LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Masria Br. Harahap
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 65 tahun
Suku bangsa : Mandailing
Alamat : Dusun Panigoran Labuna
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Keluhan Utama:
Nyeri dada kiri sampai ke punggung.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Os datang ke RSHM dibawa oleh keluarganya dengan keluhan nyeri di
dada pada bagian kiri, dan menjalar hingga ke punggung. Nyeri
dialami sejak tadi malam sebelum masuk rumah sakit dan bersifat
hilang timbul. Os mengatakan sebelumnya belum pernah menderita
penyakit seperti ini. Diketahui bahwa sebelum menderita nyeri dada,
dua tahun yang lalu os terkena herpes zoster di lokasi yang dikeluhkan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi (+)
Hiperkolesterolemia (+)
Penyakit Jantung (-)
Trauma (-)
Riwayat Penggunaan Obat:
- Obat hipertensi
Riwayat Pekerjaan dan Sosial Ekonomi : (-)
1
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Kesadaran : Komposmentis , GCS = 15 (E4 M6 V5)
Kooperatif : Kooperatif
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,3C
Status Internus
Keadaan Regional
Kepala : Tidak ada kelainan
Rambut : hitam bercampur uban, tidak mudah rontok.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit : tidak ada kelainan.
KGB : tidak ada pembesaran.
Telinga : Otorrhea (-), Tinnitus (-)
Hidung : Septum Deviasi (-), Rinorrhea (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis.
Leher : JVP 5-2 cm H2O
Thorak
Paru :
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Fremitus tactil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung:
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
2
Perkusi : Batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Batas jantung kanan : LSD
Batas jantung atas : RIC II
Auskultasi : regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Soepel, simetris, datar
Palpasi : Nyeritekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+ ) normal
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibus (-)
Status Neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Tanda Kernig : (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Kejang : Tidak Ada
Muntah proyektil : Tidak Ada
Sakit kepala progresif : Tidak Ada
3
3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif + +
Objektif (dengan bahan) Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan + +
Lapangan pandang + +
Melihat warna + +
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso/endotalmus (-) (-)
Pupil
Bentuk
Refleks cahaya
Refleks akomodasi
Refleks konvergensi
Bulat
(+)
(+)
(+)
Bulat
(+)
(+)
(+)
N. IV (Trochlearis)
4
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah + +
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia - -
N. VI (Abducen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia - -
N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Mengunyah
+
+
+
+
+
+
+
+
Sensorik
Divisi oftalmika
- Refleks kornea
- Sensibilitas
(+)
(+)
(+)
(+)
Divisi maksila
- Refleks masetter
- Sensibilitas
(+)
(+)
(+)
(+)
Divisi mandibula
- Sensibilitas (+) (+)
N. VII (Fasialis) Plica nasolabialis kanan lebih datar
5
Kanan Kiri
Raut wajah simetris
Sekresi air mata (+) (+)
Fissura palpebra (+) (+)
Menggerakkan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Mencibir/ bersiul (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Sensasi lidah 2/3 depan (+) (+)
Hiperakusis (-) (-)
N. VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik + +
Detik arloji + +
Rinne tes Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Weber tes Tidak diperiksa
Schwabach tes
- Memanjang
- Memendek
Tidak diperiksa
Nistagmus
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
(-) (-)
Pengaruh posisi kepala (-) (-)
N. IX (Glossopharyngeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang (+)
6
Refleks muntah (Gag Rx) (+)
N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Simetris Simetris
Menelan (+) (+)
Suara Normal Normal
Nadi Teratur Teratur
N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan (+) (+)
Menoleh ke kiri (+) (+)
Mengangkat bahu kanan (+) (+)
Mengangkat bahu kiri (+) (+)
N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam simetris simetris
Kedudukan lidah dijulurkan Simetris simetris
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)
4. Pemeriksaan koordinasi
7
Cara berjalan Disartria (-)
Romberg tes (-) Disgrafia (-)
Ataksia (-) Supinasi-pronasi -
Reboundphenomen (-) Tes jari hidung -
Test tumit lutut - Tes hidung jari -
5. Pemeriksaan fungsi motoric
a. Badan Respirasi
Duduk
Teratur
Normal
b. Berdiri dan
berjalan
Gerakan spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea
(-)
(-)
(-)
(-)
c. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 55555 55555 55555 55555
Tropi Normotropi normotropi normotropi normotropi
Tonus Normotonus Hipotonus normotonus hipotonus
Pemeriksaan sensibilitas
Sensibiltas taktil +/+
Sensibilitas nyeri +/+
Sensiblitas termis +/+
Sensibilitas kortikal +/+
Pengenalan 2 titik +/+
Pengenalan rabaan +/+
6. Sistem reflex
8
a. Fisiologis Kanan Kiri
Biseps ++ +
Triseps ++ +
KPR ++ +
APR ++ +
Dinding perut ++ +
b. Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Hoffmann-
Tromner
(-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddocks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
7. Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat: baik
8. Fungsi luhur : Baik
Kesadaran Tanda Dementia
Reaksi bicara Baik Refleks glabella (-)
Fungsi intelek Baik Refleks snout (-)
Reaksi emosi Baik Refleks menghisap (-)
Refleks memegang (-)
Refleks palmomental (-)
Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin : Hb : 12,4 gr/dl
Leukosit : 6.200/mm3
9
Trombosit : 276.000/mm3
Hematokrit : 34,6%
Kimia darah : Gula darah sewaktu : 157 mg/dl
Asam urat : 3,4 mg/dL
Kimia klinik : Natrium (Na) : 135 mEq/L
Diagnosis :
DIAGNOSA FUNGSIONAL :
DIAGNOSA ETIOLOGIK : Herpes Zoster
DIAGNOSA ANATOMIK : Thorax posterior sinistra
DIAGNOSA KERJA : Post Herpetic Neuralgia ec. Herpes Zoster
Terapi :
Amitripilin 25 mg 2x0,5 tab
Carbamazin 200 mg 2x1 tab
Gabapentin 300 mg 3x1 tab
BAB I
PENDAHULUAN
10
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik
danemosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan
jaringanyang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan
kerusakantersebut. Definisi ini menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu
rangsangan (stimulus). Definisi ini juga menekankan bahwa nyeri bersifat
subjektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus emosi.
Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri
akutatau nyeri nosiseptif, dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut
sebagai nyeri neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri
akutatau nosiseptif yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah
satu sinyal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan
nyerineuropatik disebut sebagai nyeri fungsional merupakan proses sensorik
abnormalyang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm. Nyeri idiopatik yang
tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun nosiseptif
danmemunculkan gejala gangguan psikologik memenuhi somatoform seperti
stres,depresi, ansietas dan sebagainya.
Klasifikasi dari nyeri kronik digolongkan dalam 3 kategori : nyeri yang
disebabkan oleh penyakit atau kerusakan pada jaringan itu sendiri (nyeri
nosiseptif, seperti osteoarthritis), nyeri yang disebabkan oleh penyakit
ataukerusakan sistem somatosensori (nyeri neuropatik), dan gabungan antara
nyerinosiseptif dan neuropatik (nyeri gabungan).
International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri neuropatik adalah nyeri yang dihasilkan dari penyakit atau kerusakan
darisistem saraf perifer atau sentral, dan berasal dari kelainan fungsi sistem
nervus. Awalnya, nyeri neuropatik digunakan hanya untuk menggambarkan nyeri
yang berhubungan dengan neuropatik perifer, dan nyeri sentral pada lesi di sistem
saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Nyeri neurogenik menyangkut
semua penyebab, baik perifer maupun sentral.
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan
saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti
11
amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau
jugainfeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain.
Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan
stimulus atau juga kombinasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
2.1. Definisi
Nyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post
Herpetic Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam
Herpes Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi
disepanjang serabut saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari Herpes
Zoster.
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris
ataunyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat
sampaitahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai
nyeriyang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan
sebagainyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun
1989,Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang
setidaknyaselama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin,
1994,mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang
menetapsetelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).
Tahun1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap
atautimbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah
onsetruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah
definisimenurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The
InternationalAssociation for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post
herpetikasebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai
atau nyeriyang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3
bulansetelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya
diekspresikansebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting)
atau gatal(itching). Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi
sepertidisestesia, parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien
dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena.
Padasatu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area erupsi yang sangat
sensitive terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri
atautemperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi
13
olehgerakan (allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal).
Sementara pada penelitian lainnya dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik
berhubungandengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien dengan NPH lebih
cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster yang
sembuh tanpaneuralgia.
2.2. Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster. Virus
varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpes viridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid.
Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki
diameter sekitar 150-200 nm. Infeksi primernya secara klinis dikenal dengan
Varicella(chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe Virus yang
bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut
dengan varisellazoster virus (VZV).
Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion
kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang
oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.
14
Tabel 1 : Tipe-tipe Virus Herpes pada Manusia(dikutip dari kepustakaan 8)
2.3. Patofisiologi
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau
cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini
masuk ketubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster
bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan
manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-
16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang
diganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler
berperandalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster
dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus
dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan
reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju
ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi
secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan
15
pembengkakan,vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk
vesikel yang dikenal dengan nama “Lipschutz inclusion body‟.
Gambar 1 : Patologi Herpes Zoster
Neuralgia Post Herpetik memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri
herpes zoster akut. NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri
neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat
virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer
varicella,virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau
mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan
dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi
histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion
dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang
terlibat), atrofi(dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan
(sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu,
ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron
eksitasi kecil, pada saraf perifer.
16
Mekanisme terjadinya neuralgia pasca herpetika dapat berlainan pada
setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan
neuralgia pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion
dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan,
nekrosis dan kematian sel neuron. Proses perjalanan virus ini menyebabkan
kerusakan pada saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi
wallerian dan proses sklerosis.
Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju
ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang
virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area
sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun
deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C
yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris
terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti
terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang
rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada
keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas
menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut,
terbentuk tunas-tunas serabut saraf Aβ yang menerima rangsang non-noksius
mekanoseptor dilapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini
menyebabkan hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak menghantarkan nyeri
dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba
halus) dipersepsikan sebagai nyeri.
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang
menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa
alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik
dariserabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis
adalah glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA).
17
Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada
keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik α-amino-3-
hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionate (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor
metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion
magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan
terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pasca
sinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi
membrane yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari
blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke
dalam sel dan depolarisasi membran makin progresif.
Neuralgia pasca herpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi,
yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun
kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya
remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung
dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru.Tunas-tunas baru ini ada
yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan
membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion,
terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor
baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,
mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan
ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri
spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang
terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.
Kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular
eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk
menjadilesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari
ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang
begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya
lesi akanmulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya
untuk lesikulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.
18
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil
hiperestesia,allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan
pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien.
Nyeri dapatdirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya
erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa
terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia
yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti
terkena/ tersetrumlistrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan
stimulus ringan/ normal(allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan
nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
Pada masa gelembung-gelembung herpes menjadi kering, orang sakit
mulai menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit
yangterkena. Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas
dantajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama
dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba-tiba dan
tiapserangan terdiri dari sekelompok serangan-serangan kecil dan besar. Orang
sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak
badan.Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung-gelembung herpes
timbul,untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali.
Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit
sensorik. Danfenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia
post herpatik,yaitu anestesia pada tempat-tempat bekas herpes tetapi pada
timbulnya serangan neuralgia, justru tempat-tempat bekas herpes yang anestetik
itu yang dirasakansebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik
sering terjadi di wajahdan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia
postherpatikum oftalmikumdan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum
otikum.
19
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah
gejala prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada
kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita
disertaidengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam
kemudian,setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa
unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi
lesivesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan
sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu
mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan
mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi
kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan
durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi
dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau
valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang
dapat sangat mengganggu penderitanya.
Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada
kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan
dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampaimood sehingga
nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka
panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu
sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling seringdilaporkan adalah
nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai denganrasa sakit
(disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihanterhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat
diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-
gatalyang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi
rangsang yang berulang.
20
2.4. Diagnosis.
1. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan
gejala tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi
kulit,nyeri yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang
dikenal sebagai nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai
rasa terbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau tersengat listrik.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia.
b. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
c. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat
skar kutaneus
d. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan
maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik,
maupun iskemia jantung, serta rasa gatal yang misdiagnosis sebagai
urtikaria
e. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu
kemudian)
f. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri
yangmuncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4
minggusetelahnya).
g. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti
sentuhanringan
h. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat padaarea
yang terkena nyeri ini.
3. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan
pemeriksaanneurologis lainnya.
b. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
21
c. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
d. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% danDNA
VZV 22% kasus.
e. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
f. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakanuntuk
membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster
g. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali
lipatmendukung diagnosis herpes zoster subklinis.
2.5. Penatalaksanaan
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus
penderitadengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi
farmakologis dan terapi non farmakologis.
a. Terapi farmakologis:
1. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes
zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian
asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosisanjuran 5 x
800 mg/hari selama 7-10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual,
muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah,anoreksia, edema, dan radang
tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari
secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini
adalah mual, muntah, sakitkepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan
dosis anjuran 500mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam
penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.
22
2. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya
diberikanan algetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik
nonopioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik
perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik.
Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas
lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik.
Bekerja sebagai agonis opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan
serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum
400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat
menimbulkan terjadinya amnesia pada orangtua. Hal yang harus diperhatikan
bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat
atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang
digunakan maksimal 60 mg/hari.1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian
menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri,
allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.
3. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi
voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi
GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium
pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral,
gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi,dan somnolen. Dosis yang
dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d. Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada
akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan.
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti
halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun
berikatandengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance
P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve
terminals.Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik
23
baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan
pasiendengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula
hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus
neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme
memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini
dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat
dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat anti depressan
trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan
nyeritingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake
saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic anti
depressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secaraoral. Obat ini
akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine.TCA telah terbukti
efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibandingSSRI (selective serotonine
reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram.
Alasannya mungkin dikarenakanTCA menghambat reuptake baik serotonin
maupun norepinefrin,sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin.
Efek sampingTCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular
seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat
meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, danhipotensi
ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia post
herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine,desipramine dan lainnya.
5. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat
voltage-gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap
terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan
pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetapada, dan adanya
jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan
memodifikasi aktivitas NMDA.
24
b. Terapi non farmakologis
1. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan
nyeri.Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus
neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih
menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi
pula dengan terapi farmakologis.
2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial
hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan
TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/tambahan disamping terapi
farmakologis.
3. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Post
herpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml
diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita
neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi
nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.
2.6. Pencegahan
Cara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah
terinfeksinya virus Zoster itu sendiri. Pencegahan neuralgia pasca herpetika dapat
diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi
nyeriakut pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi
kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah
diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat
hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat menghentikan replikasi virus,
sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian
neuralgia pasca herpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah asiklovir,
valasiklovir,atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri yang
merupakan faktor risiko utama neuralgia pasca herpetika.
25
Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang
direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
bagimereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang
melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko
herpeszoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pasca herpetika sebesar 67%.
Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.
Selain itu, The United States Advisory Committee on Immunization
Practices(ACIP) juga telah merekomendasikan lansia diatas umur 60 tahun
untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan
kesehatanrutin.Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh Food
and Drug Administration untuk mencegah Varicella.
2.7. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi
denagnlambat. Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan
baik terhadap obat-obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun
pada sebagian kasus, nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak
beresponterhadap terapi yang diberikan.
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada
tindakan perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post
herpetika respon terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat
pasiendengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi
medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetic
tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas
baik seperti biasa. Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko
berulangnya HZmasih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur,
selama pasienmempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali
kecil.
26
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di
bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri
merupakan suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf.
NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari
setelah timbulnya ruam pada kulit) dan NPH (rasa sakit yang terjadi setidakn
ya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh
yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke atas, atau
dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami
reaktivasi.
NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik
perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer
mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi
untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak
menyebabkan nyeri.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang
merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak
terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit
ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat
sembuh dengan terapi yang teratur.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for
Pain Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.
2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001.
London:The Guilford Press.
3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook
of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006.
Canada:Elsevier. p654-674.
4. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic
Neuralgia.2004. American Academy of Neurology. p959-965.
5. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor:
RobertA. 2012.
6. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment,
andPrevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40.
7. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis
andTherapeutic Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine
Review. p102-111.
8. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago:The
Internet Journal of Orthopedic Surgery.
9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N.Current Management of
Postherpetic Neuralgia; dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore.
p339-350.
10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012.
Jakarta. p416-419.
11. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia.
2011. New York: Pain Medicine News. p84-91.
12. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool:The
Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629.
13. Scadding J. Neuropathic Pain. Volume 3. 2003. ACNR. p8-14.
28