BAB I
PENDAHULUAN
Rute pemberiaan obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena
karakteristik lingkungan fisiologis, anatomi, dan biokimiawi yang berbeda. Karakteristik
berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda, struktur anatomi dari lingkungan kontak
antara obat dengan tubuh yang berbeda, serta enzim – enzim dan getah – getah fisiologis
yang terdapat di lingkungan juga berbeda. Hal ini yang menyebabkan jumlah obat yang dapat
mencapai kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian
obat. Bagaimana sebenarnya perjalanan panjang obat di dalam tubuh alias “nasib obat di
dalam tubuh”, sampai kemudian menimbulkan efek yaitu mengurangi rasa cemas,
menghilangkan rasa sakit, menyembuhkan penyakit dan membuat rasa nyaman, atau bahkan
membuat “fly” alias terbang ke angkasa. Selain manfaatnya, tentu harus tahu pula akibat
buruknya jika mengkonsumsi diluar aturan akibat ketagihan misalnya. Karena sesuai nama
dan kegunaannya, semestinyalah obat hanya dipakai waktu tubuh memerlukannya saja.
Farmakokinetik adalah istilah yang menggambarkan bagaimana tubuh mengolah obat,
kecepatan obat itu diserap (absorpsi), jumlah obat yang diserap tubuh (bioavailability),
jumlah obat yang beredar dalam darah (distribusi), di metabolisme oleh tubuh, dan akhirnya
dibuang dari tubuh. Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan
intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan kondisi
kesehatan seseorang. Kondisi kesehatan maksudnya adalah, apakah seseorang itu sedang
menderita sakit ginjal, sakit hati (beneran), kegemukan, kondisi dehidrasi, dll.
Penyerapan (absorbsi) obat ditentukan oleh antara lain, bentuk sediaan ( tablet, kapsul
atau sirup), bahan pencampur obat, cara pemberian obat (apakah diminum, lewat suntikan,
dihirup dll). Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan
usus besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan lapisan
dinding mukosanya lebih permeabel. Jadi selain pemilihan obat oleh dokter harus tepat,
kondisi tubuh juga menentukan. Misalnya jika kita lagi sakit "maag" atau lagi diare, yang
akan mempengaruhi proses absorbsi obat.
1
Bioavailability artinya jumlah dan kecepatan bahan obat aktif masuk ke dalam pembuluh
darah, dan terutama ditentukan oleh dosis dari obat. Dosis obat hanya bisa ditentukan oleh
dokter yang memang belajar farmakologi. Dokter dan ahli farmasi yang belajar mulai dari
obat itu terbuat dari apa, bagaimana kerja dan efek sampingnya, bagaimana menghitung
dosisnya, berapa lama boleh di konsumsi dst.
Setelah obat masuk dalam sirkulasi darah, kemudian di “distribusi”kan ke dalam
jaringan tubuh. Distribusi obat ini tergantung pada rata-rata aliran darah pada organ target,
massa dari organ target, dan karakteristik dinding pemisah diantara darah dan jaringan. Di
dalam darah obat berada dalam bentuk bebas atau terikat dengan komponen darah albumin,
gliko-protein dan lipo-protein, sebelum mencapai organ target.
Tempat utama “metabolisme” obat di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam bentuk
tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam bentuk aktif sampai di hati.
Obat-obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi,
kondensasi atau isomerisasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh
lewat urin dan empedu. Kecepatan metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor
genetik, penyakit yang menyertai(terutama penyakit hati dan gagal jantung), dan adanya
interaksi diantara obat-obatan. Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati
menurun sampai lebih dari 30% karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati. Disini
dokter harus betul-betul tepat memberikan, apakah obat bisa diberikan pada pasien-pasien
yang berpenyakit hati, kalau tidak justru akan memperberat kerja hati atau malah sisa obat
tidak bisa dibuang oleh tubuh.
I.1 LATAR BELAKANG
Pada umumnya obat diberikan dalam bentuk sediaan seperti tablet,kapsul, suspense dan
lain-lain. Suatu bentuk sediaan onbat terdiri dari bahan-bahan pembantu yang tersusun dalam
formula dan diikuti dengan petunjuk cara proses pembuatan. Kita mengetahui bahwa sangat
banyak sediaan farmasi dengan obat, dosis, dan bentuk sediaan yang sama, diproduksi oleh
industry-industri farmasi dengan nama-nama yang berbeda. Dengan berbagai alasan dari
industry-industri, maka umumnya formula sediaan obat tersebut berbeda. Apakah perbedaan
formula suatu sediaan obat dapat mempengaruhi kemanjuran obat dari sediaan tersebut?
2
Pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an bermunculan laporan, publikasi dan
diskusi yang mengemukakan bahwa banyak obat-obat dengan kandungan, dosis dan bentuk
sediaan yang sama dan dikeluarkan oleh industri farmasi yang berbeda memberikan
kemanjuran yang berbeda. Laporan-laporan dan publikasi-publikasi tersebut menyebabkan
munculnya ilmu baru dalam bidang farmasi yaitu biofarmasi. Riegelman,John Wagner dan
Geihard Levy dinamakan sebagai oelopor biofarmasi. Pada tahun 1961 dalam suatu artikel
review di Journal Of Pharmaceutical Sciences dikemukakan definisi dari biofarmasi sebagai
berikut “Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara sifat-sifat
fisoko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi sesudah pemberian
obat teerssebut kepada pasien”. Perbedaan sifat fisiko kimia dari sediaan ditentukan oleh
bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan perbedaan sifat fisiko kimia dari
bentuk bahan baku (ester, garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel.
Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi, melihat bentuk sediaan sebagai suatu “drug
delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi dari
obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan
tubuh, metabolism obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. Proses yang disebutkan
di atas dapat dilihat dari skema pemberian obat secara oral( misal tablet) berikut ini :
Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara
pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas di saluran cerna dan sebagian lagi
masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar dari saluran cerna.
3
Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol sehingga
absorpsi bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbullah sediaan farmasi yang semula
dipakai tiga kali sehari menjadi satu kali sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut dalam
cairan saluran cerna bisa diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat yang
sudah terlarut itu bisa terurai tergantung dari sifatnya, sehingga sudah berkurang obat yang
diabsorpsi. Menyadari kenyataan ini maka munculah produk sediaan yang melalui kulit untuk
tujuan pemakain sistemik seperti obat jantung, hormon, obat anti mabuk dan lain-lain. Tidak
mungkin menempelkan obat berbulan-bulan, apalagi bertahun-tahun, sehingga munculah obat
diimplantasi di bawah kulit seperti obat untuk keluarga berencana yang bisa bertahan sampai
tiga tahun.
Sesudah obat didistribusikan dalam tubuh maka konsentrasinya akan ditentukan oleh
parameter farmakokinetikanya. Walaupun kita control atau perlambat pelepasannya dari
sediaan tetapi kalau tidak memperhatikan parameter farmakokinetikanya bisa terjadi kadar
obat di bawah MEC sehingga tidak memberikan kemanjuran. Biofarmasi dan
farmakokinetika menjadi dasar utama dalam pekerjaan pengembangan produk baru.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Tubuh Manusia
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi
zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung,
usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
A. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan.
Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem
pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
B. Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaituPharynk.
5
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang
banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga
mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang. Ke atas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan
tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus
fausium
Tekak terdiri dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung,
bagian media = bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior = bagian yang
sama tinggi dengan laring. Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara
tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut
orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian inferior disebut laring
gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.
C. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada v ertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu
dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
Serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
6
D. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu
o Kardia.
o Fundus.
o Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk
cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan. Lambung
berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur
makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting
:
Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai
penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
E. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
7
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan
lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan
makanan yang dicerna). Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan
otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan
serosa ( Sebelah Luar )
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus
kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
1. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang
terletak setelahlambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum).
Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai
dari bulbo duodenale dan berakhir diligamentum Treitz. Usus dua belas jari
merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh
selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat
sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu
dari pankreas dan kantung empedu. Namaduodenum berasal dari bahasa
Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
2. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian
kedua dariusus halus, di antara usus dua belas jari(duodenum) dan usus
penyerapan (ileum). Padamanusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-
8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
3. Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan
8
terletak setelah duodenum danjejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum
memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa)
dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
F. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus
buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
Kolon asendens (kanan)
Kolon transversum
Kolon desendens (kiri)
Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
G. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin:caecus, "buta") dalam
istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian
kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa
jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,
sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya
digantikan oleh umbai cacing.
H. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organtambahan pada usus buntu. Infeksi pada
organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau
peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau
dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu
tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada
tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa 9
bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai
cacing bisa berbeda - bisa diretrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak
di peritoneum.
I. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan
yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ
ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong
karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang
air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam
rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar,
di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode
yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian
lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Fesesdibuang
dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar - BAB), yang merupakan fungsi utama
anus.
J. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama
yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapahormon penting seperti insulin.
Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat
dengan duodenum (usus dua belas jari).
K. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki
berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa
10
fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Zat-zat gizi
dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-
kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena
yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta
terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk
diolah.
L. Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris:gallbladder) adalah organ berbentuk
buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk
proses pencernaan. Padamanusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan
berwarna hijau gelap - bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan
empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan denganhati dan usus dua belas
jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin
(Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.
II.2 Definisi Sustained Release
11
Sustained release merupakan bentuk sediaan yang dirancang untuk melepaskan
obatnya ke dalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap sehingga pelepasannya lebih
lama dan memperpanjang aksi obat. Sehingga pengertian sediaan sustained release yaitu
sediaan yang dirancang untuk memberikan aktivitas terapetik diperlama dengan cara
pelepasan obat secara terus-menerus selama periode tertentu dalam sekali pemberian.
Untuk beberapa keadaan penyakit, bentuk sediaan obat yang ideal adalah mampu
memberikan konsentrasi obat pada tempat aksi dicapai secara cepat dan kemudian secara
konstan dipertahankan selama waktu pengobatan yang diinginkan. Pemberian obat dalam
dosis yang cukup dan frekuensi yang benar maka konsentrasi obat terapetik steady state di
plasma dapat dicapai secara cepat dan dipertahankan dengan pemberian berulang dengan
bentuk sediaan konvensional peroral. Namun terdapat sejumlah keterbatasan dari bentuk
sediaan konvensional peroral.
Adapun keterbatasan bentuk sediaan konvensional peroral adalah: melepaskan secara
cepat seluruh kandungan dosis setelah diberikan, konsentrasi obat dalam plasma dan di
tempat aksi mengalami fluktuasi sehingga tidak mungkin untuk mempertahankan konsentrasi
terapetik secara konstan di tempat aksi selama waktu pengobatan, fluktuasi konsentrasi obat
dapat menimbulkan overdosis atau underdosis jika nilai Cmax dan Cmin melewati jendela
terapetik obat. Untuk obat dengan t1/2 pendek membutuhkan frekuensi pemberian lebih
sering untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam jendela terapetik, dan frekuensi
pemberian obat yang lebih sering dapat menyebabkan pasien lupa sehingga dapat
menyebabkan kegagalan terapi.
12
Gambar 1. Profil kadar obat vs waktu yang menunjukkan perbedaan antara pelepasan
terkontrol orde nol (zero-order release), pelepasan lambat orde satu (sustained release) dan
pelepasan dari sediaan tablet atau kapsul konvensional (immediate release).
Gambar 1 menunjukkan perbandingan profil kadar obat di dalam darah yang
diperoleh dari pemberian bentuk sediaan konvensional, terkontrol (controlled-release), lepas
lambat (sustained-release). Tablet konvensional atau kapsul hanya memberikan kadar puncak
tunggal dan sementara (transient). Efek farmakologi kelihatan sepanjang jumlah obat dalam
interval terapetik. Masalah muncul ketika konsentrasi puncak dibawah atau diatas interval
terapetik, khususnya untuk obat dengan jendela terapetik sempit. Pelepasan orde satu yang
lambat yang dihasilkan oleh sediaan lepas lambat dicapai dengan memperlambat pelepasan
dari bentuk sediaan obat. Pada beberapa kasus, hal ini dapat diperoleh melalui proses
pelepasan yang kontinyu
Keuntungan bentuk sediaan lepas lambat dibandingkan bentuk sediaan konvensional
adalah sebagai berikut (Ansel et al, 1999):
a) Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah.
b) Mengurangi frekuensi pemberian.
c) Meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pasien.
d) Mengurangi efek samping yang merugikan.
e) Mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan.
Sedangkan kelemahan sediaan lepas lambat diantaranya adalah (Ballard, 1978):
a) Biaya produksi lebih mahal dibanding sediaan konvensional.
b) Adanya dose dumping yaitu sejumlah besar obat dari sediaan obat dapat lepas secara
cepat.
c) Sering mempunyai korelasi in vitro – in vivo yang jelek.
d) Mengurangi fleksibilitas pemberian dosis.
e) Efektifitas pelepasan obat dipengaruhi dan dibatasi oleh lama tinggal di saluran cerna.
13
f) Jika penderita mendapat reaksi samping obat atau secara tiba–tiba mengalami
keracunan maka untuk menghentikan obat dari sistem tubuh akan lebih sulit
dibanding sediaan konvensional
g) Tidak dapat digunakan untuk obat yang memiliki dosis besar (500 mg).
Berdasarkan mekanismenya sediaan sustained release dapat dikategorikan:
A. Single unit.
B. Multiple unit.
C. Mucoadhesive systems
A. Single Unit
Menggunakan satu mekanisme dimana dalam sistem pelepasan obat dapat dilakukan
dengan cara: modifikasi kimia seyawa obat, tablet erosi, sistem matriks, swellable
matriks (hydrogel), tablet mengapung, dan pompa osmotik.
A.1 Modifikasi Kimia
Jika suatu obat dibutuhkan dalam dosis yang terus menerus, maka masalah utama
adalah kelarutan. Jika bahan obat diabsobsi secara konsisten baik seluruhnya ataupun
sebagian melalui saluran gastro-intestinal, maka dengan menurunkan kelarutan dari
bahan tersebut akan memperpanjang waktu melarut. Dengan cara ini obat akan
diabsorbsi lebih lambat dengan periode waktu yang panjang, dan efek terapeutik
menjadi lebih panjang dengan menggunakan derivat / turunan dari obat yang
mempunyai daya larut lebih rendah. Efek toksik dapat diturunkan serta
memperpanjang masa kerja obat. (Gambar 1)
14
A.2 Tablet Erosi (Erosion Tablet)
Tablet erosi adalah tablet yang tidak hancur, tapi mengalami erosi /
pengikisan pada saat mengalami kontak dengan medium disolusi. Untuk mengontrol
laju erosi, ditambahkan polyethylen glycol distearate dalam jumlah cukup. Sterotex
(lemak nabati terhidrogenasi) dapat juga ditambahkan sebagai basis lilin.
A.3 Sistem Matriks (Matrix system)
Matriks merupakan sebuah bentuk dari campuran bahan obat, bahan
tambahan, dan polimer yang tercampur secara homogen dalam bentuk padat. Prinsip
dasar matriks pertama kali dikembangkan oleh Higuchi (1963), dan bentuknya dapat
dilihat pada gambar 2.
Bahan obat yang mempunyai kelarutan di dalam medium pelarut (S),
terdispersi di dalam matriks, dimana matriks tersebut tidak terlarut di dalam medium
pelarut. Konsentrasi obat di dalam matriks merupakan luas permukaan matriks.
Matriks tersebut berongga, dan akan menyebabkan cairan masuk dari bulk liquid
(dari arah kanan). Jadi akan ada bidang cairan, dimana x = L cm dari permukaan
(dimana x = 0) pada suatu waktu ( t ). Cairan tersebut akan melarutkan bahan obat,
sampai level L. Bagian dari matriks, antara L dan h masih terdapat partikel padat
yang belum seluruhnya melarut, pada volume di sebelah kanan h (0 < x < h) seluruh
partikel terlarut. Pada volume L > x > h, cairan akan jenuh dengan bahan obat, tetapi
jika x < h, konsentrasi akan menurun hingga 0 pada batas pernukaan dengan cairan.
15
Gambar 1. Profil obat sustained release dalam darah
Umumnya
produk sustained release menggunakan polimer dengan bobot yang tinggi. Polimer-
polimer yang umum digunakan adalah: polyethilen glycol (PEG), polyvinyl
pyrrolodin (PVP), hydroxypropyl methylcellulosa (HPMC), dan methylcellulosa
(MC).
A.4 Swellable Matrice (Hydrogel)
Hydrogel didefinisikan ‘jaringan polimer hidrofilik yang dapat menyerap
molekul air secara signifikan(> 20 % dari bobot kering) tanpa ikut melarut dan
kehilangan bentuk / strukturnya’. Polimer ini umumnya terdiri dari tipe tersambung
silang, dimana swelling dapat disebabkan oleh faktor lain seperti tekanan van der
wall, kristalisasi, ikatan hidrogen, ataupun ikatan ion.
Kebanyakan polimer akan mengembang di dalam air, dan polimer yang sering
digunakan untuk swellable matrice adalah HPMC.
Mekanisme dari pembentukan hydrogel dapat dijelaskan sbb:
- Pertama-tama, akan terbentuk lapisan gel pelindung dikeliling tablet.
- Pseudogel akan menyebabkan cairan masuk ke dalam tablet, dan hal ini akan menye-
babkan lapisan gel bertambah lebar sampai ke tablet.
- Lapisan luar gel akan menyerap air lebih banyak dan akan terlarut dalam medium
pelarut.
16
Gambar 2. Skema matriks dalam 2 dimensi pada satu sisi (ke kanan) mengarah ke cairan
- Kondisi steady state tercapai pada saat pembentukan lapisan gel seimbang dengan laju
erosi.
- Seluruh gel akan mengembang, kemudian tablet tersebut akan menjadi tablet erosi.
- Ketika proses pembentukan gel dan laju erosi berada pada kecepatan yang sama,
proses tersebut akan terus berulang sampai seluruh bagian tablet menyerap cairan dan
basah, dan erosi terus berlanjut sampai seluruh bagian tablet terlepas dan larut.
A.5 Tablet Mengapung (Floatable tablet)
Salah satu kendala yang timbul pada bentuk sustained release adalah waktu
pengosongan lambung. Hal ini berbeda dari satu pasien ke pasien yang lain, dari
kondisi orang yang berpuasa dan tidak berpuasa, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu
maka dibuat tablet yang dapat mengapung di dalam cairan lambung.
Sheth (1978) mendeskripsikan komposisi dari tablet mengapung 0-80%
bahan obat dan 20-75% methylcellulose, HPC, HPMC, hydroxyethylcellulose, atau
sodium carboxymethylcellulose (atau campuran dari bahan-bahan tsb). Komposisi ini
akan menghasilkan produk yang akan mengapung yang diformulasikan dengan 2
(dua) lapisan tablet dengan komposisi yang dapat mengapung pada cairan lambung.
A.6 Tekanan Osmotik (Osmotic pump)
Prinsip tekanan osmotic dapat dilihat pada gambar 4. Inti tablet (core tablet)
yang mengandung bahan obat dan elektrolit (contoh; NaCl) dilapisi dengan film yang
dapat ditembus oleh molekul air (water permealbe) tetapi tidak larut dalam air. Pada
17
Gambar 3. Prinsip mekanisme matriks hydrogel
bagian luar tablet tersebut dibuat lubang dengan seksama (diameter tertentu) sampai
lapisan film. Pada saat kontak dengan cairan pelarut (contoh; air), cairan pelarut akan
masuk ke dalam tablet (dengan cara difusi pada awalnya melalui lubang yang
dibuat).
Elektrolit dan obat akan terlarut dan membentuk larutan jenuh dan akan
menghasilkan tekanan osmotik yang akan mendorong obat keluar melalui lubang.
Tekanan omtoik ini dipengaruhi oleh kelarutan elektrolit, ekivalensi ion, temperatur.
B. Multiple Unit.
Bentuk majemuk dari sustained dapat dilakukan dengan cara mikroenkapsulasi,
dengan mekanisme dari sistem matriks ganda, penyalutan molekul obat (film,
campuran film), sistem pompa osmotik ganda, dan tablet mikrokapsul.
C. Mucoadhesive system
Menggunakan prinsip dari bioadhesi untuk memaksimalkan pelepasan obat. Bioadhesi
merupakan peristiwa dimana jaringan biologis melekat pada pada jaringan lain yang meliputi
biologis dan non-biologis. Jika tempat terjadinya bioadhesi berada pada membrane mukosa,
18
Gambar 4. Mekanisme tekanan osmotik
maka disebut mucoadhesive. Produk lepas terkontrol memungkinkan lokalisasi obat pada
daerah saluran GI mucoadhesive yang dapat memperpanjang kontak obat dengan membrane
absorbsi dan lokalisasi penghantaran obat ke organ target.
Dalam pemberian sistem pelepasan obat terkontrol beberapa hal menjadi
pertimbangan yang perlu diperhatikan. Hal ini meliputi rute pemberian obat, tipe pelepasan
obat, penyakit yang diderita, pasien, lama terapi, dan karakteristik obat. Faktor-faktor ini
saling berhubungan yang akan menentukan pemilihan untuk rute pemberian, formulasi dari
pelepasan obat, dan lama terapi.
19
II.3 Pelepasan Zat Aktif Obat Oral Konvensional Dan DDS
Sustained Release
Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara
pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas di saluran cerna dan sebagian lagi
masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar dari saluran cerna.
Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol sehingga absorpsi
bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbullah sediaan farmasi yang semula dipakai tiga
kali sehari menjadi satu kali sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut dalam cairan saluran
cerna bisa diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat yang sudah terlarut
itu bisa terurai tergantung dari sifatnya, sehingga sudah berkurang obat yang diabsorpsi.
Menyadari kenyataan ini maka munculah produk sediaan yang melalui kulit untuk tujuan
pemakain sistemik seperti obat jantung, hormon, obat anti mabuk dan lain-lain. Tidak
mungkin menempelkan obat berbulan-bulan, apalagi bertahun-tahun, sehingga munculah obat
diimplantasi di bawah kulit seperti obat untuk keluarga berencana yang bisa bertahan sampai
tiga tahun.
Berdasarkan pelepasan zat aktifnya, tablet dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan:
1. Tablet lepas langsung (conventional); tablet telan, kunyah, buccal, sublingual, effer-
vescent.
2. Tablet lepas terkontrol (modified); tablet salut (film, enteric, gelatin), sustained re-
lease.
Sistem pelepasan obat bentuk sediaan sustained release memberikan konsentrasi obat
dalam plasma yang konstan (atau mendekati) selama periode waktu setelah obat diberikan.
Selama konsentrasi plasma obat dipertahankan dalam waktu yang lama, dengan
menggunakan bentuk sediaan sustained release efek samping dapat diminimalkan, frekuensi
pemberian obat dapat dilakukan, dan peningkatan kebutuhan pasien dapat dicapai khususnya
untuk terapi jangka panjang.
Tidak semua obat dapat dibuat dalam bentuk sediaan sustained release, oleh sebab itu sediaan
sustained release yang baik harus memenuhi persyaratan sbb:
20
1. Meningkatkan durasi efek obat di dalam tubuh.
2. Mengontrol pelepasan obat pada waktu yang lama.
3. Meningkatkan efektifitas terapi obat.
4. Melepaskan obat dengan aman tanpa resiko dumping dosis.
21
II.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pelepasan Dan Pengeluaran Obat
Konvensional Dan DDS Sustained Release
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisikokimia obat:
1. Kelarutan dalam air dan pKa.
Sebelum diabsorbsi, obat harus dapat melarut terlebih dahulu dalam fase air
yang mengelilingi wilayah pemberian obat dan melewati membrane. 2 (dua) di-
antaranya yang paling penting dan banyak mempengaruhi proses absorbsi adalah ke-
larutan dan yang menentukan bahwa obat tersebut merupakan senyawa asam lemah
atau basa lemah yaitu pKa.
Kelarutan dalam air dari suatu obat mempengaruhi laju disolusi, dimana
akan merubah kestabilan larutan obat dan akan memberikan dorongan untuk difusi
melalui membran.Kelarutan dalam air pada senyawa asam lemah dan basa lemah
diatur oleh pKa dan pH medium.Formulasi obat dalam bentuk lepas terkontrol tidak
memberikan keuntungan yang signifikan dibandingkan bentuk konvensional. Difusi
obat melewati polimer pada saat tahap pelepasan obat sangat tidak memungkinkan un-
tuk obat-obat yang mempunyai kelarutan yang rendah, karena kemampuan difusi
dipengaruhi oleh konsentrasi obat di dalam polimer atau larutan, dimana pada kondisi
ini akan rendah. Untuk obat yang mempunyai kelarutan yang tinggi dan laju disolusi
yang cepat, seringkali sulit untuk menurunkan laju disolusi untuk memperlambat ab-
sorbsi. Oleh sebab itu, obat dapat dibuat dengan metode lepas terkontrol / sustained
release.
2. Koefisien Partisi
Diantara waktu pemberian obat dan eliminasi obat di dalam tubuh, obat
harus dapat berdifusi melewati berbagai membrane biologi yang tersusun oleh lipid.
Kriteria dalam evaluasi kemampuan obat untuk melewati membrane lipid ini
dinyatakan dalam koefisien partisi minyak/air. Semakin besar kemampuan obat
melewati membran maka semakin besar punya aktivitasnya. Nilai optimum dari
koefisien partisi menunjukkan efektifitas kemampuan obat melewati membran dan
semakin besar aktivitasnya. Nilai K pada aktivitas optimum diperkirakan 1000/1.
Obat dengan nilai K di atas atau di bawah nilai optimum, secara umum tidak
22
dapat direkomendasikan untuk bentuk sediaan sustained release.
3. Stabilitas Obat.
Salah satu faktor yang penting dalam pemberian oral adalah disintegrasi obat
di dalam cairan asam lambung atau metabolisme di dalam saluran Gastro Intestinal.
Obat dalam bentuk padat memiliki kecapatan degradasi yang rendah dibandingkan
dengan bentuk suspensi atau larutan. Oleh sebab itu sangat memungkinkan untuk
meningkatkan bioavailabilitas untuk obat-obat yang kurang stabil di dalam lambung,
dimana lepas terkontrol dapat dibuat di daerah usus, demikian sebaliknya. Oleh
sebab itu obat-obat yang kurang stabil baik di seluruh bagian gastro intestinal kurang
baik diberikan dalam bentuk sustained release. Sistem lepas terkontrol dapat
memberikan keuntungan yang baik untk obat-obat yang tidak stabil pada saluran GI
karena obat dapat dilindungi dari degradasi enzim dengan suatu matriks polimer.
4. Ikatan protein
Beberapa obat memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan protein
plasma (albumin) dan menyebabkan penumpukan obat di dalam pembuluh darah.
Sebab utama terjadinya ikatan tersebut adalah ikatan van der wall, ikatan hidrogen,
dan ikatan elektrostatik. Obat yang terikat dengan potein kemudian didistribusikan ke
wilayah extravaskular (organ target) dipengaruhi oleh proses pelepasan obat dari
Ikatan protein-obat dapat berfungsi sebagai reservoir di dalam pembuluh darah dan
mempengaruhi pelepasan obat ke dalam jaringan organ target, tetapi hanya untuk
obat yang mempunyai ikatan yang tinggi. Oleh sebab itu, karakteristik ikatan protein
sangat berperan dalam efek terapi, tergantung dari tipe bentuk sediaan obat.
5. Ukuran partikel dan kemampuan difusi
Obat dalam bentuk lepas terkontrol harus dapat berdifusi melewati membran
atau matriks. Kemampunyai difusi obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Nilai difusi
dapat dinyatakan dengan ‘D’. Nilai dari D berhubungan dari ukuran dan bentuk dari
rongga perut (saluran GI) dan ukuran sebagai medium. Obat maupun polimer yang
mempunyai bobot molekul yang tinggi diharapkan dapat menunjukkan kinetika
pelepasan obat yang lambat dengan difusi melalui membran polimer atau matriks
sebagai mekanismenya.
23
Faktor biofarmasi yang mempengaruhi pelepasan obat konvensional dan DDS sustained
release :
1. Absorbsi
Kecepatan, tingkat dan keragaman absorbsi obat merupakan faktor yang
penting ketika suatu obat akan dibuat sebagai sustained release. Diasumsikan waktu
transit obat sampai absorbsi, waktu paruhnya adalah 4 jam. Konstanta kecepatan
minimum absorbsi Ka adalah 0,17 sampai 0,23 jam dengan presentase absorbsi 80 –
95% setelah 9 sampai 12 jam waktu transit. Untuk obat yang memiliki kecepatan
absorbsi yang tinggi (Ka >> 0,23 jam-1), dimana implikasi orde satu konstanta
kecepatan absorbsi Kr < 0,17 jam-1 yang menyebabkan bioavailabilitas yang rendah
pada banyak pasien. Oleh karena itu obat yang lama diabsorbsi akan lebih sulit dibuat
sebagai sustained release karena kriteria Kr <<< Ka harus tercapai.
2. Distribusi
Distribusi obat ke dalam pembuluh darah dan organ target tubuh merupakan
faktor yang penting yang merupakan inti dari kinetika eliminasi. 2 (dua) parameter
yang digunakan untuk menerangkan karakteristik distribusi obat adalah volume
distribusi dan rasio konsentrasi obat pada jaringan dan di dalam plasma darah pada
saat steady state, disebut juga Rasio T/P. Besaran volume distribusi dapat digunakan
sebagai evaluasi lanjut dan kisaran dalam cara pemberian dosis yang dibutuhkan
untuk sistem sustained release.
3. Metabolisme
Obat yang langsung dimetabolisme sebelum diabsorbsi, baik dalam lumen
lambung maupun jaringan usus akan menurunkan bioavailabilitas pada bentuk sediaan
sustained release. Umumnya dalam dinding usus terdapat enzim. Ketika obat
dilepaskan dengan lambat menuju dinding usus, lebih sedikit obat yang mengalami
proses enzimatik pada periode tertentu akan diubah menjadi metabolit. Formulasi
untuk senyawa yang mudah beraksi dengan enzim adalah prodrug.
24
4. Waktu paruh
Tujuan dari produk sustained release adalah untuk menjaga ketersediaan obat
dalam darah untuk waktu yang lama. Oleh sebab itu, laju absorbsi harus sama dengan
laju eliminasi. Laju eliminasi secara kuantitatif dinyatakan dengan waktu paruh.
Setiap obat mempunyai karakteristik masing-masing untuk laju eliminasi, dimana
keseluruhan proses eliminasi termasuk metabolisme, ekskresi melalui urine dan
seluruh proses yang dapat mengeluarkan obat dalam aliran darah secara permanen.
Obat-obat yang mempunyai waktu paruh kurang dari 2 jam tidak dapat digunakan
sebagai sediaan sustained release. Untuk obat-obat yang mempunya waktu paruh lebih
dari 8 jam, juga tidak dapat digunakan sebagai sustained release karena efek dari obat
tersebut sudah panajang.
5. Efek samping dan pertimbangan keamanan
Didasarkan kepada index terapi obat, dimana pemilihan obat yang
potensional dapat direkomendasikan untuk pembuatan sustained release.
Dimana :
6. Takaran Dosis
Karena sustained release ditujukan untuk frekuensi terapi yang terus
menerus, maka umumnya mengandung dosis obat yang lebih besar daripada dosis
konvensional, volume produk juga lebih besar dari ukuran konvensional yang sering
menimbulkan keadaan tidak praktis.
BAB III25
PEMBAHASAN
Propanolol HCl merupakan senyawa pemblok reseptor beta non-selektif dalam
pengobatan hipertensi dan mempunyai waktu paruh eliminasi pendek sekitar 3 jam. Dengan
waktu eliminasi yang pendek memungkinkan propanolol HCl dibuat sediaan lepas lambat.
Untuk mengurangi frekuensi pemberian, meningkatkan kenyamanan pasien dan
menjagakonsentrasi obat dalam darah tetap dalam jendela terapeutik, dapat dilakukan dengan
memberikan sediaan lepas lambat dan terkontrol yang bekerja dengan mengontrol pelepasan
obat. Banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat sediaan lepas lambat, salah
satunya adalah sediaan yang dirancang untuk tetap tinggal dilambung. Bentuk sediaan yang
dapat dipertahankan di dalam lambung disebut gastroretentive drug delivery system
(GRDDS). GRDDS dapat memperbaiki pengontrolan penghantaran obat yang memiliki
jendela terapeutik sempit, dan absorbsinya baik di lambung. Hal-hal yang dapat
meningkatkan waktu tinggal dilambung meliputi: system penghantaran bioadhesieve yang
melekat pada permukaan mukosa, sistem penghantaran yang dapat meningkatkan ukuran obat
sehingga tertahan karena tidak dapat melewati pylorus dan sistem penghantaran dengan
mengontrol densitas termasuk floating system dalam cairan lambung (Gohel et al., 2004).
Beberapa teknik yang termasuk dalam gastroretentive sebagai berikut :
Floating system Floating system, pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun
1968, merupakan system dengan densitas yang kecil, yang memiliki kemampuan
mengambang kemudian mengapung dan tinggal dilambung untuk beberapa waktu. Pada saat
sediaan mengapung dilambung, obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang dapat
ditentukan, hasil yang diperoleh adalah peningkatan gastric residence time (GRT) dan
pengurangan fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma (Chawla et al., 2003). Sistem
mengapung pada lambung berisi obat yang pelepasannya perlahan-lahan dari sediaan yang
memiliki densitas yang rendah atau floating drug delivery system (FDDS) atau biasa disebut
hydrodynamically balanced system (HBS). FDDS atau HBS memiliki bulk density yang lebih
rendah dari cairan lambung. FDDS tetap mengapung dalam lambung tanpa mempengaruhi
kondisi lambung dan obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang diinginkan dari sistem
(Anonim, 2003). Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan matriks-
matriks hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically balanced system (HBS),
26
karena saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun akibat matriknya mengembang, dan
dapat menjadi gel penghalang dipermukaan bagian luar. Bentukbentuk ini diharapkan tetap
dalam keadaan mengapung selama tiga atau empat jam dalam lambung tanpa dipengaruhi
oleh laju pengosongan lambung karena densitasnya lebih rendah dari kandungan gastrik.
Hidrokoloid yang direkomendasikan untuk formulasi bentuk floating adalah cellulose ether
polymer, khususnya hydroxypropyl methylcellulose (Moes, 2003). Floating system dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu :
1). Non-Effervescent system
Pada effervescent system biasanya menggunakan matriks yang memiliki daya
pengembangan tinggi seperti selulosa, jenis hidrokoloid, polisakarida dan polimer seperti
polikarbonat, poliakrilat, polimetakrilat dan polistiren. Salah satu cara formulasi bentuk
sediaan floating yaitu dengan mencampur zat aktif dengan hidrokoloid gel. Hidrokoloid akan
mengembang ketika kontak dengan cairan lambung setelah pemberian oral, tinggal dengan
bentuk yang utuh dan bulk densitynya lebih kecil dari kesatuan lapisan luar gel. Struktur gel
bertindak sebagai reservoir untuk obat yang akan dilepaskan perlahan dan dikontrol oleh
difusi melalui lapisan gel (Anonim, 2003).
2). Effervescent system
Sistem penghantaran mengapung ini dipersiapkan dengan polimer yang dapat
27
mengembang seperti Methocel, polisakarida, chitosan dan komponen effervescent (misal;
natrium bikarbonat dan asam sitrat atau tartrat). Matriks ketika kontak dengan cairan
lambung akan membentuk gel, dengan adanya gas yang dihasilkan dari sistem effervescent,
maka gas akan terperangkap dalam gelyfiedhydrocolloid, akibatnya tablet akan mengapung,
meningkatkan pergerakan sediaan, sehingga akan mempertahankan daya mengapungnya
(Anonim, 2003).
28
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
Salah satu dari bentuk sediaan Oral Drug Delivery adalah sediaan Sustained
Release, yaitu suatu sediaan obat yang pelepasan zat aktifnya dilakukan dalam
waktu yang cukup lama, sehingga obat dapat diberikan dalam dosis pemakaian
satu kali sehari.
Salah satu mekanisme dari pembuatan tablet sustain release adalah single unit dimana
dapat dilakukan dengan cara: modifikasi kimia seyawa obat, tablet erosi, sistem
matriks, swellable matriks (hydrogel), tablet mengapung, tekanan osmotik.
Factor Biofarmasetik yang mempengaruhi pembuatan sediaan sustained release :
a. Disosiasi konstan "pKa"
b. Koefisien Partisi
c. Stabilitas Obat
d. Penyerapan
e. Distribusi
f. Metabolisme
g. Efek Samping dan pertimbangan Keselamatan
29
Recommended