KONSEP MAKAR DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
M. Syarofuddin Firdaus
NIM: 1113043000010
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/ 1439 H
KONSEP MAKAR DI INDONESIA DALAMPERSPEKTIF HUKT]M ISLAM
SKRIPSIDiajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
M. Syarofuddin FirdausNIM: 1113043000010
Pembimbing I
Maswofah. S.Ae.. M.Si.NrP. 1 978 1 234200 t122002
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIKIH PROGRAM STI-JDI
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HTIKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M I 1439H
Pembimbing II
s03 1001
PENGESAIIAN PA]\ITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "KONSEP MAKAR DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKLIM ISLAM" telah diajukan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Maz};lab Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2017. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Program Studi PerbanditganMazhab.
J akarta, 20 Desember 20 17
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
PAT\ITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing I
4. Pembimbing II
5. Pengujil
6. Penguji II
Fahmi Muhammad Ahmadi. M.SiNIP. 1 974 1 2t32003 t21002
Hj. Siti Hanna. Lc.. M.ANrP. 1 97402t620080t2013
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif. M.AgNIP. l 97 1 t2r2t99 s03t00r
Masyrofah. M.SiNrP. 1 978 1 230200t t22002
Dr. Muhammad Taufiki. M.AgNrP. 196s1 1 19199803 1002
Ummu Hanna Yusuf S.. Lc.. M.ANrP. 1 96 1 0 820199603200t
16199603 1001
:.: )
111
iv
ABSTRAK
M. Syarofuddin Firdaus. NIM 1113043000010. KONSEP MAKAR DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA.
Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2017 M. viii + 64 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menelusuri konsep makar yang terdapat pada
hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Penelusuran ini hanya fokus pada
tataran normatif dari kedua jenis hukum tersebut. Mengingat kedua hukum ini
memiliki perbedaan, namun masih ada aturan yang sama-sama ditentukan oleh
kedua jenis hukum itu, yaitu mengenai aturan makar. Dari sana, nanti akan
diketahui mengenai definisi makar, tipologi makar, sanksi makar, serta landasan
hukum mengenai makar yang diatur oleh kedua jenis hukum tadi. Dengan melihat
pada aturan makar itu, maka akan tampak suatu kriteria yang dapat dikategorikan
tindakan makar. Jadi, siapa pun pelakunya, jika memenuhi kriteria itu, atau
bahkan dengan terang-terangan melakukannya, maka pihak penguasa bisa
langsung memberikan hukuman baginya. Termasuk kelompok yang melakukan
tindakan itu dengan mengatasnamakan agama Islam. Di mana kelompok tersebut
menginginkan tegaknya syari‟at Islam di sebuah negara, termasuk Indonesia, yang
diejawantahkan melalui tindakan-tindakan sparatis.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap kitab-kitab, peraturan
perundang-undangan, dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan studi
ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep makar yang dijadikan
aturan normatif mengandung nilai sosial dan politis, baik dalam hukum Islam
maupun hukum positif Indonesia. Pada nilai sosial, aturan makar di kedua jenis
hukum tersebut bermaksud menciptakan kehidupan yang rukun, damai, dan solid
antar sesama masyarakat -meskipun memiliki latar berbeda-beda. Sedangkan nilai
politisnya, di dalam hukum Islam, secara tidak langsung, Nabi selaku pembuat
aturan tersebut ingin melanggengkan kekuasaannya sebagai kepala daerah
Madinah waktu itu. Namun di Indonesia, aturan makar tidak hanya ingin
mempertahankan kekuasaan penguasa saja, bahkan demi menjaga keamanan dan
persatuan antar seluruh wilayah dan masyarakat, sehingga bisa tetap berada di
bawah naungan NKRI.
Kata Kunci: Makar, Hukum Islam, Hukum Positif Indonesia, Sosio-Politik.
Dosen Pembimbing: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag. dan Masyrofah,
S.Ag., M.Si.
Daftar Pustaka : 1988 s.d. 2017
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya pantas dipersembahkan untuk Allah Swt, Tuhan
semesta alam. Atas taufiq dan ma’ūnah-Nya, Alhamdulillah, penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam senantiasa diucapkan bagi
Baginda nabi Muhammad Saw, selaku mahluk terbaik dari sekian mahluk ciptaan-
Nya, yang menjadi panutan kita bersama. Berharap kita mendapatkan syafa‟atnya
kelak di hari kiamat. Amin.
Penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya kontribusi berbagai
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan setinggi-tingginya, terutama
kepada:
1. Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Dr. H. Asep Saepudin Jahar, M.A.,
yang telah memudahkan semua urusan formal di fakultas.
2. Ketua Program Studi, Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan
Sekretaris Program Studi, Ibu Siti Hanna, M.A., atas dorongan kedua
beliau ini terhadap para mahasiswa untuk segera menyelesaikan
skripsinya.
3. Kedua pembimbing penulis, Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag.
dan Ibu Masyrofah, S.Ag. M.Si., yang telah meluangkan waktunya untuk
membaca secara cermat skripsi penulis. Dengan ketelatenan mereka
berdua dalam mengarahkan, serta kejernihan ruhaninya, telah memberikan
bimbingan dan inspirasi dalam penyusunan skripsi ini. Semoga mereka
berdua selalu diberikan kesehatan dan keberkahan umur.
4. Petugas perpustakaan, baik perpustakaan Fakultas maupun perpustakaan
Umum kampus UIN Jakarta, yang telah memfasilitasi penulis dalam
mencari data-data penelitian ini.
5. Para dosen penulis di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah menyalurkan ilmunya sehingga dapat
menambah wawasan penulis.
6. Seluruh guru penulis yang telah membina dan mendidik penulis dengan
ikhlas. Khususnya, maha guru kiai Zuhri Zaini, BA., yang telah
mengajarkan penulis banyak hal, terutama tentang makna dan tujuan
kehidupan yang sebenarnya. Semoga selalu dianugerahi kesehatan. Serta,
romo kiai alm. Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., yang telah
memberikan suri tauladan dalam mencintai kanjeng Nabi, berupa
mengkaji sabda-sabdanya yang telah direkam oleh para ulama di dalam
karya-karyanya. Doa-doa baik selalu dipanjatkan untuk beliau di alam
sana.
7. Orang tua penulis, Ayahanda Ismail dan Ibunda Mufrihah, yang selalu
mendoakan kesuksesan dan kebaikan untuk putra-putrinya. Penulis
vi
berharap semoga keduanya dilimpahkan umur yang berkah, rizki yang
halal, dan kasih sayang Sang Maha Penyayang.
8. Kawan-kawan prodi Perbandingan Mazhab Angkatan 2013, yang telah
berkenan untuk belajar bareng, berjuang bersama-sama meskipun tujuan
dan cita-cita berbeda-beda.
9. Komunitas Saung dan penghuninya, yang telah membantu banyak bagi
penulis dalam menyusun kerangka berfikir secara sistematis nan kritis
dalam melakukan penelitian ini. Dengan diadakannya kajian epistemologi
(manhaji), memudahkan penulis untuk melakukan „pembacaan‟ terhadap
objek penelitian ini. Semoga penghuninya tetap istiqamah dan kontinu
mengikuti kajian dimaksud.
Dengan mengharapkan ridā ilāhī, semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan para pembaca umumnya. Amīn.
Jakarta, 26 November 2017/ 7 Rabi‟ul Awal 1439
M. Syarofuddin Firdaus
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................................ vii
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
D. Metode Penelitian .............................................................................................. 8
E. Riview Kajian Terdahulu .................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 12
BAB II: MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ............................... 14
A. Definisi dan Sejarah Makar ............................................................................... 14
B. Dalil Tindakan Makar ....................................................................................... 20
C. Tipologi Makar .................................................................................................. 22
D. Sanksi Tindakan Makar ..................................................................................... 23
BAB III: MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA ... 27
A. Pengertian dan Sejarah Makar .......................................................................... 27
B. Dasar Hukum Tindakan Makar ......................................................................... 34
C. Jenis-jenis Tindakan Makar .............................................................................. 36
D. Sanksi Tindakan Makar ..................................................................................... 37
BAB IV: ANALISIS KOMPARATIF MAKAR DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA ................... 40
A. Aspek Sosial ...................................................................................................... 40
B. Aspek Politik ..................................................................................................... 49
viii
BAB V: PENUTUP ..................................................................................................... 57
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 57
B. Rekomendasi ..................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam telah menetapkan bahwa mengangkat seorang pemimpin merupakan
suatu keharusan.1 Hal ini demi menghindari penindasan atau bentuk kezaliman
lainnya yang terjadi di kalangan masyarakat. Maka, dengan adanya pemimpin
selaku pihak yang memiliki wewenang untuk mengatur masyarakat, dapat
menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang kondusif, aman, dan tentram. Lebih
dari itu, dengan adanya pemimpin diharapkan dapat memandu masyarakat untuk
mencapai berbagai maslahat dan terhindar dari segala mafsadah.2
Tentu, seorang pemimpin tidak dapat mencapai tujuan tadi jika hanya
dilakukan sendirian. Dibutuhkan berbagai pihak yang dapat membantu untuk
meraih tujuan tersebut. Pihak-pihak tersebut yang kerap disebut dengan
pemerintah, yaitu sekelompok orang yang secara bersama-sama memiliki
wewenang dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
suatu masyarakat/ daerah. Maka dari itu, pembentukan pemerintah pun termasuk
keharusan yang mesti ditegakkan. Sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi:
3ما ليتم الواجب إلا بو ف هو واجب
Artinya: “Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan
adanya suatu hal, maka suatu hal tersebut hukumnya wajib pula.”
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pembentukan pemerintah
merupakan suatu keharusan. Nabi Muhammad sendiri pun telah mencontohkan
hal tersebut –meskipun memang secara struktural tidak selengkap dan/atau
sesistematis seperti pemerintahan zaman sekarang. Terbukti, tugas Nabi tidak
1 Hukum pengangkatan ini adalah fardu kifāyah. Lihat: Abu al-Hasan Ali al-Baghdādī al-
Māwardī, al-Ahkām al-Sultāniyah wa al-Wilāyāh al-Diniyah, (Lubnan: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,
2006), cet. III, h. 6.
2 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim; Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 15.
3 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. III, h. 95.
2
hanya terbatas pada menyampaikan risalah ketuhanan saja, bahkan juga mengadili
berbagai kejahatan yang menimpa umatnya di kala itu, serta mengatur dan
mengajak umatnya untuk membangun masyarakat yang damai dan bermoral
dengan berlandaskan pada ajaran normatif agama Islam. Dengan begitu, posisi
beliau tidak sekadar sebagai Rasul (utusan) saja, namun juga sebagai qādī dan
pemimpin wilayah (imām).4
Berdasarkan sejarah, nabi Muhammad diangkat sebagai pemimpin ketika
hijrah ke Yastrib (selanjutnya disebut Madinah). Masyarakat Madinah yang terdiri
dari berbagai suku dan agama bersepakat untuk menjadikan Nabi sebagai kepala
daerah Madinah. Maka, seiring berjalannya kepemimpinan Nabi, beliau membuat
berbagai kebijakan, termasuk mengenai larangan melakukan pemberontakan
(makar) terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Meskipun memang sebagian
besar kebijakan beliau tersebut tak luput dari „campur tangan tuhan‟ yang
termanifestasikan dalam bentuk wahyu, yang diabadikan dalam bentuk kitab suci
Alquran. Termasuk di dalamnya mengenai larangan makar tadi.5 Kemudian oleh
Nabi diperjelas dengan beberapa stigma yang ditetapkan melalui sabda-sabdanya
(Hadis), di antaranya adalah:
نا السلح ف ليس مناا ملسو هيلع هللا ىلصرضي اهلل عنو أنا رسول اهلل عن أب ىري رة ومن قال: من حل علي
6غشانا ف ليس مناا )رواه مسلم(
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
bersabda: siapa pun yang membawa senjata terhadap kita maka bukan termasuk
(golongan) kita, serta siapa pun yang menipu kita maka juga bukan termasuk
(golongan) kita.” (HR. Muslim)
4 Ahmad bin Ibdrīs al-Misrī al-Mālikī, Anwār al-Burūq fī Anwā` al-Furūq, (T.tp.: „Ālim
al-Kutub, t.th.), h. 205.
5 Lihat: QS. Al-Hujurāt: 9.
6 Muslim bin al-Hujāj bin Muslim al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, (Bairut: Dār al-Jail, T.th.),
juz 1, h. 69.
3
أناو قال: ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثرة ق لبو ملسو هيلع هللا ىلص عن عبد اهلل بن عمر عن الراسول
7ف ليطعو إن استطاع فإن جاء آخر ي نازعو فاضربوا عنق اآلخر )رواه مسلم(
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda: siapa
saja yang telah memberikan seorang pemimpin akan segenggam tangannya
(berjanji setia/ berbai’at) dan akan kerelaan hatinya maka hendaklah mentaati
pemimpin tersebut semampunya. Jika ada orang/ kelompok lain yang menentang
pemimpin tersebut, maka tebaslah leher orang/ kelompok tersebut.” (HR.
Muslim).
Dengan berlandaskan pada Alquran dan Hadis selaku sumber utama dalam
hukum Islam, maka secara tidak langsung aturan makar telah dibakukan di dalam
hukum ini, terutama mengenai sanksinya. Oleh karena itu, para ulama, khususnya
imam mazhab tidak berbeda pendapat mengenai sanksi pelaku makar/
pemberontak. Hanya saja, mereka berbeda pendapat mengenai definisinya,
termasuk dalam hal ini kelompok Syi‟ah.8 Namun, jika dicermati, secara
substansif, definisi-definisi yang dipaparkan oleh mereka memiliki kesamaan,
yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh sebuah kelompok terhadap pemerintah
yang sah dengan berlandaskan pada alasan-alasan tertentu dengan tujuan untuk
melengserkan pemerintah yang sedang berkuasa.
Begitu pula di Indonesia yang menggunakan hukum positif sebagai
pemberlakuan aturan yang mesti dipatuhi rakyatnya, dengan berasaskan pada
Pancasila sebagai falsafah negara,9 serta Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‟45)
sebagai payung hukum dari sekian macam perundang-undangan.10
Sebagai negara
7 Muslim bin al-Hujāj bin Muslim al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, (Bairut: Dār al-Jail, T.th.),
juz 6, h. 18.
8 Abd al-Qādir „Audah, al-Tasyri’ al-Jināī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad’ī,
(al-Qāhirah: Dār al-Hadīs, 1430 H/ 2009 M), juz II, h. 519.
9 Yudi Latif, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
(Jakarta: Gramedia, 2015), cet. V, h. 39.
10 Ketentuan tersebut sebagaimana adanya hierarki perundang-undangan. Dalam artian
undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi. Dan UUD ‟45 menempati posisi yang paling tinggi. Lihat: R. Soeroso,
Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. X, h. 131.
4
hukum, maka semua sikap dan prilaku yang dilakukan rakyat Indonesia harus
berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan begitu, hukum melakukan fungsinya
selaku alat kontrol sosial.11
Maka, segala perbuatan dan ucapan rakyat dapat
dikontrol dengan adanya hukum itu. Termasuk dalam hal ini adalah aturan makar
yang telah dilegislasikan di dalam perundang-undangan hukum positif Indonesia,
yang tertuang di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di kitab undang-undang tersebut telah dijelaskan secara gamblang
mengenai macam-macam makar beserta sanksinya, tepatnya dari Pasal 104-109
KUHP. Namun, yang menjadi persoalan adalah substansi makar sendiri. Karena
di KUHP tidak diperjelas mengenai definisinya, makanya, Andi Hamzah
misalnya, selaku ahli pidana memperjelas arti makar ketika diminta pendapatnya
oleh MK selaku ahli dari pemohon di dalam sidang uji materi sejumlah pasal
dalam KUHP. Menurut Hamzah, makar berarti percobaan yang mengandung
unsur serangan.12
Jadi, meskipun belum terjadi pembunuhan Presiden, misalnya,
namun sudah ada unsur mencoba untuk menyerangnya yang dapat menghilangkan
nyawanya, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan makar.
Terlepas dari kejelasan atau tidaknya arti makar, secara historis, di
Indonesia cukup banyak perbuatan makar yang dilakukan. Dan dari sekian
perbuatan makar yang pernah terjadi, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan
kelompok yang „paling terkenal‟ -bahkan sampai menjadi „simbol‟ tindakan
makar. Kelompok ini digadang-gadang sebagai aktor utama pemberontakan pada
tahun 1965.13
Maka dengan itu, kelompok tersebut dibubarkan bahkan dilarang
untuk menyebarkan pemahaman ideologinya di Indonesia dengan berlandaskan
pada tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.14
11
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. II, h. 23.
12 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59805c882f0cc/pakar-pidana-ini-minta-
delik-makar-perlu-ditinjau-ulang diakses pada tanggal 12 Desember 2017 pukul 21.00 WIB.
13 Kronologi tragedi tahun 1965 baca: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Alex Dinuth ed.,
Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI, (Jakarta: Intermasa, 1997), h. 35-40.
14 Adapun isinya silakan baca: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Alex Dinuth ed.,
Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI, (Jakarta: Intermasa, 1997), h. 219-221.
5
Selain itu, dewasa ini juga ada sebuah kelompok yang dibubarkan karena
ideologinya bertentang dengan Pancasila selaku ideologi negara Indonesia.
Bahkan menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk
menyatu dengan negara-negara Islam lainnya.15
Atau dengan bahasa lain, dengan
ideologi yang dianut kelompok tersebut, maka tidak ada pemisahan negara
berdasarkan wilayahnya layaknya saat ini. Sehingga nantinya akan menjadi satu
dari seluruh negara-negara Islam yang ada di dunia dengan di bawah satu
kepemimpinan (khalīfah). Oleh karena itu, keinginan kelompok tersebut dapat
membahayakan kesatuan dan persatuan NKRI. Bahkan bisa termasuk makar
sebagaimana pada Pasal 106 KUHP, yaitu berusaha ingin memisahkan wilaya
negara dari yang lain.16
Maka, sebelum keinginan kelompok itu terjadi,
pemerintah dengan tegap mengambil sikap terhadap kelompok ini untuk
membubarkannya.17
Tentu melalui mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia,
tidak asal membubarkan sehingga tidak mengesankan sikap otoriter.
Melihat persoalan makar sering terjadi di Indonesia saat ini, bahkan
dewasa ini terkesan dengan gampangnya menjustifikasi suatu kelompok/ oknum
sebagai pelaku makar, membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai konsep makar dengan melalui dua kacamata jenis hukum, yaitu hukum
Islam dan hukum positif, dengan memberikan judul penelitian ini “Konsep
Makar di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam”.
15
Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=GT3ZK8GxW_w diakses pada tanggal 15
Oktober 2017 pada pukul 14.30 WIB.
16 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), cet.
XXIV, h. 43.
17 https://www.dream.co.id/news/pemerintah-bubarkan-hti-170508e.html diakses pada
tanggal 30 Mei 2017 pukul 07.00 WIB.
6
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi masalah
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan sebelumnya, maka memungkinkan
akan kemunculan permasalahan sebagai berikut:
Pertama, kebijakan-kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa tidak
selamanya diterima oleh rakyatnya. Apalagi rakyatnya memiliki latar belakang
yang berbeda-beda, yang merupakan suatu keniscayaan akan berbeda-beda pula
keinginan dan kebutuhannya. Sehingga membutuhkan alat perekat yang sangat
kuat untuk bisa menyatukannya. Meskipun, tak selamanya alat tersebut dapat
menyatukan berbagai latar belakang tadi. Tepatnya, ketika pihak penguasa tidak
bersikap netral. Maka, peluang untuk terjadi konflik begitu besar, sehingga bisa
berimplikasi pada perpecahan suatu negara yang berlatar belakang berbeda-beda
tadi. Termasuk dalam hal ini adalah Madinah selaku kota pertama yang
menjadikan Nabi sebagai pemimpin dan negara Indonesia, yang keduanya sama-
sama dianugerahkan masyarakat yang majemuk.
Kedua, aturan makar yang ditetapkan oleh hukum Islam dan hukum positif
Indonesia, jika dilihat secara sepintas, mengesankan akan keinginan pemerintah
untuk mempertahankan kekuasaannya. Demi mempunyai legitimasi secara
konstitusi, maka kelompok yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah
akan dikenakan sanksi berdasarkan aturan makar tadi. Hal ini dikarenakan dalam
melihat makar hanya tercakup pada penggulingan pemerintah saja. Sehingga,
sekali lagi jika dilihat sekilas, menimbulkan kesan seperti tadi. Tak terkecuali di
bawah pimpinan Nabi Muhammad selaku pembuat aturan hukum Islam. Karena
memang beliau pun, ketika dilihat dari perspektif politik, memiliki keinginan
sebagaimana dikesankan tadi.
Ketiga, khusus untuk hukum Islam yang mengatur tentang tindakan
makar. Ternyata tidak dapat hanya merujuk pada sumber aslinya, Alquran dan
Hadis. Sebab, di sana tidak disebutkan secara terperinci mengenai perbuatan-
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan makar. Hanya sebatas aturan
umum saja yang ditetapkan di sana. Oleh karena itu, tidak cukup untuk
mengidentifikasi sebuah tindakan makar jika hanya bertolak pada kedua sumber
7
tadi. Maka harus melibatkan pendapat para ahli yang memiliki kapasitas di dalam
bidang tersebut.
2. Pembatasan Masalah
Melihat permasalahan di atas memiliki cakupan yang luas, maka
diperlukan adanya pembatasan. Hal ini bertujuan agar objek penelitian yang dikaji
terarah secara sitematis dan jelas. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini penulis
hanya membatasi pada kajian terhadap pendapat madzhab Sunni dan Syi‟ah yang
terdapat pada hukum Islam dan pasal-pasal tentang makar di dalam KUHP.
3. Rumusan Masalah
Sesuai identifikasi masalah di atas, maka pertanyaan yang muncul kemudian
adalah:
1. Bagaimana konsep makar dalam perspektif hukum Islam dan hukum
positif Indonesia?
2. Bagaimana perbandingan sanksi tindak pidana makar menurut kedua
jenis hukum tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Dapat mengidentifikasi tindakan makar yang dilakukan di Indonesia.
2. Melihat aturan makar lebih komprehensif dengan bertolak pada dua
perspektif, yakni sosiologis dan politis, baik di hukum Islam maupun
hukum positif Indonesia.
3. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan
hukum positif tentang makar.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat dalam dua ranah:
1. Ranah akademis; menjadi wawasan baru untuk kalangan akademisi terkait
tindakan makar menurut hukum positif dan hukum Islam. Terutama ketika
8
disandingkan dengan hukum Islam. Sebab ternyata hukum Islam juga
mempunyai aturan sendiri mengenai hal itu.
2. Ranah praksis; sebuah upaya untuk menyadarkan rakyat Indonesia agar
tidak berbuat tindakan makar. Dengan memerhatikan sanksi-sanksi makar
yang sangat berat, baik menurut hukum positif Indonesia maupun hukum
Islam.
D. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah berbagai literatur, baik hukum positif maupun
hukum Islam, yang membahas mengenai makar. Maka dari itu, penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif18
yang tergolong dalam metode penelitian
kepustakaan (library research). Metode penelitian ini memungkinkan penulis
untuk melacak tulisan, artikel, dan dokumen19
lain yang berkaitan dengan makar.
Baik yang dibahas dari kacamata hukum Islam maupun dari hukum positif.
Langkah pertama yaitu menelusuri aturan makar yang terdapat di dalam
korpus Islam (kitab fiqh). Dengan mengutip pendapat para madzhab, yang dalam
hal ini terbatas pada empat madzhab saja. Serta melacak dalil-dalil yang menjadi
pijakan oleh setiap madzhab tersebut.
Langkah kedua adalah menelusuri aturan makar dalam hukum positif,
yang dalam hal ini disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebab KUHP ini merupakan aturan hukum yang diterapkan di Bangsa ini. Dari
situ dapat dipastikan akan keberadaan aturan makar secara detail.
Langkah ketiga adalah menganalisa aturan makar yang terdapat pada
kedua jenis hukum di atas dengan „membaca‟ makar dari dua perspektif,
18
Secara ringkas penelitian ini bertujuan mengangkis secara substantif muatan data-data
yang ada berupa tulisan, ujaran dan pemikiran objek yang diteliti secara deskriptif. Baca: Lexy J.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 2-7.
19 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), h. 391.
9
sosiologis dan politis, sehingga bisa melihat makar tidak hanya sebatas sebuah
aturan belaka.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu sumber yang berhubungan langsung dengan objek
penelitian ini. Dalam hal ini menggunakan kitab-kitab seperti al-
Tasyri’ al-Jināī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad’ī karya Abd
al-Qādir „Audah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh karya Wahbah al-
Zuhaili, al-Ahkām al-Sultāniyah wa al-Wilāyāh al-Diniyah karya Abu
al-Hasan Ali al-Baghdādī al-Mawardī, dan buku seperti Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), Piagam Madinah dan Undang-
Undang Dasar 1945 karya Ahmad Sukardja, Islam dan Tata Negara
karya Munawir Sjadzali, yang seluruh buku tersebut secara khusus
membahas mengenai aturan makar, baik menurut hukum Islam
maupun hukum positif.
b. Data Sekunder, yaitu sumber pendukung data primer. Dalam hal ini,
penulis menjadikan buku-buku dan artikel lain yang mempunyai
relevansi dan bisa mendukung penyelesaian penelitian ini.
c. Data Tersier, data non-hukum yang diharapkan mendukung dalam
penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta
ensiklopedi yang berkaitan dengan pembahasan.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan
(Comparative Approach).20
Dalam hal ini penulis membandingkan antara hukum
Islam dan hukum positif. Perbandingan ini bukan untuk mencari kekurangan yang
terdapat di kedua jenis hukum itu. Tapi lebih pada untuk mendapatkan informasi
peraturan terkait makar menurut kedua jenis hukum tersebut. Sejalan dengan ini,
Holland juga menegaskan bahwa ruang lingkup perbandingan hukum terbatas
pada penyelidikan secara deskriptif.21
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2014),
h. 172.
21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 173.
10
4. Metode Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-
komparatif. Yaitu memaparkan aturan tindakan makar menurut hukum Islam dan
hukum positif. Kemudian membandingkannya menurut kedua jenis hukum
tersebut. Penulis berupaya akan mencermati pola dan tujuan mendasar dari adanya
aturan makar pada kedua jenis hukum tersebut, yang kemudian akan dituangkan
dalam bentuk narasi dengan bahasa lugas dan jelas.
5. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
E. Review Kajian Terdahulu
Menyajikan karya ilmiah yang pernah dilakukan oleh peneliti lainnya
merupakan hal penting. Hal ini agar tidak terjadi pengulangan penelitian dengan
pembahasan yang sama. Serta untuk mengetahui objek penelitian yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sehingga peneliti setelahnya dapat
menemukan kekurangan atau sebuah pembahasan yang belum dilakukan oleh
peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, berikut akan dipaparkan dua karya ilmiah
yang pernah membahas tindak pidana makar dengan objek pembahasan yang
berbeda-beda.
1. Skripsi dengan judul Pidana Penjara Seumur Hidup Terhadap Tindak
Pidana Makar di Indonesia, yang ditulis oleh Roni Hamzah.22
Pada
penelitian ini, Roni memfokuskan penelitiannya pada sanksi tindak pidana
makar, yang salah satunya adalah penjara seumur hidup. Ketentuan
tersebut sebagaimana di dalam KUHP Pasal 104 tentang Makar. Dengan
menghasilkan sebuah konklusi bahwa sanksi seumur hidup hanyalah
alternatif lain dari hukuman mati. Sebab pada ada akhirnya dengan adanya
22
Roni Hamzah, Pidana Penjara Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Makar di
Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya, 2015.
11
hukuman seumur hidup pelakunya akan meninggal dunia dengan kondisi
ditahan.
Berdasarkan uraian singkat itu, sudah jelas perbedaannya dengan
penelitian yang penulis lakukan dengan tidak terfokus pada sanksi tindak
pidana makar menurut KUHP. Lebih dari itu berupaya
membandingkannya dengan aturan yang terdapat pada hukum Islam.
2. Jurnal dengan judul Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar Di
Indonesia, yang ditulis oleh Abdurisfa Adzan Trahjurendra.23
Pada karya
ilmiah ini, Abdurisfa ingin memaparkan terkait tindak pidana makar dalam
kacamata politik hukum. Secara historis, tindak pidana makar memiliki
fase yang beragam. Tergantung pada masa pemerintahan yang berkuasa
saat itu. Karena memang bangsa Indonesia selaku negara hukum memiliki
hubungan yang sangat erat antara produk hukum dengan politik. Dalam
artian, perumusan tindak pindana makar dapat dilihat dari kebijakan
politiknya.
Dari situ, secara otomatis dapat diketahui bahwa orientasi
penelitian pada karya ilmiah Abdurisfa tersebut berbeda jauh dengan
objek penelitian penulis. Meskipun sama-sama mengenai tindak pidana
makar, namun fokus kajiannya berbeda. Di dalam jurnal tersebut hanya
dibahas tentang pembentukan aturan makar yang dipengaruhi oleh politik,
sedangkan penelitian ini mengkaji makar menurut hukum positif dan
hukum Islam.
3. Skripsi dengan judul Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif, yang disusun oleh Imam Maulana.24
Objek kajian yang diteliti Imam pada skripsinya tersebut mengenai sanksi
atau hukuman bagi pemberontak (bughat) dan pelaku tindakan makar.
Sanksi bagi keduanya bertolak pada aturan yang mengatur perbuatan
23
Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar Di
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
24 Imam Maulana, Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif, Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
12
kriminal tersebut. Sanksi bughat merujuk pada hukum Islam, dan makar
merujuk pada hukum positif.
Membuat perbedaan antara keduanya, baik aturan normatif
maupun sanksinya, menjadi perbedaan pertama dengan penelitian yang
sedang dikaji penulis. Sebab, menurut hemat penulis, bughat dan makar
merupakan tindak kriminal yang memiliki cara dan tujuan yang sama
sebagaimana akan dijelaskan nanti. Kemudian, perbedaan kedua, di dalam
penelitian tersebut hanya terbatas pada sanksi perbuatan tindakan kriminal
bughat dan makar. Sedangkan pada penelitian penulis, cakupannya lebih
luas dan terperinci. Maka, sudah jelas kiranya perbedaan ranah penelitian
antara skripsi ini dengan penelitian yang dilakukan penulis.
F. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini mudah dipahami, dan dapat memberikan gambaran
umum terkait konten penelitian ini, berikut penulis paparkan sistematika
penulisannya:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang
masalah, permasalahan yang terdiri dari identifikasi, batasan dan rumusan
masalah, kemudian tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, riview
kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas kerangka teoritis tentang makar dalam perspektif hukum
Islam. Pada bab ini akan dipaparkan aturan makar mulai definisi dan sejarah
makar menurut hukum tersebut, kemudian dalil syar‟i selaku pijakan dalam
melahirkan aturan makar, dan tipologi tindakan makar, kemudian diakhiri dengan
sanksi terhadap pelakunya menurut empat madzhab.
Bab III pembahasan makar menurut hukum positif Indonesia. Dalam hal
ini berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada bab ini
akan dimulai dari pengertian dan sejarah makar menurut KUHP, dasar hukumnya,
jenis-jenis yang dapat dikategorikan sebagai tindakan makar, serta sanksi yang
akan diberikan pada pelakunya.
13
Bab IV mengenalisa aturan makar yang terdapat pada kedua jenis hukum
tersebut dengan melihat dari dua aspek, aspek sosiologis dan aspek politis.
Bab V Penutup. Pada bab ini disajikan kesimpulan dari hasil penelitian.
Serta sebagai jawaban atas permasalahan yang dirumuskan pada bab pertama.
Dan diakhir dengan saran guna memberikan peluang penelitian baru bagi para
peneliti selanjutnya.
14
BAB II
MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Definisi dan Sejarah Makar
1. Definisi Makar
Makar dalam bahasa Arab dikenal dengan البغي yang secara bahasa
memiliki arti kezaliman, keluar dari aturan, pemberontakan, sombong,1 melebih-
lebihkan suara, dengki.2 Sedangkan menurut istilah sebagaimana dipaparkan oleh
Ibn „Arafah al-Maliki: tidak mau taat kepada orang yang sudah jelas
kedudukannya sebagai pemimpin dengan tanpa maksiat yang berlebihan
meskipun disertai dengan alasan.3
Kalangan Hanafiyah mengartikan makar sebagai sebuah kelompok yang
memiliki senjata dan kekuatan, yang menentang hukum umat Islam dengan
alasan, dan (sikap) mereka itu dilakukan di sebuah tempat suatu negeri, serta
mereka terbentuk dalam sebuah kelompok dan melawan hukum yang sudah
disepakati oleh umat Islam secara umum.4 Sedangkan kalangan Malikiyah
mendefinisikan makar dengan lebih sederhana, yaitu orang-orang yang
memerangi (orang lain) dengan disertai alasan.5
Kalangan Hanabilah mendefinisikannya lebih spesifik lagi, yaitu mereka
yang keluar (tidak taat) dari (kepemimpinan) seorang pemimpin meskipun tidak
adil, yang disertai dengan alasan kuat serta memiliki senjata, dan tidak mau taat
terhadapnya.6
1 Ibrahim Mustafa, dkk., al-Mu‟jam al-Wasith, (T.tp.: Dar al-Da‟wah, t.th.), h. 65.
2 Sa‟di Abu Jubaib, al-Qamus al-Fiqhi, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1993), h. 40.
3 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1429 H/
2008 M), cet. VI, juz 6, h. 90.
4 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 6, h. 90-91.
5 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 6, h. 91.
6 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 6, h. 91.
15
Syi‟ah Zaidiyah mengatakan bahwa pelaku makar merupakan orang yang
menyatakan bahwa dirinya sedang melakukan kebenaran, sedangkan pemimpin/
penguasa melakukan kesalahan/ perbuatan batil, serta memiliki kelompok
dan/atau kekuatan.7
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil simpulan bahwa makna
makar adalah pemberontakan yang dilakukan oleh sebuah kelompok terhadap
pemerintah yang sah dengan berlandaskan alasan-alasan tertentu dengan tujuan
untuk melengserkan pemerintah yang sedang berkuasa.
2. Sejarah Makar
Pada masa Nabi Muhammad Saw, tak jarang terjadi rencana jahat yang
dilakukan orang kafir Qurasy demi menghentikan tindakan Nabi yang
menginginkan terciptanya masyarakat beragama Islam, yang tunduk terhadap
aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya. Kejadian itu bisa dilihat dalam sejarah Islam
pada era Nabi, dengan banyaknya peperangan yang terjadi8, baik yang diikuti
beliau atau tidak. Pada kesempatakan kali ini, penulis tidak akan memaparkan
semuanya. Hanya kejadian-kejadian tertentu yang sudah direkam oleh Alquran
dan Hadis, yang sarat dengan pemberontakan tentunya.
Allah Swt berfirman:
ر الماكرين وإذ يكر بك الذين كفروا ليثبتوك أو ي قت لوك أو يرجوك ويكرون وي كر اللو واللو خي
(03)األنفال:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) berencana untuk
membuat daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah
7 Abd al-Qādir „Audah, al-Tasyri‟ al-Jināī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad‟ī,
(al-Qāhirah: Dar al-Hadīs, 1430 H/ 2009 M), juz II, h. 519.
8 Akan tetapi bukan berarti semua peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan
untuk memberontak, terkadang bisa karena faktor ekonomi, sosial, atau politik. Selengkapnya
baca: Ali Mustafa Yaqub, Islam Between War and Peace, (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah,
1431H/ 2010 M), h. 18-23.
16
menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al-
Anfāl: 30).9
Ayat ini merupakan rekaman sejarah yang diabadikan oleh Alquran ketika
Nabi Muhammad diincar oleh orang kafir Qurasy untuk ditangkap dan dibunuh.
Imam Qurtubi mengatakan di dalam kitabnya, al-Jāmi‟ li Ahkām Alquran, bahwa
ayat tersebut sebagai kabar bagi Nabi akan rencana kafir Qurays ketika berkumpul
di tempat perkumpulan (Dar al-Nadwah) untuk membuat kesepakatan dalam
pembunuhan Nabi.10
Maka bersepakatlah mereka untuk menangkap dan membunuh Nabi
dengan cara mengepung rumah beliau pada suatu malam, yang oleh Imam Ibnu
Katsir dipastikan sebagai malam yang keesokan harinya akan hijrah ke
Madinah.11
Mereka akan menangkap beliau ketika keluar dari rumahnya. Namun,
karena beliau sudah mengetahui terlebih dahulu akan rencana mereka, maka Nabi
menyuruh Ali bin Abi Talib untuk tidur di tempat tidur beliau. Dan dia pun
mengiyakan perintah Nabi. Kemudian Nabi berdoa agar musuh-musuhnya itu
tidak melihat beliau ketika keluar rumah. Maka Allah membuat mata mereka
mengantuk, dan akhirnya tertidur. Kemudian Nabi keluar dengan membawa
segenggam pasir untuk ditaburkan di setiap kepala mereka. Ketika fajar terbit,
mereka terjaga dan hanya melihat sosok Ali bin Abi Talib di dalam rumah Nabi.12
Kisah tersebut menjadi bukti bahwa keinginan musuh-musuh Nabi untuk
melenyapkannya dari muka bumi sudah terjadi sebelum Nabi mendirikan kota
Madinah. Pembangkangan orang kafir Qurasy terhadap Nabi sudah direncanakan
9 Di dalam Alquran memang lebih sering menggunakan istilah مكر, yang bermakna
menipu dan/atau memperdaya, ketimbang البغي. Hal ini bisa dilihat di beberapa ayat yang
membahas mengenai tipu daya musuh-musuh para Nabi, seperti di Ali Imrān: 54, Ibrāhīm: 46, al-
Nahl: 45, al-Naml: 50, dan lain sebagainya. Kendati demikian secara substansi selaras dengan kata
.yang sama-sama ingin melengserkan kekuasaan penguasa yang sedang menjabat ,البغي
10 Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Farh al-Ansari al-Qurtubi, al-Jāmi‟ li
Ahkām Alquran, (al-Qāhirah: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1384 H/ 1964 M), juz 7, h. 397.
11 Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Alquran al-Karim, (T.tp.: Dar Tibah,
1420 H/ 1999 M), juz 4, h. 44.
12 Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Farh al-Ansari al-Qurtubi, al-Jāmi‟ li
Ahkām Alquran, (al-Qāhirah: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1384 H/ 1964 M), juz 7, h. 397.
17
agar Nabi tidak meneruskan dakwahnya dalam menyebarkan agama Allah, yang
oleh mereka dinilai bertentangan dengan keyakinan dan tradisi warisan nenek
moyang masyarakat Mekkah. Oleh karenanya, gerakan Nabi tersebut ditentang
dan harus dihentikan dengan cara apa pun, termasuk membunuh beliau.
Namun Nabi tidak langsung melawan para kafir Qurasy tersebut. Sebab
saat itu kekuatan yang dimiliki beliau belum kuat, sehingga beliau lebih memilih
kabur ke kota Yatsrib, yang kelak akan menjadi kota beliau dengan sebutan kota
Madinah. Di sana lah beliau membangun kekuatan untuk melindungi diri dari
lawan-lawannya. Di kota tersebut beliau tidak sekedar berperan sebagai Nabi,
bahkan sebagai seorang politisi yang sering muncul ke muka untuk
menyampaikan seruan dan mendamaikan suku Aws dan Khazraj yang sering
bermusuhan.13
Dengan begitu kekuatan umat Islam yang berada di bawah
(kekuasaan) Nabi semakin kuat, hingga akhirnya Islam menjadi lebih dari sekadar
agama negara, bahkan Islam merupakan negara itu sendiri.14
Maka dari itu, ketika Nabi dan kafilahnya pulang dari Tabuk menuju
Madinah, Hudzaifah bin Yaman menggiring Unta Nabi Muhammad Saw.,
sedangkan Ammar bin Yasar yang mengendarainya. Kemudian ketika sudah
sampai di jalan kecil di atas bukit tiba-tiba dihadang oleh 12 orang. Mereka ingin
melakukan makar dengan merampas barang bawaan yang dibawa dari Tabuk.
Namun seseorang berteriak sehingga mereka kabur. Kemudian Nabi bertanya
kepada kafilahnya mengenai orang-orang tersebut. Maka dijawab bahwa mereka
menutup mukanya dengan kain, dan itu perbuatan orang yang sedang melakukan
perjalanan. Maka Nabi pun mencap mereka sebagai munafik sampai hari kiamat,
dengan dilanjutkan sebuah pertanyaan tentang tujuan mereka. Kemudian
13
Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to The Present,
Penerjemah R. Cecep Lukman Y. dan Dedi Slamet R.. History of The Arabs, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2014), cet. I, h. 145-146.
14 Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to The Present,
Penerjemah R. Cecep Lukman Y. dan Dedi Slamet R.. History of The Arabs, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2014), cet. I, h. 147.
18
Hudzaifah menjawab bahwa mereka ingin menyempitkan jalan Nabi ketika
sampai di jalan kecil kemudian melemparkan beliau ke bawah.15
Kisah orang munafik yang ingin melakukan makar tersebut oleh Alquran
diabadikan, yang berbunyi:
وا ب عد إسلمهم وهوا با ل ي نالوا وما ن قموا إل أن يلفون باللو ما قالوا ولقد قالوا كلمة الكفر وكفر
ب هم اللو را لم وإن ي ت ولوا ي عذ ن يا أغناىم اللو ورسولو من فضلو فإن ي توبوا يك خي عذابا أليما ف الد
(47)التوبة: ما لم ف األرض من ول ول نصير والخرة و
Artinya: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah,
bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya
mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah
Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya16
, dan mereka
tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu
adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka
sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka
bumi.” (QS. al-Taubah: 74).
Hal ini bertujuan agar kejadian seperti di atas dapat diketahui oleh para
generasi umat Islam di masa akan datang, serta diambil hikmah dari kejadian
tersebut. Bahwa sampai Nabi menjadi kepala negara di kota Madinah pun tetap
ada tindakan makar yang dilakukan oleh para musuh beliau.
Selain di masa Nabi, pada masa sahabat juga terdapat pemberontak. Yaitu
di masa khalifah Ali bin Abi Talib ra., yang dikenal dengan sebutan kelompok
Khawarij. Khawarij berarti kelompok yang keluar (enggan) dari pemerintah yang
15
Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqī, Dalail al-Nubuwah, (T.tp.:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408 H/ 1988 M), juz 5, h. 260.
16 Menurut Imam Tabari, maksud dari (“keinginan yang mereka tidak dapat
mencapainya”) adalah membunuh Nabi. Lihat: Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin
Ghalib al-Tabari, Jami‟ al-Bayān fī ta‟wīl Alquran, (T.tp.: Muassasah al-Risalah, 1420 H/ 2000
M), juz 14, h. 363.
19
sah yang telah disepakati oleh umat, entah keluarnya pada era Khulafa‟ al-
Rāsyidūn atau pada era Tābi‟in dan seterusnya yang imamnya telah ditentukan.17
Pada awalnya, Khawarij merupakan kelompok pengikut sayyiduna Ali bin
Abi Talib, yang ikut serta memerangi Mu‟awiyah bin Abi Sufyan. Peperangan ini
yang disebut dengan perang Siffīn. Perseteruan antara kedua belah pihak tersebut
berakhir dengan adanya rekonsiliasi. Atau dikenal dengan tahkīm (arbitrase). Cara
tersebut menjadi jalan bagi kelompok Ali dan Mu‟awiyah untuk berdamai dengan
beberapa kesepakatan. Karena cara seperti itulah yang menurut sebagian pengikut
Ali bin Abi Talib telah keluar dari syari‟at Allah dan Rasul-Nya. Mereka
menyatakan dengan tegas bahwa tidak hukum selain hukum Allah (lā hukm illa
lillāh).18
Maka, mereka pun mengambil sikap dengan keluar dari barisan Ali bin
Abi Talib. Keluar dalam arti tidak mau patuh dan tunduk lagi kepada Ali bin Abi
Talib selaku seorang khalifah. Sikap seperti itu yang menjadikan mereka sebagai
kelompok pembangkang terhadap pemerintah yang sah, yang berada di bawah
pimpinan Ali bin Abi Talib. Di antara pelopor dalam mengambil sikap itu adalah
Asy‟ats bin Qais al-Kindi, Mas‟ar bin Fadki al-Tamīmī, dan Zaid bin al-Husain.19
Oleh karena itu, kelompok tersebut sering dijadikan contoh di dalam kitab-
kitab fiqh ketika masuk pada pembahasan pemberontakan (al-Baghy). Sebab
secara historis, kelompok Islam yang secara terang-terangan nan lantang
memisahkan diri (kharaja) dari penguasa adalah kelompok Khawarij yang muncul
pada masa khalifah Ali bin Abi Talib. Maka dari itu, sudah tepat kiranya jika
kelompok tersebut menjadi perumpamaan terkait pembahasan makar/
pemberontakan.
17
Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-
Ma‟rifah, 1404 H), juz 1, h. 113.
18 Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-
Ma‟rifah, 1404 H), juz 1, h. 113.
19 Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-
Ma‟rifah, 1404 H), juz 1, h. 113.
20
B. Dalil Tindakan Makar
Islam memiliki sumber yang memuat ajaran-ajarannya, termasuk aturan-
aturan normatif yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Sumber tersebut guna
meneguhkan identitas Islam selaku agama samawi yang disampaikan oleh utusan-
Nya, serta memudahkan bagi para pemeluknya untuk mempelajari dan mengkaji
ajaran agamanya. Sumber tersebut antara lain Alquran, Hadis, Qiyas, dan Ijma‟.20
Salah satu hukum yang diatur oleh Islam adalah tindakan makar. Aturan
tersebut tertera di dalam Alquran, yang berbunyi:
ن هما فإن ب غت إحداها على األخرى ف ق اتلوا الت ت بغي وإن طائفتان من المؤمنني اق تت لوا فأصلحوا ب ي
ب المقسطني حت تفيء إل أمر اللو فإن ن هما بالعدل وأقسطوا إن اللو ي فاءت فأصلحوا ب ي
(9)احلجرات:
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar
(perjanjian) terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar itu kamu perangi
sampai kembali pada perintah Allah. Kalau telah kembali, damaikanlah antara
keduanya secara adil, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurāt: 9).
Ayat ini menjadi dasar utama dalam memberikan sanksi terhadap para
pelaku tindakan makar sebagaimana menurut para fuqaha yang akan dibahas pada
sub-bab selanjutnya. Serta menurut Imam al-Rāzī, maksud kalimat “tapi kalau
yang satu melanggar (perjanjian) terhadap yang lain”, bisa bermakna pemerintah
dan/atau rakyat. Artinya, pelanggar perjanjian itu tidak selalu rakyat, tapi bisa
juga pemerintah. Maka, jika pemerintah yang melanggar, rakyat mesti
mencegahnya dengan cara menasehatinya, serta dengan syarat tidak menimbulkan
20
Keempat sumber ini yang menurut para ulama‟ usul sebagai sumber hukum Islam yang
disepakati. Sedangkan masih yang diperselisihkan, apakah sumber tersebut bisa dikategorikan
sebagai sumber hukum Islam atau tidak, terdapat tujuh sumber. Selengkapnya baca: Wahbah al-
Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islāmī, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1406 H/ 1986 M), h. 417 dan 734.
21
kekacauan seperti layaknya terjadi peperangan. Sebaliknya, jika pelanggar
perjanjian tersebut adalah rakyat, maka pemerintah berkewajiban mencegahnya.21
Selain ayat di atas, ada pula hadis-hadis Nabi yang dijadikan pijakan untuk
mengategorikan dan balasan tindakan makar, yaitu:
لح ف ليس منا ملسو هيلع هللا ىلصرضي اهلل عنو أن رسول اهلل عن أب ىري رة نا الس ومن قال: من حل علي
22نا ف ليس منا )رواه مسلم(غش
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
bersabda: siapa pun yang membawa senjata terhadap kita maka bukan termasuk
(golongan) kita, serta siapa pun yang menipu kita maka juga bukan termasuk
(golongan) kita.” (HR. Muslim)
رب قة عن أب ذر قال: قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم: من فارق الماعة قيد شبر ف قد خل
سلم من عنقو )رواه احلاكم( 20ال
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Dzar, Rasulullah Saw bersabda: siapa pun
yang meninggalkan jamaah (sekalipun) seukuran sejengkal, sungguh telah
melepaskan tali (identitas) keislaman dari dirinya.” (HR. al-Hakim)
إماما فأعطاه صفقة يده وثرة ق لبو أنو قال: ملسو هيلع هللا ىلصعن عبد اهلل بن عمر عن الرسول ومن باي
27)رواه مسلم(ف ليطعو إن استطاع فإن جاء آخر ي نازعو فاضربوا عنق الخر
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda: siapa
saja yang telah memberikan seorang pemimpin akan segenggam tangannya
(berjanji setia/ berbai‟at) dan akan kerelaan hatinya maka hendaklah mentaati
pemimpin tersebut semampunya. Jika ada orang/ kelompok lain yang menentang
21
Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātīh al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1421 H/ 2000
M), juz 28, h. 109
22 Muslim bin al-Hujāj bin Muslim al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, (Bairut: Dār al-Jail,
T.th.), juz 1, h. 69.
23 Muhammad bin Abdillah al-Hākim al-Naisābūrī, al-Mustadrak „ala al-Sahīhain,
(Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/ 1411 H), juz 1, h. 203.
24 Muslim bin al-Hujāj bin Muslim al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, (Bairut: Dār al-Jail,
T.th.), juz 6, h. 18.
22
pemimpin tersebut, maka tebaslah leher orang/ kelompok tersebut.” (HR.
Muslim)
Dari tiga Hadis di atas dapat dipahami bahwa mengangkat senjata
merupakan simbol kemunculan pertikaian. Sebagaimana pada Hadis pertama,
misalnya, Nabi menegaskan bahwa membawa senjata yang diperuntukkan untuk
menghilangkan nyawa orang lain merupakan sikap yang tidak mencerminkan
golongan umat beliau. Maka dari itu, pemberontakan yang dilakukan oleh
kelompok pemberontak sembari membawa senjata dilarang oleh agama Islam.
Sebab perbuatan tersebut termasuk perbuatan tercela dan sangat jauh dari
karakteristik Islam selaku agama yang santun dan lembut.
Sedangkan pada Hadis kedua merupakan kecaman keras terhadap
kelompok yang keluar dari mayoritas, sehingga menjadi minoritas. Keluar di sini
dalam arti menyalahi dan melawan kelompok mayoritas tersebut. Sebagaimana
dilakukan kelompok pemberontak yang berusaha melemahkan pihak penguasa
selaku pihak yang dipercayai oleh mayoritas.
Kemudian pada Hadis ketiga selaku pemungkas sekaligus pelengkap dari
kedua Hadis sebelumnya memberitahukan cara mengahadapi kelompok
pemberontak atau melakukan makar, yaitu dengan menebas lehernya. Maksudnya
adalah dengan memeranginya dengan tujuan untuk membuat jera yang lain dan
menjaga stabilitas bersama. Dari Hadis ini pula lah para ulama bersepakat akan
sanksi yang akan diterima bagi para pelaku makar di dalam hukum Islam, yaitu
dengan diperangi.
Selain itu, masih banyak lagi nash lain yang menjadi pijakan ulama untuk
memformulasikan aturan makar di dalam hukum Islam (fiqh). Maka dari itu,
sudah jelas nan purna pembentukan aturan makar di dalam agama Islam.
C. Tipologi Makar
Sebenarnya, dalam menakar sebuah tindakan makar sudah bisa dilihat
berdasarkan definisi makar sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Dalam
Islam pun juga tidak menyebutkan tipologi tindakan makar secara eksplisit, entah
di Alquran, Hadis, maupun kitab-kitab turats Islam. Kendati demikian, tipologi
23
tindakan makar tetap bisa ditelisik dengan mencermati definisinya. Karena sebuah
definisi itu secara tidak langsung sudah menjadi indikator dan kriteria untuk
membedakan dengan definisi (pembahasan) lainnya.25
Oleh karena itu, tipologi
tindakan makar bisa disimpulkan sebagai berikut:
a. Terbentuk dalam sebuah kelompok;26
b. Memiliki kekuatan, baik kekuatan yang berbentuk senjata maupun
berbentuk golongan;
c. Disertai dengan alasan kuat;
d. Melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah;
e. Mengangkat senjata secara terang-terangan.
Tipologi tersebut menjadi tolak ukur dalam menetapkan sebuah kelompok
telah melakukan tindakan makar atau tidak. Tentu, hal tersebut bedasarkan apa
yang sudah pernah dilakukan Nabi ketika melihat pemberontakan terhadap beliau
selaku kepala negara. Dan beliau sendiri pun dalam menentukan sebuah tindakan
termasuk pemberontakan atau tidak cukup dengan melihat tindakan tersebut; jika
sampai menodongkan senjata terhadap muslim yang lain maka sudah bisa
dikategorikan makar. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam sabdanya:
لح ف ليس منا ملسو هيلع هللا ىلصرضي اهلل عنو أن رسول اهلل عن أب ىري رة نا الس ومن قال: من حل علي
نا ف ليس منا )رواه مسلم( 24غش
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
bersabda: siapa pun yang membawa senjata terhadap kita maka bukan termasuk
(golongan) kita, serta siapa pun yang menipu kita maka juga bukan termasuk
(golongan) kita.” (HR. Muslim)
25
Pembahasan tentang definisi seperti pengertian dan syarat-syaratnya baca: Syukriadi
Sambas, Mantik; Kaidah Berpikir Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), cet. VI, h. 67-68.
26 Imam Syafi‟i menegaskan bahwa jumlah kelompok tersebut tidak dibatasi oleh angka
berapa pun. Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Andalusi,
Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtasid, (Lubnān: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1434 H/ 2013
M), cet. V, h. 821.
27 Muslim bin al-Hujāj bin Muslim al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, (Bairut: Dār al-Jail,
T.th.), juz 1, h. 69.
24
Jadi, makar versi Nabi malah lebih sederhana. Namun seiring
perkembangan zaman, oleh para ulama fiqh diformulasikan dengan lebih rinci dan
sistematis agar lebih jelas dalam menetapkan sebuah tindakan makar. Caranya
dengan membuat definisi makar, yang secara otomatis menjadi standarisasi suatu
tindakan untuk dikategorikan sebagai makar.
D. Sanksi Tindakan Makar
Sebagai agama samawi yang terakhir, Islam menjadi pelengkap dari
agama-agama sebelumnya. Sehingga aturan-aturannya juga meliputi mengenai
hubungan antar sesama manusia –bahkan mahluk lainnya. Tidak hanya
mencukupkan pada tataran hubungan hamba dengan penciptanya. Hal ini
sebagaimana terlihat dalam buku-buku yang memuat aturan-aturan agama Islam,
yang dikenal sebagai fiqh. Di sana dipaparkan semua aturan-aturan Islam, mulai
dari hubungan hamba dan tuhannya, yang disebut dengan „ibādah, hingga
hubungan antara sesama mahluk, yang disebut dengan mu‟āmalah dan/atau
jināyah. Begitulah pembagian aturan Islam secara umum yang terdapat di dalam
literatur fiqh.
Dan makar selaku sebuah perbuatan kejahatan, maka dalah hal ini masuk
pada ranah jināyah. Di mana di situ dibahas mengenai sanksi bagi para
pelakunya. Tentu sanksi tersebut berdasarkan hasil penelusuran para ulama
terhadap sumber utama ajaran Islam, kemudian diformulasikan secara sistematis
agar umat secara umum tinggal menerima hasil formulasi tersebut. Jadi mereka
tidak usah mencari lagi di dalam sumber utama tadi, namun cukup membaca di
dalam literatur fiqh.
Syekh Wahbah Zuhaili di dalam karya fenomenalnya, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku makar adalah dibunuh
ketika dalam peperangan dan disuruh taubat. Namun sebelum diperangi,
pemerintah harus mencermati terlebih dahulu terhadap kelompok yang terindikasi
melakukan tindakan makar dengan melihat apakah mereka mempunyai senjata
atau tidak. Jika tidak, maka pemerintah cukup menahannya saja sampai mau
25
bertobat.28
Jadi tidak langsung asal diperangi, tapi harus diteliti dan dikaji cara
dan pola mereka yang oleh pemerintah dianggap sebagai kelompok separatis.
Bahkan, jika pemerintah sudah mengetahui bahwa mereka memiliki
kekuatan dan senjata yang sudah siap berperang tetap tidak boleh langsung
diperangi. Ada tahapan selanjutnya, yaitu dengan mengajaknya untuk taat dan
tunduk terhadap pemerintah.29
Dan jika masih membangkang, baru lah
pemerintah boleh memerangi mereka. Itu pun dengan syarat mereka duluan yang
memulai peperangan tersebut. Sebab, tujuan perang yang dilakukan pemerintah
sekadar untuk meredam perbuatan mereka agar mau taat kembali.30
Dalil yang menjadi landasan kebolehan membunuh para pelaku makar
adalah ayat Alquran yang berbunyi:
ن هما فإن ب غت إحداها على األخرى ف ق اتلوا الت ت بغي وإن طائفتان من المؤمنني اق تت لوا فأصلحوا ب ي
ن هما بالعدل وأقسط ب المقسطني حت تفيء إل أمر اللو فإن فاءت فأصلحوا ب ي وا إن اللو ي
(9)احلجرات:
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar
(perjanjian) terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar itu kamu perangi
sampai kembali pada perintah Allah. Kalau telah kembali, damaikanlah antara
keduanya secara adil, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurāt: 9).
Imam Syarbīni di dalam kitabnya, Mughni al-Muhtāj, menegaskan bahwa
meskipun di dalam ayat tersebut tidak menyebutkan mengenai orang/ kelompok
yang keluar untuk tidak taat terhadap pemerintah, namun ayat tersebut bermakna
28
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1429 H/
2008 M), cet. VI, juz 6, h. 91.
29 Caranya dengan mengutus utusan yang terpercaya dan jago berdiplomasi ke kelompok
separatis itu untuk menanyakan penyebab ketidaksukaan mereka terhadap pemerintah, sehingga
mereka bertindak seperti itu. Cara ini oleh kalangan Syafi‟iyah dijadikan sebagai kewajiban yang
mesti dilakukan oleh pemerintah. Lihat: Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbīni,
Mughni al-Muhtāj, (Lubnān: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), cet. II, juz 4, h. 145.
30 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1429 H/
2008 M), cet. VI, juz 6, h. 92.
26
umum sehingga kelompok separatis dapat dimasukkan pada kategori kelompok
yang melanggar perjanjian sebagaimana pada ayat tersebut. Selain itu, kata beliau,
berdasarkan Ijma‟ juga bersepakat akan kebolehan memerangi mereka.31
Jadi,
baik Alquran maupun Ijma‟ selaku sumber penggalian hukum Islam yang
disepakati oleh mayoritas ulama telah menetapkan hukuman yang setimpal bagi
para pelaku tindakan makar, yaitu dibunuh dengan cara memeranginya –tentu
setelah melalui tahapan-tahapan sebagaimana dipaparkan sebelumnya.32
Dengan sanksi semacam itu, Islam berupaya untuk memberikan sikap
tegas terhadap perbuatan kelompok separatis. Tentu hal ini bukan menandakan
akan kekejaman agama Islam. Sebaliknya, Islam justru menginginkan persatuan
umat tetap terjalin dengan mentaati kebijakan-kebijakan pemerintah yang sedang
berkuasa. Sehingga, bagi siapa pun yang berani keluar (tidak taat) dari pemerintah
maka akan mendapatkan sanksi yang sangat berat. Bahkan, Nabi sendiri
menegaskan dalam sabdanya:
من الطاعة وفارق الماعة فمات مات ميتة أنو قال: من خرج ملسو هيلع هللا ىلصعن أب ىري رة عن النب
00جاىلية )رواه مسلم(
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Saw bersabda:
siapa pun yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian
meninggal, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Jadi, Nabi pun tidak segan-segan membuat perumpamaan bagi para
pembangkang ketika sudah meninggal, yaitu disamakan seperti meninggalnya
kaum jahiliyah. Ancaman ini dibuat agar umat Islam tetap berada di satu barisan,
31
Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbīni, Mughni al-Muhtāj, (Lubnān: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), cet. II, juz 4, h. 141.
32 Imam Mawardi mengatakan bahwa terdapat delapan hal yang membedakan antara
memerangi kelompok separatis dengan memerangi kaum musyrik atau murtad. Salah satunya
adalah tidak boleh membunuh kelompok separatis yang sudah berhenti menyerang/ kabur.
Berbeda dengan memerangi kaum musyrik atau murtad yang dibolehkan untuk melakukan hal
tersebut. Selengkapnya baca: Abu al-Hasan Ali al-Baghdādī al-Mawardī, al-Ahkām al-Sultāniyah
wa al-Wilāyāh al-Diniyah, (Lubnān: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), cet. III, h. 75.
33 Muslim bin al-Hujāj bin Muslim al-Naisābūrī, Sahīh Muslim, (Bairut: Dār al-Jail,
T.th.), juz 6, h. 20.
27
tidak terpecah belah, sehingga ajaran dan nilai-nilai luhur Islam bisa terjaga dan
relevan sampai akhir zaman.
27
BAB III
MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Pengertian dan Sejarah Makar
1. Pengertian Makar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar memiliki banyak
arti, yaitu akal busuk, tipu muslihat, perbuatan (usaha) yang bermaksud
menyerang (membunuh) orang, dan perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah
yang sah.1
Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang
terdapat di dalam pasal 104 sampai 109, makna makar dapat ditilik melalui
cakupan yang terdapat pada pasal-pasal tersebut, yaitu:
a. Kejahatan terhadap negara, kepala dan/atau wakil kepala negara, dan
pemerintah atau badan-badan pemerintah;
b. Menjadi mata-mata musuh;
c. Perlawanan terhadap pegawai pemerintah;
d. Berbagai tindakan lain yang merugikan kepentingan negara;
e. Pemberontakan.
Dari berbagai definisi di atas, secara substansi, makar dapat diartikan
sebagai suatu strategi/ tipu muslihat yang dilakukan oleh kelompok separatis guna
menggulingkan rezim yang sedang berkuasa.2
Perlu ditekankan di sini bahwa pemaparan kedua pengertian ini dengan
sumber yang berbeda dimaksudkan demi mendapatkan arti sebuah kata yang lebih
komprehensif. Dalam artian keduanya bisa saling mensinergikan satu sama lain.
Sehingga kandungan dan orientasi kata tersebut lebih luas. Dengan begitu dapat
1 Departemen Pendidikan Nasional (DPN), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2014), cet. VIII, h. 862.
2 Sekilas, makna seperti ini menyerupai dengan kudeta. Namun, sejatinya, ada perbedaan
yang mencolok antara keduanya. Bahwa makar itu masih pada tataran tindakan atau usaha untuk
melengserkan pemerintah yang saha. Sedangkan kudeta merupakan kondisi di mana sedang terjadi
penggulingan/ perebutan kekuasaan yang diganti dengan orang/ kelompok lain. Lihat definisi
kudeta: Departemen Pendidikan Nasional (DPN), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2014), cet. VIII, edisi IV, h. 750.
28
menutup kemungkinan lain atau adanya perbedaan persepsi mengenai maksud
makar.
2. Sejarah Makar
Dalam sebuah negara, tidak mudah untuk menyetarakan keinginan seluruh
rakyatnya. Apalagi negara besar yang memiliki ribuan –bahkan jutaan- penduduk
yang tergolong dari berbagai suku dan ras. Untuk menyatukan suara mereka
bukan persoalan gampang dan sederhana. Termasuk negeri Indonesia sendiri.
Beragama background yang melekat pada setiap suku/ ras (begitu juga agama)
menjadikan perbedaan keinginan dan suara sebagai sebuah keniscayaan.
Oleh karena itu, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,
keesokan harinya langsung menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal negara.3
Pembentukan asas ini demi merangkul seluruh rakyat yang notabene berbeda-
beda agama, ras, suku, budaya, dsb. untuk berada di satu barisan demi mencapai
cita-cita negara. Serta menjadikan UUD ’45 sebagai payung hukum atas segala
hukum-hukum yang diterapkan di Indonesia.
Namun pada realitanya, harapan pembentukan Pancasila tidak berjalan
mulus. Masih ada kelompok-kelompok yang tidak setuju terhadap asas tersebut,
atau tidak puas dengan kinerja pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini terbukti
setelah Indonesia merdeka, masih sering terjadi pemberontakan yang dilakukan
kelompok-kelompok tadi demi menggulingkan pemerintah dan/atau bahkan
mengganti asas negara tadi dengan asas lain, dengan tujuan bisa membuat negara
3 Tepat pada tanggal 18 Agustus 1945, secara konstitusional, Pancasila dijadikan sebagai
dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan legatur dalam peri-kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Lihat: Yudi Latif, Negara Paripurna; Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2015), cet. V, h. 39-41. Meskipun
memang sempat terjadi perdebatan sengit di antara para perumusnya yang terhimpun di dalam
BPUKI dan PPKI. Baca: Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim; Tinjauan
Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan,
2006), h. 175-187.
29
baru di dalam kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
asas yang diusung tersebut.4
Dari saking banyaknya tindakan pemberontakan, mulai dari yang ingin
melepaskan diri dari NKRI seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau berbentuk partai yang ingin mengubah
falsafah negara seperti Partai Komunis Indonesia (PKI)5, hingga organisasi
masyarakat (ormas) yang juga tidak setuju terhadap ideologi negara seperti
Jamaah Islamiyah, Dar Islam (DI)/ Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI),6 maka penulis mencukupkan diri untuk memilih HTI sebagai
contoh kasus tindakan makar. Selain itu, kasus HTI juga terbilang paling aktual
dengan melihat kasusnya baru populer dewasa ini. Maka dari itu, mencantumkan
HTI pada pembahasan kali ini menjadi relevan dan konkrit.
Pada tahun 1983, Abdurrahman al-Baghdadi mengenalkan HT ke rakyat
Indonesia. Semula dengan mengajarkan pemahamannya ke kampus-kampus
Indonesia.7 Karena kebanyakan objeknya masyarakat awam, tak sedikit yang
langsung menerima ide-ide HT. Lambat laun, HT menjadi gerakan dengan makin
4 Mengenai sejarah pemberontakan (makar) terhadap pemerintah negara, atau yang ingin
mengganti falsafah negara silakan lihat: https://tirto.id/sejarah-panjang-usaha-makar-di-indonesia-
buHE diakses pada tanggal 7 Oktober 2017 pukul 17.25 WIB.
5 Maksud penulis, pemberontakan yang dilakukan PKI yaitu pada tanggal 18 September
1948 di Madiun, bukan tragedi G30S. Sebab tragedi tersebut, menurut hemat penulis, masih
absurd dan bias. Meskipun di dalam buku-buku sejarah nasional mengatakan PKI sebagai
dalangnya, namun ketika dilakukan penelitian ternyata malah terdapat kesimpulan lain. Mestinya,
jika memang dalangnya satu, yaitu PKI, tidak mungkin ada perbedaan antara buku-buku sejarah
nasional dengan buku-buku hasil penelitian. Hal ini bisa dilihat dalam Katalog Dalam Terbitan
(KDT), Alex Dinuth ed., Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI, (Jakarta: Intermasa, 1997), dan
bandingkan dengan Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013).
6 Keseluruhan kelompok tersebut sudah tidak beroperasi lagi. Karena aparat keamanan
dan pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk menghentikan mereka. Misalnya seperti
PKI resmi dibubarkan dan dilarang ‘hidup’ kembali berdasarkan TAP MPRS Nomor 25 Tahun
1966, atau pembubaran HTI dengan berlandaskan pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017 sebagai ganti
dari UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok
yang lain bernasib demikian juga. Namun caranya berbeda-beda, ada yang dengan mengeluarkan
aturan normatif seperti di atas, ada juga yang sekedar menggunakan diplomasi dan taktik jitu untuk
menaklukkan para pembangkang tersebut.
7 https://tirto.id/sejarah-kemunculan-hti-hingga-akhirnya-dibubarkan-coiC diakses pada
tanggal 15 Oktober 2017 pada pukul 14.15 WIB.
30
bertambah pengikutnya. Maka lahirlah sebutan HTI sebagai peneguhan
eksistensinya di bumi Nusantara.
Di masa-masa selanjutnya, HTI memperkenalkan ide dan gagasannya ke
khalayak umum, tidak terbatas di kampus saja. Semakin banyak pengikutnya, HTI
semakin eksis dan percaya diri untuk tampil di tempat umum, seperti di acara
seminar dan pengajian. Tentu, acara tersebut hanya dihadiri oleh orang Islam saja.
Sebab memang ide utamanya adalah ingin menegakkan hukum Islam di Indonesia
dengan menerapkan sistem khilafah.8
Bagi mereka, khilafah merupakan solusi paling tepat menyelesaikan
berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Dengan menerapkan khilafah, dalam
artian menegakkan ajaran Islam, maka persoalan-persoalan seperti korupsi, krisis
ekonomi, ketidakadilan, ketimpangan hukum, dsb. akan dapat terselesaikan
dengan baik.9 Sebab, menurut mereka, titik tolak dari kemunculan persoalan-
persoalan tersebut adalah kesalahan hukum dan sistem yang diterapkan di Negara
ini. Makanya mereka menawarkan dengan menerapkan sistem khilafah sebagai
satu-satunya solusi yang –menurut mereka- sejalan dengan Islam.
Tawaran ini memang terkesan logis, ditambah dengan adanya embel-
embel kata Islam sehingga bagi orang Islam sendiri, terutama yang awam, secara
sepontan menyepakati apa yang disampaikan oleh HTI. Dibilang logis karena
sistem khilafah layaknya ragam jenis makanan yang disuguhkan kepada khalayak.
Tinggal mereka sendiri yang menentukan makanan jenis apa yang sesuai dan
cocok berdasarkan kondisi mereka. Termasuk sistem khilafah juga seperti itu,
ditawarkan kepada rakyat Indonesia oleh HTI agar persoalan-persoalan yang ada
dapat diselesaikan.
8 Mengenai apa dan bagaimana sistem khilafah, baca: Taqiyuddin al- Nabhānī, al-
Syakhsiyah al-Islamiyah, Penerjemah Agung Wijayanto dkk., Kepribadian Islam, (Jakarta Selatan:
HTI-Press, 2011), h. 18-30.
9 Info ini bisa dilihat di buletin mereka yang diterbitkan setiap Jumat, al-Islam, yang biasa
dibagi-bagikan secara gratis di masjid-masjid besar. Di buletin tersebut, jika diperhatikan pola
pemaparannya, awal mulanya memaparkan persoalan yang marak terjadi, kemudian dilanjutkan
dengan penyebabnya, yang tidak akan terlepas dari menyalahkan sistem dan hukum yang sedang
berlaku, dan terakhir akan ditutup dengan solusi untuk menegakkan khilafah.
31
Jika disepakati, maka taruhannya adalah mengganti sistem yang sudah
diterapkan sejak awal kemerdekaan, yaitu demokrasi. Bahkan juga akan
mengganti Pancasila selaku falsafah Negara, yang disepakati oleh semua
golongan pada waktu pengesahannya.10
Sebab sistem tersebut, sebagaimana
diucapkan dengan lantang pada acara konfrensi khilafah internasional pada tahun
2007, bersumber dari negara kafir, yaitu dari Barat. Maka sistem tersebut pun
haram hukumnya untuk diikuti oleh umat Islam.11
Termasuk hukum yang sedang
berlaku saat ini, yang diadopsi dari kolonial merupakan aturan kufur, sehingga
jika diterapkan maka negara tersebut disebut sebagai Dār al-Kufr.12
Maka, jika
mengikuti terminologi ini, Indonesia dikategorikan sebgaai Dār al-Kufr.
Oleh karena itu, umat Islam berkewajiban untuk menghapus dan
mengganti sistem dan aturan tersebut sebagaimana telah ditetapkan oleh ajaran
Islam, yaitu berdasarkan Alquran dan Hadis. Dengan menerapkan sistem khilafah
selaku sistem Islami, serta menegakkan aturan-aturan Allah Swt dan utusan-Nya
selaku tuhan dan nabi umat Islam, maka sebuah negara baru dapat disebut sebagai
Dār al-Islām.13
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia,
memiliki peluang besar untuk menerapkan aturan yang ditetapkan oleh Alquran
dah Hadis. Caranya dengan mengganti sistem demokrasi menjadi sistem khilafah,
dan aturannya dengan menerapkan hukum-hukum Allah Swt dan utusan-Nya.
10
Ini lah yang menurut Ahmad Sahal menjadi permasalahan pokok bagi ide HTI. Di
kultwitnya, Sahal mengatakan bahwa HTI bisa dikategorikan melakukan tindakan makar karena
merongrong negara hasil kesepakatan bersama. Baca: https://chirpstory.com/li/268967 diakses
pada tanggal 15 Oktober 2017 pada pukul 14.11 WIB.
11 Jadi, pola pikir HT(I), terutama pendirinya, Taqiyuddin al-Nabhānī, bahwa Barat itu
tempatnya orang kafir. Sistem demokrasi dan aturan saat ini banyak yang bersumber dari sana.
Berdasarkan kedua premis tersebut maka disimpulkan sistem dan aturan itu statusnya adalah kafir.
Mengenai ucapan HTI tadi, lihat: https://www.youtube.com/watch?v=GT3ZK8GxW_w diakses
pada tanggal 15 Oktober 2017 pada pukul 14.30 WIB.
12 Taqiyuddin al- Nabhānī, al-Syakhsiyah al-Islamiyah, Penerjemah Agung Wijayanto
dkk., Kepribadian Islam, (Jakarta Selatan: HTI-Press, 2011), h. 414.
13 Bahkan, Taqiyuddin membuat standarisasi yang mesti dipenuhi oleh sebuah negara
sehingga bisa dikatakan sebagai sempurna menurut syari’at. Misalnya, harus ada Mu’awin
Tafwidh, Mu’awin Tanfidz, Amirul Jihad, para Wali, dll., yang disebut sebagai delapan struktur.
Selengkapnya baca: Taqiyuddin al-Nabhani, al-Daulah al-Islamiyah, Penerjemah Umar Faruq,
Daulah Islam, (Jakarta Selatan: HTI-Press, 2012), Cet. VI, h. 311.
32
Selama Indonesia masih menerapkan sistem dan aturan kufr, maka belum bisa
disebut sebagai Dar al-Islam. Maka tak heran bila persoalan-persoalan yang
terjadi saat ini, termasuk Indonesia, banyak yang belum bisa dilesesaikan. Itu
karena tidak menerapkan hukum Allah, dan malah lebih memilih hukum buatan
manusia, yang statusnya kafir.14
Berdasarkan idenya itu, HTI dicap sebagai kelompok yang melanggar
perjanjian bersama. Sebab, negara Indonesia terbentuk tidak hanya atas hasil
kesepakatan antar sesama umat Islam saja, namun dengan rakyat lainnya yang
berbeda agama. Dengan bahasa lain, sistem dan aturan yang berlaku saat ini
merupakan hasil kesepakatan para leluhur, para pendiri bangsa yang merumuskan
negara ini. Oleh karena itu, HTI telah menyalahi kesepakatan tersebut, dengan
keinginannya untuk merubah negara Indonesia menjadi Dār Islām.15
Selain itu, hal lain yang menjadikan HTI sebagai kelompok pembangkang
adalah keinginan mereka untuk merubah ideologi, sistem, dan aturan negara.
Meskipun cara penyampaian mereka tidak seperti kelompok separatis pada
umumnya, yang melakukan tindakan-tindakan anarkis bahkan sampai beradu otot
dengan aparat penegak hukum, namun langkah mereka tetap dapat dikatakan
sebagai makar. Karena langkah tersebut secara perlahan, jika dibiarkan dan
14
Gagasan ini sering dilontarkan oleh ustadz kondang HTI, Felix Siauw. Salah satunya
lihat: https://www.youtube.com/watch?v=rBW0sZl1KI4 diakses pada tanggal 18 Oktober 2017
pada pukul 11.02. WIB.
15 Melanggar perjanjian bersama seperti ini sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi
Muhammad Saw. Setelah Nabi merumuskan Piagam Madinah sebagai konstitusi skaligus
perjanjian bersama yang berlaku bagi warga Madinah, yang saat itu tidak hanya ada umat Islam,
tetapi juga ada orang Yahudi dan Kristen, yang isi pokok dari piagam tersebut adalah menjalin
kehidupan dengan damai, saling menghormati, menciptakan kerukunan antar umat beragama. Dan
seluruh warga Madinah pun menyetujui piagam tersebut. Namun, sekitar tahun ke-2 Hijrah, orang
Yahudi yang bersuku Bani Qaynuqa’ menyalahi peranjian tersebut. Maka terjadilah konflik antara
umat Islam dengan Bani Qaynuqa’, yang pada akhirnya Bani Qaynuqa’ diusir dari Madinah. Lihat:
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta Timur: Sinar Grafika,
2012), h. 179-180. Kejadian tersebut menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. menjadi
salah satu bukti bahwa peperangan di dalam sejarah Islam bukan karena perbedaan agama, namun
karena melanggar perjanjian. Beliau memberikan bukti-bukti lain sebagai argumen guna
menguatkan pendapatnya itu. Baca: Ali Mustafa Yaqub, Islam Between War and Peace, (Jakarta:
Maktabah Darus-Sunnah, 1431H/ 2010 M), h. 18-23.
33
dilakukan dengan kontinu dan intens, pada akhirnya akan berhasil pula.16
Ide yang
disampaikan melalui kelihaian retorika akan menghipnotis pendengarnya,
sehingga pendengarnya mengikuti dan menyetujui ide tersebut. Pada akhirnya,
lagi-lagi jika dibiarkan, ketika ide tersebut diterapkan, maka pemerintah yang
tidak sesuai dengan kriteria yang terdapat pada ide tersebut akan dilengserkan,
diganti berdasarkan kriteria ide tersebut. Jadi, ujung-ujungnya juga akan
melengserkan pemerintah yang sah, hanya caranya saja yang lebih halus dan
sistematis.
Dengan berpijak pada alasan-alasan itu lah, HTI dimasukkan sebagai
kelompok pelaku makar. Namun karena tindakannya tidak seperti kelompok
separatis, mereka tidak diberikan sanksi sebagaimana diatur di dalam KUHP.
Cukup dengan membubarkan mereka, melarang mereka untuk menyebarkan
idenya, serta melarang mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke
(pengejawantahan) ide tersebut.
Kendati demikian, penting kiranya untuk diketahui bahwa konsep makar
sendiri memiliki perbedaan di kalangan pemerintah pada setiap eranya. Buktinya
pada kasus HTI, misalnya, baru dijustifikasi sebagai pelaku makar pada era
pemerintahan sekarang. Padahal, berdasarkan sejarahnya kelompok tersebut
masuk ke Indonesia sejak tahun 1980-an. Selain itu, sebagaimana ditegaskan juga
oleh Abdurisfa bahwa respon pemerintah terhadap pelaku tindakan makar
berbeda-beda di setiap masa.17
Pada masa orde lama, ketika Soekarno menyikapi
kelompok subversif, yang pelakunya saat itu merupakan kawan lamanya,
Kartosuwiryo, hanya mengeluarkan Penetapan Presiden No 11 Tahun 1963
tentang pemberantasan kegiatan subversi. Di samping juga menerapkan aturan
16
Makanya sebelum itu terjadi, pemerintah menutup langkah mereka dengan
mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 sebagai ganti dari UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Hal ini demi menjaga keutuhan dan kebhinnekaan NKRI sebagai
hasil jerih payah seluruh rakyat Indonesia yang beragam agamanya, sukunya, dan budayanya.
17 Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar Di
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, h. 7.
34
makar yang berlaku. Makanya, Kartosuwiryo divonis hukum mati atas
perbuatannya tersebut.18
Kemudian pada masa orde baru, respon pemerintah semakin represif
terhadap pelaku makar. Dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi yang mengubah Penetapan Presiden pada era
orde lama. Padahal, secara sosio-politik, kondisi di era orde baru tidak
sesignifikan dan seurgensi pada era sebelumnya.19
Oleh karena itu, pada tahun
1999, satu tahun setelah keruntuhan orde baru, muncul UU Nomor 26 Tahun 1999
yang dikenal sebagai UU Anti Subversi tentang pencabutan UUPKS.20
Dari data sejarah tersebut, maka semakin jelas bahwa pemahaman
mengenai konsep makar terjadi perbedaan di kalangan antar pemerintah.
Perbedaan respon sebagaimana di atas membuktikan adanya perbedaan
pemahaman tersebut di kalangan mereka. Perbedaan tersebut tentunya muncul
atas motif mereka dalam menjaga kekuasaannya. Dengan kata lain, kepentingan
politis yang berbeda-beda berimplikasi pada perbedaan respon tersebut. Maka dari
itu, sejatinya secara substansif, tidak ada perbedaan yang fundamental di kalangan
antar pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan ketika menyikapi kelompok-
kelompok subvesif atau pelaku makar.
B. Dasar Hukum Tindakan Makar
Sebagai negara hukum, Indonesia harus memiliki aturan-aturan yang telah
dilegislasikan untuk menjadi landasan dalam menyikapi problematika yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat, dan bisa juga untuk memberi sanksi bagi para
18
https://agfian.wordpress.com/2009/01/14/kembali-melihat-sejarah-nii-milik-sekarmaji-
marijan-kartosuwiryo-dari-berbagai-sudut/ diakses pada tanggal 25 Desember 2017 pada pukul
14.45 WIB.
19 Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar Di
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, h. 9.
20 Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar Di
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, h. 10.
35
pembangkangnya. Hal ini disebut sebagai asas legalitas.21
Termasuk di dalamnya
mengenai tindakan makar, agar negara memiliki landasan hukum bagi para
pemberontak yang dapat mengganggu stabilitas negara.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) selaku sumber utama
perihal tindak kejahatan dan kriminal mengkategorikan makar sebagai perbuatan
kejahatan. Bahkan, tindakan tersebut menjadi ancaman yang cukup berbahaya
bagi keamanan negara. Sehingga aturan makar di dalam KHUP ditempatkan pada
posisi pertama dari sekian varian perbuatan kejahatan. Ini menandakan
berbahayanya tindakan tersebut. Sebab tidak hanya menyangkut ketentraman
negara saja, dalam hal ini pemerintah, namun juga dapat berimplikasi pada
masyarakat luas.
Aturan makar diatur di KUHP mulai dari Pasal 104 sampai 109.22
Lebih
jelasnya sebagai berikut:
1. Pasal 104: Makar dengan maksud untuk membunuh Presiden dan Wakil
Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka, atau
menjadikan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun;
2. Pasal 105: Pasal ini ditiadakan berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun
1946, pasal VIII, butir 13;
3. Pasal 106: Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari
wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud memisahkan
sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun;
4. Pasal 107: (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2)
Pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan
21
Aturan asas legalitas ini juga telah ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (1) KHUP. Baca:
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), cet. XXIV, h. 3. 22
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), cet.
XXIV, h. 43-44.
36
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun;
5. Pasal 108: (1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun:
1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun.
6. Pasal 109: Pasal ini ditiadakan berdasarkan Stbl. 1930 No. 31.
Maka sudah jelas kiranya mengenai aturan makar yang telah ditetapkan di
dalam KHUP sebagaimana di atas. Dan ini menjadi landasan hukum untuk
memberi sanksi para pelaku tindakan makar.
C. Jenis-jenis Tindakan Makar
Perbuatan makar yang dilakukan oleh kelompok separatis mempunyai
varian yang cukup beragam. Hal ini dapat teridentifikasi keinginan dan tujuan
mereka melakukan tindakan tersebut. Lebih tepatnya, dapat dilihat dari objek
tindakan makar mereka. Sehingga nanti dapat ditentukan sanksi yang pas bagi
mereka.
Sedangkan mengenai jenis-jenis tindakan makar, sebagaimana disebutkan
di dalam KHUP, bahwa tindakan makar meliputi:
1. Makar terhadap kepala dan wakil kepala negara;
2. Makar terhadap pemerintah, baik pemerintah kota/kabupaten, provinsi,
maupun pusat;
3. Makar yang bertujuan memisahkan sebagian wilayah negara dari yang
lain;
37
4. Makar dengan tujuan menyerahkan seluruh atau sebagian wilayah
negara ke tangan musuh;
Dari empat jenis makar di atas, hanya satu yang belum terjadi di
Indonesia. Yaitu makar dengan tujuan menyerahkan seluruh atau sebagian
wilayah negara ke tangan musuh. Sisanya, sudah pernah terjadi namun pada
akhirnya bisa dibekukan dan/atau diajak berdamai dengan melakukan diplomasi.
Seperti kasus di Papua, dengan komunitasnya bernama Organisasi Papua Merdeka
(OPM), yang awalnya ingin memisahkan diri dari NKRI, namun setelah dilakukan
diplomasi akhirnya tunduk juga. Bahkan secara tegas mengatakan bahwa mereka
setia dan bagian dari NKRI.23
D. Sanksi Tindakan Makar
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa tindakan makar
termasuk dalam hukum pidana, yang merupakan hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana
yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.24
Perbuatan yang dilarang tersebut
kerap disebut sebagai kejahatan atau kriminal. Serta, mencakup pada kejahatan
yang berimplikasi terhadap individu, kelompok, bahkan sampai negara. Dan
tindakan makar masuk pada tiga macam kejahatan tadi. Mengingat beragamnya
tindakan makar itu sendiri.
Oleh karena itu, siapa pun yang melakukan tindakan makar, maka akan
dikenakan sanksi sebagaimana telah ditetapkan di dalam KHUP. Namun,
sanksinya beragam, menyesuaikan berdasarkan dengan perbuatan/ tujuan makar.
Ini juga disebabkan karena adanya variasi tindakan makar. Dan KHUP pun telah
membuat aturan tersebut dengan menjabarkan secara rinci berdasarkan objek
makar yang dituju.
23
http://news.liputan6.com/read/3013880/puluhan-simpatisan-opm-nyatakan-setia-pada-
nkri diakses pada tanggal 14 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.
24 Ini merupakan definisi yang paling sederhana mengenai hukum pidana. Mengenai
beragam pengertiannya yang disertai pendapat para tokoh, selengkapnya lihat: Bambang Waluyo,
Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. III, h. 6.
38
Pasal 104 di KHUP, misalnya, menjelaskan bahwa makar dengan maksud
untuk membunuh Presiden dan Wakil Presiden, atau dengan maksud merampas
kemerdekaan mereka, atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah, maka
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.25
Selanjutnya, Pasal 106 KHUP mengatakan bahwa makar dengan maksud
supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau
dengan maksud memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.26
Kemudian di Pasal 107 terdapat dua ayat dengan rincian: (1) Makar
dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun. (2) Pemimpin dan pengatur makar tersebut
dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.27
Terakhir, Pasal 108 juga terbagi dua ayat:
(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun:
1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun.28
25
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 43.
26 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 43.
27 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 43.
28 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 43-44.
39
Dari varian sanksi di atas, dapat dipahami bahwa tindakan makar bisa
terjadi di berbagai lini pemerintahan dan/atau daerah negara. Untuk
mengantisipasi tindakan itu, pemerintah mulai sejak kemerdekaan Indonesia,
dengan mengadopsi aturan kolonial Belanda menjadikan aturan tersebut sebagai
dasar hukum bagi pelaku kejahatan makar. Dan karena tidak ada perubahan atau
pengganti sampai sekarang, aturan tersebut sebagaimana tercantum di dalam
KHUP tetap berlaku.
40
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF MAKAR DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
POSITIF INDONESIA
Pembentukan aturan makar tidak akan terlepas dari dua kubu, kubu
masyarakat selaku objek pemberlakuan aturan tersebut. Dan kubu pemerintah
selaku penguasa yang memiliki kewenangan untuk membuat aturan itu. Kedua
kubu ini memiliki kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Sehingga nanti
dapat menghasilkan sebuah negara yang aman dan makmur. Masyarakatnya bisa
hidup tenang seiring melakukan aktifitas sehari-hari. Pemerintahnya dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.
Oleh karena itu, aturan makar dibutuhkan demi mencapai tujuan luhur
kedua kubu tersebut. Meskipun pada faktanya, tujuan tersebut tidak mudah
dicapai. Terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah, baik
sejarah Islam maupun sejarah bangsa Indonesia, menjadikan aturan makar belum
ditakuti oleh masyarakat. Berdasarkan itulah, diperlukan suatu pembacaan
terhadap aturan tersebut, dengan melihat dari aspek sosial dan aspek politik.
A. Aspek Sosial
Pada tahun 13 kenabian, nabi Muhammad memantapkan diri untuk
berpindah tempat (hijrah) berdakwah, yang awalnya sasaran dakwahnya adalah
penduduk Mekah, selaku masyarakat penyembah berhala, kemudian beralih ke
daerah bernama Yastrib (selanjutnya disebut Madinah). Di daerah tersebut
terdapat beragam suku dan agama yang diyakini oleh penduduknya. Perpindahan
itu disebabkan banyak faktor, yang di antaranya menyelamatkan diri umat Islam,
terutama Nabi sendiri dari gangguan dan ancaman kaum kafir Qurays.1
Ketika tiba di Madinah, Nabi dan rombongannya disambut baik oleh
penduduk Madinah. Hal ini karena memang penduduk Madinah sudah mengenal
Nabi sebelumnya, tepatnya ketika beberapa penduduk Madinah melaksanakan
1 Ini dapat dilihat pada seringnya gangguan yang ditujukan kepada Baginda Nabi, mulai
dari yang paling ringan seperti meludahi Nabi hingga yang paling berbahaya seperti rencana
pembunuhan Nabi di malam keberangkatan beliau ke Yastrib.
41
ibadah Haji ke Baitullah, Makkah al-Mukarramah, kemudian bertemu dengan
Nabi di sana. Serta sembari mendengar nasihat dan terkesan dengan perangai
beliau. Mereka pun mulai memandang bahwa Nabi dapat dijadikan teladan dan
pemimpin bagi mereka.2 Karena saat itu, di Madinah sering terjadi konflik antara
dua kabilah terbesar, kabilah Aws dan Khazraj,3 sehingga penduduk Madinah
menginginkan seorang pemimpin yang disegani dan dipatuhi untuk bisa
mendamaikan keduanya.
Madinah menjadi satu-satunya tempat harapan Nabi untuk menyebarkan
ajaran Islam dengan damai, tanpa adanya kekerasan dan gangguan fisik layaknya
ketika di Mekkah. Karena Madinah, secara sosiologis-geografis, adalah tipe
masyarakat agraris yang memungkinkan di antara mereka terjalin hubungan yang
solid dan harmonis. Mereka sangat menghargai kebhinnekaan dan menggunakan
akal budi yang luhur.4 Hal ini dibuktikan dengan adanya agama dan kabilah yang
berbeda-beda sebelum Islam datang ke sana, yang kesemuanya hidup
berdampingan nan rukun. Di sana ada agama Yahudi dan musyrikin (penganut
paganisme), ada kabilah Aws dan Khazraj, serta ada Bani Nadīr, Qurayzah, dan
Qaynuqa‟, ketiga bani (baca: kabilah) ini beragama Yahudi.5
Oleh karena itu, Nabi begitu senang tinggal di Madinah. Sampai rela
menghabiskan hidupnya di sana hingga ajal menjemputnya. Melihat masyarakat
Madinah yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama dan kabilah namun
tetap dapat hidup rukun dan damai. Masyarakat Madinah amat menghargai
adanya perbedaan, sikap toleransi dapat terlihat dengan jelas pada realitas sosial di
sana. Sehingga Nabi dalam menyebarkan ajarannya tidak begitu susah dan merasa
takut. Sebab masyarakatnya tidak sekeras seperti masyarakat Mekkah. Dengan
2 Zuhairi Misrawi, Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad Saw,
(Jakarta: Kompas, 2009), h. 201.
3 Zuhairi Misrawi, Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad Saw,
h. 194.
4 Zuhairi Misrawi, Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad Saw,
h. 195.
5 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta Timur:
Sinar Grafika, 2012), h. 51.
42
tenang nan santun dalam memberikan uswah, masyarakat Madinah semakin
banyak yang menerima ajakan Nabi untuk memeluk Islam.
Salah satu bukti kelapangan masyarakat Madinah dalam menerima
perbedaan adalah dengan lahirnya sebuah kesepakatan bersama, yang dikenal
dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan ide jenius Nabi untuk
membangun suatu masyarakat majemuk seperti di Madinah agar bisa hidup
bersama, berdampingan dengan tanpa membenci dan mencaci. Dengan adanya
Piagam Madinah, secara eksplisit merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari
Nabi untuk membangun toleransi. Beliau ingin menunjukkan kepada umatnya dan
kabilah yang hidup di Madinah bahwa kepemimpinannya akan mengedepankan
prinsip toleransi, baik toleransi di dalam internal umat Islam maupun toleransi
dalam konteks antar agama dan kabilah.6 Dengan begitu, peradaban suatu
masyarakat akan dapat terbentuk dengan baik. Sehingga dapat menjadi cerminan
bagi negara-bangsa lain, khususnya Indonesia.
Sejak Nabi tiba di Madinah, Piagam Madinah menjadi aturan pertama
yang mengikat terhadap seluruh kelompok masyarakat Madinah waktu itu, baik
kelompok agama maupun kabilah. Dikatakan aturan pertama karena kelahiran
Piagam Madinah terbentuk pada tahun pertama Hijrah.7 Pada tahun-tahun
selanjutnya, Nabi lebih fokus kepada umatnya sendiri, umat Islam. Ajaran Islam,
baik yang berupa wahyu maupun langsung disabdakan dan/atau dicontohkan
sendiri, beliau sampaikan kepada umatnya secara intens. Terlebih dengan adanya
masjid Nabawi di Madinah, yang menjadi wadah Nabi untuk menyampaikan
dakwahnya, menjadikan umat Islam semakin mudah untuk menerima ajaran-
ajaran Islam.
6 Zuhairi Misrawi, Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad Saw,
(Jakarta: Kompas, 2009), h. 297.
7 Banyak sejarawan yang menyatakan demikian, baik sejarawan muslim maupun Barat.
Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa dokumen itu dibuat sebelum perang Badr. Di antara
sejarawan tersebut Montgomery Watt, Well hausen, Caetani, Subh al-Shalih, A. Ibrahim al-Syarif,
dan al-Tabari. Lihat: Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945;
Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta
Timur: Sinar Grafika, 2012), h. 74-75.
43
Bertambah tahun, ajaran-ajaran Islam makin purna. Termasuk ajaran
mengenai aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Aturan ini dibentuk untuk
mengikat umat manusia, khususnya umat Islam agar tidak sampai melapaui batas
dari aturan yang telah ditetapkan. Aturan seperti berbuat amanah dan adil8,
menghargai perbedaan9, hidup rukun
10, dan saling membantu dalam kebaikan
11
merupakan prinsip-prinsip dasar yang ditanamkan Alquran, yang dicontohkan
oleh Nabi terhadap umatnya dalam melakoni kehidupan di atas pentas dunia.
Tak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Madinah, Indonesia juga
merupakan daerah yang majemuk. Bahkan lebih beragam ketimbang Madinah,
seperti agamanya, sukunya, rasnya, serta kultur-budayanya. Keberagaman ini
menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, sehingga masyarakat
Indonesia harus bahu-membahu dalam membangun peradaban negerinya. Sikap
toleransi benar-benar harus dididik dan ditanamkan sejak dini terhadap mereka.
Menghargai adanya perbedaan, mulai dari kepercayaan, watak, sampai
berpendapat mesti diajarkan dan diberikan teladan oleh para sesepuh agar bisa
ditiru oleh para generasinya. Dengan begitu, menunjukkan Indonesia memiliki
masyarakat yang majemuk dan heterogen, yang memiliki interaksi dan pola
hubungan sosial yang berbeda-beda yang mesti didalami dan dipahami oleh
semua pihak.12
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2000, jumlah etnik dan sub-
etnik yang terdapat di Indonesia adalah 1072.13
Etnik di sini meliputi kesamaan
keturunan, sejarah, dan identitas budaya, seperti tradisi, nilai, bahasa, serta pola
prilaku. Cakupan tersebut merupakan substansi dari definisi etnik itu sendiri, yang
ternyata memiliki beragam definisi. Salah satunya ada yang mengartikan bahwa
8 QS. Al-Nisā‟: 58.
9 QS. Al-Māidah: 48.
10 QS. Al-Anfāl: 61
11 QS. Al-Māidah: 2
12 Paulus Wirutomo dkk., Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2017), h. 19.
13 Paulus Wirutomo dkk., Sistem Sosial Indonesia, h. 49.
44
etnisitas sering diartikan sebagai identitas bersama atas dasar bahasa, ciri-ciri
fisik, persamaan sejarah, tali-temali persaudaraan, daerah atau budaya.14
Ini bukti
pertama akan keberagaman yang terdapat di Indonesia.
Bukti kedua, dengan adanya multi-religius di Indonesia, baik yang resmi
(diakui negara) maupun tidak. Agama resmi di Indonesia ada 5 macam, Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Sedangkan agama tidak resmi cukup banyak.
Agama tidak resmi di sini dalam arti kepercayaan-kepercayaan lokal asli pribumi
yang memang lahir di bumi Indonesia sebelum kedatangan lima agama tadi. Maka
dari itu, kepercayaan tersebut akrab dikenal dengan “agama Nusantara”. Hampir
setiap daerah memiliki agama (baca: kepercayaan) tersebut. Di Jawa Timur,
misalnya, ada agama Kejawen, di Lombok ada agama Wetu Telu, di Maluku ada
agama Naurus, dsb..15
Namun lambat laun, seiring masuknya lima agama yang
diimpor dari luar daerah Nusantara, agama-agama asli Nusantara tadi mengalami
degradasi, „kemorosotan minat‟ terhadap agama-agama tersebut.
Melihat data-data tersebut, membuktikan akan kompleksitas masyarakat
Indonesia. Beragam agama dan etnik, bahkan termasuk dalam tataran interaksi
sosial, ekonomi, politis, dan historis, menjadikan Indonesia makin kaya dengan
segala keberagaman tersebut. Namun seiring dengan hal itu, fakta sosial semacam
itu bisa menjadi pemantik akan terjadinya konflik. Kelompok etnik terbesar bisa
berubah menjadi angkuh dan tamak untuk mendominasi kelompok etnik lainnya,
terutama yang sangat kecil seperti etnik Dayak.16
Bahkan agama (mayoritas) pun
juga bisa menjadi faktor kesombongan untuk mengkerdilkan dan memojokkan
penganut agama lain yang lebih minoritas, dengan menjadikan agama sebagai
kedok dan alat untuk berbuat hal tersebut.
Oleh karena itu, sejak awal mula berdirinya Bangsa ini, ketika berhasil
merebut kemerdekaannya dari penjajah, para founding of fathers bangsa
14
Paulus Wirutomo dkk., Sistem Sosial Indonesia, h. 89.
15 Selengkapnya baca: Paulus Wirutomo dkk., Sistem Sosial Indonesia, h. 53.
16 Fakta ini sebagaimana hasil data sensus tentang komposisi etnik tahun 1930 maupun
2000, yang menyatakan bahwa Jawa merupakan etnik terbesar (47% pada tahun 1930 dan 42%
pada tahun 2000). Dan Dayak serta etnik lainnya dalam perkembangannya kurang dari 1%. Lihat:
Paulus Wirutomo dkk., Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2017), h. 50.
45
menanamkan akan kesadaran berkebangsaan dengan menyebarkan konsep
kesatuan nasional menjadi prioritas mereka. Tentu tidak hanya sibuk membuat
konsep, namun perlu dan langsung diejawantahkan, terutama tatkala awal-awal
pembentukan negara, maka lahirlah slogan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda
tetap satu jua). Istilah ini ditetapkan sebagai slogan yang diasumsikan diterima
oleh seluruh etnik di wilayah Indonesia.17
Hal ini demi merekatkan seluruh jenis
dan lapisan masyarakat Indonesia, sehingga melahirkan sebuah kesadaran penuh
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang dapat
menjalani kehidupan bernegara dan berkebangsaan dengan rukun, damai, dan
tolong-menolong demi mengembangkan bangsa Indonesia.
Selain slogan tersebut, ada pula yang menjadi faktor integritas masyarakat
Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila, yang idenya digagas oleh presiden pertama
Indonesia, Ir. Soekarno. Dengan penuh pemahaman terhadap kondisi sosial dan
cita-cita bangsa Indonesia, ketika mencari dasar negara yang bisa menjadi dasar
statis yang dapat mengumpulkan semua, dan mencari suatu Leitstar dinamis yang
dapat menjadi arah perjalanan, Soekarno menggali sedalam-dalamnya di dalam
jiwa masyarakat Indonesia sendiri. Dengan mengamati sejarah bangsa ini, mulai
dari zaman pra-Hindu sampai menjelang hari kemerdekaan tiba. Maka, dia
menyimpulkan bahwa ada lima prinsip yang mendasari masyarakat Indonesia ini.
Lima prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai Pancasila.18
Lima prinsip
itulah yang kemudian menjadi dasar negara, yang dapat mengakomodir
keberagaman masyarakat Indonesia.
Tentu tidak hanya sampai di situ. Maksudnya, tidak hanya terbatas pada
slogan dan dasar negara yang menjadi faktor integritas masyarakat Indonesia
sehingga semua sepakat akan berada di bawah naungan NKRI. Kedua faktor di
atas hanya masih dalam tataran untuk memunculkan kesadaran terhadap perlunya
bersatu, persaudaraan sebangsa dan setanah air, serta harus memiliki cita-cita
17
Paulus Wirutomo dkk., Sistem Sosial Indonesia, h. 75.
18 Sejarah lengkap tentang Pancasila, mulai dari fase pembuahan, perumusan, sampai
pengesahan, lihat: Yudi Latif, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2015), cet. V, h. 5-39.
46
luhur yang sejalan nan searah demi membentuk perkembangan dan peradaban
bangsa. Masih ada faktor lain yang memengaruhi konstruksi interaksi sosial di
Indonesia, yaitu dengan adanya aturan-aturan (hukum) yang berlaku bagi mereka,
yang memiliki sifat mengikat dan memaksa.19
Sehingga dalam menjalani
kehidupan berbangsa dan bernegara, prilaku mereka „dipaksa‟ berdasarkan dengan
aturan-aturan tersebut.
Layaknya sutradara yang mengatur gerak-gerik aktor dalam melakoni
sebuah film, hukum juga mempunyai fungsi seperti itu. Hukum memiliki
kontribusi dalam membentuk prilaku masyarakat di mana hukum tersebut ada.
Pembentukan itu karena adanya perubahan sosial yang tidak sebagaimana
mestinya. Prilaku masyarakat berubah seiring perjalanan waktu. Perubahan
tersebut dipengaruhi berbagai faktor, seperti kebudayaan, politik, ekonomi, yang
seluruhnya itu memiliki hubungan yang sistematik sehingga dapat menimbulkan
perubahan dalam masyarakat.20
Oleh karena itu, hukum dibentuk guna mengatur
prilaku yang berubah tadi sehingga bisa kembali ke yang semestinya.
Tidak hanya itu, pembentukan prilaku masyarakat juga bisa karena
keinginan hukum itu sendiri. Artinya, hukum memiliki semacam bayangan
bagaimana masyarakatnya harus berprilaku, baik dalam tataran individu,
kelompok, golongan, sampai bernegara. Maka, prilaku masyarakat suatu daerah,
baik Madinah maupun Indonesia, berdasarkan sebagaimana hukum itu berlaku.
Hal ini yang oleh Rescoe Pound disebut dengan hukum sebagai „sosial
engineering‟ (rekaya sosial). Maksudnya adalah hukum dapat merubah prilaku
masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri.21
Perubahan
prilaku yang terjadi di masyarakat membutuhkan suatu alat untuk mengembalikan
ke semula –meski tidak sama persis, maka hukum lah sebagai memiliki
„kekuatan‟ yang dapat melakukan hal itu.
19
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 49.
20 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979),
h. 37.
21 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Media Grafika, 2007), cet. II, h. 24.
47
Begitulah ajaran Islam yang berisikan aturan-aturan sosial yang dibawa
Nabi Muhammad ke masyarakat Madinah waktu itu guna menciptakan
masyarakat yang tentram, aman, dan makmur. Masyarakat Madinah yang
majemuk sebagaimana dipaparkan sebelumnya, oleh karena itu, aturan-aturan
tersebut tidak boleh berpihak pada golongan/ kelompok tertentu, termasuk
golongan Islam itu sendiri. Baik aturan yang dibuat Allah yang disampaikan oleh
Nabi seperti aturan larangan berbuat makar, maupun aturan yang berdasarkan
inisiatif Nabi sendiri seperti pembentukan Piagam Madinah, telah membuktikan
bahwa aturan-aturan itu bersifat netral, tidak memandang bulu. Maka dari itu,
siapa pun yang melanggarnya akan dikenakan sanksi.
Kompleksitas yang merupakan telah menjadi pemberian Sang Maha
Pencipta terhadap masyarakat Madinah, menjadikan aturan Islam yang dibawa
Baginda Nabi mengakomodir itu semua. Hal ini demi menciptakan tatanan
masyarakat yang adil, damai nan rukun. Prilaku masyarakat Madinah harus sesuai
aturan yang telah disepakati bersama itu. Aturan tersebut yang paling pas dan
konkrit seperti aturan makar dan Piagam Madinah. Aturan makar dibentuk agar
masyarakat Madinah tidak bertindak separatis yang bertujuan untuk
menggulingkan pemerintah yang berkuasa, yang dalam hal ini adalah Nabi
Muhammad itu sendiri. Nabi selaku pemimpin Madinah yang diterima oleh
seluruh pihak masyarakat Madinah, mengharuskan membuat aturan semacam itu,
dengan sanksi yang sangat berat tentunya, sehingga masyarakatnya tidak berani
melakukan hal tersebut.
Termasuk adanya Piagam Madinah selaku hasil bersama dan mencakup
seluruh kompleksitas masyarakat Madinah waktu itu. Maka kenyataannya,
kehidupan masyarakat Madinah sesuai dengan konstitusi yang disepakati itu.22
Artinya, secara umum, dapat dikatakan bahwa Nabi telah berhasil menciptakan
22
Meskipun memang tidak berjalan mulus sebagaimana espektasi di dalam aturan
tersebut. Terbukti pada tahun-tahun setelah Nabi tiba di Madinah dengan adanya penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok yang tidak suka terhadap Nabi. Ini sebagaimana
telah dibahas pada bab sebelumnya, bab 2 tentang sejarah makar di masa Nabi.
48
sebuah kota dengan masyarakat yang bermoral dan berprilaku sesuai norma yang
berlaku.23
Tidak jauh berbeda dengan Madinah, pembentukan hukum di Indonesia
pun demikian. Hukum selaku alat yang memiliki fungsi untuk „merekayasa‟
prilaku sosial dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang
dapat bersatu, apa pun agama dan etniknya tetap berada di bawah naungan NKRI.
Kebhinnekaan dan kemajemukan yang dianugerahkan Sang Pencipta akan
masyarakat Indonesia menjadikan pemerintah harus berpikir keras dalam
membuat aturan demi merangkul seluruh jenis masyarakat yang hidup di
Indonesia. Oleh karena itu, dasar dan aturan negara harus mencakup seluruh
elemen masyarakat Indonesia. Baik kaya maupun miskin, baik bojuis maupun
proletar, baik berkulit putih maupun hitam, serta beragam agama dan etnik. Hal
ini demi menciptakan kedamaian dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat,
menumbuhkan rasa persaudaraan dan solidaritas antar sesama masyarakat
Indonesia.
Tentu, cita-cita luhur itu tidak akan dapat terwujud jika dasar dan/atau
hukum negara yang dibentuk hanya demi kepentingan sebagian kelompok saja.
Terlebih kompleksitas di Indonesia lebih beragam ketimbang di Madinah dulu,
maka perpecahan dan konflik sosial lebih rentan. Maka dari itu, di awal-awal
kemerdekaan, dalam pencarian identitas bangsa, para pendiri Bangsa sepakat
bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, serta Undang-Undang Dasar
1945 (UUD ‟45) sebagai sumber utama aturan yang akan diberlakukan di
Indonesia. Artinya, apa pun jenis aturannya, pidana atau perdata misalnya, maka
tidak boleh bertentangan dengan UUD ‟45.
23
Bukti lain yang dapat menjadi pendukung akan keberhasilan Nabi adalah prilaku
masyarakat Madinah yang tidak keluar dari koridor sunnah Rasulullah. Dari saking massifnya
suatu amal (perbuatan) yang dilakukan menjadikannya semacam sebuah tradisi; kebiasaan
masyarakat Madinah yang mengerjakan sesuatu atas dasar sunnah yang pernah dicontohkan Nabi.
Maka dari itu, Imam Malik menjadikan tradisi tersebut sebagai salah satu sumber dalam menggali
hukum Islam. Bahkan, tradisi itu petunjuk lebih baik ketimbang sunnah itu sendiri. Maksudnya,
Imam Malik lebih mendahulukan tradisi ketimbang Hadis dalam penggalian hukum. Karena
baginya, menilai Hadis berdasarkan kriteria tradisi (sunnah) ketimbang menilai sunnah dengan
merujuk pada Hadis. Penjelasan lebih lanjut pendapat Imam Malik tentang tradisi versus Hadis,
lihat: Yasin Dutton, the Origins of Islamic Law; the Qur’an, the Muwatta’, and Madinan ‘Amal,
Penerjemah M. Maufur Asal Mula Hukum Islam; Alquran, Muwatta’, dan Praktik Madinah,
(Yogyakarta: Islamika: 2003), h. 106.
49
Oleh karena itu, aturan-aturan yang dibentuk tidak timpang sebelah.
Dalam artian, aturan yang ada di Indonesia berlaku untuk seluruh warga
Indonesia. Bahkan, dalam asas hukum Indonesia, bahwa semua warga negara
pasti sudah mengetahui hukum yang berlaku, sehingga alasan tidak tahu tidak
dapat menjadikan seseorang yang melanggar hukum terbebas dari hukuman.
Termasuk dalam hal ini adalah aturan makar, yang dibuat demi menciptakan
(prilaku) masyarakat yang taat dan patuh terhadap pemerintah yang sah, yang
tidak membuat tindakan radikal yang bertujuan untuk melengserkan pemerintah.
Maka, rekayasa prilaku sosial yang dicanangkan oleh aturan makar tadi dapat
terealisasi. Meskipun masih ada beberapa kelompok yang melanggar aturan
tersebut sebagaimana dibahas di sejarah makar Indonesia pada bab tiga. Namun,
secara umum, prilaku masyarakat Indonesia sudah menggambarkan akan tujuan
adanya aturan makar tadi.
B. Aspek Politik
Tidak banyak dari sarjanawan muslim (ulama‟) yang menyoroti akan
sosok nabi Muhammad Saw dari aspek politik. Dengan kata lain, jarang dari
mereka yang melihat Nabi sebagai seorang politikus. Rata-rata, melihat beliau
hanya sebatas seorang utusan Allah yang ditugaskan untuk menyampaikan
wahyu-Nya yang memuat ajaran-ajaran keagamaan terhadap umat manusia,
terlebih masyarakat Mekkah dan Madinah selaku tempat tinggal Nabi. Oleh
karena itulah, para sarjanawan muslim itu lebih fokus pada mengkaji ucapan dan
perbuatan beliau sebagai sumber ajaran agama, yang nantinya menjadi aturan
yang mesti dipatuhi oleh para pemeluknya. Serta menjadikan sebagai panutan
ideal yang layak ditiru oleh pemeluk ajaran agama yang dibawanya dalam
menjalani kehidupan di dunia.
Simpulan di atas dapat dilihat dari literatur-literatur Islam yang lebih
banyak menyoroti sosok Nabi dari segi statusnya selaku utusan Allah (Rasul)
yang nantinya lahir literatur yang disebut dengan Akidah, Fiqh, dan Hadis,
ketimbang sebagai politikus dengan sedikitnya literatur tentang politik. Literatur
tentang politik dalam arti buku/ kitab yang membahas tentang sosok Nabi sebagai
50
politikus, yang memiliki kepentingan dalam menjaga eksistensi pemerintahannya.
Adapun literatur tentang politik dalam arti buku/ kitab yang menjadikan politik
sebagai sebuah diskursus yang terdapat di dalam Islam itu cukup banyak.24
Ini
dibuktikan dengan adanya literatur politik karya sarjanawan-sarjanawan muslim
terdahulu. Seperti Ibnu Abi Rabi‟ dengan karyanya yang berjudul Suluk al-Mālik
fi Tadbīr al-Mamālik, al-Farabi dengan bukunya Ara Ahl al-Madīnah dan al-
Siyāsah al-Madaniyah, al-Māwardī dengan karyanya al-Ahkām al-Sultāniyah, al-
Ghazālī dengan karya monumentalnya Ihyā’ Ulūm al-Dīn yang terletak pada bab
Kitāb al-Sya’ab dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasīhat al-Muluk, dan lain sebagainya.25
Dengan itu, sekali lagi dapat ditegaskan bahwa literatur di dalam Islam
yang membahas tentang Nabi sebagai politikus sangat langka. Bahkan,
sarjanawan muslim pertama yang mengatakan bahwa Nabi itu seorang politikus
baru ada pada abad 7 H. Dia adalah Ahmad bin Ibdrīs al-Misrī al-Mālikī (w. 784
H.), atau dikenal dengan Imam al-Qarāfī.26
Di dalam kitabnya, al-Furūq,
menyatakan bahwa nabi Muhammad itu merupakan seorang kepala pemerintah
yang agung, pemutus perkara (hakim/ qādī), pemberi fatwa yang sangat pintar.27
Tiga karakter ini terdapat pada satu diri seorang, yaitu Baginda Nabi Muhammad
Saw. Maka dari itu, ketika mendapati suatu Hadis, baik yang perkataan maupun
perbuatan, selain mencermati maksud Hadis tersebut, juga harus melihat posisi
24
Meski tidak sebanyak tiga literatur sebelumnya, Akidah, Fiqh, dan Hadis. Bahkan
dapat dikatakan kiranya bahwa literatur yang menjadikan politik sebagai diskursus hanya terdapat
pada zaman tertentu. Tidak setiap zaman dapat ditemukan yang ahli dan memiliki karya di bidang
(ilmu) politik Islam. Terbukti, jarak antar para pemilik literatur politik Islam yang ada di masa
Islam zaman klasik ada yang dekat, seperti al-Mawardi (w. 450 H.) dengan al-Ghazali (w. 505 H.),
dan ada pula yang jauh seperti al-Farabi (w. 339 H.) dengan al-Mawardi (w. 450 H.). Ini
membuktikan bahwa pemikir politik Islam begitu sedikit, serta literatur mengenai hal itu pun
cukup langka. Lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI-Press, 1993), h. 41-42.
25 Penjelasan lebih lengkap mengenai tokoh dan pemikirannya tentang politik Islam, baik
klasik maupun kontemporer, lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 42-203.
26 Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu „Āsyūr, selaku sarjanawan muslim yang
mempopulerkan (kembali) tiga karakter tadi pada abad 20 dalam rangka memaparkan metodologi
diskursus Maqāsid al-Syarī’ah. Baca: Muhammad Tāhir bin „Āsyūr, Maqāsid al-Syarī’ah al-
Islāmiyah, (Misr: Maktabah al-Iskandariyah, 2010), h. 118.
27 Ahmad bin Ibdrīs al-Misrī al-Mālikī, Anwār al-Burūq fī Anwā` al-Furūq, (T.tp.: „Ālim
al-Kutub, t.th.), h. 205.
51
Nabi ketika mengeluarkan Hadis itu. Hal ini demi mendapatkan suatu pemahaman
yang tepat dan benar.
Bahkan, di literatur lain dengan pengarang yang sama, Imam al-Qarāfī
memaparkan akan perbedaan risalah ketuhanan, fatwa, pemerintah, serta putusan
hukum,28
yang semuanya pernah dilakukan Nabi semasa hidupnya. Oleh karena
itu, terbentuklah tiga karakter tadi yang bisa ditemukan di dalam diri beliau.
Posisi Nabi sebagai pemberi fatwa berkenaan dengan ibadah-ibadah mahdah,
posisi beliau sebagai hakim/ qādī berkenaan dengan mu‟amalah, seperti jual-beli
dengan jenis-jenis akadnya, pernikahan, dsb., serta posisi beliau sebagai kepala
daerah (pemerintah) berkenaan dengan aturan-aturan kriminal, dan/atau
pengutusan tentara untuk berperang.29
Dengan begitu, dapat dipastikan ketika apa
Nabi menjadi sebagai politikus, yaitu tatkala mengeluarkan aturan-aturan yang
berkenaan dengan pidana.
Tentu, politik yang dilakukan Nabi bukan politik praktis, yang hanya
mementingkan kelompok Islam ketimbang kelompok lainnya, terutama ketika di
Madinah dulu. Begitu pula, politik beliau bukan bermaksud untuk melanggengkan
„kekuasaan‟nya selaku kepala daerah (Madinah) waktu itu. Namun, Nabi
berpolitik demi mewujudkan kemaslahatan bersama bagi seluruh warga
Madinah30
, mendamaikan seluruh struktur masyarakat dengan berbagai latar yang
berbeda-beda, serta menciptakan suatu masyarakat yang bermartabat dan bermoral
dengan berprilaku berdasarkan norma dan etika. Caranya dengan mengajarkan
dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang tertuang (sebagiannya) di dalam
28
Lihat Ahmad bin Ibdrīs al-Misrī al-Mālikī, al-Ihkām fī Tamyīz al-Fatāwa ‘an al-Ahkām
wa Tasarrufāt al-Qādī wa al-Imām, (Bairut: Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 1416 H/ 1995 M), cet. II,
h. 99-109.
29 Ahmad bin Ibdrīs al-Misrī al-Mālikī, al-Ihkām fī Tamyīz al-Fatāwa ‘an al-Ahkām wa
Tasarrufāt al-Qādī wa al-Imām, h. 109.
30 Dikatakan Madinah karena posisi Nabi sebagai kepala negara hanya mencakup daerah
Madinah saja, tidak sampai ke seluruh Jazirah Arab. Berbeda status beliau jika sebagai seorang
Nabi/ Rasul, yang cakupannya tidak hanya Jazirah Arab, bahkan begi seluruh umat manusia di
muka bumi. Meskipun, sebagaimana ditegaskan Mujar, setelah Futuh Mekkah beliau didaulat
sebagai pemimpin tertinggi di seluruh Jazirah Arab. Lihat: Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non
Muslim di Negara Muslim; Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam
Konteks Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 115-116.
52
aturan-aturan pidana, yang berguna untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara
dan masyarakat dari ancaman para musuh.
Maka dari itu, aturan pidana Islam seperti aturan makar sebagaimana
dipaparkan pada bab sebelumnya, jika dilihat dari perspektif politik, merupakan
strategi Nabi untuk mempertahankan posisi beliau sebagai penguasa Madinah
waktu itu. Sebab, menjadi kepala daerah dengan mempunyai masyarakat yang
majemuk, merupakan tanggungan yang sangat berat. Terlebih, di kala itu, beliau
berada di kelompok minoritas dan pendatang baru di Madinah. Sehingga sangat
memungkinkan akan adanya kelompok yang tidak menyukai dan mendukung
terhadap kepemimpinan beliau. Ketidaksukaan tersebut dapat diejawantahkan
melalui tindakan-tindakan anarkis yang –bahkan- dapat melayangkan nyawa
beliau dan pengikutnya.31
Sehingga nanti, jika berhasil membunuhnya, maka
posisi kepala daerah akan tergantikan oleh anggota dari kelompok separatis
tersebut, yang mana belum tentu bisa bersikap adil dan dapat membawa
kemaslahatan terhadap masyarakat Madinah waku itu.
Meskipun, pengangkatan Nabi sebagai kepala daerah bukan keinginan
beliau sendiri, pun bukan kemauan pengikutnya tatkala hijrah ke Madinah, namun
berdasarkan aklamasi masyarakat Madinah. Kendati demikian, pada tahun-tahun
berikutnya, seiring Nabi memimpin masyarakat Madinah, ada beberapa kelompok
yang tidak menyukai Nabi. Entah ketidaksukaannya itu karena faktor ekonomi,
politik, maupun sosial. Sehingga menjadikan mereka mengeluarkan „watak
aslinya‟ selaku orang Arab, yaitu bengis, kasar, keras kepala, egois, dan sifat-sifat
lainnya yang sejenis dengan itu. Akibatnya, mereka bertindak semau mereka, ada
yang memberontak sehingga diusir oleh Nabi dari Madinah, ada juga yang ingin
mencelakakan Nabi yang dapat menghilangkan nyawa beliau, serta ada pula yang
membuat sekutu dengan kelompok lain di luar Madinah untuk melengserkan Nabi
dari jabatannya. Itu semua sebagai bentuk ekspresi sebagian masyarakat Madinah
yang tidak suka dan setuju dengan kepemimpinan Nabi.
Melihat fenomena semacam itu, atau bisa juga untuk mempertahankan
eksistensi beliau selaku kepala daerah, maka muncullah ayat dan Hadis yang
31
Lihat bab dua di penelitian ini tentang sejarah makar pada era Rasulullah.
53
mengatur tentang larangan berbuat makar/ memberontak terhadap pemimpin yang
sah. Dengan disertai hukuman yang akan diterima oleh kelompok yang masih
tetap melakukannya, yaitu dengan diperangi. Penetapan hukuman ini memang
sengaja dibuat sangat berat karena implikasi dari perbuatan tersebut begitu besar.
Terlebih, pemimpin waktu itu adalah seorang Nabi, selaku utusan Allah yang
membawa risalah-Nya. Maka, atas izin-Nya, yang bisa dilihat di dalam turunnya
aturan tindakan makar, dengan ditambahi oleh adanya penetapan Nabi sendiri
terhadap pelakunya, secara tidak langsung telah dimanfaatkan oleh Nabi untuk
menjaga stabilitas dan eksistensi kepemimpinannya.
Begitu juga yang terjadi di Indonesia mengenai pembentukan aturan
tindak pidana makar. Baik pembentukan itu sebelum, ketika, maupun sesudah
adanya tindakan makar. Sebab, berdasarkan sejarah, pembentukan aturan makar di
Indonesia telah mengalami empat fase, yaitu fase pertama pada tahun 1866-1946,
fase kedua pada tahun 1946-1963, fase ketiga, pada tahun 1963-1999, dan fase
terakhir yaitu pada tahun 1999 sampai sekarang.32
Artinya, pemerintah dalam
menyikapi tindakan makar berubah-rubah, entah hanya berupa kebijakan maupun
hingga instrumen-instrumen hukum sebagai respon terhadap fenomena yang
sedang terjadi.33
Perbedaan respon itu bergantung pada kondisi yang sedang
terjadi, atau besar tidaknya pengaruh tindakan makar yang dilakukan. Karena
memang tindakan makar itu sendiri bermacam-macam, seperti tindak pidana
makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa Presiden atau wakil Presiden,
tindak pidana makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian
wilayah negara ke bawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian
wilayah negara, dan tindak pidana makar dengan maksud
merobohkan/menggulingkan pemerintah.
Akan tetapi, terlepas dari variasi tindakan makar, yang jelas dalam
pembentukan aturan tindak pidana makar oleh pemerintah terdapat suatu tujuan
32
Penjelasan selengkapnya baca: Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Politik Hukum
Pengaturan Tindak Pidana Makar Di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, h.
7-10.
33 Abdurisfa Adzan Trahjurendra, Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar Di
Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, h. 4.
54
yang hendak dicapai. Entah tujuan tersebut bersifat praktis, yaitu demi
melanggengkan kekusaannya, misalnya, maupun tujuan bersama, yaitu demi
menjaga keutuhan masyarakat dan negara sehingga dapat menciptakan
masyarakat yang makmur dan tentram dengan kondisi negara yang aman dan
stabil. Mengingat tugas pemerintah adalah untuk menyeleksi dalam membuat
peraturan demi menetapkan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat.
Sesudah itu, pemerintah masih memikirkan tentang daya guna dan hasil guna
peraturan yang dibuat itu, agar dapat mencapai cita-cita berupa ketentrataman,
ketertiban, dan kesejahteraan di kalangan masyarakat.34
Dengan adanya cita-cita luhur tadi, menjadikan pemerintah tidak
sembarangan dalam membuat aturan tersebut. karena memang suatu aturan/
hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai itu, yang bisa ditemukan dalam
masyarakat.35
Kendati demikian, sembari memerhatikan cita-cita tadi, terdapat
„manfaat‟ yang bisa diperoleh pemerintah itu, yaitu memiliki legalitas untuk
mempertahankan kekuasaannya dari ancaman yang berusaha untuk
merobohkannya. Sehingga, kekuasaannya itu tetap bertahan sesuai batas waktu
menjabat. Seperti yang diketahui bahwa di Indonesia terdapat pembatasan
kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Maka dari itu, selama masa
berkuasa, penguasa (baca: pemerintah) diberikan wewenang untuk mengatur dan
membuat kebijakan dan/ atau instrumen hukum berdasarkan persoalan yang
dihadapi, termasuk mengenai tindakan makar. Oleh karena itulah, dulu, di awal-
awal pemerintahan pertama berkuasa, membuat aturan tindakan makar, yang
aturannya itu diambil dari hukum kolonial, demi menjaga stabilitas negara dan
kelanggengan kekuasaannya.
Jadi, memang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat saja. Atau melindungi negara dari ancaman musuh, baik dari dalam
negara sendiri maupun dari luar. Bahkan, juga untuk defensif dalam menjaga
kekuasaannya itu. Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan sebelumnya, yang
34
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 85.
35 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 14.
55
juga telah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 104-107,
tindakan makar terdiri dari beberapa macam. Terlepas dari apakah seluruh jenis
tindakan makar itu pernah terjadi atau belum. Yang pasti, dari macam-macam
tindakan makar itu memiliki peluang untuk dilakukan oleh para pembenci
pemerintah yang sedang berkuasa, dan/atau oleh para musuh negara Indonesia.
Penting untuk diketahui kiranya, bahwa dalam pembentukan aturan
tindakan makar harus selaras dengan landasan negara yang meliputi tiga hal,
Pancasila sebagai landasar ideal, UUD ‟45 sebagai landasan struktural, dan Garis
Besar Haluan Negara sebagai landasan operasional.36
Ketiga landasan itu
merupakan acuan sekaligus standarisasi dalam pembentukan semua bidang
peraturan di Indonesia, termasuk aturan tindakan makar. Maka, pemerintah tidak
asal merumuskan aturan perihal tersebut, namun harus sejalan dengan ketiga
landasan tadi. Meskipun memang tak dipungkiri akan adanya tujuan praktis tadi,
yaitu demi melanggengkan/ mempertahankan kekuasaannya, agar aman dari
berbagai ancaman yang dapat melengserkannya.
Akan tetapi, secara prinsip, adanya aturan makar selama ini telah sesuai
dengan landasan negara, yaitu melindungi kehidupan bersama yang harus
dijauhkan dari segala macam bahaya, baik dari dalam maupun luar negeri.37
Bahkan, prinsip ini yang merupakan cita-cita bersama lebih dominan ketimbang
tujuan praksis tadi. Sebab, pemerintah selaku pemegang kekuasaan negara tetap
tidak bisa mempertahankan kekuasaannya terlalu lama karena sudah ditentukan
masa berkuasanya itu. Maka dari itu, adanya aturan makar di Indonesia, meski
memiliki kesan politis, namun bukan politis praksis. Jauh dari itu merupakan
untuk menjaga keamanan negara, menjaga keutuhan NKRI, serta mewujudkan
keharmonisan antar sesama penduduk rakyat Indonesia di dalam bernegara.
Maka, secara umum, konsep makar antara hukum Islam dan hukum positif
Indonesia memiliki kesamaan secara prinsip, yaitu larangan melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Karena hal demikian dapat
36
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 85.
37 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), h. 33.
56
mengganggu stabilitas dan keutuhan suatu negara. Islam begitu mengutamakan
persatuan umat. Tidak hanya antar sesama umat Islam, bahkan juga dengan umat
agama lainnya. Guna mengurus dan menjaga dunia selaku tempat tinggal umat
manusia. Nilai ini diadopsi oleh Indonesia yang terejawantahkan di dalam
Pancasila selaku falsafah negara, serta diatur di dalam perundang-undangannya
demi merangkul seluruh komponen masyarakat sehingga berada di bawah
naungan NKRI.
Hanya saja, yang menjadi perbedaan mengenai konsep makar antara kedua
jenis hukum tersebut terletak pada sanksi pelaku makar. Namun, perbedaan ini
bukan menjadi penyebab adanya pertentangan hukum positif Indonesia terhadap
hukum Islam. Sebab, sanksi-sanksi yang ditetapkan di hukum positif Indonesia,
secara substantif sudah sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Bahkan, hukum positif
Indonesia lebih memperinci sanksi tindakan makar dengan melihat pada jenis
makar yang dilakukan. Dan itu lebih realistis dan aktual dengan kondisi zaman
sekarang, yakni dengan terbentuknya negara bangsa (nation state), sehingga
negara Indonesia tetap dapat bersatu demi mencapai cita-citanya yang luhur.
57
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, tibalah sekarang pada hasil
penelitian yang menjadi kesimpulan penulis atas penelitian yang dijalani.
Kesimpulan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang sudah dipaparkan pada bab
pertama di muka. Kesimpulannya adalah bahwa secara substantif, konsep makar
yang diatur di dalam perundang-undangan hukum positif Indonesia telah sejalan
dengan hukum Islam. Meskipun tak dipungkiri adanya perbedaan pemahaman di
kalangan pemerintah ketika menjabat sebagai penguasa. Namun, hal itu tidak
dapat menjadi penyebab yang dapat membedakan dengan aturan makar di hukum
Islam. Sebab, hal tersebut karena adanya faktor politik sehingga terjadi perbedaan
pemahaman antara setiap penguasa. Oleh karenanya, dari segi normatif, konsep
makar di hukum positif Indonesia dan hukum Islam adalah:
1. Makar dalam perspektif hukum Islam adalah pemberontakan yang
dinyatakan oleh suatu kelompok dengan melakukan tindakan-tindakan
anarkis sebagai bentuk sikap untuk keluar dari pemerintahan yang sah atas
dasar alasan-alasan tertentu. Sedangkan dalam hukum positif Indonesia,
makar merupakan strategi yang dilakukan oleh kelompok separatis dengan
tujuan untuk membunuh Presiden atau Wakil Presiden, menggulingkan
pemerintahan yang sah, dan memisahkan sebagian wilayah negara dari
yang lain dan/ atau menyerahkan seluruh atau sebagian wilayah negara ke
tangan musuh.
2. Pada kedua jenis hukum tersebut, terdapat perbedaan sanksi yang akan
diterima oleh pelaku tindakan makar. Dalam hukum Islam, hukuman
pelaku tindakan makar adalah diperangi. Caranya dengan melawan mereka
sehingga terjadilah peperangan antara pihak penguasa dengan kelompok
pemberontak. Namun, tujuan perang yang dilakukan pemerintah tersebut,
sejatinya, bukan untuk membunuh, akan tetapi hanya sebatas untuk
defensif dan melindungi diri dari kejahatan yang menyerangnya.
58
Sedangkan di dalam hukum positif Indonesia, sanksinya bervariasi,
tergantung dengan tindakan makar yang dilakukan. Jika tujuannya untuk
membunuh Presiden atau Wakil Presiden, maka dikenakan sanksi dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dan/atau pidana penjara
selama waktu tertentu -paling lama dua puluh tahun (KUHP Pasal 104).
Kemudian, jika melakukan makar dalam maksud untuk memisahkan
sebagian wilayah negara dari yang lain dan/ atau menyerahkan seluruh
atau sebagian wilayah negara ke tangan musuh, maka sanksinya pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun (KUHP Pasal 106). Selanjutnya, jika yang dimaksud
untuk menggulingkan pemerintahan, maka diancam pidana penjara paling
lama lima belas tahun (KUHP Pasal 107).
Maka, dapat dikatakan bahwa sanksi bagi pelaku tindakan makar yang
diatur di dalam hukum Islam lebih umum, sehingga mencakup terhadap
berbagai jenis tindakan makar. Apa pun jenisnya, maka sanksinya hanya
satu, yaitu diperangi. Berbeda dengan hukum positif Indonesia, yang
mengancam pelaku tindakan makar dengan dipidana berdasarkan jenis
makar yang dilakukannya.
B. Rekomendasi
Sebagai follow up dari penelitian skripsi ini direkomendasikan kepada para
peneliti selanjutnya supaya melakukan penelitian yang lebih mendetail terkait
tindakan makar. Melihat penelitian kali ini hanya fokus pada aturan normatif dan
bukti sejarah secara umum di masa nabi Muhammad selaku perumus hukum
Islam dan bangsa Indonesia selaku wilayah pemberlakukan peraturan hukum
positif Indonesia. Oleh karena itu, pantas direkomendasi untuk melakukan
penelitian mengenai faktor atau motif tindakan makar yang pernah dilakukan oleh
para pemberontak/ kelompok separatis. Atau studi kasus tindakan makar yang
pernah terjadi di Indonesia atau negara lain dengan menggunakan berbagai
pendekatan demi menghasilkan sebuah simpulan yang komprehensif, dan lain
59
sebagainya. Maka, dengan begitu, permasalahan mengenai tindakan makar bisa
diselesaikan secara komprehensif, baik pada tataran diskursus maupun praksisnya.
60
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alquran al-Karīm
‘Āsyūr, Muhammad Tāhir bin. Maqāsid al-Syarī’ah al-Islāmiyah. Misr:
Maktabah al-IskanDāriyah, 2010.
‘Audah, Abd al-Qādir. al-Tasyri’ al-Jināī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-
Wad’ī. al-Qāhirah: Dār al-Hadīs, 1430 H/ 2009 M.
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. cet. II. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Andalusi, al, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd.
Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtasid. cet. V. Lubnan: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 1434 H/ 2013 M.
Baihaqī, al, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakr. Dalail al-Nubuwah.
T.tp.: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1408 H/ 1988 M.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahannya. Jakarta Selatan: Hati Emas,
2013.
Departemen Pendidikan Nasional (DPN). Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet.
VIII. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Dimasyqi, al, Ismail bin Umar bin Katsir. Tafsīr Alquran al-Karim. T.tp.: Dār
Tibah, 1420 H/ 1999 M.
Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih. cet. III. Jakarta: Kencana, 2010.
Dutton, Yasin. the Origins of Islamic Law; the Qur’an, the Muwatta’, and
Madinan ‘Amal. Penerjemah M. Maufur. Asal Mula Hukum Islam;
Alquran, Muwatta’, dan Praktik Madinah. Yogyakarta: Islamika: 2003.
Gaffar, Jenedjri M.. Demokrasi Konstitusional; Praktik Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konpress, 2012.
Hākim, al, Muhammad bin Abdillah. al-Mustadrak ‘ala al-Sahīhain. Bairut: Dār
al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/ 1411 H.
Hamzah, Roni. Pidana Penjara Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Makar di
Indonesia. Skripsi S1Fakultas Hukum, Universitas Wijaya Putra
Surabaya, 2015.
61
Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra. Tangerang
Selatan: Marjin Kiri, 2013.
Hitti, Philip K. History of The Arabs; From the Earliest Times to The Present.
Penerjemah R. Cecep Lukman Y. dan Dedi Slamet R. History of The
Arabs. cet. I. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Jubaib, Sa’di Abu. al-Qamus al-Fiqhi. Dimasyq: Dār al-Fikr, 1993.
Katalog Dalam Terbitan (KDT), Alex Dinuth ed. Dokumen Terpilih Sekitar
G.30.S/PKI. Jakarta: Intermasa, 1997.
Latif, Yudi. Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. cet. V. Jakarta: Gramedia, 2015.
Mālikī, al, Ahmad bin Ibdrīs al-Misrī. Anwār al-Burūq fī Anwā` al-Furūq. T.tp.:
‘Ālim al-Kutub, t.th.
______________. al-Ihkām fī Tamyīz al-Fatāwa ‘an al-Ahkām wa Tasarrufāt al-
Qādī wa al-Imām. cet. II. Bairut: Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 1416 H/
1995 M.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media,
2014.
Maulana, Imam. Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif. Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Mawardī, al, Abu al-Hasan Ali al-Baghdādī. al-Ahkām al-Sultāniyah wa al-
Wilāyāh al-Diniyah. cet. III. Lubnan: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2006.
Misrawi, Zuhairi. Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan
Muhammad Saw. Jakarta: Kompas, 2009.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. cet. XXIV. Jakarta: Bumi
Aksara, 2005.
Mustafa, Ibrahim, dkk. al-Mu’jam al-Wasith, T.tp.: Dār al-Da’wah, t.th.
Nabhani, al, Taqiyuddin. al-Syakhsiyah al-Islamiyah. Diterjemahkan Agung
Wijayanto dkk., Kepribadian Islam. Jakarta Selatan: HTI Press, 2011.
62
______________. al-Daulah al-Islamiyah. Penerjemah Umar Faruq. Daulah
Islam. cet. VI. Jakarta Selatan: HTI-Press, 2012.
Naisābūrī, al, Muslim bin al-Hujāj bin Muslim. Sahīh Muslim. Bairut: Dār al-Jail,
T.th.
Prakoso, Djoko. Tindak Pidana Makar Menurut KUHP. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986.
Qurtubi, al, Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Farh al-Ansari. al-
Jāmi’ li Ahkām Alquran. al-Qāhirah: Dār al-Kutub al-Misriyah, 1384 H/
1964 M.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Penerbit Alumni,
1979.
Rāzi, al, Fakhr al-Dīn. Mafātīh al-Ghaib. Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1421 H/
2000 M.
Sambas, Syukriadi. Mantik; Kaidah Berpikir Islami. cet. VI. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: UI-Press, 1993.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. cet. X. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999.
Syahrastānī, al, Muhammad bin Abd al-Karim. al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dār
al-Ma’rifah, 1404 H.
Syarbīni, al, Muhammad bin Muhammad al-Khatib. Mughni al-Muhtāj. cet. II.
Lubnan: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2009.
Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non Muslim di Negara Muslim; Tinjauan Dari
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan, 2006.
Syarifin, Pipin. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Tabari, al, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Jami’ al-Bayān
fī Ta’wīl Alquran. T.tp.: Muassasah al-Risalah, 1420 H/ 2000 M.
Trahjurendra, Abdurisfa Adzan. Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar
Di Indonesia. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, t.th.
63
Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, cet. III. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Wirutomo, Paulus, dkk. Sistem Sosial Indonesia Jakarta: UI-Press, 2017.
Yaqub, Ali Mustafa. Islam Between War and Peace. Jakarta: Maktabah Dārus-
Sunnah, 1431H/ 2010 M.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014.
Zuhaili, al, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. cet. VI. Dimasyq: Dār al-
Fikr, 1429 H/ 2008 M.
______________. Usul al-Fiqh al-Islāmī. Dimasyq: Dār al-Fikr, 1406 H/ 1986 M.
Website:
https://agfian.wordpress.com/2009/01/14/kembali-melihat-sejarah-nii-milik-
sekarmaji-marijan-kartosuwiryo-dari-berbagai-sudut/ diakses pada
tanggal 25 Desember 2017 pada pukul 14.45 WIB.
https://chirpstory.com/li/268967 diakses pada tanggal 15 Oktober 2017 pada
pukul 14.11 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-3495286/wiranto-pemerintah-ambil-langkah-
hukum-untuk-bubarkan-hti diakses pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 07.00
WIB.
http://news.liputan6.com/read/3013880/puluhan-simpatisan-opm-nyatakan-setia-
pada-nkri diakses pada tanggal 14 Oktober 2017 pukul 20.24 WIB.
https://tirto.id/sejarah-panjang-usaha-makar-di-indonesia-buHE diakses pada
tanggal 7 Oktober 2017 pukul 17.25 WIB.
https://tirto.id/sejarah-kemunculan-hti-hingga-akhirnya-dibubarkan-coiC diakses
pada tanggal 15 Oktober 2017 pada pukul 14.15 WIB.
https://www.dream.co.id/news/pemerintah-bubarkan-hti-170508e.html diakses
pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 07.00 WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59805c882f0cc/pakar-pidana-ini-
minta-delik-makar-perlu-ditinjau-ulang diakses pada tanggal 12 Desember
2017 pukul 21.00 WIB.
https://www.youtube.com/watch?v=GT3ZK8GxW_w diakses pada tanggal 15
Oktober 2017 pada pukul 14.30 WIB.
64
https://www.youtube.com/watch?v=rBW0sZl1KI4 diakses pada tanggal 18
Oktober 2017 pada pukul 11.02. WIB.