1
METODE TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM WARIS
DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB
Oleh
DINI NUR’AENI103024027538
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
2
ABSTRAK
DINI NUR’AENIMetode Terjemahan Ayat-Ayat Hukum Waris Dalam Tafsir al-MisbahKarya M. Quraish Shihab
Al-Qur’an secara empiris merupakan suatu naskah teks, sebagai suatu kitab yangmenggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun demikian, hendaklah dipahamibahwa al-Qur’an berbeda dengan teks sastra maupun teks lainnya. Kekhususan inikarena sifat hakikat bahasa yang terkandung di dalam al-Qur’an memiliki fungsiyang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikatmakna, fungsi bahasa al-Qur’an yang khas, Universal, dan mengatasi ruang danwaktu.
Allah swt. sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta adalah sumbersegala pengetahuan yang menurunkan al-Qur’an untuk menjadi petunjuk danpegangan bagi hidup manusia tidak mungkin tidak menjelaskan segala-galanya.Begitu juga dengan hukum waris, hukum waris Islam yang dibawa NabiMuhammad saw. telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligusmerombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistemkepemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankanmemiliki harta benda, kecuali wanita dari kalangan elite, bahkan wanita menjadisesuatu yang diwariskan.
”Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilahfaraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakalmeninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akanterjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti iaterima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikanperselisihan tersebut”. (HR Daruquthni)
Sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas bahwa al-Qur’an merupakankitab yang Universal yang menembus ruang dan waktu. Sehingga dalammemahami satu makna kata saja dalam al-Qur’an dapat timbul berbagai macampendapat. Selain itu juga dalam memahami makna al-Qur’an banyak metode yangdigunakan. Dengan melihat serta menganalisis beberapa terjemah al-Qur’an yangditerjemahkan dalam berbagai metode serta tipe yang berbeda-beda, akhirnyadapat dijadikan sebuah perbandingan analisis bagi penulis.
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat pemilik alam raya dan segenap
isinya (Allah swt). Tanpa kekuatan dan pancaran Dzatnyalah, sesungguhnya
penulis tidak yakin untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat serta
salam semoga tercurah kepada tokoh pembaharu sepanjang masa Nabi
Muhammad saw.
Dalam penulisan skripsi ini, banyak hambatan dan kesulitan yang penulis
hadapi. Namun, alhamdulillah berkat rahmat dan pertolongan Allah swt., serta
bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Oleh karena itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga:
1. Bapak Dr. H. Abd. Chair, selaku Dekan Fakultas Adab Dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Abdullah, M.Ag., Pembantu Dekan III Fakultas Adab dan
Humaniora yang telah membuat citra Jurusan Tarjamah baik di mata
Jurusan lain.
3. Bapak Drs. H. Ahmad Syatibi, M. Ag., selaku Pembimbing Akademik.
4. Bapak Drs. Ikhwan Azizi, M.A., selaku Ketua Jurusan Tarjamah,
merangkap sebagai Dosen pembimbing skripsi yang banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, bukan saja persoalan-
persoalan subtansial dalam skripsi ini, tapi lebih kepada ketelitian dalam
menelaah teks-teks, paragraf demi paragraf yang berujung pada
penambahan ilmu baru bagi penulis.
4
5. Bapak H. Ahmad Syaekhudin, M. Ag., selaku Sekertaris Jurusan
Tarjamah.
6. Ibu Karlina Helmanita, M. Ag., selaku Dosen Seminar Skripsi.
7. Seluruh Dosen di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora, yang
telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam memberikan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, penulis selalu berdoa semoga semua ilmu
yang telah diserap penulis dari mereka menjadi ilmu yang bermanfaat dan
menjadi bekal kelak di masa depan. Amin.
8. Penulis juga menyampaikan secara khusus kepada kedua orang tua,
Ayahanda H. Ahmad Shaleh dan Ibunda Hj. Ai Nuroh. Terimakasih yang
tak terhingga, karena merekalah yang telah memberi dukungan lahir batin
kepada penulis untuk terus belajar hingga dapat menyeleseikan studi di
Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora. Serta tak henti-hentinya
mendoakan dengan tulus untuk kesuksesan penulis. Buat satu-satunya adik
tersayang Hani Tahliani yang sedang ”menimba” ilmu di Pesantren.
Perjuangan kamu masih panjang ’Dik’ jangan pernah lelah untuk
menggapai mimpi.
9. Penulis juga ingin menyampaikan tarima kasih sedalam-dalamnya secara
pribadi kepada Samsiri Sirojuddarory. Dorongan kasih sayang dan
pengorbanan yang hampir diberikan setiap saat. Dari itu semua, hari-hari
penulis yang tak pernah berhenti diterpa gelombang semangat, termasuk
dari menyelesaikan skripsi ini adalah buah dari dorongan semangatnya.
5
10. Untuk melengkapi ucapan terima kasih ini tak puas untuk menyertakan
sahabat-sahabat penulis Ceu Na2, te2 Naj, Ayoe si nyit-nyit yang centil
yang ga’ pernah kehilangan ide untuk lawakannya. Mpo Goday Zinta, dan
te’ Entis. Doa Bom2 selalu menyertai kalian, he..he..!
11. Ucapan terima kasih ini juga disampaikan untuk semua teman-teman
tarjamah angkatran 2003. Terima kasih kawan atas semuanya. Semoga
suka dan duka yang kita jalani bersama selama menuntut ilmu akan
menjadi kenangan terindah yang tak pernah terlupakan. Saat KKN, waktu
itulah kita mengenal pribadi masing-masing yang ternyata semua Gokil
Abiiizzzz! itu adalah kenangan yang tak akan pernah terdelet dalam dalam
ingatan penulis.
Atas semua bantuan dari berbagai pihak, penulis hanya bisa
mengembalikan kepada Allah swt, dan semoga segala bantuannya dibalas sebagai
amal baik dengan balasan yang berlipat ganda. Amin!
”Tak ada gading yang tak retak.” Penulis merasa skripsi ini masih banyak
kekurangan, tapi penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja
yang membutuhkannya, baik sebagai rujukan penulisan skripsi, penulisan
makalah dan lainnya. Akhirnya penulis berharap semoga Allah swt, senantiasa
meridoi semua langkah kita. Amin!
Jakarta, 22 Juni 2009
Penulis
6
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................... 6
D. Metode Penelitian ......................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ................................................... 7
BAB II KERANGKA TEORI ...................................................... 8
A. Teori Penerjemahan ...................................................... 8
1. Definisi Penerjemahan ............................................ 8
2. Metode Penerjemahan ............................................. 12
3. Proses Penerjemahan............................................... 18
4. Prosedur penerjemahan ........................................... 22
B. Pengertian Kalimat Efektif ........................................... 24
1. Definisi Kalimat Efektif .......................................... 24
2. Stuktur Kalimat Efektif .......................................... 25
3. Ciri-ciri Kalimat Efektif .......................................... 32
7
BAB III M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISBAH .... 38
A. Biografi dan Perjalanan Karier M. Quraish Shihab........ 38
B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah .................. 43
C. Karya-Karya Ilmiah M. Quraish Shihab ........................ 44
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM
WARIS ............................................................................. 47
A. Analisis Metode Terjemahan M. Quraish Shihab........... 47
B. Analisis Gramatikal Terjemahan M. Quraish Shihab ..... 54
C. Keunggulan dan Kelemahan Terjemahan M. Quraish
Shihab........................................................................... 64
BAB V PENUTUP ....................................................................... 67
A. Kesimpulan................................................................... 67
B. Rekomendasi.................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 70
8
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi huruf Arab-Latin dalam skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang disusun oleh
Tim Penulis CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2007.
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا Tidak dilambangkan
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
ح h ha dengan garis di bawah
خ kh ka dan ha
د d de
ذ dz de dan zet
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
ص s es dengan garis di bawah
ض d de dengan garis di bawah
ط t te dengan garis di bawah
ظ z zet dengan garis di bawah
9
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ع ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ـھ h ha
ء ´ apostrof
ي y ye
B. Tanda Vokal
Tanda Vokal Arab (Tunggal) Tanda Vokal Latin Keterangan
ـ◌ ـ a fathah
ــ i kasrah
ــ u dammah
10
Tanda Vokal Arab (Rangkap) Tanda Vokal Latin Keterangan
يــ ai a dan i
وــ au a dan u
Tanda Vokal Arab (Panjang) Tanda Vokal Latin Keterangan
ـا ـ â a dengan topi di atas
ـي ـ î i dengan topi di atas
وـ ـ û u dengan topi di atas
C. Penulisan Ta Marbûtah
1. Huruf ta marbûtah dialihaksarakan menjadi /h/, jika terdapat pada kata yang
berdiri sendiri.
Kata Arab Alih Aksara
طريقة tarîqah
2. Huruf ta marbûtah dialihaksarakan menjadi /h/, jika diikuti oleh kata sifat
(na’t).
Kata Arab Alih Aksara
الجامعة الإسلامية al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3. Huruf ta marbûtah dialihaksarakan menjadi /t/, jika diikuti kata benda (ism).
Kata Arab Alih Aksara
حدووجة الود wahdat al-wujûd
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah wahyu, kitab yang mengandung firman Allah swt.
diturunkan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw. dengan perantara
Jibril, untuk menjadi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia sekarang
maupun di akhirat kelak.
Al-Qur’an secara empiris merupakan suatu naskah teks, sebagai suatu
kitab yang menggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun demikian,
hendaklah dipahami bahwa al-Qur’an berbeda dengan teks sastra maupun
teks lainnya. Kekhususan ini karena sifat hakikat bahasa yang terkandung di
dalam al-Qur’an memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya.
Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa al-Qur’an yang
khas, Universal, dan mengatasi ruang dan waktu.1
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah tetapi penafsiran atas
teks selalu berubah, sesuai dengan konteks dan waktu manusia. Karenanya
al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan
untuk menguak isi sejatinya.2
1Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta:Islamika, 2003), h. 69-70.
2Umar Shihab, Kontektualitas Al-Quran Kajian Tematik Ayat-Ayat Hukum DalamAl-Quran (Jakarta: Permadani, 2005), h. 69.
12
Allah swt. sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta adalah sumber
segala pengetahuan yang menurunkan al-Qur’an untuk menjadi petunjuk dan
pegangan bagi hidup manusia tidak mungkin tidak menjelaskan segala-
galanya.3 Begitu juga dengan hukum waris, hukum waris Islam yang dibawa
Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan
sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak
sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta
pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak
diperkenankan memiliki harta benda, kecuali wanita dari kalangan elite,
bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.4
Islam merinci dan menjelaskan melalui al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli
waris dengan tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun
demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi
penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, di samping
karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering
disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara
pembagiannya.
Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang
tidak kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: “Betapa
banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid.”5
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali
menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan
3Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan), h. 26.4http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008.5http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008.
13
keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan
ketamakan manusia, di samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang
terkait mengenai hukum pembagian waris. Padahal, Allah swt. di dalam
al-Qur’an mengatur pembagian waris secara lengkap. Sementara itu, di sisi
lain, kita jumpai kenyataan bahwa beberapa kalangan, termasuk para pelajar
di sekolah-sekolah Islam, menganggap faraid (ilmu yang mengatur
pembagian harta pusaka) sebagai momok yang menakutkan.6
Allah swt. dalam surah an-Nisa', menegaskan dan merinci bagian
setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Perlu kita ketahui bahwa
ayat 11,12, dan 176 dalan surah an-Nisa’ merupakan asas ilmu faraid, di
dalamnya berisi aturan dan tatacara yang berkenaan dengan hak dan
pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi
pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui
bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha
Bijaksana.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap
ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna. Allah
menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh
kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan
mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di
kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak
6http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008
14
membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang
lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat
tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-
ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung,
hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits
berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:7
عوالتآنمالقروهلمعواسواالنلمعتوضائاالفروهلمعواسفإالنينؤرماضوقبإنمولمالعسيقبضرظهتونتىالفتحفلتخيانثنىالاف
ةلاالفريضانجديناممهنيل بفصي)الدارقطنيرواه(
”Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, sertapelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya akuseorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akanmuncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalamhal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapatiorang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut.” (HR Daruquthni)8
Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat al-Qur’an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini.
Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
7Imam ad-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966. Jilid 4, h. 81.8http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008
15
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah swt. di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.9
Sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas bahwa al-Qur’an
merupakan kitab yang Universal yang menembus ruang dan waktu. Sehingga
dalam memahami satu makna kata saja dalam al-Qur’an dapat timbul
berbagai macam pendapat. Selain itu juga dalam memahami makna al-Qur’an
banyak metode yang digunakan. Dengan melihat serta menganalisis beberapa
terjemah al-Qur’an yang diterjemahkan dalam berbagai metode serta tipe
yang berbeda-beda, akhirnya dapat dijadikan sebuah perbandingan analisis,
serta untuk memfokuskan pembahasan, maka tulisan ilmiah ini mencoba
mengangkat judul Metode Terjemahan Ayat-Ayat Hukum Waris Dalam
Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, menghindari terlalu melebarnya
jangkauan penelitian dan untuk dapat menemukan sebuah pengertian secara
lebih mendalam, maka penulis mencoba membatasi penelitian seputar analisis
terjemahan ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum waris. Adapun perumusan dan
pembatasan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa motode terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah?
2. Apakah terjemahan ayat-ayat hukum waris dan Tafsir al-Misbah sudah
memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar?
9http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008.
16
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui motode terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam
Tafsir al-Misbah.
2. Mengetahui terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah
dengan tolak ukur bahasa Indonesia yang baik dan benar.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kepustakaan (library researct) dari buku-buku,
majalah-majalah, karya ilmiah serta media elektronik atau internet yang
memiliki hubungan erat dengan skripsi ini, guna mengumpulkan sebanyak
mungkin data-data yang diperlukan. Data pustaka yang digunakan terbagi
dua, yaitu data primer dan data sekunder. Tafsir al-Misbah menjadi data
primer dalam penelitian ini, sedangkan data sekundernya adalah sumber-
sumber lain yang mendukung data primer. Kemudian di dalam
pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu
terlebih dahulu mendeskripsikan data-data atau bahan-bahan yang akan
dipergunakan sebagai sumber primer, kemudian dianalisis secara
proporsional lalu dituangkan dalam skripsi ini.10
Untuk menghindari penulisan yang keliru, maka dalam tekhnik
penulisan, penulis sepenuhnya berpedoman pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) tahun 2007 yang diterbitkan oleh
10Syahrin Harahaf, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin (Jakarta:Grafindo, 2000), h. 8-9.
17
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab
dan sub bab. Adapun susunannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Kerangka teori yang berisikan mengenai seputar penerjemahan,
mulai definisi penerjemahan, metode penerjemahan, proses
penerjemahan, prosedur penerjemahan, definisi kalimat efektif,
stuktur kalimat efektif, dan ciri kalimat efektif.
BAB III : M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah yang berisikan
mengenai, biografi dan perjalanan karier M. Quraish Shihab,
latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah, dan karya-karya
ilmiah M. Quraish Shihab.
BAB IV : Analisis terjemahan ayat-ayat hukum waris, berisikan mengenai
analisis metode penerjemahan ayat-ayat hukum waris, analisis
gramatikal, dan keunggulan dan kelemahan terjemahan ayat-
ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah.
BAB V : Berisikan tentang kesimpulan dari penelitian yang telah
dianalisis, serta menyertakan rekomendasi yang positif dan
membangun bagi semua pihak.
18
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Penerjemahan merupakan salah satu unsur terpenting dalam kajian
kebahasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah ‘terjamah’ diambil dari bahasa
Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri mengambil istilah tersebut dari
bahasa Armenia, turjuman. Kata turjuman serupa dengan tarjamah dan
tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke
bahasa lainnya.11
Banyak sekali definisi terjemahan yang dikemukan oleh para ahli.
Namun dalam pandangan Ibnu Burhan, apapaun definisi yang digunakan,
sebaiknya dipertimbangkan prinsif operasional akomodatif. Akomodatif
dalam arti mempertimbangkan definisi-definisi yang pernah dikemukakan
oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif
menghargai terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh para pengkaji
sebelumnya. Sedangkan prinsif operasional memiliki maksud, bahwa
definisi yang digunakan sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil
sebelumnya harus tetap berpijak pada pertimbangan, apakah definisi
tersebut dapat dioperasikan pada tahap yang lebih praktis atau tidak.12
11Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia; Teori dan Praktek (Jakarta: Humaniora,2005), h. 7.
12Ibnu Burhan, Menjadi Penerjemah; Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet. Ke-1, h. 9.
19
Tanslation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui
berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda.
Meskipun sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam
dunia penerjemahan dewasa ini.13
Terjemahan secara etimologis berasal dari bahasa Arab ‘Tarjama’
yang artinya penjelasan, bila dikatakan ‘Tarjama kalamuhu’ artinya ia
menerangkan ucapannya dan ia mengalih-bahasakan satu teks dari satu
bahasa ke dalam bahasa lain.14
Kata terjemah berasal dari bahasa Arab tarjamah. Kata tersebut
kedudukannya sebagai mashdar yaitu Fi’il Madhi Ruba’i al-Mujarrad
‘tarjamah’ yang bentuknya terjadi sebagai berikut
ترجم،يتجرم،ترجةم،وترجام،فهو متجرم،وذاك مترجم،تجرم،
مجرتم،مجرتم،مجرتتلا
Dalam muradif yang lain kata tarjama bisa berarti فسر menafsirkan
atau menginterpretasikan. Kata ترجم juga berarti حشر menerangkan,
menjelaskan, atau ترجم juga berarti اعملی menerjemahkan (ide pikiran) ke
dalam tindakan mengoperasionalkan.15
Sedangkan secara terminologis terdapat beberapa definisi
diantaranya adalah sebagai kegiatan memindahkan suatu amanat dari
13Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 4 dan 5.14Ahcmad Satory Ismail, Dasar-Dasar Menterjemah (Diktat Mata Kuliah Terjemah),
Fakultas Adab & Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bagian I, h. 2.15Atabik Ali, Kamus Kontemporer (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), Cet. Ke-4,
h. 456.
20
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan pertama-tama
mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.16
Ada beberapa pengertian terjemahan menurut para ahli antara
lain:17 Menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti
terjemahan yaitu menyalin (memindahkan) dari satu bahasa ke dalam
bahasa lain, atau mengalih bahasakan.18
Sedangkan menurut Ibnu Burhan, bahwa penerjemahan sebagai
usaha memindahkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.19
Catford (1965), seorang profesor Universitas Michigan
mengatakan dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation ia
mendefinisikannya sebagai “the reflacement of textual material in one
language by equivalent textual material in another language”, (mengganti
bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam
bahasa sasaran).20
Begitu juga Newmark (1988), seperti yang dikutip Rochayah
Machali, memberikan definisi serupa, yaitu: “rendening the meaning of a
teks into another language in the way that the author intenden the teks”
(menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan
yang dimaksud pengarang).21
16Satory Ismail, Dasar-Dasar Menterjemah, h. 2.17Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (flores: Nusa Indah, 1986), Cet.
Ke- 1, h. 23.18Depdikbud, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Cet. Ke-1, h. 903.19Ibnu Burhan, Menjadi Penerjemah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet. Ke-1, h. 10.20Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 5.21 Ibid.
21
Eugene A. Nida dan Crarles R. Taber, dalam buku mereka The
Theory and Practice of Translation, memberikan definisi penerjemahan
sebagai berikut: “translating consists in reproducing in the receptor
language massage, first in terms of meaning and secondly in term of style”
(menerjemahkan berarti menciptakan paduan yang paling dekat dalam
bahasa penerima terhadap pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal
makna dan kedua kesesuaian pada gaya bahasanya).”22
Sedangkan menurut Savory (1968) mengemukakan hakikat
penerjemahan di dalam bukunya The Art of Translations dengan
“penerjemahan menjadi mungkin dengan adanya gagasan yang sepadan di
balik ungkapan verbal yang berbeda.”23
Lain halnya dengan definisi yang dikemukakan Brinslin (1973)
dalam bukunya Translation Application and Research: ”penerjemahan
adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah pikiran
dan gagasan dari suatu bahasa (sumber) ke dalam bahasa sasaran, baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan; baik kedua bahasa tersebut telah
mempunyai sistem ataupun belum, baik salah satu atau keduanya
didasarkan pada isyarat orang tuna rungu.”24
Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan
sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua gaya
bahasanya.
22A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), Cet. Ke-1.23Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation, Bahasa Penuntun Praktis
Menerjemahkan (yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.24 Ibid., h. 12-13.
22
Melihat kilas definisi tersebut menurut penulis nampak berbeda-
beda namun, mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu adanya
persamaan dan penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah
dengan pesan yang diterima oleh pembaca.
2. Metode Penerjemahan
Di dalam literatur penerjemahan banyak ragam yang diterapkan.
Agar penilaian pembaca tetap baik terhadap penerjemah, perlu kiranya
memiliki pengetahuan tentang ragam penerjemahan tersebut, penerjemah
dapat mengetahui dengan ragam apa yang harus digunakan untuk
menerjemahkan teks yang bersangkutan.
Penulis akan memaparkan delapan metode yang digunakan oleh
Newmark, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan pada bahasa
sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan pada bahasa
sasaran (BSa). Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya
mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual teks
sumber (Tsu), meskipun dijumpai hambatan-hambatan sintaksis dan
semantis pada teks sasaran (TSa) (yakni hambatan bentuk dan makna).
Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang
relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi
BSu.25
Metode-metode yang memberikan penekakan terhadap bahasa
sumber yaitu:
25Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 49.
23
a. Penerjemahan Kata Demi Kata
Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata teks
sasaran langsung diletakan di bawah versi teks sumber. Kata-kata
dalam teks sumber diterjemahkan di luar konteks, dan kata- kata yang
bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Umumnya metode ini
dipergunakan sebagai tahapan pra-penerjemahan (sebagai gloss) pada
penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami
mekanisme bahasa sumber.26
بتكوعندى ثلاثةDan di sisisku tiga buku-buku.
b. Penerjemahan Harfiah
Dengan menggunakan metode harfiah ini, kontruksi gramatikal
bahasa sumber dicarikan padanannya yang terdekat dalam bahasa
sasaran, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan
terpisah dari konteks. Dalam proses penerjemahan, metode ini dapat
digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai
metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini
dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.27
اءجرلجمرنالبالجرالإوحسإلانكوغياى يلمتارساعدةضاياحلالزالز
Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korban-korban gempa bumi.
26Ibid.,h. 50-51.27Ibid., h. 51.
24
c. Penerjemahan Setia
Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual
teks sumber dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-
kata yang bermuatan budaya dialih bahasakan, tetapi penyimpangan
dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan.
Penerjemahan berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks sumber,
sehingga hasil terjemahan kadang-kadang sering terasa kaku dan
seringkali asing.28
هكوثيرالرمادDia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya.
d. Penerjemahan Semantis
Apabila dibandingkan dengan penerjemahan setia, penerjemahan
semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan
tidak berkompromi dengan kaidah teks sasaran. Berbeda dengan
penerjemahan setia, penerjemahan semantis harus pula
mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan
mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran.
Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat
diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional.
Bila dibandingkan dengan penerjemahan setia penerjemahan semantis
lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan setia lebih terikat oleh bahasa
sumber.29
28 Ibid., h.51-52.29Ibid., h. 52.
25
أريذتا الوجهأنيمالفاملصSaya melihat si muka dua di depan kelas.
Selain melalui penekanan kepada bahasa sumber seperti dijelaskan
diatas, metode penerjemahan dapat lebih ditekankan kepada bahasa
sasaran. Ini berarti bahwa selain pertimbangan kewacanaan, penerjemah
juga mempertimbangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa
sasaran. Berikut ini adalah keempat metode tersebut.
a. Penerjemahan Adaptasi (termasuk saduran)
Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas
dan paling dekat dengan bahasa sasaran. Istilah “saduran” dapat
dimasukan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal
penting dalam teks sumber, misalnya tema, karakter atau alur.
Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi,
yaitu yang mempertahankan tema, karakter dan alur. Tetapi dalam
penerjemahan, terjadi peralihan budaya bahasa sumber ke budaya
bahasa sasaran, serta teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke
dalam teks sasaran. Sebagai contoh adalah penerjemahan (lebih tepat
penyaduran) drama Shakespeare berjudul ‘Macbeth’ yang disadur oleh
penyair terkenal WS. Rendra dan dimainkan di Taman Ismail Marzuki
Jakarta 1994. Rendra mempertahankan semua karakter dalam naskah
26
asli, dan alur cerita juga dipertahankan, tetapi dialognya sudah disadur
dan disesuaikan dengan budaya Indonesia.30
حينا امنارااننردبKetika bulan purnama bersinar
b. Penerjemahan Idiomatik
Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi
sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik
yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak
terjadi distorsi nuansa makna.31
ولاإةذا اللمبعدالتبعBerakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian.
c. Penerjemahan Komunikatif
Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang
demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi
langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi teks
sasarannya juga langsung berterima. Sesuai dengan namanya, metode
ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak
pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi
30Ibid., h. 53.31Ibid., h. 54.
27
teks sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi teks sasaran
sesuai dengan prinsip-prinsip di atas.32
نطتورمفطن نثةممنقلعثةممنمضغةKita tumbuh dari mani, segumpal darah, dan kemudian segumpaldaging (awam)
Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio(berpelajar)
d. Penerjemahan Bebas
Terjemahan bebas meliputi terjemahan yang tidak
memperdulikan aturan tata bahasa dan bahasa sumber. Orientasi yang
paling menonjol adalah pemindahan makna.33 Yang dimaksud dengan
terjemanahan bebas bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan
sekehendak hatinya sehingga esensi terjemah itu sendiri hilang. Bebas
di sini berarti ”penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu
terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah
berbahasa sumber. Ia boleh melakukan modifikasi kalimat dengan
tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti
secara jelas oleh pembacanya.”34 Metode ini lebih mengutamakan isi
dan seakan-akan mengorbankan struktur gramatikal bahasa sumber.
Metode ini sering dipakai di kalangan media masa. Terjemahan bebas,
pada umumnya, lebih banyak diterima ketimbang terjemahan harfiah,
karena dalam terjemahan bebas biasanya tidak terjadi baik
32Ibid., h. 55.33Burhan, Menjadi Penerjemah, h. 16.34Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (Flores: Nusa Indah, 1986), Cet.
Ke- 1, h. 56.
28
penyimpangan makna, maupun pelanggaran norma-norma bahasa
sasaran. Terkadang metode ini berbentuk para frasa yang lebih panjang
atau pendek dari naskah aslinya. Kekurangan teknik terjemahan bebas
ini ialah bahwa yang disampaikan oleh terjemahan bebas ke dalam teks
bahasa sasaran bukan padanan makna teks bahasa sumber, tapi
gambaran situasi, yang menghasilkan perolehan padanan situasi.35
جميعما ينشرى المفلجةيعبرعنكيأرباتهلاا ويعببرالضرورةعنالميأرلجة
Terjemahnya: Isi di luar tanggung jawab percetakan.36
3. Proses Penerjemahan
Penerjemahan sebagai suatu proses, memilki beberapa tahap
sehingga menghasilkan terjemahan yang diinginkan. Terlebih lagi hasil
terjemahan yang baik ialah terjemahan yang mampu menghadirkan isi atau
pesan yang akan disampaikan oleh penulis. Dalam penerjemahan ini,
setidaknya ada tiga tahap yang harus dilakukan oleh penerjemah untuk
mendapatkan hasil yang dianggap baik.
a. Tahap Analisis
Bila kita dihadapkan pada sebuah teks, maka langkah pertama
yang akan kita lakukan yaitu menganalisis teks bahasa sumber tersebut
35Salihen Moentaha, Bahasa dan terjemahan, Language and Translation The NewMillennium Publication (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. 52-53.
36Moch. Mansyur dan Kustiawan, Pedoman Bagi Penerjemah Arab Indonesia, Indonesia-Arab (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), h. 112.
29
sebelum diterjemahkan. Analisis ini meliputi apa maksud pengarang
menuliskan teks tersebut, apakah untuk menjelaskan sesuatu, bercerita
atau untuk mempertahankan pendapatnya?37
Semua hal diatas tersebut merupakan pertanyaan dasar yang
harus jelas jawabannya bagi penerjemah, sebelum ia menerjemahkan
teks sumber tersebut ke dalam bahasa sasaran. Untuk menganalisis
bahasa sumber hendaknya penerjemah memperhatikan aspek tata
bahasa dan emosi yang terkandung dalam kata.38
Setelah mempunyai gambaran yang jelas barulah penerjemah
dapat memulai proses selanjutnya, yakni memindahkan atau
mengalihkan teks sumber tersebut ke dalam teks bahasa sasaran.
b. Tahap Pengalihan
Pada tahap ini, seorang penerjemah berupaya untuk
menggantikan unsur teks bahasa sumber dengan unsur teks bahasa
sasaran yang sepadan. Sepadan pada segala unsur dalam teks baik
bentuk maupun isinya.39
Dalam upaya pengalihan ini, terdapat beberapa pertanyaan
yang harus dikaitkan dengan pertanyaan dalam analisis dan
dipertimbangkan oleh penerjemah dalam kegiatan pengalihan diantara
pertanyaan tersebut adalah: apakah pesan penulis dalam naskah asli
harus tetap dipertahankan dalam terjemahan? Dapatkah penerjemah
37Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 33.38Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 63.39 Ibid., h. 35.
30
mengubah pesan yang terdapat dalam naskah asli? Jika boleh, seberapa
banyak atau seberapa jauh dan mengapa? Inilah pertanyaan yang kerap
kali muncul di sela-sela proses penerjemahan. Namun demikian,
seperti yang telah dijelaskan pada definisi penerjemahan, seorang
penerjemah harus mempertahankan maksud yang ingin disampaikan
pengarang.40 Karena pada dasarnya terjemahan bukan sekedar
mengalihkan huruf atau kata yang terdapat dalam bahasa sumber,
tetapi lebih kepada pengalihan pesan yang terdapat dalam bahasa
sumber, tetapi lebih kepada pengalihan pesan yang terdapat dalam
bahasa sumber kepada bahasa sasaran. Tidak heran bila seorang
penerjemah yang telah memasuki tahap ini harus kembali ke tahap
analisis atau sebaliknya sampai ia yakin betul bahwa pemahaman dan
analisisnya sudah cukup baik.41
c. Tahap Penyerasian
Setelah tahap analisis dan pengalihan dilalui dengan baik, tahap
terakhir yang harus dilakukan ialah tahap penyerasian. Pada tahap ini,
penerjemah dapat menyesuaikan bahasanya yang masih terasa ’kaku’
untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Di samping itu
mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya
apakah menggunakn istilah yang umum ataukah yang baku.42
Tahap penyerasian ini adalah tahap akhir, ini berarti tahap-
tahap sebelumnya sudah diselesaikan dengan baik. Pada tahap
40Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 35.41 Ibid., h. 38.42Machali, Pedoman Bagi Penerjemah. h. 38.
31
penyerasian ini, penerjemah dapat melakukan tahap ini sendiri, atau
bisa meminta bantuan orang lain untuk mengoreksi. Ada dua hal yang
mendasari ungkapan ini. Pertama penerjemah kerap merasa kesulitan
mengoreksi kerjaan sendiri, karena secara psikologis ia akan
menganggap terjemahna sudah baik. Hal ini karena didorong latar
belakang yang ia miliki. Maka penyerasian yang dilakukan orang lain
cukup membantu dalam menghasilkan terjemahan yang baik dan
komunikatif. Kedua, penerjemah sebaiknya merupakan kerja tim;43 ada
yang menerjemahkan dan ada pula yang ’mengedit’. Hal ini
menyangkut faktor keterbacaan, karena terjemahan yang baik ialah
terjemahan yang mengadopsi pesan yang dimuat dalam naskah asli
kedalam bahasa sasaran, serta menyajikan komunikatif sehingga
terkesan naskah asli dengan naskah terjemahan tidak jauh berbeda.
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa seorang
penerjemah yang telah punya niatan untuk menggeluti bidangnya,
secara moral ia terikat dengan kenyataan bahwa ia harus menampilkan
apa yang terbaik bagi pembacanya. Untuk itulah baik buruknya suatu
produk terjemahan merupakan refleksi dan pencerminan pembuatnya
sendiri di masyarakat. Sebab produk terjemahan bukanlah milik
penulis naskah asli, tapi ia milik sejati penerjemah sendiri.44
43 Ibid.44Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 65.
32
4. Prosedur Penerjemahan
Menurut Syihabuddin dalam bukunya yang berjudul Penerjemahan
Arab Indonesia (teori dan praktek), istilah prosedur dibedakan dari
metode. Konsep yang pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat
dan unit-unit terjemahan yang lebih kecil, sedangkan konsep kedua
mengacu pada proses penerjemahan secara keseluruhan.45
Perbedaan antara metode dan prosedur terletak pada objeknya.
Objek metode adalah nas secara keseluruhan,46 sedangkan objek prosedur
penerjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih
kecil seperti klausa, frasa, kata dan sebagainya.47
Dalam Diktat Teori dan Permasalahan Terjemahan yang disususn
oleh Moch. Syarif Hidayatullah, prosedur penerjemahan terbagi menjadi
empat kelompok.
a. Taqdim dan Ta’khir
Mendahulukan kata dalam BSu yang diakhirkan dalam BSa
dan mengakhirkan kata dalam BSu yang didahulukan dalam BSa.
جاوالزددعالتملاسالإددحدق5 4 3 2 1
Islam telah membatasi poligami3 1 2 45
45Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h.73.46Ibid.47Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 62.
33
b. Ziyadah
Menambah unsur kalimat yang tidak terlihat dalam BSu.
صنالقعوسامعلمعظيم4 3 2 1
Menyusun kamus merupakan pekerjaan yang berat1 2 h 3 h 4
c. Hadzf
Tidak menerjemahkan beberapa kata dalam BSu untuk alasan
kelaziman atau kelogisan kalimat.
يفيمومذمياالأنهأبحمدلصيدالسمك9 8 7 6 5 4 3 2 1
Suatu hari, Ahmad memancing1234 6 89
d. Tabdil
Mengganti stuktur kata dalam BSu dengan memperhatikan
makna dalam BSu.
يوزعماناجلاويباع5 4 3 2 1
Gratis atau tidak diperjualbelikan2 45
34
B. Pengertian Kalimat Efektif
1. Definisi Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menyampaikan
informasi secara sempurna.48 Sedangkan Arifin dan Tasai menuturkan
bahwa kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau
pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis.49
Kalimat efektif haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai kalimat
yang baik, stukturnya teratur, kata yang digunakan mendukung makna
secara tepat dan hubungan antar bagiannya logis. Susunan kata yang tak
teratur, penggunaan kata yang berlebih, penggunaan kata yang tak tepat
makna, penggunaan kata yang tepat dalam kalimat, semuanya membuat
kalimat tidak efektif.
Secara garis besar pengertian kalimat efektif dikenal dalam
hubungan fungsi kalimat selaku alat komunikasi. Hubungan itu dijabarkan
dengan adanya keterlibatan setiap kalimat dalam proses penyampaian dan
penerima. Apa yang disampaikan dan diterima itu mungkin berupa ide,
gagasan, pesan atau informasi. Jadi, setiap kalimat dikatakan efektif bila
mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan atau berlangsung
secara sempurna, kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang
disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran si penerima (pembaca),
48Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Stuktur, dan Logika) (Bandung: RefikaAditama, 2007), h. 66.
49Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk PerguruanTinggi (Jakarta: Akademi Pressindo, 2004), h. 89-90.
35
persis seperti apa yang disampaikan pada teks atau ide dasar. Kalimat
sangat mengutamakan keefektifan informasi itu sehingga kejelasan kalimat
itu dapat terjamin.50
Menurut Ida Bagus dalam bukunya kalimat efektif (diksi, stuktur,
dan logika), bahwa kalimat dikatakan efektif jika memenuhi dua syarat
utama; yaitu (a) stuktur kalimat efektif dan (b) ciri kalimat efektif.
2. Stuktur Kalimat Efektif
a. Stuktur Kalimat Umum
Ida bagus menuturkan bahwa unsur-unsur yang membangun
sebuah kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: unsur wajib dan
unsur takwajib (unsur manasuka). Unsur wajib adalah unsur yang
harus ada dalam kalimat (yaitu unsur S/subjek dan P/predikat),
sedangkan unsur takwajib atau unsur manasuka adalah unsur yang
boleh ada dan boleh pula tidak ada (yaitu kata kerja bantu: harus,
boleh; keterangan aspek: sudah, akan; keterangan: tempat, waktu, cara
dan sebagainya) unsur-unsur tersebut bisa diikhtisarkan sebagai
berikut:
(Aux) (W)
K = FSb + (Asp) + FPr + (T)
(Pnd) (C)
50Ibid., h. 90.
36
Keterangan: K : Kalimat
FSb : Frasa Subjek = FB (Frasa Benda)
FPr : Frasa Predikat = FB (Frasa Benda)
FK (Frasa Kerja)
FS (Frasa Sifat)
FD (Frasa Depan)
FBil (Frasa Bilangan)
Aux : Auxilary : harus, boleh, mau;
Asp : Aspek : sudah, akan, sedang;
Pnd : Pendesak : memang, tidak, hanya;
W : Waktu : sebelum, sesudah, ketika;
T : Tempat : di….., ke….., dari…..;
C : Cara : sebab, akibat, syarat,
perlawanan, keadaan, dan lain-
lainnya.
Unsur-unsur yang diapit tanda kurung disebut unsur manasuka,
sedangkan yang lainnya disebut unsur wajib. Untuk menyusun sebuah
kalimat sempurna, unsur wajib harus ada, sedangkan unsur manasuka
boleh digunakan atau tidak.51
Misalnya:Dia memang sudah harus pergi pagi ini ke kampus untuk ujian.FSb Pnd Asp Aux FPr W T C
51Ibid., h. 48.
37
Unsur wajib kalimat di atas adalah dia dan pergi. Kedua unsur
wajib tersebut membentuk kalimat inti: Dia pergi.
Tidak selamanya, unsur-unsur yang membangun kalimat dalam
bentuk yang sederhana seperti kalimat contoh. Hal ini berarti pada
hakikatnya akan sering kita jumpai bentuk kalimat yang unsur-
unsurnya sudah dikembangkan lebih jauh.
b. Stuktur Kalimat Pararel
Yang dimaksud kesejajaran (pararelisme) dalam kalimat
menurut Ida Bagus adalah penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang
sama yang dipakai dalam susunan serial. Jika sebuah ide dalam suatu
kalimat dinyatakan dengan frasa (kelompok kata), maka ide-ide yang
sederajat harus dinyatakan dengan frasa. Jika sebuah ide dalam suatu
kalimat dinyatakan dengan kata benda (misalnya bentuk pe-an, ke-an),
maka ide lain yang sederajat harus dengan kata benda juga. Demikian
juga halnya bila sebuah ide dalam suatu kalimat dinyatakan dengan
kata kerja (misalnya bentuk me-kan, di-kan), maka ide lainnya yang
sederajat harus dinyatakan dengan jenis kata yang sama. Kesejajaran
(pararelisme) akan membantu memberi kejelasan kalimat secara
keseluruhan.52 Contoh:
Penyakit Alzheimer alias pikun adalah satu segi usia tua yang palingmengerikan dan berbahaya, sebab pencegahan dan carapengobatannya tak ada yang tau.
52Ibid., h. 48-49.
38
Dalam kalimat tersebut, ide yang sederajat adalah kata
“mengerikan dan berbahaya” dan kata “pencegahan dengan cara
mengobatinya.” Oleh sebab itu, bentuk yang dipakai untuk kata-kata
yang sederajat dalam kalimat tersebut harus sama (pararel) sehingga
kalimat tersebut ditata kembali menjadi kalimat.
Penyakit Alzheimer alias pikun adalah satu segi usia tua yang palingmengerikan dan membahayakan, sebab pencegahannya dan carapengobatannya tak ada yang tau.
Hal serupa dapat kita lihat pada contoh berikut:
Ibu meminang mesra si cilik Raminra, menyanyikan lagu, mengajakbicara, mengajak bercanda dengan senang hati.
Pada kalimat tersebut, ide-ide yang sederajat dinyatakan dalam
bentuk kelompok kata (frasa). Kalimat tersebut memakai awalan me-
dalam satuan kelompok kata (frasa), seperti pada meminang mesra,
menyanyikan lagu, mengajak bicara, dan mengajak bercanda.53
Sementara itu, Sugono (2003) yang dikutif oleh Ida Bagus
menyatakan, bahwa stuktur pararel dapat dilihat dari segi kesejajaran
satuan dalam kalimat. Yang dimaksud dengan satuan di sini adalah
satuan bahasa. Unsur pembentuk kalimat seperti subjek, predikat,
objek, dan sebagainnya dapat disebut satuan.54 Contoh:
Saya akan mengambil roti, mentega dan kacang.
53Ibid., h. 49.54Ibid.
39
Kalimat tersebut terdiri atas tiga satuan fungsional, yaitu subjek,
predikat, dan objek. Subjek saya terdiri atas satu satuan; predikat akan
mengambil terdiri atas dua satuan; serta objek roti, mentega, dan kacang
terdiri atas tiga satuan. Jika kita membicarakan tentang kesejajaran satuan
dalam kalimat, yang dibahas adalah keadaan sejajar atau tidaknya satuan-
satuan yang membentuk kalimat, baik dari segi bentuk maupun dari segi
makna. Tentu saja pengertian kesejajaran mengandaikan bahwa unsur
pembentukan kalimat itu lebih dari satu. Kaitan bentuk dan makna
sangatlah erat dan tidak terpisahkan, tetapi demi kemudahan pembicaraan,
tulisan ini akan berbagi menurut aspek yang menonjol.55
1. Kesejajaran Bentuk
Imbuhan digunakan untuk membentuk kata berperan dan
menentukan kesejajaran. Berikut ini contoh yang memperhatikan
ketidak sejajaran bentuk.
Kegiatannya meliputi pembelian buku, membuat katalog, danmengatur peminjaman buku.
Ketidaksejajaran itu ada pada kata pembelian (buku) yang
disejajarkan dengan kata membuat (katalog) dan mengatur
(peminjaman buku). Agar sejajar, ketiga satuan itu dapat dijadikan
nomina semua, menjadi:
Kegiatannya meliputi pembelian buku, pembuatan katalog, danpengaturan peminjaman buku.
55Ibid., h. 50.
40
Jika dijadikan verba semua, ubahannya menjadi:
Kegiatannya ialah membeli buku, membuat katalog, dan mengaturpeminjaman buku.
2. Kesejajaran Makna
Seperti telah dinyatakan, bentuk dan makna berkaitan erat.
Keduanya dapat diumpamakan sebagai dua sisi dari kepingan uang
yang sama. Berikut ini akan diuraikan makna yang terkandung dalam
satuan fungsional. Satuan fungsional adalah unsur kalimat yang
berkedudukan sebagai subjek, predikat, objek dan sebagainya. Status
fungsi itu ditentukan oleh relasi makna antar satuan.56 Contoh:
Dia berpukul-pukulan.
Kalimat tersebut tidak ada kesejajaran subjek dan predikat dari
segi makna. Kata berpukul-pukulan bermakna ‘saling pukul’. Hal itu
berarti pelakunya harus lebih dari satu. Karena kata Dia bermakna
tunggal, subjek kalimat itu harus diubah misalnya menjadi mereka,
atau kalimat tersebut perlu ditambahkan keterangan komitatif
(penyerta) dengan temannya, misalnya.
Kalimat berikut tidak memiliki kesejajaran makna predikat dan
objek.
Adik memetiki setangkai bunga.
Kata memetiki mempunyai makna ‘berulang-ulang’ yang
tentunya tidak dapat diterapkan pada setangkai bunga. Perbaikannya
dapat dilakukan dengan mengubah predikat menjadi memetik atau
56Ibid.
41
menghilangkan satuan setangkai pada objek. Tentu saja kalimat itu
bergantung pada informasi yang akan disampaikan.
3. Kesejajaran Dalam Perincian Pilihan
Kadang-kadang, soal ujian dibuat bentuk pilihan ganda. Soal
yang baik harus memuat perincian pilihan yang sejajar sehingga
memberi peluang yang sama untuk dipilih. Berikut ini contoh
perincian pilihan yang tidak sejajar.57
(1) Pemasangan telepon akan menyebabkan ....
a. Melancarkan tugas
b. Menambah wibawa
c. Meningkatkan pengeluaran
Pada contoh tersebut, jawaban yang diharapkan adalah (a),
tetapi kalimat pemasangan telepon akan menyebabkan melancarkan
tugas bukanlah kalimat yang baik. Pilihan (b) meskipun memang
bukan jawaban yang tepat, tidak mempunyai peluang untuk dipilih
karena kalimat pemasangan telepon akan menyebabkan untuk
menambah wibawa bukanlah kalimat baik. Kalimat yang memuat
pilihan (c) justru paling baik, tetapi pilihan itu bukan jawaban yang
diharapkan. Soal (1) dapat diubah sebagai berikut:
(1a) Pemasangan telepon akan meningkatkan ....
a. kelancaran
b. wibawa
c. pengeluaran
57Ibid., 52-53.
42
c. Stuktur Kalimat Periodik
Kalau pada kalimat umum, unsur-unsur yang dikemukakan
cenderung unsur intinya, tetapi pada kalimat periodik sebaliknya, yaitu
unsur-unsur tambahan yang terlebih dahulu dikemukakan kemudian
muncul bagian intinya. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian para
pembaca atau pembicara terhadap pendengarnya. Misalnya:58
1) Oleh mahasiswa kemaren jenazah yang busuk itu dikuburkan (O-
K-S-P).
2) Oleh awan panas yang tersembur dari kepundan, dengan bantuan
angin yang berkecepatan tinggi, hutan lindung di lereng bukit itu
terbakar habis (O-K-S-P)
3) Kemaren rombongan mahasiswa PKL UIN disambut oleh
mahasiswa jurusan kedokteran UI (K-S-P-O).
3. Ciri-ciri Kalimat Efektif
a. Mengandung Kesatuan Gagasan
Untuk menjaga kesatuan gagasan penerjemah harus selalu
mengupanyakan berbagai hal, diantaranya adalah:
1) Subjek/predikat kalimat jelas
(Menghindari pemakaian kata depan di, dalam, bagi, untuk, pada,
sebagai, tentang, mengenai, menurut)
58Ibid., h. 53-54.
43
Kalimat di bawah ini tidak efektif karena ada kata berlebih
yang menggunakan subjek, misalnya:
Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uangkuliah59
Penggunaan kata depan ’bagi’ dalam kalimat di atas,
membuat kalimat itu tidak efektif karena tidak jelas lagi mana
subjek kalimat jika dilihat dari segi predikatnya. Jadi kata ’bagi’
tidak perlu digunakan dalam kalimat tersebut.
Penghilangan kata ’bagi’ dalam kalimat di atas tidak akan
mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Jadi, kalimat
tersebut dapat diganti sebagai berikut:
Semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uangkuliah
2) Tidak terdapat subjek yang ganda
Soal itu saya kurang jelas (salah)
Soal itu kurang jelas (benar)
3) Kata penghubung intra kalimat tidak dipakai pada kalimat
tunggal.
Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti
acara pertama. (salah)
4) Predikat kalimat tidak didahului oleh yang.
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu. (salah)
59Ibid.
44
b. Kepararelan
Paralisme (kesejajaran) ialah penggunaan bentuk gramatikal
yang sama untuk unsur-unsur yang sama fungsinya. Jika satu gagasan
dinyatakan dengan kata kerja bentuk ’me-’60 dan sebagainya, maka
gagasan lain yang sejajar harus dinyatakan pula dengan kata kerja
bentuk ’me’ seperti kalimat terjemahan berikut ini:
آوتوا اليتى أاممالوهملاوتتبلدبا الخوالطبثيبيلاولأكتا و
مكالومى ألإمهالومأ”Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, danjangan kamu memakan harta mereka bersama hartanya.”
c. Ketegasan (Penekanan ide pokok kalimat)
1) Diletakan di depan kalimat
Mahasiswa itu ingin pergi ke kampus.
2) Membuat urutan bertahap
Bukan seratus, seribu, sejuta, tapi milyaran rupiah telah
disumbangkan.
3) Melakukan repitisi
Saya suka akan kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan
mereka.
60Ibid., h. 136.
45
4) Melakukan pertentangan
Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan pintar.
5) Menggunakan partikel penegas
Saudaralah yang bertanggung jawab.
d. Kehematan
1) Tidak mengulang subjek
Karena ia tidak diundang, ia tidak datang ke tempat itu.
2) Tidak mengulang subordinat pada hiponim
Ia memakai baju warna merah
3) Tidak mengulang sinonim
Sejak dari pagi ia berenang
4) Tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak
Para tamu-tamu sudah datang
e. Kecermatan (Tidak menimbulkan tafsir ganda)
Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu sedang berdemontrasi
f. Kepaduan
1) Bertele-tele
2) Memperhatikan stuktur aspek + agen + verba
Surat itu saya sudah baca (salah)
3) Kalimat yang menghindari kata-kata seperti daripada dan tentang
Dia membahas tentang perpajakan (salah)
46
4) Kelogisan (ide kalimat dapat diterima oleh akal dan ejaan sesuai
dengan yang berlaku)
Waktu dan tempat kami persilahkan (salah)
g. Kalimat Baku
Kalimat adalah gugusan yang berstuktur atau bersistem yang
mampu menimbulkan makna sempurna. Makna sempurna adalah
makna yang dapat diterima oleh orang lain sesuai dengan maksud
yang dimiliki pembuat kalimat.61
Kalimat baku adalah kalimat yang mengikuti kaidah/ragam
bahasa yang telah ditentukan atau dilazimkan. Kalimat tidak baku
adalah kalimat yang dari segi bentuknya tidak memenuhi persyaratan
sebuah kalimat, sedangkan dari segi isinya tidak mampu menjadi
sarana komunikasi yang sempurna. Kalimat yang tidak baku dapat
saja berupa kalimat yang tidak efektif, tidak normatif, dan tidak logis.
Dikatakan tidak efektif apabila kalimat itu tidak memberikan
pengertian kepada pembaca sesuai dengan maksud penulis dan
penutur. Kalimat tidak normatif adalah kalimat yang tidak memenuhi
norma-norma pembuat kalimat, misalnya unsur minimal tidak
terpenuhi. Sedangkan kalimat yang tidak logis adalah kalimat yang
hubungan antar makna gramatikal dan makna leksikal tidak logis.62
61Kusno Budi Santoso, Problematika Bahasa Indonesia: Sebuah Analisis Praktik BahasaBaku, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 128.
62Ibid.
47
(1) Buku itu diberi ke saya.
(2) Buku itu diberikan kepada saya.
Kalimat (1) tidak baku karena diberi dan ke tidak lengkap,
sedangkan kalimat (2) adalah bentuk yang baku karena kata diberikan
dan kepada stuktur dan ejaannya sudah lengkap.
48
BAB III
M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL MISBAH
A. Biografi Singkat dan Perjalanan Karier M. Quraish Shihab
Pada saat ini, bisa dikatakan cendikiawan muslim yang sangat
mendalam ilmunya dalam studi ilmu-ilmu al-Qur’an (Tafsir) di Indonesia
adalah Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Dengan kedalaman, keluasan,
dan ketinggian ilmunya di bidang Tafsir al-Qur’an telah mengangkat
namanya menjadi salah satu ikon gerakan pemikiran Islam di Indonesia.
Apalagi pendapat atau pandangan-pandangan keagamaan beliau yang
moderat, menyebabkan beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan. Sehingga
tidak mengherankan, Shihab menjabat posisi penting dalam berbagai bidang,
mulai dari pendidikan (akademis) sampai politik, dari non formal sampai
formal. Walaupun tidak bisa dinafikan masih ada beberapa kalangan yang
tidak sepakat dengan pendapat-pendapatnya.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi
Selatan, 16 Februari 1944.63 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar.
Sosok Quraish Shihab berperawakan tegap dan kharismatik dengan tinggi 172
cm, berat 69, warna rambut hitam, muka lonjong, dan kulit berwarna putih.64
Kini Beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ)
dan Guru Besar sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
63Lihat M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyudalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
64Kusmana, “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed),Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN SyarifHidayatullah Jakarta (Jakarta: IAIN Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 245.
49
Jakarta.65 Beliau adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet
Indonesia Bersatu, Alwi Shihab. Sekarang beliau bersama istri bernama
Fatmawati telah dianugerahi lima orang anak, yaitu, Najla, Najwa, Naswa,
Ahmad, dan Nahla.
Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang guru besar
dalam bidang Tafsir.66 Abdurrahman seringkali mengajak Quraish Shihab
bersama saudaranya yang lain untuk duduk bercengkrama bersama dan
sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai
bersemi cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap studi al-Qur’an.67
Pengkajian terhadap al-Qur’an dan Tafsirnya, kemudian lebih beliau
dalami di Universitas Al-Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan dasarnya
yaitu SD dan SLTP di Ujung Pandang dan pendidikan menengahnya di
Malang (1956-1958) sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren Darul
Hadist al-Faqihiyyah, Malang.68
Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan
pendidikan dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967,
beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan
Hadist Universitas Al-Azhar.69 Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya
di Fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi
65Shihab, Logika Agama; Batas-batas Akal dan kedudukan Wahyu dalam Islam.66M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 2001), Cet. Ke-
XXII,h.14.67 Ibid., h. 14.68http://media.isnet.org/islam/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 200869Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 15.
50
bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul Al-I’jaz al-Tasyri’iy li al-Qur’an
al-Karim.70
Dengan rasa suka cita Shihab kembali ke Ujung Pandang, 71 dengan
membawa gelar megisternya. Rasa rindu yang sudah lama dipendamnya
untuk bersua dan berbakti kepada ayah bunda, bercengkraman ria dengan
saudara-saudaranya dan berkasihsayang dengan segenap handai taulan di
kampung halamannya, dengan ini dapat terobati.72
Di Ujung Pandang beliau dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor
bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Selain menjabat jabatan tersebut, beliau juga diserahi jabatan-jabatan lain,
baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah
VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu
Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental.
Selama di Ujung Pandang, beliau juga sempat melakukan berbagai penelitian.
Penelitian tersebut antara lain, penelitian dengan tema ”Penerapan Kerukunan
Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan ”Masalah Wakaf Sulawesi
Selatan” (1978).73
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikan di almamater yang lama, yaitu Universitas Al-Azhar. Pada tahun
1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa’iy, Tahqiq wa
70http://media.isnet.org/islan/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 200871Ujung Pandang adalah nama lain untuk Makasar dan dipakai kira-kira tahun 1950-an
sampai tahun 2000. Alasan mengganti nama Makasar menjadi Ujung Pandang adalah alasanpolitik. Antara lain karena Makasar adalah nama sebuah suku bangsa padahal tidak semuapenduduk kota Makasar adalah anggota dari etnik Makasar.
72Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 14.73http://media.isnet.org/islam/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 2008.
51
Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam meraih ilmu al-Qur’an
dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz
ma’a martabat al-syaraf al-’ula).74 Yang artinya dengan pujian tingkat
pertama.
Beliau merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar
doktor di bidang ilmu Tafsir. Sementara dalam lingkup keluarganya
merupakan doktor keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri
dari enam putra dan enam putri.75
Sekembalinya ke Indonesia, sejak tahun 1984, Quraish Shihab
ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN (kini UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta dan pada tahun 1992-1998 beliau diangkat menjadi
Rektor pada Universitas tersebut. Selain itu, di luar kampus, beliau juga
dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1984), anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan.
Selain jabatan-jabatan dalam bidang akademis (pendidikan) tersebut,
Quraish Shihab juga pernah menduduki jabatan politik. Antara lain tahun
1998, beliau dipercayakan untuk menduduki jabatan Menteri Agama dalam
kabinet Pembangunan VII. Setelah itu beliau diangkat sebagai Duta Besar RI
untuk Mesir, Jibouti, Somalia. Pada tahun 1995-1999 beliau dipilih sebagai
Anggota Dewan Riset Nasional. Dari tahun 1989 sampai sekarang beliau
74http://media.isnet.org/islam/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 200875Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 2.
52
diangkat sebagai Anggota Dewan Pentashih al-Qur’an Departemen Agama
RI.
Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional.
Antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibat dalam berbagai
kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya
dan pasti semua orang tahu, Quraish Shihab adalah salah seorang yang aktif
dan produktif dalam kegiatan tulis menulis. Di surat kabar Pelita, beliau
pernah mengasuh rubrik “Pelita Hati” setiap hari Rabu. Dia juga mengasuh
rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di
Jakarta, Amanah. Lalu mengasuh rubrik “Quraish Shihab Menjawab” di
harian Republika. Selain itu, dia juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan
Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di
Jakarta.
Quraish Shihab juga sering muncul di layar televisi untuk mengisi
acara- acara yang terkait dengan dakwah Islam. Pada tahun 1996, beliau
mengisi acara bertajuk ‘Sahur Bersama Quraish Shihab’ di layar televisi
RCTI. Selama sebulan penuh setiap menjelang sahur beliau menguraikan
hikmah-hikmah puasa dan bulan Ramadhan serta berbagai masalah
keagamaan lainnya, melalui tanya jawab yang dipandu oleh Dr. Arief
Rahman. Hasil ceramah dan dialog selama sebulan itu kemudian diterbitkan
53
oleh penerbit Mizan menjadi buku yang sangat laris dengan judul yang sama:
Sahur Bersama Quraish Shihab. Saat ini pun Quraish Shihab masih mengasuh
acara keagamaan di layar MetroTV.
B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah
Pada akhir dari “sekapur sirih” M. Quraish Shihab yang terdapat pada
setiap volume, tercantum keterangan bahwa awal penulisan Tafsir al-Misbah
ini bertempat di Kairo, Mesir pada hari jumat. 4 Rabiul Awal 1420 H,
bertepatan dengan tanggal 18 Juni 1999 M dan kemudian untuk pertama
kalinya pada bulan Sya’ban 1421 H, bertepatan pada bulan November 2000
M, oleh penerbit Lentera Hati di Jakarta.
Latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah ini didasarkan pada
keinginan Quraish melayani semua masyarakat pembacanya yang ingin
memahami al-Qur’an. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, beliau ingin
bahwa al-Qur’an menjadi hudan (petunjuk) yang dapat dimanfaatkan
sepenuhnya oleh semua kalangan masyarakat Islam. Di samping karena
memang usaha menafsirkan al-Qur’an adalah usaha yang sangat mulia
sekaligus merupakan kewajiban para ulama yang punya kemampuan di
bidang itu untuk menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung dalam
al-Qur’an sesuai dengan harapan dan kebutuhan.
Penamaan al-Misbah pada kitab tafsirnya ini tentunya tidaklah tanpa
alasan. Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Awar, MA, alasan pemilihan nama
54
al-Misbah ini paling tidak mencakup dua hal 76, yaitu: pertama pemilihan
nama itu didasarkan pada fungsinya. al-Misbah artinya lampu yang fungsinya
untuk menerangi kegelapan. Menurut Hamdan, dengan memilih nama ini,
penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi
mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang
dapat dijadikan pedoman hidup. Kedua pemilihan nama al-Misbah ini berasal
dari kumpulan tulisan pada rubrik “Pelita Hati” yang diterbitkan dengan
judul “Lentera Hati”. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti
dan fungsinya sama. Dalam bahasa Arab, lentera, pelita, atau lampu itu
disebut Misbah, dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish untuk
dijadikan nama karyanya itu. Penerbitnya pun menggunakan nama serupa
yaitu Lentera Hati.
C. Karya-karya Ilmiah M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab adalah termasuk seorang tokoh muslim
kontemporer Indonesia yang produktif. Dalam waktu yang sangat relatif
singkat beliau mampu menghasilkan karya yang sangat banyak dan cukup
bercorak, sesuatu yang luar biasa. Karya itu sangat populer dan bisa diterima
di berbagai kalangan, bahkan sangat dinanti-nanti oleh masyarakat.
Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan, jurnal-jurnal
ilmiah, dan kontribusi bagi majalah maupun koran, hingga kini M.Quraish
76Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihabdalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya,Vol.XXX,No. 2, 1. h. 176-177.
55
Shihab telah banyak mempublikasikan banyak buku. Diantara karyanya yang
bisa penulis sebutkan adalah:
1. Tafsir Al-Manar: keistimewaan dan kelemahannya, (Ujung Pandang:
IAIN Alaudin, 1948),
2. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987),
3. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah), (Jakarta: Untagma,
1988),
4. Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), buku ini merupakan
salah satu best seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
5. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994),
6. Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996),
7. Untaian Permata Buat Anakku, (Bandung: Mizan, 1998),
8. Mukjizat Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998),
9. Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 1998),
10. Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan & Malaikat, (Jakarta: Lentera Hati,
1999),
11. Pengantin Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 1999),
12. Haji Bersama Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999),
13. Sahur Bersama Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999),
14. Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa),
15. Puasa Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa),
16. Fatwa-fatwa, (Bandung: Mizan, 1999), 4 jilid.
17. Hidangan Ilahi: Tafsir Ayat-ayat Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 1999),
56
18. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000),
19. Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 15 jilid. Tafsir ini adalah
Tafsir yang penulis analisis, khususnya ayat-ayat tentang hukum waris.
20. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Dalam Pandangan Ulama dan
Cendekiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004),
21. Dia Di Mana-mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap fenomena, (Jakarta:
Lentera Hati, 2004), dan
22. Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005).
57
BAB IV
ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM WARIS
A. Analisis Metode Terjemahan M. Quraish Shihab
Menerjemahkan berarti berkomunikasi, maksudnya apa yang kita
terjemahkan harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang akan membaca
hasil terjemahan itu. Akan lebih baik lagi kalau para pembaca dapat mengerti
dan menikmati hasil terjemahan itu, tanpa merasa bahwa karya tersebut
sebenarnya adalah hasil terjemahan. Untuk menghasilkan terjemahan yang
demikian itu tidak mudah. Ada empat unsur yang terlibat dalam proses
terjemahan, yaitu: unsur isi, unsur pembaca, situasi dan kondisi pada saat
berita atau massage itu diterima.
Setiap penerjemah perlu mempertimbangkan gaya bahasa dalam
konteks penerjemahannya. Namun dalam penerjemahan buku-buku ilmiah,
biasanya para penerjemah tidak terlalu menghadapi kesulitan, sebab gaya
bahasa yang dipergunakan pengarang sumbernya formal dan informtif,
sehingga informasi yang terkandung dalam buku itu dapat mudah dialihkan.
Sementara penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia telah
banyak kita ketahui. Dengan banyaknya terjemahan yang kita ketahui,
tidaklah serta merta terjemahna itu kita terima begitu saja, tanpa mengoreksi
dan menganalisisnya. Pada Bab ini penulis akan menganalisis metode
penerjemahan ayat-ayat hukum waris yang terdapat pada Tafsir al-Misbah
karya M. Quraish Shihab mengacu pada dua penekanan pemilihan bahasa,
58
yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Artinya analisis yang akan penulis
lakukan terhadap ayat-ayat hukum waris ini akan bersandar kepada kedua
penekanan tersebut, berdasarkan metode terjemah yang telah penulis
paparkan pada Bab II. Adapun yang menjadi analisis metode terjemahan
adalah yang terdapat dalam surah an-Nisa’.
Analisis akan dilakukan dengan cara menyertakan teks asli dan teks
terjemahannya sesuai yang tertulis pada Tafsir al-Misbah, tanpa adanya
pengurangan atau pembetulan stuktur formal bahasa. Hal ini bertujuan agar
dapat diketahui dengan jelas analisis yang akan dilakukan pada
Tafsir al-Misbah tersebut.
Ayat-ayat tersebut yaitu: Ayat pertama adalah firman Allah dalam surah
an-Nisa’ [4 ]: 7:
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dankerabat, dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa danpara kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telahditetapkan.”77
Pada ayat pertama ini terjemahan Shihab termasuk terjemahan yang
dikategorikan terjemahan yang baik. hal ini dikarenakan pesan yang
disampaikan oleh teks asli bisa dipahami dengan mudah ketika membaca teks
terjemahan. Namun untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Quraish
77M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah;Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran(Jakarta:Lentera Hati, 2000), Cet. 1, h. 335.
59
Shihab dalam menerjemahkan ayat ini, maka akan digunakan dua orientasi
teks yaitu teks sumber dan teks sasaran.
Berdasarkan analisis penulis, terjemahan ayat pertama ini berorientasi
pada teks sumber, maka terjemahan ayat ini penulis kategorikan sebagai
penerjemahan setia. Ini dapat dilihat dari terjemahan di atas merupakan
terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber.
Kesetiaan digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata
bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frasa, dan bentuk
kalimat yang diterjemahkan apa adanya. Akibat yang sering muncul dari
terjemahan ini adalah hasil terjemahannya menjadi saklek karena penerjemah
memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan analisis ayat pertama ini bisa dilihat bahwa metode
penerjemahan yang digunakan oleh Shihab adalah metode penerjemahan
setia. Artinya Shihab dalam menerjemahkan ayat pertama ini lebih
menekankan kepada teks bahasa sumber bukan teks bahasa sasaran.
Ayat kedua adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:8:
”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, danorang miskin, maka berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlahkepada mereka perkataan yang baik”.78
78Ibid., h. 336.
60
Pada ayat ini penerjemah masih menekankan terjemahan pada teks
sumber. Penerjemah berhasil menyampaikan pesan yang terkandung dalam
teks bahasa sumber tanpa harus mengabaikan teks sumber. Penulis
berpendapat terjemahan pada ayat ini masih memakai metode penerjemahan
setia, karena masih berpegang teguh pada stuktur bahasa sumber walaupun
tidak seketat pada penerjemahna harfiah.
Jika kita perhatikan dari semua bahasa yang terdapat dalam konteks
bahasa sumber di atas, penerjemah telah mencantumkan makna asli dalam
penerjemahannya, meskipun terdapat penyesuian makna dalam bahasa
sasaran.
Ayat ketiga adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:11:
“Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seoranganak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anakitu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dariharta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka iamemperoleh setengah. Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masing-masing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan, jika yangmeninggal itu mempunyai anak; jika ia tidak mempunyai anak dan ia
61
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jikayang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatseperenam. (pembagian pembagian tersebut) sesudah (dipenuhi) wasiat atauhutangnya. Orang tua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahuisiapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu. Ini adalahketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi MahaBijaksana”.79
Jika dilihat dari keseluruhan pada ayat ini, terjemahan ayat di atas,
masih berorientasi pada teks sumber. Penerjemah masih menggunakan
metode penerjemahan setia dengan mereproduksi makna kontekstual, tetapi
masih dibatasi oleh stuktur gramatikal.
Ayat keempat adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:12:
”Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isteri kamu itumempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang merekatinggalkan sesudah wasiat yang mereka wasiatkan atau (dan) hutang. Paraisteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
79Ibid., h. 342.
62
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperolehseperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yangkamu buat atau (dan) sesudah (dibayarkan) hutang kamu. Jika seseoranglelaki mati, tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atauperempuan tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudaraperempuan maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenahharta. Tetapi jika saudara-saudar seibu itu lebih dari seorang, maka merekabersekutu dalam yang sepertiga itu, dengan tidak memberi mudharat. (Itulah)wasiat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.80
Metode yang digunakan pada terjemahan ayat di atas, adalah metode
penerjemahan setia. Kalimat tersebut diterjemahkan apa adanya oleh
penerjemah. Penerjemah telah mencantumkan makna asli dalam
terjemahannya, meskipun terdapat penyesuaian dalam bahasa sasaran. Hal ini
dilakukan agar terjemahan terasa lebih enak dibaca dalam bahasa sasaran.
Ayat kelima adalah firman Allah dalam surah an-Nisa [4 ]:33:
”Bagi setiap (harta peninggalan) yang ditinggalkan ibu bapak dankarib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang-orang yangkamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagianmereka. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”81
Terjemahan di atas merupakan ragam terjemahan setia. Masih
berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks sumber sehingga agak kaku
dan terasa asing, dan tidak berkompromi dengan teks sasaran. Terlihat juga
masih mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh stuktur
gramatikalnya.
80Ibid., h. 347.81M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah;Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran
(Jakarta:Lentera Hati, 2007), Cet. X, h. 420.
63
Ayat keenam adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: "Allah memberi fatwakepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidakmempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka baginyaseperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-lakimempusakainya, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudaraperempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yangditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki dan perempuan, makabahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudaraperempuan. Allah menerangkan kepada kamu, supaya kamu tidak sesat. DanAllah Maha mengetahui segala sesuatu.”82
Pada ayat ini penerjemah masih tetap menggunakan metode
penerjemahan setia. Jika diperhatikan dalam semua kata yang ada dalam
konteks bahasa sumber tersebut, penerjemah telah mencantumkan bahasa asli
dalam penerjemahannya, meski terdapat penyesuaian kata dalam bahasa
sasaran.
Berdasarkan analisis dari keenam ayat hukum waris tersebut, bisa
dilihat bahwa metode penerjemahan yang digunakan oleh Shihab adalah
metode penerjemahan setia. Artinya Shihab dalam menerjemahkan ayat-ayat
hukum waris lebih menekankan kepada teks bahasa sumber bukan teks
bahasa sasaran. Terjemahan setia diperlukan untuk menjaga keutuhan makna
82Ibid., h. 683.
64
bahasa asli. Dengan alasan yang mendasar inilah penerjemah menerjemahkan
dengan metode tersebut.
Dari semua uraian di atas tentang terjemahan ayat-ayat al-Qur’an
mengenai hukum waris dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab
terlihat jelas bahwa setiap huruf atau kata yang terdapat dalam bahasa sumber
tidaklah harus diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran. Karena
huruf atau kata itu harus dilihat terlebih dahulu apakah dapat diterjemahkan
sesuai dengan isi dari bahasa sumber dan untuk menghindari kalimat-kalimat
kaku atau tidak enak dibaca. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap makna
yang terdapat dalam bahasa sumber harus relevan dalam peletakannya pada
bahasa sasaran. Tetapi yang terpenting adalah isi atau pesan dalam bahasa
sumber tidak melenceng dalam penerjemahan ke dalam bahasa sasaran.
B. Analisis Gramatikal Terjemahan M. Quraish Shihab
Seorang penerjemah adalah seorang penulis. Tentu saja, ia bukan
pengarang bukunya sendiri. Gagasan-gagasan yang ada dalam terjemah tetap
merupakan gagasan-gagasan pengarang. Meskipun dia menulis gagasan
pengarang itu, dan dia ingin menyampaikan gagasan pengarang seefektif
mungkin. Oleh karena itu, penerjemah harus mampu menyusun kalimat-
kalimat yang efektif dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) yang
dipakainya, sesuai dengan kalimat efektif.
Dari sini penulis akan mencoba menganalisis terjemahan
M. Quraish Shihab pada bukunya Tafsir al- Misbah yang sangat terkenal dan
merupakan karya terbesar. Penulis akan menganalisis terjemahan tersebut
65
secara gramatikal khususnya yang berhubungan dengan kalimat efektif, dan
kalimat efektif ini pembahasannya sangat luas dan banyak, maka penulis akan
membatasi pada:
1. Kesalahan penggunaan kata depan dan kata sambung
2. Kesalahan penggunaan kata ganti dalam kalimat
3. Kesalahan ejaan
4. Pengulangan kata yang tidak perlu
Seperti pada analisis sebelumnya, penulis akan menampilkan terlebih
dahulu teks Bsu kemudian teks Bsa.
Ayat pertama adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]: 7:
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dankerabat, dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa danpara kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telahditetapkan.”83
Dalam menerjemahkan teks tersebut penerjemah tidak begitu saja
menerjmahkan. Ia juga memberikan beberapa penjelasan yang berkaitan
dengan term yang Ia terjemahkan.
Kata rijal yang diterjemahkan ’lelaki’, dan nisa’ yang diterjemahkan
’perempuan’, menurut Shihab ada yang memahaminya dalam arti mereka
yang dewasa, dan ada pula yang memahaminya mencakup dewasa dan anak-
anak. Menurut Shihab pendapat kedua ini lebih tepat apabila dikaitkan
83Ibid., h. 335.
66
dengan sebab nuzul ayat ini. Menurut salah satu riwayat, bahwa seorang
wanita bernama Ummu Kuhah yang dikaruniai dua orang anak perempuan
hasil perkawinannya dengan Aus ibn Tsabit yang gugur dalam perang Uhud.
Ummu Kuhhah datang kepada Rasulullah saw. mengadukan paman putri itu
yang mengambil semua peninggalan Aus, tidak menyisakan sedikitpun
untuknya dan kedua anaknya. Maka Rasulullah menyuruh mereka menanti,
dan tidak lama kemudian maka turunlah ayat ini dan ayat kewarisan lainnya.
Jika dilihat dari keefektifan bahasa maka pada ayat pertama ini, belum
memenuhi keefektipan bahasa hal ini disebabkan karena, penerjemah masih
menggunakan kata depan ’bagi’ di depan subjek. Jika ingin mencapai kalimat
yang efektif maka kalimat tersebut harus menghindari pemakaian kata depan
di, dalam, bagi, untuk, pada, sebagai, tentang, mengenai, menurut, dan
sebagainya di depan subjek.
Penggunaan kata depan ’bagi’ dalam kalimat di atas, membuat kalimat
itu tidak efektif karena tidak jelas lagi mana subjek kalimat jika dilihat dari
segi predikatnya. Jadi kata ’bagi’ tidak perlu digunakan dalam kalimat
tersebut.
Penghilangan kata ’bagi’ dalam kalimat di atas tidak akan
mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Menurut hemat penulis
penerjemahan yang efektif akan menjadi: Laki-laki memperoleh bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan para kerabat.
Terjemahan di atas masih terdapat kata yang tidak baku, yaitu pada
kata ’bapa’ karena dalam KBBI kata yang baku adalah ’bapak’.
67
Penempatan kata ’dan’ pada kalimat ”...dan bagi wanita ada bagian
dari harta peninggalan ibu-bapa dan para kerabat....”, adalah pemborosan
kata. Penempatan ’dan’ pada kalimat tersebut bisa diganti dengan tanda baca
koma (,).
Kata mafrudhan yang terambil dari kata faradha yang berarti ’wajib’.
Kata faradha adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi
kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. Sedangkan kata
wajib tidak harus bersumber dari yang tinggi, karena bisa saja seseorang
mewajibkan sesuatu atas dirinya. Dengan demikian, hak warisan yang
ditentukan itu bersumber dari Allah swt. Dan jika demikian tidak ada alasan
untuk menolak atau mengubahnya.84
Ayat kedua adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:8:
”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, danorang miskin, maka berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlahkepada mereka perkataan yang baik.”85
Jika kita perhatikan dari semua bahasa yang terdapat dalam konteks
bahasa sumber di atas, penerjemah telah mencantumkan makna asli dalam
penerjemahannya, meskipun terdapat penyesuian makna dalam bahasa
sasaran.
84M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an(Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 336.
85Ibid., h. 336.
68
Pada terjemahan ayat di atas, penulis menemukan terjemahan ’waw’
yang kurang tepat cara pemakaiannya atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia yang disempurnakan. Huruf ’waw’ pada ayat di atas adalah ’waw’
ibtida, (yaitu huruf pembuka kalimat). Huruf ini berpadanan dengan kata
’dan’, dalam bahasa Indonesia. Kata ’dan’ disebut sebagai konjungtor.
Menurut kaidah bahasa Indonesia yang disempurnakan penggunaan
konjungtor ’dan’ tidak boleh di awal kalimat.
Konjungtor adalah kata atau gabungan kata yang berfungsi
menghubungkan bagian-bagian ujaran yang mungkin berupa kata dengan
kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan
kalimat.
Dalam bahasa Arab, konjungtor termasuk ke dalam kategori partikel
(huruf), yang dapat digunakan untuk mengkoordinasikan mufrad (kata atau
frasa) dengan mufrad, klausa dengan klausa, dan kalimat dengan kalimat.
Konstituen yang terletak sebelum kata penghubung disebut dengan ma’tuf
alaih atau konjungta I, dan yang terletak sesudahnya disebut ma’tuf atau
konjungta II. Konjungtor tidak termasuk dalam klausa manapun, tetapi
merupakan konstituensi sendiri.
Selain itu, menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, apabila suatu
kalimat sudah diakhiri oleh titik (.) maka kalimat selanjutnya baru.
Pada analisis di atas, maka terlihat bahwa terjemahan tersebut telah
mengikuti terjemahan leksikal dan gramatikal secara umum, meskipun dalam
teks terjemahan terdapat penambahan dan pengurangan.
69
Perlu diketahui bahwa tidak semua huruf atau kata dalam bahasa
sumber harus diterjemahkan secara keseluruhan dalam bahasa sasaran.
Penerjemah boleh memodifikasi terjemahan dengan tujuan untuk
menghasilkan terjemahan yang enak dibaca dengan syarat pesan yang ada
dalam teks sumber tersampaikan dengan baik kepada pembacanya.
Ayat ketiga adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:11:
“Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seoranganak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anakitu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dariharta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka iamemperoleh setengah. Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masing-masing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan, jika yangmeninggal itu mempunyai anak; jika ia tidak mempunyai anak dan iadiwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jikayang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatseperenam. (pembagian pembagian tersebut) sesudah (dipenuhi) wasiat atauhutangnya. Orang tua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahuisiapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu. Ini adalahketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi MahaBijaksana.”86
86Ibid., h. 342.
70
Pada ayat 11 surah an-Nisa’ kata م ك diterjemahkan ’kamu’ padahal
kata tersebut mengacu pada orang kedua jamak. Seharusnya diterjemahkan
dengan kata ’kalian’. Sehingga terjemahan tersebut menjadi “Allah
mewasiatkan kalian untuk anak-anak kalian. Kata وق ف diterjemahkan dengan
kata ’lebih’ meskipun arti kata itu sendiri adalah ’di atas’. Sehingga kata
tersebut dengan diterjemahkan ’lebih’ pesan yang terkandung dalam teks
sasaran tersampaikan dengan baik. Dibanding jika disampaikan atau
diterjemahkan dengan terjemahan aslinya.
Kata dzakar yang diterjemahkan di atas dengan ’anak lelaki’, dan bukan
rajul yang berarti ’lelaki’ untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor
penghalang bagi penerima warisan, karena kata dzakar dari segi bahasa
berarti ’jantan’, lelaki baik kecil maupun besar, binatang maupun manusia.
Sedangkan kata rajul adalah ’pria dewasa’. Demikian juga halnya dengan
kata untsayain yang diterjemahkan ’dua anak perempuan’. Bentuk tunggalnya
adalah untsa yang berarti ’perempuan’, baik besar atapun kecil.
Ayat keempat adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:12:
71
”Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isteri kamu itumempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang merekatinggalkan sesudah wasiat yang mereka wasiatkan atau (dan) hutang. Paraisteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidakmempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperolehseperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yangkamu buat atau (dan) sesudah (dibayarkan) hutang kamu. Jika seseoranglelaki mati, tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atauperempuan tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorangsaudara perempuan maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara ituseperenah harta. Tetapi jika saudara-saudar seibu itu lebih dari seorang,maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, dengan tidak memberimudharat. (Itulah) wasiat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi MahaPenyantun.”87
Pada teks terjemahan ayat 12 surah an-Nisa’ ini terdapat beberapa kata
yang tidak baku, diantaranya adalah kata ’isteri’. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata yang benar adalah ’istri’. Kemudian pada penulisan
pronomina ’kamu’ masih belum baku, seperti frasa ’bagi kamu’ menurut
penulis frasa yang tepat adalah ’bagimu’. Karena jika kata ’bagi’ dilebur
dengan kata ’kamu’ maka secara morfosintaksis, suku kata ’ka’ akan melesup
sehingga menjadi ’bagimu’.
Kemudian penggunaan kata ’mati’ pada klausa ’jika seorang laki-laki
mati’ menurut hemat penulis kurang tepat, karena terjadi pergeseran makna
menjadi konotatif (negatif), kata yang bermakna positif adalah kata
’meninggal dunia’.
87Ibid., H. 347.
72
Penerjemah juga masih menggunakan konjungtor ’dan’, di awal
kalimat. Masih menggunakan kata ’bagi’ di depan subjek. Maka menurut
hemat penulis terjemahan ayat al-Qur’an tersebut akan lebih efektif jika
menjadi ’Kamu (suami) memperoleh seperdua dari harta yang ditinggalkan.
Ada penambahan kata ’suami’ tetapi tidak merubah pesan yang ingin
disampaikan oleh teks sumber.
Ayat kelima adalah firman Allah dalam surah an-Nisa [4 ]:33:
”Bagi setiap (harta peninggalan) yang ditinggalkan ibu bapak dankarib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang-orang yangkamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagianmereka. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”88
Pada terjemahan ayat ke 33 surah an-Nisa di atas masih terjadi ketidak
teraruran stuktur SPOK pada kalimat ’Bagi setiap (harta peninggalan) yang
ditinggalkan ibu bapa dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya’
karena masih terpengaruh dengan stuktur tata gramatikal teks sumber.
Menurut hemat penulis kalimat yang lazim adalah
’Kami jadikan pewaris untuk setiap harta peninggalan kedua orang tua
dan karib kerabat.’
Kemudian terjadi redudansi pada klausa berikut ini ’Maka berilah
mereka bagian mereka’ unsur segmental pada klausa itu terkesan berlebih-
88Ibid., h. 420.
73
lebihan. Tepatnya pada pronomina ’mereka’ menurut penulis klausa yang
lazim adalah ’maka berikanlah kepada mereka bagiannya.’
Ayat keenam adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: "Allah memberi fatwakepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidakmempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka baginyaseperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-lakimempusakainya, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudaraperempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yangditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki dan perempuan, makabahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudaraperempuan. Allah menerangkan kepada kamu, supaya kamu tidak sesat. DanAllah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Terjemahan ayat 176, ayat terakhir dari surah an-Nisa’ ini, secara
umum belum bisa dikatakan sebagai kalimat efektif. Hal ini dikarenakan
masih terdapat kalimat yang diawali dengan konjungtor ’dan’. Kemudian
penulisan yang tidak sesuai dengan EYD dan KBBI, yaitu kata-kata yang
tidak baku seperti kata ’bahagian’ karena dalam KBBI kata yang baku adalah
’bagian’ bukan ’bahagian’.
Kemudian masih ada penulisan kata ganti (pronomina) yang kurang
efektif seperti ”kepada kamu” yang selazimnya adalah ”kepadamu.”
74
C. Keunggulan dan Kelemahan Terjemahan M. Quraish Shihab
Setiap terjemahan, baik itu terjemahan tulisan ataupun terjemahan lisan
pasti memiliki keunggulan dan kelemahan. Berdasarkan hasil terjemahan
yang telah dilakukan oleh M. Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Misbah,
maka penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan dalam
Tafsir al-Misbah mempunyai beberapa keunggulan dan kekurangan. Tanpa
bermaksud membenarkan atau menyalahkan terjemahan ini, akan tetapi
penulis mencoba memaparkan data yang menurut penulis bisa dijadikan
perbandingan atau studi atas karya M. Quraish Shihab.
Terlepas dari subjektifitas penulis, penulis akan mencoba menganalisis
keunggulan apa saja yang terdapat pada karya terbesar M. Quraish Shihab ini,
sekaligus juga kekurangan-kekurangannya dapat disebutkan dengan pisau
Analisis Kaidah Bahasa Indonesia.
Diantara keunggulan-keunggulan terjemahan dalam Tafsir al-Misbah:
1. Bahasanya sangat sederhana, sehingga mudah dipahami oleh orang awam
sekalipun.
2. Baik segi bentuk maupun stuktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya.
3. Ingin mencoba memberikan penerjemahan yang terbilang setia pada teks
sumber.
4. Ketepatan dalam pemilihan diksi.
Kata al-waalidaan yang diterjemahkan ’ibu-bapak’ pemilihan diksinya
sangat tepat, penerjemah tidak menerjemahkannya dengan kata ’kedua orang
75
tua’. Dalam hukum waris masing-masing mempunyai harta peninggalan
untuk ahli warisnya, baik itu ibu ataupun bapak.
Adapun diantara kelemahan-kelemahan terjemahan Tafsir al-Misbah
adalah:
1. Masih banyak ditemukan kata ’bagi’ di depan subjek.
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat,dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan parakerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telahditetapkan.”89
Terjemahan pada ayat di atas sudah dapat dipahami oleh pembaca.
Akan tetapi tidak memenuhi kriteria kalimat efektif. Hal ini disebabkan
masih diletakan kata depan ’bagi’ di depan subjek. Semestinya terjemahan
ayat tersebut langsung menerapkan subjek pada awal kalimat. Sehingga
kalimat tidak akan menjadi rancu jika dibaca. Subjek dan predikatnya
menjadi jelas. Maka hemat penulis terjemahan tersebut menjadi:
Laki-laki memperoleh bagian dari harta peninggalan ibu-bapak.S P O Keterangan Objek (KO)
2. Masih terdapat kata yang tidak baku.
Terlihat pada ayat ketujuh surah an-Nisa’. Kata al-waalidaan
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi ’ibu-bapa’. Kata ’bapa’
89Ibid., h. 336.
76
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidaklah benar atau bukan termasuk
kata baku. Semestinya ’bapa’ ditulis dengan ’bapak’.
NO. Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku1 Isteri Istri2 Bahagian Bagian3 Bapa Bapak
3. Masih menggunakan konjungtor ’dan’ di awal kalimat.
Pada surah an-Nisa’:11.
.......
...Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masing-masing darikeduanya seperenam dari yang ditinggalkan....90
Pada surah an-Nisa’:12.
....
” Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu, ....”91
4. Masih terdapat pengulangan kata yang menyebabkan pemborosan kata.
Terdapat pada surah an-Nisa’: 33.
.......
”…Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia denganmereka, maka berilah mereka bagian mereka....”92
90Ibid., h. 342.91Ibid., h. 347.92Ibid., h. 420.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil kajian dan pembahasan terhadap judul skripsi ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah oleh M.
Quraish Shihab menggunakan metode penerjemahan setia. Ini berarti
dalam penerjemahan tersebut berorientasi pada teks sumber.
2. Terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah telah
menggunakan tolak ukur bahasa Indonesia yang memadai; karena:
Bahasanya sangat sederhana, sehingga mudah dimengerti.Baik segi bentuk
maupun stuktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Ingin mencoba
memberikan penerjemahan yang terbilang setia pada teks sumber.
Ketepatan pemilihan diksi.
Akan tetapi penulis menemukan beberapa kelemahan dari
penerjemahan tersebut yaitu:
1. Masih banyak ditemukan kalimat-kalimat yang kurang efektif.
2. Masih terdapat pengulangan kata yang menyebabkan terjadinya
pemborosan kata.
3. Masih terdapat kata yang tidak baku.
4. Masih terdapat konjungtor di awal kalimat.
5. Masih adanya pronomina (kata ganti) yang tidak tepat penempatannya.
78
Kita tahu bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna, bahkan Nabi
sekalipun yang notabenenya diutus sebagai contoh bagi umat manusia masih
bisa melakukan kesalahan, karena itulah kita sebagai manusia biasa yang
masih biasa melakukan kesalahan-kesalahan harus menghargai dan
menghormati karya-karya orang lain walaupun dalam karya tersebut masih
ada kekeliruan.
B. Rekomendasi
Penelitian yang penulis lakukan ini masih perlu diperbaiki dan bukanlah
merupakan akhir dari pembahasan yang berkaitan dengan skripsi ini. Namun,
penulis berharap akan ada peneliti berikutnya yang berkaitan dengan ayat-ayat
waris, karena penulis sangat menyadari bahwa dalam penelitian ini masih
banyak kekurangan yang belum dikaji dalam ayat-ayat waris, sehingga dapat
menambah khazanah keilmuan khususnya bagi umat Islam dan umat manusia
pada umumnya.
Tak pelak lagi, pengetahuan tentang bahasa Arab dan bahasa Indonesia
menjadi persyaratan penting bagi para penerjemah dalam menerjemahkan
kedua bahasa tersebut, sehingga bahasa sumber dapat dicerna pada bahasa
sasaran. Oleh karena itu, seorang penerjemah dalam menerjemahkan teks-teks
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dituntut sedapat mungkin menyusun
kata-kata yang dapat dipahami pembaca dengan memperhatikan kaidah-kaidah
yang ada pada kedua bahasa tersebut. Sehingga ketika membaca karya
terjemahannya, seolah-olah membaca karya asli penulis.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik. Kamus Kontemporer. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996.
Anwar, Hamdani. Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya. Vol. XXX, No. 2.
Arifin, Zaenal dan Tasai, S. Amran. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademi Pressindo, 2004.
Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Hanafi, Nurachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Ende: Nusa Indah, 1986.
Kusmana. “Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab: Membangun Citra Institut.” dalam
Badri Yatim, dan Nasuhi, Hamid, ed. Membangun Pusat Keunggulan
Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Jakarta 1957-2002.
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002.
Hidayatullah, Moch Syarif. Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan.
Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
Larson, Milderd L. Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman untuk
Pemadanan Antar Bahasa. Jakarta: Arcam, 1991.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis). Jakarta: Sinar
Grafika, 1995.
Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000.
Mansyur, Moh. dan Kustiawan. Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia,
Indonesia-Arab. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002.
80
Ma’sum bin Ali, Muhammad. Al-Amstilah al-Tasrifiyyah. Surabaya: Maktabal
asy-Syaik Salim Nabhan, 1965.
Martosedono, Amir. Hukum Waris. Semarang: Dhahara Prize, 1989.
Moentaha, Salihen. Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation The New
Millennium Publication. Jakarta: Kesaint Blanc, 2006.
Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, Stuktur, dan Logika). Bandung:
Refika Aditama, 2007.
Rahmat, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: al-Maarif, 1981.
Rofi’i. Dalil fi al-Tarjamah; Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia. Jakarta:
Persada Kemala, tt.
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1993.
Shabuniy, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1995.
Santoso, Kusno Budi. Problematika Bahasa Indonesia: Sebuah Analisis Praktik
Bahasa Baku. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Satory, Achmad, Ismail. Dasar-Dasar Menterjemah (Diktat Mata Kuliah
Terjemah). Fakultas Adab & Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bagian I.
Shihab, Umar. Kontektualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Ayat-Ayat Hukum
Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Permadani, 2005.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, 2000.
__ __ __ __. Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam
Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
81
__ __ __ __. Membumikan Al-Qur’an; Peran dan Fungsi Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Simatupang, Maurits D.S. Pengantar Teori Terjemah. Direktorat Jenderal
Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Universitas
Indonesia 2000.
Suryawinata, Zuchridin dan Hariyanto, Sugeng. Translation: Bahasa Penuntun
Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Suryawinata, Zuchridin. Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.
Syarifuddin, Amir. Permasalahan dalam Pelaksana Faraid. Padang: IAIN Imam
Bonjol Press, 1999.
__ __ __ __. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Syamsuddin, Shahiron, dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya.
Yogyakarta: Islamika, 2003.
Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia; Teori dan Praktek. Jakarta:
Humaniora, 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007.
Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Yunus, Muhammad. Tuntunan Hukum Waris dalam Islam. Jakarta: Al-hidayah,
1968.
82
Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah; Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Rujukan dari Internet
http://www.rahima.or.id/SR/02-01/Tafsir.htm, diakses pada tanggal 10 Juni 2008.
http://www.isnet.org/islam/Quraish/Shihab.htm, diakses pada tanggal 10 Juni
2008.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad Quraish Shihab, diakses pada tanggal 10
Juni 2008.