1
LAPORAN KASUS
Spinal Cord Injury
Pembimbing :
dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
Disusun oleh :
Devina Putri Susilo
1910221048
Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta
Pendidikan Profesi Kedokteran Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Ambarawa
2020
2
Lembar Pengesahan
SPINAL CORD INJURY
Oleh :
Devina Putri Susilo
1910221048
Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti
ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Penyakit Saraf RSUD Ambarawa.
Ambarawa, Februari 2020
Mengetahui
Pembimbing
Dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc
3
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AW
Usia : 44 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Agama : Islam
Alamat : Krajan 2/1 Ngampin Ambarawa, Kab. Semarang
Pendidikan : Strata 1
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
Masuk Rumah Sakit : 02 Februari 2020
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 3 Februari 2020, pukul 15.00 WIB
di bangsal Mawar RSUD Ambarawa.
C. KELUHAN UTAMA
Kedua kaki tidak dapat digerakkan dan terasa kebas dari perut hingga ke kaki.
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan kedua kaki susah digerakkan dan terasa kebas secara tiba-tiba setelah
jatuh ke selokan saat sedang bersepeda pada 1 jam SMRS (10.00 WIB). Setelah jatuh, pasien
sadarm ingat dengan kejadian saat terjatuh, dapat berkomunikasi dengan baik dengan posisi
terlentang. Kelumpuhan dialami pasien pada kedua kaki, sedangkan tangan dapat digerakkan.
Sakit kepala, wajah perot, gangguan penglihatan, ataupun pendengaran disangkal oleh pasien.
Setelah jatuh pasien menyangkal adanya pingsan, kejang, atau mual muntah. Pasien mengeluhkan
nyeri pada punggung yang dirasakan terus menerus, memberat saat pasien menggerakaan badan
bagian atas, menelan dan batuk. Nyeri punggung berkurang saat pasien berbaring. Pasien juga
mengeluhkan sulit BAK serta tidak dapat BAB. Pasien mengatakan pasien belum BAB serta tidak
merasakan nyeri dari bagian perut hingga kedua kakinya. Diketahui sebelumnya pasien dapat
berjalan, dapat mengontrol pola BAK, BAB setiap pagi. Pasien menyangkal adanya demam dan
4
penurunan berat badan sebelumnya serta adanya pegal-pegal, ataupun kesemutan yang menjalar
ke kaki sebelumnya.
E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
1. Riwayat trauma : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat infeksi TBC : disangkal
7. Riwayat hepatitis : disangkal
8. Riwayat low back pain : disangkal
9. Riwayat osteoarthritis : disangkal
10. Riwayat kelainan tulang belakang : disangkal
11. Riwayat operasi pada punggung : disangkal
12. Riwayat tumor/keganasan : disangkal
13. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
14. Riwayat konsumsi alcohol : disangkal
F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
1. Riwayat hipertensi : ayah pasien
2. Riwayat stroke : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : ayah pasien
5. Riwayat infeksi TBC : disangkal
6. Riwayat osteoporosis : disangkal
7. Riwayat kejang : disangkal
G. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL EKONOMI
Pasien merupakan seorang kontraktor yang bekerja di kantor. Sehari-hari pasien banyak
menghabiskan waktunya duduk di kantor dan kurang beraktivitas. Pasien mengaku makan 3 – 4
5
kali dalam sehari, sering merokok dan minum kopi namun menyangkal meminum-minuman keras.
Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang. Obat yang dikonsumsi pasien selama sebulan
terakhir merupakan obat calcusol untuk keluhan nyeri BAK pasien.
H. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem cerebrospinal : kelemahan anggota gerak bawah
2. Sistem kardiovascular : tidak ada keluhan
3. Sistem respiratorius : tidak ada keluhan
4. Sistem gastrointestinal : tidak dapat BAB
5. Sistem neuromuskuler : terasa kebas dari perut hingga ke kaki, nyeri punggung
6. Sistem urogenital : Sulit BAK
7. Sistem integumen : tidak ada keluhan
I. RESUME ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada seorang laki-laki yang bekerja sebagai
kontraktor yang datang dengan keluhan kedua kaki tidak dapaat digerakkan dan terasa kebas dari
perut hingga ke kaki secara tiba-tiba setelah jatuh ke selokan saat bersepeda pada 1 jam SMRS.
Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung yang dirasakan terus-menerus yang memberat saat
pasien menggerakkan tubuh bagian atas, menelan dan batuk serta membaik dengan berbaring.
Pasien juga mengeluhkan sulit BAK, tidak dapat BAB serta tidak merasakan nyeri dari perut
hingga kedua kakinya. Sebelum masuk rumah sakit pasien diketahui belum mengkonsumsi obat
untuk menghilangkan gejalanya.
J. DISKUSI I
Pasien datang dengan keluhan kedua kaki tidak dapat digerakkan dan terasa kebas dari perut
hingga ke kaki tiba-tiba setelah jatuh ketika bersepeda, jatuh yang dialami pasien dicurigai
menyebabkan cedera medulla spinalis. Medulla spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf
yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medulla spinalis, masukan sensoris, Gerakan dari
bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter dapat terganggu atau hilang sama sekali.
6
Diketahui kelumpuhan dialami pasien pada kedua kaki, sedangkan tangan dapat digerakkan,
maka kemungkinan cedera pada medulla spinalis setinggi torakalis ataupun di bawahnya. Hal ini
disebabkan bila lesi komplit itu berada di daerah servikal maka akan timbul tetraplegia dengan
anestesi dibawah lesi, sedangkan bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, maka yang
didapatkan adalah paraplegia dengan gangguan sensibilitas (anestesi) di bawah lesi.
Pasien mengeluhkan nyeri pada punggung, nyeri dirasakan pasien terus menerus, memberat saat
pasien menggerakkan tubuh bagian atas, menelan dan batuk serta membaik saat berbaring. Pada
pasien dengan cedera medulla spinalis sering ditemukan nyeri yang biasanya mengacu pada
inflamasi di dalam atau di sekitar medulla spinalis yang secara perlahan menekan medulla
sehingga timbul nyeri pada sisi yang tertekan.
Keluhan pasien berupa sulit BAK dan tidak dapat BAB menandakan keluhan berada di antara
T1-L2 dan terdapat neurogenic bowel.
Pasien mengeluhkan adanya kebas dan tidak merasakan nyeri dari bagian perut hingga ke
kedua kakinya hal ini disebabkan kemungkinan akibat lesi yang dialami pasien berada pada
dermatome torakalis dan bersifat komplit sehingga pasien alami gangguan motoric dan juga
sensorik.
Sebelum keluhan terjadi pasien juga menyangkal adanya demam, penerunan berat bada, atau
sakit terkait keadaan pasien saat ini. Hal ini menyangkal digaan adanya spondylitis TB. Pasien
juga diketahui menyangkal adanya riwayat nyeri, pegal-pegal, ataupun kesemutan yang menjalar
ke kaki sebelumnya. Hal ini menyangkal dugaan adanya HNP.
TRAUMA MEDULLA SPINALIS
I. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai
medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan
reflek) secara lengkap atau sebagian.1
II. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap tahun.1 Penyebab
utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%), terjatuh (23,8%), dan cedera yang
7
berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya akibat kekerasan terutama luka tembak dan
kecelakaan kerja.1,3
III. Anatomi
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP). Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus
terminalis atau conus medullaris (Gambar 1). Terbentang dibawah conus terminalis serabut-
serabut bukan saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.
Gambar 1. Anatomi medula spinalis.4
Terdapat 31 pasang saraf spinal: 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang
saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang saraf koksigeal. Akar saraf lumbal dan sakral
terkumpul yang disebut dengan kauda equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui intervertebral
foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan CSF.
Struktur internal medula spinalis terdiri dari substansi abu abu dan substansi putih (Gambar
2). Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi
putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure san median septum yang
disebut dengan posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi
abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris
8
dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H dan
terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan komisura abu-abu. Bagian posterior sebagai
input /afferent, anterior sebagai output/efferent, komisura abu-abu untuk refleks silang dan
substansi putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
Gambar 2. Struktur internal medula spinalis.5
IV. Etiologi
Cedera medulla spinalis di bedakan atas 2 jenis, yaitu:
1. Cedera medulla spinalis traumatik : terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik
mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
2. Cedera medulla spinalis non-traumatik : terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron,
myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit
vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
9
V. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA) berdasarkan
hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis yang timbul (Gambar 3.)
• Grade A : Komplit : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik di bawah tingkat lesi
• Grade B : Inkomplit : Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di
bawah tingkat lesi
• Grade C : Inkomplit : Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3
• Grade D : Inkomplit :Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama
dengan 3
• Grade E : Normal: Fungsi motorik dan sensorik normal
Gambar 3 . Kategori pasien cedera medula spinalis berdasarkan tingkat dan derajat defisit
neurologis menurut sistem ASIA.6
Penilaian terhadap gangguan motoric dan sensorik dipergunakan Frankel Score
• Frankel score A : Kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap
• Frankel score B : Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh
• Frankel score C : Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat
menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan)
10
• Frankel score D : Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normal
“gait”)
• Frankel score E : Tidak terdapat gangguan neurologik
Sedangkan lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :
a) Paraplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik karena kerusakan
pada segmen torako-lumbo-sakral.
b) Quadriplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik karena
kerusakan pada segmen servikal
Spesifik level
C1 – C2 Quadriplegia, kemampuan bernapas (-)
C3 – C4 Quadriplegia, fungsi nervus frenikus (-), kemampuan bernapas (-)
C5 – C6 Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan
C6 – C7 Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (+)
C7 – C8 Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-)
T1 – L1 Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi tungkai (-),
fungsi seksual (-)
Di bawah L2 Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi seksual
tergantung radiks yang rusak
Gambar 4 manifestasi klinis dan lokasi spinal injury yang terjadi
11
VI. Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan kehilangan fungsi saraf
sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu, hilangnya reflek pada segment dibawah lesi,
termasuk bulbokavernosus, kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek
tendon dalam. Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion pada
lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa fungsi di bawah lesi,
sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis dapat kembali seperti semula segera
setelah syok spinal teratasi, atau fungsi kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan
atau tahun setelah trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya cedera.
Defisit neurologis yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat digambarkan dari pola
kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga sebaliknya, antara lain:2,6,7
1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi transeksi
medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi. Mekanisme khasnya
adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi diameter kanalis spinalis dan
menghancurkan medula. Konsekuensinya bisa terjadi paraplegia atau quadriplegia
(tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan
sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. Sindroma medula anterior. Gangguan ini akibat kerusakan pada separuh bagian ventral
medula (traktus spinotalamikus dan traktus kortikospinal) dengan kolumna dorsalis yang
masih intak dan sensasi raba (propioseptif), tekan dan posisi masih terjaga, meskipun
terjadi paralisis motorik dan kehilangan persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi) bilateral.
Hal tersebut disebabkan mekanisme herniasi diskus akut atau iskemia dari oklusi arteri
spinal.
b. Brown Squard's syndrome. Lesi terjadi pada medula spinalis secara ekstensif pada salah
satu sisi sehingga menyebabkan kelemahan (paralisis) dan kehilangan kontrol motorik,
perasaan propioseptif ipsilateral serta persepsi nyeri (nosiseptif dan termosepsi)
kontralateral di bawah lesi. Lesi ini biasanya terjadi akibat luka tusuk atau tembak.
12
c. Sindrom medula sentral. Sindroma ini terjadi akibat dari cedera pada sentral medula
spinalis (substansia grisea) servikal seringkali disertai cedera yang konkusif. Cedera
tersebut mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas lebih buruk dibandingkan
ekstremitas bawah disertai parestesi. Namun, sensasi perianal serta motorik dan sensorik
ekstrimitas inferior masih terjaga karena distal kaki dan serabut saraf sensorik dan motorik
sakral sebagian besar terletak di perifer medula servikal. Lesi ini terjadi akibat mekanisme
kompresi sementara dari medula servikal akibat ligamentum flavum yang tertekuk selama
trauma hiperekstensi leher. Sindroma ini muncul pada pasien stenosis servikal.
d. Sindroma konus medularis. Cedera pada regio torakolumbar dapat menyebabkan sel saraf
pada ujung medula spinalis rusak, menjalar ke serabut kortikospinal, dan radiks dorsaliss
lumbosakral disertai disfungsi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron
(LMN).
e. Sindrom kauda ekuina. Sindrom ini disebabkan akibat dislokasi tulang atau ekstrusi diskus
pada regio lumbal dan sakral, dengan radiks dorsalis kompresi lumbosakral dibawah konus
medularis. Pada umumnya terdapat disfungsi bowel dan bladder, parestesi, dan paralisis.
Gambar 5. Pola Cedera medula spinalis.6
VII. Patofisiologi
Trauma pada tulang belakang dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi. Tetapi sewaktu-
waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas, namun penderita menunjukkan
kelainan neurologic yang nyata. Fraktur tulang belakang bias berupa fraktur corpus vertebra
(misanya fraktur kompresi korpus vertebra), fraktur pada lamina, pedikel, dan pada prosesus
transverses. Bersama-sama dengan patahnya tulang belakang, ligamentum longitudinalis posterior
13
dan duramater dapat ikut sobek: bahkan kepingan tulang belakang ini dapat menusuk canalis
vertebralis dan menimbulkan sobekan atau laserasi pada medulla spinalis. Kepingan tulang ini
dapat ula terselip di antara duramater dan kolumna vertebralis dan menimbulkan penekanan atau
kompresi pada medulla spinalis. Arteri dan vena yang melayani medulla spinalis dapat ikut
terputus, misalnya arteria radikularis magna (adam kiwicz) yang jalannya bersama-sama dengan
radiks saraf spinalis thorakal bagian bawah atau lumbal bagian atas. Keadaan ini akan
menimbulkan deficit sensorimotorik pada dermatom dan miotom yang bersangkutan.
Keadaan tersebut dapat pula menimbulkan hematoma ekstrameduler traumatic yang menekan
pada medulla spinalis. Fraktur tulang belakang dapat terjadi di semua tempat di sepanjang kolumna
vertebra tetapi lebih sering terjadi di daerah servikal bagian bawah dan di daerah lumbal bagian
atas.
Pada dislokasi akan tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi tersebut menjadi
sempit, keadaan ini akan menimbulkan penekanan atau kompressi pada medulla spinalis atau
radiks saraf spinalis.
K. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis : paraparese inferior, parahipoestesia inferior, nyeri punggung,
retensi urin, tidak dapat BAB
Diagnosis topis : medulla spinalis thorakolumbal dd radiks neuron bilateral
Diagnosis etiologi : spinal cord injury dd bilateral radiks neuropati
L. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, 3 Februari 2020 pukul 15.30 di bangsal mawar 203.1
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
VAS : 7
Tanda vital
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
14
Suhu : 36.5 oC
Status gizi : kesan overweight
Status Generalis
Kepala : mesocephal, hematoma (-)
Mata : edema palpebra (-), refleks pupil(+/+), isokor (3 mm / 3 mm)
Telinga : secret (-), tinnitus (-), discharge (-)
Hidung : nafas cuping hidung, epistaksis (-), obstruksi (-)
Mulut : sianosis (-), lesi (-)
Leher : simetris, vulnus ekskoriatum (-)
Thoraks : Normochest, simetris, jejas (-)
Pulmo : VBS +/+ normal, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : S1-S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, BU menurun, supel, nyeri tekan 9 regio (-), jejas (-), hipostesia
Genitalia : Dalam batas normal, terpasang DC, hematuri (-)
Ekstremitas atas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-), jejas (+) pada
bahu dekstra
Ekstremitas bawah : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-), jejas (+) pada
medial tarsal sinistra, hipostesia
Status Psikiatrik
Tingkah laku : Normoaktif
Perasaan hati : Normoritmik
Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik
Kecerdasan : Dalam batas normal
Daya ingat : Dalam batas normal
Status Neurologis
Sikap Tubuh : tidak dapat dinilai
Gerakan Abnormal : tidak ada
Cara berjalan : tidak dapat dinilai
15
Pemeriksaan Saraf Kranial
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II. Optikus
Daya penglihatan N N
Pengenalan
warna
N N
Lapang pandang N N
N. III. Okulomotor Ptosis – –
Gerakan mata ke
medial
N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke
bawah
N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya
langsung
+ +
Refleks cahaya
konsensual
+ +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen – –
Gerakan mata ke lat-
bwh
– –
Strabismus
konvergen
– –
N. V. Trigeminus Menggigit – –
Membuka mulut – –
Sensibilitas muka N N
16
Refleks kornea N N
Trismus – –
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke
lateral
N N
Strabismus
konvergen
– –
N. VII. Fasialis Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan
pipi
N N
N. VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara
bisik
+ +
Mendengar bunyi
arloji
+ +
Tes Rinne TDL TDL
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX.
Glosofaringeus
Arkus faring Simetris Simetris
Daya kecap lidah 1/3
post
N
Refleks muntah N
Sengau –
17
Tersedak –
N. X. Vagus Denyut nadi 80 x/menit
Arkus faring Simetris Simetris
Bersuara N
Menelan N
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala sulit dinilai sulit dinilai
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu - -
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII.
Hipoglossus
Sikap lidah N
Artikulasi N
Tremor lidah –
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah –
Fasikulasi lidah –
Pemeriksaan Saraf Motorik
Kanan Kiri
Gerakan Bebas, spontan Bebas, spontan
- -
Kekuatan 555 555
000 000
Tonus + +
+ +
Trofi Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
18
Pemeriksaan Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal
Refleks Patella - -
Refleks Achilles - -
Pemeriksaan Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Bing - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hoffman Tromner - -
Pemeriksaaan Fungsi Sensorik
Kanan
atas
Kiri
atas
Kanan
bawah
Kiri
bawah
Proptopatik
Rasa raba + + - -
Rasa nyeri + + - -
Rasa suhu + + - -
Propioseptik
Rasa gerak
dan sikap
+ + - -
Rasa tekan + + - -
Diskriminatif Diskriminasi + + - -
19
Barognosia + + - -
Stereognosia + + - -
Topestesia + + - -
Grafestesia + + - -
Pemeriksaan ASIA Score
Ditemukan bahwa fungsi motorik ekstremitas atas (C5-T1) kanan dan kiri pasien baik dengan
skor 5, sediangkan fungsi motoric ekstremitas bawah (L2-S1) mengalami paralisis total. Fungsi
sensorik pasien baik dengan skor 2 hingga dermatome T5-T6, selebihnya pasien tidak dapat
merasakan apa-apa baik dengan sentuhan maupun dengan rangsang nyeri (pin prick).
Pemeriksaan Kognitif
Secara umum tidak terdapat gangguan fungsi kognitif pada pasien. Pasien dapat dengan
mudah menyebutkan tanggal dan hari.
Pemeriksaan Fungsi luhur dan vegetative
Fungsi luhur : baik
Fungsi vegetatif
Miksi : retensi urin, terpasang DC, warna urin kuning keruh
Defekasi : tidak dapat BAB
M. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (03/02/2020)
Pemeriksaan Hasil
Nilai rujukan Satuan
Darah Rutin
Hemoglobin
14.3
13,2 – 17,3
g/dl
Leukosit
13.5 (H)
3,8 – 10,6
Ribu
Eritrosit
4.53
4,4 – 5,9
20
Juta
Hematokrit 40.5
40 - 52
%
Trombosit 198
150 - 400 Ribu
MCV 89.3
82 – 98 fL
MCH 31.5
27 – 32 Pg
MCHC 35.3
32 – 37 g/dl
RDW 11.9
10 – 16 %
MPV 7.37
7 – 11 mikro m3
Limfosit 1.71
1,0 - 4,5 103/mikro m3
Monosit 0.378
0,2 - 1,0 103/mikro m3
Eusinofil 0,003 (L)
0,04 – 0,8 103/mikro m3
KIMIA KLINIK
SGOT 42 0-50 U/L
SGPT 29 0-50 IU/L
UREUM 83 (H) 10-50 Mg/dL
Kreatinin 4.07 (H) 0,62-1,1 Mg/dL
HDL
21
HDL DIRECT 43 28-62 Mg/dL
LDL+CHOLESTEROL 100 <150 Mg/dL
CHOLESTEROL 169 <200 Mg/dL
TRIGLISERIDA 130 70-140 Mg/dL
GLUKOSA PUASA 178 (H) 74 – 106 Mg/dL
GLUKOSA 2 JAM PP 183 (H) <120 Mg/dL
ASAM URAT 11.67 (H) 2 - 7 Mg/dL
2. Kimia Klinik (04/02/2020)
GDS : 158 (H)
3. Kimia Klinik (05/02/2020)
Na : 143
K : 3.8
Cl : 106
GDS : 147 (H)
4. Rontgen Vertebrae Thoracolumbal AP/Lateral (02/02/2020)
Kesan:
- Listesis VTh 5 disertai penyempitan diskus
intervertebralis VTh 5-6
- Spondilosis thoracalis
- Tak tampak kompresi
22
5. Konsultasi
Rehabilitasi Medik : SCI thoracolumbar → korset thoracolumbar
Penyakit Dalam : Acute kidney injury
N. DISKUSI II
Adanya parestesia pada anggota gerak bawah dapat disebabkan karena adanya penyempitan
diskus akibat spondolosis atau proses inflamasi post trauma yang menyebabkan terhimpitnya
pembuluh darah dan saraf yang menginervasi bagian ekstremitas bawah. Dalam kasus ini,
ditemukan penyempitan diskus Listesis VTh 5 disertai penyempitan diskus intervertebralis VTh
5-6 dan spondylosis torakalis. Adanya paraparese atau penurunan sensasi pada ekstremitas
superior dan inferior dapat timbul akibat adanya trauma pada vertebrae torakalis. Dalam kasus ini,
lesi berada setinggi dermatome T4-5 yang ditandai oleh menurunnya sensibilitas setinggi lesi
tersebut. Selain itu ditemukan hilangnya kemampuan motorik di bawah tingkat lesi.
Dalam kasus ini tidak didapatkan refleks pada patella dan achilles, serta tidak hilangnya fungsi
sensorik pada pemeriksaan sensorik ekstremitas bawah kanan dan kiri. Selain itu tidak didapatkan
refleks patologis pada pasien dalam kasus ini. Berdasarkan pemeriksaan tersebut kemungkinan
pasien mengalami spinal shock fase flaccid pada cedera medulla spinalis komplit. Cedera medulla
spinalis komplit ditandai dengan hilangnya fungsi sensorik dan motoric secara keseluruhan di
bawah lesi setelah destruksi akut atau kronik, kompresi atau iskemia dari medulla spinalis. Spinal
shock dapat muncul pada cedera medulla spinalis komplit yaitu hilang atau menurunnya fungsi
fisiologis medulla spinalis secara akut, ditandai dengan paralisis arefleksia flaccid dibawah lesi
diserta adanya gejala otonom. Fase flaccid ini dapat bertahan selama beberapa hari hingga
beberapa minggu namun cedera medulla spinalis memungkinkan untuk menetap dan menimbulkan
adanya paresis spastik, hiperefleksia dan penurunan atau hilangnya fungsi sensorik. Fase flaccid
spinal shock memiliki gejala berupa paraplegia atau tetraplegia, analgesia dan anestesia, arefleksia,
gangguan bernapas bila melibatkan cervical, hilangnya kontrol saluran kemih dan pencernaan.
Dalam kasus ini pasien mengalami retensi urin dan tidak dapat BAB.
Serabut saraf eferen simpatis yang menuju ke kandung kemih dan uretra berasal dari the
intermediolateral grey column dari segmen T10-L2 ke ganglia paravertebral simpatis lumbal
serabut post ganglion di nervus hipogastrikus untuk bersinaps di reseptor alfa dan beta adrenergic
23
pada kandung kemih dan uretra. Neurotransmitter postganglion utama untuk sistem simpatis
adalah norepinefrin.
Eferen simpatis menstimulasi fasilitasi penyimpanan kandung kemih. Reseptor beta
adrenergic mempersarafi fundus kandung kemih. Stimulai reseptor ini menyebabkan relaksasi otot
polos sehingga dinding kandung kemih berelaksasi. Reseptor alfa adrenergic mempersarafi
sfingter interna dan uretra posterior. Stimulasi pada reseptor ini menyebabkan kontraksi otot polos
pada sfingter interna dan uretra posterior, meningkatkan resistensi saluran keluar dari kandung
kemih dan uretra posterior.
Eferen parasimpatik (motorik) berasal dari medulla spinalis di S2-S4 ke nervus pelvikus dan
memberikan inervasi ke otot detrusor kandung kemih. Reseptor parasimpatik kandung kemih
memiliki neurotransmitter postganglion berupa asetilkolin. Reseptor ini terdistribusi di seluruh
kandung kemih dan berperan dalam kontraksi otot detrusor kandung kemih. Serabut saraf somatic
berasal dari nucleus Onuf yang berada di kornu anterior medulla spinalis S2-S4 yang dibawa oleh
nervus pudendus dan menginervasi otot skeletal sfingter uretra eksterna dan otot-otot dasar
panggul.
Perintah dari korteks serebri secara disadari menyebabkan terbukanya sfingter uretra eksterna
pada saat berkemih. Sistem aferen (sensoris) berasal dari otot detrusor, sfingter uretra dan anal
eksterna, perineum dan genitalia, melalui n.pelvikus dan n.pudendus ke conus medullaris; dan
melalui n.hipogastrikus ke medula spinalis thoracolumbal.Aferen ini terdiri atasdua tipe: A-delta
(small myelinatedA-delta) dan serabut C (unmyelinated C fibers). Serabut A-delta berespon pada
distensi kandung kemih dan esensial untuk berkemih normal. Serabut C atau silent C-fiberstidak
berespon terhadap distensi kandung kemih dan tidak penting untuk berkemih normal. The silent C
fibersmemperlihatkan firing spontan ketika diaktifkan secara kimia atau iritasi temperatur dingin
pada dinding kandung kemih. Serabut C berespon terhadap distensi dan stimulasi kontraksi
kandung kemih involunter pada hewan dengan CMS suprasakral.
Fasilitasi dan inhibisi berkemih berada di bawah 3 pusat utama yaitu pusat berkemih sakral
(the sacral micturition center), pusat berkemih pons (the pontine micturition center), dan korteks
serebral. Pusat berkemih sakral pada S2-S4 merupakan pusat refleks dimana impuls eferen
parasimpatikke kandung kemih menyebabkan kontraksi kandung kemih dan impuls aferen ke
sacral micturition centermenyediakan umpan balik terhadap penuhnya kandung kemih. The
pontine micturition centerterutama bertanggung jawab terhadap koordinasi relaksasi sfingter
24
ketika kandung kemih berkontraksi. CMS suprasakral menyebabkan gangguan sinyal dari pontine
micturition center, sehingga terjadi dissinergidetrusor sfingter. Efek korteks serebral menginhibisi
sacral micturition center. Karena CMS suprasakral juga mengganggu impuls inhibisi dari korteks
serebral, sehingga CMS suprasakral seringkali memiliki kapasitas kandung kemih yang kecil
dengan kontraksi kandung kemih involunter. Bila terjadi kerusakan pada saraf-saraf tersebut maka
akan terjadi inkontinensia urin (kencing keluar terus-menerus tanpa disadari) dan retensi
urin(kencing tertahan). Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako lumbar
dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot
dan kontraksi spinter interna.
O. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis klinik : paraparese inferior, parahipoestesia inferior, nyeri punggung,
retensi urin, tidak dapat BAB
Diagnosis topik : Medulla spinalis setinggi dermatom Th V
Diagnosis etiologi : Cedera medulla spinalis komplit dd spinal shock fase flaccid
dengan acute kidney injury
P. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Farmakologis
• IGD
1. Infus Asering 20 tpm
2. Inj metilprednisolon 4x125 mg
3. Inj mecobalamin 1x1
4. Inj Ketorolac 2x1
• Bangsal
1. Inf Asering 20 tpm
2. Inj metilprednisolon 2x125
3. Inj Mecobalamin 1x1
4. Inj Ketorolac 2x1
5. Inj Piracetam 2x3
6. Inj Ranitidin 2x1
25
7. PO tramadol 2x1
8. Sukralfat syr 2x1
Penatalaksanaan Non Farmakologis
• Edukasi
o Menjelaskan risiko yang mungkin dapat terjadi pada keadaan pasien
o Menjelaskan indikasi, fungsi, manfaat, dan efek samping dari terapi yang
diberikan
• Bed rest
Q. PROGNOSIS
• Death : dubia ad bonam
• Disease : dubia ad malam
• Disability : dubia ad malam
• Dissatisfaction : dubia ad malam
• Discomfort : dubia ad malam
R. DISKUSI III
Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana non medikamentosa dan medikamentosa.
Golden hours pada pengobatan cedera medula spinalis dengan pemberian kortikosteriod pada
kurang dari 3 jam pertama setelah trauma dapat mengurangkan pemburukan gejala pada pasien.
Sehingga penanganan yang melewati dari golden hours memiliki prognosis kedepannya yang
buruk, pada pasien ini tetap diberikan kortikosteroid dengan tujuan prognosis tidak menjadi lebih
buruk dari sebelumnya.
Tatalaksana nonmedikamentosa meliputi tirah baring, edukasi dan rehabilitasi medik.
Pemberian medikamentosa pada pasien dengan cedera medula spinalis
Asering
Infus asering diindikasikan untuk perawatan darah dan kehilangan cairan, hipokalsemia,
kekurangan kalium, ketidakseimbangan elektrolit, inkonsistensi pH, natrium yang rendah dalam
darah dan kondisi lainnya
26
Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah suatu glukokortikoid alamiah dan diabsorpsi cepat di saluran
cerna. Metilprednisolon bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang
responsive. Ikatan steroid reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang kemudian mempengaruhi
sintesis berbagai protein. Beberapa efek yang timbul adalah berkurangnya produksi prostaglandin
dan leukotrein, berkurangnya degranulasi sel mast, berkurangnya sintesis kolagen. Steroid juga
berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema vasogenik
dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisi
dan menghambat respon radang. Studi NACIS II (The National Acute Spinal Cored Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/ kg BB secara bolus IV selama 15 menit dilanjutkan 5,4
mg/ kg BB/ jam selama 23 jam. Selanjutnya diberikan 2x125 mg selama 48 jam. Hal ini sebagai
pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi
metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme
kerusakan sekunder.
Meticobalamin
Mecobalamin merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan
dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog
vitamin B12 lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein
dan lemak.Mecobalamin/methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan
lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat
dalam sintesis timidin pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada
penelitian lain ditemukan mecobalamin mempercepat sintesis lesitin, suatu komponen utama dari
selubung mielin.
Ketorolac
Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac
adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac
selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik
Ranitidin
Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Pada pemberian
ranitidine, sekresi asam lambung dihambat. Ranitidine juga berfungsi sebagai gastroprotektor dan
mencegah efek samping dan interaksi dengan obat lain
27
Tramadol
Tramadol adalah analgesic kuat yang berikatan dengan reseptor opioid tertentu dan
menginhibisi reuptake reabsorpsi neurotransmitter norepinefrin dan serotonin. Tramadol mengikat
secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga terjadi blockade sensasi nyeri
dan respon terhadap nyeri
Piracetam
Mekanisme kerja piracetam belum diketahui dengan pasti. Para peneliti memperkirakan
kerja piracetam melindungi pasien terhadap hipoksia. Beberapa penelitian penelitian
memperlihatkan bahwa piracetam melindungi otak melalui efek neuronal dan hemodinamik.
Sediaan injeksi diindikasikan untuk pengobatan infark serebral.sedangkan sediaan oral
diindikasikan untuk gejala involusi yang berhubungan dengan usia lanjut, alkoholisme kronik
dan adiksi; dan gejala pasca trauma.
S. PLANNING
- Elektromiografi
- MRI
T. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
Senin, 3/02/2020 Tangan dapat
diangkat, kaki sulit
diangkat, belum
bisa berjalan, nyeri
punggung, BAK
dengan DC, belum
dapat BAB
Ku: Lemah
Kesadaran: CM
GCS : E4 V5 M6
TD: 130/70
N: 98, RR: 20
S: 36.3
motorik
5 5
Paraplegia inferior
dd spinal cord
injury setinggi T4-
T5
Infus Asering 20 tpm
Inj metilprednisolone 4x125
Inj mecobalamine 1x1
Inj ketorolac 2x30
28
0 0
Sensorik :
+ +
- -
Selasa 4/02/2020 Tangan dapat
diangkat, kaki sulit
diangkat, belum
bisa berjalan, nyeri
punggung, BAK
dengan DC, belum
dapat BAB
Ku: Lemah
Kesadaran: CM
GCS : E4 V5 M6
TD: 130/70
N: 87, RR: 20
S: 36.5
motorik
5 5
0 0
Sensorik :
+ +
- -
-
Spinal cord injury
dd fase spinal shock
(flacid)
Infus Asering 20 tpm
Inj metilprednisolone 2x125
Inj mecobalamine 1x1
Inj raditidin 2x1
Inj piracetam 2x3
29
Rabu 5/02/2020 Tangan dapat
diangkat, kaki sulit
diangkat, belum
bisa berjalan, nyeri
punggung, BAK
dengan DC, belum
dapat BAB
Ku: Lemah
Kesadaran: CM
GCS : E4 V5 M6
TD: 130/70
N: 90, RR: 20
S: 36,5
motorik
5 5
0 0
Sensorik :
+ +
- -
Spinal cord injury
dd fase spinal shock
(flacid) H IV
Infus Asering 20 tpm
Inj metilprednisolone 2x125
Inj mecobalamine 1x1
Inj omeprazol 1x1 amp
PO Tramadol 2x1
PO Sukralfat Syr 2x1
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Hurlbert, RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate Standart
of Care. J Neurosurg (spine). 2000;93 : 1-7
2. Sidharta P, Mardjono M. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
3. Adams RD, Victor M. 2001. Disease os Spinal Cord in Principles of Neurology, 7th ed.
New york: Mc Graw Hill
4. Alpert, MJ. 2001. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal
5. Basuki A, Dian S. 2009. Kegawatdaruratan Neurologi. Bagian Neurologi Universitas
Padjajaran.
6. Dawodu ST, Bechtel KA, Beeson MS, Humphreys SC, Kellam JF, et all. Cauda equina
and conus medullaris syndromes. March 2013. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#aw2aab6b2b4.
7. Young W. Spinal Cord Injury Level And Classification.Available from
:http://www.neurosurgery.ufl.edu/Patients/fracture.shtml
8. Qureshi I, Endres JR. Citicoline: A Novel Therapeutic Agent with Neuroprotective,
Neuromodulatory, and Neuroregenerative Properties. Nat Med J. 2010.
9. Tortora, Gerard J., and Sandra Reynolds Grabowski. 1996. Principles of anatomy and
physiology. New York, NY: HarperCollins College.
10. Hall, John E., and Arthur C. Guyton. 2011. Guyton and Hall textbook of medical
physiology. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier.
http://www.clinicalkey.com/dura/browse/bookChapter/3-s2.0-C20090602506.
31
PR LAPORAN KASUS
1. Retensi urin pada Spinal cord injury
Pada saat vesika urinaria penuh, otot detrusor akan meregang dan nervus sensorik
pelvikus yang berada di otot detrusor akan memberikan sinyal ke regio sakralis S2-S3 di
medulla spinalis dan menuju pusat miksi di pons. Neuron dari pons mengirim sinyal ke
nervus thoracolumbar untuk inhibisi nervus hipogastrikus sehingga tidak terjadi relaksasi
otot detrusor dan merelaksasi otot sfingter internal. Neuron dari pons juga mengirim sinyal
ke regio sacral yang menstimulasi nervus pelvikus sehingga terjadi kontraksi otot detrusor
serta menginhibisi nervus pudendal sehingga tidak terjadi kontraksi sfingter eksternal
sehingga urine dapat mengalir keluar.
Pada spinal cord injury,
refleks miksi terganggu dan
dapat terjadi overflow
incontinence. Bila spinal cord
injury terjadi di atas regio sacral,
refleks seluruh bagian di bawah
lesi tertekan yaitu munculnya
spinal shock yang dapat
berlangsung dalam hitungan jam
hingga minggu. Saat refleks
miksi ditekan, terjadi
hiporefleksia detrusor dan terjadi overflow incontinence. Saat shock mereda, refleks miksi
kembali karena regio sakralis yang intak. Namun karena terdapat lesi di regio
thorakolumbal, sinyal tidak dapat dikirim dan diterima oleh pons sehingga tidak terdapat
jalur inhibitorik dari otak dan menyebabkan hiperefleksia detrusor. Hal ini menyebabkan
volume urin yang sedikit dapat menstimulasi refleks miksi sehingga terjadi urge
incontinence.
32
2. Fase flaccid pada spinal shock
Spinal shock merupakan hilangnya atau berkurangnya fungsi fisiologis medulla
spinalis secara akut (hilangnya seluruh fungsi sensorimotor dibawah lesi) yang
berlangsung selama beberapa jam hingga minggu setelah terjadi spinal cord injury.
Manifestasi klinis spinal shock berupa hilangnya tonus usus, kandung kemih serta vascular
perifer yang menghasilkan distensi kandung kemih, ileus paralitik, paralisis flaccid dan
hipotensi.
Setelah 1 periode yang dapat terjadi dalam hitungan jam hingga bulan, namun
biasanya 1-6 minggu atau hingga arkus refleks di bawah tingkat lesi mulai berfungsi lagi,
eksitabilitas pada neuron spinal berangsur-angsur muncul kembali dan periode spinal
shock berakhir. Indikasi awalnya berupa kembalinya refleks perianal. Refleks
bulbocavernosus kembali bila muncul sedikit kontraksi otot. Anal flex kembali bila
ditemukan kerutan sfingter anal setelah pemeriksaan digital rektum.
Fase-fase tersebut dijabarkan sebgai berikut :
a. fase 1 : arefleksia / hiporefleksia (hari ke 0-1) Ditandai dengan hilangnya atau
melemahnya semua refleks dibawah tingkat lesi. Terjadi jejas pada medulla spinalis
yang mempengaruhi neuron yang berfungsi sebagi lengkung refleks sehingga input
neural dari otak menjadi hiperpolarisasi dan tidak responsif
b. fase 2 : munculnya refleks inisial (hari ke 1-3) Beberapa refleks kembali, refleks
yang kembali paling awal adalah refleks bublbocavernosus. Hal ini terjadi karena
terjadi hipersensitivitas otot refleks karena terjadi denervasi. Muncul
neurotransmitter yang lebih banyak dan menyebabkan lebih mudah distimulasi.
c. fase 3 : hiperrefleks awal (hari ke 4 – bulan ke 1) Ditandai dengan munculnya
hiperrefleksia. Fase 3 dan fase 4 memiliki mekanisme dasar yang sama, yaitu
neuron dibawah lesi berusaha membangun kembali sinaps-sinapsnya, maka dari itu
muncul hiperrefleks.
d. fase 4 : spastisitas / hiperrefleks (bulan ke 1-12) ditandai dengan spastisitas /
hiperrefleks. Regenesasi sinaps dibawah lesi ini berlangsung dalam jangka waktu
minggu sampai ber bulan bulan. Pembentukan kembali sinaps dapat berasal dari
interneuron maupun dari afferen segmental.