BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang
dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan
pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan
budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat terus
menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.
Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah
pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga yang
bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang
dihadapinya. Konsep pendidikan tersebut semakin terasa ketika seseorang harus masuk
di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa
yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.
Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau perbaikan
pendidikan formal (sekolah) untuk mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan
perlu terus menerus dilakukan, diselaraskan dengan perkembangan kebutuhan dunia
usaha, perkembangan dunia kerja serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini juga tidak terlepas dalam pendidikan dan pembelajaran matematika di sekolah.
Didalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai pembaharuan
kurikulum berbasis kompetensi dituangkan tujuan pembelajaran matematika adalah :
1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, 2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta coba-coba, 3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan (Puskur Balitbang Depdiknas : 2004 : 18).
Berdasarkan standar kompetensi yang termuat dalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP), aspek pemecahan masalah merupakan kemampuan yang harus
1
dimiliki peserta didik sebagai standar yang harus dikembangkan. Pembelajaran di
sekolah harus dapat menyiapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan komunikasi
matematis sebagai bekal untuk menghadapi tantangan perkembangan dan perubahan
zaman yang semakin pesat.
Seperti yang dipaparkan The National Council of Teachers of Mathematics
(NCTM), yaitu Princples and Standards for School Mathematics (dalam Zainab, 2011),
semua siswa harus mendapatkan kesempatan untuk mempelajari, mengapresiasi, dan
menerapkan skill-skill, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip matematika baik didalam
ataupun diluar sekolah. Standar NCTM sebagai standar utama dalam pembelajaran
matematika yaitu komunikasi matematis (problem solving), kemampuan komunikasi
(communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran
(reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Kelima standar tersebut
mempunyai peranan penting dalam kurikulum matematika.
Menurut Van De Walle (dalam Zainab, 2011), belajar berkomunikasi dalam
matematika membantu perkembangan interaksi dan pengungkapan ide-ide di dalam
kelas karena siswa belajar dalam suasana yang aktif. Ketika siswa berpikir, menanggapi,
membahas, menulis, membaca, mendengarkan, dan menanyakan tentang konsep-konsep
matematika, mereka menuai manfaat ganda, mereka berkomunikasi untuk belajar
matematika, dan mereka belajar untuk berkomunikasi matematik.
Secara umum, matematika berfokus pada representasi dan komunikasi dalam
berbagai gagasan, ide, dan hubungan yang bersifat numerik, spesial, serta berkenaan
dengan data. Ada banyak aktivitas pembelajaran yang mendukung tema ini, seperti
siswa yang boleh menginterpretasikan ide, gagasan, ataupun pikiran-pikiran yang
konseptual yang mereka miliki sendiri ke dalam bentuk simbolik dan dapat diubah
ke dalam gambaran verbal dari situasi tersebut. Aktivitas lain bisa dengan menyelidiki
suatu masalah, menuliskan masalah, memberi keterangan (notasi) ataupun dugaan-
dugaan (hipotesis) untuk menjelaskan observasi-observasi dalam matematika. Peranan
komunikasi dalam matematika sangat besar, karena saat para siswa mengkomunikasikan
ide, gagasan ataupun konsep matematika, mereka belajar mengklarifikasi, memperhalus
dan menyatukan pemikiran.
2
Komunikasi matematika (Sinau, 2010), adalah kemampuan menyatakan atau
menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, tabel, dan grafik. Komunikasi
matematika merepleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari daya
matematik. Melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai
perspektif, cara berfikir siswa dapat dipertajam, pertumbuhan pemahaman dapat diukur,
pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir, pengetahuan matematika dan
pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan, dan komunikasi matematika dapat
dibentuk. Sesuai dengan tingkatan atau jenjang pendidikan maka tingkat kemampuan
komunikasi matematika menjadi beragam. Komunikasi matematik sangat penting
karena matematika tidak hanya menjadi alat berfikir yang membantu siswa untuk
mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan menarik kesimpulan tetapi juga
sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara jelas, tepat dan
singkat.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika
dalam aspek komunikasi matematis siswa masih rendah. Trianto (2009) menyebutkan di
lain pihak secara empiris berdasarkan analisis penelitian terhadap rendahnya hasil
belajar peserta didik yang disebabkan dominannya proses pembelajaran konvensional.
Pola pengajaran terlalu banyak didominasi oleh guru, khususnya dalam transformasi
pengetahuan kepada anak didik. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak
tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memposisikan diri sebagai sumber yang
mempunyai pengetahuan. Selain itu hambatan maupun kekurangan yang sering
didapatkan diantaranya kurang tepatnya guru dalam memilih strategi pembelajaran
dalam menyampaikan materi, dimana guru sering menggunakan strategi yang sama dan
tidak bervariasi. Hal ini mengakibatkan siswa merasa jenuh dan acuh pada pelajaran
matematika dan keinginannya untuk lebih mendalami matematika terbuang jauh
sehingga nantinya hasil belajar matematika siswa rendah.
Selanjutnya, Sanjaya (2008: 13) mengatakan bahwa salah satu masalah yang
dihadapi dunia pendidikan dalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
Proses pembelajaran di kelas masih diarahkan pada kemampuan anak untuk menghafal
informasi, otak anak dipaksa untuk memahami informasi yang diingatnya untuk
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.
3
Sehingga dalam proses hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru
harus melibatkan siswa secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan
untuk mengelola kelas yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran yang efektif, disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran,
karakteristik siswa, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah.
Namun ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang
berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat
jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang.
Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan memahami apa
yang sedang diajarkan dan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang
berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga,
warga negara, siswa dan tenaga kerja. Sedangkan Permendiknas 22 Tahun (2006: 345)
mengatakan bahwa dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya
dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika.
Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan
siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam pembelajaran kontekstual terdapat pembelajaran berbasis masalah.
Dimana dalam pembelajaran berbasis masalah tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
4
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang
baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan
guru hanya berperan sebagai fasilitator. Selain itu pembelajaran berbasis masalah juga
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
mandiri dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
dna konsep yang esensi dari materi pelajaran. Masalah kontekstual yang diberikan
bertujuan untuk memotivasi siswa, membangkitkan gairah belajar siswa, belajar
terfokus pada penyelesaian masalah sehingga siswa tertarik untuk belajar, menemukan
konsep yang sesuai dengan materi pelajaran, dan dengan adanya interaksi berbagi ilmu
antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungan siswa,
selain itu siswa juga diajak untuk aktif dalam pembelajaran.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang
diharapkan mampu melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran matematika.
Penelitian yang dilakukan dengan judul “Peningkatan Kemampuan Komunikasi
matematis Siswa MAN 1 Medan melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi identifikasi masalah pada
penelitian ini sebagai berikut:
1. Kemampuan komunikasi matematis siswa belum sesuai dengan yang
diharapkan.
2. Pembelajaran yang diterapkan dikelas masih berpusat pada guru sehingga siswa
kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran.
3. Guru kurang mampu mengaktifkan peran siswa dalam pembelajaran
4. Pembelajaran berbasis masalah jarang diterapkan guru di kelas.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas, maka perlu
adanya pembatasan masalah agar penelitian lebih terfokus pada permasalahan yang
akan diteliti. Peneliti hanya meneliti kemampuan komunikasi matematis siswa dengan
pembelajaran berbasis masalah. Sub materi yang diajarkan adalah menyelesaikan model
matematika pada mater peluang. Tempat penelitian adalah MAN 1 Medan.
5
1.4 Rumusan Masalah
Dari lakar belakang, identifikasi dan batasan masalah diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa dapat meningkat melalui
pembelajaran berbasis masalah?
2. Bagaimana proses jawaban komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan
menggunakan pembelajaran berbasis masalah?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, tujuan penelitian ini
adalah untuk:
1. Mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa dapat meningkat
melalui model pembelajaran berbasis masalah.
2. Mengetahui proses jawaban komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan
menggunakan pembelajaran berbasis masalah.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi siswa, untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
2. Bagi guru, dapat digunakan sebagai bahan masukan tentang suatu alternatif
pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa untuk meningkatkan
komunikasi matematis dalam model pembelajaran berbasis masalah.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
dan bandingan dalam pengembangan penelitian selanjutnya terkait penerapan
paradigma baru pembelajaran disekolah.
4. Bagi sekolah dan lembaga pendidikan, hasil penelitian ini dapat digunakan
dalam mengambil kebijakan penerapan inovasi pembelajaran sebagai upaya
peningkatan kualitas pendidikan disekolah dan merupakan tambahan wawasan
yang dapat diterapkan pada pembelajaran matematika sehari-hari dikelas.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.1. Komunikasi Matematik
Komunikasi berasal dari kata “Communicare” (bahasa latin) yang artinya
memberitahukan. Sedangkan menurut bahasa inggris disebut Communication yang
artinya pertukaran informasi konsep, ide, perasaan antara dua atau lebih. Komunikasi
secara umum dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan suatu pesan dari
pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat, atau perilaku baik
secara langsung maupun tidak langsung. Abdulhak (dalam Ansari, 2009) memaknai
komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima
pesan melalui saluran tertentu dan untuk tujuan tertentu.
Menurut Artmanda W. (dalam Zainab, 2011), dalam kamus lengkap Bahasa
Indonesia dan Kamus bahasa Indonesia online secara terminology, komunikasi berarti
pengiriman dan penerimaan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami, hubungan, kontak. Komunikasi adalah cara untuk berbagi
(sharing) ide, gagasan dan mengklarifikasi pemahaman kepada sesama. Dalam ilmu
komunikasi dikenal tiga bentuk komunikasi yaitu komunikasi linier yang sering disebut
juga sebagai komunikasi satu arah (one-way communication), komunikasi relation dan
interaktif yang disebut dengan “Model Cybernetics”, dan komunikasi konvergen yang
bercirikan multi arah.
Terdapat perbedaan konsep antara ketiga bentuk komunikasi tersebut.
Komunikasi linier mengandung arti bahwa hubungan yang terjadi hanya satu arah,
karena penerima pesan hanya mendengar pesan dari pemberi pesan. Sementara itu pada
komunikasi relational terjadi interaksi antara pemberi dan penerima pesan, namun
sangat bergantung pada pengalaman. Pengalaman akan menentukan, apakah pesan yang
dikirimkan diterima oleh penerima sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pemberi
pesan. Apabila pengalaman atau pemahaman penerima pesan tidak mampu menjangkau
isi pesan, maka akan mempengaruhi hasil pesan yang diinginkan. Komunikasi
konvergen adalah komunikasi yang berlangsung secara multi arah, diantara penerima
menuju suatu fokus atau minat yang dipahami bersama yang berlangsung secara
dinamis dan berkembang kearah pemahaman kolektif dan berkesinambungan.
7
Komunikasi konvergen dalam pembelajaran ditujukan untuk meningkatkan
kualitas dan efektifitas pembelajaran. Perbedaannya dengan bentuk komunikasi
sebelumnya adalah pada komunikasi relasional, apabila siswa mendapat kesulitan
belajar, maka itu dikembalikan kepada guru. Tetapi pada pembelajaran yang
memanfaatkan konvergen, jika ada kesulitan atau masalah maka permasalahan
dipecahkan secara bersama-sama dilingkungan peserta belajar, sehingga melahirkan
saling pengertian diantara mereka dan permasalahan diharapkan dapat terselesaikan.
Kusumah (dalam Zainab, 2011),menyatakan bahwa komunikasi merupakan
bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Pentingnya komunikasi
matematik juga dikemukakan oleh Peressini dan Bassett (dalam Zainab, 2011), bahwa
tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan
fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Ini
berarti, komunikasi dapat membantu siswa dalam memahami dan mengeksplorasi
matematika ke dalam konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Selain itu,
Lindquist (dalam Zainab, 2011), mengemukakan jika kita sepakat bahwa matematika itu
merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam
komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi matematik merupakan esensi
dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Dari kedua pendapat ini, bahwa
komunikasi matematik merupakan alat bantu berupa bahasa yang sangat diperlukan dan
penting dalam proses pembelajaran, karena tanpa komunikasi matematik maka proses
pembelajaran tidak dapat terjadi.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan komunikasi matematik adalah
proses penyampaian suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mereka
mempunyai makna yang sama terhadap informasi tersebut. Melalui komunikasi ide
dapat dicerminkan, diperbaiki, didiskusikan, dan dikembangkan.
2.1.2. Kemampuan Komunikasi Matematik
Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan seorang guru kepada
siswa maupun siswa mendapatkannya sendiri melalui bacaan, maka saat itu sedang
terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon
yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi tadi.
Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah
8
istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang
sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu kemampuan komunikasi dalam matematika
menjadi tuntutan khusus. Komunikasi dalam matematika juga berkaitan dengan
kemampuan dan keterampilan siswa dalam berkomunikasi.
Menurut Hiebert (dalam Sinau, 2010), setiap kali kita mengkomunikasikan
gagasan-gagasan matematika, kita harus menyajikan gagasan tersebut dengan suatu cara
tertentu. Ini merupakan hal yang sangat penting, sebab bila tidak demikian, komunikasi
tersebut tidak akan berlangsung efektif. Gagasan tersebut harus disesuaikan dengan
kemampuan orang yang kita ajak berkomunikasi. Kita harus mampu menyesuaikan
dengan sistem representasi yang mampu mereka gunakan. Tanpa itu, komunikasi hanya
akan berlangsung dari satu arah dan tidak mencapai sasaran.
Sulivan dan Mousley (dalam Marzuki, 2012) mengemukakan bahwa
kemampuan komunikasi matematik tidak hanya sekedar menyatakan ide tertulis tetapi
lebih luas lagi, yaitu merupakan bagian kemampuan siswa dalam hal menyatakan,
menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama. Selanjutnya,
Sumarno (dalam Marzuki, 2012) merincikan kemampuan yang tergolong pada
komunikasi matematik diantaranya adalah: menyatakan suatu situasi, gambar, diagram,
atau benda nyata kedalam bahasa, simbol, ide, atau model matematik, menjelaskan ide,
situasi dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, mendengarkan, berdiskusi, dan
menulis tentang matematika, membaca dengan pemahaman suatu representasi
matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan
generalisasi, mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam
bahasa sendiri. Selanjutnya Greenes dan Schulman (dalam Anshari, 2009), mengatakan
bahwa :
“Kemampuan komunikasi matematika dapat terjadi ketika siswa (1) menyatakan ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskan secara visual dalam tipe yang berbeda, (2)memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual, (3)mengkonstruk, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya”.
Oleh karenanya komunikasi matematika termasuk komunikasi yang bersifat
konvergen karena mengandung unsur kooperatif (cooperative learning). Ansari (2009)
menggambarkan pengertian komunikasi matematika secara garis besar terdiri dari
9
komunikasi matematik lisan dan tulisan. Komunikasi matematik lisan dapat diartikan
sebagai suatu peristiwa saling interaksi (dialog) yang terjadi dalam suatu lingkungan
kelas atau kelompok kecil, dan terjadi pengalihan pesan berisi tentang materi matematik
yang sedang dipelajari baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa itu sendiri.
Sedangkan komunkasi matematik tulisan adalah kemampuan atau keterampilan siswa
dalam menggunakan kosa katanya, notasi, dan struktur matematik baik dalam bentuk
penalaran, koneksi, maupun problem solving. Jika dicermati pengertian ini, maka
komunikasi dalam matematika dapat diarikan sebagai suatu peristiwa saling
berhubungan atau dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi
pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang
dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di lingkungan kelas
adalah guru dan siswa. Sedangkan cara pengalihan pesan dapat dilakukan secara tertulis
maupun lisan.
Kemampuan komunikasi matematik dapat diartikan sebagai suatu kemampuan
siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau
saling hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan.
Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya
berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak yang terlibat
dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah pendidik dan siswa. Cara pengalihan
pesannya dapat secara lisan maupun tertulis.
Komunikasi merupakan cara berbagi gagasan dan mengklasifikasikan
pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan menjadi objek-objek refleksi, penghalusan,
diskusi, dan perombakan. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan
kelenggangan untuk gagasan-gagasan serta juga menjadikan gagasan-gagasan itu
diketahui publik. Komunikasi matematik merefleksikan pemahaman matematik dan
merupakan bagian dari daya matematik. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-
akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka
dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk
memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi
ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk
merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri.
10
Indikator komunikasi matematik menurut NCTM (dalam Fachrurazi, 2011)
dapat dilihat dari: (1)Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematik melalui lisan,
tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
(2)Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematik
baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3)Kemampuan dalam
menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk
menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Menurut Sumarno (dalam Elfina, 2013), komunikasi matematis merupakan
kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk
berkomunikasi dalam bentuk :
a. Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika
b. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, grafik,
dan aljabar
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol matematika
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika
e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis
f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi
g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Salah satu model komunikasi matematik yang dikembangkan adalah
komunikasi model Cai, Lane, dan Jacobsin (dalam Fachrurazi,2011) meliputi: (1)
Menulis matematik. Pada kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat menuliskan
penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematik, masuk akal, jelas serta
tersusun secara logis dan sistematis. (2)Menggambar secara matematik. Pada
kemampuan ini, siswa dituntut untuk dapat melukiskan gambar, diagram, dan tabel
secara lengkap dan benar. (3)Ekspresi matematik. Pada kemampuan ini, siswa
diharapkan mampu untuk memodelkan permasalahan matematik secara benar,
kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.
Berdasarkan indikator di atas, maka penulis dapat mendefinisikan kemampuan
komunikasi matematik dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam
mengekspresikan dimana siswa dapat menyatakan ide-ide matematika mengunakan
simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau
11
gagasan, dapat melukiskan atau menggambarkan dan membaca gambar, diagram, grafik
maupun tabel, serta pemahaman matematika dimana siswa dapat menjelaskan masalah
dengan memberikan argumen terhadap permasalahan matematika yang diberikan.
Tabel 2.1
Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik
Aspek Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik
Ekspresi
Matematika
Menyatakan ide-ide matematika menggunakan
simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis
sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan
Pemahaman
Matematika
Menjelaskan suatu masalah dengan memberikan
argumentasi terhadap permasalahan matematika
Menggambar
Matematika
Dapat melukiskan dan membaca gambar, diagram,
grafik maupun tabel
2.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning (Problem Based Learning)
2.2.1 Pengertian PBL
Menurut Delisle (1997) Problem Based Learning merupakan suatu model
pengajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik. Masalah
autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah yang sering ditemukan siswa dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan PBL siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya,
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mandiri serta meningkatkan
kepercayaan diri. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat
membentuk makna dari bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya
dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan lagi. Problem Based
Learning dikenal dengan nama lain seperti pembelajaran proyek (Proyect-based
teaching), pendidikan berdasarkan pengalaman (Experience - based education),
pembelajaran autentik (Authentic Learning), dan pembelajaran berakar pada kehidupan
nyata (Anchored Instruction).
Dalam pengajaran berdasarkan masalah guru berperan sebagai panyaji,
mengadakan dialog, membantu dan memberikan fasilitas penyelidikan. Selain itu, guru
juga memberikan dorongan dan dukungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan
intelektual siswa. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengajaran berdasarkan
12
masalah adalah pemberian masalah kepada siswa yang berfungsi sebagai motivasi untuk
melakukan proses penyelidikan. Di sini guru mengajukan masalah, membimbing dan
memberikan petunjuk dalam memecahkan masalah.
2.2.2 Ciri-ciri PBL
Menurut Savin (2004) Pengajaran berdasarkan masalah memiliki karakteristik
sebagai berikut: 1. Pengajuan pertanyaan atau masalah (Pengajaran berdasarkan
masalah diawali dengan guru mengajukan pertanyaan dan masalah yang secara sosial
dianggap penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa). 2. Terintegrasi dengan
disiplin ilmu yang lain (Meskipun PBL berpusat pada mata pelajaran tertentu, masalah
yang akan diselidiki telah ditentukan secara pasti agar dalam pemecahannya siswa
meninjau dari banyak mata pelajaran). 3. Penyelidikan autentik (PBL menuntut siswa
melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah
nyata). 4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya (PBL menuntut siswa
untuk menghasilkan produk yang mewakili bentuk pemecahan masalah yang mereka
temukan. Produk itu dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program
computer). 5. Kerjasama (PBL mempunyai ciri khusus yaitu siswa bekerja sama dalam
kelompok kecil. Adapun keuntungan bekerja sama dalam kelompok kecil di antaranya
siswa dapat saling memberikan motivasi dalam tugas-tugas kelompok dan dapat
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir).
2.2.3 Kelebihan PBL
PBL memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan model pengajaran lainnya,
di antaranya sebagai berikut: a. Mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas,
b.Mendorong siswa melakukan pengamatan dan dialog dengan orang lain, c.Melibatkan
siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri. Hal ini memungkinkan siswa menjelaskan
dan membangun pemahamannya sendiri mengenai fenomena tersebut, d. Membantu
siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Bimbingan guru kepada siswa secara berulang-
ulang, mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari
penyelesaian masalah mereka sendiri. Dengan begitu siswa belajar menyelesaikan
tugas-tugas mereka secara mandiri dalam hidupnya kelak.
13
2.2.4 Kekurangan PBL
Sama halnya dengan model pengajaran yang lain, PBL juga memiliki beberapa
kelemahan/hambatan dalam penerapannya. Kelemahan dari pelaksanaan PBL adalah
sebagai berikut: a. Kondisi kebanyakan sekolah tidak kondusif untuk pendekatan PBL.
Dalam pelaksanaannya, PBL memerlukan sarana dan prasarana yang tidak semua
sekolah memilikinya. Sebagai contoh, banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas
laboratorium cukup memadai untuk kelengkapan pelaksanaan PBL. b. Pelaksanaan PBL
memerlukan waktu yang cukup lama. Standar 40-50 menit untuk satu jam pelajaran
yang banyak dijumpai di berbagai sekolah tidak mencukupi standar waktu pelaksanaan
PBL yang melibatkan aktivitas siswa di luar sekolah. c. Model PBL tidak mencakup
semua informasi atau pengetahuan dasar. Siswa tidak dapat memperoleh pemahaman
materi secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena standar satu jam pelajaran di
sekolah yang tidak mencukupi untuk pelaksanaan PBL.
2.2.5 Sintaks Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 fase dan perilaku. Fase-fase dan
perilaku tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil
pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat
diwujudkan.
Tabel 2.1 Sintaks Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Fase Aktivitas Guru Aktivitas SiswaFase 1. Orientasi siswa terhadap masalah autentik
Guru mrnyampaikan tujuan belajar, menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi menggunakan kemampuannya memecahkan maslah.
Siswa mendengarkan tujuan belajar yang disampaikan oleh guru dan mempersiapkan logistik yang diperlukan.
Fase 2. Mengorganisasi siswa dalam belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang diangkat.
Siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang di angkat.
Fase 3. Membantu siswa secara individual atau kelompok dalam melaksanakan penelitian
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk memperoleh jawaban yang sesuai atas masalah.
Siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan berusaha menemukan jawaban atas masalah yang di angkat.
Fase 4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
Siswa merencanakan dan menyiapkan karya, video,
14
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
karya seperti laporan, video, model-model dan membantunya untuk menyampaikan kepada teman lain.
dan menyampaikannya pada teman lain.
Fase 5. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu siswa melakukan refleksi kegiatan penyelidikannya dan proses yang telah dilakukan
Siswa melakukan refleksi kegiatan penyelidikannya dan proses yang dilakukan.
2.3 Kerangka Konseptual
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari jenjang
pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, selain sebagai sumber dari ilmu yang
lain juga merupakan sarana berpikir logis analisis, dan sistematis. Sebagai mata
pelajaran yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, maka dalam penyajian materi
pelajaran matematika harus dapat disajikan lebih menarik sesuai dengan kondisi dan
keadaan siswa. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar dalam proses pembelajaran siswa
lebih aktif dan termotivasi untuk belajar. Untuk itulah perlu adanya model khusus yang
diterapkan oleh guru.
Akan tetapi pada kenyataannya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih
banyak guru matematika sekarang ini yang masih menganut paradigma transfer of
knowledge dalam hal mengambil keputusan di kelas, dimana interaksi dalam
pembelajaran hanya terjadi satu arah yaitu dari guru sebagai sumber informasi dan
siswa sebagai penerima informasi. Dalam hal ini siswa tidak diberikan banyak
kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di
kelas.
Untuk peningkatan komunikasi matematis siswa, hendaknya guru dapat memilih
dan menerapkan suatu pembelajaran yang efektif dengan memilih model pembelajaran
yang sesuai dalam menyampaikan materi pelajaran guna memperoleh hasil yang lebih
optimal.
2.3.1 Peningkatan Kemampuan Komunikasi matematis melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah
Pendidikan matematika berkembang sejalan dengan perkembangan teori belajar,
teknologi dan tuntutan kehidupan sosial. Perubahan ini mulai dirasakan sejak tahun
1980-an di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan Inggris.
Perubahan ini ditandai dengan adanya restrukturisasi kurikulum termasuk juga
15
Indonesia. Faktor lain yang mempengaruhi pendidikan matematika ini adanya
kebutuhan penggunaan matematika dalam persaingan global. Kebanyakan lapangan
kerja dewasa ini menuntut keterampilan intelegensi dan kemampuan menganalisis serta
menginterpretasikan suatu masalah daripada menggunakan keterampilan prosedural dan
mekanistik. Dengan demikian siswa membutuhkan matematika untuk mampu
menyelesaikan suatu masalah dalam kehidupan nyata sebagai tantangan dalam dunia
kerja. Selain sebagai tantangan dalam dunia kerja, dengan pemecahan masalah siswa
menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan
akhirnya meneliti hasilnya. Dengan demikian akan timbul kepuasan intelektual dari
dalam, potensi intelektual siswa meningkat dan siswa belajar bagaimana melakukan
penelusuran melalui penemuan.
Ada perbedaan mendasar antara mengerjakan soal latihan dengan menyelesaikan
masalah dalam matematika. Dalam mengerjakan soal-soal latihan, siswa hanya dituntut
untuk langsung memperoleh jawaban, misalkan menghitung seperti operasi
penjumlahan dan perkalian, menghitung nilai fungsi trigonometri, dan lain-lain.
Sedangkan yang dikatakan masalah dalam matematika adalah ketika seseorang siswa
tidak dapat langsung mencari solusinya, tetapi siswa perlu bernalar, menduga dan
memprediksi, mencari rumusan yang sederhana lalu membuktikannya.
Terampil untuk memahami permasalahan serta terampil untuk mencari solusi
dari permasalahan yang ada merupakan ciri dari seorang problem solver. Ini berarti
komunikasi matematis mutlak diperlukan dan harus ada dalam diri setiap pembelajar.
Hal ini sejalan dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
menekankan pemecahan masalah sebagai tujuan yang mesti digapai oleh siswa sekolah
menengah. KTSP juga mengkehendaki agar setiap pembelajaran selalu diawali dengan
sebuah permasalahan yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Masalah dapat
dipandang sebagai pemicu belajar. Pembelajaran matematika yang dimulai dengan
masalah seperti ini semakin popular dengan adanya penelitian-penelitian yang
menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Dalam proses pembelajaran matematika, baik guru maupun siswa bersama-sama
menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini akan
mencapai hasil yang maksimal apabila pembelajaran berjalan secara efektif. Proses
pembelajaran matematika bukan hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa,
16
melainkan suatu proses yang dikondisikan atau diuapayakan oleh guru, sehingga siswa
aktif dengan berbagai cara untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri
pengetahuannya, serta terjadi interaksi dan negosiasi antara guru dengan siswa serta
antara siswa dengan siswa , sehingga siswa menemui kemudahan untuk mempelajari
sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
Pengetahuan dan pemahaman guru mengenai model pembelajaran dan
pelaksanaannya di dalam kelas sangat penting sebagai salah satu upaya pemberian
pengalaman belajar dan pencapaian tujuan belajar siswa yang optimal. Siswa sebagai
subjek pembelajaran merupakan hal yang sangat wajar apabila mereka diaktifkan baik
secara fisik maupun secara mentalnya dalam mengolah dan mengeksplorasi suatu
konsep yang harus mereka kuasai untuk dapat dikembangkan atau diaplikasikan pada
masalah konsep yang lebih tinggi. Guru dituntut agar dapat menggunakan model-model
pembalajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran matematika.
Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah salah satu model yang
berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator. Pembelajaran berbasis masalah adalah
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
untuk belajar berpikir kritis dan terampil memecahkan masalah serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis
masalah melatih siswa untuk menggali konsep awal yang telah dimiliki siswa
sebelumnya, menemukan dan menyusun konsep baru secara mandiri atau kelompok,
sekaligus melatih mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan percaya diri
dengan komunikasi matematis. Diawali dengan mengorientasikan siswa pada masalah,
model pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuan memahami masalah. Tahap selanjutnya
mengorganisasikan siswa belajar. Pada tahap ini memungkinkan terjadinya pertukaran
ide, gagasan melalui diskusi dalam kelompok kecil. Sedemikian hingga rencana-rencana
untuk menyelesaikan masalah akan dapat diungkapkan dengan terbuka. Tahap
selanjutnya yaitu membantu penyelidikan secara mandiri atau kelompok. Dalam hal ini
dukungan dari orang dewasa atau guru masih diperlukan terutama apabila ada siswa
yang mengalami kesulitan. Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja merupakan
tahapan keempat yang terdapat dalam model pembelajaran berbasis masalah. Pada tahap
ini siswa dilatih untuk terampil mengungkapkan ide dan gagasan yang dikembangkan
17
dari rencana yang telah dibuat siswa. Terakhir, menganalisis dan mengevaluasi hasil
komunikasi matematis siswa. Hal ini memungkinkan siswa untuk memeriksa kembali,
serta merevisi kembali hasil kerja yang mungkin masih terdapat kekurangan ataupun
kesalahan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berkeyakinan bahwa kemampuan
komunikasi matematis dapat meningkat melalui pembelajaran berbasis masalah.
2.4 Penelitian yang Relevan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada beberapa kemampuan matematik siswa,
diantaranya:
1. Siti Khayroiyah pada tahun 2012 yang menganalisis perbedaan kemampuan
pemecahan masalah dan penalaran matematika siswa dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah dan pembejaran biasa pada siswa SMP.
Adapun hasil yang diperoleh adalah:
Secara keseluruhan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis
masalah secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa dibandingkan dengan
pembelajaran biasa.
Kemampuan penalaran matematika siswa melalui pembelajaran berbasis
masalah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran biasa
Respon siswa dengan pembelajaran berbasis masalah lebih positif.
2. Tomsa Marpaung tahun 2013 yang berjudul peningkatan pemahaman konsep
matematis dan sikap terhadap matematika siswa SMP dengan pembelajaran
berbasis masalah yang menemukan:
Secara keseluruhan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis
masalah secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa dibandingkan dengan
pembelajaran biasa.
Siswa yang bersikap positif terhadap matematika mempunyai
kemampuan pemahaman matematis signifikan lebih baik dibandingkan
siswa yang bersikap negative terhadap matematika.
18
3. Penelitian Asep Sugiharto terhadap siswa SMP untuk menemukan sebuah
alternatif pemecahan masalah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran
guna meningkatkan prestasi belajar siswa. Hasil yang diperoleh adalah:
Respon siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
CTL menunjukkan rata-rata78,8% setuju, 4,55% tidak setuju, 16,65%
tidak tahu.
Respon siswa terhadap soal-soal dalam pembelajaran dengan
pendekatankontekstual rata-rata 75% setuju, 9,93% tidak setuju, 15,07%
tidak tahu.
Beberapa kelemahan pelaksanaan pembelajaran kontekstual diantaranya
tidak semua mampu mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan
sebab hampir semua presentasi hanya ketua kelompoknya saja yang
mempresentasikan.
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka teoritis di atas, maka yang menjadi hipotesis penelitian
adalah : Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siwa MAN 1 Medan
melalui pembelajaran berbasis masalah.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu) karena pada
eksperimen semu suatu subjek perlakuan sudah terbentuk dimana tanpa menggunakan
kelompok kontrol atau dengan kata lain dilaksanakan pada subjek yang sama. Perlakuan
dalam penelitian ini adalh pembelajaran berbasis masalah dengan variabel yang diamati
kemampuan komunikasi matematis siswa.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di MAN 1 Medan yang beralamat di Jl. Williem
Iskandar no. 7 Medan pada semester ganjil kelas XI MAN 1 Medan Tahun Ajaran
2014/2015.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek/objek yang
mempunyai kulitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono 2009). Populasi pada penelitian ini adalah
semua siswa kelas XI MAN 1 MedanTahun Ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 9 kelas
dan berjumlah 280 orang siswa.
Sampel pada penelitian ini adalah siswa yang terdiri dari satu kelas yang mewakili
populasi. Sampel berada di kelas XI IPS 2 jumlah sampel yaitu 30 siswa. Kelompok
pembelajaran berbasis masalah dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil sebanyak lima
orang perkelompok. Anggota kelompoknya heterogen terdiri dari siswa laki-laki dan
perempuan. Teknik penentuan kelompok berdasarkan penentuan nomor urut.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel penelitian pada dasarnya merupakan segala suatu yang berbentuk apa
saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009).
Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :
20
1. Variabel Bebas : Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
2. Variabel Terikat : Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa.
3.5. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah eksperimen kelompok tunggal, dimana hanya terdiri
dari satu kelompok yang diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awalnya lalu
posttest setelah diberikan perlakuan.
X1 O X2
Keterangan:
X1 : Pre-test
X2 : Post Test
O : Pembelajaran Berbasis Masalah
(Sanjaya, 2014)
3.6. Definisi Operasional
1. Kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini adalah kemampuan
komunikasi secara tertulis yang dapat dilihat dari: (1) menyatakan masalah
kehidupan sehari-hari kedalam simbol atau bahasa matematis; (2)
menginterpretasikan gambar kedalam model matematika; (3) menuliskan
informasi dari pernyataan kedalam bahasa matematika.
2. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah model pembelajaran dengan
mengacu pada lima langkah pokok, yaitu : (1) Orientasi siswa pada masalah, (2)
Mengorganisir siswa untuk belajar, (3) Membimbing penyelidikan individual,
(4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan (5) Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
3.7. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya
pencapaian tujuan penelitian. Langkah-langkah tersebut antara lain :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan yang dilakukan adalah :
a. Menentukan tempat dan jadwal penelitian.
b. Menetukan populasi dan sampel penelitian.
21
c. Menyusun rencana pembelajaran.
d. Menyiapkan alat pengumpul data barupa pre test dan post test.
2. Tahap Pelaksanaan
Dalam penelitian ini tahap pelaksanaan dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Mengadakan pre test.
b. Mengadakan pembelajaran berbasis masalah
c. Memberikan post test.
3. Tahap Akhir
Pada tahap akhir yang dilakukan adalah :
a. Mengumpulkan data kasar dari proses pelaksanaan.
b. Menghitung perbedaan antara hasil pre test dan post test.
c. Membuat laporan penelitian dan menarik kesimpulan.
3.8. Teknik Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah tes kemampuan
komunikasi matematis dan proses penyelesaian jawaban siswa. Semua data dianalisis
untuk penarikan kesimpulan.
3.8.1. Tes Kemampuan Komunikasi matematis
Tes kemampuan komunikasi matematis masing-masing terdiri dari 2 soal bentuk
uraian diselesaikan dalam waktu 20 menit dan diperiksa berdasarkan pedoman
penskoran. Tes ini diberikan sebelum dan setelah perlakuan agar dapat melihat
peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Pemilihan bentuk tes uraian ini
bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan komunikasi matematis. Pada Tabel 3.1
akan disajikan kisi-kisi tes kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut :
Tabel 3.1. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Komunikasi matematis
Aspek Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik No.Soal
Ekspresi Matematika
Menyatakan ide-ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan
1,2
Pemahaman Matematika
Menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika
1,2
Menggambar Matematika
Dapat melukiskan dan membaca gambar, diagram, grafik maupun tabel
1,2
22
Penilaian untuk jawaban kemampuan komunikasi matematis siswa disesuaikan
dengan keadaan soal dan hal-hal yang ditanyakan. Adapun pedoman penskoran
didasarkan pada pedoman penilaian rubric untuk kemampuan komunikasi matematis.
Tabel 3.2. Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi matematis
Aspek Komunikasi
Indikator Skor
Penjelasan Matematika
Tidak ada jawaban 0Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika tetapi tidak lengkap dan tidak benar
1
Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika dengan lengkap tetapi tidak benar
2
Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika dengan benar tetapi tidak lengkap
3
Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika dengan lengkap dan benar
4
Menggambar matematika
Tidak ada jawaban 0Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel tetapi tidak lengkap dan tidak benar
1
Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel dengan lengkap tetapi tidak benar
2
Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel dengan benar tetapi tidak lengkap
3
Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel dengan lengkap dan benar
4
Ekspresi Matematika
Tidak ada jawaban 0Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan tetapi tidak lengkap dan tidak benar
1
Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan dengan lengkap tetapi tidak benar
2
Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan dengan benar tetapi tidak lengkap
3
Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan dengan lengkap dan benar
4
23
3.9. Teknik Analisis Data
3.9.1. Menghitung Rata-Rata Skor
Menentukan rata-rata hitung masing-masing variabel dengan rumus :
X=∑ X i
N (Sudjana, 2005)
Dimana :
X = skor rata-rata
∑ X i = jumlah skor
N = jumlah sampel
3.9.2. Menghitung Standard Deviasi
Standard deviasi dapat dicari dengan rumus :
S=√ N∑ X i2−(∑ X i)
2
N ( N−1 ) (Sudjana, 2005)
Selanjutnya menghitung varians dengan memangkat duakan standard deviasi.
3.9.3. Analisis Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang akan di uji dirumuskan sebagai berikut :
H0 : μ0 = 58.56
Ha : μ0 > 58.56
Dimana :
H0 : Tidak terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah
Ha : Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran berbasis masalah
µ0 : Rata-rata nilai pretest komunikasi matematis siswa
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa, terlebih dahulu ditentukan nilai gainnya. Dalam menghitung gainnya digunakan
rumus berikut ini:
24
g= skor post test−skor pretestskor maksimumidel−skor pre test
(Meltzer, 2002)
Selajutnya digunakan uji t untuk melihat apakah ada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa setelah diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah. Alternatif Pemilihan Uji adalah:
1. Jika jumlah data (n ≤ 30) maka digunakan rumus uji t yaitu :
t=M D
SED
Dimana:M D=¿ Rata-rata Selisih Score Sebelum dan sesuadh perlakuanSED=¿ standar Deviasi Selisih Score Sebelum dan sesuadh perlakuan
(Sudijono:2008)2. Jika jumlah data (n ≥ 30), maka digunakan rumus uji z yaitu :
Z=X−μ0
σ√n
Keterangan :
t,Z = luas daerah yang dicapai
n = banyak siswa pada kelas sampel
S,σ = simpangan baku nilai posttest dikurangi nilai pretest
X = rata-rata nilai posttest komunikasi matematis siswa
µ0 = rata-rata nilai pretest komunikasi matematis siswa
Kriteria pengujian adalah : terima H0 jika thitung < ttabel dan tolak H0 jika thitung ≥ ttabel
dengan dk = (n – 1) dengan peluang (1 – α) dan taraf nyata α = 0,05. Untuk uji Z dapat
dilihat dari tabel Z dengan Z(α).
3.9.4 Pola Jawaban Siswa
Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif untuk melihat pola jawaban siswa. Tahapan analisis yang dilakukan
adalah:
Tahap 1. Informasi dari uraian jawaban siswa
a. Menelaah teori atau konsep penalaran dengan informasi yang ditemukan
b. Mencari dan menemukan konsep baru dari data yang terkumpul
c. Mencari penjelasan apakah konsep tersebut terjadi akibat pengetahuan prasyarat
yang dimiliki siswa.
Tahap 2. Membandingkan pola jawaban
25
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tahap 1 dan tahap 2, variasi pola jawaban
siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan apakah ada peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa setelah diajarkan dengan menggunakan pembelajaran
berbasis masalah. Tujuan selanjutnya adalah menganalisis proses jawaban siswa dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis
siswa pada materi peluang.
4.1.1. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu dimulai dari pelaksanaan
pretest, pelaksanaan pembelajaran, dan pelaksanaan posttest. Pelaksanaan penelitian ini
dilakukan pada semester ganjil di kelas XI MAN 1 Medan, dari tanggal 18 Setember
2014 sampai tanggal 26 September 2014. Dari seluruh kelas XI yang ada, dipilih 1 kelas
sehingga kelas yang terpilih pada kelas XI IPS-2.
4.1.2. Pelaksanaan Pretest
Pada pelaksanaan pretest di kelas XI IPS-2, pretest dilaksanakan dengan
memberikan soal yaitu soal komunikasi matematis, waktu yang diberikan 20 menit
untuk menyelesaikan soal. Adapun hasil pretest untuk komunikasi matematis yang
dikerjakan oleh siswa tersebut, terlampir pada Lampiran 10 halaman 95.
4.1.3. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan komunikasi matematis melalui
pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan di kelas XI IPS-2 dengan jumlah subyek
penelitian sebanyak 30 orang.
Sebelum pembelajaran, terlebih dahulu dimulai dengan mengulang kembali
materi sebelumnya, menyampaikan informasi mengenai kegunaan materi yang akan
26
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, memberi motivasi melalui tanya jawab yang
berkaitan dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan pembentukan kelompok.
Dari 30 orang terbagi menjadi 6 kelompok, yang mana 6 kelompok terdiri 5 orang.
Selama berlangsungnya pelaksanaan riset mini yang dilakukan pada proses
pembelajaran berbasis masalah, dalam proses pembelajaran tersebut menggunakan
bahan ajar LAS yang telah disusun oleh peneliti. Dalam pelaksanaan riset tersebut tim
riset menemukan bahwa siswa-siswa sangat antusias dalam proses pembelajaran dengan
model pembelajaran berbasis masalah dan siswa menyenangi materi matematika
melalui pembelajaran berbasis masalah, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat
berbeda dengan buku yang dipakai sekarang dari segi isi. Dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di
mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan pembelajaran yang
konvensional dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi
pembimbing dan narasumber.
Terdapat ciri-ciri belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung, yaitu:
1. Di kelas siswa dalam diskusi dengan teman satu kelompoknya dan mengajukan
pertanyaan dan gagasan;
2. Siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok belajar;
3. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
4. Bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan
gagasan dan siswa mau mendengarkan dan menerima gagasan orang lain;
Respon setiap siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung sangat baik, seperti:
1. Siswa senang belajar matematika karena belajar matematikanya dimana diberikan
suatu masalah dan belajar seperti ini siswa lebih mudah memahami matematika.
2. Siswa tidak merasa ragu untuk tampil di depan teman – temannya yang lain.
3. Siswa memahami masalah dan mau berpikir kritis, kreatif, dan produktif untuk
memecahkan masalah yang diberikan oleh guru.
4. Dalam proses pembelajaran juga ada siswa yang kurang respon.
Hasil jawaban LAS setelah presentase berlanjut:
1. Sebagian siswa kurang mampu membuat model matematika dari soal cerita yang
diberikan.
27
2. Dari seluruh siswa, masih ada siswa yang tidak menyelesaikannya sehingga ada
point yang kosong.
3. Jawaban yang diselesaikan siswa sangat bervariasi
4. Siswa ada yang menjawab hanya dengan jawaban benar atau salah.
4.1.4. Pelaksanaan Posttes
Di kelas, posttest dilaksanakan dengan memberikan soal komunikasi matematis
selama 20 menit untuk 2 soal. Pada pelaksanaannya, posttest dilakukan siswa dengan
mengerjakan soal-soal komunikasi matematis. Adapun hasil posttest siswa untuk
komunikasi matematis tersebut, terlampir pada Lampiran 10 halaman 95.
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian
4.2.1. Hasil Analisis Data Pretest dan Posttest untuk Kemampuan Komunikasi
matematis pada Pembalajaran Berbasis Masalah
Sebagaimana telah disebutkan, subyek pada kelas eksperimen berjumlah 30 orang.
Berdasarkan hasil perolehan skor siswa terhadap komunikasi matematis.
Tabel 4.1 Rata- rata dan Simpangan Baku Skor Pretest
Kemampuan Komunikasi matematis
Kelas
Komunikasi matematis Matematik
Nilai
ideal
Nilai
terendah
Nilai
tertinggi
Jumlah
nilaiRerata S.B
Eksperimen 70 40 89 1757 58,56 12,21
Tabel di atas memperlihatkan secara umum bahwa perolehan skor pretest untuk
komunikasi matematis matematik mencapai rerata 58,56 dan mempunyai simpangan
baku sebesar 12,21. Hasil perhitungan skor pretest komunikasi matematis matematik,
dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 97.
Tabel 4.2 Rata - rata dan Simpangan Baku Skor Posttest
Kemampuan Komunikasi matematis
KelasKomunikasi matematis Matematik
Nilai ideal
Nilai terendah
Nilai tertinggi
Jumlah Nilai
Rerata S.B
Eksperime
n70 60 98
232177,36 9,42
28
Tabel di atas memperlihatkan secara umum bahwa perolehan skor posttest untuk
komunikasi matematis matematik pada kelas eksperimen mencapai rerata 77,36 dari dan
mempunyai simpangan baku sebesar 9,42. Sementara skor terendahnya adalah 60 dan
skor tertingginya 98. Hasil perhitungan skor posttest komunikasi matematis matematik,
dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 97.
Dari hasil perhitungan pretest dan posttest di atas dapat dilihat perbedaan rata-
rata pretest dan posttest. Secara ringkas nilai rata-rata siswa untuk pretest dan posttest
dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut :
Tabel 4.3 Peningkatan Komunikasi matematis
Matematika dari Skor Pretest ke Skor Posttest
KelasSkorIdeal
Pretest Posttest
Jumlah
nilaix̄ S.B
Jumlah
nilaix̄ S.B
Eksperimen 70 1757 58,56 12,21 2321 77,36 9,42
Secara deskriptif ada beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan kemampuan
komunikasi matematis yang dapat diungkap dari Tabel 4.3 di atas, yaitu :
a. Jumlah nilai posttest kemampuan komunikasi matematis (2321) lebih tinggi
dibandingkan dengan pretest komunikasi matematis (1757).
b. Rata-rata posttest kemampuan komunikasi matematis (77,36) lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata pretest komunikasi matematis (58,56).
c. Selisih jumlah nilai posttest dan pretest adalah 564 dan selisih rata-rata posttest
dan pretest sebesar 18,8.
Untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan maka dilakukan analisis indeks gain ternormalisasi yang
terlihat pada table
Table 4.4 data hasil pretes dan postes
Pretes Postes Gain <g> Kategori
58.56 77.36 18.8 0.83 tinggi
Berdasarkan table diatas diketahui bahwa terdapat perubahan skor gain sebesar 0.83, hal
ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan skor rata-rata siswa sebelum dan sesudah
perlakuan sebesar 0,83 tergolong katagori tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan
29
bahwa pembelajaran berbasis masalah lebih baik dalam meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa.
4.2.2. Pengujian Hipotesis Kemampuan Komunikasi matematis
Setelah dihitung rata-rata posttest, pretest, dan selisih dari posttest dan pretest,
kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan statistik uji t. Dari
pengujian hipotesis kemampuan komunikasi matematis diperoleh thitung (6,67) > ttabel
(1,70) maka H0 ditolak dan Ha diterima. Data selengkapnya dapat di lihat pada Lampiran
12 halaman 99. Secara ringkas hasil pengujian hipotesis kemampuan komunikasi
matematis disajikan pada Tabel 4.4. berikut.
Tabel 4.4 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis
Kemampuan Komunikasi matematis
Rata-rata(Posttest –
Pretest)
Simpangan Baku
thitung ttabel H0
18,8 7,85 6,67 1,70 Ditolak
Dengan demikian dapat di peroleh bahwa kemampuan komunikasi matematis
siswa meningkat melalui pembelajaran berbasis masalah yang dapat dilihat dari Ha
diterima.
4.3. Analisis Komunikasi Matematis Siswa
Pada bagian ini dipaparkan analisis hasil proses penyelesaian masalah siswa
dalam menyelesaikan tes kemampuan komunikasi matematis. Analisis hasil proses
penyelesaian masalah matematika siswa dilihat dari tiga aspek komunikasi matematis
yang meliputi (1) siswa mengekspresikan matematis siswa berupa menyatakan ide-ide
mateamtika mengunakan symbol matematika (2) siswa mampu memahami matematika
berupa menjelaskan suatu masalah dengan memnerikan argumentasi terhadap
permasalahan marematika; (3) siswa mampu menggambar matematika berupa
melukiskan gambar, grafik ataupun table.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, khusus aspek memeriksa kembali hasil
perhitungan masih terkendala. Hal ini disebabkan banyak siswa yang hanya menjawab
pertanyaan mengenai pemeriksaan kembali hasil perhitungan tapi tidak memberikan
alasan yang tepat. Bedasarkan hasil proses penyelesaian masalah siswa dalam
30
menyelesaikan setiap soal kemampuan komunikasi matematis yang diberikan, tidak
semua siswa dapat mengatur proses berpikirnya untuk menyelesaikan masalah. Selain
itu juga dilihat bagaimana siswa belum memahami soal komunikasi matematis untuk
materi peluang. Untuk menuliskan hal yang diketahui dan ditanyakan pada soal, masih
terdapat siswa yang salah dalam menuliskannya. Hal ini terjadi karena siswa tidak
membaca soal secara teliti sehingga proses menjawab soal pemecahan masalah juga
menjadi salah. Beberapa proses penyelesaian jawaban siswa akan dianalisis secara
deskriptif sebagai berikut :
Soal Postest:
1. Jika Nizam memiliki 5 buah kemeja dan 4 buah celana, berapa pasangkah baju
kemeja dan celana yang mungkin dikenakan Nizam? Jelaskan!
(a)
(b)
31
( c )
Pada jawaban siswa (a) , (b) menunjukkan bahwa siswa sudah menggunakan ekspresi
matematika dengan membuatkan symbol matematis terhadap kemeja dan celana, dan
juga mereka sudah menggambarkan matematikanya, akan tetapi penjelasan terhadap
pemahaman mereka belum secar terstruktur namun jawaban siswa sudah tepat, dan
jawaban siswa (c) lebih baik dari struktur pemahamannya dari pada siswa (a) dan (b).
2. Pak Fadli akan bepergian dari kota Sabang menuju kota Samarinda dengan
melakukan transit (pemberhentian sementara) di Jakarta dan Pontianak. Dari
Sabang ke Jakarta dapat dilalui dengan 3 jalur udara, dari Jakarta ke Pontianak 4
jalur udara dan dari Pontianak ke Samarinda 2 jalur udara. Jika Pak Fadli
kembali lagi ke Sabang setelah selesai urusan di Samarinda, maka ada berapa
keseluruhan jalur pergi dan pulangyang ditempuh oleh Pak Fadli? Jelaskan!
(a)
32
(b)
©
Pada jawaban siswa (a) belum terlihat ekspresi matematika, menggambar matematika,
serta pemahaman matematika siswa belum terstruktur, (b) dan (c) ekspresi dan
menggambar matematika siswa sudah baik, namun dari segi pemahaman siswa belum
terstruktur.
Soal Pretest
1. Jalur penerbangan sebuah pesawat udara dari Bali ke Jakarta dapat melalui 3
jalur, dari Jakarta ke Medan dapat melalui 2 jalur, dan dari Medan ke London
melalui 4 Jalur. Berapa banyak jalur penerbangan yang dapat dipilih untuk
penerbangan-penerbangan berikut ini:
a. Dari Bali ke Medan Melalui Jakarta
b. Dari Jakarta ke London melalui Medan
c. Dari Bali ke London melalui Medan
33
(a)
(b)
( c )
34
Pada jawaban siswa (a) dan (c) siswa belum secara baik dalam penggunaan ekspresi,
pemahaman dan penggambaran matematika siswa, namun pada siswa (b) dari ekspresi,
pemahaman dan penggambaran matematika siswa sudah baik dan benar.
2. Sebuah organisasi terdiri atas 8 anggota putra dan 7 anggota putri. Akan dipilih
2 orang pengurus yang terdiri dari 1 orang anggota putra dan 1 orang anggota
putri. Berapa banyak kah cara untuk memilih susunan pengurus dalam
organisasi itu?
(a)
(b)
Pada jawaban siswa (a) ekspresi, pemahaman dan menggambarkan matematika siswa
sudah baik, namun pada siswa (b) hanya pemahaman matematika siswa yang baik.
35
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka
selanjutnya akan diuraikan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa.
4.4.1 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Hasil penelitian yang dianalisis menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi
matematis siswa meningkat setelah diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah.
Secara teoritis pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan dibandingkan
pembelajaran biasa. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah:
a. Penyajian masalah kontekstual
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang diawali dengan
pemberian masalah kontekstual kepada siswa. Pemberian masalah kontekstual akan
merangsang siswa untuk aktif berpikir dalam menemukan pemecahan masalah sehingga
dapat mengkomunikasikannya. Dalam proses berpikir tersebut, siswa mampu
menghubungkan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari dengan permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari. Hasil berpikir siswa ini dituangkan kedalam ide-ide secara
lisan maupun tertulis dalam menyelesaikan masalah. Sehingga siswa terlatih
menggunakan penalarannya. Siswa bebas bertanya dan memberikan pendapat tanpa
batas yang diberikan dalam memecahkan masalah. Dengan demikian pembelajaran ini
dapat mengubah siswa untuk mampu mengenali dan menangani suatu permasalahan
dalam pembelajaran serta terlatih untuk mengkomunikasikan masalah matematis siswa.
b. Media Pembelajaran
Pada pembelajaran berbasis masalah media pembelajaran yang diberikan berupa
benda dalam kehidupan sehari-hari yaitu baju dan celana dari karton. Penggunaan alat
peraga akan mempermudah siswa memahami masalah dengan menggunakan
penalarannya dalam mencari penyelesaian masalah. Pemberian alat peraga juga akan
memberikan keberanian kepada siswa memberikan ide-ide penyelesaian masalah karena
menurut siswa ide tersebut sudah diuji cobakan pada alat peraga tersebut. Hal ini berarti
bahwa dengan media siswa akan termotivasi memberikan bukti atau penjelasan atas
jawaban permasalahan.
Sesuai dengan pendapat Sutikno (2007:19) bahwa salah satu cara yang
disarankan untuk menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar adalah menggunakan alat
36
peraga yang baik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Akhirnya pemberian alat peraga
membuat siswa berpartisipasi lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mereka juga
dapat mengungkapkan ide-ide mereka dengan lebih percaya diri.
c. Guru
Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai fasilitator,
mediator dan sekaligus partner dalam mendampingi siswa untuk mengkonstruksikan
pengetahuan. Pembelajaran juga harus dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang
bagaimana orang itu belajar (Nurhadi, dkk, 2003: 22).
Peran aktif guru dalam pembelajaran dimuai sejak mempersiapkan materi ajar
sampai mempersiapkan diri untuk menjawab berbagai jawaban atas banyaknya
kemungkinan pertanyaan yang muncul dan harus mampu memahami dan memberikan
keputusan ide-ide matematis yang dikemukakan oleh siswa. Selain itu, guru juga harus
kreatif dalam membuat permasalahan kontekstual serta alternatif penyelesaiannya.
Dengan peran guru ini, siswa akan diberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri untuk menemukan alternatif jawaban dari
masalah yang diberikan.
d. Siswa
Pada pemebalajaran berbasis masalah, siswa dibentuk dalam kelompok belajar
dan diberikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang berisi masalah kontekstual. Siswa
dalam kelompok berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan pada LAS. Siswa
saling berdiskusi dan saling bertukar pendapat dalam tiap kelompok sehingga
menghasilkan ide-ide yang kreatif dalam penyelesaian masalah. Bekerja sama dalam
tim dapat mengevaluasi keberhasilan sendiri, merupakan iklim yang bagus dimana
semua anggota kelompok menginginkan keberhasilan kelompok (Sanjaya, 2006: 245).
Jika terjadi permasalahan dalam kelompok atau ada yang berbeda pendapat
sesama siswa dalam kelompok, maka mereka akan bertanya kepada guru sehingga akan
memberikan bimbingan kepada kelompok tersebut. Peran aktif siswa dalam kelompok
akan membuat kemampuan pemecahan masalah siswa semakin baik dan terlatih. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Eggen (1996: 1) bahwa keefektifan pembelajaran terjadi
apabila siswa aktif terlibat dalam mengorganisasikan hubungan diantara informasi yang
diberikan.
37
4.4.2 Variasi Jawaban Tes kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Berdasarkan variasi jawaban siswa, siswa sudah bisa memahami masalah
walaupun sebagian masih salah atau kurang lengkap dalam menuliskan ekspresi dari
matematika. Siswa terlihat masih kesulitan dalam menuliskan pemahaman mereka
terhadap masalah yang disajikan. Hal ini terlihat dari variasi jawaban siswa yang
menunjukkan siswa langsung menyelesaikan masalah tanpa menuliskan pemahaman
matematik ataupun menggambar matematik yang akan digunakan.
Meskipun demikian, rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada
peluang meningkat setelah penggunaan pembelajaran berbasis masalah dalam
pembelajaran yaitu sebesar 83%.
38
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di peroleh kesimpulan yaitu : Secara statistik
dengan menggunakan uji-t disimpulkan bahwa kemampuan komuniksi matematis siswa
meningkat melalui pembelajaran berbasis masalah. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan nilai-nilai yang diperoleh siswa dari pretest dan posttest, jumlah nilai
keseluruhan (jumlah nilai pretest 1757 dan jumlah nilai posttest 2321), rata-rata nilai
siswa pada pretest dan posttest, dan pengujian hipotesis dimana thitung (13,11) > ttabel
(2,04).
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang dapat peneliti berikan adalah :
1. Kepada guru matematika dapat menggunakan pembelajaran berbasis
masalah sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa dalam proses pembelajaran.
2. Kepada guru atau peneliti yang menggunakan pembelajaran berbasis
masalah sebaiknya lebih memperhatikan alokasi waktu yang ada agar
seluruh tahapan pembelajaran dapat dikerjakan dengan baik sehingga
peningkatan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa lebih
optimal.
3. Agar pembelajaran berbasis masalah lebih efektif diterapkan pada
pembelajaran matematika, sebaiknya guru harus membuat perencanaan
mengajar yang baik dengan daya dukung sistem pembelajaran yang baik
meliputi LAS, RPP, media pembelajaran yang digunakan.
4. Kepada siswa disarankan untuk saling bekerjasama dalam diskusi kelompok
terutama untuk kemampuan komunikasi matematis terhadap materi yang
sedang dipelajari.
5. Kepada calon peneliti berikutnya agar mengadakan penelitian yang sama
dengan tingkatan kelas yang berbeda sehingga hasil penelitian dapat
berguna bagi kemajuan pendidikan khususnya pendidikan matematika.
39
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, Bansu., (2009), Komunikasi Matematika: Konsep dan Aplikasi, Pena, Banda Aceh.
Delisle, Robert., (1997), How to Use Problem Based Learning in The Classroom, ASCD, Virginia, USA
Elfina, H, (2013), Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Bamboo Dancing Terhadap Komunikasi Matematis Siswa Pada Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Kelas VIII SMPHarapan 2 Medan, Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan.
Khayroiyah, Siti, (2012), Analisis Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Biasa Siswa SMP, Tesis, Unimed, Medan
Marpaung, Tomsa, (2013), Peningkatan Pemahaman Konsep Matematis dan Sikap Terhadap Matematika Siswa SMP dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, Tesis, Unimed, Medan.
Marzuki, (2012), Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematika antara Siswa yang Diberi Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pembelajaran Langsung, Tesis, FMIPA, Unimed, Medan.
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. Ames, Iowa: Department of Physics and Astronomy
Salin, Moggi and Claire Howell., 2004, Foundations of Problem Based Learning, Two Penn Plaza, New York
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Sanjaya, W., (2014), Penelitian Pendidikan Jenis, Metode, dan Prosedur, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Sinau, (2010), http://math-heyfun.blogspot.com (diakses September 2014).Sudjana, (2005), Metode Statistika,Tarsito, Bandung.
Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaive, Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung
Trianto, M.Pd, (2009), Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Zainab, (2011), http://mgmpmatoi.blogspot.com/2011/12/komunikasi-matematis-dalam-pembelajaran.html (diakses September 2014).
40
Recommended