LIBERASI PERDAGAN GAN AG RO Kesiapan Jawa Barat datam Implementasi AFTA
uji syukur kehadirat Alloh Subhanahu wata’ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan
buku ini dapat diselesaikan.PPenulis menyadari bahwa buku ini masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, namun penulis berkeyakinan
bahwa setiap pemikiran yang positif sedikiti apapun pasti ada
manfaatnya. Semoga buku yang semula adalah disertasi penulis
ini dapat memberikan masukan dalam pengkajian Ilmu
Administrasi Publik pada umumnya dan khususnya Ilmu
Kebijakan Publik.
Untuk orang tua penulis Ibu Hj. SUmarni SUatma
(almarhum) dan Bapak Marzuki SInaga yang telah memberikan
dukungan moril dan do'a yang tiada henti-hentinya, penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang tulus dan mendalam.
Selain itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ganjar Kurnia; Prof. Dr. H.
Asep Kartiwa, Drs., SH., MS.; Prof. Dr. Ir. H. Mafud Arifin, M.S.; Prof.
Dr. H. Engkus Kuswarno, M.S.; Dr., H. Memed Sueb, M.S., AK.; Prof.
Drs. H. A. Djadja Saefullah, M.A.; Prof. Dr. Josy Adiwisastra; Prof.
Prakata
iPRAKATA
ii LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Dr. H. Tachyan, Drs., MS.; Prof. Dr. H. Nasrullah, Drs., M.S; Prof. Dr.
H. Budiman Rusli, Drs., M.S.; Prof. Dr. H. Utang Suwaryo, Drs., M.S.;
Yanyan Mochamad Yani, Drs., MAIR, Ph.D.
Juga patut saya sampaikan ucapan terima kasih kepada
Dirjen ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia;
Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat; Kepala
Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Industri dan Perdagangan
Agro Jawa Barat; Kepala Kamar Dagang dan Industri Jawa Barat;
Kepala Bappeda Jawa Barat; Kepala Biro Desentralisasi Setda
Propinsi Jawa Barat; Komunitas Komoditi Agro Jawa Barat.
Tentu saja penulis semestinya berterimakasih kepada
isteri tercinta Ina Herlina, S.IP., dan keempat anak kami, Afghan
Prawira, Muhammad Kahfi, CInta Nadzira Sinaga, dan Loveli
Jannati Sinaga yanng teleh banyak memberikan dukungan yang
tek ternilai kepada penulis.
Kepada Prof. Dr. H. Dede Mariana selaku Kepala
Pustlitbang KPK LPPM Undpad yang telah berkenan
menerbitkan buku ini, serta kepada sejumlah pihak yang turut
andil dalam buku ini, saya pun menghaturkan terimakasih
banyak. demikian juga untuk Prof. Dr. Ina Primiana yang telah
memberikan catatan pengantarnya bagi buku ini.
Penulis hanya bisa berterimakasih dan menyerahkan
kepada Allah SWT untuk membalas kebaikannya secara berlimpah
baik di dunia maupun di akhirat. Amiin.
idang pembaca sekalian, sebagaimana pepatah klasik
yang menyebutkan bahwa buku adalah gudang ilmu dan Smembaca adalah kuncinya, menjadi kian relevan di tengah
upaya kita semua mendorong pemerintah meningkatkan kulitas
manusia Indonesia.
Puslitbang Kebijakan PUblik dan Kewilayahan LPPM
Unpad tentu saja memiliki niat untuk selalu menyebarkan setiap
butir hasil pemikiran apalagi hasil penelitian sehingga kian
banyak yang membacanya akan semakin baik, sekurangnya
pemikiran-pemikiran itu tidak akan berkutat di ruang-ruang
sempit akademis belaka, sebab publik juga memiliki hak untuk
meningkatkan daya kritisnya, menambah asupan ulmu
pengetahuannya. Karena kami yakin, buku adalah gizi bagi
tumbuh kembang jiwa kemanusiaan kita.
Melalui sejumlah penerbitan buku dan jurnal, PUslitbang
KPK LPPM Unpad bekerjasama dengan Penerbit AIPI Bandung
dan M63 Foundation, terus mencoba berkomitmen merealisasikan
niatan tersebut. Buku berjudul Liberalisasai Perdagangan Agro,
Kesiapan Jawa Barat dalam Implementasi AFTA karya Dr. H.
iiiKATA PENGANTAR
Kata Pengantar
Obsatar Sinaga, M.Si., ini semula merupakan manuskrip disertasi
pada program doktor (S3) Ilmu Administrasi Program
Pascasarjana FISIP Unpad. Terima kasih kepada Prof. Dr. H. Ina
Primiana Sagir, M.T., yang telah berkenan memberikan kata
pengantar. Juga ucapan terima kasih kepada Rektor Unpad, Prof.
Dr. Ganjar Kurnia, DEA., yang selalu memotivasi dan menantang
agar karya-karya mahasiswa berupa Skirpsi, Tesis, dan Disertasi
dapat dipublikasikan akademik kepada publik. Terima kasih
kepada Dekan FISIP Unpad, Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, S.H., MS.,
yang senantiasa berkomitmen untuk membeli karya-karya buku
yang diterbitkan guna melengkapa kepustakaan di
perpustakaan FISIP Unpad.
Sidang pembaca sekalian, tegur dan sapa, kritik dan
saran, dari berabgai pihak, merupakan enerji bagi kami untuk
selalu bebenah diri agar edisi penerbitan-penerbitan buku
selanjutnya semakin mencerahkan.
Selamat membaca
Kepala Puslitbang
KPK LPPM Unpad
Dede Mariana
iv LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
erbicara tentang AFTA yang kemudian dilanjutkan
dengan perjanjian lebih khusus seperti dengan China
yang disebut ACFTA ataupun dengan India yang disebut BAIFTA maka yang terbayang dalam benak kita adalah mampukah
Negara kita berkompetisi dengan Negara-negara tersebut di
dalam koridor liberalisasi perdagangan? Bagaimanakah daya
saing produk-produk domestic pasca liberalisasi perdagangan
tersebut. Dalam kaitan tersebut Dr. Obsatar Sinaga tertarik untuk
membahas Implementasi AFTA di sektor pertanian.
Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki
kontributor tertinggi pada PDB Nasional, maka buku ini
diharapkan dapat memperkaya pengetahuan para pembuat
kebijakan dalam mendorong sektor pertanian di era AFTA ini
khususnya di Jawa Barat dan Indonesia umumnya.
Perbedaan buku ini dengan buku-buku yang membahas
tentang AFTA lainnya adalah dalam pembahasannya bukan
semata-mata ditinjau dari sisi ekonomi saja tetapi juga dari sisi
pemerintahan yaitu dikaitkan dengan struktur birokrasi yang ada
vPENGANTAR
Peluang dan Tantangan
AFTA di Sektor Pertanian
PENGANTAR: Prof. Dr. Ina Primiana
vi LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
di Jawa Barat. Ternyata diperlukan penyesuaian ataupun
pemberdayaan terhadap struktur birokrasi yang ada agar
mampu menghadapi perubahan-perubahan global secara cepat
dan terarah. Dan ini untuk menghindari ketidaktahuan informasi
tentang liberalisasi perdagangan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat.Demikian pengantar saya, selamat membaca
dan semoga dapat memperkaya pengetahuan tentang
bagaimana peluang dan ancaman dengan adanya AFTA
khususnya di sektor Pertanian.
viiDAFTAR ISI
Daftar Isi
PRAKATA
KATA PENGANTAR
PENGANTAR: Prof. Dr. Ina Primiana; Peluang dan
Tantanga AFTA di sektor Pertanian.
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
Jalur Normal (Normal Track) ............................................
Jalur Cepat (Fast Track) ....................................................
Problem Nasional dan Jawa Barat ..............................
BAB 2 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Model-Model Implementasi kebijakan .....................
Model Lane ..........................................................................
Model Van Meter dan Van Horn .................................
Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier ....
v
vii
ix
3
3
11
13
19
19
22
viii LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Model Hogwood dan Gunn ...........................................
Model George C. Edward III ..........................................
Komunikasi (Communication) .......................................
Komunikator .....................................................................
Penerima (Receiver).........................................................
Media/Saluran Komunikasi (Channel Transmitter).....
Hambatan (Noise) ...........................................................
Sumberdaya (Resource) ...................................................
Sumberdaya Aparatur ...................................................
Sumberdana Implementasi Kebijakan ....................
Sarana dan prasarana (Facilities Infrastucture) .......
Disposisi atau Sikap dan Perilaku terhadap
Kebijakan (dispositions) ..................................................
Penataan Staf Birokrasi (Staffing The Bureaucratic) ....
Insentif (Incentives) ............................................................
Struktur Birokrasi (Bureaucracy Structure) ..................
Prosedur Operasional Baku (Standard Operational
Procedures – SOP) ............................................................
Fragmentasi (Fragmentation) ........................................
BAB 3 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Motif Perdaganan dan Tekanan Liberalisasi ...........
Kebijakan Pemerintah di Bidang Agro ......................
Skenario Liberalisasi .........................................................
Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi .............................
Pendekatan Daya Saing dalam Pengembangan
Usaha Industri Agro ..........................................................
24
32
33
34
34
35
35
37
38
39
39
40
40
41
41
42
43
45
48
49
50
55
ix
Analisis Kebijakan ..............................................................
BAB 4 MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Dinas Perindustrian dan Perdaganan Agro
Propinsi Jawa Barat ...........................................................
Program Pengembangan Agribisnis ........................
Program Pengembangan Usaha dan
Pemanfaatan Sumberdaya Agro Kelautan .............
Program Pengembangan Industri Manufaktur
Agro .......................................................................................
Program Pengembangan Perdaganan Agro
Dalam dan Luar Negeri ..................................................
Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) Jawa Barat
2005-2025 ..............................................................................
Sari dari RPJPD Jawa Barat Tahun 2005-2025 .........
Sentra Produksi Komoditas Agro Jawa Barat ..........
Produktivitas Komoditi Agro ..........................................
Karakteristik Fluktuasi Harga Produk/Komoditi
Agro .........................................................................................
Faktor-faktor Penentu Daya Saing Jawa Barat ........
Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro
dalam kerangka AFTA .......................................................
Realitas Lapangan ..............................................................
Faktor Transmisi dari Komukasi ....................................
Pertentangan Pendapat .................................................
55
63
64
65
66
68
72
73
78
81
83
84
87
88
93
94
DAFTAR ISI
x LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Faktor Kejelasan (Clarity) ...............................................
Keadaan Sumber Daya (Resources) ..........................
Staf yang Melaksanakan ...............................................
Informasi .............................................................................
Kewenangan (Authority) ...................................................
Fasilitas-fasilitas Fisik Material ...................................
Kecenderungan dari Para Pelaksana (Disposisi) ...
Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure) ...............
Implikasi Kebijakan .........................................................
Pembangunan Data Base Potensi Lokal .................
Skala Prioritas Agenda Hubungan Luar Negeri ...
Struktur Baru: Biro Kerjasama Luar Negeri di
Setda Propinsi Jawa Barat ............................................
Pengembangan Mekanisme Diplomasi Publik
melalui Sistem Pelayanan Informasi
Pemberdayaan Publik ....................................................
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
RIWAYAT SINGKAT PENULIS
97
100
101
103
107
111
117
124
129
130
132
133
134
141
157
170
iberalisasi perdagangan, investasi maupun jasa baik pada
tingkat regional maupun global telah menuntut negara-
negara di seluruh dunia untuk meningkatkan Lkemampuan bersaingnya seiring dengan semakin terbukanya
pasar internasional. Dalam skala regional, Indonesia tidak luput
dari tuntutan terhadap liberalisasi perdagangan ASEAN Free
Trade Agreement (AFTA).
AFTA ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) ASEAN ke-IV tahun 1992. Peluncuran AFTA ini dilatarbelakangi
oleh keberhasilan kerjasama regional lainnya seperti NAFTA,
Pasar Tunggal Eropa, dan keinginan negara-negara anggota
ASEAN sendiri untuk lebih membuka perekonomiannya. Melalui
pembentukan AFTA, ASEAN yang akan berpenduduk lebih dari
500 juta jiwa pada tahun 2010 merupakan pasar potensial,
sekaligus mempunyai daya tarik yang lebih besar bagi investasi
intraregional maupun dari luar ASEAN.
Upaya perwujudan AFTA ini sangat memberikan harapan.
Hal itu secara jelas tercermin dari kesediaan negara-negara
ASEAN untuk memulai pelaksanaan AFTA terhitung sejak tanggal
BAB 1
Pendahuluan
1bab 1 - PENDAHULUAN
1 Januari 1993 ketika semua negara anggota telah menyampaikan
jadwal penurunan tarifnya dan mencapai puncaknya pada tahun
2002 ketika suatu kawasan perdagangan bebas AFTA telah
terbentuk di Asia Tenggara.
Indonesia mendukung diberlakukannya AFTA secara
bertahap melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT)
yaitu daftar barang-barang komoditi yang diperjualbelikan antar
negara-negara ASEAN yang telah dikurangi tarif bea masuknya.
Implementasi penurunan tarif beberapa komoditas yang tertuang
dalam ketentuan CEPT dalam agenda AFTA terbagi dalam tiga
kelompok yaitu: 1) Kategori CEPT (Fast Track); 2) Kategori Normal
(Normal Track) dan; 3) Kategori perkecualian sementara
(Temporary Exclusion List).
Penurunan tarif dari beberapa komoditas tersebut telah
dimulai pada tahun 1993 dan (diharapkan) akan berakhir pada
tahun 2008. Maksudnya tingkat tarif seluruh komoditas
manufaktur dan hasil olahan pertanian akan diturunkan menjadi
0 - 5 % dalam waktu 15 tahun.
Hambatan-hambatan teknis dan non-teknis yang meling-
kupi perdagangan intra-regional ASEAN juga akan dihilangkan.
Untuk komoditas yang termasuk dalam kategori cepat (fast track)
yang meliputi 15 kelompok komoditas dan konon mencapai 40 %
dari volume perdagangan ASEAN, setiap negara anggota ASEAN
bahkan diharapkan untuk mengurangi tingkat tarif pada
perdagangan intra ASEAN lebih kecil 5% paling lambat pada akhir
tahun 2003.
Untuk komoditas yang termasuk dalam kategori per-
kecualian (temporary exclusion list), walaupun bersifat untuk
sementara, negara anggota mempunyai komitmen moral untuk
melepas status eksklusivitas itu pada akhir tahun 2001. Tahapan
2 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
menuju kesana telah dimulai, misalnya pada pertemuan para
Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-26 di Thailand (September
1994), penurunan tarif kedua jalur pertama (cepat dan normal)
dapat di khtisarkan sebagai berikut :
1. Jalur Normal (normal track)
Komoditas dengan tingkat tarif di atas 20% akan dikurangi
hingga 20% sebelum 1 Januari 1998, dan secara betahap
dikurangi dari 20 % menjadi 0 - 5 % sebelum 1 Januari 2003
komoditas dengan tingkat tarif sebesar 20 % atau kurang akan
di kurangi hingga 0 - 5 % sebelum 1 Januari 2000.
2. Jalur Cepat (fast track)
Komoditas dengan tarif di atas 20 % akan dikurangi menjadi 0 –
5 % sebelum 1 Januari 2000. Komoditas dengan tarif sebesar 20
% atau kurang akan dikurangi hingga 0 - 5 % sebelum 1 Januari
1998.
Secara keseluruhan melalui skema CEPT terdapat lebih
dari 14.800 komoditas yang termasuk dalam kategori cepat,
hampir 26.000 dalam kategori perekomian sementara (liha Tabel
di bawah ini).Tabel 1.1. Jumlah Komoditas Dalam CEPT
Indonesia
Malaysia
FilipinaSingapura
Thailand
Sub total
Total
NEGARA CEPAT NORMAL PERKECUALIANSEMENTARA
2,819
2,985
9602,183
3,531
14.885
4,539
5,170
5,170
3,473
5,146
25.918
1,648
621
694
1
122
3,322
44.095
Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2003
3bab 1 - PENDAHULUAN
Sejak tahun 2003 daftar perkecualian sementara
umumnya meliputi bahan kimia, plastik dan sektor kendaraan
bermotor yang mencapai lebih dari 45 % dari daftar
perekonomian itu, Indonesia bahkan memasukan jumlah
komoditas terbesar, yaitu sebesar 1.648 terutama pada sektor
bahan kimia. Sementara Brunei memasukan daftar perkecualian
sementara pada sektor mesin dan barang-barang elektronik,
kendaraan di Malaysia, tekstil di Filipina dan kendaraan di
Thailand.
Sementara itu, hasil kesepakatan AEM ke-26 di Thailand
(September 1994) juga diantaranya memasukan semua
komoditas pertanian yang belum diolah ke dalam skema CEPT.
Para angota ASEAN pun sementara telah mengelompokan
komoditas pertanian ke dalam tiga jalur: 1) Daftar normal /cepat;
2) Daftar perkecualian dan; 3) Daftar sensitif.
Dalam pertemuan tingkat Menteri Ekonomi ASEAN
(AEM) dan tingkat Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN
(AMAF) telah menghasilkan daftar-daftar yang termasuk ke
dalam tiga kategori tersebut. Hal yang cukup mengagumkan
adalah bahwa 68 % dari hampi 200 kmoditas yang semula tidak
termasuk CEPT kini telah dimasukan dalam daftar normal cepat
(immediate inclusion).
URAIAN JUMLAH PROSENTASE
Daftar Normal/Cepat
Daftar Perkecualian
Daftar Sensitif
Total
1.358
402
235
68
20
12
1.995 100
Sumber: Sekretariat Nasional ASEAN, 2007
Tabel 1.2. Komoditas Pertanian Belum Diolah
4 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Berdasarkan Tabel 1.2. terlihat bahwa komoditas yang masuk
daftar cepat/normal sebagai agenda penting AFTA mencatat angka
yang tinggi. Hal tersebut sekaligus menjadi penyebab lambatnya
proses implementasi kebijakan AFTA secara menyeluruh.
Hambatan pelaksanaannya adalah pertama, hambatan
prosedur dan administrasi. Kedua, perbedaaan tarif efektif di
negara-negara anggota ASEAN atas suatu barang yang sama
setelah dikenakan MOP (Margin of Preference). Ketiga, perbedaan
kebijakan dan program diantara negara-negara atas produk yang
termasuk dalam CEPT. Keempat, produk-produk CEPT masih
terkena halangan nontarif, seperti pembatasan jumlah impor,
dari sini dibutuhkan suatu terobosan bagi kerjasama ASEAN.
Meskipun AFTA sudah dilaksanakan sejak tahun 2003,
namun pada kenyataannya terus mengalami kemunduran
dikarenakan produk-produk yang masih dipersoalkan tarifnya,
utamanya komoditas pertanian. Secara khusus, Indonesia sebagai
salah satu negara anggota ASEAN juga tidak dapat menghindar
dari proses liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Tenggara ini.
Pada tataran administratif Sekretariat ASEAN (ASEAN
Secretariat) memiliki perwakilan di setiap negara anggota ASEAN
yakni Sekretariat Nasional ASEAN di bawah Departemen Luar
Negeri. Dengan kata lain di era reformasi Indonesia, implementasi
AFTA di tingkat nasional meliputi instansi terkait seperti Seknas
ASEAN, pemerintahan pusat, dan pemerintah daerah. Hal itu perlu
secara saksama dikaji karena dewasa ini pelaksanaan otonomi
daerah telah membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai
salah satu komponen dalam penyelenggaraan hubungan luar
negeri. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri
(Deplu) RI memberikan peluang seluas-luasnya kepada daerah
untuk menjalin kerja sama dengan luar negeri.
5bab 1 - PENDAHULUAN
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dalam beberapa pasalnya mengatur soal kerja sama. Salah satu
diantaranya disebutkan bahwa ”daerah dapat mengadakan kerja
sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan luar
negeri yang diatur dengan keputusan bersama”.
Sementara dalam UU Nomor: 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri, antara lain disebutkan hubungan luar
negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional
dan in ternasional yang dilakukan pemerintah di tingkat pusat
dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan
usaha, orga nisasi masyarakat, LSM atau warga negara Indonesia
(Pasal 1, Ayat 1).
Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan
Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional
dan hukum serta kebiasaan internasional. Ketentuan ini berlaku
bagi semua penyelenggara Hubungan Luar Negeri, baik pemerintah
maupun non-pemerintah (Pasal 5, Ayat 1 dan 2).
Kaitannya dengan implementasi AFTA, Departemen Luar
Negeri RI memberi peluang kepada daerah untuk melakukan kerja
sama luar negeri dalam kerangka AFTA dengan berpedoman pada
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Peran
Deplu yaitu memadukan seluruh potensi kerjasama daerah agar
tercipta sinergi dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri.
Selain itu, mencari terobosan baru, menyediakan data yang
diperlukan dan mencari mitra kerja di luar negeri, mempromosikan
potensi daerah di luar negeri, memberikan perlindungan kepada
daerah, memfasilitasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.
Kemudian sesuai dengan perkembangan ekonomi dan
politik di dalam negeri, penyelenggaraan hubungan luar negeri
6 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dan pelaksanaan politik luar negeri tampaknya cenderung
memberikan penekanan pada kepentingan ekonomi. Dalam
mengintensifkan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri di bidang ekonomi, Indonesia lebih
mendorong keterli batan lembaga-lembaga non-pemerintah
(second track diplomacy) di bidang ekonomi, seperti Kamar
Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) baik di tingkat nasional
maupun daerah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, UU No. 37 tentang
Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional telah memberikan dasar hukum yang
lebih baik bagi koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan
hubungan luar negeri. Pola diplomasi yang kini berkembangpun
tidak lagi semata-mata bertumpu pada jalur first track diplomacy
yang bersifat formal antar pemerintah, melainkan juga semakin
sering terlaksana melalui jalur second track diplomacy yang
bersifat informal antar non-pemerintah.
Kaitannya dengan keterlibatan aktif pemerintahan daerah
dalam proses perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara,
Propinsi Jawa Barat mempunyai potensi dan peluang yang sangat
besar menjadi salah satu pusat perdagangan, jasa, agrobisnis
dan agroindustri terkemuka di Indonesia melalui pengembangan
kerjasama luar negeri dalam kerangka AFTA.
Lebih lanjut, dasar hukum kerja sama daerah, khususnya
Propinsi Jawa Barat, dengan luar negeri yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daera h;
7bab 1 - PENDAHULUAN
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional;
4. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
5. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
6. Keputusan Menlu RI No.or SK.03/A/OT/X/2003/01 tentang
Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh
Daerah;
7. Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri;
Secara khusus, di Propinsi Jawa Barat telah dikeluarkan
Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar Negeri.
Keputusan Gubernur Jawa Barat ini merupakan salah satu bentuk
upaya sungguh-sungguh membangun kerjasama luar negeri
dalam rangka pemberdayaan potensi daerah Jawa Barat,
termasuk upaya keterlibatan Jawa Barat dalam perdagangan
bebas komoditas pertanian di bawah aturan AFTA.
Perkembangan agrobisnis dan agroindustri di Jawa Barat
mempunyai prospek yang sangat baik. Hal itu dikarenakan
beberapa faktor yakni didukung oleh sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang melimpah, permintaan komoditas dari
dalam dan luar negeri tinggi, variabilitas produk yang dapat
dihasilkan untuk pasar domestik dan ekspor tinggi, usaha dalam
bidang agrobisnis dan agroindustri merupakan bisnis dengan nilai
milyaran dolar sehingga dapat menjadi sebagai sumber devisa.
Secara demikian pengembangan agro bisnis dan agro industri
dapat memiliki keunggulan komparatif dengan bangsa lain.
8 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Namun, implementasi kebijakan yang berkaitan dengan
AFTA di Jawa Barat tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
Misalnya saja berbagai kebijakan kaitannya dengan proses AFTA
di Jawa Barat belum dapat mengatasi berbagai kendala yang
dihadapi agrobisnis dan agroindustri komoditas pertanian di
Jawa Barat yakni lingkungan makro ekonomi yang belum kondusif,
permodalan, sumber daya manusia, teknologi, manajerial,
pemasaran, dan jaringan kerja (networking).
Hasil pengamatan awal di lapangan berkenaan dengan
berbagai kendala yang dihadapi agrobisnis dan agroindustri di
Jawa Barat antara lain; pertama, berkenaan dengan ketersediaan
sumber logistik bahan baku yang memiliki ketidakpastian yang
tinggi karena pemetaan potensi sumber bahan baku belum
adikuat serta kapasitas, kualitas, dan kuantitas yang belum
memadai karena ker-ap menerapkan manajemen uji coba (trial and
error).; kedua, terdapatnya mismanajemen dalam produksi,
keuangan, perawatan, persediaan, dan organisasi; ketiga, masih
terbatasnya informasi pasar yang dapat menunjang kelancaran
distribusi dan pemasaran karena terdapatnya hambatan dalam
akses dan distribusi informasi, system dan tata niaga, metode
distribusi dan transportasi, implementasi MSTQ (Measurement,
Standard, Testing and Quality) yang tidak berjalan dengan baik;
keempat, masih rendahnya tingkat pelayanan purna jual dan nilai
tambah komoditas karena latar belakang pendidikan,
pengetahuan, teknologi dan inovasi yang masih rendah di
kalangan petani serta standar mutu dan HAKI yang minim.
Kondisi di atas memunculkan ketertarikan untuk mengada-
kan suatu penelitian tentang bagaimana sebenarnya kondisi riil
ke-siapan komunitas pertanian Jawa Barat di dalam menghadapi
perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. Penelitian ini
9bab 1 - PENDAHULUAN
mengambil lokus di Jawa Barat dengan spesifikasi pada Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat, Dinas
Pertanian Propinsi Jawa Barat, Dewan Pengurus Daerah Asosiasi
Pengusaha Komoditas Pertanian.
Propinsi Jawa Barat, dan Kamar Dagang Indonesia
Daerah Jawa Barat (KADINDA JABAR) dengan pertimbangan
komunitas komoditas pertanian di tingkat Jawa Barat dapat
merupakan barometer perkembangan perdagangan komoditas
pertanian dalam kerangka AFTA di Jawa Barat.
Alasan pemilihan komoditas pertanian dikarenakan
dalam konteks implementasi AFTA terdapat empat daftar
produk yang masuk dalam skema CEPT, yaitu: 1) Inclusion list
(hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam 5 tahun; tidak
ada pembatasan kuantitatif); 2) General exception list (daftar
produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara
karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan
nasional. Misalnya: senjata, amu-nisis, arkeologis, narkotik, dsb);
3) Temporary exclusion list (daftar produk yang dikecualikan
sementara untuk dimasukan dalam skema CEPT .misalnya:
barang manufaktur, produk pertanian olahan); 4) Sensitive list
(produk pertanian bukan olahan. Misalnya: beras, gula, produk
daging, gandum, bawang putih, cengkeh, dsb.
Tahun 2008 diharapkan semua negara anggota ASEAN
sudah menerapkan skema CEPT terhadap sensitive list (produk
pertanian bukan olahan). Padahal perdagangan agrikultur intra
asean masih memiliki tingkat proteksi yang tinggi, hanya
singapura, brunei (0%), vietnam (0,92%) yang sudah menerapkan
tarif di bawah 5%. Sedangkan malaysia (5%), filipina (8%),
indonesia (12%), dan thailand (15%) pada tahun 2003.Jadi,
penelitian ini menarik untuk dilakukan sebab berupaya untuk
10 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
mengkaji implementasi afta dalam perdagangan komoditas
pertanian pada tataran akar rumput daerah Jawa Barat di
indonesia.
Keseluruhan pemikiran itu dikemas dalam judul
penelitian: “Implementasi AFTA (ASEAN Free Trade Agreement)
Bidang Perdagangan Komoditas Pertanian di Jawa Barat,
Indonesia”.
Problem Nasional dan Jawa Barat
Permasalahan yang teridentifikasi yakni implementasi AFTA
di Indonesia belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Birokrasi pemerintahan belum mampu menyelesaikan
berbagai permasalahan dari dimensi administrasi dan dimensi
politis yang terkait dengan implementasi AFTA di Indonesia.
Dalam konteks Jawa Barat, penulis menemukan fakta
bahwa permasalahan yang utama adalah implementasi AFTA
dalam perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Persoalannya kemudian adalah:
Mengapa implementasi AFTA dalam perdagangan komoditas
pertanian di JawaBarat belum berjalan sebagaimana diharapkan?
Tulisan ini diharapkan dapat mengetahui faktor-faktor
apakah yang paling besar berperan dalam implementasi AFTA di
Indonesia, khususnya perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat, serta untuk memperoleh konsep baru bagi pengembangan
ilmu kebijakan publik khususnya kebijakan hubungan luar negeri.
Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
konseptual yang bersumber dari penerapan sudut pandang (a
way of looking at) administrasi yaitu pada konteks kelembagaan,
administrasi dan organisasi untuk menelaah implementasi AFTA
yang diupayakan oleh suatu negara anggota ASEAN (Indonesia)
11bab 1 - PENDAHULUAN
dalam organisasi regional sehinga dapat menambah perspektif
ilmu administrasi dalam kerjasama intra ASEAN, serta
diharapkan dapat memperkaya perspektif pengembangan ilmu
administrasi.
Sedangkan bagi aspek guna laksana, tulisan ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintahan
Indonesia dalam implementasi AFTA di Indonesia, khususnya bagi
pemerintahan Kota/Kabupaten di Indonesia dalam memahami
makna, proses, dan tujuan mengadakan kerjasama luar negeri
dalam kerangka otonomi daerah.
12 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
mplementasi kebijakan dapatdi dentifikasikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta,
baik secara individu maupun kelompok dengan maksud Iuntuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kebijakan.
Secara sederhana kegiatan implementasi kebijakan merupakan
suatu kegiatan penjabaran suatu rumusan kebijakan yang bersifat
makro (abstrak) menjadi tindakan yang bersifat mikro (konkrit)
atau dengan kata lain melaksanakan keputusan (rumusan)
kebijakan yang menyangkut aspek manajerial dan teknis proses
implementasi baru dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran
telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, serta dana
telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran-sasaran
tersebut.
Menurut Howlet dan Ramesh (1995:153), “Its is defined as
the process whereby programs or policies are carried out; it donotes the
translation of plans into practice”. Kemudian Lane (1993:197) dalam
bukunya The Public Sector; Concepts, Models, and
Approaches menyebut Paul A Sabatier sebagai pionir dalam
implementasi kebijakan khususnya analisisimplementasi. Paul A
BAB 2
Implementasi Kebijakan
13bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Sabatier mengemukakan bahwa ada dua model yang dipacu
(competing) dalam implementasi kebijakan yakni implementasi
berdasarkan top down dan berdasarkan bottom up.
“Paul A. Sabatier, a pioneer in implementation analisys, rais-es
some fundamental questions about the nature of implementation
in a review of the present state of implementation theory (Sabatier,
1986). Although Sabatier's analysis of the two competing models
of implementation – topdown versus bottom-up implementation. .
”(Lane, 1993 :90).
Jika dilihat dari model pembuatan kebijakan publik maka
kedua aspek ini terdapat pada setiap model dari pembuatan
kebijakan tersebut, seperti model elite, model proses (sebagai
aktivitas politik), dan model inkrementalis menggambarkan
pembuatan kebijakan yang didasarkan pada model top down .
Gambar dari model bottom up dapat dilihat pada model kelompok,
model kelembagaan dan beberapa model lain yang jika
digambarkan akan merupakan model yang berasal dari bawah
(bottom up). Lebih lanjut dijelaskan oleh Lane bahwa pada dasarnya
implementasi dapat dibedakan berdasarkan implementasi
sebagai outcome dan implementasi sebagai suatu proses.
“In addition, because policy implementation is considered to
depend on program outcomes, it is'difficult to separate the fate of
policies from that of their constituent programs Its success
programs as designed. In turn, overal policy im plementation can
be evaluated by measuring program out comes against policy
goals. ”(Grindle, 1980:7).
Hubungan antara kebijakan dan program dalam suatu
implementasi kebijakan merupakan fungsi dari implementasi
program yang mempunyai pengaruh dalam mencapai outcome se-
bagai konsekuensi dari studi implementasi kebijakan. Implementasi
14 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
kebijakan senantiasa melibatkan hasil penelitian dan analisis dari
pelaksanaan program nyata yang mempunyai bentuk sebagai
sarana yang dapat menjadikan sasaran kebijakan yang luas.
Walaupun studi implementasi merupakan suatu pendekatan
atau kecenderungan baru dalam studi Administrasi Negara
(administrasi pembangunan), pada hakekatnya bukanlah hal yang
sama sekali baru, paling tidak dalam arti konsep dan ruang lingkup
yang telah lama menjadi bidang perhatian studi administrasi
pembangunan. Namun harus diakui bahwa konseptualisasi, model,
pendekatan penerapan dalam penelitian dan pengkajian terhadap
proses pembangunan nasional, dengan studi kasus terhadap
beberapa program pembangunan nasional tertentu, memang
merupakan sesuatu yang relatif baru di Indonesia.
Masalah implementasi kebijakan (policy implementation)
sejak kurang lebih dua dekade terakhir, telah menarik perhatian
para ahli ilmu sosial, khususnya ilmu politik dan Administrasi
Negara, baik di Negara maju atau industri maupun di Negara
berkembang. Masalah implementasi kebijakan (pembangunan)
telah menarik perhatian karena dari berbagai pengalaman di
negara maju dan di negara berkembang menunjukkan bahwa
berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya, mulai dari yang
sederhana sampai yang rumit. Faktor tersebut antara lain berupa
sumberdaya manusia sampai pada struktur organisasi dan
hubungan kerja antar-organisasi; dari masalah komitmen para
pelaksana sampai sistem pelaporan yang kurang lancar, dan dari
sikap politisi yang kurang setuju sampai faktor lain yang sifatnya
kebetulan.
Dalam kenyataan, hal itu dapat mempengaruhi program-
program pembangunan, baik dalam arti mendorong keberhasilan
maupun menjadi penyebab berbagai kegagalan atau kurang
15bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
berhasilnya mencapai apa yang telah dinyatakan semula sebagai
tujuan kebijakan dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya
terwujud dan diterima oleh masyarakat. Upaya untuk memahami
adanya gap antara apa yang diharapkan dengan apa yang
sesungguhnya terlaksana atau yang diwujudkan dan diterima oleh
masyarakat sebagai “outcome” dari kebijakan telah menimbulkan
kesadaran mengenai pentingnya studi implementasi.
Secara umum implementasi adalah menghubungkan
antara tujuan kebijakan terhadap realisasi dengan hasil kegiatan
pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Grindle (1980:6)
bahwa:
In general, the task of implementation is to establish a link that
alows the goals of publik policies to be realized as outcomes of
governmental activity. It involves, therefore, the creation of a
“policy delivery sistemr”, in whuch specific are designed and
pursued in the expectation of arriving at particular ends.
Menurut Lane (1993:191), implementasi dapat dinyatakan
dalam formula-formula sebagai berikut: (DF1) Implementation = F
= (Intention, Output, Outcome). Dimana implementasi mengacu
kepada menghasilkan output dan outcome yang kongruen
dengan maksud awalnya. Dengan demikian implementasi
memiliki pengertian ganda, yaitu: (1) “eksekusi” di satu sisi dan,
(2) “fulfil” atau penyelesaian (accomplishment) disisi lain.
Konsep implementasi mencakup dua hal pokok yaitu
program kebijakan (policy) yang kemudian akan menghasilkan
outcome. Tujuan-tujuan dari kebijakan dirumuskan oleh berbagai
actor dalam proses politik, sehingga definisi actor ini meliputi
dua kelompok yaitu formator dan implementator.
16 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Dengan mengembangkan formula awal, maka implementasi
dapat dikemukakan dalam formula berikut: (DF2) Implementation =
F (Policy, Outcome, Form ator, Implementor, Initiator, Time).
Berdasarkan definisi implementasi kebijakan tersebut,
maka menurut Lane (1993:91), terdapat dua konsep dalam
implementasi yang memiliki fokus yang berbeda, yaitu: 1)
Implementasi sebagai tujuan akhir atau pencapaian kebijakan
(policy achievement). Fokus dalam konsep ini adalah evaluasi,
yaitu menilai (implementation judgment) sampai sejauh mana
keberhasilan implementasi (fungsi penyelesaian/accomplishment
function); 2) implementasi sebagai proses atau eksekusi kebijakan
yang memberikan focus pada prosesnya (fungsi sebabai akibat
/causal function).
Selanjutnya Lane mengemukakan bahwa konsep imple-
mentasi memiliki dua aspek, yaitu (Lane, 1993:102): 1) Hubungan
antara tujuan (objective) dan hasil (outcome), sisi tanggung jawab
(responsibility side); 2) Proses untuk membawa kebijakan kedalam
efek yang merupakan sisi keepercayaan (trust side).
Berdasarkan sisi tanggungjawab dan kepercayaan tersebut
dalam proses kebijakan terdapat dua model, yaitu (Lane, 1993 :
103): 1) Top-down model yang memberikan tekanan berlebih
pada sisi tanggungjawab (responsibility); 2) Bottom-up model yang
menekankan pada sisi kepercayaan (trust side), yang berusaha
untuk memberikan kebebasan kepada implementor, sebagai alat
untuk menangani ketidakpastian dengan fleksibilitas dan
pembelajaran.
Proses implementasi adalah kombinasi dari tanggung
jawab (responsibility) dan kepercayaan (trust) dalam kaitan antara
warganegara dan sektor publik secara umum dan dalam hubungan
antara politisi dan pejabat. Dalam proses implementasi sekurang-
17bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak harus
ada, yaitu: (1) adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan;
(2) kelompok target, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran, dan diharapkan akan menerima manfaat dari program
tersebut, perubahan atau peningkatan; dan (3) adanya pelaksana
(implementor), baik organisasi atau perorangan, yang ber-
tanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan maupun
pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Ketidakberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan yang sering
dijumpai antara lain disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya,
struktur organisasi yang kurang memadai dan kurang efektif, dan
atau karena komitmen (nilai) yang rendah di kalangan pelaksana.
Faktor-faktor politik atau waktu yang kurang tepat serta
bermacam alasan lainnya, turut pula mempengaruhi sebuah
kebijakan atau program hingga tidak dapat terlaksana dengan
baik.
Terdapat beberapa teori utama tentang implementasi
Donald S. Van Meter and Ccarl E. Van Horn (1978) menyatakan
implementation as a linear process. Pandangan ini melihat
implementasi meliputi proses linear yang terdiri atas 6 variable
yang mengkaitkan kebijakan dengan performance: (a) Standar dan
tujuan; (b) Sumber daya; (c) Komunikasi dan aktivitas antara
organisasi; (d) Karakteristik agen-agen implementasi; (e) Kondisi
ekonomi, dan politik; (f) Sikap dari pelaksana.
Kemudian secara sederhana dikatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan penterjemahan dari pernyataan kebijakan ke
dalam tindakan (Cooper, 1998:185). Keterkaitan yang sangat kuat
antara perumusan kebijakan dan implementasi dikemukakan
oleh Hogwood dan Gunn (Hogwood and Gunn, 1986:198): “there is
not sharp divide between (a) formulating a policy and (b) implementing
18 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
that policy. What happens at the so – caled “Implementation” stage will
influence the actual policy outcome. Conversely the probability of a
successful outcome (which we define for the moment as that outcome
desired by the initiators of the policy) will be increased if thought is given
as the policy design stage to potential problems of implementation”.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perumusan
kebijakan harus dilakukan dalam “perspektif” implementasi, agar
kebijakan tersebut dapat di implementasikan secara efektif.
Model-Model Implementasi Kebijakan
1. Model Lane
Menurut Lane (1993:94), terdapat beberapa model
implementasi yaitu sebagai berikut:
a. Implementasi sebagai administrasi yang sempurna
(implementation is perfect administration). Model ini
dikemukakan oleh Hood yang merumuskan model
inplementasi yang menghasilkan implementasi kebijakan
yang sempurna. Model administrasi sempurna ini
mensyaratkan adanya struktur otoritas: hirarki (hierarchy),
kepatu han (obedience), kendali (control) dan koordinasi
sempurna (perfect coordination). Kritik terhadap model yang
sifatnya top-down ini adalah adanya kompleksitas intra atau
inter organizational.
b. Implementasi sebagai manajemen kebijakan (implementation
as policy management). Model yang dikembang-kan oleh
Sabatier dan Mazmanian ini mengemukakan kondisi-
kondisi yang mempengaruhi keberhasilan implementator:
a) Technology; b) Tujuan-tujuan yang tidak ambiquity
19bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
(bermakna ganda); c) Keahlian (skill ); d) Dukungan (support)
dan consensus.
c. I mplementasi sebagai evolusi (implementasi as evolution).
Teori proses implementasi ini sebagai redefinisi dari
objectives (tujuan) dan reinterprestasi dari outcomes, itulah
evolusi. Konsep evolusi dari implementasi berimplikasi
bahwa proses implementasi tidak dapat secara sederhana
dipisahkan dari tahapan-tahapan dari perumusan kebijakan,
objectives dan outcomes. Hal ini menunjukkan bahwa
implementasi adalah tanpa akhir (endless). Implementasi
akan selalu berevolusi, tidak dapat dihindari merupakan
reformulasi sebagaimana juga pelaksanaan kebijakan.
d. Implementasi sebagai pembelajaran (implementation as
learning). Dalam model ini implementasi merupakan suatu
proses pembelajaran tanpa akhir (an endless learning
process) dimana implementator melalui proses pencarian
yang kontinyu muncul dengan fungsi tujuan yang telah
diperbaiki dari teknologi program muncul dengan fungsi
yang telah diperbaiki dari teknologi program yang lebih
dapat diandalkan. Tidak ada suatu akhir yang alamiah dari
proses implementasi kebijakan, karena masing-masing
tahapan berarti suatu perbaikan dalam kaitan dengan
tahapan terdahulu, dimana berdasarkan perubahan waktu,
tujuan-tujuan asli sudah ditransformasikan (wildavsky).
e. Implementasi sebagai struktur (implementation as structure).
Model ini menyatakan bahwa struktur implementasi terdiri
atas himpunan dari anggota-anggota di dalam organisasi
yang melihat program sebagai kepentingan umum mereka.
Secara jelas, struktur implementasi meliputi kumpulan para
aktor, yaitu unit-unit yang melaksanakan program-program.
20 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
f. Implementasi sebagai outcome (implementation as
outcome). Model ini memusatkan perhatian pada
implementasi sebagai: “putting policy into effect”.
g. Implementasi sebagai suatu perspektif (implementation as
perspective). Model ini merujuk pada pendapat Walter
Wiliams dalam Lane (1993 : 95 ) yang mengemukakan
bahwa diperlukan mengambil perspektif khusus sebagai
titik awal untuk eksekusi kebijakan. Perspektif implementasi
disini adalah suatu jenis ilmu administrasi yang bersifat
praktis. Menurut Wiliams, perspektif implementasi adalah
perspektif para praktisi.
h. Implementasi sebagai pemetaan bagian belakang
(implementation as backward mapping). Model ini
menyatakan bahwa proses imlementasi melibatkan
sejumlah partisipan. Analisis implementasi sebenarnya
membutuhkan perhatian yang lebih difokuskan kepada
pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menghasilkan
outmes pada basis kegiatan hari per hari (day-to-day basis).
I. Implementasi sebagai simbolisme (implementation as
symbolism). Model ini menyatakan bahwa tidak hanya
implementor yang dapat menolak perubahan atau pen-
dekatan bahwa tujuan dan program menurut interprestasi
mereka, tetapi juga pembuat kebijakan ( p o l i c y m a k e r )
dapat menganggap penting atau menguntungkan untuk
mengakibatkan eksekusi kebijakan. Hal ini menunjukan
bahwa proses implementasi merupakan suatu simbolisme
secara politik (political symbolism).
j. Implementasi sebagai bermakna ganda (implementation as
ambiguity). Dalam model ini implementasi kebijakan akan
mengalami kegagalan (sidebut implementation deficit)
21bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
bukan karena adanya gap antara pembuatan kebijakan
yang rasional dengan implementasi kebijakan yang tidak
sempurna, tetapi karena the Loosences of policies.
k. Implementasi sebagai koalisi (implementation as coalition).
Sebatier dalam Lane (1993 : 95) mengemukakan bahwa
proses implementasi berbagai organisasi publik dan
private yang sharing keyakinan dan yang berusaha untuk
merealisasikan tujuan-tujuan umum mereka. Dalam model
ini implementasi dipahami sebagai proses jangka panjang
dimana koalisi (privat dan publik) berinteraksi dan belajar
tentang teknologi dan outcome program.
2. Model Van Meter dan Van Horn
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh
van Meter dan van Horn (1978 : 145) disebut sebagai A Model of
The Policy Implementation Prosess yang mengemukakan adanya
enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan
dan pencapaian (performance). Model ini menunjukan hubungan
antara variabel–variabel bebas (independent variable) dan variable
terikat (dependent variable) mengenai kepentingan-kepentingan,
serta hubungan di antara variabel bebas.
3. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Sabatier dan Mazmanian dalam Wibawa (1994: 25) mem-
berikan perhatian yang lebih pada birokrasi. Dia menganggap
bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi
pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh
peraturan (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis). Karena
itulah model ini disebut sebagai model Top-down. Dengan asumsi
tersebut, maka tujuan dan sasaran program harus jelas dan
22 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
konsisten, karena ini merupakan standar evaluasi dan sarana
yang legal bagi birokrasi pelaksana untuk mengarahkan
sumberdaya. Model ini cenderung sentralistik dan otoriter
kurang memperhatikan pendapat bawahan.
Penulis berpendapat bahwa model Mazmanian dan
Sabatier hanya lebih menekankan kepatuhan para
implementator terhadap aturan - aturan artinya hanya bersifat
top down sementara dalam kebijakan tentang AFTA dituntut
untuk mengakomodir tuntutan dari bawah atau lebih bersifat
bottom up jadi teori ini kurang cocok.
4. Model Grindle
Grindle menyatakan bahwa proses umum implementasi
dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah dispesikasikan,
program-program telah di desain, dan dana telah dialokasikan
untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-
syarat dasar (Basic Conditions) untuk eksekusi suatu kebijakan
publik. Selanjutnya Grindle mengemukakan bahwa proses
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi kebijakan (the
Content of Policy) dan konteks kebijakan (the Context of Policy)
yang terkait dengan formulasi kebijakan.
Isu kebijakan yang berkaitan dengan jenis kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi, yaitu:
a. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi;
b. Tipe keuntungan (dapat terbagi/tidak tebagi, jangka
pendek/panjang);
c. Tingkat perubahan perilaku;
d. Lokasi dari implementasi (secara geografi dan organi-
sasional);
23bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
e. Pelaksanaan program yang ditunjuk (kapasitas memanage
program);
f. Sumber daya.
Konteks kebijakan meliputi:
a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor-aktor yang
terlibat;
b. karakteristik institusi dan regim;
c. kerelaan/kesediaa n (Compliance) dan responsiveness.
Penulis berpendapat bahwa model Grindle menyatakan
salah satu faktor dalam implementasi kebijakan adalah adanya
tipe keuntungan untuk jangka panjang (lebih dari 10 tahun)
sehingga lebih tepat untuk policy level karena dalam operational
level waktunya tidak lebih dari satu tahun.
5. Model Hogwood dan Gunn
Menurut Hogwood dan Gunn(1986 : 199) untuk dapat mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut :
The logical pre conditions of implementation, such as :
a.. The circumstances external to implementing agency do not
impose crippling constraints.
b. That adequate time and sufficient resources are made available
tothe program
c. That the required combination of resources is actually available
d. That the policy to be implemented is based upon a valid theory of
cause and effect
e. That the relationship between cause and effect is direct and that
there are few any, interesting links
24 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
f. That dependency relationships are minimal
g. That there is understanding oj and agreement on objectives
h. That task are ful y specify in correct sequence
i. That There is perfect communications and coordination
j. That those in perfect communication can demand and obtain in
perfect compliance.
Selanjutnya Wahab (2002 : 71) mengacu pada pendapat
Hogwood dan Gunn menjelaskan bahwa untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna (perfect
implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu
sebagai berikut :
a. Kondisi ekternal yang dihadapi oleh badan pelaksana tidak
akan menimbulkan kendala yang serius
b. Waktu dan sumber daya yang memadai untuk memungkin-
kan pelaksanaan program
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar
tersedia
d. Kebijakan yang akan di mplementasikan di dasari oleh teori
kausalitas yang andal
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit
mata rantai penghubungnya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus seminimal mungkin
g. Pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan
h. Tugas yang ditempatkan dalam urutan yang tepat
i. Komunikasi dan koordinasi yang baik
j. Pihak-pihak yang memiliki kewenangan kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang penuh.
Selanjutnya penulis akan menguraikan sepuluh syarat dari
Hogwood dan Gunn dalam mengimplementasikan kebijakan:
25bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan Pelaksana Tidak
Menimbulkan Kendala yang serius. Beberapa kendala pada
saat implementasi kebijakan berada di luar kendali para
administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di
luar jangkauan wewenang badan pelaksana. Hambatan-
hambatan tersebut diantaranya bisa bersifat fisik dan bisa
hambatan politis dalam arti bahwa baik kebijakan maupun
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya
dapat diterima atau tidak disepakati oleh berbagai pihak yang
kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam ini cukup
jelas dan mendasar sifatnya sehingga sedikit sekali yang
dapat diperbuat oleh para administrator guna menga tasinya,
(Hogwood dan Gunn, 1986 : 199): ”Some abstacles to
implementation are outside the control of administrators because
they are external to the policy and the implementing agency. Such
obstacles may be physical, or they maybe political, in that either
policy or measure needed to achieve it are unacceptable to
interest's which have the power to veto them. These constraint are
obvious and these is little that administrators can do to overcome
them except in their capacity as adviser”.
Hambatan dalam kondisi eksternal ini didukung pula
oleh pendapat (Wahab, 2002:62) sebagai berikut: “Suatu
kebijakan boleh jadi tidak dapat di mplementasikan secara
efektif sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai
pelaksaanaan yang jelek atau baik pembuat kebijakan mapun
mereka yang ditugasi untuk melaksanakan sama-sama
sepakat bahwa kondisi eksternal benar-benar tidak
menguntungkan bagi efektivitas implementasi sehingga
tidak seorangpun perlu dipersalahkan. Dengan kata lain,
kebijakan itu telah gagal karena nasibnya memang jelek”.
26 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
b. Waktu dan Sumber Daya yang Memadai Untuk Memungkin-
kan Pelaksanaan Program. “This condition partly overlaps the
first , in hat it often within the category of external constraints.
However, policies which are physical y or politically feasible
may stril fail to achieve state intentions. A common reasons is
that too much is expected too soon, especially when attitudes
or behavior are involved. Another reasons is that politicians
sometimes wil the policy and but not the 'means'. “ (Hogwood
dan Gunn, 1986: 200).
Pada syarat yang kedua dikemukakan bahwa alasan yang
biasanya dikemukakan untuk menerangkan penyebab
gagalnya suatu pencapaian tujuan, namun kurang peduli
dengan penyediaan sarana untuk mencapainya. Jika dana,
sarana dan waktu yang diperlukan dalam mengimplemen-
tasikan kebijakan tidak tersedia maka dapat menyebabkan
seluruh proses kebijakan yang sudah dijalankan menjadi sia-
sia, sehingga tujuan kebijakan yang telah dirumuskan tidak
dapat dicapai dengan optimal.
c. Perpaduan sumber-sumber daya yang benar-benar tersedia.
Dalam kenyataannya seringkalai terjadi hambatan yang
serius, misalnya perpaduan antara lingkungan, dana, tenaga
kerja serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
menjalankan program yang seharusnya dipersiapkan secara
serentak, sehingga keterlambatan sumber-sumber tersebut
seringkali terjadi dan berdampak pada penyelesaian
program/proyek. “The third conditions fol ows on natural y from
the second, namely that there must not only be constraint in term of
overall resources but also that, at reach stage in the implementation
process, the appropriate combination of resources mus actually.”
(Hogwood dan Gunn. 1986:201).
27bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Tersedianya sumber yang diperlukan tidak menjamin
bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik
jika tidak didukung dengan perpaduan antara sumber-
sumber tersebut. Sama halnya jika sumber daya yang telah
tersedia tidak dapat digunakan secara optimal, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengimplemen-
tasikan kebijakan. Pernyataan ini didukung pula oleh Santoso
yang menyatakan bahwa: “Personil yang tidak memadai
jumlahnya dan dengan kecakapan yang rendah maka akan
mempengaruhi dalam pelaksanaan kebijakan. Selanjutnya
pelaksanaan kebijakan dipengaruhi juga oleh sumber daya
yang memadai.” (Santoso, 1997:8). Dengan demikian
walupun jumlah pelaksana sudah memadai namun jika tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan
kebijakan termasuk menyampaikan informasi kepada orang-
orang yang memerlukannya maka akan mengakibatkan
pencapaian tujuan dari kebijakan tidak optimal.
d. Kebijakan yang diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungan kausal yang andal. Kebijakan terkadang tidak
efektif bukan karena kebijakan itu di mplementasikan
secara asal-asalan, melainkan karena itu sendiri memang
tidak baik. Hal ini dikarenakan tingkat pemahaman yang tidak
memadai mengenai tingkat persoalan yang akan
ditanggulangi sebab-sebab timbunya masalah dan cara
penyelesainnya atau peluang-peluang yang tersedia untuk
mengatasi masalahnya, sifat permasalahan dan tindakan
yang diperlukan. Permasalahan implementasi kebijakan
bila diselesaikan dengan analisis terhadap efisiensi
permasalahan, serta permilihan langkah analisis yang baik
dalam proses pembuatan kebijakan. “Policies are
28 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
sometimes ineffective not because they are badly implemented, but
because they are bad policies. That is, the policies maybe based
upon in inadequate understanding of a problems to be solved, its
cause and cure or of an opportunity, its nature, and what it needed to
exploit it.... A problem of implementation which can only be tackled
by better analysis at the issues definition and options analysis
stages of the py making process.” (Hogwood dan Gunn,
1986:202).
Alasan mengenai kebijakan yang tidak tepat ini, jelas
nantinya akan berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan. Pendapat yang mendukung Hogwood dan Gunn
ini dikemukakan oleh Wahab sebagai berikut: “Faktor
penyebab lainnya, namun kerapkali oleh para pembuat
kebijakan tidak diungkapkan secara terbuka kepada
masyaraka, ialah bahwa kebijakan itu gagal karena
sebenarnya sejak awal kebijakan tadi memang jelek, dalam
artian bahwa ia telah dirumuskan secara sembrono, tidak
didukung oleh informasi yang memadai, alas an yang keliru
atau asumsi-asumsi dan harapan-harapan yang tidak
realistis.” (Wahab, 2002:62).
e. Kebijakan yang akan di mplementasikan didasari oleh
suatuhubungan kausal yang berlaku. “Pressman and Wildavsky
argue that policies which depend upon a long sequence of cause
and effect relationship have a particular tendency to break down,
since a longer chain of causality, the more numerous the reciprocal
relationship among the links and the more complex implementation
becomes, in other words, the more links in the chain, the greater the
risks that some of them wil prove to be poorly conceived or badly
executed.” (Hogwood dan Gunn, 1986:203).
29bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Hogwood dan Gunn berdasarkan pendapat Pressman
dan Wildavsky, kebijakan yang tergantung pada mata rantai
yang sangat panjang dari hubungan kausalitas, memliki
kecenderungan yang khusus untuk mengalami kegagalan
sebab makin panjang mata rantai kausalitas, semakin banyak
hubungan timbale balik diantara mata rantai penghubungnya
dan implementasinya menjadi semakin kompleks, dengan
kata lain, semakin banyak mata rantai, semakin tinggi resiko
dari beberapa mata rantai tersebut mengalami kegagalan.
Dari penjelasan tersebut intinya bahwa semakin banyak
hubungan mata rantai dalam plementasi kebijakan, maka
semakin besar pula resiko tidak tercapainya target yang ingin
dicapai.
f. Hubungan saling ketergantungan harus seminimal mungkin.
”The condition of perfect implementation that there is a single
implementing agency which need not depend on other
agencies mus be involved that the dependency relatioanship
are minimal in number and importance.” (Hogwood dan
Gunn, 1986:2004).
Implementasi kebijakan yang sempurna menuntut
adanya persyaratan bahwa untuk mencapai kesuksesan
hanya diperlukan badan pelaksana tunggal, walaupun
dalam pelaksanaan harus melibatkan badan atau instansi
lain, maka hubungan ketergan tungan dalam organisasi-
organisasi tersebut haruslah pada tingkat yang minimal,
baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya.
Pendapat yang juga menyatakan mengenai hubungan
antara lembaga dan kaitannya dengan kurang antisipasi
terhadap teknis pelaksanaan dan perumusan suatu
30 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
kebijakan dikemukakan oleh Hoogerwerf yang diterjemahkan
oleh Nasroen sebagai berikut: “Lebih sering lagi tidak cukup
diberikan waktu pembentukan kebijakan kepada aspek-
aspek teknis dair pelaskanaan kebijakan yang bersangkutan.
Masalah ini umpamanya akan timbul jika ada pemisahan
kelembagaan antara pembentukan kebjiakan dengan
pelaksanaan kebijakan.” (Hoogerwerf. 1983: 170). Pendapat
tersebut mengenai pentingnya pelaksana tunggal, hal ini
perlu untuk mengantisipasi terjadinya konflik yang
disebabkan adanya perbedaan kesepakatan dan komitmen
terhadap tujuan maupun terhadap setiap tahapan kebijakan.
g. Pemahaman dan Kesepakatan terhadap tujuan. Pada syarat
yang ketujuh Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa:
”The requirement here is that ther should be complete
understanding of, and agreement on, the objectives to be
achieved, and that there conditions should persist through
out the implementation process.” (Hogwood dan Gunn,
1986:205).
Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman
yang menyeluruh mengenai tujuan dan kesepakatan
terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang
penting keadaan ini harus dapat diperthankan selama
proses implementasi. Setiap pelaksanaan tidak hanya harus
mampu melaksanakan suatu kebijakan, tapi yang lebih
penting mereka harus memahami tujuan yang harus
dicapai melalui kebijakan tersebut. Sehubungan dengan hal
itu Sunggono (1994:147) menyatakan bahwa pelaksana
tidak hanya dipersyaratkan memiliki kemampuan untuk
melaksanakan akan substansi kebijakan publik yang
31bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
hendak dilaksanakan. Tujuan yang diutarakan didalam
kebijakan sering masih berupa garis besarnya saja. Tujuan
tidak diuraikan lebih operasional lagi, menyebabkan para
pelaksana kurang memahami tujuan yang di nginkan.
Implementasi suatu program tidak hanya membutuhkan
serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu,
melainkan juga kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran
serta komitmen pada tiap tahapan diantara sejumlah pelaku
ayng telribat, apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka
peluang bagi keberhasilan implementasi program dan
pencapaian hasil akhir yang diharapkan kemungkingan akan
makin berkurang.
6. Model George C. Edward I I
Menurut Edward I I, studi implementasi kebijakan adalah
krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik.
Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan
antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi
kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. “The study
policy implementation is crucial for the study of public administration
and public policy. Policy implementation, as we have seen, is the stage
of policy making between the establishment of a policy and the
consequences of the policy for the people whom it affects.”.
Selanjutnya dalam bukunya “Implementing Public Policy” tersebut,
Edward II (1980:37) mengemukakan terdapat 4 (empat) faktor
kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi,
sumberdaya, sikap kecenderungan dan struktur birokrasi.“four
critical factor or variable in implementing public policy : communication,
resources, disposition or attitudes, and bureaucratic structure”.
32 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
a. Komunikasi (communication)
Dalam proses komunikasi kebijakan, Edward II (1980: 37)
menyebutkan bahwa transmisi, konsistensi dan kejelasan,
memberikan pengaruh terhadap efektifitas implementasi
kebijakan. Para penerima informasi(target audience) baik
sebagai pengirim (sender) maupun penerima (receiver) perlu
mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap kebijakan.
Hakaekat komunikasi yang dirangkum oleh Ibrahim T.J.
A. Sudiyono, dan Harpowo (2003: 37-38) dari pendapat pakar
ilmu komunikasi adalah: “Komunikasi pada hakekatnya
adalah proses pertukaran pesan-pesan verbal dan atau non
verbal (message) diantara pengirim (sender or sourceor
communicator) dengan penerima (receiver- communicant)
melalui berbagai media (method, channel, transmitter)-
transmisi guna mengubah sikap dan perilaku yang mencakup
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Proses alami
komunikasi digambarkan oleh Schermerhorn, et al (2003: 337)
dengan menambah faktor noise: “A process of sending and
receiving messages with attached meanings. They include a source,
who encodes an intended meaning into a message, and receiver,
who decodes the message into a perceived meaning. The receiver
may or may not give feedback to the source. Noise is the term used
to any disturbance that disrupts it and interferes with transference of
the messages within the communications process”. Maksud
Schermerhorn et al bahwa pelaksanaan komunikasi kebijakan
antara pemerintah dengan masyarakat merupakan suatu
proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan yang me-
ngandung arti-arti. Mereka terdiri atas sebuah sumber yang
memberi tanda arti yang dimaksudkan dan penerima yang
33bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
yang ditandai pesan dengan arti yang diterima. Penerima bisa
memberikan atau tidak memberikan masukan balik kepada
sumber. Noise adalah istilah yang diberikan bagi gangguan
yang menghambat pesan-pesan dalam proses komunkasi.
1). Komunikator
Sumber komunikasi atau komunikator atau dalam
penelitian ini berfungsi sebagai implementator kebijakan
yang menurut Ibrahim et al (2003: 17) harus memiliki
keterampilan untuk meyakinkan atau mempengaruhi orang
lain, sehingga sebelum berkomunikasi, komunikator harus
meyakini terlebih dahulu kebenaran dan rumusan kebijakan
yang akan dikomunikasikan. Komunikator kebijakan harus
memiliki rasa percaya diri. yang tinggi.Komunikator kebijakan
harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi, sehingga dalam
proses komunikasi kebijakan tidak terjadi hambatan-
hambatan yang berasal dari internal diri komunikator
(Ibrahim et al, 2003: 37 - 38).
2). Penerima (Receiver)
Ibrahim et al (2003 : 40) membagi dua kelompok komunikasi
ini yakni penerima yang dikehendaki (intended receiver) dan
penerima yang tidak dikehendaki (unintended receiver).
Fliegel F.C. (1984) dalam Swanson B.E. (1984: 80) menyatakan
bahwa beberapa tahapan respon yang terjadi dalam diri
penerima pesan komunikasi tergantung pada; (1) bentuk
pengetahuan atau informasi (pesan) yang dikomunikasikan
(baru atau lama), adalah merupakan kondisi kualitas tertentu
dari informasi yang diperoleh berdasarkan perbedaan waktu
34 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
mendapatkannya. (2) cara mengkomunikasikan atau
menyampaikan (persuasive, atau menarik), adalah langkah-
langkah bagaimana memperoleh informasi tersebut, dengan
jalan yang persuasif atau pemaksaan/penekanan. (3)
keputusan yang diambil oleh penerima untuk implementasi
atau adopsi dan konfirmasi, adalah rencana penggunaan
informasi yang telah diperoleh tersebut yaitu untuk
implementasi atau konfirmasi.
c. Media / Saluran Komunikasi (Channel-Transmitter)
Terdapat banyak cara, metode dan saluran komunikasi
baik secara lisan pada pendekatan individual dan massal
(pidato, ceramah, kuliah), maupun secara tertulis (melalui
poster, brosur, leaflet, selebaran dan media cetak lain),
audiovisual (film, TV, CD) dan bentuk-bentuk lainnya.
Semakin banyak cara, metoda dan saluran komunikasi yang
digunakan oleh komunikator komunikasi kebijakan, semakin
paham penerima (receiver) kebijakan terhadap rumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan yang disampaikan itu
(Ibrahim et al, 2003 : 18).
d. Hambatan (Noise)
Noise or communication barriers atau hambatan
komunikasi menurut Schermerhorn, Hunt and Osborn (2003
: 342) disebabkan oleh enam faktor yaitu : (a) Distraksi fisik
(physical distraction) yang merupakan akibat dari gangguan
konsentrasi yang disebabkan perencanaan tidak menetapkan
prioritas-prioritas; (b) Masalah-masalah semantik (semantic
problems), yakni masalah bahasa dan kata-kata yang dapat
menyebabkan penerima pesan mempersepsikan lain isi pesan
yang disampaikan komunikator, sehingga komunikasi lisan
35bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
maupun tertulis harus benar-benar memperhatikan bahasa
dan memilih kata-kata yang tepat, atau dengan lain kata :
sampaikan pesan singkat dan sederhana (Kiss principle) ; (c)
Pesan-pesan campuran (mixed messages) yaitu ketika
komunikator menyampaikan suatu pesan dengan kata -
kata, namun bersamaan dengan itu dibuat gerakan-gerakan
b a d a n d a n m i m i k n y a ( b o d y l a n g u a g e ) y a n g
mengkombinasikan pesan lain; (d) Perbedaaan budaya
(cultural difference) yang terjadi pada komunikasi lintas kultur;
(e) Tiadanya masukan (absence of feedback) yang terjadi pada
komunikasi satu arah (one way communication) dan terakhir
adalah (f) Pengaruh-pengaruh status (status effects) yang
terjadi akibat perbedaan tingkatan antara komunikator dan
penerima. Untuk menghilangkan pengaruh perbedaan
tingkatan ini maka komunikator dan penerima harus
membangun kemitrasetaraan dengan optimalisasipada
obyek kegiatannya. Pelaksanaan pengkomunikasian kepada
penerima sebagai suatu proses pengiriman dan penerimaan
pesan-pesan yang mengandung arti-arti. Mereka terdiri dari
sebuah sumber yang memberi tanda arti yang dimaksudkan
dan penerima yang ditandai pesan dengan arti yang
diterima. Penerima bisa memberikan atau tidak memberikan
masukan balik kepada sumber. Noise adalah istilah yang
diberikan bagi gangguan yang meng-hambat pesan-pesan
dalam proses komunikasi. Jika terdapat tersendatnya
komunikasi dengan penerima disebab-kan peran
komunikator masih belum optimal. Mereka terdiri atas
sebuah sumber yang memberi tanda arti yang dimaksudkan
dan penerima yang ditandai pesan dengan arti yang diterima.
36 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Penerima bisa memberikan atau tidak memberikan masukan
balik kepada sumber.
b. Sumberdaya (resources)
Faktor kedua yang mempengaruhi implementasi
kebijakan adalah sumberdaya. Edward I I (1980 : 87)
menyebutkan bahwa walaupun ketiga faktor dalam dalam
proses komunikasi terpenuhi, namun tanpa dukungan
sumberdaya (manusia dan fasilitas) yang handal dan
memadai, implementasi kebijakan tidak akan efektif. Karena
peran komunikator merupakan faktor terpenting yang akan
menghalangi keberhasilan pelaksanaan kebijakan
pengkomunikasian, yang dalam hal ini dialami oleh banyak
peran komunikator yang mungkin akan menyebabkan kinerja
obyek kegiatan semakin menurun. Simanjuntak, (1985: 30)
menyatakan bahwa sumberdaya masukan dapat terdiri atas
beraneka ragam faktor produksi seperti kapital, tanah,
bangunan, peralatan dan mesin, bahan baku dan sumberdaya
manusia. Kendatipun demikian dalam implementasi
kebijakan, faktor manusia adalah strategis karena
peningkatan produktifitas faktor produksi lainnya sangat
tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya
manusia yang menangani, mengelola, mengendalikan dan
memanfaatkannya. Sumberdaya kebijakan yang secara garis
besar terdiri dari sumberdaya manusia yakni sumberdaya
komunikator (dalam hal ini aparatur pemerintah) dan sumber-
daya produksi dan distribusi; di samping sumberdaya alam
baik berupa potensi alam, ketersediaan waktu, ketersediaan
tempat, serta sumberdaya buatan yang terdiri dari
ketersediaan sumberdana yang stabil, serta fasilitas-fasilitas
berupa sarana dan prasarana implementasi. Pembagian
sumberdaya kebi jakan sebagai faktor pent ing
37bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
implementasi kebijakan dalam empat dimensi praktis
tersebut adalah:
1). Sumberdaya Aparatur
Sumberdaya aparatur yang jumlahnya tidak
mencukupi pada tingkat kelembagaan implementator,
akan meng-hambat kelancaran implementasi kebijakan,
sehingga, staffing yang dimulai dari rekruitmen dan
pembinaan merupakan masalah sentral dalam
implementasi terutama pada implementasi kebijakan
baru. Di samping itu segi keterampilan aparatur yang
menangani implementasi kebijakan juga sangat
menentukan tercapainya tujuan implementasi. Aparatur
perlu segera dibina serta dikem-bangkan secara terus
menerus, bertahap serta sistimatis agar memiliki lebih
banyak kemauan dan kemampuan secara individual atau
secara kolektif. Menurut Winardi (2000: 441) ketika mereka
bekerja dalam suatu tim jaringan kerja (team work and
networking) pada fokus berikut: (1) memiliki sikap mental
dan budi pekerti luhur(highly mental attitude), (2) memiliki
cita-cita, imajinasi, gagasan, kreatifitas, inovasi, dedikasi,
empati dan kearifan (idealism, imagination, initiative,
creativity, innovation, dedication, emphatic and wisdom).
Empatisme dan kearifan dalam implementasi kebijakan
akan menimbulkan sikap bahwa pelaku implementasi
tersebut tidak menggurui, tidak semata-mata menjadi ahli,
tidak berdebat, tidak memutuskan komunikasi dan
pembicaraan, serta tidak bersikap diskriminatif terhadap
pelayanan publik . Secara sistematis , layanan
implementator kebijakan ditentukan oleh pemahaman
ikhwal problemnya, orang-orang mempengaruhinya,
38 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
sifat serta pola hubungan-hubungan kerja yang timbul di
antara dan di dalam berbagai kelompok orang-orang yang
bersama-sama membentuk lingkungan kerjanya (Winardi,
2000 :442).
2). Sumberdana Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan harus memiliki dukungan
pendanaan yang memadai dan stabil. Implementator pada
tingkat bawah, biasanya mengalami hambatan yang paling
besar dalam menjalankan kewenangannya karena
keterbatasan kewenangan pengelolaan sumberdana,
sekalipun implementasi kebijakan telah menetapkan
pembiayaan atas pelaksanaannya dari sumber pemerintah
dan swasta. Kewenangan di atas kertas sangat berbeda
dengan operasionalisasinya di lapangan, terutama karena
kewenangan akan tampil dalam pelbagai bentuk,
termasuk kewenangan untuk memperoleh sumberdana
bagi penyediaan fasilitas implementasi kebijakan tersebut.
3). Sarana dan prasarana (Facilities - Infrastructure)
Seorang implementator lapis atas yang memiliki staf
yang cukup dari segi kuantitas maupun kualitas,
memahami informasi yang lengkap, memiliki kewenangan
yang cukup, namun tidak memiliki fasilitas yang memadai,
sangat besar kemungkinannya tidak akan mampu
mengimplementasikan sebuah kebijakan publik dengan
efektif. Fasilitas antara lain menyangkut piranti keras,
lunak, organisasi, serta teknologi. Sarana dan prasarana
implementasi kebijakan terdiri atas, selebaran, papan tulis
dan papan penempel, alat tulis, proyektor, perlengkapan
ruang, alat peraga, dan sarana mobilitas dan base camp.
39bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
c. Disposisi atau Sikap dan Perilaku terhadap Kebijakan
(Disposition)
Ketanggapan yang dimanifestasikan sebagai sikap dan
perilaku sumberdaya manusia aparatur implementasi
kebijakan sebagai implementator kebijakan dan sumberdaya
optimalisasi hasil implementasi kebijakan bersangkutan, serta
dampaknya dalam pelayanan sebagai konsumen (obyek) atas
implementasi kebijakan. Edward III (1980 : 90) menelaah
faktor disposisi ini ke dalam tiga dimensi berikut:
1). Pengaruh Disposisi (Effects of Dispositions)
Kepentingan implementator secara pribadi dan atau
organisasional yang ditujukkan oleh sikapnya terhadap
kebijakan pada kenyataannya sangat besar pengaruhnya
pada implementasi kebijakan yang efektif. Sikap
implementator yang merintangi implementasi kebijakan
dimulai dari munculnya tindakan seleksi, diskriminasi,
ketidaksetujuan serta dilanjutkan dengan penyimpangan
yang tidak terelakkan antara keputusan kebijakan dan
kinerja kebijakan. Kadangkala, implementator secara
selekt i f menerima pelbagai perintah, namun
sesungguhnya ia menolak perintah yang tidak sama dan
sebangun dengan sikapnya terhadap kebijakan.
Perbedaan sudut pandang organisasional mungkin juga
mencegah kerjasama antar implementator atau terjadinya
konflik internal sebuah unit implementator dalam
implementasi kebijakan menjadi penting.
2). Penataan Staf Birokrasi (Staffing the Bereaucratic)
Pengangkatan (selection and recruitment), penempatan
dan pembinaan personalia staf yang bersedia
40 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dengan tulus dan mampu (mempunyai ability, capacity,
dan capability) karena memiliki kompetensi dan profesi
yang tepat untuk mengimplementasi kebijakan adalah
bagian yang sangat menentukan keberhasilan implemen
tasi kebijakan (Edward II , 1980 : 95). Sistem penataan
implementator kebijakan dibangun dalam rangka
kelancaran proses implementasi kebijakan pemerintahan
yang strategis antara lain dengan mengesampingkan,
menarik, menempatkan atau memindahkan staf yang
mungkin tidak patuh dan menolak atau menghambat
proses implementasi kebijakan tersebut.
3). Insentif (Incentives)
Insentif merupakan salah satu faktor pembangkit
motivasi staf implementator pada setiap tingkatan perlu
diperhatikan dan dipenuhi. (Winardi, 2002 : 27). Insentif
dapat diwujudkan dalam bentuk sistem penggajian,
pemberian honorarium, tunjangan, maupun berbentuk
penghargaan lainnya yang bersifat kompetitif sesuai
kinerja implementator (Edward I I, 1980 : 93-94.; Winardi,
2002 :28).
d. Struktur Birokrasi (bureaucracy structure)
Struktur kelembagaan birokrasi pemerintahan di
pusat dan di daerah sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan pemerintahan.
Prosedur Operasional Baku (SOP) dan fragmentasi struktur
birokrasi ini dapat menjadi penghambat implementasi
dalam bentuk pemborosan sumberdaya, perintangan
koordinasi, pengacauan yurisdiksi implementator lapis
bawah, serta pembangkitan tindakan-tindakan yang tidak
41bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
dikehendaki sehingga harusmendapatkan tambahan atensi
(Edward I I, 1980 : 127) menilai struktur bjrokrasi sebagai
faktor yang sangat berperan terhadap implementasi
kebijakan pada dimensi berikut:
1). Prosedur Operasional Baku (Standard Operational
Procedures - SOP).
Standard Operational Procedures (SOP) merupakan
tuntutan internal dari implementasi suatu kebijakan yang
seragam, dan umum keterbatasan sumberdaya,
kesempitan waktu, serta keragaman operasional
organisasi yang besar dan luas. SOP disusun, juga sebagai
akibat tuntutan efisiensi dari birokrasi eksternal terutama
pada implementasi kebijakan yang secara luas
mempengaruhi lingkungan eksternal. SOP adalah suatu
hal yang secara rutin memungkinkan para pejabat publik
menetapkan keputusan-keputusannya secara cepat setiap
saat karena prosedurnya telah disederhanakan dan
diseragamkan sehingga dengan SOP menghemat waktu
yang sangat berharga. Kendatipun demikian SOP yang
berlaku seragam pada situasi umum tidak jarang
merupakan hambatan dalam implementasi kebijakan yang
bersifat khusus dan baru, fleksibel karena harus adanya
perubahan dan pada situasi yang di luar kebiasaan. SOP
yang ketat seringkali menyebabkan individu dan organisasi
enggan menerima tanggung jawab baru sehingga tidak
saja akan menunda atau bahkan merintangi implementasi
sebagian atau keseluruhan kebijakan baru tetapi juga akan
menghambat terlaksananya program-program baru. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan pengertian SOP adalah;
suatu langkah-langkah prosedur yang telah berlaku
42 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
tetap dan dipuutuskan melalui sebuah kebijakan tertentu.
SOP disusun untuk membantu bagaimana implementasi
kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan baik, tepat
sasaran dan efisien.
2). Fragmentasi (Fragmentation)
Fragmentasi merupakan pembagian tanggungjawab
untuk sebuah bidang kebijakan di antara unit-unit
organisasional yang tersebar luas. Terlalu banyak unit yang
melakukan terlalu banyak hal yang terlalu sering tumpang-
tidih, yang jarang dikoordinasikan, menghabiskan terlalu
banyak uang, dan melakukan terlalu sedikit pemecahan
masalah yang nyata. Pada kenyataannya, unit-unit tidak
dapat. dengan mudah diorganisasikan seputar suatu
bidang kebijakan, sehingga sebagai konsekuensinya.
Fragmentasi dilakukan untuk mendisribusikan tanggung-
jawab atas sumberdaya dan otoritas pemecahan masalah
komprehensif, dan hal ini menyebabkan koordinasi
kebijakan menjadi sulit dilakukan. Tanggung jawab yang
terfragmentasi ini secara signifikan menyebabkan
sempitnya fokus dan merintangi kebijakan yangbersifat
khusus. Dengan demikian, implementasi kebijakan dapat
terlaksana dengan baik jika keempat faktor kritis
(komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi)
dapat bekerja dengan baik, karena tidak mungkin setiap
faktor berdiri sendiri, melainkan akan bekerja bersama-
sama dan satu sama lain saling mempengaruhi. Kelemahan
pada satu faktor, akan berpengaruh pada proses
implementasi yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja
implementasi itu sendiri. Kiranya dapat diartikan bahwa; (i)
komunikasi merupakan suatu bentuk kanalisasi
43bab 2 - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
penerapan kebijakan dan strategi suatu kegiatan tertentu
kepada implementator kebijakan, (ii) sumber daya
menceminkan adanya suatu sarana-prasarana pendukung
utama implementasi kebijakan, misalnya; aparatur,
infrastruktur, dana, keterampilan dan sebagainya, (iii)
disposisi mencerminkan arus deliveri bagaimana kebijakan
itu harus di mplementasikan melalui agregasi kemampuan
sumber daya, sedangkan (iv) struktur birokrasi
mencerminkan adanya keharusan bahwa berjalannya
implementasi kebijakan itu melalui lini organisasi dan
struktur birokrasi. Faktor-faktor tersebut disamping secara
langsung mempengaruhi implementasi, secara tidak
langsung mereka juga mempengaruhi implementasi
melalui dampak/pengaruh satu terhadap lainnya.di
Indonesia dengan alasan: model Edward III lebih cocok
untuk dijabarkan kepada organizational level melalui
institutional arrangement. Hal ini didasari oleh pemikiran
bahwa dalam setiap kebijakan perlu dibuat organisasi
birokrasi yang akan melaksanakan kebijakan tersebut.
“Aside Directly affecting implementation, however, they also in
directly affect it through their impact on each other. In other
words, communications affect resources, dispositions, and
bureaucratic structures, which in turn influence implementation”.
Penulis berpendapat bahwa dari beberapa model yang
dikemukakan di atas, peneliti mengambil model Edward III
sebagai pisau analisis dalam implementasi AFTA di Indonesia
dengan alasan: model Edward III lebih cocok untuk dijabarkan
kepada organizational level melalui institutional arrangement. Hal
ini didasari oleh pemikiran bahwa dalam setiap kebijakan perlu
dibuat organisasi birokrasi yang akan melaksanakan kebijakan
tersebut.
44 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ebagai negara ekonomi terbuka, situasi pasar domestik di
Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang Ssemakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut dapat
terjadi karena kebijakan unilateral dan konsekwensi keikutsertaan
meratifikasi kerjasana perdagangan regional maupun global
yang menghendaki penurunan kendala-kendala perdagangan
(tarif dan nontarif).
Isu liberalisasi perdagangan mewarnai perdagangan
komoditas di pasar internasional dalam era globalisasi saat ini,
tidak terkecuali perdagangan komoditas agro. Sebagai negara
ekonomi terbuka dan ikut meratifikasi berbagai kesepakatan
kerjasama ekonomi dan perdagangan regional maupun global,
tekanan liberalisasi melalui berbagai aturan kesepakatan kerjasama
tersebut bukan tidak mungkin pada akhirnya akan berbenturan
dengan kebijakan internal dan mengancan kepentingan nasional.
Motif Perdagangan dan Tekanan Liberalisasi
Menurut Chacholiades (1978:5) partisipasi dalam
perdagangan internasional bersifat bebas (free) sehingga
BAB 3
Liberalisasi
Perdagangan Agro
45bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
46 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut dilakukan
secara sukarela. Dari sisi internal, keputusan suatu negara
melakukan perdagangan internasional merupakan pilihan
(choice) oleh sebab itu sering dikatakan perdagangan
seharusnya memberikan keuntungan pada kedua pihak (mutually
benefitted). Dalam sistem ekonomi tertutup (autarky) negara
hanya dapat mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak yang
diproduksi sendiri. Akan tetapi dengan melakukan perdagangan
(open economic) suatu negara memiliki kesempatan
mengkonsumsi lebih besar dari kemampuamya berproduksi
karena terdapat perbedaan harga relatif dalam proses produksi
yang mendorong spesialisasi (Chacoliades, 1978: 7; Chaves et al.,
1993: 19). Perbedaan harga relatif itu muncul sebagai dampak
perbedaan penguasaan sumberdaya dari bahan baku proses
produksi (resource endowment) antar negara. Derajat penguasaan
sumberdaya dan kemampuan mencapai skala usaha dalam
proses produksi secara bersama akan menjadi determinan daya
saing dan menentukan arah serta intensitas partisipasi negara
dalam pasar internasional (Susilowati,2003: 17).
llham (2003: 9) menyebut liberalisasi sebagai
penggunaan mekanisme harga yang lebih intensif sehingga
dapat mengurangi bias anti ekspor dari rezim perdagangan.
Disebutkan pula bahwa liberalisasi juga menunjukkan
kecendenrungan makin berkurangnya intervensi pasar sehingga
liberalisasi dapat menggambarkan situasi semakin terbukanya
pasar domestik untuk produk-produk luar negeri. Percepatan
perkembangan liberalisasi pasar terjadi karena dukungan
revolusi di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi
yang mengatasi kendala ruang dan waktu (Kariyasa, 2003: 7).
Menurut pendapat Kindleberger dan Lindert (1978: 9),
perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas
dengan semini¬mun mungkin pengenaan tarif dan hambatan
lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa perdagangan yang lebih
bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan
bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar
dibandingkan tidak ada perdagangan. Dijelaskan oleh Hadi
(2003: 17), selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar
negara liberalisasi perdagangan juga akan meningkatkan kuantitas
perdagangan dunia dan peningkatan efisiensi ekonomi.
Namun demikian, oleh karena terdapat perbedaan
penguasaan sumberdaya yang menjadi komponen pendukung
daya saing, sebagian pakar yang lain berpendapat liberalisasi
pasar berpotensi menimbulkan dampak negatif karena
mendorong persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu
maka timbul pandangan pentingnya upaya-upaya proteksi
terhadap produksi dalam negeri dan kepentingan lainnya dari
tekanan pasar internasional melalui pemberlakuan kendala atau
hambatan perdagangan (Abidin, 2000: 89).
Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk
meliberalisasi pasar, efektivitas pemberlakuan kendala atau
hambatan tersebut dalam perdagangan akan menentukan
derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan pasar semakin tinggi
bila pemerintah suatu negara menurunkan tarif (bea masuk)
produk yang diperdagangkan ( tari f f reduction) dan
menghilangkan hambatan-hambatan nontarif (non tariff barriers).
Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung menaikkan
tarif dan meningkatkan hambatan nontarif.
Secara internal, Indonesia mulai mereformasi kebijakan
di bidang perdagangan sejak pertengahan dekade 1980-an,
ketika terjadi penurunan harga minyak mentah di pasar dunia
yang meru pakan andalan ekspor nasional. Namun dalam hal ini
pemerintah melakukan serangkaian deregulasi ekonomi untuk
47bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
untuk mendorong ekspor yang menghasilkan devisa (Erwidodo,
1999: 17; Feridhanu setyawan dan Pangestu, 2003: 57).
Makin terbuka dan terintegrasinya perdagangan (pasar)
antar negara juga didorong faktor eksternal seperti karena
terikat ratifikasi perjanjian perdagangan antar negara, kawasan,
atau bahkan yang bersifat global (Anugerah, 2003; 69; Kanyasa,
2003:17). Dijelaskan oleh Feridhanusetyawan dan Pangestu
(2003: 60), tekanan eksternal liberalisasi selain karena dorongan
upaya regionalisasi terjadi pada akhir 1900-an hingga perte-
ngahan 1990-an(seperti dengan pembentukan AFTA dan APEC)
juga karena keterikatan komitmen terhadap Kesepakatan Putaran
Uruguay (the Uruguay Round Agreement) sebagai bagian dari
rangkaian putaran GATT (General Agreement on Tax and Tariff) yang
kemudian diubah menjadi organisasi formal bernama WTO
(World Trade Organization). Kesepakatan dalam AFTA dan WTO
bersifat mengikat (binding), sedangkan dasar kesepakatan APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) bersifat sukarela. Namun
demikian semangat yang dibawa oleh ketiga bertuk
kelembagaan relatif samna, yaitu liberalisasi melalui penurunan
kendala perdagangan (tarif dan kendala nontarif).
Kebijakan Pemerintah di Bidang Agro
Selain kebijakan yang bersifat protektif dalam
perdagangan juga dikenal kebijakan promotif. Kebijakan
promotif ditujukan untuk mendorong pertumbuhan
perdagangan dari dalam negeri (ekspor). Salah satu contoh
kebijakan promotif terdapat pada sektor pertanian.
Pada dasarnya terdapat dua tipe kebijakan pemerintah
dibidang pertanian yaitu development policy dan compensating
policy (Suryana, 2001: 7). Development policy biasanya dilakukan
48 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pemerintah untuk mendorong produksi pertanian dengan tujuan
yang ingin dicapai adalah meningkatan produksi dan
pendapatan petani. Dalam compensating policy, tujuan utama
kebijakan adalah meningkatkan pendapatan petani tetapi
dengan kecenderungan menekan produksi. Development policy
banyak dilakukan oleh negara yang kekurangan (defisit) produk
pertanian, sedangkan compensating policy banyak dilakukan oleh
negara yang mengalami surplus dan sulit memasarkan
produknya. Misalnya, kebijakan harga dasar dan kebijakan
subsidi, seperti kebijakan harga gabah dan subsidi pupuk yang
pernah diberlakukan di Indonesia, dapat dikategorikan sebagai
development policy. Tujuan kedua kebijakan tersebut adalah
mendorong produksi beras agar meningkat, di sisi lain petani
mendapat harga yang wajar.
Skenario Liberalisasi
Budiono (2001: 37-42) menyebutkan, terdapat lima
manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan. Pertama, akses
pasar lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi
karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-
pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan
industri yang saling terkait dan saling menunjang sehingga biaya
produksi dapat diturunkan. Kedua, iklim usaha menjadi lebih
kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent
seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi, bukan bagaimana mengharapkan
mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan
investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perda-
gangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang “sesuai”
49bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
50 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam
perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen
meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk
dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu
dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan
yang sehat dan melarang praktek monopoli.
Dalam praktek proses liberalisasi perdagangan dapat
dilakukan melalui berbagai skenario. Selain proses liberalisasi
unilateral, ratifikasi kerjasama perdagangan internasional melalui
pembentukan kelembagaan seperti AFTA dan WTO merupakan
pilihan skenario liberalisasi bagi negara pelaku perdagangan,
termasuk Indonesia. Akan tetapi, oleh karena memiliki sasaran
dan mekanisme implementasi yang berbeda-beda maka masing-
masing skenario proses liberalisasi tersebut akan menghasilkan
dampak berbeda pula.
Sisi Positif dan Negatif Liberalisasi
Menurut Indrawati (1995:89), Putaran Uruguay merupakan
kesepakatan yang paling ambisius dibandingkan putaran-putaran
GATT sebelumnya karena bertujuan mengontrol proliferasi segala
bentuk proteksionisme baru untuk menuju pada kecenderungan
liberalisasi perdagangan antarnegara, termasuk aturan inter-
nasional dalam bidang Hak Properti Intelektual, dan memperbaiki
mekanisme penyelesaian perselisihan dengan menerapkan
keputusan dan mematuhi aturan-aturan GATT, misalnya proteksi
yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui
kebijaksanaan harga (price support), bantuan langsung (direct
payment), dan bantuan pasokan (supply management program)
telah menyebabkan distorsi perdagangan hasil pertarian dunia.
Distorsi terjadi seiring dengan meningkatnya hasil produksi
51bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pertanian dari negara-negara maju yang mengakibatkan
penurunan harga dunia untuk produk pertanian. Meskipun harga
produk pertarnian yang rendah menolong negara pengimpor
tetapi faktor rendahnya harga produk pertarnian tersebut juga
akan merugikan negara-negara berstatus produsen netto.
Secara umum menurut Indrawati (1995:94), liberalisasi akan
menguntungkan bagi negara berkembang dan penduduk miskin
dari kelompok pendapatan menengah karena ekspor produk
yang bersifat padat karya akan meningkat. Namun demikian,
derajat manfaat dan keuntungan liberalisasi perdagangan sangat
tergantung pada reformnasi kebijaksanaan yang diambil dan
keadaanstruktur perekonomian domestik nagara berkembang
itu sendiri.
Pada studi keterkaitan liberalisasi dengal aspek lingku-
ngan Abimanyu (1995: 189) berpendapat, bahwa dalam liberalisasi
perdagangan masing-masing negara sebenarnya dibolehkan
menerapkan kebijaksanaan subsidi. pajak, dan peraturan pe-
merintah lainnya selama tidak membedakan antara perusahaan
domestik dan asing, sebagaimana klausul dalam aturan GATT.
Adanya peluang tersebut menurut Abimanyu dapat menimbulkan
dampak positif dalam hal fairness kompetisi dan kemampuan
suatu perusahaan asing untuk menyesuaikan dengan kondisi
(khususnya teknologi) di negara di mana perusahaan berlokasi.
Akan tetapi disisi lain, peluang tersebut juga berpotensi
menimbukan dampak negatif, yaitu masuknya teknologi dan
produk “kolor” ke negara tujuan perdagangan, khususnya
negara berkembang yang lebih rendah standar lingkungannya.
Studi tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap
pertanian di Indonesia oIeh Erwidodo (1999) menunjukkan
beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, sebelum tahun 1985
52 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Indonesia sangat mengutamakan kebijakan proteksi pasar
domestik. Kebijakan ini menimbukan ekonomi biaya tinggi dan
manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh sebagian besar
penerima proteksi tersebut. Dalam rangka mendorong reformasi
menuju perdagangan bebas yang digulirkan sejak awal 1980-an
pemerintah memperkenalkan baberapa kebijakan berikut (1)
penyederhanaan prosedur kepabeanan termasuk dikeluarkannya
undang-undang kepabeanan yang baru, (2) menurunkan tarif dan
pungutan-pungutan. (3) mengurangi lisensi impor dan hambatan
nontarif, (4) deregulasi dari sistem distribusi, (5) deregulasi rejim
investasi, dan (6) memantapkan batas wilayah dan prosedur
ekspor. Salah satu sektor yang mendapat proteksi cukup tinggi
adaIah sektor makanan dan minuman (food and beverage).
Kedua, liberalisasi perdagangan secara potensial akan
mempertuas akses pasar untuk Indonesia khususnya ke negara
industri. Ketiga, liberalisasi perdagangan diperkirakan akan
meningkatkan pendapatan dunia secara signifikan dan
terdistribusi secara luas diantara negara maju dan negara
berkembang. Hasil studi juga menunjukan indikasi. adanya
deregulasi perdagangan dengan partner dagang Indonesia
mengakibatkan tidak hanya kehilangan daya saing ekspor tetapi
juga kemungkinan penurunan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, seberapa besar Indonesia akan memperoleh
manfaat diterapkannya liberalisasi perdagangan tergantung
tidak hanya pada penurunan hambatan perdagangan di pasar
partner dagang Indonesia tetapi juga upaya dalam membuka
pasar Indonesia sendiri.
Amang dan Sawit (1997: 27-35) mengingatkan bahwa
dampak perdagangan bebas cukup serius buat Indonesia, tidak
hanya menyangkut bidang ekonomi tetapi juga bidang non
53bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ekonomi. Perpindahan faktor produksi seperti tenaga kerja,
lahan, kapital secara cepat dan berlebihan dalam waktu yang
relatif singkat dari sektor pertanian dan jasa ke sektor
manufaktur, akan menimbulkan masalah baru yang lebih sulit
dan mahal untuk mengatasinya. Hampir tidak mungkin
dibangun infrastruktur perkotaan yang cukup untuk
menampung pesatnya urbanisasi, sehingga akan muncul
masalah kekumuhan dan kemiskinan di kota, kepadatan kota,
kekurangan tempat tinggal, tidak cukupnya tanah, kekurangan
air bersih (kualitas dan kuantitasnya), memburuknya lingkungan
hidup dan meringkatnya kriminalitas. Di samping itu distribusi
pendapatan masyarakat akan semakin timpang.
Indikasi dampak negatif dari liberalisasi terhadap petani
(pertanian) juga terjadi di negara maju seperti Jepang. Studi
Kamiya (2002) menyebutkan, liberalisasi menyebabkan harga
komoditas pertanian di pasar domestik Jepang yang semula
sangat tinggi karena diproteksi menjadi terus menurun.
Penurunan harga tersebut mengakibatkan pengusahaan
komoditas pertanian menjadi tidak menguntungkan. Akibat
selanjutnya, banyak areal pertanian yang dibiarkan tidak
tergarap di samping semakin sedikit petani yang bersedia
mengusahakan.
Meskipun secara teori liberalisasi perdagangan
disebutkan akan meningkatkan perolehan manfaat bagi para
pelaku perdagangan, akan tetapi pada kenyataannya
implementasi liberalisasi juga membawa dampak buruk yang
mengancan pasar domestik dan kepentingan domestik lain,
khususnya menyangkut kesejahteraan petani produsen.
Beberapa kajian terdahulu telah mengulas cukup banyak sisi
positif dan negatif liberalisasi perdagangan dari berbagai sisi
perekonomian.
Pendekatan Daya Saing dalam Pengembangan Usaha
Industri Agro
Porter (1990: 19-27) menyatakan bahwa faktor-faktor
penentu yang menciptakan keunggulan bersaing adalah: 1)
Kondisi Faktor (Factor Conditions); 2) Kondisi Pemintaan (Demand
Conditions); 3) Industri Terkait dan lndustri Pendukung (Related
and Supporting Industries); 4) Strategi perusahaan, struktur, dan
persaingan (Firm Strategy, Structure and Rivalry).
Dari faktor-faktor penentu daya saing di atas dapat dinyata-
kan bahwa kemakmuran bangsa ditentukan oleh produktivitas
ekonomi, yang diukur dengan nilai barang dan jasa yang
diproduksi per satuan sumber daya manusia, modal, dan alam.
Produktivitas tergantung dari nilai produk dan jasa, diukur dengan
harga yang dapat membuka pasar dan efisiensi dalam produksinya.
Daya saing yang benar diukur dengan produktivitas.
Produktivitas memberikan kemampuan sebuah negara untuk
mendukung upah tinggi, mata uang yang kuat, dan pengembalian
modal yang menarik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Produktivitas adalah tujuan, bukan hanya sekedar ekspor. Hanya
negara yang meningkatkan ekspor produk atau jasa dengan cara
produktif akan menaikan produktivitas nasional.
Dalam lingkup mikro, daya saing perusahaan dapat
didefinisikan sebagai suatu tingkat di mana perusahaan mampu,
dalam kondisi pasar kerja yang bebas dan adil, menghasilkan
barang dan jasa yang memenuhi pasar internasional, dan secara
bersamaan meningkatkan dan memelihara penghasilan riil dari
orang-orangnya dalam jangka panjang.
Perbedaan dalam pemilikan sumberdaya, penguasaan
teknologi produksi, perkembangan ekonomi dan komitmen
pemerintah untuk membela kepentingan produsen di dalam
54 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
negeri sangat menentukan kemampuan suatu negara bersaing
dalam pasar global yang makin liberal.
Analisis Kebijakan
Setiap kebijakan perlu dianalisis dalam rangka pemecahan
masalah yang terjadi. Ilmu administrasi memberikan bantuan
untuk melakukan analisis kebijakan tersebut mulai dari tahap
formulasi, implementasi sampai dengan evaluasi kebijakan. Salah
satu analisis yang dijelaskan oleh Dunn adalah :
Analisis kebijakan yang tujuannya bersifat penandaan
(designative), penilaian (evaluative) dan anjuran (advocative) yang
dapat diharapkan menghasilkan informasi-informasi dan
argumen-argumen yang masuk akal. (Dunn, 1995 : 50).
Dari analisis yang mengacu pada disiplin ilmu administrasi,
kebijakan dapat dilukiskan sebagai sistem dalam kerangka input
dan output melalui transformasi dan merangkum feedback yang
merupakan proses, sehingga bermakna sebagai sesuatu yang
bersifat dinamis.
Kebijakan Publik selalu mengandung tiga komponen dasar,
yaitu: tujuan, sasaran dan cara mencapai sasaran dan tujuan
tersebut. Tiga komponen ini biasa disebut sebagai implementasi.
Implementasi kebijakan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dengan sarana tertentu
dan dalam urutan waktu tertentu (Hoogerwerf, 1983 : 157).
Implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dan pengendalian
arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil kebijakan (Dunn,
1995 : 80). Jones (1994 : 26) mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan serangkaian aktivitas atau kegiatan yang
ditujukan untuk memberikan dampak tertentu.
55bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Dengan demikian, implementasi kebijakan merujuk pada
pelaksanaan kebijakan publik secara efetif, sehingga
implementasi kebijakan juga memuat aktivitas-aktivitas
program yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan dan dirasakan hasilnya atau manfaatnya oleh
kelompok sasaran yang dituju melalui berbagai sarana.
Berdasarkan makna tersebut, implementasi kebijakan
mengandung unsur-unsur: (1) Proses, yaitu rangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mewujudkan saasran yang ditetepkan; (2)
Tujuan, yaitu sesuatu yang hendak dicapai melalui aktivitas yang
dilaksanakan; dan (3) Hasil atau dampak, yaitu manfaat yang
dirasakan oleh kelompok sasaran.
Setiap kebijakan perlu dianalisis dalam rangka
pemecahan masalah yang terjadi. Ilmu administrasi memberikan
bantuan untuk melakukan analisis kebijakan tersebut mulai dari
tahap formulasi, implementasi sampai dengan evaluasi
kebijakan. Salah satu analisis yang dijelaskan oleh Dunn adalah :
“Analisis kebijakan yang tujuannya bersifat penandaan
(designative), penilaian (evaluative) dan anjuran (advocative) yang
dapat diharapkan menghasilkan informasi-informasi dan
argumen-argumen yang masuk akal. (Dunn,1995 : 50)”.
Pembentukan AFTA dapat dianggap sebagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh sejumlah negara yang terhimpun dalam
asosiasi. ASEAN dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi
kepentingan di kawasan Asia Tenggara (Bennet, 1984 : 348).
Untuk keperluan mensikapi lingkungan tersebut ASEAN sebagai
organisasi regional mengeluarkan kebijakan yang dipandang
perlu bagi kepentingan bersama, yang dikategorikan sebagai
kebijakan regional (Anderson, 1984 : 24).
56 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Pembentukan ASEAN dapat dianggap sebagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh sejumlah negara yang terhimpun dalam
asosiasi. ASEAN kemudian dapat diposiskan sebagai asosiasi
regional yang memiliki kesamaan dalam mempersepsikan
lingkungan di luar kawasan Asia Tenggara (Bennet, 1984 : 348).
Untuk keperluan mensikapi lingkungan tersebut ASEAN sebagai
organisasi regional mengeluarkan kebijakan yang dipandang
perlu bagi kepentingan bersama, yang dikategorikan sebagai
kebijakan regional (Anderson, 1984 : 24). Meskipun Dasar
pembentukan organisasi regional ini bervariasi, namun ASEAN
merupakan kerjasama antar negara yang dalam struktur formal
yang didasari oleh kawasan (Bennet, 1984 : 349).
Pada tataran tingkat nasional, Indonesia sebagai salah satu
negara anggota ASEAN perlu tanggap terhadap perubahan di
lingkungan ASEAN khususnya proses pelaksanaan kesepakatan
AFTA. Dengan kata lain, secara administratif pemerintah Indonesia
perlu mengimplementasikan kebijakan publik yang berkenaan
dengan implementasi AFTA di Indonesia.
Susunan kebijakan publik di Indonesia meliputi pertama, di
Indonesia kebijakan publik tertinggi dibuat oleh Legislatif. Hal ini
sejalan dengan ajaran pokok dari Montesquieu yang berkembang
pada abad ke-17 yang pada intinya mengatakan bahwa: Formulasi
kebijakan dilakukan oleh Legislatif, Implementasi oleh eksekutif,
sedangkan Yudikatif bertugas menerapkan sanksi jika terjadi
pelanggaran oleh eksekutif. Pada perkembangannya yaitu pada
abad ke-19 ajaran Montesquieu ini kemudian ditindaklanjuti
dengan teori administrasi publik yang dikenal dengan paradigma
“When the politics end administration begun” .
Bentuk kebijakan yang ke dua : Kebijakan yang dibuat secara
bersama oleh Legislatif dan Eksekutif. Hal ini mencerminkan
57bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
kompleksnya masalah yang harus dihadapi yang tidak mungkin
hanya dihadapi oleh legislatif saja. Contoh : Tkt.nasional: Undang-
Undang, Perpu; Prop/Kab/Kota: Perda.
Bentuk kebijakan yang ke tiga : Kebijakan yang dibuat oleh
eksekutif saja. Sebagai konsekwensi dari kompleksnya kehidupan
masyarakat maka eksekutif pun dapat membuat kebijakan
turunan dari kebijakan tingkat atasnya.
Kaitannya dengan implementasi AFTA, tersidik bahwa
pemerintahan tingkat pusat bertindak sebagai implementor pada
tataran nasional dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan
publik dengan pola top-down yakni ratifikasi Pemerintah RI
terhadap skema CEPT dalam kerangka AFTA yang tertuang dalam
Keppress Nomor 228/M Tahun 2001; Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintaha Daerah; Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional;
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/X/2003/2001 tentang
Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Daerah;
Keputusan Menkeu RI No. 392/KMK.01/2003 tentang Penetapan
Bea Masuk Atas Impor Barang dalam Rangka Skema CEPT.
Pada tataran tingkat daerah Jawa Barat, Lembaga Peme-
rintah dan Non Pemerintah Tingkat Jawa Barat bertindak sebagai
implementor dengan dikeluarkannya kebijakan publik Keputusan
Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang Pedoman
Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar Negeri.
Keseluruhan kebijakan publik termaktub di atas di imple-
mentasikan kepada target (sasaran) implementasi kebijakan yakni
58 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
komunitas komoditas pertanian di Jawa Barat termasuk di dalamnya
para petani di tingkat akar rumput.
Dalam keberhasilan implementasi kebijakan salah satunya
adalah pemilihan model yang tepat sesuai dengan level atau isi dari
kebijakan tersebut. Dari beberapa model implementasi kebijakan yang
dikemukakan, peneliti mengambil model Edward III sebagai pisau
analisis dalam implementasi kebijakan tentang AFTA terhadap
efektivitas pelayanan publik dengan alasan: model Edward II lebih
cocok untuk dijabarkan kepada organizational level melalui
institutional arrangement. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dalam
setiap kebijakan perlu dibuat organisasi birokrasi yang akan
melaksanakan kebijakan tersebut.
Institusional arrangement tersebut berkait erat dengan
memperhatikan bagaimana keterpaduan antara komunikasi, sumber
daya sarana dan prasarana, kecenderungan-kecenderungan
implementer (disposisi), dan struktur birokrasi pada implementasi
AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat,
Indonesia.
Implementasi suatu kebijakan pada kenyataannya merupakan
strategi komunikasi dalam menyelaraskan semua sumber daya sarana
dan prasarana yang dimiliki dengan keadaan lingkungan disekitarnya
yang selalu berubah. Keserasian hubungan organisasi dengan
lingkungan merupakan suatu keharusan karena organisasi akan tetap
bertahan manakala bisa menyesuaikan dengan lingkungannya
sebaliknya organisasi akan mengalami kematian manakala tidak bisa
menyesuaikan dengan lingkungan.
59bab 3 - LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
60 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ropinsi Jawa Barat terletak di bagian Barat Pulau Jawa
pada 5° 50'– 7° 50' lintang selatan dan 104° 48' – 108°
Bujur Timur, dengan batas-batas sebagai berikut:P1. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah
2. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Jawa Barat
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Banten dan Selat
Sunda
Berdasarkan keadaan topografinya, Jawa Barat dibagi
menjadi 3 zona ketinggian yaitu:
1. Daerah bagian utara yang merupakan dataran rendah
dengan ketinggian antara 0 – 100 m diatas permukaan laut.
2. Daerah bagian Tengah dan Selatan dengan ketinggian
antara 100 – 500 m di atas permukaan laut;
3. Daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m
di atas permukaan laut.
4. Curah hujan rata-rata pada umumnya di atas 2000 mm/ta
hun, bahkan di beberapa daerah pegunungan berkisar an-
tara 3.000– 5.000 mm/tahun.
BAB 4
Mengukur Kesiapan
Jawa Barat
61bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
62 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Propinsi Jawa Barat merupakan bagian dari rangkaian
pegunungan yang membentang dari ujung Utara Pulau
Sumatera atau Bukit Barisan melalui Pulau Jawa, Bali. Nusa
Tenggara sampai ke ujung Utara pulau Sulawesi, yang berupa
deratan gunung apai yang masih aktif maupun tidak aktif serta
membentuk suatu rangkaian pegunungan. Secara umum
Propinsi Jawa Barat terbagi menjadi wilayah pegunungan di
bagian Selatan, serta wilayah dataran dan lereng yang landai di
bagian Utara. Wilayah Selatan pada umumnya terdiri atas
pegunungan yang secara morfologi dapat dibedakan atas
pegunungan batuan tua dan kerucut-kerucut gunung api muda
serta morfologi pantai yang relatif curam apabila dibandingkan
wilayah utara yang landai serta dataran pantainya yang luas.
Kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan
keuntungan bagi daerah Jawa Barat dalam bidang komunikasi dan
perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah dataran rendah,
sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit
pantai dan dataran bergunung-gunung ada di kawasan tengah.
Jawa Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan
vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian
besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian, sehingga
Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional.
Agribisnis sebagai salah satu core business pembangunan
Jawa Barat, berkonotasi bahwa sektor ini adalah sebagai
penggerak dan titik bertemunya sektor ekonomi lainnya yaitu
industri manufaktur dan jasa-jasa. Adanya keterbatasan
infrastruktur agribisnis akibat ketimpangan perhatian terhadap
pertanian di masa lalu, kurangnya sinkronisasi dan koordinasi
antara instasi pengemban pembangunan, serta keterbatasan
sumberdaya pembangunan yang dimiliki pemerintah maupun
masyarakat dunia usaha, menjadi dasar perlunya perhatian dalam
akselerasi penataan dan pengembangan agribisnis sebagai salah
satu sumberdaya ekonomi di Jawa Barat.
Permasalahan utama yang kini dirasakan dan memerlukan
pemecahan segera dalam pengembangan agribisnis di Jawa
Barat antara lain adalah :
1. Produk agribisnis Jawa Barat masih lemah dalam tingkat
pemenuhan kuantitas, kualitas, harga yang proporsional dan
kontinuitas supply sebagaimana yang diinginkan oleh pasar
2. Belum adanya Sistem Penjaminan / Sertifikasi Mutu produk
agribisnis yang kredibel, independen, terakreditasi dan
diakui pasar dunia internasional.
3. Masih lemahnya sistem informasi yang menghubungkan
antara kebutuhan pasar dengan produksi yang ada di
produsen (petani), sehingga segmen pasar yang tersedia
tidak dapat dimasuki oleh produk yang ada, sementara
limpahan produksi banyak terjadi stagnasi di sentra-sentra
produsen akibat dari keterbatasan informasi pasar dan
mengandalkan pasar langganan yang sudah ada, namun
jumlahnya masih terbatas
4. Terbatasnya fasilitas transaksi antara produsen dengan
segmen pasar yang ada.(http://www.dishut.jabarprov.go.id/phpdig/text_content/1277.txt)
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Propinsi Jawa
Barat
Salah satu alternatif untuk mengakses semua permasalahan
yang ada di dalam kegiatan Agribisnis adalah dibentuknya Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Propinsi Jawa Barat, yang akan
berkonsentrasi dalam fasilitas pengembangan agribisnis pada
off farm.
63bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Sebagai acuan pelaksanaan tugas operasionalnya Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat mempunyai Visi dan
Misi sebagai berikut :
Visi:
Sebagai akselerator dalam mewujudkan perindustrian
dan perdagangan agro termaju di Indonesia.
Misi:
1. Mengembangkan regulasi perindustrian dan perdagangan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemasaran
produk agro.
2. Mengembangkan fasilitas pasar untuk meningkatkan
penyerapan pasar dalam negeri dan luar negeri.
3. Mengembangkan sistem pembiayaan dan kemitraan usaha
untuk mewujudkan kewirausahaan yang handal.
4. Mengembangkan usaha industri dan perdagangan agro
untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk
di pasar domestik dan ekspor.
Adapun program dan kegiatan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Agro Propinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2006-
2007 antaralain:
1. Program Pengembangan Agribisnis
Tujuan:
Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan nilai tambah bidang pertanian.
Sasaran:
a). Peningkatan laju pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,98%
b). Perluasan kesempatan kerja dengan penyerapan tenaga
kerja di sektor pertanian sebesar 42.000 orang
64 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Kegiatan:
a. Peningkatan Keterkaitan dan Penguatan Jaringan Usaha
Agribisnis
b. Kegiatan Peningkatan Keterkaitan Dan Penguatan Jaringan
Usaha Agribisnis
c. Pertemuan koordinasi peningkatan keterkaitan dan
penguatan jaringan usaha agribisnis
d. Workshop sinergitas pengembangan agribisnis
2. Program Pengembangan Usaha dan Pemanfaatan Sumber
daya Agro Kelautan
Tujuan:
Meningkatnya kemampuan usaha dan pemanfaatan sumber-
daya agro kelautan yang berwawasan lingkungan serta sarana
dan prasarana kelautan yang optimal
Sasaran:
a. Meningkatnya kemampuan usaha dan pemanfaatan
sumberdaya kelautan yang berwawasan lingkungan serta
tersedianya sarana dan prasarana kelautan yang optimal
b. Tercapainya produksi perikanan budidaya air tawar dan
payau 298.661 ton
Kegiatan:
a. Peningkatan Usaha Industri Agro Hasil Perikanan
b. Kegiatan Peningkatan Usaha Industri Agro Hasil Perikanan
c. Identifikasi struktur industri pengolahan ikan laut di Jawa
Barat
d. Penguatan kapasitas dan kualitas industri pengolahan ikan
laut di Jawa Barat
65bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
66 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
3. Program Pengembangan Industri Manufaktur Agro
Tujuan:
Terwujudnya industri yang maju dan tangguh serta berdaya
saing tinggi dan mampu memasuki pasar global yang
didukung oleh kandungan bahan baku lokal dan teknologi.
Sehingga produk-produk industri yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif.
Sasaran:
a. Meningkatnya laju pertumbuhan sektor industri sebesar
4,28% dengan laju pertumbuhan dari sektor industri
makanan, minuman dan tembakau sebesar 9,00% .
b. Meningkatnya investasi industri komoditi agro sebesar 950
Milyar
c. Terbinanya pelaku usaha IKM agro sebanyak 3.000 unit
usaha dari 18.000 unit usaha yang direncanakan
d. Perluasan kesempatan kerja dengan penyerapan tenaga
kerja di sektor industri sebesar 92.000 ribu orang
e. Meningkatnya penggunaan bahan baku/komponen lokal
dalam setiap proses produksi agro
Kegiatan :
a. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Agro
1) Penerapan standar mutu pada industri manufaktur
- Fasilitasi sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP)
- Fasilitasi penetapan/pengujian komposisi dan umur
simpan produk industri agro
- Fasilitasi penerapan sertifikasi halal
2) Fasilitasi sistem lacak internasional (Barcode) untuk
Industri Manufaktur Agro (IMA)
3) Pengembangan pusat konsultasi desain dan teknik
kemasan produk makanan olahan
4) Pengembangan Ragam Makanan Olahan Khas Jawa
Barat
5) Feasibility Study pengembangan usaha industri peng-
olahan kelapa
6) Fasilitasi alat dan bahan kemasan produk industri kecil
menengah agro
b. Pengembangan Jaringan Kerja dan Manajemen Wi rausaha
Industri Agro
1) Penguatan struktur industri dalam model Babakan
Industri Agro
2) Bimbingan teknis pengembangan klaster Industri
Manufaktur Agro (IMA) di Bandung
3) Partisipasi dalam forum konsultasi pengembangan
klaster Industri Manufaktur Agro (IMA) Tingkat Nasional
4) Fasilitasi pengembangan pengolahan komoditi agro
- Pengembangan teknik diversifikasi produk olahan
berbahan baku ubi jalar
- Penumbuhan dan pengembangan pengolahan Keju
- Fasilitasi alat dan mesin pengolahan Industri
Manufaktur Agro dalam model Babakan Industri
Manufaktur Agro (IMA)
5) Fasilitasi jalan usaha industri Babakan Opak di Kab.
Sumedang
6) Fasilitasi peningkatan kualitas lingkungan usaha industri
makanan ringan di Kota Tasikmalaya
7) Fasilitasi perlengkapan rumah produksi di Kabupaten
Ciamis dan Sumedang
8) Workshop pengembangan industri dengan pendekatan
klaster di Bandung
67bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
68 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
9) Bimbingan Teknis pengolahan produk Industri Manufaktur
Agro (IMA)
10) Lokakarya pengembangan klaster Industri Manufaktur Agro
(IMA) Babakan Industri Agro (Opak, Kerupuk)
4. Program Pengembangan Perdagangan Agro Dalam dan Luar
Negeri
Tujuan:
Meningkatkan kegiatan perdagangan dalam negeri dan luar negeri
melalui peningkatan daya saing komoditas ekspor, pengembangan
pemasaran ekspor tertib tata niaga, perlindungan konsumen dan
produsen sehingga tercipta kestabilan harga dan terjaminnya
distribusi barang dan jasa
Sasaran:
a. Meningkatnya laju pertumbuhan sektor perdagangan sebesar
5,23%
b. Tercapainya bilai transaksi penjualan hasil lelang produk agro
minimal sebesar 23 Milyar
c. Meningkatnya nilai ekspor tahun 2007 menjadi US$ 3,2 Milyar
d. Meningkatnya penggunaan produk dalam negeri
e. Tertatanya sistem distribusi barang
f. Perluasan kesempatan kerja dengan penyerapan tenaga kerja di
sektor perdagangan sebanyak 51.000 orang
g. Meningkatnya peluang pasar melalui events promosi dagang
Kegiatan :
a. Pengembangan Sistem Perdagangan Produk Agro Dalam Negeri
1) Optimalisasi pengembangan pola lelang forward komoditi
agro
2) Monitoring harga kebutuhan pokok masyarakat di 3
pasar
3) Koordinasi antisipasi pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat
4) Promosi produk industri dan perdagangan agro dalam
negeri
- Fasilitasi Pasar Peduli Ramadhan
- Partisipasi Pameran Jawa Ba rat Expo
- Partisipasi Hari Pangan Sedunia (HPS)
- Partisipasi Pekan Raya Jakarta (PRJ)
- Partisipasi Agro and Food di Jakarta
5) Pengembangan dan optimalisasi perdagangan komoditi
agro antar pulau
- Konsolidasi perdagangan komoditi agro antar pulau
ke Provinsi Kalimantan Barat
- Konsolidasi perdagangan komoditi agro antar pulau
ke Provinsi Riau
6) Penyusunan Neraca Perdangan
7) Pengembangan perdagangan dan pasar perdesaan
produk agro
b. Kegiatan Pengembangan Sistem Perdagangan Produk
Agro Luar Negeri
1) Penyebarluasan informasi perdagangan luar negeri
2) Pembinaan dunia usaha melalui Bimbingan Ekspor dan
Impor produk agro.
3) Sosialisasi kebijakan perdagangan luar negeri (ekspor
impor) di Bandung.
4) Peningkatan mutu produk bunga potong, ubi jalar dan
ikan hias berorientasi ekspor.
5) Partisipasi promosi dagang nasional
69bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
- Partisipasi Pameran Produk Ekspor (PPE) di Jakarta
- Partisipasi Pameran Produk Ekspor Daerah (PPED) di
Yogyakarta
- Partisipasi Pameran Produk Ekspor Daerah (PPED) di
Medan
5) Partisipasi promosi dagang di luar negeri
- Promosi Dagang Produk Makanan Olahan di Malaysia
- Partisipasi pada Indonesia Solo Exhibition di Beijing
China
c. Kegiatan Peningkatan Tertib Niaga Dan Perlindungan
Konsumen
1) Sosialisasi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Fasilitasi Sertifikat
Penyuluhan (SP) di Kab. Kuningan
2) Sosialisasi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Fasilitasi Sertifikat
Penyuluhan (SP) di Kab. Subang
3) Sosialisasi kualitas komoditi produk agro dan fasilitasi
Sertifikat Penyuluhan (SP) di Kota Cirebon
4) Sosialisasi kualitas komoditi produk agro dan fasilitasi
Sertifikat Penyuluhan (SP) di Kab. Indramayu
5) Sosialisasi pemberlakuan Standar Mutu SNI dan
pemantauan komoditas agro dalam dan luar negeri
6) Pengawasan kualitas/mutu produk agro dalam dan luar
negeri yang beredar
7) Analisa potensi produk agro yang beredar di pasar Jawa
Barat
8) Penyusunan dan penyebarluasan leaflet/brosur standarisasi
dan sertifikasi hasil agro
70 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
d. Kegiatan Pengembangan Dan Pendukungan Usaha Industri
Dan Perdagangan Komoditi Agro
1) Pengembangan sistem pembiayaan agribisnis Konsolidasi
pemanfaatan pembiayaan dengan sumber pembiayaan
- Pengembangan dan optimalisasi pembiayaan Daka-
balarea Agribisnis
- Pengembangan sistem Pola Resi Gudang
2) Pengembangan dan penguatan jaringan pelaku usaha
industri dan perdagangan komoditi agro Jawa Barat
Forum kerjasama tentang implementasi Surat Keterangan
Berdokumen Dalam Negeri dan Sistem Penjaminan
- Tindak lanjut kerjasama perdagangan produk agro
dengan Negara Malaysia
- Tindak lanjut kerjasama perdagangan produk agro
dengan Negara Singapura
3) Pengembangan fasilitas komoditi agro Jawa Barat
e. Kegiatan Pengembangan Sistem Informasi, Perencanaan
Dan Pengendalian Perindustrian Dan Perdagangan Agro
1) Koordinasi operasional program dan kegiatan Tahun
Anggaran.
2) Koordinasi evaluasi program dan kegiatan Tahun Anggaran.
3) Koordinasi penyusunan rencana partisipatif pengem-
bangan usaha industri dan perdagangan agro
4) Lokakarya desain pusat perdagangan komoditi agro di
Kawasan Purwasuka
5) Partisipasi dalam forum konsultasi program pengembangan
perindustrian dan perdagangan
6) Optimalisasi informasi sistem internet
7) Rekonsiliasi data dan informasi perindag agro dengan
Kab./Kota
71bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
8) Pengembangan koneksitas informasi di sentra-sentra
agro.
8) Penyebarluasan informasi perindag agro
9) Pengukuran kontribusi sub bidang perindustrian dan
perdagangan agro dalam Laju Pertumbuhan Ekonomi
(LPE)Jawa Barat
11) Lokakarya kontribusi sub bidang perindustrian dan
perdagangan agro dalam Laju Pertumbuhan Ekonomi
(LPE) Jawa Barat
Pengembangan Agrobisnis dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJPD) Jawa Barat 2005-2025
Misi ketiga dari Misi Pembangunan Jawa Barat 2005-
2025 menyebutkan “Mewujudkan perekonomian. yang tangguh
berbasis pada agrobisnis; adalah mengembangkan dan
memperkuat perekonomian regional yang berdaya saing global
dan berorientasi pada keunggulan komparatif, kompetitif dan
kooperatif dengan berbasis pada potensi lokal terutama dalam
agribisnis. Pengembangan ekonomi regional didukung oleh
penyediaan infrastruktur yang memadai, tenaga kerja yang
berkualitas dan regulasi yang mendukung pencapaian iklim.
investasi yang kondusif”.
Terwujudnya perekonomian yang tangguh berbasis
pada agribisnis, ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Meningkatnya keterkaitan antara sektor primer, sektor
sekunder dan sektor tersier dalam suatu sistem yang
produktif, bernilai tambah dan berdaya saing serta
keterkaitan pembangunan ekonomi antar wilayah.
72 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
2. Tersedianya jaringan infrastruktur transportasi yang handal
dan terintegrasi, terpenuhinya pasokan energi yang andal
dan efisien, tersedianya infrastruktur komunikas yang
efisien dan modern serta tersedianya infrastruktur
sumberdaya air yangberkualitas.
3. Meningkatnya PDRB, laju pertumbuhan ekonomi,
penyerapan tenaga kerja, investasi di daerah, nilai ekspor
produk serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan
baku impor.
4. Tercukupinya kebutuhan pangan masyarakat ]awa Barat.
5. Tersedianya penunjang perkembangan ekonomi dalam
bentuk regulasi yang efektif, pembiayaan yang berkelanjutan,
sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tinggi
dan tepat guna, jaringan distribusi efektif dan efisien serta
sistem informasi yang handal.
Sari dari RPJPD Jawa Barat Tahun 2005-2025
1. Arah pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
harus berkelanjutan dan berkualitas, dalam arti meningkatkan
kemakmuran bagi seluruh masyarakat ]awa Barat yang
didukung oleh iklim usaha yang berdaya saing secara global.
Keberhasilan pencapaian visi pembangunan sangat
ditentukan oleh kemampuan daerah untuk memanfaatkan
potensi wilayah melalui pengembangan kegiatan utama (core
business). Pembangunan ekonomi daerah Jawa Barat tahun
2005-2025 diarahkan kepada peningkatan nilai tambah
segenap sumberdaya ekonomi melalui industri pengolaban
dan jasa dalam arti luas yang berbasis pada agribisnis serta
revitalisasi pertanian dalam arti luas.
73bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Agribisnis di Jawa Barat sudah ada dan tumbuh di masyarakat
serta masih memiliki potensi yang besar dan variatif untuk
didukung agro ekosistem yang cocok untuk pengembangan
komoditas pertanian sehingga komoditas pertanian memiliki
citra yang positif dan berdaya saing baik pada tingkat lokal,
regional dan internasional.
Pengembangan agribisnis di Provinsi JawaBarat diarahkan
pada (1) pengembangan industri input yang memadai dari
segi jumlah, kualitas dan waktu sesuai dengan tuntutan
pengembangan agribisnis hiIir; (2) pengembangan teknologi
budidaya dan organisasi produksi yang dapat meningkatkan
produktivitas tanaman, ternak dan ikan dengan menggunakan
lahan minimal dan ramah lingkungan untuk menghasilkan
produk yang berkualiatas dan aman bagi konsumen; (3)
peningkatan nilai tambah melalui pengolahan hasil produk
primer; (4) pengembangan sistem pemasaran yang berorien-
tasi pada perubahan permintaan konsumen; (5) pengembangan
penunjang system agribisnis yang berfungsi mengatur dan
memandu syitem agribisnis, dan (6) pengembangan jejaring
bisnis terintegrasi yang menggambarkan harmoni antar
pelaku bisnis pada tingkat institusi pemerintah terkait,
produsen dan pelaku jasa agribisnis dalam lingkup wilayah
dan lingkup fungsional.
2. Dalam rangka meningkatkan daya saing, pengembangan
industri Jawa Barat diarahkan pada; Pertama, peningkatan
nilai tambah dan produktivitas melalui diversifikasi produk
(pengembangan ke hilir), pendalaman struktur (hulu-hilir),
penguatan hubungan antar industri, dan pendukungan infra-
struktur produksi yang antara lain tersedianya sarana dan.
prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana
dan prasarana teknologi), prasarana pengukuran standardi-
74 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
sasi, pengujian dan pengendalian kualitas; serta sarana dan
prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri.
Kedua, pembangunan industri yang berkelanjutan, dimana
produksi industri harus memperhatikan faktor lingkungan
sehingga dapat menghasilkan industri produksi bersih (green
product/ecological product). Ketiga, pengembangan Industri
Kecil dan Menengah (IKM) sehingga mampu berdaya saing
baik di pasar lokal maupun internasional.
3. Pengembangan perdagangan dalam negeri diarahkan pada
peningkatan sistem informasi pasar dan penguasaan akses
pasar lokal dan regional, meningkatkan sistem distribusi yang
efektif dan efisien dengan harapan akan terjaminnya
ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat. Adapun untuk
pengembangan perdagangan luar hegeri diarahkan pada
penguatan akses dan jaringan perdagangan ekspor, sehingga
diharapkan dapat memperkuat posisi produk Jawa Darat di
mata internasionaI. Upaya tersebut diharapkan dapat
memberikan dampak positif terhadap pembangunan
perekonomian Jawa Barat sehingga diharapkan dapat
memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya terhadap
kesejahteraan masyarakat.
4. Kini dalam memasuki RJPM tahap Kedua (2008-2013)
pengembangan agribisnis terfokus pada beberapa hal di-
mulai dengan penataan agribisnis yang ada dan penyelesaian
permasalahan yang dihadapi di setiap sub sistem agribisnis.
Dari segi sistem agribisnis yang perlu dilakukan pada tahap ini
yaitu (1) penataan agribisnis yang ada, (2) perbaikan subsistem
agribisnis yang bermasalah, (3) revitalisasi agribisnis untuk pem-
bangunan ekonomi, (4) mengubah proporsi peran agribisnis
dalam struktur PDRB Propinsi Jawa Barat, dan (5) realokasi
sumberdaya, pendanaan, dan wilayah pertumbuhan agribisnis.
75bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Dengan menempatkan agribisnis sebagai suatu sistem,
konsekuensinya akan mengubah proporsi peran agribisnis
dalam perekonomian Provinsi Jawa Barat. Implikasi lebih
lanjutdari reposisi ini adalah realokasi sumberdaya ekonomi
yang lebih berat ke pengembangan agribisnis. Sedangkan
pada sektor peidagangan diharapkan dapat mengoptimalkan
pasar dalam negeri, penataan distribusi barang dan
meningkatkan orientasi ekpor.
5. Pada RPJM tahap Ketiga (2013-2018) akan terjadi tahap
pemantapan mutu. Ini merupakan tahap pengembangan
teknologi agribisnis hulu dengan agribisnis hilir, diperoIehnya
komitmen terhadap pembangunan agribisnis di Provinsi Jawa
Barat. Pemantapan mutu merupakan komitmen Provinsi Jawa
Barat untuk merespons setiap tuntutan konsumen, terutama
terhadap mutu, kenyamanan, keamanan, kesehatan,
kelestarian dan isu-isu lingkungan lainnya. Tuntutan tersebut
memerlukan rekayasa teknologi di semua subsistem
agribisnis. Pada tahap ini diperIukan: (1) Supply Chain
Management yang efektif dan efisien, (2) Budaya mutu dan
merk, (3) Sertifikasi dan standardisasi produk, (4) Respons
terhadap upaya mencapai kepuasan konsumen, dan (5)
Kelembagaan penunjang yang efisien. Pada faktor industri
dan perdagangan tahapan pembangunan ini diarahkan pada
penciptaan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif,
pengembangan kemampuan inovasi, peningkatan
kemampuan sumber daya industri dan mengembangkan
industri kecil yang tangguh. Sedangkan pada sektor
perdagangan di arahkan pada perluasan kawasan
perdagangan ekspor dan penataan distribusi barang,
pemberdayaan produk dalam negeri dan pengembangan
pasar dalam negeri.
76 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
6. Pada RPJM tahap Keempat (2018-¬2023) pengembangan
pertanian Provinsi Jawa Barat harus sudah menguasai
jaringan bisnis yang luas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
integrasi vertikal dan integrasi horizontal dalam sistem
agribisnis. Untuk itu diperlukan: (1) Holding Company dan
integrasi integrasi vertikal tingkat lokal, regional, dan
internasional, (2) kolaborasi bisnis di tingkat Jawa Barat dan
provinsi lain, dan (3) Relasi bisnis di pasar internasional. Pada
tahap ini agribisnis Provinsi Jawa Barat sudah berkembang
menembus batasbatas wilayah provinsi dan negara.
Konsekuensinya adalah pada tahap ini persaingan global
akan semakin kuat. Selama tahapan sebelumnya dapat dilalui
dengan baik, pada tahap pengembangan jaringan ini akan
dapat dilalui dengan baik. Dalam faktor industri dan
perdagangan, tahapan pemantapan diarahkan pada
peningkatan daya saing industri yang berorientasi ekspor,
menciptakan kesempatan kerja dalam jumlah besar dan
mengoptimalkan pendayagunaan potensi dalam negeri serta
perluasan perdagangan luar negeri.
7. Pada tahap Kelima (2023-2025), pertanian Provinsi Jawa Barat
harus sudah memasuki tahap pemenangan persaingan baik
nasional maupun global. Untuk itu diperlukan: (1) Penguatan
keunggulan kompetitif, (2) Terpenuhinya konsumsi Provinsi
Jawa Barat dan domestik, (3) tingginya daya terima pasar
internasional, dan (4) nilai tambah ekspor yang tinggi.
Kegiatan agribisnis pada tahap ini dicirikan dengan komitmen
yang tinggi terhadap tujuan memenangkan keunggulan
kompetitip di pasar global, dengan ciri bisnis yang berorien
tasi pada efisiensi, kualitas, keamanan, dan keberlanjutan.
77bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Sentra Produksi Komoditas Agro Jawa Barat
Sentra produksi komoditi agro tersebar di berbagai daerah
sesuai dengan karakter tanaman dan potensi agroekologinya.
Berdasarkan prinsip tata niaga, semakin dekat jarak antar sentra
produksi ke tempat pemasaran/konsumen, semakin efisien tata
niaga. Dilihat dari potensi produksi komoditas agro di Jawa Barat,
maka banyak sentra komoditi komoditi agro yang potensial.
Beberapa komoditi agro yang ada di Jawa Barat dan produksi
untuk setiap sentra produksi disajikan pada uraian berikut:
1.Padi
Sentra produksi padi dan produksinya di Jawa Barat
tersebar di beberapa daerah seperti Karawang (962.424 ton),
Bekasi (518.142 ton), Subang (891.572 ton), Indramayu
(1.080.306 ton), Majalengka (511.564 ton), Cirebon (449.864 ton),
Cianjur (635.567 ton), Kabupaten Bandung (609.660 ton), Garut
(647.416) dan Sukabumi (728.050 ton).
2.Jagung
Sentra produksi jagung dan produksinya di Jawa Barat
adalah Garut (265490 ton), Bandung (59747 ton), Majalengka
(38.896 ton), Sumedang (37179 ton), Tasikmalaya (35975 ton),
Cianjur (27.977 ton), Kuningan (21.476 ton), Sukabumi (20.740
ton), Ciamis (16.050 ton) dan Purwakarta (12.217 ton).
3.KacangTanah
Sentra produksi kacang tanah dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Sukabumi (13.105 ton), Cianjur (12.633 ton), dan Garut
(27.887 ton).
4.KacangHijau
Sentra produksi kacang hijau dan produksinya di Jawa
Barat, yaitu Garut (1.769 ton), Ciamis (1.182 ton), Cirebon (2.463
78 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
ton), Majalengka (1.673 ton), Sumedang (1.042 ton), Indramayu
(1.454 ton), dan Karawang (1.216 ton).
5.UbiKayu
Sentra produksi ubi kayu dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Purwakarta (104.203 ton), Sumedang (178.438 ton), Ciamis
(219.772 ton), Tasikmalaya (248.155 ton), Garut (479.068 ton),
Bandung (212.893 ton), Cianjur (127.636 ton), Sukabumi(134.870
ton), dan Bogor (189.421 ton).
6.Ketimun
Sentra produksi ketimun dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Tasikmalaya (16.701 ton), Indramayu (8.770 ton), Bogor
(13.395 ton), Sukabumi (8.169 ton), Cianjur (23.995 ton), Bandung
(21.480 ton), Garut (41.247 ton), Karawang (14.493 ton), Bekasi
(12.238 ton) dan lain-lain.
7.Terong
Sentra Produksi terong dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Bogor (4.717 ton), Sukabumi (3.493 ton), Cianjur (15.162
ton), Bandung (3.248 ton), Garut (6.764 ton), Tasikmalaya (5.737
ton), dan lain-lain.
8.Kangkung
Sentra Produksi kangkung dan produksinya di Jawa
Barat, yaitu Kabupaten Bogor (6.625 ton), Cianjur (2.226 ton),
Bandung (2.810 ton), Garut (3.453 ton), Tasikmalaya (2.400 ton),
Ciamis (2.294 ton), Purwakarta (1.159 ton), Karawang (5.012 ton),
Bekasi (9.185 ton), Kota Bogor (1.036 ton), Kota Bekasi (1.826
ton), Kota Depok (1.785 ton), dan Kota Banjar (1.214 ton).
9.KacangPanjang
Sentra Produksi kacang panjang Jawa Barat dan Produk-
sinya, yaitu: Kabupaten Bogor (10.768 ton) Sukabumi (6.873 ton),
79bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Cianjur (20.487 ton), Bandung (13.465 ton), Garut (8.963 ton),
Tasikmalaya (8.300 ton), Purwakarta (8.735 ton), Karawang
(34.258 ton) dan lain-lain.
6. Tomat
Sentra Produksi Tomat Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Bogor (4.700 ton), Sukabumi (9.283 ton), Cianjur (25.198 ton),
Bandung (111.645 ton), Garut (61.825 ton), Tasikmalaya (6.703
ton), Majalengka (7.780 ton), Sumedang (4.742 ton).
11. Bayam
Sentra Produksi bayam Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Bogor (6.172 ton), Cianjur (1.448 ton), Bandung (1.743 ton), Garut
(1.231 ton), Tasikmalaya (1.511 ton), Ciamis (1.089 ton),
Karawang (1.171 ton), Kabupaten Bekasi (7.516 ton), dan Kota
Bekasi (1.766 ton).
12. Cabai
Sentra Produksi cabai Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Sukabumi (7.988 ton), Cianjur (27.212 ton), Bandung (28.761
ton), Garut (41.283 ton), Tasikmalaya (19.544 ton), Majalengka
(11.037 ton), Sukabumi (7.988 ton), Indramayu (4.224 ton) dan
lain-lain.
13. Sawi/petsai
Sentra Produksi Sawi Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Kota Sukabumi (5.829 ton), Kabupaten Sukabumi (33.972 ton),
Cianjur (46.426 ton), Ban dung (78.374 ton), Garut (26.040 ton),
Kuningan (6.429 ton), Majalengka (8.860 ton).
14. Buncis
Sentra Produksi Buncis Jawa Barat dan produksinya, yaitu
Bogor (4.417 ton), Sukabumi (6.092 ton), Cianjur (29.462 ton),
Bandung (27.058 ton), Garut (13.473 ton), Tasikmalaya (8.921
ton) dan Purwakarta (2.534 ton).
80 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
15. Cabe Rawit
Sentra Produksi Cabe Rawit Jawa Barat dan produksinya,
yaitu Bogor (1.336 ton), Sukabumi (2.886 ton), Cianjur (9.826 ton),
Bandung (4.494 ton), Garut (17.749 ton), Tasikmalaya (2.449 ton),
Majalengka (5.797 ton), Sumedang (1.554 ton), dan Purwakarta
(1.366 ton).
16. Lobak
Sentra Produksi lobak dan produksinya di Jawa Barat,
yaitu Cianjur (3.836 ton), Bandung (13.585 ton).
17. Bawang Putih
Sentra Produksi bawang putih Jawa Barat dan
Produksinya, yaitu Bandung (1.110 ton) dan Garut (221 ton).
18. Bawang Merah
Sentra Produksi Bawang merah Jawa Barat dan
produksinya, yaitu Bandung (40.516 ton), Garut (7.670 ton),
Kuningan (4.946 ton), Cirebon (32.144 ton), Majalengka (33.250
ton), dan Indramayu (1.431 ton).
Produktivitas Komoditi Agro
Secara umum produktivitas komoditi agro di Jawa Barat
masih rendah bila dibandingkan dengan potensi yang
dimilikinya. Kesenjangan antara produktivitas faktual dengan
produktivitas potensial terjadi karena beberapa alasan, seperti
masih belum optimalnya pemeliharaan yang dilakukan oleh
petani, adanya serangan hama dan penyakit, kondisi lingkungan
yang kurang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman, baik
kesesuaian tanah maupun kesesuaian iklim, penanganan panen
dan pasca panen yang masih belum optimal, dan lain-lain.
81bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Produktivitas beberapa komoditi agro di Jawa Barat
dapat dilihat pada Tabel berikut:
Produktivitas Beberapa Komoditi Agro Di Jawa Barat
1 Padi
2 Jagung
3 Ubi Kayu
4 Kedelai
5 Kacang Hijau
6 Kacang Tanah
7 Bawang Daun
8 Bawang Merah
9 Kentang
10 Kubis
11 Lobak
12 Petsai/sawi
13 Wortel
14 Buncis
15 Bayam
16 Ketimun
17 Cabai
18 Kacang panjang
19 Tomat
20 Terong
21 Labu siam
22 Kangkung
23 Bawang putih
24 Kacang merah
25 Kembang kol
5.107
4.584
17.415
1.385
1.003
1.355
13.93
9,96
19,83
25,50
18,56
17,14
21,95
13,75
7,29
14,76
11,32
10,43
21,66
13,17
47,43
10,18
13,58
6,62
18,54
No. Jenis Komoditi Rata-rata produksi/Ha (ton/Ha) *
Sumber data : Badan Pusat Statistik 2007. Diolah dari data produksi dibagi
luas panen.
82 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Karakteristik Fluktuasi Harga Produk/Komoditi Agro
Secara umum karakteristik harga produk agro fluktuatif
tergantung pada berbagai faktor dengan elastisitas bervariasi
sesuai dengan jenis komoditinya.
Faktor paling dominan yang menentukan fluktuasi harga
produk agro adalah kondisi permintaan dan penawaran. Per-
mintaan yang banyak secara langsung akan mengkatrol harga
produk ke posisi yang lebih tinggi, sebaliknya penawaran yang
banyak akan menurunkan harga ke posisi yang lebih rendah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga
produk agro antara lain:
a. Permintaan dan penawaran.
b. Kualitas produk.
c. Musim.
d. Jarak sentra produksi ke pasar.
e. Kebijakan Pemerintah, yaitu tidak ada nya sistem pengen-
dalian harga.
f. Tidak adanya informasi tentang jenis komodi, waktu tanam,
serta luas tanam dari sentra produksi.
g. Tidak adanya substitusi/produk pengganti
h. Karakteristik produk agro. Bebarapa karakteristik dasar dari
komoditi pertanian, diantaranya :
1) Mudah rusak, tingkat kerusakan yang tinggi maka secara
substansial akan meningkatkan biaya pemasaran.
2) Bersifat volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, hal
tersebut akan meningkatkan biaya penyimpanan dan
transportasi
3) Bersifat musiman, jika terjadi panen dalam jangka
pendek maka biaya penyimpanan dan penanganan
produk akan meningkat.
83bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
4) Adanya perbedaan antara produk akhir dan bahan
mentah, proses pengolahan dilakukan dalam upaya
meningkatkan nilai tambah produk akan meningkatkan
biaya pemasaran.
5) Pasar konsumen terpisah dari daerah produksi sehingga
perlu adanya tindakan pemasaran untuk mengirimkan
produk pertanian sampai ke konsumen akhir.
Perilaku harga di pasar merupakan indikator penting
bagi kinerja secara keseluruhan dari pasar. Salah satu fungsi
utama pasar yang efisien aalah memberikan fasilitas bagi arus
informasi harga. Informasi harga merupakan faktor essensial
bagi efisiensi fungsi pemasaran, jika pasar menyediakan.
Informasi harga secara menyeluruh dan lengkap, tepat waktu,
dan akurat bagi para pelaku pasar. Harga yang tebentuk
berdasarkan informasi tersebut mencerminkan kondisi
penawaran dan permintaan produk.
Fungsi utama jasa informasi pasar adalah untuk me-
ngumpulkan, memproses, menganalisis data secara sistematis,
secara terus menerus dan tepat waktu bagi seluruh para pelaku
pasar. Informasi pasar berguna bagi pelaku pasar dalam
mengambil keputusan transaksi jual beli komoditi pertanian.
Faktor-Faktor Penentu Daya Daing Jawa Barat
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dirjen ASEAN
partemen Luar Negeri serta kalangan pengusaha agro baik di
tingkat nasional maupun propinsi Jawa Barat dapat dimaknakan
bahwa dengan diterapkannya otonomi daerah pembahasan
mengenai daya saing wilayah, misalnya propinsi atau wilayah
administrasi lebih rendah, di Indonesia saat ini menjadi sangat
84 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
relevan. Persaingan tidak hanya dalam perdagangan eksternal tetapi
juga dalam menarik investasi dari luar, dan persaingan juga tidak hanya
antara suatu wilayah dengan wilayah di negara (tetangga) tetapi juga
antar wilayah di Indonesia. Misalnya pertanyaan sekarang adalah
apakah Jawa Barat mampu menarik lebih banyak investor asing
dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Juga, apakah Jawa
Barat mampu untuk lebih banyak mengekspor ke daripada mengimpor
dari wilayah lain di dalam negeri atau luar negeri.
Daya saing Jawa Barat ditentukan terutama oleh daya saing
dari sektor-sektor atau unit-unit kegiatan usaha, misalnya sektor
industri dan sektor pertanian di Jawa Barat. Kemudian daya saing
propinsi Jawa Barat sangat tergantung pada kapasitas masyarakatnya
(terutama pengusaha) untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan
terus menerus, dan untuk ini diperlukan teknologi dan SDM. Oleh
karena itu, berbeda dengan keunggulan komparatif, keunggulan
kompetitif sifatnya sangat dinamis: teknologi berubah terus, demikian
juga kualitas SDM berkembang terus.
Lebih lanjut, dalam perdagangan eksternal (atau
internasional), kemampuan Jawa Barat untuk menembus pasar
eksternal (global) atau meningkatkan ekspornya ditentukan oleh suatu
kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan relatif yang dimiliki
masing-masing perusahaan di Jawa Barat atas pesaing-pesaingnya dari
wilayah/negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan
internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati
dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu
wilayah memiliki keunggulan bisa secara alami (natural advantages)
atau yang dikembangkan (acquired advantages) (Tambunan, 2008:5)
85bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Keunggulan alami yang dimiliki Jawa Barat adalah jumlah
tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah
dan bahan baku yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah
tenaga kerja dan harga bahan baku di Indonesia relatif lebih
murah. Keunggulan alamih ini sangat mendukung perkem-
bangan ekspor komoditas-komoditas primer Jawa Barat seperti
minyak dan pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur
khususnya yang padat karya dan berbasis sumber daya alam
(seperti produk-prduk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga
saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang
dikembangkan adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun
jumlahnya sedikit memiliki pendidikan atau keterampilan yang
tinggi dan penguasaan teknologi sehingga mampu membuat
bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan
baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien dibandingkan
wilayah/negara lain yang kaya sumber daya alam.
Inti daripada keunggulan kompetitif adalah bahwa
keunggulan suatu wilayah atau industri di dalam persaingan
global selain ditentukan oleh keunggulan komparatif yang
dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau bantuan dari
pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitif-
nya. Menurut Tambunan (2008:6) faktor-faktor keungggulan
kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan/ pengu-
saha nasional, khususnya Jawa Barat, untuk dapat unggul dalam
persaingan di pasar internasional diantaranya yang paling
penting yaitu:
1) Penguasaan teknologi dan know-how;
2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas
tinggi, dan memiliki etos kerja, kreativitas dan motivasi
yang tinggi, dan inovatif;
3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam
proses produksi;
86 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan;
5) Promosi yang luas dan agresif;
6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik;
7) Pelayanan teknis maupun non-teknis yang baik (service
after sale)
8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi;
9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup;
10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar
negeri yang baik;
11) Proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time;
12) Tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang
pengusaha yang sangat inovatif, inventif, kreatif dan
memiliki visi yang luas mengenai produknya dan
lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dl .),
dan bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam
menghadapi persaingan yang ketat di pasar global.
13) Pemerintahan yang solid dan bersih, serta sistem
pemerintahan transparan dan efisien.
Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Agro dalam
Kerangka AFTA
Seperi dituturkan Kasie Perdagangan Luar negeri
Disindagagro Jawa Barat, dalam upaya menciptakan sistem
penyediaan dan distribusi pangan di Jawa Barat yang
direncanakan, perlu melibatkan beberapa komponen sebagai
berikut :
1. Fungsi/peran pemerintah daerah, mulai dari tahap penyi
apan/perencanaan dan pengoperasian pasar
2. Peran sektor swasta dan publik, mulai dari tahap
penyiapan/perencanaan dan pengoperasian pasar
87bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
3. Indikator kinerja, yang dapat digunakan sebagai tolok ukur
keberhasilan dalam melakukan monitoring dan evaluasi
khususnya dalam pengoperasian pasar
4. Prioritas pengembangan, disesuaikan dengan sumberdaya
yang dimiliki dalam upaya mengembangkan pengelolaan
dan pengoperasian yang maksimal menuju sasaran yang
diinginkan
5. Tahapan pengembangan
Realitas Lapangan
Dari pengamatan di lapangan, kegiatan komunikasi
dalam kerangka perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat
tidak berjalan sesuai dengan entitas dassein. Pemerintah
seharusnya menunjuk implementor yang dinilai akan
menjalankan seluruh proses komunikasi. Di tingkat propinsi Jawa
Barat implementor tersebut hanya bertumpu pada satu instansi
yakni Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Padahal proses
komunikasi yang dijalankan berkenaan dengan implementasi
AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat memerlukan
suatu institusi yang tingkat kewenangannya dapat bersifat lintas
sektoral dan implementor yang dimaksud diharapkan dapat
mengawasi dan mengendalikan transmisi seluruh pesan yang
menjadi dasar dari pemahaman perdagangan komoditas
pertanian dalam kerangka AFTA di Jawa Barat.
Dari pengamatan di lapangan, tidak berjalannya kegiatan
komunikasi sesuai yang diharapkan misalnya terkaji dalam
tataran Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat. Tugas
komunikasi yang menjadi tanggung jawab dari instansi dimaksud
hanya berkisar pada penyuluhan kepada komunikan dengan mem-
pergunakan media seminar-seminar dan lokakarya. Kegiatan
88 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
seperti ini hanya diikuti oleh para pelaku pasar yang berada di
tingkat organisasi profesi seperti Kamar Dagang dan Industri
(KADINDA) atau asosiasi yang bergerak di bidang pertanian,
seperti DPD Asosiasi Pengusaha Komoditas Pertanian Jawa
Barat, KUD dan kelompok-kelompok tani. Kegiatan yang
menjadi substansi dari faktor komunikasi ini tidak dapat
dilaksanakan karena persepsi terhadap komunikasi yang lebih
dipahami sebagai suatu proses untuk menyampaikan pesan
dalam tatanan stuktural saja. Dalam pemahaman para
implementor, perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat
hanya berkisar pada para pelaku pasar saja.
Informasi yang disampaikan sebagai pesan tidak
dirasakan oleh para petani secara langsung, bahkan persyaratan
perdagangan bebas yang kemudian menjadi tujuan dari
informasi yang disampaikan tidak dipahami secara jelas.
Para petani juga tidak merasa berkewajiban untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan hasil produksi mereka dalam
kerangka perdagangan bebas yang menjadi tuntutan untuk
dilaksanakannya AFTA. Hal ini merupakan bukti dari pemahaman
yang dimiliki komunikator/implementor terhadap komunikasi
yang dimaknakan hanya sebagai sosialisasi. Lebih tegasnya,
implementor merasa berkewajiban untuk mensosialisasikan
kondisi kesiapan untuk perdagangan komoditas pertanian
dalam kerangka AFTA. Sosialisasi yang dimaksud tidak dengan
pemahaman yang mendalam tentang berbagai subtansi
mendasar dari sebuah persyaratan perdagangan bebas.
Pemahaman yang terbatas terhadap situasi dan kondisi
yang menjadi persyaratan bagi pelaksanaan perdagangan bebas
dalam kerangka AFTA tersebut, berdasarkan catatan wawancara,
tidak sepenuhnya menjadi kesalahan dari para implementor.
Setidaknya, keputusan pelaksanaan AFTA merupakan sebuah
89bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
kesepakatan mengikat yang menjadi hasil dari berbagai
pertemuan di tingkat tinggi antar-negara anggota ASEAN.
Kesepakatan tersebut lebih banyak merupakan hasil dari
pertemuan tingkat kepala negara anggota ASEAN atau tingkat
menteri. Bahkan apabila dilihat dari kajian pustaka yang ada,
mulai dari pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967), KTT ASEAN IV di
Singapura sampai dengan pertemuan yang sama tahun 1997
terlihat lebih banyak pertemuan dan kesepakatan AFTA dilakukan
oleh para eksekutif di tingkat menteri luar negeri. Menteri luar
negeri dari negara-negara ASEAN ini bertindak sebagai pengambil
keputusan meneruskan struktur sistem ASEAN Secretariatyang
ada dalam tataran supra nasional dari negara-negara anggota.
Kondisi seperti itu memungkinkan terjadinya ketidak-
jelasan perintah yang ada bagi pelaksanaan komunikasi. Paling
tidak, kebijakan yang merupakan hasil dari kesepakatan ASEAN
melalui menteri luar negeri tidak akan mudah untuk disampaikan
secara langsung kepada Departemen Perdagangan. Kebijakan
tersebut harus melalui proses panjang mulai dari ratifikasi Dewan
Perwakilan Rakyat sampai kepada keputusan presiden yang
dilanjutkan kepada Departemen Perdagangan (pada masa itu
Departemen Perdagangan dan Industri).
Kesulitan selanjutnya justru berada di tingkat pemerintah
daerah yang sudah menganut pola kerja otonomi daerah. Pember-
lakukan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No 22 Ta-
hun 1999 dan direvisi UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, memperlihatkan adanya ketimpangan hubungan instansi
departemen terhadap struktur yang sama di pemerintah daerah.
Artinya, struktur Dinas Perdagangan yang ada di pemerintah dae-
rah tidak akan sama kedudukannya dengan ketika menjadi bagian
integral dari Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
90 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Demikian halnya Dinas Industri dan Perdagangan Provinsi Jawa
Barat bukan merupakan ”bawahan” dari Departemen Pedagangan
Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Pola kerja yang
ada punhanya bersifat koordinatif tidak bersifat intruksif, sehingga
masih harus berdasarkan persetujuan (tembusan) dari Kepala
Daerah atau Gubernur.
Pola hubungan yang tidak langsung seperti ini meng-
akibatkan sulitnya komunikasi yang terjadi dari Departemen Per-
dagangan kepada Dinas Industri dan Perdagangan di pemerintah
daerah. Kesulitan yang sama juga dialami oleh implementor dari
posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro yang oleh pemerintah
Daerah Jawa Barat dikategorikan secara mandiri terpisah dari
Dinas Industri dan Perdagangan induk. Dengan kondisi tersebut
dapat dimengerti sulitnya menemukan faktor ketegasan dalam
informasi yang diberikan oleh implementor dari pejabat di Dinas
Industri dan Perdagangan Jawa Barat. Selain posisinya sebagai
Dinas yang baru berdasarkan Perda tentang SOTK Pemerintah
Daerah Jawa Barat, implementor perdagangan agro ini
berhadapan dengan persoalan klasik dari posisi Dinas Industri
dan Perdagangan Jawa Barat yang masih memposisikan diri
sebagai induk organisasi dari Dinas Industri dan Perdagangan
Agro.
Pada praktiknya, informasi kebijakan yang turun dari
Departemen Perdagangan RI mengenai kerangka pelaksanaan
AFTA sudah berhadapan dengan struktur yang ada di Departemen
Luar Negeri. Setidaknya, ejawantah dari kebijakan perdagangan
bebas sebagai kesepakatan ASEAN dari Departemen Luar Negeri
masih menjadi bagian dari proses kerja yang dihasilkan dari
Direktorat Jenderal ASEAN. Berdasarkan wawancara dengan
pejabat di lingkungan Direktorat ASEAN dinyatakan bahwa
kesulitan struktural merupakan kendala yang sering dihadapi
91bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
dalam pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN
(AFTA).
Kendati keputusan yang diambil atas nama menteri luar
negeri dan disampaikan kepada departemen terkait dalam
pelaksanaan AFTA, kerapkali keputusan tersebut dipandang
”sebelah mata” oleh instansi dimaksud. Hal ini sebagai akibat dari
arogansi sektoral yang berkembang dari budaya organisasi di
negeri ini. Seorang menteri pemimpin departemen tertentu tidak
akan merasa berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang
datang dari struktur direktorat jenderal, apalagi dari departemen
lain. Bahkan keputusan sejenis yang datang dari menteri di
lingkungan yang berbeda pun sulit untuk dilaksanakan oleh
menteri di departemen lain.
Keadaan ini, menurut Dirjen ASEAN akan membuat
kebijakan tentang AFTA menjadi bias dan sulit dipahami sampai
pada tingkat ”akar rumput”. Masyarakat awam (man in the street)
tidak akan bisa memahami secara utuh sesungguhnya makna
dari sebuah kebijakan perdagangan bebas yang menjadi
kesepakatan ASEAN itu. Apalagi kenyataan akan adanya
perdagangan bebas dunia justru diartikan sebagai praktek
liberalisasi yang negatif sehingga terkadang maknanya sama
dengan kolonialisme. Selain substansi dari kebijakan yang
terkadang bias (perintah yang tidak jelas), tidak jarang kebijakan
tersebut berjalan lambat karena keterlambatan dari sampainya
informasi tentang kebijakan itu kepada masyarakat pelaku
ekonomi dan petani yang berkepentingan dengan kebijakan
AFTA.
Peneliti berpendapat bahwa kondisi di atas menyiratkan
adanya bias komunikasi antara para implementor kebijakan
tingkat nasional, tingkat propinsi, para pelaku bisnis sampai
dengan tataran akar rumput. Seacra teoritik isi pesan yang
92 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
disampaikan tidak diterima dengan baik oleh komunikan. Itu
berarti proses effect dari transformasi informasi yakni kesan yang
didapat oleh komunikan setelah dia mendapatkan pesan pun
tidak berlangsung semestinya.
Dalam konteks implementasi AFTA di tataran akar
rumput terlihat bahwa para petani tidak memebrikan feed-back
positif yang mendukung implementasi AFTA. Hal itu dikarenakan
komunitas petani agro di Jawa Barat tidak memperoleh infomasi
berkenaan dengan manfaat apa yang secara langsung dapat
mereka dapatkan dengan adanya ikut sertanya komunitas petani
agro Jawa Barat dalam kerangka perdagangan bebas di kawasan
Asia Tenggara.
Secara demikian tidak mengherankan apabila di masa
depan implementasi AFTA di tataran akar rumput tampaknya
tidak akan mendapatkan dukungan penuh dari komunitas agro
Jawa Barat apabila sosialisasi untung ruginya impelentasi AFTA
tidak disampaikan sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut, seperti yang disampaikan pada kajian
teoritis pada Bab I, interpretasi peneliti ini dapat dijelaskan
secara lebih mendalam seperti di bawah ini.
Faktor Transmisi dari Komunikasi
Sejak tahun 2002 kesepakatan AFTA ini sudah
dilaksanakan. Perintah kebijakan telah dikeluarkan akan tetapi
komunikasi dari kebijakan ini tidak berjalan sesuai yang
diharapkan. Berbagai hal yang menjadi entitas transmisi dari
komunikasi kebijakan ini adalah (1) pertentangan pendapat; (2)
distorsi/penyimpangan karena informasi; dan (3) persepsi
pribadi pelaksana. Tiga hal tersebut akan dibahas secara
akumulatif dan bersama-sama dalam subjudul ini.
93bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
1. Pertentangan Pendapat
Apabila ditinjau dari hasil observasi dan wawancara
dengan berbagai informan di Dinas Industri dan Perdagangan
Agro, terlihat adanya pertentangan pendapat yang cukup tajam
antar-para pelaksana kebijakan kesepakatan AFTA. Masing-masing
informan memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang aplikasi
kesepakatan AFTA. Sebagian di tataran Sub-Dinas menilai bahwa
kebijakan AFTA ini tidak realistik sehingga akan sulit dilaksanakan
di lapangan. Kekhawatiran mereka ini diawali oleh tuduhan bahwa
perdagangan bebas akan memaksa masuknya para pelaku
ekonomi asing yang sudah pasti memiliki tingkat kemampuan
kompetisi yang tinggi. Kemampuan kompetisi yang tinggi
tersebut akan mengalahkan seluruh komponan pelaku ekonomi
khususnya pedagang komoditas agro di Jawa Barat.
Sebagian yang lain menilai bahwa kebijakan AFTA ini
merupakan kebijakan yang sempurna dan harus segera dilaksana-
kan untuk mewujudkan kemajuan bagi para petani di Jawa Barat.
Asumsi dari pendapat ini adalah bahwa perdagangan bebas
tidak mungkin dapat dibendung, sehingga yang mungkin adalah
memanfaatkan arus perdagangan bebas untuk kemakmuran
petani di Jawa Barat. Apabila pola adaptasi yang cepat dilaksana-
kan kepada seluruh jajaran petani dan pelaku ekonomi (pedagang
komoditas agro) di Jawa Barat maka ke depan perdagangan
bebas akan menguntungkan bagi seluruh komponen komunitas
agro di Jawa Barat.
Pandangan lain lagi juga muncul, bahwa perdagangan
bebas hanya akan menjadi isu regim internasional yang tidak
membawa perubahan signifikan bagi perdagangan agro di Jawa
Barat. Pandangan ini menilai bahwa perkembangan dunia tentang
perdagangan bebas tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Perdagangan bebas hanya akan menjadi isu politik dari negara-
94 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
negara kaya untuk bisa menyerap sumber daya alam yang ada di
negara-negara berkembang. Akan tetapi perdagangan bebas
tersebut tidak akan berjalan lama, sehingga pada saatnya akan
pupus seperti isu-isu globalisasi yang lainnya.
Perbedaan pandangan ini menimbulkan cara-cara yang
berbeda dalam implementasi kebijakan kesepakatan AFTA di Jawa
Barat khususnya dalam bidang perdagangan komoditas agro.
Dengan perbedaan ini ketegasan untuk menentukan teknis
pelaksanaan kebijakan juga tidak terlihat. Sebagian pihak
menginginkan agar komunikasi dilaksanakan dengan mengguna-
kan penyuluhan yang mendalam dan pelatihan-pelatihan agar
pemahaman mendalam juga diperoleh dari komunikan. Akan
tetapi kemudian muncul pertentangan dari pihak yang berbeda
bahwa pelatihan dan penyuluhan akan memakan biaya mahal
dan tujuan tidak terlalu efektif. Akhirnya komunikasi hanya
disepakati dengan penyampaian pesan melalui seminar dan
lokakarya yang bertujuan untuk mengefisienkan penggunaan
anggaran dan kewajiban dasarnya sudah dilaksanakan.
2. Penyimpangan (distorsi)
Faktor kedua yang muncul adalah penyimpangan
(distorsi) karena adanya informasi melalui lapisan birokrasi yang
panjang. Yang mengemuka dalam faktor ini adalah lapisan
birokrasi yang terjadi di Dinas Industri dan Perdagangan Agro di
Jawa Barat tidak memiliki komunikasi yang cukup baik dan
intensif dengan pusat pemerintahan di Gedung Sate. Kondisi ini
diakibatkan oleh posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro
yang merupakan struktur baru dari ”pecahan” dari Dinas Industri
dan Perdagangan Jawa Barat. Keputusan pemisahan Dinas ini
pun lebih didasarkan pada kebijakan dari keinginan Kepala
Daerah untuk meningkatkan perda gangan dan industri agro di
Jawa Barat.
95bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, Dinas ini lebih
banyak overlaping dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk
sehingga nuansa kerjanya tidak bisa maksimal untuk
menyampaikan informasi. Berbagai institusi di masyarakat masih
lebih meletakkan kepercayaan kepada Dinas Industri dan
Perdagangan induk. Kadin dan asosiasi komoditas pertanian
yang ada di Jawa Barat lebih banyak mempercayakan komunikasi
institusi mereka kepada Dinas Industri dan Perdagangan induk.
Hal seperti ini yang mengakibatkan komunikasi dari imple-
mentor berjalan dalam distorsi lapisan birokrasi.
3. Persepsi Pribadi Pelaksana
Faktor terakhir yang menjadi entitas komunikasi adalah
persepsi pribadi pelaksana yang selektif dan penolakan atas
persyaratan-persyaratan. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi
sumber daya manusia yang memiliki latar belakang berbeda-
beda di lingkungan Dinas industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat. Dari kajian faktor ini dapat disebutkan bahwa peran dan
posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat ini tidak
diminati oleh personil birokrasi di pemerintah daerah. Personil
staf di lingkungan pemerintah daerah memiliki persepsi yang
sama dalam pengakuan bahwa Dinas Industri dan Perdagangan
Agro ini merupakan wadah bagi personil yang sudah tidak
terpakai di lingkungan pemerintah daerah. Posisinya tidak
berbeda jauh dengan lembaga-lembaga tertentu yang
dipandang sama yang ada di lingkungan pemerintah daerah,
seperti Badan Litbangda (Penelitian dan Pengembangan
Daerah).
Bahkan Dinas Industri dan Perdagangan Induk pun
memiliki nilai yang sama sebagai ”Dinas Buangan”, apalagi Dinas
Industri dan Perdagangan Agro. Semua gambaran ini mem-
berikan persepsi pribadi dari pelaksana yang selektif. Tidak setiap
96 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
personil yang berkedudukan atau ditempatkan di Dinas Industri
dan Perdagangan Agro merasa nyaman untuk berada dalam
posisi tersebut. Bahkan posisi puncak dari jajaran eselon tertinggi
di Dinas bersangkutan juga masih melakukan manuver untuk
bisa sesegera mungkin mendapat mutasi dari posisinya saat ini.
Wajar kiranya apabila berbagai persyaratan yang ada dalam
pelaksanaan kesepakatan AFTA dianggap sebagai sesuatu yang
mengganggu oleh personil yang ada di dalam Dinas Industri dan
Perdagangan. Penolakan tersebut kemudian ditularkan dengan
memberikan penetrasi kepada institusi yang bergerak di bidang
agro pula. Karena dinilai secara pribadi sebagai nilai-nilai yang
persyaratannya bertentangan dengan persepsi pribadi tersebut
maka informasi yang disampaikan tidak sepenuhnya, sehingga
tidak jarang komunikasi terjadi tidak sesuai dengan harapan dalam
komunikasi kebijakan. Persepsi yang selektif terhadap pesan yang
disampaikan mengakibatkan pesan tidak seluruhnya disampaikan
dan akibatnya kebijakan kesepakatan AFTA tidak dimengerti.
Faktor Kejelasan (Clarity)
Faktor ini mensyaratkan agar komunikasi berjalan dengan
baik maka diperlukan kejelasan dari petunjuk-petunjuk yang ada
dalam kebijakan kesepakatan AFTA. Kejelasan dalam petunjuk-
petunjuk itu menghadapi kendala sebagai akibat pula dari simpang
siur dan biasnya pesan yang ada dari kebijakan pemerintah pusat
sebagai kesepakatan AFTA sampai kepada kebijakan di bidang
perdagangan komoditas pertanian agro di Jawa Barat.
Sebagai kebijakan yang dihasilkan dari keseluruhan bentuk
kerjasama ASEAN dan menanggapi adanya perdagangan bebas
dunia, maka kebijakan kesepakatan AFTA itupun bermakna dalam
97bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
kompleksitas yang cukup tinggi. Kompleksitas kebijakan itu
merupakan faktor yang sulit untuk dipahami dalam pelaksanaan-
nya mengingat di tingkat akar rumput maupun di tingkat
implementor di daerah akan berhadapan dengan kesulitan dalam
memahami makna yang terkandung secara menyeluruh dalam
kebijakan perdagangan bebas tersebut. Entitas dari perdagangan
bebas ASEAN yang mengandung barang-barang/jasa bersifat
fast track, normal track dan lain-lain bukan merupakan hal yang
mudah untuk dipahami kategorisasinya oleh masyarakat pelaku
ekonomi dan petani agro secara umum.
Selain itu, terdapat banyak keanekaragaman yang terjadi
dalam struktur masyarakat di Jawa Barat. Keanekaragaman
tersebut memunculkan berbagai kelompok kepentingan baik di
bidang sosial, ekonomi dan politik, misalnya para pemilik modal,
termasuk para tengkulak yang kerap menerapkan sistem ijon
kepada para petani agro, masuknya parpol yang berupaya
menjadikan para petani agro sebagai bagian dari konstituennya
dengan cara mengelompokkan mereka dalam organisasi-
organisasi bawahan parpol tersebut, oligarki dalam sistem
pemasaran yang dikuasai oleh kelompok etnis tertentu.
Berbagai kelompok yang ada juga memiliki kekuatan sosial
yang tidak mudah untuk ditembus atau bahkan memiliki kekuatan
penekan tertentu bagi kebijakan yang akan diambil oleh
pemerintah daerah. Oleh karena itu, tidak jarang pemerintah
daerah (dalam hal ini Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat) berhadapan dengan kepentingan kelompok ekonomi
tersebut dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi. Implementasi
kebijakan kesepakatan AFTA juga berbenturan dengan berbagai
kepentingan dari kelompok-kelompok ekonomi dimaksud. Petani
Gula, misalnya, memiliki kepentingan yang sudah diformulasikan
ke dalam kebijakan para petani gula dalam organisasi petani Tebu.
98 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Demikian juga kelompok kepentingan lainnya yang ada di Jawa
Barat dalam kaitannya dengan perdagangan komoditas agro.
Tegasnya, Dinas Industri dan Perdagangan Agro juga
merasa tidak dapat melaksanakan kebijakan kesepakatan AFTA
terhadap substansi tertentu apabila berhadapan dengan
kelompok masyarakat dimaksud. Bahkan keinginan untuk tidak
mengganggu kelompok masyarakat tertentu tersebut
merupakan faktor yang mengakibatkan komunikasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Kondisi tidak berjalannya komunikasi tersebut ditambah
lagi dengan kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan yang tidak dipahami oleh setiap personil yang ada
dalam Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Para staf yang ada
sebagai SDM dalam Dinas dimaksud tidak memiliki konsensus
yang kuat terhadap tujuan-tujuan dari kebijakan kesepakatan
AFTA untuk mewujudkan perdagangan bebas dan mendorong
komoditas agro di Jawa Barat. Bahkan banyak masalah-masalah
baru yang muncul bersamaan dengan munculnya kebijakan baru
yang tidak dapat diselesaikan di tingkat dinas.
Apabila sebuah faktor kebijakan yang ada berkaitan
dengan dinas lain di lingkungan pemerintah Jawa Barat, maka
faktor kebijakan tersebut cenderung tidak berjalan dikarenakan
tidak mendapat respon yang baik dari dinas terkait bersangkutan.
Sebagai contoh apabila informasi dari Dinas Industri dan
Perdagangan Agro mengharuskan agar produk tertentu harus
memenuhi standar perdagangan bebas yang menjadi patokan
dari komoditas pertanian agro di pasar bebas, maka Dinas
Pertanian tidak merasa berkewajiban untuk menyesuaikan
dalam substansi penyuluhan atau pengarahan kepada petani di
lapangan. Hal demikian sering terjadi sehingga arogansi lintas
99bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
sektoral ini membutuhkan penanganan yang memadai dan
berkesinambungan. Meskipun terlalu dini apabila disebutkan
bahwa dibutuhkan sebuah struktur yang memadai dalam
menangani hal demikian, lintas sektoral di antara Dinas ini baru
dapat dikoordinasikan dengan lembaga Asisten Daerah atau
setingkat Biro pelaksana koordinasi.
Dari keseluruhan paparan pada kegiatan komunikasi
termaktub di atas, peneliti dapat menginterpretasikan bahwa
dari sudut pandang faktor transmisi dan faktor kejelasan (Clarity)
dari komunikasi sebagaimana yang tertuang dalam kajian
teoritis pada Bab II dari Edward III, kegiatan komunikasi
implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan
sehingga belum mampu mendorong tercapainya daya saing
Jawa Barat di dalam menghadapiperdagangan bebas di kawasan
Asia Tenggara.
Keadaan Sumber Daya (resources)
Seperti yang disampaikan kajian teoritis pada Bab I,
tampaknya, faktor sumber daya ini merupakan faktor penting
yang sangat menentukan dalam keberhasilan sebuah
implementasi kebijakan. Implementor sebagai sumber daya
utama juga membutuhkan sumberdaya lainnya yang dianggap
penting dalam melaksanakan kebijakan. Di samping sumber
daya manusia sebagai staf dengan kriteria jumlah dan kualitas
(kuantitas dan keahlian/skill), sumber daya yang dibutuhkan
implementor adalah informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas.
Berikut ini akan dianalisis sesuai rambu-rambu kajian
teoritis pada Bab II mengenai sumber daya yang ada dalam
implementasi kebijakan perdagangan komoditas pertanian
dalam kerangka AFTA di Jawa Barat.
100 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Staf yang Melaksanakan
Faktor pertama dan utama dalam pelaksanaan sebuah
kebijakan adalah sumber daya manusia dalam pengertian staf
yang melaksanakan membantu implementor. Sejumlah staf
yang ada di jajaran Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat tergolong staf yang berada dalam taraf ”terbuang”. Jajaran
staf di bawah eselon II lebih bermakna sebagai posisi dilempar
dari dinas/instansi lain yang tak dibutuhkan. Tidak jarang SDM
yang ada merupakan personil yang ”dihukum” sebagai akibat
kesalahan tertentu dalam melaksanakan tugas, misalnya saja
melanggar disiplin bekerja, berseberangan dengan kebijakan
atasan di instansi sebelumnya.
Lebih jauh, posisi alamat kantor yang bertempat di lokasi
yang cukup jauh dari pusat pemerintahan induk memberikan
kesan jarangnya lokasi tersebut dikunjungi atau mendapat
kunjungan dari kepala daerah. Dan memang benar adanya.
Dengan demikian, sangat memungkinkan apabila staf yang ada
di jajaran eselon II ke bawah akan memiliki tingkat keaktifan yang
rendah dibandingkan dengan dinas lain yang lebih terkontrol
dari pusat pemerintahan.
Mekanisme kerja staf juga diwarnai oleh suasana tidak
aktif yang biasa terjadi di instansi yang jarang sekali melaksana-
kan kegiatan inti. Posisi Dinas Industri dan Perdagangan Agro
Jawa Barat yang sangat jarang memiliki inisiatif untuk melaksana-
kan kegiatan secara mandiri juga menjadi penyebab kenapa
instansi ini kurang diminati.
Kondisi ini seiring dengan struktur sumber daya manusia
yang ada di lingkungan dinas tersebut menjadi sangat rendah
kualitasnya. Meskipun secara kuantitas dinas ini memiliki struktur
yang sama dengan dinas lain di lingkungan pemerintah daerah
Jawa Barat, akan tetapi jumlah personil staf yang ada tidak
101bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
memadai dalam melaksanakan tugas seiring dengan semangat
untuk mengimplementasikan kebijakan kesepakatan AFTA di
bidang komoditas agro. Meskipun secara menyeluruh
pendidikan staf berdasarkan penjenjangan yang berlaku umum
di lingkungan pemerintah daerah, akan tetapi staf dimaksud
sangat jarang mengalami proses mutasi apabila sudah masuk di
lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro, termasuk
Dinas Industri dan Perdagangan induk. Bahkan diklat
penjenjangan yang pernah di kuti tidak berdasarkan bidang kerja
yang digeluti. Staf perdagangan luar negeri misalnya, sangat
jarang mengalami diklat tentang proses perdagangan luar
negeri. Bahkan untuk memahami proses perdagangan bebas
hanya mendapat informasi dari pelaku pasar atau informasi
media massa yang beredar dan menjadi langganan dari Dinas
tersebut.
Secara menyeluruh keahlian dari staf yang ada sebagai
sumber daya manusia di lingkungan Dinas yang menangani
perdagangan komoditas pertanian agro ini sangat minim
sehingga sangat sulit untuk melaksanakan secara maksimal.
Keahlian kesarjanaan yang ada juga tidak memadai, meskipun
20% dari staf bergelar Strata 2 (termasuk Kepala Dinas), namun
keahlian yang ditempuh melalui jalur formal tersebut tidak
bersesuaian langsung dengan keahlian yang dibutuhkan. Dari
sejumlah S-2 dimaksud 85 % merupakan strata 2 dengan
keahlian bidang pertanian, atau spesialisasi perikanan.
Tentu saja kondisi sumber daya manusia dengan struktur
demikian ini lebih mengarah pada semakin sulitnya pelaksanaan
kebijakan perdagangan bebas dengan mengandalkan komoditas
agro. Selain itu, sangat tidak mudah untuk menemui staf Dinas
yang ada di tempat pada jam-jam kerja. Kesibukan yang tidak
terjadwal dengan pasti semakin mempersulit intensitas
102 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pelaksanaan kebijakan apapun di lingkungan Dinas Industri dan
Perdagangan Agro Jawa Barat. Kenyataan yang sangat kerap
terjadi apabila Kepala Dinas tidak berada di tempat (atau
melakukan tugas di luar kantor) dalam waktu yang cukup lama.
Hal ini pun akan secara otomatis memberikan peluang kepada
staf di bawahnya untuk tidak masuk kantor dengan berbagai
alasan selama kegiatan Kepala Dinas tersebut tidak berada di
kantor. Sebuah kebijakan atau surat disposisi yang tersalurkan ke
staf pun akan mengalami penundaan sebagai akibat dari tidak
adanya staf di kantor.
Kesulitan dalam menyelesaikan segala surat-menyurat
yang berkaitan dengan kewenangan Dinas Industri dan
Perdagangan Agro ditemukan dalam kerangka sulitnya staf
berada di tempat. Berbagai wawancara dengan asosiasi petani
dan stake holder di bidang komoditas agro (pengurus Kadinda)
yang berkepentingan dengan dinas ini ditemukan adanya
kesulitan dalam penyelesaian persoalan perdagangan agro
sebagai konsekuensi dari jarangnya staf ada di kantor. Semua hal
di atas memperlihatkan sumber daya manusia yang terhitung
minim dari Dinas yang melaksanakan impelementasi kebijakan
kesepakatan AFTA selaku implementor.
Informasi
Sumber daya kedua yang cukup penting dalam pelaksana-
an kebijakan adalah informasi. Pengertian informasi dimaksud
sebagai sumber daya adalah petunjuk pelaksanaan kebijakan dan
data ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan
pemerintah yang dikeluarkan dalam kerangka AFTA sebagai kajian
ini. Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan diperoleh data
bahwa kebijakan tentang AFTA sampai ke tingkat pemerintah
103bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
pemerintah daerah Jawa Barat didukung oleh Keputusan
Gubernur No. 21 Tahun 2004. Akan tetapi kebijakan tersebut
tidak didukung secara teknis dengan petunjuk pelaksanaannya
di lapangan, sehingga masing-masing Dinas memberikan
penafsiran tersendiri. Sebagai contoh Dinas Industri dan
Perdagangan Induk Jawa Barat yang menterjemahkan bahwa
kawasan perdagangan bebas di mplementasi dengan
membentuk zona ekonomi di lima kawasan di Jawa Barat.
Tentu saja pembentukan zona ekonomi khusus yang
disebut sebagai langkah menuju zona perdagangan bebas
internasional ini dianggap sebagai langkah tepat untuk
mengimplementasikan kebijakan perdagangan bebas. Kawasan
perdagangan yang sudah dilaksanakan di Kawasan Industri
Cikarang-Bekasi ini lebih merupakan langkah untuk memberikan
stimulasi gerakan kepada industri yang ada di kawasan di
maksud. Namun kebijakan tersebut tidak mendorong persiapan
aturan yang akan memberikan dorongan bagi pelaksanaan
sistem perdagangan bebas. Sebagai sebuah gerakan, seperti
halnya gerakan lainnnya (GDN-Gerakan Disiplin Nasional) hanya
merupakan kebijakan sesaat yang tidak berkesinambungan.
Bahkan banyak kalangan pelaku ekonomi seperti para investor
baik dalam maupun luar negeri, distributor perdagangan,
pengembang (developer) infrastruktur perdagangan serta
termasuk para pedagang menilai gerakan tersebut sebagai
kebijakan ”latah” akibat dari gencarnya isu perdagangan bebas.
Demikian halnya dengan kebijakan kesepakatan AFTA yang
menjadikan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
sebagai implementor langsung. Dinas ini juga tidak menerima
petunjuk pelaksanaan yang seragam sebagai bagian integral dari
kebijakan tersebut. Kebijakan yang diejawantahkan ke dalam
104 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Keputusan Gubernur No. 21 Tahun 2004 sebagai respon dari
Surat Keputusan Menteri Luar Negeri No 3 Tahun 2003 dan
Keputusan Menteri Keuangan No 392 Tahun 2003. Keputusan
Gubernur tersebut berisikan tentang pedoman daerah dalam
melaksanakan kerjasama dengan luar negeri. Keputusan
tersebut tidak berisikan petunjuk pelaksanaan teknis tentang
pasar bebas yang dijalankan sebagai derivasi dari kebijakan
kesepakatan AFTA. Bahkan Keputusan Gubernur No. 21 tahun
2004 tidak secara langsung menyentuh kepentingan
implementasi kebijakan tentang AFTA. Apalagi menyangkut
komoditas pertanian agro di Jawa Barat.
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa petunjuk pelak-
sanaan kebijakan tentang AFTA melalui Dinas Industri dan Per-
dagangan lebih banyak didasarkan pada informasi yang diperoleh
dari tingkat kementerian luar negeri dan atau kementerian
perdagangan. Informasi tersebut bermakna sebagai sumber
daya yang sangat lemah untuk kepentingan pelaksanaan
kebijakan di tingkat impelementator. Sebab informasi tersebut
hanya bersifat garis besar saja dari sebuah kebijakan yang
menjadi kesepakatan negara-negara anggota ASEAN itu.
Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil wawancara dengan
pelaku ekonomi di tingkat non-pemerintah, seperti pengusaha
(Kadin) dan asosiasi produksi pertanian, para pengelola pasar
induk, dan para petani, dapat disimpulkan bahwa peraturan yang
diterapkan untuk mewujudkan sebuah mekanisme pasar yang
menguntungkan bagi pihak pelaku ekonomi dinilai tidak jelas.
Petani di Karawang dan Bekasi mengetahui tentang kebijakan
AFTA sebagai kebijakan pasar bebas, akan tetapi mereka tidak
mengerti harus bagaimana mensikapinya. Petani di Indramayu,
Kuningan, Cirebon, Majalengka juga memahami mekanisme
pasar bebas, hanya saja mereka tidak mengerti peranan AFTA
105bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
dalam mekanisme tersebut. Petani di Garut, Tasikmalaya, Ciamis
sampai ke Banjar tidak begitu peduli dengan kondisi pasar
bebas. Petani di Kab/Kota Bandung memahami sepenuhnya
tentang mekanisme pasar bebas AFTA tetapi tidak mendapat
persiapan yang cukup untuk menghadapinya.
Mereka yang bergerak di sektor pelaku ekonomi tidak
merasakan adanya langkah-langkah yang memadai untuk
mewujudkan kebijakan kesepakatan AFTA dalam bidang
pertanian. Bahkan pelayanan dari lembaga yang menjadi
implementor juga dirasakan belum cukup dalam membantu
pelaku ekonomi mempersiapkan diri menghadapi era pasar
bebas. Pola-pola mekanisme pasar bebas yang mengandung
unsur-unsur mekanisme pasar tidak dijelaskan dalam interaksi
pasar bebas Asia Tenggara.
Oleh karena itu pada kenyataannya banyak bagian-
bagian yang terdapat dalam ketetapan tentang pasar bebas
dalam kesepakatan AFTA yang dipilih berdasarkan kebutuhan
dari pelaku pasar sendiri. Pelaku pasar menilai tidak semua
ketentuan yang menjadi kesepakatan menguntungkan apabila
dilaksanakan sehingga harus dipilih bagian mana dari
kesepakatan AFTA tersebut yang bisa menguntungkan dalam
pelaksanaannya. Kesepakatan tentang peningkatan produk
ekspor barang komoditas pertanian yang tidak memiliki daya
saing serta-merta mendapat persetujuan dari pelaku ekonomi,
akan tetapi kesepakatan yang substansinya berkaitan dengan
produk barang-barang substitutif dengan persaingan yang
ketat akan segera mendapat penolakan, kalau tidak dikatakan
tidak dihiraukan ketetapan tersebut.
Dari observasi di lapangan ditemukan data tentang
ketaatan akan kesepakatan yang cukup rendah sehingga dapat
106 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dipastikan data ini menjadi sumber daya yang melemahkan
implementasi kebijakan AFTA di bidang pertanian. Data ini
merupakan informasi dari sumber daya yang tidak menguntung-
kan bagi pelaksanaan ke bijakan pasar bebas. Beberapa pelaku
ekonomi yang ditemui memberikan pernyataan yang sama
bahwa perilaku menolak atas aturan yang tidak menguntungkan
dari kesepakatan AFTA merupakan langkah pragmatis
menghadapi persaingan usaha. Bahkan para petani sendiri
menyetujui bahwa sikap pragmatis yang dilakukan oleh asosiasi
dan pengusaha merupakan upaya untuk melindungi petani dari
persaingan yang tidak dapat dihadapi secara langsung.
Kewenangan (Authority)
Faktor sumber daya yang tidak kalah pentingnya adalah
kewenangan (authority). Kewenangan dimaknakan sebagai hak
untuk memanggil dengan menggunakan surat panggilan, hak
mengeluarkan perintah kepada pejabat lain, hak menarik dana
dari suatu program, dan hak untuk menyediakan dana, staf serta
bantuan teknis pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Kewenangan yang terlihat dalam hasil penelitian di Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat sangat terbatas.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tentang komunikasi, Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat posisinya tidak sekuat
dinas/instansi lain di lingkungan pemerintahan daerah. Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak memiliki kewe-
nangan yang kuat dalam melakukan pemanggilan terhadap
pejabat lain di luar lingkungan dinas dimaksud. Seperti telah
dijelaskan di atas, apabila terdapat persoalan dalam pelaksanaan
teknis kebijakan perdagangan bebas misalnya, maka dinas ter-
kait tidak memberikan respon positif dan tanggap sesuai dengan
107bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
permintaan dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat. Sudah dicontohkan sebelumnya bahwa produk pertanian
yang tidak memenuhi standar perdagangan bebas pun tidak
dapat dikoordinasikan dengan mudah kepada Dinas Pertanian
Jawa Barat yang memiliki kewenangan tentang hal tersebut.
Ketika dikonfirmasi ke Dinas Pertanian Jawa Barat mengenai hal
ini, diberikan penjelasan bahwa memang hal semacam itu sering
terjadi. Menurut informan yang dihubungkan di Dinas Pertanian
Jawa Barat, kondisi tersebut sebagai akibat dari tidak sinkronnya
program kerja yang ada di Dinas Pertanian Jawa Barat dengan
program kerja yang ada di Dinas Industri dan Perdagangan Agro
Jawa Barat. Meskipun Dinas Pertanian menerima permintaan
dari Dinas Implementor dalam AFTA, namun semua tidak dapat
dilaksanakan begitu saja sebab menyangkut dana/anggaran
yang alokasinya tidak diperuntukan bagi kegiatan tersebut. Setiap
mata anggaran yang ada dalam garis kerja Dinas Pertanian Jawa
Barat sudah merupakan hasil pembahasan berdasarkan Standard
Operating Procedures.
Keterbatasan kewenangan tersebut ditambah lagi dengan
ketidakmampuan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
dalam mengeluarkan perintah langsung kepada dinas lain yang
terkait dengan implementasi perdagangan komoditas pertanian
ini. Perintah tersebut harus dikeluarkan melalui Kepala Daerah,
Sekretaris Daerah atau Asisten, sedikitnya di tingkat Kepala Biro.
Sedangkan rekomendasi untuk melaksanakan perintah dimaksud
bisa berjalan cukup lama atau bahkan terkadang tidak mendapat
tanggapan sama sekali. Pemerintah Daerah (dalam hal ini Kepala
Daerah, Sekda dan Asisten serta Kepala Biro) lebih memfokuskan
diri pada tugas-tugas pemerintahan, ekonomi makro dan
adminis tratif. Tugas-tugas tersebut memiliki nuansa politik yang
tinggi sehingga menarik perhatian yang tinggi dari opini
108 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
masyarakat umum. Sedangkan tugas yang bersifat teknis dalam
penanganan masalah seperti yang dihadapi oleh Dinas Industri
dan Perdagangan Agro Jawa Barat kurang bernuansa politis alias
tidak menarik perhatian publik.
Apabila dilihat dari sisi anggaran, Dinas Industri dan
Perdagangan Agro Jawa Barat tidak berbeda dengan dinas-dinas
lainnya di lingkungan pemerintah daerah Jawa Barat. Dinas ini
bergerak berdasarkan anggaran yang telah ditentukan dalam
penyusunan anggaran tahunan bersama-sama dengan pihak
legislatif. Hanya saja, seperti halnya sifat Dinas ini yang tidak
bersentuhan langsung dengan nuansa politik, maka anggaran
yang diajukan oleh dinas inipun tidak menarik perhatian. Bahkan
proposal ajuan anggaran pemerintah daerah secara menyeluruh,
apabila harus dikurangi secara gradual, maka angka pengurangan-
nya dapat dipastikan akan menyentuh pada dinas-dinas bukan
penghasil seperti Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat ini.
Dengan demikian, hak untuk menarik dana dari sebuah
program terbatas pada rencana anggaran yang sudah ditetapkan
sebelumnya dalam Rencana Kerja Dinas. Selain besarnya yang
terbatas, anggaran Dinas ini juga terkadang mengalami kesulitan
dalam pengalokasian program. Hal tersebut akibat dari peren-
canaan yang berjalan lebih lambat ketimbang perkembangan
situasi dan tantangan yang menjadi bidang kerjanya. Apalagi
perencanaan dari Dinas ini juga menyertakan pula kemampuan
SDM yang tidak memadai dalam menyusun mekanisme kerja ke
depan. Yang terjadi kemudian adalah tuntutan perkembangan
situasi tidak memungkinkan untuk ditangani secara lebih cepat
dalam waktu yang bersamaan ketika masalah muncul oleh
tersedianya anggaran. Perencanaan anggaran yang akan datang
sudah tidak relevan secara menyeluruh pada saat
109bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
tersebut dikeluarkan. Hal ini terlihat misalnya langkah yang
dilakukan Sub Dinas Perdagangan Disindagro Jawa Barat untuk
melakukan pelatihan ekspor impor produk agro terakhir di
empat wilayah (Kota Cirebon, Kab. Kuningan, Kab. Bandung, Kab.
Ciamis, Kab. Purwakarta, Kota Bogor, Kab. Bekasi, Kab. Sukabumi)
dengan pembagian waktu pelaksanaan; Kota Cirebon tanggal 6-
8 Maret 2006 bertempat di Jln. RA. Kartini No.60 Cirebon, Kab.
Kuningan tanggal 13-15 Maret 2006 bertempat di Jln. Raya
Panauan No.98 Sangkanurip, Kuningan, Kab. Bandung 20-22
Maret 2006 bertempat di Jln. Dokter Junjunan No. 153 Bandung,
Kab. Ciamis tanggal 27-29 Maret 2006 bertempat di Jln. Jend.
Sudirman No.185 Ciamis, Kab. Purwakarta tanggal 3-5 April 2006
bertempat di Jln. Rasamala No. 1 Jatiluhur Purwakarta, Kota
Bogor tanggal 24-26 April 2006 bertempat di Jln. Sawo Jajar No.
38 Bogor, Kab. Bekasi tanggal 8-10 Mei 2006 bertempat di Jln.
Teuku Umar Km. 45 Bekasi, Kab. Sukabumi tanggal 18-20 Mei
2006 bertempat di Jln. Cikukulu Sukabumi.
Kewenangan menyediakan dana, staf dan bantuan teknis
pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah juga merupakan
kewenangan dari Dinas Industri dan Perdagangan Agro sebagai
implementor. Akan tetapi kewenangan ini tidak otomatis
memberikan otoritas mutlak kepada Dinas ini untuk melakukan
perintah langsung kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota
se-Jawa Barat. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai distribusi
kewenangan yang ada sampai ke tingkat Kab/Kota memberikan
kesulitan lain kepada Dinas ini untuk melakukan perintah
mewujudkan implementasi kebijakan kesepakatan AFTA
terutama dalam bidang komoditas pertanian.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan Dinas ini
sebagai sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan kebijakan
kesepakatan AFTA dalam bidang perdagangan komoditas
110 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pertanian agro sangat terbatas. Keterbatasan ini memperlihat-
kan pula kesulitan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan.
Fasilitas-Fasilitas Fisik Material
Faktor dari sumber daya yang lain adalah fasilitas-fasilitas
(berupa bangunan-bangunan, perlengkapan dan perbekalan).
Fasilitas yang dimiliki secara menyeluruh dalam kajian ini
merupakan fasilitas dari pelaksana kebijakan yang dimulai dari
Departemen Luar Negeri, Departemen Perdagangan sampai
Dinas Industri dan Perdagangan Agro. Fasilitas di Departemen
Luar Negeri memang tergolong memadai sebatas tugas
Departemen ini untuk melaksanakan implementasi kebijakan
AFTA sampai pada taraf penyampaian informasi. Akan tetapi
fasilitas tersebut tidak bermanfaat langsung kepada institusi
pelaksana terutama dalam tataran dinas. Demikian halnya
dengan fasilitas di Departemen Perdagangan yang sudah pasti
memadai dalam taraf penyampaian informasi dan pengukuran
teknis dari implementasi kebijakan AFTA. Sekali lagi fasilitas yang
ada tidak dapat dipergunakan dalam kondisi teknis
implementasi kebijakan terutama dalam bidang perdagangan
komoditas pertanian di Jawa Barat. Dengan demikian, secara
umum sumber daya yang ada tidak memadai sehingga
implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik. Dibutuhkan
penyediaan sumber daya yang memadai dalam dinas yang
menjadi pelaksana (implementator) dari kebijakan perdagangan
bebas bidang komoditas pertanian di Jawa Barat.
Kemudian juga dari segi infrastruktur, Jawa Barat sangat
minim memiliki Pusat Perdagangan Komoditas Agro (PPKA).
Terdapat beberapa masalah yang masih perlu dikaji dan di-
kembangkan agar diperoleh gambaran serta arah penyelesaian
111bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
yang lebih jelas, antara lain :
1. Gambaran kondisi Pusat Perdagangan Komoditi Agro di
Jawa Barat yang ingin dicapai, atau biasa disebut visi, masih
belum jelas, sehingga arah yang akan ditujupun (misi)
belum dapat ditentukan.
2. Pasar yang ada saat ini di Indonesia, khususnya di Jawa
Barat, belum ada yang berfungsi seperti PPKA berstandar
internasional, sehingga perlu dicari acuan lain yang dapat
digunakan untuk menentukan dan menyusun regulasinya.
3. Kegiatan yang ditampung di kawasan Pusat Perdagangan
Komoditi Agro, misalnya di Purwasuka masih bersifat
umum, sehingga perlu dilakukan analisis yang lebih rinci
untuk dapat menentukan perkiraan kebutuhan
fasilitasnya.
4. Dalam menyusun perkiraan kebutuhan fasilitas tersebut
dilakukan pengkajian, seperti :
a. Kegiatan utama yang akan terjadi dan perlu ditampung,
baik jenis maupun kapasitas/besarannya.
b. Besaran/volume tiap komoditi unggulan dari kawasan
perencanaan yang bisa/dapat ditampung di Pusat
Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat.
Pusat Perdagangan Komoditi Agro di Jawa Barat seharus-
nya dapat dimaksimalkan menjadi Pusat Pasar lelang komoditi
agro Jawa Barat yang berdaya guna. Hal itu dikarenakan
berdirinya pasar lelang fungsi utamanya sebagai pembentuk
harga secara transparan (price discovery) dan Risk Management
dengan mempergunakan instrument hedging (lindung nilai),
karena transaksi dilakukan secara lelang terbuka. Dengan adanya
transparansi harga, maka petani sebagai produsen komoditi akan
memiliki bargaining position yang lebih baik. Dengan demikian
mereka dapat menjual komoditinya sesuai dengan harga yang
112 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
berlaku dalam kontrak, sehingga petani dapat meningkatkan
kualitas hasil produksinya dan pendistribusiannya sudah jelas.
Fluaktuasi harga yang selama ini terjadi akan dapat dikendalikan
dengan baik karena adanya mekanisme pasar yang wajar. Disisi
lain, petani juga dapat melakukan pola tanam sesuai dengan
kontrak pada pasar lelang dan akan mengakibat secara otomatis
setiap petani yang lain akan melakukan tanam berbeda dan tidak
akan terjadi panen raya, sehingga menekan kekhawatiran pada
saat panen tiba.
Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa pada
tahun 2006 terjadi 171 transaksi, 27 komoditi yang terjadi deal,
dengan jumlah Rp. 143.564.335.000,- yang paling besar terjadi
pada komoditi beras sebanyak, 73 transaksi 40.435 ton dengan
nilai Rp. 115.069.100.000,- terdiri dari 16 penjual, 8 pembeli dan 3
merangkap penjual/pembeli. Dan yang paling dominan
melakukan transaksi pembelian oleh 2 pembeli dari Provinsi DKI
Jakarta yaitu 29 transaksi dan 17 transaksi, hal ini akan sulit dalam
dalam menentukan harga karena pembeli potensial lebih sedikit
padahal penjualnya cukup banyak, hal ini akan mengakibatkan
dalam negosiasi dikendalikan oleh pembeli walaupun harga yang
ditawar dengan sistem terbuka. Kalau kita lihat hasil transaksi
dengan perdagangan sistem lelang forward yang hanya berjumlah
40.435 ton sedangkan jumlah hasil produk lokal Jawa Barat pada
tahun 2005 sebanyak 6.368.816 ton hal ini yang terserap dengan
melalui perdagangan dengan sistem lelang forward hanya berapa
persen saja yaitu sebesar 0.63 %. Sedangkan dari produksi lokal
beras Jawa Barat yang keluar Jawa Barat terutama ke Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang dilakukan pedagang besar
sebesar 191.149,01 ton berdasarkan data dari statistik apakah
data ini sudah termasuk dengan hasil transaksi lelang yang
dilakukan oleh 2 (dua) pembeli sebesar 28.451 ton?.
113bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Kemudian melihat keadaan pada tahun 2007-2008
mengindikasikan tingkat presentase yang menggunakan
dengan perdagangan sistem lelang masih sangat jauh sekali
dengan perdagangan tradisional yang besar 99,37 %, sedangkan
perdagangan antar provinsinya baru 14,88 %, peluang ini masih
cukup besar tinggal bagaimana manajemen pasar lelang
menarik pembeli potesial dari DKI Jakarta untuk bisa
mengenal/mengikuti transaksi dengan sestem lelang forward.
Berdasarkan data dari pasar lelang forward Jawa Barat
tahun 2007-2008, kepada 61 peserta lelang dilakukan survey,
berdasarkan latar belakang, pendidikan, pekerjaan dan frekuensi
transaksi. Maka diketahui bahwa sebagian besar peserta lelang
yang mengikuti perdagangan dengan sistem lelang forward
adalah yang berpendidikan 38 Sarjana 62,4 % paling tinggi, 10
D3/D4 setingkat Sarjana muda 16,4 %, SLTA 19,6 % dan paling
rendah ada pada SLTP 1,6 %. Hal ini menggambarkan bahwa
melakukan usaha melalui perdagangan sistem lelang forward
komoditi agro diminati oleh para sarjana disebabkan karena
dengan pola lelang forward ini menawarkan peluang usaha dan
sistem perdagangan modern yang membutuhkan analisa dan
strategi pemasaran.
Latar belakang pekerjaan diketahui bahwa sebagian besar
peserta lelang adalah 27 pedagang 44,3 % paling tinggi, 18 Swasta
29,5 %, 8 eksportir 13,1 % dan 8 petani 13,1 %. Hal ini kalau dilihat
persentase dari jumlah petani 13,1 % yang mengikuti perdagangan
dengan sistem lelang masih sangat kecil dibandingkan dengan
para pengusaha (pedagang, eksportir, swasta) 86,9 %. Padahal
rohnya pasar lelang bertujuan mengangkat harkat martabat para
petani, perlu menjadi perhatian agar dilakukan sosialisasi terus
menerus kepada para petani ataupun kelompok tani. Sedang
114 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
para pengusaha telah mendapatkan kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan pengadaan komoditi agro dimana komoditi yang dicari
telah terdapat pada pasar lelang atau sebagai informasi baik
mengenai permintaan pasar, komoditi dan harga atau sebagai
pasar yang terorganisir, sedang petani belum memanfaatkan
secara optimal?. Frekuensi yang di nginkan sebagian besar peserta
lelang yang melakukan transaksi di pasar lelang adalah mengi-
nginkan lelang sebulan sekali 30 peserta 49,2 %, sebulan 2 kali
40,9 % dan sebulan 3 kali hanya 9,9 %, hal ini membuktikan
bahwa peserta lelang lebih cenderung untuk melakukan tran-
saksi dengan sistem lelang forward lebih banyak memilih sebulan
sekali dengan alasan karena disesuaikan dengan spesifikasi hasil
pertanian, masa tanam, ketentuan pasar lelang dan kesiapan
para peserta lelang dan memudahkan melakukan konsolidasi
produknya.
Melihat hasil survey pada peserta lelang adalah
berdasarkan pendidikan, pekerjaan dan frekuensi adalah sarjana
62,4 %, pengusaha 86,9 % dan sebulan sekali 49,2 %. Ini harus
menjadi perhatiaan manajemen pasar lelang sesuai dengan
konsep pendirian awal peranannya untuk meningkatkan harkat
martabat para petani tetapi keberadaan pasar lelang forward
belum optimal bagi kepentingan petani. Jadi keunggulan
perdagangan di pasar lelang yang menggunakan sistem lelang
forward dengan perdagangan lain masih terlalu kecil, dilihat dari
transaksi tahun 2007 misalnya komoditi beras baru 0.63 % atau
perdagangan keluar Jawa Barat 14,88 %, ini baru satu komoditi
belum komoditi yang lain. Hal ini suatu tantang bagi manajemen
pasar lelang yang menggunakan sistem lelang forward apa yang
menjadi keunggulan tapi belum bisa menjadi kebutuhan bagi
penjual/pembeli. Apakah keberadaan pasar lelang manfaatnya
sudah dirasakan secara optimal bagi peserta lelang, sehingga ada
kebutuhan yang menimbulkan kepuasan/loyalitas peserta lelang
115bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
terhadap pasar lelang dengan sistem lelang forward. Kondisi ini
mengisyaratkan pentingnya perhatian dari penyelenggara pasar
lelang yang menggunakan sistem lelang forward apa
keunggulannya dengan sistem perdagangan lain yang selama ini
telah dilakukan penjual/pembeli, apakah masih ada
kelemahannya, ini diperlukan kajian secara nasional.
Dalam mempertahankan keberadaan Pasar Lelang
dengan sistem transaksi sistem lelang forward dalam globalisasi
perdagangan harus mempunyai orientasi pasar global yang
telah mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional ke
arah pendekatan kontemporer. Pendekatan konvensional
menekankan kepuasan pelanggan, sedangkan pendekatan
kontemporer pada loyalitas pelanggan. Dengan hanya
melakukan pendekatan kepuasan pelanggan (konvensional)
belum bisa diandalkan, karena para pelanggan pasar lelang
hanya ada perasaan puas bukan loyalitas. Dengan merubah
pendekatan secara loyalitas pelanggan, maka pelanggan akan
melakukan transaksi ulang dalam pasar lelang.
Konsep Pemasaran Masyarakat menegaskan bahwa
tugas organisasi adalah menentukan kebutuhan, keinginan, dan
minat dari pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diingin-
kan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan pesaing dengan
tetap memelihara atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan konsumen” Dari uraian diatas yang menjadi perhatian dari
konsep pemasaran masyarakat adalah sifatnya memperhatikan
lingkungan hidup, sumber daya serta pelayanan sosial.
Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan
ketersediaan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia
dengan kriteria kuantitas dan kualitas (keahlian/skill), informasi,
dan wewenang dan fasilitas-fasilitas, peneliti dapat menginter-
116 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
pretasikan bahwa adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki
Jawa Barat berdamnpak pada tidak maksimalnya pendayagunaan
potensi daerah Jawa Barat secara maksimal dalam implementasi
AFTA komoditas pertanian di Jawa Barat.
Dengan kata lain, peneliti juga dapat menginterpretasikan
bahwa dari sudut pandang faktor ketersediaan sumberdaya
sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoritis pada Bab II,
implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan sehingga
belum mampu mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di
dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.
Secara demikian, tampaknya hal itu akan dapat meng-
hambat upaya pembangunan propinsi Jawa Barat sebagai salah
satu pusat unggulan (center of excelence) industri agrobisnis di
tingkat nasional. Ketersediaan sumberdaya yang andal, lengkap
dan terintegrasi adalah suatu keharusan bagi suatu daerah yang
inginberkiprahmaju dalam perdagangan luar negeri.
Karena itu, kaitannya dengan Jawa Barat, untuk mengantisi-
pasi kelemahan di atas, ke depan perlu ditingkatkan pengemba-
ngan kualitas dan kuantitas sumber daya yang dapat berdayaguna
mendukung posisi tawar Jawa Barat dalam perdagangan bebas
di kawasan Asia Tenggara.
Kecenderungan dari Para Pelaksana (Disposisi)
Penelaahan atas disposisi ini berkisar pada pelaksana
kebijakan, tidak menyentuh kepada pembuat kebijakan awal.
Disposisi dipahami sebagai kecenderungan dari para pelaksana
kebijakan dalam memahami, mengerti dan kemudian melaksana-
kan atau tidak melaksanakan kebijakan yang ada sesuai dengan
117bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
keinginan yang menjadi tujuan dari para pembuat kebijakan
awal. Dalam kajian ini, Dinas Industri dan Perdagangan Agro
Jawa Barat merupakan pelaksana kebijakan yang menjadi pusat
kajian dari penelitian. Selain itu, Departemen Perdagangan RI
dan juga Dinas Industri dan Perdagangan Induk di Jawa Barat
menjadi objek dari kajian dimaksud pula.
Perlu dingat, apabila para pelaksana (implementor)
sudah memahami latar belakang, maksud dan tujuan kebijakan
yang ada, maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan
kebijakan tersebut sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh
pembuat keputusan kebijakan awal. Demikian halnya dengan
kebijakan perdagangan komoditas pertanian juga apabila para
pelaksana bersifat baik kepada kebijakan tersebut maka
kemungkinan besar para implementor kebijakan tersebut akan
melaksanakan dengan baik tujuan dari pembuat kebijakan yang
sudah disepakati dalam organisasi regional negara-negara Asia
Tenggara.
Namun begitu, Kasie Perdagangan Luar Negeri Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat
mengemukakan bahwa dalam kebijakan perdagangan bebas
bidang komoditas pertanian agro ini terdapat kecenderungan
dari pelaksana yang kurang baik terhadap kebijakan dimaksud.
Implementor di tingkat staf, misalnya, tidak memiliki sense of
motivation yang setara dengan kebutuhan dari penanganan
terhadap berbagai persoalan yang timbul dari kebijakan
perdagangan komoditas pertanian ini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para pelaku ekonomi
yang menikmati pelayanan dari implementor diperoleh informasi
bahwa pelayanan yang diberikan tidak memberikan gambaran
keinginan untuk berhasilnya sebuah program dari kebijakan
118 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
perdagangan komoditas pertanian agro di Jawa Barat dalam
kerangka kesepakatan AFTA, misalnya ketika para calon investor
dan pengusaha memerlukan informasi dan data mengenai
kondisi objektif kesiapan komoditas-komoditas pertanian
unggulan Jawa Barat yang akan dipasarkan dalam kerangka
AFTA, para implementor tidak dapat memberikan informasi dan
data yang komprehensif sesuai harapan para calon investor dan
pengusaha tersebut.
Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat semacam Zone
of Indifference (Zona Ketidakacuhan) yang diperlihatkan oleh para
staf yang ada dalam lembaga implementor. Lebih jauh lagi, dari
hasil pengamatan dalam pemberian pelayanan publik juga
memang sikap tak acuh tersebut muncul dengan perilaku malas-
malasan yang ditunjukkan dalam melakukan pelayanan
langsung. Bahkan satu keperluan pembuatan surat untuk
pengolahan produksi komoditas agro yang diajukan oleh pelaku
ekonomi tertentu (informan lain) juga membutuhkan waktu
yang cukup lama dalam prosesnya. Mereka para pelaksana
kebijakan cenderung menjanjikan waktu yang lama untuk
sebuah penyelesaian dari kebutuhan mendasar pelaku ekonomi
perdagangan komoditas pertanian tersebut.
Boleh jadi, berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat
adanya perbedaan pandangan yang cukup tajam antar-dinas/
instansi terhadap kebijakan kesepakatan AFTA itu sendiri dalam
memahami tujuan dasar dari kebijakan tersebut. Berbagai
instansi tidak memahami secara utuh kebijakan tentang
perdagangan bebas tersebut sehingga muncul sikap yang tidak
peduli bahkan menganggap tidak penting kebijakan dimaksud.
Seperti sudah dipaparkan terlebih dahulu bahwa Dinas Pertanian
pun tidak memiliki respon yang memadai dalam menanggapi
119bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
persoalan yang berkaitan dengan Perdagangan bebas ini. Dinas
Pertanian hanya memposisikan bahwa perdagangan bebas AFTA
bukan merupakan tugas yang harus ditangani karena tidak
terdapat dalam tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Dinas tersebut.
Bahkan berdasarkan keterangan informan dari Dinas Pertanian,
dalam SOTK hanya terdapat pola koordinasi yang harus dilakukan
dengan Dinas Industri dan Perdagangan induk, tidak tercantum
pola yang sama dengan Dinas Industri dan Perdagangan Agro
sebagai implementor kebijakan perdagangan bebas. Belum lagi
dinas-dinas yang lain yang memiliki pandangan yang sama
terhadap usulan, ajakan atau bahkan permohonan bantuan dari
pihak implementor.
Perbedaan pandangan tersebut tidak diperlihatkan dalam
kebijakan (sikap) yang vulgar. Perbedaan tersebut lebih terlihat
sebagai suatu sikap yang memperlihatkan bahwa ada prioritas
yang berbeda dalam pelaksanaan tugas sehari-hari ketimbang
harus memberikan perhatian yang khusus kepada pelaksanaan
kebijakan tentang AFTA di bidang perdagangan komoditas agro.
Prioritas kebijakan yang berbeda tersebut menggiring sikap tak
acuh pula dalam memberikan respon dari permintaan yang
dilayangkan dalam bentuk surat resmi dari dinas implementor.
Tidak sedikit surat yang berhubungan dengan kebijakan AFTA
dalam perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat dari Dinas
Industri dan Perdagangan yang tidak mendapat respon sama
sekali. Bahkan kegiatan yang berupa seminar atau lokakarya
yang diadakan oleh Dinas implementor pun tidak mendapat
tanggapan berarti. Seringkali yang hadir hanya staf non eselon
atau bahkan tidak dihadiri oleh dinas-dinas terkait tersebut.
Selain itu, terdapat kebijakan lain yang mereka setujui
untuk dilakukan dan substansi bertentangan secara mendasar
denga kebijakan kesepakatan AFTA. Sebagai contoh Dinas
120 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Pertanian Jawa Barat, akan lebih menyetujui kebijakan yang bersifat
memberikan proteksi kepada petani tebu, kepada pengrajin rotan dan
kepada petani palawija ketimbang harus mempertemukan para petani
tersebut dalam tatanan persaingan bebas di pasar dunia. Kesepakatan
terhadap kebijakan lain ini memberikan dorongan untuk melakukan
sikap ”masa bodoh” atau bahkan penolakan terhadap kebijakan
kesepakatan pasar bebas, terutama dalam kerangka perdagangan
komoditas agro.
Secara internal di lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan
Agro Jawa Barat juga terdapat sebab lain yang menjadi penghambat
dari implementasi kebijakan kesepakatan AFTA ini. Hal tersebut adalah
adanya sentuhan dari kepentingan pribadi atau organisasi dari staf
yang ada pada Dinas implementor ini. Para staf implementor ini
berdasarkan hasil wawancara, memiliki kegiatan sampingan di luar
kantor yang berhubungan dengan perdagangan. Kebanyakan dari
mereka menjadi konsultan dari perusahaan pelaku ekonomi yang
bergerak di berbagai bidang, tidak jarang di luar komoditas pertanian
agro. Kegiatan tersebut merasa terancam meskipun tidak
bersentuhan langsung dengan kebijakan kesepakatan AFTA. Akan
tetapi pemahaman yang salah dari staf terhadap kebijakan
perdagangan komoditas pertanian agro justru menimbulkan
pemikiran negatif yang akan menciptakan sikap tak acuh kepada
kebijakan tersebut. Belum lagi di antara mereka masih memiliki
keinginan yang tinggi untuk bisa dimutasikan ke instansi lain yang lebih
”basah” sehingga menimbulkan kesan tak acuh yang tinggi terhadap
kebijakan kesepakatan AFTA. Dalam pandangan personil yang
demikian, kebijakan AFTA hanya akan menambah kegiatan dan
memastikan bahwa mereka dibutuhkan dalam Dinas tersebut
sehingga akan sulit untuk mendapat kesempatan mutasi jabatan
ke instansi/dinas lainnya yang dikenal sebagai instansi penghasil.
121bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Memang dalam pemahaman teoritis ada upaya yang dapat
dilakukan dalam menangani disposisi yang tidak kondusif seperti
ini, yakni dengan melakukan perubahan personil birokrasi. Akan
tetapi perubahan personil birokrasi sangat tidak tepat apabila
dilakukan dengan Dinas Industri dan Perdagangan Agro, karena
secara umum personil birokrasi dari instansi manapun tidak
menginginkan untuk bisa dipindahtugaskan ke Dinas tersebut.
Apalagi untuk menggunakan tenaga profesional di Dinas
dimaksud sangat tidak memungkinkan, sebab evaluasi kinerjanya
pun tidak mendapat perhatian memadai dari pusat pemerintahan
di Gedung Sate. Seperti pernah dijelaskan bahwa staf yang sudah
masuk ke Dinas ini akan sulit keluar atau menerima mutasi ke
dinas lain.
Dengan demikian, kecenderungan dari pelaksana kebijakan
tidak memperlihatkan adanya dukungan yang memadai untuk
melaksanakan kebijakan implementasi AFTA dalam bidang per-
dagangan komoditas agro. Langkah yang paling mudah berdasar-
kan saran dari pertimbangan teoritis adalah dengan mengubah
sikap implementor melalui manipulasi insentif-insentif. Langkah
ini akan sangat berguna apabila kemudian memberikan akibat
positif kepada implementor dalam melaksanakan tugasnya.
Namun begitu, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
bukan merupakan dinas penghasil yang memiliki kewenangan
tinggi untuk mengeluarkan sejumlah dana kecuali melalui ajuan
proposal APBD. Bahkan proporsal tersebut menjadi satu dalam
pembahasan panitia anggaran eksekutif di bawah Sekretaris
Daerah dan Kepala Biro Keuangan Provinsi Jawa Barat.
Tentu saja, apabila muatan untuk manipulasi insentif
tersebut dicantumkan ke dalam APBD akan mendapat tolakan
yang tinggi dari Panitia Anggaran Legislatif dan Panitia Anggaran
Eksekutif (Biro keuangan di bawah Sekretaris Daerah) karena
122 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
dianggap sebagai sesuatu yang di luar kewajaran. Kondisi ini
justru akan menghambat dari implementasi kebijakan dimaksud.
Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan
kecederungan dari para pelaksana (disposisi), peneliti dapat
menginterpretasikan bahwa faktor kecenderungan dari para
pelaksana kebijakan tidak sedikitpun mengarah pada
kepentingan untuk keberhasilan implementasi kebijakan
kesepakatan AFTA. Berbagai situasi yang mengitari posisi Dinas
pelaksana implementasi kebijakan semakin mempersulit faktor
ini untuk dijadikan pendorong bagi pelaksanaan kebijakan
dimaksud. Dapat diinterpreatsikan bahwa disposisi tidak
menjadi pendukung implementasi AFTA bidang perdagangan
komoditas pertanian di Jawa Barat. Artinya, terbukti bahwa untuk
memanfaatkan faktor kecenderungan pelaksana (disposisi)
dalam pelaksanaan kebijakan kesepakatan tentang AFTA dalam
kerangka perdagangan komoditas pertanian tidak dapat
diwujudkan sebagaimana yang diharapkan.
Dari kondisi seperti demikian, peneliti memaknai bahwa
berpijak pada Gambar 4.8. perilaku pelaksana (disposisi)
implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian
di Jawa Barat baru pada tahap pengembangan sistem informasi
industri dan perdagangan yang meliputi pengembangan
jaringan informasi pusat data dan pengembangan sistem
informasi industri dan perdagangan. Namun, pengembangan
tahapan ini masih didominasi oleh kepentingan ego sektoral
masing-masing, belum terakomodasi dalam suatu sistem
keterpaduan pengembangan ekspor komoditi agro Jawa Barat.
Dengan kata lain, peneliti juga dapat menginterpretasikan
bahwa dari sudut pandang faktor kecenderungan dari para pelak-
sana (disposisi) sebagaimana yang tertuang dalam kajian teoritis,
123bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
implementasi AFTA perdagangan komoditas pertanian di Jawa
Barat belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan
sehingga belum mampu mendorong tercapainya daya saing
Jawa Barat di dalam menghadapi perdagangan bebas di
kawasan Asia Tenggara.
Struktur Birokrasi (Bueraucratic Structure)
Struktur birokrasi setingkat dinas di lingkungan peme-
rintahan Jawa Barat tidak berbeda dengan struktur birokrasi
dinas lainnya. Bahkan pembentukannya yang didasarkan Sistem
Organisasi dan Tata Kerja yang mendapat persetujuan dari DPRD
Provinsi Jawa Barat merupakan bentuk general yang biasa pada
lembaga teknis di lingkungan pemerintahan daerah. Dalam
struktur birokrasi dinas yang sudah baku tersebut terdapat
Standard Operating Procedures (SOP) yang bersifat rutin dan
dirancang atas dasar situasi tipikal yang terjadi di masa lalu.
Sifat dari SOP memang dimaksudkan untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang sama seperti yang pernah dihadapi di
masa lalu. Demikian halnya dengan Dinas Industri dan Perda-
gangan Agro Jawa Barat yang memiliki struktur organisasi mulai
dari Kepala Dinas, Kepala Sub-Dinas, Kepala Seksi, Kepala Bidang,
Kepala Tata Usaha sampai staf yang memiliki kekhususan di bawah
Kepala Sub-Dinas. Perlu disebutkan di sini bahwa Bendahara
Dinas, meskipun memiliki struktur tersendiri dalam jajaran
tugas/fungsi, akan tetapi struktur ini tidak dijabat oleh staf yang
memiliki eselon. Berdasarkan ketentuan SOTK Pemerintah
Daerah, fungsi dan pembagian struktur disamakan dengan
dinas-dinas lainnya yang ada di lingkungan pemerintah daerah.
Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya kesulitan
ketika terjadi persoalan yang menyangkut pada isu-isu kekinian
124 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
(contemporary issues). Sebagaimana sifat dari SOP yang didesain
dengan asumsi dari tipikal di masa lalu, maka ketika isu per-
dagangan bebas mengemuka dan mengharuskan penanganan
yang komprehensif, Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat hanya memiliki struktur birokrasi yang berorientasi pada
situasi di masa lalu. Hal tersebut semakin didukung pula oleh
pengisian staf yang tidak memiliki kemampuan dan pengalaman
memadai dalam struktur di Dinas tersebut.
Seperti telah dijelaskan dalam paparan mengenai sumber
daya manusia, personil yang duduk dalam jabatan eselon di
lingkungan Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat
tergolong personil yang tidak memiliki kualifikasi terhadap tugas
yang diemban. Belum lagi ada persepsi yang menempatkan posisi
di Dinas ini sebagai posisi terbuang. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa secara struktural dan personil birokrasi di Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat tidak memadai untuk
mendukung implementasi kebijakan AFTA bidang perdagangan
komoditas pertanian.
Tidak hanya itu, tuntutan untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan merupakan kondisi yang wajar dalam
organisasi modern. Sedangkan SOP bersifat menghambat
perubahan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan
dalam cara-cara yang rutin dari sutau organisasi, semakin besar
peluang Standard Operating Procedures menghambat jalannya
implementasi kebijakan. Dari observasi yang dilakukan terhadap
Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat juga ditemukan
kondisi yang sama. Tuntutan perubahan dari suatu kondisi pasar
bebas sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam AFTA
sangat dibutuhkan untuk dapat melaksanakan tugas
implementasi AFTA bidang komoditas pertanian di Jawa Barat .
Prosedur standar kerja yang ada di Dinas tersebut tidak memiliki
125bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan
perubahan yang bersamaan datangnya dengan kebijakan AFTA
itu sendiri. Beberapa keputusan mengenai jenis barang-barang
yang dimasukkan ke dalam kategori fast track yang membutuh-
kan penanganan cepat di lapangan tidak dapat dilaksanakan
oleh Dinas ini secara memadai.
Pertimbangan teoritis memang memungkinkan SOP
berguna kepada tuntutan perubahan. Akan tetapi kemungkinan
tersebut harus dipenuhi dengan syarat SOP yang dirancang
bersifat fleksibel dan memiliki kontrol yang memadai sehingga
mampu adaptif terhadap perubahan. Hanya saja, SOP sedemikian
itu biasa berada dalam struktur organisasi bisnis yang memiliki
orientasi keuntungan dalam kebijakannya. Sedangkan SOP yang
ada di Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat lebih
merupakan keseragaman yang terbentuk dari kondisi SOTK secara
umum. Untuk melakukan perubahan terhadap SOTK dibutuhkan
waktu yang cukup panjang dan berbagai liku-liku bernuansa
politik, sebab harus berhadapan dengan berbagai kepentingan
yang ada di lingkungan lembaga politik legislatif. Artinya, struktur
birokrasi yang menjadi kajian penelitian ini tidak fleksibel dan
tidak memiliki kontrol yang memadai sehingga dapat adaptif
terhadap tuntutan perubahan.
Di samping itu, apabila dilakukan pengkajian secara lebih
luas ditemukan bahwa struktur birokrasi di dalam pemerintahan
daerah Jawa Barat bersifat tumpang tindih fungsi. Masih terdapat
fungsi-fungsi yang memiliki kaitan erat akan tetapi strukturnya
tersebar dalam beberapa instansi yang berbeda. Fragmentasi ini
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian masalah-masalah
yang menyangkut beberapa unit kerja yang tersebar di berbagai
dinas. Sumber-sumber dan kewenangan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan masalah terdistribusikan dalam unit kerja yang
126 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
tidak dalam satu kepemimpinan sehingga keputusan yang akan
diambil akan menghadapi kesulitan ketika akan di mplementasikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di tingkat
Dinas dimaksud, sebuah keputusan untuk memberikan izin kepada
suatu lembaga/badan usaha agro untuk melakukan pengembangan
usaha masih harus berurusan dengan Dinas Industri dan Perdagangan
induk mengenai Surat Izin Tempat Usahanya (SITU). Contoh ini
memberikan bukti bahwa penyebaran tanggung jawab terhadapsuatu
wilayah kebijakan yang tersebar di beberapa unit kerja yang berbeda
memberikan kesulitan dalam implementasi kebijakan tentang AFTA.
Fragmentasi ini semakin menghambat implementasi AFTA bidang
perdagangan komoditas pertanian di Jawa Barat ketika munculnya
merupakan tekanan dari pihak legislatif, kelompok kepentingan atau
pejabat eksekutif yang kesemuanya bermakna tidak mendukung
implementasi kebijakan.
Belum lagi adanya pengaruh antar faktor SOP dan
Fragmentasi yang bisa menimbulkan keinginan yang destruktif
terhadap struktur birokrasi Dinas Industri dan Perdagangan Agro Jawa
Barat. Adanya keinginan untuk melikuidasi Dinas Industri dan
Perdagangan Agro kembali ke induknya semula adalah merupakan
tandatanda ke arah pengaruh langsung dari kedua faktor tersebut.
Dalam hal ini muncul kepentingan dari kelompok tertentu yang
mendapat dukungan dari pihak legislatif untuk mengembalikan Dinas
ini kepada Dinas induknya. Kondisi tersebut semakin mempersulit
upaya implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian
di Jawa Barat. Artinya, secara struktural pemerintah daerah tidak siap.
Sebab isu keinginan untuk mengembalikan Dinas implementor kepada
Dinas induknya sudah cukup menciptakan suasana tidak kondusif bagi
lingkungan kerja staf di Dinas tersebut. Sangat wajar apabila para
127bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
pelaku ekonomi mengeluhkan pelayanan yang bisa diberikan
oleh Dinas Industri dan Perdagangan Agro terhadap berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan usaha mereka. Hal ini
dikarenakan struktur birokrasi yang terlihat menjadi peng-
hambat dalam implementasi kesepakatan perdagangan bebas
ASEAN terutama pada bidang perdagangan komoditas pertanian.
Dari keseluruhan paparan di atas yang berkenaan dengan
faktor struktur birokrasi, peneliti dapat menginterpretasikan
bahwa struktur birokrasi yang ada sekarang hanya bertumpu
terlalu mengandalkan pada satu institusi teknis yakni Dinas
Industri dan Perdagangan Agro Jawa Barat untuk menangani
keseluruhan permasalahan implementasi AFTA bidang
komoditas pertanian di Jawa Barat.
Struktur birokrasi di Propinsi Jawa Barat perlu untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang ada.
Secara teoritik, lingkungan yang terdiri dari lingkungan ekonomi,
sosial, dan politik akan berpengaruh terhadap keberhasilan
dalam implementasi kebijakan Sebagai konsekuensinya,
organisasi dituntut mampu menunjukkan kinerja atau prestasi
kerja yang baik menghadapi atau memenuhi tuntutan
perubahan-perubahan tersebut.
Untuk kondisi implementasi AFTA bidang komoditas
pertanian di Jawa Barat struktur birokrasi perlu untuk
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang ada antara
lain melalaui perubahan struktur organisasi yang lebih dinamis
karena lingkungan strategis perdagangan agro di kawasan Asia
Tenggara sudah berubah secara dinamis. Dengan kata lain, peng-
kajian ulang terhadap keberadaan struktur birokrasi di Peopinsi
Jawa Barat saat ini perlu dilakukan agar struktur birokrasi tersebut
andal dan adaptif dengan perubahan lingkungan perdagangan
agro dalam kerangka AFTA di kawasan Asia Tenggara.
128 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Peneliti dapat menginterpretasikan bahwa dari sudut
pandang faktor struktur birokrasi sebagaimana yang tertuang
dalam kajian teoritis, implementasi AFTA perdagangan
komoditas pertanian di Jawa Barat belum berlangsung
sebagaimana yang diharapkan, sehingga belum mampu
mendorong tercapainya daya saing Jawa Barat di dalam
menghadapi perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara.
Implikasi Kebijakan
Lebih lanjut, berdasarkan hasil elaborasi wawancara
dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan
implementasi AFTA bidang perdagangan komoditas pertanian
di Jawa Barat dari tingkat nasional sampai dengan tataran para
petani, terdapat pemikiran yang berkenaan dengan implikasi
kebijakan sebagai berikut:
Terdapat beberapa implikasi kebijakan yang kiranya perlu
diambil oleh setiap pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya
Jawa Barat, dalam upaya membangun dan atau mengembangkan
kerjasama dengan luar negeri. Pertama, pembangunan pangkalan
data yang komprehensif dan berstandar imernasional tentang
potensi-potensi lokal apa saja yang dimiliki oleh Jawa Barat.
Kedua, menentukan skala prioritas antisipasi terhadap agenda
hubungan internasional yang mendesak dan dalam waktu
beberapa tahun lagi (immediate years) harus segera di kuti oleh
bangsa Indonesia, termasuk Propinsi Jawa Barat. Ketiga, dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, perlu dikaji
kemungkinan adanya pembangunan struktur baru di tingkat
pemerintahan Propinsi, termasuk Jawa Barat. Keempat, pengem-
bangan mekanisme diplomasi publik melalui sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik, dan kelima yaitu prosedur umum
129bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
pengembangan kerjasama daerah Jawa Barat dengan luar negeri
yang berbasis kebutuhan publik (public needs).
Pembangunan Data Base Potensi Lokal
Salah satu faktor yang sangat mendesak untuk dikaji dalam
proses membangun kerjasama daerah Jawa Baratn dengan luar
negeri di era otonomi daerah adalah pembangunan pangkalan
data (data base) potensi daerah Jawa Barat yang berstandar
internasional sesuai aturan dalam World Intelectual Property Rights
Organization (WIPO). Hal ini mutlak segera dibangun terutama
untuk perlindungan terhadap hak komunal (adat dan lokal) atas
kepemilikan intelektual, dimana saat ini mulai ramai diperbincang-
kan dalam berbagai pertemuan dan diskusi. Upaya ini perlu
dilakukan sebagai usaha untuk melindungi kekayaan intelektual
mereka dalam interaksi dengan masyarakat global, terutama
sejalan dengan kesepakatan bersama di antara negara-negara
WTO (World Trade Organization) yang mengatur berbagai faktor
intelectual property rights dalam dunia perdagangan (Trade Related
on Intel ectual Property Rights/TRIPs).
Gagasan-gagasan yang terkandung dalam Trade Related
on Intelectual Property Rights TRIPs) orientasinya bersifat individual
dan bercorak privatisasi. Ide dasar IPRs itu lebih menekankan
pada hak yang berkaitan dengan hukum benda yang tangible. Di lain
pihak, dalam masyarakat tradisional dan lokal yang menjadi
pedoman komunitas mereka adalah kepatuhan terhadap pim-
pinan adat dengan dukungan hukum adat. Dalam hukum adat di
Nusantara ini yang paling utama adalah keterikatan hubungan
antara tanah dengan manusia. Artinya, pengaturan kekayaan
intelektual tradisional dan lokal tidak hanya memperlakukan
benda sebagai benda, tetapi juga benda itu berkaitan dengan
130 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
tanah, yang erat kaitannya dengan wilayah geografis. Dengan
kata lain, paradigma yang dianut oleh masyarakat tradisional dan
lokal tersebut berbeda dengan paradigma yang dianut IPRs
selama ini.
Maka itu, pembangunan pangkalan data potensi lokal
mutlak diperlukan terutama sebagai alat kontrol bagi daerah-
daerah di indonesia apabila suatu ketika menghadapi
perselisihan yang berkaitan dengan TRIPs. Dewasa ini baru dua
negara yang mempunyai pangkalan data yang lengkap dan
komprehensif yakni negara India dan Brasil. Padahal keberadaan
pangkalan data ini dapat dijadikan sebagai suatu amunisi apabila
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berselisih
dalam konteks TRIPs dengan negara-negara maju.
Misalnya saja ada peluang terjadi perselisihan dengan pi-
hak asing/luar negeri apabila masyarakat Desa Cilembu,
Kabupaten Sumedang akan mengekspor produk unggulannya
yakni Ubi Manis Cilembu secara besar-besaran dan professional
bisnis sebab dewasa ini hak paten produk ubi manis (sweet
potatoes) sudah dimiliki oleh salah satu perusahaan asing di luar
negeri.
Pemikiran di atas perlu menjadi peringatan dini untuk
mempersiapkan Jawa Barat go international khususnya dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa intemasional yang dalam waktu
dekat harus di kuti oleh bangsa Indonesia, misalnya yaitu
implementasi Bogor Declaration (Deklarasi Bogor) 20 10 bagi
negara-negara anggota APEC.
131bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Skala Prioritas Agenda Hubungan Luar Negeri
Sesuai dengan namanya Deklarasi Bogor itu ditetapkan
di Kota Bogor, Indonesia. Sesuai dengan kesepakatan Deklarasi
Bogor, mulai tahun 2010 negara-negara ASEAN akan dapat
memanfaatkan preferensi atas dasar Most Favoured Nations (MFN)
dari negara-negara maju yang tergabung dalam APEC yang akan
mulai meliberalisasikan perdagangannya pada tahun 2010.
Sesudah itu, mulai tahun 2020, negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia, harus memberikan preferensi penuh (baca: membuka
penuh pangsa pasarnya) atas dasar MFN kepada negara-negara
lain, termasuk kepada negara-negara maju anggota APEC.
Secara bersamaan pada tahun 2020 akan berlaku juga
One World Trade (satu perdagangan dunia) oleh WTO serta akhir
penerapan dari ASEAN Vision 2020. Pada tahun 2010 juga ada
kemungkinan pengaturan ketat dari WIPO (World Intelectual
Property Rights Organization) akan mulai diimplementasikan dan
mencapai puncaknya pada tahun 2020 ketika saat itu sudah
tercipta satu pasar dunia.
Permasalahannya kini adalah sudah siapkah Pemerintah
Pusat Indonesia, termasuk Pemerintahan tingkat Propinsi Jawa
Barat memasuki peluang dan tantangan di atas? Yang paling
mendesak adalah persiapan dalam menghadapi implementasi
Oeklarasi Bogor tahun 2010. Dari pengamatan peneliti, India dan
empat negara ASEAN yaitu Singapura, Thailand, Malaysia, dan
Vietnam yang sudah jauh-jauh hari siap-siap untuk menikmati
kemudahan (preferensi) liberalisasi perdagangan yang akan
diberikan oleh negara-negara maju anggota APEC mulai tahun
2010. Jaringan mereka sudah dibangun sampai ke tingkat
daerah-daerah dengan dukungan teknologi dan informasi yang
adikuat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasionalnya
masing-masing.
132 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Struktur Baru: Biro Kerjasama Luar Negeri di Setda Propinsi Jawa
Barat Mengkaji begitu luas dan kompleksnya peluang dan
tantangan yang dihadapi serta dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan publik, tampaknya sudah saatnya para elit
pemerintahan di tingkat Propinsi Jawa Barat membuka wacana
pembentukan struktur baru di Sekretariat Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Barat yaitu Biro Kerjasama Luar Negeri.
Biro Kerjasama Luar Negeri ini mungkin paling tidak
terdiri dari empat bagian yaitu Bagian Kerjasama Bilateral, Bagian
Kerjasama Regional dan Multilateral, Bagian Administrasi
Kerjasama, dan Bagian Humas dan antar Lembaga. Diharapkan
keempat bagian ini dapat terintegrasi secara sinergis dalam
menjadi aparat pemerintah terdepan dalam upaya
pemberdayaan potensi daerah dalam membangun kerjasama
dengan luar negeri sekaligus peningkatankualitas pelayanan
publik.
Struktur baru ini juga menuntut peningkatan
keterampilan dan kompetensi aparat pemerintah, misalnya saja
pengetahuan tentang hubungan internasional, ekonomi-politik
internasional, hukum internasional, dan keterampilan bahasa
asing akan menjadi sangat penting dalam negosiasi
internasional dan dalam setiap forum yang menuntut pengertian
tentang sistem dan kerangka pemikiran kebijakan negara lain.
Diharapkan dengan makin meningkatnya pengetahuan
dan keterampilan aparat pemerintah daerah yang terlibat dalam
pengelolaan hubungan luar negeri, maka upaya membangun
kerjasama luar negeri dalam rangka pemberdayaan potensi
daerah dapat secara maksimal didayagunakan.
133bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
Pengembangan Mekanisme Diplomasi Publik melalui
Sistem Pelayanan Informasi Pemberdayaan Publik
Ini merupakan sebuah model dengan gambaran sebagai
berikut :
a. Diplomasi publik dilaksanakan melalui aspek people-to- people
contact atau interaksi antara kelompok swasta dan
kepentingan suatu negara dengan kelompok swasta dan
kepentingan negara lain.
b. Merupakan konsep untuk mengaktualisasikan potensi
aktor non-negara yang berupa kekuatan, kemampuan
Organisdasi non-pemerintah atau kelompok masyarakat,
merevitalisasi kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan
kegiatan diplomasi publik.
c. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan
yaitu proses yang menekankan kepada pemberian atau
pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau
kemampuan kepada masyarakat agar menjadi lebih
berdaya, dan proses menstimulasi, mendorong, atau
memotivasi agar masyarakat mempunyai kemampuan
untuk memberdayakan diri.
d. Pemberdayaan dimaksudkan untuk memecahkan masalah
sebagai tantangan yang harus dihadapi di bidang
legitimasi politis, legalitas, keberlanjutan finansial,
kompotensi profesionalitas, dan kredibilitas sosial
LSM/NGO sebagai aktor non-negara.
e. Pemberdayaan aktor dari LSM/Ornop sebaiknya terarah
dan disinergikan dengan rencana strategis pemerintah
pusat/daerah yang telah merumuskan strategi diplomasi.
Terkait dengan masalah tersebut, maka LSM/Ornop
bahkan kompetensi personal harus diberdayakan.
134 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Unsur-unsur non-pemerintah yang terlibat dalam
diplomasi, terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan
berkenaan dengan kebutuhan akan kompetensi diplomasi
publik di masa yang akan datang.
Prosedur Umum Pengembangan Kerjasama Daerah Jawa
Barat dengan Luar Negeri yang Berbasis Kebutuhan Publik
(Public Needs). Implikasi kebijakan poin ke-empat diatas sangat
erat kaitannya dengan upaya pengembangan kerjasama daerah
Jawa Barat dengan luar Negeri, khususnya pengembangan
kerjasama daerah Jawa Barat dengan negara-negara anggota
ASEAN di bidang perdagangan komoditi agro. Hal itu selaras
dengan implementasi kebijakan publik yang berbasis kebutuhan
publik karena program-program yang dikerjasamakan sudah
terlebih melalui proses bottom-up planning yang terintegrasi
melibatkan Government to Government (Local Governments),
Business to Business, dan People to People contacts).
Pada tahap ini pengembangan kerjasama daerah Jawa
Barat dengan luar negeri sudah memiliki panduan kebijakan
publik yakni Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004
tentang Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri. Dalam Keputusan Gubernur tersebut dinyatakan bahwa
inisitaif kerjasama daerah Propinsi Jawa Barat dalam melakukan
kerjasama luar negeri harus melalui prosedur umum sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlalu antara lain:
1. Dalam perencanaan setiap kegiatan Hubungan dan atau
Kerjasama Luar Negeri, pihak pembuat inisiatif Hubungan
dan atau Kerjasama Luar Negeri perlu menyiapkan
Rencana Program yang sekurang-kurangnya memuat
uraian mengenai hal-hal sebagai berikut:
135bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
a. Identitas, status dan kedudukan hokum pihak-pihak
Pelaku Hubungan atau Kerjasama;
b. Latar belakang kebutuhan, maksud, dan tujuan
pembinaan Hubungan/Kerjasama;
c. Objek dan atau Bidang atau sub-bidang kerjasama;
d. Ruang lingkup kerjasama berdasarkan kewenangan
daerah;
e. Hak, kewajiban dan tanggungjawab utama para pihak
dalam kerjasama;
f. Pengorganisasian dan tata cara pelaksanaan kerjasama;
g. Rencana, hak dan kewajiban dalam pembiayaan;
h. Jangka waktu kerjasama;
i. (Bila dianggap perlu) Hal-hal lain yang umumnya harus
disepakati di dalam Perjanjian atau Kontrak, seperti
misalnya:
1) perumusan hak dan tanggungjawab para pihak dalam
menghadapi keadaan memaksa, perubahan kondisi
dan situasi pada saat pelaksanaan kontrak;
2) kesepakatan para pihak tentang prosedur
penyelesaian sengketa;
3) kesepakatan mengenai kemungkinan perubahan ter
hadap persyaratan kerjasama;
4) jangka waktu berlangsungnya kerjasama;
5) kondisi-kondisi dan persyaratan pemberlakuan kerjasama.
2. Program Hubungan dan atau Kerjasama Luar Negeri dapat
dilakukan berdasarkan prakarsa dari:
a. Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota);
b. Pelaku hubungan luar negeri lainnya di daerah;
c. Pihak asing.
136 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
3. Prakarsa Hubungan dan atau Kerjasama Luar Negeri yang
diselenggarakan atas dasar prakarsa Pemerintah Daerah
dan atau Pelaku Kerjasama Luar Negeri lainnya di Daerah
dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Pihak pemrakarsa (dalam hal ini Kepala Daerah)
mengirimkan Rencana Program Kerjasama kepada
Pemerintah, serta mengajukan permohonan
penyelenggaraan rapat koordinasi yang dihadiri oleh
Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri,
dan Departemen atau Lembaga lain di tingkat
Pemerintah Pusat yang terkait dengan Rencana
Program, dan Gubernur (untuk Rencana Program yang
ada dalam kewenangan Propinsi) atau Bupati/ Walikota
yang terkait (untuk Rencana Program yang ada dalam
kewenangan Kabupaten/Kota);
b. Dalam hal pihak pemrakarsa program Hubungan/
Kerjasama Luar Negeri adalah Pelaku Kerjasama lain
selain Kepala daerah, maka pihak pemrakarsa harus
terlebih dahulu menyampaikan Rencana Program
kepada Kepala daerah di wilayah rencana tempat
pelaksanaan program;
c. Dalam hal Rencana Program tersebut menyangkut
kepentingan masyarakat banyak, maka Rencana
Program tersebut harus terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
d. Kepala Daerah sebelum menyampaikan kepada
Pemerintah Pusat, berkonsultasi dan berkoordinasi
dahulu tentang Rencana Program yang telah dibuat
kepada Propinsi;
137bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
e. Kepala Daerah kemudian meneruskannya kepada
Pemerintah Pusat sesuai pada butir a di atas;
f. Kepala daerah mengadakan rapat dengan mengundang
Departemen Dalam Negeri, departemen Luar Negeri
dan Departemen atau Lembaga lain yang dimaksud
dalam butir a, untuk membicarakan Rencana Program.
Sebelum dan sesudah penyelenggaraan rapat
konsultasi dan koordinasi, pihak Kepala daerah dapat
melakukan komu nikasi resmi melalui surat menyurat
dengan Departemen Dalam Negeri dan atau
Departemen Luar Negeri dan atau Departemen?
lembaga lain yang terkait;
g. Departemen Luar Negeri akan memberikan masukan
dan petunjuk kepada Kepala daerah mengenai
hubungan luar negeri sesuai dengan kebijakan luar
negeri Indonesia. Departemen Luar Negeri juga akan
berperan sebagai fasilitator dalam mengkomunikasikan
Rencana dan Pelaksanaan Kerjasama dengan
perwakilan diplomatik dan konsuler pihak asing di
Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di
luarnegeri;
h. Departemen Dalam Negeri akan memberikan masukan
dan petunjuk kepada Kepala Daerah mengenai aspek-
aspek kewenangan daerah, masalah-masalah
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, aspek pelaksanaan
dan pengawasan internal serta pembiayaan;
I. Departemen atau Lembaga Pemerintah Pusat lain yang
terkait memberikan masukan dan petunjuk mengenai
subtansi kerjasama dan korelasi serta konsistensinya
dengan perencanaan pembangunan nasional dalam
bidang yang dikerjasamakan;
138 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
j. Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan
yang diperoleh dari kegiatan koordinasi dan konsultasi,
Departemen Luar Negeri akan memberikan keputusan
final untuk menyetujui, menyetujui dengan catatan,
atau menolak--menyetujui perubahan status Rencana
Program menjadi Program Hubungan/Kerjasama Luar
Negeri. Persetujuan Departemen Luar Negeri
dibuktikan dengan penerbitan Surat Kuasa penuh (Full
Powers) oleh Menteri Luar Negeri kepada Kepala daerah
untuk membuat kesepakatan kerjasama dengan pihak
luar negeri dalam bentuk Perjanjian Internasional dan
atau Kontrak Internasional.
Dengan kata lain upaya pembangunan kerjasama daerah
Jawa Barat dengan luar negeri dalam kaitannya dengan
perdagangan agro dalam kerangka AFTA bertumpu pada pola
bottom-up planning. Hal itu dikarenakan pada tahap awal
pembangunan kerjasama daerah dengan luar negeri proses uji
kelayakannya berada pada persetujuan Kepala Daerah yang
bersangkutan (lihat Gambar 4.3.). Secara demikian diharapkan
setiap implementasi kebijakan yang berkenaan dengan proses
pembangunan kerjasama daerah dengan luar negeri akan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan ma syarakat setempat.
139bab 4 - MENGUKUR KESIAPAN JAWA BARAT
140 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Pra
kars
a d
ari
Eks
eku
tif
Daera
h
Pra
kars
a
dari
Pih
ak
Luar
Neg
eri
Uji
Kela
yaka
n
un
tuk
Men
dap
atk
an
Pers
etu
juan
Kep
ala
Daera
h
Dit
ola
k
Dis
etu
jui
Kep
ala
Daera
h
Berk
on
sult
asi
dan
Berk
oo
rdin
asi
den
gan
Pro
pin
si
Dis
am
paik
an
ke p
em
eri
nta
h
Pu
sat
Dis
ert
ai P
erm
oh
on
an
Pen
yele
ng
gara
an
Rap
at
Ko
ord
inasi
dan
Ko
nsu
ltasi
yan
g D
ihad
iri o
leh
Dep
dag
ri,
Dep
lu, D
ep
/Lem
lain
di Tin
gka
t P
usa
t ya
ng
Terk
ait
, dan
Kep
ala
Daera
h.
Rap
at
Ko
ord
inasi
dan
Ko
nsu
ltasi
Hasi
l
Rap
at
Dit
ola
k
Dis
etu
jui
Dis
etu
jui d
en
gan
Cata
tan
Dit
ola
k
Dis
etu
jui
Peru
bah
an
Su
rat
Ku
asa
(Fu
ll P
ow
ers
)
dari
Men
teri
Luar
Neg
eri
kep
ad
a
Kep
ala
Daera
h
Kep
ala
Daera
h
Mem
bu
at
Kese
paka
tan
Kerj
asa
ma
den
gan
Luar
Neg
eri
Ko
ntr
ak
Inte
rnasi
on
al
Perj
an
jian
Inte
rnasi
on
al
Ren
can
a
Pro
gra
m
12
3
Gam
bar
4.3
BA
GA
N A
LIR
TA
TA
CA
RA
UM
UM
HU
BU
NG
AN
DA
N K
ER
JASA
MA
LU
AR
NEG
ER
I
INIS
ITA
TIF
PEM
ER
INTA
H D
AER
AH
DA
N P
ELA
KU
HU
BU
NG
AN
LU
AR
NEG
ER
I D
I D
AER
AH
Abdulah, Syukur. 1991. Budaya Birokrasi di Indonesia. Jakarta:
PT. Pustaka Utama Grafiti.
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap
Keragaman Industri Gula Indonesia: Suatu A nalisis
Kebijakan. Disertasi, tidak dipublikasikan. Bogor: Program
Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor.
Abimanyu, A 1995. Liberalisasi Perdagangan dan Biaya
Lingkungan. dalam Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan
dan Kemiskinan. Soetrisno, L. dan F. Umaya (Editor).
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Amang, B. dan M.H. Sawit. 1997. Perdagangan Global dan
Implikasinya pada Ketahanan Pangan Nasional. Agro-
Ekonomika No. 2 Tahun XXVII: 1-14. Jakarta: Perhepi.
Anderson, James E. 1984. Public Policy and Politics in America.
California: Wadsworth, Inc. Belmont.
Anderson, James E. 1997. Public Policy Making. New York : Holt,
Rinehart and Winston.
Anugerah, I. S. 2003. ASEAN Free Trade Area (AFTA), Otonomi
Daerah dan Daya Saing Perdagangan Komoditas
Pertanian Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Volume 21 (1).
Juli 2003. Bogor: Puslilbang Sosial Ekonomi Pertanian.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Daftar Pustaka
141DAFTAR PUSTAKA
142 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Atmosudirdjo, Prajudi S. 1976. Beberapa Pandangan Umum
tentang Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Bank Dunia. 2004. Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A
Framework for Policy and Action, Second ed., East Asia
and Pacific Region Infrastructure Development,
Washington, D.C. and Jakarta.
Bank Dunia. 2005, “Averting an Infrastructure Crisis”,
Infrastructure Policy Brief, January, Jakarta.
Bappenas. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004-2009. Jakarta
Bel one, Carl J. 1980. Organization Theory and the New Public
Administration, Boston: Al yn and Bacon Inc.
Bennet. 1984. International Organization. New York: McGraw
Hill .
BPS, BAPPENAS dan UNDP. 2001, Menuju Consensus Baru.
Demokrasi dan Pembangunan manusia di Indonesia,
Laporan Pembangunan Manusia 2001, Oktober, Jakarta:
Biro Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional dan United Nations Development Programme.
BPS, Bappenas dan UNDP. 2004. The Economics of
Democracy, Indonesia Human Development Report 2004,
Jakarta.
Brian W Hogwood and Lewis A. Gunn, 1984. Policy Analysis For
The Real World. New York : Oxford University Press.
Bromley Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions. The
Conceptual Foundations of Public Policy. Great Britain:
Book craft (Bath) Ltd.
Budiono. 2001. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Badan
Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada.
Bungin, Burhan (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif:
Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Carl U Patton and David S Sawacki. 1985. “ Basic Methods Of
Policy A nalysis and Planning”. New Jersey : Prentice Hal
InternationalInc, 1985.
Chacholiades, M. 1978. International Trade Theory and Policy.
NewYork: McGraw Hil .
Chadwich, Bruce A., Howard M. Bahar, Stan L. Albrecht. 1988.
Social Research Methods. Englewood cliffs, New Jersey:
Prentice-Hal .
Chaves, R.E., J.A. Frankel dan R.W. Jones. 1993. World Trade
and Payments. An Introduction. Sixth Edition. New York:
Harper Collins.
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. From Adam
Smith to Michael Porter. Evolusi Teori Daya Saing,
Jakarta: Salemba Empat.
Creswel , John W. 1994. Research Design: Qualitative and
Quantitative Approaches. California: Sage Publications.
Crozier, Michael. 1964. The Bureaucratic Phenomenon.
London: Tavistock publication.
Daniels, John D. dan Radebaugh, Lee H. 1989. International
Business, Environments and Operation, Edisi ke 5,
Addison-Wesley Publishing Company.
David L. Weiner and Aidan R. Vinning. 1989. Policy Analysis :
Concepts and Practice. New Jersey : Prentice Hal Inc.
Davis, Keith & John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam
Organisasi. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
Dollar, David dan E.N. Wolf. 1993. Competitiveness, Convergence,
and International Specialization, Cambridge, Mass.: the
MIT Press
143DAFTAR PUSTAKA
Doz, Yves L. dan C.K. Prahalad. 1987. Multinational Mission,
New York: The Free Press.
Dunn, Wil ian N. 1995. Public Policy Analysis. New Jersey:
Prentice Hal International Inc.
Dye Thomas R. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey:
Englewood Cliffs.
Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy.
Washington D.C.: Congressional Quarterly Press.
Edward III, George C. and Sarkansky. 1980. The Policy
Predicament. San Francisco: W.H. Freeman and
Company.
Erwidodo dan P.U. Hadi. 1999.Effects of Trade Liberalization on
Agricultureure in Indonesia: Commodity Aspects. The
CGPRT centre. Working Paper No 48.
Erwidodo. 1999. Effects of Trade Liberalization on Agriculure in
Indonesia: Institutional and Structural Aspects. The
CGPRT Centre. Working Paper No 41.
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern (Modern
Organizations). Terjemahan Suryatin. Jakarta: UI Press.
FAO, 2003. Anti-Hunger Programme. A Twin Track Approach to
Hunger Reduction: Priorities for National and International
Action.
Farnham, Davis and Sylvia Norton, 1993, Managing in New
Public Service. London: Mc. Millans Press.
Feridhanusetyawan, T and M. pangestu, 2003. Indonesian
Trade Liberalization: Estimating The Gains. Buletin of
Indonesian Economic Studies, Volume 29 (1). 2003.
Feser and Bergman. 2000. Industrial Cluster. New York:
McGraw Hil .
144 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Feser. 2001. Cluster Analysis. New York: McGraw Hil .
Finer, Herman. 1960. The Theory and Practice of Modern
Government. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Fitzsimmons, James A & Mona. J. Fitzsimmons, 1994.
Service Management for competitive Advantage. New
York: Mc GrawHil Inc.
Gannon, Marti J. 1979. Organizational Behavior : A Managerial
and Organizational Perspective. Toronto: Little Brown and
Co.
Gasperz, Vincent, 1997, Management Kualitas ; Penerapan
konsep kualitas dalam Manajemen Bisnis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
George C Edward I I, “Implementing Public Policy“, Washington :
Congressional Qua rtely Press, 1980.
Gibson, L. James, John. M. Ivancevich, & James H. Jr., Donel y.
1986. Organisasi – Perilaku, Struktur, Proses. Terjemahan
Jorban Wahid. Jakarta: Erlangga.
Gibson, L. James. 1984. Organization and Management. New
York: Mc. Graw-Hil .
Goodal , Merril . 1975. Bureaucracy and Bureaucrats. Bepal:
Experience
Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in
the Third World. New York: Princeton University Press.
Grossman, G.M. dan E. Helpman. 1993. Innovation and Growth
in the Global Economy, Cambridge, Mass.: the MIT Press
Gwartney,
James D. dan Stroup, Richard. 1980. Economics : Private and
Public Choice. New York: Academic Press.
145DAFTAR PUSTAKA
146 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Hamdy, H. 2000. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan
Perdagangan Internasional. Buku Kesatu. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Harrison, Ford. 1992. Industrial Cluster. New York: Mc Graw Hil .
Heady, Farrel. 1991. Empowerment : The Politic of
Alternative Development. Massachusetts: Blackwel
Published.
Henry, Nicholas. 1995. Administrasi Negara dan Masalah-
masalah Publik. Terjemahan Luciana D. Lontoh. Jakarta:
PT. Raja Garfindo Persada.
Hermanto. 2002. Perspektif Implementasi Kebijakan Stabilisasi
Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakaya Ketahanan
Pangan Pasca BuIog. Badan Bimas Ketahanan Pangan,
Departermen Pertanian, Jakarta, 22 November
Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard, & Dewey E. Johnson.
1995. Manajemen Perilaku Organisasi : Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia. Terjemahan Agus Dharma.
Jakarta: Erlangga.
Hidayat dan Sucherly. 1986. Peningkatan Produktivitas
Organisasi Pemerintah dan Pegawai Negeri, Kasus
Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hodge, Grame, 1993, Minding Everybody's Business
Performance Management in Public Sector Agency,
Public Sector. Sydney: Management Institute. Monasti
University.
Hoogerwerf, A. 1983. . Jakarta: Erlangga.
Hoogwood, Brian W., and Lewis A. GunIlmu Pemerintahann.
1986. Policy Analysis for the Real World. Princeton:
Princeton University Press
Howlet, Michael and M. Ramesh. 1995. Studying Public Policy:
Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford: Oxford
University Press.
147
Hughes,Owen, 1998, Public Management & Administration.
Chipenham: Antony Rowe Ltd.
Husaeni, Martani. 1993. Penyusunan Strategi Pelayanan Prima
dalam Suatu Perspektif Reengineering, dalam Bisnis dan
Birokrasi. Jakarta: Erlangga.
Ibrahim, Budi. 1997. Total Quality Management, Panduan Untuk
Menghadapi Persaingan Global. Jakarta: Djambatan.
Ilham, Nyak. 2003. Dampak Liberalisasi Ekonomi Terhadap
Perdagangan dan Kesejahteraan Negara-Ngara di
Dunia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, XI (2) 2003.
L1PI. Jakarta.
Indrawati, S.M. 1995. Liberalisasi dan Pemerataan dalam
Liberalisasi Ekonomi, Pemerataan dan Kemiskinan.
Soetrisno, L.dan F. Umaya (Editor). Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya.
Indrawijaya, Adam. 1989. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar
Baru.
Irfan Islamy, “ Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara “,
Jakarta : Bina Aksara, 1984.
ISEI. 2005. Rekomendasi ISEI. Langkah-Langkah Strategis
Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia.
Islamy M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jabra, Joseph. G & Dwivendi OP. 1993. Public Service
Accountability, A. Comprehensive Perpective. New York:
Kumarian Press Inc.
Jenkins Smith, 1990. Democratic Politics and Policy Analysis:
California: California Publishing Company.
Jenkins, W.I., 1970. Policy Analysis : A Political and Organizational
Perspective. New York : ST. Martin Press.
DAFTAR PUSTAKA
148 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Jones, Charles O. 1994. Study of Public Policy. Belmont,
California: Wadsworth Inc.
Kaniya, M. 2002. 1990s: A DecacIe for AgricuturaJ Poley Reform
in Japan- Breakaway from the Postwar Policies. Food and
Agricultural Policy Research Center, Tokyo daIam Hadi, et
aI.2003. Dampak Implementasi Perdagangan Bebas
AFTA-2003 Terhadap Pertanian Indonesia. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengem¬bangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kariyasa. K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan
Harga Dasar serta Implikasinya Terhadap Daya Saing
Beras Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan
Pertanian Vol 1(4). Desember 2003. Puslilbang SOsial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kast , Fremont & Rosenzweig , James E. 1985.
Organization and Management : A Systemic and
Contingency Approach. New York: Mc. Graw-Hil Book
Company.
Kerlinger, Fred N, Elazar J. Pedhazur. 1987. Foundation of
Behavioral. New York: Research Half Rinehard and
Wington.
Kevitt, Davit, 1998, Managing core Public Service. London:
Black Wel Publisher.
Kindleberger, C.P. and P.H. Underl. 1978. International
Economics. Six Edition. Il inois. Richard D. Irwin. Inc.
Kompas. 2006. “Paket Kebijakan Infrastruktur”, Bisnis &
Keuangan,Sabtu, 18 Februari, hal. 17.
Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak, dan Suvit Maesincee. 1997.
Pemasaran Keunggulan Bangsa, Jakarta: PT
Prenhalindo.
Kotler, Philip. 1991. Marketing Management, Analysis, Planning,
Implementation & Control. London: Prentice Hal
International Edition.
149
Kotler, Philip. 1994. Manajemen Pemasaran, Analisis,
Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian.
Terjemahan Supranto. Jakarta: Prentice Hal Edisi
Indonesia.
Kristiadi, J.B. 1998. Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam
Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan, Pembangunan
Administrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Kristiadi, JB. 1998. Pemberdayaan Birokrasi dalam
Pembangunan. Jakarta: Sinar Harapan.
Krugman, P.R. 1988, “Introduction: New Thinking about Trade
Policy”, dalam Krugman, P.R. dkk. (ed.), Strategic Trade
Policy and New International Economics, Cambridge,
Mass.: the MIT Press
Krugman. 1991. International Trade. New York: Mc Graw Hil
Book Company.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara.
Jakarta: Rajawali.
La Palombara. 1967. Bureaucracy and Political Development.
New Jersey: Princeton University Press.
Lane. 1993. The Public Sectors, Concepts, Models, and
Approaches. Prentice Hal , Inc. New Jersey.
Luthans, Fred. 1992. Organization Behavior. Tokyo: Mc.
Graw Hill. Marx. 1996. Administrasi Birokrasi dan Pelayanan
Publik. Terjemahan Supriatna. Jakarta: Nimas Multima.
Maxwel , S. and T.R. Frankenberger. 1992. Household Food
security: Concepts, Indicators, Measurement. A Technical
Review. Jointly Sponsored by United Nation Children's
Fund and International Fund for Agricultural Development.
Mazmanian, Daniel A., and Paul A. Sabatier. 1983.
Implementation and Public Policy. Ilinois: Scoot,
Foresman and Company. Milles, Mathew B. and A.
Michael Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis.
California: Sage Publications Inc.
DAFTAR PUSTAKA
150 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Moleong Lexy J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Muhadjir, Noeng. 1990. Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif:
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nasikun. 1997. Proses Perubahan Sosial dan Pembangunan
Nasional. Jakarta: Bulan Bintang.
Newman, Lawrence W. 1997. Social Research Methods:
Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn
and Bacon Co. Needham Heights.
Osborne, David & Ted Gabler, 1992, Reiventing Government,
New York: A Wiliam Patrick Book.
Osborne, David and Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi : Lima
Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Tejemahan.
Jakarta: Pendidikan Prasetya Mulya.
Pakpahan, Arten T. 2005. “Gambaran Belanja Modal Daerah,
Dana Alokasi Khusus dan Hibah Pinjaman Luar Negeri
Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur”, makalah
FG D, Jakarta: ISEI.
Pamudji, S., Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara, 1982.
Pardede, Raden. 2005. “Infrastructure Financing: Indonesia
Challenges”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.
Parsons, Wayne. 1993. Public Policy: An Introduction to the
Theory and Practice of Policy Analysis. Cheltenhan:
Edward Elgar. Politt & Bouchaert. 2000. Public
Management Reform, New York: Prentice Hal
International edition.
Porter, 1990. Competitive Advantage. New York: McGraw Hil .
151
Porter, M.E. 1985. Competitive Advantage, New York: Free
Press. Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of
Nations, New York: Free Press.
Porter, M.E. 1998a. The Competitive Advantage of Nations: With
a New Introduction, New York: The Free Press.
Porter, M.E. 1998b. On Competition, Boston: Harvard Busines
School Press.
Porter, M.E. ed. 1986. Competition in Global Industries, Boston:
Harvard Business School Press.
Porter, Michael E. 1980. Competitiveness Strategy: Techniques
for analyzing industries and companies, New York: Free Press.
Rasahan, CA 1997. Kesiapan Sektor Pertanian Menghadapi Era
Perdagangan Bebas. Agro-Ekonomika No. 2 Tahun
XXVII: 15-24. Perhepi. Jakarta.
Rauch, Robert. Industrial Cluster: Relocation, Investment and
Production. New York: McGraw Hill.
Rouse, Jhon and Berkley, George. 1997. The Craft of Public
Administration, New York: Brown Benchmark, McGraw-
Hill.
Saliem, H.P., S.H. Hartini, A Purwoto, dan G.S. Hardono. 2003.
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kinerja
Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Hasil Penelitian.
Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. Bogor.
Santoso, Priyo Budi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru:
Perperktif Kultural dan Struktural. Jakarta: P.T. Grafindo
Persada.
Sarundajang. 2001. Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
DAFTAR PUSTAKA
152 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Sawit, MH. 2003. Indonesia dalam Perjanjian Pertanian WTO:
Proposal Harbinson. Analisis Kebijakan Pertanian,
Volume I (1). Maret 2003. Puslitbang SOsial Ekonomi
Pertanian. Bogor
Schmidtz, David. 1991. The Limit of Government An Essay on
The Public Goods Argument. Colorado: Westview Press.
Schwartz, Howard, and Jerry Jacobs. 1979. Qualitative
Sociology. New York: The Free Press.
Scott, James. 1986. Introduction to Industrial Cluster. London:
Mc Graw Hil .
Simatupang, P. 2001. Food security: Basic Concepts and Mea-
surement in Food Security in Southwest Pacific Island
Countries. CGPRT Center Works Towards Enhanching
Sustainable Agriculure and Reducing Poverty in Asia and
The Pacific Simbolon, Reobert. 1998. Manajemen Pe-
layanan Publik. Jakarta: Rajawali. Jakarta.
Simon, Harbert. 1984. Administrative Behavior : Perilaku
Administrasi, Suatu Studi Tentang Proses Pen gambilan
Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Terjemahan
St. Dianjung. Jakarta: Bina Aksara.
Siregar, Hermanto. 2005. “Penyediaan dan Pembiayaan
Infrastruktur Dasar, “ makalah FGD, Jakarta: ISEI Pusat.
Sjahrir. 1986. Pelayanan dan Jasa-jasa Publik, Telaah Ekonomi
serta Implikasi Sosial Politik. Jakarta: LPE3S.
Skelcher, Chris, 1992. Managing For Service Quality. London:
Longman.
Storper, Wiliam. 1992. Industrial Management. New York: Mc
Graw Hil.
Strauss, Anselm and Juliet Corbin. 1990. Basics of Qualitative
Research: Grounded Theory Procedures and Techniques.
California: Sage Publications.
153
Sudarsono, Hardjosoekarto. 1994. Beberapa Perspektif
Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Sugiyono. 1993. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV.
Alfabeta.
Suhadjo, 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan
pangan Rumahtangga. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Ketahanan Pangan Rumahtangga. Kerjasama
Departemen Pertanian dengan UNICEF. Yogyakarta, 26-
30 Mei
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik.
Jakarta: Sinar Grafika.
Supriatna, Tjahya. 1997. Administrasi Birokrasi dan Pelayanan
Publik. Jakarta: Nimas Multima.
Suradinata, Ermaya. 1997. Manajemen Pemerintahan dan
Otonomi Daerah. Bandung: Ramadan.
Suryana, A 2001. Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapal Ketahanan
Pan gan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian,
Jakarta, 29 Maret.
Susilowati, S.H. 2003. Dinamika Daya Saing Lada. Jurnal Agro
Ekonomi Vol. 21 No. 2.0ktober 2003. Bogor: Puslilbang
Sosial Ekonomi Pertanian.
Syarif. 1990. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara Dalam
Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Ramadhan.
Tambunan, Tulus. 2006. “Kondisi Infrastruktur di Indonesia”,
April, Jakarta: Kadin Indonesia.
Thoha, Miftah. 1994. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada.
DAFTAR PUSTAKA
154 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Thomas R. Dye, “Understanding Public Policy “, New Jersey :
Prentice Hal International Inc, 1987.
Thompson, Jhon L. 1993. Strategic Management: Awareness
and Changes, 2nd Edition. New York: Chapman & Hal .
Van Meter, D.S., dan C.E. Van Horn. 1978. ”The Policy Imple-
mentation Process: A Conceptual Framework”, Admi-
nistration and Society, Vol. 6, No. 4, Sage Publications Inc.
Wahab, Solichin A. 2002. Analisis Kebijaksanaan. Dari formulasi
keimplementasi kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara. Jakarta.
Warwick, Donal P. 1975. A Theory of Public Bureaucracy : Massa
chusetts: Harvard University Press.
Weber, Max. 1997. The Theory of Economics and Social
Organization. New York: The Free Press.
W e i h r i c h , H e i n z & K o o n t z , H a r o l d , 1 9 9 4 .
Introduction to Public Management: A Global Perspective,
Tenth edition, McGraw Hil International Edition.
Wibawa Samudera. 1994. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta:
Rajawali Press.
Wil iam N Dunn. 1987.Public Policy Analysis: An Introduction.
New Jersey : Prentice Hal International Inc, 1987.
Winoto, Joyo. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam
Menggerakan Sektor Ri l, makalah dalam Sidang Pleno
ISEI XI, 22-23 Maret, Jakarta.
Zeithaml, V.A. 1990. Delivering Quality Service, Balancing
Customer Perceptions and Expectations. New York: The
Free Press.
155
Hasil Penelitian
Abdullah, Awan Yuswanda. 2008. Implementasi Kebijakan
Penataan Organisasi Perangkat Daerah dalam
Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus
pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung). Bandung:
Pasacasarjana Unpad.
Fauzi, Teddy Hikmat. 2007. Pengaruh Karakteristik Lingkungan
Eksternal dan Karakteristik Lingkungan Internal terhadap
Efektivitas Pelaksanaan Strategi Usaha (Studi Kasus pada
Bank BNI 1946 wilayah 04 Jawa Barat). Bandung: Pasca-
sarjana Unpad.
Pasha, Rachman. 2005. Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Penerapan Good Corporate Governance (Studi
Kasus pada Bank Rakyat Indonesia). Jakarta: Pascasarjana
Universitas Satyagama.
Sumaryadi, Nyoman. 2005. Peranan Pemberdayaan Birokrasi
Pemerintahan dalam meningkatkan efektivitas implemen-
tasi kebijakan otonomi daerah (Studi di Propinsi DKI Jakarta).
Bandung: Pascasarjana Unpad.
Dokumen-dokumen
Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Tahun 2003-2007.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah;
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional;
UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
ASEAN Vision 2020 ASEAN Arrangement for SMEs
Report of the ASEAN Smal and Medium Enterprises Agencies
Working Group
Keputusan Presiden RI Nomor 99 Tahun 1998 tentang
Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil
dan Bidang Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha
Menengah atau Usaha Besar dengan Syarat Kemitraan
Keppres Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Ratifikasi Pemerintah
RI terhadap skema CEPT dalam kerangka AFTA.
Keputusan Menlu RI Nomor SK.03/A/OT/X/2003/01 tentang
Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh
Daerah;
Keputusan Menkeu RI No. 392/KMK.01/2003 tentang Penetapan
Bea Masuk Atas Impor Ba rang dalam Rangka Skema CEPT
Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2004 tentang
Pedoman Kerjasama antara Daerah Dengan Pihak Luar
Negeri.
156 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Indeks
A Abidin, 47 Abimanyu, 51 accomplishment,16,17 adat, 130 adit 54 administrasi, 5, 11, 12, 15, 19,
21, 32, 55, 56, 57 administrasi publik, 32, 57 administratit 5, 57, 108 administrator, 26 AEM, 3,4 afekti( 33 AFTA, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11. 12,
23, 44, 48, 50, 56, 57, 58, 59, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 105, 106. 107, 108, 110, 111, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 139
agregasi, 44
agresit 87
Agribisnis, 62, 63, 64, 65, 71, 74
agrobisnis, 7, 8, 9, 72,117
agroindustri, 7, 8, 9
akselerasi, 63
akselerator, 64
akses pasar, 49, 52, 75
aktor, 20, 24,134
akumulatit 93
alami, 33, 85, 86
alih teknologi, 49
alternatif, 63
AMAF, 4
Amang, 52
ambisius, 50
analisis, 13, 15, 28, 44, SS, 56,
59,112
Anderson, 56, 57
anggaran, 95, 108, 109
anjuran, 55, 56
Anugerah, 48
INDEKS 1157
APBD, 122
APEC, 48, 131, 132
argumen, 47, 55, 56
ASEAN, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12,
56, 57, 84, 90, 91, 92, 97,
98, 105, 128, 132, 135
ASEAN Vision, 132
Asia Tenggara, 2, 5, 7, 9, 56, 57,
98, 100, 106, 117, 118,
124, 128, 129
Asisten Daerah, 100
aspek regional, 6
asumsi, 22, 29, 125
autarky, 46
authority, 107
Ayat, 6
B badan, 6, 25, 26, 30, 36, 127
Badan Litbangda, 96
badan pelaksana, 25, 26, 30
badan usa ha, 6, 127
bahan baku, 9, 37, 46, 66, 73, 86
bahan kimia, 4
Bali, 62
Bandung, 67, 69, 78, 79, 80, 81,
106,110
Banjar, 79, 106
Banten, 61
bawang putih, 10, 81, 82 bayam, 80, 82
Bea Masuk, 58
Bekasi, 78, 79, 80, 104, 105, 110
Bennet, 56, 57
Biro pelaksana koordinasi, 100
birokrasi, 22, 23, 32, 41, 42, 43,
44, 59, 95, 96, 122, 124, 125, 126, 127, 128, 129
bisnis, 8, 74, 76, 77, 87, 92, 126,
131
Bogor, 79, 80, 81, 110, 131, 132
Bottom-up, 17
Brunei, 3, 4
budaya, 36, 76, 92
Bud iono, 49
Bukit Barisan, 62
Buncis, 80, 82
C
Cabe, 81
CEPT, 2, 3, 4, 5, 10, 58
Chacholiades, 45
Chaves, 46
China, 70
Ciamis, 67, 78, 79, 80, 106, 110
Cianjur, 78, 79, 80, 81
Cikarang-Bekasi, 104
Cilembu, 131
Cirebon, 70, 78, 81, 105, 110
compensating policy, 48, 49
competing, 14
consensus, 20
Cooper, 18
D daerah, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 41, 58,
61, 62, 73, 78, 84, 87, 90, 91, 96, 98,101, 102, 104,
105, 107, 109, 110, 117,
158 1 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
124, 126, 127, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 138, 139
dasar hukum, 7
dedikasi, 38
defisit, 49
Deklarasi Bogor, 131, 132
dengan luar negeri, 5, 7, 129,
130, 135, 139
Departemen Dalam Negeri,
137, 138
Departemen Luar Negeri, 5, 6,
84, 91, 111, 137, 138,
139
Departemen Perdagangan
Republik Indonesia, 90
Depok, 79
deregulasi, 47, 52
determinan, 46
development policy, 48,49
devisa, 8, 48
Dewan Perwakilan Rakyat, 90,
137
diklat, 102
dimensi administrasi, 11
dimensi politis, 11
dinamis, 55, 85, 128
Dinas, 10, 63, 64, 88, 90, 91, 94,
95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 105,
107, 108, 109, 110, 111, 118, 119, 120, 121, 122,
123, 124, 125, 126, 127
Dinas Industri dan Perdagang-
an, 63, 64, 88, 9L 94, 95,
96, 97, 98, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 107, 108, 109, 110, 111, 118, 120, 122, 125, 126, 127, 128
Dinas Perdagangan, 90, 110
diplomasi, 7, 129, 134, 135
direktoratjenderaf, 92
disiplin, 55, 101
diskriminatif, 38
disposisi, 40, 43, 44, 59, 103,
117, 122, 123
Disposisi, 40,117
distorsi, 50, 93, 95, 96
distribusi, 9, 37, 47, 52, 53, 68,
73, 75, 76, 87, 110
domestik, 8, 45, 46, 51, 53, 64,
77
DPRD, 124, 137
Dunn, 55, 56
E Edward 32, 33, 37,
44, 59, 100
efektif, 5, 18, 19, 22,
39, 40, 56, 73,
95, 116
efektivitas, 26, 47, 59,
40,
26,
75,
64
41,
28,
76,
42,
37,
87,
efisiensi, 28, 42, 47, 49, 50, 54,
64, 77, 84, 86
Ekonomi, 3, 4, 6, 7, 72
ekonomi makro, 108
eksekusi, 16, 17, 21, 23
eksekutit 57, 58, 90, 122, 127
ekspor, 8, 46, 47, 48, 51, 52, 54,
64, 68, 69 ,70, 73, 75 ,76,
77, 86, 106, 110, 123
INDEKS 159
HPS, 69
hubungan, 5, 6, 7, 11, 15, 17, 23,
28, 29, 30, 32, 39, 59, 74,
90, 91, 129, 130, 133,
136, 138
Hubungan, 6, 7, 8, 14, 17, 25,
30, 58, 135, 136, 137,
139
hubungan kausal, 28, 29
hubungan kausalitas, 25, 30
hubungan luar negeri, 5, 6, 7,
11, 133, 136, 138
hukum, 6, 7, 130, 133, 136
I Ibrahim, 33, 34, 35
IKM, 66, 75
IMA, 66, 67, 68
imajinasi, 38
immediate inclusion, 4 Implementasi, 2, 11, 13, 14, 17,
19, 20, 21, 22, 30, 32, 39, 57, 59, 98
Implementasi kebijakan, 13,
14, 19, 30, 32, 39, 98
implementasi liberalisasi, 53
implementator, 16, 19, 20, 34,
38, 39, 40, 41,105
implementator kebijakan, 34,
38, 40, 41
implementor, 17, 21, 58, 88, 89,
91, 92, 96, 98, 100, 101,
103, 104, 106, 108, 118,
119, 120, 121, 122
impor, 5, 52, 69, 73, 110
Impor, 58, 69
Inclusion list, 10
India, 131, 132
indikator, 84
Indonesia, 1, 2, 5, 6, 7, 10, 11,
12, 15, 44, 45, 47, 49, 50,
51, 52, 57, 61, 64, 70, 84,
85, 86, 90, 91, 112, 129
Indramayu, 70, 78, 79, 80, 105
Indrawati, 50, 51
industri, 15, 49, 52, 62, 64, 65,
66, 67, 69, 71, 73, 74, 75,
76, 77, 85, 86, 95, 96,
117, 123
informal, 7
informan, 94, 108, 19, 120, 127
informasi, 9, 28, 29, 33, 34, 35,
39, 55, 63, 69, 71, 72, 73,
75, 83, 84, 89, 91, 92, 93,
95, 97, 99, 100, 102, 103,
105, 107, 111, 115, 116,
119, 123, 129, 132
inovasi, 9, 38, 76
Insentif, 41
insinyur, 86
instansi, 5, 30, 88, 90, 92, 101,
119, 121, 122, 126
institusi, 24, 74, 88, 97, 111, 128
Institusiona I, 59
institutional arrangement, 44,
59
intervensi, 46 inventif, 87
investasi, 1, 49, 50, 52, 66, 72, 73, 85
investor, 85, 104, 119
1NDEKS 161
elaborasi, 129
elastisitas, 83 elite, 14
empati, 38
entrepreneurship, 87
Erwidodo, 48, 51
etnis, 98
etas kerja, 86
evaluasi, 17, 23, 35, 55, 56, 71,
88, 122
F faktor, 8, 15, 24, 29, 32, 33, 35,
37, 40, 41, 42, 43, 48, 51,
53, 54, 75, 76, 77, 83, 84,
85, 89, 91, 95, 96, 98, 99,
100, 117, 123, 127, 128,
129, 130
Fast Track, 2
Filipina, 3, 4, 10
first track diplomacy, 7 Fliegel, 34
fluktuasi, 83, 113
forMulasi, 55, 56, 57
fragmatis, 107
Fragmentasi, 43, 126, 127
G gagal, 26, 29
gagasan, 38 gap, 10„22
Ga rut, 78, 79, 80, 81,106
GATT, 48, 50, 51 GDN, 104
Gedung Sate, 95, 122
General exception list, 10 geografis, 62, 131
global, 1, 45, 48, 55, 66, 72, 73,
77, 85, 86, 89, 116, 130
globalisasi, 45, 95, 116
Grind le, 14, 16, 23,24
Gubernur, 8, 58, 91, 104, 105,
135, 136, 137
Gudang, 71
Guia, 10, 98
Gunn, 18, 24, 25, 26, 27, 29, 30,
31
H HACCP, 66 Hadi, 47
hak, 107, 109, 130, 131, 136
Hak Properti Intelektual, 50
HAKI, 9
Hambatan, 2, 5, 26, 35
hambatan politic, 26
harga, 46, 47, 49, 50, 51, 53, 54,
63, 68, 69, 83, 84, 86,
112, 113, 115
harmonisasi, 56
Harpowo, 33
hijau, 78
Hogwood, 18, 24, 25, 26, 27, 29,
30, 31
Holding Company, 77
honorarium, 41
Hood, 19
Hoogerwerf, 31, SS
Howlet, 13
160 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
isu, 76, 94, 95, 104, 124, 125,
127
jabatan, 121, 125
jagung, 78, 82
Jakarta, 69, 91, 113, 114
jaringan, 38, 65, 67, 71, 73, 75,
77, 87, 123, 132
jasa, 1, 7, 46, 53, 54, 62, 68, 73,
74, 84, 98
Jawa Ba rat, 7, 8, 9, 10, 11, 58, 59,
61, 62, 63, 64, 65, 67, 69,
70, 71, 72, 73, 78, 79, 80,
81, 82, 84, 85, 86, 87, 88,
89, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103,
104, 105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
115, 117, 118, 119, 120,
121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 135, 139
Jawa Tengah, 62
Jepang, 53
Jones, 55
K Kabupaten, 12, 78, 79, 80, 110,
131, 137
kacang, 78, 79
Kadin, 7, 96
KADINDA, 10, 89 kangkung, 79
Kanyasa, 48
kapital, 37, 53
Karawang, 78, 79, 80,105
Kawasan Industri, 104
Kawasan perdagangan, 2, 76,
104
kebijakan, 5, 9, 11, 13, 14, 15,
16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 33, 34, 35, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,
45, 47, 48, 49, 52, 55, 56,
57, 58, 59, 69, 90, 91, 92,
93, 94, 95, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 110, 111,
117, 118, 119, 120, 121,
122, 123, 125, 126, 127,
128, 129, 133, 135, 138,
139
Kebijakan, 13, 19, 25, 28, 29, 39,
48, 52, 55, 57, 58, 83, 90, 104, 110
kebijakan harga, 49
kebijakan internal, 45
kebijakan proteksi, 52
kebijakan publik, 11, 14, 23, 24,
25, 31, 32, 39, 56, 57, 58,
135
kebijakan regional, 56, 57
kebijakan subsidi, 49
Keju, 67
Kembang kol, 82
kemiskinan, 53
kendala, 9, 25, 26, 45, 46, 47, 48, 91, 97
162 I LIRERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Kentang, 82
Kepala Biro, 108, 122
kepala daerah, 101
Kepala Daerah, 91, 95,108, 137,
138, 139
kepentingan, 9, 20, 22, 24, 45,
53, 54, 56, 57, 92, 98, 99,
105, 115, 121
kepercayaan, 17
Keppress, 58
keputusan, 6, 13, 35, 40, 42, 46,
50, 89, 90, 92, 126, 127,
129
Keputusan Gubernur, 8, 58,
104, 105, 135
Keputusan Menkeu, 58
Keputusan Menlu, 8, 58
kerjasa ma, 1, 6, 7, 12, 45, 50, 71,
105, 129, 130, 133, 135,
136, 138, 139
Keterbukaan pasar, 47
ketimun, 79
keuangan, 7, 9,122
kewenangan, 25, 39, 103, 107,
108, 110, 122, 126, 136,
137, 138
Kindleberger, 46
kinerja, 37, 40, 41, 43, 84, 88,
128
klausul, 51
koalisi, 22
kognitif, 33
komitmen, 2, 15, 18, 31, 32, 48,
54, 76
Komoditas, 3, 10, 11, 111 komoditas agro, 45, 70, 78, 94,
95, 99, 102, 103, 120, 121, 122
Komoditi, 71, 112
komparatif, 8, 66, 72,
kompetensi, 41, 133,
85, 86
135
kompetitif, 41, 49, 50, 66, 72,
77, 85, 86
kompleks, 30
komprehensif, 43, 119, 125,
129, 131
komunal, 130
Komunikasi, 8, 25 33, 35
komunikator, 34, 35, 36, 37
kondusif, 9, 72, 76,122, 127
Konferensi, 1
konsekwensi, 45, 58
konsensus, 99 konsistensi, 33
konsumen, 40, 50, 68, 74, 76,
78, 84, 116
konteks, 10, 11, 23, 85, 93,131
kontemporer, 116
kontrak, 116, 136
konvensional, 116
koordinasi, 7, 19, 25, 41, 43, 62,
65, 100, 120, 137, 138,
139
koordinatif, 91
kota, 53
Kota, 12, 58, 67, 70, 72, 79, 80,
106, 110, 113, 132, 137
kreatifitas, 38 krusial, 32
KTT, 1, 90
Kubis, 82 KU D, 89
INDEKS 1 163
Kuningan, 70, 78, 80, 81, 105,
110
L Labu siam, 82
Lane, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22
Legislatit 57, 122
lembaga, 6, 7, 30, 96, 100, 106,
119, 124, 126, 127, 138
lembaga negara, 6
liberalisasi, 1, 45, 46, 47, 48, 49,
50, 51, 52, 53, 92, 132
liberalisasi perdagangan, 1, 45,
47, 49, 50, 51, 52, 53,
132
Lindert, 46
lingkungan hidup, 53,116
lintas kultur, 36
lisensi, 52
lobak, 81
logistik, 9
loyalitas, 116
LSM, 6, 134
luar negeri, 5, 6, 7, 8,
64, 68, 69, 70,
11, 12,
77, 85,
46,
87,
90, 92, 102, 104, 105,
117, 129, 130, 131, 133,
135, 136, 138, 139
Luar Negeri, 5, 6, 7, 8, 58, 68, 69,
84, 87, 91, 105, 111, 118,
133, 135, 136, 137, 138,
139
M Majalengka, 78, 79, 80, 81, 105 makro ekonomi, 9
manajer, 86
manajerial, 9, 13
manufaktur, 2, 10, 53, 62, 66, 86
manusia, 8, 9, 37, 40, 54, 73, 96,
100, 101, 102, 103, 116,
125, 130
Margin of Preference, 5
Masalah, 15, 34, 35
Masyarakat, 92, 116
mata rantai, 25, 30
Mazmanian, 19, 22, 23
Medan, 70
media massa, 102
rnekanisme, 46, 50, 105, 106, 109, 113, 129
merk, 76
mesin, 4, 37, 67
MFN, 132
mikro, 13, 54
Misi, 64, 73
mismanajemen, 9
monopoli, 50
Montesquieu, 57 MOP, 5
morfologi, 62
motivasi, 41, 86
MSTQ 9
mutasi, 97, 102, 121, 122
mutu, 9, 66, 69, 70, 76, 87
mutually benefited, 46
164 I LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
N nasional, 5, 6, 7, 10, 15, 45, 47,
50, 54, 57, 58, 62, 69, 77,
84, 86, 90, 92, 104, 116,
117, 129, 138
Nasional, 5, 8, 58, 104
negatif, 47, 51, 53, 92,121
netto, 51
networking, 9, 38
nontarif, 45, 47, 48, 52
Normal Track, 2
Nusa Tenggara, 62
0 observasi, 94, 106, 113, 125
oligarki, 98
Opak, 67, 68
opini, 108
optimal, 27, 28, 36, 65, 115
Organisasi, 134
organisasi masyarakat, 6
organisasional, 23, 40, 43
otonomi, 5, 12, 84, 90,130
otonomi daerah, 5, 12, 84, 90,
130
otoritas, 19, 43,110
otoriter, 23
outcome, 14, 16, 17, 19, 21, 22
p Padi, 82
pajak, 51 panen, 81, 83,113
Pangestu, 48
parpol, 98
partisipasi, 45, 46
Pasal, 6
pasar, 1, 8, 9, 45, 46, 47, 48, 49,
50, 52, 53, 54, 55, 63, 64,
66, 68, 69, 70, 75, 76, 77,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
99, 102, 105, 106, 107,
112, 113, 114, 115, 116,
121, 125, 132
pasar bebas, 99, 105, 106, 107, 121, 125
pasar domestik, 8, 45, 46, 53, 64
pasar internasional, 1, 45, 46, 47, 54, 77
Paul A. Sabatier, 13, 122
PDRB, 73, 75
peja bat, 17, 42, 91, 107, 127
pekerja, 86
pelaku pasar, 84, 89, 102
pelayanan, 9, 38, 40, 59, 106,
116, 118, 119, 128, 129,
133
pelayanan publik, 38, 59, 119,
129, 133
pemasaran, 9, 64, 68, 74, 78, 83, 84, 98, 114, 116
pembentukan, 1, 48, 57, 90, 104, 133
pembuat kebijakan, 21, 26, 29, 117, 118
pemerintah, 5, 6, 7, 13, 33, 37, 47, 48, 49, 51, 52, 54, 57,
62, 74, 86, 87, 90, 91, 96,
INDEKS 1 165
97, 98, 99, 101, 103, 109,
110, 124, 127, 133,134
pemerintah daerah, 5, 87, 90,
91, 96, 98,101, 103, 109, 110, 124, 127, 133
Pemerintah Daerah, 6, 58, 91,
108, 124, 133, 136, 137
pemerintah pusat, 97, 134
penetrasi, 97
penilaian, 55, 56
peralatan, 37
peraturan, 6, 11, 22, 51, 103,
105, 135
percaya diri, 34
Perda, 58, 91
perdagangan bebas, 2, 7, 8, 9,
32, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 102, 104, 111, 117, 118, 119, 120,
124, 128, 129
perdagangan dunia, 47, 132
perilaku, 23, 33, 40, 107, 119,
123
perindustrian, 64, 71, 72
perintah, 40, 90, 92, 107, 108,
110
perjanjian, 48
Permasalahan, 11, 63
Perpu, 58
persepsi, 89, 93, 94, 96, 97, 125
personalia, 40
perspektif, 12, 19, 21
pertanian, 2, 4, 5, 8, 9, 10, 11,
48, 49, 50, 51, 53, 59, 62, 64, 73, 74, 77, 83, 87, 85, 86, 88, 89, 96, 97, 100,
102, 105, 106, 107, 108, 111, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 127, 128, 129
Pertanian, 4, 10, 11, 89, 99, 108, 119, 120, 121
perubahan, 18, 20, 21, 23, 42,
57, 74, 94, 122, 125, 126,
128, 136
perumusan kebijakan, 18, 19,
20
perundang-undangan, 6, 50
perwakilan, 5, 138
pesan, 34, 35, 36, 88, 89, 92, 93,
95, 97
petani, 9, 49, 53, 59, 63, 81, 89,
92, 93, 94, 98, 99, 103, 105, 107, 112, 113, 14,
115, 121, 129 pionir, 13
plastik, 4
policy achievement, 17
policy level, 24
policy maker, 21
politik, 6, 7, 14, 15, 16, 18, 21,
87, 94, 98, 108, 109, 126,
128, 133
politis, 11, 86, 109, 134
Porter, 54
potensi daerah, 6, 8, 117, 130,
133 PPED, 70
PPKA, 111, 112
presider, 90
primer, 72, 74, 86 Pk!, 69
166 LIBERALISA51 PERDAGANGAN AGRO
Problem, 11, 38
produksi, 9, 37, 46, 47, 49, 50,
53, 54, 63, 65, 66, 67, 71,
75, 78, 79, 83, 84, 86, 87,
89, 105, 113, 119
program, 13, 14, 15, 16, 18, 20,
21, 22, 24, 25, 27, 32, 56,
64, 71, 108, 109, 118,
135, 137
promotif, 48
proposal, 109, 122
prosedur, 5, 42, 52, 129, 135,
136
proses implementasi, 5, 13, 17,
18, 20, 21, 23, 31, 41, 43
proteksi, 10, 47, 50, 52, 86, 121
protektif, 48
Pulau Jawa, 61, 62
Purwakarta, 78, 79, 80, 81,110
pusat, 5, 6, 7, 41, 49, 58, 67, 71,
95, 101, 117, 118, 122,
123,134
Putaran Uruguay, 48, 50
R Ramesh, 13
ratifikasi, 48, 50, 58, 90
realistik, 94
realistis, 29
realokasi, 75, 76
reformasi, 5, 52
reformulasi, 20
regim, 24, 94
regional, 1, 6, 12, 45, 56, 57, 72, 74, 75, 77
regulasi, 64, 72, 73
Rencana Kerja, 109 rent seeking, 49
Resi, 71
responsibility, 17
revitalisasi, 73, 75
revolusi, 46
rezim, 46
5,6, 8, 58, 91, 118,
Riau, 69
9, 54
RJPM, 75
rumusan kebijakan, 13, 18
S Sabatier, 13, 14, 19, 22, 23
saintis, 86 sanksi, 57
Santoso, 28
sasaran, 13, 15, 18, 22, 23, 31,
32, 43, 50, 55, 56, 58, 88, 116
Sawi, 80
Sawit, 52
Schermerhorn, 33, 35
SDM, 85, 86, 99, 101, 109
second track diplomacy, 7
Sekda, 108
Sekretariat Nasional, 5
selektif, 40, 96, 97
semantik, 35
sembrono, 29
sempurna, 19, 22, 24, 25,30, 94
Sensitive list, 10
sentralistik, 23
INDEKS 1167
Sertifikasi, 63, 76
Simanjuntak, 37
simbolisme, 21
sinergi, 6
sinergitas, 65
Singapura, 10, 71, 90,132
sinkronisasi, 56, 62, 138
sistem, 15, 41, 46, 52, 55, 63, 64,
66, 68, 71, 72, 73, 74, 75,
76, 77, 83, 87, 90, 98,
104, 13, 114, 115, 116,
123, 129, 133
SITU, 127
skala, 1, 46, 87, 129
skill, 20, 100, 116
SNI, 70
solid, 87 SOP, 41, 42, 43, 124, 125, 126,
127
sosial, 15, 87, 98, 116, 128, 134
Sosialisasi, 69, 70, 89
SOTK, 91, 120, 124, 126 spesialisasi, 46, 102
stabil, 37, 39
standar, 9, 23, 51, 66, 99, 108,
125
standar mutu, 9, 66
strategi, 24, 44, 59, 114, 134
strateg is, 37, 41, 62, 128, 134
struktur, 15, 18, 19, 20, 32, 41,
42, 43, 44, 51, 54, 57, 59,
65, 67, 74, 75, 87, 90, 91,
92, 95, 98, 100, 101, 102,
104, 124, 125, 126, 127,
128, 133
struktur birokrasi, 32, 41, 42,
43, 44, 59, 124, 125, 126,
127, 128, 129
struktur organisasi, 15, 18, 87,
124, 126, 128
Su ba ng, 70, 78
Sub-Dinas, 94, 124
Sudiyono, 33
Sulawesi, 62
Sumatera, 62
sumber daya manusia, 8, 9, 40,
54, 100, 101, 102, 103,
116, 135
Sumedang, 67, 78, 79, 80, 81,
131
Sunggono, 31
Supply Chain Management, 76
surplus,49 survey, 114, 115
Su ryana, 48
Susilowati, 46
Swanson, 34
swasta, 13, 39, 87, 14, 134
syarat dasar, 23
T tanah, 37, 78, 81, 130, 131
tanggungjawab, 17, 18, 43,136
tarif, 2, 3, 5, 10, 45, 47, 48, 52
Tasikmalaya, 67, 78, 79, 80, 81,
106
Tebu, 98
teknologi, 9, 20, 22, 39, 46, 49,
5L 54, 66, 73, 74, 76, 85,
86,132
teknologi program, 20
168 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
telekomunikasi, 46
tembusan, 91
Temporary exclusion list, 10
tengkulak, 98
teori kausalitas, 25
teori liberalisasi, 53
terobosan, 5, 6
terong, 79
Thailand, 3, 4, 10, 132
timpang, 53
Tomat, 80, 82
top-down,14, 19, 23, 58
Top-down, 17, 22
transaksi, 63, 68, 84, 112, 113,
114, 115, 116
transformasi, 55, 93
transmisi, 33, 88, 93,100 Transmisi, 93
transparan, 87, 112
transportasi, 9, 46, 73, 74, 83
trial and error, 9 TRIPs, 130, 131
trust, 17
trust side, 17
tujuan, 7, 12, 13, 16, 17, 18, 19,
20, 21, 22, 23, 25, 27, 28,
31, 32, 38, 40, 49, 51, 54,
55, 56, 77, 89, 95, 118,
119, 136
U ubi jalar, 67, 69
Undang-Undang, 7, 8, 58, 90
unilateral, 45
upah, 54, 86
urbanisasi, 53
Uruguay, 48, 50
V
Van Horn, 18
Van Meter, 18
variabilitas, 8
Visi, 64
vulkanis, 62
w Wahab, 25, 26, 29
warganegara, 17
wawancara, 84, 89, 91, 94, 103,
105, 118, 121, 127, 129
Wibawa, 22
Wildaysky, 30
WIPO, 130, 132
WTO, 48, 50, 130, 132
Yogyakarta, 70
Yudikatif, 57
zona ekonomi, 104
INDEKS 169
Obsatar Sinaga adalah dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran. Laa ri
di Deli Serdang 17 April 1969. Setelah menamatkan sekolah menengah di
SMA Negeri 8 Bandung, melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Padjajaran dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional
dan merah gelar sarjana Ilmu politik (S.IP). se-tamat S-1, melanjutkan studi
ke jenjang strata 2 (S-2) dengan mengambil Administrasi Publik dan S-3
pada Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Berhasil memperoleh
gelar Magister Sains (M.Si), serta gelar Doktor (Dr) Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik dari Program Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Riwayat pekerjaan pria yang akrab disapa Obi ini antara lain: Wartawan HU
Mandala, Kepala Wartawan Hu Bandung Pos, Pemimpin Perusahaan Hu
Bandung Pos, Branch Manager Maranu International Finance, Staf Ahli
Walikota Bandung, Staf Ahli Bupati Kabupaten Tabanan Bali.
Sejak studi, dikenal sebagai penulis artikel/kolumnis yang produktif, tajam
namun kadang menggelitik secara cerdas di beberapa media massa dalam
dan luar negeri. Ia semakin dikenal dan diminati luas karena sering tampil
sebagai nara sumber dalam berbagai kegiatan seminar, diskusi dan
pertemuan ilmiah.
Selain itu, Obi aktif dalam berbagai kegiatan organisasi mulai organisasi
kepemudaan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi dalam bidang
olahraga. Beberapa jabatan strategis yang pernah dan sedang dijalaninya
antara lain: Ketua KNPI Kota Bandung, Ketua Pemuda Panca Marga
Bandung, Wakil Sekretaris Pemuda Panca Marga Jawa Barat, Sekretaris
Patriot Panca Marga Jawa Barat, Sekjen Persatuan Golf Indonesia (PGI) Jawa
Barat, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) KONI Jawa Barat, Wakil
Ketua Pemuda Panca Marga Jawa Barat, Wakil Ketua Depidar SOKSI Jawa
Barat dan Sekjen Ormas MKGR Jawa Barat. Sekarang menjabat Ketua 1 Koni
Jabar.
h
158 LIBERALISASI PERDAGANGAN AGRO
Riwayat Singkat Penulis