Tinjauan pustaka
Asma Bronkial pada AnakGian Alodia Risamasu
102011344
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Kejadian asma meningkat
baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga
berhubungan dengan meningkatnya industri dan pola hidup, sehingga tingkat polusi cukup tinggi
meskipun hal ini masih perlu dibuktikan.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala batuk, sesak
nafas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Derajat serangan
asma dapat dimulai dari serangan ringan hingga serangan berat yang dapat mengancam nyawa.
Serangan asma biasanya mencerminkan terdapatnya kegagalan seperti gagalnya pencegahan
serangan, tatalaksana jangka panjang atau penghindaran dengan pencetus. Berat serangan tidak
ada hubungan dengan frekuensinya.
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak dapat
disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat
serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.
Anamnesis Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731Email: [email protected]
1
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan
atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari
ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar
berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak
sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat
dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.
Anamnesis yang dipakai dalam kasus anak yang diduga mengalami asma adalah dengan
teknik alloanamnesis, yaitu menanyakan berbagai hal kepada orang tua si anak yang dapat
mendukung atau menyingkirkan berbagai kemungkian, yang pada akhirnya akan membantu kita
untuk menegakkan suatu diagnosis. Dalam alloanamnesis kita dapat menanyakan hal – hal
sebagai berikut:1
Riwayat penyakit sekarang
- Identitas pasien
- Keluhan utama dan sejak kapan
- Bagaimana sifat batuk?
- Apakah anak mengalami gangguan batuk pada malam hari?
- Apakah batuk mempunyai dahak? Jika ada, apa warna dahak?
- Apakah anak mendapat serangan mengi berulang?
- Apakah menimbulkan gejala lokal?
- Apakah batuk atau mengi timbul sesudah aktifitas?
- Apakah batuk atau mengi atau rasa berat di dada timbul setelah paparan
alergen/polutan?
- Apakah flu yang diderita berlanjut menjadi sesak nafas atau berlangsung lebih dari 10
hari?
- Adakah gejala lain (misalnya penurunan berat badan, malaise, atau perubahan
kebiasaan buang air besar)?
Riwayat penyakit dahulu
2
- Apakah pernah menderita gejala penyakit yang sama?
- Apakah ada riwayat menderita alergi?
- Adakah riwayat penyakit serius lain?
Riwayat keluarga
- Adakah di keluarga memiliki riwayat penyakit asma atau memiliki gejala yang sama?
Riwayat sosial
- Bagaimana pola makan anak?
- Bagaimana perkembangan anak selama ini?
Obat-obatan
- Apakah pernah diobati sebelumnya?
- Apakah keluhan membaik dengan terapi asma?
Pada anamnesis skenario 4 didapatkan data pasien seorang anak laki-laki berusia 6 tahun
dengan keluhan sering batuk sejak 3 bulan yang lalu. Batuk terutama terjadi pada malam hari dan
tidak disertai demam. Pasien sering dibawa berobat, namun tidak banyak mengalami perubahan.
Seminggu terakhir, batuk pilek yang dialami anak semakin sering.
Pemeriksaan Fisik
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas
darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat dijumpai
adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang
diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat
ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal.2 Selain pemeriksaan di
atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu penegakan diagnosis asma.
Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan
diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji
3
provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan. Pemeriksaan
selanjutnya harus urut dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.2
o Inspeksi2
Amatilah bentuk dada pasien dan gerakan dinding dada
Perhatikan : deformitas atau asimetri, retraksi abnormal ruang sela iga bawah pada saat
inspirasi, tertinggalnya atau terganggunya bagian dada yang bersifat lokal pada gerakan
respirasi.
o Palpasi2
Palpasi memiliki empat manfaat yang potensial yaitu :
1. Identifikasi daerah-daerah yang nyeri ketika ditekan.
2. Penilaian terhadap abnormalitas yang terlihat.
3. Penilaian lebih lanjut terhadap ekspansi dada.
4. Penilaian fremitus taktil.
o Perkusi2
Lakukan perkusi pada bagian anterior dan lateral, serta posterior, dengan sekali lagi
membandingkan kedua sisi dada. Jantung dalam keadaan normal akan menghasilkan
daerah redup di sebelah kiri os sternum dari sela iga ke-3 hingga ke-5. Lakukan perkusi
paru kiri di sebelah lateral daerah redup ini. Kenali dan tentukan lokasi setiap daerah
dengan bunyi perkusi yang abnormal..
Dengan jari pleksimeter Anda berada di atas dan sejajar dengan daerah yang
diperkirakan sebagai batas atas pekak hati tepi bawah, lakukan perkusi dengan langkah-
langkah progresif ke arah kanan bawah pada linea midclavicularis kanan.
o Auskultasi2
Auskultasi paru merupakan teknik pemeriksaan yang paling penting dalam menilai
aliran udara melalui percabangan trakeobronkhial. Auskultasi meliputi : mendengarkan
bunyi yang dihasilkan pernpasan, mendengarkan setiap bunyi tambahan, dan jika
terdapat kecurigaan akan abnormalitas, mendengarkan bunyi yang ditimbulkan oleh
suara atau bisikan pasien ketika suara tersebut ditransmisikan melalui dinding dada.
Bunyi napas paru yang normal adalah vesikuler atau pelan dan bernada rendah,
bronkovesikuler dengan bunyi inspirasi dan ekspirasi yang lebih kurang sama
panjangnya, dan bronkial atau bunyi yang keras dan bernada lebih tinggi.
4
Dengarkan dada di sebelah anterior dan lateral ketika pasien melakukan pernapasan
dengan mulut terbuka yang agak lebih dalam daripada pernapasan normal. Bandingkan
daerah-daerah paru yang simetris, dengan menggunakkan pola yang dianjurkan untuk
perkusi dan lanjutkan pemeriksaan auskultasi ini ke daerah-daerah sekitarnya
sebagaimana diperlukan.
Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperlihatkan intensitasnya dan mengenali
setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya bunyi pernapasan lebih
keras pada lapang paru anterior atas. Bunyi pernapasan bronkoversikuler dapat
terdengar pada salurang napas yang besar, khusunya pada sisi sebelah kanan.
Kenali setiap bunyi tambahan, tentukan waktu terdengarnya dalam siklus respiratory,
dan tentukan lokasi bunyi tersebut pada dinding dada. Apakah bunyi tambahan
menghilang pada saat pasien bernapas dalam?
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak2,3
Parameter klinisKebutuhan obat,
dan faal paru
Asma episodic jarang
(asma ringan)
Asma episodic sering
(asma sedang)
Asma persisten(asma berat)
Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
Lama serangan <1 minggu ≥1 mingguHampirsepanjang tahun, tidak ada remisi
Intensitas serangan Ringan Sedang BeratDi antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
Tidur dan aktivitasTidak terganggu <3x/minggu
Sering terganggu>3x/minggu
Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis diluar serangan
Normal, tidak ditemukan kelainan
Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
Obat pengendali Tidak perluPerlu, non steroid/ steroid inhalasi dosis 100-200 ụg
Perlu, steroid inhalasiDosis ≥400 ụg/hari
Uji faal paru(di luar serangan)
PEF/FEV1 >80%
PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1 < 60%Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru(bila ada serangan)
≥20% ≥30% ≥50%
5
Tabel 2. Penetuan derajat serangan asma
Parameter klinis,Fungsi paru,
LaboraturiumRingan
SedangBerat
Ancamanhenti napas
Sesak (breathless)BerjalanBayi :Menangis keras
BerbicaraBayi :Tangis pendek& lemahKesulitan menetek dan makan
IstirahatBayi :Tidak mau minum / makan
Posisi Bisa berbaringLebih sukaDuduk
Duduk bertopang lengan
Bicara KalimatPenggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran Mungkin Irritable
Biasanyairritable
BiasanyaIrritable
kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataWheezing Sedang, sering
hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring,Sepanjang ekspirasi± inspirasi
Sangat nyaring, Terdengar tanpa stateskop
Sulit /Tidak terdengar
Penggunaan ototBantu respiratorik
Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradoxTorako- Abdominal
Retraksi Dangkal,Retraksi Interkosta
Sedang, ditambahRetraksi suprasternal
Dalam, ditambahNapas cuping hidung
Dangkal/Hilang
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu BradipnuPedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:Usia frekuensi napas normal<2 bulan < 60 / menit2-12 bulan < 50 /menit1-5 tahun < 40 / menit6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
6
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :Usia Frekuensi nadi normal2-12 bulan < 160 / menit1-2 tahun < 120 / menit3-8 tahun < 110 / menit
Pulsus paradoksus Tidak ada<10 mmHg
Ada10-20 mmHg
Ada>20 mmHg
Tidak ada,Tanda kelelahanOtot respiratorik
PEFR atau FEV1PrabronkodilatorPascabronkodilator
(% Nilai dugaan/>60%>80%
Nilai terbaik)40-60%60-80%
<40%<60%Respon < 2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%PaO2 Normal >60 mmHg <60 mmHgPaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sebagai berikut4 :
1. Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal.
Eosinofil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang
tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
7
3. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan
rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi,
maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
4. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.
5. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu:
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation.
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right
bundle branch block).
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negatif.
6. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
7. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
8
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih
dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa
keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Differential Diagnose
Pneumonia
Merupakan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru.
Menurut anatomis, dibedakan menjadi pneumonia lobularis/bronkopneumonia, pneumonitis
interstisial, dan pneumonia lobaris.5
Etiologi. Dapat disebabkan oleh agen infeksi (misalnya bakteri, virus, jamur, riketsia, dan
organisme parasit), proses peradangan (misalnya SLE, sarkoidosis, dan histiositosis), dan bahan
toksik (misalnya hodrokarbon, asap, jamur, bahan kimia, gas, isi lambung) yang terinhalasi atau
teraspirasi. Penyebab yang paling lazim yaitu infeksi virus; infeksi bakteri hanya menyebabkan
10-30% pneumonia pada pediatri. Pada anak usia diatas 5 tahun, penyebab pneumonia yang
lazim yaitu S.pneumoniae, H.influenzae (sangat invasif), virus influenza, varisela, adenovirus,
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila.5
Manifestasi Klinis. Gambaran klinis pneumonia karena virus atau bakteri biasanya
berbeda. Takipnea, batuk, malaise, demam, nyeri dada pleuritis, dan retraksi sering terjadi pada
keduanya. Pneumonia virus: batuk, mengi atau stridor, demam kurang menonjol dibanding
pneumonia bakteri. Roentgenogram dada menunjukkan infiltrat bronkopneumonia bergaris-garis
difus dan jumlah leukosit sering tidak meningkat, dominan sel limfosit. Pneumonia bakteri:
batuk, demam tinggi, menggigil, dispnea dan pada auskultasi ditemukan konsolidasi paru
(penurunan suara pernapasan atau pernapasan bronikal, perkusi redup, dan egofoni pada daerah
terlokalisasi). Roentgenogram dada menunjukkan konsolidasi lobaris (pneumonia bundar) serta
efusi pleura (10-30%) dan leukositosis perifer (>15.000-20.000/mm3), dominasi neutrofil.
Pneumonia lobus bawah dapat terasa seperti nyeri abdomen.5
Bronchitis
9
Bronkitis adalah suatu kondisi yang timbul bila dinding bagian dalam saluran pernapasan
utama terinfeksi dan meradang. Keadaan ini biasanya diikuti dengan infeksi pernapasan seperti
demam. Bronkitis terbagi menjadi dua yaitu bronkitis akut dan kronis.6
Pada anak-anak umumnya yang terjadi adalah bronkitis akut yang disebabkan oleh
infeksi virus (90%). Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksi saluran napas atas kronik dapat
memudahkan terjadinya bronkhitis akut. Gejala dari bronkitis akut adalah batuk yang
menyebabkan sulit bernapas, umumnya diawali dengan batuk kering dan dalam beberapa hari (2
- 3 hari) berubah menjadi batuk produktif dengan dahak, dapat pula disertai mengi. Anak dapat
mengeluhkan sakit di retrosternal. Anak dapat muntah akibat batuknya, terdapat demam yang
tidak terlalu tinggi, dan terdapat influenza atau pilek. Pada beberapa hari tidak ada kelainan pada
pemeriksaan dada, tetapi kemudian dapat timbul ronki basah kasar dan suara nafas kasar.6
Bronkitis akut adalah penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya (1 – 2
minggu). Yang perlu dilakukan adalah membuat suasana nyaman di rumah. Berikan anak banyak
minuman, apabila ada humidifier atau alat untuk memberikan uap untuk anak di rumah maka
dapat diberikan, serta anak membutuhkan obat batuk untuk mengencerkan dahaknya dan
mengurangi batuknya.6
Bronkitis akut umumnya disebabkan oleh virus sehingga tidak membutuhkan antibiotik.
Gejalanya akan berlangsung antara 5-10 hari dan akan membaik dalam 10-14 hari. Selain virus,
terdapat faktor risiko iritan yang memudahkan peradangan saluran pernapasan seperti asap rokok
dan polusi udara. Karena itulah selain obat-obatan dan minuman yang adekuat, penghindaran
asap rokok dan polusi udara juga sebaiknya dilakukan.6
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun untuk sedikitnyan 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau
keganasan harus disingkirkan dahulu.6
Bronchiolitis
Bronkiolitis adalah suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang merupakan
percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus.
Bronkiolitis biasanya menyerang anak yang berumur di bawah 2 tahun. Penyebabnya adalah
RSV (respiratory syncytial virus). Virus lainnya yang menyebabkan bronkiolitis adalah
parainfluenza, influenza dan adenovirus. Virus ditularkan melalui percikan ludah / droplet.
10
Meskipun pada orang dewasa RSV hanya menyebabkan gejala yang ringan, tetapi pada bayi bisa
menyebabkan penyakit yang berat. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah Usia kurang dari
6 bulan, Tidak pernah mendapatkan ASI, Prematur, Menghirup asap rokok.6
Gejala klinis yang timbul pada bronkiolitis adalah batuk, wheezing (bunyi nafas mengi),
sesak nafas atau gangguan pernafasan, sianosis (warna kulit kebiruan karena kekurangan
oksigen) , takipneu (pernafasan yang cepat), retraksi interkostal (otot di sela iga tertarik ke dalam
karena bayi berusaha keras untuk bernafas), pernafasan cuping hidung (cuping hidung kembang
kempis), demam (pada bayi yang lebih muda, demam lebih jarang terjadi).6
Setelah 1 minggu, biasanya infeksi akan mereda dan gangguan pernafasan akan membaik
pada hari ketiga. Angka kematian kurang dari 1%. Masa paling kritis adalah 48-72 jam pertama.
Jarang terjadi bronkiolitis ulang.6
Working Diagnose
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk dan atau
mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari (nokturnal), musiman, setelah
aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atau atopi pada pasien atau keluarga.3,4
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya
umur khususnya diatas umur 3 tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang
sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi
bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin, atau
dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu didapatkannya6 :
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
11
Gambar 1. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik6
Pato fisiologi
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang
merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa dan inflamasi saluran nafas.
Sumbatan jalan nafas yang terjadi tidak merata di seluruh paru dan menyebabkan peningkatan
tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara (air trapping), dan distensi paru yang berlebih
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus
menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi.7
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran
nafas yang menyempit, dapat semakin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran
nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan
intratorakal mungkin dapat mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang
bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.7
Asma dapat dibagagi dalam 3 kategori , asma ekstrinsik atau alergik ditemukan pada
sejumlah kecil pasien dewasa dan disesbabkan oleh allergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya
dimulai pada masa kanak-kanak dengan riwayat keluarga yang mempunyai riwayat penyakit
atropik termaksud demam jerami, enzema, dermatitis dan asma sendiri. Asma alergik disebabkan
karena kepekaan individu terhadap allergen , biasanya profein dalam bentuk serbuk sari yang di
hirup , bulu halus binatang, kain pembalut, atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu,
atau coklat. Paparan terhadap allergen meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil dapat
menyebabkan serangan asma. Sebaliknya pada asma intrinsic atau idiopatik sering tidak
12
ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas . faktor-faktor non spesifik seperti flu biasa, latihan
fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma intrinsic ini lebih sering timbul sesudah 40
tahun . bentuk asma yang paling banyak menyerang pasien adalah asma campuran, yang mana
terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsic.7
Suatu serangan asma merupakan akibat adanya reaksi antigen-antigen yang menyebabkan
dilepaskannya mediator-mediator kimia. Mediator kimia meliputi histamin , slow releasing
substance of naphylaksis (SRS-A), eosinophilic chemotetik faktor of anaphylaksis (ECF-A) dan
lain-lain menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama (1) kontriksi otot-otot polos baik saluran
nafas yang besar maupun saluran nafas yang kecil yang menimbulkan bronkospasme (2)
peningkatan prolebilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang berperan
dalam terjadinnya edema. Mukosa yazng menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut dan (3)
peningkatn sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mucus.sebagai akibatnya pasien
yang mengalami serangan akan berusaha untuk bernapas melalui mulut yang mengakibatkan
keringnya mucus dan lebih lanjut akan menghambat saluran nafas.7
Selama serangan akut alveoli , mengambang secara progresif seperti pada emfisema.
Sebenarnya tidak dapat dilakukan . oksigen yang tak memadai melewati membran alveolar-
kapiler k dalam darah (hipoksemia) dan pasien lebih bertambah sianotik. Pada waktu asma
penderita biasanya mengalami hiperventilasi dan mengeluarkan Co2 dan karenanya Pa Co2
biasanya berkurang bila Pa Co2 menjadi meningkat dan penderita mengalami hiperkapnia. Hal
ini menunjukan tanda bahaya karena ini menunjukan bahwa penderita mengalami kelelahan dan
usaha ventilasi menjadi tidak adekuat dan ventilasi bantuan mungkin diperlukan
Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu7 :
1. Faktor genetik yaitu; a) hiperreaktivitas, b) atopi/alergi bronkus, c) faktor yang
memodifikasi penyakit genetik, d) jenis Kelamin, e) ras/etnik
2. Faktor lingkungan yaitu; a) alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur), b) alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari), c) makanan (bahan
penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur), d) obat-
obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll), e) bahan yang
mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll), f) ekspresi emosi berlebih, g) asap
13
rokok dari perokok aktif dan pasif dan polusi udara di luar dan di dalam ruangan, h)
exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas
tertentu, i) perubahan cuaca
Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan dengan
exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial. Beberapa literatur menyebutnya
sebagai exercised induced bronchospasm (EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan
antara penderita asma dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan
metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak ditemukan respon
tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB adalah latihan fisik yang
mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable maximum heart rate.7
Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya
kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha lebih untuk menjaga
kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel
mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator
berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak terjadi
pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil, atau sel epitel
kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya asma8 :
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing,
kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen dalam
rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari, asap rokok,
polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga,
menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan
gastroesofageal refluks).
14
Hiperaktivitas bronkus obstruksi
Gejala Asma
Pencetus (trigger)Pemacu (enhancer)Pemicu (inducer)
Faktor Genetik
Faktor Lingkungan
Sensitisasi inflamasi
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut8 :
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit yang
terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada kromosom
6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih merupakan kandidat
gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major
histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada kromosom 6
daerah 6p21.31.8
Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien,
status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan
prevalensi anak laki-laki berbanding perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa perbandingan
tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan
prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan
kota lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7%.7
Gejala Klinis
Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak 2 tahun. Secara klinis asma dibagi menjadi 3 stadium, yaitu7 :
15
Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk paroksimal karena iritasi dan batuk kering.
Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk.
Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada
stadium ini, anakakan mulai merasa sesak nafas berusaha bernafas lebih dalam. Ekspirasi
memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot nafas tambahan turut bekerja. Terdapat
retraksi suprasternal, epigastrium, dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan
membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat,
dan sianosis sekitar mulut. Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat
pada pernafasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernafasan abdominal, retraksi
suprasternal dan interkostal.
Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara nafas
hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan juga
batuk seperti ditekan. Pernafasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi nafas yang mendadak
meninggi.
Penatalaksanaan
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka panjang
(di luar serangan).Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara
lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah3 :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan
berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
16
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak
ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan4 :
ö Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
ö Mengurangi hipoksemia
ö Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
ö Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu re-evaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat
pengobatan dinaikkan (step up) atau perubahan pengobatan atau bila tujuan telah tercapai dan
stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan-pelan (step down).3
Syarat step up:
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4-6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
Syarat step down :
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil yang
masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat
diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
17
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus
menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan
pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.3
Obat – obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator3
a) Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel
inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini
menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-
AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
♯ Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,
tremor, dan hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan
karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek
samping, terutama pada jantung dan CNS.
♯ β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai:
Ω Salbutamol
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Ω Terbutalin
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam.
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Ω Fenoterol.
18
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan
ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping
takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b) Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada
serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik. Efek
bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan
inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral,
rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk
ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi
bersama urin.8 Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia : (a) 1 – 6 bulan :
0,5mg/kgBB/Jam, (b) 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam, (c) 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5
mg/kgBB/Jam, (d) > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam.
19
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia
2. Antikolinergik3
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6
tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau
rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma
jangka panjang pada anak.
3. Kortikosteroid3
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
Ω Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
Ω Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
Ω Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di
pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari
diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari. Kortikosteroid tidak secara langsung
berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan
kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan
leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru
lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal. Dosis
metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1
mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.
Obat – obat Pengontrol
20
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid,
leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral
β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid3
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya
neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2
agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan
mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)3
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya
dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan
kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF)
sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot
polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-
inflamator.
21
Ada 2 preparat LTRA :
Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.
(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis
10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma
dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi
hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)3
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan
sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat3
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi
efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek
samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada
dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Terapi Suportif3
a. Terapi oksigen
22
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau
headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse
oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan
pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan
metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan
peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki
oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi
laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan
cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian
cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik
Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi
pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Cara Pemberian Obat
UMUR ALAT INHALASI< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang (spacer)5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacerAlat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
>8 tahun NebuliserMDI (metered dose inhaler)Alat Hirupan BubukAutohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya,
deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan
23
dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi
yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu
Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan
menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu
yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan
memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung
menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi
bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.7
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah ateletaksis. Bila
atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis, dan bila ada infeksi akan
terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan berlangsung beberapa hari
serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa disebut status asmatikus. Bila
tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan pernafasan dan
kegagalan jantung.7
Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak
hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah
menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21
tahun. Asma episodik sering, 20% sudah tidak timbul pada masa akil-balik, 60% tetap sebagai
asma episodik jarang. Hanya 5% dari asma kronik/persisten yang dapat menghilang pada umur
21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60% tetap sebagai asma kronik/persisten
dan sisanya menjadi asma episodik jarang. Secara keseluruhan dapat dikatakan 70-80% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. Faktor yang dapat
mempengaruhi prognosis asma anak ialah6 :
24
♯ Umur ketika serangan pertama timbul, seringnya serangan asma, berat-ringannya
serangan asma, terutama pada 2 tahun sejak mendapat serangan asma.
♯ Banyak-sedikitnya faktor atopi pada diri anak dan keluarganya.
♯ Lamanya minum air susu ibu.
♯ Menderita atau pernah menderita eksema infantil yang sulit diatasi.
♯ Usaha pengobatan dan penanggulangannya.
♯ Apakah ibu/bapak atau teman sekamar/serumah merokok. Polusi udara yang lain di
rumah atau di luar rumah juga dapat mempengaruhi.
♯ Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan pada waktu meneteki.
♯ Jenis kelamin, kelainan hormonal, dll.
Pencegahan
Penanggulangan asma pada anak sekarang yang lebih penting bukan mengatasi serangan,
melainkan untuk mencegah serangan asma tersebut. Anak yang menderita serangan asma harus
dapat hidup layak serta tumbuh dan berkembang sesuai dengan umurnya. Segala upaya
penggunaan obat dan non obat harus dinilai untung dan ruginya berdasarkan tujuan utama tadi
yaitu tidak boleh mengganggu tumbuh kembang anak. Tindakan kita harus meningkatkan mutu
kehidupan anak asma itu untuk sekarang dan masa depan.9
Ω Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara
hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk
anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
Ω Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
Ω Menghindari faktor pencetus (contoh: makanan berpotensi alergen)
Ω Penggunaan obat, tindakan untuk mencegah, meredakan, dan mengurangi reaksi yang
akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.
Kesimpulan
25
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya mengi
episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam
kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya
seperti sering menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta
aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat, menurunkan kualitas
hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma relatif
tinggi.
Penanggulangan serangan asma terdiri dari pencegahan serangan asma, bila perlu dengan
obat dan penanganan serangan asma. Penanganan serangan asma dapat dilakukan di rumah yang
dilakuakan oleh pasien atau keluarganya dan di luar rumah yang dilakukan oleh petugas
kesehatan. Bila serangan asma tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan kematian.
Daftar Pustaka
26
1. Maranatha D. Asma Bronkial. FK Universitas Wijaya Kusuma Surabaya; 2009.
Surabaya: h. 55- 68.
2. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH, Kosem MS, Rusmil K,
dkk, penyunting. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Badan Penerbit IDAI; 2005.
Jakarta.
3. Rahajoe N. Deteksi dan penanganan asma anak, dalam : Manajemen kasus respiratorik
anak dalam praktek sehari-hari. Yapnas Suddharprana; 2007. Jakarta: Edisi ke-1: h. 97-
106.
4. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta: EGC;
1999.h.43-51.
5. Isselbacher, Kurt J. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 volume 5.
Jakarta : EGC ; 2000.
6. Nataprawira HMD. Diagnosis asma anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Badan Penerbit IDAI; 2008. Jakarta: Edisi
ke-1: h.105-18.
7. Nelson. Textbook of Pediatrics: Childhood asthma. Elsevier Science; 2003. USA.
8. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
pengendalian penyakit asma. Departemen Kesehatan RI; 2009. h. 5-11.
9. 9. Tjokronegoro A, Utama H. Updates in pediatric emergencies. Balai Penerbit FKUI; 2004. Jakarta. h.57-71.
27
Recommended