimat (32-33) di atas, tidak bergantung pada verbanya
karena kehaadirannya hanya bersifat opsional. Dengan kata lain, tanpa kehadiran
kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna.
Kasus Non-Inti Cara dalam kalimat di atas berfungsi untuk memberi penjelasan
tentang „cara‟ (manner) ketika suatu aksi atau perbuatan diekspresikan. Hal ini
berkaitan dengan cara, gaya, sikap seseorang dalam mengekspresikan/melakukan aksi
atau perbuatannya.
4.3.3.3 Kasus Non-Inti Instrument (Alat) Verba Aksi Bahasa Jepang
(34)私 は ワ-プロ で 手紙 を 書きます。(Minna: 50)
Watashi wa wa-puro de tegami wo kakimasu.
A Non-inti Alt O saya Part mesin tik Part surat Part menulis
„Saya menulis surat dengan menggunakan mesin tik‟.
(35)泥簿 は 彼 の 腹 を 竹槍 で 突かれた。
Dorobo wa kare no hara wo take-yari de tsukareta.
A O Non-inti Alt rampok Part dia Part perut Part bambu runcing Part menusuk
„Rampok menusuk perutnya dengan bambu runcing‟.
Kalimat (34&35) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Instrument (alat) dalam kalimat yang berpredikat Verba Aksi. Kehadiran kasus Non-
Inti Alat yang terdapat pada kalimat (34-35) di atas, tidak bergantung pada verbanya.
120
Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur semantik
kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Alat memiliki fungsi
gramatikal (peran sintaktis) untuk menunjukkan keterangan alat. Alat yang dimaksud
adalah media atau sarana yang dipakai oleh agen dalam melaksanakan
aksi/perbuatannya. Kasus Non-Inti Alat yang terdapat dalam kalimat di atas
direalisasikan dengan pemakaian partikel で „de‟, partikel で „de‟ secara sintaktis
berfungsi sebagai penanda keterangan alat yang dipakai oleh pelaku/agen dalam
melakukan aksi/perbuatan. Partikel で ‟de‟ memiliki makna gramatikal „alat‟ dalam
kalimat yang berpredikat verba aksi.
4.3.3.4 Kasus Non-Inti Cause (Sebab) Verba Aksi Bahasa Jepang
(36)今日 は 妻 の 誕生日な ので、花を買って帰ります。(Minna:II/114)
Kyou wa tsuma no tanjoubi na node, hana wo katte kaerimasu.
Non-inti S O hari ini Part istri Part ulang tahun Part, bunga Part membeli pulang
„Karena hari ini ulang tahun istri, saya akan pulang membelikan istri saya
bunga‟.
(37)明日 試験 が あります から テレビ を 見ません
Ashita shiken ga arimasu kara terebi wo mimasen.
Non-inti S O besok ujian Part ada Part televisi Part tidak menonton
„Saya tidak menonton televisi karena besok ada ujian‟.
Kalimat (36-37) di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Sebab (Cause) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi. Kehadiran
121
kasus Non-Inti Sebab yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut, struktur semantik
kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kasus Non-Inti Sebab pada kalimat (36-37) di
atas memiliki fungsi gramatikal, yaitu membantu memberikan keterangan tambahan
mengenai „penyebab‟ dilakukannya aksi/perbuatan oleh pelaku/agen. Partikel ので
„node‟, から„kara‟ secara sintaktis berfungsi sebagai kata bantu untuk menunjukkan
sebab dilakukannya suatu perbuatan/aksi oleh pelaku/agen.
4.3.3.5 Kasus Non-Inti Purpose (Maksud) Verba Aksi Bahasa Jepang
(38)歯 に 悪い です から、甘い もの を 食べないようにしています。
Ha ni warui desu kara, amai mono wo tabenai you ni shite imasu.
Non-inti M O gigi Part tidak bagus Part, manis makanan Part tidak makan
„Karena tidak baik bagi kesehatan gigi, saya berusaha untuk tidak makan
makanan yang manis‟.
(39)来月 くるま を 買う つもり です。 (Minna: II/32)
Raigetsu kuruma wo kau tsumori desu.
O Non-inti M Bulan depan mobil Part membeli Part
„Saya bermaksud akan membeli mobil bulan depan‟.
(40)トットちゃん は、校長先生 に 。。。みんな が お弁当
Tottochan wa kouchou sensei ni Minna ga obentou
A O
Totto Part kepala sekolah Part semua Part makan
122
を 食べる こところ を 見に行く こと に なった。
wo taberu koto koro o mi ni iku koto ni natta.
Non-Inti M Part makan Part melihat-lihat hal Part
„Kemudian Totto mengantar kepala sekolah untuk melihat-lihat suasana
murid-murid bersantap bekal makan siang masing-masing‟.
(トットちゃん: 32 )
( Tottochan: 22 )
Kalimat (38--40) di atas, adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti
Maksud (Purpose) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi.
Kehadiran kasus Non-Inti Maksud yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak
bergantung pada verbanya. Partikel ように„you ni‟ , つもり„tsumori‟, dan 見に „mi‟
„ni‟ adalah kata bantu yang memiliki fungsi gramatikal yang menyatakan
maksud/tujuan dari pelaku/agen dalam suatu aksi/perbuatan. Kasus Non-Inti Maksud
yang terdapat pada tiga kalimat di atas memiliki peran gramatikal, yaitu memberikan
keterangan maksud terhadap argumen inti yang dinyatakan oleh verbanya sebagai inti
proposisi. Kasus-kasus ini dikategorikan sebagai kasus Non-Inti karena sifatnya
hanya opsional dalam tiga kalimat di atas.
123
4.3.3.6 Kasus Non-Inti Result (Akibat) Verba Aksi Bahasa Jepang
(41)授業 に 遅れて、 先生 は 私 を 叱りました。
Jugyou ni okurete, sensei wa watashi wo shikarimashita.
Non-inti Akbt A O kuliah Part terlambat, guru Part saya Part memarahi
„Guru memarahi saya karena terlambat kuliah‟.
(42)太郎は授業によく出席できないから、試験を受けることが
できません。
Taro wa jugyou ni yoku shusseki dekinai kara, shiken wo ukeru koto ga
A Non-inti Akbt O Taro Part kuliah Part sering tidak hadir Part, ujian Part mengikuti
dekimasen.
tidak bisa
„Taro tidak bisa mengikuti ujian karena sering tidak ikut kuliah‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Akibat
(Result) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi. Kehadiran kasus
Non-Inti Akibat yang terdapat pada setiap kalimat di atas tidak bergantung pada
verbanya. Dengan kata lain, tanpa kehadiran kasus-kasus tersebut pun, struktur
semantik kalimat bersangkutan sudah sempurna. Kehadiran kasus Non-Inti Akibat
dalam kalimat (41) dimarkahi oleh partikel て„te‟ yang memiliki dua fungsi, yaitu
sebagai kata sambung sekaligus sebagai kata bantu untuk menyatakan akibat dari
suatu perbuatan/aksi. Sementara itu, kehadiran kasus Non-Inti Akibat pada kalimat
(42) dimarkahi oleh partikel から„kara‟ partikel ‟kara‟ juga berfungsi sebagai kata
bantu penghubung antara klausa pertama dengan klausa kedua. Partikel „te‟ dan „de‟
124
pada kalimat di atas berfungsi sebagai kata bantu yang menyatakan akibat/hasil dari
suatu perbuatan/aksi.
4.3.3.7 Kasus Non-Inti Outer Benefactive (Benefaktif Luar) Verba Aksi Bahasa
Jepang
(43)私 は 息子 に 紙飛行機 を 作りました。 (Minna: II/98)
Watashi wa musuko ni kamihikouki wo tsukurimashita.
A Non-Inti BL O saya Part anak Part pesawat kertas Part membuat
„Saya membuat mainan pesawat terbang dari kertas untuk anak laki-laki saya‟.
(44)友達 は お父さん に 新しい 服 を 買いました。
Tomodachi wa otou-san ni atarashii fuku wo kaimashita.
A Non-Inti BL O teman Part ayah Part baru pakaian Part membeli
„Teman saya membeli baju baru untuk ayahnya‟.
Kalimat di atas adalah kalimat yang menggunakan kasus Non-Inti Benefaktif
Luar (outer Benefactive) dalam kalimat yang menggunakan predikat Verba Aksi.
Kasus ini tidak bergantung pada verba benefaktif aksi sebagai inti proposisi. Dengan
kata lain, tanpa kehadiran kasus tersebut pun kalimat di atas sudah sempurna. Kata 息
子/musuko „anak laki-laki‟ pada kalimat (43) di atas, adalah realisasi kasus Non-Inti
benefaktif Luar. Pada kalimat (44) kasus Non-Inti benefaktif Luar dinyatakan oleh
kata お父さん/otousan „ayahnya‟. Kehadiran kedua kasus pada kalimat di atas hanya
125
bersifat opsional karena tanpa kehadiran kasus tersebut pun, struktur semantik kedua
kalimat di atas sudah sempurna.
4.3.3.8 Kasus Non-Inti Outer Locative (Lokatif Luar) Verba Aksi Bahasa Jepang
(45)わたし は 駅 で 新聞 を 買います。 (Minna: 44)
Watashi wa eki de shimbun wo kaimasu.
A Non-Inti LL O saya Part stasiun Part surat kabar Part membeli
„Saya membeli surat kabar di stasiun‟.
(46)ランドセルを、 網棚 に 投げこんだ。
Randoseru wo amidana ni nagekonda.
O Non-Inti LL ransel Part rak barang Part melempar.
„Anak itu melempar ranselnya Part pintu seperti bola basket‟.
(トットちゃん:39)
(Tottochan : 27)
Kasus Non-Inti Lokatif Luar yang terdapat pada kalimat (45-46) di atas
dinyatakan oleh kata 駅/eki „stasiun‟ 網棚/amidana „rak barang‟ kedua kata ini
menunjukkan keterangan tempat/lokasi dilakukannya suatu perbuatan/aksi. Kehadiran
keterangan lokasi tersebut bersifat opsional karena tidak bergantung pada verba
sebagai inti proposisi sehingga kasus lokatif pada kedua kalimat di atas,
dikategorikan sebagai kasus Non-Inti. Realisasi kasus Non-Inti Loktif Luar juga
126
dimarkahi oleh partikel で„de‟ に„ni‟, secara sintaktis kedua partikel ini berfungsi
sebagai kata bantu untuk menerangkan tempat/lokasi.
4.4 Kasus Tak Teraga (COVERT)
Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumya bahwa kasus proposisi
ada yang bersifat wajib (wajib hadir) dan ada yang bersifat opsional/pilihan dalam
struktur lahir. Kasus proposisi yang kehadirannya bersifat wajib disebut peran
proposisi teraga (overt: kasus proposisi yang diimplikasikan oleh verba dan wajib
hadir dalam struktur lahir), sedangkan kasus proposisi yang kehadirannya bersifat
opsional/pilihan disebut peran proposisi tak teraga (covert: kasus proposisi yang
diimplikasikan oleh verba tetapi opsional dalam struktur lahir dan hadir dalam
struktur batin atau struktur logika). Kasus proposisi Teraga (overt) telah dijelaskan
dan dibahas pada subbab sebelumnya dan pada bab ini dibahas kasus Tak Teraga
(covert), yang meliputi (1) kasus koreferensial, (2) kasus terkandung, dan (3) kasus
leksikalisasi.
4.4.1 Kasus Koreferensial
Kasus koreferensial adalah kasus yang menunjuk dua nosi yang mempunyai
acuan semantis yang sama. Kasus koreferensial dalam kerangka kasus (cases frame)
harus ditulis dengan tanda bintang ( * asterik). Berikut di bawah ini, contoh kalimat
dengan kasus koreferensial dalam bahasa Jepang.
127
(1)彼 は 歌 を 聞いている。
Kare wa uta wo kiite iru.
A=E O Dia Part lagu Part mendengarkan
„Dia sedang mendengarkan musik‟. + [ ___ A, *E,O] / A=E
(2)トットちゃん は、泰明ちゃん の 事 を、想いだしていた。
Tottochan wa Yasuakichan no koto wo omoidashita.
A=E O
Tottochan Part Yasuakichan Part hal Part mengingat.
„Tottochan mengingat-ingat kembali semua hal tentang Yasuakichan‟.
+ [ ___ A, *P,O] / A=E
(とっとちゃん: 237)
(3)そして、 自分 でも いい 子 だ と おもっていた。
Soshite, Jibun demo ii ko da to omotteita.
A=E O Kemudian, diri Part bagus anak mengangap.
„Dan ia sendiri pun menganggap dirinya anak yang baik‟.
+ [ ___ A, *E,O] / A=E
(とっとちゃん:198)
(Tottochan: 130)
128
(4)小林 は お父さん に お金 を 貰いました。
Kobayashi san wa otousan ni okane wo moraimashita.
A=B O
Kobayashi Part ayah Part uang Part menerima
„Kobayashi menerima uang dari ayahnya‟ + [ ___ A, *B,O] / A=B
Pada kaliamt (1--3) di atas, kasus Agen berkoreferensial dengan kasus
Pengalami atau argumen Agen mempunyai acuan yang sama dengan argumen
Pengalami. Agen atau orang yang melakukan perbuatan/aksi sekaligus berperan
menjadi orang yang kena pengaruh oleh perbuatan/aksi tersebut. Sedangkan pada
kalimat (4) kasus Agen berkoreferensial dengan kasus Benefaktif atau argumen
Agen mempunyai acuan yang sama dengan argumen Benefaktif/Pemanfaat. Nomina
persona 小 林 „Kobayashi‟ berperan sebagai agen/pelaku yang melakukan
perbuatan/aksi menerima お金/okane „uang‟ dan dia juga yang memanfaatkan お金
/okane „uang‟ tersebut.
4.4.2 Kasus Terkandung (build in)
Kasus Terkandung (build in), ialah kasus yang tidak muncul pada struktur luar
tapi secara intuisi hadir pada struktur logika atau batin. Kasus Terkandung dalam
kerangka kasus (cases frame) harus ditulis dengan tanda bintang ( * asterik). Berikut
di bawah ini, contoh kalimat dengan kasus terkandung dalam bahasa Jepang.
129
(5)アメリカ で 生まれて、育った から日本語 は あまり 上手じゃない
Amerika de umarete, sodatta kara Nihongo wa amari jozu janai.
L
Amerika Part lahir, dibesarkan Bahasa Jepang Part tidak terlalu tidak pintar
„Karena lahir dan dibesarkan di amerika jadi kurang pandai berbahasa Jepang‟.
+ [ ___ *O, L] O = kasus terkandung
(トットちゃん: 226)
( Tottochan: 147)
(6)駅 で 新聞 を 買います。 (Minna: 47)
Eki de shimbun wo kaimasu.
L O
stasiun Part surat kabar Part membeli
„Membeli surat kabar di stasiun‟. + [ ___ *A, O,L] A = kasus terkandung
(7)わたし は きのう 勉強しました。 (Minna: 32)
Watashi wa kinou benkyou shimashita.
A
saya part kemarin belajar
‟Kemarin saya belajar‟. + [ ___ A, *O] O = kasus terkandung
Kasus terkandung yang terdapat pada kalimat (5) di atas ialah kasus Objek
karena kasus ini tidak muncul dalam struktur lahir. Verba 生まれて/umarete „lahir‟
membutuhkan satu kasus Objek dalam struktur logisnya tetapi dalam struktur lahir
kalimat tidak hadir, hal ini disebabkan karena adanya kasus terselubung, yaitu kasus
Objek. Pada kalimat (6) verba 買います /kaimasu „membeli‟ secara semantis
130
membutuhkan kasus Agen dan kasus Objek dalam struktur logisnya tetapi pada
kalimat (6) di atas tidak hadir kasus Agen dalam struktur lahir kalimat, hal ini
disebabkan adanya kasus terselubung, yaitu kasus Agen atau terjadi pelesapan
subjek. Pelesapan fungsi subjek dalam kalimat bahasa Jepang memang biasa terjadi
mungkin hal ini terjadi karena budaya bahasa jepang itu sendiri. Pada kalimat (7)
verba 勉強しました/benkyou shimashita ‟belajar‟ secara semantis membutuhkan
satu argumen Agen dan satu argumen Objek tetapi pada kalimat (7) di atas kasus
Objek tidak hadir, hal ini disebabkan karena adanya pelesapan fungsi Objek. Dalam
kalimat (7) berarti terjadi kasus terkandung, yaitu kasus Objek.
4.4.3 Kasus Leksikalisasi
Kasus leksikalisasi adalah kasus yang tidak hadir pada struktur lahir karena
kasus itu dileksikalisasi dalam verba. Kasus dileksikalisasi dalam kerangka kasus
(cases frame) harus ditulis dengan tanda bintang ( * asterik). Berikut di bawah ini,
contoh kalimat dengan kasus leksikalisasi dalam bahasa Jepang.
(8) 彼 は 一日 中 声 が 出なく 足り。
Kare wa ichi nichi juu koe ga denaku tari.
A
ia Part sepanjang hari suara Part tidak bersuara
„Lalu sepanjang hari ia tidak bisa bersuara. + [ ___ A,*O] O = dileksikalisasi
(とっとちゃん:199)
(Tottochan: 131)
131
(9)さかな が 水中 を 泳ぎ回っている。
Sakana ga suichuu wo oyogi mawatte iru.
A
ikan Part dalam air Part berenang-renang
„Ikan sedang berenang-renang di dalam air‟. + [ ___ A, *O]O = dileksikalisasi
(10)太郎さん は 毎日 学校 へ 歩きます。
Tarou san wa mainichi gakkou e arukimasu.
A
Tarou Part tiap hari sekolah Part jalan kaki
„Tiap hari Tarou jalan kaki ke sekolah‟. + [ ___ A, *O] O = dileksikalisasi
(11)寺田さん は 名古屋 に 引っ越しました。
Terada san wa Nagoya ni hikkoshimashita.
A
Terada Part Nagoya Part pindah rumah
„Terada pindah rumah ke Nagoya‟. + [ ___ A, *O] O = dileksikalisasi
Pada kalimat (8--11) di atas, kasus Objek dileksikalisasi ke dalam verba
sehingga kasus Objek tidak nampak dalam struktur lahir kalimat. Verba 出なく
/denaku „tidak keluar‟, 泳ぎ回っている/oyogi mawatte iru „berenang-renang‟, 歩き
ます /arukimasu „jalan kaki‟ 引っ越しました /hikkoshimashita „pindah rumah‟.
Kasus Objek yang dinyatakan oleh keempat verba ini sudah menjadi satu antara kasus
Objek dengan verbanya. Secara semantis kasus Objek terkandung dalam verba
sebagai inti proposisi.
132
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan, dan analisis data yang telah
diuraikan pada subbab sebelumnya, maka pada bab ini disimpulkan hasil analisis data.
Hasil analisis data menunjukkan: pertama, berdasarkan ciri-ciri semantisnya verba
bahasa Jepang dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe verba dasar, yaitu (1) verba
statif, (2) verba proses, dan (3) verba aksi. Kedua, terdapat tiga tipe verba tambahan,
yaitu (1) verba pengalam (experiencer), (2) verba benefaktif (benefactive), dan (3)
verba lokatif (locative). Ketiga, tiga tipe verba dasar bahasa Jepang dapat
dikombinasikan dengan tiga tipe verba tambahan sesuai dengan kasus-kasus yang
diperlukan oleh verba yang bersangkutan. Dari kombinasi tersebut, maka ditemukan
dua belas tipe semantis verba bahasa Jepang secara keseluruhan. Adapun kedua belas
tipe semantis verba bahasa Jepang yang dimaksud adalah (1) Peran Semantis Verba
Statif Bahasa Jepang, yaitu (a) Peran Semantis Verba Statif Dasar Bahasa Jepang, (b)
Peran Semantis verba Statif Pengalam Bahasa Jepang, (c) Peran Semantis Verba
Statif Benefaktif Bahasa Jepang, (d) Peran Semantis Verba Statif Lokatif Bahasa
Jepang; (2) Peran Semantis Verba Proses Bahasa Jepang, yaitu (a) Peran Semantis
Verba Proses Dasar Bahasa Jepang (b) Peran Semantis Verba Proses Pengalam
Bahasa Jepang, (c) Peran Semantis Verba Proses Benefaktif Bahasa Jepang, (d) Peran
Semantis Verba Proses Lokatif Bahasa Jepang; (3) Peran Semantis Verba Aksi
133
Bahasa Jepang, yaitu (a) Peran Semantis Verba Aksi Dasar Bahasa Jepang (b) Peran
Semantis Verba Aksi Pengalam Bahasa Jepang, (c) Peran Semantis Verba Aksi
Benefaktif Bahasa Jepang, (d) Peran Semantis Verba Aksi Lokatif Bahasa Jepang .
Selain kedua belas tipe semantis verba bahasa Jepang yang telah disebutkan di
atas, ditemukan juga Peran Kasus Modal (modal cases roles), dan Peran Kasus Tak
Teraga (covert cases roles). Peran Kasus Tak Teraga (covert cases roles) meliputi:
(1) Kasus Koreferensial, (2) Kasus Terkandung (build in), dan (3) Kasus
Leksikalisasi. Sementara itu, Peran Kasus Modal (modal cases roles) meliputi: (1)
Kasus Non-Inti Time (Waktu) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (2) Kasus
Non-Inti Manner (Cara ) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (3) Kasus Non-Inti
Instrument (alat) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (4) Kasus Non-Inti Cause
(Sebab) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (5) Kasus Non-Inti Purpose
(Maksud) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (6) Kasus Non-Inti Result (Akibat)
Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (7) Kasus Non-Inti Outer Benefaktive
(Benefaktif Luar) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi; (8) Kasus Non-Inti Outer
Locative (Lokatif Luar) Verba Statif, Verba Proses, Verba Aksi.
5.2 Saran
Kajian peran semantis verba bahasa Jepang dalam penelitian ini hanya
mendeskripsikan dan mengklasifikasikan verba bahasa Jepang berdasarkan ciri-ciri
semantis, peran semantis argumen, dan kasus-kasus argumen yang terdapat pada
verba bahasa Jepang, belum dibahas masalah struktur semantisnya. Untuk
134
mendapatkan hasil yang maksimal, perlu dilakukan kajian yang lebih luas dan
mendalam terutama masalah struktur semantis verba bahasa Jepang serta implikasi-
implikasi semantis verba yang muncul karena aspek-aspek sintaktis maupun aspek-
aspek morfologis. Penelitian yang berkaitan dengan verba bahasa Jepang dan segala
persoalan yang terdapat di dalamnya tidaklah selesai sampai di sini karena hasil
penelitian ini hanya menunjukkan bagian kecil dari besarnya masalah yang masih
sangat perlu diteliti. Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat penting dilakukan
karena masih banyak masalah yang belum dapat diselesaikan atau dijelaskan secara
sistematis dan ilmiah.
135
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Ch. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora
Utama Press (HUP).
Alwi, H. dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Budi Utami, L.G. 2000. “Peran Semantis Verba Bahasa Bali” (tesis). Denpasar:
Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.
Budiasa, I.N. 1995/1996. “Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa Bali”. Denpasar:
Balai Penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago and London:
The University of Chicago Press.
Chaer, A. 2003. Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, A. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta
Cook, Walker A. 1969. Introduction of Tagmemic Analysis. Translantic series in
Linguistics. New York: Halt, Rinehart&Winsto,Inc.
Cook, W. A. 1979. Case Grammer: Development of the Matrix Model
Washington, DC: Georgetown University Press.
Comrie. B. 1981. Aspect: An Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related
Problems. Cambridge University Press.
Djajasudarma, T.F. 1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan
Kajian. Bandung: Eresco.
Fillmore, Ch. 1968. “The case for case”. Dalam: Bach, E. dan R.T. Harms (ed.)
Universal in Linguistic Theory. New York: Holt, Rinehart Winston, 1-88.
Foley, W.A. dan R.D. Van Valin Jr. 1984. Functional Syntax and Universal
Grammar. Cambrige: Cambrige University Press.
Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates.
136
Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 1.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins.
Juli, L. 2004. “Peran Semantis Argumen Verba Bahasa Sabu” (tesis). Denpasar:
Program Studi Magister S2 Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana.
Kridalaksana, H. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Kuno, S. 1973. The Structure of the Japanese Language. Cambridge: The MIT Press.
Kuroyanagi, T. 1981. Madogiwa no Totto-chan. Japan: Kodansha.
Rahmat, Latiefah H, dan Rahmat, N. 1998. Si Gadis Kecil di Tepi Jendela. Jakarta:
Penerbit PT. Pantja Simpati.
Masreng, R. 2003. “Struktur dan Peran Semantis Verba dengan Makna „Emosi‟
dalam Bahasa Kei” (tesis). Denpasar: Program Studi Magister (S2) Linguistik
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Mashun, 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Masuoka, T. dan Takubo, Y. 1989 Kiso Nihongo Bunpo. Tokyo: Kuroshio.
Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia” (tesis). Denpasar:
Program Studi Magister (S2) Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana.
Muraki, S. 1994 Nihongo Doushi no Shosou. Tokyo: Hitsuji Shobou.
Ogawa, I. 1998. Mninna no Nihongo. Surabaya: PT. Pustaka Lintas Budaya.
Satyawati, S. Made. 1999. “Subjek Akusatif Bahasa Bali” (tesis). Bandung: Program
Studi Magister Humaniora Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Sudjianto dan Dahidi, A. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang.
Jakarta: Kesaint Blanc.
Sudaryanto. 1993. Metede Dan teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV Alfabeta.
137
Sunagawa, Y. dkk. 1998. Nihon go Bunkei Jiten. Tokyo; Kuroshi Shuppan.
Sutedi, D. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung; Humaniora.
Takayuki, T. 1993. Bunpou no Kiso Chishiki to Sono Kangaekata: Bonjinsha.
Tampubolon, A.D. 1979. Tipe-Tipe Semantik Kata Kerja Bahasa Indonesia
Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Tsujimura, N.1997. An Introduction to Japanese Linguistic. Oxford: Blackwell
Publishers.
Verhaar, J.W.M. 2002 Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Yoshida, Y. 1996. Japanese for Today (Bahasa Jepang Sehari-Hari). Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.