TAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
bimbingan, rahmat serta kasihNya, makalah ini dapat saya selesaikan. Walaupun
banyak kendala yang saya dapat selama penyusunan makalah ini baik berupa
sumber/referensi buku dan waktu tetapi karena deadline yang mengejar, saya dengan
tekun dan sabar untuk menyelesaikannya.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna seperti peribahasa tiada
gading yang tak retak, karena itu dengan hati yang terbuka, saya mengharapkan saran
dan masukan demi penyempurnaan penyusunan makalah saya yang lain di kemudian
hari.
Kiranya Tuhan Yang Maha Kasih memberikan limpahan berkat dan rahmatNya
sebagai balasan bagi kita semua.
Purwokerto, 9 April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................. iv
1.2 Rumusan Masalah ........................................................... v
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pailit dan Kepailitan ...................................................... 1
2.2 Pengaturan Kepailitan ................................................... 4
2.3 Pranata Kepailitan dalam Proses Kepailitan .................. 10
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN............................................................... 13
3.2 DAFTAR PUSTAKA ................................................... 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum pernah melakukan
utang. Perbuatan hukum yang dilakukan antar orang yaitu pinjam-meminjam biasa
dilakukan masyarakat pada umumnya. Debitur sebagai peminjam, kadang kala
memiliki lebih dari satu kreditur. Begitu pun dengan perbuatan hukum, pinjam-
meminjam yang dilakukan oleh badan hukum, biasanya perusahaan. Untuk
keberlangsungan usaha sebuah perusahaan, perusahaan melakukan peminjaman
modal ke beberapa pihak (kreditur), misalnya melakukan peminjaman ke Bank.
Peminjaman itu didasari oleh perjanjian yaitu waktu untuk mengembalikan pinjaman.
Perusahaan dan juga orang sebagai debitur jika tidak mampu/tidak mau
mengembalikan utang kepada kreditur sesuai waktu yang telah ditentukan, maka
kreditur dapat membawa masalah utang tersebut ke Pengadilan. Jika ternyata debitur
tersebut dalam pemeriksaan tidak mampu membayar utangnya maka hakim dapat
membuat putusan pailit, dan harta-harta debitur berada dalam pengawasan kurator.
Kurator mengurus dan membereskan harta pailit debitur untuk dapat dibayarkan
kepada kreditur.
iii
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Kepailitan itu dalam Hukum Dagang ?
2. Apakah sajakah yang diatur dalam Kepailitan ?
3. Bagaimana proses dalam Kepailitan ?
iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pailit dan Kepailitan
Persekutuan dagang, baik perseorangan, badan usaha dengan status non badan
hukum maupun badan hukum maupun badan usaha dengan status badan hukum dapat
mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan secara terminologi hukum sering disebut
sebagai pailit, sedangkan proses pemberesan terhadap harta pailit disebut juga sebagai
kepailitan.
Pailit ialah kondisi orang yang tidak mampu atau tidak mau membayar utang
oleh kreditur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Ketidakmampuan membayar utang tersebut harus disertai dengan suatu tindakan
nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri,
maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pernyataan
pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai
suatu bentuk pemenuhan asas “publisitas” dari keadaan tidak mampu membayar dari
seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak
ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar
dari debitur. Keadaan ini akan diperkuat dengan adanya suatu putusan pernyataan
1
pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan
ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.1
Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU memiliki
arti bahwa kreditur yang tidak dibayar utangnya, secara sah dapat memohonkan pailit
debitur, tanpa memepertimbangkan seberapa besar jumlah piutang kreditur.
Permohonan pailit akan akan diputus oleh hakim Pengadilan Niaga berdasarkan fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana memenuhi persyaratan pada Pasal 2 ayat
1 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. 2
Syarat-syarat agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit melalui putusan
pengadilan adalah3:
1. Terdapat minimal 2 orang kreditur;
2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
3. Debitur memiliki utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Beberapa materi baru yang termuat dalam UU No. 37 Tahun 2004 antara lain
pertama, pengertian utang yang diberikan batasan secara tegas. Begitu pula
pengertian jatuh waktu/tempo. Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur
pernyataan pailit dan permohonan kewajiban pembayaran utang termasuk di
dalamnya pemberian jangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan
pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.
1 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis KEPAILITAN, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 11-12.
2 Fennieka Kristianto, Kewenangan Menggugat Pailit Dalam Perjanjian Kredit Sindikasi, Minerva Athena Pressindo, Jakarta, 2009, hlm. 82.
3 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2006, hlm. 89.
2
Kepailitan merupakan suatu proses untuk mengatasi pihak debitur yang
mengalami kesulitan keuangan dalam membayar utangnya setelah dinyatakan pailit
oleh pengadilan, karena debitur tidak dapat membayar utangnya, sehingga harta
kekayaan yang dimiliki debitur akan dibagikan kepada kreditur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.4Kepailitan merupakan putusan
pengadilan.5
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengartikan
kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Hukum kepailitan memiliki tujuan untuk mencegah pembayaran utang-utang
debitur secara tidak adil dan melawan hukum yang dilakukan oleh para kreditur,
karena dalam praktik proses kepailitan, para kreditur akan melakukan perbuatan-
perbuatan untuk melakukan pelunasan, baik dengan hukum maupun dengan cara yang
melawan hukum, sehingga tidak semua kreditur mendapatkan pembayaran yang adil,
apabila harta kekayaan yang dimiliki debitur tidak cukup untuk membayar para
kreditur.6
4 Rudi A. Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 23.
5 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009, hlm. 1.
6 Ibid, hlm. 74-75.
3
Tujuan utama kepailitan ialah untuk melakukan pembagian antara para kreditur
atas kekayaan debitur oleh kurator sehingga kepailitan dapat menghindari terjadinya
sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan mengganti dengan
mengadakan sitaan bersama supaya kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua
kreditur sesuai dengan hak masing-masing.7
B. Pengaturan Kepailitan
Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi sebagai
realisasi dari tanggung jawab debitur terhadap dan atas perikatan yang dilakukan8
sebagaimana diatur dan dimaksud dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
Kepailitan itu mencakup:
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat ia dinyatakan pailit (dengan beberapa
pengecualian untuk si pailit perorangan) beserta aset.
2. Hilangnya wewenang di pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas
kekayaannya termasuk harta kekayaan.
Kepailitan harus dikaitkan dengan dasar pemikiran yang menjadi latar belakang
diundangkannya UU No. 4 Tahun 1998.9 Undang-Undang Kepailitan tidak hanya
mencakup utang dalam suatu perjanjian pinjam-meminjam uang, melainkan juga
7 Mosgan Situmorang, Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang, Majalh Hukum Nasional, Nomor 1, 1999, hlm. 163.
8 Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum Bisnis Volume 7 Tahun 1999, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hlm 22.
9 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan Yang terkait dengan Kepailitan, CV Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 19.
4
kewajiban yang timbul dari perjanjian lain atau transaksi yang mensyaratkan untuk
dilakukan pembayaran.
Asas tanggung jawab debitur terhadap krediturnya di dalamnya terkandung asas
jaminan utang dan asas paripassu (membagi secara proporsional harta kekayaan
debitur kepada kreditur konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-
masing kreditur tersebut) atau asas concursus creditorium (para kreditur harus
bertindak bersama-sama). Dengan demikian asas tanggung jawab debitur terhadap
krediturnya di dalam KUH Perdata maupun di dalam UU Kepailitan sebagai realisasi
dan merupakan pengaturan lebih lanjut atas dan dari asas tanggung jawab debitur
terhadap krediturnya tersebut, secara umum dapat dikatakan pada dasarnya tidak
membedakan subyek termohon pailit atau pemohon pailit.
Debitur jika hanya mempunyai satu kreditur dengan tidak membayar utangnya
secara sukarela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan
utangnya kepada kreditur tersebut.10 Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk
membayar kreditur tersebut. Dalam hal kreditur mempunyai kreditur lebih dari satu
dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kepada
kreditur, dalam perjanjian diatur tentang kelalaian atau wanprestasi pihak dalam
perjanjian yang dapat mempercepat jatuh tempo suatu utang. Maka, para kreditur
akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun tidak halal, untuk
10 Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A. Lontoh et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 300.
5
mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditur yang datang belakangan
sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Hal ini dinilai
tidak adil. Berdasarkan alasan tersebut, timbulah kepailitan yang mengatur tatacara
yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur, dengan berpedoman
pada KUH Perdata Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 maupun pada ketentuan
Undang-undang Kepailitan sendiri.
Penyitaan terhadap harta benda atau kekayaan debitur pailit, dasar hukumnya
terdapat pada Pasal 21 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi:
“Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”.
Ketentuan Pasal 21 UUKPKPU hampir senada dengan ketentuan di dalam
Pasal 1131 KUH Perdata, hanya saja ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata lebih luas
karena mencakup harta yang ada dan yang akan ada di kemudian hari, sedangkan
dalam Pasal 21 UUKPKPU harta kekayaan pada saat putusan pailit dijatuhkan.
Hukum kepailitan di Indonesia sebelumnya diatur dalam undang-undang
tentang Kepailitan (Failisements Verordening Staatsablad 1905:207 jo Staatsblad
1906:348) yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah
Hindia Belanda. Dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan
hukum masyarakat untuk penyelesaian utang-piutang, sehingga diperbarui dengan
UU No. 4 Tahun 1998 dan terakhir diperbarui lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004
6
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengertian
kepailitan menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum atas
semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Keadaan pailit juga meliputi segala harta bendanya yang berada di luar negeri.11
Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting,
sebagai realisasi dari dua Pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan
Pasal 1132 KUH Perdta mengenai tanggung jawab debitur terhadap utang-utangnya.
Kepailitan memiliki asas-asas yang harus ditaati, baik dalam pengajuan
permohonan pailit, dalam proses kepailitan maupun dalam pelaksanaan eksekusi
harta pailit. Beberapa asas-asas kepailitan yang harus ditaati:
1. Asas perlindungan yang seimbang, seperti memperkenankan dilakukannya
penundaan eksekusi selama 90 hari;
2. Asas kreditur untuk tidak menyetujui debitur dipailitkan, yang lebih lanjut
akan dinilai oleh hakim;
3. Asas kesempatan bagi debitur untuk memperbaiki;
4. Asas putusan pengadilan harus mendapatkan persetujuan para kreditur;
5. Asas undang-undang harus menghormati pemegang hak separatis atau
pemegang jaminan.
11 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cet. 2, NV. Van Dorp & Co., hlm. 140.
7
Pernyataan pailit yang telah diputus oleh pengadilan niaga memiliki akibat
hukum terhadap debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata
atas seluruh kekayaan debitur pailit, yang berlaku bagi semua kreditur konkuren
dalam kepailitan untuk mendapatkan pembayaran atas seluruh piutang-piutang
kreditur konkuren, sehingga terjadi sitaan umum terhadap seluruh harta kekayaan
debitur yang diperlukan untuk memenuhi seluruh kewajiban-kewajiban yang dimiliki
berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata (pari pasu pro rata parte).
Pernyataan pailit terhadap debitur dapat mengakibatkan debitur kehilangan
segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah
dimasukkan ke dalam harta pailit. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 16 ayat 1
dan Pasal 69 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang
menjelaskana bahwa kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun
terhadap debitur mengajukan kasasi atau peninjauan kembali atas putusan pailit
terhadap debitur.
Debitur yang telah dinyatakan pailit tetap memiliki hak untuk melakukan
perbuatan hukum dalam menerima harta benda yang akan didapatkan, meskipun harta
benda yang akan didapatkan akan menjadi bagian dari harta pailit. Debitur yang telah
dinyatakan pailit juga tetap memiliki hak untuk mengajukan perdamaian kepada para
krediturnya dalam melakukan pembayaran atas sejunlah utang yang dimiliki oleh
debitur. Perdamaian merupakan perjanjian antara debitur dengan para krditur untuk
8
menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat, setelah debitur
melakukan pembayaran, debitur dibebaskan dari sisa seluruh utang yang masih
dimiliki oleh debitur.
Perdamaian yang dilakukan setelah putusan pailit oleh debitur kepada para
krediturnya memiliki 10 akibat hukum, yaitu12:
1. Penerimaan permohonan perdamaian, kepailitan berakhir;
2. Keputusan penerimaan perdamaian mengikat seluruh kreditur konkuren;
3. Perdamaian tidak berlaku bagi kreditur separatis dan kreditur yang
diistimewakan;
4. Perdamaian tidak boleh diajukan dua kali;
5. Perdamaian merupakan alas hak bagi debitur;
6. Hak-hak kreditur tetap berlaku terhadap guarantor dan rekan debitur;
7. Hak-hak kreditur tetap berlaku terhadap benda-benda pihak ketiga;
8. Penangguhan eksekusi jaminan utang berakhir;
9. Actio pauliana berakhir;
10. Debitur dapat direhabilitasi nama baiknya.
C. Pranata Kepailitan Dalam Proses Kepailitan
Proses kepailitan yang dilakukan terhadap debitur harus dilakukan dengan
memperhatikan nilai keadilan dan nilai kapastian hukum, baik untuk debitur itu
sendiri maupun untuk para kreditur. Proses kepailitan harus dilakukan berdasarkan
12 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 118-119.
9
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dan hukum acara yang berlaku,
karena kapilitan sangat berhubungan dengan hak kebendaan yang melekat pada
debitur dan kreditur.
Dalam UU NO. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dasar hukum
melakukan penyitaan terhadap dalam Pasal 21 yang menjelaskan bahwa “Kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta
segala sesuatu yang telah diperoleh selama kepailitan”. Setelah putusan pailit
dinyatakan oleh pengadilan niaga kepada debitur, harta benda pailit diurus oleh
kurator yang merupakan balai harta peninggalan atau perseorangan yang diangkat
oleh pengadilan niaga untuk mengurus dan membereskan harta debitur di bawah
pengawasan hakim pengawas, sehingga setiap gugatan yang bertujuan untuk
mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta pailit yang secara langsung diajukan
kepada debitur pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan
kepada kurator.13
Pengadilan Niaga dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang
Kepailitan yang ditingkatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 dan diperbarui dengan
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pengadilan Niaga dibentuk
dengan persyaratan dan komposisi hakim yang berbeda dengan hakim di pengadilan
umumnya, seperti: hakim dalam pengadilan niaga tidak boleh tersangkut perkara
korupsi dan komposisi hakim dalam pengadilan niaga yang sebagian besar terdiri dari
13 Gunawan Widjaya, Op.cit, hlm. 52.
10
kalangan akademisi, selain setiap hakim dalam Pengadilan Niaga telah dibekali
dengan teori, doktrin, dan aturan-aturan yang menjelaskan lebih lanjut mengenai
substansi UU NO. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Akibat khusus kepailitan terhadap perjanjian yang dibuat setelah putusan pailit
yang dianggap merugikan kreditur maka akan dibatalkan oleh kurator, kecuali
perikatan dapat menguntungkan harta pailit.
Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitur, kreditur, kejaksaan, Bank
Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan diatur di dalam
Pasal 2 ayat 1; 2; 3; 4; 5, dan Pasal 2 ayat 5 UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU.
Dalam praktiknya, sebagian besar permohonan kepailitan diajukan oleh para
kreditur konkuren karena kreditur konkuren bukan merupakan kreditur yang dijamin
pelunasan utangnya, sebagaimana kreditur separatis dan kreditur preferen. Karena
kreditur preferen dan separatis telah dijamin dalam pelunasan utangnya. Kreditur
separatis dan kreditur preferen juga dapat mengajukan permohonan atas kecurangan
harta jaminan debitur yang telah terjual sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 60
ayat 3 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Secara yuridis formal, ketentuan Pasal 2 UU NO. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU menjelaskan bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus
diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan pengadilan niaga yang meiliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.
11
Putusan pailit yang telah diputus oleh pengadilan niaga dapat dilakukan upaya hukum
dalam bentuk kasasi untuk putusan pailit yang belum memiliki kekuatan hukum tetap,
sedangkan upaya hukum dalam bentuk peninjauan kembali untuk putusan pailit yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dasar hukum tentang Kepailitan adalah UU
No. 37 tahun 2004, dan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
12
Pailit ialah kondisi orang yang tidak mampu atau tidak mau membayar utang
oleh kreditur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kepailitan merupakan suatu proses untuk mengatasi pihak debitur yang mengalami
kesulitan keuangan dalam membayar utangnya setelah dinyatakan pailit oleh
pengadilan, karena debitur tidak dapat membayar utangnya, sehingga harta kekayaan
yang dimiliki debitur akan dibagikan kepada kreditur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kepailitan merupakan putusan pengadilan.
Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi sebagai
realisasi dari tanggung jawab debitur terhadap dan atas perikatan yang dilakukan
sebagaimana diatur dan dimaksud dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
ketentuan Pasal 2 UU NO. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menjelaskan
bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan niaga yang
daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan pengadilan niaga yang meiliputi
daerah tempat kedudukan hukum debitur.
Putusan pailit yang telah diputus oleh pengadilan niaga dapat dilakukan upaya
hukum dalam bentuk kasasi untuk putusan pailit yang belum memiliki kekuatan
hukum tetap, sedangkan upaya hukum dalam bentuk peninjauan kembali untuk
putusan pailit yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika
Widijowati, Dijan. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: CV Andi
13
Shubhan, Hadi. 2009. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan.
Jakarta: Kencana Prenada Group
Munir Fuady. 1999. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Sentosa Sembiring. 2006. Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan
Yang terkait dengan Kepailitan. Bandung: CV Nuansa Aulia
14