MODEL PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG (Carrying Capacity)
PERAIRAN TELUK BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU
(Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru,
Propinsi Kalimantan Selatan)
ARIADI NOOR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
MODEL PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG (Carrying Capacity)
PERAIRAN TELUK BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU
(Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan)
Oleh :
ARIADI NOOR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup :
Prof. Dr. Ir. Harpasis H Sanusi, MS
Dr. Ir. Fredinand Yulianda, M.Sc.
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka :
Dr. Ir. Ketut Sugama, M.Sc
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
@ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
HALAMAN PENGESAHAN ii
Judul Disertasi : Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan) Nama : ARIADI NOOR
N R P : C.261040121
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program : Doktor (S3)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Widigdo Dr. Ir. Richardus F Kaswadji, MSc Ketua Anggota
Dr.Ir.Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Prof. Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana IPB Dr.Ir.Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 24 Desember 2008 Tanggal Lulus :
iii
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT atas limpahan Rahkmat dan
KaruniaNya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Disertasi ini berjudul “Model
Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan
Teluk Bagi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus
di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan), sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan, pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam disertasi ini dikaji secara komprehensif tentang aspek-aspek yang
berhubungan dengan daya dukung bagi pengembangan perikanan budidaya ikan kerapu
di laut, meliputi (1) karakterisasi biofisik dan kelayakan bioteknis perairan pesisir Teluk
Tamiang untuk pengembangan budidaya kerapu dalam KJA di laut, (2) pendugaan
kuatitatif limbah organik, nitrogen dan phospat dari sistem budidaya kerapu dalam KJA di
laut dan antropogenik dari daratan (upland), (3) pendugaan daya dukung (Carriying
Capacity) lingkungan pesisir teluk, dan (4) pendekatan permodelan pada pengelolaan
lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu di laut, dan (5) perumusan
skenario dan strategi pengelolaan.
Pada kesempatan ini kami ucapkan banyak terimakasih kepada Komisi
Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. BAMBANG WIDIGDO,
Dr. Ir. RICHARDUS F. KASWADJI, M.Sc, Dr. Ir. HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, DEA,
dan Prof. Dr. Ir. DEDI SOEDHARMA,DEA, sebagai anggota komisi pembimbing, atas
segala bimbingan, arahan dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami
selesaikan.
Bogor, Desember 2008
Penulis.
iv
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………....... ii
PRAKATA ...........……………………………………………………......... iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….......... iv
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………........ vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………........ ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ x
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………....... 1
1.1. Latar Belakang ………………......………………………………........ 1
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………..... 2
1.3. Kerangka Pedekatan Masalah ..................................……………... 2
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ……………………………........................... 4
1.5. Kebaruan (Novelty) Penelitian ....................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..... 6 2.1. Status Budidaya Ikan Kerapu dan Prospek Pengembangannya ....... 6
2.2. Faktor Faktor yang mempengaruhi Kualitas Lingkungan dan Kelayakan .......................................................................................... 8
2.3. Pengertian Daya Dukung …………………….................................. 10
2.4. Integrasi Kegiatan Perikanan Budidaya dalam Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu ............................................................................... 11
2.5. Pendekatan Sistem dan Pemodelan …………….......................... 12 2.5.1. Analisis Sistem ……………………………......................... 12 2.5.2. Pemodelan ……………………………………………................ 13
III. METODOLOGI ............……………………………………..... 14
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………….... 14 3.2. Karakterisasi Sifat Perairan dan Kelayakan Bioteknis Perairan
Pesisir Teluk ................................................................... 15 3.2.1. Karakterisasi Biologi Perairan ........................................... 16
3.2.2. Karakterisasi Oseanografi …………………….......................... 18 3.2.3. Karakterisasi Kimiawi Perairan ........................................... 19 3.2.4. Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan .... 20
v
3.3. Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung .................... 23 3.4. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal loading) ……………………………............................ 24 3.5. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (antropogenik) (eksternal loading) ........................................................ 26
3.6. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir bagi Pengembangan Budidaya Kerapu dalam Karamba Jaring Apung ......... 28
3.7. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik dalam Pengelolaan Kualitas Lingkungan bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan kerapu . 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………...... 33
4.1. Keadaan Umum Teluk Tamiang ..…………………………..... 33
4.2. Karakterisasi Topografi dan Ekosistem Perairan Teluk Tamiang ........ 34 4.2.1. Karakterisasi Topografi ……………………………. .. 34 4.2.2. Karakterisasi Ekosistem Perairan ……………. 38 4.2.2.1. Ekosistem Mangrove …………………………….... 38 4.2.2.2. Ekosistem Terumbu Karang .....……………….. 38
4.3. Karakterisasi Biologi Perairan ........................................................ 39 4.3.1. Phytoplankton dan Zooplankton ............................................ 39 4.3.2. Bentos ................................................................................ 46 4.3.3. Produktivitas Primer ..................................................... 52 4.4. Karakterisasi Fisika Kimia Perairan Teluk Tamiang …………….. 53
4.5. Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan ............... 63
4.6. Keragaan Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptis altivelis) dalam KJA ................................................................... 70
4.7. Pendugaaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari kegiatan Budidaya (Internal Loading) ........................................................... 71
4.8. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan
(Eksternal Loading) ................................................................... 73
4.9. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu ................... 75
4.9.1 Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N ...................................................... 75
4.9.2 Pendugaan Daya Dukung Melalui Ketersediaan Oksigen Terlarut dengan Limbah Organik ......................................... 76
vi
4.10. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik ....................... 77
4.11. Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Berbasis Daya Dukung di Perairan Teluk Tamiang ................................... 95 4.11.1. Daya Dukung Fisik (Ekologi) Perairan ....................... 95 4.11.2. Daya Dukung Produksi Biomass Ikan ....................... 96 4.11.3. Daya Dukung Sosial Ekonomi ……………………...... 96
4.12. Implikasi Kebijakan Operasional ............................................... 97
4.13. Strategi Pengelolaan untuk Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu di Pesisir Teluk Tamiang Secara bekelanjutan ........... 97
V. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………........ 99
5.1. Simpulan ...…………………………………………………......... 99 5.2. Saran …………………………………………………….. ..... 100
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………......... 101
LAMPIRAN ....................................................................................................... 106
vii
DAFTAR TABEL Halaman
1 Parameter kualitas lingkungan perairan dan metode peneraannya ............. 20
2 Kriteria dan sistem penilaian kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu ............................................................
21
3 Jenis aktifitas dan koefisien limbah pemukiman ............................................
27
4 Jenis aktifitas dan koefisien limbah peternakan ............................................
27
5 Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang ...................
28
6 Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Tamiang Kec. Pulau Laut Barat Kabupaten Kotabaru .....................................................................................
36
7 Kelas dan genera fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang ................................................................................
39
8 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada masing-masing stasiun Pengamatan ...................................................................................................
40
9 Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Fitoplankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 2006 ................................................................................................
43
10 Indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Zooplankton di Perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 2006 .................................................................................................
46
11 Famili dan spesies Bentos yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang .............................................................................................
47
12 Jumlah jenis dan kelimpahan bentos pad masing-masing stasiun pengamatan ..................................................................................................
48
13 Indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Bentos di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 2006 ...............................................................................................................
49
14 Rekapitulasi Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi bentos di perairan Teluk Tamiang .............................................................................
51
15 Nilai produktitivitas primer (gC/m3/hari) perairan Teluk Tamiang ...................
53
16 Kriteria kecepatan arus perairan teluk untuk budidaya ikan (Velvin, 1999) ....
55
viii
17 Kriteria pencemaran perairan berdasarkan nilai DO (Lee et al., 1978) .........
58
18 Kriteria pencemaran berdasarkan nilai BOD5 (Lee et al., 1978) ....................
59
19 Rangkuman penilaian kondisi parameter biologi dan fisika-kimia perairan yang diperoleh selama penelitian di Teluk Tamiang ....................................
62
20 Kriteria kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu ....
63
21 Sistem penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA Ikan Kerapu ..........................................................................................................
64
22 Rekapitulasi rata-rata nilai parameter kualitas lingkungan untuk budidaya ikan kerapu ...................................................................................................
64
23 Rekapitulasi nilai perkalian bobot dan Skor pada setiap stasiun pengamatan
65
24 Tingkat kelayakan/kesesuaian perairan setiap stasiun pengamatan ............
66
25 Luas perairan teluk potensial untuk budidaya KJA Ikan Kerapu ..................
67
26 Hasil pemeliharaan ikan kerapu bebek dalam KJA selama 180 hari ............
70
27 Nilai parameter penentuan beban limbah budidaya Ikan Kerapu dalam keramba jaring apung di perairan Teluk Tamiang ..........................................
71
28 Nilai Hasil Pendugaan Kuantifikasi Total N dan P dari pakan yang diberikan ..
72
29 Alur pemanfaatan N dan P pakan oleh ikan kerapu bebek ............................
72
30 Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar perairan Teluk Tamiang ......
74
31 Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l) perairan Teluk Tamiang selama 24 jam dengan selang waktu 3 jam pada tiga stasiun pengamatan ..........................
76
32 Rekapitulasi 2 (dua) Metode Pendekatan Pendugaan Daya Dukung Perairan Teluk Tamiang untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu ........................................
77
33 Informasi dasar pemodelan bagi pengelolaan kualitas lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu ....................................................
80
34 Hasil simulasi produksi biomass Ikan Kerapu dan total pakan ......................
83
35 Hasil simulasi produksi limbah kegiatan budidaya KJA Ikan Kerapu selama 180 hari pemeliharaan ...................................................................................
85
36 Hasil simulasi produksi biomass dan keuntungan (Profit) ..............................
86
37 Perbandingan tiga skenario (data lapangan dan data model simulasi) .......... 94
ix DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pikir penelitian ................................................................................ 5
2 Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) ........................................................ 7
3 Peta lokasi penelitian .......................................................................................... 14
4 Titik sampling perairan Teluk Tamiang .............................................................. 15
5 Diagram alir penyusunan tingkat kesesuaian perairan untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu .......................................................................................................
23
6 Karamba jaring apung dengan alat perangkap feses dan sisa pakan ..............
25
7 Sebaran kedalaman perairan Teluk Tamiang .................................................. 34
8 Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Barat ...............
35
9 Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Timur ..............
35
10 Kontur dasar perairan Teluk Tamiang .............................................................. 35
11 Grafik kondisi pasang surut perairan Teluk Tamiang .......................................
36
12 Komposisi jenis (%) berdasarkan kelimpahan fitoplankton pada setiap bulan pengamatan ......................................................................................................
39
13 Peta tematik kondisi físika perairan Teluk Tamiang .........................................
68
14 Peta kesesuaian perairan untuk pengambangan budidaya KJA Ikan Kerapu ...
69
15 Diagram perbandingan tingkat kesesuaian areal Budidaya KJA ......................
69
16 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada Sistem pengelolaan kualitas lingkungan ...........................................................................................
78
17 Model global keterkaitan antar submodel ......................................................... 82
18 Konsep submodel biomass Ikan Kerapu .......................................................... 83
19 Konsep submodel produksi limbah budidaya dan antropogenik ......................
84
20 Konsep submodel ekonomi budidaya Ikan Kerapu ...........................................
85
21 Grafik perbandingan antar skenario pengelolaan kualitas lingkungan perairan Teluk Tamiang .................................................................................................. 94
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tabel hasil analisis plankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 2006 .................................................................................................
108
2 Tabel hasil analisis bentos di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 2006 .................................................................................................
114
3 Hasil analisis uji beda nyata (levene’s test) kelimpahan plankton di perairan Teluk Tamiang ...............................................................................................
120
4 Hasil analisis uji beda nyata (levene’s test) kelimpahan bentos di perairan Teluk Tamiang ................................................................................................
121
5 Data karakteristik kualitas lingkungan (fisika-kimia air) disekitar KJA Kerapu di perairan Teluk Tamiang ..............................................................................
122
6 Rekapitulasi hasil analisis rata-rata parameter fisika-kimia perairan Teluk Tamiang selama penelitian ...........................................................................
125
7 Matrik penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA ikan kerapu pada setiap stasiun pengamatan ........................................................
126
8 Data sampling sisa pakan dan feses serta perhitungan pendugaan total bahan organik .................................................................................................
130
9 Perhitungan pendugaan limbah N dan P yang dihasilkan dari produksi 237,6 kg ikan Kerapu ................................................................................................
131
10 Simulasi submodel produksi limbah budidaya KJA Ikan Kerapu ....................
132
11 Jumlah total bahan organik dan unit KJA hasil simulasi skenario optimis .....
133
12 Jumlah total bahan organik dan unit KJA hasil simulasi skenario moderat ....
134
13 Jumlah total bahan organik dan Unit KJA hasil Simulasi skenario pesimis ....
135
14 Hasil simulasi biomass dan keuntungan (Profit) ............................................
136
15 Formulasi model ............................................................................................
137
16 Uji statistika (Uji t beda nyata) .......................................................................
140
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis
Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya
Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang Kabupaten
Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan), dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2008 Ariadi Noor NRP. C261040121
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabaru pada tanggal 26 Desember 1968 sebagai anak
kedua dari pasangan Abdul Gaffar Noor, MH dan (Alm) Siti Arbajah. Pendidikan sarjana
ditempuh di Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus pada tahun 1993.
Pada tahun 2001, penulis diterima di Program Magister pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dan menamatkannya pada tahun 2003.
Kesempatan melanjutkan program Doktor (S3) pada program studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
diperoleh pada tahun 2004.
Penulis bekerja sebagai staf di Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Daerah
Propinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 1993 hingga sekarang.
ABSTRAK
ARIADI NOOR. Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO sebagai Ketua Komisi Pembimbing, RICHARDUS F. KASWADJI, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, dan DEDI SOEDHARMA sebagai anggota Komisi Pembimbing. Penelitian ini berlokasi di perairan Teluk Tamiang bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi karakteristik biofisik dan daya dukung lingkungan Teluk Tamiang, beban limbah yang berasal dari aktivitas budidaya maupun aktivitas masyarakat sekitarnya yang berdampak terhadap lingkungan perairan, serta kapasitas asimilasi beban limbah yang dijadikan masukan data untuk membuat model pengelolaan kualitas lingkungan yang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu. Pendekatan pemodelan yang dibangun dengan mengacu pada hasil penelitian serta informasi ilmiah lainnya, digunakan sebagai alat bantu analisis dalam memformulasi kebijakan pengelolaan Teluk Tamiang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan Kerapu baik untuk saat sekarang maupun prospektif dimasa yang akan datang dalam suatu model pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung. Metodologi yang digunakan untuk meliputi serangkaian percobaan lapangan dan metode survey untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan perairan dan kesesuaian serta tingkat kelayakan perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA, pendekatan analisis prospektif dan sistem serta pemodelan. Data dan informasi yang diperoleh dirangkum dan diolah menjadi satu informasi dasar bagi pengembangan model pengelolaan Teluk Tamiang yang terpadu dan berkelanjutan. Kawasan Teluk Tamiang memiliki luas perairan yang layak untuk dikembangkan untuk kawasan budidaya KJA ikan kerapu mencapai 385 Ha. Daya dukung Teluk Tamiang sebasar 18,8 – 62,5 ton ikan atau 16 – 52 unit rakit KJA (produksi optimal – maksimal). Beban limbah beban limbah yang masuk ke perairan (loading) sebesar 174,2 kgN dan 32,4 kgP. Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 707,5 kg (50,3%) dari total pakan. Hasil simulasi model yang dikembangkan terhadap beberapa parameter menghasilkan nilai prediksi yang tidak berbeda nyata dengan nilai observasi lapangan. Dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk pemahaman, optimasi dan pendugaan alokasi sumberdaya perairan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya pada batas minimum resiko degradasi lingkungan. Kata kunci : Model Pengelolaan, Kualitas Lingkungan,Daya Dukung, Keramba Jaring Apung ikan Kerapu Bebek
ABSTRACT
ARIADI NOOR. Model of Environmental Quality Management Based On Carrying Capacity of Bay for Development Floating Cage Culture of Humpback Grouper. (Case Study in Tamiang Bay, Kotabaru District, South Kalimantan Province). Under the direction of BAMBANG WIDIGDO, RICHARDUS F. KASWADJI, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, and DEDI SOEDHARMA. This research is located in Tamiang Bay of South Kalimantan Province. The aim of this research was to get the data and information of the biophysic characteristic, waste load from both marine culture and society activity as well as environment Tamiang Bay carrying capacity. The data input were used make environment quality management model based on carrying capacity for developing of floating cage culture humpback grouper. Method used was field experiment and survey. Developing of floating cage culture of humpback grouper reach 385 hectare. Carrying capacity of Tamiang Bay is 18,8 – 62,5 ton fish or 16 - 52 unit the floating cage culture (optimal production - maximal). The waste burden were loading about 174,5 kg N and 32,4 kg P. The total of organic substance particle yield 707,5 kg ( 50,3%) of food total. Simulation model toward some parameter showed both prediction value and field observation have not significant effect. This model can be used to give understanding, optimation and estimation Tamiang Bay resources inorder to developt marine culture with minimum risk of environment degradation. Key words : Management model, environmental quality, carrying capacity, floating cage culture humpback grouper
RINGKASAN Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir
yang mampu memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa Negara yang potensial. Namun dalam penentuan lokasi untuk pengembangan perikanan budidaya sering mengabaikan aspek daya dukung lingkungan. Alokasi input teknologi pada kondisi di atas daya dukung dilakukan untuk mengejar tingkat keuntungan maksimal sehingga mengakibatkan banyak kegiatan budidaya perikanan yang mengalami kegagalan dan meninggalkan kerusakan lingkungan hidup perikanan yang sulit dipulihkan.
Perairan Teluk Tamiang merupakan kawasan yang potensial untuk kegiatan
pengembangan budidaya ikan, terutama kegiatan budidaya KJA ikan kerapu. Daya dukung lingkungan perairan teluk serta aktivitas masyarakat (antropogenik) didaratan akan sangat menentukan besaran dan kapasitas alokasi sumberdaya untuk pemanfaatan dan pengembangannya secara terpadu dan berkelanjutan. Budidaya KJA ikan kerapu merupakan sistem produksi ikan yang produktif, namun potensial berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan perairan akibat beban limbah yang dihasilkan yang terjadi secara timbal balik.
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengelolaan kuaitas berbasis daya dukung perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu. Dalam pelaksanaan penelitian ruang lingkup penelitiannya adalah mendapatkan data dan informasi karakteristik biofisik dan daya dukung lingkungan Teluk Tamiang, beban limbah yang berasal dari aktivitas budidaya maupun aktivitas masyarakat di daratan (Antropogenik) sekitarnya yang berdampak terhadap lingkungan perairan, serta kapasitas asimilasi beban limbah yang dijadikan masukan data untuk membuat model pengelolaan kualitas lingkungan yang berbasis daya dukung. Pendekatan pemodelan yang dibangun dengan mengacu pada hasil penelitian serta informasi ilmiah lainnya, digunakan sebagai alat bantu analisis dalam memformulasi kebijakan pengelolaan Teluk Tamiang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan Kerapu baik untuk saat sekarang maupun prospektif dimasa yang akan datang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi percobaan lapangan (pemeliharaan ikan kerapu dalam keramba jaring apung) dan metode survey untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan perairan dan kesesuaian serta tingkat kelayakan perairan teluk dengan pendekatan GIS, pendekatan analisis prospektif dan sistem pemodelan. Data dan informasi diolah menjadi satu informasi dasar bagi pengembangan model pengelolaan Teluk Tamiang yang terpadu dan berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kawasan Teluk Tamiang memiliki luas
perairan yang layak untuk dikembangkan untuk kawasan budidaya KJA ikan kerapu mencapai 385 Ha. Daya dukung Teluk Tamiang sebasar 18,8 – 62,5 ton ikan atau atau 16 – 53 unit (80 – 260 KJA) pada tingkat baku mutu ammonia (NH3N) 0,3 dan 1 ppm (produksi optimal – maksimal). Beban limbah beban limbah yang masuk ke perairan (loading) sebesar 174,2 kg N dan 32,4 kg P. Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 707,5 kg (50,3%) dari total pakan. Hasil simulasi model yang dikembangkan terhadap beberapa parameter menghasilkan nilai prediksi yang tidak berbeda nyata dengan nilai observasi lapangan dan memberikan alternatif dalam pengembangan
budidaya KJA Ikan yang meliputi 3 (tiga) skenario yaitu skenario pesimis, moderat dan optimis.
Pendekatan sistem yang dilakukan menyentuh kepada 2 (dua) komponen yaitu komponen kegiatan budidaya dalam lingkungan perairan dan komponen aktivitas di daratan (antropogenik) yang terintegrasi dalam satu sistem pengelolaan kualitas lingkungan, sehingga model yang dibuat merupakan gambaran (abstraksi) dari kondisi nyata dalam pengelolaan lingkungan yang terintegrasi. Rancang bangun model bersifat umum yang memasukan komponen padat tebar ikan, jumlah pakan, volume limbah dari kegiatan budidaya dan antropogenik, volume teluk, nilai flusing time, dan nilai baku mutu untuk biota laut (Budidaya Perikanan) (MENLH 51 Tahun 2004), dapat diaplikasikan pada kawasan perairan teluk lain dengan variabel yang sudah ada atau yang masih diasumsikan.
Model yang dibangun agar lebih mudah diimplementasikan dihasilkan piranti lunak dalam bentuk Visual Basic, disebut MOCATYBUKEJARAPUPU 1.0 (Model Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu). Model penduga daya dukung perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.
Dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk
pemahaman, optimasi dan pendugaan alokasi sumberdaya perairan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya pada batas minimum resiko degradasi lingkungan.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan wilayah
pesisir yang potensial dan mampu memberikan kontribusi relatif signifikan terhadap
pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa
negara. Potensi sumberdaya perikanan laut yang mencakup ikan dan biota perikanan
lainnya diperkirakan mencapai 53,9 juta ton/tahun, yang terdiri dari potensi tangkap
lestari sumberdaya ikan laut sebesar 6,1 juta ton/tahun dan potensi budidaya laut
sebesar 46,7 juta ton/tahun. Dahuri (1998) menyatakan bahwa secara keseluruhan
kurang dari 10% dari potensi yang sudah termanfaatkan. Dalam dekade terakhir,
perkembangan perikanan budidaya laut nasional relatif pesat. Selama periode tahun
2000 sampai dengan tahun 2004 terjadi kenaikan produksi budidaya laut dari 197.114
ton menjadi 420.919 ton atau kenaikan sebesar 28,4 % per tahun. Kenaikan tersebut
berkontribusi terhadap total produksi budidaya sebesar 28,7 %. Produksi budidaya
keramba jaring apung di laut mengalami peningkatan yakni dari angka produksi
sebesar 34.602 ton menjadi 62.371 ton ikan atau meningkat sebesar 20%. Kenaikan
nilai produksi pada periode yang sama dari 1,3 menjadi 1,9 triliun rupiah meningkat
sebesar 11,5 % per tahun (Statistik Ditjen Perikanan Budidaya DKP, 2005).
Kenaikan kontribusi yang relatif besar ini menyebabkan perikanan budidaya
dapat dijadikan penggerak utama (prime mover) perekonomian masyarakat pesisir
untuk menggantikan perikanan tangkap. Hal ini dimungkinkan dengan adanya
dukungan teknologi perbenihan, pembesaran, tersedianya sarana produksi (akuainput),
pangsa pasar yang luas, harga jual yang relatif tinggi dibandingkan komoditas
perikanan lainnya, ketersediaan lahan yang potensial, dan kebijakan pemerintah dalam
menjadikan perikanan budidaya menjadi prioritas utama pembangunan perikanan.
Namun demikian, keberadaan dan keberlanjutan pemanfaatan tergantung pada
dinamika kualitas lingkungan pesisir dan daya dukung akibat adanya interaksi antar
pengguna di wilayah pesisir, di samping kegiatan perikanan budidaya itu sendiri.
Penentuan lokasi untuk pengembangan perikanan budidaya seringkali
mengabaikan aspek daya dukung lingkungan. Alokasi input teknologi pada kondisi di
atas daya dukung dilakukan untuk mengejar tingkat keuntungan maksimal sehingga
mengakibatkan banyak kegiatan budidaya perikanan yang mengalami kegagalan dan
meninggalkan kerusakan lingkungan hidup perikanan yang sulit dipulihkan. Kerusakan
lingkungan akibat budidaya ikan dalam keramba jaring apung umumnya disebabkan
oleh limbah yang berasal dari sisa pakan dan feses ikan peliharaan yang melebihi daya
dukung perairan. Terlantarnya lahan dan berubahnya fungsi ekologi di wilayah pesisir
merupakan salah satu indikasi pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang
mengabaikan daya dukung dan pertimbangan lingkungan.
Disamping berasal dari limbah internal tersebut, beban limbah perairan juga
dapat berasal dari daratan. Untuk menjaga kelestarian suatu perairan maka kegiatan
budidaya harus memperhatikan jumlah beban limbah baik dari ikan budidaya maupun
dari lingkungan.
Kajian mendalam yang diarahkan untuk mendapatkan informasi beban limbah
dan dampaknya terhadap lingkungan pesisir dan daya dukung serta hubungan antara
faktor-faktor bersifat spesifik kawasan menjadi penting dilakukan untuk menjawab
persoalan pelestarian kawasan teluk dalam penggunaannya sebagai kawasan
budidaya yang berkelanjutan.
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menyusun model pengelolaan kualitas lingkungan
berbasis daya dukung (carrying capacity) perairan teluk bagi pengembangan budidaya
keramba jaring apung ikan kerapu. Secara khusus, penelitian ditujukan untuk
menentukan alokasi sumberdaya perairan pesisir teluk yang proporsional terutama
untuk mendapatkan luas pemanfaatan lahan perairan, jumlah unit keramba jaring
apung yang diusahakan, dan level kegiatan masyarakat di daratan.
Manfaat penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan didalam
merumuskan kebijakan pengelolaan kualitas lingkungan dan pengembangan perikanan
budidaya laut serta tata ruang wilayah pesisir (Perairan Teluk) yang berbasis kepada
daya dukung lingkungan untuk kegiatan budidaya yang berkelanjutan dan
bertanggungjawab.
1.3. Kerangka Pedekatan Masalah Suatu wilayah perairan pesisir dapat dikatakan sesuai untuk kegiatan budidaya
ikan kerapu sistem keramba jaring apung apabila kondisi lingkungan perairannya layak
dan memenuhi kriteria-kriteria teknis-ekologis yang baku. Kondisi lingkungan perairan
yang dimaksud antara lain secara fisika (kontur kedalaman, arus, pasang surut,
gelombang,) dan kimia (oksigen terlarut, derajat keasaman/pH, salinitas, BOD5, nutrient
dll) (Beveridge, 1996).
Kondisi perairan tersebut mempengaruhi kapasitas perairan dalam menangkap
limbah jika jumlah keramba jaring apung yang dikembangkan di kawasan perairan
tersebut tidak memperhatikan kapasitas tampung perairan maka akan berakibat pada
penurunan mutu lingkungan yang akhirnya menurunkan produkivitas keramba jaring
apung itu sendiri.
Dalam perikanan budidaya di perairan umum (budidaya keramba jaring apung)
sebanyak 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar
25-30% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (McDonald et al.,
1996). Sisa bahan organik tersebut akan mengendap ke dasar perairan dan jika suatu
saat terjadi up welling akan menyebabkan kematian masal ikan Sumber limbah yang
berkontribusi terhadap daya dukung perairan juga berasal dari daratan (limbah
antropogenik) antara lain dari kegiatan peternakan dan pemukiman (rumah tangga),
sehingga penentuan daya dukung suatu perairan juga memperhatikan dan
memperhitungkan potensi limbah dari kegiatan di daratan tersebut.
Daya dukung adalah kemampuan badan air atau perairan dalam menerima
limbah organik baik internal (dari kegiatan budidaya) maupun dari luar (daratan) untuk
didaur ulang atau diasimilasi sehingga tidak mencemari lingkungan yang berakibat
terganggunya keseimbangan ekologis (Widigdo, 2000). Untuk penentuan daya dukung
suatu perairan memerlukan analisis yang mampu mengkaitkan hubungan antara sifat
biofisik perairan, parameter-parameter standar yang diperlukan untuk budidaya ikan
kerapu, jumlah limbah ikan kerapu, potensi limbah dari lingkungan luar, serta kapasitas
asimilasi. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul beberapa pertanyaan :
1) Bagaimana karakteristik biofisik (hidro-oseanografi) dan kelayakan bioteknis
perairan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu?
2) Berapa besar beban limbah dari budidaya dan antropogenik yang dapat
mempengaruhi daya dukung?
3) Model seperti apa yang dapat menggambarkan system pengelolaan kualitas
lingkungan di Teluk Tamiang?
4) Bagaimana scenario dan strategi pengelolaan untuk masa yang akan datang?
Beberapa pendekatan dalam estimasi daya dukung yang telah dilakukan untuk
pengembangan kerapu dalam keramba jaring apung di perairan laut, di antaranya
untuk perairan semi tertutup (teluk) melalui pendekatan berdasarkan pada loading N
dan P yang terbuang ke lingkungan perairan (Beveridge, 1987), pendekatan
berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air dan pendekatan
berdasarkan beban limbah pakan yang masuk ke air. Secara skematis kerangka
pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini antara lain :
1. Karakterisasi biofisik (hidro-oseanografi) dan analisis tingkat kelayakan/kesesuaian
bioteknis perairan pesisir Teluk Tamiang.
2. Pendugaan beban limbah organik, N dan P baik yang bersumber dari kegiatan
budidaya KJA dan limbah dari daratan (antropogenik) yang masuk ke dalam
lingkungan perairan serta daya dukung lingkungan perairan bagi pengembangan
budidaya keramba jaring apung Ikan Kerapu.
3. Pemodelan pengelolaan kualitas lingkungan bagi pengembangan budidaya
keramba jaring apung ikan kerapu.
4. Perumusan skenario dan strategi pengelolaan kawasan Teluk Tamiang
1.5. Kebaruan (Novelty) Capaian keilmuan yang dapat ditampilkan sebagai bentuk kebaruan (novelty)
dari penelitian ini antara lain :
1) Rancang bangun model bersifat umum yang memasukan komponen padat tebar
ikan, jumlah pakan, volume limbah dari kegiatan budidaya dan antropogenik,
volume teluk, nilai flusing time, dan nilai baku mutu untuk biota laut (Budidaya
Perikanan) (KEPMENLH 51 Tahun 2004), dapat diaplikasikan pada kawasan
perairan teluk lain dengan variabel yang sudah ada atau yang masih diasumsikan.
2) Model yang dibangun agar lebih mudah diimplementasikan dihasilkan piranti lunak
dalam bentuk Visual Basic, disebut MOCATYBUKEJARAPUPU 1.0 (Model Carrying
Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu). Model penduga daya dukung perairan teluk
untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Cocok ? STOP
Kegiatan Budidaya KJA Ikan Kerapu
Estimasi Limbah dan Daya Dukung
Limbah Antropogenik
Kondisi Hydro-Oseanografi
Jumlah Unit KJA, Kapasitas Produksi
Analisis Prospektif dan Model Dinamik
Analisis Kelayakan/ Kesesuaian
Perairan (GIS)
Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity)
Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu
Analisis Karakteristik Biofisik
dan Bioteknis
Tidak
Ya
Mulai
Selesai
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Budidaya Ikan Kerapu dan Prospek Pengembangannya Ikan kerapu (grouper) termasuk dalam Family Serranidae merupakan jenis ikan
yang paling populer dan bernilai ekonomi tinggi diantara jenis ikan karang di daerah
Asia-Pasifik (SEAFDEC, 2001). Ikan kerapu umumnya tumbuh cepat, kuat dan cocok
untuk budidaya intensif. Ikan jenis ini merupakan ikan konsumsi yang umumnya
dipasarkan dalam keadaan hidup (Sunyoto, 1993). Ikan kerapu tersebar luas di
perairan pantai baik didaerah tropis maupun sub tropis, bernilai ekonomis tinggi dan
merupakan komoditas utama dalam perdagangan ikan hidup.
Jumlah ikan kerapu diperkirakan ada sekitar 46 spesies yang hidup diberbagai
tipe habitat. Jumlah tersebut berasal dari 7 (tujuh) genus, yaitu Aethaloperca,
Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptis, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari
ketujuh genus tersebut genus Cromileptis, Epinephelus, dan Plectropomus sekarang
digolongkan sebagai ikan komersial dan mulai dibudidayakan (Sunyoto, 1993). Secara
sistematika jenis ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis) dapat dituliskan sebagai
berikut :
Class : Teleostomi/Teleostei
Sub-Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub-Ordo : Percoide
Famili : Serranidae
Sub-Famili : Epinephelinae
Genus : Cromileptis, Epinephelus
Species : Cromileptis altivelis
Ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis) banyak dijumpai di perairan batu
karang atau daerah karang berlumpur, hidup pada kedalaman 40 – 60 meter. Dalam
siklus hidupnya ikan muda dan larva hidup di dasar perairan berupa pasir karang yang
banyak ditumbuhi padang lamun dengan kedalaman 0,5 – 3,0 meter. Menginjak
dewasa ikan ini akan bermigrasi menuju perairan yang lebih dalam yang biasanya
dilakukan pada siang dan senja hari. Telur dan larva bersifat pelagis, sedangkan
kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Ikan kerapu Kerapu bersifat stenohaline
yaitu mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan berkadar garam rendah
dan bersifat nocturnal yaitu bersembunyi di liang-liang karang pada siang hari dan aktif
bergerak pada malam hari. (Gambar 2).
Gambar 2 Ikan Kerapu Bebek (Cromileptis altivelis)
Aktifitas budidaya laut sebagai salah satu usaha pemanfaatan potensi kawasan
pesisir pada saat ini sangat berpeluang besar bagi peningkatan produksi perikanan.
Tingkat keberhasilan pengembangannya sangat ditentukan oleh proses pengelolaan
dan penguasaan teknologi yang berorientasi ekologis dan ekonomis serta keterpaduan
pemanfaatan kawasan pesisir dan laut secara sadar mempertimbangkan keberlanjutan
manfaat. Karena itu perlu diupayakan suatu konsep pengembangan budidaya laut
yang berorientasi berkelanjutan.
Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi
khususnya untuk konsumsi restoran-restoran besar di dalam maupun di luar negeri.
Ikan kerapu biasa diekspor dalam bentuk ikan segar, ikan olahan setengah jadi (fillet
dan sashimi) serta ikan hidup ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang,
Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Amerika Serikat. Tingginya permintaan yang tidak
diimbangi dengan produksi memunculkan ide untuk membudidayakan ikan ini
(www.suharjawanasuria.tripod.com, Juni 2006).
Ditinjau dari segi harga jual (khususnya untuk ekspor), ternyata ikan kerapu
menunjukkan trend harga yang baik dan dapat diandalkan sebagai salah satu
penunjang penambahan devisa negara. Hal ini dapat dilihat pada harga beberapa jenis
ikan kerapu hidup tahun 2004 dimana untuk ikan kerapu bebek/tikus dapat
mencapai harga Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 320.000,- per kilogram. Walaupun
usaha pengembangan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan KJA ini ditujukan
untuk pasar ekspor, namun sebagian dari hasil produksi juga diharapkan dapat
dipasarkan untuk konsumsi pasar dalam negeri.
2.2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kualitas Lingkungan dan Kelayakan
Kualitas lingkungan (perairan) yang mempengaruhi kehidupan organisme
perairan dalam ekosistemnya adalah parameter biologi, fisika dan kimia. Menurut Boyd
(1990) setiap organisme perairan memerlukan kisaran nilai parameter kualitas air
tertentu dan kisaran tersebut terkait dengan kondisi lokasi.
Pemilihan lokasi Ketepatan lokasi merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam usaha
budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung. Beberapa kegagalan usaha
budidaya terjadi karena lokasi yang dipilih kurang cocok. Untuk itu, diperlukan
perencanaan yang mendalam terutama pemilihan lokasi yang harus memenuhi kaidah
dan persyaratan bioteknis.
Beberapa persyaratan perlu dipenuhi dalam pemilihan lokasi. Menurut
Nugroho (1989), beberapa faktor yang perlu dipenuhi dalam penilihan lokasi keramba
jaring apung adalah: (1) Lokasi terlindung dari gangguan angin dan gelombang yang
kuat, namun masih memiliki pergerakan air yang baik, (2) Jarak dasar kurungan
dengan dasar perairan pada saat surut minimal 2 meter, (3) Pergerakan/arus air
berkisar antara 15-25 cm/detik), (4) Salinitas (kadar garam) berkisar antara 15-30 ppt,
(5). Suhu air 27-29 oC. Lokasi budidaya harus jauh dan bebas dari limbah pencemaran
baik yang berasal dari industri, pertanian dan rumah tangga, (6) Dasar Perairan
sebaiknya betofografi landai, kedalaman perairan antara 7 – 15 meter pada saat dari
surut terendah,sehingga jarak dasar karamba ke dasar lebih dari 2 meter (>2).
Kedalaman tersebut untuk mencegah gangguan dari hewan-hewan bentik, serta
memberikan jarak yang cukup agar pengaruh limbah kotoran (feses) dan sisa pakan
tidak menimbulkan efek negatif bagi ikan.
Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air
diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh
arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling)
yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi
berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutupi insang ikan. Arus air sangat
membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya,
apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi KJA serta
dapat menyebabkan stres pada ikan, selera makan ikan berkurang, dan energi banyak
terbuang.
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi
perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan
kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Effendi,
2003). Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu bebek sekitar antara 27 – 29oC (Akbar
dan Sudaryanto, 2002). Suhu perairan sangat penting di dalam mempengaruhi
pertumbuhan ikan budidaya.
Kecerahan air merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Perairan dengan tingkat kecerahan sangat
tinggi (jernih) sangat baik sebagai lokasi budidaya laut. Untuk budidaya laut
kecerahan yang dipersyaratkan adalah > 3 meter (Akbar dan Sudaryanto, 2002).
Kekeruhan atau turbiditas disebabkan oleh adanya partikel tersuspensi dan terlarut
dalam air, seperi jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah liat dan zat koloid serta
benda terapung lainnya yang tidak mengendap dengan segera. Kekeruhan dapat
mempengaruhi pernapasan ikan, proses fotosintesa dan produktivitas primer. Dalam
budidaya ikan, nilai kekeruhan (turbidity) berkisar antara 2 – 30 NTU (Nephlelometric
Turbidity Unit). Padatan tersuspensi yang tinggi akan mengganggu pernapasan ikan
karena partikel-partikel tersebut dapat menutupi insang. Padatan tersuspensi perairan
untuk usaha budidaya laut adalah berkisar antara 5 – 25 ppm (Akbar dan Sudaryanto
2002).
Salinitas juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan/biota laut lainnya. Boyd
(1990) menyatakan sebagian besar ikan-ikan muda lebih sensitif terhadap perubahan
salinitas bila dibandingkan ikan dewasa. Peningkatan salinitas dapat meningkatkan
tekanan osmotik air (media) yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme.
Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter utama bagi kehidupan hewan
perairan. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari proses fotosintesis
fitoplankton pada siang hari. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen
dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya pada malam hari) dan
masuknya limbah pencemar baik an organik maupun organik yang mudah urai ke
lingkungan laut. Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya yang
baik adalah berkisar antara 5 – 8 ppm (Akbar dan Sudaryanto, 2002).
Nitrogen di dalam air terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang
bersifat toksik terhadap ikan dan organisme lainnya hanya 3 (tiga) senyawa yaitu
ammonia (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Senyawa ini selain berasal dari
atmosfir juga banyak berasal dari sisa makanan, organisme mati dan hasil ekskresi
metabolisme hewan akuatik. Ammonia dan nitrit merupakan senyawa nitrogen yang
paling toksik, sedangkan nitrat hanya bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi.
Kehadiran nitrit yang berlebihan dapat mengoksidasi ion ferro dalam hemoglobin
menjadi ion ferri yang merubah hemoglobin menjadi meteoglobin yang dapat
merupakan parameter penting dalam budidaya ikan karena nitrat merupakan bentuk
oksidasi terbanyak dari nitrogen dalam air. Konsentrasi ammonia dan nitrat untuk
keperluan budidaya adalah < 1 ppm.
2.3. Pengertian Daya Dukung Daya dukung lingkungan perairan didifinisikan sebagai suatu yang berhubungan
erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan
adalah nilai suatu mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur
atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo,
1997). Pengertian ini apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir
menjadi kemampuan badan air atau perairan di kawasan pesisir dalam menerima
limbah organik. Termasuk didalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau
mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan
(Widigdo, 2000).
Kemampuan badan air dalam menerima limbah yang masuk ditentukan oleh
kemampuan pencucian (flushing) dan purifikasi (kapasitas asimilasi) dari perairan
tersebut. Apabila beban limbah yang masuk melebihi kemampuan daur ulang dan
kekuatan pencucian badan air maka perairan menjadi tercemar.
Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah fotosintesa dari produsen
primer (Fitoplankton). Sementara konsumen utama oksigen dalam air adalah hewan,
bakteri dan bahan organik melalui proses respirasi dan oksidasi. Keseimbangan
proses asimilasi dan respirasi akan berpengaruh pada oksigen budget dalam air dan
akan berpengaruh pula pada kehidupan organisme perairan.
Kenchington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas
maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu
panjang. Daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan
oleh manusia yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi
(Clark, 1974). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas
asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang
kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993).
Sementara menurut Gowen et al., 1989 didalam Barg, 1992) menyatakan
bahwa kemampuan pengenceran pesisir untuk menerima limbah sangat dipengaruhi
oleh laju pengenceran (flushing time), volume air yang tersedia dan beban limbah yang
masuk ke perairan. Flushing time diartikan sebagai waktu yang diperlukan dari suatu
unit volume massa air berdiam (tinggal) dalam suatu area tertentu sebelum digantikan
oleh unit volume massa air yang baru.
Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut
di KJA merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya
yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan
degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al., 1982 didalam Meade,
1989) atau jika telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring
apung, estimasi ini akan menunjukkan berapa unit keramba jaring apung yang boleh
ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan. Jadi untuk sampai pada perhitungan
estimasi dibutuhkan data-data menyangkut luasan area yang cocok untuk budidaya
sesuai persyaratan, masa tanam, umur panen, besarnya produksi limbah organik,
kapasitas asimilasi, flushing rate dll.
2.4. Integrasi Kegiatan Perikanan Budidaya dalam Pengelolaan Pesisir Secara terpadu Pengembangan budidaya KJA ikan kerapu dalam konsep pengelolaan secara
terpadu (integrated coastal management/ICM) merupakan suatu proses yang
mengharmoniskan kepentingan antara berbagai stakeholders dalam menyusun dan
mengimplementasikan suatu rencana terpadu (integrated plan) baik dari aktivitas
didaratan (antropogenik) maupun aktivitas budidaya di lautan untuk melindungi
ekosistem pesisir beserta sumberdaya alam yang terdapat didalamnya untuk
kesejahteraan secara adil dan berkelanjutan. Suatu kerangka (sistem) kerja
pengelolaan yang meliputi penilaian secara komprehensif (comprehensive
assessment), penentuan tujuan, perencanaan dan pengelolaan pembangunan
(pemanfaatan) wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alamnya, dengan
memperhatikan perspektif (aspirasi) tradisional, budaya dan historis serta konflik
kepentingan dan penggunaan”.
Beberapa prinsip dasar dalam perencanaan pengembangan budidaya laut
dalam konsep pengelolaan pesisir secara terpadu antara lain : (1) Agenda 21 Rio
prinsip pembangunan berkelanjutan, (2) keterpaduan dan koordinasi antar sektor, (3)
pelibatan masyarakat, (4) analisis cost and benefit spesifik lokasi , (5) pehitungan
kapasitas lingkungan (daya dukung), (6) penerapan aturan insentif, (7) pengawasan
dampak yang ditimbulkan oleh setiap aktivitas, (8) evaluasi dan penyesuaian, serta (9)
efektivitas lembaga dan organisasi yang berperan (GESAMP, 2001).
Selanjutnya parameter yang berhubungan dengan integrasi kegiatan perikanan
budidaya dalam rencana pengelolaan pesisir antara lain : (1) parameter fisika meliputi
pemetaan penggunaan lahan didaratan, kegiatan pembangunan, reklamasi dan
pengairan; (2) parameter biologi dan kimia, meliputi kecerahan perairan, keberadaan
padang lamun, mangrove, terumbu karang dan pencemaran bahan organik; (3)
parameter sosial dan ekonomi masyarakat meliputi kepadatan penduduk, lapangan
pekerjaan, tingkatan pendapatan masyarakat, konflik antar sector berdasarkan
perbedaan kepentingan (FAO, 1996).
Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan
perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala
usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem
budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan dan
bertanggungjawab (sustainable and responsible aquaculture).
2.5. Pendekatan Sistem dan Pemodelan 2.5.1. Analisis Sistem Sistem adalah sekelompok komponen yang dioperasikan secara bersama-sama
untuk mencapai tujuan tertentu (Forrester, 1968). Menurut Hall dan Day (1977)
analisis sistem adalah suatu studi (kajian) secara formal (ilmiah) tentang suatu sistem
atau sifat-sifat umum dari sistem-sistem. Analisis sistem adalah pengorganisasian data
dan informasi secara teratur dan logis untuk menyusun suatu model, kemudian diikuti
dengan eksploitasi dan pengujian secara seksama terhadap model tersebut guna
memvalidasi dan memperbaikinya. Analisis sistem mencakup filosofi pemecahan
masalah secara umum maupun sekumpulan teknik kuantitatif, termasuk formula yang
berkaitan dengan berfungsinya sistem-sistem kompleks, seperti ekosistem alamiah,
sistem sosial, dan sistem ekonomi (Grant et al., 1997).
2.5.2. Pemodelan Model adalah suatu ekspresi formal dari komponen-komponen esensial dari
suatu masalah yang menjadi perhatian kita (Jorgensen, 1988). Model dapat
dideskripsikan dalam bentuk fisik, matematik, atau verbal, meskipun beberapa pakar
pemodelan menolak terminologi model verbal karena bahasa yang digunakan sangat
membingungkan (Jeffer, 1978). Model merupakan formalisasi dari pengetahuan kita
tentang suatu sistem dan model yang baik adalah yang memiliki atribut-atribut
fungsional yang penting (elemen dan fungsi utama) dari sistem yang sebenarnya (Hall
dan Day, 1977). Menurut Goodman (1975 didalam Hall dan Day, 1977), model
merupakan alat untuk memprediksi perilaku dari suatu entitas yang kompleks dan
sedikit dipahami (poorly understood), atas dasar perilaku dari bagian-bagian
(komponen) dari entitas tersebut yang telah diketahui dengan baik.
Pemodelan adalah suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan
pengukuran dari suatu sistem yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi
(response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi manusia). Jika tindakan manusia
(management intervention) ini dicobakan secara langsung terhadap sistem yang
sebenarnya (alam), maka konsekuensinya terlalu mahal, merusak, atau sukar
dipelajari. Dengan demikian, apa yang dapat kita lakukan dengan model adalah untuk
pemahaman (understanding), pendugaan (assessing), dan dukungan informasi
(information support). Prinsip lain dari penggunaan model adalah untuk menguji
validitas pengukuran di lapang dan asumsi yang diturunkan dari data tersebut. Dengan
pemodelan kita berharap dapat mengetahui lebih banyak tentang struktur dan tingkah
laku alam baik dalam kondisi sekarang maupun yang akan datang yang dapat diketahui
dalam bentuk simulasi.
Menurut Grant et al., (1977), simulasi adalah suatu proses yang menggunakan
model untuk menirukan atau menelusuri tahap demi tahap tentang perilaku dari suatu
sistem yang dipelajari. Model simulasi disusun dari suatu seri perhitungan dan operasi
logis yang secara bersama-sama menyajikan struktur (keadaan) dan perilaku
(perubahan keadaan) dari sistem yang dipelajari.
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi
Kalimantan Selatan (Gambar 3). Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan
antara lain telah berkembangnya kegiatan budidaya ikan kerapu di Teluk Tamiang yang
memiliki luas 2.289,8 ha.
Penelitian lapangan dan laboratorium dilaksanakan mulai dari bulan April –
Nopember 2006.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Teluk Tamiang
Kalimantan Selatan
3.2. Karakterisasi Sifat Perairan dan Kelayakan Bioteknis Perairan Teluk Tamiang
Analisis karakteristik sifat perairan merupakan kajian tentang kondisi biofisik dan
kimia perairan, mencakup aspek kualitas perairan (Biologi, fisika, dan kimia), serta
oseanografi. Pengamatan kualitas air dilakukan untuk menentukan kelayakan
perairan bagi kehidupan ikan kerapu. Contoh air diambil pada 10 titik lokasi sampling
(Gambar 4) pada kedalaman 50% dari kedalaman laut (0,5 x kedalaman laut) dengan
menggunakan water sampler Niskin Van Dorn (International Association of the Physical
of the ocean (IAPSO, 1936 didalam Hulagalung et al., 1997). Contoh air untuk
keperluan analisa laboratorium diambil setiap bulan satu kali selama 6 bulan. Jenis
dan metode analisa parameter secara rinci disajikan pada Tabel 1. Penentuan lokasi
dilakukan dengan alat bantu GPS (Global Positioning Systems).
Gambar 4 Titik sampling perairan Teluk Tamiang
12 3
45
67
89
10
3.2.1. Karakterisasi Biologi Perairan Kajian biologi perairan meliputi produktivitas primer, plankton dan bentos, yang
ditujukan untuk mengetahui karakteristik perairan sebagai salah satu indikator tingkat
pencemaran dan kesuburan perairan.
- Pengukuran Produktivitas Primer. Produktivitas primer diukur dengan
menggunakan botol gelap dan botol terang (Vollenweider, 1969 didalam Kaswadji
et al., 1993). Pengukuran produktivitas primer bertujuan untuk mengetahui jumlah
bahan organik yang dihasilkan oleh produsen primer (fitoplankton). Produktivitas
primer dihitung dengan menentukan kandungan oksigen terlarut dalam botol terang
dikurangi dengan kandungan oksigen dalam botol gelap setelah dilakukan masa
inkubasi (pencahayaan) selama 3 jam. Nilai oksigen terlarut yang diperoleh dari
hasil pengurangan tersebut, kemudian dikonversikan ke satuan mgC/m3/jam.
Perhitungan produktivitas primer dilakukan menurut Umaly dan Cuvin (1988)
sebagai berikut: (O2 dalam BT) – (O2 dalam BG) (1000) 0,375 GP = ------------------------------------------------------- x --------- mgC/m3/jam Lama pencahayaan (jam) KF
Keterangan : GP = Produktifitas Primer BT = Botol Terang BG = Botol Gelap Lama inkubasi = selama 3 jam (dari jam 9.00 – 12.00) O2 = Oksigen terlarut (mg/l) KF = Kuosien Fotosintesa = 1,2 1000 = konversi liter menjadi m3 0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)
(Ryther, 1965 didalam Kaswadji et al., 1993). Jika diasumsikan bahwa dalam satu hari terdapat 12 jam terang, maka dalam satu hari GP x 4 jam.
- Kelimpahan Plankton. Sampel diambil dengan menyaring air sebanyak 200 liter
melalui plankton net no. 25 dan dimampatkan menjadi sekitar 25 ml dan diawetkan
dengan menambahkan 5 – 10 tetes larutan formalin 10 ppm. Identifikasi jenis
dilakukan dengan bantuan mikoskop dan buku identifikasi Davis (1955).
Perhitungan kepadatan plankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwick Rafter
Counting Chamber dibawah mikroskop (APHA, 1992). Kelimpahan plankton (K)
ditentukan dengan metode penyapuan (sensus) dengan menggunakan Sedwick
Rafter Cell (SRC) (APHA 1992) sebagai berikut :
Vs 1 K = ----- x -----x N Va Vo
Dimana :
K = Kelimpahan total plankton (sel/l) Vs = Volume air yang tersaring (ml) Va = Volume air yang disaring (l) N = Jumlah plankton yang teramati Vo = Volume air yang diamati (ml)
- Bentos. Sampel sedimen diambil dengan alat bantu Ekman grab pada 10 titik
sampling. Selanjutnya contoh sedimen yang diperoleh disimpan kedalam kantong
plastik, diawetkan dengan formalin 10 ppm. Kepadatan/kelimpahan bentos (K)
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
1000 x a K = ------------- b
Dimana :
K = Kepadatan makrozobentos (individu/m2) a = jumlah makrozobentos b = Luas bukaan mulut Ekman Grab (cm2) 1000 = konversi dari cm2 ke m2
Stabilitas Komunitas Stabilitas komunitas plankton dan bentos dinyatakan dengan indeks keanekaragaman
(H1) oleh Shannon Wiener (Odum, 1971) dan indeks keseragaman (E) Evennes Index
(Odum, 1971) serta indeks dominansi (C) Shannon Wienner (Odum, 1971), yang
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
- Indeks Keanekaragaman (H1)
Keanekaragaman dihitung dengan rumus Index Shannon Wiener (Odum, 1971):
H1 = ∑ (ni) ln (ni) N N
Dimana : H1 = indeks Keanekaragaman ni = jumlah individu tiap spesies N = jumlah individu seluruh spesies Kisaran nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner diklasifikasikan sebagai berikut :
H1 < 1 = keanekaragaman populasi kecil dan komunitas rendah H1 < 1 < 3 = keanekaragaman populasi sedang dan komunitas sedang H1 < 3 = keanekaragaman populasi tinggi dan komunitas tinggi
- Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus Evennes Index (Odum,
1971).
H1 E = LnS
Dimana : E = indeks keseragaman H1 = indeks keanekaragaman S = jumlah spesies
Nilai keseragaman berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai E mendekati 0, maka sebaran individu antar jenis tidak merata dan apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu antar jenis merata.
- Indeks Dominansi (C) Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan rumus Shannon Wienner (Odum,
1971) sebagai berikut :
C = ∑ (Pi)2
Dimana : C = Indeks Dominansi
ni = Jumlah individu taksa ke-i N = Jumlah total individu Pi = ni/N = Proporsi spesies ke-i
Nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 0 – 1. Bila nilai indeks dominansi mendekati 1 maka terdapat organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila nilai indeks dominasi mendekati 0, maka tidak ada jenis yang dominan.
Untuk memudahkan perhitungan dalam analisis statistik uji beda nyata digunakan
alat bantu piranti lunak Excel Stat Pro 7.5 dan SPSS 11,5.
3.2.2. Karakterisasi Oseanografis. - Pasang surut. Diukur dengan alat bantu papan pembaca yang dipasang di lokasi
penelitian. Pembacaan tinggi permukaan air dilakukan selama 3x24 jam pada saat
pasang purnama dan surut terendah yang bertujuan untuk mengetahui volume
perairan baik pada saat pasang maupun surut serta polanya yang berkaitan dengan
proses pengenceran (flushing time). Hasil pengamatan pasang surut diklarifikasi
dengan data pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidrooseanografi TNI-AL
untuk stasiun pengamatan Kotabaru. Sementara kecepatan arus pasang surut di
dalam Teluk Tamiang diukur dengan floating roop, sedangkan arah dan pola arus
diamati dengan menelusuri arah pergerakan arus secara langsung (insitu).
- Bathymetri. Peta kontur bathymetri merupakan kontur dari kedalaman teluk,
diperoleh dengan menggunakan Lowrens Echosounder (model X16) dan diproses
dengan bantuan piranti lunak Surfare 8.0. Data dari pencatatan ini kemudian
dikoreksi ke chart datum dengan referensi tabel pasang surut dan dikuatkan
dengan pengukuran lapangan pada waktu dan rentang pasang yang berbeda.
- Substrat dasar. Contoh substrat diambil pada lokasi dengan metode yang sama
dengan sampel bentos. Contoh substrat diambil dengan alat Ekman grab,
dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan sampai dianalisa tekstur
substrat. Pada setiap contoh sampel dianalisis di laboratorium secara fisik
substratnya antara lain jenis pasir, karang berpasir putih, pasir berkarang, pasir
berlumpur, dan berlumpur.
3.2.3. Karakterisasi Kimiawi Perairan Kajian kimia perairan meliputi parameter kimia perairan yang berpengaruh
kehidupan ikan kerapu antara lain parameter pH, Salinitas, Oksigen Terlarut (DO),
Nitrit, Nitrat, Orthophosphat, dan BOD5. Parameter-parameter tersebut diukur satu kali
setiap bulan selama 6 bulan. Secara rinci jenis parameter dan metode analisanya
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Parameter kualitas lingkungan perairan dan metode peneraannya
Parameter Alat/Cara Analisis Keterangan
Biologi 1. Produktivitas primer 2. Plankton 3. Bentos
Botol Gelap dan Botol Terang, DO meter Plankton net No.25, Mikroskop dan buku identifikasi Ekman Grab, Mikroskop dan buku identifikasi
Insitu Laboratorium Laboratorium
Fisika 1. Suhu (oC) 2. Kecerahan/pembacaan
secchi disk (m) 3. TSS (ppm) 4. Kecepatan Arus (m/dt) 5. Substrat Dasar 6. Kedalaman (m) 7. Pasang surut (m) 8. Keterlindungan
(ketinggian gelombang (m)
Thermometer Hg Piring Sechi Gravimaterik Floating roop Ekman Grab Lowrens Echosounder Papan berskala Tongkat berskala
Insitu Insitu Laboratorium Insitu Laboratorium Insitu Insitu Insitu
Kimia 1. pH 2. Salinitas (ppt) 3. Oksigen terlarut (ppm) 4. Ammonia (ppm) 5. Nitrit (ppm) 6. Nitrat (ppm) 7. Orthophosphat (ppm) 8. BOD5 (ppm)
pH meter Refraktometer DO meter Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol BOD, DO meter
Insitu Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
3.2.4. Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan Penentuan kelayakan/kesesuaian bioteknis untuk pengembangan budidaya
KJA dilakukan dengan metode pembobotan dan penilaian (skoring) untuk setiap
parameter yang berpengaruh pada kelayakannya untuk ikan kerapu yang diberikan
oleh Tiensongrusmee et al., (1986) didalam Sunyoto (1993) (Tabel 2). Dalam metode
ini pertama-tama ditentukan parameter-parameter utama yang berpengaruh pada
kegiatan budidaya KJA ikan kerapu, kemudian sesuai dengan perannya parameter-
parameter tersebut diberi bobot dan skor. Bobot menunjukan kepentingan parameter
pada keberhasilan budidaya. Nilai yang diberikan adalah rentang 1 s/d 5. Semakin
tinggi nilai, semakin penting peranannya. Skor (s) dibagi dalam empat kategori yaitu
skor 4 (sangat layak) di mana nilai parameter tersebut sangat layak (optimum), skor 3
(sedang) di mana nilai parameter pada rentang yang masih dapat ditoleransi untuk
hidup layak, skor 2 (rendah) dimana nilai parameter terletak pada rentang yang masih
dapat ditolerasi (direkomendasikan) namun sudah mengganggu proses metabolisme,
dan skor 1 (tidak layak) di mana nilai parameter berada diluar rentang yang
direkomendasikan dan sudah mengganggu proses metabolisme. Penentuan skor
didasarkan pada rentang nilai hasil pengukuran lapangan terhadap 8 (delapan)
parameter utama seperti yang disajikan pada Tabel 2. Untuk memperoleh nilai
kelayakan/kesesuaian setiap parameter maka nilai ”bobot” dikalikan dengan ”skor”
untuk masing-masing parameter pada setiap stasiun yang diperoleh dari pengukuran
dan pengamatan lapang.
Tabel 2 Kriteria dan sistem penilaian kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu
Nilai skor dan Tingkat Kesesuaian dan Rentang nilai Parameter Hasil Pengukuran
No Parameter Bobot 4 (Tinggi)
3 (Sedang)
2 (Rendah)
1 (Tidak
Sesuai)
Nilai Kelayakan Parameter
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (Bobot x Skor)
1 Kedalaman (meter)
5 >10 7-9 4-6 <4 -----
2 Keterlindungan terhadap gelombang/ angin besar)
4 Sangat terlindung (<0,5 m)*
Terlindung (<0,5 m)*
Agak terbuka
(>0,5 m)*
Terbuka (>0,5 m)*
-----
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 26 - 27 24 - 25 > 30/<24 ----- 4 Salinitas
(promil) 3 31 - 34 29 - 30 25 – 27/
34 - 35 < 25/>35 -----
5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir
Pasir berkarang
Pasir berlumpur
Berlumpur -----
6 Kecerahan (meter)
3 6 - 10 3 - 5 0 - 2 0 -----
7 Oksigen terlarut
3 7 - 8 6 – 7/>8 5 - 6 <5 -----
8 Kecepatan Arus (cm/dt)
3 21 - 40 16 - 20 13 - 15 <12 -----
Total Nilai ∑ Bobot x Skor
Keterangan : *) ketinggian gelombang
Hasil perkalian antara bobot dan skor dari setiap parameter pada masing-
masing stasiun pengamatan kemudian dijumlahkan. Dari hasil penjumlahan tersebut
tentukan jumlah nilai maksimal (∑ nilai maksimal ) dan jumlah nilai minimal (∑ nilai
minimal ). Untuk mendapatkan nilai kesesuaian pada setiap lokasi pengamatan,
selisih nilai maksimal dan minimal dibagi kedalam 4 kategori (klas) yaitu a) sesuai tinggi
(S1), b) sesuai sedang (S2), c) sesuai rendah (S3), dan d), tidak sesuai (N), yang
penentuannya terlebih dulu dilakukan perhitungan nilai selang klas kesesuaian dengan
persamaan sebagai berikut :
Selang Kelas Kesesuaian (X) = ∑ nilai maksimal - ∑ nilai minimal
Banyak Klas
Selanjutnya untuk menentukan tingkatan kesesuaian/kelayakan perairan bagi
pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu yang terbagi 4 kategori (klas) dari kisaran
total nilai (bobot x skor) pada setiap stasiun pengamatan dengan klas kesesuaian,
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Klas kesesuaian
Kesesuaian tinggi (S1) nilainya berkisar antara = (∑ maks - X) s/d (∑ maks) Kesesuaian sedang (S2)nilai berkisar antara = (∑ maks -1-2X) s/d (∑ maks -1-X) Kesesuaian rendah (S3) nilai berkisar antara = (∑ maks -2-3X) s/d (∑ maks -2-2X) Tidak sesuai (N) nilai berkisar antara = < (∑ maks -3-3X)
Untuk menganalisis secara spasial, titik-titik stasiun pengamatan terlebih dulu
dilakukan interpolasi yang merupakan suatu metode pengelolaan data titik menjadi
area (polygon). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas perairan yang
diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang layak/sesuai bagi
pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung yang dihasilkan
setelah seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta tematik di
overlay (tumpang susun).
Kemudian penentuan luas areal perairan yang layak/sesuai bagi
pengembangan budidaya KJA Ikan kerapu dilakukan dengan bantuan perangkat
Sistem Informasi Geografis (SIG) piranti lunak ArcView versi 3.3 dan Surfer 8.0.
Diagram alir penyusunan tingkat kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya ikan
kerapu dalam keramba jaring apung disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram alir penyusunan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya KJA
Ikan Kerapu
3.3. Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung Keramba jaring apung yang digunakan terbuat dari kayu ulin dan jaring nilon (D24)
dengan mesh size 3,175 cm. Ukuran keramba yang digunakan adalah 3 x 3 x 2,5
m3 sebanyak 1 jaring diletakan dalam satu unit rakit (Gambar 6). Ikan kerapu
bebek (Cromileptis altivelis) yang digunakan sebagai hewan uji memiliki berat awal
rata-rata 360 gr/ekor. Ikan uji tersebut diambil dari bibit alam sekitar perairan Teluk
Tamiang dengan tingkat kepadatan 20 ekor/m3. Masa pemeliharaan + selama 6
bulan dan selama pemeliharaan diberi pakan berupa ikan rucah (segar). Jumlah
pakan yang diberikan adalah 4% dari biomass ikan setiap hari yang terbagi dalam 3
kali pemberian pakan yaitu pada jam 07.00, 13.00 dan 18.00. Jumlah pakan
disesuaikan setiap bulan sekali selama 6 bulan (180 hari). Untuk mengetahui total
biomass dilakukan sampling menggunakan jaring serok.
Untuk mengetahui perubahan kualitas air akibat kegiatan budidaya ikan di sekitar
lokasi budidaya dilakukan pengamatan kualitas air antara lain suhu, kecerahan,
TSS, DO, salinitas, BOD. COD, Nitrit, Nitrat, dan Orthoposphat dengan frekuensi
Potensi Sumberdaya Perairan untuk Pengembangan Budidaya Ikan
di Teluk Tamiang
Data Primer (Biofisik Perairan)
Data Sekunder (Peta rupa bumi)
Geografi Information System
(GIS)
Penyusunan Data Base • Atribut (data tabular) • Data Grafis
Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Laut
Peta Tingkat Kesesuaian Perairan Untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu
Peta Tematik
pengamatan sebanyak 1 kali 1 bulan selama 6 bulan didalam kurungan karamba
maupun lingkungan sekitarnya. Untuk parameter DO dan salinitas diukur secara
”insitu” yaitu di setiap stasiun pada kedalaman 50% dari kedalaman laut (0,5 x
kedalaman laut) (International Association of the Physical of the ocean (IAPSO,
1936 didalam Hulagalung et al 1997). Sedangkan untuk parameter lainnya contoh
air dimasukan kedalam botol sampel kemudian diawetkan dalam suhu dingin (es)
pada kotak pendingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa.
Untuk mengetahui pertumbuhan ikan diukur setiap bulan sekali dengan cara
menimbang sebanyak 25 ekor per keramba jaring apung dengan alat bantu
timbangan OHAUS berketelitian 0,1 gr.
Untuk mengetahui sintasan, laju pertumbuhan harian (LPH), rasio konversi pakan
(RKP), dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :
Sintasan (%)= (jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian/jumlah ikan saat tebar) x 100%
LPH (gr/hari)= (Wt-Wo)1/t, dimana Wt: bobot ikan pada akhir penelitian (gr); Wo: bobot ikan pada awal penelitian (gr); t (hari) dan
RKP = jumlah pakan yang diberikan/berat biomass ikan yang dihasilkan
3.4. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading)
Untuk menduga jumlah limbah budidaya ikan kerapu (berupa feses maupu sisa
pakan) yang terbuang dari keramba ke lingkungan perairan di bagian luar jaring
dipasang jaring halus mesh size 20 mikron. Jaring halus tersebut dipasang di luar
jaring apung (tempat pemeliharaan ikan). Perangkap tersebut diikatkan pada sebuah
bingkai yang terbuat dari kayu ulin berbentuk segi empat yang berukuran 3,5 x 3,5
meter, dan bagian bawah perangkap dipasangi pemberat (Gambar 6). Pengumpulan
limbah sisa pakan dan feses dilakukan setiap bulan sekali sebanyak 6 kali sampling
ulangan (selama kegiatan budidaya). Untuk pengumpulan sisa pakan dilakukan 2 jam
setelah pemberian pakan, sedangkan untuk pengumpulan feses, jaring halus
dipasang selama 24 jam sebelum koleksi feses. Limbah yang terkumpul kemudian
dipisahkan antara feses dan sisa pakan. Baik feses maupun sisa pakan kemudian
ditimbang dan selanjutnya dianalisa kadar proximat yang terdiri dari yaitu lemak kasar
(Ekstraksi Soxhlet), karbohidrat (Spektrofotometer), serat kasar (Fibretex), kadar abu
(Muffle), kadar air (pengeringan oven), serta N dan P (Semi Micro Kjeldahl dan Olsen).
Sebagai pembanding analisa proximat juga dilakukan terhadap ikan rucah (sebagai
pakan segar) dan ikan kerapu pada akhir pemeliharaan.
Gambar 6 Keramba jaring apung dengan alat perangkap feses dan sisa pakan
Pendugaan total bahan organik dihitung berdasarkan metode yang
dikemukakan oleh Iwama (1991 didalam Barg, 1992) dengan mengacu pada total
pakan yang tidak dikonsumsi dan jumlah feses, dengan persamaan sebagai berikut :
O = TU + TFW O = total output partikel bahan organik TU = total pakan yang tidak dimakan, yang diperoleh dengan persamaan :
TU = TF x UW TF = total pakan yang diberikan UW = presentase pakan yang tidak dimakan (rasio total pakan yang dimakan terhadap total pakan yang diberikan).
TFW = total limbah feses, dihitung dengan persamaan : TFW = F x TE F = persentase feses (rasio total feses terhadap total pakan yang dimakan) TE = total pakan yang dimakan, diperoleh dengan persamaan :
TE = TF – TU TF = total pakan yang diberikan TU = total pakan yang tidak dimakan
Rakit
Pelampung Bingkai Jaring Perangkap (3,5x3,5)
Jaring Keramba (3x3x2,5)
Perangkap feses & sisa Pakan (3,5x3,5x2,7)
Pemberat (2-3 kg)
Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P (TN dan TP) didasarkan atas data
kandungan N dan P dalam pakan ikan rucah, dan dalam karkas ikan kerapu
(Baveridge, 1987, Barg, 1992). Pendugaan total N dan P mengacu pada metode
Ackefors dan Enell (1990 didalam Barg, 1992), dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :
Persamaan untuk Loading N dan P adalah : Kg P = (A x Cdp) – (B x Cfp) Kg N = (A x Cdn) – (B x Cfn) Dimana :
A = bobot basah pakan rucah yang digunakan (kg) B = bobot basah kerapu yang diproduksi (kg) Cd = kandungan phosphor (Cdp) dan nitrogen (Cdn) di pakan diekspresikan sebagai % bobot basah) Cf = kandungan phosphor (Cfp) dan nitrogen (Cfn) dari karkas ikan, diekspresikan sebagai % bobot basah. 3.5. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan
(Antropogenik) (Eksternal Loading)
Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada di daratan
mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Land Ocean
Interactionin the Coastal Zone (LOICZ) Project (Malou San Diego-
McGlone,www.nest..su.se/MNODE/Methode/powerpoint/wasteload4/ppt.htm).
Pendugaan kuantitatif limbah yang bersumber dari daratan (upland) berasal dari
aktivitas (1) pemukiman, dan (2) peternakan, bertujuan untuk mengetahui besaran
potensi kontribusi beban limbah organik (nitrogen dan phosphor) ke perairan teluk
antara lain :
(1) Aktivitas Pemukiman. Besaran limbah organik (Total N dan P) yang berasal dari
pemukiman, dihitung dengan cara sensus yaitu menghitung secara langsung
jumlah penduduk yang bermukim disekitar teluk. Untuk mendapatkan besar
kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari) dan limbah cair
(liter/hari), maka jumlah penduduk tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari
berbagai acuan antara lain dari 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997), dan 3)
World Bank didalam Diego-McGlone (2006) (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis aktifitas dan koefisien limbah pemukiman
No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan
1.
2.
3.
Aktivitas Pemukiman Limbah padat Sampah Deterjen
1,86 kg N/org/th 0,37 kg P/org/th
4 kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th
Sogreah (1974) Padilla et al (1997) World Bank (1993)
Catatan : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993) di dalam Diego- McGlone (2006).
(2) Aktivitas Peternakan. Besaran volume limbah (Total N dan P) tersebut dihitung
dengan menghitung secara langsung jumlah ternak yang berada atau dipelihara
disekitar teluk. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari
limbah padat (kg/hari), maka jumlah ternak tersebut dikalikan dengan koefisien
limbah dari berbagai acuan antara lain 1) WHO (1993); 2) Valiela et al (1997)
didalam Diego-McGlone (2006) (Tabel 4).
Tabel 4 Jenis aktifitas dan koefisien limbah peternakan
No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan
1.
2.
3.
Komoditas Peternakan Ternak Sapi Ternak Kambing Ternak Ayam
43,8 kg N/ekr/th 11,3 kg P/ekr/th
4 kg N/ekor/th 21,5 kP/ekor/th
0,3 kg N/ekor/th 0,7 kg P/ekor/th
WHO (1993) WHO (1993) Valiela et al (1997)
Catatan : 1) WHO (1993); 2) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (2006)
Beban limbah yang berasal dari pemukiman dan peternakan diperoleh dari data
perhitungan langsung dilapangan yang mengacu pada data sekunder statistik
Desa/Kecamatan.. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) dari limbah
antropogenik dihitung dengan mengalikan antara tingkatn aktivitas dengan koefisien
limbah (N dan P) (Tabel 5) dengan persamaan sebagai berikut :
TN = tingkatan aktivitas x koefisien limbah
TP = tingkatan aktivitas x koefisien limbah
Tabel 5 Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Tingkatan
Aktivitas Total N (kg/th)
Total P (kg/th)
Ket.
Pemukiman 1. Limbah
padat 2. Sampah 3. Deterjen
1,86 kg N/org/th 0,37 kg P/org/th
4 kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th
Jumlah Penduduk (orang)
…….. ……..
……..
…….. ……..
……..
1 2 3 3 3
Jumlah - - Peternakan 1. Sapi 2. Kambing 3. Ayam
43,8 kg N/ekr/th 11,3 kg P/ekr/th
4 kg N/ekor/th 21,5 kP/ekor/th
0,3 kg N/ekor/th 0,7 kg P/ekor/th
Jumlah Ternak (ekor) yang dipelihara
…….. ……..
……..
…….. ……..
……..
4 4 4 4 5 5
Jumlah Jumlah Total
- -
Sumber Pustaka : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993); 4) WHO (1993); 5) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (2006) 3.6. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir bagi Pengembangan Budidaya Kerapu dalam Karamba Jaring Apung Dalam melakukan pendugaan daya dukung lingkungan dilakukan dalam 2
bentuk pendekatan antara lain (1) pendekatan yang mengacu pada loading total
nitrogen (TN) dari sistem budidaya dan antropogenik yang terbuang ke lingkungan
perairan dan (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen
terlarut dalam badan air dan bahan organik.
Pendekatan (1) Mengacu kepada Loading Total Nitrogen (TN) Limbah buangan dari aktifitas budidaya mengakibatkan terjadinya pengkayaan
nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan teluk. Level hipernutrifikasi ditentukan oleh volume
badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang surut (Gowen et al,
(1989 didalam Barg, 1992), memberikan persamaan estimasi sebagai berikut :
Ec = N x F/V dimana : Ec = Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l) N = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal) F = flushing time dari badan air (hari) V = volume badan air (L)
Flushing time (F) yaitu waktu (jumlah hari) yang diperlukan limbah berdiam (tinggal)
dalam badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Penentuan Flushing
time ditentukan dengan menggunakan formula :
F = 1 / D Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode pergantian pasang
yaitu :
D = (Vh – Vl) / T x Vh Dimana : (Vh – VI) adalah volume pergantian pasang Vh = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m3) VI = volume air dalam badan air saat surut (m3) T = periode pasang dalam satuan hari Perhitungan Volume Badan Air Teluk diukur pada saat pasang tertinggi (MHWS
(Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean Low Water
Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Vh = A.h1 dan Vl = A.h0 Dimana : A = luas perairan teluk (m2) h1 dan h0 = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Vh = Volume air pada saat pasang tertinggi V1 = Volume air pada saat surut terendah Vh – Vl = perubahan volume karena efek pasut. Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [Nlp] hasil pengkayaan nutrien
ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH3N) baku mutu perairan untuk
budidaya (Kep-51/MENLH/2004) untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi
budidaya (Prodopt) dengan pengertian bahwa nilai konsentrasi [Nlp] berasal dari limbah
produksi ikan (per unit rakit KJA) dan antropogenik tidak melebihi baku mutu, maka
produksi optimal dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut :
(Prodopt) (ton) = [Nbm] dimana : [Nbm] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya [Nlp] (0,3 – 1 ppm) selang konsentrasi Ammonia (NH3N) yang dipersyaratkan
[Nlp] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan dan antropogenik hasil pengkayaan nutrien .
Produksi optimal (Prodopt) adalah jumlah produksi ikan yang dapat dihasilkan oleh unit
budidaya (unit rakit KJA) tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan.
Nilai pendugaan produksi optimal adalah perbandingan antara konsentrasi [N] baku
mutu dengan konsentrasi [N] limbah produksi. Bila diketahui output limbah N hasil
produksi dalam 1unit KJA, maka akan dapat diketahui jumlah produksi ikan secara
optimal.
Pendekatan 2. Mengacu Kepada Ketersediaan Oksigen Terlarut dan Bahan Organik
Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan
kandungan oksigen terlarut dari badan air dan bahan organik, dengan mengacu pada
formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968 didalam Meade, 1989), dan Boyd
(1990). Pergantian air akibat pasang surut akan menyediakan atau memasok oksigen
terlarut sehingga konsumsi oksigen oleh organisme non budidaya tidak signifikan. Hal
ini berarti bahwa perairan pesisir dapat dibebani dengan sejumlah ikan yang
menggunakan oksigen terlarut, di mana O2 dipasok baik yang berasal dari aliran air
pasang surut maupun difusi dari udara.
Tahap 1. Menentukan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air adalah
perbedaan antara konsentrasi O2 terlarut didalam inflow (Oin) dan
konsentrasi O2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem budidaya
(Oout) yaitu 4 ppm (Boyd, 1990). Jika volume air teluk (Qo m3) diketahui,
maka total oksigen yang tersedia dalam perairan (O2) selama 24 jam
(1.440 menit/hari) adalah :
= Qo m3 /min x 1.440 min/hari x (Oin – Oout)g O2 / m3
= A g m3/hari/1000
= B kg O2
Dimana : Qo = volume ar teluk (m3 )
Qin = kandungan oksigen terlarut didalam badan air (mg/l) Oout = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan oleh ikan (mg/l) 1.440= jumlah menit dalam satu hari
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik diketahui
berdasarkan Willoughby (1968 didalam Meade, 1989) bahwa setiap 1 kg
limbah organik memerlukan 0,2 kg O2 / limbah organik.
Tahap 2. Untuk pendugaan daya dukung yang diijinkan dengan mengacu bahwa
untuk setiap kilogram limbah bahan organik membutuhkan 0,2 kg O2
sehingga dapat diduga kemampuan perairan untuk menampung limbah
bahan organik maksimal yang diijinkan. Dengan demikian, beban limbah
bahan organik yang dapat ditampung tanpa melampaui daya dukung
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
B kg O2 = Ckg limbah bahan organik 0,2 kg O2 /kg limbah organik
Jika diketahui dalam 1 unit rakit KJA mengahasilkan limbah bahan organik
= D kg limbah bahan organik, maka kapasitas daya dukung lingkungan
perairan untuk budidaya kerapu adalah :
C kg limbah bahan organik = Unit rakit KJA
D kg limbah bahan organik/1 unit KJA
3.7. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik dalam Pengelolaan Kualitas Lingkungan bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu di Laut
Dalam membangun sistem pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya
dukung (carrying capacity) bagi pengembangan keramba jaring apung ikan kerapu di
Teluk Tamiang, dilakukan pengembangan model guna mempresentasikan peubah
komponen-komponen utama penyusun struktur pengelolaan kualitas lingkungan serta
interaksi diantaranya. Berdasarkan karakteristik perairan teluk yang kompleks dan
dinamis serta multidimensi, ditetapkan penggunaan model simbolik yang digunakan
sebagai alat bantu dalam pemodelan sistem ini adalah Stella versi 7.02. Blok
bangunan dasar (basic building block) dalam bahasa Stella versi 7.02 yang digunakan
adalah meliputi stocks, flows, converter, connector, dan sink source.
Permodelan dan simulasi pendugaan beban limbah N dan P dari sistem
budidaya kerapu dalam keramba jaring apung dibangun dan dikembangkan
berdasarkan pada data empiris sistem produksi budidaya yang ada, level aktivitas
antropogenik dan karakteristik biofisik lingkungan perairan, serta hasil uji laboratorium.
Pemodelan dan simulasi digunakan untuk pendekatan sistem dalam menentukan
beban limbah, daya dukung, dan optimalisasi alokasi sumberdaya perikanan budidaya.
Pemodelan sistem dibangun berdasarkan integrasi dari faktor-faktor dominan
yang diperoleh dari analisis prospektif. Dalam hal ini faktor-faktor dominan yang
diperoleh menjadi komponen utama sub-sub model dari model yang dibangun.
Demikian pula skenario yang disusun berdasarkan pendekatan Analisis Prospektif akan
disimulasikan secara kuantitatif berdasarkan model simbolik perangkat lunak Stella @
7.02. dengan demikian pemodelan sistem disini dilakukan dengan tahapan-tahapan
antara lain penyusunan skenario, pembangunan model dan simulasi skenario.
Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya harus
merupakan pendapat pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli (expert)
mengenai pengelolaan lingkungan Teluk, khususnya Teluk Tamiang. Inventarisasi
kebutuhan pelaku dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Analisis dilakukan
dengan menggunakan cara matriks. Hasil analisis matriks ini ditunjukkan dan
dipresentasikan dalam bentuk grafik dalam salib sumbu Kartesien (Bourgeois, 2002.,
Hartrisari, 2002).
Berdasarkan hasil grafik dalam salib sumbu akan terpilih yang dikelompokan
kedalam 4 kuadran, yaitu kuadran kiri atas sebagai kuadran I merupakan kelompok
faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem dengan ketergantungan
rendah terhadap keterkaitan faktor, sehingga akan digunakan sebagai input didalam
sistem. Kuadran kanan atas sebagai kuadran II merupakan kelompok faktor yang
memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem namun ketergantungan juga besar
terhadap keterkaitan faktor, sehingga digunakan sebagai penghubung (stake) didalam
sistem. Keadaan sebaliknya ditunjukan oleh faktor pada kuadran kanan bawah
sebagai kuadran IV, yaitu kuadran yang memiliki pengaruh yang rendah pada kinerja
sistem dan memiliki ketergantungan besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga
dikatakan sebagai output dari sistem. Pada kuadran kiri bawah sebagai kuadran III
merupakan kelompok yang memberi pengaruh kecil terhadap kinerja sistem dan
mempunyai tingkat ketergantungan kecil terhadap keterkaitan faktor, sehingga
dikatakan sebagai variable authonomus unused.
Evaluasi model dilakukan untuk mengetahui kelayakan model yang telah
dibangun, sehingga model dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses evaluasi
yang dilakukan melibatkan dua kategori (tahap) pengujian, yaitu pengujian struktur
model dan pengujian perilaku model. Evaluasi struktur model merupakan pengujian
apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi didalam sistem
nyata. Oleh karena itu evaluasi struktur berhubungan dengan informasi dan literatur
mengenai mekanisme sistem nyata. Proses evaluasi struktur, meliputi uji kesesuaian
struktur dan konsistensi dimensi (Sushil, 1993). Evaluasi perilaku model merupakan
pengujian apakah model mampu membangkitkan perilaku yang mendekati sistem
nyata. Proses pengujian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pemodelan
dengan dunia nyata.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Teluk Tamiang Teluk Tamiang berada di pantai Barat Kalimantan Selatan, terletak pada posisi
04o 05' 00" Lintang Selatan dan 116o 05' 00" Bujur Timur dengan luas sekitar 2.289,8
Ha. Secara administratif, Teluk Tamiang masuk dalam wilayah Kecamatan Pulau Laut
Barat, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan yang meliputi desa Gosong
Panjang, desa Kampung Baru, desa Tanjung Sungkai, desa Tanjung Pelayar, desa
Terusan Tengah dan desa Tanjung Kunyit dengan jumlah penduduk seluruhnya 9.158
jiwa. Di sekitar Teluk Tamiang terdapat jalan Kabupaten dan jaringan listrik yang sudah
menjangkau sebagian besar wilayah sampai ke pelosok desa.
Fasilitas Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) yang berada di desa Teluk Tamiang
merupakan salah satu sarana pembenihan (hatchery) multi spesies ikan (ikan kerapu,
bandeng, udang, lobster dsb) milik pemerintah untuk melayani kebutuhan benih
regional Kalimantan Selatan. Keberadaan fasilitas pembenihan tersebut diharapkan
dapat menunjang pengembangan budidaya ikan laut pada masa yang akan datang
Sampai dengan tahun 2006 jumlah penduduk desa Teluk Tamiang sebanyak
1.402 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 4% pertahun, dimana
mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan
rumput laut sisanya bergerak disektor jasa, dan perdagangan (BPS Kabupaten
Kotabaru, 2006).
Berdasarkan kondisi saat ini, aktivitas penduduk setempat yang dominan
disekitar desa Teluk Tamiang adalah sebagai nelayan kecil dengan menggunakan alat
tangkap ikan lampara dasar, pembudidaya ikan dan rumput laut serta peternakan.
Perkembangan pembudidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) hingga sekarang
belum begitu pesat, namun melihat kondisi perairan, ketersediaan infrastruktur dan
kemudahan pasokan sarana produksi serta pemasaran, maka perairan Teluk Tamiang
merupakan kawasan yang potensial bagi pengembangan budidaya ikan laut sistem
KJA dimasa yang akan datang.
4.2. Karakterisasi Topografi dan Ekosistem Perairan Teluk Tamiang 4.2.1. Karakterisasi Topografi
Perairan Teluk Tamiang mempunyai luasan sebesar 2.289,8 Ha. Karakteristik
topografi dasar teluk berbentuk datar (flat) namun memiliki dua buah cekungan beralur
lebar ke arah mulut teluk. Bentuk topografi demikian diduga memiliki dinamika
oseanografi yang unik dengan pola sirkulasi massa air yang lebih cepat dan dinamis.
Hasil pengamatan kondisi kontur dasar perairan dengan menggunakan echosounder
dan diproses dengan bantuan piranti lunak Surfer 8.0 untuk mendapatkan data
kedalaman dan volume perairan (Gambar 7 s/d 10).
Gambar 7 Sebaran kedalaman perairan Teluk Tamiang
C2
C1
A
B
A= Wilayah daratan B= Wilayah lautan C= Wilayah perairan teluk
B
Gambar 8. Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Barat
Gambar 9 Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Timur
Keterangan : A = wilayah daratan; B = wilayah lautan
Gambar 10 Kontur dasar perairan Teluk Tamiang
Teluk Tamiang memiliki 2 (dua) buah cekungan yakni yang berada di mulut
teluk dan tepi bagian dalam perairan teluk. Cekungan bagian dalam teluk mempunyai
kedalaman antara 3 – 6 meter, sementara pada cekungan bagian luar dekat mulut teluk
mempunyai kedalaman 7 – 14 meter. Cekungan bagian dalam teluk (C2) merupakan
perangkap sedimen bahan organik dan anorganik yang mempunyai spesifikasi sirkulasi
massa air dan kecepatan arus relatif lemah sehingga diduga berdampak pada
C1
C2
C1
C2
C1 = cekungan 1 C2 = cekungan 2
Color Scale
C1 = cekungan 1 C2 = cekungan 2
C1
C2
C1 C2
Color Scale
Color Scale
C1 = cekungan 1 C2 = cekungan 2
A
B
A
B
A
B
kecepatan penggelontoran sedimen dan bahan organik dan anorganik yang
terperangkap. Lain halnya dengan cekungan yang berada dimuka mulut teluk (C1)
mempunyai sirkulasi massa air dan kecepatan arus relatif lebih kuat sehingga resiko
penumpukan sedimen relatif kecil karena proses pasang surut akan mampu
menggelontorkan sedimen organik dan organik keluar dari perairan teluk menuju
perairan Selat Makasar dan Laut Jawa.
Hasil pengamatan di lapangan mengenai kondisi pasang surut perairan pesisir
Teluk Tamiang menunjukkan pola pasang surut campuran. Dalam satu hari sering
terjadi 1 dan 2 kali pasang (tipe pasut campuran dominasi semi diurnal/ Mixed, Mainly
semi diurnal tide) yang mempengaruhi besaran nilai flushing time pada suatu perairan
dengan kisaran 0 – 110 cm (Gambar 11 dan Tabel 6).
Gambar 11 Grafik kondisi pasang surut perairan Teluk Tamiang
Tabel 6 Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Tamiang
Karakteristik Tidal Level
Level (cm) Volume (m3) Tidal range (cm)
MHWS 55 202.647.300 MSL 0 190.053.400 110 MLWS -55 177.459.500 Keterangan : MHWS (Mean High Water Spring), paras laut tertinggi rata-rata saat spring tide MSL ( Mean Sea Level), paras laut rata-rata MLWS (Mean Low Water Spring), paras laut terendah rata-rata spring tide
Rataan Bulanan
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu Pengamatan (jam)
Ting
gi P
asan
g (c
m)
Pasang Purnama
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu Pengamatan (jam)
Ting
gi P
asan
g (c
m)
Bulan Baru
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu Pengamatan (jam)
Ting
gi P
asan
g (c
m)
Menurut Lee et al. (2000) didalam Rachmansyah (2004), flusing time
didefinisikan sebagai rata-rata waktu tinggal suatu partikel di dalam badan air yang
dicirikan oleh efektivitas perpindahan suatu limbah sehingga perairan menjadi bersih.
Flushing time merupakan karakteristik yang penting untuk menentukan sensitivitas
kerusakan suatu lokasi potensial akibat buangan limbah budidaya dan antropogenik
serta merupakan elemen utama dalam penentuan konsentrasi limbah bahan organik
dan kontaminan lainnya yang akan tersimpan di dalam badan air.
Berdasarkan data hidrooseanografi yang didapatkan, maka dengan
mengembangkan rumus Gowen et al, (1989) didalam Barg, (1992) yang mengacu
pada data pasang surut, volume dan luasan teluk, maka “Flushing time” Teluk Tamiang
didapatkan adalah selama 4,2 hari dengan prosedur perhitungan sebagai berikut :
Vh = A.h1 dan V1 = A.h0 Dimana : A = luas perairan teluk (m2) h1 dan h0 = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Vh – V1 = perubahan volume karena efek pasang surut Vh = 202.647.300 m3 (Volume air pada saat pasang tertinggi) V1 = 177.459.500 m3 (Volume air pada saat surut terendah) Vh – V1 = 202.647.300 - 177.459.500 = 25.187.800 m3
Perhitungan dilution rate (D) : D = (Vh – Vi) / T x Vh Dimana : T = periode pasut, untuk perairan Teluk Tamiang adalah 12 jam / 0.5 hari Maka : D = 25.187.800 / 0.5 x 202.647.300 m3 = 0.24 / hari Perhitungan flushing time (F) : F = 1/D = 1/0.24 = 4.2 hari
Wilayah yang dicirikan oleh tingginya flushing rate memiliki laju buangan
limbah yang lebih tinggi dibandingkan wilayah dengan flushing rate yang rendah.
Untuk menduga beberapa dampak budidaya pada suatu lokasi, maka nilai flushing rate
merupakan referensi yang penting untuk digunakan dalam estimasi waktu tinggal dari
suatu perairan yang menerima buangan limbah. Dari hasil perhitungan nilai flushing
rate maka Teluk Tamiang termasuk memiliki flushing time relatif tinggi.
4.2.2. Karakterisasi Ekosistem Perairan 4.2.2.1. Ekosistem Mangrove
Sebagian wilayah perairan Teluk Tamiang dikelilingi oleh hutan mangrove.
Hutan mangrove tumbuh secara alami di pantai Teluk Tamiang. Hasil pengamatan
lapangan dan perhitungan luas dari peta pemanfaatan lahan (landused) Kabupaten
Kotabaru (desa Teluk Tamiang Kecamatan Pulau Laut Barat) tahun 2005 dengan
bantuan program Arc View versi 3.3 maka didapatkan luas hutan mangrove adalah +
127,4 ha tersebar tumbuh sepanjang 13.5 km di pesisir pantai teluk Tamiang dengan
ketebalan mangrove yang diukur dari garis pantai ke arah darat berkisar antara 100 -
400 meter yang didominasi oleh jenis hutan bakau dan api-api (Rhizophora sp dan
Avicenia sp).
Keberadaan hutan mangrove yang tumbuh di sekitar Teluk Tamiang relatif
penting bagi keseimbangan ekosistem perairan teluk. Keberadaan mangrove selain
berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi perairan teluk dalam penyedia stok ikan,
juga dapat berfungsi sebagai pencuci dan perangkap sedimen dalam perairan teluk.
4.2.2.2. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas yang terdapat di sebagian
besar wilayah pesisir. Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis terhadap
lingkungan perairan dan mempunyai keterkaitan dengan ekosistem lainnya seperti
ekosistem lamun dan hutan mangrove. Keberadaan ekosistem tersebut dipengaruhi
oleh faktor-faktor fisik lingkungan perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan dan
kedalaman perairan.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Tim Survey Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2004 menunjukan bahwa kondisi kawasan
terumbu karang di perairan Teluk Tamiang menunjukan beberapa jenis terumbu karang
dapat berkembang relatif baik dan termasuk pada kategori tutupan karang yang cukup
baik.
Terumbu karang yang terdapat di perairan Teluk Tamiang merupakan tipe
karang tepi ( fringing reef), di mana terumbu karang hidup berkembang sepanjang
pantai dan pada mulut teluk. Luas tutupan terumbu karang di perairan Teluk
Tamiang +115 ha didominasi jenis Acropora branching, Acropora tabulate, Acropora
digitate, Acropora submassive, Heliopora, dan Gurgonians (Tim Survey DKP
Kalimantan Selatan, 2004).
4.3. Karakterisasi Biologi Perairan 4.3.1. Phytoplankton dan Zooplankton 4.3.1.1 Komposisi jenis Fitoplankton
Berdasarkan hasil identifikasi phytoplankton di perairan Teluk Tamiang yang
diambil contoh airnya pada 10 stasiun, maka ditemukan 3 kelas fitoplankton yaitu
Chyanophyta, Chlorophyta, dan Chrysophyta dengan 25 genera. Kelimpahan jenis
dan jumlah plankton hasil pengamatan selama 6 bulan yaitu dari bulan Mei s/d Oktober
dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 12.
Tabel 7 Kelas dan genera fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang
Kelas Genera Cyanophyta Aphanothece dan Polycytis Chlorophytta Closteriopsis Chrysophyta Campyloneis, Climacosphenia, Bidhulpia,
Ceratium, Chaetoceros, Coscinusdiscus, Diploneis, Cyclotella, Diatoma, Distephanus, Epithemia, Eunotia, Pleurosigma, Gyrosigma, Hemiaulus, Eucampia, Nitszchia, Fragilaria, Thalassiosira, Rhizosolenia, Lauderia dan Thalassiotrix.
34,410,8 17,8
7,6 9,9 15,2
1,7
2,37,7
7,4 6,7 5,7
63,986,9
74,585 83,4 79,1
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Mei-06 Jun-06 Jul-06 Agust-06 Sep-06 Okt-06
Chyanophyta Chlorophyta Chrysophyta
Gambar 12 Komposisi jenis fitoplankton pada setiap bulan pengamatan
Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa penyusun genera fitoplankton yang
diperoleh selama penelitian didapatkan komposisi jenis oleh kelas Chrysophyta (22
genera) berkisar antara 63.9 – 86.9 %, menyusul kelas Chyanophyta (2 genera)
berkisar antara 7.6 – 34.4%, dan kelas Chlorophyta (1 genera) berkisar antara 1.7 –
7.7%.
Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Ray dan Rao (1964), bahwa
Chrysophyta sering mendominasi suatu perairan pesisir laut, karena fitoplankton dari
kelas ini mudah beradaptasi dengan lingkungannya, tahan terhadap kondisi yang
ekstrim, dan mampu memanfaatkan nutrient dengan baik dibanding kelas fitoplankton
yang lain seperti Nitzchia sp (Kelas Chrysophyta), Chaetoceros sp (Kelas
Chrysophyta), dan Thalasstrix (Kelas Chrysophyta).
4.3.1.2 Kelimpahan Fitoplankton Dari hasil pengamatan dilapangan didapatkan nilai kelimpahan fitoplankton
tertinggi diperoleh pada pengamatan bulan Oktober dengan nilai kelimpahan sebesar
10.522 sel/liter dan nilai kelimpahan terendah diperoleh pada bulan Mei sebesar 783
sel/liter. Adapun nilai kelimpahan fitoplankton yang diperoleh pada pengamatan bulan
Juni dan Juli berkisar antara 4.365 - 8.871 sel/liter dan 4.692 - 7.308 sel/liter. Nilai
kelimpahan bulan Agustus dan September berkisar antara 3.956 - 7.556 sel/liter dan
4.953 - 8.603 sel/liter. Stasiun 6 pada pengamatan bulan Oktober memiliki nilai
kelimpahan fitoplankton yang tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan dengan nilai
kelimpahan sebesar 1.052,2 sel/liter. Stasiun 2 pada pengamatan bulan Mei memiliki
nilai kelimpahan fitoplankton yang terendah dengan nilai kelimpahan sebesar 783
sel/liter. Dari hasil pengamatan dari mulai bulan Mei s/d Oktober terlihat
kecenderungan nilai kelimpahan yang cenderung meningkat (Tabel 8).
Tabel 8 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada masing-masing
stasiun pengamatan
Bulan Pengamatan Mei-06 Juni-06 Juli-06
Stasiun Jumlah Jenis
Kelimpahan (sel/liter)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (sel/liter)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (sel/liter)
1 25 6254 21 5.456 21 6.1892 19 783 21 7.421 22 6.2813 22 859 18 5.447 21 5.9864 20 2.271 17 4.967 24 5.5255 18 2.527 16 4.365 18 7.3086 16 4.090 16 6.004 17 7.9907 18 3.535 17 8.286 20 4.6928 19 3.186 17 8.871 22 5.2219 21 7.932 20 7.008 19 6.47810 22 5.159 19 7.200 18 6.290 dilanjutkan
lanjutan Tabel 8 Bulan Pengamatan Agustus-06 September-06 Oktober-06
Stasiun Jumlah Jenis
Kelimpahan (sel/liter)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (sel/liter)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (sel/liter)
1 17 5.058 21 6.658 19 6.0282 18 5.181 19 6.477 20 6.0113 15 3.956 20 5.891 14 7.5374 19 4.908 20 5.206 18 9.4545 22 6.567 16 4.953 12 7.6186 20 6.403 21 8.603 16 10.5227 20 4.809 16 5.343 17 7.4958 20 6.853 15 5.596 11 10.1989 18 7.024 17 5.791 15 7.29910 20 7.556 16 6.355 20 7.611
Adanya perbedaan nilai kelimpahan tersebut diduga disebabkan oleh faktor
musim. Pada bulan Oktober curah hujan relatif lebih besar (musim barat) dibanding
dengan bulan Mei. Pada musim hujan ketersediaan nutien lebih banyak yang mampu
dimanfaatkan fitoplankton dengan baik. Keberadaan nutrien berbeda dengan musim
kemarau (musim timur) mempunyai ketersediaan nutrien relatif lebih kecil sehingga
kelimpahan fitoplankton menjadi rendah juga. Komunitas fitoplankton memiliki
kelimpahan yang tinggi dalam periode pengamatan musim hujan karena konsentrasi
nutrien lebih banyak, sebaliknya pada musim kemarau konsentrasi nutrien lebih kecil.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Goldman and Horne (1983) yang menyatakan
bahwa ada dua faktor utama penentu tingkat pertumbuhan fitoplankton dalam
mencapai tingkat pertumbuhan maksimal yaitu temperatur, cahaya, dan nutrien.
Nilai kelimpahan fitoplankton pada pengamatan bulan Juni menunjukan kisaran
hasil yang lebih tinggi dan merata. Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 8
dengan nilai kelimpahan sebesar 8.871 sel/liter dan kelimpahan terendah diperoleh
pada stasiun 5 dengan nilai kelimpahan sebesar 4.365 sel/liter. Adapun stasiun
lainnya memiliki kisaran nilai kelimpahan fitoplankton antara 4.967 – 8.286 sel/liter.
Pengamatan bulan Juli menunjukan hasil yang cukup merata dengan nilai kelimpahan
yang tidak jauh beda dengan pengamatan pada bulan Juni. Nilai kelimpahan tertinggi
terdapat pada stasiun 6 dengan nilai 7.990 sel/liter dan nilai kelimpahan terendah
terdapat pada stasiun 7 sebesar 4.692 sel/liter.
Pada pengamatan bulan Agustus menunjukan kisaran hasil yang lebih rendah.
Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 10 dengan nilai kelimpahan sebesar
7.556 sel/liter dan kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun 3 dengan nilai
kelimpahan sebesar 3.956 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai
kelimpahan fitoplankton antara 4.809 – 7.024 sel/liter. Pengamatan bulan September
menunjukan hasil yang cukup merata dengan nilai kelimpahan yang tidak jauh beda
dengan pengamatan pada bulan Agustus. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada
stasiun 6 dengan nilai 8.603 sel/liter dan nilai kelimpahan terendah terdapat pada
stasiun 5 sebesar 4.953 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai
kelimpahan fitoplankton antara 5.206 – 6.658 sel/liter.
Lain halnya pada pengamatan bulan Oktober menunjukan kisaran hasil yang
lebih tinggi dan merata bila dibandingkan dengan pengamatan bulan sebelumnya.
Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 6 dengan nilai kelimpahan sebesar 10.522
sel/liter dan kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun 2 dengan nilai kelimpahan
sebesar 6.011 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai kelimpahan
fitoplankton antara 6.208 – 10.198 sel/liter (Lampiran 1). Namun hasil analisis varians
(Levene’s test) nilai kelimpahan baik secara temporal dan spasial ternyata kelimpahan
komunitas fitoplankton tidak berbeda nyata (α = 0.05), hasil analisis ini menunjukan
bahwa kelimpahan komunitas fitoplankton dianggap sama disetiap bulan dan stasiun
pengamatan (Lampiran 3).
Menurut Nontji (1984) fitoplankton dengan kelimpahan tinggi umumnya terdapat
di perairan sekitar muara sungai atau perairan pesisir dan lepas pantai dimana terjadi
up-welling. Di kedua lokasi ini terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara
datang dari daratan (run off) kelaut, sedangkan di daerah dimana terjadi up-welling
yang mengangkat zat hara dari lapisan lebih dalam yang kaya zat hara ke arah
permukaan. Pernyataan ini diperkuat oleh Arinardi (1997) yang menyatakan bahwa
fitoplankton umumnya lebih padat di perairan dekat pantai dan makin berkurang pada
perairan yang kearah laut lepas.
Selanjutnya Davis (1955), menyatakan bahwa penelitian tentang kandungan
fitoplankton diberbagai perairan menunjukan adanya keragaman baik dalam jumlah
maupun jenisnya baik antar wilayah perairan maupun inter perairan tertentu walaupun
lokasinya relatif berdekatan dan berasal dari masa air yang sama, kondisi demikian
disebabkan oleh bermacam faktor antara lain kondisi angin, arus, proses up welling,
suhu perairan, salinitas, zat hara, kedalaman perairan dan proses pencampuran massa
air.
Terjadinya kecenderungan peningkatan tingkat kelimpahan di perairan tersebut
mengindikasikan bahwa perairan Teluk Tamiang relatif subur.
4.3.1.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) Fitoplankton Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi
(C) digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota perairan terutama dalam
hubungannya dengan kondisi suatu perairan. Nilai keanekaragaman (H’), indeks
keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) fitoplankton perairan Teluk Tamiang dapat
dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Fitoplankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan
Mei s/d Oktober 2006
Bulan Pengamatan Mei-06 Juni-06 Juli-06
Stasiun H’ E C H’ E C H’ E C 1 1,363 0,424 0,425 1,442 0,448 0,476 2,132 0,662 0,186 2 3,605 0,809 0,093 1,989 0,618 0,207 2,125 0,660 0,194 3 2,785 0,865 0,799 2,383 0,740 0,121 2,674 0,831 0,085 4 1,358 0,422 0,514 2,318 0,720 0,135 2,598 0,807 0,101 5 2,599 0,807 0,110 2,263 0,703 0,158 2,001 0,621 0,180 6 1,581 0,491 0,416 2,379 0,739 0,118 2,074 0,644 0,206 7 2,316 0,719 0,137 2,370 0,736 0,111 2,585 0,803 0,088 8 2,575 0,799 0,101 2,204 0,685 0,142 2,530 0,786 0,108 9 2,537 0,788 0,109 2,597 0,807 0,089 2,528 0,785 0,099
10 2,424 0,753 0,152 2,575 0,799 0,095 2,449 0,761 0,114
Bulan Pengamatan Agustus-06 September-06 Oktober-06
Stasiun H’ E C H’ E C H’ E C 1 2,584 0,803 0,087 2,806 0,872 0,069 2,379 0,739 0,123 2 2,519 0,783 0,107 2,647 0,822 0,089 2,495 0,775 0,109 3 2,377 0,738 0,114 2,579 0,801 0,094 1,639 0,509 0,279 4 2,659 0,826 0,084 2,694 0,837 0,080 2,137 0,664 0,159 5 2,476 0,779 0,107 1,791 0,556 0,291 1,095 0,340 0,515 6 2,301 0,715 0,162 2,292 0,774 0,118 2,068 0,643 0,207 7 2,688 0,835 0,083 2,286 0,710 0,134 1,779 0,553 0,206 8 2,637 0,819 0,091 2,068 0,642 0,168 1,909 0,593 0,182 9 2,295 0,713 0,156 2,227 0,692 0,144 1,925 0,598 0,199
10 2,647 0,822 0,087 2,219 0,689 0,135 2,185 0,679 0,160
Indeks keanekaragaman (H’) yang diperoleh pada pengamatan dari bulan Mei
sampai bulan Oktober memiliki kisaran antara 1.095 – 3.605. Dari Tabel 9 terlihat
bahwa stasiun 2 memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi dan stasiun 1 memiliki
nilai indeks yang terendah pada pengamatan bulan Mei. Untuk indeks keseragaman
(E) didapatkan nilai indeks berkisar antara 0.424 – 0.872. Stasiun 1 pada bulan
September didapatkan nilai indeks keseragaman tertinggi yaitu 0.872 dan terendah
didapatkan pada stasiun 5 sebesar 0,340 di bulan Oktober. Nilai indeks dominansi
(C) yang didapatkan berkisar antara 0.069 – 0.799. Indeks dominansi tertinggi terdapat
pada stasiun 3 di bulan Mei sebesar 0.799 namun yang terendah didapatkan pada
stasiun 1 di bulan September sebesar 0.069.
Menurut Parson et al., (1984), indeks keanekaragaman antara 1.0 – 3.0
menunjukan suatu perairan cukup stabil dan bila nilai indeks lebih besar dari 3.0 (> 3.0)
maka perairan stabil. Hasil yang didapatkan menunjukan nilai indeks keanekaragaman
(H’) ) (Shannon-Wiener) fitoplankton perairan Teluk Tamiang berkisar antara 1,095 –
3,605 menunjukan ragam individu yang besar, dapat disimpulkan bahwa perairan
tersebut dalam kondisi stabil. Selanjutnya menurut Odum (1971) jika indeks
keseragaman antara 0,5 – 1,0 atau lebih kecil dari 1 (<1) maka sebaran individu antara
jenis relatif merata. Bila nilai indeks dominansi mendekati 1 maka terdapat organisme
tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila nilai indeks dominansi
mendekati 0, maka tidak ada jenis yang dominan.
Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0,340 – 0,872, dan indeks
dominansi berkisar antara 0,069 – 0,799. Indeks keseragaman berkisar antara 0,340
– 0,872 menunjukan bahwa struktur komunitas fitoplankton mempunyai keseragaman
jenis dalam kisaran kecil sampai tinggi. Semakin besar nilai indeks keseragaman
(mendekati 1) maka semakin besar pula keseragaman populasi yang berarti
penyebaran jumlah individu sama atau tidak ada kecenderungan terjadinya dominansi
oleh satu jenis fitoplankton.
Berdasarkan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks
dominansi (C) plankton (phyto) maka dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Tamiang
termasuk dalam tingkat keanekaragaman sedang dengan kategori daerah yang tidak
tercemar dengan penyebaran individu pada masing-masing stasiun merata dan tidak
ada jenis yang dominan sehingga termasuk perairan yang stabil.
4.3.1.4 Komposisi jenis dan Kelimpahan zooplankton
Untuk jenis zooplankton didapatkan selama penelitian ditemukan 2 (dua) kelas
yaitu Protozoa dan Aschelminthes yang meliputi 7 genera yaitu Protoperidium,
Prorocentrum, Dinophysis, Acanthocystis, Eutinnus (Protozoa), Ecentrum, dan
Ploesoma (Aschelminthes). Kelas zooplankton yang mendominasi adalah Protozoa.
Nilai rata-rata kelimpahan zooplankton tertinggi diperoleh pada pengamatan
bulan Mei dengan total nilai kelimpahan sebesar 262.3 sel/liter dan nilai kelimpahan
terendah diperoleh pada bulan Oktober sebesar 83.1 sel/liter. Adapun nilai kelimpahan
fitoplankton yang diperoleh pada pengamatan bulan Juni dan Juli sebesar 229.7
sel/liter dan 204,4 sel/liter. Nilai kelimpahan bulan Agustus dan September sebesar
224.8 sel/liter dan 98.9 sel/liter. Stasiun 6 pada pengamatan bulan Mei memiliki nilai
kelimpahan zooplankton yang tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan dengan nilai
kelimpahan sebesar 1.171 sel/liter. Stasiun 2 pada pengamatan bulan Mei dan stasiun
3 pada bulan Agustus memiliki nilai kelimpahan yang terendah yakni sebesar 28
sel/liter.
Nilai rata-rata kelimpahan zooplankton pada setiap bulan pengamatan (dari
bulan Mei s/d Oktober) di masing-masing stasiun mempunyai nilai kelimpahan yang
cenderung menurun. Keadaan ini berbanding terbalik dengan kondisi total nilai
kelimpahan fitoplankton yang cenderung meningkat dari bulan Mei hingga bulan
Oktober. Kondisi ini diduga sebagai akibat dari tidak terjadinya proses pemangsaan
(Grazing) oleh zooplankton terhadap fitoplankton sehingga kelimpahan fitoplankton
menjadi tinggi dan kelimpahan zooplankton menjadi rendah. Pernyataan ini diperkuat
oleh Basmi (1995) yang menyatakan bahwa pengelompokan densitas fitoplankton
sering bergantian dengan gerombolan yang padat dari zooplankton. Pergiliran
pergantian kelimpahan kedua organisme ini adalah akibat dari grazing dan perbedaan
cepat laju reproduktif antar keduanya.
4.3.1.5 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) Zooplankton
Nilai indeks keanekaragaman (H’) zooplankton yang diperoleh pada masing-
masing stasiun selama bulan Mei s/d Oktober 2006 menunjukan nilai indeks berkisar
antara 0.942 – 1.916. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi didapatkan pada stasiun
4 pada bulan Juni sebesar 1,916 dan nilai indeks yang terendah didapatkan pada
stasiun 3 di bulan Mei. Nilai indeks keanekaragaman pada bulan Juli sampai dengan
bulan Oktober berkisar antara 1.389 - 1.876 (Tabel 10).
Untuk nilai indeks keseragaman (E) yang didapatkan selama pengamatan
berkisar antara 0.484 – 0.973. Nilai indeks keseragaman tersebut masih lebih kecil dari
1 (< 1) yang berarti sebaran individu merata dan perairan dalam kondisi stabil. Nilai
indeks dominansi (C) zooplankton didapatkan nilai berkisar antara 0.151 – 0.557.
Indeks dominansi tertinggi pada stasiun 3 di bulan Mei, sedangkan yang terendah pada
stasiun 4 di bulan Juni (Tabel 10).
Tabel 10 Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) zooplankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan
Mei s/d Oktober 2006 Bulan Pengamatan
Mei-06 Juni-06 Juli-06 Stasiun H’ E C H’ E C H’ E C
1 1,483 0,762 0,342 1,305 0,670 0,409 1,579 0,812 0,268 2 1,729 0,888 0,186 1,671 0,859 0,234 1,833 0,943 0,171 3 0,942 0,484 0,557 1,702 0,874 0,228 1,530 0,786 0,228 4 1,632 0,835 0,261 1,916 0,985 0,151 1,635 0,840 0,215 5 1,625 0,839 0,269 1,893 0,973 0,156 1,389 0,714 0,322 6 1,366 0,702 0,364 1,789 0,919 0,186 1,826 0,939 0,176 7 1,663 0,855 0,251 1,389 0,714 0,293 1,876 0,964 0,164 8 1,671 0,859 0,251 1,364 0,958 0,167 1,686 0,867 0,206 9 1,467 0,754 0,315 1,536 0,789 0,310 1,565 0,804 0,262
10 1,419 0,729 0,349 1,830 0,940 0,177 1,841 0,946 0,173
Bulan Pengamatan Agustus-06 September-06 Oktober-06
Stasiun H’ E C H’ E C H’ E C 1 1,560 0,802 0,278 1,525 0,784 0,238 1,891 0,972 0,158 2 1,658 0,852 0,224 1,704 0,876 0,196 1,351 0,694 0,323 3 1,770 0,909 0,179 1,630 0,898 0,233 1,247 0,641 0,326 4 1,751 0,899 0,197 1,679 0,863 0,204 1,676 0,861 0,208 5 1,514 0,778 0,275 1,497 0,738 0,273 1,263 0,649 0,320 6 1,801 0,925 0,193 1,487 0,764 0,298 1,519 0,780 0,233 7 1,863 0,957 0,168 1,561 0,802 0,218 1,691 0,869 0,198 8 1,607 0,826 0,230 1,399 0,769 0,328 1,292 0,664 0,359 9 1,799 0,925 0,186 1,724 0,886 0,189 1,289 0,662 0,296
10 1,847 0,949 0,169 1,746 0,904 0,177 1,581 0,813 0,211
Berdasarkan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks
dominasi (C) plankton (phyto dan zooplankton) maka dapat disimpulkan bahwa
perairan Teluk Tamiang termasuk dalam dalam status perairan stabil pada kategori
perairan yang tidak tercemar hingga tercemar ringan dengan sebaran individu yang
merata.
4.3.2. Bentos 4.3.2.1 Kelimpahan Bentos
Analisis bentos merupakan salah satu aspek biologi perairan untuk melengkapi
analisis aspek fisik dan kimia perairan sebagai petunjuk terjadinya perubahan kualitas
lingkungan atau indikasi terjadinya pencemaran pada suatu perairan.
Sesuai dengan sifat organisme bentos yang hidupnya menetap di dasar
perairan maka keragaan jenis dan jumlah bentos sering dijadikan indikator dan bahan
sampel untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan maupun untuk
mengetahui jenis bahan pencemar (Price, 1979; Abel, 1989 didalam Tambaru, 2000).
Selanjutnya Pearson et al (1983) didalam Rustam (2005) mengemukakan bahwa
apabila dalam suatu lingkungan perairan terjadi penurunan keragaman secara tajam
sampai hanya sebagian kecil saja populasi yang dominan, maka lingkungan tersebut
telah mengalami tekanan akibat pencemaran dan populasi tersebut sebagai indikator
pencemaran.
Dari hasil pengamatan terhadap bentos pada masing-masing stasiun selama 6
bulan yakni dari bulan Mei s/d Oktober ditemukan 14 famili dan 43 spesies (Tabel 11).
Tabel 11 Famili dan spesies bentos yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang
Famili Spesies Olividae Oliva sp Epitoniidae Epitonium Trifasciatum, Epitonium lamellose, Epitonium
scalase Tellinidae Tellina sp Veneridae Pitar manillae, Donsinia insularum, Gafrarium tumidum,
Placamen chlorotica, Donax (latona) cuneatus, dan Dosinia insilarum
Arcidae Barbatia decussota, Barbatia candida, dan Achatina Fulicia Niticidae Natica vitellus, Natica canrena
Dentalidae Dentalium longtrorsium, Dentalium elephantium Ovulidae Phenacovolca angasi, Pholas orieantalis, Prionovula
fruticum Eulimidae Arca sp Lucinidae Codakia sp Cardiidae Trachycardium sp, Laevicardium crassum, Vepricardium
fimbiatum, dan Chicoreus (triplex) Buccinidae Pisania fascicullata, Cantharus fumosus, Placuna placenta,
Batllaria Zonaks, Pisania crocata, dan Brunneus Concellariidae Cancellaria longitrorsum, Corbicula Javana, dan Cancellaria
oblonga Mitridae Imbricaria olivaefromis, Mitrapelliserpentis, Mitra avenacea,
Mitra eremitarum, dan Imbricaria conularis
Pada Tabel 12 terlihat bahwa kelimpahan bentos pada pengamatan bulan Mei
didapatkan nilai kelimpahan berkisar antara 74 - 12.811 indv/m2 atau rata-rata sebesar
1.755 indv/m2 dengan nilai kelimpahan tertinggi sebesar 12.811 indv/m2, namun nilai
total kelimpahan terendah diperoleh pada bulan Juni sebesar 499.5 indv/m2. Adapun
nilai kelimpahan bentos yang diperoleh pada pengamatan bulan Juli dan Agustus
berkisar antara 136 - 2.736 indv/m2 atau rata-rata sebesar 523,7 indv/m2 dan 93 - 1.833
indv/m2 atau rata-rata sebesar 512.6 indv/m2. Nilai rata-rata kelimpahan bulan
September dan Oktober sebesar 752.5 indv/m2 dan 694 indv/m2. Stasiun 10 pada
pengamatan bulan Mei memiliki nilai kelimpahan bentos yang tertinggi dari seluruh
stasiun pengamatan dengan nilai kelimpahan sebesar 12.811 indv/m2. Stasiun 1 pada
pengamatan bulan Mei memiliki nilai kelimpahan bentos yang terendah dengan nilai
kelimpahan sebesar 74 indv/m2 (Lampiran 2).
Dari hasil analisis varians (Levene’s test) terhadap nilai kelimpahan baik secara
spasial maupun temporal mempunyai nilai yang significan dalam artian nilai kelimpahan
bentos yang didapatkan cukup berbeda nyata ((α = 0,05) (Lampiran 4).
Tabel 12 Jumlah jenis dan kelimpahan bentos pada masing-masing stasiun pengamatan
Bulan Pengamatan Mei-06 Juni-06 Juli-06
Stasiun Jumlah Jenis
Kelimpahan (indv/ m2)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (indv/ m2)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (indv/ m2)
1 20 74 35 267 27 3182 7 3.254 10 544 15 2703 26 136 20 141 11 3754 20 167 18 135 15 1365 12 200 23 247 12 1936 17 297 20 178 14 3887 19 107 19 253 14 2138 17 209 23 178 15 2169 13 295 21 246 18 39210 12 12.811 21 2.806 15 2.736
Bulan Pengamatan Agustus-06 September-06 Oktober-06
Stasiun Jumlah Jenis
Kelimpahan (indv/m2)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (indv/ m2)
Jumlah Jenis
Kelimpahan (indv/ m2)
1 24 572 23 254 19 1642 18 520 14 1.329 13 1.4993 11 93 16 157 26 2554 11 112 12 348 22 3565 19 446 17 303 17 2526 13 157 16 292 18 2667 17 477 21 677 21 3768 15 233 14 259 16 1619 13 683 20 924 20 41010 13 1.833 13 2.982 13 3.201
4.3.2.2 Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) Bentos
Indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi
(C) digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota perairan terutama dalam
hubungannya dengan kondisi suatu perairan. Nilai keanekaragaman (H’), indeks
keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) bentos di perairan Teluk Tamiang dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13 Indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) bentos di perairan Teluk Tamiang dari bulan
Mei s/d Oktober 2006
Bulan Pengamatan Mei-06 Juni-06 Juli-06
Stasiun H’ E C H’ E C H’ E C 1 3,513 2,700 0,156 4,678 2,864 0,061 4,154 2,902 0,085 2 2,093 2,477 0,314 2,471 1,513 0,252 3,159 2,686 0,147 3 3,969 2,805 0,098 3,662 2,242 0,131 1,886 1,811 0,438 4 3,961 3,045 0,078 3,833 2,347 0,082 3,251 3,251 0,082 5 3,111 2,883 0,147 4,282 2,622 0,058 2,864 2,864 0,151 6 3,554 2,889 0,108 4,002 2,450 0,075 2,505 2,505 0,199 7 3,401 2,660 0,132 3,604 2,206 0,130 2,867 2,867 0,139 8 2,751 2,236 0,218 4,252 2,603 0,062 2,771 2,771 0,169 9 3,381 3,036 0,110 4,101 2,510 0,066 2,823 2,823 0,115
10 2,578 2,388 0,198 3,102 1,899 0,148 2,745 2,745 0,126
Bulan Pengamatan Agustus-06 September-06 Oktober-06
Stasiun H’ E C H’ E C H’ E C 1 3,424 2,481 0,208 4,176 3,067 0,069 3,926 3,071 0,080 2 3,164 2,520 0,152 2,353 2,053 0,292 2,417 2,169 0,243 3 3,349 3,216 0,104 3,527 2,929 0,113 4,288 3,031 0,066 4 3,251 3,122 0,124 3,914 2,960 0,084 3,764 2,804 0,106 5 3,479 2,721 0,132 3,726 3,028 0,089 3,679 2,989 0,100 6 3,388 3,041 0,114 3,623 3,008 0,104 3,751 2,988 0,093 7 3,190 2,593 0,158 2,161 1,634 0,464 3,753 2,838 0,044 8 3,936 2,497 0,236 2,864 2,498 0,184 2,966 2,463 0,203 9 2,037 1,829 0,469 2,981 2,291 0,261 3,912 3,007 0,078
10 2,856 2,563 0,176 3,088 2,772 0,128 3,048 2,737 0,137
Nilai indeks keanekaragaman (H) bentos selama pengamatan didapatkan nilai
indeks berkisar antara 2.037 – 4.678. nilai indeks keanekaragaman tertinggi
didapatkan pada stasiun 1 di bulan Juni, namun yang terendah didapatkan pada
stasiun 9 di bulan Agustus. Nilai indeks keseragaman (E) bentos selama pengamatan
didapatkan nilai indeks berkisar antara 1.513 – 3.251. Nilai indeks keseragaman (E)
terendah ditemukan pada stasiun 2 di bulan Juni sedangkan indeks tertinggi ditemukan
pada stasiun 4 di bulan Juli. Untuk nilai indeks dominansi (C) bentos didapatkan nilai
indeks berkisar 0.044 – 0.469. Indeks dominansi terendah ditemukan pada stasiun 7 di
bulan Oktober dan indeks dominansi tertinggi ditemukan pada stasiun 9 di bulan
Agustus (Tabel 14).
Hasil analisis bentos pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa indeks
keanekaragaman (H’) berkisar antara 2.037 – 4.678. Staub et al., (1992) didalam
Tambaru (2000), memberikan 4 kategori atas status perairan berdasarkan indeks
keanekaragaman antara lain (1) indeks keanekaragaman berkisar antara 3.0 – 4.5
berarti perairan tercemar sangat ringan, (2) indeks keanekaragaman antara 2.0-3.0
perairan terindikasi tercemar ringan, (3) indeks keanekaragaman antara 1.0 – 2.0
perairan terindikasi tercemar sedang, dan (4) indeks keanekaragaman lebih kecil dari
1,0 (<1,0) maka perairan terindikasi tercemar berat (Tabel 20). Bila dilihat dari kisaran
indeks keanekaragaman tersebut mengindikasikan bahwa perairan Teluk Tamiang
berada pada kondisi tercemar sangat ringan.
Dari hasil perhitungan indeks keseragaman (E) organisme bentos yang
ditemukan adalah 1.513 – 3.251, indeks ini cukup besar menunjukan keseragaman
yang besar artinya organisme bentos hidup merata dan seragam diseluruh perairan
Teluk Tamiang sehingga termasuk perairan yang tidak tercemar. Menurut Odum
(1971) bahwa semakin besar indeks keseragaman (E) menunjukan keseragaman jenis
besar, dimana semakin tinggi nilai keseragaman berarti jumlah individu setiap spesies
sama atau hampir sama, begitu juga sebaliknya semakin kecil indeks keseragaman (E)
maka semakin kecil pula keseragaman jenis dalam suatu komunitas, artinya
penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama. Berikut pada Tabel 14
rekapitulasi indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi plankton dan bentos
di perairan Teluk Tamiang.
Tabel 14 Rekapitulasi indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi plankton dan bentos perairan Teluk Tamiang
Kisaran Nilai Indeks Hasil Analisis
Indeks Sumber Acuan Status Perairan
Plankton Fitoplankton Indeks Keanekaragaman
1.095 – 3.605 1.0 – 3.0
> 3.0
Parson et al., (1984)
Perairan stabil (ragam individu cukup besar)
Indeks Keseragaman
0.340 – 0.872 < 1 Odum (1971) Perairan stabil (sebaran individu
merata) Indeks Dominansi 0.069 – 0.799 Mendekati
0 (< 1) Odum (1971) Perairan stabil
(Tidak ada individu yang mendominasi)
Zooplankton Indeks Keanekaragaman
0.942 – 1.916 1.0 – 3.0 Parson et al., (1984)
Perairan stabil (ragam individu cukup besar)
Indeks Keseragaman
0.484 – 0.973 < 1 Odum (1971) Perairan stabil (sebaran individu
merata) Indeks Dominansi 0.151 – 0.557 Mendekati
0 (< 1) Odum (1971) Perairan stabil
(Tidak ada individu yang mendominasi)
Bentos Indeks Keanekaragaman
2.037 – 4.678 3.0 – 4.5
Staub et al., (1992) didalam Tambaru (2000)
Perairan stabil (ragam individu cukup besar)
Indeks Keseragaman
1.513 – 3.251 > 1 Odum (1971) Jumlah individu setiap spesies
sama Indeks Dominansi 0.044 – 0.469 Mendekati
0 (< 1) Odum (1971) Perairan stabil
(Tidak ada individu yang mendominasi)
Bila dilihat dari indeks dominansi bentos di perairan Teluk Tamiang tersebut
memberikan indikasi bahwa tidak ada organisme yang mendominasi, hal ini ditunjukan
dengan nilai indeks dominansi yang mendekati 0 yaitu berkisar antara 0.044 – 0.469.
Menurut Odum (1971), bila indeks dominansi mendekati nilai 1 maka terdapat
organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila indeks dominansi
mendekati 0, maka tidak ada jenis yang dominan. Dari indeks dominansi tersebut yang
mendekati nilai 0, maka dapat dijelaskan bahwa organisme bentos di perairan Teluk
Tamiang dalam keadaan stabil dan kondisi lingkungan relatif baik.
Mengacu pada rekapitulasi pada Tabel 15 diatas dalam menilai kondisi perairan
Teluk Tamiang berdasarkan indeks keanekaragaman,indeks keseragaman dan indeks
dominansi maka dapat disimpulkan secara umum bahwa kondisi perairan dalam
keadaan stabil dan tidak tercemar.
4.3.3. Produktivitas Primer Produktivitas primer didefinisikan sebagai jumlah bahan organik yang dihasilkan
oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik
dari bahan anorganik dengan bantuan energi matahari, dapat dinyatakan dalam
gC/m3/hari. Produktivitas primer dibatasi oleh cahaya, nutrient (unsur hara), dan faktor
hidrografi yaitu paduan semua faktor yang menggerakan massa air laut (arus,
upwelling, dan difusi), struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton (Nybakken,
1992). Nilai produktivitas primer perairan pada dasarnya bergantung pada aktivitas
fotosintesa yang dilakukan oleh fitoplankton, sehingga tinggi dan rendahnya nilai
produktivitas primer mencerminkan kondisi kualitas lingkungan yang merupakan faktor
penentu keberadaan fitoplankton yang meliputi kondisi suhu, salinitas, cahaya
matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien, dan berbagai senyawa lainnya.
Aspek dasar dari cahaya yang penting secara biologi adalah kuantitas dan
kualitas. Kedua karakter ini berfluktuasi di laut, bergantung kepada waktu, ruang,
kondisi cuaca, penyebaran sudut datang termasuk arah perubahan maksimum dan
tingkat difusi dan polarisasi (Parson et al. 1984). Makin dalam penetrasi cahaya
kedalam perairan menyebabkan semakin besar daerah dimana proses fotosintesis
dapat berlangsung, sehingga kandungan oksigen terlarut masih tinggi pada lapisan air
yang lebih dalam (Ruttner 1973 didalam Tambaru, 2007).
Hasil pengukuran produktivitas primer pada masing-masing stasiun
pengamatan di lokasi penelitian setiap bulan pengamatan dari bulan Mei sampai
Oktober 2006 berkisar antara 0.16 gC/m3/hari – 0.18 gC/m3/hari. Nilai produktivitas
pada masing-masing stasiun pengamatan tidak mempunyai perbedaan yang besar
bahkan cenderung seragam (Tabel 15). Hasil analisis varians (Levene’s test) nilai
produktivitas primer baik secara temporal dan spasial ternyata tidak berbeda nyata ((α
= 0.05), hasil analisis ini menunjukan bahwa produktivitas primer dianggap sama
disetiap bulan dan stasiun pengamatan.
Tabel 15 Nilai Produktitivitas primer (gC/m3/hari) perairan Teluk Tamiang
Bulan Pengamatan Stasiun Mei-06 Juni-06 Juli-
06 Agustus-
06 September-
06 Oktober-06
1 0.16 0.16 0.14 0.16 0.14 0.16 2 0.23 0.25 0.16 0.14 0.23 0.16 3 0.16 0.23 0.19 0.12 0.21 0.16 4 0.22 0.18 0.13 0.16 0.16 0.21 5 0.14 0.17 0.14 0.13 0.12 0.23 6 0.15 0.15 0.12 0.14 0.15 0.17 7 0.22 0.20 0.17 0.15 0.20 0.14 8 0.13 0.21 0.21 0.17 0.22 0.14 9 0.21 0.16 0.17 0.19 0.17 0.20 10 0.15 0.13 0.16 0.20 0.15 0.18
Menurut Duxbury et al (1999), berdasarkan nilai produktivitas primer tingkat
kesuburan perairan terbagi dalam 4 klasifikasi, antara lain : (1) nilai produktivitas
primer lebih kecil dari 0.10 gC/m3/hari (< 0.10) diklasifikasikan kesuburan rendah
(Oligotrophic); (2) nilai produktivitas primer kisaran antara 0.10 – 0.20 gC/m3/hari
diklasifikasikan kesuburan sedang (Mesotrophic); (3) nilai produktivitas primer kisaran
antara 0.20 – 0.30 gC/m3/hari diklasifikasikan kesuburan tinggi (Eutrophic); dan (4) nilai
produktivitas primer kisaran > 0.30 gC/m3/hari diklasifikasikan kesuburan sangat tinggi
(Hypertrophic).
Berdasarkan besaran nilai produktivitas primer tersebut, maka perairan Teluk
Tamiang termasuk dalam klasifikasi perairan yang mempunyai produktiviitas primer
perairan dengan tingkat kesuburan sedang (Mesotrophic).
4.4. Karakterisasi Fisika Kimia Perairan Teluk Tamiang Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di lokasi penelitian meliputi
sifat fisika dan kimia perairan antara lain suhu, kedalaman, kecerahan dan padatan
tersuspensi, kecepatan arus dan gelombang, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), BOD5,
COD, Nitrit, Nitrat, Ammonia, dan Orthophosphat dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.4.1. Suhu
Hasil pengukuran suhu perairan selama penelitian diperoleh kisaran suhu rata-
rata harian antara 27.0 – 31.0oC. Sedangkan suhu rata-rata antar stasiun pengamatan
berkisar antara 27.7 – 29.2oC. Hasil pengukuran menunjukan variasi yang relatif kecil
meskipun terjadi perbedaan waktu pengambilan sampel yang berkaitan dengan
intensitas cahaya matahari dan kondisi cuaca. Kondisi suhu perairan yang relatif stabil
ini cukup mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan pada kegiatan budidaya ikan
dalam keramba jaring apung di perairan Teluk Tamiang.
Nybakken (1992), menyatakan bahwa sesuai dengan sifat air, dalam jumlah
yang besar memiliki kisaran fluktuasi suhu yang relatif kecil dan tidak melebihi batas
toleransi organisme. Sebaran data hasil pengukuran suhu antar stasiun pengamatan,
tidak menunjukan kondisi yang dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan (suhu
ekstrim). Nilai suhu pada seluruh stasiun pengamatan tidak berbeda jauh sehingga
masih tergolong normal dan dapat ditolerir oleh biota perairan.
4.4.2. Kedalaman
Kedalaman perairan di lokasi penelitian yang terukur pada setiap stasiun
pengamatan saat pasang berkisar antara 5,6 meter (Stasiun 10 ) sampai 14 meter
(Stasiun 2). Pada saat kondisi surut maka kedalaman perairan pada setiap stasiun
pengamatan berkisar antara 4.5 meter sampai 12.9 meter.
Kedalaman perairan suatu teluk untuk pengembangan budidaya keramba jaring
apung menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan merupakan salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi. Sunyoto (1993), menyatakan bahwa kedalaman
perairan untuk kegiatan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu disyaratkan
berkisar antara 7 – 15 meter.
Bila mengacu pada persyaratan kedalaman tersebut maka perairan Teluk
Tamiang sudah memenuhi persyaratan untuk dijadikan areal pengembangan budidaya
keramba jaring apung ikan kerapu.
4.4.3. Kecerahan dan Padatan Tersuspensi (TSS)
Kecerahan dan padatan tersuspensi (TSS) merupakan parameter-parameter
yang saling berkaitan satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi
berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan. Kedua parameter tersebut mempunyai
peranan penting dalam produktivitas perairan sehubungan dengan proses fotosintesis
dan respirasi biota perairan, serta kualitas perairan.
Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi,
zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Hasil pengukuran kecerahan selama
pengamatan di perairan Teluk Tamiang pada setiap stasiun pengamatan berkisar
antara 3,5 meter (Stasiun 10) – 9 meter (Stasiun 2). Nilai rata-rata kecerahan untuk
setiap stasiun berkisar antara 4.3 meter (Stasiun 10) – 8.6 meter (Stasiun 2).
Berdasarkan kriteria baku mutu Kep-51/MENLH/2004 bagi budidaya perikanan
(biota laut), nilai kecerahan terukur melebihi baku mutu yang diinginkan (> 5 m),
sehingga nilai tingkat kecerahan yang diperoleh selama penelitian masih cukup baik
untuk budidaya KJA ikan kerapu.
Hasil pengukuran nilai padatan tersuspensi (TSS) yang diperoleh selama
penelitian berkisar antara 4.77 – 24.55 mg/l dan rata-rata berkisar antara 4.95 – 24.54
mg/liter. Apabila dibandingkan dengan kriteria baku mutu Kep-51/MENLH/2004, untuk
keperluan perikanan, nilai terukur selama penelitian masih berada dibawah nilai yang
direkomendasikan yaitu kurang dari 25 mg/l (< 25 mg/l).
4.4.4. Kecepatan, Arah Arus dan Gelombang Di perairan pantai terutama di teluk-teluk atau selat yang sempit, gerakan naik
turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus pasang surut dan pada umumnya
arus yang terjadi akibat dari pasang surut sangat kecil (Nontji, 1993.).
Kecepatan arus di lokasi penelitian pada setiap stasiun pengamatan berkisar
antara 0.11– 0.40 m/detik, sedangkan rata-rata berkisar antara 0.12– 0.37 m/detik yang
diukur pada kedalaman 1 meter dari permukaan air.
Menurut Velvin (1999), bahwa kecepatan arus terbagi ke dalam 4 katagori, yaitu
kecepatan arus sangat rendah ( < 0.03 m/detik), kecepatan arus rendah (antara 0.04
s/d 0.06 m/detik), kecepatan arus sedang (antara 0.07 s/d 0.10 m/detik) dan kecepatan
arus tinggi (0.10 – 0.25 m/detik) (Tabel 16)
Tabel 16 Kriteria Kecepatan arus perairan teluk untuk budidaya ikan (Velvin, 1999)
Kisaran Kecepatan Arus Kategori Kecepatan Arus < 0,03 m/detik Sangat rendah 04 s/d 0,06 m/detik Rendah 0.07 s/d 0.10 m/detik Sedang 0.10 – 0.25 m/detik Tinggi
Secara umum kecepatan arus di daerah penelitian tergolong tinggi karena
perairannya relatif terbuka. Kecapatan arus pada saat pasang lebih cepat dari
kecepatan arus pada saat surut. Kecepatan arus pada saat pasang berkisar antara
0.20 – 0.40 m/detik dengan arah masuk kedalam teluk Sedangkan kecepatan arus
pada saat surut berkisar antara 0.15 – 0.17 m/detik dengan arah luar teluk. Ahmad et
al., (1991) dan Akbar et al., (2002), memberikan batasan kisaran nilai kecepatan arus
untuk budidaya ikan kerapu berkisar antara 0.23 – 0.50 m/detik, sehingga sudah
memenuhi persyaratan untuk pengembangan budidaya ikan dalam keramba jaring
apung. Arus yang terjadi di perairan Teluk Tamiang umumnya disebabkan oleh
gerakan pasang surut dan angin yang bertiup dipermukaan perairan.
Selanjutnya Akbar et al., (2002), menyatakan bahwa kecepatan arus air lebih
dari 0.50 m/detik dapat mempengaruhi posisi jaring dan sistem penjangkaran. Arus
yang terlalu kuat dapat menyebabkan bergesernya posisi rakit. Sebaliknya, arus air
yang terlalu kecil dapat mengurangi pertukaran air keluar masuk jaring. Hal ini akan
berpengaruh pada ketersediaan oksigen terlarut dan akan memperlemah kondisi ikan
yang akhirnya akan mudah terserang berbagai penyakit.
Gelombang yang terjadi dilaut umumnya disebabkan oleh hembusan angin.
Besar kecilnya gelombang disebabkan oleh kuat dan lemahnya hembusan angin,
lamanya hembusan dan jarak tempuh angin. Ketinggian gelombang perairan selama
masa penelitian rata-rata kurang dari 0.3 m (< 0.3 m), namun pada bulan Agustus
dapat mencapai 0.6 meter terjadi pada bagian muara atau tubir Teluk Tamiang.
Dari kondisi kecepatan arus dan ketinggian gelombang pada perairan Teluk
Tamiang tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perairan teluk tersebut masih dalam
kondisi yang cukup baik untuk dijadikan lokasi pengembangan budidaya ikan kerapu
dalam keramba jaring apung.
4.4.5. Salinitas Hasil pengukuran salinitas selama penelitian rata-rata berkisar antara 25.9 – 34
yang diukur dari bulan Mei sampai bulan Oktober yakni berada pada pertengahan
musim kemarau dan awal musim hujan, namun tidak menunjukkan variasi yang besar
antar stasiun. Rata-rata salinitas tertinggi (34) terjadi pada stasiun 1 dan 2 namun
salinitas terendah (25.9) terjadi pada stasiun 9 dan 10. Secara umum salinitas
perairan lokasi studi cukup tinggi karena perairan Teluk Tamiang merupakan perairan
relatif terbuka berhubungan langsung dengan laut Jawa dan selat Makasar namun tidak
terjadi fluktuasi salinitas yang cukup tinggi.
Akbar dan Sudaryanto (2002), menyatakan bahwa umumnya ikan kerapu
sangat menyenangi air laut yang mempunyai nilai salinitas antara 30 – 33. Salinitas
pada daerah penelitian berada dalam batas kisaran yang baik untuk pengembangan
budidaya ika kerapu dalam keramba jaring apung.
4.4.6. Derajat Keasaman (pH) Air Kondisi perairan dengan pH netral sampai sedikit basa ideal untuk kehidupan
ikan air laut. Suatu perairan yang ber-pH rendah dapat mengakibatkan aktivitas
pertumbuhan menurun atau ikan menjadi lemah serta lebih mudah terinfeksi penyakit
dan biasanya diikuti dengan tingginya tingkat kematian. Ikan kerapu akan baik
pertumbuhannya bila dipelihara pada perairan dengan pH berkisar antara 8,0 sampai
8,2 (Akbar dan Sudaryanto, 2002).
Nilai pH yang diperoleh pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 7.15 –
8.35 sedangkan rata-ratanya berkisar antara 7.73 – 8.24 (Gambar 18). Nilai ini
menggambarkan bahwa perairan tersebut cenderung bersifat alkalis. Jika
dibandingkan dengan baku mutu pH perairan laut berdasarkan Kep-51/MENLH/2004,
nilai pH yang terukur masih berada dalam kisaran yang diinginkan yaitu 6.5 – 8.5, maka
dapat dikatakan bahwa pH perairan Teluk Tamiang masih cukup baik bagi kehidupan
biota perairan.
4.4.7. Oksigen Terlarut (O2) Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada keadaan
suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kelarutan oksigen didalam air
berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian/altitude dengan
berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996 di dalam Effendi, 2003).
Menurut Connel and Miller (1995), pencemaran dari limbah organik juga dapat
menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam perairan. Lee et al. (1978),
mengatakan bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan
sebagai indikator kualitas perairan dan terbagi dalam empat kategori, yaitu : Kadar
oksigen terlarut antara 1) > 6.5 (mg/l) kotegori tidak tercemar sampai tercemar sangat
ringan; 2) kadar oksigen terlarut antara 4.5 – 6.4 termasuk kategori tercemar ringan;
3) kadar oksigen terlarut antara 2.0 – 4.4 termasuk kategori tercemar sedang; dan 4)
dan kadar oksigen terlarut lebih kecil dari 2.0 (< 2.0) termasuk dalam kategori tercemar
berat (Tabel 17).
Tabel 17 Kriteria pencemaran perairan berdasarkan nilai DO (Lee et al., 1978)
Kisaran konsentrasi DO Status Perairan > 6.5 (mg/l) Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 4.5 – 6.4 mg/l Tercemar ringan 2.0 – 4.4 mg/l Tercemar sedang < 2.0 mg/l Tercemar berat
Hasil pengukuran selama penelitian menunjukan kisaran oksigen terlarut antara
5.5 – 8.2, dengan nilai rata-rata setiap stasiun pengamatan antara 5.8 – 7.7mg/liter
yang diukur pada jam 07.00, 12.000, dan 17.00. Berdasarkan kondisi oksigen terlarut
yang terukur selama penelitian dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Tamiang
termasuk dalam kategori perairan yang tidak tercemar sehingga masih relatif baik
untuk bagi kehidupan biota akuatik dan pengembangan budidaya ikan kerapu dalam
keramba jaring apung.
4.4.8. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/BOD5)
Secara tidak lagsung, BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu
jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi bahan organik
menjadi karbondioksida dan air (Davis and Cornwell (1991) didalam Effendi (2003).
Selanjutnya menurut Boyd (1990), BOD5 didefenisikan sebagai jumlah oksigen yang
dikonsumsi oleh proses respirasi bakteri aerob dalam botol yang diinkubasi pada suhu
sekitar 20oC selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya.
BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan.
Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh
bahan organik. Bahan organik akan diuraikan secara biologik dengan melibatkan
bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat
menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat
terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan
kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) menyatakan bahwa tingkat pencemaran
suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD5-nya terbagi dalam empat tingkatan
kategori antara lain : nilai BOD5 kurang dari 2,9 mg/lt (<2.9) kategori tidak tercemar;
nilai BOD5 antara 3.0 – 5.0 mg/lt kategori tercemar ringan; nilai BOD5 antara 5.1 – 14.9
mg/lt kategori tercemar sedang; dan nilai BOD5 lebih besar atau sama dengan 15 mg/lt
(> 15) termasuk kategori tercemar berat (Tabel 18).
Tabel 18 Kriteria pencemaran berdasarkan nilai BOD5 (Lee et al., 1978)
Kisaran Nilai BOD5 Status Perairan Kurang dari 2.9 mg/lt (<2.9 mg/l) Tidak tercemar 3.0 – 5.0 mg/lt Tercemar ringan 5.1 – 14.9 mg/lt Tercemar sedang Lebih besar atau sama dengan 15 mg/lt (> 15 mg/l) Tercemar berat
Hasil pengukuran BOD5 selama penelitian berkisar antara 10.55 – 15.85 mg/lt,
sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara 12.63 – 15.49
mg/lt.
Derajat pencemaran berdasarkan nilai BOD5 dengan kisaran antara 5.32 –
15.65 mg/liter diartikan bahwa perairan Teluk tamiang berada dalam kondisi tercemar
sedang. Jika mengacu pada baku mutu Kep-51/MENLH/2004 (<25 mg/liter) untuk
keperluan perikanan, kisaran nilai BOD5 yang terukur pada saat penelitian masih dalam
keadaan baik dan belum melewati nilai ambang batas yaitu masih lebih kecil dari 25
mg/liter.
4.4.9. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD) Keberadaan bahan organik berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah
tangga dan aktivitas peternakan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak
diinginkan bagi kepentingan perikanan. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar
kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat mencapai lebih
dari 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter
(UNESCO/WHO/UNEP (1992) didalam Effendi (2003). Hasil pengukuran COD selama
penelitian berkisar antara 20,55 mg/liter (stasiun 1) – 77.98 mg/liter (stasiun 10).
Sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara 24.21 mg/liter (stasiun 1) –
72.38 mg/liter (stasiun 10).
Jika dibandingakn dengan baku mutu Kep-51/MENLH/2004 untuk keperluan
perikanan, kisaran nilai COD yang terukur pada saat penelitian masih dalam keadaan
baik dan belum melewati nilai ambang batas maksimal yaitu lebih kecil dari 80 mg/liter
artinya perairan Teluk Tamiang belum mengalami pencemaran.
4.4.10. Nitrit
Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara ammonia dan nitrat
(pada proses nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (pada proses denitrifikasi).
Denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Pada proses denitrifikasi, gas N2 yang
dapat terlepas dilepaskan dari dalam air ke udara. Keberadaan nitrit menggambarkan
berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar
oksigen terlarut rendah (Effendi, 2003).
Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan
oksigen. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/liter dan sebaiknya tidak
melebihi 0.06 mg/liter (Canadian Council of Resources and Environment Minister, 1987
didalam Effendi, 2003). Kadar nitrit yang melebihi dari 0,05 mg/liter dapat bersifat
toksik bagi organisme perairan yang sensitif.
Hasil pengukuran nitrit selama penelitian berkisar antara 0.002 – 0.045 mg/lt.
Sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara 0,002 – 0,025 mg/liter,
maka dapat diartikan bahwa nilai nitrit pada perairan Teluk Tamiang masih dalam batas
yang cukup aman bagi biota laut.
4.4.11. Nitrat
Nitrit (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen mudah larut
dalam air dan bersifat stabil (Effendi, 2003). Senyawa ini dihasilkan dari proses
oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses
oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus
nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan
oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh
bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu
bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi.
Hasil pengukuran nitrat selama penelitian berkisar antara 0.015 – 0.635 mg/lt,
sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara 0.061 – 0.443
mg/liter.
Bila suatu perairan menunjukan kadar nitrat lebih dari 5 mg/liter (> 5 mg/liter),
maka perairan tersebut telah terjadi pencemaran antropogenik yang berasal dari
aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0.2 mg/liter
dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya
menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Pada
perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung
pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mg/liter.(Davis dan Cornwell, 1991 didalam
Effendi, 2003).
Kandungan nitrat yang terdapat dalam suatu perairan, dapat dikelompokan
berdasarkan tingkat kesuburan, yakni perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0
– 1 mg/liter, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/liter, dan perairan
eutrofik memiliki kadar nitrat berkisar antara 5 – 50 mg/liter (Volenweider, 1969 dan
Wetzel, 1975 didalam Effendi, 2003).
Hal ini berarti bahwa nilai nitrat pada perairan Teluk Tamiang masih dalam
batas yang cukup aman bagi biota laut meskipun mengarah terjadinya eutrofikasi
(pengayaan) perairan tetapi tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik .
4.4.12. Ammonia (NH3N) Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (McNeely
et al., 1979 didalam Effendi, 2003). Kadar amonia yang tinggi merupakan indikasi
adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, dan limpasan
(run-off) pupuk pertanian dan peternakan.
Hasil pengukuran ammonia selama penelitian berkisar antara 0.022 – 0.238
mg/lt, sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara 0.031 –
0.149 mg/liter.
Hal ini berarti bahwa nilai ammonia pada perairan Teluk Tamiang masih dalam
batas yang cukup aman bagi biota laut dan tidak bersifat toksik terhadap organisme
akuatik serta mengindikasikan belum terjadinya pencemaran bahan organik yang
berasal dari limbah domestik, dan peternakan.
4.4.13. Ortophosphat Berdasarkan kadar ortophosphat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu ;
perairan oligotrofik yang memiliki kadar ortophosphat 0.003 – 0.01 mg/liter; perairan
mesotrofik memiliki kadar ortofosfat 0.011 – 0.03 mg/liter ; dan perairan eutrofik
memiliki kadar ortophosphat 0.031 – 0.1 mg/liter (Vollenweider dalam Wetzel, 1975
didalam Effendi, 2003. Hasil pengukuran ortophosphat selama penelitian berkisar
antara 0.026 – 0.234 mg/lt, sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun
berkisar antara 0,043 – 0,145 mg/liter.
Hal ini berarti bahwa nilai fosfor pada perairan Teluk Tamiang termasuk dalam
perairan mesotrophyc dengan tingkat kesuburan sedang.
Rangkuman hasil analisis parameter kualitas perairan yang meliputi aspek
biologi, fisika dan kimia perairan sebagai indikator kualitas perairan untuk menyatakan
status dan tingkat pencemaran dan kesuburan perairan Teluk Tamiang disajikan pada
Tabel 19.
Tabel 19 Rangkuman penilaian kondisi parameter biologi dan fisika-kimia perairan yang diperoleh selama penelitian di Teluk Tamiang.
Baku Mutu Perairan Untuk Biota Laut
Paramater Kisaran Rata-rata Dipersyaratkan Keterangan Biologi Perairan Plankton Fitoplankton - Indeks Keanekaragman - Indeks Keseragaman - Indeks Dominasi
1.09 – 3.65 0.34 – 0.87 0.07 – 0.79
- - -
1.0-3.0*) , >3,0
- -
Perairan Stabil (Tidak
tercemar/ringan)
Zooplankton - Indeks Keanekaragaman - Indeks Keseragaman - Indeks Dominasi
0.94 – 1.92 0.48 – 0.97 0.15 – 0.56
- - -
1.0 – 3.0*), >3.0
- -
Perairan Stabil
(Tidak tercemar/ ringan)
Bentos - Indeks Keanekaragaman - Indeks Keseragaman - Indeks Dominasi
2.04 – 4.68 1.51 – 3.25 0.04 – 0.47
- - -
3.0 – 4.5*)
- -
Tercemar
sangat ringan
Produktivitas Primer (gC/m3/hari)
0.15 – 0.19 0.16 – 0.18 0.10 – 0.20****) Kesuburan Sedang
Fisika Perairan Suhu air (oC) 25.7 – 30.4 27.8 – 29.2 26 – 32***) Memenuhi Kedalaman (m) 6 – 14 4.9 – 12.5 7 – 15***) Memenuhi Kecerahan (m) 4 – 10 5 – 8,5 > 5**) Memenuhi Kekeruhan (NTU) 0.72 – 2.82 1.63 – 2.10 < 5**) Memenuhi Padatan Tersuspensi (TSS) (mg/l)
4.76 – 37.45 12.18 – 24.35 < 25**) Memenuhi
Kecepatan Arus (m/detik)
0.20 – 0.40 0.15 – 0.40 0.20 – 0.50***) Memenuhi
Substrat dasar Pasir karang Pasir karang Pasir karang***) Memenuhi Gelombang (m) 0 – 0.6 0.2 – 0.4 < 0.6***) Memenuhi Kimia Perairan Salinitas (ppt) 32.5 – 36.0 34.0 – 35.5 31.0 – 34.0***) Memenuhi Derajat Keasaman (pH) 7.80 – 8.54 7.87 – 8.04 7.0 – 8.5**) Memenuhi Oksigen Terlarut (DO) (mg/l)
5.30 – 8.23 5.64 – 8.02 > 5**) Memenuhi
BOD5 (mg/l) 5.32 – 15.65 5.63 – 13.78 < 25**) Memenuhi COD (mg/l) 18.76 – 77.94 24.67 – 68.45 < 40 – 80**) Memenuhi Nitrit (mg/l) 0.002 – 0.045 0.002 – 0.025 Nihil**) Memenuhi Nitrat (mg/l) 0.094 – 0.659 0.117 – 0.576 - Memenuhi Ammonia total (NH3-N) (mg/l)
0.024 – 0.198 0.042 – 0.192 < 0.3 – 1**) Memenuhi
Orthophosphat (mg/l) 0.026 – 0.234 0.043 – 0.145 - Memenuhi Keterangan : *) Parson et al (1984); Staub et al., (1992) didalam Tambaru (2000)
**) Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan (Biota laut) menurut Kep-51/MENLH/2004, ***) Juknis Budidaya Ikan Kerapu dalam KJA (Ditjenkanbud DKP, 2004)
****) Duxbury et al., (1999)
4.5. Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan Penentuan luas perairan yang sesuai bagi pengembangan budidaya KJA
dilakukan dengan aplikasi perangkat Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan operasi
tumpang susun (overlay) dari masing-masing peta tematik yang ditentukan. Hasil
overlay peta-peta tematik tersebut beserta dengan kriteria kelayakan/kesesuaian dari
Tiensongrusmee et al., (1986) didalam Sunyoto (1993) atau dikenal dengan analisa
kelayakan/kesesuaian dengan pembobotan (scooring method) akan menghasilkan
lokasi potensial untuk budidaya kerapu sistem KJA beserta dengan tingkatan
kelayakan/kesesuaiannya. Berikut kriteria kelayakan/kesesuaian perairan untuk
budidaya KJA Ikan Kerapu disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Kriteria kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu
No.
Parameter-Parameter
s1 (Kesesuaian
Tinggi)
s2 (Kesesuaian
Sedang)
s3 (Kesesuaian
Rendah)
N (Tidak
Sesuai) 1 Kedalaman (meter) >10 7-9 4-6 <4 2 Keterlindungan
terhadap gelombang/angin besar)
Sangat terlindung (<0,5 m)*
Terlindung (<0,5 m)*
Agak terbuka (>0,5 m)*
Terbuka (>0,5 m)*
3 Suhu (oC) 29 - 30 27 - 28 25 - 26 > 30/<25 4 Salinitas (promil) 31 - 34 29 - 30 25 – 27/33 -
35 < 25/>35
5 Substrat Dasar Pasir, karang berpasir
Pasir berkarang
Pasir berlumpur
Berlumpur
6 Kecerahan (meter) 6 - 10 3 - 5 0 - 2 0 7 Oksigen terlarut 7 - 8 6 – 7/>8 5 - 6 <5 8 Kecepatan Arus
(cm/dt) 21 - 40 16 - 21 13 - 15 <12
Keterangan : *) ketinggian gelombang Sumber acuan : Tiensongrusmee et al (1986) didalam Sunyoto (1993)
Hasil penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA Ikan Kerapu
disajikan pada Tabel 21, 22, 23 dan Lampiran 7) berikut :
Tabel 21 Sistem penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA Ikan Kerapu.
Nilai skor dan Tingkat Kesesuaian dan Rentang nilai Parameter Hasil Pengukuran
No Parameter Bobot 4 (Tinggi)
3 (Sedang)
2 (Rendah)
1 (Tidak
Sesuai)
Nilai Kelayakan Parameter
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (Bobot x Skor)
1 Kedalaman (meter)
5 >10 7-9 4-6 <4 -----
2 Keterlindungan terhadap gelombang/ angin besar)
4 Sangat terlindung (<0,5 m)*
Terlindung (<0,5 m)*
Agak terbuka
(>0,5 m)*
Terbuka (>0,5 m)*
-----
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 26 - 27 24 - 25 > 30/<24 ----- 4 Salinitas
(promil) 3 31 - 34 29 - 30 25 – 27/
34 - 35 < 25/>35 -----
5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir
Pasir berkarang
Pasir berlumpur
Berlumpur -----
6 Kecerahan (meter)
3 6 - 10 3 - 5 0 - 2 0 -----
7 Oksigen terlarut
3 7 - 8 6 – 7/>8 5 - 6 <5 -----
8 Kecepatan Arus (cm/dt)
3 21 - 40 16 - 20 13 - 15 <12 -----
Total Nilai ∑ Bobot x Skor
Keterangan : *) ketinggian gelombang
Tabel 22 Rekapitulasi rata-rata nilai parameter kualitas lingkungan hasil pengamatan
untuk budidaya ikan kerapu pada setiap stasiun. Stasiun dan Nilai Parameter Pengamatan
Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kedalaman (meter) 10,0 14,0 10,5 7,1 6,9 6,7 4,6 4,6 4,6 4,5 Ketinggian Gelombang (m) 0.42 0.45 0.40 0.42 0.31 0.30 0.25 0.28 0.21 0.19 Suhu (oC) 28 27,8 28 28,8 27,8 28,2 29 29,1 29,1 29,2 Salinitas (promil) 33,5 34 34 32 33 33 29,8 28,9 27,5 25,9 Substrat Dasar PK PK PK PB PB PB PB PB PB PB Kecerahan (meter) 7,7 8,6 8,1 6,1 5,9 5,7 4,4 4,4 4,5 4,3 Oksigen terlarut (ppm) 7,0 7,7 6,1 6,9 6,8 6,5 6,5 6,6 6,2 5,8 Kecepatan Arus (cm/dt)
39 37 32 34 33 34 22 24 19 12
Keterangan : PK : Pasir Karang; PB : Pasir Berlumpur
Tabel 23 Rekapitulasi nilai perkalian bobot dan skor pada setiap stasiun pengamatan (10 stasiun)
Stasiun Pengamatan Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kedalaman (meter) 20 20 20 20 20 20 10 10 10 10 Keterlindungan terhadap gelombang/angin besar)
16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
Suhu (oC) 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 Salinitas (promil) 12 12 12 12 12 12 9 9 9 9 Substrat Dasar 12 12 9 9 9 9 6 6 6 6 Kecerahan (meter) 12 12 12 12 9 9 9 9 9 9 Oksigen terlarut 12 12 9 9 9 9 9 9 9 6 Kecepatan Arus (cm/dt) 12 12 12 12 12 12 12 12 9 6 Total Nilai 105 108 105 102 99 99 83 83 80 74
Hasil analisis tingkat kelayakan/kesesuaian lahan perairan tersebut
menunjukkan posisi lahan-lahan perairan potensial untuk budidaya kerapu di perairan
Teluk Tamiang dengan tingkat kelayakan/kesesuaian yang berbeda-beda. Tingkat
kelayakan/kesesuaian yang berbeda ini disebabkan nilai parameter-parameter
lingkungan yang digunakan dalam melakukan analisis overlay tidaklah sama sesuai
gambaran atau nilai yang didapat saat pengambilan data, sehingga dengan batasan
perhitungan evaluasi kelayakan/kesesuaian yang dipakai akan terdapat beberapa
tingkat kelayakan/kesesuaian dapat menggambarkan kemampuan lahan perairan di
dalam mendukung kegiatan pengembangan budidaya KJA ikan kerapu. Karakteristik
masing-masing perairan berdasarkan kondisi kelayakan/kesesuaiannya antara lain :
(1) Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian tinggi (S1) perairan
yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk dikelola atau hanya
mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap
produksi dan tidak akan meningkatkan masukan yang telah biasa diberikan;
(2) Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian sedang (S2) adalah
perairan yang mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan
tingkat pengelolaan yang diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi
atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan;
(3) Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian rendah (S3) adalah
perairan yang mempunyai pembatas yang besar untuk mempertahankan
tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi
produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan;
(4) Kondisi perairan tidak sesuai (N) adalah perairan yang mempunyai pembatas
yang lebih besar tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat
dimanfaatkan untuk pengelolaan yang lestari dalam jangka panjang (FAO,
1976 didalam Hardjowigeno et al., 2001).
Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian tinggi (S1) merupakan
kondisi perairan yang ideal dan produktif dibanding kondisi tingkat
kelayakan/kesesuaian yang lain dengan asumsi bahwa sistem budidaya yang
diterapkan sama.
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai selang klas 8.5 dengan kisaran total nilai
pada masing-masing tingkat kelayakan/kesesuaian sebagai berikut : (1) tingkat
kelayakan/kesesuaian tinggi (S1) mempunyai rentang total nilai dari 99.5 sampai
dengan 108; (2) tingkat kelayakan/kesesuaian sedang (S2) mempunyai rentang total
nilai dari 90,9 sampai dengan 99.4; (3) Tingkat kelayakan/kesesuaian rendah (S3)
mempunyai rentang total nilai 82.3 sampai dengan 90.8; dan (4) tidak sesuai (N)
mempunyai rentang total nilai < 82.2.
Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 23, maka posisi tingkat
kelayakan/kesesuaian dari setiap stasiun disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24 Tingkat kelayakan/kesesuaian perairan setiap stasiun pengamatan
Tingkat Kelayakan/Kesesuaian Stasiun Pengamatan S1 S2 S3 N
Stasiun 1 * Stasiun 2 * Stasiun 3 * Stasiun 4 * Stasiun 5 * Stasiun 6 * Stasiun 7 * Stasiun 8 * Stasiun 9 * Stasiun 10 *
Hasil perhitungan tingkat kelayakan/kesesuaian dari 10 stasiun pengamatan,
masing-masing stasiun pengamatan berada pada lokasi dengan tingkat
kelayakan/kesesuaian yang berbeda-beda. Stasiun 1 s/d 4 berada pada tingkat
kelayakan/kesesuaian tinggi (S1), stasiun 5 s/d 6 berada pada tingkat
kelayakan/kesesuaian sedang (S2), stasiun 7 dan 8 berada pada tingkat
kelayakan/kesesuaian rendah (S3), stasiun 9 dan 10 berada pada kondisi tidak
layak/sesuai (N).
Selanjutnya untuk mendapatkan luasan perairan yang sesuai dengan kriteria
kelayakan/kesesuaian, maka dilakukan proses analisis dengan bantuan piranti lunak
program Arc View versi 3.3 dengan dua cara, antara lain :
1. Dari polygon yang ada setelah proses interpolasi dan tumpang susun (overlay)
masing-masing peta tematik (Gambar 14), selanjutnya dilakukan klasifikasi data
tabular untuk menghitung luasan (m2) dengan rumus yaitu : pilih [shape] dan klik
return area. Kemudian untuk menghitung keliling (m) dengan rumus yaitu : pilih
[shape] dan klik return length.
2. Dengan menggunakan ekstensi Arc View versi 3.3 yaitu dengan memilih (klik) ex
tools, kemudian klik update area, parimeter, hectare, dan length, kemudian pilih
file (data tabular) yang akan dicari luasannya.
Dari hasil analisis secara spasial didapatkan luasan perairan Teluk Tamiang
berdasarkan 4 (empat) tingkatan kelayakan/kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 25 dan
Gambar 13 s/d 15 berikut :
Tabel 25 Luas perairan Teluk Tamiang potensial untuk budidaya KJA Ikan Kerapu
Keterangan Areal Luas (m2) Prosentase (%) Kelayakan/Kesesuaian Tinggi (S1) 3.851.000 16,8Kelayakan/Kesesuaian Sedang (S2) 9.975.000 43,6Kelayakan/Kesesuaian Rendah (S3) 3.046.700 13,3Tidak Layak/Sesuai (N) 6.025.300 26,3Total 22.898.000 100,0
Gambar 13 Peta tematik kondisi fisik perairan Teluk Tamiang
Kecerahan Kedalaman
Salinitas Oksigen Terlarut (DO)
Substrat Dasar Suhu
Kecepatan Arus Ketinggian Gelombang
Gambar 14 Peta kelayakan/kesesuaian perairan untuk pengambangan budidaya KJA Ikan Kerapu
Gambar 15 Diagram perbandingan tingkat kelayakan/kesesuaian areal budidaya KJA Ikan Kerapu di perairan Teluk Tamiang
Kesesuaian Tinggi (385,1
Ha)17%
Tidak Sesuai (602,59 Ha)
26%Kesesuaian
Rendah (304,67 Ha)13%
Kesesuaian Sedang (997,5
Ha)44%
4.6. Keragaan Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptis altivelis) dalam Keramba Jaring Apung
Pemeliharaan ikan kerapu bebek dalam KJA berlangsung selama 6 bulan (180
hari) dalam keramba jaring apung (KJA) yang berukuran 3 x 3 x 2,5 m, jumlah ikan
yang ditebar sebanyak 450 ekor dengan tingkat kepadatan 20 ekor/m3. Selama masa
pemeliharaan terjadi pertambahan bobot biomassa ikan dari 162 kg/KJA menjadi 237,6
kg/KJA dengan rata-rata pertambahan berat harian sebesar 0,96 gr/hari atau besar
28,8 gr/bulan, rasio konversi pakan (RKP) sebesar 5,9 dan sintasan mencapai 100%
dengan jumlah pakan sebanyak 1.406,3 kg (Tabel 26). Bila dibandingkan dari hasil
penelitian Tatam Sutarmat et al (2003) rasio konversi pakan (food convertion ratio)
pada penelitian ini relatif lebih tinggi dan pertumbuhan harian lebih besar yaitu dengan
laju pertumbuhan sebesar 0,80 gr/hari dengan RKP sebesar 5,85.
Tabel 26 Hasil pemeliharaan ikan kerapu bebek dalam KJA selama 180 hari
Komponen Pemeliharaan hari ke - 0 30 60 90 120 150 180 Jumlah ikan (ekor/KJA) 450 450 450 450 450 450 450 Bobot (gr/ekor) 360 393 423 450 477 504 528 Biomass (kg/KJA) 162 176.9 190.4 202.5 214.3 226.8 237.6 Sintasan (%) 100 100 100 100 100 100 100 Pakan % BW 4 4 4 4 4 4 - Jumlah pakan (kg) - 194.4 212.3 228.5 242.5 257.0 271.6 Pertmbuhan harian - 1.1 1.0 0.9 0.9 0.9 0.96 LPH (gr/hari) 0.96 RKP 5.9
Dari perbandingan keragaan pertumbuhan ikan kerapu diatas, maka nampak
bahwa pertumbuhan ikan kerapu pada penelitian ini cukup baik. Pertumbuhan ikan
yang dipelihara dalam keramba jaring apung dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik
(Chua dan Teng, 1979 didalam Tatam Sutarmat et el., 2003). Diantara faktor-faktor
tersebut mutu dan jenis pakan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan
produksi, konversi pakan, dan sintasan.
Ikan kerapu adalah jenis ikan karnivora yang memerlukan pakan dengan
kandungan protein yang cukup tinggi. Kebutuhan protein ikan kerapu bebek adalah
54.2% (Giri et al., 1999). Kandungan protein dalam pakan dapat mempengaruhi tinggi
rendahnya pertumbuhan ikan. Pemanfaatan protein bagi pertumbuhan ikan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran/umur, kualitas protein, kandungan
energi pakan, keseimbangan gizi, dan tingkat pemberian pakan (Furnichi, 1988).
4.7. Pendugaaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari kegiatan Budidaya (Internal Loading) Dari hasil kegiatan pemeliharaan ikan kerapu selama 180 hari dengan padat
tebar ikan sebanyak 20 ekor m-3 (450 ekor/keramba) dengan berat awal ikan rata-rata
360 gr/ekor yang dipelihara dalam 1 unit keramba menghasilkan produksi ikan 0.238
ton ikan (237.6 kg) membutuhkan jumlah pakan sebanyak 1.405.3 kg dengan rasio
konversi pakan (RKP) 5.9.
Berdasarkan hasil sampling sisa pakan dan feses ikan kerapu, diperoleh rata-
rata pakan yang tidak dimakan (sisa pakan) yaitu sebesar 18% (253,1 kg) dari total
pakan yang diberikan (1.406.3 kg), sedangkan jumlah feses yang dihasilkan sebesar
39.4% (454.4 kg). Sehingga total limbah yang masuk ke perairan Teluk Tamiang yang
berasal dari kegiatan budidaya ikan selama 180 hari sebesar 707.5 (50.3%) (Tabel 27,
Lampiran 8).
Tabel 27 Nilai parameter penentuan beban limbah budidaya Ikan Kerapu dalam keramba jaring apung di perairan Teluk Tamiang
No Parameter yang dianalisa Nilai 1 Rasio Konversi Pakan (FCR) 5.9 2 Kandungan N Pakan (%) 12.6 3 Kandungan P Pakan (%) 2,6 4 Bobot awal ikan (gr/ekor) 360 5 Bobot akhir ikan (gr/ekor) 528 6 Jumlah pakan yang dibutuhkan (kg) 1.406.3 7 Jumlah pakan yang terbuang (18%) 253.1 8 Kebutuhan N untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 145.4 9 Kebutuhan P untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 29.9
10 Kecernaan N Pakan (%) 81.0 11 Kecernaan P Pakan (%) 57.5 12 Retensi N (%) 26.1 13 Retensi P (%) 23.8 14 Jumlah feses yang dihasilkan oleh 1 ton ikan
(39,4%) 454.4 kg/ton ikan
Untuk memproduksi 237,6 kg ikan dibutuhkan sebanyak 1.406.3 kg pakan rucah
(FCR 5.9). Hasil analisis proximat didapatkan kandungan N pakan ikan rucah
sebanyak 177.2 kg dan 36.6 kg P. Dari total pakan yang diberikan didapatkan
sebagai pakan yang tidak termakan (uneatenfood) sebanyak 253.1 kg (18%) dengan
jumlah N sebanyak 31.9 kg dan 6.6 kg P. Sedangkan jumlah pakan yang dimakan
(eaten food) sebanyak 1.153.7 kg (82%), dengan N sebanyak 145.4 kg dan 29.9 kg P,
yang terbuang melalui feses sebanyak 454.4 kg (39.4%) dengan N sebanyak 27.6 kg
(15.6%) dan P sebanyak 12.7 kg (34.8%), sedangkan dibuang melalui ekskresi (urine)
dan panas sebanyak 114.7 kg N dan 13.1 kg P (35.9%) serta yang tersimpan dalam
daging sebanyak 30.7 kg N (17.3%) dan 4.1 kg P (11.2%). Maka beban limbah yang
masuk ke perairan (loading) adalah sebesar 174.2 kg N dan 32.4 kg P. Total bahan
organik partikel yang dihasilkan sebesar 707.5 kg (50.3%) dari total pakan sebanyak
1.406.3 kg (Tabel 28 dan 29).
Tabel 28 Nilai Hasil Pendugaan Kuantifikasi Total N dan P dari pakan yang diberikan
Parameter Jumlah (kg)
N (kg/ton ikan)
P (kg/ton ikan)
Pakan yang diberikan 1.406.3(100%) 177.2 (100%) 36.6 (100%) Pakan yang dimakan (eaten food)
1.153.7 (82%) 145.4 (82.1%) 29.9(81.9%)
Pakan yang terbuang (uneaten food)
253.1(18%) 31.9 (18.0%) 6.6 (18.1%)
Feses 454.4 (39,4%) 27.6 (15.6%) 12,7 (34.8%) Retensi - 30,7 (17.3%) 4.1 (11.2%) Ekskresi (terlarut) - 114.7 (64.7%) 13.1 (35.9%) Total limbah 707.5 (50,3%) 174.2 (98.3%) 32.4 (88.8%) Tabel 29 Alur pemanfaatan N dan P pakan oleh ikan kerapu bebek
Pakan Segar/Rucah
Retensi Feses Ekskresi Uneaten food
Beban limbah
Per 237.9 kg Ikan Produksi 177.2 kg N (12.6%) 36.5 kgP (2.6%)
30.7 kgN (17.3%) 4.1 kg P (11.2%)
27.6 kgN (15.6%) 12.7 kg P (34.8%)
114.7 kg N (64.7%) 13.1 kg P (35.9%)
31.9 kg N (18.0%) 6.6 kg P (18.1%)
174.2kgN (98.3%) 32.4 kg P (88.8)
Dari hasil estimasi besaran limbah bahan organik yang dihasilkan yaitu sebesar
707.5 kg /ton ikan produksi atau sebesar 50.3% dari total pakan segar/rucah yang
digunakan, lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan dengan pakan komersil yaitu
hanya sebanyak 30% dari pakan menjadi limbah bahan organik (McDonald et al.,
1996). Persentase nilai tersebut menunjukkan adanya perbedaan besarnya limbah
yang masuk ke dalam perairan dari dua jenis pakan yaitu pakan rucah dan pakan
komersil (pellet).
Hasil penelitian Usman et al., (2002), terhadap ikan kerapu bebek (Cromileptes
altivelis) mendapatkan total N dan P mencapai 138,4 kgN/ton produksi atau 81,89%
dari total N pakan dan 29,6 kgP/ton produksi atau 87,83% dari total P pakan. Beban
limbah dari pakan komersil mengandung N sebesar mencapai 7.68% N dan kandungan
P pakan 1.53% P dengan konversi pakan 3,2. Bila dibandingkan dengan hasil
penelitian ini dengan menggunakan pakan segar/rucah yang mengadung 12.6% N dan
2.6% P dan konversi pakan 5.8, maka terlihat perbedaan dimana penggunaan pakan
segar/rucah menghasilkan beban limbah N dan P yang lebih besar. Adanya
perbedaan ini diduga disebabkan oleh kandungan protein yang berbeda antara jenis
pakan komersil dengan pakan rucah/segar. Hasil penelitian Tatam Sutarmat et al.,
(2003), menyatakan bahwa dari hasil uji proximat pakan ikan segar/rucah mempunya
kadar protein sebesar 58.64%, sedangkan pakan komersil hanya 44.7%. Namun bila
dilihat dari keseimbangan unsur-unsur nutrisi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan
mineral) maka pakan komersil memiliki nilai nutrisi terbaik karena ditambahkan mineral
dan vitamin campuran, sedangkan pada pakan ikan segar/rucah walaupun memiliki
nilai protein dan energi cukup tinggi tetapi ditinjau dari keseimbangan nilai nutrisi
adalah kurang seimbang, karena kecukupan vitamin dan mineral dalam ransum sangat
mempengauhi metabolisme tubuh.
Bila diperbandingkan antara performance pakan komersil dan pakan
alami/rucah terhadap pertumbuhan ikan terlihat tidak ada perbedaan, namun dampak
terhadap lingkungan dari limbah pakan yang terbuang ke perairan cukup berbeda, hal
ini terlihat dari efisiensi pakan. Pakan komersil mempunyai efisiensi pakan sebesar
65.29%, sedangkan pakan alami/rucah mempunyai efisiensi 17.96% sehingga pakan
rucah diduga lebih memberikan dampak negatif lebih besar terhadap lingkungan dari
pada pakan komersil (Tatam Sutarmat et el, 2003).
4.8. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Eksternal Loading)
Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada didaratan
mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Land Ocean
Interactionin the Coastal Zone (LOICZ) Project (Malou San Diego-
McGlone,www.nest..su.se/MNODE/Methode/powerpoint/wasteload4/ppt.htm). Hasil
identifikasi jenis dan tingkatan aktivitas serta pendugaan beban limbah antropogenik
disekitar Teluk Tamiang terdiri dari kegiatan rumah tangga dan peternakan diuraikan
pada Tabel 30 berikut.
Tabel 30 Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang
Jenis Aktivitas Koefisien Limbah
Tingkatan Aktivitas
Total N (kg/th)
Total P (kg/th)
Ket.
Rumah tangga 1. Limbah
padat 2. Sampah 3. deterjen
1.86 kg N/org/th
0.37 kg P/org/th4 kg N/org/th1 kg P/org/th1 kg P/org/th
205 orang
381.3
820
75,9
205 205
1 2 3 3 3
Jumlah 1.201.3 485.9 Peternakan 1. Sapi 2. Kambing 3. Ayam
43.8 kg N/ekr/th11.3 kg P/ekr/th
4 kg N/ekor/th21.5 kP/ekor/th
0.3 kg N/ekor/th0.7 kg P/ekor/th
12 ekor12 ekor18 ekor18 ekor65 ekor65 ekor
525.6
72
19.5
135.6
387
45.5
4 4 4 4 5 5
Jumlah 617.1 568.1 Jumlah Total
1.818.4 1.054
Sumber Pustaka : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993); 4) WHO (1993); 5) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (2006)
Hasil analisis menunjukan bahwa aktivitas yang berkontribusi besar adalah
kegiatan peternakan dan rumah tangga. Jumlah penduduk yang berdomisili di sekitar
Teluk Tamiang meliputi 7 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 9.158 jiwa, namun
yang bermukim dan beraktivitas di sekitar teluk berjumlah + 205 jiwa.
Dari hasil perhitungan pendugaan didapatkan data bahwa jumlah total N
(kg/tahun) sebesar 1.818,4 dan total P (kg/tahun) sebesar 1.054. Total N sebagian
besar bersumber dari limbah rumah tangga sebesar 1.201.3 kg N/tahun (66,1%),
sedangkan limbah dari peternakan hanya sebesar 617.1 kg N/tahun (33,9%). Total P
sebagian besar juga bersumber dari peternakan yakni sebesar 568,1 kg P /th (53,8%),
sedangkan rumah tangga hanya sebesar 485.9 kg/th (46,1%). Berdasarkan asumsi
bahwa hanya 25% dari limbah antropogenik yang masuk ke perairan teluk setelah
melalui asimilasi didaratan maka kontribusi limbah dari kegiatan antropogenik adalah
0,25 x 1.818,4 = 454.6 kg N dan 263.5 kg P per tahun. Maka bila dikonversi hariannya
sebesar 1.263 kg N/hari dan 0.732 kg P/hari, besaran total N dari limbah antropogenik
selama 180 hari masa pemeliharaan adalah sebesar 227.3 kg N dan 131 kg P.
4.9. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu
Pendugaan daya dukung lingkungan perairan Teluk Tamiang bagi
pengembangan KJA ikan kerapu dilakukan dalam 2 (dua) pendekatan analisis, yaitu (1)
Pendekatan analisis pada beban limbah total N dan (2) Pendekatan analisis pada
ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan teluk dan limbah bahan organik.
Beberapa parameter yang menjadi acuan penduga daya dukung antara lain :
1. Luas teluk = 22.898.000 m2 atau 2.289,8 ha
2. Volume air pasang tertinggi (V pasang) = 202.898.000 m3
3. Volume air pasang surut (V surut) = 177.459.500 m3
4. Flushing time = 4.2 hari
5. Rataan konsentrasi oksigen terlarut dalam kondisi stready state = 6 ppm
6. Konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan dalam sistem budidaya (C O2out) : 4 ppm, diambil dari level kritis oksigen (pembulatan dari 3,6 ppm dari hasil penelitian) dan Lee et al., (2001) didalam Rachmansyah, (2004).
7. Food consumption oxygen (FCO) 0,2 kg O2 (Willoughby, 1968 diacu didalam Meade, 1989; Boyd 1990).
8. Total bahan organik = 707.5 kg
9. Total beban N = 174.2 kg/0.238 ton ikan
10. Total beban P = 32.4 kg/0.238 ton ikan
11. Produktivitas ikan kerapu = 237.6 kg/keramba
4.9.1. Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N
Pendugaan daya dukung perairan teluk dengan pendekatan beban limbah N
didasarkan pada beban limbah N baik yang berasal dari kegiatan budidaya KJA ikan
kerapu maupun yang berasal dari aktivitas antrophogenik di daratan (upland) sekitar
teluk. Beban limbah yang berasal dari kegiatan budidaya sebesar 174.2 kg N dan 32.4
kg P beban limbah, dan dari aktivitas antropogenik di daratan (upland) sebesar 454.6
kg N dan 263.5 kg P per tahun.
Dari hasil perhitungan pendugaan daya dukung perairan Teluk Tamiang
yaitu mampu menunjang produksi optimal adalah sebesar 18.8 – 62.5 ton. Bila
dikonversi kepada jumlah unit yang dapat dibudidayakan adalah 1unit terdiri dari 5
keramba berukuran 3 x 3 x 2.5 meter dengan tingkat produktivitas sebesar 237.6 kg
KJA, maka jika dalam 1 unit berproduksi 1.2 ton, jumlah unit yang dapat dikelola adalah
sebanyak 15.7 – 52.1 unit (dibulatkan 16 – 52 unit KJA) atau (80 – 260 KJA).
4.9.2. Pendugaan Daya Dukung Melalui Ketersediaan Oksigen Terlarut dengan Limbah Organik
Penentuan daya dukung perairan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut
mengacu kepada Willoughby (1968 didalam Meade; 1989) dan Boyd (1990) bahwa
penentuan daya dukung perairan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut yaitu
perbedaan antara konsentrasi oksigen (O2) terlarut minimal yang dikehendaki oleh
organisme (Oin) dengan kadar oksigen yang tersedia didalam perairan (Oout). Kadar
minimum oksigen terlarut yang dikehendaki untuk budidaya (Oout) = 4 ppm (Tabel 31).
Tabel 31 Kandungan oksigen terlarut (mg/l) perairan Teluk Tamiang selama 24 jam dengan selang waktu 3 jam pada tiga stasiun pengamatan
Waktu Pengamatan Stasiun Pengamatan Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l) (Jam) 1 2 3 07.00 6.45 6.25 6.25 10.00 6.43 6.34 6.34 13.00 6.97 6.53 6.74 16.00 6.85 6.74 6.72 19.00 5.95 6.34 6.31 22.00 5.65 6.56 5.51 01.00 6.15 5.25 6.00 04.00 5.62 4.79 3.67
Rataan 6.26 6.00 5.94 Rata-rata dari 3
stasiun 6.06 (dibulatkan 6)
Kadar oksigen diperairan teluk berdasarkan pengamatan 24 jam dengan selang
waktu 3 jam pengamatan didapatkan kandungan oksigen terlarut rata-rata 6 ppm
(dibulatkan). Ini berarti selisih antara oksigen yang ada didalam (Oin) dan di luar (Oout)
sebesar 2 ppm. Selanjutnya diketahui bahwa volume air yang tersedia sebesar
25.187.800 m3, maka kapasitas oksigen yang tersedia dalam perairan teluk yaitu :
25.187.800/24 x 2 ppm = 20.989,8 kg O2. Kadar oksigen yang dibutuhkan untuk
mengurai/merombak 1 kg limbah organik pakan diperlukan oksigen sebesar 0.2 kg
(Willoughby, 1968 didalam Meade, 1989), maka kemampuan perairan untuk
menampung limbah organik yaitu 20.989,8 kg O2/0.2 = 104.949 kg limbah organik. Hal
ini berarti kemampuan perairan menampung limbah organik yang diperkenankan dari
hasil budidaya KJA ikan kerapu tanpa melampaui daya dukung perairan teluk Tamiang
adalah sebesar 104.949.3 kg (104.9 ton) limbah organik. Bila dalam 1 unit KJA rata-
rata menghasilkan BO sebesar 3.5 ton, maka jika dikonversi menjadi jumlah unit
maksimal yang mampu ditampung (daya dukung) oleh Teluk Tamiang adalah sebanyak
30 unit KJA atau sebanyak 150 keramba (Tabel 32).
Tabel 32 Rekapitulasi 2 (dua) metode pendekatan pendugaan daya dukung Perairan Teluk Tamiang untuk budidaya KJA Ikan Kerapu
Metode Pendekatan Daya Dukung Keterangan
Beban Limbah Organik dengan Ketersediaan DO
104.949 kg limbah organik (35 ton ikan) atau 30 unit rakit (150 KJA )
Dominan dipengaruhi oleh beban limbah organik
Beban limbah Nitrogen (N) budidaya (Baku mutu 0,3 ppm dan 1 ppm)
18,8 – 62,5 ton ikan atau 16 – 52 unit (80 – 260 KJA)
Dominan dipengaruhi oleh beban limbah N dan volume air. (produksi optimal – maksimal)
Catatan : 1 unit rakit terdapat 5 buah KJA (uk. 3x3x2,5) dengan produksi tiap unit 1,2 Ton (237,6 kg/KJA).
Dari dua metode pendekatan yang digunakan dalam pendugaan daya dukung
lingkungan perairan teluk bagi pengembangan KJA ikan kerapu diperoleh kisaran
antara 18.8 – 62.5 ton ikan atau atau 16 – 53 unit (80 – 260 KJA) pada 0.3 dan 1 ppm
(produksi optimal – maksimal) Ammonia (NH3N) baku mutu perairan untuk budidaya
(Kep-51/MENLH/2004).
Metode pendugaan daya dukung yang dilakukan dengan pendekatan kualitas
lingkungan perairan meliputi ketersediaan oksigen terlarut dan limbah bahan organik
(limbah nitrogen organik) baik yang berasal dari limbah kegiatan budidaya maupun
antropogenik yang berinteraksi dengan kondisi hydro-oseanografi perairan meliputi
volume perairan (kedalaman dan luas), pola pasang surut, dan laju pembilasan
(flushing rate) cukup memberikan gambaran kondisi daya dukung yang cukup realistis
bagi perairan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu yang
berkelanjutan. Dari hasil analisis karakteristik biofisik dan kimia perairan Teluk
Tamiang serta keragaan budidaya KJA ikan kerapu didapatkan berbagai informasi
dasar dalam rancang bangun model dinamik dalam pengelolaan kualitas lingkungan.
4.10. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik Metode prospektif merupakan eksplorasi tentang kemungkinan dimasa yang
akan datang, sebagai satu metode untuk mendapatkan faktor kunci dan tujuan strategis
yang berperan dalam penanganan suatu wilayah sesuai kebutuhan para pelaku
(stakeholders) yang terlibat. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut
sepenuhnya harus merupakan pendapat pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan
ahli (expert) mengenai pengelolaan lingkungan Teluk Tamiang. Inventarisasi
kebutuhan pelaku dilakukan dengan menggunakan kuisioner. .
Responden diminta pendapatnya tentang peubah atau faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap jalannya sistem. Faktor-faktor tersebut antara lain :
(1) Faktor biofisik lingkungan : produksi biomassa, limbah KJA dan antropogenik,
kapasitas asimilasi, daya dukung, marine protected area (MPA), dan pelestarian
lingkungan.
(2) Faktor ekonomi : peningkatan pendapatan, saprodi, dan produk ekonomis
(3) Faktor sosial : lapangan pekerjaan, pengembangan SDM, aktivitas industri dan
pertambangan, pariwisata, dan pemukiman penduduk.
(4) Faktor legalitas : Tata ruang kawasan dan penegakan hukum.
Tahapan berikutnya menyepakati faktor-faktor peubah kunci, diskusi kriteria
keadaan dan pengaruh serta ketergantungan dalam sistem yang dikaji, yaitu
pengelolaan kualitas lingkungan kawasan Teluk Tamiang untuk pengembangan
budidaya KJA. Pada tahapan ini didapatkan sebanyak 17 faktor penting yang
dianggap berkaitan erat dengan pengelolaan kualitas lingkungan.
Analisis dilakukan dengan menggunakan cara matriks. Hasil analisis matriks ini
ditunjukkan dan dipresentasikan dalam bentuk grafik dalam salib sumbu Kartesien
(Bourgeois, 2002., Hartrisari, 2002) (Gambar 16).
Overview of the importance of the different variables (direct and indirect influences)
----------
Pemukiman Penduduk
Pgmb. Pariwisata
Kapasitas Asimilasi
Tek. Penanganan Limbah/prod.limbah
Lapangan KerjaDaya Dukung
Tek. Budidaya/produksi biomassa
Pgmbg SDM
Plstrn. Lingkungan
Peningkatan PendapatanLimbah Antrophogenik
Tata Ruang Kawasan
MPA
Saprodi
Produk Ekonomis Aktivitas Industri & PertambanganPenegakan Hukum
------------------------
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2,00
- 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00
Dependence
Influ
ence
Copyright: CIRAD/CAPSA - 2004 Authors: Franck Jésus and Gambar 16 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem
pengelolaan kualitas lingkungan (Salib Sumbu Kartesien)
Dari gambar diatas menunjukan bahwa faktor-faktor penentu terkelompokan
dalam 4 kuadran. Kuadran I (kanan atas) terdiri dari teknologi budidaya/produksi
biomassa, limbah budidaya dan antropogenik, kapasitas asimilasi dan lingkungan, dan
daya dukung lingkungan merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh
besar pada kinerja sistem namun ketergantungan juga besar terhadap keterkaitan
faktor, sehingga digunakan sebagai input didalam sistem. Kuadran II (kiri atas) terdiri
dari pelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan, dan lapangan pekerjaan
merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem
dengan ketergantungan rendah terhadap keterkaitan faktor, sehingga akan digunakan
sebagai penghubung (stake) didalam sistem. Kuadran III (Kanan bawah) terdiri dari
sarana produksi, produksi ekonomis, dan penegakan hukum merupakan kuadran yang
memiliki pengaruh yang rendah pada kinerja sistem dan memiliki ketergantungan besar
terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai variable authonomus unused
dari sistem. Kuadran IV (kiri bawah) terdiri dari pengembangan SDM, aktivitas industri
dan pertambangan, marine protected area (MPA), pengembangan pariwisata,
pemukiman penduduk, dan tata ruang kawasan merupakan kelompok yang memberi
pengaruh kecil terhadap kinerja sistem dan mempunyai tingkat ketergantungan kecil
terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai output dari sistem.
Berdasarkan hasil analisis prospektif ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 faktor
penentu dari 17 faktor yang mewakili kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan
kualitas lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu di Teluk Tamiang
yaitu : (1) Teknologi budidaya/produksi biomassa, (2) Limbah budidaya dan
antropogenik, (3) Kapasitas asimilasi dan lingkungan, (4) Daya dukung lingkungan, (5)
Peningkatan pendapatan, (6) Pelestarian lingkungan, dan (7) Lapangan pekerjaan
Permodelan dan simulasi pendugaan beban limbah N dan P dari sistem
budidaya kerapu dalam KJA dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada data
empiris sistem produksi budidaya yang ada, karakteristik biofisik lingkungan perairan,
hasil uji laboratorium dilakukan (Tabel 33) dengan tahapan-tahapan : (1) penyusunan
skenario; (2) pembangunan model; (3) simulasi skenario.
Tabel 33 Informasi dasar pemodelan bagi pengelolaan kualitas lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu. No. Parameter Nilai Sumber Data 1 Luas teluk 2.289,8 ha/22.898.000 m2 Penelitian ini 2 Volume teluk pada saat pasang
tertinggi (HHWL) 202.898.000 m3 Penelitian ini
3 Volume teluk pada saat surut terendah (LLWL)
177.459.500 m3 Penelitian ini
4 Volume teluk (HHWL-LLWL) 25.187.800 m3 Penelitian ini 5 Kisaran pasang surut 0 – 110 cm Penelitian ini 6 Flushing time 4,2 hari Penelitian ini 7 Luas lahan pengembangan KJA 385 ha Penelitian ini 8 Konsentrasi oksigen teluk 6 ppm Penelitian ini 9 Level kritis oksigen 4 ppm Lee et al, 2001 dan
Wedemeyer, 1996. 10 Padat penebaran ikan kerapu 15,20,25 ekor m-3 Penelitian ini 11 Bobot ikan awal pemeliharaan 360 gr per ekor Penelitian ini 12 Bobot ikan akhir panen 528 gr per ekor Penelitian ini 13 Laju pertumbuhan harian 0,96 gr per hari Penelitian ini 14 Sintasan (SR) 100 Penelitian ini 15 Rasio konversi pakan (FCR) 5,9 Penelitian ini 16 Tingkat produktivitas 237,6 kg/KJA Penelitian ini 17 Jumlah pemberian pakan 1.406,3 kg Penelitian ini 18 N pakan 174,2 kg/ton ikan Penelitian ini 19 P pakan 32,4 kg//ton ikan Penelitian ini 20 N feses 27,6 kg Penelitian ini 21 P feses 12,7 kg Penelitian ini 22 Pakan tidak termakan 252,6 kg Penelitian ini 23 Retensi N 30,7 kg Penelitian ini 24 Retensi P 4,1 kg Penelitian ini 25 Presentase feses 459,2 kg (38,9%) Penelitian ini 26 Kecepatan arus 0,08 – 0,39 m/detik Penelitian ini 27 Beban limbah N KJA 174,2 kg Penelitian ini 28 Beban limbah P KJA 32,4 kg Penelitian ini
N Baku Mutu Ammonia (NH3N) (ppm) 0,3 - 1 KepMNLH 51/2004 30 Level aktivitas
• Rumah tangga (limbah padat,sampah, deterjen)
• Peternakan (sapi, kambing, ayam)
205 orang
685 ekor
Penelitian ini
31 Beban N non KJA 1.818,4 kg/th Penelitian ini 32 Beban P non KJA 1.054 kg/th Penelitian ini 33 Biaya produksi ikan kerapu 150.000/KG Penelitian ini 34 Harga jual ikan kerapu 350.000-400.000/KG Penelitian ini 35 Batas ukuran untuk harga jual 530 Gr Penelitian ini
(1) Penyusunan skenario
Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang memungkinkan
dapat dilakukan dalam kondisi nyata (real) berdasarkan perkiraan responden mengenai
kondisi faktor-faktor dimasa mendatang. Dari perkiraan responden mengenai kondisi
(state) faktor-faktor tersebut dimasa mendatang, dapat disusun skenario yang mungkin
terjadi di daerah penelitian. Hasil perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor
dimasa datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin antar kondisi faktor,
dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai (incompatible). Dari kombinasi antar
kondisi faktor, didapatkan 3 (tiga) skenario, yang disebut : Skenario : (1) Optimis, (2)
Moderat, (3) Pesimis.
(2) Pembangunan Model Struktur umpan balik dalam model pengelolaan kualitas lingkungan disusun oleh
sub model yang saling berkaitan dan sekaligus merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pengelolaan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu di Teluk
Tamiang. Adapun sub-model tersebut didasarkan pada integrasi faktor-faktor yang
muncul pada kuadran kiri atas dari hasil analisis prospektif yang merupakan faktor
dominan. Dengan demikian sub-sistem tersebut adalah sub-model produksi biomassa
ikan kerapu (yang berkaitan teknologi budidaya KJA), sub-model limbah budidaya dan
sub-model ekonomi yang saling berinteraksi. Model umum pengelolaan kualitas
lingkungan perairan teluk berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA
ikan kerapu menggambarkan interaksi antar komponen teknologi budidaya (produksi
biomassa ikan), limbah dari kegiatan budidaya KJA dan aktivitas antropogenik yang
berasal dari daratan yang bersifat timbal balik. Pada model umum ini, masing-masing
komponen mempunyai gugus formula sendiri-sendiri, namun saling terkait pada satu
atau lebih peubah tertentu (Gambar 18 dan Lampiran 15).
Model ini memiliki beberapa kelemahan karena pendugaan daya dukung
lingkungan perairan terhadap limbah hasil budidaya dan antropogenik yang
diaktualisasikan oleh perubahan konsentrasi nitrogen dan phophat, belum digambarkan
secara lebih komprehensif dengan melibatkan peran komponen ekosistem, antara lain
peran mikroorganisme sebagai pengurai (decomposer), ikan, plankton (zoo-p dan
phyto-p) dan biota perairan lainnya baik langsung maupun tidak langsung. Komponen
model untuk menduga daya dukung baru melibatkan peran hidrodinamika pasang surut
sebagai pemasok oksigen terlarut dan pelarutan/pencucian (dilution dan flushing)
dalam proses pengayaan bahan organik akibat budidaya (eutrification culture) dan baku
mutu air untuk biota laut (KEP MNLH 51/2004). Model ini masih dapat dikembangkan
dengan memasukan komponen fotosintesa, difusi, respirasi ikan dan mikroorganisme
dalam suatu model untuk mendekati sistem yang sebenarnya melalui kajian atau
penelitian ilmiah lanjutan.
Agar model tersebut dapat diimplementasikan di tempat lain untuk pendugaan
daya dukung maka beberapa variabel yang perlu dilakukan perubahan sesuai dengan
spesifik lokasi antara lain padat tebar ikan, jumlah pakan, volume limbah dari kegiatan
budidaya dan antropogenik, volume teluk, dan nilai flusing time.
Panen 162Total Pakan 0
~ Biomassa 0
Subm odel Produk B iom as s
Load Organik 0N Bay 0.4451P Bay 0.0486
Subm odel L im bah B udiday a dan Antripogenik
~ Fish size 0
~ Gross revenue 0Prod cost per kg 50000
~ Profit 0
Subm odel Ekonom i
Submodel Biomassa Ikan Kerapu
Sub-Model Beban Limbah N,P,OM Budiday a dan non-Budiday a (antrop)
Submodel Ekonomi Budiday a Ikan Kerapu dalan KJA
Gambar 18 Model global keterkaitan antar sub-model
Deskripsi Model Model pengelolaan kualitas lingkungan yang berbasis daya dukung (carriying capacity)
untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu terdiri dari 3 (tiga) submodel yaitu :
1. Submodel produksi biomassa kerapu, menggambarkan perubahan produksi
biomassa kerapu dalam setiap siklus produksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
padat penebaran per luas keramba, jumlah keramba, bobot awal individu,
pertumbuhan ikan, mortalitas, dan periode pemeliharaan (Gambar 19).
growth day
Panen
Biomassa
No of KJA
Stocking density
SR
~Wt
rearing periode
Total Pakan
Pakan harian
Biomassa
pct pakan
Submodel Biomassa Ikan Kerapu
Gambar 19 Konsep submodel produksi biomassa Ikan Kerapu
Keterangan Gambar: No of KJA : Jumlah Keramba Jaring apung Stocking density : padat tebar SR : rata-rata kehidupan (survival rate) Rearing periode : periode pemeliharaan Growt day : pertumbuhan harian Biomass : jumlah berat produksi ikan Pct pakan : prosentase pakan Submodel produksi biomassa ikan dibangun mengacu pada respon
pertumbuhan, rasio konversi pakan, sintasan, padat tebar, dan jumlah pakan harian
dengan asumsi tidak dipengaruhi oleh musim. Asumsi ini didasari atas pengukuran
semua parameter biofisik dan kimia selama penelitian relatif sama antara musim hujan
dan kemarau yang menunjukan bahwa lingkungan perairan Teluk Tamiang memiliki
kondisi biofisik dan kimia yang tidak berfluktuasi karena berada di wilayah tropis yang
tidak berpotensi besar memiliki perubahan iklim yang drastis.
Hasil simulasi model dengan mengoperasionalkan 1 (satu) unit KJA selama 180
hari pemeliharaan menghasilkan produksi biomassa sebanyak 237.24 kg dengan total
pakan sebanyak 1.435.66 kg dan berat rata-rata sebesar 527.2 gr(Tabel 34).
Tabel 34 Hasil simulasi produksi biomass ikan Kerapu dan total pakan
Lama pemeliharaan
(hari) Produksi Biomass Ikan Kerapu (Kg)
Total Pakan yang digunakan
(Kg) Berat ikan
per ekor (gr)
Persentase kehidupan ikan (%)
1 162.5 0 361.1 10030 176.85 196.53 393 10060 190.35 416.58 423 10090 202.5 652.05 450 100
120 214.65 902.1 477 100150 226.8 1.166.72 504 100180 237.24 1.435.66 527.2 100
2. Submodel produksi limbah budidaya diperairan dan antropogenik, menggambarkan
perubahan loading bahan organik, kandungan total phosphate, total nitrogen,
nutrifikasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor jumlah pakan yang dikonsumsi (efisien
pakan), jumlah pakan yang tidak dikonsumsi, jumlah feses, produksi biomassa
kerapu, retensi phosphate dan nitrogen dalam kerapu, kandungan phosfat dan
nitrogen dalam pakan, limbah pemukiman, peternakan, volume air pada saat
pasang tinggi dan rendah, level hypernutrifikasi, dan baku mutu biota laut (Budidaya
Perikanan) (KEPMENLH 51/tahun 2004) (Gambar 20).
Tot waste load P
Tot waste load OM
Waste load N harian
Tot waste load N
N Feces
Waste load P harian
Waste load OM
Uneaten f ood
pct UF
Uneaten f ood
Total Pakan
Eaten f ood
Feces
P Feces
Uneaten f ood
pkm
kum N non bud
N tot
N eaten Food
Pct N
N Food lostN Food
P eaten Food
PCt N Cerna PCt P Cerna
N Food Cerna
P Food Cerna
N RetensiPct N Retensi
N Ekskresi
P Eksresi
Kum N Bud
Pakan harian
Kum P Bud
Pct P
P Food lostP Food
N Total Limbah
P Retensi
Pct P Retensi
P Total Limbah
Ternak
RT
Flushing
Vol Tlk
ECN bm
KJA2
KJA1
N bm1Unit KJA
Unit Krb per unit5
Kum Con N non bddy a
con n non tbk
Kum Con P non budiday aCon P non tbk
Kum P non budiday a
P tot
AntropTernak1
RT1
Sub-Model Beban Limbah N,P,OM Budiday a dan non-Budiday a (antrop)
Gambar 20 Konsep submodel produksi limbah budidaya dan antropogenik
Keterangan Gambar: Total waste load N : jumlah total limbah N yang masuk ke perairan Total waste load P : jumlah total limbah P yang masuk ke perairan Waste load OM : limbah bahan organik yang masuk ke perairan EC : eutophication culture : pengkayaaan bahan organik dari kegiatan budidaya Flushing time : lama pengenceran N bm : kadar Nitrogen (baku mutu) (KEPMNLH 51/2004) Uneaten food : jumlah pakan yang tidak termakan Feces : ekskresi ikan Kum N non bud : akumulasi limbah dari kegiatan antropogenik Kum con P non budidaya : akumulasi P non budidaya Kum non N non budidaya : akumulasi N non budidaya Pct N cerna : Prosentase Nitrogen hasil cerna Pct P cerna : Prosentase phospor hasil cerna
Sub model ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa pakan yang terbuang tidak
termakan dan feses yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tidak dikonsumsi atau
diabsorbsi oleh organisme non budidaya sehingga beban limbah yang ada
menggambarkan total beban limbah dari kegiatan budidaya KJA ikan kerapu. Hasil
simulasi produksi limbah dari kegiatan budidaya KJA selama 180 hari pemeliharaan
terakumulasi sebesar 178,8 kg Nitrogen (TN) dan 33,33 kg phospor (TP), (Tabel 35).
Tabel 35 Hasil simulasi produksi limbah kegiatan budidaya KJA Ikan Kerapu selama 180 hari pemeliharaan
Lama pemeliharaan (hari)
N Retensi
(kg)
N Feses (kg)
N Ekskresi
(kg)
P Ekskresi
(kg)
P Feses (kg)
P Retensi
(kg)
Akumulasi P Budidaya
(kg)
Akumulasi N Budidaya
(kg) 1 -0,03 -0,02 -0,1 -0,01 -0,01 0 -0,02 -0,12
30 4,27 3,83 15,91 1,82 1,77 0,57 4,51 24,21 60 9,07 8,15 33,84 3,88 3,76 1,21 9,59 51,44 90 14,22 12,78 53,03 6,08 5,9 1,9 15,03 80,59
120 19,68 17,68 73,4 8,42 8,16 2,63 20,8 111,55 150 25,46 22,88 94,96 10,89 10,56 3,4 26,91 144,3 180 31,54 28,35 117,65 13,49 13,08 4,21 33,33 178,77
3. Sub model Ekonomi (pendapatan) dikembangkan untuk memberikan gambaran
total biaya produksi (total cost), total penerimaan dan tingkat keuntungan budidaya
KJA Ikan Kerapu (Gambar 21).
Fish size
Biomassa
No of KJAStocking density
Size limit f or selling prise
unit prise
Gross rev enue
SR
Prod cost per kg
Tot cost
Prof it
Submodel Ekonomi Budiday a Ikan Kerapu dalan KJA
Gambar 21 Konsep submodel ekonomi budidaya Ikan Kerapu
Keterangan Gambar : Stocking density : padat tebar ikan SR : survival rate atau rata-rata kehidupan No of KJA : jumlah unit keramba jaring apung Unit prise : satuan harga Prod cost per kg : biaya produksi per kg ikan Total cost : jumlah total biaya Gross revenue : pendapatan kotor Profit : keuntungan
Submodel ini dikembangkan dengan asumsi ukuran yang dapat dipasarkan
mencapai 530 gr/ekor dengan tingkat harga antara Rp. 300.000 – Rp. 400.000 per kg
ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan total biaya (total cost) antara Rp. 100.000
– Rp. 125.000 per kg ikan. Hasil simulasi dengan asumsi tingkat harga jual
Rp. 350.000 per kg dan total biaya sebesar Rp.125.000 per kg ikan,maka keuntungan
yang akan didapatkan sebesar Rp. 53.379.000,- per siklus pemeliharaan (Tabel 36)
Tabel 36 Hasil simulasi produksi biomass dan keuntungan (Profit)
Lama pemeliharaan
(hari)
Produksi Biomass Ikan Kerapu (Kg)
Biaya Produksi per
Kg ikan (Rp.) Harga/kg ikan (Rp.)
Keuntungan (Rp.)
Ukuran Ikan panen
(kg) 1 162.5 - - - -
30 176.85 125.000,00 350.000,00 39.791.250,00 0.3960 190.35 125.000,00 350.000,00 42.828.750,00 0.4290 202.5 125.000,00 350.000,00 45.562.500,00 0.45
120 214.65 125.000,00 350.000,00 48.296.250,00 0.48150 226.8 125.000,00 350.000,00 51.030.000,00 0.50180 237.24 125.000,00 350.000,00 53.379.000,00 0.53
Evaluasi Model
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan performansi model dari hasil
simulasi beberapa peubah dengan hasil perhitungan lapangan. Perbandingan
dilakukan terhadap produksi ikan (biomass), jumlah pakan yang digunakan, dan jumlah
produksi limbah organik (total nitrogen/TN dan total phosphat/TP) yang dihasilkan baik
dari hasil kegiatan budidaya maupun limbah antropogenik. Hasil simulasi pemodelan
dibandingkan dengan data pengukuran di lapangan yang tersedia mendapatkan hasil
yang menyatakan bahwa tidak berbeda nyata (Analisis Statistik Uji t beda nyata).
Perbandingan antara perhitungan model simulasi dengan perhitungan
lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Produksi biomassa Jumlah produksi biomassa ikan kerapu selama 180 hari pemeliharaan dari hasil
perhitungan lapangan dari awal pemeliharaan sebanyak 162 kg, hari ke 30
sebanyak 176.9 kg, hari ke 60 sebanyak 190.4 kg, hari ke 90 sebanyak 202.5 kg,
hari ke 120 sebanyak 214.3 kg, hari ke 150 sebanyak 226.8 kg, dan hari ke 180
sebanyak 237.6 kg. Dari hasil simulasi model didapatkan data produksi biomassa
ikan yaitu pada hari awal pemeliharaan sebanyak 162.5 kg, hari ke 30 sebanyak
176.9 kg, hari ke 60 sebanyak 190.3 kg, hari ke 90 sebanyak 202.5 kg, hari ke 120
sebanyak 214.7 kg, hari ke 150 sebanyak 226.8 kg, dan hari ke 180 sebanyak
237.2 kg. Hasil perhitungan lapangan didapatkan produksi biomassa pada umur
30 hari seberat 162.4 kg menjadi 237.6 kg pada akhir pemeliharaan. Sedangkan
dari hasil simulasi model didapatkan produksi biomassa seberat 162.5 kg pada
masa pemeliharaan hari ke 30 menjadi 237.2 kg pada hari ke 180. Hari hasil uji
statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan lapangan
dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t = -5.18, α > 0.05) (Lampiran
16).
2) Total pakan yang digunakan Jumlah pakan ikan kerapu selama 180 hari pemeliharaan dari hari ke 30 sebanyak
194.4 kg, hari ke 60 sebanyak 212.3 kg, hari ke 90 sebanyak 228.3 kg, hari ke 120
sebanyak 242.5 kg, hari ke 150 sebanyak 257.8 kg, dan hari ke 180 sebanyak
271.0 kg. Dari hasil simulasi model didapatkan data produksi biomassa ikan yaitu
pada hari ke 30 sebanyak 196.5 kg, hari ke 60 sebanyak 215.2 kg, hari ke 90
sebanyak 230.1 kg, hari ke 120 sebanyak 243.4 kg, hari ke 150 sebanyak 269.2 kg,
dan hari ke 180 sebanyak 269.9 kg. Hasil perhitungan lapangan didapatkan
bahwa dari awal pemeliharaan umur 30 hari dibutuhkan pakan sebanyak 194.4 kg
menjadi 271.0 kg. Sedangkan dari hasil simulasi model didapatkan data jumlah
pakan yang dibutuhkan dari 196.5 kg pada masa pemeliharaan hari ke 30 menjadi
269.9 kg pada hari ke 180. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa
antara hasil perhitungan lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df
= 6, t = -1.530, α > 0.05) (Lampiran 16).
3) Total limbah Budidaya dan Antropogenik Total limbah nitrogen
Jumlah produksi limbah (total nitrogen/TN) selama 180 hari pemeliharaan dari hasil
perhitungan lapangan dan hasil simulasi model yakni sebanyak 177.2 kgN limbah
pakan perhitungan lapangan menjadi 182.1 kg N hasil simulasi, 31.9 kg N yang
terbuang data lapangan menjadi 32.8 kg N hasil simulasi model, 145.4 kg N yang
dicerna dari perhitungan lapangan menjadi 120.8 kg N hasil simulasi, 30.7 kg N
retensi hasil lapangan menjadi 31.5 kg N hasil simulasi, 27.6 kg N feses hasil
perhitungan lapangan menjadi 28.4 kg hasil simulasi model, 114.7 kg N ekskresi
hasil perhitungan menjadi 117.7 kg N hasil simulasi model dan 174.1 kg N
akumulasi perhitungan lapangan menjadi 178.8 kg N pada hasil simulasi.
Dari hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan
lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t = 0.345, α > 0.05).
Total limbah phosphor
Jumlah produksi limbah (total phospor/TP) selama 180 hari pemeliharaan dari hasil
perhitungan lapangan dan hasil simulasi model yakni sebanyak 36.6 kgP limbah
pakan perhitungan lapangan menjadi 37.6 kg P hasil simulasi, 6.6 kg P yang
terbuang data lapangan menjadi 6.8 kg P hasil simulasi model, 29.9 kg P yang
dicerna dari perhitungan lapangan menjadi 17.7 kg P hasil simulasi, 4.1 kg P retensi
hasil lapangan menjadi 4.2 kg P hasil simulasi, 12.7 kg P feses hasil perhitungan
lapangan menjadi 13.1 kg P hasil simulasi model, 13.1 kg P ekskresi hasil
perhitungan menjadi 13.5 kg P hasil simulasi model dan 32.4 kg P akumulasi
perhitungan lapangan menjadi 33.3 kg P pada hasil simulasi model. Dari hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan
lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t = 0.723, α > 0.05)
(Lampiran 16).
Dari hasil evaluasi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa model yang
dibangun memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi nyata walaupun data
lapangan secara harian tidak tersedia namun dinamika temporal dari proses biologi
secara eksplisit dapat tergambar dalam model yang mampu mencirikan dinamika
produksi biomass, total pakan yang digunakan dan dinamika produksi limbah yang
dihasilkan.
Perbedaan nilai yang terjadi antara perhitungan lapangan dan model simulasi
meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, hal ini diakibatkan oleh waktu
perhitungan, dimana dalam model simulasi mengacu pada perbedaan waktu harian (dt)
sedangkan pengukuran dilapangan dilakukan sampling secara berkala dengan interval
waktu 1 bulan (30 hari). Dengan demiikian, prediksi model lebih mencirikan proses
biologi yang terjadi pada sistem budidaya ikan.
Tidak adanya perbedaan nyata secara statistik antara prediksi model simulasi
dengan data perhitungan lapangan (data empirik) mengindikasikan bahwa model yang
dibangun dapat digunakan untuk memprediksi perkembangan produk biomass ikan,
kebutuhan pakan dan limbah yang akan dihasilkan selama pemeliharaan
(3) Simulasi Skenario Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Skenario untuk dasar pengambilan kebijakan dilakukan dengan melakukan
simulasi sebagai suatu rancangan kebijakan yang memungkinkan dilakukan dalam
keadaan nyata didasarkan pada model yang dibuat. Sebagai suatu strategi
pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung untuk pengembangan KJA ikan
kerapu yang optimal dan berkelanjutan, rancangan kebijakan dilakukan melalui kajian
skenario yang disusun berdasarkan hasil analisis prospektif. Dalam menghubungkan
antara skenario yang disusun kedalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor
kedalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah
tertentu didalam model, sehingga skenario yang bersangkutan dapat disimulasikan.
Beberapa skenario yang akan disimulasikan antara lain skenario optimis, moderat dan
pesimis.
Analisis skenario dilakukan terhadap beberapa peubah yang memungkinkan
untuk dilakukan dalam kondisi nyata (real world), yaitu laju perkembangan KJA,
populasi (pada sub model produksi/teknologi budidaya), N dan P pakan (pada sub
model limbah budidaya), dan submodel ekonomi. Kemampuan sistem pengelolaan
kualitas lingkungan berbasis daya dukung dalam menghasilkan output yang
dikehendaki dapat dianalisis pada beberapa indikator sebagai ukuran kemampuan
sistem dengan melakukan running model.
Simulasi skenario dalam penelitian ini mengkombinasikan besaran persentase
(%) kontribusi limbah dari aktivitas antropogenik yang berasal dari pemukiman (rumah
tangga) dan komoditas peternakan dengan tingkat padat tebar ikan kerapu (ekor/m3)
yang dipelihara dalam keramba jaring apung diduga mendapatkan respon yang
berbeda-beda antar skenario. Out put akhir dari kombinasi kontribusi limbah tersebut
dengan padat tebar adalah untuk mendapatkan data dugaan yang meliputi total pakan
yang dibutuhkan, total produksi biomass ikan, dan total limbah bahan organik yang
dihasilkan, serta dugaan jumlah unit KJA yang dapat dibudidayakan tanpa melampaui
daya dukung perairan Teluk Tamiang. Beberapa alasan yang mendasari kepadatan
ikan menjadi salah satu komponen dalam membuat skenario pengelolaan adalah
karena salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan kegiatan budidaya
ikan terutama dalam terutama penentuan jumlah input pakan, obat-obatan dan input
budidaya ikan lain yang akan diberikan. Alokasi input produksi melebihi daya dukung
akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi keberlanjutan budidaya itu sendiri. Karena itu aktivitas budidaya laut
yang berkelanjutan membutuhkan input nutrien dan kimiawi pada level yang tidak
melebihi daya dukung lingkungan.
Skenario Optimis
Pada simulasi skenario optimis dengan kombinasi antara besaran kontribusi
dari antropogenik sebesar 10% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan
peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba
jaring apung sebesar 15 ekor m-3 atau sebanyak 338 ekor per keramba seluas 22.5 m-3
(3 x 3 x 2,5 m), didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 413,5 kg,
produksi biomass ikan sebesar 178,2 kg, total pakan sebanyak 1.085,5 kg dengan
jumlah unit sebanyak 12 – 41 unit atau 61 – 203 keramba.
Selanjutnya dari hasil simulasi skenario optimis dengan kombinasi antara
besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 10% dari total limbah aktivitas rumah
tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang
dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 20 ekor m-3 atau 450 ekor per
keramba seluas 22.5 m-3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik
sebesar 478,04 kg, produksi biomass ikan sebesar 237.2 kg, total pakan sebanyak
1.445.2 kg dengan jumlah unit sebanyak 10 – 34 unit atau 50 – 170 keramba. Hasil
yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih
kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 15 ekor m-3 .
Kemudian dari hasil simulasi skenario optimis dengan kombinasi antara besaran
kontribusi dari antropogenik sebesar 10% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan
kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam
keramba jaring apung sebanyak 25 ekor m-3 atau 563 ekor per keramba seluas 22.5 m-
3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 543.7 kg, produksi
biomass ikan sebesar 297.3 kg, total pakan sebanyak 1.811.3 kg dengan jumlah unit
sebanyak 9 – 29 unit atau 45 – 145 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat
produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan
tingkat kepadatan 20 ekor m-3 .
Dari hasil simulasi kombinasi antara kontribusi limbah antropogenik sebesar
10 % pada skenario optimis didapat jumlah unit KJA yang dapat diterapkan (sesuai
daya dukung) maksimal pada tingkat baku mutu, yaitu 12 – 41 unit KJA dengan padat
tebar 15 ekor m-3, menghaslkan tingkat produktivitas 178.2 kg per keramba, namun
pada jumlah 10 – 34 unit KJA dengan padat tebar 20 ekor m-3 menghasilkan tingkat
produktivitas 237.24 kg per keramba, dan jumlah unit 9 – 29 unit KJA dengan padat
tebar 25 ekor m-3 menghasilkan tingkat produktivitas 297.34 kg per keramba.
Bila dilihat dari tingkat prduktivitas yang dihasilkan dari skenario diatas terlihat
bahwa dengan tingkat kepadatan 25 ekor m-3 menghasilkan tingkat produktivitas
297.34 kg per keramba lebih tinggi dari tingkat kepadatan 15 dan 20 ekor m-3, namun
jumlah unit KJA lebih sedikit.
Implikasi dari skenario optimis adalah perlu dilakukan penurunan level aktivitas
antropogenik di daratan yaitu melakukan pengurangan dari level aktivitas dari 205 jiwa
menjadi 20.51 orang (dibulatkan 21 orang), menurunkan level aktivitas sebesar 90%
dari kondisi saat ini, dan level aktivitas ternak hanya sebanyak 9.5 ekor (dibulatkan 10
ekor) dari jumlah ternak saat ini yaitu sebanyak 95 ekor.
Skenario Moderat Simulasi skenario optimis kombinasi antara besaran kontribusi dari
antropogenik sebesar 25% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan
peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba
jaring apung sebanyak 15 ekor m-3 atau 338 ekor per keramba seluas 22.5 m-3,
didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 546.9 kg, produksi
biomass ikan sebesar 178.2 kg, total pakan sebanyak 1.085.5 kg dengan jumlah unit
sebanyak 8 – 25 unit atau 40 – 125 keramba.
Selanjutnya dari hasil simulasi skenario moderat dengan kombinasi antara
besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 25% dari total limbah aktivitas rumah
tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang
dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 20 ekor m-3 atau 450 ekor per
keramba seluas 22.5 m-3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar
611.4 kg, produksi biomass ikan sebesar 237.2 kg, total pakan sebanyak 1.445.2 kg
dengan jumlah unit sebanyak 7 – 23 unit atau 35 – 115 keramba. Hasil yang
didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil
dibandingkan dengan tingkat kepadatan 15 ekor m-3 (Lampiran 13).
Kemudian dari hasil simulasi skenario moderat dengan kombinasi antara
besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 25% dari total limbah aktivitas rumah
tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang
dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 25 ekor m-3 atau 563 ekor per
keramba seluas 22.5 m-3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik
sebesar 677.1 kg, produksi biomass ikan sebesar 297.3 kg, total pakan sebanyak
1.811.3 kg dengan jumlah unit sebanyak 6 – 20 unit atau 30 – 100 keramba. Hasil
yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih
kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 20 ekor m-3 .
Dari hasil simulasi kombinasi antara kontribusi limbah antropogenik sebesar 25
% pada skenario moderat didapat jumlah unit KJA yang dapat diterapkan (sesuai daya
dukung) maksimal pada tingkat baku mutu, yaitu 8 – 25 unit dengan padat tebar 15
ekor m-3, menghaslkan tingkat produktivitas 178.1 kg per keramba, namun untuk
jumlah unit sebanyak 7 – 23 unit dengan padat tebar 20 ekor m-3 menghasilkan tingkat
produktivitas 237.2 kg per keramba, dan bila jumlah unit sebanyak 6 – 20 unit dengan
padat tebar 25 ekor m-3 menghasilkan tingkat produktivitas 297.34 kg per keramba.
Skenario Pesimis
Simulasi skenario optimis kombinasi antara besaran kontribusi dari
antropogenik sebesar 40% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan
peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba
jaring apung sebesar 15 ekor m-3 atau sebanyak 338 ekor per keramba seluas 22.5 m-3,
dari hasil simulasi tersebut didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik
sebesar 680.2 kg, produksi biomass ikan sebesar 178.2 kg, total pakan sebanyak
1.085,5 kg dengan jumlah unit sebanyak 6 – 18 unit atau 30 – 90 keramba.
Selanjutnya dari hasil simulasi skenario pesimis dengan kombinasi antara
besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 40% dari total limbah aktivitas rumah
tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang
dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 20 ekor m-3 atau 450 ekor per
keramba seluas 22.5 m-3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar
744.8 kg, produksi biomass ikan sebesar 237,2 kg, total pakan sebanyak 1.445.2 kg
dengan jumlah unit sebanyak 5 – 17 unit atau 25 – 85 keramba. Hasil yang
didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil
dibandingkan dengan tingkat kepadatan 15 ekor m-3 (Lampiran 12).
Namun hasil simulasi skenario pesimis dengan kombinasi antara besaran
kontribusi dari antropogenik sebesar 40% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan
kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam
keramba jaring apung sebanyak 25 ekor m-3 atau 563 ekor per keramba seluas 22.5
m-3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 810.5 kg, produksi
biomass ikan sebesar 297.3 kg, total pakan sebanyak 1.811.3 kg dengan jumlah unit
sebanyak 5 – 16 unit atau 25 – 80 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat
produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan
tingkat kepadatan 20 ekor m-3 .
Dari hasil simulasi kombinasi antara kontribusi limbah antropogenik sebesar 40
% pada skenario pesimis didapatkan jumlah unit KJA yang dapat diterapkan (sesuai
daya dukung) maksimal pada tingkat baku mutu, yaitu 6 – 18 unit dengan padat tebar
15 ekor m-3, menghaslkan tingkat produktivitas 178.2 kg per keramba, namun bila
jumlah unit sebanyak 5 – 17 unit dengan padat tebar 20 ekor m-3 maka akan
menghasilkan tingkat produktivitas 237.2 kg ikan per keramba, dan bila jumlah unit
sebanyak 5 – 16 unit dengan padat tebar 25 ekor m-3 menghasilkan tingkat
produktivitas 297.3 kg per keramba.
Implikasi dari skenario pesimis adalah terjadinya peningkatan level aktivitas
(jumlah penduduk) dengan meningkatnya level aktivitas sebanyak 80.2 orang
(dibulatkan 80) menjadi 285 orang (40%). Bila laju pertumbuhan penduduk Teluk
Tamiang sekitar 4% per tahun maka kondisi ini diperkirakan akan terjadi pada 10 tahun
kedepan. Untuk level aktivitas ternak sebanyak 37.2 ekor (dibulatkan 37 ekor) dari
jumlah ternak saat ini meningkat dari 95 ekor menjadi 132 ekor (38,9%).
Hasil simulasi skenario yang telah dilakukan dengan kombinasi antara besar
kontribusi limbah dari antropogenik dengan padat tebar ikan kerapu pada aktivitas
budidaya di perairan teluk menghasilkan beberapa alternatif untuk dapat dijadikan
referensi bagi perencanaan pengelolaan kawasan perairan teluk sebagai kawasan
pengembangan kegiatan budidaya ikan yang berkelanjutan berbasis daya dukung
(Gambar 21). Perbandingan dari ketiga skenario diatas dapat dilihat pada Tabel 37
berikut :
Tabel 37 Perbandingan tiga skenario (data empirik dan data model simulasi)
Perbandingan Antar Skenario
Daya Dukung (Min/BM 0.3 ppm);
16Optimis ; 40
Moderat; 25 Pesimis; 17
Daya Dukung (Max/BM 1 ppm);
52
0102030405060
DayaDukung(Min/BM0.3 ppm)
Optimis Moderat Pesimis DayaDukung
(Max/BM 1ppm)
Skenario
Satu
an J
umla
h U
nit
Rak
it
Gambar 21 Grafik perbandingan antar skenario pengelolaan kualitas lingkungan
perairan Teluk Tamiang
Pada Gambar 21 terlihat bahwa kisaran jumlah unit untuk 3 (tiga) skenario
belum melampaui daya dukung teluk sehingga skenario pengelolaan yang akan
dilaksanakan masih berada dalam rentang batas minimal dan maksimal dari baku mutu
air laut untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.
Data Empirik Data Model Simulasi Skenaario Unit
rakit/KJA Produksi Biomass
(kg)
Total Pakan (Kg)
Unit rakit/KJA
Produksi Biomass
(Kg)
Total Pakan (Kg)
Nilai Keuntungan
(Rp) Pesimis (kontrobusi 40%)
5 – 17 unit (25 – 83
KJA)
5.400 – 19.800
31.961 – 117.191,7
5–18 unit (25 – 90
KJA)
6.016,4 – 20.051,5
36.048,95 –
122.143,7
1.404.921.920 – 4.015.457.440
Moderat (kontribusi 25%)
8 – 25 unit (38 – 125
KJA)
8.900 – 29.700
52.677,1-175.824
6-25 unit (30 -125 KJA)
8.018,7 – 26.727,5
48.846 – 162.840,4
1.603.742.400 – 5.346.491.680
Optimis (kontribusi 10%)
12 – 40 unit
(60 – 200 KJA)
14.200 – 47.500
84.046,5-281.141,6
9 -41 unit (45-205
KJA)
12.020,9 – 40.067,5
72.744,8 -244.071,1
2.404.190.160 – 8.013.492.700
Daya Dukung 16 – 52 unit
(80 – 260 KJA
18.800 – 62.500
111.272,9-369.923,2
16-52 unit (80-260
KJA)
18.016 – 60.050,2
109.744,5 –
365.795,9
3.603.201.120 – 12.010.037.760
Zona Pengelolaan
4.11. Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Berbasis Daya Dukung di Perairan Teluk Tamiang
Dalam mencapai keberhasilan pengembangan budidaya ikan sangat tergantung
pada kondisi lingkungan perairan sekitarnya, maka bila terjadi penurunan kualitas
lingkungan merupakan persoalan yang serius, karenanya kemampuan menentukan
daya dukung lingkungan untuk keperluan budidaya merupakan suatu kebutuhan yang
mendesak.
Budidaya dalam keramba, seperti halnya system budidaya lainnya memerlukan
kualitas perairan yang baik dan sangat mempengaruhi pemilihan suatu lokasi budidaya.
Pemilihan lokasi yang benar dan sesuai daya dukung adalah suatu hal yang sangat
penting karena hal ini mempengaruhi keberlanjutan kegiatan secara ekonomis
(Lawson, 1995). Meskipun demikian, ketersediaan wilayah yang sesuai untuk kegiatan
budidaya pada saat ini mulai berkurang dikarenakan menurunnya kualitas lingkungan.
Sehingga, persyaratan pertama untuk keberlanjutan kegiatan budidaya adalah
tersedianya system alokasi sumberdaya untuk budidaya. Sistem yang demikian harus
diterapkan dalam konteks pendekatan perencanaan terpadu dibandingkan hanya
menciptakan serangkaian peraturan untuk menghindari kerusakan lingkungan (Perez et
al., 2003).
4.11.1. Daya Dukung Fisik (Ekologi) Perairan Luas perairan Teluk Tamiang yang layak untuk pengembangan budidaya KJA
Ikan Kerapu seluas 385 ha yang didasarkan berdasarkan kelayakan bioteknis yang
menjadi penentu daya dukung fisik perairan yaitu kedalaman, kecepatan arus,
gelombang, suhu, oksigen terlarut, salinitas, substrat dasar, dan kecerahan. Daya
dukung lingkungan perairan teluk bagi pengembangan KJA ikan kerapu diperoleh
kisaran antara 18,8 – 62,5 ton ikan atau sebanyak 16 – 52 unit (80 – 260 KJA)
(produksi optimal – maksimal) untuk 1 kali musim tanam/tahun dengan asumsi tingkat
produktivitas 0,25 ton/keramba/musim pemeliharaan dengan volume keramba sebesar
@22,5 m-3 (3 x 3 x 2,5 m). Bila dilakukan pola tanam sebanyak 2 kali dalam 1 tahun
maka total produksi ikan yang dapat dihasilkan adalah sebesar 37,6 – 125 ton ikan
kerapu.
4.11.2. Daya Dukung Produksi Biomass Ikan Hasil percobaan pemeliharaan ikan didapatkan tingkat produktivitas sebesar
257,6 kg per keramba dengan padat tebar 20 ekor per m3 pada ukuran ikan tebar
seberat 360 gr per ekor atau sebanyak 450 ekor per keramba dimana sintasan dapat
mencapai 100% dengan periode pemeliharaan selama 6 bulan (180 hari). Jenis pakan
yang digunakan dalam pemeliharaan adalah jenis ikan pakan rucah (alami) yang
berasal dari hasil tangkapan ikan nelayan setempat yang cukup tersedia sepanjang
musim. Beberapa faktor pembatas daya dukung produksi ikan di Teluk Tamiang
adalah keberadaan limbah baik yang berasal dari aktivitas budidaya itu sendiri maupun
yang berasal dari daratan yang berasal dari aktivitas antropogenik. Keberadaan limbah
bahan organik tersebut secara langsung akan berdampak kepada ketersediaan oksigen
yang ada di perairan dan sangat menentukan tingkat kehidupan ikan budidaya.
4.11.3. Daya Dukung Sosial Ekonomi Dalam menentukan Teluk Tamiang sebagai kawasan pengembangan budidaya
keramba jaring apung ikan kerapu yang terpadu dan berkelanjutan telah
mempertimbangkan pola pemanfaatan yang sudah berlangsung saat ini yaitu kegiatan
budidaya rumput laut dan alur pelayaran. Tujuannnya adalah agar keberadaan
budidaya ikan yang akan dikembangkan tidak mengganggu alur pelayaran dan aktivitas
lainnya secara timbal balik sehingga dapat dihindari konflik kepentingan antar
stakeholders sekitar perairan teluk. Secara ekonomi pengembangan budidaya
keramba jaring apung ikan kerapu cukup menjanjikan keuntungan dengan asumsi
ukuran yang dapat dipasarkan mencapai 530 gr/ekor dengan tingkat harga antara Rp.
300.000 – Rp. 400.000 per kg ikan kerapu bebek (Cromileptis Altivelis) dan total biaya
(total cost) antara Rp. 100.000 – Rp. 125.000 per kg ikan maka keuntungan yang akan
didapatkan sebesar Rp. 53.379.000,- per siklus pemeliharaan per keramba.
Daya dukung perairan teluk sangat terkait dengan partisipasi dan kerjasama
seluruh pemangku kepentingan (Stakeholders) baik masyarakat maupun pemerintah
disekitar teluk Tamiang. Peningkatan koordinasi antar instansi yang berkompeten
terhadap kelestarian teluk perlu terus ditingkatkan.
Berdasarkan uraian secara keseluruhan, pendekatan sistem dengan model
yang dibuat dalam pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung dapat
memberikan gambaran eksploratif untuk pendugaan, pemahaman dan penunjang
keputusan yang berguna bagi pengelolaan kualitas lingkungan dalam pengembangan
budidaya KJA ikan kerapu secara berkelanjutan.
4.12. Implikasi Kebijakan Operasional Implikasi kebijakan operasional yang dapat ditempuh antara lain :
a) Penataan kawasan pemukiman di sekitar perairan Teluk Tamiang dengan
melakukan pembatasan dan penataan rumah penduduk.
b) Memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran kepada masyarakat
akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan perairan teluk dengan tidak
menjadikan perairan teluk sebagai tempat pembuangan sampah.
c) Penurunan jumlah beban limbah yang berasal dari aktifitas antropogenik dengan
mengupayakan pada penekanan laju pertumbuhan penduduk,membatasi dan
menata pemukiman penduduk di sekitar Teluk Tamiang.
d) Melakukan kegiatan diseminasi paket teknologi budidaya yang ramah lingkungan
dengan menekankan pada peningkatan pengetahuan managemen budidaya
keramba jaring apung.
e) Perlu ada Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten sebagai bentuk dari
tanggungjawab pemerintah untuk mengatur pemanfaatan Teluk Tamiang secara
lestari baik dalam penentuan tingkat penerapan teknologi budidaya, pembatasan
jumlah keramba jaring apung dalam instrumen regulasi izin usaha, dan penataan
pemukiman/ruang agar harmonis dengan aktivitas lainnya.
4.13. Strategi Pengelolaan untuk Pengembangan Budidaya Kerapu Sistem KJA di Pesisir Teluk Tamiang Secara bekelanjutan
Beberapa langkah strategi yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Tata aturan pengelolaan bersama dibuat dengan mempertimbangkan aspek
keberlanjutan artinya pemanfaatan sumberdaya pesisir haruslah berbasis kepada
aspek daya dukung lingkungan perairan sebagai batas optimal pengelolaan
disamping harus pula mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Nilai daya
dukung perairan yang telah ditetapkan dan diuraikan sebelumnya hendaknya
dapat menjadi salah satu masukan didalam menyusun strategi pengelolaan
bersama guna menentukan batas-batas wilayah pengelolaan untuk masing-
masing pengguna
2. Limbah hasil kegiatan budidaya ikan dalam KJA baik berupa sisa pakan, feses
dan ekskresi yang terbuang kedalam perairan teluk (badan air) merupakan bahan
pencemar organik yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan
kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan budidaya dan biota perairan lainnya.
Untuk mengantisipasi penurunan kelayakan habitat dan dampaknya terhadap
lingkungan perairan budidaya, maka perlu dilakukan upaya-upaya diantaranya
adalah efisiensi pakan melalui teknik pemberian pakan yang baik (frekuensi dan
dosis pakan yang tepat) dan pengaturan padat tebar ikan dengan perbaikan dari
sisi manajemen budidaya.
3. Untuk meminimalisasi limbah dari aktivitas didaratan antara lain berasal dari
kegiatan peternakan, dan pemukiman (rumah tangga), maka perlu dilakukan
upaya-upaya antara lain : (1) membuat sarana tempat pembuangan sampah akhir
di daratan yang mudah dijangkau, (2) memberikan pemahaman kepada
masyarakat bahwa pesisir teluk bukan merupakan tempat pembuangan sampah
akan tetapi adalah ladang untuk kehidupan dan mendapatkan mata pencaharian,
dan (3) melakukan kegiatan pemeliharaan ternak yang jauh dari wilayah pesisir
(4) Penataan kawasan pemukiman penduduk disekitar Teluk Tamiang.
4. Rencana pengembangan diarahkan dalam sistem perencanaan pengembangan
wilayah pesisir secara terpadu yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah.
Sistem ini akan bermanfaat untuk acuan perizinan dan akses kompromi antar
stakeholders yang mencakup aspek persetujuan pemanfaatan wilayah untuk
budidaya, transportasi laut dan pengelolaan pelestarian sumberdaya perairan,
peternakan dan pemukiman yang dibangun dalam konteks pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu dan berkelanjutan (integrated and sustainable).
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan 1. Model pengelolaan kualitas lingkungan perairan Teluk Tamiang berbasis daya
dukung untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA ikan kerapu yang dibangun
dapat menggambarkan perilaku system yang nyata dan dapat digunakan sebagai
alat bantu analisis dalam memformulasi kebijakan pengelolaan perairan untuk
pengembangan kawasan budidaya. Data dan informasi yang terkait dengan
pengelolaan budidaya KJA diperoleh melalui pendekatan simulasi. Model ini dapat
digunakan untuk pemahaman, pendugaan (prediction) dan optimasi alokasi
sumberdaya perikanan budidaya pada batas level minimum resiko kerusakan
lingkungan .
2. Beban limbah budidaya kerapu dalam KJA yang terbuang ke lingkungan perairan
masih cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan pengkayaan nutrient N dan P
kedalam lingkungan perairan. Untuk memproduksi 237.6 kg ikan dibutuhkan
sebanyak 1.406.3 kg pakan rucah (FCR 5.9). Total bahan organik partikel yang
dihasilkan sebesar 707.5 kg (50.3%) dari total pakan.
3. Dari kedua metode pendekatan yang digunakan dalam pendugaan daya dukung
lingkungan perairan teluk bagi pengembangan KJA ikan kerapu diperoleh kisaran
produksi ikan antara 18.8 – 62.5 ton ikan atau 16 – 52 unit (80 – 260 KJA) pada
tingkat baku mutu ammonia (NH3N) 0.3 dan 1 ppm (produksi optimal – maksimal)
untuk 2 kali musim tanam/tahun. 4. Dari hasil simulasi skenario (optimis, moderat, dan pesimis) yang telah dilakukan
dari kombinasi antara besar kontribusi limbah antropogenik dengan padat tebar
ikan kerapu yang berbeda pada aktifitas budidaya di perairan teluk, menghasilkan
beberapa alternatif untuk dapat dijadikan referensi bagi perencanaan pengelolaan
kawasan perairan teluk karena masih dalam rentang daya dukung perairan teluk
sebagai kawasan pengembangan kegiatan budidaya ikan yang berkelanjutan.
5. Model yang dibangun agar lebih mudah diimplementasikan dihasilkan piranti lunak
dalam bentuk Visual Basic, disebut MOCATYBUKEJARAPUPU 1.0 (Model
Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu). Model penduga daya dukung
perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.
5.2. Saran 1. Upaya-upaya perbaikan ekosistem dan menyeimbangkan pemanfaatan perairan
teluk melalui pendekatan eko-teknologi merupakan hal yang penting dilakukan
untuk mengurangi degradasi kualitas lingkungan perairan teluk dalam menjamin
kelangsungan usaha budidaya ikan di KJA sehingga kualitas airnya layak bagi
kehidupan ikan.
2. Model pengelolaan yang dibangun dapat digunakan sebagai alat untuk
memprediksi dampak dan optimasi pemanfaatan didasarkan pada variabel-variabel
yang telah diketahui atau yang masih diasumsikan, oleh karena itu perlu ada kajian
untuk lebih melengkapi kebutuhan dasar (perilaku sistem) agar mendekati kondisi
yang sebenar benarnya antara lain tentang peran mikroorganisme sebagai
pengurai (decomposer), ikan, plankton (zoo-p dan phyto-p) dan biota perairan
lainnya.
3. Untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA di perairan Teluk Tamiang perlu
ada identifikasi beban limbah dari pakan komersil (buatan) dan berbagai jenis ikan
yang lain untuk dibudidayakan.
4. Upaya pengembangan budidaya KJA secara lestari dan berkelanjutan perlu
didukung oleh sarana dan prasarana yang terkait dengan budidaya KJA serta
penegakan peraturan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran akan kelestarian lingkungan perairan teluk.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Halsted Press. A Division of John Wiley &
Sons. New York.
Akbar, S dan Sudaryanto, 2002. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penebar Swadaya. Jakarta. ).
Ahmad T, Rukyani A. Wijono A. 1991. Teknik budidaya laut dengan keramba jaring apung. P:69-87. Dalam Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung bagi Budidaya Laut. Jakarta, 12-13 April 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, FPKKA Agri-Business Club. Jakarta.
APHA (American Public Health Association), 1992. Standart Methods for the
Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association. Washington, DC. 874p.
Arinardi, O.H. 1997. Status Pengetahuan Plankton di Indonesia. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia, 30: 63-95. Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Maros, 2004. Laporan Evaluasi Tingkat
Kelayakan Perairan Teluk Tamiang Bagi Pengembangan Budidaya Laut. Barg, U. C. 1992. Guidelines of the promotion of environmental management of
coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122 pages.
Beveridge, M.C.M. 1987. Cage and pen farming: carrying capacity models and
environmental impact. FAO Fish. Tech.Pap.255. FIRI/T255, 131p. Experiment Station, Auburn University, Alabama. 482p.
Beveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture. Second Edition. Fishing News Books.
London. 346p. Boyd C. E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station, Auburn University, Alabama. 482p. Bourgeois, R. 2002. Expert Meeting Methodology for Prospective Analysis. CIRAD
Amis Ecopol. Clark, J. 1974. Coastal Ecosystems: Ecological considerations for management of the
the coastal zone. The Conservation Foundation, Washington, D.C. 178p. Cornel G. E, Whoriskey F. G. 1993. The effects of rainbow trout (Oncorhynchus
mykiss) cage culture on the water quality, zooplankton, benthos and sediment of Lac du Passage, Quebec, Aquaculture, 109:101-117.
Dahuri, R. 1998. Pengaruh pencemaran limbah industri terhadap potensi sumberdaya laut. Makalah pada Seminar Teknologi Pengolahan Limbah Industri dan Pencemaran Laut. BPPT, Jakarta.
Davis, C.C, 1955. The Marine and Fresh Water Plankton, Michigan State Universitas
Press. DITJENBUDKAN, 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Budidaya Ikan Kerapu.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat Pembudidayaan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL. 1996. Duxbury and Duxbury. 1999. Primer Productivity. Michigan State Universitas Press. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelanautan. IPB. Bogor.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor.
FAO, 1996. Food and Agriculture Organization of the United Nation. FAO Technical Guidelines For Responsible Fisheries. Roma.
Furnichi, M. 1988. Dietry Requirement. In Fish Nutrition in Mariculture (T. Watanabe ed). Japan International Cooperation Agency, p. 9-79.
Forrrester, J.W. 1968. Principles of Systems. Wright-Allen. Press, Inc. Massachusetts.
GESAMP REPORTS AND STUDIES FAO. 2001. Planning and Management for Sustainable Costal Aquaculture Development. Roma.
Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Marin. 1997. Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation. John Wiley & Sons. New York.
Giri, N.A.,K. Suwirya, dan Marzuki. 1999. Kebutuhan protein, lemak, dan vitamin C pada yuwana kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5(3): 38-49.
Goldman R and A.J. Horne, 1983. Limnology. McGraw Hill International . Book Company. Auckland, New Zealand. 464p.
Hall., C.A.S. and Day, Jr.,J.W. (Eds). 1997. Ecosystem modeling in theory and practice: An introduction with case histories. John Wiley & Sons, New York. 684 p.
Hardjowigeno S, Widiatmika. 2001.Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna
Tanah. Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor. Hartrisari, H. 2002. Bahan Kuliah Analisis Sistem dan Pemodelan dalam Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan (Tidak dipublikasi). Program Pascasarjana SPL-IPB. Bogor.
Hutagalung H. P, Setiapermana D dan Riyono S.H., 1997. Metode Analisis Air laut, Sedimen dan Biota Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. 78 hal.
Jeffers, J. N. R. 1978. An Introduction to System Analysis:with ecological application.
Edward Arnold, London, p1-11. Jorgensen, S.E. 1988. Fundamentals of Ecological Modelling. Elsevier, Amesterdam.
P:9-89. Kaswadji, R. F. Widjaja, F. and Wardianto Y. 1993. Produktivitas Primer dan laju
pertumbuhan fitoplankton di perairan pantai Bekasi. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, (12):1-15.
Kenchington R. A, Hudson B. E. T. (eds.) 1984. Coral reef management handbook.
Jakarta, Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East Asia;281pp.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Lawson TB. 1995. Fundamentals of Aquacultural Engineering. Chapman & Hall, New
York. 355 pp. . Lee, C.D.,S.B, Wang and Kuo. 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as
Biological Indicators of Water Quality, with Reference to Community Diversity Index. International Conference of Water Pollutan Control in Developing Countries. Bangkok Thailand.
McDonald M. E. Tikkanen C. A. Axler R. P. Larsen C. P. Host G. 1996. Fish simulation
culture model (FIS-C): a bioenergetics based model for aquacultural wasteload application. Aquacultural Engineering, 15(4):243-259.
Meade, J. W. 1989. Aquaculture Management. AnAvi Book, Van Nostrand Reinhold,
New York. 175p. Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta
serta Keterkaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nugroho, A. 1989. Budidaya Ikan Kerapu Di Kurungan Apung. Direktorat Jendral
Perikanan. Jakarta. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologi. Penerbit CV.
Gramedia Jakarta. Penerjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M Hutomo dan S. Sukardjo. 458 halaman.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. Third Edition. W.B. Saunders Company.
Toronto.
Parson, T.P., M. Takahashi and B, Hargrave. 1984. Biological Oceanographie Process. Third Edition. Pergamon Press. Offord-New York-Toronto-Sydney-Paris-Frankfurt.
Price, D.R.H. 1979. Fish as Indicators of River Water Quality in A. James and Lillian
Evison. Biology Indicators of Water Quality. John Wiley and Sons, New York. Perez OM, Ross LG, Telfer TC and del Campo Barquin LM. 2003. Water Quality
Requirements for Marine Fish Cage Site Selection in Tenerife (Canary Islands): predictive modelling and analysis using GIS. Aquaculture 224: 51–68.
Rachmansyah, 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng Dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ray, P. and N. G. S. Rao, 1964. Density of Freshwater Diatom and Relation to some
Physico-Chemical Condition of Water. Jurnal Fish. India. Rustam, 2005. Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan Terhadap Daya Dukung
Kawasan Pesisir (Studi Kasus Tambak Udang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
San Diego-McGlone. 2006. Marine Science Institute University of Philippines.
(McGlone,www.nest..su.se/MNODE/Methode/powerpoint/wasteload4/ppt.htm) Sunyoto, P. 1993. Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Apung. PT. Penebar
Swadaya, Jakarta. Sushil. 1993. System Dynamics. A Practical Approach for Managerial Problems.
Wiley Eastern Limited. New Delhi. SEAFDEC Aquaculture Departemen Kelompok Kerja Perikanan APEC.
Pembudidayaan dan Managemen Kesehatan Ikan Kerapu. 2001. Sutarmat, T, Hanafi. A, Suwarya. K, Ismi. S, Wadoyo, Kawahara. S. 2003. Pengaruh
Beberapa Jenis Pakan Terhadap Performasi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indoenesia. Edisi Akuakultur. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dam Perikanan Republik Indonesia.
Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. Tambaru, R. 2000. Pengaruh waktu inkubasi terhadap Produkivitas Primer di Perairan
Teluk Hurun. Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Perairan. IPB. Bogor.
Umaly, R. C. and L. A. Cuvin. 1988. Limnologi: Laboratory and Field Guide Physico-Chemical Factors, Biology Factors. National Book Store Publik., Manila
Usman, Rachmansyah, Pongsapan DS. 2002. Beban limbah budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros.
(UNEP) United Nations Enviroment Programme. 1993. Training Manual on
Assesment of the Wuantity and Type of Land-Based Pollution Discharges Into the Marine and Coastal Enviroment. RCU/EAS Technical Reports Series No.1.
Velvin, R. 1999. Environment Effects from Fish Farming. In : Poppe, T (Ed.),
Textbook of Fish Health and Fish Diseases. Universitetforlaget, Oslo, Norway, pp 340 – 347 in Norwegian.
Widigdo, B. 2000. Penyusunan Kriteria Eko-Biologis untuk Pemulihan dan Pelestarian
Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL, Bogor. www.suharjawanasuria.tripod.com. 2006. Budidaya Kerapu dan Peluang Ekspor
(Grouper Culvation to Face Export Challenge).
Piranti Lunak Visual Basic ”MOCATYBUKEJARAPUPU 1.0” (Model Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu)
Beveridge M and Muir JM. 1982. An Evaluation on Proposed Cage Fish Culture on Loch Lomond, an Important reservoir in Central Scotland. Can. Wat. Resources J. 7: 181 – 196.
Bengen D.G. 2000. Sinopsis: Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik
sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 88p.
Bergheim A, Hustveit H, Kittelsen A and Selmer-Olsen A. 1982. Estimated Pollution
Loadings from Norwegian Fish Farms. I. Investigations 1978-1979. Aquaculture 28: 346 – 361.
Garcia, S.M. and Staples, D.J. and Chesson, J. 2000. The FAO Guidelines for development and use of indicators for sustainable development of marine capture fisheries and an Australian example of their application. Ocean and Coastal management. 43 : 537 – 556.
Gowen RJ and Bradbury NB. 1987. The Ecological Impact of Salmonid Farming in Coastal Waters: A Review. Oceanogr. Mar. Boil. Annu. Rev. 25: 563 – 575.
Johnsen RI, Grhln-Nielsen O, Lunestad BT. 1993. Environmental distribution of organic waste from a marine fish farm. Aquaculture, 118:229-244.
McLean W. E, Jensen J.O.T. Alderdice D.F. 1993. Oxygen consumption rates and
water flow requirements of Pacific salmon (Oncorhynchus spp) in the fish culture environment. Aquaculture., 109;281-313.
Molver J, Stigebrandt A and Bjerkenes V. 1988. On the Excretion of Nitrogen and phosphorous from Salmon. Proc. Aquaculture Int. Congres, 80 pp. Aquaculture International Congress. Vancouver, BC.
Muller F and Varadi L. 1980. The Results of Cage Fish Culture in Hungary. Aquacult.
Hung. 2: 154 – 167. Penczak T, Galicka W, Molinsky M, Kusto E and Zalewski M. 1982. The Enrichment of
a Mesotrophic Lake by Carbon, Phosphorous and Nitrogen from the Cage Aquaculture of Rainbow Trout (Salmo gairdneri). J. Appl. Ecol. 19: 371 – 393.
Poernomo, A. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Udang Ramah
Lingkungan. Ditjend Perikanan, Jakarta. Peres H and Oliva-Teles A. 1999. Influence of Temperature on Protein Utilization in
Juvenile European Seabass (Dicentrarchus labrax). Aquaculture 170: 337–348.
Russel NR, Fish JD and Wootton RJ. 1996. Feeding and Growth of Juvenile Seabass: Effect of Ration and Temperature on Growth Rate and Efficiency. J. Fish Biol. 49, 206–220.
Silvert, W. and J. W. Sowles. 1996. Modelling Environmental impact of marine finfish
aquaculture, J. Appl. Ichtihyology 1996;12:75-81. excess Smith VH, Tilman GD, Nekola JC. 1999. Eutrophication: impacts of excess nutrient
inputs on freshwater, marine, and terrestrial ecosystems. Environmental Pollution (100: 179 – 196.
Wu RSS, Lam KS, MacKay DW, Lau TC and Yam V. 1994. Impact of Marine Fish Farming on Water Quality and Bottom Sediment: a Case Study of the Sub-Tropical Environment. Mar. Environ. Res. 38: 115 – 145.
Lowell, T. 1980. Feeding tilapia. Aquaculture, 7 : 42-43. (LOICZ) Project (Malou San Diego
McGlone,www.nest..su.se/MNODE/Methode/powerpoint/wasteload4/ppt.htm) (2006)
108
Lampiran 1 Tabel Hasil analisis plankton di Perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 2006
Bulan pengamatan : Mei 2006 Phylum Stasiun Pengamatan Genera St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Phytoplankton 1. Cyanophyta Aphanothece 3750 124 60 1475 231 43 79 78 429 178 Polycytis 1575 65 75 67 201 2601 0 49 1321 125 2. Chlorophytta Closteriopsis 8 10 6 0 29 40 201 213 42 71 3. Chrysophyta
Campyloneis 38 36 45 42 67 0 718 49 28 23 Climacosphenia 15 17 8 19 41 55 15 71 321 0 Bidhulpia 23 26 20 20 0 178 78 0 79 72 Ceratium 45 0 59 0 105 0 59 25 0 31 chaetoceros 53 0 60 38 0 149 0 128 310 28 Coscinusdiscus 98 28 0 65 201 189 75 32 42 123 Diploneis 8 16 35 13 67 0 19 325 0 52 Cyclotella 38 30 0 0 84 0 78 273 321 38 Diatoma 68 0 158 43 0 157 0 128 0 0 Distephanus 8 14 8 10 40 159 0 107 178 235 Epithemia 8 15 10 12 27 0 701 0 48 172 Eunotia 15 35 13 0 43 38 0 81 321 0 Pleurosigma 45 0 54 41 74 0 78 79 1781 29 Gyrosigma 23 41 25 21 46 74 0 0 259 1721 Hemiaulus 30 0 28 0 70 0 212 28 471 178 Eucampia 15 20 17 16 0 57 17 0 23 321 Nitszchia 30 26 23 0 665 0 113 256 0 258 Fragilaria 68 0 66 46 125 17 0 704 66 114 Thalassiosira 105 55 15 0 201 89 49 0 231 722 Rhizosolenia 23 0 23 32 135 0 210 259 461 112 Lauderia 60 126 0 15 75 112 121 301 721 325 Thalassiotrix 105 99 51 96 0 132 712 0 479 231
Kelimpahan (sel/liter) 6254 783 859 2071 2527 4090 3535 3186 7932 5159 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.3632 2.6054 2.7850 1.3583 2.5987 1.5805 2.3161 2.5745 2.5373 2.4237
Indeks Keseragaman 0.4235 0.8094 0.8652 0.4220 0.8073 0.4910 0.7195 0.7998 0.7882 0.7530 Indeks Dominasi 0.4245 0.0930 0.0789 0.5142 0.1100 0.4160 0.1366 0.1005 0.1090 0.1516 Zooplankton 1. Protozoa
Protoperidium 60 0 33 47 147 245 38 67 58 79 Prorocentrum 8 5 4 12 21 40 10 12 10 278 Dinophysis 8 4 2 15 33 59 11 15 12 34 Acanthocystis 8 6 3 8 18 651 4 18 0 27 Eutinnus 8 4 0 10 25 71 8 9 10 14
2. Aschelminthes Ecentrum 8 7 3 8 40 63 8 16 12 52 Ploesoma 8 2 0 4 30 42 7 14 10 20
Kelimpahan (sel/liter) 108 28 45 104 314 1171 86 151 112 504 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.4833 1.7288 0.9420 1.6325 1.6252 1.3661 1.6629 1.6712 1.4665 1.4193
Indeks Keseragaman 0.7623 0.8884 0.4841 0.8389 0.8352 0.7021 0.8545 0.8588 0.7536 0.7294 Indeks Dominasi 0.3416 0.1862 0.5565 0.2609 0.2697 0.3644 0.2512 0.2506 0.3151 0.3492
109
Bulan pengamatan : Juni 2006
Phylum Stasiun Pengamatan Genera St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Phytoplankton 1. Cyanophyta
Aphanothece 225 45 782 123 210 445 125 0 721 0 Polycytis 27 76 0 214 231 1021 732 1321 642 69
2. Chlorophytta Closteriopsis 21 0 234 152 123 231 0 576 121 25
3. Chrysophyta Campyloneis 45 45 0 42 0 0 542 112 21 132 Climacosphenia 29 172 112 0 112 132 1251 345 0 735 Bidhulpia 0 34 234 1120 0 231 231 0 112 90 Ceratium 115 72 0 0 1102 0 0 351 721 0 chaetoceros 201 15 124 242 162 0 321 0 27 1423 Coscinusdiscus 24 31 95 1102 1201 0 1121 0 112 451 Diploneis 16 113 0 222 0 1121 0 23 406 0 Cyclotella 24 13 123 0 125 321 325 0 231 267 Diatoma 15 2126 241 621 0 123 25 0 1121 0 Distephanus 34 115 8 112 171 0 275 251 98 69 Epithemia 0 117 112 0 221 112 0 12 153 372 Eunotia 23 335 0 114 0 607 1213 23 521 27 Pleurosigma 14 238 0 231 112 125 0 231 0 0 Gyrosigma 49 2241 123 112 107 0 1264 21 38 565 Hemiaulus 0 215 514 0 231 13 0 0 215 235 Eucampia 125 0 15 0 102 0 0 235 34 742 Nitszchia 3725 1232 0 12 0 201 27 15 0 176 Fragilaria 121 0 124 412 0 0 29 536 0 0 Thalassiosira 198 0 982 0 0 174 0 2231 567 523 Rhizosolenia 130 12 27 12 0 1015 62 1142 0 356 Lauderia 0 126 1123 124 25 0 31 0 795 712 Thalassiotrix 295 48 474 0 130 132 712 1446 352 231
Kelimpahan (sel/liter) 5456 7421 5447 4967 4365 6004 8286 8871 7008 7200 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.4416 1.9888 2.3826 2.3182 2.2630 2.3789 2.3704 2.2037 2.5968 2.5746
Indeks Keseragaman 0.4479 0.6179 0.7402 0.7202 0.7030 0.7391 0.7364 0.6846 0.8067 0.7998 Indeks Dominasi 0.4758 0.2066 0.1210 0.1348 0.1578 0.1180 0.1105 0.1419 0.0896 0.0951 Zooplankton 1. Protozoa
Protoperidium 69 46 86 70 37 135 54 34 58 45 Prorocentrum 11 9 32 57 35 25 26 22 12 40 Dinophysis 9 15 17 67 15 32 7 12 10 78 Acanthocystis 2 28 8 65 32 131 23 17 5 82 Eutinnus 11 6 19 32 15 92 0 19 7 23
2. Aschelminthes Ecentrum 6 7 23 46 35 71 11 12 8 22 Ploesoma 4 9 30 73 32 45 0 35 12 34
Kelimpahan (sel/liter) 112 120 215 410 201 531 121 151 112 324 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.3045 1.6711 1.7015 1.9159 1.8927 1.7885 1.3889 1.8644 1.5357 1.8300
Indeks Keseragaman 0.6704 0.8588 0.8744 0.9846 0.9727 0.9191 0.7138 0.9581 0.7892 0.9404 Indeks Dominasi 0.4098 0.2342 0.2285 0.1507 0.1564 0.1864 0.2931 0.1668 0.3101 0.1772
110
Bulan Pengamatan : Juli 2006
Phylum Stasiun Pengamatan Genera St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Phytoplankton 1. Cyanophyta
Aphanothece 1232 16 871 98 2245 0 222 132 432 79 Polycytis 136 2341 124 513 1451 398 567 0 227 889
2. Chlorophytta Closteriopsis 27 65 0 132 321 3251 121 1134 0 121
3. Chrysophyta Campyloneis 72 123 98 0 981 0 435 98 35 675 Climacosphenia 0 831 342 115 145 754 0 115 0 567 Bidhulpia 135 123 0 789 0 884 521 121 56 357 Ceratium 0 82 453 123 61 0 25 56 24 215 chaetoceros 98 513 98 156 901 19 79 45 32 456 Coscinusdiscus 135 0 123 998 742 542 0 12 232 71 Diploneis 18 98 0 121 32 114 65 0 222 65 Cyclotella 35 10 87 15 0 241 0 234 0 1456 Diatoma 37 189 376 342 0 111 35 27 998 0 Distephanus 5 25 234 171 59 31 221 571 124 69 Epithemia 35 15 88 87 23 0 227 15 1123 0 Eunotia 321 212 231 17 0 572 435 21 231 0 Pleurosigma 0 123 231 782 131 0 342 224 567 322 Gyrosigma 175 0 123 79 0 167 678 25 42 0 Hemiaulus 12 312 432 166 0 25 324 0 343 35 Eucampia 2131 18 18 18 88 0 15 45 456 0 Nitszchia 0 988 12 11 27 332 0 563 0 234 Fragilaria 321 12 67 512 23 0 12 332 0 213 Thalassiosira 301 41 751 12 0 434 32 213 787 0 Rhizosolenia 143 96 0 112 12 81 0 324 95 0 Lauderia 25 0 823 78 15 0 12 168 0 35 Thalassiotrix 795 48 404 58 51 34 324 746 452 431
Kelimpahan (sel/liter) 6189 6281 5986 5505 7308 7990 4692 5221 6478 6290 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
2.1321 2.1245 2.6743 2.5975 2.0013 2.0735 2.5845 2.5302 2.5277 2.4492
Indeks Keseragaman 0.6624 0.6600 0.8308 0.8070 0.6217 0.6442 0.8029 0.7860 0.7853 0.7609 Indeks Dominasi 0.1857 0.1944 0.0854 0.1010 0.1804 0.2055 0.0879 0.1080 0.0990 0.1136 Zooplankton 1. Protozoa
Protoperidium 45 25 17 3 155 43 23 32 35 78 Prorocentrum 25 17 13 3 24 132 15 12 45 58 Dinophysis 7 27 0 12 10 45 7 21 12 111 Acanthocystis 3 25 5 12 0 131 11 0 6 129 Eutinnus 9 14 11 12 19 111 13 12 3 45
2. Aschelminthes Ecentrum 8 4 0 0 78 76 8 9 5 27 Ploesoma 7 12 19 5 29 35 12 12 11 64
Kelimpahan (sel/liter) 104 124 65 47 315 573 89 98 117 512 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.5798 1.8331 1.5301 1.6353 1.3892 1.8264 1.8759 1.6863 1.5654 1.8409
Indeks Keseragaman 0.8118 0.9420 0.7863 0.8404 0.7139 0.9386 0.9640 0.8666 0.8044 0.9461 Indeks Dominasi 0.2683 0.1707 0.2284 0.2150 0.3224 0.1760 0.1642 0.2060 0.2619 0.1727
111
Bulan Pengamatan : Agustus 2006
Phylum Stasiun Pengamatan Genera St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Phytoplankton 1. Cyanophyta
Aphanothece 341 231 0 77 234 552 125 298 324 57 Polycytis 212 142 221 345 0 545 156 456 34 56
2. Chlorophytta Closteriopsis 0 125 0 125 567 2256 0 998 0 231 3. Chrysophyta
Campyloneis 111 0 782 0 111 215 137 254 67 445 Climacosphenia 0 878 0 345 236 112 556 132 445 0 Bidhulpia 765 0 343 234 767 0 341 342 121 0 Ceratium 0 121 0 752 0 334 0 231 333 671 chaetoceros 0 765 112 0 1238 29 56 0 51 342 Coscinusdiscus 246 0 454 565 0 321 321 26 121 0 Diploneis 0 213 0 99 561 99 524 21 90 345 Cyclotella 76 112 234 0 12 454 0 0 334 115 Diatoma 0 989 0 231 265 0 67 123 321 456 Distephanus 11 231 78 421 77 342 324 321 0 1134 Epithemia 65 232 56 0 26 21 235 0 2321 1221 Eunotia 0 56 0 121 45 56 0 56 67 0 Pleurosigma 251 67 89 546 99 21 65 123 0 231 Gyrosigma 222 345 0 77 88 0 777 400 889 222 Hemiaulus 399 0 121 245 15 32 231 0 123 434 Eucampia 0 112 0 54 57 0 158 279 0 55 Nitszchia 667 0 17 0 454 343 0 125 124 567 Fragilaria 454 106 0 432 999 0 35 0 678 32 Thalassiosira 546 0 251 0 651 467 56 567 0 565 Rhizosolenia 224 125 112 116 15 89 294 1234 0 321 Lauderia 113 0 671 56 25 12 27 189 0 56 Thalassiotrix 355 331 415 67 25 103 324 678 581 0
Kelimpahan (sel/liter) 5058 5181 3956 4908 6567 6403 4809 6853 7024 7556 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
2.5835 2.5197 2.3767 2.6586 2.4763 2.3013 2.6875 2.6372 2.2946 2.6471
Indeks Keseragaman 0.8026 0.7828 0.7384 0.8260 0.7693 0.7149 0.8349 0.8193 0.7129 0.8224 Indeks Dominasi 0.0875 0.1072 0.1138 0.0842 0.1069 0.1624 0.0827 0.0910 0.1557 0.0873 Zooplankton 1. Protozoa
Protoperidium 25 112 6 4 98 35 24 55 32 65 Prorocentrum 51 8 5 2 121 195 17 0 25 76 Dinophysis 5 76 5 9 12 78 9 35 17 99 Acanthocystis 5 39 0 13 8 76 9 25 10 125 Eutinnus 11 45 4 10 9 56 15 10 6 55
2. Aschelminthes Ecentrum 5 8 5 2 26 56 7 13 8 20 Ploesoma 11 33 3 5 37 75 11 13 14 64
Kelimpahan (sel/liter) 113 321 28 45 311 571 92 151 112 504 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.5602 1.6579 1.7703 1.7509 1.5142 1.8005 1.8630 1.6065 1.7998 1.8468
Indeks Keseragaman 0.8018 0.8520 0.9098 0.8998 0.7781 0.9253 0.9574 0.8256 0.9249 0.9490 Indeks Dominasi 0.2775 0.2240 0.1735 0.1970 0.2748 0.1932 0.1680 0.2330 0.1861 0.1691
112
Bulan Pengamatan : September 2006
Phylum Stasiun Pengamatan Genera St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Phytoplankton 1. Cyanophyta
Aphanothece 231 112 125 0 253 52 0 1198 0 157 Polycytis 67 786 67 345 34 545 175 1456 0 412
2. Chlorophytta Closteriopsis 0 345 34 123 67 2256 0 98 1132 0
3. Chrysophyta Campyloneis 234 231 0 23 111 215 0 254 0 1123 Climacosphenia 0 456 44 312 0 112 57 132 46 0 Bidhulpia 656 12 232 0 677 0 352 0 1123 12 Ceratium 0 0 445 721 0 345 0 233 0 531 chaetoceros 12 234 45 323 0 29 52 0 55 42 Coscinusdiscus 445 0 0 565 56 231 0 37 123 0 Diploneis 0 237 347 99 0 976 523 0 95 45 Cyclotella 121 262 0 121 12 454 0 1112 336 0 Diatoma 75 667 0 231 217 0 87 0 123 57 Distephanus 45 345 121 421 72 43 24 322 0 1234 Epithemia 165 215 99 0 27 215 235 0 1234 0 Eunotia 667 67 54 121 0 637 0 65 12 1231 Pleurosigma 275 124 127 546 0 20 561 0 98 21 Gyrosigma 342 0 222 77 0 232 0 441 0 234 Hemiaulus 245 0 565 445 0 33 1231 12 243 0 Eucampia 561 0 0 56 0 115 158 0 256 0 Nitszchia 245 1221 352 0 454 443 25 135 0 435 Fragilaria 542 0 555 444 99 0 115 0 665 0 Thalassiosira 778 81 672 0 2499 656 0 0 46 67 Rhizosolenia 345 421 31 111 15 891 294 23 0 123 Lauderia 325 299 997 55 125 0 1127 0 123 0 Thalassiotrix 282 362 757 67 235 103 327 78 81 631
Kelimpahan (sel/liter) 6658 6477 5891 5206 4953 8603 5343 5596 5791 6355 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
2.8057 2.6470 2.5786 2.6940 1.7911 2.4916 2.2864 2.0680 2.2267 2.2187
Indeks Keseragaman 0.8717 0.8223 0.8011 0.8369 0.5564 0.7741 0.7103 0.6424 0.6918 0.6893 Indeks Dominasi 0.0692 0.0886 0.0940 0.0800 0.2906 0.1180 0.1342 0.1682 0.1438 0.1348 Zooplankton 1. Protozoa
Protoperidium 15 0 9 9 35 32 0 52 23 23 Prorocentrum 25 8 5 12 53 91 18 3 22 15 Dinophysis 10 4 9 26 0 18 21 13 16 23 Acanthocystis 0 9 0 17 12 16 0 15 0 25 Eutinnus 9 10 8 15 19 0 25 12 9 13
2. Aschelminthes Ecentrum 0 12 7 0 12 16 9 0 9 15 Ploesoma 10 18 25 5 0 13 16 5 13 0
Kelimpahan (sel/liter) 69 61 63 84 131 186 89 100 92 114 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.5251 1.7039 1.6300 1.6792 1.4367 1.4866 1.5609 1.3993 1.7242 1.7600
Indeks Keseragaman 0.7838 0.8756 0.8377 0.8629 0.7383 0.7639 0.8021 0.7191 0.8861 0.9044 Indeks Dominasi 0.2376 0.1959 0.2331 0.2041 0.2729 0.2980 0.2180 0.3276 0.1890 0.1771
113
Bulan Pengamatan : Oktober 2006
Phylum Stasiun Pengamatan Genera St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Phytoplankton 1. Cyanophyta
Aphanothece 1231 67 3541 0 1132 621 231 0 2541 67 Polycytis 154 87 1112 0 321 121 112 0 213 561
2. Chlorophytta Closteriopsis 13 321 0 2231 0 652 25 1265 0 15
3. Chrysophyta Campyloneis 0 432 26 125 26 0 345 3271 16 78 Climacosphenia 15 87 0 542 0 652 0 89 1123 0 Bidhulpia 451 0 0 18 76 0 321 17 0 98 Ceratium 112 57 15 645 0 0 12 1231 0 1151 chaetoceros 0 1123 0 2421 0 0 0 76 787 0 Coscinusdiscus 46 78 23 68 0 542 17 123 0 234 Diploneis 15 452 0 132 12 76 0 0 111 9 Cyclotella 321 0 231 0 0 45 113 0 95 231 Diatoma 117 453 12 0 342 0 0 1651 561 0 Distephanus 47 321 0 652 0 112 0 0 12 0 Epithemia 0 543 0 25 0 0 3421 0 76 2341 Eunotia 1231 0 1123 0 12 0 0 1263 0 78 Pleurosigma 0 1165 0 666 0 112 89 0 132 216 Gyrosigma 0 231 12 123 52 0 15 651 12 1121 Hemiaulus 111 12 754 0 0 135 0 561 0 89 Eucampia 521 0 115 234 0 0 1345 0 132 15 Nitszchia 134 0 445 25 55 785 25 0 0 651 Fragilaria 521 12 56 144 0 123 76 0 0 85 Thalassiosira 0 113 72 1321 0 878 38 0 121 17 Rhizosolenia 667 65 0 27 231 1113 0 0 0 542 Lauderia 132 325 0 0 5321 234 989 0 0 12 Thalassiotrix 189 67 0 55 38 4321 321 0 1367 0
Kelimpahan (sel/liter) 6028 6011 7537 9454 7618 10522 7495 10198 7299 7611 Rata-Rata Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
2.3786 2.4950 1.6399 2.1371 1.0945 2.0680 1.7790 1.9093 1.9248 2.1854
Indeks Keseragaman 0.7390 0.7751 0.5095 0.6639 0.3400 0.6425 0.5527 0.5932 0.5980 0.6789 Indeks Dominasi 0.1228 0.1086 0.2795 0.1599 0.5149 0.2074 0.2654 0.1818 0.1998 0.1604 Zooplankton 1. Protozoa
Protoperidium 7 5 0 7 16 0 7 42 0 21 Prorocentrum 13 3 17 10 13 19 10 0 26 0 Dinophysis 9 7 0 21 17 0 15 0 34 0 Acanthocystis 6 2 12 0 0 23 0 11 18 28 Eutinnus 12 0 9 8 0 23 22 9 0 20
2. Aschelminthes Ecentrum 5 24 0 9 42 7 25 5 0 19 Ploesoma 12 34 35 23 0 10 28 9 9 13
Kelimpahan (sel/liter) 64 75 73 78 88 82 107 76 87 101 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
1.8905 1.3506 1.2467 1.6758 1.2631 1.5186 1.6911 1.2918 1.2888 1.5811
Indeks Keseragaman 0.9715 0.6940 0.6407 0.8612 0.6491 0.7804 0.8691 0.6639 0.6623 0.8125 Indeks Dominasi 0.1582 0.3234 0.3263 0.2078 0.3200 0.2332 0.1980 0.3587 0.2955 0.2113
114
Lampiran 2. Tabel hasil analisis bentos di Perairan Teluk Tamiang dari Mei s/d Oktober 2006 Bulan Pengamaran : Mei 2006
Stasiun Pengamatan Famili/Spesies St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Olividae Oliva sp
0
667
0
4
0
25
0
37
12
44
Epitoniidae Epitonium Trifasciatum Epitonium lamellosa Epitonium scalase
0 2 1
0 0 0
3 23 0
0 0 3
0 0 12
31 0 0
0 15 0
0 0 1
23 0 0
133 0 0
Tellinidae Tellina sp
0
133
0
0
0
52
0
33
45
2222
Veneridae Pitar manillae Donsinia insularum Gafrarium tumidum Placamen chlorotica Donax (latona) cuneatus Dosinia insilarum
4 0 2 1 0 0
0 0 0 0
178 0
0 1 8 19 0 2
6 12 0 0 0 3
0 0 0 0 17 0
0 0 0 0 50 0
0 0 21 0 0 0
0 0 0 0 72 0
7 23 0 0 52 0
0 0 0 0
2444 0
Arcidae Barbatia decussota Barbatia candida Achatina Fulicia
0 1 3
0 0 89
2 3 0
0 0 0
0 0 23
1 5 0
7 11 0
0 0 0
0 0 11
0 0
222 Niticidae Natica vitellus Natica canrena
1 2
0 0
0 0
12 0
0 7
0 6
0 1
11 8
0 0
0 0
Dentalidae Dentalium longtrorsium Dentalium elephantium
0 0
0 0
4 2
0 15
0 0
0 0
12 0
0 0
0 0
0 0
Ovulidae Phenacovolca angasi Pholas orieantalis Prionovula fruticum
19 0 0
0
489 0
0 0 1
0 0 23
0 23 0
12 12 0
0 0 0
0 0 0
0 19 0
0
1822 0
Eulimidae Arca sp
0
1600
0
0
53
14
0
12
35
3911
Lucinidae Codakia sp
0
0
1
2
0
0
3
1
0
0
Cardiidae Trachycardium sp Laevicardium crassum Vepricardium fimbiatum Chicoreus (triplex)
0 1 1 0
2 0 0 0
1 0 2 5
0 7 0 0
5 0 5 2
27 0 0 0
2 2 1 1
0 5 2 2
0 0 0 0
2 0 0 44
Buccinidae Pisania fascicullata Cantharus fumosus Placuna placenta Batllaria Zonaks Pisania crocata Brunneus
2 1 0 1 4 0
0 0 0 0 0 0
4 5 1 0 2 1
0 0 3 4 0 8
0 0 0 26 0 0
0 0 11 0 8 4
2 1 0 0 0 0
2 1 1 0 0 0
0 0 16 26 0 0
0 0 89
1644 0 0
Concellariidae Cancellaria longitrorsum Corbicula Javana Cancellaria oblonga
1 1 0
0 89 0
2 0 6
5 0 16
0 0 0
0 13 0
0 0 0
1 0 1
0 12 0
0
222 0
Mitridae Imbricaria olivaefromis Mitrapelliserpentis Mitra avenacea Mitra eremitarum Imbricaria conularis
5 1 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 7 0 1
0 3 0 11 3
0 6 0 0 9
1 1 7 0 0
3 2 1 0 1
0 0 0 0 0
0 0 1 0 0
0 0 0 0 0
Nassariidae Nassarius venustus Nassarius livescens
0 0
0 0
1 3
4 3
0 0
0 0
1 1
0 2
0 0
0 0
Jumlah Spesies 20 7 26 20 12 17 19 17 13 12 Kelimpahan (sel/liter) 74 3254 136 167 200 297 107 209 295 12811 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener) 3.5128 2.0930 3.9687 3.9613 3.1115 3.5545 3.4017 2.7509 3.3813 2.5775 Indeks Keseragaman 2.7000 2.4766 2.8048 3.0448 2.8833 2.8888 2.6602 2.2357 3.0354 2.3884 Indeks Dominasi 0.1557 0.3139 0.0975 0.0786 0.1470 0.1082 0.1320 0.2175 0.1102 0.1975
115
Bulan Pengamatan : Juni 2006 Stasiun Pengamatan
Famili/Spesies St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Olividae Oliva sp
2
235
2
5
17
0
0
0
15
2
Epitoniidae Epitonium Trifasciatum Epitonium lamellosa Epitonium scalase
3 2 3
0 0 0
5 12 0
1 5 3
0 0 16
22 0 0
0 5 0
3 7 0
5 5 2
27 2 0
Tellinidae Tellina sp
12
133
0
0
0
52
0
33
45
2222
Veneridae Pitar manillae Donsinia insularum Gafrarium tumidum Placamen chlorotica Donax (latona) cuneatus Dosinia insilarum
5 0 5 4 5 5
0 3 0 0 80 0
5 0 3 6 0 4
0 15 5 12 0 3
14 5 0 3 12 0
7 0 7 0 21 0
21 0 17 23 8 0
0 7 6 0 0 12
8 15 0 5 23 0
0 0 0 0
213 0
Arcidae Barbatia decussota Barbatia candida Achatina Fulicia
8 3 5
0 0 63
3 0 5
2 0 0
0 7 17
1 0 5
7 11 0
4 15 0
2 0 9
0 0
215 Niticidae Natica vitellus Natica canrena
5 1
0 0
2 1
8 0
0 8
4 3
0 0
9 5
0 0
3 0
Dentalidae Dentalium longtrorsium Dentalium elephantium
5 6
0 3
3 0
0 0
2 7
0 6
8 0
0 4
1 0
0 0
Ovulidae Phenacovolca angasi Pholas orieantalis Prionovula fruticum
12 0 3
0 57 0
3 0 5
0 4 16
0 19 4
9 9 0
0 7 7
3 9 0
0 0 0
0
723 0
Eulimidae Arca sp
7
49
38
0
24
0
71
0
15
343
Lucinidae Codakia sp
7
0
0
0
0
4
0
8
0
0
Cardiidae Trachycardium sp Laevicardium crassum Vepricardium fimbiatum Chicoreus (triplex)
5 0 7 0
0 7 0 0
0 0 6 0
7 0 0 0
0 5 0 9
15 0 0 0
0 4 7 0
3 1 0 2
0 0 5 0
2 0 0 29
Buccinidae Pisania fascicullata Cantharus fumosus Placuna placenta Batllaria Zonaks Pisania crocata Brunneus
7 5 4 0 0 3
0 0 0 0 12 0
0 0 0 0 0 0
8 13 0 0 4 0
0 4 0 8 0 5
0 0 6 1 7 0
6 0 0 0 0 7
0 0 0 0 5 0
12 8 12 15 0 0
0 0 51 356 0 0
Concellariidae Cancellaria longitrorsum Corbicula Javana Cancellaria oblonga
6 45 0
0 0 0
0 6 0
1 0 0
9 0 0
0 7 0
0 0 8
7 0 1
0 7 15
12
2484 0
Mitridae Imbricaria olivaefromis Mitrapelliserpentis Mitra avenacea Mitra eremitarum Imbricaria conularis
7 5 12 3 7
0 0 0 0 0
7 1 0 0 0
0 3 0 11 3
0 0 5 0 0
12 0 0 5 0
0 0 0 0 7
0 0 0 7 0
15 0 0 0 4
8 0 17 0 5
Nassariidae Nassarius venustus Nassarius livescens
8 0
0 0
0 0
0 0
12 0
0 12
0 0
7 8
0 0
7 0
Jumlah Spesies 35 10 20 18 23 20 19 23 21 21 Kelimpahan (sel/liter) 267 544 141 135 247 178 253 178 246 2806 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener) 4.6780 2.4706 3.6620 3.8334 4.2822 4.0022 3.6038 4.2517 4.1005 3.1023 Indeks Keseragaman 2.8639 1.5125 2.2419 2.3468 2.6215 2.4501 2.2062 2.6029 2.5103 1.8992 Indeks Dominasi 0.0612 0.2525 0.1313 0.0823 0.0584 0.0745 0.1300 0.0621 0.0658 0.1482
116
Bulan Pengamatan : Juli 2006 Stasiun Pengamatan
Famili/Spesies St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Olividae Oliva sp
56
23
0
0
0
12
0
9
7
21
Epitoniidae Epitonium Trifasciatum Epitonium lamellosa Epitonium scalase
6 0 6
0 5 2
0 19 0
9 0 0
0 0 7
23 0 4
0 9 0
0 4 0
51 0 4
70 0 0
Tellinidae Tellina sp
0
59
0
5
0
28
0
12
17
359
Veneridae Pitar manillae Donsinia insularum Gafrarium tumidum Placamen chlorotica Donax (latona) cuneatus Dosinia insilarum
7 0 4 5 25 5
0 0 0 0 29 0
4 5 0 10 0 0
0 10 0 0 0 8
12 0 0 0 8 0
0 5 0 6 33 0
5 0 18 0 0 7
0 0 0 2 0 0
2 17 0 0 40 0
2 0 5 0
344 0
Arcidae Barbatia decussota Barbatia candida Achatina Fulicia
0 5 9
0 0 58
5 0 0
0 8 0
0 0 13
0
111 0
3 0 0
0 7 0
5 0 6
0 0 58
Niticidae Natica vitellus Natica canrena
0 7
4 0
0 0
5 0
2 0
0 0
0 0
6 0
5 0
0 0
Dentalidae Dentalium longtrorsium Dentalium elephantium
5 4
0 0
0 0
3 0
0 21
0 0
25 4
0 0
7 4
0 0
Ovulidae Phenacovolca angasi Pholas orieantalis Prionovula fruticum
6 0 7
0 29 0
0 12 0
0 0 0
0 0 0
7 0 0
0 0 12
0 0 0
0 32 0
0
561 0
Eulimidae Arca sp
45
0
231
0
0
6
0
6
14
324
Lucinidae Codakia sp
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Cardiidae Trachycardium sp Laevicardium crassum Vepricardium fimbiatum Chicoreus (triplex)
2 0 7 19
0 0 4 0
0 5 0 0
4 0 0 0
0 0 0 4
13 0 0 0
0 0 0 0
10 12 71 2
0 0 0 0
0 0 0
112 Buccinidae Pisania fascicullata Cantharus fumosus Placuna placenta Batllaria Zonaks Pisania crocata Brunneus
0 0 7 0 7 0
0 4 0 5 0 0
0 0 0 0 0 0
7 0 6 0 0 0
0 0 0 13 42 0
0 0
112 0 0 8
0 0 0 8 0 0
4 0 0 0 4 0
0 0 0 77 0 0
5 0 27 386 0 0
Concellariidae Cancellaria longitrorsum Corbicula Javana Cancellaria oblonga
6 12 0
0 0 7
0 62 6
8 0 0
0 0 45
0 0 6
6 31 0
0 0 8
0 9 8
0
175 0
Mitridae Imbricaria olivaefromis Mitrapelliserpentis Mitra avenacea Mitra eremitarum Imbricaria conularis
0 0 3 12 0
18 3 0 0 0
0 0 4 0 0
4 22 0 8 6
0 0 0 0 7
0 0 0 0 0
8 0 0 55 1
0 0 0 0 6
8 61 1 0 0
0
251 0 0 0
Nassariidae Nassarius venustus Nassarius livescens
5 0
0 5
7 0
8 0
0 7
0 0
0 0
31 9
0 0
0 21
Jumlah Spesies 27 15 11 15 12 14 14 15 18 15 Kelimpahan (sel/liter) 318 270 375 136 193 388 213 216 392 2736 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
4.1539 3.1593 1.8860 3.8238 3.0908 2.8714 3.2859 3.2595 3.5433 3.2285
Indeks Keseragaman 2.9021 2.6863 1.8110 3.2513 2.8640 2.5053 2.8670 2.7714 2.8228 2.7451 Indeks Dominasi 0.0851 0.1471 0.4375 0.0818 0.1509 0.1990 0.1386 0.1689 0.1149 0.1259
117
Bulan Pengamatan : Agustus 2006 Stasiun Pengamatan
Famili/Spesies St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Olividae Oliva sp
44
17
0
0
0
5
77
0
0
52
Epitoniidae Epitonium Trifasciatum Epitonium lamellosa Epitonium scalase
7 0 0
0 0 5
0 14 0
5 0 0
0 0
115
17 0 0
0 8 0
0 4 5
15 0 0
222 0 0
Tellinidae Tellina sp
0
121
0
0
12
25
0
17
454
76
Veneridae Pitar manillae Donsinia insularum Gafrarium tumidum Placamen chlorotica Donax (latona) cuneatus Dosinia insilarum
9 10 8 7 0 9
0 0 0 0
112 0
7 0 0 7 0 0
0 0 4 0 0 0
0 15 0 0 5 0
0 0 0 12 28 0
0 6 12 0 0 0
0 0 7 0 22 0
16 17 0 0 17 0
0 0 0 0 52 0
Arcidae Barbatia decussota Barbatia candida Achatina Fulicia
10 0 0
0 0 55
0 0 0
4 7 0
0 0 12
0 0 0
9 0 6
0 9 0
0 0 0
0 0 56
Niticidae Natica vitellus Natica canrena
10 6
0 0
0 0
0 0
9 0
0 15
0 0
5 0
0 9
0 0
Dentalidae Dentalium longtrorsium Dentalium elephantium
5 5
0 0
0 7
6 10
0 5
0 0
45 4
5 0
0 0
2 0
Ovulidae Phenacovolca angasi Pholas orieantalis Prionovula fruticum
20 234 0
0 17 0
7 0 0
0 0 14
0 0 0
0 8 0
7 7 4
0 0 0
0 10 0
0
455 0
Eulimidae Arca sp
0
55
0
0
34
0
0
0
12
434
Lucinidae Codakia sp
33
0
9
0
0
0
6
0
0
0
Cardiidae Trachycardium sp Laevicardium crassum Vepricardium fimbiatum Chicoreus (triplex)
5 0 55 0
0 0 0 5
0 0 0 3
0 0 0 1
45 71 0 0
0 0 0 0
0 0 34 0
0 7 0 0
0 0 0 0
0 0 0 22
Buccinidae Pisania fascicullata Cantharus fumosus Placuna placenta Batllaria Zonaks Pisania crocata Brunneus
5 0 0 0 7 10
5 4 0 4 0 0
0 0 9 0 0 0
0 0 0 0 0 0
31 22 0 13 0 0
0 0 0 0 0 8
0 0 12 0
130 0
0 0 9 0 0 99
22 0 12 0 0 0
0 0 55 343 0 0
Concellariidae Cancellaria longitrorsum Corbicula Javana Cancellaria oblonga
0 5 0
4 64 0
0 0 3
12 0 23
0 5 0
0 4 0
0 0 0
13 0 9
0 12 0
0 45 0
Mitridae Imbricaria olivaefromis Mitrapelliserpentis Mitra avenacea Mitra eremitarum Imbricaria conularis
5 6 5 4 5
5 12 0 4 0
0 0 0 0 7
0 0 12 0 0
0 6 0 5 0
5 0 4 0 8
0 0 0 5 0
0 0 0 0 0
0 44 0 0 4
0 0 0 0 0
Nassariidae Nassarius venustus Nassarius livescens
4 6
5 8
0 9
0 3
12 4
0 0
81 1
0 2
22 0
0 0
Jumlah Spesies 24 18 11 11 19 13 17 15 13 13 Kelimpahan (sel/liter) 572 520 93 112 446 157 477 233 683 1833 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
3.4236 3.1636 3.3495 3.2510 3.4795 3.3877 3.1901 2.9364 2.0372 2.8557
Indeks Keseragaman 2.4805 2.5202 3.2164 3.1218 2.7210 3.0412 2.5926 2.4967 1.8288 2.5636 Indeks Dominasi 0.2078 0.1520 0.1044 0.1240 0.1316 0.1141 0.1575 0.2358 0.4696 0.1758
118
Bulan Pengamatan : September 2006 Stasiun Pengamatan
Famili/Spesies St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10
Olividae Oliva sp
33
51
22
0
0
0
6
45
33
18
Epitoniidae Epitonium Trifasciatum Epitonium lamellosa Epitonium scalase
0 0 4
0 0 0
0 16 0
0 0 8
22 0 14
0 0 0
4 21 0
0 2 0
21 0 0
34 0 0
Tellinidae Tellina sp
0
33
0
0
7
34
0
61
45
456
Veneridae Pitar manillae Donsinia insularum Gafrarium tumidum Placamen chlorotica Donax (latona) cuneatus Dosinia insilarum
9 0 10 5 0 0
4 0 0 0
551 0
0 0 0 0 0 2
0 9 5 4 0 8
33 0 0 0 15 0
0 0 0 0 0 0
0 0 15 6 0 8
0 0 0 0 66 0
15 41 4 0 35 0
0 0 0 0
352 0
Arcidae Barbatia decussota Barbatia candida Achatina Fulicia
0 6 12
0 0 70
7 12 0
0 0 0
0 0 35
10 8 5
8 8 0
8 0 0
0 0 25
3 0
321 Niticidae Natica vitellus Natica canrena
5 6
0 5
0 0
0 0
0 9
0 4
0 4
0 12
21 0
0 0
Dentalidae Dentalium longtrorsium Dentalium elephantium
6 3
0 0
0 2
0 21
42 0
0 0
25 0
0 0
12 0
0 0
Ovulidae Phenacovolca angasi Pholas orieantalis Prionovula fruticum
21 0 0
0 55 0
0 0 6
3 8 38
0 12 0
15 21 0
0 0 45
3 0 0
0
444 0
0
521 0
Eulimidae Arca sp
22
432
0
0
0
61
0
0
24
342
Lucinidae Codakia sp
0
0
0
8
0
0
7
24
0
0
Cardiidae Trachycardium sp Laevicardium crassum Vepricardium fimbiatum Chicoreus (triplex)
0 4 0 22
4 0 21 0
4 0 0 0
0 56 14 21
4 0 0 5
23 0 21 0
0 8 0 0
0 0 0 2
0 7 51 0
2 0 0 21
Buccinidae Pisania fascicullata Cantharus fumosus Placuna placenta Batllaria Zonaks Pisania crocata Brunneus
1 0 4 8 8 6
5 0 0 0 0 0
8 8 0 4 4 6
2 0 24 0 0 8
0 0 0 25 0 0
0 0 22 0 8 4
442 21 0 0 0 0
0 0 0 0 5 4
0 12 21 63 0 0
0 0
231 452 0 0
Concellariidae Cancellaria longitrorsum Corbicula Javana Cancellaria oblonga
6 5 0
0 44 0
2 0 0
32 0 14
0 0 5
0 24 0
0 0 0
4 0 7
0 25 0
0
216 0
Mitridae Imbricaria olivaefromis Mitrapelliserpentis Mitra avenacea Mitra eremitarum Imbricaria conularis
0 4 0 21 0
0 0 0 22 0
32 0 0 0 6
0 32 6 0 0
0 6 0 34 12
4 5 7 0 0
3 0 3 2 4
0 0 0 0 0
0 4 1 0 0
0 0 0 0 0
Nassariidae Nassarius venustus Nassarius livescens
0 0
12 0
0 0
6 0
0 6
0 0
8 8
0 2
0 0
0 0
Jumlah Spesies 23 14 16 21 17 16 21 14 20 13 Kelimpahan (sel/liter) 254 1329 157 348 303 292 677 259 924 2982 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
4.1762 2.3528 3.5274 3.9138 3.7263 3.6226 2.1613 2.8635 2.9810 3.0878
Indeks Keseragaman 3.0668 2.0528 2.9295 2.9600 3.0284 3.0085 1.6346 2.4984 2.2913 2.7720 Indeks Dominasi 0.0697 0.2920 0.1133 0.0842 0.0895 0.1043 0.4640 0.1835 0.2612 0.1281
119
Bulan Pengamatan : Oktober 2006 Stasiun Pengamatan
Famili/Spesies St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 Olividae Oliva sp
22
45
0
4
0
32
0
0
12
56
Epitoniidae Epitonium Trifasciatum Epitonium lamellosa Epitonium scalase
0 6 6
0 0 0
8 22 3
0 0 6
0 0 12
25 4 0
8 26 0
0 0 3
54 9 0
342 0 0
Tellinidae Tellina sp
4
85
0
0
23
0
0
23
12
432
Veneridae Pitar manillae Donsinia insularum Gafrarium tumidum Placamen chlorotica Donax (latona) cuneatus Dosinia insilarum
8 0 0 1 0 0
0 0 0 0
342 0
3 24 23 30 0 0
6 9 0 0 0 4
6 0 7 6 7 0
0 0 0 0 0 6
0 0 32 0 47 0
0 0 0 0 0 0
12 41 0 0 24 0
0 0 0 0 56 0
Arcidae Barbatia decussota Barbatia candida Achatina Fulicia
0 0 6
0 3 56
6 5 0
0 0 0
0 0 33
6 8 0
2 23 0
0 0 0
3 0 32
0 0
421 Niticidae Natica vitellus Natica canrena
0 2
0 0
0 0
12 0
34 8
0 6
0 3
0 3
2 0
0 0
Dentalidae Dentalium longtrorsium Dentalium elephantium
0 0
0 0
6 2
0 52
0 0
0 0
44 0
0 6
0 0
0 0
Ovulidae Phenacovolca angasi Pholas orieantalis Prionovula fruticum
21 0 0
0
332 0
2 0 0
0 0 12
0 42 0
45 0 5
0 22 0
7 0 0
0 31 0
0
672 0
Eulimidae Arca sp
0
543
0
0
0
24
0
55
23
432
Lucinidae Codakia sp
0
0
4
2
0
5
0
2
0
0
Cardiidae Trachycardium sp Laevicardium crassum Vepricardium fimbiatum Chicoreus (triplex)
0 5 5 0
4 0 6 6
4 6 0 12
0 7 0 0
5 6 5 2
21 0 0 0
22 0 61 4
0 0 2 2
0 4 0 0
2 0 0 24
Buccinidae Pisania fascicullata Cantharus fumosus Placuna placenta Batllaria Zonaks Pisania crocata Brunneus
8 4 0 6 12 0
0 0 0 0 0 0
9 2 6 0 2 4
0 0 3 8 22 44
6 0 0 20 0 0
0 0 12 0 8 0
0 4 0 0 22 0
0 4 2 0 0 23
21 0 24 23 0 0
0 0 65 231 0 0
Concellariidae Cancellaria longitrorsum Corbicula Javana Cancellaria oblonga
6 6 0
0 50 4
0 0 6
12 8 72
0 0 0
0 21 0
0 0 0
6 0 0
0 45 0
0
452 0
Mitridae Imbricaria olivaefromis Mitrapelliserpentis Mitra avenacea Mitra eremitarum Imbricaria conularis
13 4 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 12 0 2
0 4 0 22 12
0 4 0 0 9
8 4 8 0 0
3 4 4 4 8
3 0 0 0 0
0 0 5 0 8
0 0 0 0 0
Nassariidae Nassarius venustus Nassarius livescens
0 0
0 0
8 12
8 5
0 0
0 0
8 4
2 2
0 5
0 0
Jumlah Spesies 19 13 26 22 17 18 21 16 20 13 Kelimpahan (sel/liter) 164 1499 255 356 252 266 376 161 410 3201 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wiener)
3.9265 2.4169 4.2883 3.7648 3.6786 3.7505 3.7530 2.9662 3.9122 3.0487
Indeks Keseragaman 3.0705 2.1697 3.0306 2.8044 2.9897 2.9878 2.8384 2.4633 3.0070 2.7369
120
Lampiran 3. Hasil analisis Uji beda nyata (Levenes test) Kelimpahan Plankton di Perairan Teluk Tamiang XLSTAT 7.5.3 - k-Samples Comparison of Variances - 17/08/2008 at 15:05:47 Set of the compared groups: workbook = Book1 / sheet = Sheet1 / range = $A$2:$F$10 / 9 rows and 6 columns Significance level: 0,05 Levene's test: mean
Sample Frequency Mean Variance Standard deviation
Standard-error Minimum
First Quartile Median
Third quartile Maximum
6254 9 3371,333 4938496,250 2222,273 740,758 783,000 1565,000 3186,000 4624,500 7932,0005456 9 6618,778 2317988,444 1522,494 507,498 4365,000 5207,000 7008,000 7853,500 8871,0006189 9 6196,778 1032192,694 1015,969 338,656 4692,000 5373,000 6281,000 6893,000 7990,0005058 9 5917,444 1509940,278 1228,796 409,599 3956,000 4858,500 6403,000 6938,500 7556,0006658 9 6023,889 1187637,361 1089,788 363,263 4953,000 5274,500 5791,000 6416,000 8603,0006028 9 8193,889 2272703,611 1507,549 502,516 6011,000 7397,000 7611,000 9826,000 10522,000Levene's test: F (observed value) 1,398 F (critical value) 2,844 DF 1 5 DF 2 48 One-tailed p-value 0,242 Alpha 0,05 Conclusion: At the level of significance Alpha=0,050 the decision is to not reject the null hypothesis of equality of the variances. In other words, the unequality of variances is not significant.
121
Lampiran 4. Hasil analisis Uji beda nyata (Levenes test) Kelimpahan Bentos di Perairan Teluk Tamiang XLSTAT 7.5.3 - k-Samples Comparison of Variances - 18/08/2008 at 11:17:28 Set of the compared groups: workbook = Book1 / sheet = Sheet1 / range = $A$2:$F$10 / 9 rows and 6 columns Significance level: 0,05 Levene's test: mean
Sample Frequency Mean Variance Standard deviation
Standard-error Minimum
First Quartile Median
Third quartile Maximum
74 9 1941,778 17636559,694 4199,590 1399,863 107,000 151,500 209,000 1775,500 12811,000267 9 525,333 746600,500 864,060 288,020 135,000 159,500 246,000 398,500 2806,000318 9 546,556 682836,528 826,339 275,446 136,000 203,000 270,000 390,000 2736,000572 9 506,000 289878,750 538,404 179,468 93,000 134,500 446,000 601,500 1833,000254 9 807,889 810802,111 900,446 300,149 157,000 275,500 348,000 1126,500 2982,000164 9 752,889 1006655,611 1003,322 334,441 161,000 253,500 356,000 954,500 3201,000 Levene's test: F (observed value) 3,860 F (critical value) 2,844 DF 1 5 DF 2 48 One-tailed p-value 0,005 Alpha 0,05 Conclusion: At the level of significance Alpha=0,050 the decision is to reject the null hypothesis of equality of the variances. In other words, the unequality of variances is significant.
122
Lampiran 5. Data karakteristik kualitas lingkungan (fisika-kimia air) perairan Teluk Tamiang
WAKTU STASIUN PENGAMATAN Hr/bl/th PARAMETER Satuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15 Mei 06 0,35 0,27 0,31 0,28 0,26 0,26 0,22 0,21 0,15 0,15 15 Juni 06 Kecepatan Arus (m/dt) 0,36 0,32 0,32 0,35 0,35 0,31 0,17 0,31 0,17 0,15 15 Juli 06 0,40 0,41 0,33 0,36 0,17 0,37 0,22 0,27 0,25 0,05 15 Agt 06 0,35 0,39 0,29 0,32 0,23 0,35 0,25 0,24 0,23 0,12
15 Sept 06 0,40 0,40 0,32 0,35 0,16 0,36 0,21 0,26 0,21 0,12 15 Okt 06 0,39 0,41 0,35 0,35 0,15 0,37 0,23 0,25 0,26 0,11
Rata-rata 0,35 0,37 0,32 0,34 0,33 0,32 0,22 0,21 0,19 0,12 15 Mei 06 28,0 27,0 26,7 29,0 28,0 28,2 29,3 29,2 29,0 28,0 15 Juni 06 Suhu Air (oC) 27,3 27,2 26,3 27,2 27,3 27,0 28,3 28,3 27,0 29,3 15 Juli 06 29,3 28,5 28,4 28,2 26,5 27,3 28,3 29,2 28,7 28,3 15 Agt 06 27,5 27,6 28,2 29,5 28,0 28,3 29,6 28,4 29,0 30,4
15 Sept 06 28,3 28,5 28,3 28,2 27,5 27,3 28,3 28,2 30,2 29,3 15 Okt 06 27,5 28,4 28,5 29,6 29,3 29,4 28,5 29,2 29,7 29,3
Rata-rata 28,0 27,8 28 28,8 27,8 28,2 29 29,1 29,1 29,2
15 Mei 06 10,3 14,3 10,7 7,4 6,9 6,7 4,8 4,8 4,7 4,5 15 Juni 06 Kedalaman (m) 10,2 14,2 10,6 7,3 7,1 6,8 4,7 4,6 4,6 4,5 15 Juli 06 10,0 14,0 10,3 7,0 6,8 6,6 4,5 4,6 4,5 4,7 15 Agt 06 9,7 13,5 10,6 6,8 6,7 6,8 4,4 4,5 4,6 4,5
15 Sept 06 10,0 14,2 10,4 7,0 6,7 6,5 4,5 4,6 4,5 4,5 15 Okt 06 9,8 13,7 10,6 7,1 6,9 6,8 4,5 4,6 4,5 4,5
Rata-rata 10,0 14,0 10,5 7,1 6,9 6,7 4,6 4,6 4,6 4,5
15 Mei 06 7,0 9,0 8,0 6,5 5,5 5,5 4,5 4,0 5,0 4,0 15 Juni 06 Kecerahan (m) 8,0 9,0 7,5 5,5 6,0 6,5 5,0 4,5 5,5 3,5 15 Juli 06 7,5 8,5 8,5 6,5 6,0 5,5 4,5 4,5 4,0 4,5 15 Agt 06 8,5 8,0 8,5 6,5 5,5 6,0 4,0 4,5 5,0 5,0
15 Sept 06 7,5 8,5 8,5 6,5 6,0 5,5 4,5 4,5 4,0 4,5 15 Okt 06 7,5 8,5 8,5 6,5 6,0 5,5 4,5 4,5 4,0 4,5
Rata-rata 7,7 8,6 8,1 6,1 5,9 5,7 4,4 4,4 4,5 4,3 15 Mei 06 1,12 0,89 1,15 2,10 2,10 2,10 2,62 2,82 2,10 2,56 15 Juni 06 Kekeruhan (NTU) 1,15 0,89 1,15 2,32 2,52 2,10 2,82 2,56 2,10 2,82 15 Juli 06 1,35 1,12 1,63 2,32 2,53 2,32 2,82 2,56 2,82 2,82 15 Agt 06 1,53 1,16 1,68 2,35 2,56 2,38 2,89 2,59 2,88 2,82
15 Sept 06 1,65 1,19 1,57 2,34 2,58 2,62 2,87 2,59 2,89 2,90 15 Okt 06 1,67 1,15 1,63 2,32 2,54 2,51 2,84 2,57 2,88 2,90
Rata-rata 1,37 1,04 1,42 2,26 2,22 2,12 2,77 2,64 2,54 2,70
123
15 Mei 06 12,2 15,1 16,0 15,15 15,10 15,50 15,50 18,50 20,12 24,10 15 Juni 06 TSS (mg/l) 12,2 13,1 14,1 15,20 15,11 15,67 15,67 18,67 20,13 24,34 15 Juli 06 12,3 13,3 14,3 15,20 15,17 15,79 15,78 18,87 20,18 24,38 15 Agt 06 12,3 13,1 14,1 15,35 15,11 15,80 15,81 18,80 20,14 24,35
15 Sept 06 12,3 13,1 14,1 15,40 15,11 15,85 15,85 18,85 20,15 24,37 15 Okt 06 12,3 13,1 14,1 15,40 15,11 15,85 15,85 18,85 20,15 24,37
Rata-rata 12,4 11,1 14,1 15,46 15,12 14,69 19,69 18,69 17,56 24,14
15 Mei 06 33,5 33,5 34,5 32,5 32,5 33,5 30,3 29,5 28,3 26,0 15 Juni 06 Salinitas - 33,0 34,0 34,0 32,0 32,5 32,5 30,3 28,5 27,1 25,0 15 Juli 06 32,5 34,0 34,5 32,0 32,3 32,5 29,3 28,5 27,1 26,0 15 Agt 06 33,2 34,0 34,0 33,0 33,5 33,5 29,4 27,5 25,8 25,5
15 Sept 06 33,0 33,5 34,0 32,0 32,5 33,0 29,5 28,5 28,0 26,2 15 Okt 06 32,0 34,5 34,5 32,0 33,0 33,0 29,5 29,5 28,2 26,2
Rata-rata 33,5 34 34 32 33 33 29,8 28,9 27,5 25,9
15 Mei 06 8,30 8,15 7,85 8,15 7,85 8,00 7,85 8,00 8,10 8,21 15 Juni 06 pH - 8,25 8,10 7,65 8,10 7,65 7,56 7,75 7,84 7,85 7,65 15 Juli 06 8,25 8,10 7,65 8,10 7,65 7,56 7,75 7,84 7,85 7,65 15 Agt 06 8,15 8,10 7,90 8,15 7,90 7,25 7,50 7,45 7,76 7,88
15 Sept 06 8,25 8,00 8,35 8,25 8,35 7,15 7,47 7,25 7,65 7,25 15 Okt 06 8,14 8,00 8,15 8,15 8,05 7,10 7,17 7,13 7,35 7,15
Rata-rata 8,24 8,09 7,98 8,16 7,97 7,57 7,68 7,67 7,82 7,73
15 Mei 06 7,2 7,0 6,9 7,2 6,7 6,5 6,4 6,4 6,0 5,2 15 Juni 06 DO (mg/l) 7,0 8,2 5,8 6,5 6,0 6,3 6,5 7,0 6,4 5,6 15 Juli 06 6,9 7,3 6,2 6,9 7,5 6,7 6,7 6,6 6,2 5,6 15 Agt 06 6,9 7,3 6,2 6,9 7,5 6,7 6,7 6,6 6,2 5,4
15 Sept 06 7,0 8,0 5,6 7,2 6,5 6,6 6,5 6,7 6,0 5,5 15 Okt 06 7,2 8,2 5,8 7,2 6,7 6,5 6,4 6,5 6,2 5,4
Rata-rata 6,8 7,3 6,2 5,5 6,8 6,7 5,2 5,5 5,6 5,4
15 Mei 06 14,32 10,55 13,48 11,65 13,45 14,30 14,15 15,65 12,75 14,75 15 Juni 06 BOD5 (mg/lt) 13,32 12,05 12,65 12,65 13,60 14,47 14,64 15,65 14,65 15,25 15 Juli 06 14,32 13,35 13,47 12,36 14,65 15,15 15,35 15,65 14,65 15,35 15 Agt 06 14,27 12,45 13,58 13,36 14,69 15,25 15,38 15,85 14,95 15,85
15 Sept 06 14,32 13,25 14,15 13,15 14,75 15,25 15,55 15,65 15,75 15,75 15 Okt 06 15,32 13,45 14,25 14,15 14,85 15,35 15,65 15,67 15,79 15,85
Rata-rata 14,17 12,53 13,89 12,99 14,23 14,77 14,97 15,49 14,74 15,35
124
15 Mei 06 20,55 32,36 35,36 45,30 32,72 65,90 63,25 63,34 65,94 68,35 15 Juni 06 COD (mg/l) 22,36 33,46 35,46 50,24 45,94 66,87 66,34 65,44 61,64 70,64 15 Juli 06 23,46 35,46 35,56 50,34 45,99 66,97 66,37 65,54 61,84 70,67 15 Agt 06 25,59 35,56 35,51 50,12 45,66 66,15 67,35 66,14 66,54 75,15
15 Sept 06 27,56 40,16 36,76 50,26 50,56 70,12 67,52 67,24 67,24 77,94 15 Okt 06 29,56 40,26 37,76 51,26 51,56 71,12 67,59 67,45 67,74 77,98
Rata-rata 24,21 35,36 35,81 48,24 43,31 67,15 65,94 65,49 65,12 72,38
15 Mei 06 0,003 0,002 0,002 0,002 0,015 0,027 0,021 0,003 0,027 0,015 15 Juni 06 Nitrit (NO2) (mg/l) 0,003 0,002 0,003 0,004 0,025 0,030 0,022 0,004 0,030 0,025 15 Juli 06 0,003 0,002 0,002 0,003 0,027 0,030 0,024 0,005 0,033 0,025 15 Agt 06 0,004 0,002 0,003 0,004 0,025 0,037 0,012 0,002 0,037 0,025
15 Sept 06 0,003 0,002 0,003 0,003 0,020 0,040 0,015 0,021 0,040 0,020 15 Okt 06 0,004 0,003 0,003 0,003 0,021 0,043 0,016 0,024 0,044 0,025
Rata-rata 0,003 0,002 0,003 0,003 0,025 0,033 0,017 0,009 0,034 0,026
15 Mei 06 0,117 0,115 0,090 0,096 0,094 0,094 0,126 0,126 0,226 0,232 15 Juni 06 Nitrat (NO2) (mg/l) 0,015 0,125 0,095 0,113 0,111 0,117 0,123 0,126 0,236 0,336 15 Juli 06 0,016 0,127 0,093 0,117 0,117 0,117 0,125 0,129 0,239 0,338 15 Agt 06 0,016 0,117 0,097 0,123 0,123 0,116 0,124 0,128 0,248 0,548
15 Sept 06 0,026 0,127 0,099 0,126 0,124 0,126 0,127 0,138 0,258 0,568 15 Okt 06 0,177 0,127 0,123 0,122 0,135 0,128 0,232 0,235 0,535 0,635
Rata-rata 0,066 0,119 0,093 0,113 0,113 0,113 0,136 0,138 0,277 0,422
15 Mei 06 0,022 0,094 0,098 0,043 0,067 0,046 0,047 0,048 0,048 0,047 15 Juni 06 Ammonia (N-NH3) (mg/l) 0,024 0,095 0,045 0,046 0,123 0,051 0,052 0,052 0,052 0,052 15 Juli 06 0,025 0,108 0,046 0,049 0,142 0,123 0,123 0,133 0,133 0,133 15 Agt 06 0,035 0,118 0,056 0,052 0,147 0,126 0,143 0,143 0,137 0,143
15 Sept 06 0,046 0,139 0,050 0,099 0,232 0,235 0,235 0,235 0,235 0,236 15 Okt 06 0,047 0,149 0,055 0,099 0,235 0,238 0,237 0,236 0,237 0,238
Rata-rata 0,031 0,129 0,064 0,061 0,141 0,123 0,126 0,127 0,148 0,149
15 Mei 06 0,044 0,045 0,056 0,046 0,049 0,056 0,066 0,056 0,120 0,142 15 Juni 06 Orthophosfat (PO4) (mg/l) 0,045 0,046 0,052 0,047 0,055 0,077 0,067 0,077 0,121 0,143 15 Juli 06 0,045 0,047 0,051 0,048 0,057 0,078 0,068 0,078 0,123 0,145 15 Agt 06 0,045 0,047 0,056 0,078 0,075 0,078 0,069 0,077 0,125 0,146
15 Sept 06 0,046 0,048 0,077 0,078 0,078 0,080 0,085 0,089 0,126 0,145 15 Okt 06 0,045 0,049 0,079 0,079 0,080 0,082 0,086 0,090 0,127 0,145
Rata-rata 0,045 0,046 0,060 0,060 0,062 0,072 0,072 0,074 0,127 0,144
125
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Analisis Rata-rata Parameter Fisika-Kimia Perairan Teluk Tamiang Selama Penelitian
STASIUN Baku Mutu PARAMETER 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Diinginkan Diperbolehkan
Suhu 28 27,8 28 28,8 27,8 28,2 29 29,1 29,1 29,2 alami alami Kedalaman 10,0 14,0 10,5 7,1 6,9 6,7 4,6 4,6 4,6 4,5 - - Kecerahan 7,7 8,6 8,1 6,1 5,9 5,7 4,4 4,4 4,5 4,3 > 5 > 3 Kekeruhan 1,37 1,04 1,42 2,26 2,22 2,12 2,77 2,64 2,54 2,70 < 5 < 30 TSS 12,4 11,1 14,1 15,46 15,12 14,69 19,69 18,69 17,56 24,14 < 25 <80 Kecepatan Arus 0,39 0,37 0,32 0,34 0,33 0,34 0,22 0,24 0,19 0,12 - - Salinitas 33,5 34 34 32 33 33 29,8 28,9 27,5 25,9 Alami Alami pH 8,24 8,09 7,98 8,16 7,97 7,57 7,68 7,67 7,82 7,73 6,5 – 8,5 6,00 – 9,00 Oksigen terlarut 6,8 7,3 6,0 6,8 6,7 6,4 6,4 6,6 6,1 5,5 < 6 > 4 BOD5 14,17 12,53 13,89 12,99 14,23 14,77 14,97 15,49 14,74 15,35 < 25 < 25 COD 24,21 35,36 35,81 48,24 43,31 67,15 65,94 65,49 65,12 72,38 < 40 < 80 Nitrit 0,003 0,002 0,003 0,003 0,025 0,033 0,017 0,009 0,034 0,026 Nihil Nihil Nitrat 0,066 0,119 0,093 0,113 0,113 0,113 0,136 0,138 0,277 0,422 - - Ammonia 0,031 0,129 0,064 0,061 0,141 0,123 0,126 0,127 0,148 0,149 < 0,3 < 1 Orthophosfat 0,045 0,046 0,060 0,060 0,062 0,072 0,072 0,074 0,127 0,144 - - Keterangan : Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan (Biota Laut) menurut Kep-51/MENLH/I/2004.
126
Lampiran 7. Matrik penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi Budidaya KJA Ikan Kerapu pada setiap stasiun Stasiun : 1
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 4 20 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 4 12 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 4 12 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 4 12 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 105
Stasiun : 2
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 4 20 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 4 12 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 4 12 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 4 12 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 4 12 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 108
Stasiun : 3
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 4 20 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 4 12 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 4 12 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 4 12 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 105
127
Stasiun : 4
No.
Parameter
Bobot Nilai Pengamatan Skor Nilai
Bobot x skor 1 Kedalaman (meter) 5 >10 4 20 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 4 12 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 3 9 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 4 12 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 102
Stasiun : 5
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 4 20 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 4 12 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 3 9 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 3 9 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Totall Nilai 99
Stasiun : 6
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 4 20 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 4 12 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 3 9 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 3 9 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 99
128
Stasiun : 7
No.
Parameter
Bobot Nilai Pengamatan Skor Nilai
Bobot x skor 1 Kedalaman (meter) 5 >10 2 10 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 3 9 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 2 6 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 3 9 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 83
Stasiun : 8
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 2 10 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 3 9 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 2 6 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 3 9 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 4 12 Total Nilai 83
Stasiun : 9
No.
Parameter
Bobot
Nilai Pengamatan Skor Nilai Bobot x skor
1 Kedalaman (meter) 5 >10 2 10 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 3 9 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 2 6 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 3 9 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 3 9 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 3 9 Totall Nilai 80
129
Stasiun : 10
No.
Parameter
Bobot Nilai Pengamatan Skor Nilai
Bobot x skor 1 Kedalaman (meter) 5 >10 2 10 2 Keterlindungan terhadap
gelombang/angin besar) 4 Sangat terlindung (<0,5 m)* 4 16
3 Suhu (oC) 3 28 - 30 4 12 4 Salinitas (promil) 3 31 - 34 3 9 5 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir 2 6 6 Kecerahan (meter) 3 5 - 10 3 9 7 Oksigen terlarut 3 7 - 8 2 6 8 Kecepatan Arus (cm/dt) 3 21 - 40 2 6 Totall Nilai 74
Keterangan : nilai skor 4 (sesuai tinggi), nilai skor 3 (sesuai sedang), nilai skor 2 (sesuai rendah, dan nilai skor 1 (tidak sesuai).
130
Lampiran. 8. Data Sampling Sisa Pakan dan Feses serta perhitungan pendugaan Total Bahan Organik
Tanggal Sampling Jumlah Pakan yang Diberikan (gr)
Sisa Pakan (gr)
Pakan Yang Dimakan (gr)
Feces (gr)
15 Juni 2006 2.000 360 (18%) 1.640 (82,0%) 652,7 (39,8%) 16 Juli 2006 2.300 414 (18%) 1.890,6 (82,2%) 731,7 (38,7%) 15 Agustus 2006 2.500 445 (17,8%) 2.037,5 (81,5%) 788,5 (38,7%) 15 September 2006 3.000 540 (18%) 2.460 (82,0%) 979,1 (39,8%) 15 Oktober 2006 3.000 546 (18,2%) 2.466 (82,2%) 974,1 (39,5%) 15 Nopember 2006 3.500 630 (18%) 2.870 (82,0%) 1.142,3 (39,8%)
Total 16.300 2.935 (18%) 13.364,1 (82%) 5.268,4 (39,4%)
Perhitungan : Pendugaan (perhitungan) total bahan organik (O) berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Iwama (1991 didalam Barg, 1992) dengan mengacu pada total pakan tidak dikonsumsi (sisa pakan) dan feses : % sisa pakan (UW) = Total sisa pakan x 100% Total pakan yang diberikan = 2.935/16.300 x 100% = 18% % feces (F) = Total feses x 100% Total pakan yang dimakan = 5.268,4/13.364,1 x 100% = 39,4% Total pakan yang tidak dimakan (TU) = Total Pakan yang diberikan (TF) x UW TU = 1.406,3 x 18% = 253,1 kg Total limbah feses (TFW) = F x TE (Total pakan yang dimakan) Dimana TE = total pakan yang diberikan (TF) – Total pakan yang tidak dimakan = 1.406,3 - 253,1 = 1.153,2 kg TFW = 39,4% x 1.153,2 kg = 454,4 kg feses Sehingga Total Bahan Organik (O) = TU + TFW Total Bahan Organik (O) = TU + TFW = 253,1 + 454,4 = 707,5 kg
131
Lampiran 9. Perhitungan Pendugaan Limbah N dan P yang dihasilkan dari Produksi 237,6 kg ikan Kerapu 1) Untuk memproduksi 237,6 kg ikan Kerapu jumlah pakan yang diperlukan
sebanyak 1.406,3 kg N (12,6%) = 1.406,3 x 12,6% = 177,2 kg P (2,6%) = 1.406,3 x 2,6% = 36,6 kg
2) Total pakan yang terbuang (sisa pakan) 18% dari total pakan yang diberikan = 253,1 kg, dengan kandungan N dan P dalam pakan : N (12,6%) = 253,1 x 12,6% = 31,9 kg P (2,6%) = 253,1 x 2,6% = 6,6 kg
3) Total pakan yang termakan oleh ikan (total pakan yang diberikan – total pakan yang terbuang) adalah 82% (1.153,7 kg), dengan kandungan N dan P dalam pakan : N (12,6%) = 1.153,7 x 12,6% = 145,4 kg P (2,6%) = 1.153,7 x 2,6% = 29,9 kg
4) Dengan kecernaan N dan P pakan, dari N dan P pakan yang dimakan adalah : N (81%) = 145,4 x 81% = 117,8 kg P (57,5%) = 29,9 x 57,5% = 17,2 kg
5) Maka diperoleh kandungan N dan P dalam feses (N dan P dalam pakan yang dimakan dikurangi kecernaan N dan P pakan) adalah : N = 145,4 – 117,8 = 27,6 kg P = 29,9 – 17,2 = 12,7 kg
6) Dari kecernaan pakan N dan P akan tersimpan dalam daging ikan (retensi) sebesar : N (26,1%) = 117,8 x 26,1% = 30,7 kg P (23,8%) = 17,2 x 23,8 % = 4,1 kg
7) Sehingga N dan P yang akan terbuang sebagai ekskresi (terlarut) berasal dari kecernaan N dan P pada pakan dikurangi retensi N dan P dalam daging adalah : N = 145,4 – 30,7 = 114,7 kg P = 17,2 – 4,1 = 13,1 kg
Jadi total limbah N dan P yang akan masuk kedalaman perairan adalah N dan P dari sisa pakan, feses dan ekskresi : N = 31,9 + 27,6 + 114,7 = 174,2 kg P = 6,6 + 12,7 + 13,1 = 32,4 kg
132
Lampiran 10. Simulasi Sub model Produksi Limbah Budidaya KJA
Hari N food lost
(kg) P Food
(kg) P food lost
(kg) N eaten
Food (kg) P eaten
Food (kg) N Food
Cerna (kg)
P Food Cerna (kg)
1 0 0 0 0 0 0 010 1,34 1,54 0,28 5,99 1,24 4,85 0,7120 2,88 3,3 0,59 12,98 2,68 10,52 1,5430 4,46 5,11 0,92 20,18 4,16 16,35 2,3940 6,08 6,97 1,25 27,57 5,69 22,33 3,2750 7,74 8,88 1,6 35,15 7,25 28,47 4,1760 9,45 10,83 1,95 42,92 8,86 34,76 5,0970 11,19 12,83 2,31 50,86 10,49 41,19 6,0380 12,97 14,87 2,68 58,97 12,17 47,76 790 14,79 16,95 3,05 67,24 13,88 54,47 7,98
100 16,64 19,08 3,43 75,69 15,62 61,31 8,98110 18,53 21,25 3,82 84,3 17,4 68,28 10120 20,46 23,45 4,22 93,08 19,21 75,39 11,04130 22,42 25,71 4,63 102,03 21,05 82,64 12,11140 24,42 28 5,04 111,14 22,93 90,02 13,19150 26,46 30,33 5,46 120,42 24,85 97,54 14,29160 28,53 32,71 5,89 129,86 26,8 105,19 15,41170 30,64 35,12 6,32 139,45 28,78 112,95 16,55179 32,56 37,33 6,72 148,21 30,58 120,05 17,58
Jumlah 32,78 37,57 6,76 149,19 30,78 120,84 17,7
Hari
N Retensi
(kg)
N Feses (kg)
N Ekskresi(kg)
P Ekskresi
(kg)
P Feses (kg)
P Retensi
(kg)
Kum P Bud (kg)
Kum N Bud (kg)
1 -0,03 -0,02 -0,1 -0,01 -0,01 0 -0,02 -0,1210 1,27 1,14 4,72 0,54 0,53 0,17 1,34 7,2120 2,74 2,47 10,24 1,17 1,14 0,37 2,91 15,5830 4,27 3,83 15,91 1,82 1,77 0,57 4,51 24,2140 5,83 5,24 21,74 2,49 2,42 0,78 6,17 33,0650 7,43 6,68 27,72 3,18 3,08 0,99 7,86 42,1460 9,07 8,15 33,84 3,88 3,76 1,21 9,59 51,4470 10,75 9,66 40,11 4,6 4,46 1,44 11,37 60,9680 12,47 11,2 46,5 5,33 5,17 1,67 13,18 70,6890 14,22 12,78 53,03 6,08 5,9 1,9 15,03 80,59
100 16 14,38 59,69 6,84 6,64 2,14 16,91 90,71110 17,82 16,02 66,48 7,62 7,39 2,38 18,84 101,03120 19,68 17,68 73,4 8,42 8,16 2,63 20,8 111,55130 21,57 19,38 80,46 9,22 8,95 2,88 22,8 122,26140 23,5 21,12 87,64 10,05 9,75 3,14 24,83 133,18150 25,46 22,88 94,96 10,89 10,56 3,4 26,91 144,3160 27,45 24,67 102,41 11,74 11,39 3,67 29,02 155,61170 29,48 26,5 109,97 12,61 12,23 3,94 31,16 167,1179 31,33 28,16 116,87 13,4 13 4,19 33,12 177,59
Jumlah 31,54 28,35 117,65 13,49 13,08 4,21 33,33 178,77
133
Lampiran 11 Jumlah Total Bahan Organik dan Unit KJA Hasil Simulasi Skenario Optimis (Kontribusi Limbah Antopogenik 10%)
Hari
Total Bahan
Organik ((kg)
Unit Rakit (BM 1 ppm)
Unit Rakit (BM 0,3 ppm)
Unit KJA (BM 0,3 ppm) (buah)
Unit KJA (BM 1 ppm)
(buah) 1 2,19 0 0 0 0
10 23,85 2.803,25 840,97 168,19 560,6520 48,25 1.308,25 392,47 78,49 261,6530 73 847,81 254,34 50,87 169,5640 98,1 624,29 187,29 37,46 124,8650 123,52 492,39 147,72 29,54 98,4860 149,26 405,38 121,61 24,32 81,0870 175,31 343,73 103,12 20,62 68,7580 201,65 297,82 89,35 17,87 59,5690 228,29 262,3 78,69 15,74 52,4699 252,51 236,59 70,98 14,2 47,32
100 255,21 234,02 70,21 14,04 46,8110 282,43 210,97 63,29 12,66 42,19120 309,94 191,83 57,55 11,51 38,37130 337,74 175,68 52,7 10,54 35,14140 365,83 161,88 48,56 9,71 32,38150 394,22 149,95 44,99 9 29,99160 422,88 139,55 41,86 8,37 27,91170 451,79 130,4 39,12 7,82 26,08179 478,04 123,07 36,92 7,38 24,61
Jumlah 122,3 36,69 7,34 24,46Keterangan : BM = Baku Mutu (Kep 51/MENLH/2004) Total BO = 478,04 kg/Keramba, maka Daya Dukung Teluk Tamiang = 7 – 25 unit rakit (37-122 buah keramba) dengan Baku Mutu (0,3 – 1 ppm) produksi minimal – maksimal.
134
Lampiran 12. Jumlah Total Bahan Organik dan Unit KJA Hasil Simulasi Skenario Moderat (Kontribusi Limbah Antropogenik 25%)
Hari Total Bahan Organik (kg)
Unit Rakit (BM 1 ppm)
Unit Rakit (BM 0,3ppm)
Unit KJA (BM 0,3 ppm)
Unit KJA (BM 1 ppm)
1 2,57 0 0 0 010 30,95 2.457,49 737,25 147,45 491,520 62,82 1.153,10 345,93 69,19 230,6230 95,04 750,22 225,06 45,01 150,0440 127,61 554,36 166,31 33,26 110,8750 160,5 438,65 131,6 26,32 87,7360 193,71 362,26 108,68 21,74 72,4570 227,24 308,08 92,42 18,48 61,6280 261,05 267,68 80,3 16,06 53,5490 295,16 236,4 70,92 14,18 47,28
100 329,55 211,46 63,44 12,69 42,29110 364,24 191,13 57,34 11,47 38,23120 399,22 174,22 52,27 10,45 34,84130 434,49 159,95 47,99 9,6 31,99140 470,06 147,75 44,32 8,86 29,55150 505,91 137,19 41,16 8,23 27,44160 542,04 127,97 38,39 7,68 25,59170 578,43 119,85 35,96 7,19 23,97179 611,4 113,34 34 6,8 22,67
Jumlah 112,66 33,8 6,76 22,53Keterangan : BM = Baku Mutu (Kep 51/MENLH/2004) Total BO = 611,4 kg/Keramba, maka Daya Dukung Teluk Tamiang = 7 – 23 unit rakit (34-113 buah keramba) dengan Baku Mutu (0,3 – 1 ppm) produksi minimal – maksimal.
135
Lampiran 13. Jumlah Total Bahan Organik dan Unit Rakit KJA Hasil Simulasi
Skenario Pesimis (Kontribusi Limbah Antropogenik 40%)
Hari Total Bahan Organik (kg)
Unit Rakit (BM 1 ppm)
Unit Rakit (BM 0,3 ppm)
Unit KJA (BM 0,3 ppm)
Unit KJA (BM 1 ppm)
1 2,94 0 0 0 010 38,04 1.800,12 540,04 108,01 360,0220 77,39 846,79 254,04 50,81 169,3630 117,08 551,95 165,58 33,12 110,3940 157,12 408,53 122,56 24,51 81,7150 197,48 323,76 97,13 19,43 64,7560 238,17 267,76 80,33 16,07 53,5570 279,16 228,04 68,41 13,68 45,6180 320,45 198,4 59,52 11,9 39,6890 362,02 175,45 52,63 10,53 35,09
100 403,89 157,15 47,14 9,43 31,43110 446,05 142,21 42,66 8,53 28,44120 488,5 129,79 38,94 7,79 25,96130 531,25 119,31 35,79 7,16 23,86140 574,28 110,33 33,1 6,62 22,07150 617,61 102,57 30,77 6,15 20,51160 661,21 95,79 28,74 5,75 19,16170 705,07 89,82 26,94 5,39 17,96179 744,77 85,02 25,51 5,1 17
Jumlah 84,52 25,36 5,07 16,9Keterangan : BM = Baku Mutu (Kep 51/MENLH/2004) Total BO = 744,8 kg/Keramba, maka Daya Dukung Teluk Tamiang = 5 – 17 unit rakit (25-85 buah keramba) dengan Baku Mutu (0,3 – 1 ppm) produksi minimal – maksimal.
136
Lampiran 14. Hasil Simulasi Biomass dan Keuntungan (Profit)
HARI
BIOMASS (PANEN)
(Kg)
BIAYA PRODUKSI/
KG (Rp.) HARGA/KG
(Rp.) KEUNTUNGAN
(Rp.)
UKURAN IKAN (FISH SIZE) (kg)
1 162,5 125.000,00 350.000,00 36.561.375,00 0,3610 166,95 125.000,00 350.000,00 37.563.750,00 0,3720 171,9 125.000,00 350.000,00 38.677.500,00 0,3830 176,85 125.000,00 350.000,00 39.791.250,00 0,3940 181,35 125.000,00 350.000,00 40.803.750,00 0,450 185,85 125.000,00 350.000,00 41.816.250,00 0,4160 190,35 125.000,00 350.000,00 42.828.750,00 0,4270 194,4 125.000,00 350.000,00 43.740.000,00 0,4380 198,45 125.000,00 350.000,00 44.651.250,00 0,4490 202,5 125.000,00 350.000,00 45.562.500,00 0,45
100 206,55 125.000,00 350.000,00 46.473.750,00 0,46110 210,6 125.000,00 350.000,00 47.385.000,00 0,47120 214,65 125.000,00 350.000,00 48.296.250,00 0,48130 218,7 125.000,00 350.000,00 49.207.500,00 0,49140 222,75 125.000,00 350.000,00 50.118.750,00 0,5150 226,8 125.000,00 350.000,00 51.030.000,00 0,5160 230,4 125.000,00 350.000,00 51.840.000,00 0,51170 234 125.000,00 350.000,00 52.650.000,00 0,52179 237,24 125.000,00 350.000,00 53.379.000,00 0,53
Panen 237,24 125.000,00 350.000,00 53.379.000,00 0,53
137
Lampiran 15. Formulasi Model Sub-Model Beban Limbah N,P,OM Budidaya dan non-Budidaya (antrop) Kum_Con_P_non_budidaya(t) = Kum_Con_P_non_budidaya(t - dt) + (Con_P_non_bddya) * dt INIT Kum_Con_P_non_budidaya = 0 INFLOWS: Con_P_non_tbk = Kum_P_non_budidaya/10000 kum_N_non_bud(t) = kum_N_non_bud(t - dt) + (N_tot) * dt INIT kum_N_non_bud = 0 INFLOWS: N_tot = pkm/360 Kum_P_non_budidaya(t) = Kum_P_non_budidaya(t - dt) + (P_tot) * dt INIT Kum_P_non_budidaya = 0 INFLOWS: P_tot = Antrop/365 Kum__Con_N_non_bddya(t) = Kum__Con_N_non_bddya(t - dt) + (con_n_non_bddya) * dt INIT Kum__Con_N_non_bddya = 0 INFLOWS: con_n_non_tbk = N_tot/10000 Tot_waste_load_N(t) = Tot_waste_load_N(t - dt) + (Waste_load_N_harian) * dt INIT Tot_waste_load_N = 0 INFLOWS: Waste_load_N_harian = Kum_N_Bud+kum_N_non_bud Tot_waste_load_OM(t) = Tot_waste_load_OM(t - dt) + (Waste_load_OM) * dt INIT Tot_waste_load_OM = 0 INFLOWS: Waste_load_OM = Uneaten_food+Feces+kum_N_non_bud+Kum_P_non_budidaya Tot_waste_load_P(t) = Tot_waste_load_P(t - dt) + (Waste_load_P_harian) * dt INIT Tot_waste_load_P = 0 INFLOWS: Waste_load_P_harian = Kum_P_Bud+Kum_P_non_budidaya Antrop = (Ternak1+RT1)*0.25 Eaten_food = Total_Pakan-Uneaten_food-Feces EC = N_Total_Limbah*Flushing/Vol_Tlk Feces = 1 Flushing = 4.2 KJA1 = N_bm1/EC/1000 KJA2 = N_bm/EC/1000 Kum_N_Bud = N_Food_lost+N_Feces+N_Ekskresi Kum_P_Bud = P_Food_lost+P_Feces+P_Eksresi N_bm = 0.3
138
N_bm1 = 1 N_Ekskresi = N__eaten_Food-N_Retensi N_Feces = N__eaten_Food-N_Food_Cerna N_Food = Pct_N*Total_Pakan N_Food_Cerna = N__eaten_Food*PCt_N_Cerna N_Food_lost = Pct_N*Uneaten_food N_Retensi = Pct_N_Retensi*N_Food_Cerna N_Total_Limbah = N_Ekskresi+N_Feces+N_Food_lost+kum_N_non_bud N__eaten_Food = Eaten_food*Pct_N Pct_N = 0.126 PCt_N_Cerna = 0.81 Pct_N_Retensi = 0.261 Pct_P = 0.026 PCt_P_Cerna = 0.575 Pct_P_Retensi = 0.238 pct_UF = 0.18 per_unit5 = 5 pkm = (Ternak+RT)*0.25 P_eaten_Food = Pct_P*Eaten_food P_Eksresi = P_Food_Cerna-P_Retensi P_Feces = P_eaten_Food-P_Food_Cerna P_Food = Pct_P*Total_Pakan P_Food_Cerna = PCt_P_Cerna*P_eaten_Food P_Food_lost = Pct_P*Uneaten_food P_Retensi = P_Food_Cerna*Pct_P_Retensi P_Total_Limbah = P_Eksresi+P_Feces+P_Food_lost+Kum_P_non_budidaya RT = 1201 RT1 = 486 Ternak = 617 Ternak1 = 568 Uneaten_food = pct_UF*Total_Pakan Unit_KJA = KJA2/per_unit5 Unit_Krb = KJA1/per_unit5 Vol_Tlk = 190050400 Submodel Ekonomi Budidaya Ikan Kerapu dalan KJA Fish_size = Biomassa/(Stocking_density*SR*No_of_KJA) Gross_revenue = if(Fish_size>=Size_limit_for_selling_prise)then(Biomassa*unit_prise)else(0) Prod_cost_per_kg = 150000 Profit = Gross_revenue-Tot_cost Size_limit_for_selling_prise = 0.55/2 DOCUMENT: Batas limit ukuran udang untuk dipasarkan adalah 25 g/ekor Tot_cost = if(Fish_size>=Size_limit_for_selling_prise)then(Biomassa*Prod_cost_per_kg)else(0) DOCUMENT: total dalam juta rupiah unit_prise = 350000 DOCUMENT: 350000
139
Submodel Biomassa Ikan Kerapu Panen(t) = Panen(t - dt) + (Biomassa) * dt INIT Panen = 162 INFLOWS: Biomassa = ((No_of_KJA*Stocking_density*SR*Wt)/1000) Total_Pakan(t) = Total_Pakan(t - dt) + (Pakan_harian) * dt INIT Total_Pakan = 0 INFLOWS: Pakan_harian = Biomassa*pct_pakan growth_day = (Wt-360)/Time No_of_KJA = 1 DOCUMENT: 250 pct_pakan = 0.04 rearing_periode = COUNTER(1,180) SR = 1 DOCUMENT: 100 Stocking_density = 564 DOCUMENT: 450 Wt = GRAPH(rearing_periode) (0.00, 360), (30.0, 393), (60.0, 423), (90.0, 450), (120, 477), (150, 504), (180, 528)
140
Lampiran 16. Uji Statistika (Uji t beda nyata) Untuk Evalusi Model Pengelolaan T-Test (Biomass) Perbandingan Biomassa 0 30 60 90 120 150 180Perhitungan Lapangan 162 176,9 190,4 202,5 214,3 226,8 237,6Model Simulasi 162,5 176,85 190,35 202,5 214,65 226,8 237,24
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lapangan 7 201,5000 27,07016 10,23156Model 7 201,5557 26,90813 10,17032
One-Sample Test
Test Value = 0 95% Confidence Interval
of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Lower Upper Lapangan 19,694 6 ,000 201,50000 176,4643 226,5357 Model 19,818 6 ,000 201,55571 176,6698 226,4416
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error
Mean Pair 1 Lapangan 201,5000 7 27,07016 10,23156 Model 201,5557 7 26,90813 10,17032
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Lapangan &
Model 7 1,000 ,000
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper Pair 1 Lapangan
- Model -,05571 ,28442 ,10750 -,31876 ,20733 -,518 6 ,623
141
Pengambilan Keputusan Hipotesis : H0 = kedua nilai biomass antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah tidak berbeda nyata H1 = kedua nilai biomass antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah berbeda nyata • Jika nilai statistik hitung (angka t output) > statistika Tabel (table t) , H0 ditolak. • Jika nilai statistik • k hitung (angka t output) < statistika Tabel (table t) , H0 diterima. Bahwa : t hitung dari output adalah 0,518 dan t tabel sebesar 2,447. oleh karena t hitung terletak didalam daerah H0, maka dapat simpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara perhitungan lapangan dengan simulasi model. Jika probabilitas (0,623) > 0,05, maka H0 diterima.
T-Test (Pakan) Perbandingan Total Pakan 0 30 60 90 120 150 180Perhitungan Lapang 0 194,4 212,3 228,3 242,5 257 271,6Model Simulasi 0 196,5 215,2 230,1 243,4 269,2 269,9
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lapangan 7 200,8714 92,33998 34,90123Model 7 203,4714 93,65108 35,39678
One-Sample Test
Test Value = 0 95% Confidence Interval
of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Lower Upper Lapangan 5,755 6 ,001 200,87143 115,4712 286,2717 Model 5,748 6 ,001 203,47143 116,8586 290,0842
Paired Samples Statistics
142
Mean N Std. Deviation Std. Error
Mean Pair 1 Lapangan 200,8714 7 92,33998 34,90123 Model 203,4714 7 93,65108 35,39678
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Lapangan &
Model 7 ,999 ,000
Paired Samples Test
Pengambilan Keputusan Hipotesis : H0 = kedua nilai pakan antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah tidak berbeda nyata H1 = kedua nilai pakan antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah berbeda nyata • Jika nilai statistik hitung (angka t output) > statistika Tabel (table t) , H0 ditolak. • Jika nilai statistik hitung (angka t output) < statistika Tabel (table t) , H0
diterima. Bahwa : t hitung dari output adalah 1,530 dan t tabel sebesar 2,447. oleh karena t hitung terletak didalam daerah H0, maka dapat simpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara perhitungan lapangan dengan simulasi model. Jika probabilitas (0,177) > 0,05, maka H0 diterima. T-Test (limbah N) Limbah Nutrien (N) dalam kg
Peubah Perhitungan Lapangan
Model Simulasi
N Pakan 177,20 182,10N Pakan terbuang (food loss)
31,90 32,80
N yang dicerna 145,40 120,80
Paired Differences 95% Confidence
Interval of the Difference
Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean Lower Upper t df
Sig. (2-tailed)
Pair 1 Lapangan - Model
-2,60000 4,49592 1,69930 -
6,75804 1,55804 -1,530 6 ,177
143
N Retensi 30,70 31,50N Feces 27,60 28,40N Ekskresi 114,70 117,70N Akumulasi Budidaya 174,10 178,80
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lapangan 7 100,2286 68,81060 26,00796Model 7 98,8714 68,33924 25,82981
One-Sample Test
Test Value = 0 95% Confidence Interval
of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Lower Upper Lapangan 3,854 6 ,008 100,22857 36,5894 163,8678 Model 3,828 6 ,009 98,87143 35,6682 162,0747
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error
Mean Pair 1 Lapangan 100,2286 7 68,81060 26,00796 Model 98,8714 7 68,33924 25,82981
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Lapangan &
Model 7 ,989 ,000
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper Pair 1 Lapangan -
Model 1,35714 10,40398 3,9323
4
-8,2649
4
10,97922 ,345 6 ,742
Pengambilan Keputusan Hipotesis : H0 = kedua nilai limbah N antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah tidak berbeda nyata H1 = kedua nilai limbah N antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah berbeda nyata
144
• Jika nilai statistik hitung (angka t output) > statistika Tabel (table t) , H0 ditolak. • Jika nilai statistik hitung (angka t output) < statistika Tabel (table t) , H0
diterima. Bahwa : t hitung dari output adalah 0,345 dan t tabel sebesar 2,447. oleh karena t hitung terletak didalam daerah H0, maka dapat simpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara perhitungan lapangan dengan simulasi model. Jika probabilitas (0,742) > 0,05, maka H0 diterima. T-Test (Limbah Nutrien P) Limbah Nurien (P) dalam kg
Peubah Perhitungan Lapangan
Model Simulasi
P Pakan 36,6 37,6P Pakan terbuang (food loss)
6,6 6,8
P yang dicerna 29,9 17,7P Retensi 4,1 4,2P Feces 12,7 13,1P Ekskresi 13,1 13,5P Akumulasi Budidaya 32,4 33,3
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lapangan 7 19,3429 13,27640 5,01801Model 7 18,0286 12,77024 4,82670
One-Sample Test
Test Value = 0 95% Confidence Interval
of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Lower Upper Lapangan 3,855 6 ,008 19,34286 7,0642 31,6215 Model 3,735 6 ,010 18,02857 6,2181 29,8391
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error
Mean Lapangan 19,3429 7 13,27640 5,01801Pair 1
Model 18,0286 7 12,77024 4,82670
145
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Lapangan &
Model 7 ,932 ,002
Paired Samples Test
Pengambilan Keputusan
Paired Differences 95% Confidence
Interval of the Difference
Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean Lower Upper t df
Sig. (2-tailed)
Pair 1 Lapangan - Model 1,3142
9 4,81194 1,81874
-3,1360
2
5,76459 ,723 6 ,497
Hipotesis : H0 = kedua nilai limbah P antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah tidak berbeda nyata H1 = kedua nilai limbah P antara perhitungan lapangan dengan model simulasi adalah berbeda nyata • Jika nilai statistik hitung (angka t output) > statistika Tabel (table t) , H0 ditolak. • Jika nilai statistik hitung (angka t output) < statistika Tabel (table t) , H0
diterima. Bahwa : t hitung dari output adalah 0,723 dan t tabel sebesar 2,447. oleh karena t hitung terletak didalam daerah H0, maka dapat simpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara perhitungan lapangan dengan simulasi model. Jika probabilitas (0,497) > 0,05, maka H0 diterima.