LAPORAN PENELITIAN STIMULUS
EKSISTENSI SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR
SE/8/VII/2018 TENTANG PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF
(RESTORATIVE JUSTICE) DALAM PENYELESAIAN PERKARA
PIDANA DITINJAU DARI TEORI MANFAAT DAN TEORI
PROGRESIF
Oleh :
Dr. Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
2020
Dana Bantuan Dari
Universitas Nasional
HALAMAN PENGESAHAN
Judul penelitian : Eksistensi Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) dalam
Penyelesaian Perkara Pidana Ditinjau dari Teori
Manfaat dan Teori Progresif Identitas peneliti
Nama : Dr. Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.
NIDN : 0329036404
Jabatan fungsional : Lektor
Fakultas : Hukum
Program Studi : Hukum
Alamat rumah : Jalan Baung nomor 45 Rt 3 Rw 1 Kel. Lenteng
Agung, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon : 081294340841
Email : [email protected]
Jangka waktu penelitian : satu semester
Biaya : Rp 8.000.000,-
Jakarta, Juli 2020
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Peneliti
(Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo S.H., M.S.) (Dr. Diah Ratu Sari Harahap S.H., M.H.)
NIP 195901071983031005 NIP 0106090786
Menyetujui
Wakil Rektor Bidang PPMK,
(Prof. Dr. Ernawati Sinaga M.S., Apt)
NIP 195507311981032001
ABSTRAK
Proses penegakan hukum pidana dengan mengikuti tahap-tahap yang diatur dalam
hukum acara pidana memerlukan waktu yang cukup lama dan menimbulkan beberapa
masalah seperti : Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan perkara yang
semakin meningkat, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan perkembangan
perkara, biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan perkara.
Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana berupaya mengatasi masalah-masalah
tersebut agar penanggulangan kejahatan dapat memberi keadilan bagi semua pihak tanpa harus
melalui tahap pemeriksaan yang panjang.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Apa alasan sosiologis dibuatnya Surat
Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018? Dan 2. Bagaimana eksistensi Surat Edaran
KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 ditinjau dari Teori Manfaat dan Teori Progresif ?
Penelitian ini bersifat normatif. Kesimpulaan dari penelitian ini adalah : Alasan
sosiologis dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 adalah untuk mengatasi
Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan perkara yang semakin meningkat,
jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan perkembangan perkara, biaya perkara
yang tidak mampu mendukung peningkatan perkara. Ditinjau dari teori manfaat Surat Edaran
KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 dibuat agar memberi manfaat kepada pelaku dan korban,
sedangkan ditinjau dari teori progresif merupakan terobosan untuk mengatasi masalah-
masalah yang timbul jika proses pemeriksaan sebuah perkara pidana harus mengikuti tahap-
tahap yang diatur dalam hukum acara pidana.
Kata kunci : Restorative Justice
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian tentang Eksistensi Surat Edaran
KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana Ditinjau dari Teori Manfaat dan Teori
Progresif.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor, Bapak Wakil Rektor Bidang
Akademik, Ibu Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Bapak
Dekan dan Bapak Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional serta berbagai pihak
terkait yang telah membantu kami menyusun laporan penelitian ini. Semoga Tuhan Yang
Maha Esa membalas kebaikan yang telah dilakukan. Amin.
Jakarta, Juli 2020
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Kerangka Teoritis ....................................................................................... 3
C. Permasalahan ............................................................................................. 5
D. Urgensi Penelitian ..................................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu ........................................................................................ 7
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................................... 10
B. Bahan Hukum ............................................................................................ 10
C. Desain Penelitian ....................................................................................... 11
D. Analisis Data ............................................................................................. 11
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Sosiologis dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor
SE/8/VII/2018 ...................................................................................................... 12
B. Eksistensi Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 Ditinjau
dari Teori Manfaat dan Teori Progresif ....................................................... 13
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 16
B. Saran ............................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum utamanya adalah tugas aparat penegak hukum. Aparat penegak
hukum terdiri dari Polisi, Jaksa dan Hakim. Dalam hukum pidana aparat penegak hukum
tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana.
Menurut Mardjono Reksodiputro, komponen-komponen yang bekerjasama dalam
sistem ini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan.
Empat komponen ini diharapkan bekerja bersama membentuk apa yang dikenal dengan
nama suatu integrated criminal justice administration.1
Sistem ini berjalan sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana sesuai dengan
tugasnya masing-masing yaitu Polisi melakukan penyidikan, Jaksa melakukan penuntutan
dan Hakim menjalankan persidangan. Selanjutnya jika hasil pemeriksaan di persidangan
menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan pidana penjara maka
terdakwa akan menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan.
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang dikenal dengan sebutan pidana
pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan atau dikenal juga dengan
pidana pemasyarakatan. Di dalam KUHP jenis pidana ini digolongkan pidana pokok.2
Apa yang dewasa ini disebut sebagai lembaga pemasyarakatan sebenarnya ialah
suatu lembaga, yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara. Sesuai dengan gagasan
dari Dr. Sahardjo SH yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, sebutan
rumah penjara di Inddonesia itu sejak bulan April 1964 telah diubah menjadi lembaga
pemasyarakatan. Pemberian sebutan yang baru ini diduga erat hubungannya dengan
gagasan beliau untuk menjadikan lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat
untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagaai tempat untuk membina
atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka setelah selesai menjalankan pidana,
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga
pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.3
1 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku
Ketiga, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 84-85
2 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hal. 87
3 PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika: 2010), hal.
165
2
Bicara tentang pidana penjara, menimbulkan polemik karena di satu sisi masyarakat
masih dipengaruhi oleh konsep pembalasan (keadilan akan diperoleh jika pelaku
kejahatan dibalas dengan menghukumnya dalam penjara. Ia harus merasakan penderitaan
atas kesalahan yang telah dilakukannya). Di sisi lain penjatuhan pidana penjara
menimbulkan masalah.
Masalah yang timbul antara lain efek negatif pada diri terpidana baik pada saat di
penjara (berupa pembatasan kebebasan) maupun setelah menjalani hukuman,
menunjukkan adanya pandangan masyarakat yang cenderung mencurigai dan menolak
bekas narapidana apabila berada di lingkungan masyarakat.4
Selain itu, proses penegakan hukum pidana dengan mengikuti tahap-tahap yang
diatur dalam hukum acara pidana sekarang ini menimbulkan persoalan antara lain
Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan perkara yang semakin
meningkat, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan perkembangan perkara,
biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan perkara.5
Keadaan ini perlu mendapat perhatian serius agar penegakan hukum pidana tetap
dapat dijalankan untuk tercapainya rasa keadilan bagi semua pihak. Untuk mengatasi
masalah ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah membuat Surat Edaran nomor
SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam
Penyelesaian Perkara Pidana. Dengan menerapkan prinsip Restorative Justice dalam
Surat Edaran ini dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara pada tahap pemeriksaan di
Kepolisian hingga tidak perlu dilanjutkan ke tahap penuntutan. Sebagaimana diketahui
penyelidikan dan penyidikan merupakan penentu dapat atau tidaknya sebuah perkara
dilanjutkan ke tahap penuntutan dan persidangan.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula dan bukan pembalasan.6
4 Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, (Jakarta: CV INDHILL
CO, 2007), hal. 137 5 Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 butir 2 huruf c
6 Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
3
Dibuatnya Surat Edaran ini merupakan langkah positif dalam penegakan hukum
pidana agar tujuan menanggulangi kejahatan dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua
pihak tanpa harus melalui proses acara pidana yang panjang.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, mendorong Penulis untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian Eksistensi Surat Edaran KAPOLRI
nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana Ditinjau dari Teori Manfaat dan Teori Progresif.
B. Kerangka Teoritis
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Manfaat dan Teori
Progresif.
1. Teori Manfaat
Menurut Jeremy Bentham : tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk
mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang). Tujuan perundang-undangan
adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.7
Jeremy Bentham juga mengatakan : hukum bertujuan semata-mata apa yang
berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi
orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan.8 Teori yang
berhubungan dengan kefaedahan ini disebut juga teori utilities yang berpendapat
bahwa hukum pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi
orang yang satu dapat juga merugikan orang lain, maka tujuan hukum ialah untuk
memberikan faedah sebanyak-banyaknya. Disini kepastian melalui hukum bagi
perorangan merupakan tujuan utama daripada hukum.
2. Teori Progresif
Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi
pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang
tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan
pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu
perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi
7Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk, 2002), hlm. 267
8 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 58
4
penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk
rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru
setiap kali terhadap suatu peraturan.9
Hukum progresif merangkul, baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial
sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap keputusan. Meminjam istilah
Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif. Dalam tipe yang demikian
itu, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui
narasi tekstual aturan.10
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat
sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan
yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam
hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur
yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks
keterbelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang
emansipatoris (membebaskan).11
Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba
darurat, dan penuh komplikasi, maka aparat penegak hukum dituntut melakukan
langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum, tidak sekedar menerapkan
peraturan secara hitam-putih. Ini penting dilakukan karena banyak peraturan yang
sudah ketinggalan zaman, terhampar begitu banyak kenyataan dan persoalan kekinian
yang secara redaksional sulit ditemukan dalam teks-teks aturan yang ada. Jika pun ada
aturannya, banyak yang tidak mutu karena saling kontradiktif dan tumpang-tindih di
sana-sini. Karena itu, kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak
perlu untuk “memandu” pemaknaan yang kreatif terhadap aturan-aturan tersebut.
Aparat penegak hukum, entah polisi, jaksa, maupun hakim dituntut mencari dan
menemukan keadilan-kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah
hukum yang ada. Inilah inti terobosan dalam hukum progresif.12
9 Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010 ), hlm. 212-213
10
Ibid., hlm. 214
11
Ibid., hlm. 215
12
Ibid., hlm. 217-218
5
Apabila dikaji secara lebih mendalam, penerapan gagasan hukum progresif
sesungguhnya juga ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu
yang dikenal dengan diskresi. Jika hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan
konteks ketimbang teks-teks aturan semata, ini menyebabkan soal diskresi yang
dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Polisi
dituntut untuk memilih kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada
padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pebenaran untuk
menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnyaa berdasarkan
pendekatan moral, kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan
formal.13
C. Permasalahan
1. Apa alasan sosiologis dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018?
2.Bagaimana eksistensi Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 ditinjau dari Teori
Manfaat dan Teori Progresif ?
D. Urgensi Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini karena penegakan hukum pidana secara
represif dengan melaksanakan proses pemeriksaan seperti yang diatur dalam hukum acara pidana
yaitu proses penyidikan, penuntutan dan persidangan menimbulkan beberapa persoalan seperti
Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, terjadinya penumpukan perkara, jumlah
penegak hukum yang tidak sebanding dengan jumlah perkara dan dana yang tidak cukup
tersedia untuk menyelesaikan perkara yang makin bertambah jumlahnya. Dengan
dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Penulis ingin
mengetahui lebih lanjut tentang eksistensi Surat Edaran ini dilihat dari Teori Manfaat dan
Teori Progresif. Apakah ada manfaatnya jika sebuah perkara setelah dilakukan
penyidikan oleh Kepolisian lalu dilanjutkan ke tahap penuntuan dan persidangan. Atau
lebih baik jika perkara itu dihentikan pemeriksaannya dengan menerapkan keadilan
restoratif.
13
Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hal. 27-28
6
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan sosiologis dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor
SE/8/VII/2018
2. Untuk mengetahui eksistensi Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 ditinjau
dari Teori Manfaat dan Teori Progresif
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan Restorative Justice sudah pernah dilakukan
sebagaimana di bawah ini namun Penulis mengkhususkan ruang lingkup penelitian tentang
Eksistensi Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana Ditinjau dari Teori Manfaat
dan Teori Progresif.
Penelitian tentang Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia oleh Ahmad Faizal Azhar.14
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa : Penyelesaian perkara dengan menggunakan jalur litigasi dalam
prakteknya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan oleh
masyarakat Indonesia karena penyelesaian perkara dengan menggunakan jalur litigasi dalam
sistem peradilan pidana tradisional saat ini justru menimbulkan permasalahan-permasalahan
yang baru misalnya pola pemidanaan yang masih bersifat pembalasan, menimbulkan
penumpukan perkara, tidak memperhatikan hak-hak korban, tidak sesuai dengan asas
peradilan sederhana, proses Panjang, rumit dan mahal, penyelesaian bersifat legistis dan
kaku, tidak memulihkan dampak kejahatan, tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat
dan lain sebagainya, padahal hukum dibuat pada hakikatnya untuk memberikan keadilan dan
manfaat bagi manusia yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila. Melihat berbagai fenomena
ini, dalam perkembangan terkini muncul sebuah konsep baru yakni konsep keadilan
restoratif. Konsep atau pendekatan keadilan restoratif dinilai dapat mengatasi berbagai
permasalahan dalam sistem peradilan pidana tradisional sebagaimana disebutkan di atas.
Ada lagi penelitian oleh Haga Sentosa Lase dan Sri Endah Wahyuningsih tentang
Penerapan Restorative Justice dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Anak di Pengadilan
Negeri Wonosobo.15
Hasil penelitiannya adalah bahwa :
1. Pelaksanaan restorative justice di Pengadilan Wonosobo terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga PerMA nomor 4 tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Diversi.
14
Jurnal Kajian Hukum Islam, volume 4 nomor 2
15 Jurnal Hukum Khaira Ummah, volume 12 nomor 2
8
2. Hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri
Wonosobo :
a. Adanya perbedaan persepsi mengenai makna keadulan oleh para pelaku diversi baik itu
dari pihak korban, keluarganya, pelaku dan atau keluarganya, apparat penegak hukum,
dan masyarakat terhadap pelaksanaan diversi.
b. Adanya inkonsistensi terhadap pelaksanaan peraturan khususnya yang diatur dalam
Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
3. Upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan diversi
adalah sebagai berikut :
a. Memberikan sosialisasi ataupun penyuluhan hukum ke masyarakat yang bekerja sama
dengan pemerintah daerah dan instansi yang terkait tentang diversi.
b. Menjalin komunikasi yang intensif dengan para penegak hukum lainnya.
Dalam mengatasi hambatan-hambatan yang ada tidak akan berhasil apabila tidak didukung
oleh semua pihak yang terkait.
Ada lagi penelitian tentang Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
oleh Randy Pradityo.16
Hasil penelitiannya : Restorative Justice dalam sistem peradilan
pidana anak merupakan bagian dari implementasi diversi. Pengaturan diversi dan restorative
justice sudah dirumuskan dalam Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Idealnya, restorative justice melibatkan tiga pemangku kepentingan yaitu korban, pelaku, dan
civil society atau masyarakat dalam menentukan penyelesaian perkara anak. Melalui
restorative justice, maka ada upaya untuk mempertemukan korban dan pelaku dengan tujuan
mengupayakan pemulihan bagi korban. Di sisi lain, pelaku anak, walaupun statusnya pelaku,
namun anak yang menjadi pelaku juga termasuk korban yang berhak juga mendapatkan
pemulihan kembali bahkan memasyarakatkan pelaku anak tersebut, bukan dengan melakukan
pembalasan. Selain itu, penanganan perkara pidana anak melalui restorative justice akan
terlaksana secara optimal, apabila kelengkapan-kelengkapan restorative justice tersedia
secara baik di suatu institusi peradilan. Apparat berwenang pun sudah seharusnya mempunyai
kemauan dan kemampuan yang kuat untuk menangani perkara yang melibatkan anak sesuai
dengan prinsip the best interest of the children. Dengan demikian restorative justice benar-
benar terlaksana demi kepentingan terbaik bagi anak.
16
Jurnal Hukum dan Peradilan, volume 5 nomor 3
9
Ada juga penelitian tentang Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia oleh
Kuat Puji Prayitno.17
Hasil penelitiannya : Karakteristik peradilan restoratif adalah Just
Peace Principle atau keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) antara pelaku, korban dan
masyarakat, sehingga peradilan ini melihat bahwa kejahatan adalah sebagai tindakan oleh
pelaku terhadap orang lain atau masyarakat daripada terhadap negara. Kaitannya dengan
rambu-rambu penegakan hukum nasional dijumpai bahwa secara ketatanegaraan restorative
justice menemukan dasar pijakannya dalam falsafah sila ke-4 Pancasila yaitu prinsip
musyawarah untuk menyelesaikan masalah.Restorative justice dapat dilakukan dalam
penegakan hukum pidana in concreto dengan program-program antara lain sebagai berikut :
Pertama, melalui kewenangan Lembaga LPSK, atau Jaksa dan Hakim di pengadilan berdasar
ketentuan Undang-undang nomor 13 tahun 2006 maupun Peraturan Pemerintah nomor 44
tahun 2008, akan tetapi sejak semula pendekatan yang digunakan adalah proses restorative
justice; kedua, menggunakan kaidah secondary rules yang memberi kewenangan kepada
apparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) melakukan creation, extinction, and alteration of
primary rules. Creation, extinction, atau alteration itu dengan proses restorative justice.
Dari hasil-hasil penelitian di atas tampak bahwa penelitian yang akan penulis lakukan
belum ada.
17
Jurnal Dinamika Hukum, volume 12, nomor 3
10
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada semester genap 2019/2020 sebagai beban tugas
melakukan tri dharma perguruan tinggi yang harus Penulis penuhi pada semester tersebut.
Penelitian dilakukan di perpustakaan guna mendapatkan bahan hukum. Selain itu bahan
hukum yang diperlukan diperoleh dari internet.
B. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan :
1. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana
2. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, jurnal
3. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.
11
C. Desain Penelitian
D. Analisis Data
Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan
menyampaikan hasilnya berupa kalimat-kalimat yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan. Dalam menemukan jawaban dari permasalahan digunakan beberapa teori
yang relevan sebagai pisau analisis sehingga dihasilkan kesimpulan yang diharapkan.
Latar belakang
Proses penegakan
hukum pidana dengan
mengikuti tahap-tahap
yang diatur dalam
hukum acara pidana
memerlukan waktu yang
cukup lama dan
menimbulkan beberapa
masalah seperti :
Lembaga
Pemasyarakatan yang
over capacity, tunggakan
perkara yang semakin
meningkat, jumlah
penegak hukum yang
tidak seimbang dengan
perkembangan perkara,
biaya perkara yang tidak
mampu mendukung
peningkatan perkara. Surat Edaran KAPOLRI
nomor SE/8/VII/2018
berupaya mengatasi
masalah-masalah tersebut .
Permasalahan
1. Apa alasan sosiologis
dibuatnya Surat
Edaran KAPOLRI
nomor
SE/8/VII/2018?
2. Bagaimana eksistensi
Surat Edaran
KAPOLRI nomor
SE/8/VII/2018 ditinjau
dari Teori Manfaat
dan Teori Progresif?
Metode
penelitian
Waktu penelitian
Semester genap
2019/2020
Lokasi penelitian
Perpustakaan
Bahan hukum
Bahan hukum
primer, sekunder,
tersier
Analisis data
Secara kualitatif
Kesimpulan
Pembahasan
12
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Sosiologis Dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018
Dalam Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 dikatakan bahwa
keadilan restoratif mencerminkan keadilan bagi korban dimana pelaku
mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat kejahatan yang ia lakukan
dengan cara mengakui kesalahan, minta maaf, mengembalikan kerusakan dan
kerugian kepada korban.
Hukum bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku agar ia menyadari
akan kesalahan yang sudah ia lakukan dan membuatnya jera tapi hukum juga ingin
memberi perlindungan kepada korban antara lain dengan cara meminta pelaku
menagakui kesalahannya dan minta maaf kepada korban. Selain itu juga agar pelaku
mengembalikan keusakan dan kerugian kepada korban. Jadi hukum bertujuan
menegakkan keadilan.
Dengan adanya Surat Edaran ini diharapkan proses pemeriksaan perkara dapat
diselesaikan di tingkat penyidikan. Hal ini dapat mempersingkat proses pemeriksaan
dari yang seharusnya seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Tentunya hal ini membawa dampak positif untuk mengatasi
beberapa persoalan (jika perkara berlanjut hingga ke persidangan) antara lain
Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan perkara yang semakin
meningkat, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan perkembangan
perkara, biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan perkara.
Sebagaimana diketahui bahwa tingginya tingkat kejahatan dan tidak
diimbangi dengan ketersediaan lembaga pemasyarakatan dan sel-sel yang memadai di
lembaga pemasyarakatan mengakibatkan terjadinya kelebihan kapasitas huni (over
capacity) di lembaga pemasyarakatan. Jumlah perkara yang terus bertambah karena
banyak terjadi kejahatan juga mengakibatkan jumlah perkara yang harus diselesaikan
di pengadilan begitu banyak hingga terjadi tunggakan perkara. Hal ini juga
dipengaruhi oleh tidak seimbangnya jumlah penegak hukum dibanding jumlah
perkara yang harus diselesaikan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan
dana dari negara yang kurang memadai untuk membiayai penanganan perkara-perkara
tersebut.
13
B. Eksistensi Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 Ditinjau dari Teori
Manfaat dan Teori Progresif
Sebagai salah satu upaya mengatasi masalah-masalah di atas yaitu over
capacity, tunggakan perkara, kurangnya jumlah penegak hukum dan kurangnya dana
untuk penanganan perkara maka dibuat Surat Edaran KAPOLRI nomor
SE/8/VII/2018. Surat edaran ini merupakan pedoman bagi penyelidik dan penyidik
POLRI untuk menyeragamkan pemahaman dan penerapan restorative justice.
Agar tidak terjadi perbedaan interpretasi para penyidik serta penyimpangan
dalam pelaksanaannya, maka ada syarat materil yang harus dipenuhi yaitu :
1. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan
masyarakat;
2. Tidak berdampak konflik sosial;
3. Ada pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan
melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
4. Prinsip pembatas :
a. Pada pelaku :
1) Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan
(schuld atau mens rea) dalam bentuk kesengajaan (dolus atau
opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet
als oogmerk);
2) Pelaku bukan recidivis
b. Pada tindak pidana dalam proses :
1) Penyelidikan;
2) Penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum.
Dari uraian di atas tampak bahwa dalam menyelesaikan perkara secara restorative
justice ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak semua perkara dapat diselesaikan
dengan cara ini, tetapi hanya perkara dimana tingkat kesalahan pelaku tidak berat saja.
Penerapan restorative justice ini disertai dengan dibuatnya perjanjian
perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban dengan Penetapan Hakim
melalui Jaksa Penuntut Umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari
korban dan Penuntut Umum. Jika sudah tercapai perdamaian maka diharapkan
keadaan menjadi pulih. Dengan demikian masyarakat merasakan manfaat dari hukum
sebagaimana disampaikan oleh Jeremy Bentham bahwa tujuan hukum adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.
14
Selain itu jika dilihat dari segi efisiensi biaya, maka jika perkara dapat diselesaikan di
tingkat penyidikan akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan negara.
Upaya menerapkan restorative justice di tingkat penyelidikan dan penyidikan
oleh POLRI diatur dalam :
1. Pasal 7 ayat (1) huruf J KUHAP bahwa penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab
2. Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang-undang nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) angka 4
KUHAP bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf L adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c. harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia
3. Pasal 18 Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal 18 ayat (2) Undang-
undang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia
4. Pasal 22 ayat (2) huruf b dan c Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa “Setiap penggunaan diskresi
pejabat pemerintahan bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan
memberikan kepastian hukum”.
Dari dasar-dasar hukum tentang penerapan restorative justice dalam penyelidikan
dan penyidikan oleh POLRI di atas, tampak bahwa Surat Edaran KAPOLRI
nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana merupakan upaya terobosan untuk mengatasi
15
masalah-masalah yang timbul jika proses pemeriksaan sebuah perkara pidana
harus mengikuti tahap-tahap yang diatur dalam hukum acara pidana, yaitu
masalah lembaga pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan perkara yang
semakin meningkat, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan
perkembangan perkara, biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan
perkara.
Hal ini sesuai dengan teori progresif bahwa hukum dapat dikaitkan dengan
tujuan sosial yang tidak harus sesuai dengan bunyi undang-undang. Dalam hal ini
penegak hukum dapat melakukan perubahan tanpa harus menunggu perubahan
peraturan , jadi penegak hukum dapat melakukan terobosan karena masalah yang
timbul tidak selalu sesuai dengan aturan yang ada.
Namun demikian tentu ada batasan-batasan yang harus diperhatikan untuk
dapat menerapkan restorative justice dalam perkara pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang-undang nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) angka 4
KUHAP di atas. Selain itu ada juga syarat-syarat materil yang harus dipenuhi
sepanjang menyangkut pelaku dan sudah sampai dimana proses pemeriksaan
perkara tersebut.
16
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Alasan sosiologis dibuatnya Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 adalah
untuk mengatasi Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity, tunggakan perkara
yang semakin meningkat, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang dengan
perkembangan perkara, biaya perkara yang tidak mampu mendukung peningkatan
perkara.
2. Ditinjau dari teori manfaat Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 dibuat agar
memberi manfaat kepada pelaku dan korban, sedangkan ditinjau dari teori
progresif merupakan terobosan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul jika
proses pemeriksaan sebuah perkara pidana harus mengikuti tahap-tahap yang diatur dalam
hukum acara pidana.
B. Saran
1. Agar penegak hukum khususnya Kepolisian menerapkan Surat Edaran KAPOLRI
nomor SE/8/VII/2018 jika memenuhi syarat yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan
2. Agar Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 ini disosialisasikan kepada
masyarakat sehingga masyarakat mengetahui bahwa tidak semua perkara pidana
harus diselesaikan sebagaimana dalam hukum acara pidana tetapi dimungkinkan
diselesaikan dengan menerapkan restorative justice.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, PT Toko Gunung Agung Tbk, 2002
Ali, Mahrus, Membumikan Hukum Progresif, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2013
Lamintang, PAF dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010
Marlina, Hukum Penitensier, Bandung, PT Refika Aditama, 2011
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, Jakarta,
CV INDHILL CO, 2007
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, Jakarta, Lembaga Kriminologi UI, 1994
Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011
Tanya, Bernard L. dkk, Teori Hukum,Yogyakarta, Genta Publishing, 2010
Peraturan
Indonesia, Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
________,Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
________, Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
________,Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
________, Surat Edaran KAPOLRI nomor SE/8/VII/2018 butir 2 huruf c
Jurnal
Jurnal Kajian Hukum Islam, volume 4 nomor 2
Jurnal Hukum Khaira Ummah, volume 12 nomor 2
Jurnal Hukum dan Peradilan, volume 5 nomor 3
Jurnal Dinamika Hukum, volume 12, nomor 3