1
A. Judul
Perbandingan perstasi belajar matematika siswa yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif – kolaboratif dengan model pembelajaran kontekstual.
B. Latar Belakang Masalah
“Pendidikan” merupakan satu kata yang sudah tidak asing lagi, bukan
hanya bagi kalangan orang-orang yang secara langsung berkecimpung di dunia
pendidikan saja akan tetapi bagi masyarakat awam pula. Pendidikan termasuk
salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, setiap manusia
memerlukan pendidikan karena pendidikan pulalah yang menjadi salah satu faktor
yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya. Berkaitan dengan hal ini,
U. Tirtarahardja, dan La Sulo, (2005:1) menyatakan bahwa “Sasaran pendidikan
adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuh
kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan
benih kemungkinan untuk menjadi manusia.” Dan menurut Sujana (dalam Ujang,
2006:82) ‘Pendidikan merupakan suatu upaya manusia untuk memanusiakan
manusia’. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan hal
yang sangat essensial bagi kehidupan manusia.
Pendidikan terdiri dari dua jenis yaitu pendidikan formal dan pendidikan
non formal. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 tentang standar Nasional Pendidikan, tepatnya pada pasal 1 dinyatakan
bahwa “…Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
2
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang…”.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai
tanggung jawab untuk mendidik siswa. Untuk itu sekolah menyelenggarakan
kegiatan belajar mengajar sebagai realisasi tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Berbagai mata pelajaran pun diajarkan di sekolah, salah satunya
adalah mata pelajaran matematika. “Matematika bahkan merupakan mata
pelajaran yang telah diberikan sejak Sekolah Dasar (SD) dengan tujuan untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.” (Hernawati, 2007:13).
Kemudian berkaitan dengan pembelajaran matematika di sekolah,
Ruseffendi (dalam Sudrajat, 2004:2) menyatakan bahwa ‘guru hendaknya dapat
menciptakan kondisi pembelajaran yang dapat membentuk pribadi siswa sehingga
mempunyai keterampilan yang baik dalam bekerja sama, mempunyai keberanian
dan keterandalan dalam berkompetisi disamping mempunyai kemampuan
matematika.’
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa siswa belajar secara
pasif, hanya menerima informasi dari guru.
Oleh karena itu, guru harus pandai-pandai memilih dan menerapakan
model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa secara positif dan edukatif
sehingga siswa dapat berperan aktif dalam belajar.
3
Salah satu upaya agar siswa aktif belajar dan dapat berprestasi yaitu
dengan cara menerapkan moel pembelajaran bermakna yang berpusat pada siswa
(student centered) diantaranya model pembelajaran kontukstual dan model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif.
Ada beberapa paham,teori atau pendapat yang menjadi acuan
pembelajaran matematika yang kontekstual. Pada dasarnya pembelajaran
matematika yang kontekstual mengacu pada konstruktivisme. Slavi (1997 : 269)
menyatakan bahwa belajaran menerut konstruktivisme adalah siswa sendiri yang
harus aktif menemukan dan mentransfer atau membangun pengetahuan yang akan
menjadi miliknya. Dalam prose situ siswa mengecek dan menyesuaikan
penetahuan baru yang dipelajari dengan pengetahuan atau kerangka berpikir yang
telah mereka miliki. Konstruktivisme beranggapan bahwa mengajar bukan
merupakn kegiatan memindahkan atau menstransfer pengetahuan dari guru ke
siswa. Peran guru dalam mengajar lebih sebagai mediator dan fasilitator. Soprano
(2001 :10 – 11) menyatakan pada intinya peranan fasilitator oleh guru itu dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas,yaitu menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa mengambil tanggu jawab dalam kegiatan pembelajaran;
menyadiakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsa keingintahuan
siswa dan membantu siswa dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya; menyediakan sarana yang merangsang
berpikir siswa secara produktif; menyediakan kesempatan dan pengalaman yang
paling mendukung belajar siswa,termasuk menyamangati siswa; memonitor,
mengevaluasi dan menunjukan pemikiran siswa relevan (dapat jalan) atau tidak
4
dan dapat digunakan atau tidak untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan
dengan yang dipelajari.
Selain kontruktivisme, pembelajaran matematika yang kontekstual juga
mengacu pada teori belajar bermakna yang tergolong pada aliran psokologi
belajar kognitif. Ausubel (dalam dahar, 1989 :110-112) menyatakan bahwa
belajar dapat dikatagorikan dalam dua dimensi yaitu berhubungan dengan cara
pengetahuan(informasi, materi pelajaran) disajikan kepada siswa dan cara
mengaitkan pengetahuan itu pada stuktur kognitif siswa yang telah ada atau
dimiliki siswa. Menurut ausubel bermakna adalah suatu proses mengaitkan
pengetahuan baru pada pengetahuan relevan yang telah terdapat dalam stuktur
kognitif siswa.
Model pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya yaitu model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif. Suderajat (2004) menyatakan bahwa
pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berbasis komunitas. Karena
siswa dapat belajar lebih baik dan lebih banyak apabila mereka berinteraksi
dengan sesame temannya. Kompetisi antar siswa akan memperlambat belajara
mereka, sebaliknya kerjasama kelompok akan mempercepat belajar mereka.
Pola belajar kelompok dengan cara kerjasama (cooperative) antar siswa,
selain dapat mendorong tumbuhnya gagasan yang lebih bermutu
gunameningkatkan kreatifitas siswa, juga merupakan nilai sosial bangsa yang
perlu dipertahankan.
5
Pembelajaran kooperatif-kolaboratif sangat baik untuk membentuk sikap
pertanggungjawaban sosial, dan mengurangi sifat ke”aku”an, serta memotivasi
belajar dan merningkatkan pengembangan kreativitas individu.
Jika banyak peneliti yang meneliti perbedaan salah satu model
pembelajaran di atas dengan model pembelajaran kontekstual, maka penulis
berkeinginan untuk meneliti apakah ada perbedaan prestasi siswa yang
menggunakan model pembelajaran kontkstual dengan model pembelajaran
kooperatif-kolaboratif.
Melalui penelitian ini, diharapkan para pengajar (guru) lebih tahu dan
paham metode mana kiranya yang lebih baik digunakan untuk meningkatkan
keaktifan belajar siswa dan meningkatkan pertasi belajar siswa, tetapi tidak
menutup kemungkinnan kedua metode belajar ini digunakan secara bersamaan
sehingga hasilnyalebih efektif.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis mengadakan penelitian
tentang “perbandingan prestasi belajar matematika siwa yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan yang menggunakan model
kontekstual”.
6
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
“Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan siswa yang
menggunakan model pembelajaran kontekstual?”
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa antara
siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dengan
siswa yang menggunakan model pembelajaran kontekstual.
E. Hipotesis
Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis “terdapat perbedaan
prestasi belajar siswa antara siswa yang menggunakan model pembelajaran
kooperatif-kolaboratif dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran
kontekstual”
7
F. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi Belajar
Jika kita membicarakan mengenai belajar, tentu saja kita tidak akan
terlepas dari bagaimana hasil belajar itu sendiri, dan jika kita membicarakan
mengenai hasil belajar maka kita tidak akan pula terlepas dari membicarakan
bagaimana prestasi belajar. Apalagi jika hal ini dibahas dalam konteks belajar di
lingkungan pendidikan terutama di sekolah.
Untuk mengetahui hasil belajar para peserta didiknya, maka guru akan
mengukur hasil belajar para peserta didiknya tersebut dengan melakukan penilaian
terhadap hasil belajar mereka misalnya melalui tes, dapat berupa tes pada setiap
akhir pembelajaran, setelah selesai membahas satu pokok bahasan atau bab, atau
pula dapat berupa tes pada setiap akhir semester atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Ujian Akhir Semester (UAS). Kemudian setelah penilaian terhadap hasil
belajar ini selesai barulah dapat dilihat sejauh mana prestasi para peserta didik
tersebut. Bagaimana pula prestasi belajar para peserta didik ini jika dibandingkan
dengan peserta didik yang lain.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan prestasi belajar? Bagaimana
pengertian prestasi belajar menurut para ahli? Serta bagaimana pengertian prestasi
belajar matematika?
“Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata “prestatie”,
dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha” (A. Muhamad :
2008). Kemudian M. Syah (dalam A. Muhamad:2008) menjelaskan bahwa
‘Prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan murid atau santri dalam
8
mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren dinyatakan dalam
bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran
tertentu.’ Sedangkan menurut A. Muhamad (2008):
Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau tes tertentu. Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu.
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 787) “Prestasi
belajar artinya penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan
oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru”. Lalu Menurut V. Altaria, “Prestasi belajar bisa diartikan
sebagai keberhasilan dalam belajar.” Dan Menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (dalam E. M Ni’mah, 2007 : 24) mengartikan prestasi belajar sebagai
‘Hasil yang telah diperoleh oleh siswa dalam mengikuti program pengajaran pada
waktu tertentu dalam bentuk nilai.’
Seperti halnya pengertian belajar, memang pengertian mengenai prestasi
belajar pun beraneka ragam. Namun demikian, dari beberapa pendapat yang
diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar
siswa setelah mempelajari dan memahami materi pelajaran tertentu dalam waktu
tertentu yang dapat dinyatakan dalam bentuk skor setelah sebelumnya diukur
terlebih dahulu melalui suatu tes hasil belajar. Adapun prestasi belajar ini dapat
9
menunjukkan sejauh mana penguasaan keberhasilan siswa terhadap materi
pelajaran tersebut. Dengan catatan pelaksanaan tes hasil belajar dilakukan sejujur
mungkin artinya siswa mengerjakan semua soal-soal dalam tes atas dasar
mengandalkan kemampuan dirinya sendiri atau tidak dibantu oleh orang lain.
Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor
intern dan faktor ekstern.
Faktor intern merupakan faktor-faktor yang berasal atau bersumber dari peserta didik itu sendiri, sedangkan faktor ekstern merupakan faktor yang berasal atau bersumber dari luar peserta didik. Faktor intern meliputi prasyarat belajar, yakni pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pelajaran berikutnya, keterampilan belajar yang dimiliki oleh siswa yang meliputi cara-cara yang berkaitan dengan mengikuti mata pelajaran, mengerjakan tugas, membaca buku, belajar kelompok mempersiapkan ujian, menindaklanjuti hasil ujian dan mencari sumber belajar, kondisi pribadi siswa yang meliputi kesehatan, kecerdasan, sikap, cita-cita, dan hubungannya dengan orang lain. Faktor ekstern antara lain meliputi proses belajar mengajar, sarana belajar yang dimiliki, lingkungan belajar, dan kondisi sosial ekonomi keluarga (Usman, 1995: 12).
Kemudian dalam hubungannya dengan matematika prestasi belajar
matematika dapat diartikan sebagai tingkat penguasaan terhadap mata pelajaran
matematika yang dicapai siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar
matematika dalam waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan dapat
dinyatakan dalam bentuk skor. Selain prestasi yang dicapai oleh siswa merupakan
gambaran hasil belajar siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam
10
kurun waktu tertentu, hal ini juga merupakan interaksi antara beberapa faktor
yang mempengaruhi hasil prestasi belajar siswa tersebut.
2. Model Pembelajaran Kooperatif-kolaboratif dan Model Pembelajaran
kontekstual.
Menurut R. Widodo (2009) model pembelajaran dapat diartikan sebagai
“Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu
dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam
merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar”. Sedangkan menurut
A. Suyitno (dalam Hernawati, 2007:22) ‘Model pembelajaran adalah suatu pola
atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau
kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat dicapai dengan
lebih efektif dan efisien’.
Menurut Nn (2008) Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus
yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yaitu :
1. Rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.2. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai3. Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran
dapat dilaksanakan secara optimal.4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, model pembelajaran banyak jenisnya
beberapa diantaranya adalah model pembelajaran konvensional, model
pembelajaran berbasis pemecahan masalah, dan model pembelajaran kooperatif.
11
Masing-masing model pembelajaran tersebut tentu saja memiliki kelebihan
sekaligus kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, hal tersebut dapat diatasi
dengan cara menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi
yang diajarkan, maka dengan demikian pencapaian tujuan pembelajaran pun
diharapkan dapat diperoleh secara maksimal.
Adapun dalam konteks ini yang akan dibahas hanya dua jenis model
pembelajaran saja yakni model pembelajaran kooperatif-kolaboratif dan model
pembelajaran kontekstual.
2.1 Model Pembelajaran Kooperatif-Kolaboratif
Motivasi yang mendasari model pembelajaran kooperatif-kolaboratif
dalam kegiatan belajar menurut sudrajat (2004:114), yaitu:
1. Mereka yang belajar dengan tujuan kompetensi dengan temannya untuk menjadi yang terbaik.
2. Mereka yang belajara secara perorangan (individual) untuk mencapai tujuan mereka, tanpa menaruh perhatian pada temannya.
3. Mereka yang belajar dengan kerja sama, karena mereka yang memiliki keinginan yang sama.
Kooperatif-kolaboratif dirancang untuk memfasilitasi tercapainya tujuan
pembelajaran melalui kerjasama dalam kelompok karena filsafat kolaborasi
merupakan interaksi dan gaya hidup personal yang setiap individu bertanggung
terhadap tindakan-tindakannya, termasuk pembelajaran dan menghargai
kemampuan kontribusi sejawatnya.
Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan
untuk membina dan mengembangkan sikap sosial siswa (anak didik). Hal ini
didasari bahwa anak didik adalah sejenis mahluk homo socius, seperti
12
diungkapkan Djamarah dan Zain (2002), yaitu “mahluk yang berkecenderungan
hidup bersama”. Sudrajat (2004 : 122) menyatakan bahwa :
Pembelajaran kooperatif-kolaboratif sangat baik untuk membentuk sikap bertanggung jawab sosial, dan mengurangi sifat ke”aku”an yang tinggi, disamping meningkatkan motivasi belajar dan pengembangan kreativitas individu. Melalui pembelajaran kooperatif-kolaboratif, siswa mampu mengkontruksi konep-konsep kunci keilmuan untuk dimiliki dan dikuasainya, dalam upaya memiliki kemampuan dasar keilmuan.
Slavin (1995 : 71) menyatakan bahwa : “pembelajaran kooperatif adalah
suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari tiga sampai lima
orang, dengan stuktur kelompok heterogen”.
Hal senada juga disampaikan oleh parker (dalam Heriyanto, 2000: 18)
bahwa : “Pembelajaran kooperatif adalah lingkungan pembelajaran kelas dimana
siswa bekerja bersama-sama dalam kelompok kecil yang heterogen”. Johnson dan
Johnson (dalam sudrajat 2004 :120) menyatakan, “Cooperativ-colaborativ
learning mendorong timbulnya ide baru solusi terhadap permasalahan dan higher
level reasoning, akhirnya menghasilkan perolehan yang lebih tinggi dan
produtivitas tinggi pula”.
Johnson dan Johnson (dalam lie 2004) menyatakan bahwa yang termasuk
dalam stuktur pembelajaran kooperatif ada lima unsure yaitu :
1. Saling ketergantunganpositif,2. Tanggung jawab individual,3. Interaksi personal,4. Keahlian kerja bersama, dan5. Proses kelompok.
13
Sedangkan Goleman (2003 :324) menyatakan bahwa :
Kooperetif-kolaboratif atau bekerja bersama orang lain menuju sasaran bersama dimana siswa yang mempunyai kecakapan ini dapat :
1. Mengembangkan pemusatan perhatian kepada tugas dengan perhatian kepada hubungan.
2. Kolaborasi, berbagai rencana, informasi, dan suber daya.3. Mempromosikan iklim kerja sama yang bersahabat.4. Mendeteksi dan menimbulkan peluang-peluang untuk kolaborasi.
Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif-kolaboratif merupakan suatu model pembelajaran
gunamengaktifkan siswa dengan cara membagi siswa ke dalam beberapa
kelompok kecil beranggotakan tiga sampai lima orang siswa dengan kemampuan
heterogen, mereka diberi tugas penyelesaian masalah (soal) matematika dengan
dikerjakan dalam satu tim yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama
selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Pola pembelajaran kooperatif-kolaboratif menurut Sudrajat (2004)
memiliki beberapa elemen, yaitu :
1. Saling ketergantungan yang positif ( positive independence)
Pembelajaran kooperatif-kolaboratif akan berhasil bila dalam
kelompok belajara mereka terdapat rasa saling percaya satu sama lain, mereka
harus memantapkan tekad “Sink or swimm together”,tenggelam atau beranang
bersama.
Ada dua pertanggung jawaban kelompok dalam proses belajar bersama
yaitu mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok, dan menjamin
semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan.
14
Ada beberapa cara untuk membangun saling ketergantungan positif,
yaitu :
a. Menembuhkan perasaan siswa bahwa dirinya berada dalam kelompok,
pencapai tujuan terjadi bila semua anggota kelompok mencapai tujuan.
b. Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan perolehan,
hadiah (rewarad) yang sama bila kelompok mereka berhasil tujuan.
c. Mengatur agar sikap siswa kelompok hanya mendapaykan sebagian dari
keseluruhan tugas kelompok, mereka dapat dinyatakan menyalesaikan
tugas sebelum mereka menyatukan perolehan mereka menjadi satu
kesatuan tugas yang utuh.
d. Setiap siswa diberi tugas dengan tugas-tugas atau peran yang saling
mendukung, saling melengkapi, da saling terkait dengan siswa yang lain
dalam kelompok, peran-peran tersebut sangat penting bagi proses
pembelajaran yang bermutu (high quality learning).
2. Interaksi yang saling mendorong (face to face promotive interation)
Interaksi promotif terjadi bila setiap siswa saling memberi dorongan
atau motivasi satu sama lain, dan saling memfasilitasi kegiatan atau saling
member bantuan sama lain untuk memenuhi tugas keseluruhan dalam upaya
mencapai tujuan kelompok.
3. Pertanggung jawaban individual (personal responsilibity)
Pertanggung jawaban individual adalah kunci untuk menjamin semua
anggota diperkuat oleh kegiatan belajaran bersama, jadi setelah mengikuti
kegiatan belajar bersama, anggota-anggota kelompok harus dapat
15
menyelesaikan tugas yang sama. Dari hasil pemberian tugas tersebut guru
dapat mengukur berapa besar kontribusi setiap pada kelompok.
4. Keterampilan interaksi sosial
Tidak semua siswa memiliki keterampilan interaksi sosial seperti
saling mengenal dan saling mempercayai, mampu berkomunikasi secara
akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan saling mendukung, serta
mampu menyelesaikan konflik secara kontruktivisme. Perhatian guru terhadap
interaksi social ini akan meningkatkan p[erolehan belajar mereka.
5. Pemprosesan kelompok (group prosessing)
Pemprosesan kelompok dapat didefinisikan dari tahapan kegiatan
kelompok dan kegiatan anggota kelompok. Siapakah diantara anggota
kelompok yang sangat membantu dan siapkah yang tidak membantu.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas anggota dalam memberikan
kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
Sudrajat (2004 : 115) menyatakan bahwa model pembelajaran
kooperatif-kolaboratif terdiri dari beberapa pendekatan, yaitu :
1. Student Team Learning, kelompok belajar siswa.2. Learning Together, belajar bersama.3. Group Investigation, kelompok penelitian.4. Structural Approach, pendekatan structural.5. Complex Instruction, pembelajaran yang kompleks.6. Collaborative Approach, pendekatan kooperatif-kolaboratif.
16
Keenam pendekatan tersebut, memiliki atribut pembelajaran yang
sama, yaitu :
1. Penugasan yang sama bagi semua anggota kelompok, dengan kegiatan
yang sesuai untuk kerja sama kelompok.
2. Kelompok belajar dengan jumlah kecil yaitu diantara tiga sampai lima
orang.
3. Adanya perilaku kerja sama (Cooperative Behavior).
4. Adanya saling ketergantungan antar mereka (Interdependence)
5. Adanya pertanggu jawaban individual (Individual Accountability and
Responsibility).
Kegiatan pembelajaran kooperatif-kolaboratif berserta komponen dan
pola pembelajaran yang telah disampaikan diatas disajikan dalam bentuk
skema sebagai berikut :
2.2 Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan
yang secara luwes dapat diterapkan dari suatu permasalahan kepermasalahan lain
dan dari satu konteks ke konteks lainnya. Pembelajaran kontekstual dapat
dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan
menunjukan kondisi alamiah dari pengetahuan melalui hubungan didalam dan
diluar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan
pengalaman lebih relevanan berarti bagi siswa mengembangkan pengetahuan
yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup.
17
Pemanfaatan pembelajaran kontekstual akan membantu menciptakan ruang
kelas yang didalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat
yang pasif tetapi mereka bertanggung jawab terhadap belajarnya sehingga
perolehan belajarnya akan lebih bermakna.
Menurut arti kata kontekstual berasal dari bahasa inggris yaitu contextual yang
berarti tergantung, tercakup atau juga termasuk dan teaching berarti mengajar
sedangkan learning artinya ilmu pengetahuan, dan secara keseluruhan CTL berarti
pembelajaran yang dikaitkan dengan konteks dimana siswa itu berada.
CTL disebut model pembelajaran kontekstual karena konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
masyarakat.
“Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari – hari (konteks pribadi, sosial , dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan / keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkontruksi sendiri secara aktif pemahamannya” (Bondono, 2008:1).
“Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka” (Sanjaya, 2007:253).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami, pertama CTL
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya
18
proses belajar diorentasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses
belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi
yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab
dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata,
bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi
materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak
akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan,
artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari – hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL
bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal
mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses
pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kontekstual/CTL.
1) Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang
sudah ada (activating knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak
terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang
memiliki keterkaitan satu sama lain.
19
2) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru (acquairing knowledge). Pengetahuan baru itu
diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan
mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan
yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini,
misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan
yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu
dikembangkan.
4) Memperhatikan pengetahuan dan pengalaman (applying knowl-edge), artinya
pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan
dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan
pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan
dan penyempurnaan strategi.
Setiap siswa mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Perbedaan yang
dimiliki siswa tersebut oleh Bobbi Deperter (1992) dinamakan sebagai unsur
modalitas belajar. Menurutnya ada tiga tipe gaya belajar siswa, yaitu tipe visual,
tipe auditorial, dan kinestetis. Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat,
artinya siswa akan lebih cepat belajar dengan cara menggunakan indra
penglihatan. Tipe auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakan alat
pendengarannya, sedangkan tipe kinestetis adalah tipe belajar dengan cara
bergerak, bekerja, dan menyentuh.
20
Dalam pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar
dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap
belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini sering terlupakan
sehingga proses pembelajaran tak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak,
yang menurut Paulo Freire sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi
setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL:
1) Siswa dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang
sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya.
2) Setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal – hal yang baru dan
penuh tantangan.
3) Belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan
antara hal – hal yang baru dengan hal – hal yang sudah diketahui.
4) Belajar bagi anak adalah proses menyempurnakan skema yang telah ada
(asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan
demikian tugas guru adalah memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu
melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
21
CTL sebagai suatu model pembelajaran memiliki 7 asas. Asas – asas ini yang
melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran CTL. Ketujuh asas ini adalah :
1) Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru.
Filsafat konstruktivisme yang mulai di gagas oleh Mark Baldawin dan
dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget menganggap bahwa pengetahuan
itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu
sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
2) Inkuiri
Asas kedua dalam pelaksanaan pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya,
proses pembelajaran didasarkan pada pencairan dan penemuan melalui proses
berpikir secara sistematis.
Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :
(1). Merumuskan masalah
(2). Mengajukan hipotesis
(3). Mengumpulkan data
(4). Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
(5). Membuat kesimpulan
3) Bertanya
Bertanya pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,
22
sedangkan menjawab pertanyaan mencermikan kemampuan seseorang dalam
berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan
informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan
sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan –
pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan
setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat
berguna untuk :
(1). Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi
pelajaran.
(2). Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.
(3). Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu
(4). Memfokuskan siswa pada suatu sesuatu yang diinginkan
(5). Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar dalam CTL meyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dilakukan
dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam
lingkungan yang terjadi secara alamiah.
5) Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan
meragakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
23
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian – kejadian atau peristiwa
pembelajaran yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar
itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan
menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya.
7) Penilaian Nyata (authentic Assessment)
Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini
diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar – benar belajar atau tidak,
apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
24
G. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah prestasi
belajar siswa sebagai variabel terikat, sedangkan model pembelajaran kontekstual
model pembelajaran kooperatif-kolaboratif sebagai variabel bebas.
2. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini sampel terdiri dari dua kelompok yang akan diambil
secara acak (random). Adapun sampel yang dimaksud adalah yang pertama
kelompok yang dijadikan sebagai kelompok eksperimen yaitu yang diberikan
model pembelajaran kooperatif-kolaboratif sedangkan kelompok yang kedua
adalah kelompok kontrol yang diberikan model pembelajaran kontekstual.
Sebelum pembelajaran dilaksanakan, kedua kelompok masing-masing
diberikan tes awal (pre test). Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
awal siswa di kedua kelas tersebut, apakah kemampuan awal kelas kontrol dan
kelas eksperimen sama ataukah berbeda. Kemudian, setelah kemampuan awal
kedua kelas diketahui, baru proses pembelajaran dimulai. Untuk kelas eksperimen
diberikan model pembelajaran kooperatif-kolaboratif sedangkan untuk kelas
kontrol diberikan model pembelajaran kontekstual. Setelah pelaksanaan
pembelajaran seluruhnya dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan tes akhir (post test). Hal ini
dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan prestasi belajar siswa
25
antara kelas eksperimen yang diberikan model pembelajaran three step interview
dengan kelas kontrol yang diberikan model pembelajaran konvensional.
Berdasarkan uraian di atas maka desain penelitian ini menurut Arikunto
(dalam Sudrajat: 2004) dapat digambarkan sebaai berikut:
E O1 X O2
R
K O1 O2
Keterangan:
E = Kelas Eksperimen
K = Kelas Kontrol
X = Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Three Step Interview
O1 = Tes Awal
O1 = Tes akhir
R = Pemilihan Kelompok Secara Random
3. Definisi Operasional
Prestasi belajar siswa merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam
memahami suatu materi tertentu setelah mempelajari materi tersebut. Prestasi
belajar dapat dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh setelah melakukan tes
hasil belajar. Tes hasil belajar ini dapat benar-benar menunjukkan prestasi siswa
26
jika dilakukan dengan jujur, artinya siswa mengisi soal-soal tes tanpa bantuan dari
orang lain akan tetapi hanya mengandalkan kemampuannya sendiri.
Kemudian model pembelajaran kontekstual adalah suatu model
pembelajaran yang berpusat pada guru, artinya guru lebih aktif menjelaskan
sedangkan murid hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan guru tersebut.
Model pembelajaran ini biasanya sering menggunakan metode ekspositori
ataupun ceramah. Adapun model pembelajaran three step interview adalah suatu
model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Kagan, dalam
pembelajaran ini terdapat tiga langkah wawancara yang dilakukan oleh siswa,
yaitu 1. siswa pertama sebagai pewawancara mewawancarai siswa kedua sebagai
narasumber, 2. bertukar peran, 3. bergabung dengan satu pasangan lain dan saling
berbagi mengenai hasil wawancara mereka.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini instrumen pengumpulan data yang akan digunakan
adalah tes. Adapun tes yang akan digunakan merupakan tes berupa essay.
Menurut Nana Sudjana (2001:35):
tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk medapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan),atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran. Sungguhpun emikian, dalam batas tertentu tes dapat pula digunakan untuk mengukur atau menilai hasil belajar bidang afektif dan psikomotoris.
27
Adapun soal tes yang diberikan baik untuk tes awal maupun untuk tes
akhir adalah sama. Sebelum soal ini diberikan kepada siswa sebelumnya soal ini
akan dikonsultasikan dahulu dengan dosen pembimbing, kemudian diuji dahulu
validitas, reliabilitas, daya pembeda serta indeks kesukaran soal baik secara
keseluruhan maupun untuk tiap butir soal.
“Validitas adalah ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai
sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai” (Sudjana, 2001: 12).
Untuk menentukan koefisien validitas ada 3 macam cara yaitu:
a) korelasi product moment menggunakan simpangan
b) Korelasi product moment menggunakan angka kasar (raw score)
c) Korelasi metode rank (rank method correlations)
Untuk menentukan validitas, baik validitas soal maupun validitas tiap butir
soal dalam penelitian ini akan menggunakan cara angka kasar (raw score). Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut :
r xy=n∑ xy−(∑ x )(∑ y )
√(n∑ x2−(∑ x )2 )(n∑ y2−(∑ y )2 )
Kriteria validitas :
0,80 < rxy ≤ 1,00 : validitas sangat baik
0,60 < rxy ≤ 0,80 : validitas baik
0,40 < rxy ≤ 0,60 : validitas sedang
28
0,20 < rxy ≤ 0,40 : validitas kurang
0,00 < rxy ≤ 0,20 : validitas sangat kurang
rxy ≤ 0,00 : tidak valid
“Reliabilitas alat penilaian adalah ketetapan atau keajegan alat tersebut
dalam menilai apa ang dinilainya. Artinya kapanpun alat penilaian tersebut
digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama” (Sudjana, 2001: 16).
Untuk mengukur reliabilitas soal maka yang akan digunakan adalah
rumus alpha, yaitu:
r11=( nn−1 )(1−
∑ si2
s2t )
Keterangan:
n = banyaknya butir soal
si2 = jumlah variansi skor setiap item
st2 = variansi total
Kriteria reliabilitas :
0,80 < r11 ≤ 1,00 : reliabilitas sangat tinggi
0,60 < r11 ≤ 0,80 : reliabilitas tinggi
0,40 < r11 ≤ 0,60 : reliabilitas sedang
29
0,20 < r11 ≤ 0,40 : reliabilitas rendah
r11 ≤ 0,20 : reliabilitas sangat rendah
Daya Pembeda (DP) butir soal adalah “seberapa jauh kemampuan butir
soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab butir soal
tersebut dengan benar dengan siswa yang menjawab butir soal tersebut tapi
jawabannya salah” (Moersetyo: 2009).
Rumus yang digunakan adalah :
DP=
JBA−JBBJSA atau DP=
JBA−JBBJSB
Keterangan:
JBA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal benar
JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal benar
JSA = Jumlah siswa kelompok atas
JSB = Jumlah siswa kelompok bawah
Kriteria:
0,70 < DP ≤ 1,00 : sangat baik
0,60 < DP ≤ 0,70 : baik
0,40 < DP ≤ 0,60 : cukup
0,20 < DP ≤ 0,40 : jelek
30
DP ≤ 0,20 : sangat jelek
Untuk mengukur Indeks Kesukaran (IK) digunakan rumus:
IK=
JBA+JBBJSA+JSB atau IK=
JBA+JBB2JSA atau IK=
JBA+JBB2 JSB
Kriteria:
IK = 1 : sangat mudah
0,70 < IK ≤ 1,00 : mudah
0,30 < IK ≤ 0,70 : sedang
0,00 < IK ≤ 0,30 : sukar
IK ≤ 0,00 : terlalu sukar
Adapun untuk menguji validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya
pembeda soal, dilakukan dengan memberikan soal ini untuk dikerjakan oleh kelas
lain yang sudah mempelajari materi pelajaran yang akan diberikan kepada kelas
kontrol dan eksperimen. Jika soal yang dibuat telah memenuhi kriteria soal yang
baik maka soal baru dapat diujikan kepada kelas kontrol maupun kelas
eksperimen.
31
5. Teknik Analisis Data
Dalam penganalisisan data yang diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan, maka pertama adalah menguji normalitas data hasil pretest. Pengujian
normalitas data ini diperlukan untuk menentukan jenis statistik apa yang nantinya
akan dipakai untuk menguji hipotesis apakah kemampuan awal siswa kelas
kontrol sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen. Untuk menguji
normalitas data baik untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol dalam
penelitian ini menggunakan uji chi kuadrat. Hal ini dilakukan karena data hasil
penelitian akan disajikan dalam bentuk data interval.
Setelah dilakukan pengujian, jika baik data untuk kelas kontrol maupun
kelas eksperimen sama-sama normal maka langkah selanjutnya adalah dengan
menerapkan uji statistik parametrik Karena dalam penelitian ini data merupakan
sampel independent, yaitu “sampel yang bebas atau tidak saling mempengaruhi
diartikan sebagai dua buah sampel dengan subjek yang berbeda, mengalami dua
perlakuan atau pengukuran yang berbeda, seperti subjek A mendapat perlakuan I
dan subjek B mendapat perlakuan II. (R. Sundayana, 2009:36)” maka uji statistik
parametrik yang selanjutnya dilakukan adalah uji t independent. Namun, jika
salah satu data atau keduanya tidak berdistribusi normal maka langkah pengujian
berikutnya adalah pengujian dengan menggunakan statistik non parametrik dalam
hal ini dengan menggunakan uji Mann Whitney. Baik Uji Mann Whitney maupun
uji t independent bertujuan untuk menguji hipotesis yaitu apakah kemamuan awal
siswa kelas kontrol sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen?
32
Namun sebelum menguji dengan uji t harus diuji dahulu homogenitas variansinya,
jika data berdistribusi normal dan kedua variansi homogen maka dilanjutkan
dengan uji t tapi jika data berdistribusi normal dan kedua variansi tidak homogen
maka dilanjutkan dengan uji t’.
Jika kemampuan awal siswa kelas kontrol ternyata tidak sama dengan
kemampuan awal siswa kelas eksperimen, maka harus dilakukan uji Gain setelah
hasil post test diperoleh. Gain adalah selisih antara nilai post test dengan pretest.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a) tentukan gain kelas eksperimen
b) tentukan gain kelas kontrol.
c) buat distribusi frekuensi gain masing-maing kelas. Kemudian uji
normalitasnya.
d) jika ternyata keduanya berdistribusi normal, maka dilanjutkan
dengan tes homogenitas.
e) jika kedua variansinya homogen dilanjutkan dengan uji t.
f) jika salah satu atau kedua distribusi tersebut tidak normal, maka
digunakan statistik nonparametrik, yaitu: Mann Whitney.
g) jika kedua distribusi tersebut normal tapi tidak homogin, maka
dilanjutkan dengan tes t’.
Kemudian setelah diketahui kemampuan awal siswa kedua kelas, maka
apabila proses pembelajaran telah selesai dilakukan dan hasil postest telah
diperoleh, selanjutnya untuk menguji hasil postest juga dilakukan hal yang sama.
33
Adapun hipotesis yang diuji pada hasil postest yaitu hipotesis yang diajukan
penulis pada penelitian ini.
6. Rumus Yang Akan Digunakan
6.1 Rumus Chi Kuadrat
Langkah-langkah uji chi kuadrat adalah sebagai berikut :
a) Menetukan nilai rata-rata dan simpangan bakunya.
b) Mengurutkan data dari yang terkecil ke yang terbesar.
c) Mengubah data diskrit (data mentah) menjadi data interval dengan cara:
membuat tabel normalitas data sebagai berikut:
d) Menetukan nilai chi kuadrat hitung.
χ2=∑ ( fi−Ei )2
Ei
e) Menentukan nilai chikuadrat tabel: χ2tabel= χ
2(1−α )(k−3 )dengan k=
banyaknya kelas interval.
f) Krtiteria pengujian: jika χhitung2 < χ tabel
2 maka data beristribusi normal.
Keterangan:
fi = frekuensi (banyaknya data)
Ei = (luas Zi) x (∑ fi )
34
6.2 Rumus Uji Homogenitas
Langkah-langkah uji homogenitas :
a) menentukan nilai Fhitung dengan rumus :
Fhitung =var ians besarvarians kecil
=(simpangan baku besar )2
( simpangan baku kecil )2
b) menetukan nilai F tabel dengan rumus :
F tabel=Fα (dk n varian besar-1/ dk n varian kecil-1)
c) Kriteria Uji
Jika Fhitung < Ftabel dengan maka varians homogen.
6.3 Rumus Uji t
Langkah-langkah uji t:
a) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
b) Menghitung nilai thitung
=x1
−
−x2
−
Sgab√ n1+n2
n1n2
Sgabungan=√( n1−1 )s12+(n2−1 )s2
2
n1+n2−2
c) Menentukan nilai ttabel = tα(dk=n1+n2−2)
35
d) Kriteria pengujian hipotesis:
Jika : - ttabel ≤ thitung ≤ ttabel maka Ho diterima.
6.4 Rumus Uji t’
Langkah-langkah uji t’:
a) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
b) Menghitung nilai t’hitung
=x1
−
−x2
−
√ s12
n1+
s22
n2
c) Kriteria pengujian hipotesis −
w1 t 1+w2 t2
w1+w2< t '<
w1 t1+w2 t2
w1+w2 , dengan
w1=s1
2
n1 ; w2=
s22
n2 ; t1=tα(n1 -1 ) ; t2=tα(n2 -1)
6.5 Rumus Uji Mann Whitney
Langkah-langkah uji t’:
a) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
b) Menghitung nilai U dan U ' . Adapun rumus nilai U dan U ' adalah:
36
U =n1 n2+n1(n1+1)2
−R1
danU '=(n1 )(n2 )−U
keterangan:
n1 = jumlah data kelompok pertama
n2 = jumlah data kelompok kedua
R = jumlah ranking kelompok
c) Menghitung rata-rata nilai kedua kelompok dengan rumus
μU=12(n1 )(n2 )
d)Menentukan nilai T, dengan rumus ∑T=∑ t3−t
12 , t adalah jumlah nilai yang
sama.
e)Menghitung deviasi standar gabungan, dengan rumus:
δ=√( n1 n2
N ( N−1))( N3−N12
−∑ T )f) menghitung transformasi Z dengan rumus:
Z=U−μδ , dengan U yang digunakan adalah yang paling kecil diantara U dan
U ' .
37